Cara berfikir kaum liberal dan fundamentalis dalam timbangan usul al fiqh miftaqurrohman el-qudsy
-
Upload
miftah-rohman -
Category
Documents
-
view
2.130 -
download
6
Transcript of Cara berfikir kaum liberal dan fundamentalis dalam timbangan usul al fiqh miftaqurrohman el-qudsy
1
CARA BERFIKIR KAUM LIBERAL DAN FUNDAMENTALIS
DALAM TIMBANGAN US}U>>>L AL-FIQH
MAKALAH
Diajukan Untuk Menyelesaikan Perkuliahan
Mata Kuliah Us{u>l al-Fiqh
Oleh:
MIFTAQURROHMAN, S.H.I NIM. 2121 1 2020
Dosen Pengampu:
DR. H. ABDUL MUN’IM SALEH, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO 2013
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama (al-di>n) adalah ketentuan ketuhanan yang mendorong orang
yang berakal sehat untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dalam kehidupan
dunia dan akhiratnya.1 Definisi tersebut menegaskan bahwa agama tidak
hanya berkutat dalam masalah hubungan vertical-transcendental (h{abl min
Alla>h) ansich, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya, tetapi
juga mengembang dalam wilayah profane-transcendental (h{abl min al-na>s),
seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, Sumber Daya Manusia (SDM),
budaya dan sebagainya. Semua masuk wilayah agama secara konfrehensif
(ka>ffah).2
Senada dengan hal tersebut, Mah{mu>d Shalt{u>t juga menegaskan
bahwa Agama Islam terdiri dari dua aspek penting yang tidak dapat
dipisahkan. Pertama, aspek ‘aqi>dah, yaitu aspek teoritis (al-ja>nib al-naz{ari>)
yang wajib diimani pertama kali sebelum segala hal dengan iman yang tidak
1
. Lihat Sa‘i>d ibn Muh{ammad Ba‘ashi>n, Bushr al-Kari>m bi Sharh{ Masa<’il al-
Ta‘li<m, vol. I (Surabaya: al-Haramain, t.t.), 4. 2 Bergulat dalam dua wilayah tidak ada yang lebih diutamakan, keduanya sama-sama
penting; saling melengkapi dan menyempurnakan, sinergis dan kombinatif. Sehingga tidak ada
yang namanya polarisasi, segmentasi, dikotomi, apalagi demarkasi wilayah agama dan non-
agama. Semua masuk wilayah agama secara konprehensif (ka>ffah). Jamal Ma’mur Asmani, Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi, cet. ke-1 (Surabaya: Khalistha,
2007), 53-54. Lihat juga KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, cet. ke-6 (Yogyakarta:
LKiS, 2007), 66. Lihat juga Siti Musdah Mulia, Islam & Inspirasi Kesetaraan Gender, cet. Ke-1,
(Yogyakarta: Kibar Press, 2007), vi. Pengantar penulis.
3
tercampur keraguan sedikitpun. Aspek ini menempati posisi Fundamentalis
(al-as{l) yang menjadi pondasi bagi syari>‘ah. Di dalam al-Qur’a >n, aspek ini
diwakili oleh redaksi al-'i>ma>n (believing). Aspek ini bisa dipilah kepada us{u>l
dan furu>‘. Kedua, aspek syari>‘ah, yaitu sebagai sistem atau aturan (al-naz{m)
yang diberlakukan oleh Allah agar dipergunakan manusia dalam berinteraksi
dengan Tuhannya, sesama muslim, sesama manusia, semesta, dan
kehidupanya. Aspek ini menempati posisi sebagai cabang (al-far‘) dari
‘aqi>dah. Di dalam al-Qur’an, aspek ini diwakili oleh redaksi al-‘amal
(belonging). Aspek ini juga bisa dipilah kepada us{u>l dan furu>‘. Kedua aspek
ini tidak bisa dipisahkan dan saling bekerja secara simultan. Barang siapa
yang beriman dengan ‘aqi>dah dengan tanpa syari>‘ah, ataupun melaksanakan
syari>‘ah dengan mencampakkan ‘aqi>dah maka dia bukanlah seorang Muslim
di sisi Allah (la> yaku>n muslim ‘ind Alla >h), dan dia bukanlah orang yang
menapaki hukum Islam di jalan yang selamat.3
Dari pemetaan di atas, aspek yang merupakan ranah given dan taken
for granted adalah sektor us{u>l dari keduanya, yakni ‘aqa>’id as{li>yah dan us{u>l
al-syari>‘ah. Sedangkan sektor furu>‘, yakni furu>‘ ‘al-‘aqi>dah wa syari>‘ah
bersifat ijtiha>di>; yaitu berpotensi untuk direformasi, reinterpretasi dan
kontekstualisasi.4
3 Dua aspek tersebut biasanya tergabung dalam redaksi ayat seperti: ‚Ya> ayyuha al-
ladzi>n a>manu> wa ‘amilu> al-sha>liha>t…‛. Mah{mu>d Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah (t.t.:
Da>r al-Qalam, 1966), 11-14. 4 Ibid., 10-11.
4
Sebagai implikasi dari persinggungan antara tradisi dan modernitas5,
dapat disaksikan -hampir di seluruh sudut dunia saat ini- ‚kembali‛ dan
bangkitnya agama. Kebangkitan di sini dapat dikelompokkan ke dalam dua
arah. Pertama, kebangkitan yang mengambil bentuk ‚kembali‛ kepada apa
yang sering dianggap sebagai masa lampau yang ‚pristin‛, suci dan asli, atau
kepada suatu Tradisi yang dianggap mewakili suatu bentuk model
keagamaan yang relatif ideal dan sempurna. Kedua, kebangkitan yang
mengambil bentuk reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran Islam. Yang
pertama disebut salafisme dan yang kedua khalafisme.6
Salafisme secara lebih luas dimengerti sebagai gerakan untuk kembali
ke ‚teks lampau‛, baik dalam bentuk al-Qur’an, al-Sunnah, tradisi para
sahabat atau sesudahnya, atau pun teks-teks para pendiri madzhab yang
sudah kita kenal selama ini –H}anafi>, Maliki>, Sya>fi‘i> dan H}anbali>-. Baik
gerakan yang semboyannya adalah kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah,
seperti gerakan Wahabisme, atau salafisme moderat ala Muh{ammad ‘Abduh,
atau gerakan kembali kepada tradisi madzhab seperti tercermin dalam
kelompok-kelompok Islam seperti Nahdlatul ‘Ulama’, secara umum dapat di
golongkan ke dalam arus besar salafisme. Sedangkan ‚khalafisme‛, dari kata
‚khalaf‛ yang merupakan kebalikan dari ‚salaf‛. Secara harfiah, khalaf
5 Tradisi (tura>th) adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau masa
lalu orang lain, baik jauh atau dekat, dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi bersifat
umum, materi maupun maknawi. Dan yang dimaksud di sini adalah segala yang secara asasi
berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran doktrinal, syari’at,
bahasa, sastra, seni, kalam, filsafat dan tasawuf. Sedang modernitas adalah setiap sesuatu yang
hadir dalam kekinian tradisi Barat dan hadir menyertai kekinian kita. Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Yogyakarta: KKP & Nadi Pustaka, 2012), 1-2.
6 Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat ini, Pidato
Kebudayaan, Ulil Abshar Abdalla, Graha Bhakti Budaya TIM-Jakarta, 2 Maret 2010.
http://islamlib.com/id/artikel/sejumlah-refleksi-tentang-kehidupan-sosial-keagamaan-kita-saat-ini
diakses pada 6 januari 2013.
5
berarti era kontemporer, atau periode belakangan yang datang setelah
periode terdahulu, periode ‚salaf‛. Khalafisme adalah cara pandang
keagamaan yang menghendaki agar pemahaman keagamaan terus tumbuh
seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Kata kunci pokok dalam
khalafisme bukanlah ‚kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah‛, tetapi
memahami kedua sumber itu berdasarkan tuntutan zaman yang terus
berubah. Khalafisme tidak menolak al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber
otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual. Munculnya para pemikir
Muslim yang menyebut diri mereka sebagai liberal dan progresif, dapat
dimasukkan ke dalam kecenderungan yang kedua ini.7
Dalam memperebutkan klaim kebenaran (truth-claimed), dua
kelompok tersebut tak henti-hentinya saling berperang ideologi (baca: ghazw
al-fikr) bahkan adu fisik (baca: ghazw al-h{arakah). Dalam hal ini, kelompok
pertama diwakili oleh kaum Fundamentalis, sedangkan kelompok kedua
diwakili kaum Islam Liberal. Kaum Fundamentalis lebih cenderung menolak
perubahan (baca: modernitas), menurut mereka, agama Islam adalah agama
yang terakhir. Semua ajarannya bersifat final dan sempurna. Ia mengandung
segala kebenaran moral dan relegius yang dibutuhkan oleh seluruh umat
manusia sejak kini sampai akhir zaman. Ketidakberubahan (unchangingness)
merupakan suatu hal yang ideal bagi individu dan masyarakat serta
merupakan suatu persepsi hakikat manusia dan lingkungannya. Jika
kelompok ini melakukan pergerakan maupun pembaharuan, sifatnya hanya
7 Ibid.
6
merupakan pengukuhan kembali (reinforcement), dengan arah konservatif.8
Dalam konteks ini, mereka termasuk kelompok yang berwacana ideal-
totalistik.9
Kelompok kedua lebih cenderung kepada modernitas dan perubahan;
bahkan merekalah agen perubahan itu sendiri. Kelompok ini ingin
mengoreksi kesalahan-kesalahan faham kelompok pertama yang dianggap
"memonumenkan" Islam dan memperlakukannya sebagai organisme yang
mati. Kelompok ini selalu menganjurkan penafsiran Islam yang non-literal,
substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang
sedang dan terus berubah untuk menuju kemajuan Islam. Dalam konteks ini,
mereka terbagi ke dalam dua kekompok, yaitu kelompok yang berwacana
transformatif dan reformatif.10
Menarik bagi penulis untuk membahas tentang Islam Liberal dan
Islam Fundamentalis, dikarenakan kedua-duanya masih dalam satu induk
8 William Montgomery Watt, Fundamentalis Dan Modernitas dalam Islam (terj.) Kurnia
sastra praja et. all. Cet. ke-1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), 10, 16. 9 Kelompok ini menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya
aliran salaf dengan cara kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadith. Wacana ini di dasarkan pada
asumsi bahwa kegagalan dunia Arab saat ini disebabkan mereka meninggalkan al-Qur’an dan al-
Hadits dan mengambil secara total modernitas yang berasal dari dunia luar, bukan dari dunia
Islam. Oleh karena itu, satu-satunya jalan memajukan dunia Arab adalah dengan kembali kepada
sumber asasi Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Tokoh-tokohnya di antaranya M. Ghazali,
Sayyid Qutb, Anwar Jundi, Muhammad Quthb, Said Hawwa. Wijaya, Nalar Kritis, 3. Catatan
kaki. 10
Kelompok transformatif menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa
lalunya. Karena trsdisi masa lalu dianggap tidak lagi memadai bagikehidupan Arab kontemporer.
Kelompok ini menganjurkan agar berubah haluan dan mengambil modernitas sebagai acuan
utama kehidupan mereka. Wakil-wakilnya adalah kalangan Kristen yang berhaluan marxis,
seperti Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, Adonis dan Shibly Shumail. Sedangkan kelompok
reformatif menginginkan bersikap akomodatif dengan mereformasi tradisi yang selama ini
digelutinya. Tradisi menurut kelompok ini masih mempunyai nilai tawar yang tinggi bagi dunia
Arab, tentunya dengan merekonstruksi beberapa sisi tradisi, bukan dibabat habis, karena tidak
ada negara yang bangkit dari tradisi orang lain. Tokoh-tokohnya di antaranya Hasan Hanafi,
muhammad Arkoun, Al-Jabiri, M. Benis, Hasyim Saleh, Abdul Kebir Katibi. Wijaya, Nalar Kritis, 3. Catatan kaki.
7
keislaman (mengaku sebagai Muslim dan ingin hidup sebagai Muslim), sama-
sama menganggap al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai rujukan utama, sama-
sama mempunyai perhatian yang besar terhadap tegaknya agama Islam, dan
sama-sama mencari Rid{a Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pokok permasala-
hannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Islam Liberal dan Fundamentalis?
2. Apakah ajaran pokok kaum Islam Liberal dan Fundamentalis?
3. Apa saja hasil-hasil berfikir kaum Islam Liberal dan Fundamentalis
dalam bidang hukum? Dan bagaimana prosedur penalaran mereka?
4. Sejauh manakah penerimaan dan penolakan us{u>l al-fiqh terhadap
gagasan kaum Islam Liberal dan Fundamentalis?
5. Apakah us{u>l al-fiqh memberikan jalan perukunan (mediasi,
harmonisasi) antara gagasan kaum Islam Liberal dan Fundamentalis?
6. Bagaimanakah masa depan Islam Liberal dan Fundamentalis?
8
BAB II
CARA BERFIKIR KAUM LIBERAL DAN FUNDAMENTALIS DALAM
TIMBANGAN US}U>>>L AL-FIQH
A. Pengertian Islam Liberal dan Fundamentalis.
1. Pengertian Islam Liberal.
Islam adalah agama yang dibawa oleh Muhammad SAW.; secara
etimologi berarti patuh (inqa>da), tunduk dan menerima (al-khudhu‘ wa al-
qabu>l).11 Kata liberal (dalam bahasa Inggris liberalism) adalah derivasi
dari kata liberty (dalam bahasa Inggris) atau liberté (dalam bahasa
Perancis) secara etimologi berarti ‚bebas‛. Adapun secara terminologi,
al-Mawsû‘ah al-‘Arabi>yah al-Âlami>yah memberikan komentar,
‚Liberalisme termasuk terminologi yang samar, karena makna dan
penegasannya senantiasa berubah-ubah dalam bentuk yang berbeda dalam
sepanjang sejarahnya.‛12
Namun demikian, liberalisme memiliki esensi
yang disepakati oleh seluruh pemikir liberal pada setiap zaman, dengan
perbedaan-perbedaan trend pemikiran dan penerapannya, sebagai cara
untuk melakukan reformasi dan menciptakan produktifitas. Esensi ini
adalah, bahwa liberalisme meyakini kebebasan sebagai prinsip dan
orientasi, motivasi dan tujuan, pokok dan hasil dalam kehidupan manusia.
11
Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-L<ughah wa al-I’lam, cet. ke-41, (Beirut: Da>r al-masyriq,
2005), 347. Secara epistemologi Islam berarti pasrah (al-istisla>m) dan tunduk (al-inqiya>d) dengan
cara melakukan hal-hal yang diperintahkan (imtitha>l al-ma’mu>ra>t) dan menjauhi hal-hal yang
dilarang (ijtina>b al-manhi>ya>t) dengan dilandasi kepatuhan batin, yaitu Iman. Lihat Ba‘a >shi>n,
Bushr al-Kari>m, 4. 12
Team Penyusun, Al-Mawsû’ah al-‘Ârabi>yah al-Âlami>yah, vol. XXI (Riya>d}:
Mu’assasat a‘ma>l al-Mawsu>‘ah li al-Nashr wa al-Tawzi>‘, 1996), 247.
9
Ia adalah satu-satunya sistem pemikiran yang hanya menghendaki untuk
mensifati kegiatan manusia yang bebas, menjelaskan dan
mengomentarinya.13
Sulayma>n al-Khurashi> mengatakan, ‚Liberalisme adalah aliran
pemikiran yang berorientasi kepada kebebasan individu, berpandangan
wajibnya menghormati kemerdekaan setiap orang, meyakini bahwa tugas
pokok negara adalah melindungi kebebasan warganya seperti kebebasan
berfikir dan berekspresi, kepemilikan swasta dan yang lainnya. Aliran
pemikiran ini membatasi peran penguasa dan menjauhkan pemerintah dari
kegiatan pasar. Aliran ini juga dibangun di atas prinsip sekuler yang
mengagungkan kemanusiaan dan berpandangan bahwa manusia dapat
dengan sendirinya mengetahui segala kebutuhan hidupnya.‛14
Kata liberal pada Islam Liberal di atas berarti liberasi, untuk
mengadvokasi kelompok-kelompok tertindas, juga sebagai aksentuasi,
penekanan terhadap visi keislaman yang dikembangkan oleh Islam
Liberal, yaitu visi pembebasan terhadap kelompok-kelompok yang
tertindas.15
2. Pengertian Islam Fundamentalis.
a. Pengertian Fundamentalisme secara umum.
Secara etimologi Fundamentalisme berasal dari kata
Fundamentalis yang berarti hal-hal yang mendasar atau asas-asas.
13
‘Abd al-Rah}i>m ibn Sama>yil al-Sulami>, Al-Librâliyah: Nasy`’atuhâ wa Maja>lâtuhâ (t.t.:t.p, t.t) File doc.
14 ‘Abd al-Rah}i>m ibn Sama>yil al-Sulami>, Haqîqah al-Librâl>iyah wa Mawqif al-Islâm
minhâ (Disertasi, Universitas Umm al-Qura, Makkah, 2000), 12-13. 15
Abdul Moqsith Ghazali, Koordinator JIL. Tayangan dalam acara Today’s Dialogue di
Metro-TV, 2008.
10
Sebagai sebuah gerakan (komunitas) keagamaan, Fundamentalis
dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot
dan reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran
agama yang asli seperti tersurat dalam kitab suci.16
Dalam pandangan Gellner, gagasan dasar Fundamentalisme
adalah bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk
literal (harfiah) dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi
dan tanpa pengurangan. Hal senada dikemukakan oleh David Ray
Griffin, dalam bukunya God and Religion in the Modern World.
Dapat disebutkan bahwa Fundamentalisme adalah sebuah aliran atau
faham yang berpegang teguh pada dasar-dasar agama secara ketat
melalui penafsiran terhadap kitab suci secara rigid dan literalis.
Dalam pandangan Habermas Fundamentalis adalah sebagai gerakan
keagamaan yang memberikan porsi sangat terbatas terhadap akal
pikiran (rasio), ketika memberikan interpretasi dan pemahaman
terhadap teks-teks keagamaan.17
Secara historis, istilah Fundamentalisme merupakan atribut
yang diberikan kepada sekte Protestan yang menganggap Injil
bersifat absolut dan sempurna dalam arti literal sehingga
mempertanyakan satu kata yang ada dalam Injil dianggap dosa besar
16
http://www.referensimakalah.com/2012/01/pengertian-fundamentalisme-
radikalisme_8767.html, diakses pada 6 Januari 2012; http://www.artikata.com/arti-327465-
fundamentalis.html, diakses pada 6 Januari 2012. 17
Ibid.
11
dan tak terampuni.18
Fudamentalisme selalu muncul dalam setiap
agama besar dunia, tidak hanya Kristen dan Islam, Fundamentalisme
juga terdapat pada agama Hindu, Budha, Yahudi dan Konfusianisme.
Bahkan menurut Garaudy, Fundamentalisme merupakan fenomena
yang tidak terbatas pada agama, tetapi terdapat pula dalam bidang
politik, sosial dan budaya. Karena baginya, Fundamentalisme adalah
suatu pandangan yang ditegakkan atas keyakinan, baik bersifat
agama, politik maupun budaya, yang dianut pendiri yang
menanamkan ajaran-ajarannya pada saat paham atau pandangannya
tersebut menjadi rujukan.19
b. Pengertian Fundamentalisme dalam Islam.
Di dalam karyanya, Mustaqbal al-Us{u>li>yah al-Islami>yah (Masa
Depan Fundamentalisme Islam), Yu>suf al-Qard{a>wi> mengelaborasi
arti Fundamentalisme. Menurut beliau Fundamentalisme (baca:
us{u>li>yah) berasal dari Barat, yaitu dari sekte Nasrani yang lebih
mengutamakan text (naql) dari pada rasio (aql).20 Beliau lebih
memilih dan menganggap lebih tepat jika diistilahkan dengan al-
s{ah{wah (baca: kebangkitan, revivalisme), walaupun istilah ini masih
perlu dikoreksi lagi.
Fundamentalisme (us{u>li>yah) dalam Islam berarti kembali
kepada dasar atau pokok (al-us{u>l) atau akar pangkal (al-judu>r) dalam
18
Lihat juga Airlangga Pribadi dan M. Yudhie R. Haryono, Post Islam Liberal: Membangun Dentuman, Mentradisikan Eksperimentasi, cet. ke-1 (Bekasi: PT. Gugus Press,
2002), 52. 19
Ibid. 20
Yu>suf al-Qard{a>wi>, Mustaqbal al-Ushu>li>yah al-Islami>yah, cet. Ke-3, (Beiru>t: al-Maktab
al-Islami, 1998), 11.
12
memahami Islam, mengamalkannya dan berdakwah kepadanya.
Fundamentalis (us{u>l) adakalanya berarti sumber-sumber (al-mas{a>dir)
dan adakalanya berarti pokok-pokok (al-usus), pilar-pilar (al-da‘a>’im)
dan tiang-tiang penegak (al-muqawwima>t). Menurut arti yang
pertama, Fundamentalisme berarti kembali kepada tiga sumber
utama, yaitu: al-Qur’a >n al-Kari>m, al-Sunnah al-Nabawi>yah, Ijma>‘
dalam urusan agama. Sedangkan menurut arti kedua,
Fundamentalisme berarti kembali kepada empat dasar pokok, yaitu:
pertama, akidah-akidah dasar yang menjadi landasan bangunan Iman,
yang disebut arka>n al-I>ma>n. Kedua, rukun-rukun dasar bagi ibadah-
ibadah praktis dalam agama Islam, yang disebut dengan arka>n al-
Isla>m. Ketiga, hukum-hukum syari>‘ah yang bersifat pasti (al-
qat‘i>yah). Keempat, nilai-nilai moralitas (akhla>qi>yah) dan budaya (al-
had{a>ri>yah) Islam. Seorang Fundamentalis sejati adalah yang bisa
menetapi asas-asas ini semuanya, baik dalam pemahamannya,
keyakinannya, perbuatannya dan dakwahnya. Fundamentalisme
semacam ini adalah suatu kebanggaan (fakhr wa manqabah) dan
bukan kriminalitas (tuhmah wa jari>mah). Lebih lanjut beliau
menegaskan bahwa apabila yang dimaksud dengan Fundamentalisme
adalah berpegang teguh secara benar terhadap Islam, baik dalam hal
aqidah, syari’ah, metodologi kehidupan, berdakwah, merasa mulia
dengannya, dan membela prinsip-prinsip dan kehormatannya, maka
kita semua adalah Fundamentalis.21
21
Al-Qard{a>wi>, Mustaqbal al-Ushu>li>yah, 11-17.
13
Di dalam Fundamentalisme Islam, terdapat empat kubu, yaitu:
pertama, kubu ekstrim (fas{i>l al-takfi>r); kelompok ini suka
mengkafirkan secara masal (takfi>r al-mujtama‘) terhadap kelompok-
kelompok lain yang tidak sepaham dengan mereka, kecuali orang-
orang yang menerima prinsip-prinsip mereka dan mau bergabung
dengan organisasi mereka. Kelompok ini bergenetik Khawa>rij.
Kedua, kubu radikal (fas{i>l al-‘unf); kelompok ini sering menggunakan
kekuatan dan senjata dalam melawan apa yang mereka anggap batil
dan merubah apa yang mereka yakini sebagai kemungkaran.
Ketiga, kubu ortodoks (fas{i>l al-tashaddud wa al-jumu>d); kelompok ini
menolak dan mengingkari pembaharuan di dalam agama, ijtiha>d di
dalam fiqh, keringanan di dalam fatwa, dan stimulus dalam
berdakwah. Mereka tidak bisa menyeimbangkan teks-teks partikular
dan tujuan-tujuan universal di dalam hukum, sehingga sering
memberatkan dan membebani umat. Ciri-ciri mereka adalah suka
mengharamkan ataupun membid‘ahkan.
Keempat, kubu moderat (fas{i>l al-wasat{i>yah); yaitu kubu yang paling
luas kaidahnya, paling kuat, paling lama dan banyak pengikutnya.
Mayoritas umat Islam adalah termasuk dalam kelompok ini. Faham
ini merupakan implementasi dari Islam, baik dari segi ilmu maupun
amal. Pondasi dasarnya yaitu membuat kemudahan (al-taysi>r),
pembaharuan (al-tajdi>d) dan moderat (al-wasat{i>yah).22
22
Ibid., 18-47.
14
B. Ajaran Pokok Kaum Islam Liberal dan Fundamentalis.
1. Ajaran Pokok Kaum Islam Liberal.
Walaupun liberalisme bukan terdiri dari satu trend pemikiran,
namun kita dapat mengenali aliran ini dengan karakteristik khusus.
Karakter paling kuat yang ada dalamnya yaitu:
a. Individualisme (otonomi perseorangan).
Setiap orang bebas berbuat apa saja tanpa campur tangan siapa pun,
termasuk negara. Fungsi negara adalah melindungi dan menjamin
kebebasan tersebut dari siapapun yang mencoba untuk merusaknya.
Oleh karena itu, liberalisme sangat mementingkan kebebasan dengan
semua jenisnya. Kekebasan berkreasi, berpendapat, menyampaikan
gagasan, berbuat dan bertindak, bahkan kebebasan berkeyakinan
adalah tema yang mereka ingin wujudkan dalam kehidupan ini.
Kebebasan dalam pandangan mereka tidak berbatas, selama tidak
merugikan dan bertabrakan dengan kebebasan orang lain. Kaidah
kebebasan mereka berbunyi, ‚Kebebasan anda berakhir pada permulaan
kebebasaan orang lain.‛23
b. Rasionalisme.
Penganut liberalisme meyakini bahwa akal manusia mampu mencapai
segala kemaslahatan hidup yang dikehendaki. Standar kebenaran
adalah akal atau rasio. Karakter ini sangat kentara dalam pemikiran
liberal. Rasionalisme di antaranya nampak pada: Pertama, keyakinan
23
Al-Sulami>, Al-Librâliyah; Lihat juga tayangan Audio visual Youtube Freedom
Institute, Akademi Merdeka, Ulil Abshar Abdalla, Bogor 24-26 Juni 2011.
15
bahwa hak setiap orang bersandar kepada hukum alam. Sementara
hukum alam tidak dapat diketahui kecuali dengan akal melalui media
indera/materi atau eksperimen. Kedua, negara harus bersikap netral
terhadap semua agama. Karena tidak ada kebenaran yang bersifat
yakin atau absolut, yang ada adalah kebenaran yang bersifat relatif. Ini
yang dikenal dengan ‚relatifisme kebenaran.‛ Ketiga, perundang-
undangan yang mengatur kebebasan ini semata-mata hasil dari
pemikiran manusia, bukan syariat agama.24
c. Sekularisme (fas{l al-di>n ‘an al-h{aya>h).
Sekularisme yaitu ide pemisahan agama dari kehidupan, yang pada
gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Faham ini yang
menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat.
Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik,
ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide ini.25
d. Kontekstualisasi ijtiha>d.
Suatu teks selalu lahir karena menjawab konteks tertentu. Saat konteks
itu berubah, maka dengan sendirinya teks itu juga harus dipahami
ulang. Hal ini didasarkan pada sebuah rumusan ‚taghayyur al-ah{ka>m
bi taghayyur al-azminat wa al-amka>n‛ (perubahan hukum karena
perubahan konteks spatio-temporal). Karena Islam adalah sebuah
24
Al-Sulami>, Haqîqah al-Librâl>iyah, 24-25. 25
M. Shiddiq al-Jawi, Akar Sejarah Pemikiran Liberal, makalah file doc.
16
"organisme" yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai
dengan denyut nadi perkembangan manusia.26
Secara lebih rinci, menurut Kurzman, ajaran-ajaran pokok Islam
Liberal dapat dijabarkan ke dalam enam gagasan sebagai berikut:
Pertama, menentang teokrasi (againt theocracy). Tema ini menekankan
bahwa wahyu Allah menyerahkan bentuk pemerintahan pada konstruksi
pemikiran manusia. Bahkan menyatakan bahwa Islam berkesuasian
dengan demokrasi. Menurutnya, al-Qur’an menyusun prinsip-psrinsip
dasar demokrasi dan menuntut umat Islam untuk merumuskan
implementasinya. Wahyu Tuhan bukan sekedar membolehkan, tetapi juga
menghendaki demokrasi.
Kedua, mendukung gagasan dan ide demokrasi. Tema ini diperdebatkan
dengan penekanan khusus pada konsep musyawarah (shûrâ) yang
digunakan untuk memberikan kesempatan atau menuntut pernyataan
kehendak umum dalam masalah-masalah kenegaraan.
Ketiga, membela hak-hak perempuan (right of women). Tema ini
umumnya untuk merespons ayat-ayat al-Qur’an dan Hadith yang
kelihatannya menunjukkan kontradiksi dengan hak-hak perempuan,
26
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel Ulil Abshar Abdalla, Kompas: 18 Nopember 2002; lihat juga Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat ini, artikel Ulil Abshar Abdalla, http://islamlib.com/id/artikel/sejumlah-refleksi-tentang-kehidupan-sosial-keagamaan-kita-saat-ini, diakses pada 6 januari 2013. Dalam buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Greg Barton, Paramadina, 1999 menjelaskan bahwa ada tiga program
utama Liberalisasi Islam di Indonesia. Pertama, pentingnya kontekstualisasi ijtihad. Kedua,
komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan. Ketiga, komitmen terhadap pluralisme agama.
Kalau seseorang meyakini hanya agamanya sendiri yang benar, itu adalah keyakinan yang jahat,
itu evil (agama yang jahat). Charless Gimbell menulis sebuah buku When Religion Becomes Evil (ketika agama menjadi jahat). Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia, Tayangan Youtube-
adianh87, www.anwaraidc.com. Lihat juga Agus Mustofa, Beragama dengan Akal Sehat (Surabaya: Padma Press, 2008), 64-65.
17
sebagaimana dipahami Islam liberal. Sebagai contoh ayat yang
menerangkan tentang hak poligami bagi laki-laki, hak
unilateral kaum pria untuk bercerai, hak-hak kewarisan dan kesaksian
hukum pria yang lebih besar. Demikian halnya dengan Hadith-hadith
yang berbicara tentang jilbab, pemisahan gender, dan hak kaum
perempuan untuk menjadi pemimpin.
Keempat, membela hak-hak non-muslim (minoritas). Tema ini membicara
kan hubungan antar agama, hak-hak non-muslim, terutama ahli kitab
(Yahudi dan Kristen) untuk tetap menjalankan agama mereka, sepanjang
mereka menunjukkan kesetiaannya dan membayar upeti kepada pemimpin
muslim yang berkuasa. Persoalan ini muncul di tahun pertama Islam
dalam konteks penaklukan kaum muslim terhadap non-muslim.
Kelima, membela kebebasan berpikir (freedom of tought). Tema ini
merupakan inti dari persoalan Islam liberal. Sebab kaum liberal harus
mempertahankan kebebasan berpikir agar dapat memberikan dasar
pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran yang lainnya. Kebebasan
berpikir dibicarakan dalam konteks ijtihad, dan berkaitan dengan
pembahasan: siapa yang boleh berbicara dan apa saja yang boleh
dibicarakan.
Keenam, membela gagasan tentang kemajuan (the idea of progress).
Tema ini merujuk pada pandangan pemikir muslim yang melihat
modernitas dan perubahan sebagai perkembangan positif yang potensial.
Sikap ini merefleksikan sebuah peralihan kebiasaan yang signifikan dari
pandangan tradisionalis dalam Islam, yang memandang sejarah
18
kontemporer sebagai kemunduran dan peralihan yang berkesinambungan
dari masa-masa awal pewahyuan yang diagungkan.27
2. Ajaran Pokok Kaum Islam Fundamentalis.
Karakteristik Fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni
keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan
yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan
gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk
literal dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan
pengurangan.28
Dalam hal ini, Azyumardi azra mengklarifikasikan ajaran pokok
Fundamentalisme ke dalam empat ragam prinsip dasar, yaitu:
a. Opposionalisme (paham perlawanan); Fundamentalisme dalam agama
mana pun mengambil bentuk perlawanan yang sering bersifat radikal
terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi
agama, baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata-nilai
Barat. Acuan atau tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu
saja adalah kitab suci, yang dalam Fundamentalisme Islam adalah Al-
Qur’an dan pada batas-batas tertentu juga hadits Nabi.
b. Penolakan terhadap hermeneutika; Kaum Fundamentalis menolak
sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal
sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu
27
Empat pertama masuk dalam wilayah politik, sedangkan dua terakhir masuk dalam
wilayah kultural. Pribadi dan Haryono, Post Islam Liberal, 251-254; Tren Liberalisme Dalam
Pemikiran Islam, Oleh Biyanto. Makalah. 28
Fundamentalisme, makalah. http.islamlib.com/id/index.php?page=artikel&id=792); Lihat juga http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/06/fundamentalisme.html. Diakses pada 27
oktober 2012.
19
memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-
bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan
satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam
‛kompromi‛ dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.
c. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme; Bagi kaum
Fundamentalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru
terhadap teks kitab suci, masyarakat mesti seragam dan tak boleh
beragam. Dan kebenaran agama adalah bersifat mutlak dan absolut.
d. Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis; Kaum
Fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan
sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal
kitab suci. Karena itulah, kaum Fundamentalis bersifat a-historis dan
a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk
masyarakat ‛ideal‛ (seperti pada zaman kaum salaf) yang dipandang
mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.29
Tepat di atas inilah sebenarnya urat nadi persoalan
Fundamentalisme agama terterakan. Dalam bahasa ‘A>bid al-Ja>biri>, ketika
upaya kebebasan (baca: ijtiha>d) dibekukan dan klaim kebenaran telah
final dipetakan, saat itulah Fundamentalisme lahir dengan keperkasaan
yang dipaksakan. Oleh sebab itu, Fundamentalisme yang pada dasarnya
bersifat positif lalu bergerak liar secara negatif dan destruktif.
Fundamentalisme merupakan gejala tiap agama dan kepercayaan untuk
29
Ibid.
20
mempresentasikan pemberontakan terhadap modernitas seperti yang
dikatakan oleh Karen Armstrong.30
Fundamentalisme dalam Islam menganjurkan ketaatan,
kohesifitas, kesatuan dan pengelompokan identitas. Selanjutnya pada
tingkat praksis, mereka yang berbeda agama di anggap kafir, sesat dan
harus diperangi. Dari ini kemudian muncullah konsep da>r al-h{arb (negara
musuh) dan da>r al-Isla>m (negara Islam) yang akhirnya melahirkan
eksklusifisme, militanisme dan terkadang ekstrimisme.31
C. Hasil-hasil berfikir kaum Islam Liberal dan Fundamentalis dan prosedur
penalaran mereka dalam bidang hukum.
1. Produk-produk pemikiran dan prosedur penalaran Kaum Islam Liberal
dalam bidang hukum.
Sebagai faham sosial keagamaan, Islam Liberal mempunyai
spesifikasi pemikiran, metode penalaran dan produk-produknya yang
berbeda dari yang lazim, bahkan kontroversial. Di antaranya yaitu:
a. Poligami hukumnya haram.32
b. Nikah beda agama hukumnya diperbolehkan, bahkan secara mutlak.33
30
Lihat Majalah Tempo 30 Desember 2001. 31
Pribadi dan Haryono, Post Islam Liberal, 52. 32
Kalangan Islam Liberal berpandangan bahwa poligami pada hakekatnya tidak
diperbolehkan. Ia mendasarkan pada kasus Fatimah ketika akan dipoligami oleh Ali bin Abi
Thalib, Nabi pun setia monogami dari pada poligami. Monogami dilakukan Nabi di tengah
masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri
tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua
tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari
sisa hidup beliau. Pembolehan poligami menurut kalangan Islam Liberal apabila terkait dengan
fakta banyaknya perempuan-perempuan janda, anak yatim dan budak-budak. Poligami dalam pemikiran Kalangan islam liberal, makalah Nurul huda. publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream.
23 Memahami konteks waktu turunnya ayat ini (Q.S. 60: 10), larangan ini sangat wajar
mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya
21
c. Nikah sirri> (nikah bawah-tangan yang tak tercatat) hukumnya tidak
sah karena tidak valid.34
d. Jilbab, potong tangan, qis{as{, rajam, jenggot dan jubah tidak wajib
diikuti.35
adalah perorangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan
dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu,
ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka
larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya. (Buku Muslimah Reformis, 2005:63). Hasil
penelitian Litbang Depag tentang nikah beda agama, Islam Liberal berpendapat: ‚Larangan nikah
beda agama menurut Islam Liberal dipandang sudah tidak relevan lagi, karena sesuai dengan
tuntunan al-Qur’an bahwa al-qur’an menganut pandangan universal tentang martabat manusia
yang sederajat tanpa melihat perbedaan agama.‛ Liberalisasi Islam di Indonesia, Adian Husaini,
M.A. Tayangan Youtube-adianh87, www.anwaraidc.com.; Di samping itu, tak ada teks dalam al-
Qur’an yang secara eksplisit melarang pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki Ahli
Kitab. Bagi mereka, tidak adanya larangan itu adalah dalil bagi bolehnya pernikahan perempuaan
muslimah dengan laki-laki Ahli Kitab. Hukum Nikah Beda Agama, Abdul Moqsith Ghazali.
http://islamlib.com/id/artikel/hukum-nikah-beda-agama. diakses pada 8 Januari 2012. 34
Hal itu dikarenakan mengabaikan pengalaman manusia sebagai subyek yangkari>m, yang mulia dan berkehendak; pengalaman manusia sebagai subyek yangkari>m dan berkehendak
harus dibuat sumber pertimbangan dalam menetapkan hukum. Lihat Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel Ulil Abshar Abdalla, Kompas 2002-11-18. Itu bisa dilihat dalam
Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang disusun oleh Tim Pengarus-utamaan Gender
Departemen Agama -yang telah dibubarkan- garapan Prof. Dr. Musdah Mulia dkk. Ada beberapa
gagasan konsep hukum yang sangat kontroversial:
Pertama, asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), dan perkawinan di luar
ayat 1 (poligami) adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2).
Kedua, batas umur calon suami atau calon istri minima 19 tahun (pasal 7 ayat 1). Ketiga, perkawinan beda agama antara Muslim dan Muslimah dengan orang non Muslim disahkan (pasal
54). Keempat, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa wali), asalkan
calon suami dan istri itu berumur 21 tahun, berakal sehat, dan rasyid/rasyidah (pasal 7 ayat 2).
Kelima, ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya suami-istri (pasal 9).
Keenam, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita, tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah
bagi laki-laki adalah 130 (seratus tiga puluh) hari (pasal 88 ayat 7(a). Ketujuh, talak tidak
dijatuhkan oleh pihak laki-laki, tetapi boleh dilakukan oleh suami atau istri di depan sidang
Pengadilan Agama (pasal 59). Kedelapan, bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama
(pasal 8 ayat 3, bagian kewarisan). Lihat Zaitunah Subhan et.al. (ed), Membendung Liberalisme
(Jakarta, Republika, 2004. Kewajiban pencatatan ini diqiyaskan secara awlawi< dengan wajibnya
pencatatan transaksi hutang piutang (Q.S. 2: 282). lihat juga Mulia, Islam & Inspirasi kesetaraan Gender, 142-143.
35 Karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Seorang Muslim dituntut
dapat memisahkan mana unsur kreasi budaya setempat dan mana yang merupakan nilai
fundamental dari ajaran agamanya. Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang
universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia
Tengah, dan seterusnya. Bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan
oleh karena itu tidak diwajibkan mengikutinya. Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal
yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi
standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan
berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya. Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel Ulil Abshar Abdalla, Kompas 2002-11-18.
22
e. Formula kewarisan (2:1) dua banding satu antara bagian laki-laki dan
perempuan sebagaimana dalam Q.S. 4:11 tidak harus diikuti.36
Mayoritas produk hukum mereka adalah hasil dari istinba>t{ secara
langsung dari al-Qur’an maupun al-Sunnah dengan kontekstualisasi.
Tujuan mereka adalah mengejar maqa>s{id al-shari>‘ah, akan tetapi
seringkali mengabaikan prosedural-prosedural istinba>t{ maupun ijtiha>d
yang telah ada.
2. Produk-produk pemikiran dan prosedur penalaran Kaum Islam
Fundamentalis dalam bidang hukum.
a. Orang yang tidak menerima faham mereka dan tidak mau bergabung
dengan organisasi mereka hukumnya ka>fir dan murtad.
b. Orang yang menolak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang nyata
dan mutawa>tir dalam ajaran Islam wajib diperangi (jiha>d).
c. Merubah kemungkaran dengan kekuatan bagi yang mampu hukumnya
wajib.37
d. Segala sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah
hukumnya Bid’ah atau Haram.
e. Berdomisili di negara Barat hukumnya Haram.38
36
Menurut Asghar Ali Engineer pembagian waris tergantung pada struktur sosial,
ekonomi dan fungsi jenis kelamin masing-masing dalam masyarakat, demi terciptanya asas
keadilan berimbang antara hak dan kewajiban. Sedangkan Amina Wadud Muhsin, pembagian
waris harus dilihat dari berbagai faktor yang lain, seperti keadaan orang yang meninggal dan
orang-orang yang ditinggal. Sebelum warisan dibagi perlu dilihat seluruh anggota keluarga yang
berhak, kombinasinya dan kemanfaatannya. Menurut Syahrur, ayat-ayat tentang warisan
hanyalah merupakan ayat h{udu>di>yah yang memberikan prinsip-prinsip tentang batas maksimum
(al-h{add al-a‘la>) dan batas minimum (al-h{add al-adna>). Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Lkis, 2003), 327-328.
37 Al-Qard{a>wi>, Mustaqbal al-Ushu>li>yah, 18, 21, 22.
23
f. Wanita haram bekerja.39
g. Haram mengucapkan selamat kepada tetangga, teman ataupun
koleganya yang non-muslim.40
h. Dispensasi (al-taysi>r) dalam berfatwa, stimulus (al-tabshi>r) dalam
berdakwah, pembaharuan (al-tajdi>d) dan ijtiha>d dalam agama,
bersikap moderat yang proporsional (al-wasat{i>yah al-mutawa>zinah)
adalah hal-hal yang niscaya untuk menuju kemajuan dan keadilan
Islam.41
Yang mencolok dari produk hukum mereka adalah ketaatan
mereka yang tinggi terhadap sumber utama, al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Ketaatan yang sampai batas huruf perhuruf teks (literal). Mereka
meyakini bahwa apapun bunyi teks adalah benar dan tidak boleh ditawar-
tawar.
D. Cara berfikir kaum Islam Liberal dan Fundamentalis dalam timbangan us{u>l
al-fiqh.
Menurut Muhammad ‘A<bid al-Ja>biri>, bahwa ranah Epistemologi
Pemikiran Islam memiliki tiga paradigma; yaitu burha>ni> (pemikiran yang
lebih menekankan pada penggunaan akal, rasio dan bukti empiris; biasa
digunakan para filosuf), baya>ni> (pemikiran yang lebih menekankan pada
peranan penjelasan terhadap otoritas nash dan teks suci; biasa digunakan
38
Begitu juga menghadiri undangan ataupun kawin dengan wanita dari negara tersebut.
Alasannya termasuk dalam kategori ayat 51 surat al-Ma’idah: ‚wa man yatawallahum minkum fainnahu> minhum.‛ Ibid., 32.
39 Karena wanita diaanggap sebagai sumber fitnah. Mereka juga mengharamkan wanita
menggunakan hak suaranya dalam pemilu dan menjadi wakil rakyat di parlemen. Ibid., 32. 40
Ibid., 32. 41
Ini adalah faham dari kelompok fundamental moderat. Ibid., 36-47.
24
para ahli kalam atau tauhid) dan ‘irfa>ni> (pemikiran yang lebih menekankan
pada peranan intuisi, qalb, d{ami>r, dan dzawq; biasa digunakan para ahli
tasawwuf).42 Menurut teorinya tentang pengembangan us{u>l al-fiqh, bahwa
us{u>l al-fiqh merupakan logika dan epistemologi Islam itu sendiri yang
disebut dengan epistemologi jama>‘i> atau epistemologi komprehensif.43
Pada tataran ini, menurut penulis, baik pemikiran kaum Liberal
maupun Fundamentalis berasal dari epistemologi Pemikiran Islam sendiri.
Penulis menemukan bahwa corak pemikiran kaum Liberal berparadigma
baya>ni> yang lebih cenderung kepada burha>ni>; sedangkan corak pemikiran
kaum Fundamentalis berparadigma baya>ni> yang lebih cenderung kepada
irfa>ni>. Tentang sikap us{u>l al-fiqh terhadap keduanya, tergantung sejauh mana
ketaatan diktum-diktum pemikiran mereka atas premis-premis pokok us{u>l al-
fiqh, metodologi penggunaanya dan kompetensi penggunanya.
1. Sikap us{u>l al-fiqh terhadap gagasan Islam Liberal.
Untuk mengetahui apakah gagasan Islam Liberal ini diterima atau
ditolak oleh us{u>l al-fiqh, maka dapat dilihat dengan perspektif tiga
kerangka utama dari us{u>l al-fiqh itu sendiri yang terangkum dalam
definisinya, yaitu:
42
Abdullah, Madzhab Jogja, 40. 43
Menurutnya, us{u>l al-fiqh merupakan sebuah epistemologi tersendiri dengan nama
epistemologi jama’i atau epistemologi komprehensif. Hal ini di dasarkan pada asumsi bahwa
hakikat ushul al-fiqh adalah sejumlah pengetahuan yang tersusun secara rapi berupa kaidah-
kaidah umum sebagai acuan penetapan hukum tentang segala perbuatan manusia. Sumber us{u>l al-fiqh adalah nas{s{ al-Qur’a >n, nas{s{ kawni>yah, nas{s ijtima’i >yah, dan nas{s{ wujda>ni>yah. Dan metode
yang digunakan di dalamnya mencakup metode bi dala>lat al- nas{s dan al-ra’yi; tekstual dan
kontekstual; baya>ni>, ta’li >li>, dan istis{la>h{i>. Ibid, 52.
25
‚Dalil-dalil fiqh secara global, dan prosedur penggunaan dalil-
dalil tersebut, dan kategori-kategori penggunanya.‛44
Kerangka pertama memuat materi premis-premis yang bersifat
global; kedua metodologi penggunaan premis-premis tersebut; ketiga
kualitas dan kompetensi pengguna premis-premis tersebut. Di antara
diktum-diktum yang sejalan dengannya yaitu:
‚Taghayyur al-ah{ka>m bi taghayyur al-azmina>t wa al-amka>n‛
(perubahan hukum karena perubahan konteks spatio-temporal). Sesuai
dengan kaidah us{u>l ‚Al-h{ukm yadu>r ma‘a ‘illatih wuju>dan wa
‘daman‛.45
Melakukan pembaharuan, perubahan dan diskontiunitas dengan
berorientasi kepada Mas}lah}ah.46
Di antara diktum-diktum yang tidak sejalan dengannya yaitu:
Tidak ada yang disebut "Hukum Tuhan" dalam pengertian seperti
dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang
pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang
ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi
pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqa>s{id syari>‘ah, atau
tujuan umum syari’at Islam.47
44
Muh{ammad ibn Ah{mad al-Dimya>t{i>, H}a>shiyah al-Dimya>t{i> ‘ala> Sharh{ al-Waraqa>t (Surabaya: Al-Hidayah, t.t.), 6.
45 Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat ini, artikel Ulil
Abshar Abdalla, http://islamlib.com/id/artikel/sejumlah-refleksi-tentang-kehidupan-sosial-keagamaan-kita-saat-ini, diakses pada 6 januari 2013.
46 M. Sa’ad Ibrahim, Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam dalam Al-Tahrir,
Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4 No. 2 Juli 2004, (Ponorogo: STAIN Po. Press, 2004), 167-170. 47
Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat ini, artikel Ulil Abshar Abdalla, http://islamlib.com/id/artikel/sejumlah-refleksi-tentang-kehidupan-sosial-keagamaan-kita-saat-ini, diakses pada 6 januari 2013.
26
‚Ketentuan-ketentuan hukum yang sifatnya operasional di dalam al-
Qur’an dan al-Hadis itu sifatnya Temporer, semuanya, semuanya
temporer. Kalau masih sesuai kita jalankan, kalau nggak kita buang
ndak papa, yang penting semangatnya ok.‛48
Islam itu kontekstual, dalam pengertian nilai-nilainya yang universal
harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab,
Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam
yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan
mengikutinya.49
Apa yang dilakukan oleh kaum Islam Liberal lebih cenderung
terhadap apa yang diistilahkan oleh us{u>l al-fiqh sebagai Istih{sa>n. Tetapi
istih{sa>n yang dikomentari oleh al-Sha>fi‘i>:
‚Barang siapa yang beristih {sa>n, berarti membuat hukum (sendiri).‛50
Dan mas{lah{ah yang dipakai mereka adalah mas{lah{ah sebagaimana yang
dikomentarkan oleh al-Ghaza>li>:
‚Barang siapa yang menggunakan mas{lah{ah, berarti membuat hukum (sendiri).‛
51
Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan mereka terhadap prosedural
istinba>t al-ah{ka>m yang sudah paten di dalam us{u>l al-fiqh.
48
Pernyataan Ulil Abshar Abdallah-Koordinator JIL di Indonesia. Tayangan sisi lain dalam
Trans-TV, 23 Oktober 2004. 49
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel Ulil Abshar Abdalla, Kompas 2002-11-18.
50 Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Syawkânî, Irsyâd al-Fuhûl. Bayrût: Dâr al-
Fikr, t.t.), 240. Lihat juga Asmani, Fiqih Sosial, 290. 51
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustashfâ Min ‘Ilm al-Ushûl, vol. I (Bayru>t: Dâr al-Fikr, t.t.), 315.
27
Us{u>l al-fiqh memiliki sebuah premis yang menjadi landasan semua
diktum-diktum dalam metodologinya, yaitu bahwasanya otoritas hanya
milik wahyu; otoritas wahyu yang ila>hi>yah harus ditempatkan di atas
segala otoritas, termasuk akal yang wad{‘i>yah. Us{u>l al-fiqh tidak
menganggap dan sangat mengecam hal-hal yang datang dari otoritas yang
lain. Hal ini bisa di lihat dalam Q.S. al-Mâ’idah: 44, 45, 47.52
Di samping
itu, corak pemikiran us{u>l al-fiqh menggunakan epistemologi baya>ni> yang
mana paradigma yang dominan adalah literalistik.53
Sehingga, us{u>l al-fiqh
sangat menentang pemikiran kaum liberal karena tawaran-tawaran
mereka tidak memiliki landasan kuat pada kerangka teoritik (theoritical
frame) ilmu us{u>l al-fiqh yang telah ada sebelumnya, bahkan mereka
cenderung membuang teori-teori us{u>l al-fiqh lama.54
Di samping itu
kompetensi perangkat keilmuan mereka masih diragukan pada tataran
mujtahid. Pemikiran-pemikiran liberal dan modern di dalam Islam dan
hukumnya bisa saja didukung oleh us{u>l al-fiqh asalkan ada sebuah us{u>l al-
fiqh baru hasil dari pembaharuan. Sayangnya us{u>l al-fiqh yang baru
ataupun pembaharuan dalam us{u>l al-fiqh masih belum menjadi sebuah
konsesus, ijma>‘.
52
‘Abd al-Qâdir ‘Awdah, Al-Tasyrî‘ al-Janâ’î al-Islâmî, vol. 1 (t.t.: Mu’assasat al-
Risâlah, 1996), 228-229. Lihat juga Amin Abdullah, et. al., Madzhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul fiqh Kontemporer, cet. ke-1 (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), 41.
53 Abdullah, Madzhab Jogja, 118.
54 Ibid., 121.
28
2. Sikap us{u>l al-fiqh terhadap gagasan Islam Fundamentalis.
Dengan mempertimbangkan hal-hal berikut bahwa:
a. Paradigma untuk mempertahankan orisinilitas dan kontiunitas telah
dirumuskan oleh ahli us{u>l dalam kaidah: ‚Al-as{l fi> al-‘iba>dah al-tah{ri>m
illa ma> dall al-dali>l ‘ala> iba >h{atiha.>‛ (pada dasarnya, semua ibadah itu
dilarang, kecuali kalau ada dalil yang memperbolehkannya). Dengan
kaidah ini, format ritual Islam dipelihara dari segala upaya
penambahan dan pengurangan, sehingga orisinalitasnya tetap terjaga,
untuk selanjutnya kontinuitas dijalankan.55
b. Fundamentalisme, hampir sama dengan salafisme, menekankan
kepada sumber asli Islam (al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi kurang
simpatik terhadap fiqh. Fundamentalisme memegangi pandangan
holistik dan komprehensif tentang Islam (intégrisme–Perancis). Islam,
menurut Fundamentalisme, adalah agama, dunia dan negara (di>n,
dunya>, dawlah). Perspektif holistik ini mengimplikasikan keharusan
tindakan kolektif untuk mewujudkan totalitas Islam ke dalam
kenyataan.56
c. Corak pemikiran Islam Fundamentalis berparadigna baya>ni>, yaitu lebih
mengedepankan pemahaman wahyu atau nash secara tekstual. Atau
dalam istilah Harun Nasution, ‚wahyu menguasai akal atau rasio.‛57
55
M. Sa’ad Ibrahim, Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam dalam Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4 No. 2 Juli 2004, (Ponorogo: STAIN Po. Press, 2004), 166.
56 Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London and
New York: Routledge, 1991), 67-68, dalam Interrelasi Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer: Survei Pendahuluan Oleh Ahmad Nur Fuad. Makalah.
57 Amin Abdullah, Madzhab Jogja, 41.
29
d. Ajaran-ajaran agama di samping mempunyai wilyah yang given dan
taken for granted demi menjaga stabilitas, orisinilitas, diskontuitas
dan kemurnian ajaran itu sendiri, juga mempunyai wilayah yang
dinamis, kontinuitas, kompatibel, dan mengikuti perkembangan
kehidupan untuk menjaga keberlangsungannya agar tidak di acuhkan
dan menjadi rah{mah li al-‘a>lami>n.
Maka penulis menilai bahwa us{u>l al-fiqh menerima dan searah dengan
dengan faham ini, dikarenakan karakteristiknya yang sama-sama
lietaralistik (baya>ni>), ataupun non-literal tetapi selalu berangkat dari nas{s{
dan tidak pernah keluar batas darinya.
E. Upaya mediasi oleh us{u>l al-fiqh untuk mengharmoniskan antara gagasan
Islam Liberal dan Fundamentalis.
Menghadapi polemik dan persinggungan antara faham yang
berseberangan, yaitu faham kanan (baca: Fundamentalis) dan kiri (baca:
liberal) di atas mengingatkan kita pada faham Islamisasi (Syed Naquib al-
Atta>s) versus sekulerisasi (Nur Cholis Majid), ahl al-h}adi>th (Imam Ma>lik)
versus ahl al-ra’y (Imam Abu> H{ani>fah), al-Shi>‘ah versus al-Mu‘tazilah,
Kejawen versus Muhammadiyah, nalar ‘irfani> versus nalar burha>ni>,
Asy‘ariyah versus al-Mu‘tazialah, yang mana kedua kutub tersebut akhirnya
melahirkan kutub tengah sebagai jalur oposisi moderat yang mensingkronkan
dan mengkompromikan keduanya, yaitu faham Pribumisasi Islam
30
(Abdurrahman Wahid), manhaj wasat} (Imam al-Sya>fi‘i>)58
, Sunni> (ahl al-
Sunnah wa al-Jama>‘ah), Nahdlatul Ulama’ (faham Kiri-Tengah-Progessif)59
,
nalar baya>ni> (us}u>l al-fiqh), dan al-Ma>turi>di>yah (teologi moderat).60
Dalam hal ini, faham kanan mempunyai beberapa dasar maupun
prinsip yang digunakan sebagai legitimasi pemikiran maupun implementasi
darinya, di antaranya yaitu:.
‚Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.‛ (Q.S. al-Ma’idah: 3).
‚Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.‛ (Q.S. 59: 7)
‚Setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di dalam neraka.‛
‚Salatlah sebagaimana kalian melihatku salat.‛
58
Muhammad ibn Idrîs al-Syâfi‘î, Al-Risâlah (Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 2009),
29; Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Sâlim al-Kâf, Al-Taqrîrât al-Sadîdah fî al-Masâ’il al-Mufîdah, (Riyâdh: Dâr al-‘Ulûm al-Islâmîyah, 2004), 45.
59 Term Kiri mewakili faham kerakyatan, Tengah mewakili faham ahl Sunnah wal
Jama’ah yang selalu mendasarkan tindakannya pada sikap moderat, seimbang, dan toleran,
sedangkan Progessif nya mewadahi gerakan yang pantang menyerah dan konsisten di jalur ‚Kiri-
Tengah‛ ini. Kerangka moderasi NU memiliki kedekatan dengan pola pikir Kiri-Tengah-Progessif
dalam hal sama-sama tidak menghendaki adanya pola ekstrim, baik ekstrim kanan maupun
ekstrim kiri. Lihat Nur Khalik Ridwan, NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (Yogyakarta: LkiS, 2012), 159, 162.
60 Lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, Al-Waji>z fi> Usu>l al-Fiqh (t.t.: t.p., t.t.), 144-145.
31
‚Ambillah dariku ibadah-ibadah kalian.‛
‚Urusan umat ini tidak akan pernah jaya kecuali dengan sistem yang membuat jaya para pendahulunya.‛ (Imam Malik).
Dasar-dasar ini digunakan untuk mendasari upaya mereka yang cenderung
kepada menjaga orisinalitas dan diskontinuitas ajaran agamanya.
Sedangkan faham kiri mempunyai kecenderungan untuk meng-
kontekstualisasikan dan mengkontinuitaskan ajaran agama sesuai dengan
situasi-kondisi yang melingkupinya untuk mencari dan merealisasikan
kemaslahatan umat. Di antara prinsip-prinsip yang digunakan untuk
mendukung itu yaitu:
‚Hukum itu beredar bersamaan dengan ‘illahnya di dalam keberadaan dan ketiadaannya.‛61
‚Perubahan hukum itu dipengaruhi oleh perubahan konteks spatio-temporal.‛62
‚Agama Islam itu selalu relevan kapan pun dan di mana pun.‛ 63
61
Sejumlah Refleksi, artikel Ulil Abshar Abdalla, http://islamlib.com , diakses pada 6
januari 2013. Lihat juga Ahmad ibn ‘Abd al-Lat}i>f al-khat}i>b al-Minka>ba>wi>, Al-Nafah}at ‘ala> Syarh} al-Waraqa>t (t.t.: Al-Haramayn, 2006), 146.
62 Ibid.; lihat juga Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 11-14.
63 Lihat Shalt{u>t, Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah, 559.
32
‚Sesungguhnya Allah akan menutus kepada umat ini tiap
permulaan seratus tahun sesosok (mujtahid) yang memperbarui (urusan) agamanya.‛ (H.R. Abu> Hurayrah)
64
Menurut penulis bahwa kedua-duanya mempunyai tujuan yang mulia
yaitu satu fihak ingin menjaga dan memurnikan ajaran-ajaran agamanya
sesuai dan sejalan betul dengan bunyi asli wahyu Tuhannya. Sedangkan fihak
lain ingin menghidupkan dan menyelaraskan spirit wahyu tersebut sesuai
relitas yang ada agar wahyu tidak kehilangan elan vitalnya, karena wahyu
tidak pernah turun di ruang dan waktu yang nihil dinamika dan relitas sosial.
Tetapi di dalam praktiknya, masing-masing fihak semakin terjauhkan dari
keseimbangan bersikap. Mereka lebih cenderung mengambil langkah berbeda
dari golongan mindstream yang mayoritas untuk menonjolkan identitasnya,
sehingga dalam aksinya mereka tidak jarang mengambil sikap berlebihan dan
terlalu (baca: ekstrim, ghuluw).
Melihat fenomena tersebut, us}u>l al-fiqh sejak semula telah
menunjukkan sikapnya dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya. Dengan
prinsip-prinsip ini, us}u>l al-fiqh ingin menawarkan upaya-upaya yang bisa
merukunkan keduanya, menarik dan menggiring keduanya kepada posisi
aman, sejalan dan tidak keluar maupun menyimpang dari koridor Syari‘ah,
seraya tetap menghargai kecenderungan dan identitas mereka. Upaya
tersebut dapat penulis pilah kedalam dua langkah.
Pertama, memberlakukan us}u>l al-fiqh secara umum; artinya, us}u>l al-fiqh dan
segala perangkat di dalamnya digunakan sebagai pedoman dan metodologi
64
Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân îbn al-Kamâl Al-Suyûthî. al-Jami‘ al-Saghi>r fi Ah}a>di>th al-bashi>r al-nazhi>r, vol. I (Beirut: Da>r al_Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), 115. No. 1845.
33
utama di dalam tataran filosofi, ideologi, petunjuk pelaksanaan (juklak) dan
petunjuk teknis (juknis) di dalam segala aktivitas keislaman masing-masing
pihak.65
Mengingat us}u>l al-fiqh merupakan logika dan epistemologi Islam itu
sendiri yang disebut dengan epistemologi jama>‘i> atau epistemologi
komprehensif,66 yang mana karena segala prestasinya menjadi the queen of
Islamic sciences atau primadona ilmu-ilmu keislaman.67
Termasuk di dalamnya, us}u>l al-fiqh memfasilitasi sumber-sumber hukum
(adillat al-ah}ka>m ataupun mas}a>dir al-ah}ka>m) berupa al-Kitab, al-Sunnah, al-
Ijma>‘ al-Qiya>s bagi mereka yang berkecenderungan kontekstualis. Bagi
mereka yang berkecenderungan literalis ataupun tekstualis, us}u>l al-fiqh
sudah menyediakan fasilitas yang mewah dan lengkap berupa al-Istih}sa>n, al-
Istis}h}a>b, al-Istis}la>h, al-‘Urf, sadd al-Dhara>i‘ dan Syar‘ man qablana>.
Walaupun status fasilitas-fasilitas ini masih mukhtalaf fi>h (debatable), dalam
arti hanya dipergunakan oleh minoritas ahli, tidak seperti yang pertama.68
Kedua, us}u>l al-fiqh menawarkan kaidah-kaidah us}u>liyah yang spesifik,
semisal:
‚Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan kalian sebagai bangsa yang moderat.‛ (Q.S. al-Baqarah, 143)
65
Lihat Ahdo Bina Afianto, ‚Nalar Hukum Islam Perspektif Filsafat Hukum Islam dan
Metodologi syri’ah.‛ Dalam Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 10. No. 1 Juni 2010.
(Ponorogo: STAIN Po. Press, 2010), 11. 66
Abdullah, Madzhab Jogja, 52. 67
Lihat Abdul Mun’im Saleh, Otiritas aslahah dalam Madhhab Syafi’i (Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama, 2012), 55. 68
Abû Zahrah, Ushûl, 74; Wahbah al-Zuhaylî, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh (t.t.: t.p., t.t.), 21; Muhammad Âmîn, Taysîr al-Tahrîr, vol. 3 (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.), 2.
34
‚Jauhilah sikap terlalu (ekstrim) dalam beragama, karena generasi-generasi sebelum kalian telah binasa dikarenakan sikap terlalu (ekstrim) dalam beragama.‛ (H.R. Ibn Abbas)
69
‚Segala hal yang melampaui batasnya maka statusnya akan menjadi kebalikannya.‛70
‚Sebaik-sebaik urusan adalah pertengahannya.‛ (H.R. Bayhaqi>).
‚Melestarikan hal-hal lama yang masih relevan seraya mengadopsi hal-hal baru yang lebih relevan.‛71
Dengan prinsip-prinsip tersebut, tampak us}u>l al-fiqh sangat
menjaga keseimbangan dalam menyikapi segala akatifitas mukallafi>n. Dia
selalu menjauhi sikap ekstrim baik ke kanan maupun ke kiri seraya
menariknya ke posisi tengah (moderat), posisi yang tawassut} (moderat),
tawazun (seimbang), dan tasa>muh (toleran)}. Sebagai manifestasi upaya
ini, us}u>l al-fiqh selalu mencari dan memberikan landasan tekstual
terhadap segala ketetapan baru dalam rangka menyikapi dinamika relitas.
69
Al-Suyûthî. al-Jami‘ al-Saghi>r, vol. I, 174. No. 2909. 70
Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fî al-Qawâ‘id al-Fiqhîyah (Kairo: al-
Maktab al-Tsaqafî, 2007), 119. 71
‘Abd al-Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (t.t.: Da>r al-Qalam, 1978), 90. Dikutip
dalam Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta: LkiS, 2004), 21-23.
35
F. Masa Depan Islam Liberal dan Fundamentalis.
1. Masa Depan Islam Liberal.
Tentang keberlangsungan Islam Liberal di masa depan, penulis
menemukan beberapa komentar, di antaranya yaitu:
1. Pemikiran liberal, progresif dan kritis bukanlah anak tiri, melainkan
‚anak kandung‛ peradaban Islam. Justru yang menjadi ‚anak tiri‛
peradaban Islam adalah pengebirian terhadap kebebasan berfikir,
apalagi sampai melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik
maupun kekerasan wacana.72
2. Ketika gagasan tentang agama tidak memiliki keluwesan untuk
menuntaskan berbagai tugasnya, niscaya ia tidak akan mampu
bertahan untuk menjadi salah satu gagasan besar umat manusia. Ketika
sebuah konsepsi tentang agama tidak lagi mempunyai makna atau
relevansi, ia akan ditinggalkan dan digantikan oleh ‚ajaran‛ lainnya. Di
sini kaum beragama ditantang untuk memberikan pandangan objektif
sehingga citra agama harus selalu disesuaikan dengan zaman. Setiap
generasi harus melahirkan sendiri ‚agama layak‛ agar kehadirannya
berarti jaminan atas berlangsungnya kemanusiaan universal tanpa
pandang bulu. Agama harus berubah dan berkembang, bila tidak ia
akan usang dan ditinggalkan.73
72
Nur Kholis Setiawan, Menghadirkan Tradisi yang Terlupakan, dalam kata pengantar
Aksin Wijaya, Nalar Kritis Epistemologi Islam (Yogyakarta: KKP & Nadi Pustaka, 2012), viii. 73
Airlangga Pribadi dan M. Yudhie R. Haryono, Post Islam Liberal: Membangun Dentuman, Mentradisikan Eksperimentasi, cet. ke-1 (Bekasi: PT. Gugus Press, 2002), 48-49.
36
3. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam, perubahan diskon-
tinuitas yang berorientasi pada kemaslahatan itu memang merupakan
keniscayaan dan absah.74
4. Saya ingat kalimat terkenal dari Syekh Ami>n al-Khuli> dari Mesir,
‚Tu‘add al-fikrah h{i>nan ma ka>firatan tuh{arram wa tuh{arrab, thumma
tus{bih{ ma‘a al-zama>n madhhaban bi ‘aqi>dah wa is{la>h takht{u> bih al-
h{aya>h khat{watan ila> al-ama>m.‛ (suatu pemikiran pada suatu masa
dianggap kafir, dilarang, dan dimusuhi; pelan-pelan, dengan berlalunya
waktu, pemikiran itu berubah menjadi mazhab, bahkan dogma
dominan, menjadi gagasan perbaikan dan pembaharuan yang membuat
kehidupan lebih maju lagi ke depan.)75
5. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih
dimungkinkan pada upaya pemahaman teks-teks Islam secara
konstekstual dibanding secara tekstual yang justru menjadi trade mark
dari Islam itu sendiri yang dalam ungkapan Rid{a>: ‚Al-Isla>m di>n al-‘aql
wa al-fikr.‛ (Islam itu agama rasional-intelektual).76 Dikatakan juga
bahwa ‚Al-di>n huw al-‘aql, la di>n li man la> ‘aql lah.‛ (Agama adalah
akal, tidak bisa beragama bagi orang yang tidak berakal).77
74
M. Sa’ad Ibrahim, Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam dalam Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4 No. 2 Juli 2004, (Ponorogo: STAIN Po. Press, 2004), 175.
75 Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat ini, artikel Ulil
Abshar Abdalla, http://islamlib.com/id/artikel/sejumlah-refleksi-tentang-kehidupan-sosial-keagamaan-kita-saat-ini, diakses pada 6 januari 2013.
76 Muhammad Rasyid Rid{a>, al-Wah{y al-Muh{ammadi> (Mesir: Matba’at al-Manar, 1935),
211. Dikutip dalam M. Sa’ad Ibrahim, Orisinalitas dan Perubahan dalam Ajaran Islam dalam Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4 No. 2 Juli 2004, (Ponorogo: STAIN Po. Press, 2004), 169.
77 KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, cet. ke-6 (Yogyakarta: LKiS, 2007),
66.
37
Dari pemaparan di atas, penulis menilai bahwa dengan kegigihan
dan optimisme para kaum Liberal, gagasan yang mereka usung secara
bertahap dan gradual akan diterima dan di dukung oleh masyarakat luas,
terutama bagi mereka yang hidup di lingkungan yang heterogen dan
plural, semisal perkotaan dan kota-kota besar di belahan dunia.
2. Masa Depan Islam Fundamentalis.
Pembahasan ini lebih menyoroti pada sikap manifestasi perilaku
(action, belonging) kaum Fundamentalis, bukan pada aspek keyakinan
(believing); karena pada aspek ini, fanatisme (ta‘as}s}ub) sangat dianjurkan.
Menurut penulis, masa depan Islam Fundamentalis tidak secerah
Islam Liberal, dikarenakan masyarakat ke depan lebih sadar dan lebih
memilih terhadap apa yang membuat diri mereka nyaman untuk
kehidupan mereka. Dengan segala pengalaman dan fenomena yang terjadi
di lingkungan dan kehidupan mereka, mereka akan lebih cenderung
menjauhi hal-hal yang bersifat dogmatis yang dipaksakan, ekstrimisme,
eksklusifisme, ortodoksi, dan konservatisme; dan mereka akan lebih
memilih hal-hal yang tidak mengganggu privasi mereka, tidak membatasi
dan melanggar hak-hak asasi mereka, moderatisme, inklusifisme,
kontemporer dan modernisme.
Menurut Yu>suf al-Qard{a>wi>, satu-satunya kelompok Islam
Fundamentalis yang mempunyai masa depan cerah adalah dari aliran
moderat (tiya>r al-wasat{i>yah), dikarenakan dia mempunyai kemampuan
berkomunikasi dengan bahasa kekinian (lisa>n al-‘as{r), mempunyai
38
kesiapan mengembangkan dirinya, mengangkat harga dirinya, dan siap-
sedia berdialog terbuka dengan kelompok lain. Dia selalu berpegang pada
hal-hal yang mapan yang menjadi ijma>‘ umat. Di samping itu idiologinya
lebih mudah diterima masyarakat, pemeluknya merupakan golongan
mayoritas, paling dahulu lahirnya dan paling lama usianya.78
Dan selama
Islam tradisional bertambah kuat dalam politik dunia, Islam akan tampil
di front terdepan.79
78
Di samping itu fundamentalisme Islam yang moderat ini mempunyai pemahaman yang
baik terhadap Islam, kehidupan dan hukum Alam (sunnat allah), problematika tanah air,
mempunyai perhatian yang dalam terhadapnya, berdakwh dengan cra yang proporsional, berjihad
menegakkan hukum Allah di bumi serta mengembalikan penyelewengan-penyelewengan ajaran-
ajaran Islam kepada jalan yang semestinya. Alirn inilah yang menjadi faham masa depan dan
jalan selamat bagi umat. Al-Qard{a>wi>, Mustaqbal al-Ushu>li>yah, 90, 93. 79
Watt, Fundamentalis, 26.
39
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan tentang Islam Liberal dan Islam
Fundamentalis, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa yang dinamakan Islam Liberal adalah aliran pemikiran di dalam
Islam yang berorientasi dan meyakini bahwa kebebasan sebagai prinsip
dan orientasi, motivasi dan tujuan, pokok dan hasil dalam kehidupan
manusia. Sedangkan Islam Fundamentalis adalah sebuah aliran atau
faham yang berpegang teguh pada dasar-dasar agama secara ketat melalui
penafsiran terhadap kitab suci secara rigid dan literalis.
2. Di antara ajaran pokok kaum Islam Liberal yaitu individualisme,
rasionalisme, sekularisme, dan kontekstualisasi ijtiha>d. Secara lebih rinci
dapat dibagi ke dalam dua wilayah; pertama, wilayah politik, yaitu
menentang teokrasi (againt theocracy), mendukung dan membela gagasan
demokrasi, hak-hak perempuan (right of women), hak-hak non muslim
(minoritas). Sedangkan dalam wilayah kultural yaitu membela kebebasan
berpikir (freedom of tought) dan gagasan kemajuan (the idea of progress).
Adapun di antara ajaran pokok kaum Islam Fundamentalis yaitu
Opposionalisme (paham perlawanan), penolakan terhadap hermeneutika,
pluralisme dan relativisme, dan perkembangan historis dan sosiologis.
3. Di antara produk-produk berfikir kaum Islam Liberal dan prosedur
penalarannya adalah bahwasanya poligami hukumnya haram, nikah sirri
hukumnya tidak sah, nikah beda agama hukumnya diperbolehkan, bahkan
40
secara mutlak, dan jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot dan
jubah tidak wajib diikuti. Sedangkan di antara produk-produk berfikir
kaum Islam Fundamentalis dan prosedur penalarannya adalah ka>fir dan
murtadnya orang yang menolak faham mereka, wajibnya jiha>d, merubah
kemungkaran dengan kekuatan; haramnya sesuatu yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, berdomisili di negara Barat, bekerja bagi
wanita, dan mengucapkan selamat kepada non-muslim.
4. Sikap us{u>l al-fiqh terhadap gagasan kaum Islam Liberal adalah secara
umum menolak dikarenakan premis dasar keduanya saling bertentangan,
yaitu tentang otoritas tertinggi dalam hukum, meskipun dalam hal-hal
tertentu us{u>l al-fiqh sejalan dengannya. Sedangkan sikap us{u>l al-fiqh
terhadap gagasan kaum Islam Fundamentalis adalah secara umum
menerimanya dikarenakan kedua-duanya bersifat literalis demi menjaga
kontinuitas dan orisinalitas, walaupun dalam hal-hal tertentu juga tidak
sejalan dengannya.
5. Masa depan Islam Liberal adalah cerah dan secara gradual akan diikuti
oleh orang banyak, karena mereka lebih bisa berkomunikasi dan
beradaptasi, lebih moderat, solutif dan tidak memaksa. Sedangkan masa
depan Islam Fundamentalis yaitu suram dan sepertinya secara gradual
juga akan dijauhi, kecuali dari kelompok moderat (tiya>r al-wasat{i>yah)
yang akan semakin eksis.
41
B. Saran-saran
1. Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah (moderat), dan segala
sesuatu yang terlalu dan melebihi batas, statusnya akan berubah menjadi
kebalikannya. Dalam hal lain, sesuatu yang bersifat ekstrim (baik dalam
hal positif, apalagi negatif) akan mengalami halangan dan tantangan yang
luar biasa dalam survivenya, dan hal itu mnyebabkan eksistensinya cepat
punah.
2. Makalah ini masih banyak memiliki keterbatasan dan kekurangan, maka
penulis sangat mengharap saran dan kritik konstruktif dari para pembaca
demi kesempurnaannya.
42
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin et. al.. Madzhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul fiqh Kontemporer, cet. ke-1. Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002.
Afianto, Ahdo Bina. ‚Nalar Hukum Islam Perspektif Filsafat Hukum Islam dan
Metodologi syri’ah.‛ Dalam Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 10.
No. 1 Juni 2010. Ponorogo: STAIN Po. Press, 2010.
Âmîn, Muhammad. Taysîr al-Tahrîr. vol. 3. Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.
Asmani, Jamal Ma’mur. Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi, cet. ke-1. Surabaya: Khalistha, 2007.
‘Awdah, ‘Abd al-Qâdir. Al-Tasyrî‘ al-Janâ’î al-Islâmî, vol. 1. t.t.: Mu’assasat al-
Risâlah, 1996.
Ba‘ashi>n, Sa‘i>d ibn Muh{ammad. Bushr al-Kari>m bi Sharh{ Masa<’il al-Ta‘li<m, vol.
I. Surabaya: al-Haramain, t.t..
Al-Dimya>t{i>, Muh{ammad ibn Ah{mad. H}a>shiyah al-Dimya>t{i> ‘ala> Sharh{ al-Waraqa>t. Surabaya: Al-Hidayah, t.t..
Ismail, Nurjannah. Perempuan dalam Pasungan: Bias laki-laki dalam Penafsiran,
cet. Ke-1. Yogyakarta: Lkis, 2003.
Al-Kâf, Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Sâlim. Al-
Taqrîrât al-Sadîdah fî al-Masâ’il al-Mufîdah. Riyâdh: Dâr al-‘Ulûm al-
Islâmîyah, 2004.
Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi al-lughah wa al-I’lam, cet. ke-41. Bayrut: Dar al-
masyriq, 2005.
Mahfudz, MA. Sahal. Nuansa Fiqih Sosial, cet. ke-6. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Al-Minka>ba>wi>, Ahmad ibn ‘Abd al-Lat}i>f al-khat}i>b. Al-Nafah}at ‘ala > Syarh} al-Waraqa>t. t.t.: Al-Haramayn, 2006.
Mulia, Siti Musdah. Islam & Inspirasi kesetaraan Gender, cet. Ke-1,
(Yogyakarta: Kibar Press, 2007), vi. Pengantar penulis.
Mustofa, Agus. Beragama dengan Akal Sehat. Surabaya: Padma Press, 2008.
43
Pribadi, Airlangga dan M. Yudhie R. Haryono. Post Islam Liberal: Membangun Dentuman, Mentradisikan Eksperimentasi, cet. ke-1. Bekasi: PT. Gugus
Press, 2002.
Al-Qard{a>wi>, Yu>suf. Mustaqbal al-Ushu>li>yah al-Islami>yah, cet. Ke-3. Bayru>t: al-
Maktab al-Islami, 1998.
Ridwan, Nur Khalik. NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad. Cet. Ke-3. Yogyakarta: LkiS, 2012.
Saleh, Abdul Mun’im. Otiritas aslahah dalam Madhhab Syafi’i. Yogyakarta:
Magnum Pustaka Utama, 2012.
Shalt{u>t, Mah{mu>d. Al-Islam: ‘Aqi>dah wa Syari>‘ah. Da>r al-Qalam, 1966.
Al-Sulami>, ‘Abd al-Rah}i>m ibn Sama>yil. Al-Librâliyah: Nasy`’atuhâ wa Maja>lâtuhâ. t.t.:t.p, t.t. File doc.
. H{aqîqah al-Librâl>iyah wa Mawqif al-Islâm minhâ. Disertasi,
Universitas Umm al-Qura, Makkah, 2000.
Al-Syâfi‘î, Muhammad ibn Idrîs. Al-Risâlah. Bayrût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah,
2009.
Al-Suyûthî, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân îbn al-Kamâl. Al-Jami‘ al-Saghi>r fi Ah}a>di>th al-bashi>r al-nazhi>r, vol. I. Beirut: Da>r al_Kutub al-‘Ilmiyah,
2008.
. Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir fî al-Qawâ‘id al-Fiqhîyah. Kairo: al-
Maktab al-Tsaqafî, 2007.
Al-Syawkânî, Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad. Irsyâd al-Fuhûl. Bayrût: Dâr
al-Fikr, t.t..
Team Penyusun, Al-Mawsû’ah al-‘Ârabi>yah al-Âlami>yah, vol. XXI. Cet. Ke-1.
Riya>d}: Mu’assasat a‘ma>l al-Mawsu>‘ah li al-Nashr wa al-Tawzi>‘, 1996.
Watt, William Montgomery. Fundamentalis Dan Modernitas dalam Islam (terj.)
Kurnia sastra praja et. al. Cet. ke-1. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003.
Wijaya, Aksin. Nalar Kritis Epistemologi Islam. Yogyakarta: KKP & Nadi
Pustaka, 2012.
Zahro, Ahmad Tradisi Intelektual NU. Cet.1. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Al-Zuh}ayli, Wahbah. Al-Waji>z fi> Usu>l al-Fiqh. t.t.: t.p., t.t.
44
Abdul Moqsith Ghazali, Koordinator JIL. Tayangan dalam acara Today’s
Dialogue di Metro-TV, 2008.
Akar sejarah pemikiran liberal, oleh K.H.. M. Shiddiq al-jawi,
Fundamentalisme,makalah.
http.islamlib.com/id/index.php?page=artikel&id=792); Lihat juga
http://ibrahim-muhlis.blogspot.com/2011/06/Fundamentalisme.html.
Diakses pada 27 oktober 2012.
http://www.referensimakalah.com/2012/01/pengertian-Fundamentalisme-
radikalisme_8767.html, diakses pada 6 Januari 2012;
http://www.artikata.com/arti-327465-Fundamentalis.html, diakses pada 6
Januari 2012.
Interrelasi Fundamentalisme Dan Orientasi Ideologi Gerakan Islam Kontemporer: Survei Pendahuluan Oleh Ahmad Nur Fuad. Makalah.
Liberalisasi Islam di Indonesia, Adian Husaini, M.A. Tayangan Youtube-
adianh87, www.anwaraidc.com.
Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, artikel Ulil Abshar Abdalla, Kompas 2002-11-18.
Poligami dalam pemikiran Kalangan islam liberal, makalah Nurul huda.
publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat ini, Pidato
Kebudayaan, Ulil Abshar Abdalla, Graha Bhakti Budaya TIM-Jakarta, 2
Maret 2010. http://islamlib.com/id/artikel/sejumlah-refleksi-tentang-
kehidupan-sosial-keagamaan-kita-saat-ini diakses pada 6 januari 2013.
Al-Tahrir, Jurnal Pemikiran Islam, vol. 4 No. 2 Juli 2004. Ponorogo: STAIN Po.
Press, 2004.
Tayangan Audio visual Youtube Freedom Institute, Akademi Merdeka, Ulil
Abshar Abdalla, Bogor 24-26 Juni 2011. Ulil Abshar Abdallah-Koordinator JIL di Indonesia. Tayangan sisi lain dalam
Trans-TV, 23 Oktober 2004.