Case Dbd Fara
description
Transcript of Case Dbd Fara
LAPORAN PRESENTASI KASUS KOASS ANAK
DEMAM BERDARAH DENGUE
Pembimbing :
Dr. Ellen Rostati S, Sp.A
Disusun oleh :
Akmal nugraha ( 1102009018)
Annisa abadia ( 1102010026 )
Adib wahyudi (1102010005)
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
A. Identitas Pasien
Nama : An. ADR
Umur : 6 Tahun
BB/TB : 24 kg/118 cm
Jenis Kelamin : perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jln. Cipayung no 32 RT 07 RW 01 kel cipayung
Masuk RS : 15 Januari 2015
Tgl.Pemeriksaan : 17 Januari 2015
No. RM : 2014-604346
B. Identitas Orang Tua
Ayah Ibu
Nama : Tn. P Ny. H
Agama : ISLAM ISLAM
Pekerjaan : Karyawan Swasta ibu rumah tangga
Hub. dengan orang tua : Anak kandung
1
II. ANAMNESIS
Alloanamnesa dengan orang tua pasien
A. Keluhan utama
Demam sejak 3 hari SMRS
B. Keluhan tambahan
Terdapat keluhan muntah, nafsu makan berkurang
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan demam sejak 3 hari SMRS,
demam naik turun, demam tinggi pada malam hari sebelumnya pasien berobat di klinik tapi
tidak ada perubahan. Pasien muntah sebanyak 1 kali seperti muntahan makanan berwarna
putih, nafsu makan pasien berkurang. BAB dalam batas normal tidak berwarna hitam, BAK
dalam batas normal. Anak mengeluhkan nyeri kepala(+), nyeri sendi(-), dan nyeri otot (-),
anak tampak lemah (+), menggigil(-), kejang (-), selain itu batuk (-), flu(-), mual(-), mimisan
(-), gusi mudah berdarah(-), ruam merah pada muka(-), tampak pucat(-), keluar bintik merah
(-), sesak nafas(-), nyeri perut(-), riwayat tetangga teman dan saudara di rawat di RS karena
sakit demam berdarah (-)
2
D. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteri - Penyakit
Jantung
-
Cacingan - Diare - Penyakit
Ginjal
-
Demam
berdarah
- Kejang - Penyakit
Darah
-
Demam
Typhoid
- Kecelakaan - Radang Paru -
Otitis - Morbili - Tuberkulosis -
E. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
F. Riwayat kehamilan dan kelahiran
Riwayat Antenatal :
Ibu rajin memeriksakan kehamilan ke bidan Puskesmas sesuai dengan jadwal
pemeriksaan.
Riwayat Natal :
Spontan/tidak spontan : Spontan
3
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Berat badan lahir : 3400 gram
Panjang badan lahir : Ibu tidak tahu
Lingkar kepala : Ibu tidak tahu
Penolong : Bidan
Tempat : puskesmas
Riwayat Neonatal :
Setelah lahir pasien langsung menangis, kulit kemerahan, gerak aktif.
G. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap : 6 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Duduk : 8 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : 9 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 12 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Bicara : 12 bulan (Normal: 12-18 bulan)
H. Riwayat imunisasi dasar
Imunisasi dilakukan di Puskesmas
Lahir : Hepatitis B (HB) 0
1 Bulan : BCG, Polio 1
2 Bulan : DPT/HB 1, Polio 2
3 Bulan : DPT/HB 2, Polio 3
4 Bulan : DPT/HB 3, Polio 4
9 Bulan : Campak
I.Riwayat riwayat sosial ekonomi dan lingkungan
4
Penghasilan orang tua mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Sumber air di
dalam rumah cukup memadai dan air bersih. Lingkungan rumah bersih, ada jarak
antara rumah dengan rumah tetangga. Di lingkungan rumah tidak ada yang sakit
seperti ini.
J. Riwayat makan
Pasien mendapatkan ASI sejak lahir sampai usia 2 tahun. Saat usia 1 tahun
pasien mulai makan bubur bayi sampai usia 1,5 tahun. Pada usia 1,5-2 tahun pasien
makan nasi tim. Usia 2 tahun sampai sekarang pasien makan nasi biasa, dengan
frekuensi 3 kali sehari. Namun pasien suka makan jajanan yang dijual di pinggir jalan.
III.PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 116 x/menit
Frekuensi napas : 28 x/menit
Suhu : 37,4 0C
Status Generalis
Kepala : Normocephali, rambut hitam merata, tidak mudah dicabut
Mata : Palpebra edema -/-, Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Telinga : Bentuk normal, sekret (-)
5
Hidung : Bentuk normal, nafas cuping hidung (-), sekret (-), septum
deviasi (-)
Mulut : gusi tidak meradang, tidak merah dan bengkak (-)
Bibir : Bibir kering dan pecah- pecah (-), sianosis (-)
Lidah : Bercak- bercak putih pada lidah (-), tremor (-)
Tenggorokan : Tonsil T1- T1 tenang, faring hiperemis (-)
Leher :Trakea terletak ditengah, KGB tidak membesar, kel. tiroid
tidak teraba membesar
Toraks
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra
ICS 5
Perkusi : Batas pinggang jantung linea parastrenalis sinistra ICS 3
Batas jantung kanan linea parasternalis dekstra ICS 4
Batas jantung kiri linea mid clavicula sinistra ICS 5
Auskultasi : Bunyi jantung 1& 2 normal reguler, murmur (-) gallop (-)
Paru
Inspeksi : Bentuk dada normal, pernapasan simetris dalam keadaan statis
dan dinamis, retraksi sela iga (-)
Palpasi : fremitus vokal dan taktil simetris dalam statis dan dinamis
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen
Inspeksi : Abdomen datar
6
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar, undulasi (-)
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : Edema
Extremitas : Akral hangat, edema pada ekstremitas atas dan bawah (-)
Kulit : Pucat (-),cyanosis (-), Ptekie (+) skin rash (-)
STATUS GIZI
Antropometris:
Berat Badan (BB) : 24 kg (<P50-75 CDC 2000)
Tinggi/Panjang Badan(TB/PB) : 118 cm (>P50-75 CDC 2000)
BB/TB : 24/22 x 100% = 109%
BB/U : 24/ 20 x 100% = 120%
TB/U : 118/115 x 100% = 102%
Simpulan status gizi : baik
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
pemeriksaan 15-
01-
15
16-
01-
15
17-
01-
15
18-
01-
15
19-
01-
15
20-
01-
15
21-
01-
15
22-
01-
15
Nilai
normal
hemoglobin 10,7 10,
6
10,1 10,3 11,8 10,
8
11,0 10,7 11,7-
15,5
Hematokrit 35 32 32 32 38 34 34 34 32-47
leukosit 7,87 4,0
4
2,40 2,65 3,24 3,8
2
4,79 4,2 3,60-
11,00
eritrosit 4,2 4,2 4,0 4,0 4,7 4,2 4,3 4,80 3,8-5,2
7
trombosit 127 105 67 39 27 27 20 89 150-
440
V. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan demam 3 hari.
Keluhan disertai dengan muntah, kepala pusing serta penurunan nafsu makan
Pasien belum pernah dirawat dengan diagnosis demam berdarah dengue
Pada pemeriksaan fisik tanggal 17/01/15 pasien sudah mengalami perbaikan. Tanda
vital dalam batas normal. Sudah tidak ada muntah, kepala pusing serta nafsu makan
sudah baik
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya penurunan jumlah trombosit
VI. DIAGNOSA KERJA
Demam berdarah dengue grade I
VII. DIAGNOSA BANDING
Demam dengue
VIII.PEMERIKSAAN ANJURAN
Darah lengkap
IX. PENATALAKSANAAN
Infus RA 120cc/jam
Injeksi sanmol 4x500mg
X. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungtionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
8
XI. FOLLOW UP
Tanggal 15-1-2015
S
Demam (+)
Pusing (-)
Sesak (-)
Muntah (+)
Makan (-)
Minum (-)
BAB (+)
BAK (+)
O
TD
(mmHg)
100/70
Nadi
(x/mnt)
124
RR
(x/mnt)
32
T (oC) 39
Status
Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Ca -/- , Si -/- Edema Palpebra -/-
Leher : tidak ada perbesaran KGB
Thorak : pulmo : ves +/+, rh -/-. wh -/-
Cor : bj I-II regular, g - , m –
9
Abdomen : supel, nt -, bu +
Ekstremitas : akral hangat +, edema -
A Demam berdarah dengue
P
Infus RA 120cc/jam
Sanmol Injeksi 4x250mg
Tanggal 16-1-2015
S
Demam (-)
Pusing (+)
Sesak (-)
Muntah (-)
Makan (-)
Minum (-)
BAB (-)
BAK (+)
O
TD
(mmHg)
100/70
Nadi
(x/mnt)
116
RR
(x/mnt)
28
10
T (oC) 37,4
Status
Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Ca -/- , Si -/- Edema Palpebra -/-
Leher : tidak ada perbesaran KGB
Thorak : pulmo : ves +/+, rh -/-. wh -/-
Cor : bj I-II regular, g - , m –
Abdomen : supel, nt -, bu +
Ekstremitas : akral hangat +, edema -
A Demam berdarah dengue
P
Infus RA 120cc/jam
Sanmol Injeksi 4x250mg
Tanggal 17-1-2015
S
Demam (-)
Pusing (-)
Sesak (-)
Muntah (-)
Makan (-)
Minum (-)
BAB (-)
BAK (+)
11
O
TD
(mmHg)
100/70
Nadi
(x/mnt)
108
RR
(x/mnt)
24
T (oC) 37
Status
Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Ca -/- , Si -/- Edema Palpebra -/-
Leher : tidak ada perbesaran KGB
Thorak : pulmo : ves +/+, rh -/-. wh -/-
Cor : bj I-II regular, g - , m –
Abdomen : supel, nt -, bu +
Ekstremitas : akral hangat +, edema -
A Demam berdarah dengue
P
Infus RA 125cc/jam
Sanmol 4 x 250 mg
12
Tanggal 18-1-2015
S
Demam (-)
Pusing (-)
Sesak (-)
Muntah (-)
Makan (-)
Minum (-)
BAB (-) belum bab 3 hari
BAK (+)
O
TD
(mmHg)
100/70
Nadi
(x/mnt)
96
RR
(x/mnt)
24
T (oC) 36,3
Status
Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Ca -/- , Si -/- Edema Palpebra -/-
Leher : tidak ada perbesaran KGB
Thorak : pulmo : ves +/+, rh -/-. wh -/-
Cor : bj I-II regular, g - , m –
Abdomen : supel, nt -, bu +
13
Ekstremitas : akral hangat +, edema -
A Demam berdarah dengue
P
Infus RA 60cc/jam
Curvit
Imboost
1 x 2,5 ml
1 x 2,5 ml
Tanggal 20-1-2015
S
Demam (-)
Pusing (-)
Sesak (-)
Muntah (-)
Makan (-)
Minum (-)
BAB (+)
BAK (+)
O
TD
(mmHg)
100/70
Nadi
(x/mnt)
92
RR 20
14
(x/mnt)
T (oC) 35,7
Status
Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Ca -/- , Si -/- Edema Palpebra -/-
Leher : tidak ada perbesaran KGB
Thorak : pulmo : ves +/+, rh -/-. wh -/-
Cor : bj I-II regular, g - , m –
Abdomen : supel, nt -, bu +
Ekstremitas : akral hangat +, edema -
A Demam berdarah dengue
P
Infus RA 60cc/jam
Curvit
Imboost
1 x 2,5 ml
1 x 2,5 ml
Tanggal 21-1-2015
S
Demam (-)
Pusing (-)
Sesak (-)
Muntah (-)
Makan (-)
Minum (-)
15
BAB (+)
BAK (+)
O
TD
(mmHg)
100/70
Nadi
(x/mnt)
96
RR
(x/mnt)
24
T (oC) 36,4
Status
Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Ca -/- , Si -/- Edema Palpebra -/-
Leher : tidak ada perbesaran KGB
Thorak : pulmo : ves +/+, rh -/-. wh -/-
Cor : bj I-II regular, g - , m –
Abdomen : supel, nt -, bu +
Ekstremitas : akral hangat +, edema -
A Demam berdarah dengue
P
Infus RA 72cc/jam
Curvit
Imboost
1 x 2,5 ml
1 x 2,5 ml
16
Tanggal 22-1-2015
S
Demam (-)
Pusing (-)
Sesak (-)
Muntah (-)
Makan (+)
Minum (+)
BAB (+)
BAK (+)
O
TD
(mmHg)
100/70
Nadi
(x/mnt)
92
RR
(x/mnt)
20
T (oC) 35,4
Status
Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Ca -/- , Si -/- Edema Palpebra -/-
Leher : tidak ada perbesaran KGB
Thorak : pulmo : ves +/+, rh -/-. wh -/-
Cor : bj I-II regular, g - , m –
Abdomen : supel, nt -, bu +
17
Ekstremitas : akral hangat +, edema -
A Demam berdarah dengue
P
Curvit
Imboost
1 x 2,5 ml
1 x 2,5 ml
18
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.Sampai saat ini,infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD olehWorld Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.
Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan padatahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD, antara lain:1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, Peningkatan sarana transportasi.4Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini.
Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
II. DefinisiDemam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh
virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue.
19
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut1. Demam tidak terdiferensiasi2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif), leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang sama.3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)III. Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infection theory) dan hipotesis immune enhancement.Gambar 2. Bagan Hipotesis infeksi sekunder
Penjelasan gambar atau bagan diatas:Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte, 1977 (gambar 2),sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue.
Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular.
Terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa.
20
Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.IV. DiagnosisBerdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bendungpositif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:• Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.• Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.• Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet.Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdaran lain.Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)
21
V. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP).
Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR).
Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu.
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.
Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulantersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.VI. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan
22
terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.
Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi:Tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol,mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar 4).2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat (gambar 5).3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% (gambar 6). 4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa (gambar 7).
Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok.
Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat.
Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%.5
23
Penjelasan tentang terapi cairan demam berdarah dengueAda dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada
penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer
25
laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi,tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal.
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan efektif.Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid adalah edema, asidosis laktat,instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam ruang interstisial.
Namun demikian,dalam aplikasinya terdapat beberapa keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma,mudah disimpan dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan yaitu: Pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin didapatkan.6dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).
Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan, dan dalam proses publikasi.Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran plasma yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000ml/24 jam.
Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,stabilitas hemodinamik serta diuresis.
Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik
26
stabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.
27
Daftar Pustaka1. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-62. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-173. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Department of Child and Adolescent Health and Development. WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva,20054. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta,20075. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-346. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo, A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-97. Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.137 8. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva, 19979. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia. Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. 200410. Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Ha-dinegoro SRH, Satari HI, editor. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1999.p.32-4311. Nainggolan L. Reagen pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) dan platelia dengue NS1 Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue. 200812. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New York:Churchill Livingstone, 2000.p.236-713. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-414. Kaaallen A J and Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic hypoperfusion status in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-9415. Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock. Proceedings of 5th Indonesian-International Symposium on Shock and Critical Care 26-3316. Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited. Medscape 2004. Available from: URL:http://www.medscape.com/viewarticle/48028817. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison of three fluid solutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J Med 2005; 353:877–89 18. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute management of dengue shock syndrome: a randomized double-blind comparison of 4 intravenous fluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis 2001; 32:204–13
28