BERKAH MENARA HIJAU DI TIMUR JAWA BARATnamun juga ekonomi sosial dan budaya. Apa yang dilakukan...
Transcript of BERKAH MENARA HIJAU DI TIMUR JAWA BARATnamun juga ekonomi sosial dan budaya. Apa yang dilakukan...
BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN EKOSISTEM
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
BERKAH MENARA
HIJAU DI TIMUR
JAWA BARATMENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN
TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT
2018
© koezky-TNGC
BERKAH MENARA HIJAU
DI TIMURJAWA BARAT
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT
BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN EKOSISTEM
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
BERKAH MENARA HIJAU DI TIMUR JAWA BARATMENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC
UNTUK KEDAULATAN RAKYAT
Pengarah : Kuswandono Penyusun : Silvia Lucyanti Agus Yudantara Nisa SyacheraPenyunting : San Andre Jatmiko Mufrizal Jaja Suharja Kontributor : San Andre Jatmiko Nisa Syachera Sirod Somantri Gandi Mulyawan Asep Wahyudin Iing Solihin Idin Abidin Azis Abdul Kholik Desain Sampul : Nisa Syachera Grafis dan Desain Lay Out : Indra Faisal PT. Mitra Tropika Indonesia ISBN : 978-602-97225-5-0 Cetakan : Pertama, Desember 2018
Dicetak dengan menggunakan pendanaan dari DIPA Balai Taman Nasional Gunung Ciremai TA 2018TIDAK DIPERJUALBELIKAN © Balai Taman Nasional Gunung Ciremai BALAI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAIDirektorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Cover Image ©Nino, Kuningan Kreatif
Hak Cipta dan isi buku ini dilindungi
Undang-Undang. Dilarang memperbanyak,
menggandakan. dan menerbitkan serta
memperjualbelikan buku ini, baik dalam bentuk
elektronik maupun cetak tanpa persetujuan dari
Penulis dan Balai Taman Nasional
Gunung Ciremai - KLHK
Pagi hari mulai menyapaMenyambut titik embun bening yang menggantung
Bergelayut lembut di ujung daunMenyaksikan sang burung bersenandung
Dalam rimba bersuka ria
yaya s-btngc
MAKNA LOGO
TAMAN NASIONAL
GUNUNG CIREMAI
EPISODE MENGUBAH MASALAH MENJADI BERKAH
MAKNA UMUM
DENGAN MODAL SEMANGAT DINAMIS MENGOPTIMALKAN KEGIATAN PERLINDUNGAN,
PENGAWETAN DAN PEMANFAATAN KAWASAN YANG DIINTERAKSIKAN SECARA POSITIF MELALUI
PENINGKATAN EFEKTIFITAS PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
BAGI KEPENTINGAN EKOLOGI, EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA
MENUJU PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN
TAPAK MACAN Melambangkan upaya pantang menyerah penyelamatan ekosistem Gunung Ciremai untuk kepentingan lintas generasi
WARNA BIRU Melambangkan kesetiaan, ketaatan, kepatuhan, kebesaran jiwa, berpandangan luas, perasaan halus, rendah hati dan berjiwa besar
WARNA HIJAU Melambangkan kemakmuran, kesejukkan, ketenangan, dan harapan (optimis)
WARNA JINGGA Melambangkan semangat, dinamis, persahabatan, keadilan dan daya tahan.
WARNA PUTIH Melambangkan kesucian, kebersihan dan kejujuran
SEGI ENAM Melambangkan kesatuan ekosistem Ciremai sebagai perwujudan kesatuan ekologi, sosial
budaya dan ekonomi masyarakat
GUNUNG CIREMAI Melambangkan kawasan pelaksanaan
pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai
MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus Javanica) melambangkan
satwa kunci kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dan identitas fauna
Jawa Barat
POHON CIREMAI (Phyllanthus Acidus)
Melambangkan flora yang menjadi asal mula nama Gunung Ciremai
ALIRAN AIR Melambangkan keberadaan
Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai sumber air utama untuk mendukung
keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari
TEKS TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
Melambangkan identitas nama taman nasional.
KATA SAMBUTAN
“namun semangat dan strategi yang dilakukan perlu menjadi contoh sehingga ke depan masalah demi masalah tentang pengelolaan hutan konservasi yang ada dapat segera teratasi dan tidak mengakar lebih dalam”
Dewasa ini, konservasi tidak hanya menjadi milik rimbawan ataupun pegiat lingkungan saja namun
juga masyarakat sekitar kawasan yang sebelumnya menjadi “issue” utama dalam pengelolaan
kawasan hutan konservasi. Dapat dikatakan, 90% permasalahan di kawasan hutan konservasi adalah
sosial. Baik itu gangguan kawasan seperti perburuan liar, illegal logging, perambahan, ataupun
pembakaran lahan dan hutan. Ekologi hutan dan sumberdaya alam hayati yang ada di dalamnya
menjadi obyek yang diperebutkan oleh manusia. Pada kenyataannya, pertumbuhan/perluasan hutan
dan sumberdaya alam hayati cenderung berbanding terbalik dengan pertumbuhan manusia yang
memang sudah digariskan Sang Pencipta menjadi makhluk tertinggi diantara lainnya. Permasalahan
di hutan konservasi tidak akan pernah tuntas selama akar yang menjadi masalah tidak diatasi.
Sosial, itu adalah masalah sosial yang harus diselesaikan. Yakin bahwa tidak ada masalah yang tidak
ada jalan keluarnya. Kreatifitas unit pelaksana teknis (UPT) berperan penting dalam penyelesaian
permasalahan di tingkat tapak. Lain daerah tentu lain permasalahan dan cara penyelesaiannya.
Hal yang paling penting bagaimana membangun kedekatan dengan masyarakat, pemerintah desa
bahkan pemerintah daerah. Tidak dapat dipungkiri, bahwa politisasi mewarnai pengelolaan kawasan
hutan konservasi. Ini adalah tantangan yang harus dihadapi khususnya dalam ber”negosiasi” dan
meyakinkan semua pihak akan pentingnya hutan konservasi bagi masa depan umat manusia.
Taman Nasional Gunung Ciremai dengan banyak aksesibilitas dan kepentingan, menghadirkan
sesuatu hal baru yang dapat menjawab permasalahan “sosial”. Tentu bukan dalam waktu singkat,
sejak ditunjuk menjadi kawasan taman nasional pada tahun 2004 dan ditetapkan menjadi taman
nasional pada tahun 2014 telah terjadi perubahan yang signifikan. Bagaimana masyarakat yang
semula menggarap semenjak belum ditunjuk menjadi taman nasional, diajak untuk memanfaatkan
kawasan taman nasional sesuai fungsi dan tujuannya. Bagaimana memberikan pemahaman
bahwa hutan Taman Nasional Gunung Ciremai ini menjadi milik yang seluas-luasnya bagi siapa saja yang ingin
berkontribusi, bahkan bidang yang mungkin jauh berkaitan seperti seni budaya dan olahraga. Semua butuh Taman
Nasional Gunung Ciremai sebagai penyangga kehidupan, bahkan keberadaan satwa kunci yang ada didalamnya
menjadi indikator kualitas ekosistem hutan Gunung Ciremai.
Buku “Menara Hijau di Parahiyangan Timur-Episode Mengubah Masalah Menjadi Berkah” menceritakan bagaimana
kronologis penanganan masalah di tingkat tapak hingga dapat memberikan manfaat yang tidak hanya ekologi,
namun juga ekonomi sosial dan budaya. Apa yang dilakukan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai tentu tidak 100
% dapat langsung diduplikasi pada wilayah lain yang mungkin mempunyai masalah yang berbeda, namun semangat
dan strategi yang dilakukan perlu menjadi contoh sehingga ke depan masalah demi masalah tentang pengelolaan
hutan konservasi yang ada dapat segera teratasi dan tidak mengakar lebih dalam.
Harapannya ini menjadi motivasi membangun untuk terus meningkatkan kinerja pengelola. Tidak hanya berhenti
sampai disini karena sosial itu memiliki dinamika, “lose control” akan menimbulkan polemik berkepanjangan.
Pengawasan yang intensif dan berkelanjutan serta membina hubungan menjadi episode terpenting bagi Taman
Nasional Gunung Ciremai. Terus berkarya, Sang Pencipta akan membalas apa yang sudah teman-teman perjuangkan.
Salam konservasi
Wiratno
Direktur Jenderal KonservasiSumber Daya Alam dan Ekosistem
KATA PENGANTAR “Sang Pencipta
menciptakan alam yang luar biasa dengan segala sumberdaya alam hayati dapat berdaya guna bagi makhluk hidup yang ada di sekitarnya terutama manusia”
PPengelolaan kawasan konservasi dari tahun ke tahun
berkembang atas fakta yang terjadi di lapangan. Hutan
konservasi yang merupakan benteng terakhir pertahanan
sumberdaya alam hayati yang juga merupakan
penyangga kehidupan manusia tidak hanya selalu harus
dilindungi, justru semakin dilindungi ancaman terhadap
kawasan hutan semakin besar. Karena ada irisan yang
belum tersambung antara hutan dengan masyarakat
di sekitarnya. Inilah awal berfikir bagaimana konsep
“kedaulatan rakyat” di pinggir hutan diterapkan.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi bertanggung
jawab atas anugrah alam yang luar biasa. Keterbatasan
akses dan wawasan menjadi kendala pemahaman
pentingnya kawasan konservasi dilestarikan, terutama
bagi keseimbangan ekosistem hutan yang erat kaitannya
dengan kehidupan manusia. Fakta-fakta ini yang
terkadang sulit ditangkap masyarakat pinggir hutan
yang berharap hutan memberikan “nafkah” hidup secara
langsung. Benar, Sang Pencipta menciptakan alam yang
luar biasa dengan segala sumberdaya alam hayati dapat
berdaya guna bagi makhluk hidup yang ada di sekitarnya
KEPALA
BALAI TAMAN NASIONAL
GUNUNG CIREMAI
terutama manusia. Hanya saja bagaimana pemanfaatan yang pas dilakukan di kawasan hutan konservasi itulah
yang sebagian besar belum dipahami.
Strategi “kedaulatan rakyat” ini telah membuktikan bagaimana permasalahan sosial dan ekonomi di sekitar
kawasan konservasi, terutama kawasan taman nasional dapat diterapkan. Dalam penerapannya harus sesuai
peraturan perundangan kehutanan yang berlaku dan tak lepas pengawasan. Lepas pengawasan, maka kemungkinan
“pemanfaatan yang kebablasan” akan terjadi. Pencapaian kami, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai sampai saat
ini tak lepas dari peran semua pihak. Pimpinan dengan karakter individu yang kuat mengkerucutkan hasil yang
maksimal, bahkan sampai saat ini upaya penguatan hubungan baik terus dilakukan. Tentu tidak berakhir sampai
disini, masih banyak hal yang perlu kami pertahankan dan kami capai pada babak selanjutnya. Organisasi kami,
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, adalah organisasi yang terus bertumbuh. Semoga menjadi organisasi yang
terus belajar dan berinovasi untuk menjawab semua tantangan dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai
selalu menjadi semakin baik.
Semoga apa yang kami lakukan setidaknya memberikan “ide atau gagasan” khususnya bagi pengelola kawasan
hutan konservasi lainnya. Masalah akan terus menjadi masalah apabila tidak dihadapi, akan terus mengakar semakin
dalam selama sumber akar utamanya tidak diketahui. Sosial dan ekonomi, poin penting akar “permasalahan” di
setiap kawasan hutan taman nasional. Namun masalah itu tetap masalah apabila tidak diselesaikan. Selesaikan
masalah sosial dan ekonomi, ekologi akan ikut serta didalamnya.
Kuningan, November 2018
Kuswandono
JEJAK PENDAHULU
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT2 0
MUHTADINKepala Balai TNGC (2007 - 2009)
Saya mulai bertugas 1 November 2006, perubahan dari Satuan
Kerja menjadi Balai Taman Nasional. Awal thn 2007 merupakan
tahun definitif BTNGC, luas wilayah 15.500 Ha, 2 Kabupaten Kuningan dan Majalengka. Belum ada Kepala Seksi, yang ada
hanya staf & anggota POLHUT yg semuanya tangguh. Kantor dipinjami oleh Bupati Kuningan. Kala itu, tidak mudah meyakinkan
pemerintah daerah dan masyarakat untuk merubah cara
pandang dari berkebun dalam kawasan, menanam dan menebang
kayu menjadi wisata alam berbasis konservasi. Tapi alhamdulillah
segera terbentuk Seksi 1 Kuningan dan Seksi 2 Majalengka
yg memudahkan pendekatan kpd semua itu. Terimakasih kpd
seluruh teman2 yg tlh ber sama2 2006-2009 bertugas bersama
sy disini trmsk kang Ridwan (Kasi 2) & kang Maman (Kasi 1) tanpa kalian sy tak punya arti apa-apa.
Salam Rimbawan !! Salam Konservasi !!
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 2 1
KURUNGKepala Balai TNGC (2009 - 2011)
Koordinasi dengan pemerintah daerah menjadi kekuatan dalam
menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi. Dukungan Bupati
Kuningan dan Majalengka menjadi faktor utama keberhasilan penghentian penggarapan di dalam kawasan TN Gunung Ciremai
tanpa represif. Hanya dalam kurun waktu 1 tahun, masyarakat mengerti peran penting adanya kawasan TNGC. semoga TNGC
memberikan keberkahan yang luar biasa untuk masyarakat
sekitar dan masyarakat luas.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT2 2
DULHADIKepala Balai TNGC (2012 - 2015)
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Perjalanan tugas di Balai TNGC Maret 2012 s/d Agustus 2014:
Kesan: Adanya dukungan dari pihak Pemda kabupaten Kuningan dan Majalengka dalam upaya untuk melestarikan
kawasan TNGC; Nilai kebersamaan terasa sekali mulai dari
para pegawai, ibu ibu Dharmawanita TNGC dan kepala SKPD khususnya Pemda Kuningan. Pesan: Pengelolaan kawasan konservasi khususnya KPA mempunyai spesifik, karakteristik, keunggulan dan kelemahan yang berbeda di setiap daerah/kawasan. Dalam pengelolaan kawasan TNGC yang menjadi perhatian adalah dengan
memanfaatkan potensi yang ada antara lain seperti jasa wisata alam dan air, ini perlu melibatkan peran dari masyarakat dan
Pemda setempat. Dengan harapan masyarakat dan Pemda akan merasa memiliki kawasan TNGC.
HaturnuhunWassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Salam kami,
Dulhadi
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 2 3
PADMO WIYOSOKepala Balai TNGC (2015 - 2017)
TuhanMu tidak pernah berhutang, selagi bisa, selagi mampu dan
selagi luang curahkan semua untuk kemaslahatan masyarakat.
Kita sudah merdeka dan saatnya mendaulatkan diri menjadi tuan
rumah di negeri sendiri, berdiri tegak dengan kaki sendiri tanpa
bergantung kepada siapapun
©BTNGC
DAFTAR GAMBAR
INFOGRAFIS DAN
TABEL
Evaluasi Permasalahan Pengelolaan Tiga Pilar PengelolaanPembagian Ruang Potensi Hutanperhitungan nilai ekonomi untuk pengawetan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati
GAMBAR
Gbr. 1. Ikut serta penanaman pohon pada Hari Menanam Indonesia di Garawangi, wilayah Perum Perhutani KPH Kuningan.© Agus Yudantara-TNGC ........................................................................ 36
Gbr. 2. Puncak Gunung Ciremai diabadikan dari salah satu sudut di ODTWA Ipukan © Heri Destrianto-UKF-IPB ............................ 38
Gbr. 3. Hamparan hijau persawahan di Desa Bantaragung, Majalengka. © BTNGC ............................................................................ 41Gbr. 4. Kondisi pertanian di wilayah Sawiyah, Majalengka, di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. © BTNGC .......................... 45 Gbr. 5. Usung Kerjasama Dengan BIJB Kertajati, Majalengka. © Mufrizal-TNGC ................................................................ 46
Gbr. 6. Potensi keanekaragaman hayati kawasan konservasi itu sangat tinggi baik di tajuk pohon, antara tajuk dan lantai hutan, di lantai hutan dan yang tidak terlihat di bawah lantai hutan. © BTNGC ................................................................................................. 51Gbr. 7. Lokasi lahan garapan sebelum penertiban. © Nisa Syachera-TNGC .......................................................................... 52
Gbr. 8. Patroli gabungan Polhut, Polisi dan TNI. © Mufrizal-TNGC .................................................................................... 55
Gbr. 9. Gerebeg Gunung, budaya lokal Desa Padabeunghar pada saat penyambutan tamu agung, tradisi yang menggambarkanpenyatuan dua wilayah yang bersebelahan dan dibatasi oleh gunung. © Sirod S-TNGC .............................................................. 56
Gbr. 10. Kegiatan Patroli Pencegahan Kebakaran Hutan dan LahanBersama Masyarakat. © Gandi Mulyawan-BTNGC ............................... 60
Gbr. 11. Masyarakat Turut Membantu Pengendalian Kebakaran Hutan di Blok Pasawahan. © Oman Depe-TNGC ................................... 61
Gbr. 12. Membangun Kemitraan Dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan, Membahas Peran Serta Masyarakat di Sekitar TN Gunung. Ciremai. © Wahyu-Humas Kab Kuningan .......................... 65
Gbr. 13. Surili Merupakan Salah Satu Spesies Kunci di Gunung Ciremai,Balai TNGC Mengajak Untuk Turut Melindungi Melalui Pengembangan Wisata Alam berbasis Sumberdaya Alam Hayati
yang dikenal Dengan Program Gendongan. © ISO-TNGC ...................... 75
Gbr. 14. Wisata Alam Camp Fire Care, Upaya PencegahanKebakaran Hutan. © BTNGC .................................................................. 77
Gbr. 15. Kegiatan Camp Fire Care di Bukit Seribu Bintang, AjakGenerasi Bangsa Cegah Kebakaran Hutan di Gunung Ciremai.© BTNGC ................................................................................................ 78
Gbr. 16. Eksplorasi Mikroba Bermanfaat di Kawasan TNGCDalam Rangka Pengembangan Pertanian Sehat. © BTNGC ................. 82
Gbr. 17. Plot Contoh Pertanian Sehat di Penyangga Kawasan.© Idin Abidin & Yusuf H.-BTNGC ............................................................ 84
Gbr. 18. Kodok Merah Ciremai (leptophryne cruentata) di Habitat Alaminya, Curug Cisurian Bumi Perkemahan Ipukan.© Azis Abdul Kholik-TNGC ..................................................................... 86
Gbr. 19. Pendampingan Mahasiswa Praktek Kerja Lapang di Kawasan TNGC. © BTNGC ................................................................. 87
Gbr. 20. Anakan Elang Jawa Menetas Akhir Tahun 2018, Bukti Kualitas Ekologi TNGC. © Dwi Suryana-TNGCE .......................... 92
Gbr. 21. Program Pemulihan Ekosistem Melalui Adopsi Pohon di Camp Ecological Camp, Lambosir © BTNGC .................................... 94 Gbr. 22. ODTWA Curug Cipeteuy, Salah Satu Contoh Sukses Pengelolaan Ekowisata Yang Dilakukan Oleh MPGC.© Koperasi Agung Lestari ...................................................................... 99
Gbr. 23. Gambar Peta Sebaran Objek dan Daya Tarik Wisata Alam.© Aditya-BTNGC ..................................................................................... 102
Gbr. 24. Balong Dalem, Salah Satu Obyek Wisata Alam yangdikelola BUMD Kab Kuningan. © BTNGC .............................................. 106
Gbr. 25. Pemanfaatan Air Dalam Izin Pemanfaatan Air (IPA)Non-Komersial Di Desa Cibuntu, Kuningan. © Indra Faisal - Mitra Tropika Indonesia ............................................... 107
Gbr. 26. Aneka Produk Unggulan Kuliner. © Aditya-TNGC .................... 109Gbr. 27. Peran Serta Pelajar Dalam Kelola Ekologi Melalui Penanaman Pohon di Kawasan TNGC. © Indra Permana-TNGC ...........
108
Gbr. 28. Praktek Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Bersama Polisi Kehutanan TNGC BRIMOB. © BTNGC .......................... 113
Gbr. 29. Kelola Ekonomi Melalui Budidaya Madu Hutan oleh Masyarakat Desa Penyangga TNGC. © Dadan-TNGC ........................... 114
Gbr. 30. Benchmarking UPT lingkup Direktorat Jenderal KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Obyek Wisata AlamCurug Cipeuteuy Yang Pengelolanya Menerima Penghargaan Peringkat Pertama Desa Binaan Terbaik pada HKAN 2018.© BTNGC ................................................................................................ 117 Gbr. 31. Benchmarking Pengelolaan Wisata Alam Bersama Masyarakat di Mangunan, Yogyakarta. © BTNGC .................................. 124
Gbr. 32. Petugas Mengenalkan Kodok Merah Ciremai Kepada Mahasiswa. © BTNGC ............................................................... 126
Gbr. 33. Pendakian Bersama Para Mitra Dalam Rangka Meningkatkan Pengelolaan Pendakian. © BTNGC ................................ 127
Gbr. 34. Pendekatan Masyarakat Untuk Memberikan Pemahaman Fungsi Kawasan TNGC. © BTNGC .................................... 130
Gbr. 35, Diskusi Dengan Kelompok PPGC Palutungan Pengelola Jalur Pendakian Palutungan. © Sirod Somantri-TNGC ......................... 132
Gbr. 36. Diskusi Petugas TNGC dengan Kelompok PPGC Apuy. © BTNGC ............................................................................ 133
Gbr. 37. Peningkatan Kapasitas ODTWA oleh Petugas TNGC. ©Reyhna Ashari-Mitra Tropika Indonesia ............................................. 134
Gbr. 38. Dadan, Salah Satu Sosok Polisi Kehutanan Mengajak Masyarakat Peduli Gunung Ciremai. © Dadan-TNGC ........................... 135
Gbr. 39. Pembelajaran Budidaya Tumbuhan Anggrek. © Hendra Purnama-TNGC ..................................................................... 136
Gbr. 40. Transfer Ilmu Pengenalan Jenis Anggrek ke Masyarakat © Hendra Purnama-TNGC ............................................. 137
Gbr. 41. Pelayanan Tamu oleh Kelompok Koperasi Agung Lestari. © BTNGC ........................................................................ 138
Gbr. 42. Pengelola Buper Ipukan Memberikan Bantuan Sosial Kepada Anak Yatim dan Dhuafa Berupa Sembako. © ISO-TNGC .............................................................. 139
TABEL
Tabel 1. Masyarakat Binaan Telah Menjadi Pemandu Untuk Pendidikan Maupun Penelitian .............................................................. 93
Tabel 2. Tabel Multiplier Effects Kelola Ekonomi .................................. 116
Tabel 2. Daftar ODTWA dan Keterlibatan Masyarakat ........................... 120
INFOGRAFIS
Infogr. 1. Linimasa Pengukuhan Taman Nasional Gunung Ciremai ...... 42
Infogr. 2. Kekuatan dan peluang pengelolaan TNGC ............................. 59
Infogr. 3. Strategi Pengelolaan TNGC ..................................................... 62
Infogr. 4. Tiga Pilar Kelola Sebagai Pedoman Implementasi Manajemen Kedaulatan Rakyat .............................................................. 67
Infogr. 5. Perubahan Organisasi di Tingkat Resor .................................. 70
Infogr. 6. Implementasi Manajemen Kedaulatan Rakyat ......................... 73
Infogr. 7. Potensi Ruang Ekosistem ........................................................ 81
Infogr. 8. Nilai Ekonomi Pembudidayaan Ikan Dewa dan Permintaan Pasar Akan Kebutuhan Ikan Dewa Pembudidayaan Ikan Dewa di Balong Cigugur dan Pesawahan, Kuningan ...................... 89
Infogr. 9. Graphic Bar Nilai Ekonomi Untuk Pengawetan dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati 2016 & 2017 ............................. 95
Infogr. 10. Grafik Peningkatan Jumlah ODTWA di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai ........................................... 101
Infogr. 11. Fakta Angka terkait Tangkapan Air di Kawasan TNGC ......... 104
Infogr. 12. Jumlah ijin pemanfaatan air komersil dan non komersil. ..... 105
Infogr. 13. Realisasi Penerimaan PNBP Dalam Kurun Waktu 10 Tahun ....................................................................................... 119
DAFTAR ISI
FILOSOFI LOGO
KATA PENGANTAR
DAFTAR GAMBAR, INFOGRAFIS DAN TABEL
BAB SATU PENDAHULUAN ............................................................. 35
BAB KEDUA MENCARI POLA PENGELOLAAN KAWASAN ......................................................................... 45
BAB KETIGA MANAJEMEN KEDAULATAN RAKYAT PERIODE 2015 - 2018 ............................................ 55
BAB EMPAT MANFAAT IMPLEMENTASI MANAJEMEN KEDAULATAN RAKYAT ............................................................................... 111
BAB KELIMA DIBALIK LAYAR .............................................................. 125
© ISO-TNGC
FAKTA DAN
KARYA
GUNUNG TERTINGGI DI JAWA BARAT
3.078 MDPLLETUSAN TERJADI TAHUN
1698, 1772, 1775, 1805, 1937-38, 1951
LETAK KOORDINAT 108°21’35”—108°28’00
& 6°50’25”—6°58’26” LSDIAMETER KAWAH
TERPANJANG ± 900 METER
RADIUS KAWAH TIMUR 600 MLUAS TNGC DI KABUPATEN KUNINGAN (8.811,48 HA), KABUPATEN MAJALENGKA (6.029,82 HA), TOTAL LUAS SESUAI SK KEMENHUT14.841,3 HA2017 DESA WISATA CIBUNTU MERAIH URUTAN LIMA TERBAIK HOME STAY DI ASEAN, BUKIT SERIBU BINTANG,
JUARA II KATEGORI DATARAN TERTINGGI TERPOPULER AJANG ANUGRAH PESONA INDONESIA & DESA BANTARAGUNG,
JUARA III KATEGORI SURGA TERSEMBUNYI TERPOPULER AJANG ANUGRAH PESONA INDONESIA
© Indra Faisal-Mitra Tropika Indonesia
Gbr. 1. Ikut serta penanaman pohon pada Hari Menanam Indonesia di Garawangi, wilayah Perum Perhutani KPH Kuningan © Agus Yudantara-TNGC
BAB SATU
PENDAHULUAN
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 2. Puncak Gunung Ciremai Diambil dari sudut Desa Penyangga© BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 3 9
Setelah melewati pergulatan panjang, Taman Nasional Gunung Ciremai dapat menghadirkan solusi
alternatif dalam menyelesaikan masalah pengelolaan kawasannya. Seluruh upaya pengelolaan itu
dilandasi dengan semangat mengubah masalah menjadi berkah. Hasilnya, implementasi semangat
itu mampu meningkatkan efektivitas pengelolaan, sehingga biaya dan tenaga lebih efisien dalam
memperbaiki kondisi ekologi, meningkatkan modal sosial, dan memunculkan efek bola salju nilai
ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat.
Gunung Ciremai merupakan tanah tertinggi di bumi Parahiyangan, yang berdiri soliter di bagian utara
Jawa Barat. Dari titik puncaknya yang menjulang 3.078 meter dari permukaan laut, gunung ini menyebar
ke segala punjuru di tiga kabupaten: Kuningan, Cirebon dan Majalengka. Dalam sejarah tatar Sunda,
di setiap kabupaten di kaki Gunung Ciremai itu, dikenal beberapa kerajaan yang hidup makmur. Tak
mengherankan, sampai sekarang, rasa memiliki masyarakat terhadap Gunung Ciremai masih terasa
kental. Ini terutama lantaran Gunung Ciremai menjadi daerah tangkapan air yang menyokong kehidupan
masyarakat, baik untuk pengairan pertanian, air minum, maupun kebutuhan lain.
Taman nasional ini memiliki variasi tipe ekosistem yang terbentang dari dataran rendah (250 mdpl)
sampai dengan sub-alpin di puncak Ciremai. Geografi gunung soliter ini, yang terpisah dari gugusan
gunung lain di Jawa, mempengaruhi kondisi lingkungan kawasan Gunung Ciremai.
Lingkungan biotiknya, baik tumbuhan maupun satwaliar, amat beragam. Keberagaman itu membentuk
ekologi kawasan yang khas di setiap ekosistem. Variasi spesies Gunung Ciremai merentang mulai dari
mamalia, burung, serangga, herpetofauna, ikan, moluska, anggrek, pohon, epifit, jamur, hingga tumbuhan
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT4 0
bawah. Sementara itu, lingkungan abiotik Gunung
Ciremai membentuk keindahan lanskap alami
yang mendominasi bentang Parahiyangan timur.
Paparan ringkas itu menunjukkan betapa besar
potensi alam Taman Nasional Gunung Ciremai bagi
kesejahteraan masyarakatnya.
Sejarah panjang status pengelolaan hutan di
Gunung Ciremai. Sejak zaman Belanda, hutan
Gunung Ciremai merupakan tutupan lindung yang
berfungsi menjadi buffer bagi wilayah di sekitarnya.
pada tahun 1978, status pengelolaan menjadi
hutan produksi yang kala itu berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Pertanian dikelola oleh Perum
Perhutani. Dapat dibayangkan kala itu, kondisi
hutan Gunung Ciremai yang rimbun ditebang
dalam rangka memenuhi kebutuhan kayu dalam
negeri. Semakin kesini kondisi hutan Gunung
Ciremai semakin memprihatinkan. Ada beberapa
lokasi yang tandus akibat tanaman yang ditanam
tidak dapat tumbuh. Lokasi yang tandus tersebut
menyebabkan tumbuhnya ilalang yang kemudian
“... DALAM SEJARAH TATAR SUNDA, DI SETIAP KABUPATEN DI KAKI GUNUNG CIREMAI ITU,
DIKENAL BEBERAPA KERAJAAN YANG HIDUP MAKMUR, TAK MENGHERANKAN, SAMPAI
SEKARANG, RASA MEMILIKI MASYARAKAT TERHADAP GUNUNG CIREMAI MASIH
TERASA KENTAL ....”
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 3. Hamparan hijau persawahan di Desa Bantaragung, Majalengka © BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT4 2
menjadi bahan bakar apabila musim kemarau datang. Selain itu, flora fauna yang ada di hutan Gunung
Ciremai terancam keberadaannya akibat hilang habitatnya. Terlebih pada tahun 2002, Perum Perhutani
mempunyai program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang melibatkan masyarakat
sekitar. Program ini membuka kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh manfaat dari
kawasan hutan dengan skema menggarap sebidang lahan.
Pada tahun 2003, status hutan produksi berubah menjadi hutan lindung yang masih dikelola oleh Perum
Perhutani. Lantas pada 2004 bertiup angin perubahan. Pemerintah daerah Kuningan dan Majalengka
mengusulkan perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Ciremai, dari hutan lindung menjadi taman
nasional.
Penunjukan Sebagian Kawasan Hutan Gunung Ciremai Sebagai Hutan Lindung/tutupan Oleh Pemerintah Hindia Belanda (Terakhir Disahkan Tanggal 28 Mei 1941)
10 Maret 1978, SK Menteri Pertanian No. 143/Kpts/Um/3/1978 Telah Ditunjuk Wilayah Kerja Unit Produksi (Unit III) Perum Perhutani Jabar Yang Berada Di Dati I Jabar (Termasuk Kelompok Hutan Gunung Ciremai Yang Termasuk Dalam Wilayah Kerja KPH Kuningan Dan KPH Majalengka), Kecuali Areal Suaka Alam Dan Hutan Wisata
Penunjukan Kawasan Hutan Gunung Ciremai Yang Dikelola Perum Perhutani Menjadi Hutan Lindung Berdasarkan Surat Keputusan Menteri No. 195/Kpts-II/2003 Tanggal 4 Juli 2003
Surat Pimpinan DPRD Kab. Kuningan No. 661/266/DPRD Tanggal 1 September 2004 Perihal Dukungan Atas Usulan Pengelolaan Kawasan Hutan Gunung Ciremai Sebagai
Surat Bupati Kuningan No. 552/1480/Dishutbun Tgl 26 Juli 2004 Perihal Proposal Kawasan Hutan Gunung Ciremai
Surat Bupati Majalengka No. 552/2394/Hutbun Tgl 13 Agt 2004 Perihal Usulan Gunung Ciremai
1). Sk Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 Tanggal 19 Oktober 2004 Perihal Perubahan Fungsi
Hutan Lindung Pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500 Ha, Terletak Di Kab. Kuningan Dan
Majalengka, Prov Jabar, Menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai. 2). Surat Penetapan Menteri LHK No.
3684/Menhut/VIIKUH/2014 Tanggal 8 Mei 2014 Seluas 14.481,3 Ha
Infografis 1. Linimasa Pengukuhan Taman Nasional Gunung Ciremai
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 4 3
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah daerah Kabupaten Kuningan dan Majalengka melalui surat
Bupati kepada Menteri Kehutanan untuk mengubah status kawasan menjadi taman nasional. Kemudian
permohonan tersebut disetujui, sehingga keluarlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/
Menhut-II/2004 pada tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Hutan Lindung Pada Areal
Hutan Gunung Ciremai Seluas 15.500 ha Terletak di Kabupaten Kuningan dan Majalengka Menjadi
Taman Nasional Gunung Ciremai.
Penunjukan kawasan ini menjadi taman nasional untuk melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan
ekosistem Gunung Ciremai secara lestari dan optimal. Harapan lainnya adalah untuk kesejahteraan
masyarakat. Pada titik ini, terbitlah dilema.
Perubahan status itu nampaknya membawa konsekuensi yang tak mudah. Untuk mencapai harapan
tersebut, perubahan menjadi taman nasional juga menuntut masyarakat desa penyangga harus
berubah. Bisa dibayangkan, perubahan status menjadi taman nasional tentu berdampak luas terutama
bagi masyarakat penyangga yang sudah berinvestasi melalui program Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat dari Perhutani. Berdasarkan identifikasi tim penertiban dan pembinaan penggunaan
lahan, jumlah penggarap dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat mencapai 4.553 orang, di
lahan seluas 7.543 Ha. Bayangkan lagi: luasan itu hampir mencakup 50 persen dari luas kawasan yang
ditunjuk sebagai taman nasional.
Tak ayal lagi, pada masa awal penunjukan, reaksi penolakan terhadap status taman nasional pun tidak
dapat dihindari. Masyarakat berpandangan bahwa keberadaan taman nasional merugikan masyarakat.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT4 4
Bagi orang awam, ketika diminta membayangkan hutan pasti akan tergambarkan kondisi hijau, sejuk
dan rimbun. Namun fakta di lapangan, kondisi hutan di Gunung Ciremai sepanjang mata memandang
adalah sayur mayur, tutupan pohon yang tidak rapat dan rusak.
Proses yang cukup panjang, usaha yang maksimal dan kesabaran mewarnai jalannya pengelolaan
kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Tentu tidak ada usaha yang sia-sia selama kita
berikhtiar, dalam kurun waktu lima tahun strategi pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai
mengimplementasikan dalam tiga pilar kelola, yaitu kelola ekologi, kelola sosial budaya, dan kelola
ekonomi. Dengan demikian, pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan bagian dari
perkembangan sosial dan pertumbuhan ekonomi masyarakat, tidak hanya demi pelestarian alam
semata.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 4. Kondisi pertanian di wilayah Sawiyah, Majalengka, di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai © BTNGC
Gbr. 5. Usung Kerjasama Dengan BIJB Kertajati, Majalengka © Mufrizal-TNGC
BAB KEDUA MENCARI
POLA PENGELOLAAN KAWASAN
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT4 8
Periode 2004 - 2010
Perubahan status Gunung Ciremai dari hutan
produksi dan hutan lindung menjadi taman
nasional memunculkan perbedaan pemahaman.
Selama sebagai hutan produksi, Perhutani
menerapkan program Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) di sebagian wilayah hutan
Gunung Ciremai. Saat itu, jumlah penggarap lahan
tumpangsari mencapai 4.553 orang dari beberapa
desa penyangga. Dengan perubahan fungsi
kawasan menjadi taman nasional, berarti pengelola
akan berganti, dari Perhutani kepada Balai Taman
Nasional Gunung Ciremai.
Lantas muncul kekhawatiran bahwa kesepakatan
kerja sama yang telah dibuat antara Perhutani
dengan masyarakat tidak berlaku lagi. Hal itu
menjadi salah satu pemicu penolakan masyarakat
penggarap terhadap taman nasional.
Sebagai langkah antisipasi, masyarakat yang
beraktivitas menggarap di dalam kawasan bersama
“ ... LANTAS MUNCUL KEKHAWATIRAN BAHWA KESEPAKATAN KERJA SAMA YANG TELAH DIBUAT ANTARA PERHUTANI DENGAN MASYARAKAT TIDAK BERLAKU LAGI. HAL ITU MENJADI SALAH SATU PEMICU PENOLAKAN MASYARAKAT PENGGARAP TERHADAP TAMAN NASIONAL ...”
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 4 9
dengan LSM dan pemerintah daerah serta pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan
melakukan refleksi, yaitu membahas dampak perubahan status itu terhadap masyarakat yang tinggal
di lereng Gunung Ciremai. Hasil refleksi dan diskusi menghasilkan sikap masyarakat yang menolak
taman nasional berdasarkan pertimbangan pada dampak terhadap ekonomi masyarakat yang semula
sudah menjadikan garapan di kawasan hutan Gunung Ciremai lahan usahanya, pola pengelolaan taman
nasional yang melarang masyarakat masuk kawasan dan proses pengusulan kawasan konservasi yang
tidak melalui proses sosialisasi terlebih dahulu.
Seiring dengan pro-kontra yang terus bergulir, pada 2004 salah satu usaha mencari solusi diadakan
beberapa kali pertemuan dan pembahasan. Hasilnya, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (Kini, Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem) pada 2005
memberikan rekomendasi, yaitu untuk menciptakan kolaborasi pengelolaan taman nasional dengan
satu tujuan dan slogan “Leuweung Hejo Rakyat Ngejo” atau Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera.
Kolaborasi yang dikenal Pengelolaan Hutan Konservasi Bersama Masyarakat melibatkan lembaga
swadaya masyarakat seperti AKAR dan Kanopi. Yang kemudian, saat ini bersama dengan pemanfaat
kawasan lain yaitu jasa lingkungan wisata alam dan air bergabung dalam satu wadah yaitu Forum
Ciremai.
Setelah tensi polemik agak menurun, pertemuan dan sosialisasi makin sering dilaksanakan. Ini
sebagai upaya membangun kesamaan presepsi dari berbagai pihak. Pro-kontra masih terjadi walaupun
skalanya makin menurun. Tahap ini merupakan tahap pencarian bentuk kolaborasi yang sesuai dengan
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT5 0
peraturan.
Hanya saja, walaupun ada beberapa masalah dapat diselesaikan, tak jarang malah menimbulkan
masalah baru. Begitulah dinamika menghadapi masyarakat, yang terkadang tidak mau disatukan
karena berbeda visi, misi dan kepentingan. Ketika kami merangkul yang satu, yang lainnya merasa iri
dan ingin juga dirangkul namun tidak ingin bersama-sama dirangkul.
Satu yang disepakati bersama bahwa pihak manapun dilarang melakukan pembalakan liar, perburuan,
penambangan liar dan perambahan baru. Sementara untuk pertanian sayur maupun tanaman buah-
buahan yang masih ada dan berjalan masih ditolerir sampai masa panen tiba. Tentu hal ini harus
dibarengi dengan solusi peralihan profesi dan alih komoditas masyarakat penggarap. Ini merupakan
kemajuan yang menggembirakan. Beberapa kali juga dilakukan tindakan represif terhadap pembalakan
liar dan penambangan liar sebagai upaya untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Koordinasi dengan pemerintah daerah Kabupaten Kuningan dan Majalengka juga terus dilakukan.
Bupati Kabupaten Kuningan mendukung dengan instruksi Nomor 3 Tahun 2009, perihal penertiban
penggunaan kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai sebagai lahan pertanian dan perkebunan.
Isinya: melarang masyarakat melakukan usaha pertanian dan perkebunan di dalam kawasan taman
nasional. Sementara itu, dukungan bupati Majalengka dalam bentuk imbauan untuk tidak menggarap
lahan di dalam taman nasional.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Energi besar tercurah dalam menangani penurunan penggarap (yang semula memang pelaku
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Perhutani) di taman nasional melalui patroli dan sosialisasi.
Dua upaya ini berlangsung terus-menerus di desa penyangga, sembari mempembaharui data penggarap
yang masih beraktivitas di taman nasional. Tak hanya di balai desa, penyuluhan informal juga dilakukan
langsung di lahan garapan masyarakat. Bersama Muspika setempat, juga dilakukan pemasangan
papan dan tanda larangan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai yang digarap oleh masyarakat.
Salah satu bentuk pendekatan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai terhadap masyarakat eks-
penggarap adalah melalui kegiatan rehabilitasi kawasan, pemberdayaan masyarakat, pengamanan
perlindungan kawasan dan pengawetan plasma nutfah.
Sehingga, pada 2010 secara berangsur-angsur para eks-penggarap PHBM di seluruh kawasan taman
nasional bersedia menandatangani surat pernyataan untuk meninggalkan lahan garapannya. Walaupun
demikian, masih ada beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti, seperti penanganan sosial ekonomi
masyarakat eks-penggarap, dan kondisi sebagian kawasan yang terlanjur ditanami kopi dan buah-
buahan yang bukan jenis endemik Gunung Ciremai.
Untuk sementara waktu, pemanfaatan hasil panen tanaman budidaya tersebut masih diperbolehkan.
Hanya saja, dengan beberapa ketentuan: penggarap tidak boleh menambah tanaman budidaya,
berkewajiban menanam pohon jenis endemik 400 batang per hektare, serta berkomitmen membantu
perlindungan dan pengamanan kawasan.
Tahun 2011 - 2014
Gbr. 6. Potensi keanekaragaman hayati kawasan konservasi itu sangat tinggi baik di tajuk pohon, antara tajuk dan lantai hutan, di lantai hutan dan yang tidak terlihat di bawah lantai hutan. © BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT5 2
”Dalam pengelolaan kawasan konservasi bersama masyarakat perlu dicari solusi alternatif, melalui
upaya penanganan eks-penggarap ke arah upaya ‘alih profesi, alih komoditas, dan alih usaha”
Upaya sebelumnya masih menyisakan ketidakpuasan di kalangan penggarap yang kehilangan mata
pencahariannya. Sebagai tindak lanjut penanganan sosial ekonomi eks-penggarap, salah satu program
prioritas Balai Taman Nasional adalah pemberdayaan masyarakat. Program prioritas ini dalam rangka
mengubah pola pikir, sikap, dan perilaku masyarakat.
Pada 2011-2014, Balai Taman Nasional melaksanakan pemberdayaan masyarakat di 32 desa penyangga
dan 40 kelompok berupa budidaya ternak (55 persen), budidaya tanaman (10 persen), penyediaan air
(20 persen) dan wisata (15 persen). Seluruh upaya pemberdayaan itu dibiayai dengan anggaran negara
Gbr. 7. Lokasi lahan garapan sebelum penertiban © Nisa Syachera-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 5 3
sebesar Rp 1.400.000.000,- di luar kegiatan lain seperti rehabilitasi kawasan, pengamanan hutan,
pelatihan dan pembinaan.
Selain itu, juga terdapat program pemberdayaan berupa bantuan ternak domba bergulir. Hanya saja,
komitmen untuk menggulirkan ternak domba tidak semua terlaksana. Hanya beberapa desa yang
kelompoknya mau menggulirkan dan berbagi dengan anggota yang lain. Alhasil, manfaat ekonomi
program ini untuk pendapatan masyarakat tak terlalu signifikan—jika dibandingkan dengan modal,
yaitu hanya Rp 100.000- 200.000 per orang setiap bulan.
Selanjutnya, program pemberdayaan masyarakat yang semula berupa bantuan fisik mengalami
perkembangan menjadi program pembentukan Model Desa Konservasi (MDK). Program ini bertujuan
meningkatkan kemandirian masyarakat, yang sebelumnya menggarap lahan berubah bentuk
pemanfaatan kawasan sesuai aturan perundangan kawasan konservasi. Dengan demikian, lembaga
model desa konservasi memberikan wadah bagi masyarakat untuk mengembangkan usaha dengan
memanfaatkan keberadaan kawasan konservasi sebagai aset penting.
Ada 10 desa telah berproses membentuk MDK. Desa tersebut adalah Bantaragung
Sindangwangi, Gunung Wangi Argapura, Argamukti Argapura, Cipulus Cikijing, Sangiang
Talaga, Cisantana Cigugur, Sangkanerang Jalaksana, Pajambon Kramatmulya, Linggasana
Cilimus, dan Karang Sari Darma. Pembentukan MDK dimulai pada 2010-2011, yang difasilitasi
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dan anggaran Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT5 4
Konsep model desa konservasi diharapkan berbeda dengan program pemberdayaan masyarakat
yang telah ada sebelumnya, sehingga masyarakat akan lebih memahami makna konservasi. Namun,
ternyata hasilnya memang belum sesuai dengan harapan. Masyarakat merasa hanya menjadi obyek
pelaksanaan proyek belaka. Akhirnya, kendati anggaran yang dikucurkan berjumlah besar, namun
tidak serta merta dapat mengalihkan kebiasaan masyarakat untuk mengolah lahan dalam kawasan.
Program-program Balai Taman Nasional Gunung Ciremai nampaknya belum mendorong kemandirian
kelompok binaan dalam mewujudkan kesejahteraannya.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 8. Patroli gabungan Polhut, Polisi dan TNI © Mufrizal-TNGC
Gbr. 9. Gerebeg Gunung, budaya lokal Desa Padabeunghar pada saat penyambutan tamu agung, tradisi yang menggambarkan penyatuan dua wilayah yang bersebelahan dan dibatasi oleh gunung. © Sirod S-TNGC
BAB KETIGA MANAJEMEN
KEDAULATAN RAKYAT PERIODE 2015 - 2018
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT5 8
Satu dekade berdiri, Taman Nasional Gunung Ciremai mencapai banyak kemajuan, diantaranya
penanganan perambahan, perburuan, dan pembalakan liar. Namun masih ada sebagian masyarakat
dan lembaga swadaya masyarakat yang belum memahami manfaat dan fungsi kawasan konservasi
secara keseluruhan. Bahkan pemerintah daerah dan legislatif pun mulai mempertanyakan manfaat
Taman Nasional Gunung Ciremai bagi pembangunan ekonomi daerah.
Seperti bara yang menyala lagi, berkembanglah tuntutan untuk mengembalikan pengelolaan Gunung
Ciremai kepada pemerintah daerah. Demonstrasi pun dimulai lagi, dengan mengatasnamakan
masyarakat sekitar hutan. Masyarakat yang masih bimbang tersulut untuk meminta kembali lahan
garapan di taman nasional.
Selain itu, salah satu ancaman terhadap kelestarian taman nasional yang sering terjadi tiap tahun
adalah kebakaran hutan. Penyebabnya adalah ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Apalagi saat
kemarau, semak belukar bekas perladangan yang ditinggalkan menjadi bahan bakar alami. Kebakaran
hutan sebagian besar merupakan ungkapan kekecewaan masyarakat, yang aksesnya dibatasi dalam
memanfaatkan kawasan hutan.
Berjalannya pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai, ada beberapa hal yang menjadi kekuatan
dan peluang yaitu ketersediaan air, ekonomi masyarakat eks penggarap, keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan, sumberdaya manusia dan tipologi desa sebagaimana infografis berikut.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Berdasarkan Sejarah Tatar Sunda Di Setiap Kabupaten Yang Berada Di Kaki Gunung Ciremai, Interaksi Masyarakat Dengan Gunung Ciremai Sangat Tinggi, Terutama Karena Gunung Ciremai Memiliki Total Debit Air 9.293,84 Liter/detik Yang Dimanfaatkan Oleh Masyarakat Baik Untuk Pengairan Pertanian, Air Minum Dan Lain-lain
Kondisi Sebelumnya Kawasan Hutan Gunung Ciremai Merupakan Hutan Produksi Perhutani, Dimana Akses Masyarakat Disalurkan Melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Phbm) Komoditi Pertanian, Dengan Jumlah Penggarap Lahan Saat Itu Mencapai 4.553 Orang Dengan Luas Area Mencapai 7.543 Hektar
Program-program Pemberdayaan Masyarakat Yang Masih Memposisikan Masyarakat Sebagai Objek Pemberdayaan Cenderung Tetap Memisahkan Interaksi/akses Langsung Masyarakat Dengan Kawasan Hutannya Dan Belum Memberikan Nilai Ekonomi Yang Lebih Baik
Sumberdaya Manusia Yang Bekerja Sebagai Pengelola Sebanyak 74 Orang Pns Dan 13 Tenaga Harian Dengan Rincian 8 Orang Lulusan S2, 20 Orang Lulusan S1, 5 Orang Lulusan D3 Dan 37 Orang Lulusan Sma. Data Ini Menunjukkan Nilai Kapasitas Negara Yang Cukup Kuat Untuk Pengelolaan Kawasan
Berdasarkan Rapid Assesment Tipologi Desa, Menunjukkan Bahwa Desa Penyangga Sekitar TNGC Masuk Dalam Tipologi Ii (Tingkat Ketergantungan Terhadap Kawasan Sedang) Yaitu Memiliki Kemampuan Sedang Dalam Menunjang Peningkatan Kemampuan Sosial Ekonomi Rumah Tangganya
Infografis 2. Kekuatan dan peluang pengelolaan TNGC
Gbr. 10. Kegiatan Patroli Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Bersama Masyarakat © Gandi Mulyawan-BTNGC
Gbr. 11. Masyarakat turut membantu pengendalian kebakaran hutan di Blok Pasawahan© Oman Depe-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT6 2
Sebagai strategi dalam menyelaraskan kekuatan dan peluang, dapat dirumuskan catatan penting
sebagai berikut :
Interaksi masyarakat penyangga dengan TNGC tidak terpisahkan, terutama pada masa status hutan produksi. Hutan adalah halaman rumah masyarakat, perlu dibuka akses bagi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan tanggung jawab pengelolaan TN sesuai peraturan yang berlaku
Perlu perubahan pemahaman pengelola TNGC, dari pemimpin sampai personel di lapangan, melalui komitmen, integritas, dan keikhlasan, untuk mengembangkan pendekatan baru pengelolaan sumberdaya alam. Manajemen pemerintahan harus hadir dan mampu mewujudkan kemanfaatan taman nasional bagi kesejahteraan masyarakat
Kapasitas Balai Taman Nasional Gunung Ciremai dan modal sosial masyarakat yang sama-sama memadai, sehingga strategi yang tepat adalah pengelolaan Taman Nasional bersama masyarakat
Infografis 3. Strategi Pengelolaan TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 6 3
Sebagai tuan rumah, masyarakat adalah subyek pengelolaan. Dengan demikian, kontestasi para aktor
dalam pengelolaan taman nasional tidak seharusnya berujung konflik. Kejelian menemukan irisan
kepentingan intrinsik dari para aktor adalah kunci untuk menggeser potensi konflik menjadi potensi
kerjasama, sehingga, berbagai hambatan yang sebelumnya dianggap sebagai masalah kelemahan dan
ancaman dapat berubah menjadi berkah peluang dan kekuatan.
Konsep manajemen kedaulatan rakyat juga sejalan dengan paradigma baru pengelolaan kawasan
konservasi dari Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem. Paradigma baru ini
menempatkan masyarakat sebagai subyek, dan desa menjadi bagian dari proses pengelolaan taman
nasional.
Selama 2015-2018, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai telah mengarah pada pengelolaan yang
mendaulatkan masyarakat melalui tiga pilar yaitu kelola ekologi, sosial budaya dan ekonomi. Tanpa
kolaborasi dengan masyarakat, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai akan mengeluarkan biaya cukup
besar seiring semakin intensifnya pengelolaan hutan.
Ini juga sesuai dengan sasaran strategis 2015-2019, Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam
“ ... KONSEP MANAJEMEN KEDAULATAN RAKYAT MENITIKBERATKAN PADA KETERLIBATAN MASYARAKAT SEBAGAI
‘TUAN RUMAH’ DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL ....”
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT6 4
dan Ekosistem yaitu kawasan konservasi dan keanekaragaman hayati terpelihara, terlindungi, serta
dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Begitu juga, sesuai dengan tujuan pembangunan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-
2019 untuk mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta pengelolaan sumberdaya
hutan yang lestari untuk kesejahteraan rakyat menuju pembangunan berkelanjutan.
Sementara itu, untuk mendukung terwujudnya manajemen kedaulatan rakyat perlu didukung faktor-
faktor berikut:
Kepemimpinan
Sebagai unit pelaksana teknis di lapangan, Balai Taman Nasional memerlukan pemimpin yang
berkomitmen, ikhlas, dan konsisten untuk memahami beragam masalah unik di wilayah kerjanya.
Pemimpin akan mengarahkan organisasi dan sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan sesuai
penunjukan kawasan. Masalah di kawasan konservasi umumnya sama, namun yang membedakan
adalah kejelian untuk menemu-kenali kekuatan ‘lokal’. Seorang pemimpin yang mampu membaca,
mendengar dan merasakan karakter masalah di lapangan, diharapkan dapat menemukan solusi dan
kebijakan yang tepat bukannya menambah masalah.
Perubahan Pola Pikir
Pertama, untuk mewujudkan tujuan taman nasional perlu perubahan pola pikir segenap staf Balai
Taman Nasional, melalui komitmen, integritas, dan keiklasan, untuk mengembangkan pendekatan baru
pengelolaan kawasan. Manajemen Balai Taman Nasional harus hadir dan mampu mewujudkan manfaat
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 12. Membangun Kemitraan Dengan Pemerintah Kabupaten Kuningan, Membahas Peran Serta Masyarakat di Sekitar TN Gunung Ciremai
© Wahyu-Humas Kab Kuningan
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT6 6
kawasannya bagi masyarakat. Perubahan pola pikir ini pun harus ditularkan kepada masyarakat, agar
dapat menerima taman nasional sesuai fungsinya.
Kedua, saling percaya, peduli, menguntungkan dan menyamankan. Ini merupakan modal utama, bila
pemerintah memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola kawasan dengan dukungan
staf Balai Taman Nasional. Kepercayaan itu tanpa memandang suku dan tingkat pendidikan masyarakat.
Kendati tingkat pendidikan umumnya memang kurang, namun masyarakat relatif lebih memahami
kawasan hutan. Nilai-nilai tersebut dapat mengubah hubungan yang sebelumnya benci, menjadi suka.
Ketiga, memberi akses masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Dengan menjadikan sebagai ‘tuan
rumah’. Masyarakat menjadi subyek, dengan berkontribusi dalam perencanaan, pelaksanaan,
dan tanggung jawab pengelolaan taman nasional. Dengan demikian, rasa memiliki akan tumbuh di
masyarakat.
Ketiga, pelayanan dan bimbingan secara humanis. Ini merupakan implikasi dari fungsi aparat negara
sebagai pelayan masyarakat. Dengan demikian, kedudukan aparatur menjadi strategis yang akan
menentukan kemampuan dan peran pemerintah dalam pelayanan dan mewujudkan kesejahteraan bagi
rakyatnya. Karena itu, perlu pendekatan humanistik, yang memandang masyarakat sebagai bagian dari
Taman Nasional Gunung Ciremai, sehingga tidak ada jarak dalam berkolaborasi.
3.1. Tiga Pilar Pengelolaan
Balai Taman Nasional menyadari, selain untuk pelestarian alam, upaya pengelolaan juga bagian dari
perkembangan sosial dan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, tercipta keseimbangan
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
DESA WISATA, AIR,
EDUKASI, PLASMA
NUTFAH, LOKAL
KULINER
POTENSI SDA
DAN EKOSISTEM
PENGUATAN KELEMBAGAAN
1.597 KK DAN
927 ORANG DHUAFA
01KELOLA EKOLOGI
03 KELOLA EKONOMI
02KELOLA SOSIAL
DAN BUDAYA
EKONOMI
EKOLOGI
SOSIAL
Infografis 4. Tiga Pilar Kelola Sebagai Pedoman ImplementasiManajemen Kedaulatan Rakyat
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT6 8
antara kepentingan ekologi dengan kepentingan sosial-ekonomi masyarakat. Untuk itu, ada tiga
pilar kelola yang harus dijalankan secara bersamaan, yang menjadi pedoman dalam manajemen
kedaulatan rakyat.
a. Kelola Ekologi
Kelola ekologi dilakukan dalam upaya mengidentifikasi dan mengembangkan kekayaan sumberdaya
alam, sehingga mampu memunculkan nilai peluang dan kekuatan sebagai modal sumberdaya alam.
Pengelolaan dilakukan di empat ruang potensi, yaitu potensi di bawah permukaan lantai hutan, potensi
di lantai hutan, potensi ruang antara lantai hutan dengan tajuk dan potensi pada ruang tajuk. Dalam
kelola ekologi harus mengarah pada kelestarian sumber daya hutan agar berperan sesuai dengan
fungsinya secara optimal yaitu potensi SDA dan ekosistem.
b. Kelola Sosial Budaya
Kelola sosial budaya dilakukan dengan menginisiasi kelembagaan masyarakat untuk menguatkan
posisinya sebagai tuan rumah dalam pengelolaan taman nasional. Kelola ini sebagai presentasi kearifan
lokal dalam membangun interaksi positif dengan taman nasional. Kelola sosial budaya dilakukan di
54 desa sekitar kawasan, yang mencakup tiga kabupaten: Kuningan, Majalengka dan Cirebon. Kelola
ini mengarah pada akses pengelolaan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan lainnya demi keadilan
dan harmoni antar pihak tanpa meninggalkan kearifan lokal yaitu penguatan kelembagaan kelompok
masyarakat, seni budaya dan santunan anak yatim dhuafa.
c. Kelola Ekonomi
Kelola ini untuk menjawab tantangan pemanfaatan taman nasional mampu mewujudkan nilai ekonomi
bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Tentu saja, nilai ekonomi yang didapat dapat
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
menggantikan nilai yang didapat dari kawasan ketika digarap untuk lahan pertanian. Kelola ekonomi
mengarah pada pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam dan air yang mampu menghasilkan
pendapatan ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan. Selain itu juga memanfaatkan potensi yang
ada diwilayah penyangga dalam mengembangkan industri konservasi yaitu plasma nutfah dan kuliner.
Sasaran dari kelola ekologi, sosial budaya dan ekonomi di dalam mewujudkan nilai kemanfaatan bagi
kesejahteraan masyarakat dilakukan melalui tiga kegiatan utama;
Pertama, perlindungan dan pengamanan kawasan, yang meliputi kegiatan pencegahan gangguan
kawasan seperti perambahan, pembalakan liar dan perburuan; dan pencegahan kebakaran hutan dan
lahan.
Kedua, pengawetan dan budidaya keanekaragaman hayati, meliputi kegiatan konservasi keanekaragaman
hayati dan spesies kunci, dan pemulihan ekosistem.
Ketiga, pemanfaatan jasa lingkungan, meliputi pariwisata dan rekreasi; pengembangan kuliner berbasis
keanekaragaman hayati hutan dan budaya setempat; dan pemanfaatan air.
3.2. Resor Tematik
Manajemen kedaulatan rakyat dikembangkan sesuai peraturan, untuk menuju pengelolaan yang
efektif dengan membuka akses masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan tanggung jawab
dalam pengelolaan sumberdaya alam. Untuk mempercepat capaian visi dan sasaran kelola ekologi,
sosial budaya, dan ekonomi, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai melakukan perubahan organisasi
di tingkat resor. Perubahan ini sekaligus untuk menunjang kinerja di tingkat lapangan sehingga dapat
mewujudkan nilai kemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT7 0
Sejak Mei 2016, Balai Taman Nasional mengubah ‘resor wilayah’ menjadi ‘resor tematik’. Resor tematik
berdasarkan pengelompokan tema pengelolaan sesuai kebutuhan Balai Taman Nasional. Adapun resor
tematik yang dibentuk meliputi:
1. Resor perlindungan dan pengamanan hutan, dengan personel fungsional polisi kehutanan;
2. Resor keanekaragaman hayati dan ekosistem, dengan personel fungsional pengendali ekosistem
hutan;
3. Resor pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam, dengan personel fungsional penyuluh
kehutanan dengan kombinasi personel fungsional lain sesuai tuntutan di lapangan.
HUTAN DAN EKOSISTEM TNGC
SINERGITAS 3 KELOLA DENGAN 3 PILAR
KONSERVASI
EFEKTIFITAS PENGELOLAAN
RESORTEMATIK
1. PERLINDUNGAN KAWASAN2. KEANEKARAGAMAN HAYATI3. PEMANFAATAN JASLING DAN WISATA ALAM
TERCAPAI VISI BTNGC TERWUJUDNYA KELESTARIAN TNGC SEBAGAI SUMBER
AIR UTAMA UNTUK KEHIDUPAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Infografis 5. Perubahan Organisasi di Tingkat Resor
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gambar 5. Masyarakat yang telah menjadi kader konservasi dan mampu mengambil manfaat ekonomi dengan memberikan informasi tentang habitat Kodok Merah di Gunung Ciremai.
Foto Lokasi di ODTWA Ipukan
Secara struktur, resor tematik berada di bawah
seksi pengelolaan taman nasional (SPTN). Dengan
begitu, wilayah kerja resor tematik meliputi seluruh
wilayah seksi, hanya tugas pokok dan fungsinya
yang berbeda, disesuaikan dengan tugas dan fungsi
resor pengelolaan.
Penempatan personel di resor tematik disesuaikan
dengan keahlian fungsionalnya. Jadi, selain
mendorong pengelolaan di tingkat tapak, sistem
penempatan itu sesuai dengan jabatan fungsional
sehingga mendukung capaian karir dan kinerja
personel.
Dengan resor tematik, setiap personel dituntut
menguasai hal-hal yang berkaitan dengan tema
resornya, mulai dari peraturan, kondisi lapangan,
tantangan dan peluang. Alhasil, personel bisa
memproyeksikan tantangan ke depan sehingga
mampu menjawab kebutuhan organisasi.
Sejalan dengan bergulirnya resor tematik, setiap
pejabat fungsional diarahkan dapat memiliki
DENGAN RESOR TEMATIK SETIAP PERSONEL DITUNTUT MENGUASAI HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN TEMA RESORNYA, MULAI DARI PERATURAN, KONDISI LAPANGAN, TANTANGAN DAN PELUANG
PENDEKATAN INI DISEBUT DENGAN ISTILAH
GENDONGAN
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT7 2
spesialisasi keahlian tertentu sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pendekatan ini disebut dengan
istilah gendongan. Gendongan pejabat fungsional disesuaikan dengan minat masing-masing personal
yang kemudian disahkan melalui Surat Keputusan Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.
Harapannya, keahlian yang dimiliki pejabat fungsional dapat memberikan manfaat langsung kepada
yang bersangkutan dan kemudian dapat ditularkan kepada masyarakat yang dibina personel resor.
Dengan masyarakat yang ditempatkan sebagai tuan rumah, masyarakat berada terdepan dalam
memberikan layanan kepada pengunjung. Sementara itu, personel taman nasional akan menjadi
penyelia. Kolaborasi keahlian ini diharapkan bisa memberikan pendapatan finansial sekaligus
meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap taman nasional. Salah satu hasilnya, personel dari
masyarakat yang terlibat dapat menambah kekurangan jumlah personel taman nasional.
3.3. Implementasi Manajemen Kedaulatan Rakyat
Implementasi di lapangan pada dasarnya meletakkan masyarakat sebagai aktor pengelolaan taman
nasional. Upaya ini dapat menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesadaran lingkungan,
meningkatan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk menjaga aset lingkungan, sambil meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah sudah
seharusnya berfokus pada modal ganda dalam kerangka kerja penghidupan berkelanjutan, yaitu modal
alami, manusia, sosial, fisik dan finansial. Kegagalan menyeimbangkan kelima modal tersebut akan
menyebabkan kemiskinan (van Noordwijk dkk, 2007; Leimona dkk, 2009).
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 7 3
IMPLEMENTASI MANAJEMEN KEDAULATAN RAKYAT
menitikberatkan pada keterlibatan masyarakat sebagai ‘tuan rumah’ dalam pengelolaan taman nasional
PERLINDUNGAN
Pendekatan ekologi, ekonomi dan sosial budaya secara bersamaan menjadi solusi untuk keberhasilan upaya perlindungan dan pengamanan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Pengawetan keanekaragaman hayati tidak lepas dari peran masyarakat dalam mengimplementasikan ketersediaan ekologi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dengan sosial dan peningkatan ekonomi.
Kekayaan sumberdaya alam sebagai sistem penyangga kehidupan menjadikan Taman Nasional Gunung Ciremai berperan strategis sebagai kawasan yang prospektif sebagai penyedia jasa lingkungan
PENGAWETAN KEANEKARAGAMAN HAYATI
PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN
Infografis 6. Implementasi Manajemen Kedaulatan Rakyat
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT7 4
Dalam konteks semangat “mengubah masalah menjadi berkah”, masyarakat eks penggarap
lahan, yang semula dianggap ancaman dan kelemahan, secara perlahan menjadi sumber
kekuatan benteng pertahanan pengelolaan kawasan taman nasional. Karena, sesungguhnya
eks penggarap adalah modal manusia yang menyediakan tenaga kerja untuk mengisi
kekurangan personel. Dalam perkembangannya, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai tidak
lagi merasa kekurangan personel karena sebagian tugas dilaksanakan bersama masyarakat.
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai lantas membina kelompok masyarakat, memfasilitasi pendidikan,
penelitian, pemanfaatan plasma nutfah dan air, serta wisata bersama masyarakat. Pola pengelolaan
bersama masyarakat ini pada hakikatnya untuk menjamin kelestarian sumber daya alam.
3.3.1. Kedaulatan Rakyat dalam Perlindungan
Pendekatan ekologi, ekonomi dan social budaya secara bersamaan menjadi solusi untuk keberhasilan
upaya perlindungan dan pengamanan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai mencermati tantangan perlindungan dan pengamanan hutan
tidak bisa diselesaikan hanya dengan penegakan hukum. Justru pendekatan non-yustisia, diiringi
dengan pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat yaitu memberikan dampak positif bagi upaya
pelestarian kawasan. Berikut ini, beberapa upaya perlindungan dengan nuansa berkedaulatan rakyat.
Perlindungan Tematik
Perlindungan untuk menjaga kawasan hutan sebagai habitat dan pengawetan keanekaragaman hayati
demi menjamin fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan. Karena itu, dalam praktiknya, sasaran
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 7 5Gbr. 13. Surili Merupakan Salah Satu Spesies Kunci di Gunung Ciremai, Balai
TNGC Mengajak Untuk Turut Melindungi Melalui Pengembangan Wisata Alam berbasis Sumberdaya Alam Hayati yang dikenal dengan Program Gendongan
© ISO-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT7 6
perlindungan bersifat tematik pada kekayaan hutan spesifik seperti patroli habitat satwa, patroli
ekosistem rawan kebakaran, pengamanan habitat flora yang mengandung atsiri. Kegiatan-kegiatan ini
bertujuan agar fungsi kawasan hutan dapat tercapai secara optimal, lestari, serta memberikan manfaat
untuk kesejahteraan masyarakat.
Dalam kegiatan perlindungan, polisi kehutanan berusaha memposisikan dirinya setara dengan
masyarakat. Selain itu, polisi kehutanan selalu meningkatkan peran masyarakat, baik Muspika,
kelompok Masyarakat Mitra Polhut ataupun Masyarakat Peduli Api.
Pola pendekatan lain adalah anjangsana sebagai upaya pre-emptif. Seringkali anjangsana dilaksanakan
di luar jam kerja sewaktu masyarakat senggang di rumah. Dengan anjangsana, kita dapat mengetahui
perubahan pola pikir masyarakat sehingga dapat menentukan pola pendekatan arah kebijakan dalam
hal perlindungan dan pengamanan hutan ke depannya.
Camp Fire Care
Kebakaran hutan di taman nasional ini hampir terjadi setiap tahun. Untuk mengurangi terjadinya
kebakaran hutan, pada 2016 diluncurkan program pencegahan kebakaran hutan, “Camp Fire Care”.
Program ini merupakan pelestarian hutan yang mengutamakan pencegahan kebakaran hutan, dan
pemulihan ekosistem, di lokasi rawan kebakaran. Bentuknya berupa perkemahan, dengan atraksi
pencegahan kebakaran, ekowisata, pendidikan lingkungan dan restorasi kawasan. Perkemahan ini
melibatkan masyarakat luas sebagai peserta dan kontributor dana.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 7 7
Gbr. 14. Wisata Alam Camp Fire Care, Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan © BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 15. Kegiatan Camp Fire Care di Bukit Seribu Bintang, Ajak Generasi Bangsa Cegah Kebakaran Hutan di Gunung Ciremai.
© BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 7 9
Program ini mendapat respon positif dan simpati dari masyarakat, pengusaha, pencinta alam dan para
pegiat alam bebas. Alhasil, kebakaran hutan yang sebelumnya dianggap masalah perlahan berubah
menjadi berkah. Karena, kegiatan ini menyerap tenaga kerja dan memunculkan nilai ekonomi swadaya
untuk pemulihan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat.
Pada 2016, perkemahan dikunjungi peserta sebanyak 1.250 orang, dan memunculkan nilai ekonomi
baru untuk masyarakat sebagai penyedia jasa akomodasi dan pemanduan wisata. Pendapatan mitra
pengelola perkemahan selama satu tahun sebesar Rp 125.000.000,- dengan efek ganda nilai ekonomi
kepada masyarakat yang tidak terlibat dalam pengelolaan perkemahan sebesar Rp 690.000.000,-.
Sementara pada tahun 2017, perkemahan dikunjungi peserta sebanyak 800 orang. Pendapatan mitra
pengelola perkemahan selama satu tahun sebesar Rp 80.000.000 dengan efek ganda nilai ekonomi
kepada masyarakat yang tidak terlibat dalam pengelolaan perkemahan sebesar Rp 441.000.000,-.
Camp Fire Care memberikan kontribusi dalam mencegah kebakaran. Pada tahun 2016, kawasan taman
nasional relatif aman dari kebakaran sehingga tidak ada anggaran Negara yang dikeluarkan, sedangkan
pada tahun 2015, terdapat pengeluaran Negara sebesar Rp. 83.763.000,- untuk biaya pemadaman
kebakaran hutan dan lahan di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Artinya, hal ini menjadi nilai
substitusi dari efisiensi biaya perlindungan untuk dari mencegah dan memadamkan kebakaran hutan.
3.3.2. Kedaulatan Rakyat dalam Pengawetan Keanekaragaman Hayati
Pengawetan keanekaragaman hayati tidak lepas dari peran masyarakat dalam mengimplementasikan
ketersediaan ekologi di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dengan sosial dan peningkatan
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT8 0
ekonomi.
Kelola ekologi untuk mengidentifikasi potensi sumberdaya taman nasional yang dapat dioptimalkan
sehingga bermanfaat secara sosial ekonomi. Selain bertujuan untuk meningkatkan fungsi pendidikan,
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban
taman nasional. Kegiatan pengawetan keanekaragaman hayati menjadi cikal bakal sumber pendapatan
ekonomi masyarakat sekitar. Tidak lagi menjual sumberdaya alam hayati secara langsung, namun
atraksi, manfaat dan pendidikannya yang diangkat.
Balai Taman Nasional Gunung Ciremai mengeksplorasi sumber daya alam di lima ruang kelola ekologi,
yaitu: potensi di bawah permukaan lantai hutan, potensi di lantai hutan, potensi ruang di antara lantai
hutan dan tajuk, potensi ruang tajuk, dan potensi ruang ekosistem.
a. Kelola potensi di bawah permukaan lantai hutan
Upaya eksplorasi ini telah dirintis sejak 2015, terutama untuk menunjang budidaya di luar
taman nasional. Salah satunya adalah identifikasi plasma nutfah berfaedah, khususnya mikro
organisme yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman budidaya. Dari uji laboratorium,
bekerjasama dengan Kampus Institut Pertanian Bogor, teridentifikasi mikro organisme Rhizobium
leguminosarum dan dan dan Bacillus sp. Secara uji coba terapan, mikro organisme telah terbukti
dapat membantu proses reklamasi lahan bekas tambang di Cibinong, Jawa Barat. Uji coba ini
menggunakan tumbuhan angsana, lamtoro, dan ki hujan yang dapat tumbuh bagus di lahan bekas
tambang. Uji coba tersebut mendapatkan Juara III Query Life dari perusahaan Semen Tiga Roda.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 8 1
RUANG TAJUK
RUANG LANTAI HUTAN DAN TAJUKRUANG LANTAI HUTAN
RUANG DIBAWAH PERMUKAAN TANAH
Infografis 7. Ruang Kelola Ekologi
POTENSI RUANG EKOSISTEM
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT8 2
b. Kelola potensi di Lantai Hutan
Kelola potensi lantai hutan mengarah pada
pengelolaan tumbuhan dan satwa liar untuk
mendukung proses ekologis, antara lain eksplorasi,
identifikasi, inventarisasi dan monitoring. Ekplorasi
ini menemukan berbagai macam potensi plasma
nutfah di antaranya jenis mikroba yang dijumpai
pada seresah, ranting/batang lepas, permukaan
tanah, serangga mati, dan sebagainya. Mikroba
ini berperan penting dalam proses dekomposisi
biomassa di lantai hutan. Berikut ini bentuk kelola
potensi di lantai hutan: eksplorasi mikrobiologi,
kodok merah, dan budidaya ikan dewa.
Eksplorasi Mikrobiologi untuk Pertanian Sehat
Proses ekologi yang menunjang kehidupan akan
terwujud bila ada keseimbangan ekosistem taman
nasional dengan daerah penyangga. Dewasa
ini, pertanian di sekitar taman nasional sangat
tergantung pada pupuk kimia dan pestisida.
Perilaku ini menyebabkan kerusakan lingkungan,
dan berakibat fatal pada keanekaragaman varietas
Gambar 10. Kunjungan role model pertanian sehat oldengan pertemuan dan diskusi di Gazebo Curug Cipeut
photograph copyright r
Gbr. 16. Eksplorasi Mikroba Bermanfaat di Kawasan TNGC Dalam Rangka Pengembangan P© BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 8 3
anian sehat oleh Kepala Subdit Yayat Surya dilanjutkan emuan dan diskusi di Gazebo Curug Cipeuteuy, 5 Agustus 2018
opyright reserved @ BTNGC
dan spesies. Selain itu, kerusakan lingkungan di
ekosistem pertanian, telah banyak terjadi: erosi,
pencemaran pestisida, hilangnya varietas lokal, dan
menurunnya produksi pertanian. Populasi hama
juga meledak akibat penyebaran pestisida dalam
rantai makanan.
Dalam hal penyediaan dan penyerapan unsur hara
bagi tanaman, aktivitas mikroba diperlukan untuk
menjaga ketersediaan unsur hara yang penting bagi
tanaman: nitrogen, posfat, dan kalium. Namun,
nitrogen udara harus ditambat oleh mikroba,
dan diubah bentuknya terlebih dahulu agar bisa
dimanfaatkan tanaman. Mikroba lain yang berperan
menyediakan unsur hara adalah mkroba pelarut
posfat dan kalium. Kandungan fosfat yang jenuh
sebenarnya hanya sedikit yang dapat digunakan
tanaman, karena terikat di mineral tanah. Di sinilah
peran mikroba pelarut P yang melepaskan ikatan
P dari mineral liat, dan menyediakannya bagi
tanaman. engembangan Pertanian Sehat
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT8 4Gbr. 17. Plot Contoh Pertanian Sehat di Penyangga Kawasan© Idin Abidin & Yusuf H.-BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 8 5
Mikroba sebagai agen biokontrol mampu menyerang dan membunuh berbagai serangga hama. Mikroba
yang dapat mengendalikan penyakit tanaman misalnya, Trichoderma sp yang mengendalikan penyakit
dari Gonoderma sp, jamur akar putih, dan Phytoptora sp. Fungsi perlindungan sistem penyangga
kehidupan taman nasional ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologi yang menunjang kelangsungan
kehidupan untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, Karena itu, TNGC berupaya mencari solusi
memanfaatkan sumberdaya seperti mikroba positif, yang diharapkan dapat menggantikan pupuk kimia
dan pestisida.
Hasil eksplorasi biologi 2018, sebagai kelanjutan program pertanian sehat, di permukaan lantai hutan
di ekosistem yang berbeda menemukan ribuan mikroba potensial. Eksplorasi mikroba itu di ekosistem
dataran rendah, sub-pegunungan, pegunungan sampai dengan sub-alpin. Setelah itu bahan sampel
dari TNGC diuji isolasi mikroba positif di Laboratorium Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, IPB.
Fokus eksplorasi biologi adalah jenis-jenis mikroba yang ada pada keempat tipe ekosistem tersebut
antara lain mikroba untuk memacu pertumbuhan, mikroba pathogen untuk antibody tanaman, mikroba
untuk mengatasi penyakit frost, mikroba tahan kekeringan dan sebagainya. Pada 2018, eksplorasi
mikrobiologi telah memasuki tahap ujicoba di laboratorium dengan plot ujicoba pertanian sehat di Desa
Bandorasa Kulon, Kabupaten Kuningan, dan Bantaragung, Kabupaten Majalengka.
Interpretasi Kodok Merah
Selain potensi mikroba, potensi plasma nutfah lain adalah Kodok Merah Ciremai (Leptophryne
Cruentata). Satwa indikator lingkungan ini merupakan spesies baru 2014 yang ditemukan dalam
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT8 6
Gbr. 18. Kodok Merah Ciremai (Leptophryne cruentata) di Habitat Alaminya, Curug Cisurian Bumi Perkemahan Ipukan © Azis Abdul Kholik-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 8 7
eksplorasi keanekaragaman hayati oleh Pusat Informasi Lingkungan Indonesia. Kodok merah Ciremai
berbeda dengan yang ada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Habitat kodok merah ciremai berada di aliran air sungai dan bebatuan, paling rendah di
ketinggian 1.187 mdpl. Salah satunya habitatnya di zona pemanfaatan Bumi Perkemahan Ipukan, yang
semula tidak diketahui keberadaannya oleh pengelola Bumi Perkemahan. Melalui pendampingan, kini
terbentuk pemandu dan upaya pelestarian kodok merah. Sehingga, kodok merah dapat memberikan
nilai ekonomi sebagai daya tarik wisata alam.
Gbr. 19. Pendampingan Mahasiswa Praktek Kerja Lapang di Kawasan TNGC
© BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT8 8
Budidaya Ikan Dewa (Tor soro)
Potensi lain adalah ikan dewa (Tor soro). Habitat ikan ini di taman nasional hanya ada pada dua:
pemandian Cibulan dan Cigugur. Lantaran bernilai budaya, ikan ini tetap ada sampai sekarang. Namun,
cara berkembangbiaknya yang unik yaitu mencari perairan dangkal dan menaruh telur di batu-batuan
dikhawatirkan kelestarian ikan ini terancam. Manfaat ikan dewa masih terbatas untuk wisata. Potensi
manfaat lain: pengobatan pascaoperasi, sarana pendidikan, serta nilai ekonominya yang tinggi. Ikan
Dewa menjadi komoditas ekspor dari Jawa dan Sumatra ke Malaysia. Kuota ekspornya 100 ribu ton
setahun, yang baru terpenuhi 30.000 ton. Nilai per kilogram mencapai Rp 750.000,-.
Untuk itu, Balai Taman Nasional melaksanakan program konservasi in-situ dan ex-situ, di antaranya
kajian habitat, populasi, translokasi, serta budidaya ikan dewa bersama masyarakat. Selain kajian,
bersama Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar dan Penyuluhan Perikanan, Bogor, praktik budidaya
ikan dewa bersama masyarakat dilakukan di Sangkanhurip, Bandorasa Kulon dan Padabeunghar. Selain
untuk edukasi, pelatihan ini untuk memahami konservasi ex-situ dan peluang ekonomi ikan dewa, yang
selama ini belum diketahui masyarakat.
Ujicoba budidaya ikan dewa dengan pemijahan buatan dari satu betina dan dua jantan. Pada hari
kelima, berhasil menetaskan telur ikan dewa. Keberhasilan ini diharapkan dapat meningkatkan minat
masyarakat terhadap pemanfaatan ikan dewa untuk sumber ekonomi.
C. Kelola Potensi Ruang Diantara Lantai Hutan dengan Tajuk
Ruang antara lantai hutan dengan tajuk merupakan bagian dari struktur hutan yang berperan penting
bagi makhluk hidup. Ruang ini merupakan habitat tumbuhan dan satwa liar, dengan interaksi di
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 8 9
kuota ekspor 100.000
ton per tahun
bisa terpenuhi 30.000 ton nilai ekonomi
Rp. 750.000
per kilo
Infografis 8. Nilai Ekonomi Pembudidayaan Ikan Dewa dan Permintaan Pasar Akan
Kebutuhan Ikan Dewa Pembudidayaan Ikan Dewa di Balong Cigugur dan
Pesawahan, Kuningan© Sylvia L.-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT9 0
dalamnya. Dengan demikian, bagian ruang ini sangat vital mendukung kelestarian mamalia: macan
tutul jawa, kijang, kucing hutan, landak, babi hutan, dan sebagainya. Selain itu, juga sebagai tempat
tumbuh berbagai macam tegakan penyusun hutan khas Gunung Ciremai, seperti saninten, kuray,
huru-huruan, kondang, nangsi, pingku, manglid dan sebagainya. Ruang ini juga menyediakan habitat
bagi jenis-jenis epifit, seperti anggrek yang mencapai ratusan jenis. Ringkasnya, ruang antara lantai
hutan dan tajuk menyediakan segala kebutuhan: sumber makanan, tempat istirahat, bersosialisasi dan
tempat perlindungan.
Pemulihan Ekosistem
Sejak 2015, perbaikan lingkungan diintegrasikan dengan potensi sosial budaya melalui penanaman
swadaya dan pemulihan ekosistem bekerjasama dengan mitra. Program pemulihan ekosistem secara
intensif dilaksanakan mulai 2015, dengan diawali kajian kondisi hayati dan ekosistem untuk menentukan
tingkat dan mekanisme pemulihannya. Berbeda dengan rehabilitasi hutan dan lahan, program ini dari
awal menginteraksikan kelola ekologi, sosial dan ekonomi secara bersamaan. Tujuan akhirnya: keadaan
ekosistem kembali atau mendekati seperti ekosistem asli, sambil menyejahterakan masyarakat.
Mitra program pemulihan ekosistem, khususnya di lahan bekas kebakaran hutan, adalah Japan
International Corporate Agency (JICA) dan Japan International Corporate System (JICS). Program
JICA mulai 2010-2015 di Blok Lambosir yang pertumbuhan pohonnya saat ini sudah besar. Kemudian
dilanjutkan dengan JICS pada 2015-2020 di Blok Pejaten.
Pada 2017, penanaman swadaya dikemas dalam aktivitas wisata alam sehingga pengunjung dan
masyarakat terlibat dalam pemulihan ekosistem. Salah satunya, Camp Ecological Care di Blok Lambosir.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 9 1
Program ini bertema wisata alam peduli kelestarian ekologi dengan satwa kunci macan tutul jawa,
surili, dan elang Jawa. Pun, program ini untuk mendukung pemulihan ekosistem bersama pengunjung,
dan pihak swasta melalui adopsi pohon.
d. Kelola Potensi Pada Ruang Tajuk
Ruang tajuk mendukung proses kehidupan satwa dari jenis primata, aves dan beberapa jenis reptil.
Ruang tajuk memberikan beberapa fungsi manfaat bagi satwa, antara lain:
1. Sumber makanan: buah-buahan, dedauanan, serangga, dan sebagainya,
2. Ruang aktivitas bermain, berburu pakan, tidur, bersosialisasi,
3. Perlindungan dari ancaman bahaya predator dan kejadian alam.
Dengan demikian, ruang tajuk menjadi salah satu hal penting dalam pengelolaan keanekaragaman
hayati. Pengamatan aktivitas satwa liar di ruang tajuk menjadi informasi penting sebagai sumber ilmu
pengetahuan dan penelitian. Contohnya, satwa kunci elang jawa (Nisaetus bartelsi). Kelola potensi
elang jawa dapat dilakukan dengan monitoring habitat dan populasi. Integrasi kelola ekologi dan sosial
budaya dalam pelestarian elang ini melalui monitoring populasi dengan melibatkan masyarakat sebagai
tenaga ahli.
Kegiatan pendidikan, penelitian dan budidaya sangat berpotensi dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat. Manajemen kedaulatan rakyat memberikan peluang keterlibatan masyarakat antara lain
sebagai sumber informasi wilayah, pengetahuan tumbuhan dan satwa, dan kearifan lokal. Disinilah
perlu kolaborasi antara kelola ekologi dengan sosial budaya untuk menwujudkan manfaat ekonomi di
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT9 2
Gbr. 20. Anakan Elang Jawa Menetas Akhir Tahun 2018, Bukti Kualitas Ekologi TNGC © Dwi Suryana-TNGCE
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 9 3
empat ruang kelola.
Salah satu upayanya: pelibatan masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Kegiatannya
berupa inventarisasi flora-fauna, monitoring satwa, rehabilitasi hutan dan lahan, pembinaan habitat dan
populasi satwa. Masyarakat berperan sebagai interpreter, pendamping peneliti, maupun narasumber.
Beberapa masyarakat binaan telah menjadi pemandu untuk pendidikan maupun penelitian di antaranya:
No Nama Asal Interpretasi
1 Iyan Irawan Desa Kadugede Elang Jawa
2 Ojo Desa Argalingga Surili
3 Merlin Desa Cisantana Kodok Merah
4 Ayu Desa Cisantana Kodok Merah
5 Dedi Desa Seda Tumbuhan
6 Dudi Permana Desa Argalingga Anggrek
7 Nasir Desa Bandorosa Kulon Tumbuhan
8 Dasji Desa Bandorosa Kulon Tumbuhan
9 Oyo Desa Cisantana Burung
Sinergi kelola ekologi dan sosial menghasilkan pendapatan ekonomi yang hasilnya jauh dari perkiraan
awal. Dampaknya meluas tak terbatas, tidak hanya dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat.
Tabel 1. Masyarakat Binaan Telah Menjadi Pemandu Untuk Pendidikan Maupun Penelitian
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 21. Program Pemulihan Ekosistem Melalui Adopsi Pohon di Camp Ecological Camp, Lambosir
© BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 9 5
Dengan metode Traveler Cost Method (TCM), dapat dilakukan perhitungan nilai ekonomi untuk
pengawetan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Berikut nilai ekonominya pada 2016 dan 2017 :
J U M L A H N I L A I P E N D A P A T A N M A S Y A R A K A TK O L E K S I D A N B U D A Y A
2 0 1 6
2 0 1 7
2 0 1 6
2 0 1 7
2 0 1 6
2 0 1 7
Rp. 470.905.941
Rp. 971.222.500
Rp. 102.225.000
Rp. 43.750.000
Rp. 358.550.941
Rp. 927.472.500
Infografis 9. Graphic Bar Nilai Ekonomi Untuk Pengawetan dan Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati 2016 & 2017
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT9 6
3.3.3. Kedaulatan Rakyat Dalam Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Implementasi manajemen kedaulatan rakyat berjalan seiring dengan konsep pembayaran jasa
lingkungan dalam mewujudkan kelola ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Konsep pembayaran
jasa lingkungan mensyaratkan pemanfaat harus membayar, dan penyedia jasa lingkungan harus
mendapat kompensasi. Hubungan timbal-balik ini demi menjaga kelestarian jasa lingkungan.
Ada empat jenis jasa lingkungan yang dikenal masyarakat umum yaitu: air, keanekaragaman hayati,
penyerapan karbon, dan wisata alam. Namun secara nyata baru ada tiga mekanime pembayaran jasa
lingkungan di TNGC: air, keanekaragaman hayati, dan wisata alam.
Mekanisme transaksinya dengan imbal jasa berupa pembayaran finansial dan nonfinansial kepada
pengelola hutan ataupun mitra pengelola atas penyediaan jasa lingkungan. Mekanisme transaksi itu
berdasarkan regulasi dan kerelaan: pemanfaat membayar kepada penyedia, jika dan hanya jika penyedia
menjamin jasa lingkungan lestari. Sementara itu, jasa lingkungan dengan transaksi finansial di taman
nasional adalah wisata alam dan air.
a. Wisata Alam
Pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam merupakan salah satu alternatif solusi upaya alih profesi,
alih komoditi, dan alih usaha. Eks-penggarap lahan sayur dapat beralih profesi menjadi pelayan jasa
wisata alam.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 9 7
Berdasarkan prinsip: pemanfaat harus membayar, dan penyedia harus mendapat kompensasi, maka
skema pembayaran jasa lingkungan wisata alam dilakukan di antara penyedia dan pemanfaat , sebagai
berikut :
1. Skema Pembayaran “Pemerintah dengan Perusahaan” (Government to Private);
Untuk skema ini, yang berperan sebagai penyedia adalah Balai Taman Nasional, sementara
pemanfaatnya adalah perusahaan, badan usaha, ataupun koperasi. Skema pembayaran ini untuk jasa
lingkungan wisata alam keindahan alam. Pada praktiknya di Taman Nasional Gunung Ciremai, dalam
skema ini pemanfaatnya adalah Koperasi Agung Lestari dengan izin usaha penyediaan jasa wisata
alam (IUPJWA) berupa pramuwisata dan penyedia makan-minuman. Selain Koperasi Agung Lestari
yang merupakan pioneer pengusahaan wisata alam oleh masyarakat, kemudian naik kelas menjadi
badan usaha, PDAU Kuningan dan CV Wisata Putri Mustika juga berperan andil sebagai badan usaha
dalam pengusahaan wisata alam di TNGC. Mekanisme transaksi pembayaran jasa lingkungan oleh
koperasi kepada pemerintah berdasarkan regulasi dalam bentuk pembayaran pendapatan negara
bukan pajak (PNBP). Nilainya ditentukan aturan pemerintah No. 12 tahun 2014 tentang Jenis dan
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
2. Skema Pembayaran ‘Pemerintah dengan Masyarakat’ (Government to Community)
Untuk skema ini, penyedia jasa lingkungan adalah Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, dan
pemanfaatnya masyarakat baik perorangan maupun kelompok, utamanya di sekitar kawasan hutan.
Skema berjalan di pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam, pemanfaatnya adalah pengunjung yang
menikmati alam di taman nasional. Mekanisme transaksi finansialnya berdasarkan regulasi dalam
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT9 8
bentuk pembayaran karcis masuk kawasan konservasi berupa pendapatan negara bukan pajak, sesuai
aturan pemerintah No. 12 tahun 2014.
Selain itu, skema ini juga berjalan di jenis pembayaran iuran dan pungutan dari izin usaha pemanfaatan
jasa wisata alam. Yang berperan sebagai pemanfaat adalah masyarakat ‘Mitra Pengelola TNGC’
dengan ijin usaha jasa dari Balai Taman Nasional Gunung Ciremai. Ijin yang diterbitkan baru untuk jenis
perjalanan wisata, pramuwisata, dan makanan minuman. Sampai Oktober 2018, Balai Taman Nasional
telah mengeluarkan 96 ijin jasa bagi masyarakat penyangga. Mekanisme transaksi pembayaran iuran
dan pungutan ini berdasarkan regulasi, berdasarkan aturan pemerintah No. 12 tahun 2014.
3. Skema Pembayaran “Masyarakat dengan Masyarakat” (Community to Community )
Skema ini untuk pemanfaatan wisata alam, yang berperan sebagai penyedia adalah ‘Mitra pengelola
TNGC’ dari desa penyangga dengan kesepakatan Balai Taman Nasional. Mitra pengelola berperan
sebagai penyedia jasa karena berkomitmen dan berkontribusi dalam menjaga kelestarian taman
nasional. Sementara yang berperan sebagai pemanfaat adalah pengunjung yang membayar kepada
penyedia.
Mekanisme jasa wisata alam, pembayaran dari pengunjung kepada kelompok mitra pengelola tersebut
berdasarkan nilai kepuasan dalam berwisata. Nilai yang diterima kelompok mitra pengelola wisata
dan kelompok masyarakat lain, membentuk efek ganda dengan berputarnya ekonomi di sekitar hutan.
Upaya kelola ekologi dan kelola sosial akan menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat,
peningkatan pengetahuan dan peningkatan kesadaran lingkungan.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 9 9
Gbr. 22. ODTWA Curug Cipeteuy, Salah Satu Contoh Sukses Pengelolaan Ekowisata Yang Dilakukan Oleh MPGC
© Koperasi Agung Lestari
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 0 0
Sampai akhir 2018, pemanfaatan jasa lingkungan telah melibatkan 54 desa penyangga dengan 64
destinasi wisata, yang melibatkan masyarakat mitra pengelola 1.597 keluarga.
Antusias masyarakat penyangga ikut serta dalam pengelolaan wisata alam di kawasan Taman Nasional
Gunung Ciremai tidak serta merta datang begitu saja. Penerimaan masyarakat tiap desa pun berbeda,
antipati terhadap petugaspun pernah dirasakan. Seyogyanya apa yang ada dibenak masyarakat
bagaimana dapat masuk kawasan hutan Gunung Ciremai seperti sedia kala untuk melakukan aktivitas
penggarapan dan menghasilkan uang yang berlimpah. Alih profesi dan usaha menjadi pengelola
wisata alam yang ditawarkan petugas Taman Nasional Gunung Ciremai seakan-akan hanya bualan dan
khayalan.
Satu-satunya kelompok masyarakat yang tertarik dalam mengembangkan wisata alam adalah Kelompok
Cipeuteuy Agung Lestari, Desa Bantaragung. Bermodal swadaya dan keinginan kuat akhirnya sedikit
demi sedikit menata areal yang sama sekali belum ada apa-apanya, hanya aliran air kecil. Namun
sekarang, tampilannya sungguh luar biasa dan menjadi pusat studi banding. Role model obyek daya
tarik wisata alam Curug Cipeuteuy tidak banyak menggugah masyarakat penyangga kebanyakan, hanya
satu atau dua kelompok saja.
Kemudian pada tahun 2015 dilakukan penataan ulang manajemen wisata alam, khususnya wisata
pendakian yang menjadi wisata unggulan Taman Nasonal Gunung Ciremai. Mulai dari jasa pelayanan
pengunjung yang ditandai dengan perubahan nominal tiket yang semula Rp 10.000,- berubah menjadi
Rp 50.000,- dan kesiapan teknis di lapangan seperti tenaga SAR, keamanan dan kenyamanan jalur
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
20
30
40
50
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
60
70
2018
Infografis 10. Grafik Peningkatan Jumlah ODTWA di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai
JUMLAH ODTWA DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
JUMLAH PENGAJUAN IUPJWA
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gb
r. 2
3.
Ga
mb
ar
Pe
ta S
eb
ara
n O
bje
k d
an
Da
ya T
ari
k W
isa
ta A
lam
© A
dit
ya-B
TN
GC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 0 3
serta penanganan sampah. Diperkirakan akan mengalami penurunan pendaki, namun ternyata jumlah
pendaki yang datang dua kali lipat dari sebelumnya. Pendapatan ekonomi yang didapat pengelola sangat
signifikan, inilah yang menjadi motivasi masyarakat penyangga lain untuk memanfaatkan potensi wisata
alam yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Berdasarkan perhitungan pendekatan dengan metode Traveler Cost Method, efek ganda nilai ekonomi
pada 2015 sebesar Rp. 17.600.000.000,-. Pada 2016 sebesar Rp 30.500.000.000,- dan pada tahun 2017
sebesar Rp 32.700.000.000,-.
b. Air
Berdasarkan hasil analisis hidrologi dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), taman nasional terbagi
dalam sembilan Daerah Aliran Sungai: Kalibunder, Cisanggarung, Cimanuk, Bangkaderes, Citamiang,
Ciguranteng, Cijambe, Ciwaringin dan Cikeruh. Pembagian DAS ini menjadi acuan dalam kelola ekologi.
Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai merupakan daerah tangkapan air bagi wilayah kota dan
kabupaten: Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, bahkan sampai Brebes. Di taman nasional
terdapat 97 sumber air yang dimanfaatkan untuk irigasi, perikanan, industri dan kegiatan ekonomi
lainnya. Sebanyak 63 sumber air ada di Kabupaten Kuningan, dan 34 lainnya di Kabupaten Majalengka.
Rata-rata debit air Taman Nasional Gunung Ciremai: 93,38 liter per detik, dengan debit tertinggi 500
liter per detik di Curug Mangkuk.
Berdasarkan peraturan Menteri Kehutanan tentang pemanfaatan air dan energi air di suaka
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 0 4
mendampingi produk unggulan setempat. Harapannya, produk unggulan kuliner setempat meningkat
baik dari segi kualitas, kuantitas, pemasaran dan nilai ekonominya. Balai Taman Nasional Gunung
Ciremai melakukan bimbingan kepada kelompok masyarakat untuk meningkatkan kapasitas manajerial
dan kelembagaan: administrasi, pelayanan, pengamanan dan pengembangan usaha. Pengembangan
selanjutnya diharapkan kelompok terkait dapat mengangkat produk kuliner yang dikombinasikan
dengan seni budaya setempat.
Sejak 2016 telah berjalan produksi makanan khas, seperti minuman herbal serbuk, minuman cincau,
sirup buah, keripik kesemek, keripik ubi, manisan ubi, dan madu. Upaya pemasaran dipadukan dengan
aktivitas wisata alam yang makin berkembang.
Cirebon Kuningan Majalengka Brebes
TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
Sungai Kalibunder
Sungai CisanggarungSungai Cimanuk
Sungai Bangkaderes
Sungai Citamiang
Sungai Ciguranteng
Sungai Cijambe
Sungai Ciwaringin
Sungai Cikeruh
9Daerah Aliran Sungai
97Sumber Air
Majalengka
63Sumber Air 34
Sumber Air
Kuningan
93,38 L/Detikrata-rata debit air
500 L/Detikdebit air tertinggi dicurug mangkuk
4daerah
tangkapanair
wilayah kota &kabupaten
Infografis 11. Fakta Angka
terkait Tangkapan Air di
Kawasan TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 0 5
margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, pemanfaatan air harus
melalui proses perizinan, baik komersial maupun non-komersil. Untuk perizinan komersial
melalui Ijin Pemanfaatan Usaha Air (IUPA) oleh Menteri Kehutanan, sedangkan untuk non-
komersial melalui Izin Pemanfaatan Air (IPA) oleh Kepala Balai Taman Nasional Gunung Ciremai.
Berdasarkan prinsip pemanfaat harus membayar, dan penyedia harus mendapatkan kompensasi,
skema pembayaran jasa lingkungan air di taman nasional Gunung Ciremai, sebagai berikut:
1. Skema Pembayaran “Pemerintah dengan Perusahaan” (Government to Private )
Dalam skema ini, Balai Taman Nasional menjadi penyedia, sementara yang berperan sebagai pemanfaat
Series 1 - IUPA3
Series 1 - IPA33
Series 1 Proses IUPA16
Infografis 12 Jumlah ijin pemanfaatan air komersil dan non komersil
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 0 6 Gbr. 24. Balong Dalem, Salah Satu Obyek Wisata Alam yang dikelola BUMD Kab Kuningan
© BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 0 7
adalah perusahaan, badan usaha, ataupun koperasi. Skema ini juga berjalan pada jenis pemanfaatan
jasa lingkungan untuk massa air.
Ada beberapa para pemanfaat dalam skema ini: PDAM Kabupaten Cirebon, PDAM Kota Cirebon, PDAM
Kabuapaten Kuningan, PT Pertamina Cirebon, PT Indocement Cirebon, CV Jagaraga, CV Telaga Remis
Jaya, dan CV Tirta Mekar. Sampai 2018, terdapat dua perusahaan yang telah memiliki izin usaha
pemanfaatan air, dan 17 perusahaan sedang dalam proses mendapatkan izin. Mekanisme pembayaran
dari perusahaan kepada pemerintah berupa transaksi finansial berdasarkan peraturan regulasi dalam
bentuk pembayaran pendapatan negara bukan pajak. Nilainya ditentukan berdasarkan peraturan
pemerintah Nomor 12 Tahun 2014.
Gbr. 25. Pemanfaatan Air Dalam Izin Pemanfaatan Air (IPA) Non-Komersial Di Desa Cibuntu, Kuningan
© Indra Faisal - Mitra Tropika Indonesia
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 0 8
2. Skema Pembayaran “Pemerintah dengan Masyarakat” (Government to Community)
Untuk skema ini penyedia jasa lingkungan adalah Balai Taman Nasional, dan pemanfaatnya masyarakat,
yang diutamakan berada di sekitar kawasan hutan. Pada skema ini, pemanfaat tidak dapat berupa
perorangan namun berupa kelompok masyakat, lembaga sosial, desa atau sekolah. Hak pemanfaatan
air dituangkan dalam Izin Pemanfaatan Air (IPA) non-komersial yang dikeluarkan Balai Taman Nasional.
Sampai medio 2018, jumlah pemegang izin air sebanyak 33 lembaga.
Mekanisme transaksinya non-finansial berdasarkan kerelaan: pembayaran dari pemegang IPA kepada
pemerintah dapat berupa komitmen dan kontribusi membantu taman nasional dalam restorasi,
pengayaan tanaman di mata air, pengendalian kebakaran hutan, perlindungan dan pengamanan hutan.
Atau apa saja yang kerkaitan dengan pengelolaan taman nasional.
c. Pemberdayaan Kuliner Lokal
Tak hanya perlindungan kawasan dan pemanfaatan jasa lingkungan, Balai Taman Nasional juga
mendampingi produk unggulan setempat. Harapannya, produk unggulan kuliner setempat meningkat
baik dari segi kualitas, kuantitas, pemasaran dan nilai ekonominya. Balai Taman Nasional Gunung
Ciremai melakukan bimbingan kepada kelompok masyarakat untuk meningkatkan kapasitas manajerial
dan kelembagaan: administrasi, pelayanan, pengamanan dan pengembangan usaha. Pengembangan
selanjutnya diharapkan kelompok terkait dapat mengangkat produk kuliner yang dikombinasikan
dengan seni budaya setempat.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 26. Aneka Produk Unggulan Kuliner © Aditya-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 1 0
Sejak 2016 telah berjalan produksi makanan khas, seperti minuman herbal serbuk, minuman cincau,
sirup buah, keripik kesemek, keripik ubi, manisan ubi, dan madu. Upaya pemasaran dipadukan dengan
aktivitas wisata alam yang makin berkembang.
Gbr. 27. Peran Serta Pelajar Dalam Kelola Ekologi Melalui Penanaman Pohon di Kawasan TNGC © Indra Permana-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
BAB EMPAT MANFAAT
IMPLEMENTASI MANAJEMEN KEDAULATAN RAKYAT
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
“ ... DENGAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT, BIAYA DAN
TENAGA MENJADI LEBIH EFISIEN DAN EFEKTIF. HAL INI MENJADI
SOLUSI BAGI TERBATASNYA JUMLAH PETUGAS UNTUK MENCAPAI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN
KAWASAN DAN KEANEKARAGAMAN HAYATINYA.
... ”
2017zona rehabilitasi berkurang
5.126,53 ha menjadi
3.914,62 ha.Luasan areal zona rehabilitasi menjadi zona rimba
470,55 ha atau
37,57%
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 1 3
Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai dalam dua setengah tahun terakhir memberikan manfaat
bagi pencapaian sasaran efektivitas pengelolaan kawasan. Berikut ini indikator pencapaian tersebut.
Manfaat Bagi Ekologi dan Lingkungan
Masyarakat Peduli Api (MPA), Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MPP) dan kelompok masyarakat pengelola
wisata turut menjaga kawasan melalui patroli dan pembuatan sekat bakar. Dengan demikian, gangguan
kawasan dapat dicegah. Restorasi dalam upaya pemulihan ekosistem oleh kelompok masyarakat dan
pengunjung melalui penanaman yang menjadi bagian aktivitas wisata dan pendidikan. Pada tahun 2017,
zona rehabilitasi mengalami pengurangan luasan dari 5.126,53 ha menjadi 3.914,62 ha.
Gbr. 28. Praktek Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan bersama Polisi Kehutanan TNGC BRIMOB © BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 30. Kelola Ekonomi Melalui Budidaya Madu Hutan oleh Masyarakat Desa Penyangga TNGC © Dadan-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 1 5
Luasan areal yang berubah dari zona rehabilitasi menjadi zona rimba mencapai 470,55 ha atau 37,57%
dari total luas zona rehabilitasi yg berubah. Hal ini menunjukan keberhasilan TNGC memperbaiki
tutupan lahannya yang sebelumnya bekas garapan pertanian.
Terjaganya keanekaragaman hayati dan ekologi ditunjukkan dengan meningkatnya populasi spesies
kunci taman nasional yaitu elang Jawa (Nizaetus bartelsi) dan Surili (Presbytis comata). Berdasarkan
hasil monitoring populasi pada tahun 2015-2017, jumlah anakan surili mencapai 30 ekor, sedangkan
untuk anakan elang Jawa mencapai 25 ekor.
Manfaat Bagi Sosial-Budaya
Meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab akan kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung
Ciremai, mendorong masyarakat turut serta menjaga taman nasional dari berbagai ancaman seperti
kebakaran dan perburuan liar. Selain itu, masyarakat juga berperan sebagai perpanjangan tangan Balai
Taman Nasional Gunung Ciremai dalam memberikan pesan konservasi kepada pihak lain. Adanya upaya
peningkatkan kapasitas berdampak pada bertambahnya pengetahuan dan peran aktif masyarakat
sehingga meningkat pula modal sosial. Dalam keseharian, modal sosial yang tumbuh melibatkan
jaringan, norma, dan kepercayaan yang mendorong kolaborasi untuk mewujudkan kepentingan
bersama.
Pada perkembangannya, modal sosial berupa kesenian tradisional dan kuliner lokal berkembang
mengisi ruang dan berkontribusi dalam pengelolaan kawasan. Beberapa desa penyangga menghidupkan
kembali kesenian tradisionalnya yang hampir terlupakan. Balai Taman Nasional mengangkat kesenian
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 1 6
Kecapi Ciremai menjadi maskot, dan sering menggelar pementasan.
Selain itu, manajemen kedaulatan rakyat telah meningkatkan nilai efektivititas pengelolaan kawasan
(dinilai dengan Management Effectiveness Tracking Tools (METT) Taman Nasional Gunung Ciremai, dari
semula 67% menjadi 74%. Diantaranya yang meningkat nilainya adalah partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan kawasan, dan terjaganya keanekaragaman hayati, ekologi, atau budaya.
Manfaat Bagi Nilai Ekonomi
Pemberian Akses pengelolaan kepada masyarakat, telah “mengubah masalah menjadi berkah”
dengan adanya peluang usaha ekonomi baru dengan nilai efek ganda (multifier effect) sebesar Rp
41.294.735.905,- dan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat penyangga kawasan. Perhitungan
didapat dengan menjumlahkan hasil pendapatan perbulanan dari suatu lokasi obyek daya tarik wisata
alam yang tidak hanya didapat dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pelayanan kelompok,
misal warung, transportasi lokal (ojeg atau angkot), pemanduan, dan parkir yang dikalikan dengan
jumlah pengunjung yang datang.
MULTIPLIER EFFECTS DARI KELOLA EKONOMI
2015 2016 REALISASI 2017
DIPA 11.695.306,00 10.585.845,00 13.992.912,806
ECONOMIC VALUE 22.869.092,00 37.322.385,150 41.294.735,905
RATIO 1:2 1:3 1:3
Tabel 2. Tabel Multiplier Effects Kelola Ekonomi
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 30. Benchmarking UPT lingkup Direktorat Jenderal KSDAE, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Obyek Wisata Alam Curug Cipeuteuy Yang Pengelolanya Menerima Penghargaan Peringkat Pertama Desa Binaan Terbaik pada HKAN 2018. © BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 1 8
Investasi masyarakat sebagai pengelola wisata alam di kawasan
taman nasional juga meningkat. Kelompok masyarakat sudah berani
mengambil sikap bahwa keberadaan kawasan taman nasional secara
nyata memberikan kontribusi berupa pendapatan ekonomi yang tentu
kegiatannya tidak seperti pada waktu pengelolaan perum perhutani.
Melalui mekanisme perjanjian kerjasama pengembangan wisata, sarana
dan prasarana dapat dimanfaatkan bersama sepanjang masa kerjasama.
Sampai akhir tahun 2017, investasi kelompok masyarakat yang berbentuk
sarana prasarana di seluruh destinasi taman nasional mencapai Rp
1.800.000.000,-.
Kolaborasi investasi masyarakat mewujudkan efisiensi anggaran biaya
pemerintah dalam pengelolaan taman nasional. Begitu juga dalam
pengelolaan sampah dari aktivitas wisata telah dilakukan secara mandiri
tanpa membebani biaya Balai Taman Nasional. Alhasil, terwujud kawasan
hutan sebagai zona zero waste dan zero waste cost.
Tak hanya memberikan pendapatan secara ekonomi kepada masyarakat
sekitar namun juga memberikan masukan untuk kas Negara melalui
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada 2017, realisasi penerimaan
PNBP mencapai Rp 2.800.000.000,- dari target Rp 1.200.000.000,- atau
tercapai 241,8%.
TARGET PNBP 2017Pemasukan Untuk Kas Negara Melalui Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Pnbp) Untuk Tahun 2017
Ditargetkan Sebesar Rp. 1,2 Milyar
REALISASI PNBP 2017Realisasi Penerimaan PNBP Mencapai
Rp 2.800.000.000,-
Dari Target Rp 1.200.000.000,-
Atau Tercapai 241,8%.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 1 9
ARGET PNBP 2017enerimaan
ahun 2017
yar
Rp.
Rp.
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
12.7
17.0
00
31.6
84.5
00
72.2
91.0
00 221.
242.
500
622.
262.
500
562.
697.
500
482.
550.
000
930.
487.
000
1.65
2.90
9.50
0
2.21
2.14
1.00
0
2.82
9.47
5.00
0
(DALAM RUPIAH)
2.29
7.72
7.53
0
2018
Infografis 13. Realisasi Penerimaan PNBP Dalam Kurun Waktu 10 Tahun
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 2 0
Tabel 3. Daftar ODTWA dan Keterlibatan Masyarakat
NAMA NAMA ODTWA TEMATIK ODTWAMASYARAKAT
YANG TERLIBAT (ORANG)
1 Batuluhur Rock Garden122
2 Bukit 1000 Bintang Camp Fire Care dan Habitat Edelweis
3 Talaga Remis Danau Alga Hijau 48
4 Talaga Nilem Danau Alga Hijau 10
5Pajaten Safari Stone Garden dan Habitat Sono
Keling15
6 Cicerem Danau Alga Biru 10
7 Cikajayaan Mata Air dan Habitat Pinang 35
8 Cikole Hutan Pinus dan Danau 12
9 Cibuluh Hidrologi 15
10 Lebak Singkup Tradisional Kuliner dan Cekakak Jawa 22
11 Buper Manguntapa Education Camp dan Situs Budaya 38
12 Istana Lentik Habitat Lebah Batu dan Istana Air 10
13 Buper Singkup Habitat Burung Raja Udang Meninting 70
14 Paniis Mata Air dan Sungai
15 Curug Gongseng Situs Batu Arca dan Air Terjun 53
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 2 1
16Bintangot Stasiun Riset, Habitat Macan dan Kukang
Jawa10
17Buper Simanggu Trijaya
Habitat Elang Ular Bido 24
18 Nini Kadrem Habitat Burung Bambangan Merah 5
19 Cibeureum Habitat Monyet Ekor Panjang 26
20 Lambosir Camp Ecologycal Care 21
21 Hulu Ciawi Woodland dan Mata Air 8
22 Pendakian Linggajati Habitat Jamuju dan Adventure Track 83
23 Buper Cibunar Habitat Burung Caladi 20
24 Pendakian Linggasana Habitat Saninten, Kruing Jawa dan Pasang 81
25Kapunduan Bird Watching, Kupu-Kupu dan Kutilang
Albino20
26 Buper Sayana Habitat Zingiberaceae 5
27 Tenjo Layar Home Range Satwa Surili 15
28Buper Gunung Putri Habitat Pinang Jawa, Nephentes dan
Pulus5
29 Balong Cibulan Ikan Dewa, Adat Kawin Cai dan Wisata Air 165
30 Balong Dalem Mata Air, Pohon Buni dan Adat Kawin Cai 26
31 Lembah Cilengkrang Hot Springs dan Habitat Elang Jawa 71
32 Balong Cigugur Habitat Elang Brontok dan Ikan Dewa 53
33 Pendakian Palutungan Habitat Lutung, Cantigi dan Edelweis 100
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 2 2
34 Ipukan Habitat Katak Merah dan Surili 62
35 Buper Palutungan Arboretum dan Air Terjun 151
36 Tenjo Laut Habitat Ayam Hutan 32
37 Buper Talaga Surian Habitat Landak Jawa 20
38 Pasir Dotong Landscape 25
39Situs Lingga Batu Prasejarah, Anggrek dan Bunga
Bangkai11
40Pasir Batang Habitat Pakis Purba, Elang Brontok dan
Elang Ular Bido15
41 Taun Sapuluh Habitat Kelor Hutan 10
42 Situ Sangiang Lake Beauty Culture 35
43 Sawiyah Landscape 15
44 Buper Berod Cold Full Moon Nature15
45 Pendakian Apuy Wildlife Bold Adventure
46 Buper Panten Jungle Science Recreation 20
47 Curug Sawer Jungle Water Fall dan Habitat Paku Pohon 15
48 Buper Awilega Nature Cliff Fire Care 30
49 Bukit Kanaga Habitat Tumbuhan Pakis 10
50 Curug Cipeuteuy Habitat Elang Jawa 35
51 Buper Leles Forest Water Energy 15
52 Buper Cidewata Migrasi Raptor 10
53 Tutupan Teja Bamboo Forest 15
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 2 3
54 Buper Gunung Putri Pendidikan Konservasi 15
55 Situs Gunung Pucuk Bird and Animal Saltlick 2
56 Sayang Ka’ak Landscape and Agriculture 35
57Batu Nyongclo Situs Tapak Bayi, Batu Masigit dan Paku
Lahan30
58 Gunung Ciwaru Landscape 35
59Bukit Merkuri Sayangkaak
20
60 Batu Asahan 10
61 Situs Gunung Ngirung 10
62 Bukit Kahiyang 15
63 Cisamaya 15
64 Situ Tespong 10
TOTAL 1.856 ORANG
Gbr. 31. Benchmarking Pengelolaan Wisata Alam Bersama Masyarakat di Mangunan, Yogyakarta
© BTNGC
BAB LIMA
DIBALIK LAYAR
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 2 6
“ ... APA YANG DICAPAI SAAT INI TENTU MELALUI PROSES YANG TIDAK
MUDAH NAMUN JUGA TIDAK SULIT KALAU ADA KEMAUAN KERAS.
MANUSIA DIANUGERAHI TUHAN DENGAN AKAL PIKIRAN, PERCAYA
BAHWA SUATU SAAT NANTI MASYARAKAT AKAN MENGERTI
BETAPA BESAR ANUGERAH AKAN KEBERADAAN KAWASAN HUTAN
KONSERVASI TERUTAMA DALAM MEMBERIKAN
PENDAPATAN EKONOMI ... ”
Gbr. 32. Petugas Mengenalkan Kodok Merah Ciremai Kepada Mahasiswa © BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 2 7
Proses pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai selama 14 tahun menunjukkan dinamika yang
memberikan warna akan pemahaman fungsi kawasan. Tak hanya masyarakat sekitar, namun juga
pemerintah daerah setempat yang tidak menyeluruh memahami fungsi kawasan taman nasional yang
beberapa tahun lalu diusulkan. Yang dipahami bahwa apapun bentuknya, hutan ini dapat dimanfaatkan
secara langsung dengan mengolah lahannya. Hanya kemampuan “bertani” itu yang dirasa oleh
masyarakat dapat dilakukan sehingga ketika ditawarkan kegiatan “Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat” dalam bentuk yang lain oleh petugas dirasa masih mengawang-awang, mengada-ada dan
mustahil terwujud.
Kerja keras petugas, Polisi Kehutanan, Pengendali Ekosistem Hutan, Penyuluh Kehutanan bahkan
tenaga fungsional umum tak henti-hentinya memberikan pemahaman. Walaupun terkadang didepan
iya iya, dibelakang suka berbeda sikap bahkan tak jarang yang jadi provokator. Dukungan Kepala Balai
dan Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional menjadi motivasi awal petugas di lapangan.
Kalau Balai Taman Nasional Gunung Ciremai “saklek” hanya mengurusi ekologi kawasan hutan
sebagaimana tugas pokok dan fungsi dan mengesampingkan sosial yang ada disekitarnya jauh lebih
mudah. Akan banyak energi lain yang dapat disalurkan melalui kreatifitas dalam mengelola sumberdaya
alam hayati. Mengurusi tumbuhan dan satwaliar jauh lebih mudah, kondisikan habitatnya maka jumlah
populasinya lambat laun akan meningkat. Tapi tidak demikian, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
tidak mengesampingkan sosial yang ada disekitarnya. Inilah masalah kawasan hutan konservasi dari
jaman dulu, bahkan ketika petugas yang ada dilapangan masih menempuh pendidikan di bangku kuliah
atau sekolah menengah atas.
Gbr. 33. Pendakian Bersama Para Mitra Dalam Rangka Meningkatkan
Pengelolaan Pendakian © BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 3 0
obrolan dengan masyarakat, tidak jarang pula masyarakat yang sudah berputus asa namun terus selalu
dimotivasi bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Ketika ditanya, kekuatan apa yang mendorong untuk
terus memotivasi masyarakat. Jawabannya cukup singkat “shodaqoh jariah yaitu ilmu yang bermanfaat”.
Lain lubuk lain ikannya, lain orang lain caranya. Kali ini Sirod dan Gandi sebagai penyuluh kehutanan.
Gesture kedua personil ini lebih santai dan penuh humor. Kunjungannya tidak lepas dari kantor
desa, rumah masyarakat atau lokasi wisata alam yang dikelola kelompok masyarakat. Mengawal
pembentukan kelompok hingga disahkan Kepala Desa menjadi salah satu peran yang dilakukan
Sirod dan Gandi. Bedanya kedua personil ini terpisah wilayah, Sirod berada di Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah I Kuningan sedangkan Gandi di Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II
Majalengka. Pagi, siang, petang bahkan malampun disambangi demi “kepercayaan” masyarakat yang
Gambar 29. Petugas Penyuluh TNGC Senantiasa Melakukan Pendekatan Dalam Rangka Memberi Pphotograph copyright r
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 3 1an Dalam Rangka Memberi Pemahaman Akan Kehadiran TN dan Kerjasama Yang Dapat Dilaksanakan Bersama Masyarakat opyright reserved @BTNGC
Pagi, siang dan sore bahkan malam hari pun disempatkan waktunya untuk bertemu dengan masyarakat.
Aksesibilitas yang mudah dan 54 desa penyangga yang mengelilingi kawasan menjadi pilihan, sebagai
sumber kekuatan atau tetap menjadi sumber masalah. Memberikan pemahaman kepada satu orang
saja terkadang butuh waktu panjang, terlebih satu kelompok, satu desa bahkan aparat desa setempat.
Ada yang cukup memahami, sudah memahami bahkan ada yang tidak mau memahami. Kunjungan,
silaturahmi, bertatap muka tak henti-hentinya dilakukan petugas lapangan. Yakin suatu saat apa yang
disampaikan dapat dipahami oleh masyarakat menjadi modal utama.
APA YANG DISAMPAIKAN PETUGAS KEPADA MASYARAKAT???
Setiap orang memiliki karakter berbeda, yang berpengaruh dalam menentukan cara menyampaikan
pemahaman mengenai kawasan taman nasional kepada masyarakat. Gesture petugas lapangan
Gbr. 34. Pendekatan Masyarakat Untuk
Memberikan Pemahaman Fungsi Kawasan TNGC
© BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 3 2
memberikan ruang kepada “kelompok masyarakat yang mana” dapat serasi dan selaras. Ada yang akan
berkumpul dengan “preman”, ada yang berkumpul dengan “alim ulama”, ada yang berkumpul dengan
“pejabat desa”, ada yang berkumpul dengan “ibu-ibu”, ada yang berkumpul dengan “karang taruna”
dan sebagainya.
Pada mulanya, sesuai kondisi aktual di lapangan petugas menyampaikan peraturan perundangan hutan
yang berlaku di kawasan taman nasional. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Ada
yang paham, ada yang merasa rejekinya diambil karena tidak boleh menggarap lagi, ada yang pura-
pura mengerti bahkan ada yang lantang menolak keberadaan taman nasional. Waktu demi waktu,
terus disampaikan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sampai setidaknya sebagian masyarakat
khususnya yang menggarap mengerti apa yang mereka lakukan salah dan akan berakibat fatal secara
Gbr. 35. Diskusi Dengan Kelompok PPGC Palutungan Pengelola Jalur Pendakian Palutungan © Sirod Somantri-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 3 3
ekologi apabila terus dilakukan. Jangan sampai bencana dulu datang, baru mengerti mengapa kawasan
hutan Gunung Ciremai wajib dijaga. Sampai dengan titik dimana Balai Taman Nasional Gunung Ciremai
perlu memberikan alternatif bagi masyarakat eks penggarap. Sambil berjalan, petugas lapangan
menyampaikan bahwa kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai dapat dimanfaatkan secara ekonomi
melalui jasa lingkungan yaitu wisata alam dan air. Potensi kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai
dan kelimpahan air menjadi modal alam yang sudah diberikan Sang Pencipta Alam Semesta.
ABDI NEGARA
Title “Abdi Negara” memang sangat pantas diberikan kepada petugas lapangan. Waktu 24 jam diberikan
demi melayani masyarakat sekitar yang ingin berkontribusi terhadap kawasan. Tak hanya semalam
dua malam, namun terkadang setiap malam dalam satu minggu. Tidak menunjukkan muka lelah,
Gbr. 36. Diskusi Petugas TNGC dengan Kelompok PPGC Apuy. © BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
Gbr. 37. Peningkatan Kapasitas ODTWA oleh Petugas TNGC ©Reyhna Ashari-Mitra Tropika Indonesia
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 3 5
namun semangat yang terus ditularkan.
Sebut saja Dadan, salah satu Polisi Kehutanan
Taman Nasional Gunung Ciremai yang berdedikasi
tinggi mengawal dan mendampingi masyarakat.
Dimulai hanya duduk sambil minum kopi, cerita-
cerita ngalor-ngidul, sharing pengalaman sampai
obrolan serius konsep ke depan bagaimana
masyarakat menjadi penyedia jasa dan tuan rumah.
Sambil melakukan patroli kawasan, mengajak
beberapa orang masyarakat untuk melihat potensi
kawasan, mengetahui gangguan kawasan sampai
akibat yang akan ditimbulkan dari adanya gangguan
kawasan tersebut. Sudah banyak hati tergugah
tatkala berjalan memasuki kawasan Taman
Nasional Gunung Ciremai. Tak hanya satu lokasi
wisata alam yang sudah terbentuk namun beberapa
lokasi, salah satunya adalah Curug Cipeuteuy
yang merupakan pioneer pengelolaan wisata
alam oleh kelompok masyarakat. Konsep setiap
lokasi wisata alam yang berbeda, memberikan ruh
positif bagi masyarakat. Hari-harinya diisi dengan
Gbr. 38. Dadan, Salah Satu Sosok Polisi Kehutanan Mengajak Masyarakat Peduli Gunung Ciremai© Dadan- TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 3 6
sudah diberikan. Ketika kelompok masyarakat sudah berjalan, terkadang ada “sandungan-sandungan”
kecil yang kembali membutuhkan energi tambahan dari penyuluh kehutanan. Masalah pun tak datang
dari internal saja, namun juga eksternal. Fasilitasi Sirod dan Gandi menjadi titik penting, sebagai
penengah dan memberikan solusi secara obyektif. Sirod sebangai penyuluh senior yang berpengalaman
di dunia penyuluhan pada wilayah kerja Kabupaten Tasik. Gandi sebagai penyuluh muda berpengalaman
Gbr. 39. Pembelajaran Budidaya Tumbuhan Anggrek
© Hendra Purnama-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 3 7
menghadapi masyarakat Papua yang karakternya
lebih keras. Dan satu orang penyuluh perempuan
yang mengawali keterlibatannya dalam upaya
penanganan penggarapan tahun 2009 yang tentunya
selalu mensupport dua rekan kerjanya yang luar
biasa, Nisa.
Dari sisi penguasaan sumberdaya alam hayati,
peran pengendali ekosistem hutan menjadi modal
awal bagi masyarakat sebagai tuan rumah yang
memandu tamunya. Karakter Hendra, Azis dan
Hendri hadir memberikan penguasaan sumberdaya
alam hayati yang ada di kawasan Taman Nasional
Gunung Ciremai. Hendra mengawali inventarisasi,
identifikasi, pengembangbiakan Anggrek yang
ada di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Mengajak beberapa orang masyarakat untuk
belajar, sampai dengan membangun kebun koleksi
Anggrek yang jumlahnya sudah mencapai 115
jenis. Saat ini, masyarakat sudah cukup mampu
menjadi pemandu bagi tamu yang datang ke
kebun koleksi Anggrek. Azis mengawali dengan
Gbr. 40. Transfer Ilmu Pengenalan Jenis Anggrek ke Masyarakat © Hendra Purnama-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 3 8
ketertarikannya terhadap herpetofauna, khususnya
ordo anura. Hasil eksplorasi menemukan jenis
kodok merah yang diduga sama dengan yang ada
di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, namun
dari sisi morfologi berbeda. Berdasarkan jurnal
penelitian jenis tersebut dinamakan kodok merah
Ciremai (Leptopryne cruentata). Hendri mengawali
pembentukan kelompok masyarakat Pujangga
Manik Batu Luhur, sempat mengalami insiden
penyanderaan akibat ada pihak-pihak yang ingin
juga terlibat namun menggunakan cara yang tidak
etis. Kelompok tersebut tumbuh sampai sekarang
dan menjadi salah satu destinasi utama wisata
alam di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai.
SANG PEMENANG
Satu-satunya kelompok masyarakat yang
mengambil peluang dan tertarik dalam
mengembangkan wisata alam adalah Kelompok
Cipeuteuy Agung Lestari, Desa Bantaragung.
Bermodal swadaya dan keinginan kuat akhirnya
Gbr. 41. Pelayanan Tamu oleh Kelompok Koperasi Agung Lestari © BTNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 3 9
Gbr. 42. Pengelola Buper Ipukan Memberikan Bantuan Sosial Kepada Anak Yatim dan Dhuafa Berupa Sembako
© ISO-TNGC
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 4 0
sedikit demi sedikit menata areal yang sama sekali belum ada apa-apanya, hanya aliran air kecil. Namun
sekarang, tampilannya sungguh luar biasa dan menjadi pusat studi banding. Role model obyek daya
tarik wisata alam Curug Cipeuteuy tidak banyak menggugah masyarakat penyangga kebanyakan, hanya
satu atau dua kelompok saja. Marta sebagai ketua kelompok kala itu, punya dedikasi kuat mengawal
pengelolaan Curug Cipeuteuy. Didampingi petugas lapangan kala itu, Dadan mengajak masyarakat
swadaya menata lokasi yang hanya ada aliran air yang kecil. Dengan kemampuannya melihat potensi,
maka dibuatlah tatanan batu-batuan yang akhirnya dapat terbentuk menjadi curug yang aliran airnya
deras. Waktu dan materi diberikan sepenuhnya agar Curug Cipeuteuy menjadi kebanggaan masyarakat
Desa Bantaragung. Doa dan ikhtiar yang baik, tentu menghasilkan sesuatu yang baik pula. Dijajaki
mulai 2011, hingga 2018 mendapatkan predikat terbaik pertama desa binaan pada penghargaan
hari Konservasi Alam Nasional oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Curug
Ciputeuy sudah dikunjungi dari berbagai tempat bahkan menjadi tempat pembelajaran pendidikan kilat
bagi abdi Negara. Yang semula dalan bentuk kelompok masyarakat, saat ini sudah berbentuk badan
usaha koperasi.
Di ujung selatan, bekas areal penggarapan lahan yang ditinggalkan menjadi lokasi rehabilitasi hutan
yang diimpikan dapat dikelola wisata alam sebagai pusat studi lingkungan. Pada lokasi tersebut terdapat
kelompok surili (Presbytis comata) dan lutung Jawa (trachypitecus auratus). Kusnadi dan Rusna, bapak
dan anak mengawali gagasan yang juga disambut oleh petugas lapangan kala itu, Ujang Hermansyah
selaku pengendali ekosistem hutan. Tak ingin sukses sendiri, mengajak masyarakat lain bahkan sampai
diumumkan di masjid menggunakan pengeras suara. Terkadang berdua, bertiga, lebih banyak sendiri
nyangkul dan membersihkan semak belukar. Mengahabiskan waktu berhari-hari, bawa makanan
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT 1 4 1
sendiri bahkan mengeluarkan dana sendiri untuk kebutuhan penataan lokasi. Resmi membuka lokasi
wisata alam pada tahun 2014, tak langsung dikenal. Melalui pengembangan kegiatan bina cinta alam
dan kader konservasi yang difasilitasi Taman Nasional Gunung Ciremai, Bumi Perkemahan Ipukan
diperkenalkan. Dari mulut ke mulut, mulai dikenal. Mulai diposting oleh pengunjung via sosial media,
makin lama makin ramai mulai tahun 2016 dan menjadi top five pengunjung terbanyak diantara obyek
daya tarik wisata alam yang lain.
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
MENUJU MANAJEMEN PARIPURNA PENGELOLAAN TNGC UNTUK KEDAULATAN RAKYAT1 4 2
LESTARI ALAMKU
Lestari alamku lestari desaku
Dimana Tuhanku menitipkan aku
Nyanyi bocah-bocah dikala purnama
Nyanyikan pujaan untuk nusa
Damai saudaraku suburlah bumiku
Kuingat ibuku dongengkan cerita
Kisah tentang Jaya Nusantara lama
Tetram Kartaraharja disana
Kuingin bukitku hijau kembali
Semak rumputpun tak sabar menanti
Doakan kuucapkan hari demi hari
Sampaik kapankah hati telah mandiri
Oleh Gombloh
B E R K A H M E N A R A H I J A U D I T I M U R J A W A B A R A T
© ISO-TNGC
Jl. Raya Kuningan - Cirebon KM. 9 No. 1 Manislor, Jalaksana, Kabupaten Kuningan Jawa Barat 45554, INDONESIA http://tngciremai.com @gunung_ciremai BTN.Ciremai gunungciremai @BTNGC +62 232 613152 [email protected]