biografi pelukis 1.docx
-
Upload
adina-effendi -
Category
Documents
-
view
308 -
download
11
Transcript of biografi pelukis 1.docx
Affandi Koesoema
(Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990) adalah seorang pelukis yang
dikenal sebagai Maestro Seni LukisIndonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di
dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya dan romantisme yang khas. Pada tahun 1950-
an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat.
Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.
BiografiAffandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di
pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki
pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh
pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya
diperoleh oleh segelintir anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam
kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka
bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor.
Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya
sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang
sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung.
Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima
pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdiserta Affandi
yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup
besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan
Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama
dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera
Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat
Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai
Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut
ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana
dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan
Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta
dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup
pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas
membuat poster. Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang
dirantai tapi rantainya sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang
dituliskan di poster itu ("Bung, ayo bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar.
Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam
kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis
diSantiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba
di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan
melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan
pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili
orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof.
Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang
konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi
cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk
komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi
juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan
dianggap sebagai lelucon pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang
masih dekat dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika Affandi
mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan
hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi
kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni
Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup
gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film
Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung
USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang
pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada
yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara
Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Keruan saja semua tertawa.
Potret diri Affandi diabadikan dalam perangko Indonesia seri Seniman Indonesia tahun 1997.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang
sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini
mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola,
biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima, Krisna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu
menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun
begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya
dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu
tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi
tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus
kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
Affandi dan melukis[sunting | sunting sumber]
Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang
dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu
memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari
University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering
menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya,
bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang
sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar Doctor Honoris Causa dari University of
Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran
ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang
lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun
bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika
kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi
dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik
bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal
sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik
dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan
yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah
binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan
lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi
sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya,
dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia
menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa
yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis
seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut
sebagai tukang gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut
seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit,
saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan
yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang
didirikannya itu.
Museum Affandi[sunting | sunting sumber]
Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu
dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana
Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni 1988 kala keduanya masih berkuasa.
Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya
adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif
yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal kariernya hingga selesai, sehingga tidak dijual.
Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-
lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan
terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus
Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil"
(Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan
lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.
Affandi di mata dunia[sunting | sunting sumber]
Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya
seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan
keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan
dan julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia
bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai
Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand
Maestro.
Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang hampir
seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun 1977 ia mendapat
Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic
Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya
menjadi anggota Akademi Hak-Hak Azasi Manusia.
Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di antaranya,
penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugrahkan Pemerintah Republik Indonesia pada
tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut
Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 sebesar Chairil Anwar pun
pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang berjudul "Kepada Pelukis
Affandi".
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis,
Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia telah mengadakan
pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika
serta Australia. Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain
diLondon, Amsterdam, Brussels, Paris, dan Roma. Begitu juga di negara-negara benua Amerika
seperti di Brasil, Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat
namanya dikenal di berbagai belahan dunia. Bahkan kurator terkenal asal Magelang, Oei Hong
Djien, pernah memburu lukisan Affandi sampai ke Rio de Janeiro.
Penghargaan dan lain-lain[sunting | sunting sumber]
Penghargaan[sunting | sunting sumber]
1. Piagam Anugerah Seni, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969
2. Doktor Honoris Causa dari University of Singapore, 1974
3. Dag Hammarskjöld, International Peace Prize (Florence, Italia, 1997)
4. Bintang Jasa Utama, tahun 1978
5. Julukan Pelukis Ekspresionis Baru Indonesia oleh Koran International Herald Tribune
6. Gelar Grand Maestro di Florence, Italia
Pameran[sunting | sunting sumber]
1. Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)
2. East-West Center (Honolulu, 1988)
3. Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
4. Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
5. Singapore Art Museum (1994)
6. Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
7. Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
8. ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
9. Pameran keliling di berbagai kota di India.
10.Pameran di Eropa al: London, Amsterdam, Brussels, Paris, Roma
11.Pameran di benua Amerika al: Brazilia, Venezia, São Paulo, Amerika Serikat
12.Pameran di Australia
Buku tentang Affandi[sunting | sunting sumber]
1. Buku kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag Hammarskjöld, 1976, 189
halaman. Ditulis dalam empat bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan
Indonesia.
2. Nugraha Sumaatmadja , buku tentang Affandi, Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975
3. Ajip Rosidi , Zaini, Sudarmadji, Affandi 70 Tahun, Dewan Kesenian Jakarta, 1978.
Diterbitkan dalam rangka memperingati ulang tahun ketujuh puluh.
4. Raka Sumichan dan Umar Kayam, buku tentang Affandi, Yayasan Bina Lestari Budaya
Jakarta, 1987, 222 halaman. Diterbitkan dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi,
dalam dua bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Indonesia.
Pelukis Dullah lahir di Solo, Jawa Tengah, 17 September 1919, ia dikenal sebagai seorang pelukis realis. Corak
lukisannya realistik. Mempunyai kegemaran melukis portrait (wajah) dan komposisi-komposisi yang
menampilkan banyak orang (group). Diakui, Dullah belajar melukis dari dua orang Gurunya yang sekaligus
merupakan pelukis ternama, yaitu S. Sudjojono dan Affandi. Meskipun demikian corak lukisannya tidak pernah
mempunyai persamaan dengan dua orang gurunya tersebut.
Pernah dikenal sebagai pelukis istana selama 10 tahun sejak awal tahun 1950-an, dengan tugas merestorasi
lukisan (memperbaiki lukisan-lukisan yang rusak) dan menjadi bagian dalam penyusunan buku koleksi lukisan
Presiden Soekarno. Dullah juga dikenal sebagai pelukis revolusi, karena dalam karya-karyanya banyak
menyajikan lukisan dengan tema-tema perjuangan selama masa mempertahankan kemerdekaan.
Pada waktu perang kemerdekaan II, saat Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda pada 19 Desember 1949
hingga 29 Juni 1950, Dullah memimpin anak didiknya yang masih belum berumur 17 tahun untuk melukis
langsung peristiwa-peristiwa selama pendudukan Yogyakarta sebagai usaha pendokumentasian sejarah
perjuangan bangsa. Lukisan-lukisan yang dihasilkan ketika itu diulas di surat-surat kabar, bahkan oleh Affandi
dinilai sebagai karya satu-satunya di dunia.
Dullah merupakan salah seorang pelukis realis yang jarang berpameran. Tapi pamerannya bersama anak-
anaknya di Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogya) tahun 1978, berhasil menarik puluhan ribu orang.
Meskipun pameran diperpanjang satu hari, pintu gerbang Gedung Agung bagian Utara sempat pula jebol.
Pameran itu dilanjutkan 20 Desember 1979 hingga 2 Januari 1980, di Aldiron Plaza, Jakarta. Banyak orang
kecewa karena ia tak menjual lukisannya.
Bagi Dullah, melukis adalah media untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dullah termasuk pendiri Himpunan
Budaya Surakarta (HBS). Kemudian didirikannya sebuah sanggar di Pejeng, Bali. Pada setiap pameran baik
didalam atau diluar negeri, karya murid-muridnya ikut disertakan.
Ia juga menulis sajak, beberapa sajaknya dimuat dalam bunga rampai sastra Indonesia yang di himpun oleh H.B
Jassin. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dalam sebuah kumpulan di Pakistan. Sebuah
puisinya yang berjudul Anak Rakyat ditulis tahun 1943 dan dimuat dalam Gema Tanah Air, barangkali sudah
mengisyaratkan kegandrungannya kepada tema perjuangan dalam lukisan-lukisannya. Dullah mendirikan
museum pribadi di Solo pada tahun 70-an, dan hingga kini museum tersebut masih representatif dan dikelola
oleh pemerintah Kotamadya Surakarta.
Banyak lukisan-lukisannya yang menjadi koleksi pejabat-pejabat penting pemerintahan, kolektor seni baik dalam
maupun luar negeri, tokoh masayarakat dan orang terkemuka, diantaranya Presiden pertama RI Soekarno,
Wakil Presiden pertama RI Muhammad Hatta, Adam Malik, mantan Presiden Amerika Serikat Eisenhower,
mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Walter Mondale, mantan Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies dan
museum seni lukis di Ceko.
"Didepan pura" by Dullah, Size: 68cm x 54cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1969
*) Auction: Masterpiece
"Gadis Bali" by Dullah, Size: 60cm x 50cm, Medium: Oil on canvas
*) Auction: Masterpiece
"Gunung Lawu-Jawa Tengah" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 130cm X 180cm, Year: 1953
*) Koleksi Bung Karno
"Halimah gadis Aceh" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 94,5cm X 74cm
*) Koleksi Bung karno
"Hutan di Gunung Merapi-Jawa Tengah" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 221cm x 122cm
*) Koleksi Bung karno
"Kebun Sayur" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 96cm x 151cm
*) Koleksi Bung karno
"Landscape Ngarai" by Dullah, Size: 70cm x 135cm, Medium: Oil on canvas
*) Auction: Masterpiece
"Ngarai Minagkabau-Sumatera" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 140cm x 72cm
*) Koleksi Bung karno
"Pemadangan di Kintamani" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 174cm x 349cm, Year: 1952
*) Koleksi Bung karno
"Pemuda lampung berpakain adat" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 120cm x 59cm, Year: 1952
*) Koleksi Bung karno
"Persiapan gerilya" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 178cm x 197cm
Hardi
(lahir di Blitar, Jawa Timur, 26 Mei 1951; umur 64
tahun) adalah seorang seniman pelukis dan budayawan Indonesia [1] . Terlahir dengan nama R.
Soehardi ia adalah salah satu pelukis aliran ekspresionis yang terkenal dan aktivis lintas seni
dan kebudayaan diIndonesia yang sekarang bermukim di Jakarta.
Sejarah kehidupannya[sunting | sunting sumber]
Sejak tahun 1970 hidup di Ubud, Bali melukis bersama W. Hardja, Anton Huang, kemudian
kuliah di Akademi Seni Rupa Surabaya.
Antara 1971 - 1974 Hardi kuliah di STSRI ASRI Yogyakarta, berlanjut tahun 1975 - 1977 kuliah
di De Jan Van EYC Academie diMaastricht, Belanda. Dalam bidang senirupa Hardi berguru
kepada Daryono, Fadjar Sidik, Widayat, Prof. Hans Seur, Prof. Pieter De Fesche, Nyoman
Gunarsa, dan Drs. Sudarmadji.
Tanggal 5 Desember 1978 merupakan babak sejarah bagi Hardi. Saat itu dia ditangkap dan
meringkuk di tahanan Laksusda Jaya, karena lukisan foto dirinya, berukuran 60 x 30 cm, dengan
pakaian jendral berbintang dan bertajuk Presiden tahun 2001, Soehardi. Pamasangan foto
dirinya di tengah pemerintah represif dan militeristik Orde Baru merupakan protes dan
perlawanan, sekaligus tantangan kepada penguasa. Namun, berkat campur tangan Wakil
Presiden Adam Malik saat itu, Hardi dibebaskan.
Karya[sunting | sunting sumber]
Memiliki kepribadian terbuka, dan blak-blakan, kadang meledak-ledak - seorang kolektor dan
pengamat karyanya menandai perubahan karya lukis Hardi di era 1970 - 1980anyang banyak
mengekspos masalah sosial, dan menjadi pencetus Gerakan Seni Rupa Baru yang fenomenal,
menjadi karya-karya yang teduh, meski tetap dengan sapuan yang galak.
Karyanya dikoleksi Keluarga Cendana, menteri-menteri kabinet Orde Baru dan Orde Reformasi,
tokoh-tokoh nasional, kalangan pengusaha, dan rekan-rekan seniman, selain lembaga-lembaga
bergengsi seperti Museum Purna Bhakti Pertiwi, Balai Senirupa DKI, Dinas Kebudayaan
DKI, TIM, LBH, Wisma Seni Nasional, Bentara Budaya, PT. Coca Cola Museum Neka Ubud -
Bali, Yayasan Pengembangan Bisnis Indonesia, dll.
"Saya melukis setelah 26 tahun tak punya konsep baku. Saya melukis semau saya, menuruti
kata hati. Semoga karya saya ada manfaatnya bagi kehidupan. Insya Allah!" Itulah catatan
otentik Hardi.
Terakhir dia aktif dan menjadi Ketua UMUM Ormas Seniman Indonesia Anti Narkoba (SIAN) di
bawah naungan bersama Badan Narkotika Nasional (BNN).[2].
Pameran[sunting | sunting sumber]
Sejak 1976 seniman pengagum Bung Karno ini mengadakan pameran tunggal di Heerlen Belgia,
kemudian di Taman Ismail Marzuki, Bentara Budaya, Balai Budaya, Komala Galerry Ubud,
Wisma Seni Depdikbud, Hotel Sahid, kemudian pameran bersama dengan berbagai kelompok
pelukis, sampai tahun 1992-an Hardi tidak mencatat lagi pameran-pamerannya karena nyaris
tiap bulan mengadakan pameran.
Pada tanggal 18 April 1999 sampai dengan 18 Mei 1999, Hardi mengadakan pameran tunggal di
Graha Budaya Indonesia di Tokyo.[3]
Akhir Mei 2008 mengikuti pameran bersama "Manifesto" di Galeri Nasional Hardi menghadirkan
karya bertema tersangka terorisme berjudul Waiting for the death penalty.[4]
Lukisan Hardi di Luar Negeri[sunting | sunting sumber]
Lukisan Hardi digunakan untuk kulit depan 3 buku di Rusia, antaranya buku puisi "Kembalikan
Indonesia Padaku" oleh Taufiq Ismail (2010)[5], antologi cerpen Malaysia dan Indonesia "Darah
Melayu" (2011)[6], Buku Rujukan Ringkas "Indonesia" (2013)[7].
Karya Lukisan Hendra Gunawan
Diposkan oleh : seni rupa Posted on Selasa, 15 Januari 2013 - 19.33 with 2 comments
Karya Lukisan yang berjudul Perempuan dan Rajungan diatas adalah salah satu dari Sekian banyak Karya Lukisan Hendra Gunawan. Hendra Gunawan sendiri dikenal sebagai salah satu maestro Pelukis Indonesia pada jaman pendudukan Jepan, dan dia banyak belajar dari Pelukis Besar Expresionis Affandi.
Biografi :
Hendra Gunawan Dilahirkan pada tanggal 11 Juni 1918 di kota Bandung, Jawa Barat dan Wafat di Denpasar Bali pada tanggal 17 bulan Juli tahun 1983. Hendra Gunawan lebih dikenal sebagai seorang pelukis, namun dia juga merupakan seniman penyair, pematung dan juga pejuang gerilya. Selama masa mudanya ia bergabung dengan tentara pelajar dan merupakan anggota aktif dari Poetera (Pusat Tenaga Rakyat) dan organisasi yang dipimpin oleh Sukarno dan lain-lain. Ia juga aktif dalam Persagi (Asosiasi Pelukis Indonesia, sebuah organisasi yang didirikan oleh S. Soedjojono dan Agus Djaya pada tahun 1938.
Perjalanan Karier :
Dalam kehidupan Hendra Gunawan cukup beruntung karena dia sempat masuk sekolah dan belajar melukis pada Wahdi, seorang pelukis pemandangan. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang melukis. Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada grup sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya.
Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk menjadi seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri melangkah maju. Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut mendukung dan terus mendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia membentuk Sanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah beberapa kali mengadakan pameran bersama.
Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan “Pengantin Revolusi”, disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.
Akhir Hayat :
Selain aktif dalam kegiatan melukis, Hendra Gunawan juga aktif dalam kegiatan seni rupa yang lain seperti seni patung. Salah satu karya Seni Patung Hendra Gunawan yang masih bisa dijumpai saat ini jika kita berkunjung ke kota Yogyakarta. Di halaman gedung kantor DPRD Yogyakarta, berdiri sebuah patung batu Jendral Sudirman yang merupakan hasil pahatan dari Hendra Gunawan.
Pelukis yang merupakan sahabat dekat penyair terkenal Indonesia Chairil Anwar ini lebih memilih Bali sebagai tempatnya menghabiskan waktu usai menjalani masa penahanan. Karena, Bali merupakan tempat para seniman besar yang sudah banyak dikenal sepereti Umbu Landu Paranggi, seorang penyair asal Sumba yang juga berdiam di Bali. Umbu sangat menghormati Hendra Gunawan, sebab selain kemampuannya di bidang seni rupa, Hendra Gunawan ternyata juga mempunyai kemampuan dibidang sastra, terbukti dengan karya-karya puisi yang telah diciptakannya.
Karya terakhir Hendra Gunawan adalah lukisan tentang tenggelamnya kapal Tampomas. Namun, di tangan Hendra Gunawan, kisah tentang kapal itu digambarkannya dengan potret diri yang diserbu oleh ribuan ikan. Namun, hingga akhir hayatnya lukisan tersebut tidak sempat diselesaikannya sebab Hendra Gunawan yang usianya mulai merambat senja harus meninggalkan dunia sebelum lukisan itu berhasil diselesaikan.Hendra Gunawan kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 17 Juli 1983 di Rumah Sakit Umum Sanglah, Denpasar, Bali. Pemakaman Muslimin Gang Kuburan di Jalan A. Yani, Purwakarta menjadi tempat peristirahatan salah satu pelukis maestro Indonesia ini.
Karya Lukisan Hendra Gunawan :Dibawah ini beberapa karya lukisan dan sketsa yang telah diciptkan oleh pelukis Hendra Gunawan.
Bisikan Iblis Karya Lukisan Hendra Gunawan
Sketsa Karya Hendra Gunawan
Perempuan Menjual Ayam karya lukisan Hendra Gunawan