CASE Dr.selonan
-
Upload
putu-ratih-wijayanthi -
Category
Documents
-
view
81 -
download
0
description
Transcript of CASE Dr.selonan
CASE
UPPER GASTROINTESTINAL BLEEDING ET CAUSA
GIANT ULCER GASTRIC
Disusun Oleh :
Dita Eka Sartika (0515153)
Dosson Rianto Tampubolon (0515172)
Putu Ratih Wijayanthi (0615195)
Lambok Yohanna F Br. Panjaitan (1115239)
Pembimbing :
dr. Selonan Susang Obeng Sp.B-KBD., FinaCS
BAGIAN/SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARABATHA
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2013
Identitas Pasien :
Nama : Tn. H
Umur : 74 tahun
Alamat : Kopo Permai – Bandung
Tanggal masuk : 24 Desembet 2012
Diagnosis masuk : Ulkus gaster
Diagnosis akhir : Upper Bleeding GIT et causa Giant Ulcus Gaster
Anamnesis :
Tn.H (74 tahun) datang ke poliklinik bedah RSI dengan keluhan muntah darah
sejak 5 hari yang lalu. Pasien juga mengeluh pada saat BAB, keluar darah yang
berwarna kehitaman. Pasien sering terbangun pada malam hari, karena pasien
merasakan sakit perut terutama di sekitar ulu hati. Rasa sakit seperti tertusuk dan luka
terbakar di sekitar tenggorok dan di ulu hati. Pasien tampak pucat, nafsu makan
berkurang, berat badan menurun, batuk (+).
• RPD : pasien mempunyai riwayat maag. Tekanan darah tinggi (-), kencing manis
(-)
• RPK : keluarga belum ada yang sakit seperti ini.
• Riwayat alergi : tidak ada
• Riwayat Kebiasaan : jarang makan sayur dan buah-buahan.
• Usaha berobat : minum obat maag, namun tidak sembuh.
Pemeriksaan Fisik
• Tanda-tanda Vital :
– Tek.darah : 130/60 mmHg
– Nadi : 92 x/menit
– Respirasi : 24 x/menit
– Suhu : 36,5 0C
• Keadaan Umum : Compos Mentis
• Kesan Sakit : Sakit Berat
• Kulit : Pucat
• Kepala :
– Mata : Conjunctiva Anemis +/+, Sklera Ikterik -/-
– THT : tidak tampak kelainan.
• Leher : KGB tidak teraba membesar
• Thorax : B/P simetris
– Pulmo : VBS kanan = kiri, Ronchi -/-, Wheezing -/-
– Cor : BJ S1 S2, reguler, murmur (-)
• Abdomen : datar, soepel, BU (+) ↓, NT (+)
• Ekstremitas : akral hangat, edem -/-
Pemeriksaan Laboratorium
• Waktu Protrombin 14,9 detik
• Hb 5,7 g/dL
• Ht 16,9%
• Leukosit 21.340/mm3
• Eritrosit 2,1 juta/mm3
• Fibrinogen 429
Foto Thorax
Pada Foto Thorax ditemukan :
• Trachea terletak di medial. Aorta normal.
• Cor bentuk dan besar normal. Sinuses normal dan Diafragma normal.
• Pulmo :
– Hilus kanan dan kiri normal.
– Corakan bronkovaskular bertambah.
– Tidak tampak bercak lunak di kedua lapang paru.
• Costae : Clavikula dan jaringan lunak dinding dada normal.
Kesan : tidak tampak TB paru aktif / pneumonia. Cor dalam batas normal
USG
• Liver : besar dan bentuk normal, permukaan rata, tepi tajam. Texture
parenkim homogen, echogenisitas normal. Pembuluh darah normal. Saluran
empedu normal.
• Gall Bladder : besar dan bentuk normal. Dinding rata, tidak menebal.
Intraluminal tidak tampak kelainan. Perigall bladder normal.
• Common Bile Duct : tidak melebar. Intraluminal tidak tampak kelainan.
• Pancreas : besar dan bentuk normal. Texture parenkim homogen,
echogenisitas normal. Ductus pancreaticus major normal.
• Spleen : besar dan bentuk normal. Texture parenkim homogen, echogenisitas
normal. V.Lienalis tidak tampak melebar.
Diagnosis USG (31 Desember 2012) :
– Liver tidak tampak kelainan
– Gall Bladder dan CBD tidak tampak kelainan
– Pacreas dan Spleen tidak tampak kelainan
– Catatan : Susp. Ada massa neoplasia di daerah gaster
Endoscopy
Hasil Pemeriksaan Endoscopy :
• Esofagus : tidak tampak kelainan bentuk dan vaskuler. Z line dalam keadaan
baik.
• Gaster : tidak tampak hiatal hernia. Tampak bekuan darah pada fundus.
Tampak beberapa ulkus pada fundus dan tidak berdarah. Tampak ulkus
bergaung pada angulus gasterdisertai bekuan darah dan pembuluh darah pada
dasarnya. Dilakukan biopsi pada beberapa tempat dan disekitar ulkus. Pyloric
opening tampak tertutup disertai edema mukosa.
Kesimpulan :
– Ulkus gaster (suspek tumor) (Forrest II A)
– Deformitas pilorus
Tindakan Operatif : Gastrectomy, pada tanggal 1 Januari 2013
Diagnosis Post Operatif : Giant Ulcer Incisura Gaster
Temuan Makroskopis :
– Massa padat fibrotic di kurvatura minor gaster ada insisura. Massa berukuran
2,5 x 2 x 2 cm. Tidak ada nodul KGB pada gaster / hati. Tidak ada nodul yang
teraba.
– “Massa” tersebut berada bagian luar dari ulkus gaster.
Diagnosis Kerja : UPPER GASTROINTESTINAL BLEEDING ET CAUSA
GIANT ULCER GASTRIC
Terapi Post Operasi :
• Infus RL 1,5 l/24 jam
• Sumagesic
• Kalnex
• Pranza
• Narfoz
• Propepson
Prognosis :
• Quo ad Vitam : dubia ad bonam
• Quo ad Functionam : ad malam
• Quo ad Sanationam : ad bonam
PEMBAHASAN
Anatomi
Yang termasuk dalam saluran cerna bagian atas adalah saluran cerna di atas
(proksimal) ligamentum Treitz, dimulai dari oesophagus, gaster, duodenum, dan
jejunum proksimal.
Gambar Sketsa Saluran cerna bagian atas
1. Gaster
Gaster terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di
bawah diafragma. Dalam keadaan kosong gaster menyerupai tabung bentuk J, dan
bila penuh akan berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal gaster
adalah 1 sampai 2 L. Secara anatomis, gaster terbagi atas fundus, corpus, dan
antrum pyloric atau pylorus. Sebelah kanan atas gaster terdapat cekungan
curvatura minor dan bagian kiri bawah gaster terdapat curvatura mayor. Sphincter
pada kedua ujung gaster mengatur pengeluaran dan pemasukan yang terjadi.
Sphincter cardia atau sphincter oesophagus inferior, mengalirkan makanan masuk
ke dalam gaster dan mencegah refluks isi gaster memasuki oesophagus kembali.
Daerah lambung tempat pembukaan sphincter cardia dikenal dengan nama daerah
cardia. Di saat sphincter pyloricum terminal berelaksasi, makanan masuk ke
dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sphincter ini akan mencegah terjadinya
aliran balik isi usus ke dalam lambung.
Gambar Anatomi Gaster
Sphincter pylorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat
mengalami stenosis (penyempitan pylorus yang menyumbat) sebagai penyulit
penyakit ulkus peptikum. Abnormalitas sphincter pylorus dapat pula terjadi pada
bayi. Stenosis pylorus atau pylorospasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya
mengalami hipertrofi atau spasme sehingga sphincter gagal berelaksasi untuk
mengalirkan makanan dari gaster ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan
makanan tersebut dan tidak mencerna atau menyerapnya. Keadaan ini mungkin
dapat diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat adrenergik yang
menyebabkan relaksasi serabut otot.
Gambar Bentuk dari Anatomi Gaster
Gater tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum viseralis
menyatu pada curvatura minor gaster dan duodenum kemudian terus memanjang
ke hepar, membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari satu
organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi, omentum minus
(disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong
gaster sepanjang curvatura minor sampai ke hepar. Pada curvatura mayor,
peritoneum terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi usus
halus dari depan seperti sebuah apron besar. Saccus omentum minus adalah
tempat yang sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat
penyulit pankreatitis akut.
Tidak seperti daerah saluran cernal lain, bagian muskularis tersusun atas
tiga lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar,
lapisan sirkular di bagian tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan
serabut otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi
yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel – partikel yang kecil,
mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan gaster, dan
mendorongnya ke arah duodenum.
Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan
lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa
bergerak dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf,
pembuluh darah, dan saluran limfe.
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan – lipatan
longitudinal yang disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya distensi gaster
sewaktu diisi makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan
dikategorikan menurut bagian anatomi gaster yang ditempatinya. Kelenjar cardia
berada di dekat orifisium kardia dan mensekresikan mukus. Kelenjar fundus atau
gastrik terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar
gastrik memiliki tiga tipe utama sel. Sel – sel zimogenik (chief cell)
mensekresikan pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana
asam. Sel – sel parietal mensekresikan asam hidroklorida (HCl) dan faktor
intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B12 di dalam usus
halus. Kekurangan faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia
pernisiosa. Sel – sel mukus (leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan
mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada
daerah pilorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan
asam hidroklorida dan pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung
adalah enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium, dan klorida.
Persarafan gaster berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen
melalui saraf vagus. Truncus vagus menpercabangkan ramus gastrika, pilorika,
hepatika, dan seliaka. Pengetahuan anatomi ini sangat penting, karena vagotomi
selektif merupakan tindakan pembedahan primer yang penting dalam mengobati
ulkus duodenum. Hal ini akan dibahas dengan lebih lengkap pada bagian
selanjutnya dalam bab ini.
Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaca.
Serabut – serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh
peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium
abdomen. Serabut – serabut efferen simpatis menghambat motilitas dan sekresi
lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan submukosa (Meissner)
membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas
motorik dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah di gaster dan pankreas (serta hepar, empedu, dan
lien) terutama berasal dari arteri seliaca atau trunkus seliacus, yang
mempercabangkan cabang – cabang yang memperdarahi curvatura minor dan
mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria
gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang
berjalan di sepanjang bulbus posterior duodenum. Ulkus pada dinding posterior
duodenum dapat mengerosi arteri ini dan menyebabkan terjadinya perdarahan.
Darah vena dari gaster dan duodenum, serta yang berasal dari pankreas, lien, dan
bagian lain saluran gastrointestinal, berjalan ke hati melalui vena porta.
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS
Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan yang terjadi dan
berasal pada area proksimal saluran pencernaan bagian proximal dari Ligamentum
Treitz. Yang termasuk organ – organ saluran cerna di proximal Ligamentum Trieitz
adalah esofagus, lambung (gaster), duodenum dan sepertiga proximal dari jejunum.
Kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas merupakan yang paling sering terjadi
dan sering ditemukan dibandingkan dengan kejadian perdarahan saluran cerna bagian
bawah. Lebih dari 50% kejadian perdarahan saluran cerna bagian atas dikarenakan
oleh penyakit erosif dan ulseratif dari gaster dan/atau duodenum.
Epidemiologi
Di negara barat, insidensi perdarahan akut SCBA mencapai 100 per 100.000
penduduk/tahun. Laki-laki lebih banyak daripada wanita. Insidensi ini meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia. Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi
tidak diketahui.
Berbeda dengan di negara barat, dimana perdarahan karena ulkus peptikum
menempati urutan terbanyak, maka di Indonesia perdarahan karena ruptur varises
gastroesofageal merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastrik erosiva
hemoragika sekitar 25-30%, ulkus peptikum sekitar 10-15%, dan karena sebab
lainnya < 5%. Kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa perdarahan yang terjadi
karena pemakaian jamu rematik menempati urutan terbanyak sebagai penyabab
perdarahan SCBA. Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi, yaitu sekitar 25%,
kematian pada penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan kematian pada
perdarahan non varises sekitar 9-12%. Sebagian besar penderita perdarahan SCBA
meninggal bukan karena perdarahannya itu sendiri, melainkan karena penyakit lain
yang ada secara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung,
penyakit hati kronis, pneumonia, dan sepsis.
Etiologi
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang paling sering ditemukan
adalah :
1. ulkus peptikum
2. Sindrome Mallory-Weiss
3. varises esofagus
4. erosi gastritis
5. penggunaan obat berupa NSAID, aspirin, steroid, trombolitik, dan antikoagulan
6. esofagitis
7. duodenitis
8. keganasan
9. idiopatik
Penyebab timbulnya perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang
ditemukan adalah :
1. kelainan perdarahan
2. hipertensi portal gastropati
3. fistula aorta entericus
4. angiodisplasia
5. hemobilia
6. Lesi dieulafoy
7. Divertikulum Meckel
8. Sindrome Peutz-Jegher
9. Sindrome Osler-Weber-Rendu
Gejala Klinik Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Hematemesis : muntah darah berwarna hitam seperti bubuk kopi.
Melena : buang air besar berwarna hitam seperti ter atau aspal
Hematoskezia : buang air besar berwarna merah maroon, biasanya dijumpai
pada pasien-pasien dengan perdarahan masif dimana transit time dalam usus
yang pendek
Anemia defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang telah berlangsung
lama
Ulkus Peptikum
Definisi
Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa esophagus,
lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah epitel. Kerusakan
mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi, walaupun seringkali
dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda dengan ulkus akut, karena
memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut definisi, ulkus peptik dapat
ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu
esofagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal, juga jejunum. Walaupun
aktivitas pencernaan peptic oleh getah lambung merupakan factor etiologi yang
penting, terdapat bukti bahwa ini hanya merupakan salah satu factor dari banyak
factor yang berperan dalam patogenesis ulkus peptic.
Predisposisi
Banyak ditemukan dalam klinik terutama dalam kelompok umur di atas umur
45 tahun. Perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian atas akibat tukak peptik
atau ulkus peptikum merupakan penyulit yang paling sering ditemukan, sedikitnya
ditemukan pada 15 hingga 25% kasus selama perjalanan penyakit. Walaupun ulkus di
setiap tempat dapat mengalami perdarahan, namun tempat perdarahan yang paling
sering adalah dinding posterior bulbus duodenum, karena di tempat ini dapat terjadi
erosi arteri pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis.
Etiologi
1. Penurunan Produksi Mukus sebagai penyebab Ulkus
Penyebab penurunan produksi mukus berhubungan dengan infeksi
bakterium Helicobacter pylori membuat koloni pada sel-sel penghasil mukus di
lambung dan duodenum, sehingga menurunkan kemampuan sel memproduksi
mukus. Sekitar 90% pasien ulkus duodenum dan 70% ulkus gaster
memperlihatkan infeksi H.pylori endemik di beberapa negara berkembang.
Infeksi terjadi dengan cara ingesti mikroorganisme.
Penggunaan beberapa obat, terutama obat anti-inflamasi non-steroid
(NSAID), juga dihubungkan dengan peningkatan resiko berkembangnya ulkus.
Aspirin dan glukokortikosteroid menyebabkan iritasi dinding mukosa. Obat-
obat ini menyebabkan ulkus dengan menghambat perlindungan prostaglandin
secara sistemik atau dinding usus. Sekitar 10% pasien pengguna NSAID
mengalami ulkus aktif dengan persentase tinggi untuk mengalami erosi yang
kurang serius. Perdarahan gaster atau usus dapat terjadi akibat NSAID. Lansia
terutama rentan terhadap cedera GI akibat NSAID. Obat lain atau makanan
dihubungkan dengan perkembangan ulkus termasuk kafein, alkohol, dan
nikotin. Obat-obat ini tampaknya mencederai perlindungan lapisan mukosa.
2. Kelebihan asam sebagai penyebab Ulkus
Pembentukan asam di lambung penting untuk mengaktifkan enzim
pencernaan lambung. Asam hidroklorida (HCl) dihasilkan oleh sel-sel parietal
sebagai respons terhadap makanan tertentu, hormon (termasuk gastrin),
histamin, dan stimulasi parasimpatis. Makanan dan obat seperti kafein dan
alkohol menstimulasi sel-sel parietal untuk menghasilkan asam. Sebagian
individu memperlihatkan reaksi berlebihan pada sel-sel parietaknya terhadap
makanan atau zat tersebut, atau mungkin memiliki jumlah sel parietal yang
lebih banyak dari normal sehingga menghasilkan lebih banyak asa. Aspirin
bersifat asam, yang dapat langsung mengiritasi atau mengerosi lapisan gaster.
Hormon gastrin juga menstimulasi produksi asam, sehingga apap pun
yang dapat meningkatkan sekresi gastrin dapat menyebabkan produksi asam
yang berlebihan. Contoh Gastrinomas atau Zollinger Ellison Syndrome ialah
suatu keadaan dimana terjadi peningkatan produksi hormone gastrin. Gastrin
bekerja di sel parietal lambung untuk sekresi ion hydrogen di lumen lambung.
Bila hormone gastrin terus meningkat dapat menyebabkan hyperplasia sel
parietal. Ion hydrogen akan berikatan secara bebas dengan ion clorida
membentuk asam klorida. Akumulasi asam klorida yang terjadi secara terus-
menerus memudahkan terjadinya ulkus di mukosa lambung.
Patofisiologi
Gejala Klinik
Gejala klinik yang timbul pada ulkus peptikum, yaitu :
Heartburn yang terkait dengan waktu makan dan pola makan
Perut kembung dan sering merasa kenyang
Produksi air liur yang berlebih untuk mengatasi produksi asam yang berlebih.
Mual dan muntah
Hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan
Hematemesis yang dapat terjadi akibat ulkus yang menyebabkan perdarahan
atau karena rangsangan mukosa akibat muntah yang terjadi terus-menerus
Melena, kotoran berbau busuk karena kotoran teroksidasi dengan asam lambung
Peritonitis bila terjadi perforasi gaster ataupun duodenum
Dasar Diagnosis
1. Anamnesis
Nyeri : pasien mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi terbakar
di epigastrium tengah atau di punggung. Hal ini dikarenakan nyeri yang
terjadi bila kandungan asam lambung meningkat menimbulkan erosi dan
merangsang ujung saraf yang terpanjan, adanya kontak lesi dengan asam
merangsang mekanisme refleks lokal yang memulai kontraksi otot halus
disekitarnya. Nyeri biasanya hilang dengan makan, karena makan
menetralisasi asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung
telah kosong atau alkali tidak digunakan nyeri kembali timbul. Nyeri tekan
lokal yang tajam dapat dihilangkan dengan memberikan tekanan lembut
pada epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah.
Pirosis (nyeri ulu hati) : beberapa pasien mengalami sensasi luka bakar pada
oesophagus dan lambun, yang naik ke mulut, kadang-kadang disertai
eruktasi asam. Eruktasi atau sendawa umum terjadi bila lambung pasien
kosong.
Muntah : hal ini dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut atau
pembengkakan akut dari membran mukosa yang mengalami inflamasi
disekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau tanpa didahului oleh
mual, biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi
kandungan asam lambung.
Konstipasi dan perdarahan : konstipasi dapat terjadi pada pasien ulkus,
kemungkinan sebagai akibat dari diet dan obat-obatan. Pasien dapat juga
datang dengan perdarahan GIT sebagian kecil pasien yang mengalami
akibat ulkus akut sebelumnya tidak mengalami keluhan, tetapi mereka
menunjukkan gejala setelahnya.
Anoreksia
Pola makan dan diet
Kebiasaan mengkonsumsi kopi dan alkohol
Penggunaan obat-obatan
Stressor individu dan keluarga
Pekerjaan dan gaya hidup
2. Pemeriksaan Fisik Nyeri tekan epigastrik atau distensi abdominal, bising usus
mungkin tidak ada.
3. Pemeriksaan Barium GI atas adanya ulkus
4. Pemeriksaan Endoscopic GI atas digunakan untuk mengidentifikasi perubahan
inflamasi, ulkus, dan lesi. Melalui endoscopic mukosa dapat secara langsung
dilihat dan biopsy didapatkan. Endoscopic telah diketahui dapat mendeteksi
beberapa lesi yang tidak terlihat melalui pemeriksaan sinar X karena ukuran dan
lokasinya.
5. Feses dapat diambil setiap hari sampai laporan laboratorium adalah negatif
terhadap darah samar.
6. Pemeriksaan sekretori lambung merupakan nilai yang menentukan dalam
mendiagnosis aklorhidria (tidak terdapat asam hidroklorida dalam getah lambung)
dan sindrom Zollinger-ellison. Nyeri yang hilang dengan makanan atau antasida,
dan tidak adanya nyeri yang timbul juga mengidentifikasikan adanya ulkus.
7. Adanya H.pylori dapat ditentukan dengan biopsi dan histologi melalui kultur,
meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus, serta tes serologis terhadap
antibodi pada antigen H.pylori.
Dasar Diagnosis Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
1) Anamnesis
Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar.
Riwayat perdarahan sebelumnya.
Riwayat perdarahan dalam keluarga.
Ada tidaknya perdarahan di bagian tubuh lain.
Penggunaan obat – obatan terutama anti inflamasi non-steroid dan anti
koagulan.
Kebiasaan minum alkohol.
Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronik, demam berdarah,
demam tifoid, gagal ginjal kronik, diabetes melitus, hipertensi dan alergi
obat – obatan.
Riwayat transfusi sebelumnya.
2) Pemeriksaan Fisik
Stigmata penyakit hati kronik.
Suhu badan dan perdarahan di bagian tubuh lain.
Tanda – tanda kulit dan mukosa penyakit sistemik yang bisa disertai
perdarahan saluran cerna, misalnya pigmentasi mukokutaneus pada sindrom
Peutz-Jegher.
3) Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram, terutama pada pasien berusia di atas 40 tahun.
BUN dan kadar kreatinin serum karena pada perdarahan saluran cerna
bagian atas, pemecahan darah oleh kuman usus akan mengakibatkan
kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap normal atau sedikit
meningkat.
Kadar elektrolit (Natrium, Kalium, Clorida) dimana perubahan elektrolit
bisa terjadi karena perdarahan, transfusi, atau kumbah lambung.
Dan pemeriksaan penunjang lainnya yang perlu dilakukan tergantung jenis kasus perdarahan saluran cerna atas yang dihadapi.
Seorang pasien yang datang dengan keluhan hematemesis, muntahan seperti
kopi karena berubahnya darah oleh asam lambung, hampir pasti perdarahannya
berasal dari saluran cerna bagian atas. Timbulnya melena, berak hitam lengket
dengan bau busuk, bila perdarahannya berlangsung sekaligus sejumlah 50 – 100 ml
atau lebih. Untuk lebih memastikan keterangan melena yang diperoleh dari
anamnesis, dapat dilakukan pemeriksaan digital rektum. Perdarahan saluran cerna
bagian atas dengan manifestasi hematoskezia dimungkinkan bila perdarahannya cepat
dan banyak melebihi 1000 ml dan disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil
atau syok.
Pada semua kasus perdarahan saluran cerna disarankan untuk pemasangan
pipa nasogastrik, kecuali pada perdarahan kronik dengan hemodinamik stabil atau
yang sudah jelas perdarahan saluran cerna bagian bawah. Pada perdarahan saluran
cerna bagian atas akan keluar cairan seperti kopi atau cairan darah segar sebagai
tanda bahwa perdarahan masih aktif. Selanjutnya dilakukan bilas lambung dengan air
suhu kamar. Sekiranya sejak awal tidak ditemukan darah pada cairan aspirasi,
dianjurkan pipa nasogastrik tetap terpasang sampai 12 atau 24 jam. Bila selama kurun
waktu tersebut hanya ditemukan cairan empedu dapat dianggap bukan perdarahan
saluran cerna bagian atas.
Perbandingan BUN dan kreatinin serum juga dapat dipakai untuk
memperkirakan asal perdarahan, nilai puncak biasanya dicapai dalam 24 hingga 48
jam sejak terjadinya perdarahan, normal perbandingannya 20, di atas 35
kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian atas, dibawah 35
kemungkinan perdarahan berasal dari saluran cerna bagian bawah. Pada kasus yang
masih sulit untuk menentukan asal perdarahannya, langkah pemeriksaan selanjutnya
ialah endoskopi saluran cerna bagian atas.
Klasifikasi Aktivitas Perdarahan Ulkus Peptikum Menurut Forest.
Aktivitas Perdarahan Kriteria Endoskopis
Forest Ia Perdarahan aktif. Perdarahan arteri menyembur.
Forest Ib Perdarahan aktif. Perdarahan merembes.
Forest II Perdarahan berhenti dan masih terdapat sisa – sisa perdarahan.
Gumpalan darah pada dasar tukak atau terlihat pembuluh darah.
Forest III Perdarahan berhenti tanpa sisa perdarahan.
Lesi tanpa tanda sisa perdarahan.
Penatalaksanaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan
pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi.
Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan
perdarahan, dan mencegah terjadinya perdarahan ulang. Konsensus Nasional PGI –
PEGI – PPHI menetapkan bahwa pemeriksaan awal dan resusitasi pada kasus
perdarahan wajib dan harus bisa dikerjakan pada setiap lini pelayanan kesehatan
masyarakat sebelum dirujuk ke pusat layanan yang lebih tinggi. Adapun langkah –
langkah praktis pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas adalah sebagai
berikut:
1. Pemeriksaan awal, penekanan pada evaluasi status hemodinamik.
2. Resusitasi, terutama untuk stabilisasi hemodinamik.
3. Melanjutkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan lain yang
diperlukan.
4. Memastikan perdarahan saluran cerna bagian atas atau bagian bawah.
5. Menegakkan diangosis pasti penyebab perdarahan.
6. Terapi untuk menghentikan perdarahan, penyembuhan penyebab perdarahan
dan mencegah terjadinya perdarahan ulang.
Dengan adanya penegakan diagnosis penyebab perdarahan sangat menentukan
langkah terapi yang akan diambil pada tahap selanjutnya.
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah menentukan
beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Pemeriksaannya meliputi:
1. Tekanan darah dan nadi dalam posisi berbaring.
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi.
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer berupa akral teraba dingin.
4. Tidak adanya gangguan pernafasan.
5. Tingkat kesadaran.
6. Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravaskuler akan
mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil, dengan tanda – tanda sebagai
berikut:
1. Hipotensi (< 90/60 mmHg atau MAP < 70 mmHg) dengan frekuensi nadi
lebih dari 100x/menit.
2. Tekanan diastolik ortostatik turun lebih dari 10 mmHg atau sistolik turun
lebih dari 20 mmHg.
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat 15x/menit.
4. Akral dingin.
5. Kesadaran menurun.
6. Anuria atau oliguria (produksi urin kurang dari 30 ml/jam).
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai dengan
kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:
1. Hematemesis.
2. Hematoskezia.
3. Darah segara pada aspirasi pipa nasogastrik dan dengan lavase tidak segera
jernih.
4. Hipotensi persisten.
5. Dalam waktu 24 jam telah menghabiskan transfusi darah melebihi 800 – 1000
ml.
Penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi jumlah
perdarahan :
Perdarahan < 8% Hemodinamik stabil
Perdarahan 8-15% Hipotensi ortostatik
Perdarahan 15-25% Renjatan (shock)
Perdarahan 25-40% Renjatan + penurunan kesadaran
Perdarahan > 40% Moribund
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid
(misalnya cairan garam fisiologis) dengan tetesan cepat menggunakan dua jarum
berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous
pressure); tujuannya memulihkan tanda – tanda vital dan mempertahankan tetap
stabil. Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali
pada kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk
menentukan golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit.
Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu segera ditindaklanjuti dengan
melakukan tes Rumpel-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan, waktu pembekuan,
retraksi bekuan darah, PTT, dan aPTT.
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual, tergantung dari
jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik dari perdarahan tersebut. Pemberian
transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut
ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil.
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1
liter atau lebih.
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari
10 g% atau hematokrit kurang dari 30%.
4. Terdapat tanda – tanda oksigenasi jaringan yang menurun.
Perlu dipahami bahwa nilai hematokrit untuk memperkirakan jumlah perdarahan
kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses hemodilusi dari
cairan ekstravaskuler selesai dalam waktu 24 hingga 72 jam setelah onset perdarahan.
Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasus yang dihadapi,
untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup sebesar 20 – 25%, usia lanjut sebanyak
30%, sedangkan pada hipertensi portal jangan melebihi hingga 27 – 28%.
Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Non-Endoskopis
Salah satu usaha dalam menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan
adalah bilas lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini
diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun
demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti. Bilas lambung
ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai
untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan. Berdasar percobaan hewan, bilas
lambung dengan air es kurang menguntungkan, waktu perdarahan menjadi
memanjang, perfusi dinding lambung menurun, dan bisa timbul ulserasi pada mukosa
lambung.
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang
mengalami perdarahan saluran cerna bagian atas diperbolehkan, dengan
pertimbangan pemberian tersebut tidak merugikan dan relatif murah.
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan saluran cerna bagian atas lewat
efek vasokonstriksi pembuluh darah splanknikus, menyebabkan aliran darah dan
tekanan vena porta menurun. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises
esofagus sejak tahun 1953. Pernah dicoba pada terapi perdarahan nonvarises, namun
berhentinya perdarahan tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan,
yakni pitresin yang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitary gland yang
mengandung vasopressin dan oxytocin. Pemberian vasopressin dilakukan dengan
mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%, diberikan 0.5
– 1 mg/menit/iv selama 20 – 60 menit dan dapat diulang tiap 3 – 6 jam; atau setelah
pemberian pertama dilanjutkan per infus 0.1 – 0.5 U/menit. Vasopressin dapat
menimbulkan efek samping serius berupa insufisiensi koroner mendadak, oleh karena
itu pemberiannya disarankan bersamaan dengan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin
intravena dengan dosis awal 40 mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai
maksimal 400 mcg/menit dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90
mmHg.
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas karena tukak peptik adalah
inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80 mg/iv kemudian
dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada
kelompok plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazol hanya 4.2%. Suntikan
omeprazol yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa
digunakan per infus adalah persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis
sama seperti omeprazol. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas ini, obat – obatan
seperti antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan untuk
tujuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan. Antagonis reseptor H2 dalam
mencegah perdarahan ulang saluran cerna bagian atas dikarenakan tukak peptik
kurang bermanfaat.
Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas Secara Endoskopis
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau
tukak dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
1. Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe).
2. Noncontact thermal (laser).
3. Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin, polidokanol, alkohol,
cyanoacrylate, atau pemakaian klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila
dilakukan oleh ahli endoskopi yang terampil dan berpengalaman. Endoskopi
terapeutik ini dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan saluran cerna bagian atas,
sedangkan 10% sisanya tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah
terlalu banyak sehingga pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara
keseluruhan 80% perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus
perdarahan yang berasal dari arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%. Terapi
endoskopi yang relatif mudah dan tanpa banyak peralatan pendukung ialah
penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1 : 10.000
sebanyak 0,5 – 1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol absolut
(98%) tidak melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan sklerosan seperti alkohol absolut atau
polidokanol umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak dan perforasi
akibat nekrosis jaringan di lokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi endoskopi dalam
menghentikan perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan tanpa terapi tambahan
lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15 – 20%.
Penatalaksanaan Ulkus Peptikum
Tujuan Pengobatan adalah:
1. Menyembuhkan ulkus
2. Menghilangkan rasa nyeri
3. Mencegah kekambuhan
Prinsip Pengobatan adalah:
1. Menghilangkan/Mengurangi factor agresif
2. Meningkatkan factor defensive
3. Kombinasi keduanya
Pengobatan non medika mentosa:
1. Mengatur frekuensi makan
2. Jumlah makanan
3. Jenis makanan
4. Mengendalikan stress
Pengobatan medika mentosa:
1. Penetralisir asam lambung: antasida
2. Penghambat sekresi asam lambung: antihistamin-2, antikolinergik, pengha
3. Proton Pump Inhibitor
4. Obat protektor mukosa: obat sitoprotektif, obat site-protective.
5. Antisecretory-cytoprotective agent: analog prostaglandin E, Ebrotidine.
6. Digestive enzyme
7. Obat prokinetik
8. Obat antiemetic
9. Antibiotik
10. Lain-lain: Antiansietas
a. Antasida
Antasida adalah obat yang bekerja lokal pada lambung untuk menetralkan asam
lambung. Karena antasida menetralkan asam lambung, maka pemberian antasida akan
eningkatkan pH lambung sehingga kemampuan proteolitik (penguraian protein)
enzim pesin (yang aktif pada pH 2) serta sifat korosf asam dapat dimnimalkan.
Peningkatan pH lebih dari 5 dapat menmbulkan efek acid rebound. Acid rebound
adalah hipersekresi dari asam lambung untuk mempertahankan pH lambung yang
normal (3 - 4). Dilihat dari sudut efek yang merusak dari asam dan pepsin maka
pencapaian pH yang ideal adalah pH 5 dimana kapasitas proteolitik pepsin dapat
dihilangkan dan efek korosif dari asam dapat diminimalkan.
Ada bermacam-macam antasida yang beredar di pasaran, baik jenis dan merk
dagang. Antasid merupakan senyawa basa yang dapat menetralkan asam secara
kimiawi misalnya kalsium karbonat, alumunium hidroksida, magnesium hidroksida
dalam kombinasi.
Indikasi Antasida adalah pengobatan simptomatik nyeri epigastrum, nyeri
lambung dan rasa kembung yang menyertai hipersiditas lambung, gastritis, ulkus
lambung dan ulkus duodenum.
Antasida diberikan bersama simetidin atau tetrasiklin oral dapat mempengaruhi
penyerapan obat-obat tersebut. Karena itu diberikan dengan interval 2 jam. Antasida
sampai sekarang masih tetap digunakan secara luas dalam kombinasi dengan obat-
obat antiulkus karena memberikan pengurangan rasa nyeri di ulu hati dengan cepat
dan efektif walaupun bersifat sementara. Nyeri dapat diatasi dengan meningkatkan
pH isi lambung diatas 2 dan keadaan ini mudah dapat dicapai dengan pemberian
antasida, tetapi untuk menyembuhkan ulkus diperlukan pemberian antasida yang
sering dengan dosis yang mencukupi.
Pemberian dosis tinggi yang menyebabkan peningkatan pH yang tinggi disertai
acid rebound yang akan menurunkan pH kembali, sehingga diperlukan pemberian
antasida dengan interval yang makin pendek (makin sering) agar pH tetap tinggi
secara kontinyu. Dikenal 2 regimen dosis yaitu:
a. Pengobatan antasida yang intensif
Pengobatan ini bertujuan menyembuhkan ulkus, antasida diberikan 1 dan 3
jam setelah makan dan sebelum tidur (dibagi dalam 7 kali pemberian).
b. Pengobatan antasida yang tidak intensif
Termasuk disini pengobatan untuk menghilangkan ras nyeri. Untuk keperluan
ini antasida cukup diminum sesuai kebutuhan. Makanan dan minuman juga
mempunyai kemmpuan untuk menetralkan asam lambung, sehingga dikenal
istilah pain food reliefe, tetapi netralusasi ini hanya bersifat sementara, oleh
karena 1 jam kemudian sekresi asam mencapai puncaknya. Karena itu rasa
nyeri akan timbul kembali, biasanya mulai kurang lebih 90 menit setelah
makan. Adanya makanan akan memperlambat pengosongan lambung sehing
daya kerja antasida lebih panjang, yaitu sekitar 2 jam.
Pada lambung yang kosong, daya kerja antasida hanya 20 - 40 menit,
karena antasida dengan cepat masuk ke duodenum. Satu jam sesudah makan
sekresi asam lambung mencapai maksimal, karena itu pemberian antasida
yang tepat adalah 1 jam sesudah makan dan daya kerja antasida akan bertahan
lebih lama karena makanan akan memperlambat pengosongan lambung.
Antasida diberikan lagi 3 jam sesudah makan dengan maksud untuk
memperpanjang daya kerja antasida kira-kira 1 jam lagi.
Pada keadaan yang lebih parah misalnya pada ulkus berat atau terjadi
perdarahan, dianjurkan pemberian antasida tiap jam. Antsida adakalanya
diberikan sebelum tidur maksudnya untuk menetralkan asam lambung yang
disekresi pada malam hari. Tetapi daya kerja ini terbatas karena lambung
dalam keadaaan kosong sehingga untuk menghilangkan nyeri pada malam
hari sebaiknya digunakan obat antisekresi asam.
b. Penyekat Reseptor H-2
Sering disebut juga sebagai antagonis reseptor H-2. kerjanya sangat spesifik,
hanya menghambat reseptor H-2 saja yang terdapat dalam jumlah banyak di mukosa
lambung. Penyekat reseptor H-2 bekerja dengan menurunkan sekresi asam lambu ng
dalam waktu yang lebih lama daripada efek antasida, sehingga lebih efektif.
Contohnya simetidin, ranitidin, famotodin, dan nizatidin.
Penyekat reseptor H-2 bekerja dengan menghambat reseptor H-2 secara
bersaing dengan histamin. Penyekat reseptor H-2 akan berikatan dengan reseptor
tersebut karena mempunyai rumus bangun yang mirip dengan histamin. Histamin,
gastrin, dan asetilkolin terdapat di sel parietal lambung. Apabila histamin berikatan
dengan reseptornya, akan terbentuk siklik AMP (adenosin monofosfat) dan akan
menjadi aktif. Sedangkan jika gastrin dan asetilkolin yang berikatan dengan
reseptornya masing-masing akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium intrasel,
yang selanjutnya diperantarakan histamin dan reseptor H-2. Peningkatan siklik AMP
maupun kadar kalsium akan mengaktifkan pompa proton dari sel parietal. Pompa
proton merupakan suatu enzim H-K-ATPase yang memecahkan zat kimia pembawa
energi yakni ATP sehingga memberikan energi yang diperlukan untuk mengaktifkan
pemompaan ion keluar masuk sel parietal. Pompa proton akan secara aktif
mengeluarkan ion H+ dari dalam sel ke kanalikuli dan menukarnya dengan ion K+
dari kanalikuli. Ion K+ akan keluar lagi dari sel parietal bersama-sama ion Cl-. Ion
Cl- yang dikeluarkan ini kemudian akan berikatan dengan ion H+ di kanlikuli
membentuk asam lambung. Bila reseptor histamin H-2 telah diikat oleh penyekat
reseptor H-2, maka proses seperti diatas tidak terjadi dan asam lambung tidak akan
terbentuk.
c. Antikolinergik
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sel parietal sehingga
menghambat sekresi asam lambung. Contohnya pirenzepine. Pirenzepin pada dosis
yang cukup tinggi juga mempengaruhi reseptor asetilkolin tipe lain sehingga dapat
menyebabkan efek samping antikolinergik klasik seperti mulut kering, penglihatan
kabur, jantung berdebar-debar, konstipasi, dan kesulitan miksi.Indikasi utama adalah
untuk ulkus lambung dan ulkus duodenum. Juga diindikasikan pada dispepsia karena
efek antispasmodik pada motilitas lambung (menurunkan motilitas lambung). Dosisi
pirenzepin yang direkomendasikan adalah 1 tablet 50mg, 2 kali sehari sebelum
makan. Obat antikolinergik lain misalnya atropin dan skopolamin butil bromida tidak
efektif menekan sekresi asam lambung.
d. Proton Pump Inhibitor
Proton Pump Inhibitor juga disebut H-K-ATPase Inhibitor, karena memang
menghambat kerja enzim H-K-ATPase. Obat ini baru ditemukan tahun 80-an dan
terbukti jauh lebih kuat hambatannya terhadap sekresi asam lambung dibanding
bloker H-2. waktu kerjanya juga lebih lam sehingga dapat diberikan 1 kali sehari.
Contohnya omeprazole, esomeprazole, dan lansoprazole.
Golongan obat ini yang pertama kali dipasarkan ialah omeprazole. Omeprazole
merupakan suatu pro-drug yang tidak aktif di tubuh sampai diaktifkan di sel parietal.
Omeprazole merupakan basa lemah sehingga akan terkonsemtrasi pada bagian-bagian
yang asam. Selain rongga lambung, pada tubuh satu-satunya tempat dimana terdapat
keasaman adalah kanalikuli sekretori sel parietal. PPI menghambat sekresi asam pada
tahap akhir yaitu di pompa proton.
Pada kanalikuli sekretori di sekitar pompa proton, omeprazole akan menarik
proton (ion H+) dan dengan cepat berubah menjadi sulfonamid tiofilik atau asam
sulfenat, yang merupakan penghambat pompa proton aktif. Sulfonamid akan bereaksi
cepat dengan pompa proton dan menghambatnya secara efektif yaitu menghambat
sekresi asam sebanyak 95 % selama 24 jam. Untuk menghindari pemecahan
omeprazole dalam rongga lambung yang asam, adalah formulasi oralnya
mengandung granul selaput enterik yang tahan asam. Jadi omeprazole menghambat
sekresi asam pada tahap akhir mekanisme sekresi asam yaitu di pompa proton. Sifat
omeprazole yang lipofilik sehingga mudah menembus membran sel parietal tempat
sel dihasilkan. Omeprazole hanya aktif dalam lingkungan asam dan tidak aktif pada
pH fisiologis, sehingga tidak menghambat pompa proton di tempat lain. Hal ini
membuat omeprazole aman karen hanya menghambat pompa proton di sel parietal
lambung. Dengan menghambat produksi asam pada tahap ini, berarti omeprazole
mengontrol sekresi asam tanpa terpengaruh rangsangan lain (histamin, asetilkolin).
e. Mucosal protecting agent
Prinsip dari obat-obatan ini adalah melindungi mukosa lambung, baik secara
langsung maupun tidak. Obat yang melindungi secara langsung itu terjadi karena obat
tersebut membentuk suatu gel yang melekat erat pada mukosa lambung. Berbeda
dengan antasida, obat ini melindumgi mukosa dan dapat melekat erat di mukosa
lambung, maka obat ini harus diberikan dalam keadaan perut kosong. Contohnya
sukralfat dan bismuth. Sedangkan obat yang bekerja tidak langsung melindungi
mukosa adalah analog prostaglandin yaitu misoprostol.
f. Cytoprotective Agent (Setraksat)
Cytoprotective Agent merupakan golongan sitoprotektif karena meningkatkan
mekanisme pertahanan lambung dan duodenum. Peningkatan ketahanan mukosa ini
disebabkan oleh peningkatan mikrosirkulasi. Peningkatan aliran darah mukosa
lambung menyebabkan peningkatan produksi mukus, produksi PgE, dan perbaikan
sawar mukosa. Dengan meningkatnya mikrosirkulasi, berarti suplai glukosa, oksigen
dan zat-zat makanan semakin meningkat sehingga aktivitas dan regenerasi sel-sel
epitel mukosa semakin baik. Efek utamanya adalah meningkatkan aliran darah
mukosa lambung dan duodenum sehingga meningkatkan regenerasi epitel mukosa
dan produksi mukus dan menghambat difusi balik ion hidrogen serta konversi
pepsinogen menjadi pepsin di membran mukosa. Jadi dengan meningkatkan resistensi
mukosa, setraksat mempercepat penyembuhan ulkus peptikum dan memperpendek
lama pengobatan.
g. Site Protective Agent (Sukralfat)
Sukralfat adalah kompleks alumunium dan sukrosa. Sukralfat menjadi kental
dan lengket dalam lingkungan asam serta melekat erat ke protein di kawah ulkus.
Sukralfat melindungi ulkus dari erosi lebih lanjut dan menghambat kerja agresif
pepsin dan empedu di tempat ulkus.
h. Tripotasium Dicitrato Bimustat (Colloidal Bismuth Subcitrate)
Pada pH asam, CBS akan membentuk endapan bismut oksiklorida dan bismut
sitrat yang melekat terutama pada tempat ulkus. Obat ini mempunyai efek
membentuk barrier terhadap asam dan pepsin namun tidak mempunyai efek
menetralkan asam. In-vitro obat ini juga dilaporkan mempunyai efek bakteriostatik
terhadap kuman Helicobacter pylori. Biasanya dikombinasi dengan metronidazol dan
amoksisilin atau tetrasiklin (triple therapy).
i. Analog Prostaglandin E
Substansi ini terdapat secara alamiah dalam tubuh dan diketahui berperan di
lambung. Derivat pertama yang dipasarkan adalah Misoprostol. Misoprostol pertama
kali dipasarkan di meksiko tahun 1985. obat ini telah memsuki pasar dunia tetapi
gagal baik klinis maupun komersial, karena itu diposisikan kembali untuk pengobatan
ulkus yang disebabkan oleh penggunaan obat AINS (Anti Inflamasi Non Steroid),
kemudian untuk pencegahan ulkus pada penderita yang menggunakan AINS. Obat ini
dikembangkan untuk memperkuat pertahanan mukosa.
j. Antibiotika
Penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa ada kaitan antara kuman
Helicobacter pylori dengan gastritis kronik, ulkus duodenum dan kanker lambung.
Ada banyak antibiotika yang secara in vitro sensitif terhadap kuman ini. Tapi banyak
yang kurang berhasil karena banyak antibiotika yang tidak aktif dalam suasana asam.
Sedangkan kuman Helicobacter pylori ini hidup dalam suasana asam. Oleh karena itu,
antibiotika seperti amoksisilin harus dikombinasikan dengan obat penekan sekresi
asam lambung yang kuat. Pengobatan ideal untuk membasmi kuman ini belum
ditetapkan.
Hasil konsensus asia pasifik tahun 1997 mengeluarkan pedoman eradikasi
Helicobacter pylori dengan triple therapy yang terdiri dari:
1. PPI dosis standar 2 kali sehari
Klaritromisin 500 mg 2 kali sehari
Amoksisilin 1000 mg 2 kali sehari
2. PPI dosis standar 2 kali sehari
Klaritromisin 500 mg 2 kali sehari
Metronidazol 400 mg 2 kali sehari
Semua obat diatas diberikan selama 7 hari. Regimen ini memberikan efektifitas
sekitar 90%. Namun lebih dari 30% penderita mengalami efek samping dengan
pengobatan ini, sebagian besar berupa efek samping ringan. Suatu alternatif lain yan
diberikan selama 2 minggu (efektifitas 80%) ialah:
Omeprazole 40 mg 2 kali sehari
Amoksisilin 500 mg 4 kali sehari
k. Obat-obat Lain
Ada beberapa obat yang juga bisa dipakai untuk ulkus peptikum seperti obat
antiansietas seperti Diazepam dan Cholordiazepoxide. Dasarnya adalah untuk
mengurangi stres, sehingga mengurangi juga pembentukan asam lambung.
l. Obat prokinetik (Metoklopropamid dan Domperidone)
a. Metoklopropamid
Metoklopropamid adalah obat yang bekerja melalui susunan saraf pusat
untuk merangsang motilitas lambung. Metoklopropamid mempercepat
pengosongan lambung dan meningkatkan tekanan sfingter esofagus bawah.
Kedua sifat ini membantu mengurangi refluks (pengaliran kembali) asam
lambung ke esofagus. Indikasi utama adalah heartburn (rasa panas menusuk di
ulu hati dan dada), dispepsia dan mual/muntah selama pengobatan dengan
kemoterapi. Efek samping dihubungkan dengan efeknya terhadap susunan
saraf pusat yaitu gelisah, kelelahan, pusing dan lesu. Diare juga merupakan
masalah pada beberapa penderita dan merupakan akibat dari peningkatan
motilitas lambung.
b. Domperidone
Digunakan untuk meningkatkan motilitas saluran cerna bagian atas.
Penggunaan utama adalah mengontrol rasa mual dan muntah tanpa melihat
penyebabnya. Domperidone meningkatkan motilitas lambung dengan
menghambat reseptor dopamin di dinding lambung.
GASTREKTOMI TOTAL
Indikasi
Pada umumnya indikasi gastrektomi total adalah karsinoma infiltratif pada
seluruh gaster (linitis plastika), karsinoma pada sepertiga proksimal dan tengah
gaster, tumor polipoid yang besar pada sepertiga tengah gaster, karsinoma gaster yang
disertai poliposis atau gastritis atrofik dan karsinoma gaster pada stump gaster pasca
gastrektomi untuk ulkus gaster dan yang jarang adalah gastrinoma yang unresektabel
yang gejalanya tidak bisa diatasi.
Karsinoma gaster dengan metastasis jauh ke hepar atau kavum Douglas atau
seeding ke seluruh rongga peritoneum merupakan kontraindikasi.
Tujuannya adalah untuk (1) mendapatkan batas insisi yang bebas tumor baik
pada sisi esofageal maupun sisi duodenal, (2) membuang semua kelenjar limfe lokal
dan regional, termasuk arteri gastrika kanan dan kiri, dan arteri gastrika brevis, (3)
membuang semua omentum secara en bloc dengan gaster (4) membuang semua
jaringan limfatik pada permukaan kapsul pankreas dan kemudian (5) dilakukan
rekonstruksi Roux-en-Y dengan esofagoenterostomi atau dengan jejunal pouch (lihat
gambar 5). Mungkin dilakukan bersamaan dengan pengangkatan organ yang
berdekatan seperti limpa, korpus dan kauda pankreas, sebagian kolon transversum.
Gambar 5. Anatomi yang relevan pada reseksi karsinoma gaster. (Soybel DI. Zinner MJ. Stomach and Duodenum: Operative Procedures. In: Zinner MJ. Schwartz SI. Ellis H. Maingot’s Abdominal Operations. 10th Edition. Appleton & Lange. 1997: p.1079-280)
Persiapan Operasi
Volume darah dipersiapkan dan antibiotik diberikan bila terdapat akhlorhidria.
Jika melibatkan kolon, maka dilakukan bowel cleansing dan antibakteri yang sesuai.
Empat sampai enam unit darah disiapkan bila diperlukan transfusi. Tes faal paru
dilakukan sesuai indikasi. Pemasangan selang nasogastrik atau Levin diperlukan
untuk mengosongkan lambung sebelum operasi.
Posisi Pasien, Insisi dan Eksposur
Operator berdiri di sisi kanan penderita dan menggunakan lampu kepala.
Posisi penderita anti Trendelenburg akan sangat membantu. Eksposur yang baik
dapat dicapai melalui insisi chevron, walau insisi midline sampai xiphoid juga
memberikan eksposur yang memadai, pada orang gemuk dapat sampai
infraumbilikal. Selang nasogastrik ditempatkan pada kurvatura mayor. Retraktor
Bookwalter dapat digunakan untuk memberikan ekpsosur yang baik pada rongga
abdomen atas, dan Mickulicz pads dapat digunakan untuk menahan usus halus dan
kolon transversum ke dalam rongga abdomen bawah. Segmen lateral lobus kiri hati
ditarik ke atas dan ke kanan dengan menggunakan retraktor Richardson atau
Herrington dan di antaranya dilapisi dengan kassa besar. Dan jangan menimbulkan
tarikan pada hepar karena dapat berakibat fraktur hepar dan perdarahan (lihat gambar
6).
Gambar 6. Penggunaan retraktor Bookwalter untuk eksposur abdomen atas. (Soybel DI. Zinner MJ. Stomach and Duodenum: Operative Procedures. In: Zinner MJ. Schwartz SI. Ellis H. Maingot’s Abdominal Operations. 10th Edition. Appleton & Lange. 1997: p.1079-280)
Tehnik Operasi
Diseksi dimulai dengan memisahkan omentum dari kolon transversum (lihat
gambar 7). (2) Keseluruhan kolon transversum, termasuk fleksura hepatika dan
lienalis, dibebaskan dari omentum dan ditarik ke bawah. Omentum ditarik ke atas,
bersamaan dengan kolon transversum ditarik ke bawah, cabang-cabang vena antara
vena gastroepiploika kanan dan vena kolika media diligasi. Omentum pada kolon
transversum dan kaput pankreas didiseksi secara tajam.
Gambar 7. Reseksi karsinoma gaster. Ligamen gastrokolik dipisahkan dari kolon transversum dengan menggunakan kauter. (Dikutip dari: Soybel DI. Zinner MJ. Stomach and Duodenum: Operative Procedures. In: Zinner MJ. Schwartz SI. Ellis H. Maingot’s Abdominal Operations. 10 th Edition. Appleton & Lange. 1997: p.1079-280) (2)
Bursa omentalis kemudian dapat dimasuki sehingga dapat mengevaluasi ekstensi
tumor dan kelenjar limfe pada retroperitoneum (lihat gambar 8).
Gambar 8. Tampak bursa omentalis dapat dimasuki.. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89)
Arteri gastroepiploika kanan diidentifikasi, dapat dengan palpasi dan ditelusuri
sampai pangkalnya pada percabangan dengan arteri gastroduodenale bila
memungkinkan, kemudian diligasi dan dipotong Pangkal arteri gastrika dekstra pada
percabangannya dengan arteri hepatika komunis diidentifikasi dan diligasi dengan
silk 2-0 dan dipotong. Palpasi untuk mencari adanya nodi limfatisi pada area portal.
Jaringan lymphatic-bearing dipisahkan kearah sisi gaster. (lihat gambar 9 dan 10).
Gambar 9. Identifikasi vasa gastroepiploika kanan kemudian diligasi dan dipotong. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8 th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89) (7)
Gambar 10. Identifikasi vasa gastrika kanan kemudian diligasi dan dipotong. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8 th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89) (7)
Dengan menggunakan elektrokauter, omentum minus diinsisi didekat liver dan
didiseksi sampai kurvatura minor, dari duodenum sampai ke esofagus. Semua
pembuluh darah kecil diligasi dengan silk 3-0. diseksi sampai permukaan peritoneal
pada esofagus.
Duodenum diklem dengan darm klem pada sisi duodenum kurang lebih 3 cm distal
dari cincin pilorik dan pada sisi gaster diklem dengan klem Kocher, kemudian diinsisi
dengan skalpel atau dapat menggunakan stapler GIA atau TA-55 (lihat gambar 11
dan12).
Gambar 11. Identifikasi vasa gastrika kanan kemudian diligasi dan dipotong. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8 th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89) (7)
Gambar 12. Duodenum dipotong pada distal pylorus, dengan menggunakan stapler. Stump duodenum diperkuat dengan jahitan Lambert dengan silk 3-0. (Dikutip dari: Soybel DI. Zinner MJ. Stomach and Duodenum: Operative Procedures. In: Zinner MJ. Schwartz SI. Ellis H. Maingot’s Abdominal Operations. 10th Edition. Appleton & Lange. 1997: p.1079-280) (2)
Stump duodenum ditutup dengan jahitan bila tidak menggunakan stapler Kemudian
asisten menarik gaster ke atas dan ke anterior. Arteri gastrika sinistra dapat
diidentifikasi pada sisi posterior gaster. Pada approach ini dapat juga melihat aksis
seliakus dan cabang-cabangnya, serta dapat melihat peritoneum pada permukaan
pankreas. Jika tumor telah menginvasi struktur tersebut, maka harus diputuskan
apakah sekaligus mengangkat korpus dan kauda pankreas. Walau argumentasi untuk
tindakan yang radikal masih lemah, namun peritoneum pada permukaan pankreas
diangkat sebagai spesimen en bloc. Peritoneum pada permukaan pankreas didiseksi
secara perlahan sampai menuju ke arteri gastrika sinistra dan hilus lien. Jika tujuan
kuratif tampaknya dapat dicapai maka pengangkatan korpus dan kauda pankreas tidak
merupakan kontraindikasi.(2) Pangkal arteri gastrika sinistra diidentifikasi pada aksis
seliakus dan diligasi dengan silk 2-0 dan dipotong. (lihat gambar 13).
Gambar 13. Identifikasi vasa gastrika kiri kemudian diligasi dan dipotong. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89) (7)
Stump arteri tersebut kemudian ligasi dengan jahitan. Dari aksis seliakus, jaringan
yang mengelilingi arteri tersebut mengandung limfatik dan didiseksi sampai
kurvatura minor. Bila tumor terletak proksimal pada korpus, dan terdapat tumor
bearing node atau terdapat infiltrasi ke hilus lien, maka lien dapat diangkat sebagai
spesimen en bloc.
Melalui bursa omentalis, kauda pankreas diidentifikasi, arteri dan vena lienalis
dipisahkan dan diligasi kemudian dipotong. Pada titik ini vasa gastrika brevis tidak
dipotong karena bagian dari spesimen en bloc.
Aspek posterior dari esofagus dapat terlihat jika spesimen gaster dan lien
diangkat ke atas. Peritoneum pada permukaan pankreas dipisahkan secara tumpul
sampai batas superior pankreas, kemudian dipotong pada sisi posterior
gastroesofageal, sehingga gastroesophageal junction terekspos. Pada gambar 14
dapat dilihat gaster dapat dimobilisasi kecuali pada esofagus (lihat gambar 14).
Gambar 14. Gaster dimobilisasi dan esofagus dapat terekspos. (Dikutip dari:Zollinger RM Jr. Zollinger RM Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89) (7)
Dinding esofagus dijahitkan pada krus diafragma bilateral, demikian juga sisi anterior
dan posterior, dengan silk 4-0. Karena dinding esofagus cenderung mudah robek,
maka mukosa dan lapisan otot dijahit pada sisi insisi. Jahitan pada diafragma juga
berguna untuk mencegah rotasi pada esofagus pada saat di anastomosis dengan
jejunum (lihat gambar 15). (2,7)
Gambar 15. Esofagus dijahitkan pada krus diafragma. Pada sisi insisi lapisan mukosa dan lapisan otot dijahitkan agar tidak mudah mengalami robek. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89) (7)
Tehnik Rekonstruksi Pasca Gastrektomi Total
Rekonstruksi yang dilakukan harus mengembalikan fungsi transit intestinal
dan nutrisi yang baik. Pasase makanan dengan mudah dipertahankan dengan
esofago-jejunostomi simpel, tetapi kehilangan berat badan persisten, refluks
esofageal dan biasanya sindrom dumping yang berat dapat mempengaruhi kualitas
hidup.(3) Untuk mengatasi masalah-masalah pencegahan refluks, preservasi transit
duodenal dan khususnya membuat reservoir gastrik merupakan tujuan utama dari
rekonstruksi. Berbagai macam tehnik telah dilakukan, namun tidak ada yang lebih
memuaskan dibandingkan dengan anastomosis esofagus dengan loop jejunal Roux-
en-Y.
Rekonstruksi yang paling sering digunakan adalah: (1) esofagojejunostomi
(Roux-en-Y) baik dengan penjahitan manual maupun dengan stapler, (2) Anastomosis
ujung esofagus dengan loop jejunal ditambah dengan anastomosis side to side jejuno-
jejunal, dan (3) interposisi dengan segmen jejunum antara esofagus dan duodenum.
Esofagojejunostomi (Roux-en-Y)
Pada saat ini, metode ini merupakan prosedur yang paling sering dipakai.
Panjang jejunojejunostomi adalah 60 cm sehingga refluks biliopankreatik jarang
terjadi. Anastomosis dengan esofagus dapat secara end to end atau end to side. Loop
jejunal dapat melewati kolon transversum secara antekolik maupun retrokolik.
Anastomosis dapat dijahit secara manual maupun dengan stapler (Lihat gambar 16-
21).
Gambar 16. Mobilisasi jejunal loop. Jejunum dipotong 30 cm distal dari ligamentum treitz. Mesojejenum diterawang untuk melihat arkade pembuluh darah. Dua sampai tiga arkade pembuluh darah dipotong, dan segmen jejunum yang tidak mempunyai pembuluh darah dipotong. Kedua ujung jejunum ditutup dengan jahitan dua lapis menggunakan silk 4-0. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89)
Gambar 17. Ujung distal jejunum dilewatkan melalui lubang pada mesokolon sebelah kiri dari vasa kolika media yang telah dipersiapkan. Hati-hati jangan sampai mesojejunum terpuntir. Dinding jejunum dijahitkan pada mesokolon dan sisa rongga pada mesokolon ditutup untuk mencegah hernia interna. Stump jejunum diarahkan ke kanan, namun kebanyakan ke arah kiri. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8 th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89)
Gambar 18. Ujung distal jejunum dijahitkan pada diafragma dengan silk 2-0, berguna untuk mencegah ketegangan pada anastomosis dengan esofagus. Buat jahitan pada kedua sudut (C,D), kemudian di antara keduanya dibuat
jahitan antara serosa jejunum dan dinding esofagus. Insisi pada jejunum sambil diregangkan sehingga tidak didapatkan kelebihan mukosa bila insisinya terlalu lebar. Kemudian dilakukan anastomosis end to side dengan silk 4-0 pada seluruh ketebalan dinding. Selang nasogastrik diarahkan ke dalam jejunum, dapat diteruskan sampai tempat masuk jejunum pada mesokolon untuk mencegah angulasi jejunum. Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89)
Gambar 19. Dinding anterior esofagus dijahit dua lapis dengan silk 4-0. Kemudian peritoneum yang sebelumnya dipotong untuk mengidentifikasi dan memotong nervus vagus dan menarik esofagus ke bawah, ditarik ke bawah dan dijahitkan ke jejunum dengan silk 2-0. Kemudian mesojejunum dijahitkan pada dinding posterior, kecuali pada pankreas, untuk mencegah terjadinya angulasi yang dapat mengganggu suplai pendarahan. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89)
Gambar 20. Ujung jejunum proksimal kemudian dianastomosiskan pada lengkung jejunum distal dengan jarak kurang lebih 60 cm dari anastomosis dengan esofagus dengan silk 4-0, defek pada mesenterium dijahit untuk mencegah hernia interna. (Dikutip dari: Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8th Edition. McGraw-Hill; 2003: p.74-89)
A B
Gambar 21. Anastomosis esofagus dan jejunum end to side menggunakan instrumen EEA. A. Instrumen EEA tanpa anvil-nya dimasukkan ke dalam lumen jejunum. Jahitan purse string dilakukan pada ujung esofagus. B.C. Rod instrumen diteroboskan ke dinding anti mesenterik dari jejunum kurang lebih 6-8 cm dari ujung jejunum. Anvil dimasukkan ke dalam lumen esofagus dan purse string ditarik. Kemudian anvil disatukan dengan rod instrumen EEA dan dengan demikian terbentuklah anastomosis dengan dua baris staples. Instrumen kemudian dikeluarkan. Dan dua jaringan berbentuk cincin pada kedua ujung instrumen dievaluasi kelengkapannya dan ketebalan lapisannya. D. Ujung jejunum ditutup dengan instrumen TA. Mesojejunum kemudian dijahitkan pada mesokolon dan ujung proksimal jejunum dianastomosikan ke lengkung jejunum distal. (Dikutip dari: Etala E. Atlas of Gastrointestinal Surgery. Chapter 38. 1st edition. Williams & Wilkins. 1997.p:1425-540)
Anastomosis Esofagus End to Side dengan Loop Jejunal dengan
Jejunojejunostomi
Esofagus dianastomosiskan end to side dengan loop jejunal (anastomosis
Omega). Eferen dan aferen pada loop jejunal dengan jarak kurang lebih 60 cm dari
anastomosis dengan esofagus, dilakukan jejunojejunostomi side to side sepanjang
kurang lebih 6 – 8 cm. Jejunojejunostomi ini dibuat untuk mengalirkan sekresi
biliopankreatik sehingga mencegah regurgitasi ke esofagus (Lihat gambar 22). (3,7,9-11)
C D
A
B
C
Gambar 22. A.B. Lengkung jejunum diteroboskan ke mesokolon yang avaskular, kemudian dinding posterior jejunum dijahitkan pada diafragma. Selanjutnya sama dengan anastomosis pada gambar 18 dan 19. C. Kemudian aferen dan eferen lengkung jejunal dianastomosiskan sepanjang kurang lebih 6-8 cm dengan jarak kurang lebih 60 cm dari anastomosis dengan esofagus (anastomosis jejujojejunal Braun). (Dikutip dari: Etala E. Atlas of Gastrointestinal Surgery. Chapter 38. 1st edition. Williams & Wilkins. 1997.p:1425-540)
Interposisi dengan Loop Jejunal antara Esofagus dan DuodenumTehnik ini diperkenalkan oleh Henley, Longmire, dan Beal. Lengkung jejunum isoperistaltik sepanjang kurang lebih 40 cm
diinterposisikan antara esofagus dan duodenum (lihat gambar 23).
Gambar 23. A. Garis putus-putus menunjukkan mesojejunum yang akan dipotong. Panjang segmen jejunum paling sedikit 35 cm. Area avaskular pada mesokolon merupakan tempat masuknya segmen jejunum. B. Segmen jejunum dibawa ke atas melalui mesokolon. Jejunum kemudian dijahitkan pada diafragma. Anastomosis dengan esofagus end to side dengan dua lapis jahitan dan dengan duodenum end to end. Mesojejunum dijahitkan pada dinding posterior dan mesokolon agar vaskularisasi tidak terpuntir dan mencegah hernia interna. C. Peritoneum dijahitkan pada dinding jejunum. (Dikutip dari: Etala E. Atlas of Gastrointestinal Surgery. Chapter 38. 1st edition. Williams & Wilkins. 1997.p:1425-540)
PERAWATAN PASCA OPERASI
Penyedotan yang terus menerus melalui selang nasojejunal yang telah
dimasukkan harus terus dilakukan. Selama masa ini, kebutuhan kalori dipenuhi
melalui parenteral dan suplemen vitamin melalui intravena. Mobilisasi jalan segera
dilakukan setelah hari pertama operasi, dan peningkatan aktivitas secara berkala.
Peristaltik usus dapat dirangsang dengan memasukkan minyak mineral sebanyak 30
mL melalui selang nasojejunal, dan bila peristaltik usus timbul maka penyedotan
melalui selang nasojejunal tidak diperlukan lagi.
Pemberian nutrisi rendah lemak dan karbohidrat diberikan perlahan-lahan
untuk mencegah diare. Biasanya, 30 – 60 mL skim milk dapat ditoleransi. Pemberian
nutrisi peroral hanya diberikan bila tidak terdapat kebocoran pada anastomosis.
Untuk memastikannya dapat dilakukan fluoroskopi dengan kontras larut air.
A CB
Suplemen B12 perlu diberikan setiap bulan, begitu juga zat besi dan vitamin-vitamin
lainnya.
Pemasukkan kalori disarankan untuk dievaluasi setiap 6 – 12 bulan. Bila
terjadi stenosis pada anastomosis dapat dilakukan dilatasi. (7,10)
KOMPLIKASI PASCA OPERASI
Problem Pernafasan
Komplikasi yang paling sering adalah atelektasis. Analgesik yang adekuat,
spirometri insentif, dan mobilisasi dini dapat mengurangi masalah ini. Pneumonia
dapat terjadi namun jarang dan merupakan komplikasi yang menakutkan. Faktor
predisposisi adalah atelektasis, muntah dan penyakit paru yang telah ada. Emboli
paru jarang terjadi dan dipertimbangkan bila terdapat gerakan pernafasan pendek,
cepat dan tiba-tiba atau nyeri dada.
Kebocoran
Kebocoran pada jahitan merupakan komplikasi yang fatal. Masalah ini
biasanya terjadi pada hari ke-5 atau ke-6 pasca operasi dan ditandai dengan nyeri
abdominal, demam, distensi dan lekositosis. Penemuan ini ditindaklanjuti secepatnya
dengan membuat diagnostik yang diperlukan seperti CT scan dengan kontras atau
foto Upper GI. Walaupun kebocoran kecil dapat diatasi dengan pemasangan drain,
namun re-operasi masih lebih menguntungkan. (5,12,13)
Pankreatitis
Pankreatitis pada umumnya terjadi setelah operasi gastroduodenal, hal ini
diakibatkan oleh trauma, baik tumpul maupun penetrasi, pada kelenjarnya atau pada
papilla mayor atau minor. Penatalaksanaannya biasanya nonoperative kecuali bila
terjadi pankreatitis nekrotikans atau fistula pankreatika yang persisten. Tidak jarang
terjadi kebocoran pada stump duodenum yang disalahartikan sebagai pankreatitis. (5,12,13)
Problem Luka
Infeksi pada luka operasi, dehisensi dan herniasi dapat terjadi setelah operasi
besar pada gaster. Infeksi luka terjadi akibat kontaminasi intraoperatif, yang terjadi
dalam keadaan supresi asam lambung, kanker gaster dan obstruksi. Penyakit paru,
distensi abdomen, kegemukan, infeksi, malnutrisi dan terapi steroid menyebabkan
kegagalan luka.
Komplikasi Ulkus Peptikum
Ulkus yang telah berlangsung lama akan menimbulkan komplikasi dan harus
segera dilakukan tindakan pembedahan. Komplikasi ulkus peptikum harus
ditanamkan dalam pikiran kita, beberapa di antaranya:
1. Intraktibilitas
Komplikasi ulkus peptikum yang paling sering adalah intraktibilitas, yang
berarti bahwa terapi medic telah gagal mengatasi gejala-gejala secar adekuat.
Penderita dapat terganggu tidurnya oleh nyeri, kehilangan waktu untuk
bekerja, sering memerlukan perawatan di rumah sakit, atau hanya tidak
mampu mengikuti cara pengobatan.
2. Perforasi
Kira-kira 5% dari semua ulkus akan mengalami perforasi, dan komplikasi ini
bertanggung jawab atas sekitar 65% kematian akibat ulkus peptikum. Tukak
biasanya pada dinding anterior duodenum atau lambung, karena daerah ini
hanya diliputi oleh peritoneum.
3. Obstruksi
Obstruksi pintu keluar lambung akibat peradangan dan edema, pilorospasme,
atau jaringan parut, terjadi pada sekitar 5% dari penderita ulkus
peptikum.Obstruksi lebih sering timbul pada penderita ulkus duodenum, tetapi
kadang-kadang terjadi bila tukak lambung terletak dekat dengan sfingter
pylorus.
4. Perdarahan
Perdarahan merupakan komplikasi ulkus peptikum yang sangat sering terjadi,
setidaknya ditemukan pada 25% kasus selama perjalanan penyakit. Tempat
yang paling sering mengalami perdarahan adalah dinding posterior bulbus
duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi erosi arteria
pankreatikoduodenalis atau arteria gastroduodenalis.
5. Keganasan
Untuk menegakkan adanya suatu keganasan diperlukan pemeriksaan biopsy
sitologi jaringan.
DAFTAR PUSTAKA
Sabatine, Marc S. “Gastrointestinal Bleeding”. Pocket Medicine: The Massachusetts General Hospital Handbook of Internal Medicine. Fourth Edition. Wolters Kluwer Health and Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2011. Section: GIB 3 – 3.
Shuhart, Margaret, M.D., Kris Kowdley, M.D., dan Bill Neighbor, M.D.,
“Gastrointestinal Bleeding”. Medline Article, Vol.41,
http://www.uwgi.org/guidelines/ch_07/ch07txt.htm
Gastrectomy. In: Etala E. Atlas of Gastrointestinal Surgery. 1st ed. Williams &
Wilkins; 1997:1173-1236
Soybel DI. Zinner MJ. Stomach and Duodenum: Operative Procedures. In: Zinner
MJ. Schwartz SI. Ellis H. Maingot’s Abdominal Operations. 10th ed. Appleton &
Lange;1997:1079-280.
Lehnert T. Buhl K. Techniques of reconstruction after total gastrectomy for cancer.
Br J Surg 2004;91:528-539. Available from: www.highwire.com
Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Students. 3rd ed. Little Brown Comp;1986:
217-318
Dempsey DT. Stomach. In: Brunicardi FC. Andersen DK. Billiar TR. Dunn DL.
Hunter JG. Pollock RE. (ed) Schwartz’s Principles of Surgery. 8th.
McGrawHill;2005:933-995
Surgical Anatomy of the Stomach and Duodenum. In: Etala E. Atlas of
Gastrointestinal Surgery. 1st ed. Williams & Wilkins; 1997:859-898
Zollinger RM. Jr. Zollinger RM. Sr. Zollinger’s Atlas of Surgical Operations. 8th
Edition. McGraw-Hill; 2003:74-89
Mehta VK. Fisher GF. Gastric Carcinoma. 2004. Available from:
www.Emedicine.com
Surgical Treatment of Cancer of the Stomach. In: Etala E. Atlas of Gastrointestinal
Surgery. 1st ed. Williams & Wilkins; 1997:1425-1540
Liedman B. Andersson H. Berglund B. Bosnens I. Hugosson I. Olbe L. Lundell L.
Food Intake after Gastrectomy for Gastric Carcinoma: The Role of a Gastric
Reservoir. Br J Surg 1996;83:1138-1143. Available from: www.highwire.com
Kalmar K. Nemeth J. Klemen A. Horvoth OP. Postprandial Gastrointestinal Hormone
Production Is Different, Depending on the Type of Reconstruction Following Total
Gastrectomy. An Srug 2006;243:465-471. Available from: www.highwire.com
Grabowski MW. Dempsey DT. Concepts in Surgery of the Stomach and Duodenum.
In: Scott-Conner CEH. (ed) Chassin’s Operative Strategy in General Surgery. 3 rd ed.
Springer; 2002:225-33
Kirk RM. Stoddard CJ.(ed) Complications of Surgery of the Upper Gastrointestinal
Tract. 1st ed. Bailliere Tindall; 1986:245-254
Kauehiro H. Yanada Y. Ko S. Nakajima Y. Analaysis of Risk Factors for the
Development of Gallstones after Gastrectomy. Br J Surg 2005;92:1399-1453.
Available from: www.highwire.com
Shuster MH. Jorge V. Nutritional Concerns Related to Roux-en-Y Gastric Bypass:
What Every Clinician Needs to Know. CCNQ 2005;28:227-260. Available from:
www.CCNQ.com