Buletin Sastra Lembah Kelelawar #3 (Hitam Bukan Berarti Penganut Setan)
-
Upload
buletin-sastra-lembah-kelelawar -
Category
Documents
-
view
235 -
download
5
description
Transcript of Buletin Sastra Lembah Kelelawar #3 (Hitam Bukan Berarti Penganut Setan)
-
Edisi 3/ April 2010
[Hitam Bukan Berarti Penganut Setan]
-
Kali ini kemajuan teknologi telah meremas-
remas pemikiran. Segala hal telah disuguh-
kan secara instan. Sajian telah tercipta manis
dalam kemasan yang beraneka warna dan
beraneka rupa. Bermacam wujud dan bentuk-
nya. Ada kemasan berbentuk kaleng sekali
pakai langsung lempar, ada kemasan plastik
sekali pakai langsung bakar, dan ada juga
kemasan elastis sekali pasang satu klimaks
langsung buang. Karena kali ini kita telah
dihadapkan pada jaman kemasan. Dari
segala yang berwujud dan akan bergegas
hilang hanya lewat satu kepulan (baca: asap).
Parahnya lagi, budaya kemasan pesan skripsi
pun telah ikut-ikutan mengakar pada kalangan
mahasiswa. Banyak terpampang pada pohon-
pohon di jalanan, Skripsi, hubungi nomor ini
085 xxx xxx xxx.
Apakah kehidupan semudah itu? Kalau begitu,
apa arti proses?
Semua telah tergantung dan beralih fungsi.
Dari generasi kutu buku menjadi generasi
nggoogle yang sekali klik langsung beribu
informasi terkantongi. Dari generasi surat
pos disulap menjadi generasi update status
facebook. Ibaratnya, kali ini tak lagi ada
perenungan mendalam untuk segala bentuk
penemuan. Semua ingin lansung, singkat
dan cepat (baca: pesan pendek/ sms).
Rasanya kita menjadi malas untuk berprosa.
Tak lagi ada narasi yang tepat untuk mengung-
kap perihal dalam sebuah penemuan. Jarang
kita temukan salam pembuka, isi dan penutup.
Tinggal ketik sms, ketemuan, langsung deh
masuk kamar. Instan bukan?
Jadi tak perlu repot-repot untuk memulai
dengan berpuisi. Apa lagi berprosa/ men-
cipta cerpen untuk melumpuhkan pacar.
Tak lagi ada basa-basi. Jarang kita jumpai
pertemuan kedua belah keluarga, apalagi
ritual 'melamar'. Yang ada: ketemuan,
lansung kunci pintu, lepas selimut dan tiga
bulan kemudian telat deh.
Maka jangan heran bila tak lagi ada per-
jalanan diksi dalam proses penemuan
keutuhan ungkap. Kali ini tradisi berprosa
telah terpasung mati dan mendinosaurus.
Semua ingin segala sesuatu menjadi cepat-
cepat dan singkat. Maka jangan heran juga
bila akan banyak kita jumpai orang tergeletak
mati mendadak karena stroke.
Mau bagaimana lagi?
Sukses saja diperoleh dengan cara instan,
jadi jangan kaget dong bila jatuh dengan
jalan instan juga Hahaha. [red/ ka]
Peringatan Lembah Kelelawar:
Hura-hura Untuk Berkarya,
Bukan Berkarya Untuk Hura-hura
hanya secangkir kopi tanpa gula dan puisi
ibu,
jangan kau peluk aku dengan air matamu
mendiamkan aku dengan bimbangmu
lihatlah awan putih itu
menggantung di sana doa-doamu
yang kau kirim dari panci-panci yang tak lagi berisi
kompor yang tak lagi berapi
bakul yang tak lagi bernasi
adakah Tuhan kirimkan pagi ini
sarapan pagi meski hanya secangkir kopi
tanpa gula dan puisi
agar aku tak kantuk lagi
ketika pak guru memintaku berdiri
karena aku lupa mengerjakan tugas hari ini
maret 2006
sepotong senyum milik pak tua
pak tua yang kupuja
adalah pak tua yang selalu kutemu di sudut sana
baju yang sama, senyum yang sama
menyapaku dengan keramahan seorang tua
belajar yang rajin ya, biar jadi orang kaya, katanya
pernah suatu hari kubertanya
mengapa pak tua selalu membagi senyumnya
sedang tetangga sebelah yang punya harta berlimpah
tak lagi bisa tersenyum ramah
katanya, 'hanya senyum yang kupunya'
pak tua yang aku puja
tak lagi kutemu di sudut sana
sebab dia telah berpulang kepadanya
tapi senyumnya yang aku puja
telah menjadikanku orang kaya
seperti yang dia minta
maret 2006
:Beliau kini menyumbangkan ilmunya
sebagai pengajar tetap di SMP N 20
Semarang.
-
Kali ini kemajuan teknologi telah meremas-
remas pemikiran. Segala hal telah disuguh-
kan secara instan. Sajian telah tercipta manis
dalam kemasan yang beraneka warna dan
beraneka rupa. Bermacam wujud dan bentuk-
nya. Ada kemasan berbentuk kaleng sekali
pakai langsung lempar, ada kemasan plastik
sekali pakai langsung bakar, dan ada juga
kemasan elastis sekali pasang satu klimaks
langsung buang. Karena kali ini kita telah
dihadapkan pada jaman kemasan. Dari
segala yang berwujud dan akan bergegas
hilang hanya lewat satu kepulan (baca: asap).
Parahnya lagi, budaya kemasan pesan skripsi
pun telah ikut-ikutan mengakar pada kalangan
mahasiswa. Banyak terpampang pada pohon-
pohon di jalanan, Skripsi, hubungi nomor ini
085 xxx xxx xxx.
Apakah kehidupan semudah itu? Kalau begitu,
apa arti proses?
Semua telah tergantung dan beralih fungsi.
Dari generasi kutu buku menjadi generasi
nggoogle yang sekali klik langsung beribu
informasi terkantongi. Dari generasi surat
pos disulap menjadi generasi update status
facebook. Ibaratnya, kali ini tak lagi ada
perenungan mendalam untuk segala bentuk
penemuan. Semua ingin lansung, singkat
dan cepat (baca: pesan pendek/ sms).
Rasanya kita menjadi malas untuk berprosa.
Tak lagi ada narasi yang tepat untuk mengung-
kap perihal dalam sebuah penemuan. Jarang
kita temukan salam pembuka, isi dan penutup.
Tinggal ketik sms, ketemuan, langsung deh
masuk kamar. Instan bukan?
Jadi tak perlu repot-repot untuk memulai
dengan berpuisi. Apa lagi berprosa/ men-
cipta cerpen untuk melumpuhkan pacar.
Tak lagi ada basa-basi. Jarang kita jumpai
pertemuan kedua belah keluarga, apalagi
ritual 'melamar'. Yang ada: ketemuan,
lansung kunci pintu, lepas selimut dan tiga
bulan kemudian telat deh.
Maka jangan heran bila tak lagi ada per-
jalanan diksi dalam proses penemuan
keutuhan ungkap. Kali ini tradisi berprosa
telah terpasung mati dan mendinosaurus.
Semua ingin segala sesuatu menjadi cepat-
cepat dan singkat. Maka jangan heran juga
bila akan banyak kita jumpai orang tergeletak
mati mendadak karena stroke.
Mau bagaimana lagi?
Sukses saja diperoleh dengan cara instan,
jadi jangan kaget dong bila jatuh dengan
jalan instan juga Hahaha. [red/ ka]
Peringatan Lembah Kelelawar:
Hura-hura Untuk Berkarya,
Bukan Berkarya Untuk Hura-hura
hanya secangkir kopi tanpa gula dan puisi
ibu,
jangan kau peluk aku dengan air matamu
mendiamkan aku dengan bimbangmu
lihatlah awan putih itu
menggantung di sana doa-doamu
yang kau kirim dari panci-panci yang tak lagi berisi
kompor yang tak lagi berapi
bakul yang tak lagi bernasi
adakah Tuhan kirimkan pagi ini
sarapan pagi meski hanya secangkir kopi
tanpa gula dan puisi
agar aku tak kantuk lagi
ketika pak guru memintaku berdiri
karena aku lupa mengerjakan tugas hari ini
maret 2006
sepotong senyum milik pak tua
pak tua yang kupuja
adalah pak tua yang selalu kutemu di sudut sana
baju yang sama, senyum yang sama
menyapaku dengan keramahan seorang tua
belajar yang rajin ya, biar jadi orang kaya, katanya
pernah suatu hari kubertanya
mengapa pak tua selalu membagi senyumnya
sedang tetangga sebelah yang punya harta berlimpah
tak lagi bisa tersenyum ramah
katanya, 'hanya senyum yang kupunya'
pak tua yang aku puja
tak lagi kutemu di sudut sana
sebab dia telah berpulang kepadanya
tapi senyumnya yang aku puja
telah menjadikanku orang kaya
seperti yang dia minta
maret 2006
:Beliau kini menyumbangkan ilmunya
sebagai pengajar tetap di SMP N 20
Semarang.
-
Putra Mahkota Von Masoch
Maka maki dan ludahi saja diriku yang telah meruntuhkan langit hijaumu. Padaku bergulung
kesia-siaan yang akan melumatmu jika kau biarkan dirimu mendekat. Dan rapalkan kalimat
kalimat yang tak ingin kau ingat. Dan kirimkan segala mala pada tiap garis wajahku, tiap
lekuk tubuhku; serpihan serpihan yang selalu membuatmu ragu untuk dekat atau lewat.
Padaku sesungguhnya berdiam kerinduan samudra pada tanah tanah basah dan lentik
jemari bunda. Cinta yang lekat dikulitku adalah patahan patahan angin pantai; asin dan
likat. Yang kau perlu hanya sekedar membesihkan diri. Kemballi ke rumah dan biarkan
kamar mandi menyelesaikan semuanya. Sederhana.
Tapi tentu kau tahu menjadi sederhana adalah tak sederhana. Maka kau pun kembali
mengotori merah ranum payudaramu dengan tetesan tetesan liurku yang menjijikkan.
Seperti ketika tengah malam kau terbangun dan menemukan kecoak merayap mantap
di wastafel rumahmu.
Ah, sesungguhnya cinta tak pernah salah memilih tempat jatuh. Kita pun telah mengatasi
bentangan rintangan yang datang bersamanya. Mungkin kita, ah, tentu aku saja, yang salah
mengambil dan menggunakannya. Dan kita pun terusir dari surga. Meski sekuat tenaga kita
bertahan, sabda telah jatuh dan kita tak akan kuasa.
Aku memang lelaki durhaka. Dan akhirnya kau harus ikut merasakan tuba dari torehan
torehan khianat yang kucipta sendiri. Pada tubuhkulah berumah segala penyakit dan
kesakitan. Dan aku rindu menjadi putra mahkota Von Masoch yang jelita. Maka tak
perlu kau korbankan tubuh pualammu di altar persembahan de Sade.
Aku sekedar tak sengaja menemunaiki kereta kuda sebelum memutuskan maju ke medan
laga. Kemenanganan yang kudapatkan hanyalah lorong lorong gelap labirin pengap ciptaan
lelaki tua yang sadar di ujung jidatnya malaikat melayang-layang hendak menyudahi dunia.
Ya, labirin yang sangat sulit dan rumit bahkan jika kau bandingkan dengan labirin Daedalus
di Kreta. Dengan apa pula kuciptakan sebelah sayap tanpamu?
Kembalilah, karena malam ini jendela terbuka dan telah dibisikkan namaku menjadi putra
mahkota Von Masoch yang jelita. Aku tak akan perlu siapa siapa untuk di sakiti, apalagi kau,
kekasihku yang surga. Aku akan selalu mencintaimu, dan kupuja kau di lorong lorong yang
gulita. Simpan saja diingatanmu: ketika kau mendengar lolongan serupa serigala, dengan
beban berjuta derita, itulah saat ketika aku sungguh merindukanmu.
241209
12.54
di gigir september 10 September 2009 jam 18:38
ternyata tiap garis tangan kita
menyimpan arah yang berbeda
dan langkah kita menyampaikan
jejak kepulangannya sendiri
sendiri
jengkal jarak ternyata punya engah yang beda juga
hingga aku gagap menangkap nafasmu
yang jatuh di tepian kuku
aku gemetar menapaki gigir september
yang membentang sepanjang kulitmu
meraba betapa licinnya cuaca
dan sepinya perak purnama
aku berputar mengukur jejak jejak kita
curiga jatuh bersama gerimis renta
lalu semuanya tak ada
tak ada.
080909
01.56
beringin kupu kupu 27 Oktober 2009 jam 18:35
serupa beringin di alun alun kota
padanya dititipkan segala suka
juga luka
bersama dedaunan wajah wajah jatuh
tanggal tanggal menua
gerimis serasa tangis di muka jendela
merupalah beringin di alun alun kota
menjengkali langit
dan menjaga rindu yang di tanam orang orang
arah jalan cuma bayang bayang suram
kita tetak dengan pisau lipat yang tumbuh di balik matamu
lalu larungkan kata kata yang sempat terlupa
di bawah lampu yang muram
kaulah beringin
ditumbuhi kupu kupu
271009
-
Putra Mahkota Von Masoch
Maka maki dan ludahi saja diriku yang telah meruntuhkan langit hijaumu. Padaku bergulung
kesia-siaan yang akan melumatmu jika kau biarkan dirimu mendekat. Dan rapalkan kalimat
kalimat yang tak ingin kau ingat. Dan kirimkan segala mala pada tiap garis wajahku, tiap
lekuk tubuhku; serpihan serpihan yang selalu membuatmu ragu untuk dekat atau lewat.
Padaku sesungguhnya berdiam kerinduan samudra pada tanah tanah basah dan lentik
jemari bunda. Cinta yang lekat dikulitku adalah patahan patahan angin pantai; asin dan
likat. Yang kau perlu hanya sekedar membesihkan diri. Kemballi ke rumah dan biarkan
kamar mandi menyelesaikan semuanya. Sederhana.
Tapi tentu kau tahu menjadi sederhana adalah tak sederhana. Maka kau pun kembali
mengotori merah ranum payudaramu dengan tetesan tetesan liurku yang menjijikkan.
Seperti ketika tengah malam kau terbangun dan menemukan kecoak merayap mantap
di wastafel rumahmu.
Ah, sesungguhnya cinta tak pernah salah memilih tempat jatuh. Kita pun telah mengatasi
bentangan rintangan yang datang bersamanya. Mungkin kita, ah, tentu aku saja, yang salah
mengambil dan menggunakannya. Dan kita pun terusir dari surga. Meski sekuat tenaga kita
bertahan, sabda telah jatuh dan kita tak akan kuasa.
Aku memang lelaki durhaka. Dan akhirnya kau harus ikut merasakan tuba dari torehan
torehan khianat yang kucipta sendiri. Pada tubuhkulah berumah segala penyakit dan
kesakitan. Dan aku rindu menjadi putra mahkota Von Masoch yang jelita. Maka tak
perlu kau korbankan tubuh pualammu di altar persembahan de Sade.
Aku sekedar tak sengaja menemunaiki kereta kuda sebelum memutuskan maju ke medan
laga. Kemenanganan yang kudapatkan hanyalah lorong lorong gelap labirin pengap ciptaan
lelaki tua yang sadar di ujung jidatnya malaikat melayang-layang hendak menyudahi dunia.
Ya, labirin yang sangat sulit dan rumit bahkan jika kau bandingkan dengan labirin Daedalus
di Kreta. Dengan apa pula kuciptakan sebelah sayap tanpamu?
Kembalilah, karena malam ini jendela terbuka dan telah dibisikkan namaku menjadi putra
mahkota Von Masoch yang jelita. Aku tak akan perlu siapa siapa untuk di sakiti, apalagi kau,
kekasihku yang surga. Aku akan selalu mencintaimu, dan kupuja kau di lorong lorong yang
gulita. Simpan saja diingatanmu: ketika kau mendengar lolongan serupa serigala, dengan
beban berjuta derita, itulah saat ketika aku sungguh merindukanmu.
241209
12.54
di gigir september 10 September 2009 jam 18:38
ternyata tiap garis tangan kita
menyimpan arah yang berbeda
dan langkah kita menyampaikan
jejak kepulangannya sendiri
sendiri
jengkal jarak ternyata punya engah yang beda juga
hingga aku gagap menangkap nafasmu
yang jatuh di tepian kuku
aku gemetar menapaki gigir september
yang membentang sepanjang kulitmu
meraba betapa licinnya cuaca
dan sepinya perak purnama
aku berputar mengukur jejak jejak kita
curiga jatuh bersama gerimis renta
lalu semuanya tak ada
tak ada.
080909
01.56
beringin kupu kupu 27 Oktober 2009 jam 18:35
serupa beringin di alun alun kota
padanya dititipkan segala suka
juga luka
bersama dedaunan wajah wajah jatuh
tanggal tanggal menua
gerimis serasa tangis di muka jendela
merupalah beringin di alun alun kota
menjengkali langit
dan menjaga rindu yang di tanam orang orang
arah jalan cuma bayang bayang suram
kita tetak dengan pisau lipat yang tumbuh di balik matamu
lalu larungkan kata kata yang sempat terlupa
di bawah lampu yang muram
kaulah beringin
ditumbuhi kupu kupu
271009
-
di windu jenar
di windu jenar
segalanya tampak usang
seperti topengtopeng lawas
yang terpampang sambil dipaksa tersenyum
juga seperti ibuku yang malas
menanam album foto di jantung kami
kita tak seperti windu jenar
yang hanya menjual album foto lawas! katanya
di windu jenar
sebuah guci antik yang menyimpan langkah
pecah di dadaku
mengajakku menikmati gerimis di city walk
dengan segelas laju kereta yang bisu
lalu perlahan melupakan album foto lawas
yang dihujat ibuku
solo, 14 maret 2010
fragmen kursi tunggu
ketika ia kembali pergi
bergegas mencari kenangan
lampulampu di taman mengantarnya
menuju banyak arah
sedikit saja aku bersuara
membaca setiap fragmen kursi tunggu
dengan suara lantang
ia tak kan kembali lagi
ia selalu bercerita kepadaku
: sepi adalah rindu tak terbaca
dan kita selalu menginginkannya
terhidang di meja makan
Bhre Wijaya
Lahir di Karanganyar, 1 Maret 1989.
Aktif dalam Teater Tesa Fakultas Sastra
dan Seni Rupa UNS, Teater Nglilir Karanganyar,
Kelompok Bandul Nusantara
Segala hal yang berkenaan
dengan rencana antologi
puisi sedang kami masak
secara intensif di dapur
lembah kelelawar.
[Gambar Cover: Charier]
-
di windu jenar
di windu jenar
segalanya tampak usang
seperti topengtopeng lawas
yang terpampang sambil dipaksa tersenyum
juga seperti ibuku yang malas
menanam album foto di jantung kami
kita tak seperti windu jenar
yang hanya menjual album foto lawas! katanya
di windu jenar
sebuah guci antik yang menyimpan langkah
pecah di dadaku
mengajakku menikmati gerimis di city walk
dengan segelas laju kereta yang bisu
lalu perlahan melupakan album foto lawas
yang dihujat ibuku
solo, 14 maret 2010
fragmen kursi tunggu
ketika ia kembali pergi
bergegas mencari kenangan
lampulampu di taman mengantarnya
menuju banyak arah
sedikit saja aku bersuara
membaca setiap fragmen kursi tunggu
dengan suara lantang
ia tak kan kembali lagi
ia selalu bercerita kepadaku
: sepi adalah rindu tak terbaca
dan kita selalu menginginkannya
terhidang di meja makan
Bhre Wijaya
Lahir di Karanganyar, 1 Maret 1989.
Aktif dalam Teater Tesa Fakultas Sastra
dan Seni Rupa UNS, Teater Nglilir Karanganyar,
Kelompok Bandul Nusantara
Segala hal yang berkenaan
dengan rencana antologi
puisi sedang kami masak
secara intensif di dapur
lembah kelelawar.
[Gambar Cover: Charier]
-
PERPUSTAKAAN TERBUKA
Membaca. Adalah hal mudah, karena sejak kecil kita diajari.
Dan ketika kita memasuki dunia pendidikan, kita tidak pernah
seharipun melepas buku bacaan, karena memang harus begitu.
Membaca membuka jendela dunia, mungkin petuah itu sering
kita dengar dari bapak atau ibu guru, dan karena betapa luasnya
dunia, maka intiplah dulu lewat jendela biar tidak kaget.
Anak TK diajari membaca kata kuda,- bebek,-kursi, anak SD
diajari membaca kalimat ini bapak budi, budi sedang bermain
bola , anak SMP mulai diajari membaca berparagraf, anak SMA
sudah mulai membaca buku, mahasiswa diajari mambaca apa ?
dan kalau siswa tidak pernah seharipun melepas buku bacaan,
maka kita, mahasiswa, apa mau disamakan dengan siswa TK,
SD, SMP dan SMA, atau bahkan apa mau kalah dengan mereka?
tentu tidak mau bukan ?
Di awal telah saya sebut, membaca adalah hal mudah, semudah
apakah ? tentu saudara tahu bahwa membaca lebih mudah
dilakukan dari tidur,
Dalam Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad pernah bertutur jika Thomas Alfa Edison
kecil pernah mengerami telur ayam. Melihat kelakuan sang anak, Ibunya pun kaget. Tapi, itu
lah yang terjadi, Edison kecil menduga bahwa telur menetas karena suhu yang hangat. Ia ingin
tahu benarkah dugaannya itu. Ia pun mencoba.
Ibu Edison yang miskin dan suaminya yang galak dan
tak acuh ternyata tidak menghalangi apa yang hendak di-
perbuat sang anak. Edison kecil
cuma bersekolah tiga bulan lalu
pada umur
12 tahun
Ia juga harus
cari makan. Tapi,
sang ibu telah menanamkan
rasa ingin tahu dan semangat
yang tak kunjung habis buat ber-
eksperimen dalam diri Edison.
Itu saja belum cukup rupa-
nya. Edison ternyata kemudian
berhasil melahirkan 1.093 ba-
rang baru buat orang se-
zamannya, dan tersohor sebelum
usianya sampai 35 tahun. Lalu,
kita pun bertanya, apa jadinya
seandainya Edison jadi murid sebuah
sekolah -- institusi yang bisa cuma sibuk dengan
tata tertib, lembaga yang bisa hanya sekadar me-
ngurus disiplin dan mendaftar prestasi. Jawabnya,
barangkali, si anak akan menghargai kekuasaan
lebih dari menghargai semangat ilmu.
Memang, dalam hidupnya Edison, bukanlah
seorang ilmuwan. Dia teknikus. Dia bukan seorang
jenius yang menemukan teori, yang menyelidik ke
alam kenyataan dengan sikap seperti seorang
Einstein. Tapi ada persamaan antara seorang
penemu alat-alat dan seorang penyusun konsep-
konsep fisika. Mereka bermula dari kebebasan
jiwa, dan berlanjut dalam kreasi. Keduanya me-
nolak pengekangan. Keduanya melintasi tabu.
Seperti itulah kiranya berkarya. Dalam hal ini,
menulis. Entah apapun, baik sastra maupun
non-sastra. Baik puisi, cerpen, novel atau esai
sekalipun. Semua perlu kerja keras. Semua perlu
keuletan dan ketekunan. Atau katakanlah berdarah-
darah atau nggetih dalam satu visi
menuju kualitas tulisan yang baik.
Secara umum, banyak buku-
buku yang "menyengat" keterampilan
kita perihal proses kreatif. Jika kita
baca tuntas, cukuplah mungkin buku-
buku "how to" itu membakar adrenalin
kita untuk menulis dengan tips-tips
ringan dan menyehatkan. Namun,
sesungguhnya proses itu tidak sese-
derhana yang ditawarkan di dalam-
nya. Banyak hal yang patut diperhi-
tungkan dengan matang dan sadar
diri jika suatu proses kreatif yang
dilematis itu tak segampang yang di-
bayangkan.
Pertanyaan yang muncul ke-
mudian: apa makna dan mengapa
proses kreatif jadi begitu sulit diwu-
judkan? Mengapa pula ia membutuh-
kan keberanian yang besar? Bukan-
kah itu semata soal menjernihkan
serapan mata dan pikiran atas seke-
rumun ingatan, simbol dan mitos
yang tak bernyawa? Betapa kita
dihadapkan dengan gelimang teka-
teki yang mustahil dapat dipecahkan.
Oleh Heri CS
-
PERPUSTAKAAN TERBUKA
Membaca. Adalah hal mudah, karena sejak kecil kita diajari.
Dan ketika kita memasuki dunia pendidikan, kita tidak pernah
seharipun melepas buku bacaan, karena memang harus begitu.
Membaca membuka jendela dunia, mungkin petuah itu sering
kita dengar dari bapak atau ibu guru, dan karena betapa luasnya
dunia, maka intiplah dulu lewat jendela biar tidak kaget.
Anak TK diajari membaca kata kuda,- bebek,-kursi, anak SD
diajari membaca kalimat ini bapak budi, budi sedang bermain
bola , anak SMP mulai diajari membaca berparagraf, anak SMA
sudah mulai membaca buku, mahasiswa diajari mambaca apa ?
dan kalau siswa tidak pernah seharipun melepas buku bacaan,
maka kita, mahasiswa, apa mau disamakan dengan siswa TK,
SD, SMP dan SMA, atau bahkan apa mau kalah dengan mereka?
tentu tidak mau bukan ?
Di awal telah saya sebut, membaca adalah hal mudah, semudah
apakah ? tentu saudara tahu bahwa membaca lebih mudah
dilakukan dari tidur,
Dalam Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad pernah bertutur jika Thomas Alfa Edison
kecil pernah mengerami telur ayam. Melihat kelakuan sang anak, Ibunya pun kaget. Tapi, itu
lah yang terjadi, Edison kecil menduga bahwa telur menetas karena suhu yang hangat. Ia ingin
tahu benarkah dugaannya itu. Ia pun mencoba.
Ibu Edison yang miskin dan suaminya yang galak dan
tak acuh ternyata tidak menghalangi apa yang hendak di-
perbuat sang anak. Edison kecil
cuma bersekolah tiga bulan lalu
pada umur
12 tahun
Ia juga harus
cari makan. Tapi,
sang ibu telah menanamkan
rasa ingin tahu dan semangat
yang tak kunjung habis buat ber-
eksperimen dalam diri Edison.
Itu saja belum cukup rupa-
nya. Edison ternyata kemudian
berhasil melahirkan 1.093 ba-
rang baru buat orang se-
zamannya, dan tersohor sebelum
usianya sampai 35 tahun. Lalu,
kita pun bertanya, apa jadinya
seandainya Edison jadi murid sebuah
sekolah -- institusi yang bisa cuma sibuk dengan
tata tertib, lembaga yang bisa hanya sekadar me-
ngurus disiplin dan mendaftar prestasi. Jawabnya,
barangkali, si anak akan menghargai kekuasaan
lebih dari menghargai semangat ilmu.
Memang, dalam hidupnya Edison, bukanlah
seorang ilmuwan. Dia teknikus. Dia bukan seorang
jenius yang menemukan teori, yang menyelidik ke
alam kenyataan dengan sikap seperti seorang
Einstein. Tapi ada persamaan antara seorang
penemu alat-alat dan seorang penyusun konsep-
konsep fisika. Mereka bermula dari kebebasan
jiwa, dan berlanjut dalam kreasi. Keduanya me-
nolak pengekangan. Keduanya melintasi tabu.
Seperti itulah kiranya berkarya. Dalam hal ini,
menulis. Entah apapun, baik sastra maupun
non-sastra. Baik puisi, cerpen, novel atau esai
sekalipun. Semua perlu kerja keras. Semua perlu
keuletan dan ketekunan. Atau katakanlah berdarah-
darah atau nggetih dalam satu visi
menuju kualitas tulisan yang baik.
Secara umum, banyak buku-
buku yang "menyengat" keterampilan
kita perihal proses kreatif. Jika kita
baca tuntas, cukuplah mungkin buku-
buku "how to" itu membakar adrenalin
kita untuk menulis dengan tips-tips
ringan dan menyehatkan. Namun,
sesungguhnya proses itu tidak sese-
derhana yang ditawarkan di dalam-
nya. Banyak hal yang patut diperhi-
tungkan dengan matang dan sadar
diri jika suatu proses kreatif yang
dilematis itu tak segampang yang di-
bayangkan.
Pertanyaan yang muncul ke-
mudian: apa makna dan mengapa
proses kreatif jadi begitu sulit diwu-
judkan? Mengapa pula ia membutuh-
kan keberanian yang besar? Bukan-
kah itu semata soal menjernihkan
serapan mata dan pikiran atas seke-
rumun ingatan, simbol dan mitos
yang tak bernyawa? Betapa kita
dihadapkan dengan gelimang teka-
teki yang mustahil dapat dipecahkan.
Oleh Heri CS
-
Menurut Fadrudin Nasrullah dalam
blog Amongraga-nya, proses kreatif, bagi
pengarang, seolah-olah lahir dari kuburan
mimpi, semacam perjumpaan secara inten-
sif antara manusia yang sadar dengan dunia-
nya: antara yang nyata dan yang maya. Jika
boleh dibilang bahwa hakikat proses kreatif
berada dalam bebayang absurditas diri yang
demikian personal dan nyaris tak tersadari,
yang memantik kecemasan yang gulana,
semacam kemuskilan sekaligus tertawan
dalam ikhtiar mengenal dunia yang kita
diami. Maka, dengan sendirinya, proses
kreatif juga merupakan sebentuk upaya
penanggulangan eksistensi diri.
Tampaknya inilah yang tiada henti
menghantui sebagian pengarang, bahkan
menjadi kutukan, untuk menulis hingga
berdarah-darah sampai mati. Mencambuk-
nya demi melahirkan karya yang tak lekang
oleh waktu dan ruang.
Jika demikian, kenikmatan apa yang
menggerakkan pengarang untuk berkarya?
Lanskap indrawi macam apa yang menyusup
ke dalam jiwanya saat ia menikmati teks yang
dihasilkannya? Sekadar jouissance (kenikma-
tan) atau ocehan yang tak rampung diomel-
kan? Memang, dalam ranah sastra, mengutip
Foucault, teks tak lebih sekadar a point of rest,
a halt, a blazon, a flat. Sehubungan dengan itu,
novelis Karel Capek pernah ditanya tentang
apa yang membuatnya ingin jadi penulis, ia
menjawab, Karena saya benci membicarakan
tentang diri saya sendiri. Barangkali Camus,
Goethe, Chateaubriand, Proust, Calvino,
Faulkner, Kafka, dan Joyce tak memberon-
dongkan gagasan besar. Mereka sekadar
melahirkan makna keberadaan yang asing.
Mereka tak memekikkan sabda, tapi semata
mencari bentuk dari bayangan mimpi-mimpi
mereka. Mungkin menulis adalah tindakan gaib
atas nama kata dengan segenap penghancuran
dan kepalsuan, dan berakhir dengan karya.
Lantas bagaimana dengan bakat itu
sendiri yang kerap dikaitkan dengan pengarang?
Desiderius berdalih, Bakat itu tidak ada. Yang
ada hanyalah keinginan yang kuat untuk-
mewujudkan setiap impian. Tak seorang
pun menghormati bakat, sejauh itu masih
tersembunyi. Mungkin bakat secara neu-
rologis dapat dikatakan sebagai berkah.
Tetapi justru kreatifitas yang terus dinyala-
kan harus menjadi tindakan yang nyata.
Apabila menilik proses kreatif para
pujangga Jawa kuno, sebagaimana ung-
kapan Kuntara Wiryamartana bahwa,
panca indra merupakan dimensi raga
untuk memasuki jiwa. Pengendapan
dimulai dengan semadi untuk menyesap
pengalaman ragawi ke kedalaman jiwa.
Di sinilah tahap penjinakan berbagai
aktivitas untuk bisa masuk ke dunia
sukma, dunia niskala: dunia tanpa ukuran,
tanpa rasa, tanpa warna, semua serba
kosong. Dalam dimensi inilah terjadi
hubungan dengan Yang Maha Tunggal.
Pada titik pertemuan itu, imbuhnya,
ilham tidak dapat digambarkan sebelum
masuk ke dimensi jiwa. Jadi, ada penjer-
nihan ilham dari ruang sukma ke ruang
jiwa, yang kemudian diwujudkan dalam
ruang raga. Proses itu, tuturnya, terus
berlangsung dalam diri para kawi (pu-
jangga) yang berkreasi untuk menempuh
kesempurnaan. Pengalaman yang luas
tentang kehidupan di dunia nyata menjadi
syarat mutlak para kawi untuk memuncul-
kan kreatifitas. Pengalaman yang bersifat
naratif maupun dramatik dikumpulkan
sebanyak mungkin untuk diwujudkan
dalam kakawin (karya sastra). Kakawin
keluar dari puncak budi, kemudian me-
nyurup ke diri pengarang, dan akhirnya,
ia kuasa mewujudkan karyanya.
Proses kreatif, intinya, adalah pe-
ngenalan diri hingga bisa mengendalikan
proses tersebut. Sebagaimana dalam
cerita wayang Dewa Ruci. Pertemuan dua
kesejatian antara Bima dengan Dewa Ruci
yang melebur menjadi satu. Dewa Ruci
adalah perwujudan jiwa Bima. Gambaran
ini digambarkan dengan petuah Carilah
kayu besar yang menjadi sarang angin.
Makna kayu besar adalah wadag manusia-
yang hidup karena ada siklus udara saat bernapas.
(baca Agung Setyahadi Merefleksi Proses Kreatif
Leluhur, Kompas, Sabtu 25 Maret 2006).
Menurut W.S. Rendra, proses kreatif adalah
manjing ing kahanan nggayuh ngarsaning Hyang
Widi (melebur dalam dunia nyata dan merengkuh
dunia keilahian). Pengarang harus memahami
sekaligus menghayati proses kreatifnya sebagai
bentuk yogabasa: sujud karya. Bahwa setiap karya
harus menjadi roh ibadah; bahwa prinsip berkarya
adalah untuk mewujudkan kebebasan, kejujuran
dan keindahan.
Lantaran menulis merupakan peristiwa magis
demi menghadirkan dunia baru, maka proses kreatif,
menurut Archibald MacLeish dalam Poetry and
Experience, tak lain setakik usaha guna memper-
temukan dua kutub: antara yang Ada dan yang
Maya. Terus berjuang mengetuk keheningan atas
ke-Tidak Ada-an untuk menghasilkan Ada.
Sebab itu, segala hal yang bersentuhan
dengan proses kreatif memang menjadi suatu
keniscayaan yang musti dijalani oleh setiap
pengarang. Melenyapkan bayangan kegagalan
dan tak bersekutu dengan manusia berjiwa
malang dan yang gentar menghadapi penderitaan.
Di sinilah pengarang mempertaruhkan segenap
hidupnya: hidup terkutuk sebagai pengarang
atawa hidup dalam omong kosong yang
menyedihkan.
Sejalan dengan itu, Isaac Asimov juga ber-
semboyan, Hidup adalah menulis sebagaimana
hidup adalah bernapas. Stephen King dalam
bukunya On Writing memancangkan anjuran
senada dalam proses kreatif, Ada dua hal yang
harus kau lakukan: banyak membaca dan banyak
menulis. Setahuku, tidak ada jalan lain selain dua
hal ini, dan tidak ada jalan pintas.
Andaikata pengarang adalah sosok pence-
cap rahasia tabir semesta demi menggetarkan jiwa
pembacanya, seperti angin yang mendesir pada
permukaan air, maka benarkah anggapan bahwa
pengarang mengarang karena tersiksa menanggung
misteri keberadaannya? Lalu apa yang diburu penga-
rang sepanjang hayat? Mengukir nama di atas tinta
emas dalam buku sejarah dan berharap dikenang
sepanjang jaman? Ihwal ini, Lord
Byron menyindir, Apa arti ketenaran?
Kecuali mengisi bagian kertas yang
tak pasti, selain sesuatu yang bakal
hilang dalam uap.
Sekadar untuk itu: manusia
menulis, bicara, berkhotbah, mem-
bunuh, dan membakar mimpi buruk
mereka. Untuk merengkuh yang
pada akhirnya hanyalah debu.
Lantas bagaimana dengan penga-
rang yang gagal, setelah bernanah-
nanah menguras daya kreatifnya
namun hanya menghasilkan karya
sampah (atau plagiat)? Mungkin,
bagi pengarang yang berhasil atau-
pun yang gagal: itu adalah urusan
batin mereka masing-masing. Seti-
daknya, mereka telah berusaha se-
kuat tenaga -- dengan segenap
kesia-siaan dan kepedihan -- untuk
memaknai hidup mereka.
Artinya, untuk berkarya, penulis
tidak harus mengandalkan publikasi
media untuk wujud eksistensi dalam
memuat karya-karyanya. Pasalnya,
penulis-penulis dunia justru terlahir
bukan dari publikasi karya di me-
dia, namun oleh penerbitan buku-
buku karya mereka.
Di sinilah proses eksperimen
itu hadir tanpa berkesudahan. Seperti
halnya Thomas kecil, seyogianya, para
calon penulis pun, selalu bereksperimen
untuk mencari bentuk karya yang "mem-
baru" tanpa berpikir apakah ada media
yang memuatnya atau orang yang mem-
bicarakannya. Eksperimen seharusnya
menjadi nafas bagi orang-orang yang
hendak serius menjadi penulis. Bukan-
kah, menulis juga perlu keseriusan?
Heri CS, koordinator Komunitas
Lerengmedini Boja Kendal
-
Menurut Fadrudin Nasrullah dalam
blog Amongraga-nya, proses kreatif, bagi
pengarang, seolah-olah lahir dari kuburan
mimpi, semacam perjumpaan secara inten-
sif antara manusia yang sadar dengan dunia-
nya: antara yang nyata dan yang maya. Jika
boleh dibilang bahwa hakikat proses kreatif
berada dalam bebayang absurditas diri yang
demikian personal dan nyaris tak tersadari,
yang memantik kecemasan yang gulana,
semacam kemuskilan sekaligus tertawan
dalam ikhtiar mengenal dunia yang kita
diami. Maka, dengan sendirinya, proses
kreatif juga merupakan sebentuk upaya
penanggulangan eksistensi diri.
Tampaknya inilah yang tiada henti
menghantui sebagian pengarang, bahkan
menjadi kutukan, untuk menulis hingga
berdarah-darah sampai mati. Mencambuk-
nya demi melahirkan karya yang tak lekang
oleh waktu dan ruang.
Jika demikian, kenikmatan apa yang
menggerakkan pengarang untuk berkarya?
Lanskap indrawi macam apa yang menyusup
ke dalam jiwanya saat ia menikmati teks yang
dihasilkannya? Sekadar jouissance (kenikma-
tan) atau ocehan yang tak rampung diomel-
kan? Memang, dalam ranah sastra, mengutip
Foucault, teks tak lebih sekadar a point of rest,
a halt, a blazon, a flat. Sehubungan dengan itu,
novelis Karel Capek pernah ditanya tentang
apa yang membuatnya ingin jadi penulis, ia
menjawab, Karena saya benci membicarakan
tentang diri saya sendiri. Barangkali Camus,
Goethe, Chateaubriand, Proust, Calvino,
Faulkner, Kafka, dan Joyce tak memberon-
dongkan gagasan besar. Mereka sekadar
melahirkan makna keberadaan yang asing.
Mereka tak memekikkan sabda, tapi semata
mencari bentuk dari bayangan mimpi-mimpi
mereka. Mungkin menulis adalah tindakan gaib
atas nama kata dengan segenap penghancuran
dan kepalsuan, dan berakhir dengan karya.
Lantas bagaimana dengan bakat itu
sendiri yang kerap dikaitkan dengan pengarang?
Desiderius berdalih, Bakat itu tidak ada. Yang
ada hanyalah keinginan yang kuat untuk-
mewujudkan setiap impian. Tak seorang
pun menghormati bakat, sejauh itu masih
tersembunyi. Mungkin bakat secara neu-
rologis dapat dikatakan sebagai berkah.
Tetapi justru kreatifitas yang terus dinyala-
kan harus menjadi tindakan yang nyata.
Apabila menilik proses kreatif para
pujangga Jawa kuno, sebagaimana ung-
kapan Kuntara Wiryamartana bahwa,
panca indra merupakan dimensi raga
untuk memasuki jiwa. Pengendapan
dimulai dengan semadi untuk menyesap
pengalaman ragawi ke kedalaman jiwa.
Di sinilah tahap penjinakan berbagai
aktivitas untuk bisa masuk ke dunia
sukma, dunia niskala: dunia tanpa ukuran,
tanpa rasa, tanpa warna, semua serba
kosong. Dalam dimensi inilah terjadi
hubungan dengan Yang Maha Tunggal.
Pada titik pertemuan itu, imbuhnya,
ilham tidak dapat digambarkan sebelum
masuk ke dimensi jiwa. Jadi, ada penjer-
nihan ilham dari ruang sukma ke ruang
jiwa, yang kemudian diwujudkan dalam
ruang raga. Proses itu, tuturnya, terus
berlangsung dalam diri para kawi (pu-
jangga) yang berkreasi untuk menempuh
kesempurnaan. Pengalaman yang luas
tentang kehidupan di dunia nyata menjadi
syarat mutlak para kawi untuk memuncul-
kan kreatifitas. Pengalaman yang bersifat
naratif maupun dramatik dikumpulkan
sebanyak mungkin untuk diwujudkan
dalam kakawin (karya sastra). Kakawin
keluar dari puncak budi, kemudian me-
nyurup ke diri pengarang, dan akhirnya,
ia kuasa mewujudkan karyanya.
Proses kreatif, intinya, adalah pe-
ngenalan diri hingga bisa mengendalikan
proses tersebut. Sebagaimana dalam
cerita wayang Dewa Ruci. Pertemuan dua
kesejatian antara Bima dengan Dewa Ruci
yang melebur menjadi satu. Dewa Ruci
adalah perwujudan jiwa Bima. Gambaran
ini digambarkan dengan petuah Carilah
kayu besar yang menjadi sarang angin.
Makna kayu besar adalah wadag manusia-
yang hidup karena ada siklus udara saat bernapas.
(baca Agung Setyahadi Merefleksi Proses Kreatif
Leluhur, Kompas, Sabtu 25 Maret 2006).
Menurut W.S. Rendra, proses kreatif adalah
manjing ing kahanan nggayuh ngarsaning Hyang
Widi (melebur dalam dunia nyata dan merengkuh
dunia keilahian). Pengarang harus memahami
sekaligus menghayati proses kreatifnya sebagai
bentuk yogabasa: sujud karya. Bahwa setiap karya
harus menjadi roh ibadah; bahwa prinsip berkarya
adalah untuk mewujudkan kebebasan, kejujuran
dan keindahan.
Lantaran menulis merupakan peristiwa magis
demi menghadirkan dunia baru, maka proses kreatif,
menurut Archibald MacLeish dalam Poetry and
Experience, tak lain setakik usaha guna memper-
temukan dua kutub: antara yang Ada dan yang
Maya. Terus berjuang mengetuk keheningan atas
ke-Tidak Ada-an untuk menghasilkan Ada.
Sebab itu, segala hal yang bersentuhan
dengan proses kreatif memang menjadi suatu
keniscayaan yang musti dijalani oleh setiap
pengarang. Melenyapkan bayangan kegagalan
dan tak bersekutu dengan manusia berjiwa
malang dan yang gentar menghadapi penderitaan.
Di sinilah pengarang mempertaruhkan segenap
hidupnya: hidup terkutuk sebagai pengarang
atawa hidup dalam omong kosong yang
menyedihkan.
Sejalan dengan itu, Isaac Asimov juga ber-
semboyan, Hidup adalah menulis sebagaimana
hidup adalah bernapas. Stephen King dalam
bukunya On Writing memancangkan anjuran
senada dalam proses kreatif, Ada dua hal yang
harus kau lakukan: banyak membaca dan banyak
menulis. Setahuku, tidak ada jalan lain selain dua
hal ini, dan tidak ada jalan pintas.
Andaikata pengarang adalah sosok pence-
cap rahasia tabir semesta demi menggetarkan jiwa
pembacanya, seperti angin yang mendesir pada
permukaan air, maka benarkah anggapan bahwa
pengarang mengarang karena tersiksa menanggung
misteri keberadaannya? Lalu apa yang diburu penga-
rang sepanjang hayat? Mengukir nama di atas tinta
emas dalam buku sejarah dan berharap dikenang
sepanjang jaman? Ihwal ini, Lord
Byron menyindir, Apa arti ketenaran?
Kecuali mengisi bagian kertas yang
tak pasti, selain sesuatu yang bakal
hilang dalam uap.
Sekadar untuk itu: manusia
menulis, bicara, berkhotbah, mem-
bunuh, dan membakar mimpi buruk
mereka. Untuk merengkuh yang
pada akhirnya hanyalah debu.
Lantas bagaimana dengan penga-
rang yang gagal, setelah bernanah-
nanah menguras daya kreatifnya
namun hanya menghasilkan karya
sampah (atau plagiat)? Mungkin,
bagi pengarang yang berhasil atau-
pun yang gagal: itu adalah urusan
batin mereka masing-masing. Seti-
daknya, mereka telah berusaha se-
kuat tenaga -- dengan segenap
kesia-siaan dan kepedihan -- untuk
memaknai hidup mereka.
Artinya, untuk berkarya, penulis
tidak harus mengandalkan publikasi
media untuk wujud eksistensi dalam
memuat karya-karyanya. Pasalnya,
penulis-penulis dunia justru terlahir
bukan dari publikasi karya di me-
dia, namun oleh penerbitan buku-
buku karya mereka.
Di sinilah proses eksperimen
itu hadir tanpa berkesudahan. Seperti
halnya Thomas kecil, seyogianya, para
calon penulis pun, selalu bereksperimen
untuk mencari bentuk karya yang "mem-
baru" tanpa berpikir apakah ada media
yang memuatnya atau orang yang mem-
bicarakannya. Eksperimen seharusnya
menjadi nafas bagi orang-orang yang
hendak serius menjadi penulis. Bukan-
kah, menulis juga perlu keseriusan?
Heri CS, koordinator Komunitas
Lerengmedini Boja Kendal
-
Berat juga untuk memulai membangun
musikalitas, budaya dan kemerdekaan!
Bahasa apa itu? Tapi nanti dulu, ini
persoalan keseharian kita juga, di jalan-
jalan kota, perempatan traffic light, gang-
gang, lorong-lorong kumuh dan bahkan
jalan sejuk menuju puncak gunung. Siapa
sih yang asing dengan sosok bergitar?
Tentu boleh dong sambil membuka
malaga atau anggur orang tua (hasil
dari riungan... hiks) terus mengeluarkan
suara sember dan falsnya kuat-kuat?
Wa, Indonesia, tanah. Ha ha ha..
I luph u pull!
Keseharian yang seperti itu ada pada
ranah kita. Serta lantaran rasa 'gue
banget' so nyaman! Jadilah satu
budaya! Budaya kita dan kita ini bisa
siapa saja, mahasiswa, punk, pengamen,
buruh bahkan anak papi-mami, anak
pelacur atau koruptor sekalian. Yang
penting 'muda' [dalam konteks pandangan
hidup dan semangat] bukan dalam ukuran
angka umur. Nah, semua jadi semangat
muda, berbudaya muda. Tetap semangat
dan tetap nggak nolak mendengar, menik-
mati atau memainkan genjrang-genjreng.
Bengawan Solo, wow sambil... sruput!
Setenggak malaga atau anggur orang tua disela
asap ganja membuat malam semakin syahdu.
Sementara penjual mie dorong memukul-mukul
penggorengannya. Ah, menggoda juga, tapi duwit
cupet. Ya cukup menelan ludah saja sambil koar-koar
nyanyi. Semangat, tapi tetep jaga nama sekolah, kata
Ambon Marley: Hop! Opla....
Nah dapat kan? Dua hal, musikalitas dan budaya. Lalu
di manakah kemerdekaannya? Kata Alimin nerocos:
Jangan! Bukan lantaran angka 17. Itu sih hari merdeka.
Betul, tanya saja kepada Tuan SBY. Bukankah tadi di
atas yang kita omongan, selimutnya merdeka? ah ya
kita bebas dan membebaskan diri Untuk apa? Ya itulah
kemerdekaan kita. Nggak percaya?
Tanya saja kepada asap ganja yang
mengalun!
Pusing! memang aku nulis apaan?
Serius ya, begini, yang penting bagaimana
membangun musikalitas dengan kualitas
artistik yang tinggi serta budaya organisasi
yang rapi. Ideologi yang memerdekakan
tetap terjaga. Sehingga kita nggak jadi
tukang potret keadaan semata mirip Bang
Iwan. Piss bang! Tapi sebagai pekerja seni
kita juga turut turun langsung ke jalan untuk
melawan penindasan. Jangan percaya
JF Kenedi, bule amrik yang sudah di neraka,
"Jika politik itu kotor, puisilah yang akan
membersihkannya," Ngawur tuh, sekeras
apapun puisi tetap nggak akan ngaruh
terhadap perubahan kondisi. Yang penting
adalah orangnya atau senimannya, musisinya,
atau 'kamu' nya bagaimana bergerak.
Ah haus, minum dulu nih malaga! Toast,
sruppp!
Oleh: Kelana Jelata
Semangat baru, dan tentunya kreasi baru.
Siapa sih yang ga' mau kalau semua serba baru? Ya nggak
munafik lah, kita pasti menginginkan semua yang terbaru
jika memang hal itu bisa memberikan kenyamanan dan
kepuasan tersendiri. Misalnya saja pacar baru, masih
seger-segernya, manis, cantik, masih hangat untuk
ditenteng kemana-mana.
Tapi bagaimana dengan yang lama, akankah
dilupakan dan di biarkan begitu saja? Padahal
yang terdahulu pastinya memberikan
pengalaman berharga agar kedepan kita
bisa lebih menghargai sesuatu.
Kalau ada yang baru kenapa mesti pakai
yang lama? Nggak salah dengan
pernyataan tadi, karena pada dasarnya
manusia membutuhkan pembaruan
agar hidup lebih menantang. Tapi
jangan salah sangka kalau yang lama
begitu menyenangkan, kenapa mesti
cari yang baru itulah dua sisi mata
uang yang sama-sama benar. Jika yang
lama masih layak dan (justru) lebih
menyenangkan, kenapa mesti cari
yang baru? Bukankah lawas itu
bagus?heheheh kata temenku sih..
Tapi ada benarnya juga. Banyak hal
yang menjadi berharga justru setelah
lama berlalu. Contohnya saja salah satu
penyair besar Indonesia, Chairil Anwar.
Beliau justru menjadi terkenal dan
dikagumi setelah meninggal dunia.
Ketika beliau masih hidup, karyanya
tidak begitu dikagumi dan namanya
tidak setenar sekarang.
Lawang Sewu terkenal dan menjadi
ikon kota Semarang justru setelah
bangunan tak lagi digunakan. Dulunya
Lawang Sewu hanya sebuah bangunan
penjara milik penjajah dan (mungkin)
karena itulah Lawang Sewu mempunyai
nilai sejarah yang tinggi.
Ada
benarnya
ketika lawas
lebih bagus
dari yang baru.
Bisa dibayangkan
jika Lawang Sewu
dibangun sekarang,
pasti tidak setenar
sekarang.
Yap..yang pasti nggak
salah kalau mau mencari
sesuatu yang baru, entah
itu pengalaman baru,
barang baru atau mungkin
pacar baru.
Karena lawas itu bagus..
Tidak ada yang salah dengan hal baru
asal itu tidak bersifat negatif, akan
tetapi perlu diingat bahwa semua yang
baru kelak akan menjadi lama dan yang
lama masih bisa kita perbarui, tinggal
bagaimana kita menyikapinya.
Intinya ya kita mesti bisa memilih sesuai
fungsi, kalau memeng harus ganti yang
baru ya ganti aja. Tapi kalau yang lama
masih pantas dan memang masih layak,
kenapa mesti ganti yang baru? Karena
lawas itu bagus..
Lawas itu bagus
-
Berat juga untuk memulai membangun
musikalitas, budaya dan kemerdekaan!
Bahasa apa itu? Tapi nanti dulu, ini
persoalan keseharian kita juga, di jalan-
jalan kota, perempatan traffic light, gang-
gang, lorong-lorong kumuh dan bahkan
jalan sejuk menuju puncak gunung. Siapa
sih yang asing dengan sosok bergitar?
Tentu boleh dong sambil membuka
malaga atau anggur orang tua (hasil
dari riungan... hiks) terus mengeluarkan
suara sember dan falsnya kuat-kuat?
Wa, Indonesia, tanah. Ha ha ha..
I luph u pull!
Keseharian yang seperti itu ada pada
ranah kita. Serta lantaran rasa 'gue
banget' so nyaman! Jadilah satu
budaya! Budaya kita dan kita ini bisa
siapa saja, mahasiswa, punk, pengamen,
buruh bahkan anak papi-mami, anak
pelacur atau koruptor sekalian. Yang
penting 'muda' [dalam konteks pandangan
hidup dan semangat] bukan dalam ukuran
angka umur. Nah, semua jadi semangat
muda, berbudaya muda. Tetap semangat
dan tetap nggak nolak mendengar, menik-
mati atau memainkan genjrang-genjreng.
Bengawan Solo, wow sambil... sruput!
Setenggak malaga atau anggur orang tua disela
asap ganja membuat malam semakin syahdu.
Sementara penjual mie dorong memukul-mukul
penggorengannya. Ah, menggoda juga, tapi duwit
cupet. Ya cukup menelan ludah saja sambil koar-koar
nyanyi. Semangat, tapi tetep jaga nama sekolah, kata
Ambon Marley: Hop! Opla....
Nah dapat kan? Dua hal, musikalitas dan budaya. Lalu
di manakah kemerdekaannya? Kata Alimin nerocos:
Jangan! Bukan lantaran angka 17. Itu sih hari merdeka.
Betul, tanya saja kepada Tuan SBY. Bukankah tadi di
atas yang kita omongan, selimutnya merdeka? ah ya
kita bebas dan membebaskan diri Untuk apa? Ya itulah
kemerdekaan kita. Nggak percaya?
Tanya saja kepada asap ganja yang
mengalun!
Pusing! memang aku nulis apaan?
Serius ya, begini, yang penting bagaimana
membangun musikalitas dengan kualitas
artistik yang tinggi serta budaya organisasi
yang rapi. Ideologi yang memerdekakan
tetap terjaga. Sehingga kita nggak jadi
tukang potret keadaan semata mirip Bang
Iwan. Piss bang! Tapi sebagai pekerja seni
kita juga turut turun langsung ke jalan untuk
melawan penindasan. Jangan percaya
JF Kenedi, bule amrik yang sudah di neraka,
"Jika politik itu kotor, puisilah yang akan
membersihkannya," Ngawur tuh, sekeras
apapun puisi tetap nggak akan ngaruh
terhadap perubahan kondisi. Yang penting
adalah orangnya atau senimannya, musisinya,
atau 'kamu' nya bagaimana bergerak.
Ah haus, minum dulu nih malaga! Toast,
sruppp!
Oleh: Kelana Jelata
Semangat baru, dan tentunya kreasi baru.
Siapa sih yang ga' mau kalau semua serba baru? Ya nggak
munafik lah, kita pasti menginginkan semua yang terbaru
jika memang hal itu bisa memberikan kenyamanan dan
kepuasan tersendiri. Misalnya saja pacar baru, masih
seger-segernya, manis, cantik, masih hangat untuk
ditenteng kemana-mana.
Tapi bagaimana dengan yang lama, akankah
dilupakan dan di biarkan begitu saja? Padahal
yang terdahulu pastinya memberikan
pengalaman berharga agar kedepan kita
bisa lebih menghargai sesuatu.
Kalau ada yang baru kenapa mesti pakai
yang lama? Nggak salah dengan
pernyataan tadi, karena pada dasarnya
manusia membutuhkan pembaruan
agar hidup lebih menantang. Tapi
jangan salah sangka kalau yang lama
begitu menyenangkan, kenapa mesti
cari yang baru itulah dua sisi mata
uang yang sama-sama benar. Jika yang
lama masih layak dan (justru) lebih
menyenangkan, kenapa mesti cari
yang baru? Bukankah lawas itu
bagus?heheheh kata temenku sih..
Tapi ada benarnya juga. Banyak hal
yang menjadi berharga justru setelah
lama berlalu. Contohnya saja salah satu
penyair besar Indonesia, Chairil Anwar.
Beliau justru menjadi terkenal dan
dikagumi setelah meninggal dunia.
Ketika beliau masih hidup, karyanya
tidak begitu dikagumi dan namanya
tidak setenar sekarang.
Lawang Sewu terkenal dan menjadi
ikon kota Semarang justru setelah
bangunan tak lagi digunakan. Dulunya
Lawang Sewu hanya sebuah bangunan
penjara milik penjajah dan (mungkin)
karena itulah Lawang Sewu mempunyai
nilai sejarah yang tinggi.
Ada
benarnya
ketika lawas
lebih bagus
dari yang baru.
Bisa dibayangkan
jika Lawang Sewu
dibangun sekarang,
pasti tidak setenar
sekarang.
Yap..yang pasti nggak
salah kalau mau mencari
sesuatu yang baru, entah
itu pengalaman baru,
barang baru atau mungkin
pacar baru.
Karena lawas itu bagus..
Tidak ada yang salah dengan hal baru
asal itu tidak bersifat negatif, akan
tetapi perlu diingat bahwa semua yang
baru kelak akan menjadi lama dan yang
lama masih bisa kita perbarui, tinggal
bagaimana kita menyikapinya.
Intinya ya kita mesti bisa memilih sesuai
fungsi, kalau memeng harus ganti yang
baru ya ganti aja. Tapi kalau yang lama
masih pantas dan memang masih layak,
kenapa mesti ganti yang baru? Karena
lawas itu bagus..
Lawas itu bagus
-
Cahaya matahari sinar kehidupan.Cahaya
bulan temani mimpi. Cahaya bintang penyejuk
hati. Cahaya lilin terangi kegelapan. Seperti
cahaya, Nur seorang gadis lulusan SMP, mem-
beranikan diri pergi mengarungi nasib di negeri
seberang untuk menyinari kehidupan keluarga.
Bukan gadis biasa. Berbeda dengan teman-teman
lainya yang masih sibuk mencari sekolah favorit.
Bahkan, ada yang rela mengeluarkan biaya jutaan
untuk masuk di sekolah favoit itu. Ah, sama saja.
Sekolah dimana pun tetap mengikuti Ujian Akhir
Nasional.
...
Pagi itu, tiga tahun setelah Nur pergi.
Tanpa pamit padaku, sahabatnya. Entah apa
yang dipikikanya waktu itu, sampai hati tidak
memberitahukan kepegianya menuju medan
perang melawan kemiskinan. Waktu dia pergi
aku ingin marah, tapi untuk apa aku marah?
Aku hanya bisa berdoa semoga dia selalu
dilindungi. Saat aku tengah duduk santai di
ruang tengah sambil bercanda dengan adik
kecilku, aku mendengar suara di balik pintu,
Assalamualaikum. Suara seorang
wanita. Aku berlari menuju pintu itu, tak sabar
ingin tahu. Seolah kepalaku di penuhi tanda
tanya, siapa orang di balik pintu rumahku?
Waalaikum salam. Jawabku.
Kubuka pintu dengan berlahan dan
telah berdiri tepat dihadapanku seorang
yang bercahaya tersenyum padaku. Aku
kaget dan tercengang. Nur sahabatku,
saudaraku. Tiba-tiba air mataku tak ter-
bendung lagi. Benar-benar berbeda dari
yang dulu, saat pertama kali aku melihat
di hari pertama masuk kelas satu SD. Nur
yang bercahaya, kulitnya putih, rambutnya
panjang, tersenyum padaku. Tapi sekarang
berubah, rambutnya dipotong pendek. Terlalu
pendek, tubuhnya kurus, kuku jari-jari tangan-
nya menghitam. Meski begitu, dia masih tetap
bercahaya dengan senyum manisnya.
Dia menjulurkan tangan, kami bersa-
laman. Ya Allah, tanganya kasar karena
luka-luka goresan. Aku ingin memeluknya
dan menangis keras-keras. Tapi semua itu
tidak aku lakukan karena dia terlihat bahagia.
Pandanganya berpaling kearah
dalam rumahku.
Lia, kenapa masih diluar? Diajak
masuk! Teriak ibuku sambil berjalan me-
nuju kearahku.
Bu?'' Sapa Nur pada ibuku sambil
menjulurkan tanganya untuk bersalaman.
Ini Nur? Tanya ibu sambil membalas
uluran tangannya.
Aku tahu yang dipikirkan ibuku waktu
itu, prihatin. Aku dan ibu saling berpanda-
ngan. Ibu tahu kalau Nur dan aku berteman
dekat. Kami selalu akrab sejak pertama
masuk SD hingga lulus SMP. Sudah tujuh
tahun aku sekelas denganya, dari kelas
satu SD hingga kelas satu SMP. Bahkan
kami pernah satu bangku. Suka duka saat
itu kami lalui bersama. Saat SD, Nur adalah
siswa yang pintar. Lebih tepatnya siswa
perempuan yang paling pintar. Tapi bukan
rangking satu, namun dia selalu rangking
dua. Rangking satu waktu itu Ndirin, anak
laki-laki cerdas yang sok jagoan. Memang
aneh? Nakal tapi pintar. Tapi waktu SMP
prestasi Ndirin menurun drastis, mungkin
karena pencarian jati diri. Sering keluar
masuk ruang BK, karena bolos seperti
biasa. Kurang bersyukur atas karunia
kecerdasan yang di berikan oleh Allah.
Ayo masuk ! Kata ibu.
Kami bertiga berjalan beriringan me-
nuju ruang tengah, tapi ibu tidak ikut berga-
bung dengan kami. Ibu pergi menuju dapur.
Tidak lama setelah duduk Nur
berkata, Kenapa dek? Dari tadi kamu
hanya diam saja?
Aku tersenyum dan berkata,
Aku masih belum percaya.
Wah, kamu itu! Kemarin waktu
aku baru pulang, aku bertemu Nana,
dia cerita tentang kamu. Katanya kamu
selalu bertanya tentang kabar aku. Maaf
ya? Waktu itu aku belum sempat pamit
karena aku benar-benar terburu-buru.
Selain itu kamu sepertinya masih sibuk
mencari sekolah. Tegasnya.
Kapan sampai? tanyaku.
Baru seminggu, jawabnya.
Tiba-tiba ibu datang dari dapur
sambil membawa penampan yang berisi
dua gelas teh manis hangat dan satu
toples kue kering.
Ini minumnya. Seadanya ya?
Iya Bu, terima kasih. Maaf mere-
potkan.
Ah, tidak repot! Balas ibu.
Ibu meletakan penampan itu dan
ikut duduk dengan kami.
Bu, kabarnya ibu sudah tidak me-
ngajar di SD N 2 Turunrejo lagi? Tanya
Nur pada ibu.
Iya, Ibu sekarang sudah pindah di
SD N 1 Purwokerto. Sudah dua puluh lima
tahun ibu mengajar di SD N 2 Turunrejo.
Dari Mas Yudi belum lahir hingga sekarang
menjadi mahasiswa.
Sekarang sudah mengajar anaknya
muridnya Ibu dulu, sudah punya banyak
cucu. Sambungku.
Ternyata sudah lama ya, Bu? Keada-
an sekolah yang baru bagaimana, Bu?
Sama saja, hanya tempat dan orang-
nya yang berbeda. Jadi ibu harus memulai
lagi hubungan baik dengan masyarakat di
sana. Jawab Ibu.
Kamu dek? Sudah punya pacar ya?
Kata Nur mengejeku.
Pacar? Makanan apa itu? Alhamdulilah
belum. Candaku.
Apa iya? Sindir Nur lagi.
''Nanti dulu setelah lulus. Sambung ibu.
Itu, dengarkan dek? Ejek Nur lagi.
Memang belum, untuk apa bohong?
Bagiku punya pacar itu hubungan pertemanan
dengan orang lain. Kemana-mana jalan berdua,
tidak kreatif. Masih banyak hal yang bisa aku
kerjakan. Terserah orang bilang, kalau pacaran
itu bermanfaat karena wujud berbagi kasih sa-
yang. Aku bisa membaginya dengan keluarga-
ku, teman-temanku. Mungkin kamu sendiri
yang sudah punya pacar? Kataku untuk mem-
bela diri.
Bagaimana mungkin? Kerja pagi hingga
malam. Waktu paling luang saat keluarga maji-
kanku liburan, pekerjaanya tidak seberat hari-
hari biasa karena mereka mengajakku juga
untuk menjaga anaknya dan mengurusi keper-
luan mereka. Kata Nur.
Kakakmu sekarang bekerja dimana?
Tanya ibu mengalihkan topik pembicaraan.
Alhamdulilah berkat kerja keras saya
selama tiga tahun di Malaysia, saya bisa mem-
biayai Kang Mus dipindah tugaskan di Makasar.
Sudah satu tahun dia bekerja sebagai Marinir.
Mudah-mudahan dengan hal ini bisa mengang-
kat derajat hidup dan masa depan kedua adik
saya yang masih kecil. Jangan sampai mereka
menjadi seperti saya dan orangtua, pekerja
kasar. Jawab Nur dengan raut wajah sedikit
memelas.
Aku kaget dan kagum padanya. Aku tak
menyangka, Kang Mus bisa menjadi Marinir
berkat usaha Nur. Seorang Nur memang pem-
beri cahaya bagi keluarganya. Aku malu, benar-
benar malu pada dirinya, keluargaku dan pada
diriku sendiri. Sampai saat ini belum ada hal
yang bisa aku berikan pada orang tuaku.
Hanya mengeluh meminta dan menuntut.
Ya Allah, begitu mulia dirimu Nur.
Saya ikhlas, benar-benar ikhlas. Sete-
lah apa yang saya lakukan meski begitu berat,
berat sekali. Majikan saya non muslim. Jika
shalat harus sembunyi-sembunyi. Jika ketahu-
an puasa, dihukum. Jika anaknya menangis,
dihukum. Dan jika saya nekat keluar sebelum
kontrak selesai meskipun kurang sehari saja
-
Cahaya matahari sinar kehidupan.Cahaya
bulan temani mimpi. Cahaya bintang penyejuk
hati. Cahaya lilin terangi kegelapan. Seperti
cahaya, Nur seorang gadis lulusan SMP, mem-
beranikan diri pergi mengarungi nasib di negeri
seberang untuk menyinari kehidupan keluarga.
Bukan gadis biasa. Berbeda dengan teman-teman
lainya yang masih sibuk mencari sekolah favorit.
Bahkan, ada yang rela mengeluarkan biaya jutaan
untuk masuk di sekolah favoit itu. Ah, sama saja.
Sekolah dimana pun tetap mengikuti Ujian Akhir
Nasional.
...
Pagi itu, tiga tahun setelah Nur pergi.
Tanpa pamit padaku, sahabatnya. Entah apa
yang dipikikanya waktu itu, sampai hati tidak
memberitahukan kepegianya menuju medan
perang melawan kemiskinan. Waktu dia pergi
aku ingin marah, tapi untuk apa aku marah?
Aku hanya bisa berdoa semoga dia selalu
dilindungi. Saat aku tengah duduk santai di
ruang tengah sambil bercanda dengan adik
kecilku, aku mendengar suara di balik pintu,
Assalamualaikum. Suara seorang
wanita. Aku berlari menuju pintu itu, tak sabar
ingin tahu. Seolah kepalaku di penuhi tanda
tanya, siapa orang di balik pintu rumahku?
Waalaikum salam. Jawabku.
Kubuka pintu dengan berlahan dan
telah berdiri tepat dihadapanku seorang
yang bercahaya tersenyum padaku. Aku
kaget dan tercengang. Nur sahabatku,
saudaraku. Tiba-tiba air mataku tak ter-
bendung lagi. Benar-benar berbeda dari
yang dulu, saat pertama kali aku melihat
di hari pertama masuk kelas satu SD. Nur
yang bercahaya, kulitnya putih, rambutnya
panjang, tersenyum padaku. Tapi sekarang
berubah, rambutnya dipotong pendek. Terlalu
pendek, tubuhnya kurus, kuku jari-jari tangan-
nya menghitam. Meski begitu, dia masih tetap
bercahaya dengan senyum manisnya.
Dia menjulurkan tangan, kami bersa-
laman. Ya Allah, tanganya kasar karena
luka-luka goresan. Aku ingin memeluknya
dan menangis keras-keras. Tapi semua itu
tidak aku lakukan karena dia terlihat bahagia.
Pandanganya berpaling kearah
dalam rumahku.
Lia, kenapa masih diluar? Diajak
masuk! Teriak ibuku sambil berjalan me-
nuju kearahku.
Bu?'' Sapa Nur pada ibuku sambil
menjulurkan tanganya untuk bersalaman.
Ini Nur? Tanya ibu sambil membalas
uluran tangannya.
Aku tahu yang dipikirkan ibuku waktu
itu, prihatin. Aku dan ibu saling berpanda-
ngan. Ibu tahu kalau Nur dan aku berteman
dekat. Kami selalu akrab sejak pertama
masuk SD hingga lulus SMP. Sudah tujuh
tahun aku sekelas denganya, dari kelas
satu SD hingga kelas satu SMP. Bahkan
kami pernah satu bangku. Suka duka saat
itu kami lalui bersama. Saat SD, Nur adalah
siswa yang pintar. Lebih tepatnya siswa
perempuan yang paling pintar. Tapi bukan
rangking satu, namun dia selalu rangking
dua. Rangking satu waktu itu Ndirin, anak
laki-laki cerdas yang sok jagoan. Memang
aneh? Nakal tapi pintar. Tapi waktu SMP
prestasi Ndirin menurun drastis, mungkin
karena pencarian jati diri. Sering keluar
masuk ruang BK, karena bolos seperti
biasa. Kurang bersyukur atas karunia
kecerdasan yang di berikan oleh Allah.
Ayo masuk ! Kata ibu.
Kami bertiga berjalan beriringan me-
nuju ruang tengah, tapi ibu tidak ikut berga-
bung dengan kami. Ibu pergi menuju dapur.
Tidak lama setelah duduk Nur
berkata, Kenapa dek? Dari tadi kamu
hanya diam saja?
Aku tersenyum dan berkata,
Aku masih belum percaya.
Wah, kamu itu! Kemarin waktu
aku baru pulang, aku bertemu Nana,
dia cerita tentang kamu. Katanya kamu
selalu bertanya tentang kabar aku. Maaf
ya? Waktu itu aku belum sempat pamit
karena aku benar-benar terburu-buru.
Selain itu kamu sepertinya masih sibuk
mencari sekolah. Tegasnya.
Kapan sampai? tanyaku.
Baru seminggu, jawabnya.
Tiba-tiba ibu datang dari dapur
sambil membawa penampan yang berisi
dua gelas teh manis hangat dan satu
toples kue kering.
Ini minumnya. Seadanya ya?
Iya Bu, terima kasih. Maaf mere-
potkan.
Ah, tidak repot! Balas ibu.
Ibu meletakan penampan itu dan
ikut duduk dengan kami.
Bu, kabarnya ibu sudah tidak me-
ngajar di SD N 2 Turunrejo lagi? Tanya
Nur pada ibu.
Iya, Ibu sekarang sudah pindah di
SD N 1 Purwokerto. Sudah dua puluh lima
tahun ibu mengajar di SD N 2 Turunrejo.
Dari Mas Yudi belum lahir hingga sekarang
menjadi mahasiswa.
Sekarang sudah mengajar anaknya
muridnya Ibu dulu, sudah punya banyak
cucu. Sambungku.
Ternyata sudah lama ya, Bu? Keada-
an sekolah yang baru bagaimana, Bu?
Sama saja, hanya tempat dan orang-
nya yang berbeda. Jadi ibu harus memulai
lagi hubungan baik dengan masyarakat di
sana. Jawab Ibu.
Kamu dek? Sudah punya pacar ya?
Kata Nur mengejeku.
Pacar? Makanan apa itu? Alhamdulilah
belum. Candaku.
Apa iya? Sindir Nur lagi.
''Nanti dulu setelah lulus. Sambung ibu.
Itu, dengarkan dek? Ejek Nur lagi.
Memang belum, untuk apa bohong?
Bagiku punya pacar itu hubungan pertemanan
dengan orang lain. Kemana-mana jalan berdua,
tidak kreatif. Masih banyak hal yang bisa aku
kerjakan. Terserah orang bilang, kalau pacaran
itu bermanfaat karena wujud berbagi kasih sa-
yang. Aku bisa membaginya dengan keluarga-
ku, teman-temanku. Mungkin kamu sendiri
yang sudah punya pacar? Kataku untuk mem-
bela diri.
Bagaimana mungkin? Kerja pagi hingga
malam. Waktu paling luang saat keluarga maji-
kanku liburan, pekerjaanya tidak seberat hari-
hari biasa karena mereka mengajakku juga
untuk menjaga anaknya dan mengurusi keper-
luan mereka. Kata Nur.
Kakakmu sekarang bekerja dimana?
Tanya ibu mengalihkan topik pembicaraan.
Alhamdulilah berkat kerja keras saya
selama tiga tahun di Malaysia, saya bisa mem-
biayai Kang Mus dipindah tugaskan di Makasar.
Sudah satu tahun dia bekerja sebagai Marinir.
Mudah-mudahan dengan hal ini bisa mengang-
kat derajat hidup dan masa depan kedua adik
saya yang masih kecil. Jangan sampai mereka
menjadi seperti saya dan orangtua, pekerja
kasar. Jawab Nur dengan raut wajah sedikit
memelas.
Aku kaget dan kagum padanya. Aku tak
menyangka, Kang Mus bisa menjadi Marinir
berkat usaha Nur. Seorang Nur memang pem-
beri cahaya bagi keluarganya. Aku malu, benar-
benar malu pada dirinya, keluargaku dan pada
diriku sendiri. Sampai saat ini belum ada hal
yang bisa aku berikan pada orang tuaku.
Hanya mengeluh meminta dan menuntut.
Ya Allah, begitu mulia dirimu Nur.
Saya ikhlas, benar-benar ikhlas. Sete-
lah apa yang saya lakukan meski begitu berat,
berat sekali. Majikan saya non muslim. Jika
shalat harus sembunyi-sembunyi. Jika ketahu-
an puasa, dihukum. Jika anaknya menangis,
dihukum. Dan jika saya nekat keluar sebelum
kontrak selesai meskipun kurang sehari saja
-
saya tidak akan digaji dan tidak akan
dibiayai pulang. Sambung Nur sambil
meneteskan air mata. Suasana berubah
menjadi hening.
Sabar ya Nur, apa yang kamu
lakukan itu sudah sangat mulia. Mudah-
mudahan apa yang kamu lakukan men-
dapat balasan yang lebih baik. Hibur
ibuku.
Aku hanya bisa diam dan ikut me-
nangis. Begitu sayangnya Nur pada ke-
luarganya sehingga dia rela dan nekat
pergi ke negeri seberang.
Mengapa tidak melapor saja?
Tanya ibuku.
Tidak mungkin bisa Bu, mereka
sudah bekerja sama. Saya hanya bisa
menjalani. Karena saya juga butuh uang.
Ibu cuma mau memberi pesan
kepada kakakmu. Jika sudah berhasil,
jangan pernah melupakan pengorba-
nanmu, ingat terus keluargamu. Mus
anak yang baik, dia pernah ibu ajar
dikelas empat dulu.
Iya Bu, nanti saya sampaikan. Kang
Mus juga selalu bilang, jika sudah berhasil
dia akan mengembalikan uang saya. Saya
hanya bilang, untuk selalu ingat pada adik-
adik. Jawabnya.
Kamu tidak sekolah lagi? Untuk me-
ngambil paket C. Nanti kamu bekerja di
Indonesia saja. Ibuku menasihati.
Wah, saya memikirkan sekolah adik-
adik saya saja, Bu
Nur masih saja memikirkan nasib ke-
luarganya tanpa mempedulikan nasibnya
sendiri.
Sebenarnya kedatanganku kesini untuk
pamit.
Pamit? Kataku Keheranan.
Aku mau bekerja lagi, tapi ke Taiwan.
Seminggu lagi aku berangkat ke penampungan.
Kenapa pergi lagi? Kamu kan baru
datang? Tanyaku.
Ada cita-cita besar yang yang harus
aku raih. Aku mau membangun rumah untuk
keluagaku. Aku tidak mau terus-terusan me-
numpang di rumah Bulikku.
Seminggu lagi ya? Tanyaku lagi.
Iya, uangku sudah habis. Hanya ting-
gal beberapa ratus ribu saja, uangnya sudah
aku pakai untuk membayar hutang Emak,
jawabnya lugu.
Ya sudah, hati-hati di sana. Kata ibu.
Nur bangun dari tempat duduk dan
berkata, Saya pamit pulang dulu, Bu. Sudah
siang. Dek kapan-kapan kerumahku ya?
Kok cepat-cepat? Kata Ibu.
Insya Allah aku kerumahmu besok
pagi? Kataku.
Aku dan ibu mengantarnya lalu ber-
salaman.
Assalamualaikum.
Waalaikum salam.
Hari itu benar-benar hari yang penuh
dengan pelajaran. Tentang perjuangan hidup
yang harus dijalani meskipun itu berat namun
dijalani dengan ikhlas. Kita harus bersyukur
karena diberi kenikmatan, bersyukur dalam
keadaan apapun. Aku akan berjuang untuk
belajar lebih keras, mungkin itu yang bisa
kulakukan untuk keluargaku sekarang.
Nur adalah cahaya. Cahaya yang
selalu bersinar karena semangat juangnya.
Nur, kamu adalah pahlawan tanpa tanda jasa
di keluargamu. Pahlawan devisa di negaramu.
: [untuk sahabatku, kakakku, sumber inspirasiku,
penyemangatku. Nur yang selalu bercahaya.
Selamat berjuang ya? Kamu mengais rejeki di
negeri orang. Semoga mimpimu terwujud. Aku
hanya bisa berdoa untukmu. Ini cerpen pertamaku
yang muncul karenamu, telah dibaca oleh banyak
orang, meski bukan nomor 1, tapi sangat berarti
bagiku]
Penulis adalah penimba ilmu di IKIP PGRI
Semarang, Fakultas Pendidikan Bahasa
dan Seni, Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, semester 4.
Ia mendapati otaknya sedang sibuk mencari
bau anyir episentrum luka pada hatinya untuk digali
dan mengabadikannya pada larik-larik puisinya yang
melulu muram.
Penyair luka, itulah julukannya. Segala bentuk
luka: kemiskinan, bencana alam, krisis ekonomi,
asusila, dan banyak lagi luka kehidupan yang ber-
hasil ia eksploitasi dalam puisi-puisinya hingga pada
titik estetik yang hampir membosankan. Kalau saja
tak ada kritikus sastra yang menyatakan bahwa ada
satu bentuk luka yang belum ia tuliskan, prihal cinta,
barangkali ia sudah beralih tema dan memulainya
dari titik awal kepenyairannya.
Sejak saat itulah ia mulai mencari referensi
prihal cinta dan segala gejolaknya yang membuat
Julius Caisar bertekuk sujud pada Cleo Patra. Tapi
ia tak memiliki empirik prihal cinta, puisinya terasa
dangkal. Terlalu jauh untuk mencapai estetiknya.
Dasar penyair kutu buku! Prihal cinta tak
bisa dicari di buku, apalagi koran. Okelah, luka-luka
yang kau tulis sebelumnya bisa dicari referensinya.
Dengan tanpa empirik sekalipun kau bisa menulis-
kannya dengan penghayatan yang dahsyat. Tapi
prihal cinta kau harus lesap di dalamnya. Susunlah
puncak perih luka itu. Dan hati-hati jangan sampai
larutbahaya! Penamu bisa mandul! Ia teringat
masukan temannya di sebuah pertemuan para
penyair.
Akhirnya ia tercandu mereka-reka pertemuan
demi pertemuan dengan seorang gadispemilik sorot
mata yang memancarkan bahkan memberikan ke-
sejukan hijau daun pada tatapnyayang ia kenal
sebelumnya. Goresan-goresan pada pertemuan
yang puitik disusunnya dengan rapi dan dijadikan-
nya luka untuk diperam di hatinya. Ruang dan waktu
sengaja ia rentangkan menjadi jurang pemisah demi
kentaranya rindu pada pertemuan yang mencipta l
uka.
Setiap kali otaknya menciumi luka yang ia
peram, selalu saja susunan kata-katanya tak pantas
disebut 'puisi'. Hanya baris kalimat yang membuatnya
gila.
Keratan malam yang kita nik-
mati di meja hidangan yang puitik
telah membuatku gila. Sungguh aku
tergila-gila pada pertemuan itu.
Pesan singkat pada perempuannya.
Maaf, pertemuan yang mem-
buatmu gila kini tak bisa kuhidangkan
untukmu. Balasnya.
Ia sadar akan kebosanan yang
melilit perempuannya itu. Karenannya
ia tak merasa heran jika perempuan
itu lebih memilih laki-laki yang nama-
nya sering disebutkan dalam setiap
pertemuan dan menggoreskan luka.
Ia bahagia, karena inilah puncak
pedih dari luka yang ia susun selama
ini untuk puisi-puisi luka prihal cinta.
Namun tak ia sangka, luka
yang ia reka telah mencipta episen-
trum luka di hatinya yang tak bisa ia
tuliskan dan membuatnya tersiksa.
Kerinduannya pada pertemuan yang
ia reka demi sebuah inspirasi tak bisa
ia dapati lagi. Atau mungkin sajak-
sajak yang hendak ia tuliskan sudah
tak lagi menjadi hal penting baginya.
Ia merasa telah melanggar pantangan.
Penanya telah kering.
Terima kasih, Manis. Pedih
yang kutanam di atas episentrum
luka yang perlahan meretak kini telah
berbunga. Aromanya menebar kema-
tian pada setiap sudut ruang kosong
jiwaku. Anggap saja ini pengakuan
dosa; aku benar-benar mencintaimu.
A
Pondok AS S, Bandung 130108
Episentrum; titik pada permukaan
bumi yang terletak tegak lurus di
atas pusat gempa yang ada di
dalam bumi
(KBBI edisi ke tiga)
-
saya tidak akan digaji dan tidak akan
dibiayai pulang. Sambung Nur sambil
meneteskan air mata. Suasana berubah
menjadi hening.
Sabar ya Nur, apa yang kamu
lakukan itu sudah sangat mulia. Mudah-
mudahan apa yang kamu lakukan men-
dapat balasan yang lebih baik. Hibur
ibuku.
Aku hanya bisa diam dan ikut me-
nangis. Begitu sayangnya Nur pada ke-
luarganya sehingga dia rela dan nekat
pergi ke negeri seberang.
Mengapa tidak melapor saja?
Tanya ibuku.
Tidak mungkin bisa Bu, mereka
sudah bekerja sama. Saya hanya bisa
menjalani. Karena saya juga butuh uang.
Ibu cuma mau memberi pesan
kepada kakakmu. Jika sudah berhasil,
jangan pernah melupakan pengorba-
nanmu, ingat terus keluargamu. Mus
anak yang baik, dia pernah ibu ajar
dikelas empat dulu.
Iya Bu, nanti saya sampaikan. Kang
Mus juga selalu bilang, jika sudah berhasil
dia akan mengembalikan uang saya. Saya
hanya bilang, untuk selalu ingat pada adik-
adik. Jawabnya.
Kamu tidak sekolah lagi? Untuk me-
ngambil paket C. Nanti kamu bekerja di
Indonesia saja. Ibuku menasihati.
Wah, saya memikirkan sekolah adik-
adik saya saja, Bu
Nur masih saja memikirkan nasib ke-
luarganya tanpa mempedulikan nasibnya
sendiri.
Sebenarnya kedatanganku kesini untuk
pamit.
Pamit? Kataku Keheranan.
Aku mau bekerja lagi, tapi ke Taiwan.
Seminggu lagi aku berangkat ke penampungan.
Kenapa pergi lagi? Kamu kan baru
datang? Tanyaku.
Ada cita-cita besar yang yang harus
aku raih. Aku mau membangun rumah untuk
keluagaku. Aku tidak mau terus-terusan me-
numpang di rumah Bulikku.
Seminggu lagi ya? Tanyaku lagi.
Iya, uangku sudah habis. Hanya ting-
gal beberapa ratus ribu saja, uangnya sudah
aku pakai untuk membayar hutang Emak,
jawabnya lugu.
Ya sudah, hati-hati di sana. Kata ibu.
Nur bangun dari tempat duduk dan
berkata, Saya pamit pulang dulu, Bu. Sudah
siang. Dek kapan-kapan kerumahku ya?
Kok cepat-cepat? Kata Ibu.
Insya Allah aku kerumahmu besok
pagi? Kataku.
Aku dan ibu mengantarnya lalu ber-
salaman.
Assalamualaikum.
Waalaikum salam.
Hari itu benar-benar hari yang penuh
dengan pelajaran. Tentang perjuangan hidup
yang harus dijalani meskipun itu berat namun
dijalani dengan ikhlas. Kita harus bersyukur
karena diberi kenikmatan, bersyukur dalam
keadaan apapun. Aku akan berjuang untuk
belajar lebih keras, mungkin itu yang bisa
kulakukan untuk keluargaku sekarang.
Nur adalah cahaya. Cahaya yang
selalu bersinar karena semangat juangnya.
Nur, kamu adalah pahlawan tanpa tanda jasa
di keluargamu. Pahlawan devisa di negaramu.
: [untuk sahabatku, kakakku, sumber inspirasiku,
penyemangatku. Nur yang selalu bercahaya.
Selamat berjuang ya? Kamu mengais rejeki di
negeri orang. Semoga mimpimu terwujud. Aku
hanya bisa berdoa untukmu. Ini cerpen pertamaku
yang muncul karenamu, telah dibaca oleh banyak
orang, meski bukan nomor 1, tapi sangat berarti
bagiku]
Penulis adalah penimba ilmu di IKIP PGRI
Semarang, Fakultas Pendidikan Bahasa
dan Seni, Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, semester 4.
Ia mendapati otaknya sedang sibuk mencari
bau anyir episentrum luka pada hatinya untuk digali
dan mengabadikannya pada larik-larik puisinya yang
melulu muram.
Penyair luka, itulah julukannya. Segala bentuk
luka: kemiskinan, bencana alam, krisis ekonomi,
asusila, dan banyak lagi luka kehidupan yang ber-
hasil ia eksploitasi dalam puisi-puisinya hingga pada
titik estetik yang hampir membosankan. Kalau saja
tak ada kritikus sastra yang menyatakan bahwa ada
satu bentuk luka yang belum ia tuliskan, prihal cinta,
barangkali ia sudah beralih tema dan memulainya
dari titik awal kepenyairannya.
Sejak saat itulah ia mulai mencari referensi
prihal cinta dan segala gejolaknya yang membuat
Julius Caisar bertekuk sujud pada Cleo Patra. Tapi
ia tak memiliki empirik prihal cinta, puisinya terasa
dangkal. Terlalu jauh untuk mencapai estetiknya.
Dasar penyair kutu buku! Prihal cinta tak
bisa dicari di buku, apalagi koran. Okelah, luka-luka
yang kau tulis sebelumnya bisa dicari referensinya.
Dengan tanpa empirik sekalipun kau bisa menulis-
kannya dengan penghayatan yang dahsyat. Tapi
prihal cinta kau harus lesap di dalamnya. Susunlah
puncak perih luka itu. Dan hati-hati jangan sampai
larutbahaya! Penamu bisa mandul! Ia teringat
masukan temannya di sebuah pertemuan para
penyair.
Akhirnya ia tercandu mereka-reka pertemuan
demi pertemuan dengan seorang gadispemilik sorot
mata yang memancarkan bahkan memberikan ke-
sejukan hijau daun pada tatapnyayang ia kenal
sebelumnya. Goresan-goresan pada pertemuan
yang puitik disusunnya dengan rapi dan dijadikan-
nya luka untuk diperam di hatinya. Ruang dan waktu
sengaja ia rentangkan menjadi jurang pemisah demi
kentaranya rindu pada pertemuan yang mencipta l
uka.
Setiap kali otaknya menciumi luka yang ia
peram, selalu saja susunan kata-katanya tak pantas
disebut 'puisi'. Hanya baris kalimat yang membuatnya
gila.
Keratan malam yang kita nik-
mati di meja hidangan yang puitik
telah membuatku gila. Sungguh aku
tergila-gila pada pertemuan itu.
Pesan singkat pada perempuannya.
Maaf, pertemuan yang mem-
buatmu gila kini tak bisa kuhidangkan
untukmu. Balasnya.
Ia sadar akan kebosanan yang
melilit perempuannya itu. Karenannya
ia tak merasa heran jika perempuan
itu lebih memilih laki-laki yang nama-
nya sering disebutkan dalam setiap
pertemuan dan menggoreskan luka.
Ia bahagia, karena inilah puncak
pedih dari luka yang ia susun selama
ini untuk puisi-puisi luka prihal cinta.
Namun tak ia sangka, luka
yang ia reka telah mencipta episen-
trum luka di hatinya yang tak bisa ia
tuliskan dan membuatnya tersiksa.
Kerinduannya pada pertemuan yang
ia reka demi sebuah inspirasi tak bisa
ia dapati lagi. Atau mungkin sajak-
sajak yang hendak ia tuliskan sudah
tak lagi menjadi hal penting baginya.
Ia merasa telah melanggar pantangan.
Penanya telah kering.
Terima kasih, Manis. Pedih
yang kutanam di atas episentrum
luka yang perlahan meretak kini telah
berbunga. Aromanya menebar kema-
tian pada setiap sudut ruang kosong
jiwaku. Anggap saja ini pengakuan
dosa; aku benar-benar mencintaimu.
A
Pondok AS S, Bandung 130108
Episentrum; titik pada permukaan
bumi yang terletak tegak lurus di
atas pusat gempa yang ada di
dalam bumi
(KBBI edisi ke tiga)
-
HAYALAN PADANG TANDUS
karya :Setia Naka Andrian
jika alam punya mata
perlihatkanlah aku,
saat kutadahkan jari-jemari
dan katakan kepada-Nya
bila perkataanku lah, yang sesungguhnya
mengumpamakan perasaan
agar Tuhan mau mendengar
Ditengah bentangan luas rerumputan yang
telah lama mengering. Sepi dan tak nampak
aktifitas kehidupan. Hanya penggembala
yang tersisa di sebuah perkampungan mati.
Terlihat gubuk reot yang digunakan sebagai
tempat berteduhnya saat masih menggembala
kambing. Ketika rerumputan di perkampungan
tempat tinggalnya masih membentang lebat
dan memberi kemakmuran bagi masyarakat.
Sebelum ada yang serakah, menghancurkan
dan memusnahkan kehidupan kampung.
Penggembala:
(Menatap langit dan memohon menadahkan
tangan).
Ya Tuhan, sudah terlalu lamakah aku berdiri?
Perlahan melangkahkan kaki mengitari rerum-
putan kering ini. (Sembari seorang adik datang
disekitar tempat itu yang tak diketahui oleh
penggembala).
Ternyata tak ada lagi yang mau tumbuh, walau-
pun hujan mengguyur dan melucuti butiran
tetes-tetes keringat yang telah menemani
lelahku. Hingga sampai menjamur tapi belum
juga mereka melambaikan tangannya. Hadirkan
kesejukan setelah lama pergi dan membuat
semua binatang ternakku kehilangan nyawa.
Tiga ekor kambing peninggalan orang tuaku.
Oh, telah ludes mati kelaparan.
Terus apa lagi yang bisa kuperbuat setelah tidak
ada lagi yang bisa kupegang dan kukendalikan.
Haruskah kumelamun hingga hayalan-hayalan
itu terlahir menjadi nyata dan membelai tubuhku
karena anugerah-Mu?
Terus bagaimana caranya menumbuhkan rumput-
rumput itu tanpa memohon kepada-Mu?
Apakah layak bila pembunuh rerumputan ini
diberi hidup karena keinginan dan per-
mintaan-Mu?
Apakah belum cukup permohonanku
berlarian dan membela berdesak-
desakan untuk menghadap dan meng-
harap pengertian-Mu?
Ya Tuhan Yang Maha Agung...
Aku terlalu lama menghayal, mengha-
rap kedatangan anugerah-anugerah-Mu.
Karena memang hanya aku satu-satunya
yang masih kuat dan berdiri, memohon
dan terus memohon kepada-Mu Ya Tuhan.
Karena semua telah pergi, jauh hari se-
telah mereka menghancurkan habis re-
rumputan hijau yang dulu mengharum-
kan dan selalu memberikan kesejukan
dan selalu memberi makan kambing-
kambing dan seluruh hewan ternak di
perkampungan ini.
Tapi setelah semua r