BRUCELLOSIS DI INDONESIA -...

15
Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor 2011 BRUCELLOSIS DI INDONESIA Setiawan Putra Syah, Enny Saswiyanti, Imas Sri Nurhayati PS Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor I. Latar Belakang Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan salah satu penyakit hewan menular strategis karena penularannya yang relatif cepat antar daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalu lintas ternak yang ketat (Ditjennak 1998). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri genus Brucella dan dikategorikan sebagai zoonosis serta diklasifikasikan sebagai mikroorganisme kelompok BSL III (Biosafety level 3) (OIE 2004). Di beberapa daerah di Indonesia kejadian brucellosis masih tinggi dengan kerugian ekonomi yang cukup besar. Berbagai upaya dan program telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Namun upaya tersebut belum menunjukan hasil yang optimal. Oleh karena itu brucellosis merupakan salah satu prioritas nasional untuk dilakukan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang brucellosis terutama tentang agen penyebab, cara transmisi, data epidemiologik, gejala klinis dan patogenesa serta cara pencegahan dan pengendalian penyakit tersebut. II. Etiologi Brucellosis atau dalam bahasa Jawa disebut dengan keluron merupakan penyakit pada hewan yang disebabkan oleh bakteri Brucella sp. yang hidup dalam sel dan menimbulkan demam. Penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis) tetapi tidak menular dari manusia ke manusia. Brucellosis merupakan salah satu penyakit zoonosa yang tersebar di seluruh bagian dunia dan masih bersifat endemik bagi sebagian besar negara berkembang, termasuk di Indonesia (Doganay & Aygen 2003). Brucellosis terutama terdapat di negara-negara Mediterania di Eropa, utara dan timur Afrika, Timur Tengah, Asia

Transcript of BRUCELLOSIS DI INDONESIA -...

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

BRUCELLOSIS DI INDONESIA

Setiawan Putra Syah, Enny Saswiyanti, Imas Sri Nurhayati

PS Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

I. Latar Belakang

Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan salah satu

penyakit hewan menular strategis karena penularannya yang relatif cepat antar

daerah dan lintas batas serta memerlukan pengaturan lalu lintas ternak yang

ketat (Ditjennak 1998). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri genus Brucella dan

dikategorikan sebagai zoonosis serta diklasifikasikan sebagai mikroorganisme

kelompok BSL III (Biosafety level 3) (OIE 2004).

Di beberapa daerah di Indonesia kejadian brucellosis masih tinggi dengan

kerugian ekonomi yang cukup besar. Berbagai upaya dan program telah

dilakukan pemerintah Indonesia untuk pencegahan dan pengendalian penyakit

ini. Namun upaya tersebut belum menunjukan hasil yang optimal. Oleh karena

itu brucellosis merupakan salah satu prioritas nasional untuk dilakukan

pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang brucellosis

terutama tentang agen penyebab, cara transmisi, data epidemiologik, gejala

klinis dan patogenesa serta cara pencegahan dan pengendalian penyakit

tersebut.

II. Etiologi

Brucellosis atau dalam bahasa Jawa disebut dengan keluron merupakan

penyakit pada hewan yang disebabkan oleh bakteri Brucella sp. yang hidup

dalam sel dan menimbulkan demam. Penyakit ini dapat menular dari hewan ke

manusia (zoonosis) tetapi tidak menular dari manusia ke manusia. Brucellosis

merupakan salah satu penyakit zoonosa yang tersebar di seluruh bagian dunia

dan masih bersifat endemik bagi sebagian besar negara berkembang, termasuk

di Indonesia (Doganay & Aygen 2003). Brucellosis terutama terdapat di

negara-negara Mediterania di Eropa, utara dan timur Afrika, Timur Tengah, Asia

2

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

Selatan dan Asia Tengah serta Amerika Tengah dan Selatan, namun sering tidak

diketahui dan sering terjadi tanpa adanya laporan. Hanya terdapat beberapa

negara di dunia yang secara resmi bebas dari penyakit, meskipun kasus masih

terjadi pada orang-orang yang kembali dari negara endemik (WHO 2006).

Brucellosis mempunyai banyak istilah diantaranya keluron, Mediteranean

fever (karena banyak ditemukan di daerah Mediteranian), undulant fever (karena

suhu tubuh yang naik-turun selama berminggu-minggu pada pasien yang tidak

mendapat penanganan), Crimean fever (muncul pertama kali saat perang Crimea

tahun 1805-an di Malta), Maltese fever (ditemukan sumber infeksinya oleh dokter

berkebangsaan Malta, Temi Zammit), Bang's Disease (diisolasi pertama kali oleh

drh. Benhard Bang), Brucellosis (diketahui pertama kali sebagai agen penyakit

oleh Dr. David Bruce) (Adman 2008).

Brucellosis merupakan penyakit yang penting pada manusia yang

terutama muncul sebagai penyakit akibat kerja, yaitu menimpa mereka yang

bekerja menangani ternak yang terinfeksi dan jaringan ternak terinfeksi, seperti

petani, dokter hewan dan pekerja di tempat pemotongan hewan, serta dapat

diakibatkan karena mengonsumsi susu dan produk olahan susu sapi, kambing

atau domba yang tidak dipasteurisasi. Penyakit ini banyak menyerang kaum pria

(Chin 2007).

Jumlah kejadian brucellosis pada manusia sebenarnya belum diketahui

secara pasti, tetapi berdasarkan laporan kejadian penyakit didaerah endemis

bervariasi yaitu kurang dari 0,01 sampai lebih dari 200 kasus per 100.000 orang

(Merino 1989 dalam Noor 2006). Di Indonesia kasus brucellosis pada manusia

belum pernah dilaporkan serta kurangnya dilakukan publikasi brucellosis sebagai

zoonosis mengakibatkan sebagian besar mayarakat tidak mengetahui jika

brucellosis dapat menular ke manusia. Hal tersebut perlu diantisipasi karena dari

hasil uji serologiis yang dilakukan Balitvet pada pekerja kandang sapi perah,

kandang babi dan RPH babi di DKI Jakarta menunjukan titer antibodi terhadap

keberadaan Brucella sp. Tingginya angka prevalensi brucellosis pada ternak di

Indonesia yang mencapai 40% dan menyebar hampir di seluruh provinsi di

Indonesia memungkinkan untuk terjadinya penularan brucellosis ke manusia.

3

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

III. Karakteristik Brucella sp

Bakteri dari genus Brucella, berbentuk kokobasili dengan panjang 0,6-1,5

µm dan lebar 0,5-0,7 µm, ditemukan secara tunggal dan terkadang berpasangan

dengan morfologi yang konstan, bersifat Gram negatif, non-motil, tidak berkapsul,

tidak membentuk spora dan anaerobik fakultatif. Dalam media biakan, koloni

berbentuk seperti setetes madu bulat, halus, permukaan cembung dan licin,

mengkilap serta tembus cahaya dengan diameter 1 – 2 mm. Secara biokimia

dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan tidak membentuk sitrat tetapi

membentuk H2S. Pertumbuhan kuman memerlukan temperatur 20 – 400C

dengan penambahan karbondioksida (CO2) 5 - 10 % (Sulaiman dan Pormadjaya

2004).

Klasifikasi Brucella sp menurut Todar (2008) adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Bakteri Brucella sp.

Brucella sp terdiri atas 6 genus yaitu B.abortus, B.suis, B.canis, B.ovis,

B.melitensis dan B. neotomae. Tidak semua genus menimbulkan penyakit, hanya

5 jenis dari genus ini yang potensial menimbulkan penyakit pada hewan dan

manusia yaitu B.abortus pada sapi, B.suis pada babi, B.canis pada anjing, B.ovis

pada domba jantan dan B melitensis pada kambing dan domba (Acha dan Boris

2003).

Bakteri ini adalah parasit intraseluler atau parasit obligat karena

berduplikasi di dalam sel dan berkemampuan untuk menginvasi semua jaringan

hewan sehingga dapat menyebabkan bermacam-macam infeksi (Todar 2008).

Brucella apabila masuk kedalam sel epitel akan dimakan oleh neutrofil dan sel

makrofag masuk ke limfoglandula. Bakteriemia muncul 1 – 3 minggu setelah

infeksi apabila sistem tubuh tidak mampu mengatasi. Biasanya Brucella

terlokalisir pada sistem reticuloendothelial seperti hati, limpa dan sumsum tulang

belakang dan membentuk granuloma (Noor 2006). Bakteri ini memiliki

5-guanosin monofosfat yang berfungsi menghambat efek bakterisidal dalam

Kelas : Alpha Proteobacteria

Ordo : Rhizobiales

Famili : Brucellaceae

Genus : Brucella

4

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

neutrofil, sehingga Brucella ini mampu hidup dan berkembang biak di neutrofil

(Canning et al. 1986).

Komponen dinding sel Brucella baik pada strain halus (smooth)

seperti B. melitensis, B. abortus dan B. suis maupun strain kasar (rough)

seperti B. canis terdiri dari peptidoglikan, protein dan membran luar yang

terdiri dari lipoprotein dan lipopolisakarida (LPS). LPS inilah yang

bertanggung jawab terhadap efek bakterisidal dalam sel makrofag dan

menjadi penentu virulensi bakteri. Brucella strain kasar mempunyai

virulensi yang lebih rendah pada manusia (Noor 2006).

Bakteri ini dapat bertahan hidup diluar tubuh induk semang pada

berbagai kondisi lingkungan dalam jangka waktu tertentu. Kemampuan

daya tahan hidup kuman Brucella pada tanah kering adalah 4 hari, tanah

lembab 66 hari dan tanah becek 151-185 hari (Crawford et al. 1990).

Pada kotoran atau limbah kandang bagian bawah dengan suhu yang

relatif tinggi bertahan selama 2 hari, pada air minum ternak bertahan

selama 5 – 114 hari dan pada air limbah selama 30 – 150 hari

(Noor 2006). Dalam bahan organik (kotoran, tanah) Brucella sp juga tahan

terhadap pengeringan (Madiha 2011). Pada susu bakteri Brucella sp

dapat bertahan selama beberapa hari di dalam susu dan beberapa

minggu atau bulan dalam produk susu (Acha dan Boris 2003).

IV. Sumber Penularan dan Cara Transmisi Penyakit

Reservoar atau sumber penularan penyakit ini antara lain sapi, babi,

kambing, domba dan anjing. Sumber penularan yang potensial dari hewan ke

manusia adalah sapi (Adman 2008). Infeksi bisa terjadi pada bison, rusa besar,

karibu dan beberapa spesies dari rusa. B. canis kadang-kadang menjadi

masalah di tempat pemeliharaan anjing, sebagian kecil anjing peliharaan dan

sebagian besar anjing liar terbukti mempunyai titer antibodi terhadap B. canis.

Anjing hutan juga terbukti telah terinfeksi (Acha dan Boris 2003).

Sumber yang paling umum dari penyakit pada manusia adalah kontak

dengan plasenta, fetus, cairan/organ reproduksi hewan, darah dan urin. Orang-

orang yang berprofesi tertentu misalnya dokter hewan, inseminator, mantri

5

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

hewan, petugas rumah pemotongan hewan, tukang perah susu mempunyai

resiko tinggi tertular brucellosis jika mereka bekerja di daerah tertular

(Alsubaie et al. 2005). Brucella sp. dapat menembus kulit, konjungtiva dan

saluran pencernaan. Brucella dapat menyebar pada fomite (benda mati). Dokter

hewan biasanya tertular saat melakukan vaksinasi atau pemeriksaan hewan

tertular, pekerja laboratorium biasanya terekspos secara aerosol saat

memproses spesimen (Noor 2006).

Gambar 2. Penularan brucellosis dari hewan ke manusia.

Penularan brucellosis pada manusia juga dapat terjadi karena

mengonsumsi daging dan susu asal hewan yang terkontaminasi bakteri

Brucella sp. Penularan terbanyak pada manusia terjadi karena mengkonsumsi

susu dan produk olahannya yang tidak dipasteurisasi sempurna. Bakteri dapat

bertahan selama beberapa hari di dalam susu dan beberapa minggu atau bulan

dalam produk susu (Acha dan Boris 2003). Penularan brucellosis langsung dari

manusia ke manusia sangatlah jarang. Ibu yang menyusui dapat menularkan

infeksinya pada bayi mereka, antara lain melalui ASI. Transmisi seksual juga

telah dilaporkan. Meskipun tidak umum, transmisi dapat juga terjadi melalui

transfusi darah atau sumsum tulang dan transplantasi jaringan yang

terkontaminasi (Alsubaie et al. 2005).

Pada hewan, Brucella sp. terdapat pada fetus, plasenta, dan lendir vagina

(dapat ditemukan pada minggu ke-4 sampai minggu ke-6 setelah abortus),

semen, urin, air liur, cairan dari rongga hidung dan mata, susu serta feses. Pada

sapi, kambing, domba dan babi penularannya terjadi per oral dan melalui

perkawinan. Dapat ditularkan melalui fetus, selaput fetal setelah aborsi dan

stillbirth (lahir dalam keadaan mati), serta melalui veneral transmission

(hubungan kelamin). Brucella masuk kedalam tubuh melalui mulut, saluran

6

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

reproduksi, oronasal, mukosa konjunctiva, luka terbuka dan melalui transfuse

darah. Hewan yang mengalami keguguran oleh brucellosis mengeluarkan bakteri

B. abortus dalam jumlah besar melalui membran fetus, cairan reproduksi, urine

dan feses. Bahan-bahan tersebut akan mencemari rumput dan air minum

sehingga memungkinkan penularan antar hewan (Arut dkk. 2010).

Gambar 3. Penularan Brucellosis pada manusia dan hewan

Penularan pada domba jantan terjadi melalui veneral transmission pasif,

yakni melalui domba betina. Ketika domba jantan yang tekena brucellosis

mengawini domba betina, B. ovis akan tertinggal dalam saluran kelamin betina,

dan pada saat domba jantan lain mengawini domba betina ini, maka domba

jantan tersebut akan terpapar B. ovis yang ada di dalam vagina domba betina

(Arut dkk. 2010). Pada anjing jantan penularan terjadi per os sewaktu menjilat,

intra nasal sewaktu mencium bagian genital anjing betina tertular atau secara

kontak dengan urine. Anjing betina dapat tertular lewat perkawinan alami dengan

anjing jantan (Acha dan Boris 2003).

V. Epidemologi Brucellosis di Indonesia

Di Indonesia, secara serologi, brucellosis dikenal pertama kali pada tahun

1935, yang ditemukan pada sapi perah di Grati Kabupaten Pasuruan, Jawa

Timur dan bakteri Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada

tahun 1940 brucellosis dilaporkan muncul di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal

dengan sebutan sakit sane/radang sendi atau sakit burut/radang testis.

7

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

Brucellosis sudah bersifat endemis di Indonesia dan kadang-kadang

muncul sebagai epidemi pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta,

Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Prevalensi antar wilayah di Indonesia

sangat bervariasi tergantung manajemen pemeliharaan. Beberapa wilayah

seperti Bali, Pulau Lombok, Pulau Kalimantan, Sumatera bagian tengah (Riau,

Kepulauan Riau, Jambi dan Sumatera Barat) telah dinyatakan bebas Brucellosis.

Sedangkan bagian Sumatera lainnya sedang dalam persiapan menuju

pembebasan Brucellosis (Dirkeswan 2004).

Gambar 3. Peta Epidemiologi Brucellosis di Indonesia Tahun 2006 (Dirkeswan 2004)

Menurut laporan BBVet Wates (2010) di pulau Jawa kasus Brucellosis

terjadi di kabupaten Boyolali, Klaten, Magelang, Salatiga, Surakarta dan

Semarang. Untuk Indonesia bagian timur kasus Brucellosis terjadi di Maluku dan

Sulawesi Selatan (BBVet Maros 2010). Untuk Sumatera kasus Brucellosis di

temukan di Lampung 1 kasus pada tahun 2009 dan 3 kasus di Bengkulu pada

tahun 2010, prevalensi < 2 % (BPPV Regional 3 2010). Kasus di Sumatera

Utara dan Aceh juga rendah dengan prevalensi < 2 % (BPPV Regional 1 2010)

dengan diterapkannya kebijakan Test and Slaughter kemungkinan pulau

Sumatera bebas Brucellosis dapat segera terwujud.

8

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

Gambar 4. Peta Epidemiologi Brucellosis di Indonesia Tahun 2010

VI. Epidemologi Brucellosis pada manusia

Brucellosis yang disebabkan oleh B. melitensis sampai saat ini masih

menjadi masalah utama pada manusia dibeberapa negara. Penyebaran

penyakit ini pada manusia masih terbatas di daerah Mediteranean, Asia Barat

dan sebagian Afrika dan Amerika Latin (Amato 1995). Daerah penyebaran

brucellosis pada manusia secara geografis didunia tercantum pada tabel 1.

Kejadian brucellosis pada manusia didaerah endemis bervariasi dari

kurang 0,01 sampai lebih dari 200 kasus per 100.000 orang (Lopez-Merino

1989). Tabel 2. Menunjukkan kejadian Brucellosis pada manusia yang telah

dilaporkan di beberapa negara.

Sumber : Lisgaris dan Salata 2005 dalam Noor 2006

Kejadian Brucellosis pada laki – laki lebih sering terjadi dari pada wanita

dengan rasio 5 : 2 sampai 5 : 3 didaerah endemis. Kejadian brucellosis juga

banyak terjadi pada usia 30-50 tahun. Hal ini berkaitan dengan usia produktif

dan yang berkecimpung didunia peternakan kebanyakan adalah laki – laki. Pada

9

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

anak – anak, kejadian brucellosis didunia mencapai 3-10 % didaerah endemis

brucellosis. Pada orang tua biasanya bersifat kronis (Noor 2006).

Sumber : Noor 2006

VII. Gejala Klinis pada Manusia dan Hewan

Masa inkubasi pada manusia yang terinfekai Brucella sp bervariasi dari 5

hari sampai beberapa bulan dengan rata-rata 2 minggu. Gejala yang timbul

mula-mula adalah demam, merasa kedinginan dan berkeringat pada malam hari.

Kelemahan tubuh dan kelelahan merupakan gejala umum. Kesakitan umum,

sakit kepala, nyeri otot leher, anoreksia, konstipasi, gelisah dan depresi mental

sering dimanifestasikan. Terkadang ditemukan pula batuk yang non produktif

dan pneumonitis. Jarang ditemukan orchitis atau osteomyelitis. Kesembuhan

terjadi dalam waktu 3-6 bulan. Pada beberapa kasus kesembuhan baru terjadi

setelah 1 tahun atau lebih (Mantur et al. 2007).

Beberapa sumber membagi gejala yang muncul pada manusia menjadi

empat tipe (Chin 2007) :

1. Akut (<8 minggu dari onset penyakit) : gejala-gejala seperti flu, demam

(hingga ≥104 ºF atau 40 ºC-41 ºC di siang hari), menggigil, pusing kepala,

nyeri punggung bagian bawah, nyeri sendi, malaise, terkadang diare,

gejala neurologis (pada 5% kasus).

2. Subakut / undulan (<1 tahun dari onset penyakit) : demam undulan,

arthritis, dan epididimo-orchitis, malaise, nyeri otot, pusing kepala, nyeri

leher, demam, berkeringat.

3. Kronis (>1 tahun dari onset penyakit) : anoreksia, kehilangan berat

10

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

badan, nyeri perut, nyeri sendi, pusing kepala, nyeri punggung, sindrom

kelemahan kronis, iritabilitas, insomnia, depresi, konstipasi, arthritis.

4. Hipersensitif, sering ditemukan pada orang yg sering terkena antigen

dalam jumlah sedikit. gejalanya seperti kulit kemerahan, malaise (tdk

enak badan), demam, dan gangguan persendian. Gejela akan hilang

apabila tdk terpapar lagi dng antigen (Arut 2010).

Pada sapi gejala klinik yang mencolok adalah terjadi abortus, terutama

pada usia kebuntingan lanjut (7 – 8 bulan). Umumnya sapi hanya mengalami

keguguran sekali saja pada kebuntingan yang berurutan. Meskipun demikian

induk sapi yang mengalami keguguran tersebut masih membawa B. abortus

sampai 2 tahun. Sapi yang terinfeksi secara kronik dapat mengalami higroma

(pembesaran kantong persendian karena berisi cairan bening atau

fibrinopurulen). Masa inkubasi beragam, rnengikuti kematangan seksual dan

tingkat kebuntingan, sedang pada sapi betina muda ada periode laten yang

panjang (Adman 2008).

Infeksi pada babi ditunjukkan dengan gejala klinik terjadinya arthritis

(radang sendi), osteomielitis (radang tulang dan susmsum tulang), bursitis

(peradangan pada bursa) dan spondilitis (peradangan pada tulang belakang).

Kadang-kadang ditemukan pula posterior paralisis yang disebabkan oleh

nekrosis discus intervetebrales. Pada babi jantan dapat ditemukan orchitis

(radang kantung testis) tetapi B.suis tidak ditemukan pada semen atau urine.

Dibandingkan dengan sapi abortus relatif jarang terjadi pada babi. Pembentukan

abses dapat terjadi pada organ tubuh dan jaringan, seperti pada uterus, testis,

sambungan persendian, dan sebagainya (Acha dan Boris 2003).

Brucellosis pada anjing yang disebabkab B. canis menyebabkan sterilitas

pada pejantan dan abortus pada induk, terutama terjadi di kennel (pembiak)

anjing di Amerika. Anjing yang menderita brucellosis akut mengalami

kebengkakan kelenjar limfe prefemuralis dan submandibularis. Pada anjing

jantan Brucellosis menyebabkan orchitis sehingga testis terlihat membengkak

beberapa lama kemudian diikuti atropi, testis terlihat mengecil karena sel

pembentuk spermatozoa mengalami kerusakan (Chin 2007).

11

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

VIII. Diagnosis dan Pengobatan Penyakit

Berbagai metode uji telah dikembangkan untuk mendiagnosa brucellosis

selain mengamati gejala klinis yang timbul. Uji yang umum digunakan untuk

deteksi brucellosis antara lain uji Rose Bengal Test (RBT), serum agglutination

test (SAT), Enzyme Link Imunosorbent Assay (ELISA), Fluorescence polarisation

assay, Complement Fixation Test (CFT), Polimerase Chain Reaction (PCR) dan

Brucella Milk Ring Test (BMRT) serta isolasi dan identifikasi bakteri penyebab.

Masing – masing uji memiliki keterbatasan etrutama bila dilakukan untuk

menapis hewan secara individual (OIE 2008). Metode uji serologis yang

dianjurkan OIE untuk perdagangan internasional adalah Buffer Brucellla Antigen

Test, CFT, ELISA dan Fluorescence polarisation assay.

Untuk di Indonesia berdasarkan Kepmentan No. 828/Kpts/OT.210/10/98

Pedoman Pemberantasan Penyakit Hewan Keluron Menular (Brucellosis) pada

Ternak, untuk kepentingan pengamatan penyakit secara serologis dilakukan

melalui pengujian dengan metode RBT, MRT dan CFT serta metode lain yang

dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal Peternakan (Ditjennak 1998). Isolasi

B.abortus pada sapi dilakukan dengan mengirimkan cairan, membran fetus,

susu, kelenjar limfe supramamaria dalam keadaan segar dan dingin ke

laboratorium (Nielsen 2002).

Pada manusia gambaran klinis dan lesi yang ditimbulkan oleh infeksi

brucellosis sering sulit dikenali, sehingga peneguhan diagnosis harus didukung

dengan uji laboratorium. Isolasi bakteri dari darah merupakan metode standar

tetapi hanya efektif pada fase akut dan memerlukan waktu yang lama (Kolman et

al. 1991; Noor 2006). Dapat pula dilakukan dengan metode PCR tetapi masih

memerlukan standarisasi dan evaluasi lebih lanjut pada brucellosis kronis.

Secara serologis dapat juga digunakan ELISA dan telah digunakan secara luas

serta metode Western- Blot untuk membedakan infeksi brucellosis yang telah

lama atau subklinik (Goldbaum et al. 1993; Noor 2006).

Pengobatan brucellosis pada manusia dilakukan dengan pemberian

antibiotik seperti tetrasiklin, doksisiklin, streptomisin dan rifampisin selama

minimal 6 minggu. Pada anak dibawah 8 tahun dan ibu hamil sebaiknya

diberikan rifampisin dan trimetoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) selama 6

minggu (WHO2006).

12

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

Pada hewan khususnya sapi kasus brucellosis umumnya tidak berespon

baik terhadap pengobatan. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan didasarkan

pada tinggi rendahnya prevalensi penyakit di suatu daerah (Papas et al. 2005).

IX. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Pencegahan brucellosis pada manusia dapat dilakukan dengan

penanggulangan dan kontrol penyakit pada hewan sebagai hospes, mengurangi

kontak langsung dengan hewan terinfeksi, memasak susu dan produk asal

ternak sebelum dikonsumsi (Corbel 1997). Bakteri ini sangat sensitif terhadap

desinfektan (larutan hipoklorite, etanol 70 %, isopropanol, fenolik, formaldehide,

glutaraldehide dan xylene), mudah mati pada pemanasan basah (suhu 1210C

selama 15 menit) dan pemanasan kering (suhu 160 - 170 0C) selama satu jam

(Brucellosis Fact Sheet 2003).

Apabila ada ternak yang didiagnosis brucellosis harus segera dipisahkan

dan jika ada kejadian abortus, fetus dan membran fetus harus segera dikirim ke

Laboratorium. Tempat terjadinya abortus harus didisinfeksi dan semua material

yang terkontaminasi harus dibakar atau dipendam dalam tanah (Noor 2006).

Tindakan pengendalian brucellosis pada ternak merupakan kombinasi

dari manajemen peternakan, program vaksinasi dan test and slaughter.

Pemilihan metode harus berdasarkan studi epidemiologi penyakit. Berdasarkan

Pedoman pemberantasan penyakit hewan keluron menular (Brucellosis) pada

ternak, pemberantasan brucellosis meliputi tindakan : pengamatan, pengawasan,

vaksinasi, pengujian dan test and slaughter (Ditjennak 2000). Untuk daerah

dengan prevalensi < 2 % dilakukan kebijakan test and slaughter. Sedangkan

pada daerah ≥ 2 % dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin B. abortus strain 19

atau RB 51 selama 5 tahun berturut – turut sampai diperoleh prevalensi < 2 %

dengan unit sasaran vaksinasi jika > 50 % kecamatan telah tertular maka seluruh

kabupaten atau pulau bersangkutan harus divaksinasi. Apabila < 50 % dan

pengawasan lalu lintas ternak dapat dikendalikan maka vaksinasi hanya

dilakukan di kecamatan yang tertular berat pada kecamatan tertular ringan

dilakukan test and slaughter (Ditjennak 1998).

13

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

X. Kesimpulan

Brucellosis merupakan penyakit yang dapat menular pada manusia.

Penyakit ini disebabkan berbagai genus Brucella sp. Penyakit ini menyebabkan

keguguran pada ternak dan demam pada manusia. Penularan utama pada

manusia terjadi karena kontak langsung dengan hewan pembawa dan

mengkonsumsi susu dan daging dari hewan tercemar yang tidak dimasak

sempurna.

XI. Saran

Pencegahan brucellosis secara sederhana dapat dilakukan mulai dari diri

sendiri melalui peningkatan higiene dan sanitasi personal dan memasak produk

pangan asal hewan dengan benar. Peran serta pemerintah perlu ditingkatkan

dengan melakukan penyuluhan, vaksinasi dan pengendalian lalulintas ternak

antar daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Acha PN dan Boris S. 2003. Zoonoses and Communicable Disease Common to Man and Animals Volume 1: Bacterioses and Mycoses. Ed ke-3. Washington: Pan America.

Adman L. 2008. Brucellosis pada sapi. http://www.m2techmicro.com. [2 Oktober 2010].

Alsubaie S, Maha A, Mohammed A, Hanan B, Essam A, Sulaiman A, Badria A, Ziad A M. 2005. Acute brucellosis in Saudi families: Relationship between brucella serology and clinical symptoms. Int Journal Infec Dis 9 : 218-224.

Amato GAJ. 1995. The return of brucellosis. Maltese Med. J. 7:7 - 8.

Arut AF, K Maghfiroh, D Saputra, T Ariyanti, R Octaviani, N Rahma, GN Afrilia. 2010. Booklet Beberapa Penyakit Zoonosa: Brucellosis. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

[BBVet Wates] Balai Besar Veteriner Wates. 2010. Laporan Tahunan 2010. Yogyakarta : BBVet Wates.

[BBVet Maros] Balai Besar Veteriner Maros. 2010. Laporan Tahunan 2010. Maros : BBVet Maros.

[BPPV Regional I] Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I. 2010. Laporan Tahunan 2010. Medan : BPPV Regional I.

14

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

[BPPV Regional III] Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional III. 2010. Laporan Tahunan 2010. Bandar Lampung : BPPV Regional III.

Brucellosis Fact Sheet. 2003. Brucellosis. Center for Food Security and Public Health. pp 1-7.

Canning PC, JA Roth, BL Deyoe. 1986. Release of 5-guanosine monophosphate and adenin by Brucella abortus and their role in the intracellular survival of the bacteria. J . Infect. Dis . 154 : 467 - 470.

Chin J. 2007. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Ed ke-17. I Nyoman Kandun: penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari Control of Communicable Diseases Manual.

Crawford RP, JD Huber, BS Adams. 1990. Epidemiology and surveillance. In: Animal Brucellosis. Nielsen KH and JR Duncan (Eds.). Boca Raton (FL): CRC Press. pp. 131 – 151.

Corbel MJ 1997. Brucellosis : An overview. Emerg. Infect Dis. 3 : 213 – 221.

[Dirkeswan] Direktorat Kesehatan Hewan. 2004. Paper : Kebijakan Pemerintah dalam Pemberantasan Brucellosis di Indonesia. Disampaikan pada pertemuan evaluasi pemberantasan brucellosis dan pengawasan lalu lintas ternak. Jakarta.

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan.1998. Pedoman Teknis Pemberantasan Brucellosis di Indonesia. Jakarta : Ditjennak Deptan.

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan 2000. Program Pedoman Teknis Pemberantasan Brucellosis pada sapi perah di Pulau Jawa. Jakarta : Ditjennak Deptan.

Doganay M, B Aygen. 2003. Brucellosis in Human: an overview. International journal of Infectious Disease 7:3.

Goldbaum FA, J Leon, JC Walach, CA Fossati. 1993. Characterisation of an 18-kilodalton Brucella Cytoplasmic Protein which Appears to be a Serological Marker of Active Infection of Both Human and Bovine Brucellosis. J. Clin. Microbiol. 31: 2141 -2145.

Kolman S, MC Maayan, G Gotesman, LA Roszenstain, B Wolach, R Lang. 1991. Comparison of the Bactec and lysis concentration method for the recovery of Brucella species from clinical specimens. Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis. 10: 647 – 648.

Lopez-Merino A. 1989. Brucellosis in Latin America. In: Brucellosis; clinical and laboratory aspects. Young EJ and MH Corbell (Eds.). Boca Raton. CRC Press Inc. 156- 161.

Madiha. 2011. Brucellosis General Information. http://www.humenhealth.com/ brucellosis/brucellosis.asp [14 september 2011].

Maloney C. 2008. Brucellosis: an overview. Emerg Infect Dis 13:213-21.

15

Zoonosis Kesehatan Masyarakat Veteriner

Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor

2011

Mantur BG, Mallanna SM, Laxman H B, Aravind SA, Nitin VT. 2008. Bacteremia is as unpredictable as clinical manifestations in human brucellosis. Int J Infec Dis 12 : 303-307.

Noor SM. 2006. Brucellosis : Penyakit Zoonosis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Wartazoa 16 : 31-39.

[OIE]Office International et epizootics. 2004. Teresterial Animal Health Code. OIE

Pappas G, Javier S, Nikolaos A, Epameinondas T. 2005. New approaches to the antibiotic treatment of brucellosis. Int J Antimicrob Agents 26 : 101–105.

Rompins L. 2002. Pendekatan epidemiologik pengendalian brucellosis untuk meningkatkan populasi sapi di Indonesia. Media Peternakan 8 : 89-93.

Sulaiman I, B Poermadjaya. 2004. Paper: Uji Lapang Keamanan Vaksin Brucella abortus strain RB51 pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua, Bogor. Pertemuan Evaluasi Pemberantasan Brucellosis dan Pengawasan Lalulintas Ternak dan Daging Propinsi DKI Jakarta di Cianjur.

Todar K. 2008. Textbook of Bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net [12 April 2010].

[WHO] World Health Organization. 2006. Brucellosis in Humans and Animals. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. WHO Press.