Case Dr Supris CKD
-
Upload
eva-natalia-manullang -
Category
Documents
-
view
42 -
download
4
Transcript of Case Dr Supris CKD
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Dalam di RSUD Karawang.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Supris
Yurit E.P, MSc, Sp.PD yang telah membimbing penulis dalam mengerjakan laporan
kasus ini, serta kepada seluruh dokter yang telah membimbing penulis selama di
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Karawang. Tak lupa juga ucapan
terima kasih penulis haturkan kepada teman-teman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta
kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penulis.
Dengan penuh kesadaran dari penulis, meskipun telah berupaya semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan laporan kasus ini, namun masih terdapat kelemahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat berguna dan
memberikan manfaat bagi kita semua.
Karawang, Desember 2013
Sitti Monica Astrilia Ambon
1
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas
Nama : Ny. R
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kp, Ciwadas, Klari RT 16 RW 04, Karawang
Agama : Islam
Suku : Sunda
Status : Menikah
Pendidikan : SD
Tanggal masuk RS : 22 Desember 2013
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 23 Desember 2013 di
bangsal Rengasdengklok.
a. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
b. Keluhan Tambahan
Batuk, mual, lemas, nafsu makan menurun dan kedua kaki bengkak.
2
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Os datang ke IGD RSUD karawang pada tanggal 22 Desember 2013 dengan
keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS. Sesak dirasakan terus menerus dan
semakin lama semakin terasa berat. Sesak diperberat apabila os melakukan
gerakan seperti berjalan, walaupun hanya ke kamar mandi dan berkurang bila os
beristirahat. Sesak juga diperberat dengan posisi berbaring, dan berkurang
apabila os duduk. Os juga mengeluh batuk yang berdahak putih dan kedua kaki
yang bengkak sejak 1 hari SMRS juga. Mual juga dirasakan oleh pasien namun
tidak muntah. Os mengaku lemas dan nafsu makannya pun turun BAK diakui
lancar, berwarna kuning jernih. BAB normal, tidak ada diare maupun
konstipasi. Os habis dirawat 4 hari SMRS di bangsal rengasdengklok dengan
diagnosis gagal ginjal dan dilakukan hemodialisa untuk yang ke dua kalinya.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Os memiliki riwayat gagal ginjal yang didiagnosis sejak 3 bulan SMRS, namun
pada awalnya os menolak untuk dilakukan hemodialisa. Os mempunyai riwayat
hipertensi sejak 3 tahun yang lalu yang diakui os tidak terkontrol. Adanya
riwayat DM, penyakit jantung, dan asma disangkal.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang pernah mengalami penyakit yang sama dengan os.
Riwayat darah tinggi dan penyakit jantung dalam keluarga juga disangkal.
Riwayat DM (+), ayah os menderita DM.
f. Riwayat Kebiasaan
Os tidak merokok, tidak mengkonsumsi alcohol, tidak punya kebiasaan
mengkonsumsi minuman berenergi maupun jamu-jamu tradisional.
3
III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 23 Desember 2013. Hasilnya adalah
sebagai berikut :
I. Keadaan Umum
a. Kesan sakit : TSS
b. Kesadaran : Compos mentis
c. BB : 54 kg
II. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 190/120 mmHg
b. Frek. Nadi : 142 x/ m
c. Frek. Nafas : 36 x/ m
d. Suhu : 37,4 °C
III. Kepala :
Normocephali, rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
IV. Mata :
Konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik (-/-).
V. Telinga :
Bentuk normal, NT auricular (-/-), secret (-/-).
VI. Hidung :
Bentuk normal, septum deviasi (-), secret (-), pernafasan cuping hidung (-).
VII. Mulut :
Bibir tampak kering dan pucat, mukosa mulut pucat (+).
VIII. Leher :
KGB dan tiroid tidak teraba membesar.
IX. Thorax
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V 1 cm medial LMCS
Perkusi : Batas kanan : ICS III- V LSD
Batas kiri : ICS V 1LAAS
4
Batas atas : ICS III LPSS
Auskultasi : BJ I & II regular, murmur dan gallop sulit dinilai.
Pulmo :
Inspeksi : Gerak dinding dada simetris saat bernafas, retraksi sela
iga (+/+).
Palpasi : Vocal fremitus teraba sama pada kedua hemithorax.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronki basah kasar (+/+),
Wheezing (+/+).
X. Abdomen
Inspeksi : buncit, sagging of the flank (+), smiling umbilicus (+),
tidak tampak efloresensi yang bermakna.
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), lien dan hepar tidak
dapat dinilai.
Perkusi : Shifting dullness (+)
Auskultasi : Bising usus (+) namun menurun.
XI. Ekstermitas
Pitting Oedem
_ _
+ +
akral hangat
+ +
+ +
5
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah :
22 Desember 2013
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Hemoglobin 6,4 g/dL 12 – 16
Eritrosit 2,11 jt/uL 3,6 jt – 5, 8 jt
Leukosit 10.160/uL 3800 – 10600 normal
Trombosit 269.000/uL 150.000 – 450.000 normal
Hematokrit 21,3 % 35 - 45
Gula darah
sewaktu
92 mg/dL <140 normal
Ureum 152,5 mg/dL 15 – 50
Creatinin 12,26 mg/dL 0,5 - 0,9
V. Diagnosis Kerja
Pada kasus ini diagnosis kerjanya adalah Penyakit Ginjal Kronik (CKD) stage V et
causa Hipertensi.
VI. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus ini adalah :
Congestive Heart Failure ec HHD
6
VII. Penatalaksanaan
Terapi yang diberikan di IGD maupun di ruang rawat adalah :
Oksigen kanul 2 liter/m
Infus D 5 % 20 tpm
Transfusi PRC 1 kantong
Renxamin 1 fl/hari
Ranitidin 2 x 1 amp
Ondansentron 2 x 1 amp
tab CaCO3 3 x 1
tab asam folat 3 x 1
Lasix 2 x 1 amp
Bicnat 3 x 1
Amlodipin 1 x 10 mg
PRO HD CITO terdaftar untuk tanggal 25 Desember 2013
VIII. Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : ad malam
IX. Follow Up
24 Desember 2013
S : sesak nafas (+), lemas (+), tidak bisa tidur, batuk (+) berdahak, sudah transfusi
darah 1 kolf.
7
O :
TD 160/100 mmHg S 37,6˚C
N 80 x/menit RR 30 x/menit
CA +/+, thorax : pulmo Suara nafas vesikuler (+/+), ronki basah kasar (+/+), Wheezing (+/+).
Pitting oedem
_ _
+ +
A : Penyakit Ginjal Kronik (CKD) stage V et causa Hipertensi.
P :
Oksigen kanul 2 liter/m
Infus D 5 % 20 tpm
Renxamin 1 fl/hari
Ranitidin 2 x 1 amp
Ondansentron 2 x 1 amp
tab CaCO3 3 x 1
tab asam folat 3 x 1
Lasix 2 x 1 amp
Bicnat 3 x 1
Amlodipin 1 x 10 mg
PRO HD CITO terdaftar untuk tanggal 25 Desember 2013
25 Desember 2013
S : Post HD (ke 3x), pusing (+), sesak nafas (+) namun berkurang.
8
O :
TD 220/140 mmHg S 37,4˚C
N 120 x/menit RR 28 x/menit
CA +/+ minimal, thorax : pulmo Suara nafas vesikuler (+/+), ronki basah kasar (+/+), Wheezing (-/-).
Pitting oedem
_ _
+ +
Laboratorium tanggal 25 Desember 2013 (post HD) :
A
:
Penyakit Ginjal Kronik (CKD) stage V et causa Hipertensi.
P :
Infus D 5 % 20 tpm
Renxamin 1 fl/hari
Ranitidin 2 x 1 amp
Ondansentron 2 x 1 amp
tab CaCO3 3 x 1
tab asam folat 3 x 1
Lasix 2 x 1 amp
Bicnat 3 x 1
Amlodipin 1 x 10 mg
26 Desember 2013
9
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan
Ureum 131,6 mg/dL 15-50
Kreatinin 8,18 mg/dL 0,50-0,90
S : Sesak (-), pusing (+), nyeri otot (+), kedua kaki masih bengkak, batuk dahak
putih, sudah transfusi PRC 1 kolf lagi sudah 2 kolf masuk.
O :
TD 160/90 mmHg S 36,7˚C
N 90x/menit RR 18 x/menit
CA +/+ minimal, thorax : pulmo Suara nafas vesikuler (+/+), ronki basah kasar (+/+), Wheezing (-/-).
Pitting oedem
_ _
+ +
A : Penyakit Ginjal Kronik (CKD) stage V et causa Hipertensi.
P :
Infus D 5 % 20 tpm
Renxamin 1 fl/hari
Ranitidin 2 x 1 amp
Ondansentron 2 x 1 amp
tab CaCO3 3 x 1
tab asam folat 3 x 1
Lasix 2 x 1 amp
Bicnat 3 x 1
Amlodipin 1 x 10 mg
27 Desember 2013
S : Lemas (+), kurang tidur, sesak nafas (-), sudah mendapat 2 transfusi PRC 2 kolf.
O :
10
TD 160/120 mmHg S 37,4˚C
N 84x/menit RR 20 x/menit
CA +/+ minimal, thorax : pulmo Suara nafas vesikuler (+/+), ronki basah halus (+/+), Wheezing (-/-).
Pitting oedem
_ _
+ +
A : Penyakit Ginjal Kronik (CKD) stage V et causa Hipertensi.
P :
Rawat Jalan
Tab Ranitidin 2 x 1 amp
Tab Ondansentron 2 x 1 amp
Tab CaCO3 3 x 1
Tab asam folat 3 x 1
Tab furosemid 2 x 1
Tab Bicnat 3 x 1
Tab Amlodipin 1 x 10 mg
BAB II
ANALISA KASUS
11
Seorang wanita usia 42 tahun di rawat di RSUD Karawang dengan diagnosis kerja
CKD stage 5 ec Hipertensi. Berdasarkan keluhan pasien yaitu sesak nafas yang
dirasakan 1 hari SMRS dan dirasakan semakin memberat sehingga pasien datang ke
IGD RSUD Karawang. Selain itu juga didaptkan oedem pada kedua tungkai dan
asites. Keluhan lain seperti halnya didapatkan pada penderita CKD stage 5 juga
pasien keluhkan seperti batuk berdahak putih, lemas, demam, mual, dan nafsu
makan menurun. Pasien telah didiagnosis menderita CKD stage 5 sekitar 3 bulan
yang lalu, namun baru menjalani program HD 3 kali, hal ini dikarenakan psikologis
pasien yang takut akan HD. Pasien memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol
sejak 3 tahun yang lalu. Pada pasien didapatkan nilai LFG 5 ml/menit/1,73m2.
Sesuai dengan definisinya yaitu kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari atau
sama dengan 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal
seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal
kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2.
Daftar masalah pada pasien :
1. Dyspnoe
Sesak nafas merupakan keluhan yang terjadi pada keadaan patologis yang
bisa berasal dari paru, jantung, ginjal dan anemia. Pada pasien ini onset sesak
akut yang kemungkinan bisa disebabkan karena terakumulasinya cairan di
paru yang diakibatkan oleh kerusakan ginjal pada pasien atau bisa juga
karena riwayat hipertensi yang menyebabkan HHD sehingga terjadi kongesti
cairan paru dan pleura. Serta anemia yang dialami pasien juga memperberat
sesak yang dialami.
2. Edema Tungkai
Edema terjadi pada kondisi dimana tekanan hidrostatik kapiler meningkat,
peningkatan permeabilitas kapiler, peningkatan tekanan osmotik interstisial,
atau penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal mempunyai peran sentral
dalam mempertahankan homeostasis. Cairan memalui kontrol ekskresi
natrium dan air. Penurunan aliran darah ke ginjal akan akan di kompensasi
12
dengan menahan natrium dan air melalui mekanisme peningkatan reabsorpi
garam dan air di tubulus proksimal dan ubulus distal. Cairan yang teretensi di
dalam ttubuh ini akan menyebabkan edema terutama pada tungkai karena
pengaruh gravitasi.
3. Sindrom Dispepsia
Peningkatan ureum dalam darah dapat menimbulkan gejala seperti lemah,
letargi, anoreksia, mual, dan muntah.
4. Anemia
Pada pasien di dapatkan Hb 6.4 g/dl (22/12/2013). Berdasarkan anamnesis
dan PF tidak didaptkan bukti terjadinya perdarahan. Kemungkinan anemia
pada pasien bisa di sebabkan oleh penyakit ginjal nya sendiri. Pada CKD
produksi eritropoetin tidak adekuat oleh ginjal yang menyebabkan kadar Hb
menurun.
5. Hipertensi Grade II
Hipertensi merupakan faktor risiko yang menyebabkan gagal ginjal kronik,
hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan tekanan
glomerular yang mengakibatkan reduksi jumlah nefron, yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan sel glomerular sehingga terjadi perubahan
permeabilitas kapiler. Selanjutnya yang terjadi adalah hiperfiltrasi
glomerular. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron
secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi
“kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh
penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif.
13
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Penyakit ginjal kronik (CKD) adalah setiap kerusakan ginjal ( kidney damage ) atau
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR/Glomerular Filtration Rate) <60
ml/menit/1,73m2 untuk jangka waktu ≥ 3 bulan. Kerusakan ginjal adalah setiap kelainan
patologis, atau pertanda kerusakan ginjal termasuk kelaianan dalam darah atau urin atau
studi pencitraan.1
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat
atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault : 1,2
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik:
1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan stuktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju fitrasi glomerolus (LFG), dengan
manifestasi:
- Kelainan patologis
-Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelaian dalam tes pencitraan
2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2, selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.
15
Etiologi
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140−umur ) x Berat Badan
72 x Kreatinin Plasma(mgdL
)*)
* pada perempuan dikalikan 0,85
16
Tabel Klasifikasi CKD atas dasar derajat penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan
LFG normal atau
≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan
LFG turun ringan
60-89
3 Kerusakan ginjal dengan
LFG turun sedang
30-59
4 Kerusakan ginjal dengan
LFG turun berat
15-29
5 Gagal Ginjal < 15 (atau dialisis)Tabel Klasifikasi CKD atas dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal Diabetes
Penyakit ginjal non diabetes
Penyakit pada transplantasi
Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit Glomerular (Penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia)
Penyakit vascular ( penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial ( pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit Kistik ( ginjal polikistik)
Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit reccurent (glomerular)
Transplant glomerulopathy
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR)
pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).2
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana
mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular
yang dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau
endotelium kapiler. Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri
punggung dan hematuria, lalu juga oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya
mikroskop, Langhans kemudian mampu menggambarkan perubahan
pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli berfokus pada pasien
pasca-streptococcus. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai serangan yang
tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah merah.
Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal
terganggu. 3
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multipel, atau amiloidosis.
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada
pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi
hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak
napas, dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.
b. Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.
17
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya
sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga
pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih
banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun.
Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik,
dan mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin
menyebabkan munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya
tanda awal penyakit ginjal diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan
tubulointerstitial glomerular yang pada akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis
diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria dan komplikasi diabetes lainnya
mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein urin mencerminkan
gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk mata,
jantung, dan sistem saraf . 2,3
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan
penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau
hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi
sekunder atau disebut juga hipertensi renal.4
18
Tabel. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta
terapi obat berdasarkan Joint National Committee (JNC) VII
d. Ginjal PolikistikKista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista
19
kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh
karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit.
Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan.
Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult
polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia
di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak
kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah
penyakit ginjal polikistik dewasa.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan 100 juta
kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya.
Di Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara
berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per
tahun.5
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000:
1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya
pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih
Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi
20
adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis
nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron
yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensinaldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka
panjang aksis renin- angiotensinaldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor
seperti transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap
terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di
bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran
kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien
dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.5
Gambaran Klinik
21
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna,
mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.
a. Hemopoeisis
Anemia normokrom normositer sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik.
Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi
eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi
besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit
< 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron,
kapasitas ikatbesi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari
sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan
sebagainya.
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati,
berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia,
dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/dL.
b. Kelainan Mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat
pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf
mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina
(retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai
pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
22
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
c. Kelainan Kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera
hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak
jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
d. Kelainan Neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti
konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada
pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien
dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
e. Kelainan Kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi
sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.
Diagnosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus. .5
a. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit
termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik
(keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai
spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat
23
penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
i) Sesuai dengan penyakit yang mendasari;
ii) Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
iii) Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, chlorida).
b. Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya,
seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, dan
silinder.
c. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:
1. Foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak.
2. Pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk
oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
3. Pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi.
4. Ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi.
5. Pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
24
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit.
a. Peranan Diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan Jumlah Kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan Cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan Elektrolit dan Mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
2. Terapi Simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg
IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga
kali dalam seminggu. Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan
salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
25
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran
hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan
antiproteinuria.
f. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi Pengganti Ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada
26
pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).
Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak
responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood
Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m2, mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co- mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di
daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal
Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau stadium
V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi,
dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal
stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang
menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%),
infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Ketut S. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S,
editor. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. p.570-3.
2. Chronic Kidney Disease. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview. Accessed on 24th,
December 2013.
3. Glomerulonefritis. Available at : http://emedicine.medscape. com/article/777272-
overview. Accessed on 22nd, Agustus 2010.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,
Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p.168-70.
5. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. p.294-97.
28
29