”Butter Cookies” MOCORIN (Modifikasi Zea mays The ...
Transcript of ”Butter Cookies” MOCORIN (Modifikasi Zea mays The ...
2
Evaluasi Mutu Gizi dan Organoleptik ”Butter Cookies” MOCORIN (Modifikasi
Tepung Jagung Lokal (Zea mays L.) – Bekatul)
The Nutritional’s Evaluation and Organoleptic of MOCORIN (Modification of Local
Corn (Zea mays L.) - Rice Bran Flour) “Butter Cookies”
Frenky Prasetya Wiyono*, Lydia Ninan Lestario**, A. Ign Kristijanto**
*) Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika
**) Dosen Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Kristen Satya Wacana
Jalan Diponegoro 52-60 Salatiga 50711
ABSTRACT
The objectives of this study were: Firstly, to determine the effect of various rice
bran additions in making of MOCORIN based on the nutritional value, secondly, to
determine the percentage of MOCORIN additions based on the organoleptic value of
butter cookies. The water, ash, protein, carbohydrates, fat content, and crude fiber of
MOCORIN were analysed by Randomized Completely Block Design (RCBD), 6
treatments and 4 replications. The treatments were the substitution ratios of rice bran
which were : 0 %; 12,5 %; 25 %; 37,5 %; 50 %; and 62,5 % respectively, and as the
blocks were time of analysis. The organoleptic values were analysed by RCBD, with 7
treatments and 30 replications as the treatments were mixture of wheat and different
substitution ratios of MOCORIN which were 0 %; 12,5 %; 25 %; 37,5 %; 50 %; and
62,5 % respectively. To test the differences between the treatment means, the Honestly
Significant Differences (HSD) at 5 % level of significance were used. The results of this
study showed that ash content, protein, fat, and crude fiber increased according to the
level of rice bran addition, on contrary, carbohydrates content decreased. Butter cookies
which were the most panelists like was the butter cookies using MOCORIN with 25 %
substitution of rice bran.
Keywords : MOCORIN, rice bran, butter cookies
PENDAHULUAN
Adanya permintaan beras yang terus meningkat ditambah dengan semakin
menyempitnya area persawahan akibat konversi lahan pertanian menjadi kawasan
industri dan pemukiman, membuat Indonesia semakin banyak mengimpor beras.
Namun di sisi lain, Indonesia memiliki jagung yang berfungsi sebagai sumber pangan
1
2
yang mampu tumbuh di lahan-lahan kering. Menurut Prasanna dkk. (2001) dalam Arief
dan Asnawi (2009), jagung merupakan hasil palawija pertama yang memegang peranan
penting dalam pola menu makanan mayarakat setelah beras. Lebih lanjut menurut Arief
dan Asnawi (2009), nilai gizi jagung adalah sebagai berikut: karbohidrat (75,06 -76,3
%), protein (6,51 - 8,4 %), lemak (3,2 - 5,34 %), serat (2,07 - 2,6 %), dan abu (1 - 1,43
%). Komposisi nilai gizi tersebut ditentukan dari beberapa varietas jagung, yaitu
Srikandi kuning, Srikandi putih, Bisi-2, dan Lamuru.
Jagung memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi akan tetapi kandungan protein,
abu, lemak, dan serat yang terbilang rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan
kandungan gizi jagung adalah dengan penambahan bekatul. Bekatul merupakan kulit
paling luar dari beras dan kulit paling dalam dari sekam yang telah terkelupas melalui
proses penggilingan dan penyosohan. Menurut Riswanto dkk. (2009), dalam gabah
kering giling terdapat bekatul sebanyak 10 %. Lebih lanjut menurut Hermanianto dkk.
(1997), dalam 100 gram tepung bekatul terkandung 14 gram protein, 18 gram lemak, 36
gram karbohidrat, 10 gram abu, dan 12 gram serat kasar.
Menurut Auliana (2011), kandungan protein bekatul lebih rendah dibandingkan
telur dan protein hewani, tetapi lebih tinggi dibandingkan kedelai, jagung, dan terigu.
Kandungan gizi yang dimiliki bekatul padi, diantaranya adalah vitamin (seperti thiamin,
niacin, vitamin B-6), mineral (besi, fosfor, magnesium, kalium), asam lemak esensial,
antioksidan, serta dietary fiber (Riswanto dkk., 2009). Hasil samping penggilingan padi
ini memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik, namun sampai sejauh ini pemanfaatan
bekatul hanya terbatas sebagai pakan ternak.
Menurut Pratiwi dkk. (2011), fermentasi merupakan proses yang relatif murah dan
proses ini dengan cara dan dosis yang sesuai mampu menyederhanakan karbohidrat
kompleks, membentuk protein, sehingga nilai gizi bahan yang terfermentasi lebih tinggi
dari pada bahan awal. Pada proses pembuatan tepung jagung bekatul, penambahan
kapang diharapkan mampu meningkatkan kualitas tepung jagung bekatul yang
dihasilkan. Tepung jagung bekatul yang dihasilkan melalui proses tersebut disebut
MOCORIN.
3
TUJUAN
1. Menentukan nilai gizi MOCORIN antar berbagai persentase penambahan
bekatul.
2. Menentukan perbandingan MOCORIN yang ideal dalam pembuatan butter
cookies ditinjau dari nilai organoleptik.
METODE PENELITIAN
Bahan dan piranti
Bahan yang digunakan adalah jagung putih varietas lokal yang diperoleh dari petani
jagung Desa Ngaglik, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali, bekatul (Prima Sehat,
Yogyakarta), dan ragi tempe (Raprima, LIPI). Sedangkan bahan kimiawi yang
digunakan antara lain anthrone, H2SO4, HCl, Na2CO3, (D) Glukosa, CuSO4.5H2O,
NaKTartat, NaOH, BSA (Bovin Serum Albumin) (Merck, Germany), dan eter, etanol
(derajat teknis).
Piranti yang digunakan dalam penelitian ini meliputi almari pengering, gilingan,
ayakan, neraca (Scout Pro SPS 602F), neraca (Acis A300), neraca (Mettler H80), oven
(Memmert U30), waterbath (Smic 5064), pH meter (Hanna HI9812), pompa vakum,
corong Buchner, rotary evaporator (Buchi R114), furnace (Vulcan A-550), centrifuge
(Eba 21), spektrofotometer (Optizen 2120 UV).
Pelaksanaan penelitian
Fermentasi Jagung-Bekatul (Alam, 2010 yang dimodifikasi dan Marsono, 1997)
Biji jagung direbus menggunakan air kapur 1 % selama 30 menit kemudian dicuci
hingga bersih. Selanjutnya biji jagung direbus lagi dengan air bersih selama 60 menit,
ditiriskan kemudian digiling kasar.
Bekatul ditambah air dengan perbandingan 10:6 diaduk hingga rata, kemudian
bekatul dikukus selama 15 menit. Setelah dingin, jagung dan bekatul dicampur
kemudian ditambah ragi tempe sebanyak 6 %. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu
kamar selama 31 jam dalam kantong plastik yang telah dilubangi.
4
Penepungan Hasil Fermentasi
Jagung dan bekatul yang telah diikubasi selama 31 jam dimasukkan dalam almari
pengering pada suhu 500C selama 1 malam. Setelah kering digiling hingga halus
kemudian diayak, dan hasil akhir ini disebut MOCORIN.
Pengukuran Kadar Air (Sudarmadji dkk., 1984)
1 gram MOCORIN ditimbang dalam cawan petri yang sudah diketahui bobotnya.
MOCORIN dan cawan petri dioven selama 3 - 5 jam pada suhu 1050C. MOCORIN dan
cawan petri didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Dipanaskan lagi dalam
oven selama 30 - 60 menit hingga diperoleh massa yang konstan.
Pengukuran Kadar Abu (Sudarmadji dkk., 1984)
2 gram MOCORIN ditimbang dalam cawan porselen yang sudah diketahui
bobotnya. MOCORIN dan cawan porselen dipijarkan dalam furnace pada suhu 8000C
selama 1 jam (diperoleh abu berwarna putih) lalu didinginkan dalam desikator
kemudian ditimbang.
Pengukuran Kadar Protein Dengan Metoda Biuret (AOAC, 1995)
0,1 gram MOCORIN ditambah 10 ml akuades dan 1 ml NaOH 1 M, dipanaskan
dalam penangas air pada suhu 900C selama 10 menit. Sampel dipindahkan dalam labu
ukur 50 ml dan digenapkan dengan akuades. Kemudian dipusingkan selama 10 menit
dengan kecepatan 4000 rpm. 0,5 ml supernatan yang diperoleh ditambah dengan 2 ml
reagensia biuret, kemudian diinkubasi selama 30 menit dan dilakukan pengukuran
absorbansi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm.
Pengukuran Kadar Karbohidrat Dengan Metoda Anthrone (Hedge and Hofreiter,
1962)
0,2 gram MOCORIN ditambah 10 ml HCl 2,5 N dan dihidrolisis dalam penangas air
pada suhu 800C selama 3 jam, kemudian dinetralkan dengan penambahan Na2CO3 dan
digenapkan dengan akuades hingga 100 ml dalam labu ukur. Larutan dipusingkan
selama 30 menit dengan kecepatan 3000 rpm. 0,5 ml supernatan ditambah dengan 2 ml
reagensia anthrone, kemudian diinkubasi pada suhu 400C selama 8 menit. Setelah
dingin dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 630 nm.
5
Pengukuran Lemak (Sudarmadji dkk., 1984)
10 gram MOCORIN diekstrak menggunakan pelarut eter pada suhu 500C selama 5
jam. Sisa pelarut diuapkan menggunakan rotary evaporator, lalu dimasukkan dalam
oven hingga tidak ada pelarut yang tersisa. Bobot lemak ditimbang.
Pengukuran Serat Kasar (SNI, 1992)
2 gram MOCORIN diekstraksi lemaknya menggunakan soxhlet kemudian
dipindahkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambah 100 ml larutan H2SO4 12,5 %
lalu didihkan selama 30 menit kemudian ditambah 200 ml NaOH 3,25 % dan
dipanaskan lagi selama 30 menit. Larutan disaring dengan kertas saring kering yang
sudah diketahui bobotnya, sambil dicuci berturut-turut dengan air panas, H2SO4 1,25 %,
air panas, dan alkohol 96 %, kemudian kertas saring dengan residu dipindahkan ke
dalam cawan yang sudah diketahui bobotnya dan dikeringkan pada 110ºC sampai bobot
konstan. Setelah itu cawan dipijarkan dan ditimbang sampai bobot tetap.
Pembuatan Butter Cookies (Anonim, 2012 yang dimodifikasi)
100 g mentega ditambah 100 g gula halus dan 2 butir kuning telur, kemudian
dikocok hingga menggembang. Ditambahkan 100 g tepung sampel dan 25 g susu
bubuk, kemudian diaduk hingga merata. Adonan dicetak pada loyang yang telah diolesi
mentega kemudian dioven selama + 20 menit.
Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)
Uji organoleptik meliputi warna, rasa, aroma, dan tekstur butter cookies dilakukan
dengan uji kesukaan. Sampel berupa butter cookies diuji cobakan kepada 30 orang
panelis dengan kode tertentu. Skala hedonik untuk warna, rasa, aroma, dan tekstur
butter cookies ditentukan dengan skala sebagai berikut: 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak
suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka.
Analisa Data (Steel dan Torrie, 1989)
Data parameter MOCORIN dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK), 6 perlakukan dan 4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah persentase
penambahan bekatul yaitu 0 %; 12,5 %; 25 %; 37,5 %; 50 %; dan 62,5 %, sedangkan
sebagai kelompok adalah waktu analisis. Demikian pula halnya dengan data
organoleptik dianalisis dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan
6
7 perlakuan dan 30 ulangan. Sebagai perlakuan adalah tepung terigu dan persentase
penambahan MOCORIN (0 %; 12,5 %; 25 %; 37,5 %; 50 %; dan 62,5 %). Untuk
menguji purata antar perlakuan dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat
kebermaknaan 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk menentukan pengaruh penambahan bekatul dalam
proses fermentasi jagung ditinjau dari kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar
karbohidrat, kadar lemak, dan kadar serat kasar tepung MOCORIN yang dihasilkan.
Kadar Air
Rataan kadar air MOCORIN berkisar 7,51 + 1,04 % - 9,11 + 1,17 % dan kadar air
MOCORIN sama antar berbagai persentase penambahan bekatul (Tabel 1).
Tabel 1. Kadar Air (%) MOCORIN Berbagai Persentase Penambahan Bekatul
Kadar
Air
% Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
0 12,5 25 37,5 50 62,5
( x ± SE) 7,51 + 1,04 8,10 + 1,21 8,67 + 1,22 9,11 + 1,17 8,93 + 0,67 8,81 + 1,37
W = 2,09 (a) (a) (a) (a) (a) (a)
Keterangan : * W = BNJ 5%
* Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan antar perlakuan tidak
berbeda nyata, sedangkan nilai yang diukur oleh huruf yang tidak sama
menunjukkan antar perlakuan berbeda nyata. Keterangan ini berlaku untuk
Tabel 2 sampai dengan Tabel 11.
Kadar air yang relatif kecil akan membuat produk memiliki daya simpan yang lama
serta dapat menghambat kerusakannya dari mikroorganisme (Lidiasari dkk., 2006).
Lebih lanjut menurut Winarno (1991), kadar air pada bahan yang rendah akan mencapai
kestabilan yang optimum, sehingga reaksi-reaksi kimia yang merusak bahan seperti
browning, hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi.
Kadar Abu
Rataan kadar abu MOCORIN berkisar antara 1,73 + 0,08 % - 8,14 + 0,47 %.
Adanya penambahan bekatul akan meningkatkan kadar abu MOCORIN sampai 8,14 +
0,47 % (Tabel 2).
7
Tabel 2. Kadar Abu (%) MOCORIN Berbagai Persentase Penambahan Bekatul
Kadar
Abu
% Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
0 12,5 25 37,5 50 62,5
( x ± SE) 1,73 + 0,08 3,48 + 0,17 4,87 + 0,36 5,95 + 0,17 7,14 + 0,47 8,14 + 0,47
W = 0,76 (a) (b) (c) (d) (e) (f)
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Sarbini dkk. (2009), semakin banyak
penambahan bekatul maka akan meningkatkan kadar abu biskuit tempe-bekatul yang
dihasilkan. Lebih lanjut Medikasari dkk. (2009) melaporkan bahwa produk fermentasi
pada umumnya memiliki kadar abu yang lebih besar.
Kadar Protein
Rataan kadar protein MOCORIN berkisar antara 5,71 + 0,06 % - 26,63 + 0,28 %
dan penambahan bekatul meningkatkan kadar protein MOCORIN sampai 26,63 + 0,28
% (Tabel 3).
Tabel 3. Kadar Protein (%) MOCORIN Berbagai Persentase Penambahan
Bekatul
Kadar
Protein
% Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
0 12,5 25 37,5 50 62,5
( x ± SE) 5,71 + 0,06 7,97 + 0,25 11,70 + 0,21 18,99 + 0,25 25,21 + 0,15 26,63 + 0,28
W = 0,68 (a) (b) (c) (d) (e) (f)
Kadar protein bekatul yang lebih besar dari pada jagung mempengaruhi kadar
protein yang dihasilkan, sehingga semakin tinggi persentase penambahan bekatul maka
semakin tinggi pula kadar protein MOCORIN. Hasil yang sama ditunjukkan dalam
penelitian Saputra (2008) yang melaporkan kadar protein cookies dan donat dengan
penambahan bekatul mengalami peningkatan jika dibandingkan cookies dan donat tanpa
bekatul.
Menurut Bisping (2003 dalam Wignyanto dan Nurika 2009), selama proses
fermentasi maka enzim protease akan menghidrolisis komponen protein menjadi asam
amino dan nitrogen terlarut. Proses hidrolisis ini menghasilkan kenaikan asam amino
seperti halnya pada tempe sebanyak 85 kali lebih banyak dari pada asam amino kedelai.
8
Kadar Karbohidrat
Rataan kadar karbohidrat MOCORIN berkisar antara 37,22 + 0,41 % - 53,31 +
0,17% (Tabel 4).
Tabel 4. Kadar Karbohidrat (%) MOCORIN Berbagai Persentase Penambahan
Bekatul
Kadar
Karbohidrat
% Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
62,5 50 37,5 25 12,5 0
( x ± SE) 37,22 + 0,41 38,77 + 0,24 40,44 + 0,20 43,03 + 0,43 48,26 + 0,74 53,31 + 0,17
W = 1,54 (a) (b) (c) (d) (e) (f)
Kadar karbohidrat bekatul lebih rendah dari pada jagung, sehingga semakin tinggi
penambahan bekatul dalam MOCORIN maka kadar karbohidrat akan semakin kecil.
Hasil yang sama ditunjukkan pada penelitian Aftasari (2003), kadar karbohidrat
semakin menurun seiring dengan pemambahan bekatul dalam pembuatan sponge cake.
Menurut hasil penelitan Wignyanto dan Nurika (2009), kadar karbohidrat jagung
fermentasi mengalami penurunan. Tepung jagung yang awalnya mengandung
karbohidrat sebesar 73,43 % turun menjadi 38,45 %, dan penurunan kadar tersebut
terjadi karena pati jagung dihidrolisis menjadi fruktosa.
Lebih lanjut menurut Hidayat dkk. (2006 dalam Hadinataria 2011), polisakarida
akan dirombak atau dipecah menjadi disakarida dengan menggunakan panas. Panas
yang dihasilkan berasal dari metabolisme kapang, kemudian disakarida akan dipecah
menjadi glukosa dan fruktosa dengan bantuan enzim amilase yang berasal dari kapang.
Jika kapang semakin banyak maka enzim amilase juga akan semakin banyak sehingga
glukosa dan fruktosa yang dihasilkan juga akan semakin banyak.
Kadar Lemak
Rataan kadar lemak MOCORIN berkisar antara 4,58 + 0,38 % - 9,03 + 0,36 %
(Tabel 5).
Tabel 5. Kadar Lemak (%) MOCORIN Berbagai Persentase Penambahan
Bekatul
Kadar
Lemak
% Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
0 12,5 25 37,5 50 62,5
( x ± SE) 4,58 + 0,38 6,30 + 0,28 6,88 + 0,36 7,40 + 0,35 8,28 + 0,44 9,03 + 0,36
W = 0,49 (a) (b) (c) (d) (e) (f)
9
Semakin banyak penambahan bekatul, maka kadar lemak MOCORIN juga akan
semakin meningkat. Kandungan lemak bekatul lebih tinggi dibandingkan jagung
sehingga penambahan bekatul berpengaruh nyata dalam pembuatan MOCORIN.
Mutu minyak bekatul telah dikenal merupakan salah satu minyak makan yang
terbaik di antara minyak yang ada, karena minyak bekatul kaya akan asam lemak tidak
jenuh cukup tinggi, yaitu 77,42 % (Lichtenstein et al., 1994)
Kadar Serat
Rataan kadar serat kasar MOCORIN berkisar antara 2,01 + 0,92 % - 3,93 + 1,36 %.
Semakin tinggi penambahan bekatul dalam MOCORIN maka kadar serat kasar akan
mengalami peningkatan dan kadar serat tertinggi diperoleh pada MOCORIN dengan
penambahan bekatul 37,5 %, yaitu sebesar 3,93 + 1,36 % (Tabel 6).
Tabel 6. Kadar Serat Kasar (%) MOCORIN Berbagai Persentase Penambahan
Bekatul
Kadar Serat
Kasar
% Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
0 12,5 25 37,5 50 62,5
( x ± SE) 2,01 + 0,92 2,40 + 1,67 2,83 + 1,61 3,93 + 1,36 3,68 + 1,71 3,87 + 1,82
W = 1,77 (a) (ab) (ab) (b) (ab) (b)
Adanya peningkatan kadar serat kasar karena pada komposisi 37,5 % diduga kapang
dapat tumbuh optimal, sehingga miselium yang terbentuk semakin banyak. Semakin
besar jumlah miselium yang terbentuk selama proses fermentasi maka kadar serat kasar
juga akan semakin meningkat.
Suzana (1992) melaporkan, semakin tinggi kadar bekatul dalam biskuit maka kadar
serat kasar semakin meningkat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2008),
menunjukkan dengan adanya penambahan bekatul maka terjadi peningkatan kadar serat
kasar cookies dan donat.
Uji Organoleptik
Uji organoleptik ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pembedaan dari panelis
terhadap warna, aroma, rasa, dan tekstur dari butter cookies yang dihasilkan. Pada uji
10
ini, semua butter cookies dibuat dengan resep yang sama, perbedaan hanya terletak pada
tepung yang digunakan dan sebagai kontrol pembanding digunakan tepung terigu.
a. Warna
Pengaruh pengunaan MOCORIN sebagai bahan dasar pembuatan butter cookies
pada berbagai konsentrasi bekatul terhadap uji sensoris warna disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis Warna Butter Cookies Berbahan Dasar MOCORIN Serta
Terigu
Warna % Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
Terigu 50 62,5 37,5 12,5 25 0
x ± SE 2,63+0,55 2,67+0,43 3,19+0,55 3,71+0,53 4,19+0,49 4,74+0,56 5,85+0,50
W=0,86 (a) (a) (ab) (bc) (cd) (d) (e)
Keterangan : * 1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3 = agak tidak suka; 4 = netral: 5 = agak
suka: 6 = suka; 7 = sangat suka. Keterangan ini juga berlaku untuk Tabel 8
sampai dengan Tabel 11.
Butter cookies dengan MOCORIN + 25 % bekatul lebih disukai panelis dari pada
keempat persentase penambahan bekatul dalam MOCORIN lainnya. Hal ini terkait
dengan semakin tinggi penambahan bekatul, maka warna pada butter cookies yang
dihasilkan semakin berwarna coklat hingga kehitaman (Gambar 1). Bekatul memiliki
kandungan gula reduksi yang relatif tinggi, sehingga menyebabkan terjadinya reaksi
Maillard (Winarno, 1991).
Gambar 1. Macam-macam warna butter cookies yang dibuat antar
Persentase Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN yang
berbeda 1 = butter cookies dengan tepung terigu
2 = butter cookies dengan MOCORIN + 0 % bekatul
3 = butter cookies dengan MOCORIN + 12,5 % bekatul
4 = butter cookies dengan MOCORIN + 25 % bekatul
5 = butter cookies dengan MOCORIN + 37,5 % bekatul
6 = butter cookies dengan MOCORIN + 50 % bekatul
7 = butter cookies dengan MOCORIN + 62,5 % bekatul
11
Butter cookies dengan MOCORIN + 25 % bekatul memperoleh skor netral sebesar
4,19 + 0,49 (Tabel 7). Hal ini berarti bahwa butter cookies dengan MOCORIN + 25 %
bekatul dapat diterima oleh panelis.
b. Aroma
Hasil uji organoleptik aroma butter cookies antar MOCORIN dengan berbagai
konsentrasi bekatul disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Analisis Aroma Butter Cookies Berbahan Dasar MOCORIN Serta
Terigu
Aroma % Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
Terigu 62,5 50 37,5 12,5 25 0
x ± SE 2,46+0,48 2,96+0,47 2,96+0,40 3,17+0,49 3,38+0,51 4,46+0,68 5,96+0,32
W=0,80 (a) (ab) (ab) (ab) (b) (c) (d)
Dari Tabel 8 terlihat bahwa skor penerimaan aroma butter cookies oleh panelis
berkisar antara 2,46 + 0,48 % - 5,96 + 0,32 %. Butter cookies yang dihasilkan memiliki
aroma bekatul dan sedikit langu sejalan dengan tingginya persentase bekatul dalam
MOCORIN maka aroma bekatul dalam butter cookies akan semakin tercium. Adanya
aroma khas bekatul disebabkan oleh adanya minyak tokofenol (komponen volatil) pada
bekatul (Sarbini, 2009).
c. Rasa
Skor penerimaan panelis terhadap rasa butter cookies berkisar antara 2,73 + 0,48 –
6,13 + 0,40. Rasa butter cookies yang timbul disebabkan dari pencampuran bahan
penyusun kue tersebut dan hasil analisis rasa butter cookies (Tabel 9).
Tabel 9. Analisis Rasa Butter Cookies Berbahan Dasar MOCORIN Serta Terigu
Rasa % Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
Terigu 62,5 37,5 50 12,5 25 0
x ± SE 2,73+0,48 3,13+0,49 3,30+0,49 3,77+0,55 4,27+0,54 5,13+0,47 6,13+0,40
W=0,89 (a) (ab) (ab) (b) (bc) (c) (d)
Dari Tabel 9 terlihat bahwa panelis lebih menyukai butter cookies dengan
MOCORIN + 25 % dari pada keempat persentase penambahan bekatul dalam
12
MOCORIN lainnya. Semakin besar penambahan bekatul dalam MOCORIN yang
diaplikasikan, membuat rasa butter cookies menjadi semakin pahit dan sedikit asam.
d. Tekstur
Hasil uji organoleptik terhadap tekstur butter cookies dengan berbagai
konsentrasi bekatul dalam MOCORIN disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Analisis Tekstur Butter Cookies Berbahan Dasar MOCORIN Serta
Terigu
Tekstur % Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
Terigu 12,5 62,5 37,5 50 25 0
x ± SE 3,23+0,47 3,33+0,49 3,33+0,50 3,37+0,49 3,97+0,55 5,60+0,45 5,97+0,40
W=0,84 (a) (a) (a) (a) (a) (b) (b)
Dari Tabel 10 terlihat bahwa tekstur butter cookies yang dihasilkan memperoleh
skor penerimaan berkisar antara 3,23 + 0,47 – 5,97 + 0,40. Butter cookies dengan
MOCORIN + 25 % bekatul skor penilaiannya sama dengan keempat persentase
penambahan bekatul dalam MOCORIN lainnya yaitu agak tidak suka.
e. Keseluruhan
Hasil uji organoleptik terhadap butter cookies dengan MOCORIN pada berbagai
konsentrasi bekatul disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Analisis Secara Keseluruhan Butter Cookies Berbahan Dasar
MOCORIN Serta Terigu
% Penambahan Bekatul Dalam MOCORIN
Terigu 62,5 37,5 50 12,5 25 0
x ± SE 2,90+0,46 3,27+0,47 3,37+0,42 3,63+0,49 4,17+0,44 5,37+0,44 6,17+0,37
W=0,75 (a) (a) (a) (ab) (b) (c) (d)
Secara keseluruhan butter cookies dengan MOCORIN + 25 % bekatul lebih disukai
dengan perolehan skor 4,17 + 0,44. Hal ini berarti bahwa butter cookies dengan
MOCORIN + 25 % bekatul dapat diterima oleh panelis.
Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa penggunaan MOCORIN + 25 % bekatul
berpengaruh terhadap tingkat kesukaan panelis yang berkisar antara netral (terhadap
warna, rasa, dan secara keseluruhan) sampai agak tidak suka (terhadap aroma dan
tekstur).
13
Formula MOCORIN Terbaik
Dari hasil uji organoleptik dapat ditentukan bahwa formula terbaik dalam butter
cookies adalah penambahan MOCORIN 25 %. Komposisi dan kadar zat gizi
MOCORIN 25 % dibandingkan dengan tepung jagung disajikan pada Tabel 12 berikut
ini.
Tabel 12. Komposisi Zat Gizi MOCORIN 25% dan Tepung Jagung
Zat Gizi (%) MOCORIN 25 % TEPUNG
JAGUNG
Air 8,67 9,24 - 10,82
Abu 4,87 0,78 – 1,08
Protein 11,70 6,70 – 7,89
Karbohidrat 43,03 79,51 – 79,98
Lemak 6,88 1,86 – 2,38
Serat Kasar 2,83 1,05 – 1,89
Sumber : Suarni dan Firmansyah (2005 dalam Suarni 2009)
Kadar air MOCORIN 25 % lebih kecil dari pada kadar air tepung jagung. Semakin
rendah kadar air tepung akan menjadi nilai positif untuk tepung tersebut, karena kadar
air yang tinggi akan menyulitkan dalam penyimpanan. Tepung pada kondisi kadar air
tinggi mudah terserang mikroba dan tidak dapat disimpan dalam waktu lama (Lidiasari,
2006).
Nilai kadar abu MOCORIN 25 % yang diperoleh sebesar 4,87 %. Kadar abu ini
lebih tinggi dibandingkan kadar abu tepung jagung yaitu sebesar 0,78 % – 1,08 %.
Kadar abu menunjukkan jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut.
Telaah lebih lanjut dari Tabel 12, terlihat bahwa kadar protein MOCORIN 25 %
adalah 11,70 % dan nilai ini lebih besar dari pada kadar protein tepung jagung. Bahkan
kadar protein MOCORIN 25 % ini lebih tinggi dibandingkan kadar protein tepung
terigu untuk bahan makanan yang disyaratkan dalam SNI (2006) yaitu minimal 7,0 %.
Kadar karbohidrat MOCORIN 25 % diperoleh sebesar 43,03 % dan nilai ini lebih
rendah dari pada kadar karbohidrat tepung jagung. Kadar karbohidrat yang rendah ini
terkait dengan hidrolisis pati menjadi glukosa oleh kapang dalam proses fermentasi.
Nilai kadar lemak MOCORIN 25 % sebesar 6,88 % dan nilai ini lebih tinggi
dibandingkan kadar lemak tepung jagung yang berkisar antara 1,86 % – 2,38 %. Hal ini
terkait dengan adanya kandungan lemak yang tinggi dalam bekatul.
14
Kadar serat kasar MOCORIN 25 % sebesar 2,83 %, lebih tinggi dibandingkan kadar
serat kasar tepung jagung yang berkisar antara 1,05 % – 1,89 %. Menurut Ngantung
(2003), serat kasar sangat penting dalam penilaian kualitas bahan makanan karena
angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan. Serat yang
tinggi pada MOCORIN terkait dengan kadar serat bekatul yang tinggi serta jumlah
miselium yang terbentuk pada proses fermentasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Nilai gizi MOCORIN meliputi kadar abu, protein, lemak, dan serat kasar meningkat
seiring penambahan bekatul, sebaliknya kadar karbohidrat menurun.
2. Butter cookies dengan MOCORIN + 25 % bekatul dapat diterima secara netral
untuk warna, rasa, tekstur dan secara keseluruhan, sedangkan untuk aroma agak
tidak disuka.
Saran
Perlu dilakukan analisa lebih lanjut mengenai pemanfaatan MOCORIN ditinjau dari
segi lain yang juga berguna bagi kesehatan seperti asam amino atau asam lemak
penyusunnya serta penelitian tentang aplikasi MOCORIN untuk bahan dasar pembuatan
produk kue atau roti yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Aftasari, F. 2003. Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Sponge Cake Yang Ditambah
Tepung Bekatul Rendah Lemak. Skripsi, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Alam. 2010. Potensi Jagung Di Indonesia. http://alambenzosnesia.blogspot.com/. [27
November 2011]
Anonim. 2012. Resep Coklat Butter Cookies. http://hobimasak.info/resep-coklat-butter-
cookies/ [19 Maret 2012]
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical
Chemists. AOAC, Washington DC.
Arief, R.W. dan R Asnawi. 2009. Kandungan Gizi dan Asam Amino Beberapa Varietas
Jagung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Vol. 9 (2):61-66.
Auliana, R. 2011. Manfaat Bekatul dan Kandungan Gizinya.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/PPM%20BEKATUL%20%20DHAR
MA%20WANITA.pdf. [24 November 2011].
15
Hadinataria, N. 2011. Pemanfaatan Tepung Kedelai (Glycine max L.) Dalam
Optimalisasi Pembuatan Tepung Gaplek Berprotein Sebagai Bahan Substitusi
Tepung Terigu. Skripsi, Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga.
Hedge, J.E. and B.T. Hofreiter. 1962. In Carbohydrate Chemistry, 17 (Eds. Whinstler.
R. L. and Be. Miller, J.N.). Academic Press, New York.
Hermanianto J., Z. Wulandari, dan E. Ernawati. 1997. Proses Ekstruksi Untuk
Pengolahan Hasil Samping Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul). Prosiding
Seminar Teknologi Pangan Hal:567-582.
Lichtenstein, A.H., L.M. Ausman, W. Carrasco, L.J. Jenner, J.M. Ordovas, R.J.
Nicolosi, B.R. Goldin, and E.J. Schaefer. 1994. Rice Bran Consumption and
Plasma Lipid Levels in Moderately Hypercholesterolemic Humans. Journal of
the American Heart Association Vol 14 (4):549-559
Lidiasari, E., M.I. Syafutri, dan F. Syaiful. 2006. Pengaruh Perbedaan Suhu
Pengeringan Tepung Tapai Ubi Kayu Terhadap Mutu Fisik dan Kimia Yang
Dihasilkan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia Vol 8 (2):141-146.
Marsono, Y. 1997. Pengaruh Pengukusan Terhadap Kandungan Oryzanol dan
Perubahan Sifat Kimia Minyak Bekatul Padi Unggul Selama Penyimpanan.
Argitech Vol 17 (2):6-10
Medikasari, Marniza, dan E. Desiana. 2009. Produksi Tepung Ubi Kayu Berprotein:
Suatu Kajian Awal Karakteristik Berdasarkan Lama Fermentasi Dan Jumlah
Inokulum Dengan Menggunakan Ragi Tempe. Seminar Hasil Penelitian &
Pengabdian Kepada Masyarakat, Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung.
Lampung.
Ngantung, M. 2003. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelai Pada Tepung Terigu Terhadap
Nilai Gizi Mie Basah Yang Dihasilkan. Jurnal Sains dan Teknologi Vol 3 (3):110-118. Pratiwi, W., Erriza A., dan Melati. 2011. Fermentasi Tepung Dedak Menggunakan Ragi
Tape Saccaromyces cerevisiae Untuk Meningkatkan Nutrisi Pakan Ikan.
Program Kreatifitas Mahasiswa, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Riswanto K., Fitriyah, dan N.T. Hendartina. 2009. Pemanfaatan Bekatul Fermentasi
Sebagai Pangan Fungsional Dalam Bentuk Bar Yang Memiliki Efek
Hipokolesterolemik dan Antistress. Program Kreativitas Mahasiswa, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Saputra, I. 2008. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Cookies dan Donat Tepung
Terigu Yang Disubstitusikan Parsial Dengan Tepung Bekatul. Skripsi, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Sarbini, D., S. Rahmawaty, dan P. Kurnia. 2009. Uji Fisik, Organoleptik, dan
Kandungan Zat Gizi Biskuit Tempe-Bekatul Dengan Fortifikasi Fe dan Zn
Untuk Anak Kurang Gizi. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi Vol 10 (1):18-
26.
SNI. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standarisasi Nasional SNI No. 01-
2891-1992. Jakarta.
SNI. 2006. Tepung Terigu Sebagai Bahan Makanan. Badan Standarisasi Nasional SNI
No. 01-3751-2006. Jakarta.
Soekarto, S.T. 1985. Penelitian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Bharatara Karya Aksara, Jakarta.
16
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia,
Jakarta.
Suarni. 2009. Prospek Pemanfaatan Tepung Jagung Untuk Kue Kering (cookies). Jurnal
Litbang Pertanian Vol 28 (2):63-71.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1984. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.
Suzana, L. 1992. Memperlajari Substitusi Parsial Dedak Padi (Bekatul) Terhadap
Tepung Terigu (Triticum vulgare) Sebagai Sumber Dietary Fiber dan Niasin
Dalam Pembuatan Roti Manis dan Biskuit. Skripsi, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Wignyanto dan I. Nurika, 2009. Optimasi Proses Fermentasi Tepung Jagung Pada
Pembuatan Bahan Baku Biomassa Jagung Instan (Kajian Lama Inkubasi Dan
Konsentrasi Kapang Rhizopus sp.). Argitek Vol. 12 (2):251-257.
Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta