BLUE CARBON - News
Transcript of BLUE CARBON - News
BLUE CARBON Program Inisiatif Blue Carbon Indonesia
Kep. Derawan-Berau, Kalimantan Timur
Penulis :
Agustin Rustam, Novi Susetyo Adi, Restu Nur Afi Ati,
Terry L. Kepel, August Daulat, Mariska A. Kusumaningtyas,
Devi D. Suryono, Nasir Sudirman, Aida Heriati,
Peter Mangindaan, Hadiwijaya L. Salim
Editor :
Widodo Setiyo Pranowo
Andreas A. Hutahaean
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAUT DAN PESISIR
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2015
Judul Buku :
BLUE CARBON : Program Inisiatif Blue Carbon Indonesia Kep. Derawan-Berau, Kalimantan Timur
Penulis : Agustin Rustam,Novi Susetyo Adi, Restu Nur Afi Ati, Terry L. Kepel, August Daulat,
Mariska A. Kusumaningtyas, Devi D. Suryono, Nasir Sudirman, Aida Heriati, Peter Mangindaan,
Hadiwijaya L. Salim
Editor :
Widodo Setiyo Pranowo
Andreas A. Hutahahean
Desain sampul dan Penata isi :
M. Ramdhan dan Sari Novita
Korektor :
Agus Hermawan, Dani Saepuloh, Sari Novita
Jumlah Halaman:
119
Edisi/ cetakan:
Cetakan 1, Desember 2015
Sumber foto sampul:
Mangrove Ekosistem di Kepulauan Derawan, 2014
Penerbit :
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
Komplek Bina Samudera Jl. Pasir Putih II Lantai 4, Ancol Timur,
Jakarta Utara 14430-DKI Jakarta. www.p3sdlp.litbang.kkp.go.id
Telp. : (021) 64700755 / Fax. : (021) 64711654, Email: [email protected]
ISBN : 978-602-9086-44-7
e- ISBN : 978-602-9086-45-4
Di cetak oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
@ 2015, hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Dilarang mengutip/memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan buku ‘BLUE CARBON : Program Inisiatif Blue Carbon
Indonesia Kep. Derawan-Berau, Kalimantan Timur’ ini sebagai salah satu tanggung jawab
kami dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut dan Pesisir - Balitbang Kelautan dan Perikanan.
Buku ini disusun berdasarkan penelitian mulai tahun 2012 hingga 2014 dan informasi
lainnya yang berhubungan. Penelitian ini dilaksanakan dengan biaya yang berasal dari DIPA
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir - Balitbang Kelautan dan
Perikanan.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir beserta seluruh jajarannya, kepada seluruh
peneliti yang telah berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
kegiatan ini.
Buku ini disusun dalam rangka diseminasi mengenai karbon biru kepada masyarakat
luas dan sebagai salah satu upaya dalam mitigasi perubahan iklim. Oleh karena itu, Kami
sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik yang bersifat membangun demi
kesempurnaan penelitian ini kedepan, Terimakasih.
Jakarta, 27 November 2015
Tim penulis
4
KATA SAMBUTAN
Penelitian mengenai karbon biru pesisir atau ‘coastal blue carbon’ merupakan
amanat yang diberikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan
(BalitbangKP) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut
dan Pesisir (P3SDLP) sejak tahun 2011. Penelitian mengenai karbon biru pesisir sangat
penting dikarenakan Indonesia memilki garis pantai terpanjang kedua dengan ekosistem
mangrove terbesar di dunia (3,11 juta Ha) serta keanekaragaman ekosistem pesisir lainnya
seperti ekosistem lamun dan terumbu karang.
Karbon biru sendiri diartikan sebagai kemampuan biota di pesisir dan laut
menyimpan karbon dalam biomassa dan sedimen melalui mekanisme fotosintesis yang
membutuhkan karbondioksida (CO2). Mekanisme penyimpanan melalui fotosintesis untuk
ekosistem pesisir yang berperan paling besar adalah ekosistem mangrove dan ekosistem
lamun, penelitian secara tegas menyatakan ekosistem terumbu karang adalah source CO2 ke
atmosfer. Oleh karena itu keberadaan ekosistem pesisir dengan segala jasa yang
diberikannya dapat berperan juga dalam mitigasi perubahan iklim sebagai pengurang CO2 di
atmosfir.
Kepulauan Derawan merupakan wilayah yang memiliki ekosistem yang khas,
berada di daerah segitiga karang dunia (Coral Triangle Initiative=CTI) dengan pembentukan
pulau-pulaunya melalui proses geologi yang panjang. Selain itu Kepulauan Derawan
merupakan jalur arus lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air dari Samudera
Pasifik ke Samudera Hindia. Karakteristik genesa dan wilayah yang unik ini menyebabkan
5
keanekaragaman hayati di Kepulauan Derawan sangat tinggi dan keberadaan ekosistem
pesisir yang menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati tersebut berpotensi juga dalam
menyimpan karbon.
Mengingat keberadaan Kepulauan Derawan dengan segala keunikannya maka
penelitian yang dilakukan mengenai potensi karbon biru pesisir menjadi salah satu hal yang
sangat penting. Sehingga diharapkan dengan penerbitan buku ‘BLUE CARBON : Program
Inisiatif Blue Carbon Indonesia Kep. Derawan-Berau, Kalimantan Timur’ menjadi panduan
baik dalam menjaga kelestarian keanekaragaman hayati ekosistem pesisir dan peran
ekosistem pesisir sebagai mitigasi perubahan iklim dengan karbon birunya.
Selamat membaca semoga bermanfaat untuk kita semua.
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir
Dr. Budi Sulistiyo
6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................................................. 3
KATA SAMBUTAN ................................................................................................................................................... 4
DAFTAR ISI ................................................................................................................................................................. 6
RINGKASAN EKSEKUTIF ........................................................................................................................................ 9
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................................................. 11
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................................................... 16
DAFTAR ISTILAH .................................................................................................................................................... 17
1. PENDAHULUAN ................................................................................................................................................ 20
2. KARAKTERISTIK UNIK KEPULAUAN DERAWAN .................................................................................... 25
Pulau Sangalaki ................................................................................................................................................. 31
Pulau Kakaban ................................................................................................................................................... 33
Pulau Panjang .................................................................................................................................................... 35
Pulau Semama ................................................................................................................................................... 36
Pulau Maratua .................................................................................................................................................... 37
3. KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN KEPULAUAN DERAWAN ...................................... 40
Pengukuran karbon di perairan .................................................................................................................. 42
Nutrien .................................................................................................................................................................. 43
7
Kesuburan Perairan (Fv/Fm,Production Rate, Klorofil) ....................................................................... 46
Kualitas Perairan .............................................................................................................................................. 49
Iklim dan Cuaca ................................................................................................................................................. 54
Pengukuran suhu dan tinggi muka laut secara multi waktu ............................................................ 60
4. METODE PENGUKURAN KARBON STOK PADA EKOSISTEM PESISIR ........................................... 63
Pengambilan Data Struktur Komunitas Lamun dan Mangrove ...................................................... 63
Pengambilan Data Biomass dan Karbon pada Lamun dan Mangrove ........................................ 64
Pengambilan Data Karbon pada Sedimen ............................................................................................. 67
Analisis dan penyajian data ............................................................................................................................... 69
Biomassa Lamun dan Mangrove ........................................................................................... 69
Biomassa Karbon Lamun dan Mangrove ............................................................................ 71
5. KARBON STOK EKOSISTEM MANGROVE ................................................................................................ 73
Karbon pool ekosistem mangrove ............................................................................................................. 74
Kondisi eksisting mangrove.......................................................................................................................... 75
Penyimpanan Karbon Biomass oleh Ekosistem Mangrove di Kepulauan Derawan ................ 79
Penyimpanan Karbon Sedimen oleh Ekosistem Mangrove di Kepulauan Derawan ............... 82
Karbon Stok Mangrove Berdasarkan Data Citra Satelit Landsat 8 ................................................. 85
6. KARBON STOK EKOSISTEM LAMUN ......................................................................................................... 90
Karbon Pool Ekosistem Lamun .................................................................................................................... 93
Kondisi Eksisting Ekosistem Lamun ........................................................................................................... 94
Penyimpanan Karbon Biomass oleh Ekosistem Lamun di Kepulauan Derawan .................... 100
Penyimpanan Karbon Sedimen oleh Ekosistem Lamun di Kepulauan Derawan ................... 103
8
Karbon Stok Lamun Berdasarkan Data Citra Satelit Landsat 8 ..................................................... 105
7. PENUTUP .......................................................................................................................................................... 108
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................................. 110
9
RINGKASAN EKSEKUTIF
Buku ini membahas mengenai karbon biru yang berasal dari ekosistem pesisir di
Kepulauan Derawan, Berau, Kalimantan Timur sebagai bagian dari upaya adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim global. Ekosistem mangrove dan padang lamun memberikan
kontribusi nyata secara alami untuk penyerapan dan penyimpanan karbon dalam bentuk
material organik. Karbon organik dan inorganik juga tersimpan dalam sistem sedimen atau
subsrat yang dapat diperhitungkan sebagai total karbon sehingga dapat dihitung sebagai
bagian dari carbon sink di lautan. Selain itu kontribusi ekosistem pesisir dalam penyerapan
dan penyimpanan karbon akan mengurangi GRK (Gas Rumah Kaca) terutama CO2 sehingga
ekosistem pesisir yang sehat berkontribusi pula dalam menurunkan suhu secara global.
Kepulauan Derawan menjadi suatu daerah penelitian yang menarik dan unik untuk
dikaji secara mendalam terutama mengenai potensi penyerapan karbon di ekosistem pesisir
dan pulau-pulau kecil. Keberadaan pulau-pulau kecil yang kaya dengan ekosistem pesisir
dapat menjadi sumber potensi karbon biru yang tinggi.
Kepulauan Derawan merupakan kawasan yang dilindungi (MPA – Marine Protected
Area) dengan luasan 1,27 juta Ha, merupakan bagian dari wilayah Coral Triangle (segitiga
karang) yang memiliki nilai biodiversitas tinggi serta dilalui oleh ARLINDO (Arus Lintas
Indonesia).
Hasil penelitian di Kepulauan Derawan menunjukkan bahwa ekosistem lamun
menpunyai karbon stok biomassa lamun antara 0,003 mgC/ha - 0,55 MgC/ha, karbon stok
10
sedimen ekosistem lamun antara 102,05 MgC/ha - 149,14 MgC/ha. Karbon stok lamun
berdasarkan citra satelit sebesar 137,88 MgC untuk biomassa bagian bawah sebesar 426
MgC dan karbon stok sedimen di ekosistem lamun sebesar 374.622,3 MgC atau 374,6 GC
(Giga = 103 Mg= 106 kg). Ekosistem mangrove berdasarkan citra satelit memiliki luas 163.200
ha dengan karbon stok pada biomassa bagian atas sebesar 55.780,1 GC, bagian bawah
30.552,7 GC dan sedimen 6.129,5 GC
Buku ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam mekanisme
pembangunan bersih (Clean Development Mechanism) untuk mengantisipasi perubahan
iklim global, sebagai bahan untuk penyusunan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan
perubahan iklim serta penyelenggaraan konservasi di wilayah pesisir.
11
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Luas mangrove di berbagai negara di dunia (a) dan mangrove di Tanjung
Batu Kabupaten Berau, Kalimantan Timur(b) ................................................................ 22
Gambar 2. Luas lamun di empat wilayah di dunia yang mempunyai luasan diatas 10 %
dari total lamun dunia (a), Padang lamun Halodule uninervis yang masih
muda di Pulau Sangalaki 2014 (b) ...................................................................................... 23
Gambar 3. Peta Kepulauan Derawan ....................................................................................................... 25
Gambar 4. Arus lintas Indonesia atau yang dikenal dengan Arlindo ........................................ 28
Gambar 5. Luasan terumbu karang yang terdapat di kawasan CTI (a), Biodiversitas
ikan karang di daerah CTI lebih dari 85 % dari biodiversitas ikan karang
wilayah Indo Pacific ditemukan (b) ..................................................................................... 29
Gambar 6. Bagan di depan Pulau Derawan menuju daratan Kalimantan (a) dan
produksi ikan laut di Kabupaten Berau (b) ..................................................................... 30
Gambar 7. Ekosistem terumbu karang dan lamun pada saat pasang menuju surut (a),
Pulau Sangalaki yang merupakan Taman Wisata Laut (b,c) ..................................... 31
Gambar 8. Spot penyelaman Ikan Pari Manta di Pulau Sangalaki (a) dan parade Ikan
Pari Manta di Pulau Sangalaki (b) ...................................................................................... 32
Gambar 9. Keindahan Pulau Sangalaki (a), kerang kima yang bersimbiosis dengan
karang (b) dan aktivitas penangkaran penyu (c) .......................................................... 33
12
Gambar 10. Keindahan dan keunikan Pulau Kakaban dan Danau Kakaban (a-c),
Ubur-ubur epidemic yang hidup di Danau Kakaban (d-e) ...................................... 34
Gambar 11. Ekosistem mangrove di Pulau Panjang (a-d) ............................................................... 35
Gambar 12. Pulau Semama sebagai kawasan suaka margasatwa (a) dan ekosistem
mangrove di depan Pulau Semama pada saat pasang (b) ........................................ 37
Gambar 13. Pulau Maratua (a) dan ekosistem mangrove di Pulau Maratua, Kepulauan
Derawan 2014 (b) ...................................................................................................................... 38
Gambar 14. Keindahan Pulau Maratua(a), ikan yang bergerombol (b), keindahan gua
Sembat (c) dan penyu di Pulau Maratua (d) ................................................................... 39
Gambar 15. Stasiun pengamatan kualitas air di Kepulauan Derawan survei 2012 ............... 41
Gambar 16. Aktivitas pengukuran in situ yang dilakukan di atas kapal survei tahun
2012 ................................................................................................................................................ 42
Gambar 17. Grafik konsentrasi CO2 (a), distribusi spasial PCO2 (tekanan parsial CO2 )
di perairan Kepulauan Derawan pengukuran tahun 2012 (b) ................................. 43
Gambar 18. Distribusi nutrien pada lapisan permukaan di perairan pesisir dan laut
Kepulauan Derawan tahun pengukuran 2012................................................................ 45
Gambar 19. Distribusi fv/fm dan photosyntetic rate .......................................................................... 47
Gambar 20. Distribusi klorofil di perairan Kepulauan Derawan ..................................................... 48
Gambar 21. Hasil pengukuran suhu dan salinitas terhadap kedalaman..................................... 50
Gambar 22. Pola sebaran kualitas perairan (fisik dan kimia) ........................................................... 52
Gambar 23. Distribusi Particulate Organic Nitrogen dan Particulate Organic
Carbon ........................................................................................................................................... 53
13
Gambar 24. Grafik curah hujan (a), hari hujan (b), kelembaban udara (c), kecepatan
angin (d) bulanan di Tanjung Redep tahun 2010-2012 ............................................. 55
Gambar 25. Grafik kecepatan angin (a), curah hujan (b), kelembaban (c), penyinaran
matahari (d) dan suhu (e) harian di Tanjung Redep Tahun 2010-2012 ................ 56
Gambar 26. Plot stasiun angin dan jalur layar penelitian (a) serta grafik rata-rata
kecepatan angin (b), suhu (c) dan kelembaban udara (d) pada ketinggian
4-5 meter ...................................................................................................................................... 58
Gambar 27. Grafik rata-rata suhu dan kelembaban udara pada ketinggian 4-5 meter ....... 59
Gambar 28. Lokasi pemasangan HOBO (a),pemasangan HOBO (b), kondisi HOBO
selama satu tahun (c) dan Pengambilan HOBO (d) ..................................................... 60
Gambar 29. Grafik suhu selama 1 tahun (feb 2012 – mei 2013) di Pulau Derawan dan
Pulau Maratua ............................................................................................................................ 61
Gambar 30. Hasil pengukuran tinggi muka laut di Kepulauan Derawan .................................. 62
Gambar 31. Skematis cara menentukan pengukuran DBH pohon mangrove ........................... 64
Gambar 32. Tempat pengambilan sampel biomass (a), lamun utuh (b), lamun bagian
atas/daun (c), lamun bagian bawah/akar dan rhizoma (d) ....................................... 66
Gambar 33. Pengambilan sampel sedimen lamun (a) dan mangrove (b) ................................. 68
Gambar 34. Carbon pool pada ekosistem mangrove ......................................................................... 75
Gambar 35. Zonasi Nypa fruticans di delta Berau, Badak-Badak, Kepulauan Derawan
survei 2014 ................................................................................................................................... 77
Gambar 36. Pengukuran mangrove di Kepulauan Derawan tahun 2013 .................................... 78
14
Gambar 37. Jenis mangrove yang terdapat di Kep. Derawan, Rhizophora mucronata
(a), Rhizophora stylosa (b), Sonneratia alba (c) .............................................................. 78
Gambar 38. Peta sebaran mangrove dan total biomassa mangrove (ton/ha) di pesisir
Tanjung Bohei sampai Tanjung Batu, Kabupaten Berau ............................................ 79
Gambar 39. Karbon stok biomassa di ekosistem mangrove Kepulauan Derawan,
Kabupaten Berau ...................................................................................................................... 80
Gambar 40. Peta sebaran mangrove dan total biomassa mangrove (ton/ha) di Pulau
Panjang, Pulau Semama, Pulau Maratua dan Badak-Badak, Kabupaten
Berau (Kalimantan Timur) ...................................................................................................... 81
Gambar 41. Karbon stok sedimen di ekosistem mangrove Kepulauan Derawan,
Kabupaten Berau ....................................................................................................................... 82
Gambar 42. Profil karbon sedimen (tonC/ha) stasiun Delta Berau, Badak-Badak,
Kepulauan Derawan 2014 ...................................................................................................... 84
Gambar 43. Sebaran ekosistem mangrove di Kepulauan Derawan ............................................... 88
Gambar 44. Carbon pool pada ekosistem lamun ............................................................................... 94
Gambar 45. Lamun jenis Halophila (a), lamun jenis Thalassia hemprichii (b) ............................ 97
Gambar 46. Lamun di Pulau Panjang (a), spot lamun di Pulau Semama (b) ............................. 98
Gambar 47. Berat biomassa total lamun di Kepulauan Derawan ................................................. 100
Gambar 48. Peta sebaran lamun dan total biomassa lamun (gbk/m2) di Pulau
Panjang, Pulau Semama, Pulau Derawan, Gusung Kulimis, Pulau Sangalaki
dan Pulau Maratua, Kabupaten Berau (Kalimantan Timur) .................................... 102
Gambar 49. Karbon stok sedimen ekosistem lamun ......................................................................... 104
15
Gambar 50. Profil total karbon stok di sedimen Pulau Sangalaki ................................................. 104
Gambar 51. Karbon stok ekosistem lamun Kepulauan Derawan ............................................... 105
16
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Persamaan alometrik untuk menghitung biomass mangrove ............................................ 70
Tabel 2. Jenis mangrove yang ditemukan di Kepulauan Derawan ..................................................... 76
Tabel 3. Luasan area mangrove di kecamatan Pulau Derawan dan Maratua ................................ 87
Tabel 4. Perbandingan luasan area mangrove hasil data citra tahun 2000 dan 2014 ................ 89
Tabel 5. Jenis lamun yang ditemukan, tahun 2012, tahun 2013 dan bulan September 2014
di Kepulauan Derawan ......................................................................................................................... 96
Tabel 6. Komposisi jenis lamun di Kepulauan Derawan, Mei 2012 dan Mei 2013 ....................... 99
17
DAFTAR ISTILAH
Alometrik : Suatu persamaan matematika yang menunjukkan hubungan antara
bagian tertentu dari makhluk hidup dengan bagian lain atau fungsi
tertentu dari makhluk hidup tersebut. Persamaan tersebut
digunakan untuk menduga parameter tertentu dengan
menggunakan parameter lainnya yang lebih mudah diukur.
Arlindo : Arus Lintas Indonesia atau Indonesian Trough Flow (ITF) adalah suatu
sistem arus yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia sekitar 75 % melalui Selat Makassar.
Biomassa : Total berat / massa atau volume organisme dalam area atau volume
tertentu (IPCC glosarry).
Total berat kering dari seluruh makhluk hidup yang dapat didukung
pada masing-masing tingkat rantai makanan (EPA glosarry).
Keseluruhan materi yang berasal dari makhluk hidup, termasuk
bahan organik baik yang hidup maupun yang mati, baik yang ada di
atas permukaan tanah maupun yang ada di bawah permukaan
tanah, misalnya pohon, hasil panen, rumput, serasah, akar, hewan
dan sisa/kotoran hewan (EPA glosarry).
Blue Carbon : Adalah karbon yang disimpan dalam ekosistem pesisir dan laut
dengan mekanisme proses fotosintesis oleh biota autotrofik
(mangrove, lamun, fitoplankton dan alga) dapat tersimpan dalam
biomasa dan sedimen.
18
.
CO2 : Senyawa kimia anorganik dapat dalam bentuk gas di atmosfer,
gas terlarut di air.
Carbon pool : Kantong karbon atau carbon pool yaitu tempat atau bagian dari
ekosistem pesisir yang menjadi tempat karbon tersimpan.
CDM : Clean Development Mechanism, salah satu mekanisme yang
telah di disepakati secara Internasional (Protokol Kyoto) dalam
upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
CTI : Coral Triangle Initiative atau Inisiatif Segitiga Terumbu Karang
yang beranggotakan 6 (enam) negara, seperti Indonesia,
Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor
Leste. DBH : Diameter Breast Height, diameter setinggi dada atau kurang
lebih 1,3 m dari permukaan tanah. Metode mengukur pohon
dalam penelitian ekologi hutan, penelitian biomassa atau
pendataan potensi hutan.
DNPI : Dewan Nasional Perubahan Iklim.
GRK : Gas rumah kaca.
Gt C (Giga Ton Karbon) : Merupakan satuan berat (dalam tulisan ini adalah karbon) setara
dengan Penta atau 1015 gram satuan berat lainnya sebagai
berikut :
Kilo103 gram
Mega (ton) 106 gram
Giga109 gram
19
Tera 1012 gram
Penta 1015 gram
Exa 1018 gram
Zetta 1021 gram
Yotta1024 gram
IPCC : Intergovermental Panel on Climate Change.
Karbon : Unsur kimia yang dengan simbol C dan nomor atom 6.
REDD+ : Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus. Yaitu
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan plus melalui
peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan
peningkatan cadangan karbon hutan.
Sampel : Cuplikan, contoh. Bagian dari obyek penelitian yang diukur atau
diambil untuk analisis.
Siklus Karbon : Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan perubahan karbon
(dalam berbagai bentuk) di atmosfer, laut biosfer terrestrial dan
deposit geologis.
20
PENDAHULUAN
Perubahan iklim yang terjadi saat ini dapat dibuktikan antara lain meningkatnya suhu
global sekitar 0,8°C selama abad terakhir dengan 3 dekade terakhir berturut-turut suhu lebih
tinggi dari dekade sebelumnya. Konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) meningkat 40 %
dibandingkan era pra industri. Naiknya muka air laut global sebesar 20 cm yang dimulai
sejak awal abad yang lalu dan terus mengalami percepatan, yang diikuti dengan perubahan
curah hujan dan terjadinya beberapa iklim ekstrem di berbagai belahan dunia (DNPI, 2014).
Tingginya gas CO2 di atmosfer merupakan salah satu penyebab perubahan iklim. Hal
ini sebenarnya dapat dihindari karena bumi memiliki penyimpan karbon alami antara lain
melalui hutan-hutan di daratan, yang melalui mekanisme fotosintesis akan tersimpan dalam
biomassa dan sedimen yang dikenal dengan karbon hijau. Namun perubahan iklim yang
terjadi hampir 95 % diakibatkan manusia, terutama dengan adanya alih fungsi lahan seperti
penggundulan hutan di daratan dan pemakaian bahan bakar fosil (DNPI, 2014).
Ada beberapa jenis karbon yaitu karbon coklat dan karbon hitam yang dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar fosil. Karbon coklat berupa gas-gas GRK (gas rumah kaca) seperti
CO2 dan karbon hitam berupa partikel-partikel abu. Karbon hijau merupakan representasi
dari keberadaan ekosistem alami yang mampu menyerap, mengikat, dan menyimpan karbon
21
melalui proses fotosintesis, dalam hal ini adalah ekosistem hutan di daratan. Konsep yang
sama diterapkan pada ekosistem pesisir dan laut yang dikenal dengan karbon biru. Baik
karbon hijau maupun karbon biru yang mampu menyerap dan menyimpan CO2 dalam
jangka waktu tertentu (beberapa dekade atau abad) pada suatu wadah atau sistem tandon
(reservoir/pool), baik secara alami maupun buatan disebut sebagai penyimpan karbon
(carbon sequestration) (Trumper et al., 2009).
Karbon hijau saat ini sudah diaplilkasikan dalam mekanisme pengurangan emisi GRK
yang dikenal dengan mekanisme REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and
Degradation Plus) dengan mengacu pada metode yang disusun oleh Intergovermental Panel
Climate ChangeGuide Line (IPCC GL) tahun 2006. Pengurangan GRK dengan mekanisme
REDD+ belum memperhitungkan keberadaan pesisir dan laut.
Diketahui bahwa bumi hampir 70 % berupa lautan yang mampu menyerap, mengikat
dan menyimpan karbon melalui mekanisme fotosintesis dengan carbon pool yang sangat
luas dibandingkan daratan. Sehingga karbon biru berpotensi lebih besar menyimpan karbon
dibandingkan dengan karbon hijau di daratan yang luas daratan lebih kecil dan alih fungsi
lahan yang tinggi. Luasnya lautan menyebabkan kemampuan karbon yang tersimpan juga
makin besar. Selain itu laut yang merupakan 70 % dari luas bumi mampu menyimpan karbon
terutama di Southern Ocean sebesar 1,6 Gt C per tahun (IPCC, 2007), namun perhitungan
karbon yang tersimpan belum memperhitungkan ekosistem pesisir. Karbon biru yang
berbasis di daerah pesisir seperti mangrove dan lamun berperan besar dalam menyimpan
karbon. Diketahui ekosistem pesisir mampu menyimpan karbon sebesar 0,22 – 1 Gt C per
tahunnya (Borges, 2011).
22
a
b
Perairan pesisir mewakili sekitar 8 % dari perairan laut secara global, menghasilkan 25
% produktivitas primer lautan yang membutuhkan karbon dioksida dalam fotosintesisnya
(Ribas-Ribas et al. 2011). Bouilon dan Connolly (2009) menyatakan bahwa perairan pesisir
daerah tropis merupakan bagian penting dalam siklus karbon global karena tingginya
produktivitas yang terjadi baik dari sungai maupun ekosistem mangrove, lamun dan
terumbu karang.
Perairan Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki daerah pesisir yang
sangat luas sehingga peranan ekosistem pesisir dalam menyimpan karbon juga besar. Hal
ini diperkuat bahwa Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia sebesar 3,1 juta
ha yang merupakan 22,6% total mangrove dunia (Giri et al., 2011).
Gambar 1. Luas mangrove diberbagai negara di dunia (a) (Sumber: Giri et al., 2011) dan mangrove di
Tanjung Batu Kabupaten Berau, Kalimantan Timur (b) (Sumber: Keltibang Karbon Biru
tahun 2013)
23
Ekosistem lamun di Indonesia seluas 3 juta ha merupakan urutan ke dua terluas di
dunia (18%) setelah Australia (Kuriandewa et al., 2003). Untuk wilayah Coral Triangle Initiative
(CTI) luas ekosistem lamun Indonesia merupakan yang terluas dari 6 negara anggota CTI.
Oleh karena itu mempelajari dan mengetahui karbon biru di perairan Indonesia sangat
penting selain sebagai upaya mitigasi perubahan iklim juga menjaga fungsi ekologis pesisir
untuk keberadaan biodiversitas ekosistem perairan laut dan perikanan.
Gambar 2. Luas lamun di empat wilayah di dunia yang yang mempunyai luasan diatas 10 % dari
total lamun dunia (a) (Sumber: Spalding et al, 2003). Padang lamun Halodule uninervis
yang masih muda di Pulau Sangalaki 2014 (b)
Gambar 1 dan 2 menjelaskan luasnya ekosistem mangrove dan lamun yang dimiliki
Indonesia sehingga kemampuan potensial dalam mengurangi gas CO2 di atmosfer dan di
laut untuk disimpan dalam biomass dan sedimen sangat besar. Tanaman mangrove yang
berukuran besar di pesisir dan padang lamun yang luas perlu dipertahankan selain untuk
b
a
24
mitigasi perubahan iklim juga untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan dan
biodiversitas perairan pesisir dan laut.
Kepulauan Derawan merupakan sekumpulan pulau-pulau kecil di Kabupaten Berau.
Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah
penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai
dengan Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 ,
dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Di samping kriteria utama
tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau
induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau
induk, sehingga bersifat insular, mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan
keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi, tidak mampu mempengaruhi hidroklimat,
memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran
air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya
masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya
(Retraubun, 2001).
Definisi pulau-pulau kecil menurut UNCLOS (1982, Bab 121, Artikel VIII, paragraph I)
adalah area lahan (daratan) yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air yang berada di
atas muka air pada pasang tinggi (tidak boleh tenggelam, jika air pasang tinggi) dengan
luas 10.000 km2. Definisi pulau kecil berdasarkan UU no 27 tahun 2007, tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, adalah pulau dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya.
25
KARAKTERISTIK UNIK KEPULAUAN DERAWAN
Gambar 3. Peta Kepulauan Derawan
Kepulauan Derawan terdiri atas Kecamatan Pulau Derawan, Kecamatan Biduk-Biduk
dan Kecamatan Maratua. Secara geografis, Kepulauan Derawan terletak di semenanjung
26
utara perairan laut Kabupaten Berau, yang terdiri dari beberapa pulau yaitu Pulau Panjang,
Pulau Raburabu, Pulau Semama, Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, dan Pulau Maratua, serta
beberapa gosong karang seperti gosong Muaras, Pinaka, Buliulin, Masimbung, dan
Tababinga. Pada Kepulauan Derawan juga terdapat pulau – pulau kecil yang jumlahnya
sebanyak 31 pulau. Di Kepulauan Derawan terdapat beberapa ekosistem pesisir dan pulau
kecil yang sangat penting yaitu terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Selain
itu, banyak spesies yang dilindungi berada di Kepulauan Derawan seperti penyu hijau, penyu
sisik, paus, lumba-lumba, kima, ketam kelapa, duyung, dan beberapa spesies lainnya
(Wiryawan et al., 2004).
Kepulauan Derawan terbentuk akibat proses geologi sehingga di beberapa pulau
terdapat batuan kapur di dataran tinggi. Pembentukan Cekungan Tarakan (The Tarakan
Basin) diduga didahului dengan pembentukan Laut Sulawesi dengan pemisahan Sulawesi
dari Kalimantan pada pertengahan sampai akhir jaman Eosen (Hamilton, 1979). Kondisi iklim
di Kepulauan Derawan terdiri atas musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan
berlangsung bulan Oktober hingga Mei dengan hari hujan rata-rata 15 sampai 20 hari
perbulan dan curah hujan terbesar terjadi pada akhir atau awal musim hujan. Musim
kemarau berlangsung dari bulan Juli hingga September dengan curah hujan terendah pada
bulan Juli. Suhu udara rata-rata berkisar antara 24,8oC – 27,9oC.
Kecamatan Maratua berbatasan dengan Laut Philipina di sebelah Utara, laut Sulawesi di
sebelah Timur, Kecamatan Batu Putih di sebelah Selatan dan kecamatan Pulau Derawan di
sebelah Barat. Luas wilayah 4.119,54 Km2 dimana sebagian besar wilayahnya berupa perairan
seluas 3.735,18 Km2 sedangkan daratan seluas 384,36 Km2 (BPS, 2015a). Kecamatan Pulau
27
Derawan berbatasan dengan Kabupaten Bulungan di sebelah Utara, Kecamatan Sambaliung
di sebelah Timur, Laut Sulawesi di sebelah Selatan dan Kecamatan Sambaliung di sebelah
Barat. Kecamatan Pulau Derawan memiliki luas wilayah sebesar 3.858,96 Km2 (BPS, 2015b).
Kondisi air tawar/air tanah di Kepulauan Derawan hanya dijumpai pada Pulau Derawan
dan Pulau Maratua pada kedalaman muka air tanah sekitar 1,8 – 2,3 m. Kualitas air tanah
cukup baik jika tidak dipakai berlebihan dengan kuantitatif relatif konstan.
Selain itu Kepulauan Derawan terletak di jalur lintasan Arus Lintas Indonesia (Arlindo)
atau Indonesian Trough Flow (ITF), dimana hampir 75 % perpindahan massa air Samudera
Pasifik ke Samudera Hindia melalui kanal labani dan Selat Makassar (Kamri, 2005) (Gambar
4). Fakta ini menjadikan daerah ini sebagai salah satu daerah potensial untuk pengukuran
arus laut bagi pemahaman klimatologi global. Biodiversitas yang terbawa dalam massa air
Samudera Pasifik akan melewati Kepulauan Derawan yang dapat menambah tinggi
biodiversitas.
28
Gambar 4. Arus lintas Indonesia atau yang dikenal dengan Arlindo
Hal ini diperkuat bahwa Kepulauan Derawan berada di daerah CTI, yang diketahui
memiliki biodiversitas karang dan ikan karang yang sangat tinggi (Gambar 5). Keberadaan
rata-rata terumbu karang yang terbentuk di perairan Selat Makassar/Laut Sulawesi sebanyak
532,7 spesies yang terpusat di Kepulauan Derawan (TNC, 2008). Biodiversitas ikan karang
sebanyak 1717 jenis yang merupakan 28,6 % jenis ikan di dunia (TNC, 2008).
29
Gambar 5. Luasan terumbu karang yang terdapat di kawasan CTI (a), Biodiversitas ikan karang di
daerah CTI lebih dari 85 % dari biodiversitas ikan karang wilayah Indo Pacific ditemukan
(b). (TNC, 2008)
a
b
30
Tingginya biodiversitas ikan serta produksi yang dihasilkan ditunjukkan dengan
banyaknya bagan penangkapan ikan di perairan dekat pesisir Kepulauan Derawan (Gambar
6). Perairan Selat Makassar terutama Kabupaten Berau mempnyai produktivitas perikanan
laut yang tinggi ditunjukkan dengan produksi ikan yang terus meningkat sejak tahun 2006
(Kab. Berau 2013).
Gambar 6. Bagan di depan Pulau Derawan menuju daratan kalimantan (a), produksi ikan laut di
Kabupaten Berau (b) (sumber : Kab Berau, 2013)
Keberadaan Kepulauan Derawan dengan biodiversitas ekosistem terumbu karang
yang tinggi menjadikan daerah ini merupakan salah satu tujuan wisata utama. Beberapa spot
penyelaman dan keunikan pulaunya menjadi salah satu tujuan wisatawan. Seperti Raja
Ampat di Papua, Kepulauan Derawan juga memilki pulau-pulau yang menjadi daerah tujuan
wisata maupun cagar alam dan suaka margasatwa laut, seperti Pulau Sangalaki, Pulau
Kakaban, Pulau Maratua, Pulau Panjang dan Pulau Semama.
a b
31
a b
c
Pulau Sangalaki
Pulau Sangalaki memiliki satuan morfologi dataran pantai yang datar, dengan lagoon
dangkal berdasar pasir yang terdapat karang dan lamun. Pantai pasir memiliki lebar 12-15 m
memiliki kelerengan antara 6-11 ⁰ dengan material penyusun pantai berupa fragmen karang
dan pasir kasar (Wiryawan et al., 2004) (Gambar 7).
Gambar 7. Ekosistem terumbu karang dan lamun pada saat pasang menuju surut (a), Pulau Sangalaki
yang merupakan Taman Wisata Alam Laut (b,c) (Sumber: foto penelitian 2014)
32
Pulau Sangalaki merupakan taman wisata alam laut di Kepulauan Derawan yang
menjadi salah satu lokasi tempat bertelur penyu. Di lokasi ini juga terdapat penangkaran
tukik (anak penyu) sebelum di lepas ke laut (Gambar 9). Kekayaan alam yang tinggi di Pulau
Sangalaki juga merupakan area tempat mencari makan anak ikan hiu sampai ke bagian
pesisir Pulau Sangalaki ketika pasang. Selain itu perairan dekat Pulau Sangalaki merupakan
lokasi perlintasan ikan Pari Manta yang menjadi spot penyelaman tujuan para wisatawan
(Gambar 8).
Gambar 8. Spot penyelaman ikan Pari Manta di Pulau Sangalaki (a) dan Parade ikan Pari Di
Pulau Sangalaki (b) (Sumber: foto penelitian 2014)
a b
33
Gambar 9. Keindahan Pulau Sangalaki (a), kerang kima yang bersimbiosis dengan karang
(b) dan aktivitas penangkaran penyu (c) (Sumber: foto penelitian 2014)
Pulau Kakaban
Salah satu destinasi internasional yang terkenal di Kepulauan Derawaan karena
keunikannya adalah Pulau Kakaban. Pulau Kakaban terbentuk dari sebuah atol yang
mengalami pengangkatan jutaan tahun yang lalu sehingga laguna yang ada terkurung atol
menjadi danau. Terbentuknya Danau Kakaban yang mengisolasi biota laut yang berada di
dalamnya menyebabkan biota laut tersebut mengalami evolusi untuk beradaptasi. Sifat biota
yang biasa hidup di laut yang terbuka berubah seperti yang terjadi pada ubur-ubur. Ubur-
a
b c
34
d
b
a
e
c
ubur di laut umumnya bersifat menyengat dan karnivora tapi di Danau Kakaban menjadi
tidak menyengat dan melakukan simbiosis dengan algae dalam mendapatkan makanannya.
Keindahan Pulau dan Danau Kakaban dengan tanaman bakau dan pantai yang
mengelilinginya menjadikan pulau ini sebagai tujuan wisata mancanegara terutama ubur-
ubur di Danau Kakaban (Gambar 10).
Gambar 10. Keindahan dan keunikan Pulau Kakaban dan Danau Kakaban (a-c) dan
ubur-ubur epidemic yang hidup di Danau Kakaban (d-e) (Sumber: Foto
penelitian 2012 sampai dengan 2014)
35
Pulau Panjang
Pulau Panjang merupakan pulau koral dengan solum tanah yang cukup tebal berkisar
2,5 m yang sebagian telah mengalami kelapukan. Hasil pelapukan ini merupakan sumber
mineral untuk mendukung berkembangnya tanaman mangrove. Mangrove yang terdapat di
pantai mengelilingi pulau ini tumbuh di substrat karang mati yang sudah lapuk dan
terperangkap sedimen yang berukuran lebih halus seperti pasir (Wiryawan et al., 2004)
(Gambar 11).
Gambar 11. Ekosistem mangrove di Pulau Panjang (a-d) (Sumber: Foto penelitian 2014)
a b
c d
36
Gambar 11 merupakan salah satu stasiun yang ada di Pulau Panjang, mangrove
tumbuh subur dan berukuran besar. Substrat tempat tumbuhnya mangrove berasal dari
karang dan kedalaman sedimen yang terambil umumnya pendek, yaitu pada kedalaman 30
cm, 35 cm dan 85 cm. Keberadaan seluruh tanaman di Pulau Panjang berdasarkan data citra
adalah mangrove. Mangrove yang tumbuh sudah berumur tua dan umumnya mati karena
sudah tua.
Pulau Semama
Pulau Semama memiliki morfologi dataran pantai dengan topografi datar, kelerengan
5 – 10 ⁰ dan lebar pantai 8,5 – 10 m. Material penyusun pantai adalah fragmen karang
dengan pasir sangat kasar. Pantai pasir berasosiasi dengan hutan mangrove yang tidak tebal.
Pulau semama juga merupakan pulau kawasan suaka margasatwa yang dikelola Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
37
a b a b
Gambar 12. Pulau Semama sebagai kawasan suaka margasatwa (a) dan Ekosistem mangrove
di depan Pulau Semama pada saat pasang (b) (Sumber: Foto penelitian 2014)
Pulau Maratua
Pulau Maratua memiliki dua satuan morfologi yaitu dataran pantai dan perbukitan
rendah sampai tinggi. Dataran pantai memiliki topografi datar sampai bergelombang.
Terdapat dua tipe pantai yaitu pantai berpasir dan pantai terjal (Wiryawan et al., 2004). Pulau
Maratua merupakan pulau karang yang berbentuk atol memilki laguna yang sangat luas
(Gambar 13). Perairan di sekitar Pulau Maratua merupakan salah satu spot penyelaman
barakuda dan keindahan terumbu karang dengan penyu dan beraneka ikan yang
bergerombol.
38
b
a
Gambar 13. Pulau Maratua (a) dan Ekosistem mangrove di Pulau Maratua, Kepulauan
Derawan 2014 (b)
39
Selain keindahan panorama dan ekosistem bawah laut, daratan Pulau Maratua
memilki keindahan dan keunikan tersendiri. Pulau yang terbentuk dari karang yang terangkat
membentuk daratan yang memiliki gua yang sangat indah dan berhubungan dengan laut
yaitu gua Sembat yang dijadikan sebagai salah satu spot penyelaman melalui gua tersebut
(Gambar 14c ).
Gambar 14. Keindahan Pulau Maratua (a), Ikan yang bergerombol (b), Keindahan gua Sembat (c) dan
penyu di Pulau Maratua (d) (Sumber: foto penelitian 2014)
a
b c d
40
KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN KEPULAUAN DERAWAN
Pengukuran kondisi perairan Kepulauan Derawan meliputi pengukuran secara in situ
dan multi waktu. Pengukuran secara in situ berdasarkan peralatan multiparameter dan
pengambilan sampel air. Pengukuran secara multi waktu dengan meliputi parameter suhu air
dan suhu udara serta water level dengan alat yang di pasang di Pulau Maratua dan Pulau
Derawan.
Penelitian yang dilakukan di Kepulauan Derwan dimulai sejak tahun 2012 yang
merupakan kerjasama dengan First Institute Oceanography (FIO) China. Penelitian yang
dilakukan merupakan multidisiplin yang tidak hanya mengenai karbon biru (mangrove dan
padang lamun) tetapi juga dari sisi oseanografi dan kualitas perairan.
41
Gambar 15. Stasiun pengamatan kualitas air di Kepulauan Derawan survei 2012
Penelitian tahun 2012 dilakukan pada 44 stasiun pengamatan yang terbentang di
perairan antara daratan Kalimantan timur sampai ke Pulau Maratua (Gambar 15). Selain
pengukuran kualitas perairan, dilakukan juga pengukuran kondisi atmosfer pada saat yang
bersamaan dengan menggunakan Automatic Weather System (AWS) dan kecepatan angin
dengan anemometer.
Tahun 2014 dilakukan pengukuran di delta Berau dan di pesisir yang terdapat
ekosistem mangrove atau lamun untuk melengkapi pengukuran kualitas perairan tahun
2012.
42
Gambar 16. Aktivitas pengukuran in situ yang dilakukan di atas kapal survei tahun 2012
Aktivitas pengukuran yang dilakukan meliputi pengukuran secara in situ baik di air maupun
udara dan pengambilan sampel yang akan dianalisis di laboratorium. Selain itu dilakukan
pengukuran secara multi waktu suhu perairan dan udara.
Pengukuran karbon di perairan
Pengukuran CO2 dilakukan dengan pengukuran besaran konsentrasi CO2 di perairan
dan pengukuran tekanan pasial perbedaan gas CO2. Pengukuran dilakukan secara insitu
43
dengan alat pCO2 analyzer. Hasil menunjukkan CO2 di perairan sebesar 335 – 458 ppm
dengan rata-rata sebesar 388,54 ppm. Distribusi CO2 di Kepulauan Derawan menunjukkan
konsentrasi tertinggi berada di perairan laut sedangkan perairan pesisir menunjukkan kisaran
yang rendah. Pada umumnya konsentrasi CO2 di perairan pesisir lebih tinggi daripada di
perairan laut. Kondisi ini menunjukkan adanya fenomena di perairan Kepulauan Derawan
tersebut.
Gambar 17. Grafik konsentrasi CO2 (a), distribusi spasial PCO2 (tekanan parsial CO2) di perairan
Kepulauan Derawan tahun 2012 (b)
Nutrien
Analisa nutrien berupa nitrit, nitrat, fosfat, amonia dan silikat dilakukan pada perairan
pesisir dan laut (Gambar 18). Hal ini penting dilakukan untuk mengetahui karakteristik
perairan serta hubungan antara nutrien dengan biomassa dan karbon.
a b
44
Distribusi homogen nitrit berkisar antara 0,09 – 1,73 µg/l. Nilai terendah terdapat di
perairan laut sedangkan nilai tertinggi berada di ekosistem lamun, Pulau Semama. Distribusi
horizontal nitrit adalah semakin tinggi menuju ke arah pantai dan muara sungai. Umumnya,
nitrit di permukaan rendah karena proses oksidasi nitrit menjadi nitrat.
Sebaran nitrat meningkat ke arah pulau dengan nilai tertinggi 8,01 µg/l pada perairan
laut mendekati Pulau Maratua sedangkan kisaran terendah 0,03 µg/l juga berada di perairan
laut.
Konsentrasi fosfat berkisar antara 0,12 – 1,03 µg/l. Kandungan fosfat terlihat semakin
meningkat menuju perairan pesisir, seperti pada perairan pesisir Pulau Maratua, Pulau
Panjang dan Pulau Derawan. Tingginya fosfat di daerah tersebut karena merupakan
karakteristik dari perairan itu sendiri dan pengaruh dari faktor lingkungan lainnya seperti
masukkan dari daratan. Pulau Maratua dan Pulau Panjang memiliki nilai biomassa dan
karbon mangrove serta lamun yang relatif tinggi sehingga diduga adanya penguraian
serasah vegetasi oleh bakteri sehingga menjadi zat hara fosfat dan nitrat. Fosfat merupakan
unsur penting dalam daur organik suatu perairan karena bersama dengan karbon melalui
proses fotosintesis membentuk jaringan tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan bagi
hewan serta menghasilkan zat organik jika organisme tersebut mengalami kematian.
(Romimohtarto dan Juwana, 2001).
45
Gambar 18. Distribusi nutrien pada lapisan permukaan di perairan pesisir dan laut Kepulauan
Derawan pengukuran tahun 2012
46
Distribusi amonia terlihat meningkat ke arah pantai dan muara sungai. Kadar amonia berkisar
antara 0,63 – 168,33 µg/l. Nilai terendah berada di ekosistem mangrove di Pulau Maratua
sedangkan kadar tertinggi berada di perairan laut. Pada ekosistem pesisir lainnya juga
ditemukan beberapa nilai kandungan amonia yang tinggi seperti di ekosistem mangrove di
Pulau Panjang dan ekosistem lamun di Pulau Panjang, Pulau Semama dan Pulau Maratua.
Distribusi silikat menunjukkan semakin meningkat ke arah pesisir dan muara sungai.
Nilai tertinggi dekat dengan ekosistem lamun di Pulau Derawan. Konsentrasi silikat di
perairan laut berkisar antara 0,49 – 44,38 µg/l.
Kesuburan Perairan (Fv/Fm, Production Rate, Klorofil)
Produktivitas primer sebagai laju fotosintesis berhubungan dengan kelimpahan
sumberdaya perairan dinyatakan sebagai jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam satu
meter kuadrat kolom air perhari (g C/m2/hari) atau jumlah gram karbon yang dihasilkan
dalam satu meter kubik perhari (g C/m3/hari) (Levinton, 1982). Faktor cahaya, nutrien, suhu
dan salinitas mempengaruhi produktivitas dalam perairan (Tomascik et al, 1997; Afdal dan
Riyono, 2004).
Fv/Fm atau Photosynthetic Efficiency/efisiensi maksimum fotosintesis merupakan
parameter atau indikator untuk mengetahui fisiologi fitoplankton. Rata-rata konsentrasi nilai
Fv/Fm adalah 0,34 dengan kisaran antara 0,04 – 0,63.
47
Photosyntetic rate adalah nilai relative electron transport rate (ETR) memiliki kisaran
antara 2,10 – 914,50 dengan nilai rata-rata sebesar 104,57. Tingginya kisaran tersebut
mengindikasikan produktivitas primer yang tinggi.
Gambar 19. Distribusi Fv/Fm dan Photosyntetic Rate
Hasil pengukuran klorofil menunjukkan kisaran sebesar 2,32 – 20,07 µg/l dengan nilai
rata-rata sebesar 4,72 µg/l. Kisaran tertinggi berada di ekosistem lamun di Pulau Semama.
Distribusi klorofil terlihat meningkat ke arah pesisir.
48
Gambar 20. Distribusi klorofil di perairan Kepulauan Derawan
Estimasi klorofil-a digunakan untuk menduga biomassa fitoplankton, karena
merupakan salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi tumbuhan yang ada di
perairan khususnya fitoplankton. Konsentrasi klorofil yang merupakan pigmen-pigmen
fotosintesis fitoplankton dianggap sebagai indeks dari produktivitas biologi. Hubungan
positif antara kelimpahan fitoplankton dengan kesuburan perairan yaitu jika kelimpahan
fitoplankton di perairan tnggi maka perairan tersebut cenderung mempunyai produktivitas
primer yang tinggi pula (Nontji, 1984).
49
Kualitas Perairan
Hasil pengukuran suhu secara vertical pada 40 stasiun pengamatan CTD menunjukkan
adanya penurunan suhu terhadap kedalaman. Kondisi isoterm (suhu mendekati konstant) di
daerah mixed layer mengalami perubahan cepat di sekitar kedalaman 3-4 meter. Hasil
pengukuran salinitas terhadap kedalaman di permukaan laut pada umumnya mempunyai
salinitas rendah untuk semua stasiun.
Pola sebaran suhu permukaan mengindikasikan suhu permukaan laut tinggi di 3 titik yaitu
koordinat 2.40 N, 118,1-118.2 E; 118.50 – 118.60 E dan 2.20 – 2.30 N. Suhu permukaan relatif
lebih rendah di selatan stasiun pengamatan.
Kondisi salinitas permukaan relatif hampir sama di stasiun bagian tengah lokasi
pengamatan sekitar 31 PSU. Sebaran salinitas rendah yaitu berkisar 29 PSU terlihat di bagian
barat Pulau Panjang dan Pulau Derawan, sedangkan sebaran salinitas tinggi sekitar 31.5 PSU
terlihat di barat Pulau Maratua.
51
Pola sebaran DO terlihat homogen. Konsentrasi tinggi terlihat di sebelah barat dan utara
Pulau Panjang dan Pulau Derawan, dan sebaran DO berkonsentrasi relatif rendah
ditunjukkan dengan nilai sekitar 3,8 yaitu di sebelah barat Pulau Maratua.
Sebaran pH relatif berkombinasi di bagian tengah lokasi pengamatan. Pulau Panjang
bagian utara dan sebelah barat Pulau Maratua memiliki nilai yang relatif tinggi sekitar 8,1.
Sebaran pH terendah di selatan Pulau Derawan sekitar 7,95.
Pola sebaran turbiditas di daerah Kepulauan Derawan di lapisan permukaan laut
memperlihatkan turbiditas yang sangat minim, namun ada indikasi turbiditas tinggi di
beberapa stasiun pengamatan antara Pulau Kakaban dan Pulau Maratua
53
Kadar Particulate Organic Nitrogen memiliki kisaran 0,07 – 0,35 µg PON /l kisaran
terendah berada di perairan laut bagian utara, kemudian kisarannya semakin meningkat ke
arah pesisir. Particulate Organic Carbon sebesar 0,08 – 0,78 µg POC /l, menunjukkan kondisi
sebaliknya yaitu memiliki kisaran yang tinggi di perairan laut dan semakin rendah ke arah
perairan pesisir.
Gambar 23. Distribusi Particulate Organic Nitrogen dan Particulate Organic Carbon
54
Iklim dan Cuaca
Curah hujan yang cukup tinggi terjadi hampir setiap bulan di sepanjang tahun
pengamatan. Nilai minimum sebesar 70,7 mm sedangkan maksimum sebesar 469,2 mm.
Kelembaban udara bulanan minimum sebesar 83% sedangkan maksimum 91% dan
Kecepatan angin bulanan di daerah Tanjung Redep berkisar 3-9 m/s. Angin baratan
mendominasi daerah tersebut. Hal ini terkait dengan musim transisi I, dimana berlangsung
perbalikan arah angin monsun. Kecepatan angin rata-rata pada saat survei berkisar 2 m/s.
Saat berlangsung survei, terlihat curah hujan sangat rendah hingga tidak terjadi hujan.
Kelembaban rata-rata harian mencapai 80-90%. Suhu udara di daerah Tanjung Redep pada
tanggal 25 Mei 2012 merupakan suhu minimum dalam bulan tersebut sebesar 25,80C. Pada
tanggal 28 Mei 2012 suhu udara mencapai maksimum sebesar 28,70C.
55
Gambar 24. Grafik curah hujan (a), hari hujan (b), kelembaban udara (c) dan kecepatan angin (d) bulanan di Tanjung Redep Tahun 2010-2012 (Ratnawati et al, 2015)
a
d c
b
56
Gambar 25. Grafik kecepatan angin (a), curah hujan (b), kelembaban (c), penyinaran matahari (d) dan
suhu (e) harian di Tanjung Redep Tahun 2010-2012 (Ratnawati et al, 2015)
57
Pengukuran parameter cuaca secara in situ menggunakan Automatic Weather Station
(AWS) yang dipasang pada 4-5 m di atas permukaan laut. Kecepatan angin rata-rata setiap
stasiun terlihat maksimum pada stasiun B5 mencapai 9,8 m/s. Kecepatan angin rata-rata
terlihat minimum sebesar 1,6 m/s pada stasiun E6.
Suhu udara rata-rata per stasiun pengamatan mengalami penurunan pada stasiun F3,
E3, D3 dan C3. Pada lokasi ini suhu udara rata-rata berkisar 28,3 – 28,8 0C. Suhu meningkat
hingga nilai maksimum pada stasiun C2,D2, E2 dan F2, berkisar 42-430C. Gambar 30
memperlihatkan plot kelembaban udara rata-rata di setiap stasiun. Kelembaban udara
tertinggi mencapai 65,5% di stasiun B4, sedangkan kelembaban minimum terlihat pada
stasiun F2 sebesar 49%. Hasil pengukuran anemometer untuk kecepatan angin dan suhu
udara yang dipasang pada ketinggian 3m diatas permukaan laut terlihat pada Gambar 25.
58
Gambar 26. Plot Stasiun, angin dan jalur layar penelitian serta grafik rata-rata kecepatan angin, suhu
dan kelembaban udara pada ketinggian 4-5 meter (Ratnawati et al, 2015)
59
Kecepatan angin memiliki pola yang hampir serupa dengan data pengukuran dari
AWS. Pada stasiun B6,C6, C5 dan D4 terlihat meningkat hingga mencapai maksimum untuk
kecepatan anginnya, berkisar 5,5 – 7,4 m/s. Kecepatan angin rata-rata terlihat minimum pada
stasiun B2 sebesar 1,2 m/s. Suhu udara rata-rata di tiap stasiun pengamatan terlihat
maksimum pada stasiun E6 sebesar 35,25 0C sedangkan minimum sebesar 28,2 0C pada
stasiun B6.
Gambar 27. Grafik rata-rata suhu dan kelembaban udara pada ketinggian 4-5 meter (Ratnawati
et al, 2015)
60
Pengukuran suhu dan tinggi muka laut secara multi waktu
Pengukuran suhu air, suhu udara dan elevasi muka air tertinggi (water level)
dilakukan menggunakan sensor HOBO dan logger nya. Dengan cara meletakkannya di
dalam air pada kedalaman ± 1 meter dan terlindung gelombang seperti pada pelabuhan
dan jetty. Alat diatur agar dapat merekam data setiap 15 menit. HOBO menyimpan data
secara langsung tanpa harus ditunggu pada saat pengukuran berlangsung. Data yang
tersimpan kemudian dipindahkan ke dalam komputer untuk diolah.
Gambar 28. Lokasi pemasangan HOBO (a), pemasangan HOBO (b), kondisi HOBO selama satu tahun
(c) dan pengambilan HOBO (d) (Foto survei 2013)
Hasil pengukuran suhu secara multi waktu dapat dilihat pada dua lokasi yaitu Pulau
Maratua dan Pulau Derawan (Gambar 29).
Pengukuran suhu yang dilakukan secara multi waktu dengan memasang hobo di
Pulau Maratua terlihat ada kecenderungan suhu meningkat di akhir tahun 2013. Namun
untuk pengukuran di Pulau Derawan tidak terlihat adanya peningkatan suhu perairan, suhu
terlihat stabil.
a
)
b
)
c) d
)
a
61
Gambar 29. Grafik suhu air selama 1 tahun (Feb 2012 – Mei 2013) di Pulau Derawan (a) dan
Pulau Maratua (b)
62
Pengukuran multi waktu lainnya adalah pengukuran tinggi muka laut, terlihat bahwa
Kepulauan Derawan mengalami pasang surut harian dua kali pasang dan dua kali surut
(Gambar 30)
Gambar 30. Hasil pengukuran tinggi muka laut di Kepulauan Derawan (Survei 2012-2013)
63
PENGUKURAN KARBON BIRU PADA EKOSISTEM PESISIR
Pengambilan Data Struktur Komunitas Lamun dan Mangrove
Pengambilan data struktur komunitas lamun dilakukan secara line transect tegak
lurus garis pantai. Kuadrat 50 x 50 cm² diletakkan secara sistematik dengan jarak antar
kuadrat 5 atau 10 meter, sesuai panjang padang lamun. Jarak antar transek antara 50 – 100
meter sesuai lebar padang lamun. Parameter yang diambil adalah persentase tutupan lamun
tiap kuadrat 50 x 50 cm² dengan metode estimasi visual berdasarkan metode Seagrass
Watch (McKenzie dkk. 2003). Persentase tutupan yang diambil adalah persentase tutupan
total lamun dan persentase tutupan setiap jenis lamun dalam kuadrat. Penghitungan jumlah
tunas lamun berukuran besar (misal, E. acoroides) dihitung di setiap kuadrat 50 x 50 cm².
Data struktur komunitas mangrove yaitu menarik garis transek 100 m kemudian
dibuat kuadrat 10 x 10 m (5 plot) dari tali. Mangrove yang ada di dalam transek diidentifikasi,
dihitung jumlah tegakan pohon, jumlah anakan dan jumlah semai (Bengen, 2003).
Mengukur Diameter Breast High (DBH) pohon setinggi dada yaitu 1,3 m dari
permukaan tanah secara sejajar dan searah. Pengukuran dilakukan pada pohon berdiameter
>5 cm. Data yang diperoleh adalah keliling/lingkar pohon bukan diameter pohon.
64
Gambar 31. Skematis cara menentukan pengukuran DBH pohon mangrove (Fourqurean et al, 2014)
Pengambilan Data Biomassa dan Karbon pada Lamun dan Mangrove
Pengukuran biomassa dapat memberikan informasi tentang nutrisi dan persediaan
karbon dalam vegetasi secara keseluruhan atau jumlah bagian tertentu (Hairiah et al, 2001).
Produksi yang dihasilkan merupakan peran kunci dari vegetasi karena bisa menghasilkan
biomassa, serasah dan tegakan yang mempunyai banyak manfaat baik secara ekologis
maupun ekonomis (Supriyadi et al, 2012).
Biomassa lamun adalah berat kering dalam gram, dimana berat kering bebas abu
(ash-free dry weight) sebesar 80% dari berat kering dan berat karbon organik sebesar 33,5 %
65
dari berat kering (Duarte & Chiscano, 1999). Penelitian ini mempergunakan data hasil
pengukuran secara langsung kandungan karbon pada biomassa lamun.
Biomassa mangrove adalah perhitungan dari produksi dan kerapatan berdasarkan
pengukuran diameter, tinggi dan berat jenis pohon (Darusman, 2006). Penentuan biomassa
dapat disusun minimal 30 pohon contoh terpilih untuk tiap spesies, namun untuk penelitian
hanya pada satu lokasi 12 pohon sudah memadai (MacDicken, 1997).
Proporsi karbon diakumulasi dalam biomassa atas dan bawah permukaan tanah.
Karbon dalam biomassa dapat kembali ke atmosfer melalui proses respirasi dan
dekomposisi. Bagian yang terakumulasi di tanah berupa karbon organik dan terbawa ke
perairan berupa karbon organik terlarut (Dissolved Organic Carbon) atau partikel karbon
organik (Particulate Organic Carbon) (Ulumuddin dan Kiswara, 2010).
Cadangan karbon terakumulasi dalam jangka waktu puluhan tahun pada ekosistem
mangrove dan beberapa dekade pada lamun (Duarte et al, 2005). Dengan mengetahui
potensi penyerapan karbon pada ekosistem tersebut diharapkan dapat berperan dalam
mengurangi efek gas rumah kaca dan perbaikan kualitas lingkungan.
1). Tahapan pengambilan dan preparasi sampel biomass - karbon pada lamun yaitu:
Pengambilan sampel lamun digunakan untuk pengukuran biomass dan karbon.
Lamun diambil dalam kuadrat dengan menggunakan frame berukuran 0,25 x 0,25 m2
(0,0625 m2). Lamun yang berada dalam frame diambil sampai ke akar dan sebisa
mungkin tidak ada bagian yang terbuang.
Sampel lamun dibersihkan dari epifit dan sedimen yang masih menempel.
66
Memisahkan sampel berdasarkan spesies dan setiap spesies dipisah menjadi dua
bagian yaitu bagian atas – aboveground biomass (daun dan batang) dan bagian
bawah – belowground biomass (rhizome dan akar) (Gambar 15).
Untuk mendapatkan nilai biomassa lamun, maka sampel harus ditimbang berat
basah dan berat kering. Timbang setiap bagian sampel lamun secara terpisah.
Setelah ditimbang, sampel disimpan dalam freezer sampai analisa selanjutnya.
Sampel biomass lamun dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 600C
hingga mendapatkan suhu konstan (±2 hari). Timbang setiap sampel untuk
mendapatkan nilai berat kering.
Untuk mendapatkan nilai karbon, sampel harus dihomogenisasi dengan cara
digerus dengan lumpang atau mixer. Sampel tersebut dianalisa dengan
menggunakan alat Truspect Analysis CHNS.
Gambar 32. Tempat pengambilan sampel biomass (a), lamun utuh (b), lamun bagian atas/daun (c),
lamun bagian bawah/akar dan rhizoma (d)
d c b a
67
2). Tahapan pengambilan dan preparasi sampel biomass - karbon pada mangrove adalah
sebagai berikut:
Pengambilan sampel biomass mangrove dilakukan didalam plot 10 x 10m.
Untuk analisa karbon mangrove yang diperlukan salah satunya adalah sampel
bagian atas (aboveground biomass) seperti daun, ranting, batang dan bunga.
Memisahkan sampel berdasarkan spesies dan setiap spesies dipisah masing-
masing untuk daun, batang, ranting dan bunga.
Menimbang tiap bagian sampel secara terpisah untuk mendapatkan berat
basah sampel. Setelah ditimbang, simpan dalam freezer untuk analisa lebih
lanjut.
Sampel dikeringkan menggunakan oven suhu 700C hingga mendapatkan suhu
konstan (± 2 hari). Timbang setiap sampel untuk mendapatkan nilai berat
kering.
Menghaluskan sampel seperti pada sampel lamun hingga menjadi bubuk dan
sampel siap dianalisa dengan menggunakan alat Truspect Analysis CHNS.
Pengambilan Data Karbon pada Sedimen
Sedimen merupakan wilayah pengendapan atau penampung terakhir dari berbagai
proses fisik, kimia dan biologi yang berlangsung pada ekosistem perairan laut. Kondisi
sedimen secara fisik relatif stabil karena tidak terlalu terpengaruh oleh perubahan-perubahan
baik iklim dan musim sehingga data yang dihasilkan tidak terlalu jauh berbeda dalam
rentang waktu tertentu (Millero dan Sohm, 1992).
68
Gambar 33. Pengambilan sampel sedimen lamun (a) dan mangrove (b)
Kondisi substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Hutan mangrove tumbuh di atas
lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik sedangkan lamun tumbuh di lumpur
dengan kandungan pasir yang tinggi, bahkan dominan pecahan karang jika tumbuh di
pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
Pengambilan sedimen dilakukan pada lokasi pengamatan lamun dan mangrove. Alat
yang digunakan untuk kedua wilayah pesisir tersebut adalah Sediment core panjang 2 m
dengan diameter 6 cm yang terbuat dari bahan stainless steel (Gambar 35).
Tahapan pengambilan dan preparasi sampel sedimen (lamun dan mangrove adalah
sebagai berikut:
Memasukkan sediment core sesuai dengan kedalaman area mangrove. Kedalaman
sedimen dapat mencapai 2 m.
Sediment core
a b
69
Mengangkat dan memutar sediment core secara perlahan agar sedimen didalam core
tidak jatuh.
Memisahkan sedimen dari 0 m hingga kedalaman tertentu dengan interval 5 cm.
Memasukkan ke dalam kantong sampel dan diberi label.
Sampel sedimen diletakkan dalam cawan untuk dikeringkan menggunakan suhu
ruangan yang stabil. Selanjutnya sampel dipindahkan dalam wadah alumunium dan
ditimbang berat awal sebagai berat basah sebelum dilakukan proses pengeringan. Sampel
kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu sebesar 600C hingga mendapatkan
berat kering yang stabil. Setelah mendapatkan berat kering yang stabil kemudian dilakukan
penggerusan sampel hingga berubah menjadi bubuk.
Analisis dan Penyajian Data
Biomassa Lamun dan Mangrove
Biomassa lamun dihitung dengan menghitung berat kering yang dikalikan dengan
kerapatan (kepadatan) lamun dalam satu meter persegi.
B = W x D
B : Biomassa lamun (gram.m2)
W : Berat kering (gram)
D : Kepadatan/kerapatan lamun
Perhitungan Biomass mangrove dilakukan dengan menggunakan persamaan
alometrik berdasarkan masing-masing jenis mangrove (Tabel 1). Persamaan alometrik yang
digunakan telah dikembangkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dengan penebangan dan
penimbangan beberapa pohon (Kusmana, 1997).
70
Tabel 1. Persamaan alometrik untuk menghitung biomass mangrove
Jenis Persamaan Sumber
Aegiceras floridum
Avicennia sp
Avicennia marina
Bruguiera cylindrica
Bruguiera gymnorhiza
Ceriops tagal
Lumnitzera littorea
Lumnitzera racemosa
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Scyphiphora hydrophyllacea
Sonneratia alba
Xylocarpus granatum
B = 0.251 ρ (D)2.46
B = 0.251 ρ (D)2.46
B = 0,1848D2.3624
B = 0.251 ρ (D)2.46
B = 0.0754D2.505*ρ
B = 0.251 ρ (D)2.46
B = 0.251 ρ (D)2.46
B = 0.251 ρ (D)2.46
B = 0.043D2.63
B = 0.128(D)2.60
B = 0.251 ρ (D)2.46
B = 0.3841(D)2.101*ρ
B = 0,1832D^2,21
Komiyama et al. 2005
Komiyama et al. 2005
Dharmawan dan Siregar, 2008
Komiyama et al. 2005
Kauffman & Donato, 2012
Komiyama et al. 2005
Komiyama et al. 2005
Komiyama et al. 2005
Amira, 2008
Fromard et al, 1998
Komiyama et al. 2005
Kauffman & Donato, 2012
Talan, 2008
71
Biomassa Karbon Lamun dan Mangrove
Berdasarkan rumus Fourqurean et al 2014:
Biomassa karbon = Berat kering (kg) /luas (m2) x C% (1)
- Berat kering di dapat dari pengovenan biomassa sampel
- Luas di dapat dari luas plot transek
- C% di dapat dari pengukuran karbon dengan CHNS analyzer
Konversi dalam Mg C/ ha :
Biomassa karbon (kg C/m2) x (Mg/1000kg) x (10.000m2/ha) (2)
Total stok biomasa karbon adalah jumlah semua jenis yang ditemukan dalam plot.
Sedimen karbon stok
Sebelum mendapatkan karbon sedimen dilakukan Analisis bulk density didapat
dengan perhitungan pada rumus sebagai berikut (Kauffman dan Donato 2012):
Bulk density = 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑐𝑚3) (3)
Selanjutnya dilakukan perhitungan konsentrasi karbon dalam sedimen dengan rumus
sebagai berikut (Kauffman dan Donato 2012):
Karbon sedimen (Mg ha-1)= bulk density (g cm-3) x interval kedalaman (cm) x %C
(4)
Sifleet et al. (2011) menyatakan bahwa kandungan karbon yang didapat dengan satuan
gC cm-3 dengan kedalaman sampai 1 m pertama (top soil) dapat disetarakan dengan
72
besarnya CO2 yang dimanfaatkan atau disimpan dengan memperhitungkan rumus sebagai
berikut:
𝑔𝐶
𝑐𝑚3 𝑥
106𝑐𝑚3
1𝑚3 𝑥104𝑚2
1ℎ𝑎𝑥
44𝑔𝐶𝑂2𝑒
12𝑔𝐶𝑥
1𝑀𝑔
106𝑔=
𝑀𝑔𝐶𝑂2𝑒
ℎ𝑎∗𝑚 (5)
73
KARBON STOK EKOSISTEM MANGROVE
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang memiliki kekhasan dengan
adanya tumbuhan mangrove yang berupa pohon ataupun perdu yang tumbuh di daerah
salinitas atau di tepi pantai ataupun estuaria. Wilayah ekosistem mangrove merupakan
wilayah ekoton (peralihan antara darat dan laut), oleh karena itu masih dipengaruhi oleh
sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, perembesan air asin, sedangkan bagian
lainnya masih dipengaruhi oleh sifat-sifat alami daratan seperti pengendapan lumpur
sungai, aliran air tawar dan aktivitas manusia di daratan.
Untuk tumbuh dan berkembang mangrove seperti tumbuhan lainnya memerlukan
CO2 untuk fotosintesis. Pada vegetasi, termasuk mangrove, CO2 tersimpan dalam biomassa,
baik bagian atas (yang berada di atas tanah) seperti batang, ranting, daun dan akar napas
atau biomassa bagian bawah (yang berada dalam tanah) seperti akar. Keberadaan
mangrove di daerah pesisir dan kemampuannya dalam menyerap CO2 dalam mekanisme
fotosintesis maka mangrove merupakan salah satu dari ekosistem karbon biru.
Indonesia memiliki mangrove yang terluas di dunia (3,1 juta ha) dan daerah
Kabupaten Berau termasuk Kepulauan Derawan diperkirakan memilki luas mangrove yang
cukup luas dengan daerah konservasi laut seluas 1,2 juta ha. Hal ini menyebabkan
74
keberadaan karbon biru mangrove di Kepulauan Derawan menjadi sangat penting, karena
berfungsi sebagai penyimpan dan penyerap karbon, mangrove juga mempunyai fungsi
ekologis terhadap keberadaan ikhtifauna di Kepulauan Derawan. Mengingat hal ini
konservasi dan mitigasi perubahan iklim di Kepulauan Derawan sangat penting untuk
memperhatikan keberadaan ekosistem mangrove.
Karbon pool ekosistem mangrove
Karbon yang tersimpan dalam ekosistem pesisir mangrove terbagi atas empat carbon
pool dan tiga untuk ekosistem lamun (Fourqueran et.al, 2014). Carbon pool ekosistem
mangrove terdiri atas: 1) bagian atas biomassa mangrove yang hidup; 2) bagian atas
biomassa mangrove yang mati; 3) bagian bawah biomassa mangrove yang hidup dan 4)
sedimen (soil) dan bagian bawah biomassa mangrove yang telah mati.
75
Gambar 34. Carbon pool pada ekosistem mangrove (modifikasi Fourqueran et al, 2014)
Kondisi eksisting mangrove
Hasil pengamatan ekosistem mangrove di Kepulauan Derawan sejak tahun 2012
sampai 2014 menunjukkan di Kepulauan Derawan terdapat 16 jenis mangrove dari 8 famili
yang tersebar pada lokasi penelitian Pulau Panjang, Pulau Maratua, Pulau Semama, Badak-
badak (delta Berau) dan pesisir dari Tanjung Bohei sampai Tanjung Batu (Tabel 2).
76
Tabel 2. Jenis mangrove yang ditemukan di Kepulauan Derawan
No Jenis Mangrove Famili Lokasi
1 Aegiciras floridum Myrsinaceae 1,5
2 Avicennia alba, Avicenniaceae 1, 2, 3, 4
3 Avicennia lunata Avicenniaceae 4
4 Avicennia marina Avicenniaceae 4
5 Bruguiera gymnorhiza Rhizophonaceae 1,5
6 Bruguiera cylindrica Rhizophonaceae 5
7 Ceriops tagal Rhizophonaceae 5
8 Lumnitzera littorea Combretaceae 2
9 Lumnitzera racemosa Combretaceae 5
10 Rhizophora apiculata Rhizophonaceae 1, 2, 3, 4,5
11 Rhizophora mucronata Rhizophonaceae 1, 2, 3, 4,5
12 Rhizophora stylosa Rhizophonaceae 1,3
13 Sonneratia alba Sonneratiaceae 1, 2, 3, 4
14 Scyphiphora hydrphyllaceae Rubiaceae 5
15 Nypa fruticans Aracaceae 4
16 Xylocarpus granatum Meliaceae 5
Keterangan :
1. Pulau Maratua
2. Pulau Panjang
3. Pulau Semama
4. Badak-badak (Delta Berau)
5. Pesisir Tanjung Bohei sampai Tanjung Batu
77
Ukuran diameter batang setinggi dada (DBH) dari mangrove umumnya berukuran
besar. Tanaman mangrove di Kepulauan Derawan merupakan tanaman mangrove alami.
Zonasi terlihat pada tanaman mangrove di daerah delta Berau terutama untuk mangrove
jenis Nypa fruticans (Gambar 35).
Gambar 35. Zonasi Nypa fruticans di delta Berau, Badak-Badak, Kepulauan Derawan Survei
2014
Mangrove di lokasi selain delta Berau umumnya bervariasi jenisnya dan bercampur
tidak membentuk zonasi tertentu, dengan jenis Sonneratia alba ditemukan hampir di seluruh
lokasi penelitian. Mangrove yang ditemukan berukuran besar dengan DBH berkisar antara
76,43 – 232,48 cm, dengan anakan yang tersebar di sekelilingnya (Gambar 36).
78
Gambar 36. Pengukuran mangrove di Kepulauan Derawan tahun 2013
Gambar 37. Jenis mangrove yang terdapat di Kepulauan Derawan, Rhizophora mucronata (a),
Rhizophora stylosa (b) dan Sonneratia alba (c)
Secara keseluruhan, kerapatan jenis mangrove pada lokasi penelitian berkisar antara
20 – 1900 individu/ha. Tiga jenis mangrove yaitu Sonneratia alba, Bruguiera gymnorhiza dan
Rhizophora mucronata memiliki nilai indeks penting yang tinggi dibandingkan jenis lainnya.
a b c
79
Penyimpanan Karbon Biomass oleh Ekosistem Mangrove di Kepulauan Derawan
Untuk mengetahui jumlah karbon yang ada di mangrove, maka terlebih dahulu
dihitung biomassa dari pohon mangrove baik di bagian atas maupun bagian bawah. Setelah
itu dilakukan perhitungan karbon berdasarkan biomassa tersebut.
Gambar 38. Peta sebaran mangrove dan total biomassa mangrove (ton/ha) di pesisir Tanjung Bohei
sampai Tanjung Batu, Kabupaten Berau
Gambar 38 menunjukkan bahwa terdapat 12 jenis mangrove di pesisir Tanjung Bohei
sampai Tanjung Batu. Biomassa mangrove berdasarkan jenis berkisar antara 0,37 – 1.386,8
Mg/ha dengan biomassa mangrove total di Tanjung Bohei hingga Tanjung Batu sebesar
4.295,39 Mg/ha. Jika dikonversikan ke dalam karbon maka biomassa mangrove di Tanjung
80
Bohei hingga Tanjung Batu mampu menyimpan karbon sebesar 2.147,70 MgC/ha yang
setara dengan penyerapan CO2 sebesar 7.874,88 MgCO2/ha.
Besaran biomassa mangrove di lokasi lainnya yaitu di Pulau Panjang, Pulau Semama,
Pulau Maratua dan Badak-badak, kecamatan Derawan dapat dilihat pada Gambar 39.
Gambar 39. Karbon stok biomassa di ekosistem mangrove Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau (Sumber: Hasil penelitian 2012 sampai dengan 2014)
Gambar 40 menunjukkan peta sebaran mangrove di daerah Badak-badak, Pulau
Panjang, Pulau Semama dan Pulau Maratua. Terlihat di lokasi Badak-badak dekat Tanjung
Batu yang merupakan bagian dari delta Berau ditemukan empat jenis mangrove dengan
biomassa berkisar antara 3,3 – 757,14 ton/ha yang terendah jenis A. lunata dan tertinggi A.
alba dengan biomassa total kedua spesies sebesar 822,6 ton/ha.
81
Gambar 40. Peta sebaran mangrove dan total biomassa mangrove (ton/ha) di Pulau Panjang, Pulau
Semama, Pulau Maratua dan Badak-badak, Kabupaten Berau (Kalimantan Timur)
Selama survei 2012 sampai 2014 ditemukan empat jenis mangrove di Pulau Panjang
dimana jenis mangrove memilki biomassa yang tinggi yaitu R. mucronata total biomassa
mangrove di Pulau Panjang sebesar 1699,39 ton/ha. Lima jenis mangrove ditemukan di Pulau
Maratua dengan biomassa terbesar S. alba sebesar 70,29 ton/ha, dan total biomassa
mangrove di Pulau Maratua sebesar 168,32 ton/ha.
82
Besaran nilai biomassa mangrove jika dikonversikan dalam satuan karbon di
Kepulauan Derawan dengan memakai besaran nilai karbon yang terkandung adalah 50 %
dari biomassa. Stok karbon biomassa di kepulauan Derawan berkisar antara 84,16 – 2.147,7
Mg C/ha dengan rata-rata 731,97 MgC/ha.
Penyimpanan Karbon Sedimen oleh Ekosistem Mangrove di Kepulauan Derawan
Hasil perhitungan besarnya karbon di sedimen pada ekosistem mangrove
menunjukkan adanya perbedaan pada sedimen mangrove antara di pulau dan di daratan
Kalimantan, Kabupaten Berau (Gambar 41). Ini menunjukkan bahwa asal usul sedimen
menjadi kontribusi penting dalam besarnya kandungan karbon di sedimen.
Gambar 41. Karbon stok sedimen di ekosistem mangrove Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau
(Sumber: Hasil penelitian 2013 sampai dengan 2014)
83
Terlihat pada gambar di atas nilai karbon di sedimen warna biru terukur sampai
kedalaman 1 meter (100 cm) sedangkan warna hijau sampai kedalaman 0,5 meter (50 cm).
Nilai karbon terlihat tinggi pada sedimen di ekosistem mangrove yang terdapat di pulau-
pulau (Pulau Panjang dan Pulau Maratua) dibandingkan dengan nilai karbon pada sedimen
di daratan Kalimantan Kabupaten Berau, seperti di delta Badak-Badak ataupun pesisir dr
Tanjung Bohei sampai Tanjung Batu. Hal ini dapat disebabkan bahwa sedimen yang terdapat
di ekosistem mangrove Pulau Panjang maupun Pulau Maratua merupakan sedimen asli laut
yang pada dasarnya banyak mengandung karbon (sedimen karbonat). Sehingga karbon
sedimen yang terkandung didalamnya selain berasal dari karbon biomassa dan dekomposisi
mangrove juga dari sedimen itu sendiri. Namun terlepas dari itu semua keberadaan
mangrove dalam ekosistem pesisir akan memerangkap sedimen baik dari daratan maupun
laut, serta menyimpannya dengan sistem perakarannya yang khas.
Untuk melihat adanya kecenderungan atau meningkatnya kandungan karbon di
sedimen pada ekosistem mangrove dilakukan pengukuran pada setiap 5 cm kedalaman yang
diambil untuk mendapatkan profil karbon. Salah satu stasiun sedimen ekosisitem mangrove
di delta Badak-Badak Kabupaten Berau dapat di lihat pada Gambar 42.
84
.
Gambar 42. Profil karbon sedimen (TonC/ha) stasiun delta Berau, Badak-Badak, Kepulauan Derawan
2014
6.21
4.11
5.48
5.87
3.66
10.14
7.44
7.06
8.48
5.14
8.40
9.02
10.12
8.12
13.46
10.19
20.34
12.32
14.92
14.29
12.48
8.63
0 5 10 15 20 25
106-110
96-100
86-90
76-80
66 - 70
56-60
46 - 50
36 - 40
26 - 30
16 - 20
6 - 10
Ke
dal
aman
(cm
)
Profil Karbon sedimen (Ton C/ha)
85
Gambar 42 menunjukkan bahwa nilai tertinggi karbon terdapat pada kedalaman 26 –
30 cm sebesar 20,34 MgC/ha. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan karbon stok sedimen
di Pulau Maratua pada kedalaman yang sama sebesar 29,76 MgC/ha. Hal ini dapat disebabkan oleh
mangrove yang tumbuh di delta Berau tumbuh pada sedimen yang berasal dari daratan
dibandingkan sedimen asli dari laut atau sedimen karbonat seperti pada pada lokasi di Pulau
Panjang dan Pulau Maratua. Namun diperkirakan asal karbon pada sedimen stasiun ini
sebagian besar berasal dari mangrove itu sendiri seperti serasah. Nilai karbon stok sedimen
di kepulauan Derawan sebesar 211,9 MgC/ha.
Karbon Stok Mangrove Berdasarkan Data Citra Satelit Landsat 8
Data citra satelit dapat memberikan gambaran tentang distribusi dan kondisi
perairan dangkal dengan wilayah perairan yang luas. Meaden dan Kapetsky (1991)
menyatakan bahwa penginderaan jauh dengan satelit bekerja dengan memanfaatkan sensor
dan digunakan untuk merekam suatu daerah atau area dari udara yang bertujuan
mengidentifikasi dan mengukur parameter objek dari pantulan radiasi elektromagnetik
objek tersebut. Pemanfaatan data citra satelit ini sering digunakan untuk menganalisa
ekosistem lamun dan kondisi lingkungan seperti suhu permukaan laut, total partikel terlarut
ataupun nilai klorofil. McKenzie et al. (2001) mengatakan bahwa dalam menganalisa data
citra untuk distribusi ekosistem lamun dapat dilakukan dengan menggunakan data citra
satelit yang berasal dari satelit yang sudah dikenal yaitu Landsat TM (Thematic Mapper) dan
SPOT (Le Syste’me Pour l’Observation de la Terre), tetapi kedua satelit ini cocok untuk
86
pengamatan skala makro (>34.000 km2 untuk Landsat TM, dan >60 km2 untuk SPOT).
Menurut McKenzie et al. (2001), analisa data citra untuk ekosistem lamun disarankan
menggunakan data penginderaan jarak jauh yang dihasilkan oleh airborne scanner dan
Digital Multispectral Videos (DMSV).
Penelitian mengenai distribusi ekosistem pesisir berdasarkan olah data citra satelit
seperti mangrove sering dilakukan, namun untuk ekosistem lamun umumnya masih banyak
dilakukan pada daerah lintang tinggi. Penelitian ekosistem lamun berdasarkan citra satelit
yang dilakukan oleh Phinn et al. (2008) menggunakan beberapa data citra yang ada yaitu
Landsat -5 TM, Quickbird dan CASI menghasilkan data tutupan lamun, dan komposisi spesies
dengan akurasi yang baik. Selain itu data foto selama monitoring dapat dipergunakan
sebagai validasi data citra yang digunakan untuk memprediksi biomassa lamun sehingga
mengurangi biaya dan waktu penelitian (Kutser et al., 2007).
Hasil analisa data citra satelit mengenai distribusi ekosistem pesisir (mangrove dan
lamun) akan menghasilkan peta ekosistem pesisir yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk
menghitung besarnya potensi mangrove dan lamun sebagai karbon rosot dan pentingnya
dalam stabilitasi ekosistem dapat dihitung dan dipetakan. Tidak diperlukan sampling yang
menyeluruh dalam seluruh luasan area karena sampling dapat lebih efektif dengan bantuan
anlisis citra satelit.
Hasil pengolahan data citra dengan menggunakan metode klasifikasi multispektral
terkontrol menunjukkan total sebaran mangrove di Kabupaten Berau adalah sebesar 163,2
km2 dari total luasan 33.292,55 km2 atau sekitar 0.49% dari luasan total area kabupaten. Detil
87
sebaran mangrove di setiap pulau yang berada di kepulauan Derawan ditunjukkan pada
tabel 3 dan sebarannya dapat dilhat pada Gambar 43.
Tabel 3. Luasan Area Mangrove di Kecamatan Pulau Derawan dan Maratua
No Nama Pulau
Luas
(km2)
Luas Area
Mangrove
(km2)
1. Pulau Panjang 5,654 3,97
2. Pulau Semama 0,911 0,58
3. Pulau Kakaban 7,742 0,12
4. Pulau Maratua 23,757 1,08
5. Kecamatan Pulau Derawan di Pulau
Kalimantan
157,43
TOTAL 38,064 161,406
88
Gambar 43. Sebaran Ekosistem Mangrove di Kepulauan Derawan (Sumber: Pengolahan Data,
2014)
Ada perbedaan luasan mangrove antara hasil pengolahan data citra Landsat tahun
2000 yang tercantum dalam Buku Profil Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau dengan
hasil pengolahan data citra Landsat 8 tahun 2014. Terlihat adanya penurunan luasan hutan
mangrove di beberapa pulau di Kabupaten Berau, termasuk penurunan yang tajam dari
luasan mangrove di Pulau Maratua selama 14 tahun terakhir dari 369 ha menjadi 108 ha.
89
Penurunan luasan mangrove ini perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya
sehingga solusi dalam rangka rehabilitasi maupun pengelolaan lingkungan didaerah tersebut
dapat dilakukan.
Tabel 4. Perbandingan Luasan Area Mangrove Hasil data Citra Tahun 2000 dan 2014
No Nama Pulau Data Citra Landsat
Tahun 2000 (ha)
Data Citra Landsat
Tahun 2014 (ha)
1. Pulau Panjang 417,38 397
2. Pulau Semama 77,15 58
3. Pulau Kakaban - 12
4. Pulau Maratua 369 108
5. Kecamatan Pulau Derawan di Pulau
Kalimantan
- 15743
TOTAL 863,53 16140,6
Karbon stok mangrove berdasarkan hasil citra seperti gambar di atas dengan luasan
mangrove 161,41 km2 atau 16..141 ha dengan karbon stok pada biomassa total sebesar
11.814,44 GC dan pada sedimen 3.420,1 GC, dengan total penyimpanan karbon pada tiga
kolam penyimpanan di ekosistem mangrove kepulauan Derawan sebesar 15.234,53 GC..
Nilai ini setara dengan penyerapan CO2 sebesar 55.910,73 GCO2e.
90
KARBON STOK EKOSISTEM LAMUN
Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh terendam
dalam air laut, memiliki rhizome, daun dan akar sejati. Beberapa ahli juga mendefinisikan
lamun (seagrass) sebagai tumbuhan air berbunga, hidup di dalam air laut, berpembuluh,
berdaun, berimpang, berakar, serta bereproduksi dengan biji dan tunas (Duarte 2002; Short
et al. 2006). Pola hidup lamun umumnya berupa hamparan maka dikenal juga istilah padang
lamun (seagrass bed) yaitu hamparan vegetasi lamun yang menutup suatu area pesisir/laut
dangkal, terbentuk dari satu jenis atau lebih dengan kerapatan padat atau jarang. Lamun
tumbuh pada sedimen dasar laut dengan daun yang panjang dan tegak dan batang yang
terbenam dalam sedimen (rhizoma) serta akar (Short et al. 2006).
Lamun bereproduksi secara seksual ataupun aseksual. Lamun merupakan tumbuhan
berumah dua. Melalui reproduksi seksual lamun menghasilkan bunga dan menyebarkan
polen dari bunga jantan ke bunga betina (Larkum et al. 2006). Lamun menghasilkan biji yang
akan tetap dorman untuk beberapa bulan, jika menemukan kondisi habitat yang sesuai biji
tadi akan tumbuh menjadi tanaman baru. Lamun juga dapat bereproduksi secara aseksual
(vegetatif). Perkembangbiakkan secara vegetatif dilakukan dengan cara pemanjangan dan
91
percabangan dari rhizome, dengan cara ini lamun dapat pulih setelah terpaan badai ataupun
hilang dimakan oleh herbivora (Coles et al. 2004).
Eksistensi lamun di laut merupakan hasil dari beberapa adaptasi yang dilakukan
termasuk toleransi terhadap salinitas yang tinggi, kemampuan untuk menancapkan akar di
substrat sebagai jangkar, dan juga kemampuan untuk tumbuh dan melakukan reproduksi
pada saat terbenam. Jumlah jenis tumbuhan lamun mencapai 58 jenis di seluruh dunia (Kuo
and McComb, 1989) dengan konsentrasi utama didapatkan di wilayah Indo-Pasifik. Dari
jumlah tersebut 16 spesies dari 7 genus diantaranya ditemukan di perairan Asia Tenggara,
dimana jumlah spesies terbesar ditemukan di perairan Filipina sebanyak 16 spesies atau
dapat dikatakan semua spesies yang ada di perairan Asia Tenggara ditemukan juga di
Filipina. Di Indonesia ditemukan jumlah jenis lamun yang relatif lebih rendah dibandingkan
Filipina, yaitu sebanyak 12 spesies dari 7 genus. Sebenarnya menurut Kiswara (2009)
Indonesia memiliki 14 jenis lamun berdasarkan data herbariumnya di musium herbarium
Bogor, tetapi sampai saat ini masih belum ditemukan yaitu lamun jenis Ruppia maritima dan
Halophila beccarii.
Ekosistem lamun mempunyai fungsi sebagai produser, habitat biota (tempat pemijahan,
daerah asuhan, daerah mencari makan),penangkap sedimen, dan pendaur zat hara. Lamun
juga berperan sebagai penyedia sumberdaya alam dan jasa bagi manusia, yaitu (Hutomo dan
Azkab 1987; Bengen 2009):
1. Sebagai produsen primer, lamun menghasilkan zat hara berupa daun, serasah dan
detritus.
92
2. Sebagai habitat biota, lamun memberikan perlindungan dan tempat menempel
berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan.
3. Sebagai perangkap sedimen. Vegetasi lamun yang lebat memperlambat gerakan air
yang disebabkan oleh arus dan ombak, serta menyebabkan perairan di sekitarnya
tenang,dengan demikian ekosistem ini bertindak sebagai pencegah erosi dan
perangkap sedimen (Koch 2001).
4. Sebagai pendaur zat hara. Aktivitas metabolisme lamun dan struktur dari padang
lamun berpengaruh pada kondisi fisik dan kimia badan air dan sedimen tempat
lamun tumbuh (Marba et al. 2006). Sehingga lamun mampu mengurai bahan
organik menjadi nutrien yang dibutuhkan lamun sendiri maupun biota lainnya.
5. Sebagai penunjang kehidupan sehari-hari manusia. Beberapa masyarakat pantai di
dunia menggunakan lamun sebagai sumber pupuk hijau, bahan makanan, bahan
baku untuk tempat tinggal, tikar, pengisi bantal, bahan pembuat tali (Romimohtarto
dan Djuwana 2009). Daun dari Halophila ovata biasa digunakan sebagai bahan
dasar menyembuhkan berbagai penyakit kulit (Kenworthy et al. 2006).
6. Mampu memfiksasi CO2terutama dalam bentuk bikarbonat (HCO3-) untuk
fotosintesis dalam pembentukan biomasa (Beer et al. 2002) yang kemudian
sebagian besar masuk ke dalam sistem daur rantai makanan.
7. Sebagai penghasil oksigen.
8. Mampu menjadi bioindikator bagi limbah-limbah logam berat.
93
Hilangnya padang lamun dapat mengubah aliran bahan-bahan organik, siklus nutrisi dan
jaring-jaring makanan seluruh ekosistem pantai dan ekosistem terdekat tempat padang
lamun itu berada dimana lamun menyumbang sebagian bahan organiknya maupun nutrien
(Kenworthy et al. 2006).
Karbon Pool Ekosistem Lamun
Seperti yang telah disebutkan di atas manfaat atau jasa yang diberikan padang lamun
salah satunya adalah penyimpan karbon. Penyimpanan karbon dalam ekosistem lamun
terbagi dalam 3 pool yaitu 1) biomassa hidup lamun bagian atas, meliputi biomassa lamun
itu sendiri dan biota epifit yang menempel, 2) biomassa lamun bagian bawah, meliputi
biomassa hidup yang berada di bawah sedimen atau terbenam disedimen seperti rhizoma
dan akar lamun, dan 3) sedimen, yang terdiri atas materi sedimen itu sendiri, dekomposisi
rizoma dan akar lamun yang mati serta dekomposisi biota yang terendapkan dari kolom air
maupun yang hidup di sedimen.
94
Gambar 44. Carbon pool pada ekosistem lamun (modifikasi Fourqueran et al, 2014)
Kondisi Eksisting Ekosistem Lamun
Umumnya keberadaan lamun dan ekosistem terumbu karang lebih berkembang di
pulau-pulau kecil. Kepulauan Derawan terkenal dengan keberadaan penyu yang melimpah
yang merupakan indikator adanya makanan yang melimpah untuk penyu. Penyu dewasa
95
diketahui menjadikan lamun sebagai sumber makanan. Hal ini menunjukkan indikator bahwa
keberadaan lamun cukup melimpah di kepulauan ini.
Lamun di Kepulauan Derawan terdiri dari jenis Enhalus acoroides (EA), Halophila ovalis,
Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii. Jumlah jenis yang
ditemukan lebih sedikit dibandingkan tahun 2012 yaitu sebanyak 7 jenis Cymodocea
rotundata (CR), Cymodocea serrulata (CS), Halophila ovalis (HO), Halophila minor (HM),
Halodule uninervis (HU), Syringodium isoetifolium (SI) dan Thalassia hemprichii (TH). Jenis
yang juga ditemukan pada tahun 2013 yaitu Halophila ovalis, Halodule uninervis, Thalassia
hemprichii, Cymodocea serrulata dan Halodule pinifolia (HP). Berdasarkan penelitian di
Kepulauan Derawan sejak tahun 2012 sampai 2014 jumlah jenis yang ditemukan 9 jenis
lamun sehingga dapat dikatakan banyaknya jenis lamun di Kepulauan Derawan sebanyak 75
% dari seluruh jumlah jenis lamun yang ditemukan di Indonesia (12 jenis).
12 jenis lamun yang ditemukan bulan September 2014, tahun 2012 dan 2013 di
Kepulauan Derawan dapat dilihat pada Tabel berikut.
96
Tabel 5. Jenis lamun yang ditemukan tahun 2012, 2013 dan bulan September 2014 di
Kepulauan Derawan
Jenis Lamun Tahun
2012 2013 2014
Hydrocharitaceae
Enhalus acoroides - - X
Halophila decipiens - - -
Halophila ovalis X X X
Halophila minor X - -
Halophila spinulosa - - -
Thalassia hemprichii - X X
Cymodoceaceae
Cymodocea serrulata X X -
Cymodocea rotundata X - -
Syringodium isoetifolium X - X
Thalassodendron ciliatum - - -
Halodule uninervis X X X
Halodule pinifolia X X -
Keterangan: X = ada; - = tidak ditemukan
97
Berdasarkan penelitian dari tahun 2012 - 2014 hamparan lamun yang ditemukan
umumnya hamparan jenis lamun berukuran kecil baik jenis Halodule maupun Halophila,
sedangkan lamun berukuran besar umumnya masih berukuran kecil atau muda seperti
Thalasssia hemprichii (Gambar 45).
Gambar 45. Lamun jenis Halophila (a), lamun jenis Thalassia hemprichii (b)
(Sumber: Kepel et al 2015)
Lamun berukuran besar lainnya seperti Enhalus acoroides ditemukan membentuk
spot- spot, baik di Pulau Panjang maupun di Pulau Semama tahun 2014 (Gambar 46). Lamun
yang membentuk hamparan merupakan lamun pionir atau yang berukuran kecil atau
kategori lamun usia muda. Lamun bersifat pionir ini cepat berkembang pada suatu daerah
terutama yang memiliki substrat yang tidak stabil karena mereka memiliki kemampuan untuk
cepat berkembang dan punya toleransi yang tinggi pada kondisi terdedah (Kepel et al, 2015).
Sedangkan lamun berusia muda T. hemprichii diduga merupakan salah satu sumber
a a
98
makanan bagi penyu sehingga sedikit ada peluang untuk tumbuh besar. Lamun jenis ini
walaupun bagian atas lamun (daun) habis karena predasi, namun dengan kemampuan
bereproduksi secara vegetatif melalui rhizoma akan cepat tumbuh kembali karena bagian
bawah lamun (rhizome dan akar) tidak ikut dimakan. Perkembangbiakkan secara vegetatif
dilakukan dengan cara pemanjangan dan percabangan dari rhizome, dengan cara ini lamun
dapat pulih setelah terpaan badai ataupun hilang dimakan oleh herbivora (Coles et al. 2004).
Gambar 46. Lamun di Pulau Panjang (a), spot lamun di Pulau Semama (b)
Lamun di kepulauan Derawan yang ditemukan selama penelitian terdapat di Gusung
Kelimis, Pulau Derawan, Pulau Panjang, Pulau Semama, Pulau Sangalaki dan Pulau Maratua.
Jenis lamun yang umumnya ditemukan di semua lokasi adalah jenis Halophila ovalis.
Lamun
Enhalus acoroides
b a
99
Tabel 6. Komposisi jenis lamun di Kepulauan Derawan, Mei 2012 dan Mei 2013
Jenis lamun
Lokasi
Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014
1 2 3 4 5 2 6 5 1 4 6
Hyd
roch
ari
taceae
Halophila minor (Hm) + − − − − − − − - - -
Halophila ovalis (Ho) + + + + + + + + + + +
Thalassia hemprichii (Th) + − + + + + − + + + -
Enhalus acoroides (Ea) - - - - - - - - + - -
Cym
od
oceaceae Cymodocea serrulata (Cs) + + + + + − − + - - -
Cymodocea rotundata (Cr) + + + + − − − − - - -
Syringodium isoetifolium (Si) + + + + − + − − + - -
Halodule pinifolia (Hp) − − − − − − − + - - -
Halodule uninervis (Hu) + + + + + + − − + - +
Keterangan: 1= Pulau Panjang; 2= Pulau Derawan; 3= Gusung Kulimis; 4= Pulau Semama;
5= Pulau Maratua; 6= Pulau Sangalaki
100
Penyimpanan Karbon Biomass oleh Ekosistem Lamun di Kepulauan Derawan
Penyimpanan karbon dalam biomassa total lamun di Kepulauan Derawan dari enam
lokasi, nilai tertinggi terdapat di lokasi Pulau Panjang sebesar 95,26 gram berat kering per
meter persegi (gbk/m2) atau setara 0,95 ton/ha atau 0,95 Mg/ha dan terendah di Pulau
Sangalaki sebesar 8,75 gbk/m2 atau setara 0,09 Mg/ha (Gambar 47). Tingginya nilai
biomassa total lamun di Pulau Panjang dapat disebabkan jenis lamun yang ditemukan lebih
beragam dibandingkan di Pulau Sangalaki. Di Pulau Panjang hamparan lamun yang
ditemukan adalah lamun berukuran sedang seperti T. hemprichii dan terdapat spot-spot
lamun berukuran besar yaitu E. acoroides. Di Pulau Sangalaki hamparan lamun yang
ditemukan umumnya jenis pioner yaitu jenis H. ovalis.
Gambar 47. Berat biomassa total lamun di Kepulauan Derawan
101
Gambar 47 menjelaskan besarnya biomassa total dari kolam (pool) penyimpan bagian
atas dan bagian bawah lamun. Selain menjelaskan besarnya biomassa total lamun juga
terlihat bahwa biomassa yang ditemukan memiliki nilai variasi yang tinggi di setiap lokasi.
Yang menunjukkan bahwa sebaran lamun tidak merata dalam tiap lokasi.
Besaran setiap jenis lamun di enam lokasi penelitian menunjukkan bahwa nilai
biomassa total tertinggi terdapat pada lamun jenis T. hemprichii di Pulau Maratua sebesar
52,99 gbk/m2 atau setara 0,05 Mg/ha (Gambar 48). Dari enam lokasi, jenis lamun terbanyak
terdapat di lokasi Pulau Panjang, yaitu sebanyak enam jenis yang juga memiliki nilai
biomassa total tertinggi dan jenis lamun yang paling sedikit terdapat di Pulau Sangalaki.
Biomassa lamun dalam satuan karbon tertinggi terdapat di pulau Maratua sebesar
31,62 gram C/m2 diikuti Pulau Panjang 31,32 gram C/m2 yang setara dengan 0,32 Mg C/ha
dan 0,31 Mg C/ha, dengan rata-rata penyimpanan karbon dalam biomassa lamun sebesar
19,29 g C/m2 atau 0,19 MgC/ha. Nilai biomassa karbon lamun dibandingkan dengan
mangrove memang rendah karena ukuran lamun sendiri yang lebih kecil dibandingkan
dengan tanaman mangrove. Namun nilai ini terkait dengan lamun yang hidup di perairan
pesisir dengan sedimen yang berasal dari laut (sedimen karbonat) yang tinggi kandungan
karbonnya. Eadaan ini menyebabkan lamun dapat menjaga kandungan karbon di sedimen
tidak lepas ke kolom air dan bahkan ke atmosfer.
102
Gambar 48. Peta sebaran lamun dan total biomassa lamun (gbk/m2) di Pulau Panjang, Pulau Semama,
Pulau Derawan, Gusung Kulimis, Pulau Sangalaki dan Pulau Maratua, Kabupaten Berau
(Kalimantan Timur)
103
Nilai penyerapan CO2 melalui tersimpannya karbon dalam biomassa lamun dapat
diketahui dengan mengalikan biomasa terhadap massa CO2 sebesar 3,67. Nilai penyerapan
CO2 dari ekosistem lamun di Kepulauan Derawan melalui biomassa adalah sebesar 70,78
MgC/ha.
Penyimpanan Karbon Sedimen oleh Ekosistem Lamun di Kepulauan Derawan
Karbon stok dalam sedimen di ekosistem lamun Kepulauan Derawan yang terukur di
Pulau Sangalaki dan Pulau Panjang hingga kedalaman 35 cm adalah sebesar 332,03 MgC/ha
dan 287,33 MgC/ha. Nilai ini lebih besar di Pulau Sangalaki karena diketahui Pulau Sangalaki
merupakan pulau karang dengan keberadaan karang yang masih bagus, sedangkan Pulau
Panjang merupakan pulau koral dengan solum tanah yang cukup tebal berkisar 2,5 m dan
sebagian telah mengalami kelapukan. Hasil pelapukan ini merupakan sumber mineral untuk
mendukung dan berkembangnya tanaman mangrove sehingga di Pulau Panjang ekosistem
karbon biru yang lebih berkembang dengan baik adalah mangrove.
Profil karbon sedimen pada setiap lapisan kedalaman 5 cm pada Gambar 50
menunjukkan peningkatan nilai karbon berdasarkan kedalaman.
104
104
Gambar 49. Karbon stok sedimen ekosistem lamun
Gambar 50. Profil total karbon stok di sedimen pulau Sangalaki
105
Gambar 51. Karbon stok ekosistem lamun kepulauan Derawan
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa nilai karbon stok pada ekosistem lamun
terbesar terdapat pada sedimen. Sedimen tempat tumbuh lamun merupakan sedimen asal
laut yang tinggi kandungan karbonnya.
Karbon Stok Lamun Berdasarkan Data Citra Satelit Landsat 8
Kepulauan Derawan memiliki luasan lamun sebesar 117,7 km2 berdasarkan
pengolahan data citra Landsat 8 tahun 2014 menggunakan metode Lyzenga. Terlihat bahwa
ekosistem lamun ini banyak terdapat di sekitar Pulau Panjang, Pulau Maratua dan Pulau
106
106
Semama. Pulau Panjang mengandung banyak mineral yang diperlukan bagi pertumbuhan
mangrove dan lamun di daerah ini. Pantai bertipe pasir yang terdapat di Pulau Semama juga
mendukung keberadaan lamun di daerah tersebut. Pulau Semama merupakan daerah
konservasi yang dijaga kelestariannya, sehingga polusi akibat pengaruh aktifitas manusia
tergolong minim di daerah ini.
Hasil cek lapangan dari peta analisis citra menunjukkan banyak lokasi yang bukan
merupakan ekosistem lamun tetapi hanya hamparan pasir putih. Agar luasan lebih
mendekati realitas maka dikalikan dengan prosentase rata-rata tutupan lamun yang
didapatkan selama penelitian sebesar 25,39% sehingga didapat nilai luasan ekosistem lamun
sebesar 29,88 km2 atau 2.988 ha.
107
Gambar 52. Sebaran Ekosistem Lamun di Kepulauan Derawan (Sumber: Pengolahan Data, 2014)
Berdasarkan hasil penelitian dari 2012 sampai dengan 2014 dan luas ekosistem
lamun berdasarkan citra maka dapat dihitung nilai karbon stok ekosistem lamun kepulauan
Derawan. Nilai karbon stok ekosistem lamun berdasarkan tiga kolam penyimpanan yaitu
biomassa bagian atas, biomassa bagian bawah dan sedimen adalah sebesar 925.903,8 Mg C
atau sebesar 926 G C (1G C= 109 gram).
108
108
PENUTUP
Kualitas perairan Kepulauan Derawan berdasarkan baku mutu Kep. Men. LH no. 51
Tahun 2004 tergolong dalam kategori baik. Nilai nitrat diatas baku mutu menunjukkan
ketersediaan sumber nutrien (nitrogen) yang berlimpah yang belum membahayakan
sehingga perairan Kepulauan Derawan merupakan perairan yang subur.
Karbon stok mangrove Kepulauan Derawan dengan luasan mangrove 16.141 ha pada
biomassa total sebesar 11.814,44 GC dan pada sedimen 3.420,1 GC. Total penyimpanan
karbon pada tiga kolam penyimpanan di ekosistem mangrove Kepulauan Derawan adalah
sebesar 15.234,53 GC. Nilai ini setara dengan penyerapan CO2 sebesar 55.910,73 GCO2e
(55,9TCO2e) (1 terra =103 giga).
Luasan ekosistem lamun di Kepulauan Derawan berdasarkan analisis citra yang telah
dikoreksi dengan nilai tutupan rata-rata lamun 25,39 % adalah seluas 2.988 ha. Karbon stok
ekosistem lamun Kepulauan Derawan berdasarkan tiga kolam penyimpanan (biomas bagian
atas, biomas bagian bawah dan sedimen) adalah sebesar 925.903,8 Mg C atau 926 G C (Giga
= 103 Mg= 106 kg), dengan nilai terbesar terdapat di sedimen (99,94 %). Nilai ini setara
dengan penyerapan CO2 sebesar 3.398,07 GCO2e (3,4 TCO2e)
109
Mengingat tingginya karbon stok di sedimen ekosistem lamun maka diperlukan adanya
pengukuran salinitas dan pH tanah, serta analisa butir sedimen untuk penelitian selanjutnya.
Data tersebut diperlukan untuk mendukung karakteristik sedimen yang berkaitan dengan
vegetasi mangrove.
Perlunya pengamatan stasiun tambahan terkait dengan adanya laju degradasi lamun
untuk menjaga keberadaan lamun tetap lestari mengingat ekosistem ini berpotensi
menyimpan karbon sebagai upaya dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Perlu
adanya regulasi dan aksi untuk melindungi keberadaan lamun, seperti transplantasi atau
penanaman lamun dan peraturan yang melarang melakukan pengerukan di daerah
ekosistem lamun dan mangrove serta adanya kompensasi untuk usaha penanaman kembali.
Pembentukan zonasi daerah perlindungan laut dengan area tertentu dapat dijadikan suatu
regulasi yang baik bagi daerah yang memiliki ekosistem pesisir. Hal ini akan menjaga
keberlangsungan sumberdaya perikanan ekonomis pesisir dan laut.
Menjaga, memelihara dan mengelola hutan mangrove dapat membawa banyak
keuntungan, selain lestarinya hutan dan biota laut, juga dapat memberikan devisa tambahan
bagi pemerintah setempat karena potensinya sebagai carbon incentive mechanism.
110
110
DAFTAR PUSTAKA
Amira S. 2008. Pendugaan Biomassa Jenis Rhizophora apiculata Bl. Di Hutan Mangrove Batu
Ampar Kabupaten Kubu raya, Kalimantan Barat. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB
Bogor.
Balitbang Kelautan dan Perikanan. 2012. Analisa Potensi Blue Carbon di Perairan Banten dan
Kepulauan Derawan Sebagai Mitigasi Iklim Global.
Beer S, Bjork M, Hellblom F, Axelsson L. 2002. Inorganic Carbon Utilization in Marine
Angiosperms (seagrass). Funct Plant Biol. 29:349-354.
Bengen, Dietriech G, 2003. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya
Peisisir - Sinopsis, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Bogor.
Bengen DG. 2009. Perspektif Lamun Dalam Mitigasi Dan Adaptasi Perubahan Iklim. Di dalam
Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta
Borges AV. 2011. Present day carbon dioxide fluxes in the coastal ocean and possible
feedback under global change. Didalam: Duarte P, Santana-Casiano JM, editor. Ocean
and the Atmospheric Carbon Content. Berlin (DE): Springer Publishing. hlm:47-
77.doi:10.1007/978-90-48-9821-4_3.
Bouillon S, Connoly RM. 2009. Carbon Exchange Among Tropical Coastal Ecosystems. Di
dalam: Nagelkerken I, editor. Ecological Connectivity Among Tropical Coastal
Ecosystems. Berlin (DE). Springer Publishing.hlm 45-70.doi:10.1007/978-90-481-2406-
0
111
BPS Biro Pusat Statistik. 2015a. Statistik Daerah Kecamatan Maratua.
www.beraukab.bps.go.id . No Publikasi: 64.055.1523. 16 halaman
BPS Biro Pusat Statistik. 2015b. Statistik Daerah Kecamatan Pulau Derawan.
www.beraukab.bps.go.id . No Publikasi: 64.055.1522. 21 halaman
BRKP. 2003. Daya Dukung Kelautan dan Perikanan Selat Sunda-Teluk Tomini-Teluk Saleh-
Teluk Ekas.Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta
Blackburn, T.H. and J. Sorensen, 1988. Nitrogen Cycling in Coastal Marine Environment. John
Wiley & Sons Inc. New York: 451pp
Coles RG, McKenzie LJ, Campbell S, Mellors J, Waycott M, Goggin L. 2004. Seagrasses in
Queensland Waters. Queensland (AU). CRC Reef Research Centre Ltd.
Dahuri et al. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.
Pradnya Paramita. Bogor
Darusman, D. 2006. Pengembangan Potensi Nilai Ekonomi Hutan Dalam Restorasi Ekosistem.
Jakarta
DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim). 2014. Ringkasan untuk Pembuat Kebijakan Laporan
Kajian ke – 5 AR5 (Assessment Report 5) Pokja Basis Ilmiah. 8 hal
Dharmawan, I Wayan .S dan C.H Siregar. 2008. Karbon Tanah dan Pendugaan Karbon
Tegakan Avicennia marina (Forsk) Vierh. Di Ciasem, Purwakarta. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam. Vol. V No.4: 317-328.
112
112
Donato, D.C., J.B. Kauffman, D. Murdiyarso, S. Kurnianto, M. Stidham & M. Kanninen. 2011.
Mangroves Among The Most Carbon-Rich Forests in The Tropics. Nature Geoscience.
DOI:10.1038/NGEO1123
Donato, D.C., J.B. Kauffman, R.A. Mackenzie., A. Ainsworth & A.Z. Pfleeger. 2021. Whole –
islands carbon stocks in the tropical Pacific: Implications for mangrove conservation
and upland restoration. Journal of Environmental Management (97) 89 - 96.
DOI:10.1016/j.jenvman.2011.12.004
Duarte, C.M & Chiscano, C.L .1999. Seagrass Biomass and Production: A Reassessment. Aquatic
Botany 65 (1999) 159 – 174. Elsevier
Duarte CM. 2002. The Future Of Seagrass Meadow. Env Cons 29(2):192-206.doi:
10.1017/S0376892902000127
Duarte CM, Middleburg JJ dan Caraco C. 2005. Major Role of Marine Vegetation on the
Oceanic Carbon Cycle. Biogeoscience 2: 1-8 www.biogeosciences.net [18 Oktober
2009]
Fourqurean, J.W., C. M. Duarte, H. Kennedy, N.Marbà, M. Holmer, M. A. Mateo, E. T.
Apostolaki, G. A. Kendrick, D. Krause-Jensen, K. J. McGlathery & O. Serrano. 2012.
Seagrass Ecosystems As A Globally Significant Carbon Stock. Nature Geoscience.
DOI:10.1038/NGEO1477.
Fourqurean, J.W., B. Johnson., J.B. Kauffman., H. Kennedy., I. Emmer., J. Howard., E. Pidgeon.,
O. Serrano. 2014. Conceptualizing the project and Developing a Field Measurement
Plan. Dalam Howard, J., S. Hoyt., K Isensee., E. Pidgeon., M. Telszewski. Coastal Blue
113
Carbon: Methods for Assessing Carbon Stock and Emissions factor in Mangrove, Tidal
Salt Marsh and Seagrass Meadow. The Blue Carbon Initiative. 184 hal
Fromard F, Puig H, Mougin E, Marty G, Betoulle JL, Cadamuro L. 1998. Structure, above-
ground biomass and dynamics of mangrove ecosystems: new data from French Guiana.
Oecologia :39-53. Springer-Verlag
Gacia, E; Duarte, C.M dan Middelburg, J.J. 2002.Carbon and Nutrient Deposition in A
Mediterranean Seagrass (Posidonia oceanica) Meadow.Limnol. Oceanogr 47(1) 23 – 32
Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N. 2011. Status and
distribution of mangrove forest of the world using earth observations satellite data.
Global Ecol Biogeogr 20:154-159. doi:10.1111/j.1466-8238.2010.00584.x
Gypens, N., A. V. Borges &C .Lancelot. 2009. Effect of Eutrophication on Air–sSa CO2 Fluxes in
The Coastal Southern North Sea: A Model Study of The Past 50 Years. Global Change
Biology, 15: 1040–1056.
Hairiah, K. dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam
Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre. ICRAF, SEA Regional Office,University
of Brawijaya, Indonesia.
Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian Region. USGS Professional Paper 1078. 356 hal
Hemminga, M.A & C.M, Duarte. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge University Press. USA
Howarth Robert .W and Roxanne Marino. 2006. Nitrogen as The Limiting Nutrient for
Eutrofication in Coastal Marine Ecosystems: Evolving Views Over Three Decades.
Limnology Oceanography 51 (1, part 2), 2006, 364 -376. American Society of
Limnology and Oceanography, Inc.
114
114
Hutomo M dan Azkab MH. 1987. Peranan Lamun di Lingkungan Laut Dangkal. Oseana 12,
(1):13-23
[IPCC] Intergovernmental Panel of Climate Change. 2007. Synthesis Report An assesment of
Intergovernmental Panel of Climate Change.
Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM. 2006. (2eds) Seagrasses: Biology, Ecology and
Conservation. Netherlands (NL). Springer. 690 hal
Levinton, J. S. 1982. Marine ecology. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J. 526 hal
Kab. Berau. 2013. Berau dalam Angka. 2013. Di unduh dari www.beraukab.go.id/
downloads/files/74 [12 Maret 2015]
Kauffman, J. Boone and Daniel C.Donato.2012). Protocols for The Measurement, Monitoring
and Reporting of Structure, Biomass and Carbon Stocks in Mangrove Forest. CIFOR
Kenworthy WJ, Wyllie-Echeverria S, Coles RG, Pergent G, Martini CP. 2006. Seagrass
Conservation Biology: An Interdisciplinary Science for Protection of the Seagrass
Biome. Di dalam Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM (eds) Seagrasses: Biology, Ecology
and Conservation. hlm 595-623. Springer. Netherlands
Kiswara, Wawan. 2009. Potensi Padang Lamun Sebagai Penyerap Karbon: Studi Kasus di Pulau
Pari, Teluk Jakarta. Disampaikan dalam PIT ISOI VI 16-17 November 2009. Jakarta
Koch EW. 2001. Beyond light: Physical, geological and geochemical parameters as possible
submersed aquatic vegetation requirements. Estuar (24):1-17. Estuarine Research
Federation
Komiyama A, Poungparn S dan Kato S. 2005. Coomon allometric equation for estimating the
tree weight of mangroves. Journal of Tropical Ecology. 21: 471-477. Doi.
115
10.1017/S0266467405002476. Cambridge University PressKuo J dan McComb AJ.
1989. Seagrass Taxonomy, Structure and Development Di dalam Biology of
Seagrasses: a Treatise on the Biology of Seagrasses with Special reference to
Australian Region. Larkum, A.W.D, McComb, A.J and Shepherd, S.A., editors. Elsevier.
Amsterdam. 6 -73
Kuriandewa TE. 2009. Tinjauan tentang Lamun Indonesia. dalam Lokakarya Nasional I
Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta
Kusmana C. 1997. An Estimation of Above and Below Ground Tree Biomass of A Mangrove
Forest in East Kalimantan, Indonesia.Bogor Agricultural University. Bogor. VolII no 1.
Hal 24
Kutser T, Vahtmae E, Roelfsema CM dan Metsamaa L. 2007. Photo-library Method for
Mapping Seagrass Biomass. Estuarine, Coastal and Shelf Science 75 559 – 563.
www.elsevier.com/locate/ecss. doi:10.1016/j.ecss.2007.05.043
MacDicken KG. 1997. A Guide to Monitoring Carbon Storage in Forestry and Agroforestry
Projects. Winrock International Institute for Agriculture Development. USA.
Marba N, Holmer M, Gacia E, Barron C. 2006. Seagrass Beds and Coastal Biogeochemistry. Di
dalam. Larkum, AWD., RJ., Orth, CM., Duarte (eds).Seagrasses: Biology, Ecology and
Conservation:1-23. Springer. Netherlands.
Mc,Kenzie. Campbell, S.J & Roder, C.A. 2003.Seagrasswatch: Manual for Mapping & Monitring
Seagrass Resources By Community (Citizen) Volunteers 2sd Edition. The State of
Queensland, Department of Primary Industries, CRC Reef. Queensland. pp 104
116
116
McKenzie LJ, Finkbeiner MA dan Kirkman H. 2001. Methods for Mapping Seagrass
Distribution.Di dalam Global Seagrass Research Methods.Short, F.T and Coles, R.G,
editors.Elsevier. Amsterdam. 101 - 121
McNeil, B. I., R. J. Matear, R. M. Key, J. L. Bullister, and J. L. Sarmiento. 2003. Anthropogenic
CO2 Uptake by The Ocean Based on The Global Chlorofluorocarbon Data Set, Science,
299, 235– 239.
Milliman, J. D., & J. P. M. Syvitski., 1992, Geomorphic/tectonic control of sediment discharge to
the ocean: The importance of small mountainous rivers, J. Geol., 100, 525– 544.
Millero, F.J & Sohn, M.L.1992.Chemical Oceanography. CRC Press, New York.
Muchtar, Muswerry. 2000. Konsentrasi Fosfat di Beberapa Perairan Indonesia. Puslitbang
Oseanologi – LIPI. Jakarta
Nontji, A. 1984. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
PRWLSNH Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati. 2007. Dinamika morfologi
pantai dan ekosistemnya dalam kajian daya dukung lingkungan di Pulau Kongsi,
Kepulauan Seribu
Rasyid, A. 2010.Distribusi Suhu Permukaan Pada Musim Peralihan Barat-Timur Terkait
Dengan Fishing Ground Ikan Pelagis Kecil di Perairan Spermonde.Torani (Jurnal Ilmu
Kelautan dan Perikanan), Vol. 20(1): 1 – 7.
Ratnawati, H.I., L. C. Dewi., S, Makarim., C. D. Puspita. 2015. Karakteristik Iklim dan Cuaca
Kepulauan Derawan 2012. Proses submit
Retraubun, A.S.W. 2001. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Dalam Bengen, D.G. 2001. Prosiding
Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. PKSPL IPB
117
Ribas-Ribas M, Hernández-Ayón JM, Camacho-Ibar VF, Cabello-Pasini A, Mejia-Trejo A,
Durazo R, Galindo-Bect S, Souza AJ, Forja JM, Siqueiros-Valencia A. 2011. Effect of
upwelling, tides and biological processes on the organic carbon system of a coastal
lagoon in Baja California. J Est Coast and Shelf Sci 30:1–10.doi:
10.1016/jecss.2011.09.017
Romimohtarto K dan Juwana S. 2011. Biologi Laut, Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut edisi
4. Djambatan. Jakarta
Rustam A. 2014. Kontribusi lamun dalam regulasi karbon dan stabilisasi ekosistem.[Disertasi].
Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor
Rustam A., Terry L. Kepel, Restu Nur Afiati, Hadiwijaya L Salim, Mariska Astrid,August Daulat,
Peter Mangindaan, Nasir Sudirman, Yusmiana Puspitaningsih R, Devi Dwiyanti S
&Andreas Hutahaean. 2014a. Peran lamun sebagai blue carbon dalam mitigasi
perubahan iklim studi kasus Tanjung Lesung Banten. Jurnal Segara Vol 10 No 2
Desember 2014
Rustam A., Terry L. Kepel, Restu Nur Afiati, Mariska Astrid,August Daulat, Peter Mangindaan,
Nasir Sudirman, Yusmiana Puspitaningsih R, Devi Dwiyanti S & Andreas Hutahaean.
2014b. Potensi Blue Carbon lamun di Teluk Ratatotok, Minahasa Tenggara, sulawesi
Utara. Proses Review
Short FT, McKenzie LJ, Coles RG, Vidler KP, Gaeckle JL. 2006. SeagrassNet Manual for Scientific
Monitoring of Seagrass Habitat, Worldwide edition. University of New Hampshire
Publication. 75 hlm
118
118
Sifleet S, Pendleton L, Murray BC. 2011. State of the science on coastal blue carbon A
summary for policy makers. Durham, North Carolina(US). Nicholas Institut for
environmental policy solutions. Duke University.
Supriadi. R.F, Kaswadji., D.G, Bengen., M, Hutomo. 2012. Produktivitas Komunitas Lamun di
Pulau BarrangLompo, Makassar. Jurnal Akuatika Vol III No 2. 159 – 168. ISSN 0853-
2523
Suyarso. 2002. Profil Sumberdaya Kelautan Perairan Selat Malaka. Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI, Jakarta: x + 93 hal.
Talan, MA. 2008. Persamaan penduga biomassa pohon jenis Nyirih (Xilocarpus granatum
Koenig. 1784) dalam tegakan mangrove hutan alam di Batu Ampar, Kalimantan
Barat. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB Bogor
Ulumuddin, Y.I dan W. Kiswara. 2010. Mangrove dan Lamun dalam Siklus Karbon. Oseana. Vol
35 No. 2: 39-46
Wiryawan B.,S.A, Stanley., I. Yulianto., H.a, Susanto . 2004. Profil Kepulauan Derawan.
Kerjasama The Nature Conservancy (TNC) dengan pemerintah Kabupaten Berau.
UNOCAL. 60 hal
TNC The Nature Conservancy. 2008. Coral Triangle Facts, Figures and Calculation: Part II:
Patterns of Biodiversity and Endemism. Di unduh http://ctatlas.reefbase.org/pdf/
part%20II%20%20biodiversity%20stats.pdf [3 Mei 2015]. 6 hal
Trumper, K., BERTZKY, M., DICKSON, B., VAN DER HEIJDEN, G., JENKINS, M., MANNING, P.
(2009). The Natural Fix? The role of ecosystems in climate mitigation. A UNEP rapid
119
re-sponse assessment. United Nations Environment Programme, UNEPWCMC, Cam-
bridge, UK..
Wattayakorn, G. 1988. Nutrient Cycling in Estuarine. Paper Presented in The Project on
Research and its Application to Management of The Mangrove of Asia and Pasific,
Ranong, Thailand : 17 pp.
Watson, J.G. 1928. Malyan Forest Record. Mangrove Forest of The Malay Peninsula. Published
by Permision of The Federated Malay Status Goverment. Printed by Fraser and Neane
Ltd. Singapore
WWF. 2012. Blue Carbon – A New Concept for Reducing The Impacts of Climate Change by
Conserving Coastal Ecosystems in The Coral Triangle. Australia