BUKU PANDUAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI … filePasal 28 I ayat (3) UUD 1945 bahwa “Identitas...

65
BUKU PANDUAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI KE PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM RUU PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT BADAN LEGISLASI DPR-RI 24 OKTOBER 2012

Transcript of BUKU PANDUAN KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI … filePasal 28 I ayat (3) UUD 1945 bahwa “Identitas...

BUKU PANDUAN

KUNJUNGAN KERJA BADAN LEGISLASI DPR RI

KE PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM

RUU PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

BADAN LEGISLASI DPR-RI

24 OKTOBER 2012

1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................... 1 BABI PENDAHULUAN................................2

A. Latar

Belakang........................................ 2 B. Tujuan Kunjungan Kerja.................. 9

C. Daftar Pertanyaan............................ 10 D. Penutup........................................... 12

BAB II DAFTAR NAMA DELEGASI............. 13

BAB III. JADWAL ACARA........................... 14 BAB IV PROFIL PROVINSI NAD ................ 15 BAB V PENUTUP....................................... 36

Lampiran 1 Draf RUU................................ 37

2

BAB I

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari

bersatunya komunitas-komunitas adat yang ada di seantero wilayah Nusantara.

Komunitas-komunitas tersebut telah melahirkan masyarakat hukum adat dengan hak-hak yang dimilikinya.

Keberadaan masyarakat hukum adat telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dan secara

faktual telah mendapat pengakuan pada era Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini

antara lain dapat dilihat pada pengakuan kelompok /komunitas masyarakat di beberapa wilayah yang memiliki susunan

asli dan memiliki kelengkapan pengurusan sendiri, sebagaimana penyebutan “desa” di

wilayah Jawa sebagai (dorpsrepubliek). Salah satu kelengkapan dalam pengurusan diri sendiri, yaitu adanya sistem peradilan

sendiri baik berupa peradilan adat maupun peradilan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 130 IS, Pasal 3 Ind.

Staatsblad 1932 No. 80. Dalam perkembangannya, pasca

terbentuknya NKRI, pengakuan dan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap hak-hak masyarakat hukum adat

mengalami degradasi. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan

3

orientasi pertumbuhan ekonomi dan

modernisasi menjadi salah satu faktor, terpinggirkannya hak-hak masyarakat

hukum adat. Sebagai contoh, hutan sebagai sumber penghidupan masyarakat hukum adat secara turun temurun telah

dikelola oleh masyarakat hukum adat secara arif. Namun kebijakan Pemerintah

yang mengeluarkan izin-izin hak pengelolaan hutan kepada swasta telah mengakibatkan penebangan hutan tanpa

perencanaan matang dan tanpa memikirkan dampaknya untuk generasi berikutnya. Masyarakat hukum adat

dengan berbagai keterbatasannya tersingkir dari hutan dan hal ini

menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan mereka. Secara normatif, beberapa peraturan

perundang-undangan telah mengamanatkan adanya pengakuan dan

perlindungan untuk masyarakat hukum adat, meskipun implementasinya belum seperti yang diharapkan. Pasal 18B

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), sebagai hasil amandemen pertama UUD

1945, menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

4

undang-undang. Ketentuan Pasal 18B

UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 bahwa

“Identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Selain UUD, beberapa undang-undang sektoral juga memberikan jaminan hak-

hak masyarakat hukum adat,antara lain: 1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA); 2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia;

3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

4. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air;

5. UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah; dan 6. UU No. 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang. Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat memang penting,

karena harus diakui, tradisional masyarakat hukum adat lahir dan telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan

Republik Indonesia terbentuk. Namun dalam perkembangannya hak-hak

tradisional inilah yang harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip dan semangat Negara Kesatuan Republik

Indonesia melalui persyaratan-persyaratan normatif dalam peraturan perundang-

5

undangan itu sendiri. Pada banyak sisi,

persayaratan normatif tersebut menjadi kendala keberadaan hak-hak masyarakat

hukum adat, karena: Pertama, dalam praktek penyelenggaraan

pembangunan, rumusan frasa “sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia” dimaknai bahwa kehadiran hak-hak masyarakat hukum adat sebagai pranata

yang diakui sepanjang tidak bertentangan dengan semangat pembangunan, sehingga

ada kesan pemerintah mengabaikan hak masyarakat hukum adat. Sementara secara faktual di masyarakat terjadi

semangat menguatkan kembali hak-hak masyarakat hukum adat. Hal ini kemudian yang melahirkan beberapa

konflik, terutama dengan pemerintah dan investor1.

Kedua, dalam UUD 1945 disebutkan bahwa hak-hak tradisional masyarakat hukum adat dihormati sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Persoalan yang muncul

1 Salah satu contoh kasus atau sengketa adalah sengketa

tanah bandara udara Nabire. Ronald Amahorseya, Penyelesaian Sengketa Tanah Hak ulayat di Kabupaten Nabire Provinsi Papua (Studi Kasus Sengketa Tanah Bandar Udara Nabire), Thesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang: 2008.

6

adalah undang-undang tentang apa atau

bagaimana pengaturan mengenai pengakuan terhadap hak-hak masyarakat

hukum adat tersebut. Artinya, masih tidak jelas bagaimana bentuk hukum dan substansi dari pengaturan tersebut?

Sehingga ada yang diatur dalam undang-undang, tetapi ada juga pengaturan secara

umum pada tingkat lokal yang dituangkan dalam peraturan daerah masing-masing. Ketiga, Konvensi ILO 107 Tahun 1957 dan

Konvensi ILO 169 Tahun 1989, serta Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa

(Deklarasi PBB) tanggal 13 September 2007 secara rinci telah mengatur mengenai pengakuan terhadap hak-hak masyarakat

hukum adat. Sebagai konsekuensinya kebijakan atau politik hukum negara-negara anggota PBB seharusnya sejalan

dengan isi konvensi dan deklarasi tersebut. Pasal 23 Deklarasi PBB

mengakui hak dari masyarakat hukum adat untuk melaksanakan pembangunan. Secara lengkap rumusan Pasal 23 United

Nations Declaration on the Rights of Indigenous People menyatakan:

“ mengakui bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, sebagaimana Deklarasi dan Program Aksi Vienna,

menegaskan makna mendasar betapa pentingnya hak menentukan nasib sendiri

7

untuk semua kelompok masyarakat, yang

atas dasar hak ini, mereka bebas menentukan status politik mereka dan

bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka”. Selanjutnya Pasal 40 United Nations

Declaration on the Rights of Indigenous People menyatakan bahwa masyarakat

hukum adat memiliki hak atas akses untuk memperoleh keputusan secara cepat melalui prosedur-prosedur yang adil dan

disetujui secara bersama dalam menyelesaikan konflik dan sengketa dengan Negara dan pihak-pihak yang lain,

serta bagi pemulihan yang efektif atas pelanggaran hak-hak individual dan

kolektif mereka. Keputusan seperti itu harus mempertimbangkan adat, tradisi, peraturan-peraturan dan sistem hukum

dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dengan demikian,

seharusnya hukum dan kebijakan pembangunan di Indonesia memberikan perhatian secara khusus terhadap hak-

hak masyarakat hukum adat. Namun, dalam prakteknya hak-hak masyarakat hukum adat diabaikan berdasarkan

asumsi bahwa hak-hak tersebut sudah tidak ada lagi.

Dorongan agar Pemerintah perlu segera mengeluarkan kebijakan yang implementatif terhadap pengakuan dan

perlindungan masyarakat hukum adat terus bergulir. Salah satunya adalah

8

rekomendasi Konggres Aliansi Masyarakat

hukum adat Nusantara (AMAN) IV di Tobelo, Halmahera Utara, yang mendesak

pemerintah untuk, antara lain: mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU Pengakuan dan

Perlindungan Hak-Hak Masyarakat hukum adat, mencabut berbagai undang-undang

yang menjadi sumber konflik dan pelanggaran HAM di komunitas-komunitas adat dan menggantinya dengan produk-

produk legal yang memberi pengakuan formal atas wilayah-wilayah adat berikut pengelolaannya oleh komunitas-komunitas adat.2

Atas dasar latar belakang di atas, serta

aspirasi dari masyarakat, dalam proses penyusunan Prolegnas Prioritas Tahun 2012, DPR mengajukan Rancangan

Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum

Adat untuk dimasukkan sebagai salah satu RUU yang dapat dibahas di tahun 2012 ini. Selanjutnya, Rancangan Undang-

Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat menjadi usul inisiatif DPR yang

terdapat dalam Nomor Urut 48 Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan

Undang-Undang Prioritas Tahun 2012,

2 Siaran Pers KAMAN IV 25 April 2012,

http://www.kongres4.aman.or.id/2012/04/siaran-pers-kman-iv-25-

april-20012.asp, diakses tanggal 10 juli 2012.

9

dimana Rancangan Undang-Undang dan

Naskah Akademiknya disiapkan oleh Badan Legislasi DPR RI.

Dengan menyadari kebutuhan hukum dan pertanggungjawaban Badan Legislasi DPR RI untuk menyiapkan RUU dan Naskah

Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak

Masyarakat Hukum Adat, maka dilakukanlah serangkaian kegiatan, baik diskusi dan pematangan konsepsi di

internal tim penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum

Adat maupun diskusi dan menyerap masukan dari stakeholder (pemangku

kepentingan) dan para pakar yang kompeten dengan Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan

Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.

B. TUJUAN KUNJUNGAN KERJA

Kunjungan kerja Badan Legislasi

dilakukan dalam rangka memperoleh masukan untuk penyusunan RUU tentang

Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat dari Stake holders seperti Pemerintah Daerah, Civitas

Akademika, dan kelompok-kelompok masyarakat hukum adat. Kunjungan kerja

akan dilaksanakan di 4 (empat) daerah, yaitu: Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,

10

Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi

Kepulauan Riau, dan Kota Surakarta. Kunjungan kerja ini bertujuan untuk:

1. Memperoleh masukan terhadap penyusunan dan perancangan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan

Hak Masyarakat Hukum Adat. 2. Mendapatkan penyempurnaan terkait

pokok-pokok substansi yang perlu diatur dalam RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat

Hukum Adat sesuai dengan praktik dan pengalaman yang selama ini dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan

stakeholders .

C. DAFTAR PERTANYAAN Dengan harapan memperoleh bahan masukan yang penting bagi penyusunan

Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak

Masyarakat Hukum Adat, beberapa hal yang memerlukan pendalaman adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum

adat dalam peraturan perundang-undangan?

2. Bagaimana urgensi pengaturan

pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dalam suatu Undang-Undang?

3. Apakah karakteristik pada masyarakat hukum adat yang dapat diakui

11

keberadaannya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan? 4. Penetapan masyarakat hukum adat

baiknya oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah?

5. Materi muatan apa saja yang perlu

diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan

Perlindungan Hak Masyarakat hukum adat?

6. Bagaimanakah pola aturan adat atau

hukum adat yang berlaku pada masyarakat hukum adat?

7. Bagaimana pola pemberdayaan

masyarakat hukum adat yang ideal? 8. Apa saja yang menjadi tugas dan

wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam upaya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum

adat? 9. Bagaimana peran lembaga

adat/peradilan terhadap sengketa yang terjadi dalam masyarakat hukum adat?

10. Bagaimanakah peran pemerintah

daerah terhadap hak ulayat atas tanah dalam masyarakat hukum adat?

11. Bagaimana merumuskan pola

penyelesaian sengketa antara masyarakat hukum adat dengan

Pemerintah, Pemerintah Daerah dan pihak lain?

12. Apa saja hak-hak masyarakat hukum

adat yang perlu dimasukkan dalam RUU?

12

13. Bagaimana pengaturan pendanaan

yang diberikan Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada masyarakat

hukum adat? 14. Bagaimana mekanisme solusi konflik

yang berhubungan dengan penguasaan

dan pemanfaatan atas tanah ulayat di masyarakat hukum adat?

15. Bagaimana peran serta masyarakat diatur dalam upaya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum

adat?

D. PENUTUP

Kunjungan kerja ini diharapkan dapat membuka cakrawala baru yang bersifat

faktual dan mampu menyerap aspirasi dan masukan berbagai stakeholders di daerah guna perbaikan dan penyempurnaan draft

rancangan undang-undang ini. Dengan demikian Panitia Kerja Badan

Legislasi DPR dapat mengetahui sejauhmanakah urgensi dibutuhkannya pengaturan tentang Pengakuan dan

Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.

Jakarta, Oktober 2012 Panitia Kerja RUU tentang Pengakuan dan

Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat

Baleg – DPR RI

13

BAB II DAFTAR NAMA DELEGASI

NO.

N A M A NO

ANGGOTA JABATAN FRAKSI

1. HJ. ANNA MUA’WANAH, SE, MH

502 WK KETUA BALEG

F.PKB

2. DR ZULMIAR YANRI, PHD,SPOK

432 ANGGOTA F.P.

DEMOKRAT

3. DRS. H.M. ADE SURAPRIATNA, S.H., M.H.

201 ANGGOTA F.P.

GOLKAR

4. RAHARDI ZAKARIA 345 ANGGOTA F.PDIP

5. INDRA , SH 64 ANGGOTA F.PKS

6. PROF.DR.IR.ISMET AHMAD, MSC

137 ANGGOTA F.PAN

7. HJ. MESTARIANY HABIE, SH

41 ANGGOTA F.P.GERINDRA

8. WIDIHARTO, SH,MH SEKRETARIAT

9. ACHMAD JAELANI - SEKRETARIAT

10. AGUNG ANDRI S.SOS, M.SI

- TENAGA AHLI

11. AAN ANDRIANI, SH,MH

- P3DI

14

BAB III

JADWAL ACARA

WAKTU A C A R A KET

RABU, 24 OKTOBER 2012

05.30 WIB Berkumpul di terminal II F Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng

06.35 WIB Pesawat Garuda take off menuju Provinsi NAD

10.35 WIB

Tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda

Diatur oleh Protokol Pemprov NAD

11.35 s/d 12.30 WIB

ISHOMA

13.00 S/D 15.00 WIB

Pertemuan dengan Gubernur beserta Jajaran Muspida, DPRD, Kanwil Hukum dan Ham, Kapolda, Ketua Pengadilan Tinggi NAD, Pengadilan Negeri NAD ,Tokoh Masyarakat, Civitas Akademika Universitas Syah Kuala, LSM dan Masyarakat adat dalam rangka mendapatkan masukan terhadap materi muatan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan hak-hak Masyarakat Hukum Adat

15.00 WIB Menuju Bandara Sultan Iskandar Muda

Diatur oleh Protokol Pemprov NAD

16.45 WIB Take Off Menuju Jakarta

20.55 WIB Tiba Di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng Jakarta

15

BAB IV

PROFIL PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Nama Resmi : Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Ibukota : Banda Aceh

Luas Wilayah

: 57.956,00 Km2

Jumlah

Penduduk : 4.948.907 Jiwa

Suku Bangsa : Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Jawa, Simeuleu, Kluet, Aneuk Jamee.

Suku pendatang : Jawa, Minang, Palembang, Makassar dan lain-lain.

Agama : Islam : 98,80 %, Kristen Protestan : 0,84% Khatolik: 0,16%, Buddha : 0,18%, Hindu : 0,02%.

Wilayah Administrasi

: Kab.: 18, Kota : 5, Kec.: 286, Kel.: 108, Desa: 6.321

Lagu Daerah : Bungong Jeumpa Lain-lain : 642 mukim. Mukim adalah

kesatuan masyarakat hukum dalam

Provinsi NAD yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu

dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung dibawah

kecamatan. Dipimpin oleh Imum Mukim.

Website: : http://www.acehprov.go.id

16

PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM

SEJARAH

Aceh Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sulthan Aceh ke-19),

merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal

Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah

menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.

Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan

Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan

Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.

Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka,

meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk

menjajah Aceh, kemungkinan untuk

17

mencegah Perancis dari mendapatkan

kekuasaan di kawasan tersebut. Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan

ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem

pendidikan militer, komitmennya dalam

menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan

diplomatik dengan negara lain. Perang Aceh

Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, dimulai dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah

pasukan sebanyak 3.198, termasuk 168 perwira KNIL. Setelah melakukan beberapa ancaman

diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-

18

lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak

Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Bahkan, pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan Aceh.

Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan

mereka diarahkan kepada para ulama,

bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar

Aceh. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan

diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada

tahun 1904. Saat itu, Ibukota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh

Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya Jepang masuk dan menggantikan peran belanda.

19

Perang Aceh adalah perang yang paling

banyak merugikan pihak belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara. MASA PENJAJAHAN

Bangkitnya Nasionalisme

Sementara pada masa kekuasaan Belanda,

bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen)

dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai

wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan). Saat Jepang mulai mengobarkan perang

untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim

utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan

dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar.

Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh

20

membuat Belanda terusir secara permanen

dari tanah Aceh. Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu

dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat Aceh yang

beragama Islam pun mulai diperintahkan

untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah

Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku

Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe. Masa Republik Indonesia

Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan

bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada

15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri

21

konflik antara kedua pihak yang telah

berlangsung selama hampir 30 tahun. Pada 26 Desember 2004, sebuah gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menyebabkan kematian ratusan ribu jiwa.

Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru.

KEPENDUDUKAN

Suku Bangsa

Provinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.

Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh

(50,32%), Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%), Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%)

Bahasa

Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk

Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.

22

Agama

Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut oleh penduduk di

Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki

keistimewaan dibandingkan dengan

provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam, berdasar UU No.18/2001. Meski dari kalangan intelektual Aceh

sendiri, masih terdapat perdebatan soal apakah yang diberlakukan di Aceh sudah

benar-benar syariat, atau itu cuma karena alasan politis saja? Alasan yang juga kemudian disebutkan adalah kondisi konkret ketika itu berkenaan dengan

politik, polemik di kalangan jumhur ulama soal bisa tidaknya hukum Islam diproduksi pasca kenabian,selain

persoalan dualisme aliran dalam Islam, dua aliran besar dalam tradisi tafsir hukum Islam.

23

Sejarah Awal Masuknya Islam di

Indonesia

Masih terjadi silang pendapat terkait persoalan dari sejak kapan Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan sudah dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan

sebagai khalifah setelah kerasulan Muhammad SAW. Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan Teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad,

tetapi Islam yang sudah berkembang

matang. Bukan Islam dari al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian. Sebagian lagi, ada yang berpandangan

bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama

Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya adalah pada

masa tersebut; ada kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5

tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan

24

demikian baru pada tahun ke-7 masa

kenabiannya baru dimulai dakwah secara terang-terangan. Tetapi sedikitnya persoalan demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Perlak yang didirikan pada 1 Muharram

225 Hijriyyah. PENDIDIKAN

Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun

perkembangan yang ada tidak

menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang

berkepanjangan dan penganaktirian dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan

institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.

Aceh juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti:

1. Universitas Syiah Kuala

2. IAIN Ar-Raniry 3. Universitas Malikussaleh 4. Politeknik Negeri Lhokseumawe

25

5. Politeknik Aceh

6. STAIN Malikussaleh Lhokseumawe 7. STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa

Aceh juga memiliki beberapa Universitas/Akademi Swasta seperti;

1. Universitas Abulyatama Aceh 2. Universitas Muhammadiyah Aceh

3. Universitas Iskandar Muda 4. Universitas Serambi Mekkah 5. Universitas Jabal Ghafur Sigli 6. Akademi Analis Farmasi dan

Makanan Banda Aceh 7. Akademi Keperawatan

PEMERINTAHAN

Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan,

perbedaan yang tampak adalah adanya Pemerintahan Mukim di antara kecamatan

dan gampong.

No. Kabupaten /

Kota Pusat

pemerintahan Kecamatan

Desa (atau

sederajat)

1 Aceh Barat Meulaboh 12 321

2 Aceh Barat Daya

Blangpidie 9 132

3 Aceh Besar Kota Jantho 23 592

4 Aceh Jaya Calang 6 172

5 Aceh Selatan Tapak Tuan 16 369

6 Aceh Singkil Singkil 10 127

26

7 Aceh Tamiang Karang Baru 12 128

8 Aceh Tengah Takengon 14 268

9 Aceh Tenggara

Kutacane 11 164

10 Aceh Timur Idi Rayeuk 21 580

11 Aceh Utara Lhoksukon 27 1.160

12 Bener Meriah Simpang Tiga Redelong

7 232

13 Bireuen Bireuen 17 514

14 Gayo Lues Blang Kejeren 11 97

15 Nagan Raya Suka Makmue

5 213

16 Pidie Sigli 22 946

17 Pidie Jaya Meureudu 8 215

18 Simeulue Sinabang 8 135

19 Kota Banda Aceh

9 80

20 Kota Langsa 5 52

21 Kota Lhokseumawe

4 67

22 Kota Sabang 2 18

23 Kota Subulussalam

5 74

Jumlah 264 6.656

PERWAKILAN

Berdasarkan Pemilihan Umum Legislatif 2009, Provinsi Aceh mengirimkan 13 anggota DPR, dengan perincian: Partai Demokrat tujuh orang, PKS dan Partai Golkar masing-masing dua orang, dan PAN

serta PPP masing-masing satu orang. Selain itu, empat anggota DPD yang berasal dari Aceh adalah Tgk. Abdurrahman BTM., H.T. Bachrum

27

Manyak, Dr. Ahmad F. Hamid, M.S., dan

Ir. H.T. A. Khalid, M.M. Pada tingkat provinsi, DPRA dengan 69 kursi tersedia dikuasai oleh Partai Aceh (33 kursi).

Partai Kursi %

Partai Aceh 33 47,8

Partai Demokrat 10 14,5

Partai Golkar 8 11,6

PAN 5 7,3

PKS 4 5,8

PPP 3 4,4

Partai Daulat Aceh 1 1,5

PDI-P 1 1,5

PKPI 1 1,5

PBB 1 1,5

PKB 1 1,5

Partai Patriot 1 1,5

Total 69 100,0

SISTEM PEMERINTAHAN LOKAL ACEH

Sistem pemerintahan lokal Aceh terdiri dari gampông, mukim, nanggroë, sagoë dan keurajeun. SUMBER DAYA ALAM

1. Minyak bumi

2. Gas alam 3. Emas 4. Hutan

28

5. Kayu

6. Kopi 7. Ikan 8. Rempah-rempah 9. Kakao 10. Pinang

PEREKONOMIAN

Pra-tsunami 2004

Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari

Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai

1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budidaya mencapai 15.454

ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004).

Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudera Hindia maupun Selat Malaka. Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen

(87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budidaya. Sekitar 53.100 orang

menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun demikian, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan

29

perahu berukuran kecil. Dari sekitar

18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.

Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-

lain.

Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI)

kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektar tambak, sebagian

besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat)

budidaya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budidaya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan

30

dan sebuah kapal latih. Di tiap

kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun. Pasca-tsunami 2004

Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan

14.523 hektar tambak di 11

kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8

milyar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.

Kerusakan tambak budidaya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Aceh Selatan), tambak-

tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 milyar, sekitar

50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari

31

sektor perikanan (tangkap dan budidaya).

Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.

Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun),

karena banyaknya nelayan yang hilang

atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke

kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.

Perbankan

Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik Indonesia, yang dibuka di Banda Aceh (kelas III) dan

Lhokseumawe (kelas IV). Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Di

daerah-daerah tugas Bank Indonesia lebih dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan.

32

Di bidang sistem pembayaran

menyelenggarakan sistem kliring dan BI-RTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar beroperasi dengan sehat dan menguntungkan. Industri

Aceh memiliki sejumlah industri besar di

antaranya 1. PT Arun: Kilang Pencairan Gas Alam

di Lhokseumawe 2. PT PIM: Pabrik Pupuk Iskandar Muda

di Lhokseumawe 3. PT AAF: Pabrik Pupuk Asean di

Lhokseumawe

4. PT KKA: Pabrik Kertas di Lhokseumawe

5. PT SAI-Lafarge: Semen Andalas di Aceh Besar

6. ExxonMobil: Kilang Gas Alam di

Lhokseumawe Pertambangan

Emas di Woyla, Seunagan, Aceh Barat; Pisang Mas di Beutong, Payakolak, Takengon Aceh Tengah Batubara di Kaway XI, di Semayan di Aceh Barat,

Batugamping di Tanah Greuteu, Aceh Besar; di Tapaktuan Pariwisata

1. Masjid Raya Baiturrahman 2. Graveyard in Bitay Village 3. Cut Nya Dien House

33

4. Indonesian Airline Monument.

Seulawah-Indonesian First Airplane 5. Tsunami Monument & Garden 6. Museum Aceh 7. Taman Putroe Phang 8. Kuburan Kerkhoff 9. Danau Laut Tawar

10. Danau Aneuk Laot 11. Iboih 12. pantai lhoknga 13. museum tsunami 14. makam teuku umar 15. makam sultan iskandar muda

16. pantai sabang

17. wisata bahari pulau rubia 18. tugu nol kilo meter sabang 19. guha tujoh laweung

SENI DAN BUDAYA

Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya wilayah

Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:

1. Didong (seni pertunjukan dari

masyarakat Gayo) 2. Meuseukee Eungkot (sebuah tradisi

di wilayah Aceh Barat)

3. Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)

34

Sastra

1. Bustanussalatin 2. Hikayat Prang Sabi 3. Hikayat Malem Diwa 4. Legenda Amat Rhah manyang 5. Legenda Putroe Neng 6. Legenda Magasang dan Magaseueng

Senjata Dan Tradisional

Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau

belati (bukan pisau ataupun pedang).

Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti Sikin Panjang, Perisai Awe, Perisai Teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.

Rumah Tradisional

Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan

Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë

keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian

tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).

35

Tarian

Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari

Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman. Tarian Suku Aceh

1. Tari jeumpa 2. Tari rapai 3. Tari Laweut

4. Tari Likok Pulo

5. Tari Pho 6. Tari Ranup Lampuan 7. Tari Rapai Geleng 8. Tari Rateb Meuseukat 9. Tari Ratoh Duek

10. Tari Seudati 11. Tari Tarek Pukat

Tarian Suku Gayo

1. Tari Saman 2. Tari Bines 3. Tari Didong

4. Tari Guel 5. Tari Munalu 6. Tari Turun Ku Aih Au

Tarian Suku Lainnya

1. Tari Ula-ula Lembing 2. Tari Mesekat

36

BAB V

PENUTUP

Demikianlah Buku Panduan ini disusun untuk membantu Anggota Delegasi memahami daerah tujuan kunjungan kerja sehingga

diharapkan dapat menjadi informasi awal yang bermanfaat bagi delegasi.

Jakarta, Oktober 2012 Badan Legislasi DPR RI

37

Lampiran I:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR…TAHUN…. TENTANG

PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. bahwa masyarakat hukum adat selama ini belum diakui dan dilindungi secara optimal dalam

melaksanakan hak pengelolaan yang bersifat komunal, baik hak atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yang diperoleh secara turun-temurun, maupun yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat;

c. bahwa belum optimalnya pengakuan dan pelindungan

38

hak masyarakat hukum adat yang bersifat komunal mengakibatkan munculnya konflik di masyarakat hukum adat sehingga menimbulkan ancaman stabilitas keamanan nasional;

d. bahwa pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dalam peraturan perundang-undangan saat ini belum diatur secara komprehensif sehingga perlu diatur secara khusus dalam satu Undang-Undang;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak

Masyarakat Hukum Adat;

Mengingat : Pasal 18B ayat (2), Pasal 20,

Pasal 21, Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

39

Dengan persetujuan bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok

orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

2. Pengakuan hak masyarakat hukum adat

adalah pernyataan tertulis maupun tidak tertulis atas keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya yang diberikan oleh negara dan/atau pihak-pihak lain diluar negara.

3. Perlindungan hak masyarakat hukum adat adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh negara kepada masyarakat hukum adat dalam rangka menjamin terpenuhi hak-haknya, agar dapat hidup tumbuh dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat, berpartisipasi sesuai dengan

40

harkat dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi.

4. Pemberdayaan masyarakat hukum adat adalah proses pembangunan dimana masyarakat hukum adat berinisiatif memulai proses kegiatan social untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri.

5. Wilayah adat adalah satu kesatuan geografis dan sosial yang secara turun temurun dihuni dan dikelola oleh masyarakat hukum adat sebagai penyangga sumber-sumber penghidupan yang diwarisi dari leluhurnya atau melalui kesepakatan dengan masyarakat hukum adat lainnya.

6. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

7. Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat hukum adat.

8. Lembaga adat adalah perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah suatu masyarakat hukum adat untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan

berbagai permasalahan-permasalahan kehidupan sesuai dengan hukum adat yang berlaku.

9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

41

Pasal 2

Pengakuan dan pelindngan hak masyarakat hukum adat berasaskan: a. partisipasi; b. keadilan; c. transparansi; d. kesetaraan; dan e. keberlanjutan lingkungan.

Pasal 3

Pengaturan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat bertujuan untuk: a. melindungi hak masyarakat hukum adat agar

dapat hidup aman, tumbuh, dan berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi;

b. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dalam melaksanakan haknya;

c. menjadikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengembangan program pembangunan; dan

d. melaksanakan pemberdayaan bagi masyarakat hukum adat.

BAB II

PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pasal 4

Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan cara: a. identifikasi masyarakat hukum adat;

42

b. verifikasi masyarakat hukum adat; dan c. pengesahan masyarakat hukum adat.

Pasal 5

(1) Proses identifikasi masyarakat hukum adat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan melakukan pendataan keberadaan masyarakat hukum adat.

(2) Pendataan keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data dan informasi tentang sejarah masyarakat hukum adat, wilayah hukum adat, hukum adat, dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat.

Pasal 6 Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terhadap hasil identifikasi keberadaan masyarakat hukum adat.

Pasal 7

Hasil verifikasi masyarakat hukum adat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disahkan oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden.

Pasal 8

(1) Masyarakat hukum adat dapat mengajukan keberatan terhadap hasil pengesahan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam kurun waktu 90 hari setelah hasil identifikasi diberitahukan dan/atau diumumkan.

(2) Pengajuan keberatan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

43

Pasal 9 Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi, verifikasi dan pengesahan masyarakat hukum adat dilakukan dalam Peraturan Pemerintah.

BAB III HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM

ADAT

Bagian Kesatu Hak Masyarakat Hukum Adat

Paragraf 1

Hak atas Tanah, Wilayah, dan Sumber Daya Alam Pasal 10

(1) Masyarakat hukum adat memiliki hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang mereka miliki atau duduki secara turun temurun dan yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat.

(2) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala sesuatu yang berada di permukaan tanah maupun di dalam tanah.

(3) Hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan, dan mengendalikan.

(4) Masyarakat hukum adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas dan strategi untuk pengembangan atau penggunaan tanah, wilayah, dan sumber daya alam dengan menggunakan cara-cara yang sesuai dengan kearifan lokal dan inovasi-inovasi yang berkembang dalam masyarakat adat yang bersangkutan.

44

Pasal 11

(1) Hak atas tanah dapat bersifat komunal dan bersifat perseorangan sesuai dengan hukum adat yang berlaku.

(2) Hak atas tanah yang bersifat komunal tidak dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.

(3) Pemanfaatan tanah yang bersifat komunal dan perseorangan didalam wilayah adat oleh pihak lain hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pengambilan keputusan bersama masyarakat adat yang bersangkutan berdasarkan hukum adat.

Pasal 12

(1) Masyarakat hukum adat berhak untuk mendapatkan restitusi dan kompensasi yang layak dan adil atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang dimiliki secara turun temurun yang diambil alih, dikuasai, digunakan atau dirusak tanpa persetujuan bebas tanpa paksaan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(2) Mekanisme pelaksanaan restitusi dan kompensasi sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (1) diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2

Hak Atas Pembangunan

Pasal 13 (1) Masyarakat hukum adat memiliki hak

untuk mengakses semua layanan pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan layanan publik lainnya.

45

(2) Selain hak untuk mengakses semua layanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat hukum adat berhak menentukan dan mengembangkan sendiri bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan mereka.

Pasal 14

(1) Masyarakat hukum adat memiliki hak untuk terlibat secara penuh dalam program-prgram pembangunan negara mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

(2) Masyarakat hukum adat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat mengenai program pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah dan pihak-pihak lain di luar pemerintah yang akan berdampak pada tanah, wilayah, sumber daya alam, budaya, dan sistem pemerintahan adat.

(3) Masyarakat hukum adat berhak untuk menolak bentuk-bentuk pembangunan yang dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan dan

kebudayaannya. (4) Masyarakat hukum adat berhak untuk

mengusulkan bentuk-bentuk pembangunan yang lain yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan mereka.

Paragraf 3

Hak atas Spiritualitas dan Kebudayaan

46

Pasal 15 (1) Masyarakat hukum adat berhak menganut

dan melaksanakan sistem kepercayaan dan ritual yang diwarisi dari leluhurnya.

(2) Masyarakat hukum adat berhak untuk mengembangkan tradisi, adat istiadat yang meliputi hak untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan wujud kebudayaannya di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, seperti situs-situs arkeologi, sejarah, artefak, dan upacara-upacara adat.

(3) Masyarakat hukum adat memiliki hak untuk menjaga, mengendalikan, melindungi dan mengembangkan pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual serta praktik-praktiknya seperti teknologi, budidaya, benih, obat-obatan, desain, permainan tradisional, seni pertunjukan, seni visual, dan kesusasteraan.

Pasal 16

(1) Masyarakat hukum adat memiliki hak untuk membentuk media sendiri dalam bahasa-bahasa mereka sendiri, dan

memiliki akses terhadap semua bentuk media umum tanpa diskriminasi.

(2) Masyarakat hukum adat berhak atas program siaran, penerbitan, penelitian, dan pemberitaan yang menghormati sistem nilai serta cara hidup mereka.

Paragraf 4

Hak atas Lingkungan Hidup

47

Pasal 17 (1) Masyarakat hukum adat mempunyai hak

atas perlindungan lingkungan hidup. (2) Dalam rangka pemenuhan hak atas

lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses atas informasi, dan partisipasi yang luas terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup sesuai dengan kearifan lokal.

(3) Masyarakat hukum adat berhak untuk memastikan bahwa tidak ada penyimpanan atau pembuangan bahan-bahan berbahaya di atas tanah dan wilayah masyarakat hukum adat.

(4) Masyarakat hukum adat mempunyai hak atas pemulihan lingkungan hidup di wilayah adat yang mengalami kerusakan.

Paragraf 5

Hak untuk Menjalankan Hukum dan Peradilan Adat

Pasal 18 (1) Masyarakat hukum adat berhak untuk

menyelenggarkan sistem peradilan adat dalam penyelesaian sengketa terkait dengan hak-hak adat dan pelanggaran atas hukum adat.

(2) Pengaturan lebih lanjut mengenai hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

48

Bagian Kedua Kewajiban Masyarakat Hukum Adat

Pasal 19

Masyarakat hukum adat berkewajiban: a. berpartisipasi dalam setiap proses

pembangunan; b. melestaikan nilai-nilai budaya Indonesia; c. melaksanakan toleransi antar masyarakat

hukum adat; dan d. bekerjasama dalam proses identifikasi dan

verifikasi masyarakat hukum adat.

BAB IV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Pasal 20

(1) Pemberdayaan masyarakat hukum adat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(2) Pemberdayaan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terencana, terkoordinasi dan terpadu dengan melibatkan masyarakat hukum adat .

Pasal 21 (1) Pemberdayaan masyarakat hukum adat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mencakup aspek kelembagaan, pendampingan, dan penyediaan fasilitas.

(2) Pemberdayaan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V

TUGAS DAN WEWENANG

49

Bagian Kesatu Tugas

Pasal 22

Pemerintah bertugas: a. mengembangkan dan melaksanakan program

pemberdayaan masyarakat hukum adat dengan mempertimbangkan kearifan lokal;

b. menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan masyarakat hukum adat;

c. melakukan pendataan, identifikasi, verifikasi, dan pengesahan masyarakat hukum adat;

d. menginventarisir karya seni, budaya, dan bahasa masyarakat hukum adat;

e. melakukan sosialisasi dan informasi program pembangunan kepada masyarakat hukum adat; dan

f. melakukan pembinaan kepada masyarakat hukum adat.

Bagian Kedua

Wewenang

Pasal 23 Pemerintah berwenang untuk:

a. mengesahkan masyarakat hukum adat; b. menetapkan kebijakan mengenai program

pemberdayaan masyarakat hukum adat dengan mempertimbangkan kearifan lokal;

c. menetapkan kebijakan sarana dan prasarana yang diperlukan masyarakat hukum adat;

d. menetapkan kebijakan sosialisasi dan informasi program pembangunan kepada masyarakat hukum adat;

e. menetapkan kebijakan perlindungan terhadap karya seni, budaya, dan bahasa masyarakat hukum adat dan

50

f. menetapkan kebijakan mengenai pembinaan kepada masyarakat hukum adat.

BAB VI

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Kesatu

Sengketa Internal

Pasal 24 (1) Sengketa antar perseorangan dalam

Masyarakat Hukum Adat dalam wilayah hukum privat diselesaikan melalui Lembaga Adat.

(2) Lembaga Adat mengeluarkan putusan Lembaga Adat sebagai hasil penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Apabila masih terdapat sengketa terhadap putusan Lembaga Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sengketa diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pihak yang bersengketa.

Pasal 25

(1) Sengketa dalam Masyarakat Hukum Adat dalam wilayah hukum publik dapat diselesaikan melalui Lembaga Adat.

(2) Penyelesaian melalui Lembaga Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa masyarakat hukum adat dalam wilayah hukum publik.

(3) Sanksi Lembaga Adat menjadi pertimbangan hakim dalam memutus sengketa masyarakat hukum adat.

51

Bagian Kedua Sengketa antara Masyarakat hukum Adat

Pasal 26

(1) Sengketa antara Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Adat Hukum lain diselesaikan melalui musyawarah antar Lembaga Adat.

(2) Apabila musyawarah antar Lembaga Adat tidak dapat menyelesaikan sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sengketa diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pihak yang bersengketa.

Bagian Ketiga Sengketa antara Masyarakat Hukum Adat dengan

pihak lain

Pasal 27 Sengketa antara MHA dengan pihak lain diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat

Perwakilan dalam penyelesaian sengketa

Pasal 28 Perwakilan masyarakat hukum adat yang menjadi pihak dalam penyelesaian sengketa atau menjadi saksi di pengadilan harus merupakan orang yang merepresentasikan seluruh kepentingan Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 29 Hakim dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan Masyarakat Hukum Adat wajib

52

memperhatikan hukum adat dan kebiasaan yang berlaku dalam Masyarakat Hukum Adat.

Pasal 30 Pemerintah atau masyarakat dapat menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa Masyarakat Hukum Adat dengan memperhatikan hukum adat dan kebiasaan yang berlaku dalam Masyarakat Hukum Adat.

BAB VII PENDANAAN

Pasal 31

Pendanaan bagi masyarakat hukum adat bertujuan untuk menjamin pelaksanaan tugas serta wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan identifikasi, verifikasi, dan pengesahan serta melaksanakan program untuk memberikan pelayanan dalam peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat hukum adat.

Pasal 32 (1) Sumber pendanaan dalam melakukan

identifikasi, vefrifikasi, dan pengesahan masyarakat hukum adat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

(2) Selain sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sumber pendanaan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dapat berasal dari sumber lain yang sah.

53

(3) Masyarakat dapat memberikan dukungan dana dalam upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 33 (1) Peran serta masyarakat dapat dilakukan

dengan cara: a. memberikan informasi terkait identifikasi

masyarakat adat; b. memberikan saran, pertimbangan, dan

pendapat kepada Pemerintah; c. menjaga, memelihara, dan meningkatkan

kelestarian lingkungan masyarakat hukum adat;

d. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau perusakan lingkungan di wilayah masyarakat adat;

e. memantau pelaksanaan rencana

pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adat;

f. memberikan bantuan tenaga, dana, fasilitas, serta sarana dan prasarana dalam perlindungan masyarakat hukum adat;

g. melestarikan adat istiadat milik masyarakat hukum adat;

h. menciptakan lingkungan tempat tinggal yang kondusif bagi masyarakat hukum adat;

i. melaporkan tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat hukum adat; dan

54

j. membantu pemerintah dalam memberikan sosialisasi mengenai pentingnya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat kepada masyarakat.

(2) Dalam melaksanakan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperhatikan kearifan lokal.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Pasal 35 Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan dalam waktu 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 36

Undang-undang ini berlaku pada tanggal diundangkan,

55

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal ...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal … MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd AMIR SYAMSUDDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN …NOMOR….

56

PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

INDONESIA NOMOR. . . TAHUN. . .

TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN HAK

MASYARAKAT HUKUM ADAT

I. Penjelasan Umum Pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari bersatunya komunitas-komunitas adat yang ada di seantero wilayah Nusantara. Komunitas-komunitas tersebut telah melahirkan masyarakat hukum adat dengan hak-hak yang dimilikinya. Keberadaan masyarakat hukum adat telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dan secara faktual telah mendapat pengakuan pada era Pemerintah Kolonial Belanda. Dalam perkembangannya, pasca terbentuknya NKRI, pengakuan dan perlindungan yang diberikan oleh negara

terhadap hak-hak masyarakat hukum adat mengalami degradasi. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan orientasi pertumbuhan ekonomi dan modernisasi menjadi salah satu faktor, terpinggirkannya hak-hak masyarakat hukum adat. Kebijakan Pemerintah yang mengeluarkan izin-izin hak pengelolaan hutan kepada swasta telah mengakibatkan penebangan hutan tanpa perencanaan matang dan tanpa memikirkan dampaknya untuk generasi berikutnya. Masyarakat hukum adat dengan berbagai

57

keterbatasannya tersingkir dari hutan dan hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan mereka. Secara normatif, beberapa peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan adanya pengakuan dan perlindungan untuk masyarakat hukum adat, meskipun implementasinya belum seperti yang diharapkan. Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), sebagai hasil amandemen pertama UUD 1945, menyatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 bahwa “Identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Huruf a

Yang dimaksud dengan “Asas Partisipasi” adalah bahwa menempatkan masyarakat adat di Indonesia sebagai warga Negara Indonesia, yang menjadi subjek utama dalam politik

58

pembangunan di Indonesia, berhak penuh untuk diperlakukan setara, berhak penuh untuk mendapatkan semua informasi public, berhak penuh untuk menentukan pilihannya secara bebas, dan menyelenggarakan urusannya ke dalam komunitas masyarakatnya dengan perangkat sosial politik budaya yang dilindungi Negara, yang dengan sadar pula memenuhi seluruh tanggung jawab mereka kepada Negara”.

Huruf b Yang dimaksud dengan “Asas Keadilan” adalah bahwa pengakuan dan pelindungan hak masyarakat hukum adat tidak boleh direduksi menjadi benefit sharing, karena makna keadilan itu sendiri sangatlah luas dan menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia karena bisa menjadi bias manfaat material

atau ekonomi semata, namun mencakup pula kesetaraan dalam posisi sosial politik dan dihadapan hukum.

huruf c Yang dimaksud dengan “Asas Transparansi” adalah bahwa keterbukaan informasi kepada masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan, yang memiliki hak dan kewajiban tertentuterhadap Negara dalam kedudukan mereka

59

sebagai warga Negara Indonesia; transparansi yang menunjang pencerdasan masyarakat adat agar kemakmuran mereka sebagai bagian dari „bangsa dan tumpah darah Indonesia‟ terus meningkat; yang menghormati budaya-budaya masyarakat adat sebagai unsur pembentuk budaya nasional Indonesia; yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk secara bebas dan otonom membuat keputusan tentang masa depan mereka.

Huruf d Yang dimaksud dengan “Asas Kesetaraan” adalah bahwa tiadanya pembedaan berdasarkan warna kulit, tingkat pendidikan, perbedaaan/ragam kebudayaan, sistem kepercayaan, sehingga penyelenggaraan pembangunan bangsa dan Negara menempatkan masyarakat adat sebagai salah satu komponen penting dari

bangsa Indonesia untuk menjadi lebih cerdas, lebih sejahtera, dan lebih berkemampuan untuk mengembangkan kehidupan kelompok maupun pribadi dalam lingkup komunitas maupun dalam lingkup bangsa dan sebagai warga dunia.

Huruf e Yang dimaksud dengan “Asas keberlanjutan lingkungan” adalah bahwa penegasan atas kesadaran

60

global bahwa nasib manusia sesungguhnya tergantung pada kemampuannya mengelola lingkungan hidup, tempat dia berdiam dan hidup di dalamnya. Lingkungan yang tidak memenuhi syarat-syarat minimal untuk mendukung kehidupan akan mengakibatkan bencana bagi manusia. Prinsip ini mesti dilakukan secara integratif oleh semua pihak dalam pembangunan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa prinsip ini menghimbau manusia untuk bijaksana dalam melihat eksistensi lingkungan sekaligus supaya mengelolanya dengan cara yang cerdas.

Pasal 3 Cukup Jelas. Pasal 4 Cukup Jelas.

Pasal 5 Cukup Jelas. Pasal 6 Cukup Jelas. Pasal 7 Cukup Jelas. Pasal 8 Cukup Jelas.

61

Pasal 9 Cukup Jelas. Pasal 10 Cukup Jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pihak lain

adalah pihak diluar lingkungan masyarakat hukum adat terkait.

Ayat (3) Cukup Jelas. Pasal 12 Cukup Jelas. Pasal 13 Cukup Jelas. Pasal 14

Cukup Jelas.

Pasal 15 Cukup Jelas. Pasal 16 Cukup Jelas. Pasal 17 Cukup Jelas. Pasal 18 Cukup Jelas.

62

Pasal 19 Cukup Jelas. Pasal 20 Cukup Jelas. Pasal 21 Cukup Jelas. Pasal 22 Cukup Jelas. Pasal 23 Cukup Jelas. Pasal 24 Cukup Jelas. Pasal 25 Cukup Jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup Jelas.

Ayat (2) bahwa penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat menekankan Putusan Lembaga Adat sebagai hasil penyelesaian sengketa (dalam wilayah hukum publik, misalnya pidana) tidak menghapuskan penyelesaian melalui pengadilan.

Ayat (3) Cukup Jelas.

63

Pasal 27 Cukup Jelas.

Pasal 28

Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain pemerintah, pemerintah daerah, pejabat Tata Usaha Negara, atau anggota masyarakat lain.

Pasal 29 Cukup Jelas. Pasal 30 Cukup Jelas. Pasal 31 Cukup Jelas. Pasal 32 Cukup Jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “Sumber lain yang sah” antara lain hibah, sumbangan organisasi masyarakat.

Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas.

Pasal 34 Cukup Jelas.

64

Pasal 35 Cukup Jelas. Pasal 36 Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...