bimbingan cedera kepala
-
Upload
ardisa-permata-putri -
Category
Documents
-
view
71 -
download
1
description
Transcript of bimbingan cedera kepala
Subgaleal Hematoma
Merupakan suatu pendarahan yang terjadi pada celah diantara lapisan galea dan
tulang tengkorak sehingga menyebabkan penonjolan keluar pada kepala. Pendarahan
ini tidak merobek lapisan kulit, namum menyebabkan pembuluh darah pada lapisan
jaringan ikat longgar bawah kulit kepala pecah sehingga darah menjadi terkumpul.
Keadaan hematoma ini sering terjadi pada kehidupan sehari-hari.
Penanganan yang dilakukan pada subgaleal hematoma adalah dengan mengompres
lokasi benjolan dengan air dingin. Hal ini dilakukan karena air dingin dapat
menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang pecah, sehingga
pendarahan yang terjadi dapat dihentikan. Subgaleal hematoma yang berukuran kecil
akan segera hilang dalam beberapa hari.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan pendarahan subgaleal yang berukuran besar
sebaiknya dilakukan insisi dan aspirasi untuk mengeluarkan darah dan dipasang suatu
pembalut untuk menekan pendarahan. Tapi ada beberapa pendapat yang mengatakan
bahwa tindakan ini tidak diperlukan karena dapat meningkatkan resiko munculnya
infeksi.
Fraktur Basis Kranii
Merupakan fraktur karena benturan langsung pada daerah dasar tulang tengkorak.
Fraktur ini lokasinya terletak pada dasar kranium, yang terjadi pada fossa anterior,
fossa media, dan fossa posterior.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.
Komplikasi :
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Komosio Serebri
Komosio serebri (gegar otak) merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi
pingsan kurang dari 10 menit. Pada keadaan ini terjadi guncangan terhadap otak
sehingga mengakibatkan pingsan sementara. Komosio serebri tidak meninggalkan
gejala sisa atau tidak menyebabkan kerusakan struktur otak. Pada pemeriksaan fisik
tidak dijumpai adanya defisit neurologis. Pasien mungkin mengeluh sakit kepala,
vertigo, mual-muntah, tampak pucat, linglung, hilang ingatan, pandangan
kaburTrauma ini termasuk dalam kategori cedera kepala ringan karena presentasi
klinisnya adalah dengan skor GCS 13-15.
Fokus lokasi lesi yang menyebabkan hilangnya kesadaran sampai saat ini
diperkirakan berada di Reticular Activating System/RAS. Goncangan pada area ini
menyebabkan penderita mengalami hilang kesadaran sementara.
Walaupun tidak ada defisit neurologis, tetapi penderita kadang mengalami amnesia.
Amnesia yang dialami dapat berupa post-traumatic amnesia (anterograde) atau pre-
traumatic amnesia (retrograde). Tetapi hal ini hanya terjadi sementara saja dan
kemudian akan pulih secara spontan.
Berdasarkan lamanya gangguan memori dan hilangnya kesadaran, komosio terbagi
dalam 5 tingkatan :
Grade I : Mengalami konfusi temporer, namun tidak ada gangguan memori
Grade II : Mengalami disorientasi sejenak dan anterograde amnesia < 5 menit
Grade III : Mengalami disorientasi sejenak, anterograde amnesia < 5 menit
dan hilang kesadaran < 5 menit
Grade IV : Mengalami disorientasi sejenak, anterograde amnesia < 5 menit
dan hilang kesadaran 5 – 10 menit
Grade V : Mengalami disorientasi sejenak, anterograde amnesia < 5 menit dan
hilang kesadaran > 10 menit
Dalam presentasi klinisnya, pasien tiba di rumah sakit dalam keadaan telah sadar
kembali, walaupun pasien tampak masih linglung, amnesia dan sakit kepala.
Pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis, seperti menghilangkan gejala nyeri,
muntah, dll. Bila keluhan penderita tidak membaik dalam beberapa hari atau
bertambah berat maka harus diwaspadai kemungkinan terjadinya pendarahan yang
lebih berat, sehingga pemeriksaan CT-Scan diperlukan untuk kepastian diagnosis.
Kontusio Serebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan. Pada kontusio, piamater masih dalam
keaadaan utuh. Karakteristik dari kontusio adalah adanya kerusakan sel saraf dan
aksonal, pendarahan kapiler dan edema jaringan otak.
Kontusio dapat terjadi pada lokasi dimana benturan terjadi (kontusio koup)
atau di tempat lain yang disebut kontusio kontra koup.
Gejala yang muncul berupa pingsan lebih dari 10 menit dan disertai
suatu defisit neurologis. Hal ini karena adanya suatu kerusakan jaringan otak
tersebut. Ringan beratnya defisit neurologis bergantung pada besar kecilnya
kerusakan jaringan yang terjadi. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto
ronsen kepala untuk melihat adakah fraktur dan lebih bagus lagi bila dilakukan CT
Scan untuk mengetahui apakah terjadi pendarahan lebih lanjut atau hanya edema otak
saja.
Laserasi serebri
Dikatakan laserasi serebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan
piamater. Laserasi serebri merupakan suatu cedera kepala terbuka dan merupakan
kontusio serebri yang berat. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan
subaraknoid, subdural akut dan intercerebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi
langsung dan tidak langsung.
Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh
benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka.
Sedangkan laserasi tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat
akibat kekuatan mekanis. Pemeriksaan CT Scan diperlukan untuk untuk menegakkan
diagnosis laserasi serebri.
Pendarahan Epidural
Merupakan salah satu jenis dari pendarahan intrakranial. Pendarahan epidural terjadi
diantara duramater dan tulang tengkorak. Duramater merupakan lapisan terluar pada
selaput meninges. Pembuluh darah yang menyebabkan pendarahan pada epidural
adalah middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang temporal. Ketika
pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang
antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan
epidural hematom.
Pada pendarahan epidural umumnya terjadi fraktur tulang tengkorak (80 %). Namun
pada anak-anak hal ini jarang terjadi. Benturan yang terjadi tidak cukup kuat untuk
menyebakan fraktur, tetapi cukup kuat untuk menyebabkan robeknya pembuluh
darah. Pendarahan epidural yang tidak disertai fraktur memiliki prognosis yang lebih
berat, karena peningkatan intrakranial akan terjadi lebih cepat.
Pada pendarahan epidural, salah satu gejala yang khas adalah lucid interval. Yaitu ada
fase sadar yang muncul diantara fase tidak sadar. Sesaat setelah trauma terjadi,
penderita akan mengalami fase tidak sadar karena adanya goncangan dan teregangnya
serat-serat saraf pada RAS yang terdapat di batang otak. Mekanisme ini sama dengan
mekanisme munculnya hilang kesadaran ada komosio sererbri. Goncangan ini bersifat
sementara, sehingga pada saat RAS sudah stabil, penderita akan sadar kembali.
Kemudian beberapa lama kemudian pasien akan tidak sadar kembali atau mengalami
defisit neurologis karena adanya desakan dari pendarahan arteri yang mengalami
robekan telah menyebabkan suatu hematoma sebanyak 50 cc. Semakin singkat
interval yang terjadi, berarti semakin besar dan cepat hematoma yang terjadi.
Walaupun lucid interval ini khas pada epidural hematoma, tetapi pada kenyataannya,
apabila pendarahan yang muncul sangat berat dan luas maka penderita dapat langsung
mengalami hilang kesadaran tanpa disertai fase sadar kembali (lucid interval)
Hematoma yang terjadi pada lobus frontal akan menimbulkan gejala nyeri dan disertai
perubahan perilaku. Pada hematoma yang terjadi pada lobus temporal, akan
menimbulkan gejala neurologis yang progresif . Penurunan kesadaran yang muncul
bersifat berat. Hematoma yang semakin berat akan makin mendesak otak ke bawah ke
arah insisura tentori, sehingga terjadi herniasi jaringan otak yang menekan nervus
okulomotor. Hal ini menimbulkan anisokor, dan reflek cahaya negatif. Defisit
neurologis yang lain dapat berupa hemiparesis, muntah, kejang, dan pada
pemeriksaan fisik akan menimbulkan tanda-tanda terjadinya lesi Upper Motor
Neuron.
Pendarahan epidural sifatnya darurat, dimana penanganan utama nya adalah
mencegah terjadinya desakan yang luas dari hematoma yang terbentuk. Pada epidural,
pembuluh darah yang mengalami robekan adalah arteri, sehingga manifestasi
munculnya hematoma sangatlah cepat.
Perdarahan ini jarang pada pasien usia diatas 60 tahun, kemungkinan karena
duramater melekat lebih kuat ke tabula interna. Hal ini pula menerangkanmengapa
kebanyakan hematoma epidural terjadi di bagian temporal karena padalokasi tersebut
perlekatan duramater pada tulang tengkorak lebih lemah disbanding pada lokasi
lainnya.
Pemeriksaan penunjang yang paling baik untuk pendarahan epidural adalah
CT Scan. Pada pemeriksaan dengan CT Scan kepala, hematoma epidural akan
tampak gambaran lesi hiperdens dengan bentuk bikonveks (double convex sign) atau football
shaped yang terletak dibagian temporal tengkorak.
Hematoma epidural yang progresif perlu penanganan operatif untuk
mengeluarkan hematoma dan menghentikan perdarahan secepatnya agar tidak terjadi
pendesakan yang lebih luas. Bila tindakan operatif dapat dilakukan segera, sebelum
berbagai defisit neurologis terjadi, maka kesembuhan total dapat diharapkan untuk
diperoleh. Apabila volume hematoma < 30cc dan tidak bertambah besar, operasi
tidak mutlak dilakukan. Tetapi harus tetap dilakukan pemantauan intensif.
Pendarahan Subdural
Merupakan pendarahan yang terjadi diantara lapisan duramater dan arachnoid.
Pendarahan yang terjadi berasal dari bridging vein yang melintas dari ruang
subarachnoid ke ruang subdural, yang kemudian bermuara dalam sinus venosus
duramater.
Pendarahan ini lebih sering terjadi dibanding pendarahan subdural. Pendarahan ini
tidak hanya karena trauma, tetapi dapat disebabkan karena pecahnya aneurisma,
malformasi pembuluh darah subdural, kelainan pembekuan darah.
Pendarahan dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Mekanisme yang paling sering
adalah benturan langsung pada kepala, baik menyebabkan fraktur atau tidak. Cedera
kepala pada pendarahan subdural juga dapat menyebabkan lesi lain seperti hematoma
serebri, laserasi jaringan otak, dan kontusio serebri. Pendarahan subdural lebih sering
terjadi di daerah temporal dan parietal, sedangkan daerah frontal dan oksipital lebih
jarang.
Pendarahan subdural berdasarkan perjalanan munculnya gejala dibagi menjadi 3 fase,
yaitu akut, subakut dan kronik
1. Pendarahan subdural akut
Gejala muncul segera/beberapa jam/3 hari setelah trauma terjadi. Umumnya
karena robeknya pembuluh darah arteri yang menyertai fraktur tulang
tengkorak. Ketebalan hematoma bisa hanya mencapai 5 mm, tetapi mengenai
area yang luas. Memiliki prognosis yang buruk. Pada gambaran CT scan
terdapat lesi hiperdens berbentuk konkaf atau crescentic sign yang menyerupai
bulan sabit. Tetapi lesi bisa berbentuk hipodens atau isodens apabila penderita
memiliki riwayat anemia berat atau darah bercampur dengan CSF, sehingga
mengencerkan pendarahan.
2. Pendarahan subdural subakut
Gejala muncul 4-10 hari pasca trauma. Pada CT Scan gambaran pendarahan
lebih tebal daripada yang akut dan memberikan campuran gambaran antara
hiperdens, isodens dan hipodens.
3. Pendarahan subdural kronik
Gejala baru muncul 10 hari atau bahkan berbulan-bulan pasca trauma.
Biasanya terjadi pada orang lansia, peminum alcohol, dimana terdapat atrofi
jaringan otak. Sehingga jaringan permukaan korteks dan sinus vena menjadi
lebih besar, sehingga lebih rentan terhadap guncangan. Sehingga trauma yang
ringan saja dapat menyebabkan suatu hematoma. Pada gambaran CT Scan
menunjukan lesi hipodens karena kandungan zat besi nya telah difagosit oleh
makrofag. Gejala yang muncul bersifat lambat sehingga kerap dikatakan
seperti tumor serebri dimana gejala awalnya ringan dan terasa meningkat dari
waktu ke waktu.
Penangan pada subdural akut yang dapat segera dioperasi dalam 4 jam pertama,
memberikan prognosis yang lebih baik. Pada kasus dengan pendarahan kecil (30 cc)
kadangkala masih dapat diberikan terapi konservatif dengan observasi yang ketat.
Pendarahan yang terjadi karena vena yang mengalami ruptur kadang dapat berhenti
sendiri karena efek tekanan yang meningkat, sehingga pembuluh darah pun juga ikut
tertekan. Pendarahan pun menjadi terhenti.
Pendarahan Subaraknoid
Pendarahan yang terjadi diantara lapisan araknoid dan piamater. Pendarahan
ini terjadi di rongga subaraknoid. Lesi biasanya disertai dengan kontusio atau laserasi
serebri. Pendarahan ini sangat jarang terjadi murni tanpa ada lesi lain yang menyertai.
Penyebab paling sering adalah kelainan kongenital AVM (arteriovenous
malformation). Bisa juga karena ruptur aneurisma (aneurisma sakular yang paling
sering). Bila terjadi ruptur, maka pendarahan akan mengalir ke rongga subaraknoid
dan dapat menyebabkan gangguan penyerapan CSF, sehingga dapat menimbulkan
secondary hidrosephalus, baik tipe komunikans atau non-komunikans. Komunikasns
apabla bekuan darah berada di vili araknoid, dan non-komunikans apabila bekuan
darah mengobstruksi ventrikel ke 4 dan ke 3. Selain itu darah yang berakumulasi di
rongga subaraknoid dapat menyebabkan iritasi pada selaput meninges, sehingga dapat
menimbulkan tanda rangsang meningeal positif pada pemeriksaan fisik tanpa disertai
demam. Darah yang berakumulasi pada rongga araknoid menyebabkan arteri
mengalami spasme. Sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun. Vasospasme
biasanya akan muncul pada hari ketiga dan mencapai puncaknya pada hari ke 6 dan
ke 8, yang kemudian menghilang pada hari ke 12. Spasme yang terjadi dapat
menyebabkan gangguan mikrosirkulasi pada otak yang kemudian bermanifestasi
menjadi edema otak. Pendarahan ini sering menyebabkan sakit kepala hebat yang
tidak pernah dirasakan sebelumnya, kejang, fotofobia karena iritasi meningeal.
Kepastian diagnosa didapat apabila cairan serebrospinal yang bercampur darah bila
dilakukan pungsi lumbal. Apabila darah yang ada hanya sedikit, maka CSF akan
berwarna xantokrom. Pada CT-Scan akan didapat lesi hiperdens yang mengikuti pola
sulkus, sehingga bentuknya berliku-liku. Perdarahan ini memerlukan perawatan yang
intensif. Vasospasm harus dicegah dengan cepat dengan pemberian terapi calcium
chanel blocker selama minimal 2 minggu.
Pendarahan Intraserebri
Pendarahan ini terjadi di dalam jaringan atau parenkim otak. Mekanisme paling sering
terjadi karena ada riwayat hipertensi kronik terutama hipertensi arterial, dimana
tekanan darah yang tinggi dapat merusak dinding pembuluh darah arteri-arteri kecil
sehingga dapat menimbulkan aneurisma charchot (aneurisma dengan diameter 0,8 – 1
mm) ruptur spontan. Pendarahan intraserebral juga dapat terjadi akibat laserasi atau
kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi paling sering terjadi di area lobus frontalis dan
temporalis. Lesi dapat berupa fokus pendarahan yang kecil-kecil sebagai akibat lesi
akselerasi-deselerasi, sedangkan lesi yang besar umumnya akibat suatu laserasi atau
kontusio serebri berat.
Manifestasi paling sering muncul adanya sakit kepala dan gangguan kesadaran. Pada
pendarahan intraserebri, tekanan intrakranial akan lebih cepat meningkat karena
pendesakan massa hematoma pada jaringan serebri yang disertai edema sitotoksik.
Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan
luas pendarahan.
Pada CT-Scan tampak pendarahan sebagai bayangan hiperdens yang homogen dengan
batas tegas dan terdapat edema perifokal di sekitarnya.
Tekanan darah perlu dijaga sebab kenaikan tekanan darah dapat mengakibatkan
pendarahan ulang. Pasien dengan pendarahan besar, yang memberikan efek massa
yang besar dan muncul defisit neurologis signifikan diindikasikan untuk tindakan
operatif..
TATALAKSANA CEDERA KEPALA
Tindakan pra-rumah sakit
Tindakan yang harus dilakukan dalam penanganan cedera kepala bertujuan untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang meluas. Beberapa tindakan yang dapat
dilakukan dalam penangan cedera kepala sebelum penderita masuk ke kerumah sakit
adalah menjaga jalan napas penderita, mengontrol pendarahan dan mencegah syok,
imobilisasi penderita, mencegah terjadinya komplikasi dan cedera sekunder serta
pengiriman segera ke rumah sakit. Tim penyelamat harus meningkatkan kewaspadaan
pada penderita cedera kepala yang mengalami komplikasi cedera tulang leher atau
cervical.
Tindakan di Unit Gawat Darurat
Primary Survey
Primaru survey merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan saat pasien masuk ke
UGD dan dilakukan dengan cepat dan efisien. Pemeriksaan ini terdiri dari Airway,
Breathing, Circulation, Disability, Environment
Gangguan jalan napas dapat diperkiran terjadi pada penderita dengan nafas mengorok,
gerak napas yang cepat, suara paru yang tidak clear. Lidah yang jatuh ke belakang
pada pasien cedera kepala dengan kesadaran menurun dapat menyebabkan gangguan
nafas, sehingga apabila penderita tidak ada cedera cervical akan lebih baik bila posisi
kepala diekstensikan. Bila tidak ada perbaikan, maka pemasangan pipa orofaring atau
endotrakeal dapat dilakukan. Bila pasien muntah, maka miringkan posisi pasien,
sehingga muntah akan lebih mudah keluar dan sisa muntahan tidak menyumbat jalan
napas. Isi lambung dikosongkan dengan pipa nasogastrik agar tidak terjadi aspirasi.
Pada pemeriksaan breathing, dilakukan pemeriksaan Respiratory rate untuk
memperkirakan kemampuan gerak nafas pasien. Oksigen dosis tinggi 10-15
liter/menit secara intermitten dapat dilakukan.
Pada pemeriksaan circulation, dilakukan pengukuran tekanan darah dan hitung nadi
pasien untuk mengetahui kemampuan jantung dalam memompa darah. Dalam kasus
cedera kepala tekanan darah harus selalu dijaga supaya stabil supaya perfusi jaringan
terjaga.
Disability dilakukan berupa pemeriksaan status neurologis, yaitu dengan melakukan
penghitungan GCS. Sementara Environment adalah dengan menilai keadaan
lingkungan tempat terjadinya trauma
Secondary survey
Dilakukan untuk melihat faktor predisposisi life support penderita yang mengalami
trauma. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cepat dan efisien. Pemeriksaan ini terdiri
dari Alergi, Medikasi (obat yang digunakan pasien secara teratur), Past history
(riwayat penyakit pasien), Last meal, Environment.
Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Anamnesa penting dilakukan untuk mengetahui mekanisme terjadinya cedera kepala,
kondisi klinis yang terjadi setelah cedera kepala hingga sebelum masuk rumah sakit
dan kelainan yang sudah ada sebelum cedera terjadi. Kondisi klinis penderita sesaat
setelah terjadinya cedera perlu diketahui, misalnya apakah ada gangguan kesadaran,
berapa lama pingsan terjadi, ada tidaknya muntah, pendarahan yang terjadi, dll.
Pemeriksaan fisik seperti status neurologis harus dilakukan untuk melihat apakah
terdapat defisit neurologis yang muncul pasca trauma. Pemeriksaan fisik bagian
thorax dan abdomen pun juga harus dilakukan untuk mengidentifikasi apakah cedera
kepala yang terjadi mengalami suatu komplikasi terhadap organ-organ di thorax dan
abdomen.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto ronsen kepala dilakukan untuk melihat apakah ditemukan
fraktur tulang kepala. Foto ronsen kepala sebaiknya dilakukan dalam 2 posisi,
yaitu anteroposterior dan lateral. Adanya fraktur diketathui bila ada garis
kehitaman berbatas tegas. Gambaran ‘air fluid level’ di daerah sinus paranasal
merupakan pertanda pendarahan intrasinus, adanya udara pada intrakranial
menunjukan adanya fraktur terbuka, ‘air fluid level’ di sinus sphenoid
menandakan suatu fraktur basis kranii
Pemeriksaan CT-Scan merupakan suatu pemeriksaan penting dalam cedera
kepala, terutama apabila dicurigai terjadinya suatu pendarahan. Indikasi
pemeriksaan CT-Scan pada kasus cedera kepala adalah :
- Trauma kepala dengan cedera kepala sedang dan berat
- Munculnya gejala-gejala fraktur basis kranii
- Ada defisit neurologis disertai sakit kepala yang hebat dan penurunan
kesadaran
- Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Hb dilakukan apabila curiga terjadinya pendarahan yang
signifikan, Leukosit untuk mengetahui berat ringannya cedera kepala yang
terjadi.
Penanganan Cedera Kepala Ringan
Cedera kepala ringan dikategorikan pada penderita cedera kepala dengan GCS 13-15
pasca trauma. Biasanya tindakan yang dilakukan adalah dengan melakukan perawatan
luka-luka seperti tindakan debridement dan penjahitan luka. Pasien dapat diberikan
obat simptomatik untuk mengatasi gejala yang dirasakan sepeti nyeri kepala, vertigo,
dll. Walaupun tidak diperlukan tindakan perawatan, dan diijinkan untuk pulang, tetapi
pihak keluarga harus memperhatikan tanda-tanda bahaya yang dapat muncul seperti
penurunan kesadaran, muntah, perubahan perilaku, kelemahan tubuh, dll. Sehingga
edukasi dan observasi di rumah minimal 24 jam perlu diterapkan dalam penanganan
cedera kepala ringan.
Walaupun tidak diharuskan untuk dirawat, tetapi ada indikasi dimana penderita cedera
kepala ringan harus dirawat, salah satunya adalah ada gambaran abnormal pada CT
scan, defisit neurologis muncul, ada fraktur, tidak memiliki keluarga, ada cedera
tembus, dll.
Penanganan cedera kepala sedang dan berat
Cedera kepala sedang dikategorikan pada penderita cedera kepala dengan GCS 9-12
pasca trauma dan cedera kepala berat dengan GCS 3-8. Pada penanganan cedera
kepala sedang dan berat, pemeriksaan CT-Scan mutlak harus dilakukan. Penderita
juga harus dilakukan perawatan di rumah sakit dan observasi ketat pada tanda-tanda
vital, dan pemeriksaan neurologis secara periodik, terutama GCS, bentuk dan ukuran
pupil, gejala-gejala peningkatan intrakranial. Observasi dilakukan sampai GCS
mencapai 15 dal dilakukan 24-48 jam. Observasi ideal dilakukan tiap 30 menit pada
jam pertama, lalu tiap jam pada 6 jam kedua, tiap 2 jam pada 12 jam berikutnya. Lalu
observasi tiap 4 jam hingga pasien sadar.
Indikasi dilakukan tindakan operatif pada cedera kepala ditegakan berdasarkan
kondisi klinis pasien, temuan CT-scan atau pemeriksaan radiologi, dan temuan gejala-
gejala pasca trauma. Tujuan utama pembedahan adalah untuk dekompresi dan
evakuasi pendarahan. Operasi dilakukan berupa kraniektomi untuk mengurangi TIK
dan mencegah terjadinya herniasi otak. Indikasi yang penting untuk dilakukan teknik
pembedahan pada kasus cedera kepala adalah :
- Volume massa hematoma > 40 mL di daerah supratentorial / > 20 cc di
daerah infratentorial
- Kondisi pasien yang makin memburuk dari sejak masuk rumah sakit
seperti nyeri kepala yang makin berat, mual muntah yang makin
menghebat, defisit neurologis yang makin meluas, penurunan kesadaran
drastis
- Pendorongan midline shift pada gambaran CT-Scan yang melebihi 3 mm
- Peningkatan TIK > 25 mmHg
- Ukuran hematoma yang makin membesar dan meluas pada pemeriksaan
CT-scan ulang
- Muncul gejala terjadinya herniasi otak
- Kompresi basal cistern