Brief community system strengthening
description
Transcript of Brief community system strengthening
Briefing Paper Januari 2012
MEWUJUDKAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL YANG BERDAYA DAN MANDIRI MELALUI KERANGKA KERJA
COMMUNITY SYSTEM STRENGTHENING (CSS)
1. PENGANTAR
GF ATM mengembangkan kerangka kerja Kerangka community system strengthening (CSS) berkolaborasi dengan berbagai pihak yaitu UNAIDS, WHO, UNICEF, World Bank, Measure Evaluation, Coalition of the Asia Pacific Regional Networks on HIV/AIDS (7 Sisters), International HIV/AIDS Alliance, USAID Office of HIV/AIDS, and US Office of the Global AIDS Coordinator, UNDP Burkina Faso, Ministry of Health & Social Welfare Tanzania,
CSS bertujuan untuk memperkuat sistem masyarakat sehingga mampu berkontribusi dalam pembangunan kesehatan guna tercapainya tujuan nasional dan memastikan bahwa hak kesehatan masyarakat dapat terwujud. Hal ini berkaitan dengan pencegahan, pengobatan dan perawatan, mitigasi dampak dan penciptaan lingkungan yang kondusif.
Kerangka kerja ini lebih diarahkan kepada keterlibatan masyarakat secara aktif yang berkaitan dengan HIV dan AIDS, TB dan malaria. Walaupun demikian tidak tertutup untuk dimanfaatkan untuk masalah kesehatan yang lebih luas.
Untuk memahami kerangka kerja CSS, maka beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
a. Sistem Kesehatan Nasional
b. Keterkaitan antara penguatan sistem kesehatan (health system strengthening) dengan penguatan sistem masyarakat ( community system strengthening)
c. Kerangka kerja penguatan sistem masyarakat ( community system strengthening)
2. SISTEM KESEHATAN NASIONAL (SKN)
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang‐undang Dasar 1945.
Pembangunan kesehatan yang dimaksud dalam SKN adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi‐tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan berdasarkan pada: 1) Perikemanusiaan, 2) Pemberdayaan dan kemandirian, 3) Adil dan merata, serta 4) Pengutamaan dan manfaat.
Sistem Kesehatan Nasional perlu dilaksanakan dalam konteks Pembangunan Kesehatan secara keseluruhan dengan mempertimbangkan determinan sosial, seperti: kondisi kehidupan sehari‐hari,
Page 2 of 13
tingkat pendidikan, pendapatan keluarga, distribusi kewenangan, keamanan, sumber daya, kesadaran masyarakat, serta kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah‐masalah tersebut.
Kedudukan SKN dalam Suprasistem adalah Ketahanan Nasional. SKN bersama dengan berbagai sistem nasional lainnya diarahkan untuk mencapai Tujuan Bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang‐undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, abadi dan keadilan sosial. Dalam kaitan ini, undang‐undang yang berkaitan dengan kesehatan merupakan kebijakan strategis dalam pembangunan kesehatan.
Terwujudnya keadaan sehat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak hanya menjadi tanggung‐jawab sektor kesehatan, melainkan juga tanggung‐jawab berbagai sektor terkait. Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, SKN perlu menjadi acuan bagi sektor lain. Dalam penyelenggaraan pembangunan nasional, SKN dapat bersinergis secara dinamis dengan berbagai sistem nasional lainnya, seperti: Sistem Pendidikan Nasional, Sistem Perekonomian Nasional, Sistem Ketahanan Pangan Nasional, Sistem Hankamnas, dan Sistem nasional lainnya. Dengan demikian pelaksanaan pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan dengan mengikutsertakan seluruh sektor terkait kesehatan sejak awal perencanaan agar dampak pembangunan yang dilakukan tidak merugikan derajat kesehatan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Disamping itu keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan sistem nilai dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam berbagai sistem kemasyarakatan. Di lain pihak, sebagai sistem kemasyarakatan yang ada, termasuk potensi swasta berperan aktif sebagai mitra dalam pembangunan kesehatan yang dilaksanakan sesuai SKN. Dalam kaitan ini SKN dipergunakan sebagai acuan bagi masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan.
Pendekatan manajemen kesehatan dewasa ini dan kecenderungannya di masa depan adalah kombinasi dari pendekatan: 1) Sistem, 2) Kontingensi, dan 3) Sinergi yang dinamis. Mengacu pada substansi perkembangan penyelenggaraan pembangunan kesehatan dewasa ini serta pendekatan manajemen kesehatan tersebut diatas, maka subsistem SKN meliputi:
1. Subsistem Upaya Kesehatan
Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi‐tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi bangsa Indonesia. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan, dan pemulihan.
2. Subsistem Pembiayaan Kesehatan
Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber, yakni: Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat itu sendiri.
Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan public good yang menjadi tanggung‐jawab pemerintah, sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat private, kecuali pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggung‐jawab pemerintah. Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang pada waktunya diharapkan akan mencapai universal coverage sesuai dengan Undang‐undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Page 3 of 13
3. Subsistem Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumber daya manusia kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta terdistribusi secara adil dan merata, sesuai tututan kebutuhan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, SKN juga memberikan fokus penting pada pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan guna menjamin ketersediaan dan pendistribusian sumber daya manusia kesehatan. Pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan meliputi: 1)perencanaan kebutuhan sumber daya manusia yang diperlukan, 2) pengadaan yang meliputi pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan SDM Kesehatan, 3) pendayagunaan SDM Kesehatan, termasuk peningkatan kesejahteraannya, dan 4) pembinaan serta pengawasan SDM Kesehatan.
4. Subsistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Subsistem kesehatan ini meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin: aspek keamanan, khasiat/ kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan yang beredar; ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional; serta upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri.
5. Subsistem Manajemen dan Informasi Kesehatan
Subsistem ini meliputi: kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, hukum kesehatan, dan informasi kesehatan. Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan manajemen kesehatan. Peranan manajemen kesehatan adalah koordinasi, integrasi, sinkronisasi, serta penyerasian berbagai subsistem SKN dan efektif, efisien, serta transparansi dari penyelenggaraan SKN tersebut.
Dalam kaitan ini peranan informasi kesehatan sangat penting. Dari segi pengadaan data dan informasi dapat dikelompokkan kegiatannya sebagai berikut: 1) Pengumpulan, validasi, analisa, dan diseminasi data dan informasi, 2) Manajemen sistem informasi, 3) Dukungan kegiatan dan sumber daya untuk unit‐unit yang memerlukan, dan 4) Pengembangan untuk peningkatan mutu sistem informasi kesehatan.
6. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat
Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata‐mata sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai subjek atau penyelenggara dan pelaku pembangunan kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan. Dalam pemberdayaan masyarakat meliputi pula upaya peningkatan lingkungan sehat oleh masyarakat sendiri. Upaya pemberdayaan masyarakat akan berhasil pada hakekatnya bila kebutuhan dasar masyarakat sudah terpenuhi. Pemberdayaan masyarakat dan upaya kesehatan pada hakekatnya merupakan fokus dari pembangunan kesehatan.
Page 4 of 13
2. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Pengertian
Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dan cara penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan baik perorangan, kelompok, maupun masyarakat secara terencana, terpadu, dan berkesinambungan guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi‐tingginya.
2. Tujuan
Tujuan subsistem pemberdayaan masyarakat adalah meningkatnya kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat, mampu mengatasi masalah kesehatan secara mandiri, berperan aktif dalam setiap pembangunan kesehatan, serta dapat menjadi penggerak dalam mewujudkan pembangunan berwawasan kesehatan.
3. Unsur‐unsur
a. Penggerak Pemberdayaan
Pemerintah, masyarakat, dan swasta menjadi inisiator, motivator, dan fasilitator yang mempunyai kompetensi memadai dan dapat membangun komitmen dengan dukungan para pemimpin, baik formal maupun non formal.
b. Sasaran Pemberdayaan
Perorangan (tokoh masyarakat, tokoh agama, politisi, figur masyarakat, dan sebagainya), kelompok (organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, kelompok masyarakat), dan masyarakat luas serta pemerintah yang berperan sebagai agen perubahan untuk penerapan perilaku hidup sehat (subjek pembangunan kesehatan).
c. Kegiatan Hidup Sehat
Kegiatan hidup sehat yang dilakukan sehari‐hari oleh masyarakat, sehingga membentuk kebiasaan dan pola hidup, tumbuh dan berkembang, serta melembaga dan membudaya dalam kehidupan bermasyarakat.
d. Sumber Daya
Potensi yang dimiliki oleh masyarakat, swasta, dan pemerintah yang meliputi: dana, sarana dan prasarana, budaya, metode, pedoman, dan media untuk terselenggaranya proses pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.
4. Prinsip
a. Berbasis Masyarakat
Pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan, permasalahan, serta potensi masyarakat (modal sosial).
b. Edukatif dan Kemandirian
Pemberdayaan masyarakat dilakukan atas dasar untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan, serta menjadi penggerak dalam pembangunan kesehatan. Kemandirian bermakna sebagai upaya kesehatan dari, oleh, dan untuk masyarakat sehingga mampu untuk
Page 5 of 13
mengoptimalkan dan menggerakkan segala sumber daya setempat serta tidak bergantung kepada pihak lain.
c. Kesempatan Mengemukakan Pendapat dan Memilih Pelayanan Kesehatan
Masyarakat mempunyai kesempatan untuk menerima pembaharuan, tanggap terhadap aspirasi masyarakat dan bertanggung‐jawab, serta kemudahan akses informasi, mengemukakan pendapat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kesehatan diri, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
d. Kemitraan dan Gotong‐royong
Semua pelaku pembangunan kesehatan baik sebagai penyelenggara maupun sebagai pengguna jasa kesehatan dengan masyarakat yang dilayani berinteraksi dalam semangat kebersamaan, kesetaraan, dan saling memperoleh manfaat. Tumbuhnya rasa kepedulian, tenggang rasa, solidaritas, empati, dan kepekaan masyarakat dalam menghadapi potensi dan masalah kesehatan yang akhirnya bermuara dalam semangat gotong‐royong sesuai dengan nilai luhur bangsa.
5. Penyelenggaraan
a. Penggerakan Masyarakat
Pembangunan kesehatan perlu digerakkan oleh masyarakat dan masyarakat mempunyai peluang yang penting dan luas dalam pembangunan kesehatan. Pelibatan aktif masyarakat dalam proses pembangunan kesehatan dilakukan mulai dari penelaahan situasi masalah kesehatan, penyusunan rencana termasuk dalam penentuan prioritas kesehatan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi upaya kesehatan sehingga dapat terwujud kemandirian dan kesinambungan pembangunan kesehatan.
Pemberdayaan masyarakat ditujukan guna terwujudnya penguatan upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan, maupun pemulihan secara tersendiri atau terpadu. Perencanaan pemberdayaan masyarakat didasarkan pada fakta dan masalah kesehatan yang menjadi perhatian masyarakat setempat maupun masyarakat luas serta dengan mempertimbangkan potensi sumber daya dan nilai‐nilai sosial budaya masyarakat.
b. Pengorganisasian dalam Pemberdayaan
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui perorangan, kelompok, dan masyarakat luas sesuai dengan kepentingannya dan yang berhasil guna dan berdaya guna.
Peranan Pemerintah membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan regulasi, menyiapkan masyarakat dengan membekali pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat, dukungan sumber daya untuk membangun kemandirian dalam upaya kesehatan dan mendorong terbentuknya Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM), dan kemandirian dalam upaya kesehatan.
Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan dapat dengan cara mendirikan sarana pelayanan kesehatan maupun memberikan informasi kesehatan (promosi kesehatan) kepada masyarakat. Dalam kaitan ini termasuk pengembangan Desa Siaga atau bentuk‐bentuk lain pada masyarakat desa/kelurahan.
Page 6 of 13
c. Advokasi
Masyarakat dapat berperan dalam melakukan advokasi kepada pemerintah dan lembaga pemerintahan lainnya, seperti legislatif untuk memperoleh dukungan kebijakan dan sumber daya bagi terwujudnya pembangunan berwawasan kesehatan. Pelaksanaan advokasi dilakukan dengan dukungan informasi yang memadai serta metode yang berhasil guna dan berdaya guna. Masyarakat juga dapat berpartisipasi dengan memberikan kritik yang membangun bagi kepentingan seluruh masyarakat.
d. Kemitraan
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan kemitraan berbagai pihak, seperti seluruh sektor terkait, lembaga legislatif, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, dan masyarakat agar terwujud dukungan sumber daya dan kebijakan dalam pembangunan kesehatan.
6. Peningkatan Sumber Daya
Dalam pemberdayaan masyarakat perlu didukung oleh pengembangan dan pemberdayaan SDM Kesehatan yang kuat, pembiayaan yang memadai, dan dukungan berbagai sarana lain yang berkaitan.
Dalam pemberdayaan masyarakat secara lebih spesifik dapat didampingi penggerak yang berperan sebagai fasilitator, komunikator, dan dinamisator dalam proses pemberdayaan masyarakat.
Ketersediaan sumber daya tersebut sangat penting agar dapat tercapai masyarakat berperilaku hidup sehat dan mandiri, termasuk pentingnya ketersediaan tenaga penggerak/promosi kesehatan, seperti di Puskesmas dan Rumah Sakit yang mempunyai kompetensi dan integritas tinggi.
3. HUBUNGAN PENGUATAN SISTEM KESEHATAN (HEALTH SYSTEM STRENGHENING ) DENGAN PENGUATAN SISTEM MASYARAKAT (COMMUNITY SYSTEM STRENGTENING)
CSS merupakan bagian dari sub sistem kesehatan dan saling terkait dengan upaya kesehatan. CSS sangat berperan dalam upaya meningkatkan akses layanan kesehatan dan meningkat kualitas pelayanan. Disamping itu, CSS juga dapat berperan pada area advokasi, penggerakan masyarakat dan membangun jaringan antar komunitas. CSS juga bisa berperan dalam memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan layanan kesehatan yang berkeadilan dan berkualitas.
Penggiat dari masyarakat sipil juga dapat berperan secara sistematis, terorganisir dalam mengubah kebijakan public untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mewujudkan hak kesehatan bagi masyarakat. Disamping itu juga berperan untuk menghilangkan diskriminasi, marjinalisasi, kriminalisasi atau ekspolitasi yang timbul dari sosial budaya masyarakat.
Sistem kesehatan juga tidak dapat terpisah dari masyarakat. Sistem kesehatan adalah adalah aset masyarakat yang merupakan bagian dari hubungan antara individu, keluarga dan masyarakat yang dalam menyelenggarakan upaya. Dalam hubungannya terlihat adanya sinergi dan keterkaitan antara sistem kesehatan, sistem masyarakat dan kesejahteraan sosial. Dalam pelaksanaannya eringkali terjadi tumpang tindih antara ketiga sistem tersebut. Oleh sebab itiu, perlu dilakukan pendekatan kreatif dan inovatif untuk mendorong masyarakat terlibat aktif dalam sistem kesehatan dan sosial.
Page 7 of 13
Keterkaitan antara sub sistem kesehatan, sub sistem masyarakat dan sub sistem jaminan sosial dan pembiayaan kesehatan dapat dilihat pada bagan berikut :
4. KERANGKA COMMUNITY SYSTEM STRENGTHENING (CSS)
Pengertian sistem komunitas dapat kita rujuk dari kerangka kerja CSS yang telah dikeluarkan Global Fund dengan arti sebagai berikut :
Sistem penguatan masyarakat (community system strengthening) merupakan sebuah pendekatan yang mampu memberikan informasi, memberdayakan dan mengkoordinasikan masyarakat dan organisasi berbasis masyarakat, kelompok ataupun struktur sosial. Pelibatan berbagai pihak dimasyarakat akan mendorong mereka untuk berkonstribusi pada keberlanjutan jangka panjang terkait isu kesehatan dan intervensi lainnya ditingkat komunitas dan memberikan lingkungan yang kondusif hal‐hal yang ingin dicapai.
System penguatan masyarakat bertujuan untuk melibatkan orang yang terdampak langsung dengan masalah kesehatan (HIV, tuberclosis, malaria dan masalah kesehatan lainnya) agar terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian dari layanan dan kegiatan yang terkait dengan pencegahan, pengobatan, dan care&support.
Kerangka kerja CSS yang memuat 6 komponen penting untuk memperkuat sistem komunitas, yaitu :
(1) Advokasi; (2) Jaringan dan kemitraan; (3) Sumber daya dan penguatan kapasitas (4); upaya kesehatan berbasis masyarakat dan pemberian layanan ; (5) penguatan organisasi dan kepemimpinan dan (6) monitoring & evaluasi dan perencanaa.
Page 8 of 13
5. Membumikan Kerangka CSS di Indonesia
Desentralisasi kesehatan di Indonesia dilaksanakan sejak awal tahun 2001 dan merupakan konsekuensi dari desentralisasi secara politik yang menjadi inti Undang‐Undang No.22/1999. Laksono (2009), menyatakan Desentralisasi kesehatan dari 2000‐2007 menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan kesehatan tersendat‐sendat. Alokasi anggaran kurang berhasil menyeimbangkan pelayanan kesehatan, berbagai peraturan dan kebijakan pusat kurang berhasil dilaksanakan, sampai masalah SDM kesehatan yang sulit dikelola.
Pada tahun 2000 , Azrul Azwar (Mantan PHN PKBI) dan Ascobat Gani (FKM UI) sudah memprediksikan akan terjadinya ’kemandekan’ pembangunan kesehatan di daerah, mereka mengkhawatirkan adanya desentralisasi kesehatan akan memperburuk program kesehatan dan KB. Era otonomi daerah mendorong pada bupati/walikota lebih menyukai program‐program populis dibanding program investasi sosial seperti program kesehatan dan program Keluarga Berencana (KB). Kondisi ini semakin memperihatinkan dengan adanya pemilihan kepada daerah langsung yang berdampak program‐program pemerintah daerah umurnya hanya sebatas 5 tahunan, tergantung masa jabatan kepala daerah tersebut.
Dalam kondisi ini dibutuhkan masyarakat sipil yang kuat untuk mengawal program pembangunan kabupaten/kota yang berorientasi pada pembangunan kesehatan terutama dalam konteks penanggulangan HIV dan AIDS. Namun, sayangnya masyarakat sipil yang bergerak di isu kesehatan dan HIV/AIDS masih bergantung pada isu yang ditawarkan pada donor luar. Ironisnya masa hidup LSM pun sangat bergantung pada bantuan donor tersebut, seperti yang termuat dalam laporan Forum UNGASS‐AIDS Indonesia 2010 yang salah satu isinya memuat tentang betapa lemahnya posisi LSM yang bergerak dibidang penanggulangan HIV/AIDS, sebagai berikut:
Page 9 of 13
” ..... Penghapusan secara bertahap oleh ASA‐FHI, sebagai contoh, telah mengurangi jumlah LSM dari 135 menjadi hanya 25 LSM per Maret 2010 yang sebagian didukung oleh ASA dan mitra pembangunan lainnya7. Hasil ini mencerminkan keengganan, ketidaksiapan, atau kurangnya apresiasi pada inisiatif dalam bentuk apapun di luar infrastruktur pemerintah. Masyarakat lupa bahwa sebelum pemerintah mulai menyediakan layanan bagi ODHA dan komunitas, LSM‐LSM kecil tersebut sudah ada dan melakukan penjangkauan, menyediakan informasi, dan menciptakan perbedaan. Banyak dari mereka tidak dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan mereka, karena mereka dikondisikan untuk tergantung pada donor ”
Berdasarkan situasi dan kondisi program penanggulangan HIV dan AIDS dan kapasitas masyarakat sipil di Indonesia maka penerapan kerangka kerja CSS bertujuan untuk : 1. Menciptakan organisasi masyarakat sipil (LSM dan organisasi berbasis komunitas) menerapkan
prinsip‐prinsip good governance (tata kelola yang baik). Organisasi masyarakat sipil yang menerapkan prinsip good governance lebih dikenal Good NGO Governance (GNG). Prinsip dasar GNG adalah akuntabilitas, transparan dan partisipatif. Di era demokrasi ini, organisasi masyarakat sipil pun dituntun untuk akuntabel dan transparan kepada stakeholder dan masyarakat yang diselenggarakan mereka seperti yang diamanatkan UU UU No 16/2001 jo UU No 28/2004 tentang Yayasan, dan UU UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
2. Mendorong terbentuknya organisasi masyarakat sipil (LSM dan organisasi berbasis komunitas) di tingkat kab/kota yang berperan menjaga dan mengawal kebijakan dan anggaran untuk program penanggulangan HIV/AIDS di Kab/Kota. Kelompok‐kelompok masyarakat yang berusaha mempengaruhi kebijakan publik melalui proses pendekatan (lobby) ke tokoh‐tokoh yang berwenang membuat kebijakan dikenal dengan istilah Interest groups. Di AS, istilah kelompok kepentingan sudah baku, sedangkan Inggris lebih menyukai istilah kelompok penekan. Di negara maju, interest group berfungsi untuk menjalin dan memelihara hubungan dengan pemerintah terutama bertujuan untuk mempengaruhi penyusunan undang‐undang dan regulasi.
3. Memperkuat upaya kesehatan dan layanan berbasis komunitas yang sudah ada. Selama ini sebagian besar organisasi masyarakat sipil (LSM dan organisasi berbasis komunitas) bekerja di area ini, baik yang fokus pada program penjangkauan maupun care & support. Namun sayangnya, CSO di area ini dalam menjalankan kegiatannya sangat bergantung terhadap keberadaan lembaga donor. Masih sedikit lembaga yang mandiri dalam membiayai program‐program mereka. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya agar pemerintah daerah mau membiayai program‐program penjangkauan dan pendampingan untuk menjaga keberlangsungan program. Selain itu, perlu adanya instumen untuk meningkatkan mutu dan kualitas layanan.
4. Mendorong terbentuknya organisasi masyarakat sipil (LSM dan organisasi berbasis komunitas) yang fokus pada monitoring dan evaluasi (M&E), khususnya pendekatan Participatory M&E (PM&E). Keberadaan kelompok ini untuk melakukan evaluasi terhadap program yang ada sekaligus memberikan rekomendasi untuk perbaikan dan peningkatan mutu program.
Adanya 4 (empat) komponen tersebut dalam organisasi masyarakat sipil maka kelompok ini dapat mendorong terintegrasinya program penangggulangan HIV dan AIDS dalam program pembangunan di kabupaten/kota sekaligus memastikan program penanggulangan HIV dan AIDS berjalan dengan efektif dan berkelanjutan.
Page 10 of 13
Organisasi masyarakat sipil yang telah menerapkan kerangka kerja CSS, terlihat dari adanya 4 (empat) komponen, yaitu :
6. Menuju Masyarakat Sipil yang Mandiri dan Berdaya
Masyarakat Sipil (civil society) adalah orang‐orang yang berkumpul untuk memperjuangkan kepentingan umum diluar area keluarga, negara dan pasar. Kadang‐kadang termasuk juga di dalammnya keluarga dan ruang pribadi dan dikenal dengan pilar ketiga masyarakat, diluar negara dan pengusaha. Dalam kamus Dictionary.com's 21st Century Lexicon Civil Society diartikan sebagai : (1) Sekumpulan organisasi non pemerintah dan lembaga‐lembaga yang memiliki tujuan untuk
memperjuangkan dan memenuhi kebutuhan warga negara. (2) Perorangan atau organisasi yang terlepas dan tidak bergantung (independent) dari pemerintah (3) Kadang‐kadang istilah ini digunakan untuk hal‐hal yang lebih umum, seperti kebebasan
berbicara, peradilan yang independen, untuk memujudkan masyarakat yang demokratis (Collins English Dictionary).
(Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Civil_society)
Untuk melihat hubungan civil society dengan negara, menarik jika merujuk konsep civil society menurut Jurgen Habermas and Antonio Gramsci.
Page 11 of 13
Habermas menempatkan civil society dalam ruang publik (public sphere). Ruang publik adalah ruang tempat subjek berpartisipasi secara setara dalam diskusi rasional untuk mendapatkan kebenaran dan kebaikan bersama. Ruang publik sebagai ide menggambarkan dimensi keterbukaan, inklusif, kesetaraan dan kebebasan yang tidak tercela.
Gramsci menjelaskan civil society merupakan bagian dari hegemoni politik masyarakat yang dibangun dari mekanisme persetujuan dengan masyarakat. Gramsci menyatakan bahwa kelompok akan menjadi hegemoni bilamana kelompok tersebut mengartikulasikan kepentingan sektoralnya sebagai kepentingan umum, lalu merealisasikannya dalam kepemimpinan moral dan politik.
Baik Habermas maupun Gramsci menempatkan konsep civil society sebagai lawan terhadap hegemoni negara.
Untuk melihat lebih jauh tentang tipikal Aktivis LSM di Indonesia, menarik untuk mengulas hasil kajian yang dilakukan Mansour fakih yang termuat dalam bukunya ”Masyarakat sipil untuk transformasi social Pergolakan ideologi LSM Indonesia.” Mansour Fakih menggolongkan posisi aktivis LSM Indonesia menjadi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu 1. Perspektif Konformisme
Aktivis LSM yang melakukan pekerjaan mereka didasarkan kepada paradigma karikatif atau sering disebut “bekerja tanpa teori” atau mereka yang bekerja berorientasi proyek dan bekerja sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada. Motivasi utama program dan aktivitas mereka adalah menolong rakyat dan didasarkan kepada niat baik untuk membantu mereka yang membutuhkan. Kelompok ini mengimplementasikan visi mereka ke dalam program lapangan dengan menggunakan pendekatan yang dikembangkan aktivis perspektif reformis, karena mereka memperoleh pelatihan dan pendidikan dari LSM Reformis.
2. Perspektif Reformis
Aktivis LSM yang pemikirannya didasarkan pada ideologi modernisasi dan developmentalisme dan program yang dibangun berlandaskan perlunya meningkatkan partisipasi rakyat dalam pembangunan. Mayoritas LSM di Indonesia mengikuti paradigma reformisme.
Tesis dibalik paradigma ini adalah keterbelakangan rakyat disebabkan adanya sesuatu yang salah dengan mentalitas dan nilai‐nilai rakyat. Mentalitas dan nilai‐nilai ini yang dianggap menjadi penyebab utama kelemahan “partisipasi” rakyat dalam pembangunan.
Dalam mengimplemtasikan visi mereka selalu sejalan dengan konsep pembangunan pemerintah sehingga aktivis ini cenderung memotivasi rakyat agar berpartisipasi dalam program pembangunan pemerintah.
Dalam menjalankan program mereka cenderung mengabaikan masalah eksploitasi kelas, penindasan politik, bias gender atau pun hegemoni kultural dan ideologi pembangunan.
Page 12 of 13
Tesis pandangan ini bahwa mentalitas, perilaku dan kultur rakyat seperti tingkat kebutuhan berprestasi rakyat rendah dan nilai‐nilai tradisional lainnya, menghambat pembangunan dan pertumbuhan. Dengan demikian rakyat perlu dilibatkan dalam pembangunan.
Tugas utama LSM menjadi fasilitator yaitu memfasilitasi rakyat dalam meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap agar dapat menjadi modern.
Kelompok ini dalam mengimplementasikan kegiatan lapangan mereka menekankan perlunya partisipasi dan swadaya rakyat yang lebih besar. Dalam konteks ini, kegiatan‐kegiatan seperti assesment (penilaian), pelatihan partisipasi, dialog, evaluasi partisipatif menjadi jargon mereka. Namun, lemahnya visi di kalangan aktivis ini sehingga dalam kegiatan pengorganisasian tidak pernah mempertanyakan mengapa rakyat mesti diorganisir.
Kelompok ini dalam menerjemahkan gagasan kedalam aksi, mereka berpendapat bahwa hal yang terpenting adalah berjuang mempengaruhi pemerintah sehingga pendekatan dan metodologi mereka dipakai dan diimplementasikan pemerintah. Dan memang pada kenyataanya, beberapa pendekatan dan metodologi dan teknik LSM banyak diambil alih oleh pemerintah. Misalnya program PNPM Mandiri.
Ciri lain dari aktivitas kelompok ini adalah semua masalah didekati dengan pendekatan proyek. Hal ini jelas terlihat pada cara mereka merencanakan program, yang umumnya mulai dari penilaian kebutuhan (need assessment), perencanaan, implementasi, serta evaluasi dengan jadwal yang ketat. Lembaga donor juga memainkan peran dalam membentuk persepktif mereka, karena seringkali dana menjadi hal yang penting sehingga program mereka lebih disesuaikan dengan apa yang dianggap penting oleh lembaga donor.
Walaupun dalam visi mereka ingin meningkatkan kesejahteraan kelompok sasaran, namun seringkali program‐program diukur dengan indikator berikut : 1. Berapa banyak jumlah orang yang mendapat manfaat 2. Apakah motivasi rakyat berpartisipasi dalam proyek LSM sesuai dengan sikap mentalitas
modernism. 3. Aktivis LSM yang mengembangkan masyarakat melalui dinamika kelompok, ukurannya adalah
apakah kelompok sasaran dapat menerima perilaku organisasi modern. 3. Perspektif Transformatif
Salah satu ciri perspektif transformatif adalah mempertanyakan paradigma mainstream yang ada dan ideologi tersembunyi di dalammnya dan berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaanya.
Menurut perspektif transformatif, salah satu penyebab masalah rakyat adalah justru diskursus pembangunan maupun struktur yang timpang yang ada. Berkaitan dengan program aksi, perspektif transformati melihat program pembangunan masyarakat (misal peningkatan pendapatan, pelayanan kesehatan) sebagai ‘pintu masuk’ kegiatan jangka panjang menggerakkan masyarakat untuk perubahan.
Kelompok ini dalam menerjemahkan gagasan kedalam aksi melalui pendidikan kritis bagi maryarakat untuk membangun kesadaran kritis.
Page 13 of 13
Hasil telaahan Mansour Fakih terhadap LSM di Indonesia, setidaknya memberikan kesimpulan singkat Masyarakat Sipil yang Mandiri dan Berdaya hanya dapat terwujud, jika organisasi‐organisasi tersebut dapat lepas dari ketergantungan dana (lebih parahnya jika sudah mengalami ’addict funding’) baik yang disediakan donor ataupun pemerintah. Disamping perlunya mendorong organisasi‐organisasi masyarakat sipil untuk mulai bekerja dengan teori.
7. Penutup
Pasca tahun 2015 diperkirakan donor asing akan mulai mengurangi bantuan terkait program HIV di Indonesia. Kondisi ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi LSM‐LSM di Indonesia yang masih sangat bergantung pada bantuan dana dari pihak asing.
Saat inilah momentum yang tepat bagi seluruh masyarakat sipil yang bergerak di isu HIV untuk merancang blue print penguatan masyarakat sipil mengingat sampai dengan 2015 masih ada dukungan dana dari GF ATM, USAID, AUSAID, sehingga pada tahun 2015 masyarakat sipil yang mandiri dan berdaya sudah terwujud.
Sumber bacaan: Departemen Kesehatan, Sistem Kesehatan Nasional, 2009 GF ATM, Community Systems Strengthening Framework, 2010 Laksono Trisnantoro, Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia 2000‐2007: Mengkaji
Pengalaman dan Membahas Skenario Masa Depan, 2009 Laporan Forum UNGASS‐AIDS Indonesia 2010 Donny Gahral Adian, Setelah Marxisme, Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer, 2011 Mansour fakih, Masyarakat sipil untuk transformasi social Pergolakan ideologi LSM Indonesia,
2010