Beranda #3 Negeri di Atas Angan

56
perempuan bercerita ~ Negeri di Atas Angan Edisi #3 Agustus 2014

description

Perempuan bercerita tentang "NEGERI DI ATAS ANGAN" Menghadirkan karya dan tulisan dari: Anastasia Widyaningsih Apriani Sarashayu Astrid Septriana Caron Toshiko Diatri Kamaratih Gayatri Suroyo Jessica Monica Jonan Putri Kusumawardhani Tami Justisia Rofianisa Nurdin Sri Suryan Vallin Tsarina Ilustrasi sampul oleh Ammy Hardini Selamat menikmati! :)

Transcript of Beranda #3 Negeri di Atas Angan

Page 1: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

perempuan bercerita ~ Negeri di Atas Angan

Edisi #3 Agustus 2014

Page 2: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

Tim EditorialAnastasia WidyaningsihApriani SarashayuParamitha YanindraputriRofianisa NurdinSri SuryaniVallin Tsarina

KontributorAstrid SeptrianaCaron ToshikoDiatri KamaratihGayatri SuroyoJessicaMonica JonanPutri KusumawardhaniTami Justisia

Ilustrasi SampulAmmy Hardini

Kontak [email protected] di-beranda.tumblr.com

Adalah tempat perempuan bercerita. Dalam sebuah sore menuju petang; mengulas hal-hal keseharian ditemani secangkir teh dan penganan ringan buatan sendiri. Bersama keluarga, tetangga, kerabat, maupun seseorang yang sedang dekat.

Beranda adalah tempat dialog dan argumen bertemu. Tempat kompromi didiskusikan dan keraguan diutarakan, (tempat) mengekspresi-kan pemikiran dari sudut pandang perempuan.Di Beranda kita menyapa, untuk sekadar mampir ataupun tinggal. Dalam derap langkah yang gegas ataupun hati yang terbuka, kelak di Beranda, kita akan bertemu kembali.

Beranda

Karya dan tulisan yang dimuat di Beranda merupakan pendapat pribadi kontributor yang bersangkutan, dan tidak mencerminkan keseluruhan isi Beranda maupun pendapat kontributor-kontributor lainnya. Dilarang menggunakan karya atau tulisan tanpa ijin dari Beranda.

Edisi #3 Agustus 2014

Page 3: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

3

Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-citaSebab semua telah terbang bersama keretaruang ke jagat tak berhuniBerilah aku satu kata puisidaripada seribu rumus yang penuh janjiyang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumiyang kukasih~ Subagio Sastrowardoyo

Alkisah, suatu negeri berupaya bangkit dari gugur menuju semi. Lay-aknya sungai tenang, lantas bertemu gelombang ombak, nafas negeri ini senantiasa mengalir. Pada satu hari yang ditentukan dan hari-hari kemu-dian...

... mimpi, angan, seringkali adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Suatu negeri sedang berusaha berdiri tegak di atasnya.

Negeri Di Atas Angan

Negeri di Atas AnganOleh: Sri Suryani

#3

Page 4: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

4

06 HITAMoleh: Diatri Kamaratih

08 UNTUK ANAKKUoleh: Gayatri Suroyo

12 TANAH MERAH DIGOELoleh: Sri Suryani

14 LAUT DAN KESEMPATAN MENJELAJAHINYAoleh: Putri Kusumawardhani

18 MENJADI MANUSIA INDONESIAoleh: Anastasia Widyaningsih

26 SAYA TURUT PRIHATINoleh: Caron Toshiko

28 ON THE ROADoleh: Apriani Sarashayu

34 NEGERI SENDIRIoleh: Astrid Septriana

35 WE, THE PEOPLE

oleh: Monica Jonan

Page 5: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

5

39 BALONKUoleh: Vallin Tsarina

42 BETTER APPRECIATION=BETTER INDONESIAoleh: Jessica

48 NEGERI-NEGERI NIRBATASoleh: Rofianisa Nurdin

53 UNTUK SUATU BANGSAoleh: Tami Justisia

Page 6: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

6

HitamOlEh: DIATRI KAMARATIh

Page 7: Beranda #3 Negeri di Atas Angan
Page 8: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

8

Jakarta, 20 Juli 2014

Untuk anak-anakku yang akan keluar dari rahimku maupun rahim ibu-ibu lain selain aku,

Surat ini dibuat bukan pada masa sulit, tapi kuharap kamu akan meng-anggapnya sebagai masa sulit jika dibandingkan jamanmu nanti. Karena, harusnya, ketika kamu memasuki usia kerja, negeri kita ini sudah masuk jajaran negara kaya. Lapangan pekerjaan harusnya terbuka lebar. Toko-toko harusnya maju karena kemampuan konsumsi kita sudah layaknya Amerika dan Jepang pada jamanku.

Kamu harus tahu, Nak, pada masa Ibu muda sekarang, negara kita sudah diramalkan jadi negara maju. Ada laporan dari McKinsey bahwa kita bisa menjadi negara dengan ekonomi ketujuh terbesar di dunia setidaknya beberapa belas tahun dari sekarang.

Kamu mungkin akan tertawa membaca ini, Nak, tapi saat ini mimpi pun ibu tidak bahwa kita bisa maju kayak Inggris, kayak Amerika. Makanya Ibu sampaikan surat ini, untuk kamu tertawakan, atau justru jadi ba-han refleksimu untuk apa yang salah kalau-kalau Indonesia tidak banyak berubah dari jaman Ibu.

Bayangkan Nak, pada masa Ibu muda penduduk Indonesia itu cuma 240 juta. Berapa jumlah penduduk pada jamanmu? McKinsey saja bilang mungkin akan ada tambahan 135 juta konsumen di 2030. Itu artinya total jumlah penduduk bisa sampai 300 juta orang kan? Ibu nggak bisa bayangkan betapa penuhnya negeri kita.

Untuk AnakkuOlEh: GAYATRI SUROYO

Page 9: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

9

Alih-alih yakin kita jadi kaya, Ibu malah kuatir; kuatir apa benar kamu bakal bisa makan? Apa makananmu, Nak, sedang sekarang saja petani sudah malas menanam padi? Apa kamu bakal makan beras impor Nak? Itu pun Ibu tidak peduli asal kamu makan. Ibu pernah wawancara pa-kar pangan yang bilang kalau tiga tahun dari sekarang dunia bakal krisis pangan—eh, Ibu cerita kan waktu muda ibu kerja jadi wartawan? Duh, Ibu kuatir sekali itu benar-benar kejadian, lalu tidak ada lagi negara yang sanggup ekspor beras karena masing-masing harus urus perut sendiri. Kemudian apa jadinya kita? Amit-amit kalau kamu sampai busung lapar, Nak.

Di mana kamu tinggal, Nak? Semoga masih ada lahan nanti di jamanmu untuk kamu coba-coba tanam apa, supaya kamu tetap kenal tanahmu. Walaupun, mungkin kamu akan tinggal di rumah-rumah bertingkat. Jangan ngatain, jaman Ibu muda juga apartemen sudah ada.

Tapi, Nak, bayanganku itu kamu tidak hanya akan berebut lahan dengan rekan-rekanmu, tapi juga dengan penduduk ASEAN yang keluar masuk Indonesia. Ingat, Nak, kerja sama perdagangan bebas itu belum berlaku sekarang, baru dua tahun lagi jalan. Ibu benar-benar tidak terbayang bakal seperti apa.

Bukan cuma lahan, Nak, tapi juga pekerjaan. Pada jaman Ibu muda, Ibu cuma harus bersaing dengan sekian juta penduduk Indonesia lain-nya yang juga ingin cari kerja. Lain sekali kan dengan jamanmu kan? Ibu tidak pernah ketemu orang Vietnam atau Kamboja di Jakarta.

Kamu harus ingat, ya, kalau Myanmar itu baru lepas dari junta militer dan masuk ke struktur ekonomi yang lebih liberal awal 2010an. Ingat-ingat, Nak, jangan sampai ternyata dia malah lebih maju dari kita. Mau ditaruh di mana muka kita Nak kalau dia nanti lebih maju dari kita? Ibu ke sana tahun 2013 kemarin dan bentuk Yangon itu masih lebih jelek dari Jakarta tahun 1980an.

Seperti apa kondisi energi jamanmu, Nak? Jamanku, semua masih rajin membakar sisa fosil dinosaurus. Semua bicara energi baru, tapi itu seperti mimpi yang jauuuuh sekali. Ibu was-was sekali mimpi bakal terus jadi mimpi, sedangkan minyak sudah menipis.

Page 10: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

10

Jamanku muda semua orang di Jakarta bawa mobil, Nak. Keluar rumah pun langsung disambut macet. Tentu harusnya itu tidak terjadi lagi di jamanmu. Bukan apa-apa, nanti juga minyaknya barangkali sudah tidak ada kan?

Kadang-kadang kalau nonton film Hollywood tentang masa di mana energi sudah sulit, Ibu suka berpikir tentang jamanmu. Bagaimana ya kalau ternyata teknologi kalah dengan pesatnya konsumsi jadi begitu minyak habis belum ada yang bisa gantikan? Apa bakal gelap gulita ja-manmu nanti?

Ingat-ingat, Nak, jaman Ibu dulu tanah air kita masih kaya raya kalau saja kaya itu hitungannya bukan uang. Kita masih ekspor batu bara, ekspor minyak walaupun sudah terus menurun, gas bumi, bahkan hasil alam seperti minyak sawit, kopi, karet, coklat.

Sayangnya, kalau kamu baca buku sejarah, Nak, kamu pasti tahu bahwa kekayaan sumber daya alam yang sejak dulu kita punya ini bukan cuma anugerah, tapi juga kutukan. Banyak sekali negara kaya sumber daya alam malah miskin menahun walaupun tidak dijajah, Afrika yang kaya berlian misalnya, semua karena manusia itu serakah.

Itu yang buat aku begitu kuatir aku tidak bisa mengarahkan masa depan-mu ke jalan yang benar sedangkan pada saat surat ini sampai ke pang-kuanmu, aku antara sudah mati atau sudah jadi penguasa negeri ini. Sia-pa tahu aku sudah tidak ingat kegelisahan ini lagi, Nak. Jangan-jangan aku sudah berubah jadi begitu serakah atas nama keinginan memberikan yang terbaik bagimu, bagiku sendiri, atau sekedar membeli sederet ke-nyamanan berlebihan di atas penderitaan orang lain.

Page 11: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

11

Atau jangan-jangan negeri kita sudah tidak ada pada jamanmu? Amit-amit ya,Tuhan.

Ibu ingat, Nak, setiap dulu Ibu wawancara menteri keuangan—pada ja-man Ibu muda, Ibu sempat akrab sekali sama beberapa menteri karena liputan—mereka selalu bilang Indonesia akan bertahan bahkan hingga 30 tahun dari sekarang. Dasar keyakinan itu cuma satu, bahwa kita saat ini pun sudah berutang sampai 30 tahun ke depan lewat obligasi negara, jadi kita harus bertahap untuk terus bayar utang itu.

Iya, Nak, kamu yang nanti harus bayar bunganya. Padahal utang itu di-pakai untuk biayai belanja negara jaman Ibu muda, belanja negara yang lebih banyak habis tidak tahu untuk apa, bukannya untuk bangun jalan atau jembatan yang umurnya bisa lebih tua dari umur Ibu.

Ah, tapi masih ada harapan terang, Nak, kalau Ibu bicara masa depanmu. Setidaknya jodohmu harusnya mudah, Nak. Harusnya kita masuk ke puncak bonus demografi pada waktu kamu remaja, artinya anak seu-siamu, usia produktif, sedang banyak-banyaknya. Masak iya kamu tidak bisa ketemu pacar ya, Nak? Kamu pasti ganteng dan cantik kan seperti aku dan bakal bapakmu nanti kan?

Salam sayang, Ibumu.

Page 12: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

12

Page 13: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

13

Bagaimana mungkin Indonesia Tak melingkupi Irian? Tanah dimana Digul - sumur sejarah bangsa?

Dimana Hatta menasbihkan hari dengan buku dan mengajar,

pula Sjahrir mengajar dan menyanyi.

Sebuah kamp berisi klub debat, grup gamelan,

bahkan kelompok jazz (Mrazek).

Digul adalah proyek penjinakan,

namun ada yang tak bisa diredam.

Digul menyiapkan hari akhirnya sendiri, yaitu 17 Agustus 1945 (Goenawan Mohamad)

Page 14: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

14

Berbicara panjang lebar mengenai negeri ini (Indonesia) tak akan lengkap jika tidak menilik kisah dari era perdagangan nusantara. Daratan Indo-nesia terpecah menjadi gugusan kepulauan, dikeliling perairan, dan me-miliki perbedaan kekeyaan alam budaya di setiap kepulauannya. Untuk memahami kekayaan Indonesia, haruslah kita menyentuh pulau-pulau itu dari barat sampai timur. Adalah sebuah pepatah dalam bahasa Ing-gris yang menggambarkan wilayah air Indonesia melingkupi kepulauan-kepulauannya. Pepatah tersebut menjelaskan dengan cukup singkat keragaman pengalaman menelusuri tujuh laut di sekitar kepulauan Indo-nesia; yaitu Laut Banda, Laut Celebes, Laut Flores, Laut Jawa, Laut Cina Selatan, Laut Sulu dan Laut Timor. Pepatahnya berbunyi sebagai berikut;

“The Seven Seas referred to those seas, and if someone had sailed the Seven Seas it meant he had sailed to, and returned from, the other side of the world” (Tujuh Laut, begitu orang menyebutnya, dan jika seseorang telah mengarungi ketujuh laut tersebut itu be-rarti ia telah berlayar ke, dan kembali dari, sisi lain dari dunia).

Gugusan pulau-pulau Indonesia itu benar-benar seperti negeri yang ada dalam angan-angan orang Eropa sana. Bisa dibilang, penjelajahan per-

Laut dan Kesempatan MenjelajahinyaOlEh: pUTRI KUSUMAwARDhAnI

Page 15: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

15

tama Christopher Colombus akan “The New World” yang menemukan Karibia dan menamakannya West Indies atau Hindia Barat, melambang-kan dorongan kuat bangsa Eropa menemukan Indies atau Hindia. Gu-gus-gugus kepulauan tersebut salah satunya adalah kepulauan Indonesia. Cerita maupun hikayat yang bertiup dari pelabuhan-pelabuhan di negeri Arab Timur Tengah terdengar sampai di negeri Eropa sana menceritakan tentang negeri-negeri timur yang elok dan memiliki kekayaan melimpah.

Satu kisah lagi yang paling saya gemari adalah kisah tentang penukaran Pulau Run di Banda dengan Pulau Manhattan di Amerika. Daratan Pu-lau Run yang menjadi penghasil pala terbesar dunia seperti pulau terpen-cil yang mengapung, didera hujan lebat. Jauh di belahan dunia yang lain, cahaya lampu Pulau Manhattan berkelip gemerlap dan bising dikelilingi berbagai macam aktivitas metropolitan. Jauh di masa lalu, pada awal abad-17, Pulau Run yang ditumbuhi poloh pala terbesar diperebutkan oleh Belanda dan Inggris. Pertikaian tersebut berlangsung lama hingga kedua negara tersebut menyepakati Perjanjian Breda (Treaty of Breda). Isi perjanjian tersebut berisi tentang penyerahan Pulau Run kepada Be-landa dan penukarannya dengan Pulau Manhattan yang akan menjadi milik Inggris. Angan-angan akan pemenuhan kebutuhan pala bangsa Belanda, membuatnya kehilangan Pulau Manhattan ke tangan Inggris.

Mungkin sudah takdir bangsa ini untuk senantiasa menjelajah, berjiwa kuat untuk menerjang laut yang berbadai, menyingsingkan lengan baju untuk menaikan layar kapal, dan bekerja keras mengangkat jangkar-jang-kar yang tertambat dari tepi dermaga. Air yang melingkupi kepulauan kita itu menghubungkan daratan kepulauan, namun juga memberi celah yang berjarak bagi siapa yang takut menaklukan lautan. Hubungan laut dan daratan itu juga membuat sifat penjelajahan pulau-pulau di Indone-sia menarik. Jikalau sang penjelajah cukup senang hanya dengan mene-mukan ujung dunia di pulaunya dan tidak benar-benar nekat mengarun-gi lautan samudera yang terhampar di depannya, maka dia tidak akan sadar bahwa masih ada pulau-pulau lain di sekeliling yang menantinya.

Page 16: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

16

Foto oleh Sri Suryani

Page 17: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

17

Presiden pertama Indonesia, Bapak Soekarno, pernah beramanat pada Hari Armada, 6 Januari 1961,“… Bahwa tradisi kuno kita ialah, agar kita menguasai lautan, bahwa negara kita hanya bisa menjadi besar dan kuat jikalau ada persatuan, perhubungan, penguasaan yang mutlak atas lautan.”

Walau kini kejayaan itu masih diangan-angan, namun tidaklah menutup kemungkinan akan ada masa kejayaan yang menanti bangsa ini ke de-pannya. Bila kita mengganti kaca mata kita dalam melihat angan-angan seperti bangsa Eropa di masa lampau, tidaklah mustahil kita akan men-emukan hal-hal besar dari penjelajahan kita di tanah air ini.

PS: Tidak ada tempat yang benar-benar telah dijelajahi karena waktu me-mastikan bahwa perubahan itu selalu datang. Perjalanan kita ke depan akan selalu baru, walaupun tetap diiringi oleh masa lalu.

Tertanda,Putri K

Page 18: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

18

Tahun 1977, Mochtar Lubis menyampaikan pidatonya di Taman Ismail Marzuki berjudul “Manusia Indonesia” dengan menyebutkan enam butir ciri umum manusia Indonesia, antara lain munafik, tidak bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya pada tahayul, berwatak lemah, namun berjiwa seni1. Tak ayal pidato tersebut mengundang banyak tanggapan dari berbagai pihak. Memang sifat-sifat tersebut tidak serta merta ada dalam satu personal dan cenderung mengeneralisasi, namun pemikiran Mochtar Lubis tersebut pantas dijadikan bahan perenungan, terutama mengenai lima (dari enam!) stereotip buruk yang melekat pada manusia Indonesia. Hal ini diperlukan untuk mencari kekuatan dan kelemahan manusia Indonesia yang merupakan aset terbesar bangsa.

Kenapa dulu kolonial Belanda menggunakan taktik divide et impera1 un-tuk menjalankan misinya di Indonesia? Tentu saja bukan strategi asal pakai. Strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan sifat-sifat buruk manusia Indonesia yang mereka pelajari, seperti dengki, tamak, khianat, mudah diadu-domba dan mudah disuap. Strategi ini bertujuan untuk memecah kekuatan lawan dengan membuat lawan saling mencurigai orang-orang sendiri.

Menjadi Manusia Indonesia

OlEh: AnASTASIA wIDYAnInGSIh

Page 19: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

19

Salah satu cara yang dilakukan kolonial Belanda dalam masa penjajahan adalah dengan memperdalam perbedaan antaretnis dan sabotase komu-nikasi antaretnis. Sabotase dilakukan dengan mengangkat etnis tertentu menjadi lebih unggul dari etnis lainnya atau merekrut etnis tertentu dalam jajaran administratur maupun militer kolonial2. Itulah sebabnya, dengan personil serdadu yang sedikit, kaum kolonial selalu bisa mengen-dalikan kekuatan pribumi di berbagai wilayah Nusantara3. Untuk mem-erangi Aceh misalnya, kolonial Belanda menggunakan pasukan ‘mar-sose’ hasil rekrutmen dari berbagai suku di luar Aceh, sedangkan untuk Sumatera Barat mereka menggunakan tenaga-tenaga bukan Sumatera Barat. Sehingga, pada hakekatnya, yang terjadi adalah rakyat Nusantara memerangi sesama rakyat Nusantara. Pada praktik perluasannya, divide et impera tidak berhenti pada masa kolonial namun juga terus bergulir hingga jaman Orde Baru sebagai strategi mempertahankan kekuasaan. Seperti teror acak terhadap etnis tertentu (contoh kasus Sampang, Am-bon dan Sampit) dan sentimen rasial (contoh diskriminasi etnis Tiong-hoa) juga merupakan bagian dari strategi ini.

Wajah lama sudah tak keruan di depan kaca, wajah baru belum jua jelas ~ Mochtar Lubis

Sejak gerakan pemuda tahun 1928 yang mendobrak imaji-imaji Belanda mengenai orang Indonesia; perjuangan total rakyat Indonesia pada 1945; 1977 ketika buku tersebut ditulis; kemudian masuk kepada reformasi 1998, hingga tahun 2014 ini, kemajuan apa saja yang sudah dicapai dari enam ciri-ciri manusia Indonesia tersebut?

Ciri kesatu: hipokritis alias munafik

Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan ciri manusia Indonesia sejak lama, sejak mereka dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakannya atau dipikirkannya ataupun yang sebenarnya dikehendakinya, karena takut akan mendapat ganjaran yang membawa bencana bagi dirinya.

Sistem feodal kita di masa lampau yang begitu menekan rakyat dan menin-das segala inisiatif rakyat, adalah salah satu sumber dari hipokrisi yang dah-syat ini. Kemudian datang berbagai agama, yang meskipun datang mem-

Page 20: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

20

bawa nilai-nilai yang memperkaya kehidupan jiwa manusia Indonesia, akan tetapi di berbagai daerah, karena caranya datang memakai paksaan dan kekerasan, atau datang sebagai sekutu kekuasaan penjajah, maka ia pun datang tidak sepenuhnya dan di mana-mana diterima sebagai satu un-sur atau kekuatan pembebasan manusia Indonesia. (Manusia Indonesia, hal. 18)

Masih banyak kita temui orang-orang yang memakai atribut agama betul-betul tidak mencerminkan ajaran agama yang dianut. Bisa kita perhatikan di media, orang-orang yang kerap menampilkan sosok tel-adan, melakukan perbuatan fitnah, cabul, ataupun korupsi. Suatu kali menyiarkan ajaran-ajaran agama yang penuh kasih, di lain hari menjelek-jelekkan nama orang lain. Apakah lantas kita bisa percaya ucapan orang yang demikian?

Belum lagi korupsi yang kian merajalela dan semakin membudaya. Kasus yang paling menohok di tahun ini adalah korupsi pengadaan barang dan jasa haji yang dilakukan oleh Menteri Agama sendiri. Bahkan orang-orang tidak punya malu lagi untuk beramai-ramai korupsi. Koruptor teriak koruptor. Korupsi bukan hanya penyakit pemimpin-pemimpin di atas sana, bahkan pegawai-pegawai biasa seperti pun melakukannya, disadari ataupun tidak. Masuk kantor terlambat, tapi pulang paling ce-pat; atau mangkir dari kerjaan yang seharusnya bagian kita. Hal-hal sep-erti ini adalah bibit dari tindakan korupsi yang lebih besar. Pembiaran yang terus-menerus akan membuat kita menganggapnya sebagai hal yang lumrah.

Ilustrasi oleh Anastasia Widyaningsih

Page 21: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

21

Ciri ke dua: segan atau enggan bertanggung jawab atas perbuatannya

“Bukan saya” adalah kalimat yang cukup populer di mulut manusia Indone-sia. Atasan menggeser tanggung jawab tentang suatu kesalahan, sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang tidak baik, satu kegagalan pada bawahannya, dan bawahannya menggesernya ke yang lebih bawah lagi, dan demikian seter-usnya. Dalam sejarah kita dapat hitung dengan jari pemimpin-pemimpin yang punya keberanian dan moralita untuk tampil ke depan memikul tang-gung jawab terhadap sesuatu keburukan yang terjadi di dalam lingkungan tanggung jawabnya. (Manusia Indonesia, hal. 21)

Belakangan ini kita sering mendengar pejabat-pejabat bermain tuding-tudingan mengenai siapa yang salah dalam suatu kasus. A menuding atasannya sebagai dalang, sementara A merasa hanya sebagai alat yang tidak mampu berbuat apa-apa. Sedangkan sang atasan mengaku tidak tahu-menahu akan perbuatan yang dilakukan anak buahnya. Pada akh-irnya muncul pertanyaan, di manakah kredibilitas moral masing-masing individu yang seharusnya menjunjung tinggi kebenaran dan kemanu-siaan di atas segala-galanya? Itulah mungkin sebabnya sangat sulit mem-berantas korupsi dan menegakkan hukum di negeri ini.

Ilustrasi oleh Anastasia Widyaningsih

Page 22: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

22

Ciri ke tiga: berjiwa feodal

Rasa ‘gila hormat’ yang disambut dengan perilaku ABS (Asal Bapak Sen-ang) menjadi akar dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Orang yang mer-asa posisinya superior lalu memandang rendah bawahan, menjadi mudah tersinggung bila mendapat kritik dari orang yang dianggap lebih rendah jabatanya atau ilmunya, atau bahkan marah dan tidak terima. Bawahan yang berwatak lemah lalu bersikap ‘menjilat’ demi kelanggengan posisin-ya, demikian pula mendukung perilaku-perilaku atasan yang sebenarnya salah. Orang yang melawan akan dilibas. Akhirnya, yang dipilih adalah orang-orang yang sesuai dengan keinginan atasan demi kelancaran segala urusan. Ini terjadi di banyak tempat; gurita kekuasaan di Banten, mis-alnya.

Ciri ke empat: percaya tahayul

Berbicara mengenai ciri yang satu ini, ada pengalaman yang menarik. Penulis pernah berada dalam satu ruangan dengan dua orang antropolog yang sedang membahas perihal kasus Sampit. Salah satu antropolog mengaku kerap ditanya oleh mahasiswanya mengenai desas-desus pra-jurit terbang Dayak yang terlihat saat kerusuhan terjadi. Mengenai hal ini, kedua antropolog yang tentu sama-sama berpendidikan tinggi me-miliki pendapat yang berbeda. Yang satu tidak percaya akan cerita terse-but, menganggapnya isu belaka rekaan media yang disambut baik oleh masyarakat yang percaya tahayul; sementara antropolog yang satu lagi mau tidak mau memaklumi kejadian tersebut karena beliau sendiri per-nah mengalami hal yang serupa. Menanggapi perbedaan tersebut, penulis akhirnya melihat hubungan antara budaya dan cara berpikir masyarakat. Diberkahi kekayaan alam dan budaya yang beragam tentu membentuk cara berpikir masyarakat yang juga beragam. Namun perihal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara-negara barat sekalipun, mitos atau-pun mistik masih menjadi bagian dari keseharian. Sepertinya memang sifat dasar manusia cenderung percaya hal-hal mistis atau mitos untuk menanggapi hal-hal yang belum mampu mereka dijelaskan.

Page 23: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

23

Ciri ke lima: artistik

Ini adalah ciri manusia Indonesia yang paling menarik. Tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa ini berkat kekayaan alam yang luar biasa yang menjadi sumber inspirasi bagi manusianya. Manusia Indonesia hidup lebih banyak dengan naluri serta perasaan sensualnya. Semua ini mengembangkan daya artistik yang besar dalam dirinya yang dituangkan dalam segala rupa karya yang indah dan beraneka ragam.

Sejak ratusan tahun lampau sampai kini hasil daya cipta artistik manusia Indonesia telah diboyong ke luar negeri dan kini berada di museum-mu-seum penting di Eropa dan Amerika. Mungkin yang kurang dari sifat ini adalah kesadaran akan nilai seni yang sungguh berharga dan perlakuan masyarakat kita sendiri terhadap seni. Hal ini terlihat dari kurangnya fasilitas kesenian dan museum seni yang memadai, serta kesejahteraan pekerja seni yang kurang berkelanjutan.

Ciri ke enam: lemah watak dan karakter

Penulis merasa bahwa ciri yang keenam ini adalah kumulatif dari ke-lima sifat sebelumnya dengan melihat bahwa bahkan kaum intelektual sekalipun banyak yang tidak berkarakter atau berwatak teguh. Koruptor-koruptor kelas kakap tak jarang yang merupakan lulusan sekolah-sekolah terbaik. Kebanyakan masih takut keberadaannya terancam dalam sistem feodal yang masih mengakar.

Hari ini, untuk menyenangkan hati manusia Indonesia, maka sikap ini diberi nama ‘tepa selira’, tetapi pada hakekatnya tidak lain dia merupa-kan satu kegoyahan watak, di kedua belah pihak, yang berkuasa dan tidak berkuasa. (Manusia Indonesia, hal. 35)

Ciri-ciri lain yang terus menghantui di tengah gempuran arus informasi dan teknologi yang semakin kencang adalah boros dan dengki. Masyarakat Indonesia tampak lebih senang memikirkan hal-hal kurang penting sep-erti materi dan penampilan, serta lebih mudah diliputi perasaan dengki dan perasaan negatif lainnya ketimbang memikirkan masalah-masalah

Page 24: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

24

Ilustrasi oleh Anastasia Widyaningsih

Page 25: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

25

Penulis yakin, dengan berinvestasi kepada pendidikan dan kesehatan, negara akan mampu menciptakan wadah berkembangnya manusia Indo-nesia dengan lebih baik. Diharapkan dengan terjaminnya kedua hal ter-penting itu, maka rakyat Indonesia dapat berkonsentrasi untuk bekerja bahu-membahu membangun negeri yang hampir mati suri ini. Selain itu, pemerintah juga harus mampu menegakkan hukum dan keadilan demi memberantas akar-akar korupsi dan feodalisme yang tersisa. Pada akhirnya ruang gerak akan tersedia bagi mereka yang benar-benar ingin berkarya untuk bangsa ini.

Kita tahu bahwa perubahan sangat sulit dan sangat lama, namun sangat BISA dilakukan. Sementara itu, tongkat estafet terus berpindah dan ke-wajiban kitalah untuk terus membawanya ke arah yang lebih baik. Per-cuma negeri kaya raya dan ekonomi maju bila hal tersebut hanya bisa dirasakan oleh segelintir orang. Adalah tugas kita yang berkesempatan memperoleh pendidikan dan kehidupan yang lebih untuk melihat seki-tar dan merangkul mereka yang kekurangan. Dengan begitu semoga saja masa depan Indonesia yang cerah di depan mata!

--

[1] In politics and sociology, divide and rule (or divide and conquer) (derived from Greek: διαίρει καὶ βασίλευε, diaírei kaì basíleue) is gaining and maintaining power by breaking up larger concentra-tions of power into pieces that individually have less power than the one implementing the strategy. The concept refers to a strategy that breaks up existing power structures and prevents smaller power groups from linking up. (http://en.wikipedia.org/wiki/Divide_and_rule)

[2]http://www.berdikarionline.com/opini/20131122/memahami-operasi-strategi-devide-et-im-pera.html

[3]http://socio-politica.com/2012/01/18/sebuah-permainan-bernama-divide-et-impera/

Page 26: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

26

Saya Turut PrihatinOlEh: CAROn TOShIKO

Page 27: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

27

Page 28: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

28

“Kenapa harus road trip?” Pikir saya sewaktu itu ketika kami hanya memesan tiket pesawat KOE-JKT untuk pulang.

Perjalanan ini pertama kalinya saya melaju lebih dari batas Pulau Lom-bok, batas terjauh yang pernah saya tempuh ke daerah timur Indonesia. Saya begitu deg-degan campur penasaran dari awal ide ini tercetus. Pada mulanya kami berencana berangkat dalam rombongan, namun di akhir diskusi, yang tersisa hanya dua orang, wanita pula!

Akhirnya kami berdua sepakat untuk terus saja, cemas kami buang jauh-jauh. Kesempatan mengenal seluk beluk negara sendiri lebih besar dari pada rasa takut kami. Ide gila kedua yang muncul adalah kami ingin road trip. Semenjak kecil saya selalu dikelilingi dengan novel-novel petu-alangan, ide road trip terdengar sangat menarik saat itu.

On the RoadOlEh: ApRIAnI SARAShAYU

Page 29: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

29

Serius mau road trip?

Kami evaluasi ulang karena keadaan transportasi negara ini yang kurang ramah terhadap pejalan murah. Pesawat saja sering delay, ini mau naik kapal? Seru sih sepertinya, apalagi membayangkan perjalanan ini akan seperti novel-novel petualangan atau film Into The Wild. Kami nantinya bisa merasakan betul transisi perpindahan dari satu kota ke kota lain, dari satu pulau ke pulau lain. Selagi masih muda dan masih kuat berpindah-pindah moda transportasi, sepertinya ide ini patut dicoba. Plus saya su-dah mengambil bebas tugas dari pekerjaan selama sebulan, jadi berlama-lama di perjalanan tidak jadi masalah.

Agak miris sebenarnya mengingat informasi transportasi yang minim. Kami menghubungi beberapa teman yang berasal dari Flores untuk ber-tanya perihal kapal. Akhirnya didapatkan informasi kapal apa yang harus kami naiki. Sebelumnya kami sempat menelepon PT Pelni beberapa kali, tidak diangkat. Info di website perusahaan sangat minim (jangan bandingkan dengan website milik PT.KAI). Setelah hampir putus asa, ak-hirnya telepon saya diangkat dan petugas menganjurkan saya untuk menelpon satu bulan sebelum keberangkatan. Sebelum tanggal itu, jad-wal kapal tidak dapat dipastikan dan kami tidak bisa memesan tiket se-cara online. Pada kenyataan di lapangan, kami baru mendapatkan jadwal kapal satu minggu sebelumnya, Kapal Tilongkilaba (Surabaya-Labuan Bajo) dengan jalur transit ke Bali. Apesnya lagi, jadwalnya tidak cocok dengan jadwal kami. H-1 minggu kami mengubah semua plan yang ada.

Page 30: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

30

Akhir kata, daripada kecewa dengan sistem, kami lanjut saja. Maju terus, pantang mundur! Dengan strategi baru, kami mengambil jalan tengah untuk menyeberang dari pulau ke pulau dengan moda transportasi ferry. Prinsip kami seperti bunyi sebuah lagu nasional, “sambung menyambung menjadi satu...”

Perjalanan menyeberang selat pertama adalah dari Jawa ke Bali. Ah, su-dah biasa, piknik sekolah menengah pertama dan study tour kuliah juga memiliki destinasi sama. Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi cukup ra-mai. Kami tidak membayar terpisah karena selalu sepaket dengan trans-portasi bus. Hari itu cuaca cerah dan barisan bukit di Pulau Jawa sangat menarik diamati. Nantinya saya baru menyadari, bukit di beberapa pulau setelahnya (Bali lombok, dan Nusa Tenggara) cenderung lebih tumpul dan berbentuk gundukan, sementara bukit di Jawa lebih seperti patahan dan tidak halus. Warnanya juga cenderung berbeda, di Jawa pepohonan warnanya lebih gelap, sementara makin ke timur makin berwarna terang dan muda, mungkin karena penetrasi matahari yang berbeda.

Satu hal yang saya amati, kapal penyebrangan yang bagus biasanya adalah kapal yang menuju lokasi wisata. Kapal penyebrangan Bali ke Lombok masih bolehlah karena Lombok adalah destinasi wisata yang cukup ter-kenal; yang paling minim fasilitas adalah trayek dari Lombok ke Sumba, karena wisata Sumba pengelolaannya belum sebaik Bali dan Lombok.

Page 31: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

31

Tempat duduk di ferry sudah bukan berupa kursi terpisah, tapi seperti pendopo di bangunan Jawa. Hanya papan massal yang ditinggikan dari lantai dan penumpang duduk lesehan di sana. Trayek Sumba-Labuan Bajo cukup baik dan nyaman, karena Bajo adalah tujuan wisata dan ban-yak wisatawan asing yang naik dengan kapal ini.

Untuk pelancong seperti saya, yang punya banyak waktu dan cukup uang, kegiatan ini sangat menyenangkan karena bagian dari observasi perjalanan. Saya bisa mengamati pergantian budaya dari satu pulau ke pulau lain dan merasa kaya karenanya. Begitu banyak yang berbeda di negeri ini dan kami menjadi satu negara! Sepanjang perjalanan, bahasa-bahasa yang asing di telinga terdengar. Mereka menyapa kami dengan bahasa Indonesia sebagai penghormatan, walau logat tak bisa ditutupi.

Page 32: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

32

Lamanya perjalanan berikut kapal yang terombang ambing dengan kecepatan (yang sepertinya tidak maju-maju), buat saya itu anugerah tersendiri. Saya jarang melihat pulau dan bentang alam yang luar biasa di keseharian saya.

Namun lain halnya jika saya adalah seorang penduduk lokal. Depresi pasti melingkupi perjalanan ini. Muka-muka lelah yang saya temui mem-bawa pasokan bahan pangan dari tempat yang lebih dekat dengan akses kemakmuran (Jawa). Waktu tempuh yang sangat mahal membuat saya bertanya-tanya,

Bagaimana bisa mereka mengejar ketinggalan? Bagaimana bisa kemakmuran tersebar merata jika untuk berpindah saja kita sulit?

Jujur saja, jika disuruh memilih metode liburan, tentunya saya akan den-gan senang hati berkeliling Indonesia dengan kapal. Sensasi yang dirasa-kan sangat berbeda. Seperti mengulang pengalaman nenek moyang kita mengarungi lautan. Saya bisa melihat perbukitan dan gugusan pulau kecil tak bertuan yang mungkin bila malam hilang tenggelam. Tetapi waktu dan kenyamanan merupakan hal yang mahal saat ini. Saya ingat ketika berwisata ke negeri orang lain dan berkesempatan menggunakan ferry. Saya iri melihat penanganan yang cepat, tiket ferry yang tersedia

Page 33: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

33

dimana saja (baik online ataupun di hostel), serta terminal dan ruang tunggu yang cukup baik.

Ketika akhirnya sampai di Labuan Bajo dan pulang berwisata, kami tidak punya banyak waktu untuk mencoba pengalaman ferry yang lain. Kami langsung mengambil penerbanganan Labuan Bajo-Kupang untuk selan-jutnya terbang kembali ke Jakarta. Harapan membuncah di pikiran saya ketika salah satu calon presiden di sebuah debat, menyebutkan mengenai Tol Laut. Inginnya saya kembali lagi merasakan perjalanan seperti ini dengan layanan yang mudah, cepat, dan rasa aman karena kepastian jad-wal dari jauh hari.Buat apa punya laut begini besar, jika kita hanya menikmati gumpalan awan di atas sana?

***

“WE BRIDGE THE NATION, bangga menyatukan nusantara” (ASDP)

Slogan yang bagi saya saat ini membuat ingin menangis, bukan karena terdengar heroik, tapi karena ironi yang tersimpan di dalamnya.

Yogyakarta, pada malam supermoon,

AK

Page 34: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

34

Iya, kita tinggal di negeri warisan. Warisan melimpah, jangan pungkiri!Tak heran generasi ini lupa dengan kata berjuang.

Berjuang menjaga akar tiap pohon yang terhampar di luasnya belantara.

Berjuang menjaga ritme damai ombak di laut nusantara.Berjuang mengulik sejarah dan tiap distorsi yang diselaraskan.

Atau berjuang untuk hari esok yang lebih cerah.

Anak kaya nan manja, memusatkan diri sendiri sebagai yang terpenting. Egois! Aku kah? kamu kah? kita kah?

Kerasnya pikiran nan egois, mengaburkan ruang untuk berbagi impian, berbagi kata, berbagi pandangan dan harapan.

Semoga nurani belum terbius lemah. Biarkan ia mengendalikan kepedulian akan kebaikan,

tak hanya bagi diri sendiri.Tapi bagi tiap peluh harapan para ibu.

Tiap genggaman harapan para ayah. Tiap wajah mereka, yang tak pernah diperhitungkan. Bagi mereka yang berteman akrab dengan penolakan.

Bagi mereka yang membanting tulang dalam pekatnya malam.Bagi mereka yang harus selalu menorehkan senyum meski dalam duka.

Negeri ini miliku, milikmu, milik mereka. Tepiskan kuasa pemimpin, ia adalah sosok supir yang mengiyakan tiap pilihan jalan dari sang tuan.

Aku, kamu, mereka adalah sang tuan di negeri kita sendiri. Sudahkan kita menjadi tuan yang bijaksana?

Sudahkan kita menjadi tuan yang mengesampingkan ambisi, nilai, prestasi sendiri dan semua klise kehidupan?

Syukuri warisan leluhur. Maknai kebersatuan yang diteriakan para pejuang. Pelajari tiap detik perjalanan waktu. Rayakan masa depan!

“Those who can’t understand how to put their thoughts on ice, should not

enter into the heat of debate,” Friedrich Nietzsche.

Negeri SendiriOlEh: ASTRID SEpTRIAnA

Page 35: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

35

We, the PeopleOlEh: MOnICA jOnAn

What is the land that rises from a dream? Surely every land, every country, every city, every nook and cranny does. A city is built upon the dreams of its citizens, and a country is built upon the dreams of its people.

Ours is no different.

Sixty-nine years ago, a country was founded from the dreams of our forefathers. Sixteen years ago, a democracy was born from the dreams of our youth. Today, we continue to fight to protect the democracy, so that our country will be built upon the dreams of the people.

For the past few months, we rallied on the streets and on social media. We voted and guarded the election process. We ensured that democracy, one that belonged to the people, was carried out. We armed ourselves with the idea of protecting democracy and identified ourselves, then, as good citizens.

Because we believed that to protect democracy is to protect the will of the people. And by protecting democracy, we are ensuring that the will of the people will be carried out.

The election was one of a kind: transparent, guarded closely by people in the spirit of democracy. It was lauded internationally as the prime example of what a democratic election should be like. Our people voted with pride, with the belief that each vote is equal, and that their voice counted. We have finally achieved true democracy.

And for the most part, that is true.

But democracy doesn’t stop there. We chose a representative from amongst ourselves, and we hold him responsible to execute our man-date. We have to make sure that he builds our land upon our dreams.

This, however, only works if everyone has equal access to education and

Page 36: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

36

information, and that everyone is able to make good, informed decisions within the democratic process.

Good, informed decisions mean that we think our choices through, and that we know our priorities. Good, informed decisions mean that our farmers, our businessmen, our civil servants, our fishermen, our police-men, our housewives and our students all know perfectly what they want, and what they can expect from their representative. Good, informed de-cisions mean that we understand the democratic process, and that we know how to demand what our representative owes us.

A democracy is the idea of a nation of equal people, equally educated and equally important to the democratic process. It is a nation where every-one is qualified to be a leader, to represent their community. It is a nation where everyone is aware of what should be prioritized, according to the principles our country is founded upon.

Our representatives aren’t above us; they answer to us.

Our democracy is not like that. Not yet.

Our democracy represents the will of an unequal society, where some people are more educated than others, where we are exposed to differ-ent information depending on our location, local government, employers and sometimes even religion. Our democracy represents choices made not wholly by rationalizing solid facts, but by emotions incited by biased media and the personal interests of our community leaders. Our democ-racy takes advantage of people who weren’t exposed to the same level of education, of people who didn’t have the resources to understand our country’s constitution and its system.

We, the people, are isolated from the actual governing process. We are ousted from power because we don’t know how to control the power we’ve dispersed to our representatives in the government.

A transparent election is great, next, we move to a transparent govern-ment, and a population able to understand the workings of their govern-ment.

Page 37: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

37

And thus, although we may be able to vote equally, how can we be sure that our votes will bring the actions we want? How can we be sure that our country is built upon the dreams of its people: the dreams of the many, and not just the few?

Our task is a great one. We’ve magnificently carried the responsibility of casting our votes, but we must take responsibility for what comes after the vote, and what comes before the next vote.

We are equal when we vote, but we must strive to be equal at all times. To have our needs equally matter. To remain part of the democratic process, long after the votes have been cast. To be able to decide what’s important to our country because we know the causes and consequences of each decision.

When we are able to make good, informed decisions, we acquire the right to fight for our decisions.

We must strive to be equals of our representatives, so that their decisions reflect ours. Our rights are only equal when we understand what our rights are. It is more than just rights to express our opinion; it is the right to know. It is the right to act upon our knowledge. The right to know how exactly to function within the democratic realm, to know how to do things that make a difference.

We must involve ourselves in the public arena, and know how to play by the rules of that arena. We must be learned in the ways of our govern-ment, we must study the constitution; we must survey the decisions of our representatives.

We must be articulate, our dreams must be understood.

And to do that, we must be educated. All of us. We must educate the children, the adults, the elderly. We must break the physical and mental boundaries that exist between us. We must set ourselves as equal, and stand equal to one another. And to those among us who are chosen to govern, we must also stand equal.

Page 38: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

38

Equally knowledgeable, so that we can survey the way we are governed. Equally knowledgeable, so that we understand what actions we must un-dertake to effectively be heard. Equally knowledgeable, so that we can remind our representatives that they answer to us, because we understand what they’re doing.

To know is to hold power. We must know how to be part of our system, so that it works to our favor. We will not be held in the hands of a few.

We, the people, are given the power to govern ourselves. That is some-thing we must do properly, wholeheartedly and devotedly. We are the government, though we often forget that. We are the power. We are the system.

We, the people, are the ones who understand the system, and actively use it to our advantage.

We, the people, are equal. In terms of rights and knowledge.

We, the people, are the ones who must fight for a pure democracy, be-cause that is the kind of system that can fight for us.

We, the people, are the owners of the dreams that our country must be built upon. We choose, and watch over those chosen. Our task is never finished. We start by making the good decision to inform ourselves, and then we must strive to remain informed.

And then, this land will rise from our dreams. By the people, for the people.

Page 39: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

39

Hari-hari di negerimu pernah begitu gegap gempita dalam pesta.

Harapan di dadamu membuncah. Harapan kolektif menjadi dasar

bagi pergerakan komuni. Hanya ada dua pilihan, yang lain tumbang

di perjalanan. Jalan demokrasi di negerimu tidak mudah, jauh lebih

berantakan dan menakutkan dibandingkan jalur lintas Sumatera. Kutub

di negerimu pun tercipta.

Hari-hari di negerimu pernah begitu berisik. Rakyat sibuk mencari,

cendekiawan sibuk menggurui, media sibuk membumbui. Yang hitam

dan yang putih tidak lagi bisa dibedakan. Satu sama lain saling men-

jatuhkan. Aku –mungkin juga kamu– pernah menggumam, kenapa

masing-masing tidak sibuk dengan kelebihan dirinya sendiri saja?

Harapan-harapan di negerimu pernah membumbung tinggi. Sampai

kemarahan massal disajikan untuk mata dan telingamu di meja makan.

Kita tidak lagi bisa mengerti nada-nada kekecewaan itu berasal dari hati

ataukah harga diri. Demokrasi di negerimu tidak hanya belum dewasa,

tetapi juga jauh dari matang.

Kenapa?

BALONKUOlEh: VAllIn TSARInA

Page 40: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

40

Padahal, bukankah sejak dini kita telah dikenalkan pada rasa kalut dan kecewa saat balon hijau meletus tanpa diduga? Balonku ada limaRupa-rupa warnanyaHijau, kuning, kelabuMerah muda dan biruMeletus balon hijauHatiku sangat kacauMungkin kita tak sadar bahwa seorang Abdullah Totong Mahmud dalam lagunya tidak hanya mengajarkan kita berhitung dan mengenal warna. Ia mengenalkan kita pada rasa kecewa. Mungkin agar semakin dewasa semakin terbiasa? Juga pada sisi lain peristiwa; bahwa kita masih punya harapan yang lain, yang bisa kita wujudkan dengan cara yang lain, all you have to do is do your best.Balonku tinggal empatKupegang erat-erat

Untuk Indonesia.

Page 41: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

41

Page 42: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

42

Better Appreciation = Better Indonesia

OlEh: jESSICA

Page 43: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

43

Page 44: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

44

Page 45: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

45

Page 46: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

46

Page 47: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

47

Page 48: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

48

Mereka bertanya mengapa bahasa Inggris saya tidak memiliki aksen Indo-nesia. Dalam sebuah pesanggrahan selama seminggu di George Town, Penang, seorang teman dalam tim malah baru menyadari saya adalah seorang Indonesia di hari-hari terakhir.

Beberapa bulan setelahnya di pusat kota Singapura, seorang pekerja kon-struksi melayu yang mengerjakan paviliun bambu kami di sana suatu kali bertanya, “Are you Singaporean? Your accent is different with your (Indone-sian) friend.”

Setahun kemudian saya kembali ke George Town untuk mengikuti loka-karya arsitektur di akhir pekan. Pernyataan serupa dari teman sesama peserta muncul lagi. “You sound Malay to me.”

Maka izinkan saya bercerita tentang sebuah perspektif yang sudah be-berapa lama mengendap, dan barangkali dapat relevan dalam situasi keti-ka semua orang bersorak-sorai untuk demokrasi dan kebebasan memeluk identitas, seminor apapun. Sementara di sisi lain, persiapan menyambut Mutual Recognition Arrangement (MRA) ASEAN sudah mulai meng-gaung. Kurang dari dua tahun lagi, ada batas-batas antar negara yang akan semakin samar, baik yang terlihat dari kasat mata maupun yang akan terjadi tanpa kita sadari pada individu yang berada di dalamnya.

-

Negeri-negeri Nirbatas

OlEh: ROfIAnISA nURDIn

Page 49: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

49

Saya mulai secara aktif berbahasa Inggris di Singapura, ketika saya baru lulus kuliah dan mengerjakan proyek video dokumentasi di sebuah festi-val arsitektur tahunan di sana. Selama dua bulan saya banyak berinteraksi dengan orang-orang lokal; dari orang-orang konstruksi hingga otoritas, dari turis-turis asing hingga ekspat yang lama menetap. Berbahasa selay-aknya lawan bicara adalah upaya saya untuk berbaur, yang pada akhirnya membentuk karakter berbahasa saya, tanpa disadari.

Dalam euforia menemukan dunia baru, sempat terlintas proyeksi masa depan saya di negara yang asing ini. Saya menawarkan diri menjadi ba-gian dari sebuah inisiatif lokal, yang saat itu gagal karena terbentur regu-lasi tentang pekerja asing. Pada saat itu, kebijakan MRA ASEAN belum menggaung. Pergerakan pekerja antar-bangsa terjadi pada kapasitas tert-entu dengan lapisan-lapisan peraturan yang mengikat. Maka, pada jarak yang dianggap cukup, sebagai pengamat dan partisipan, saya mengikuti inisiatif ini dengan masih berada pada konteks di mana saya berasal.

Dua tahun setelahnya, ketika kebijakan MRA hadir di depan mata, ke-mungkinan-kemungkinan baru mulai terbuka. Pun terbersit pertanyaan:

Kemana nasionalisme harus dialamatkan ketika kita bebas bekerja, hidup, berinteraksi, dan menetap dalam lingkup yang lebih besar dari sebuah negara? Penapis apa yang harus kita gunakan untuk memperta-hankan identitas budaya bangsa? Sementara pada saat yang bersamaan, kita harus memperlebar batas toleransi yang tak bisa dipungkiri ketika harus berinteraksi dengan keragaman yang lebih besar lagi? Akankah masyarakat lokal menciptakan tameng tak terlihat di sekeliling mereka, dan memandang asing dan penuh curiga kepada orang-orang tak sebang-sa yang mencari makan di tanah yang sama? Akankah tanah yang kita je-jak, alih-alih memiliki budaya yang semakin kaya, malah menjadi sebuah padang anonimitas dimana identitas budaya adalah tabu?

Seorang Z memberikan saya perspektif baru tentang pertanyaan terakhir.

Z (baca: Zi) adalah sebuah nama universal. Ia bisa dimiliki seorang per-empuan maupun pria. Ia tak beralamat kepada ras manapun. Z adalah nama yang ia hadiahkan untuk dirinya sendiri, sebagai manifestasinya terhadap isu multi-ras versus kebangsaan yang terjadi di Malaysia. Salah

Page 50: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

50

satu hal yang menggelitik nalarnya adalah tiap kali ia ditanya, “What (race) are you?” karena ia fasih berbicara bahasa melayu, meski di permu-kaan ia adalah seorang perempuan tionghoa.

Z mengimani bahwa identitas budaya adalah sesuatu yang bersifat hori-zontal, yang berarti, tidak ada hierarki dalam menempatkan identitas. What are you? Malaysian first? Chinese first? Or Malay first? Ia berpenda-pat bahwa satu pribadi dapat merupakan irisan dari berbagai identitas: Indian-Malaysian, Dutch-Indonesian, Afro-American. Orang Betawi di Jakarta bahkan adalah peranakan dari bermacam suku dan ras yang ber-mukim di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa (sumber: Wikipedia). Suku dan ras adalah sesuatu yang terjadi secara alamiah, yang dapat terwujud dalam penampilan jasmaniah, sedangkan kenegaraan adalah batas yang diciptakan oleh manusia. Sementara, Benedict Anderson sendiri percaya bahwa sebuah bangsa adalah komunitas yang terbentuk secara sosial (so-cially constructed community), yang digambarkan oleh masyarakat yang memandang diri mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Ander-son: Imagined Communities, 1983.).

Dalam argumennya, Z memperkenalkan saya kepada sebuah nama: Dr. Farish A. Noor.

“Gone are the days when a Malaysian, Filipino or Singaporean would be born in his country, study in the same country, work and die in the same country. In the near future, we may well live to see the birth of the first ASEAN generation who are born in one country, study in another, work in another and die in another, all the while feeling that he or she is still at home, in Southeast Asia.”

Dr. Farish adalah seorang ilmuwan politik dan sejarawan berkebang-saan Malaysia yang saat ini menjadi Associate Professor di S Rajaratnam School of International Studies, NTU Singapura. Ia mengkategorikan dirinya sebagai warga Asia Tenggara yang berkomitmen penuh kepada ASEAN. Nasionalisme bukan sahabat karibnya.

Ia berpendapat bahwa negara-negara di ASEAN di era modern ini ter-himpit di antara sejarah yang saling beririsan dan kompleks, serta per-batasan politis yang menciptakan bentukan baru bernama negara-bangsa.

Page 51: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

51

Hal tersebutlah yang melatarbelakangi terjadinya gesekan di perbatasan, perebutan wilayah, dan pengklaiman budaya antar negara tetangga.

“I long for the day when the people of Southeast Asia can see themselves as ASEAN citizens, but despite the fact that the ASEAN Community is almost upon us (by 2015), many of us in the region are still driven by primordial attachments to place, identity, language and culture.

“No matter how hard some of the hyper-nationalists among us may try, they cannot deny the fact that we share a common, interconnected history/histo-ries. These histories often overlap, make contesting demands and claims, and contradict each other. But that is the nature of history as a discourse, for it is a narrative without a full-stop and is a discursive terrain that has to be looked at from a multiplicity of angles.

“Look around us in Southeast Asia today and what do we see, but postco-lonial nation-states that continue to police their people, their borders, their identities and the very epistemology and vocabulary that frames our under-standing of ourselves and the Other. Categories like “citizen” and “foreigner” are modern labels that we, Southeast Asians, have inherited from our colonial past along with dubious concepts like racial difference.”

(Farish A. Noor: Between A Fluid Region and A Hard State, 2013.)

Meski begitu, bukan berarti nasionalisme serta-merta dapat dimentah-kan begitu saja. Nasionalisme ada untuk membangun keterikatan warga kepada negara. Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri, rentang sejarah dan memori kolektif warga telah bertahan dan berevolusi selama 69 tahun keberjalanannya sebagai negara merdeka. Adapun kontradiksi yang timbul dari pergolakan kedua kutub (negara-bangsa dan identitas budaya pra-kolonial), selayaknya dapat menjadi se-buah dinamika yang memicu kita untuk kritis menakar toleransi dan konsistensi loyalitas.

Ada seorang penulis yang bergerak dalam advokasi open borders dari sudut pandang moral dan praktis bernama John Lee, yang menyimpul-kan begini:

Page 52: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

52

“I am of Chinese-Filipino descent, born in Japan, raised in Singapore and Malaysia, studied in the US and the UK, and now working in the US. I have multiple affiliations, loyalties, identities. These are just as arbitrary as the ac-cidents of fate that determine which sports team you root for, and yet no less meaningful. We have learned to live and let live in our sporting affiliations (for the most part, the occasional European football or Canadian hockey riot notwithstanding), recognising their arbitariness but reveling in their signifi-cance. We can do the same with the nation-state and its borders.”

--

“So, what are you, Z?”

“I’m beyond gender. I’m beyond race. I’m beyond nationality. I am now is what I am in the context, in this body, with the people around me. This is my identity. This is me.”

Di masa depan, yang akan kita jelang tak lama lagi, mengalamatkan na-sionalisme barangkali memang harus lebih dari sekadar fasih berbahasa nasional; lisan maupun tulisan. Memahami sejarah tempat kita berasal dan mengakar, merawat budaya yang telah memahat karakter kita, men-jadi warga negara yang taat dan kritis mengamati pergerakan pemerintah, dan mencintai tanah air yang kita pijak adalah beberapa hal yang barang-kali dapat mendefinisikan ke mana loyalitas kenegaraan kita tertuju.

Karena dalam tahun-tahun ke depan, dalam upaya kita mencari peng-hidupan yang layak, bisa jadi hati kita terpikat oleh bahasa yang lain, budaya yang berbeda, kebijakan yang lebih masuk akal, belahan jiwa yang mengakar di tanah yang tadinya asing. Kita akan memanggil sebuah tempat tadi sebagai kampung halaman yang baru, karena disanalah kita sebagai makhluk sosial berinteraksi dan membangun peradaban.

Kita yang baru, akan mendefinisikan masa depan.

*

Antarabangsa, George Town, Penang, Malaysia.Minggu, 17 Agustus 2014.Tulisan ini terinspirasi dari sebuah percakapan kasual di tempat orang-orang lokal Penang, pendatang, bahkan turis berbaur; di malam ketika bendera-bendera merah-putih berkibar di hati warga negara Indonesia, di tanah manapun mereka berada.

Page 53: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

53

Berpindahlah

Dan kembali

Bergeraklah

Dan tak mundur lagi

Berharaplah

Dan tak memprasangkai

Berusahalah

Dan tak melukai

Berkaryalah

Dan maknai

Beranganlah

Dan tiada berhenti.

Hingga sampai.

Lalu mati.

Untuk Suatu BangsaOlEh: TAMI jUSTISIA

Page 54: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

54

PROFIL PENULIS

Ammy Hardini, landscape designer yang hapal hampir semua nama pohon ini hobi melukis dengan cat air. Karya-karyanya dapat dilihat di ammyhardini.carbonmade.com

Anastasia Widyaningsih, urban designer yang tertarik pada dimensi sosial perkotaan. Proses belajarnya dapat dilihat di anastasiawidyaning-sih.tumblr.com

Apriani Sarashayu, penikmat seni, terkadang menulis di mencuciotak.tumblr.com. Saat ini berdomisili di Yogyakarta

Astrid Septriana, bekerja sebagai content writer di Lowe Indonesia. Ia menuliskan pergulatan ide filsafat dengan realita yang ia hadapi di astridseptriana.com

Caron Toshiko, bekerja sebagai asisten psikolog di Kasandra & Associ-ates. Menyukai manusia dan fenomenanya. Ingin mengetahui perjala-nannya lebih lanjut, sila mampir ke carontoshiko.blogspot.com

Diatri Kamaratih, interior designer yang jatuh cinta dengan furniture kayu, buku bergambar, anak-anak dan Sang Pencipta, diatrikamaratih.blogspot.com

Gayatri Suroyo, bekerja sebagai economics correspondent untuk Thomson Reuters

Jessica, wanita kelahiran Jakarta 28 tahun yang lalu ini sekarang bekerja sebagai part time Graphic Designer. Tertarik pada hal-hal detail dalam keseharian. Hasil tangkapan matanya dapat dilihat di akun Instagram @jesz___

Page 55: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

55

Monica Jonan, sering mengalami krisis identitas. Calon mahasiswa arsitektur/pengembara.Ingin membaca lebih banyak lanturan, sila

mampir ke thesleepytraveller.blogspot.com

Putri Kusumawardhani, urban designer yang tertarik pada banyak bi-dang seperti transportasi, desain, lingkungan sampai ekonomi. “Sistem”

adalah “kacamata” yang ia gunakan untuk mengamati tempat. Temui lebih lanjut di sbothies.tumblr.com

Rofianisa Nurdin, editor majalah Ruang yang saat ini bekerja sebagai architectural designer di RAW Architecture, Jakarta. Tulisan-tulisan lainnya seputar arsitektur kota bisa ditemukan di jongarsitek.com,

rujak.org, juga betterciti.es

Tami Justisia, mahasiswi S2 FHUI, pecinta seni, sastra, dan rindangnya pepohonan. Dapat ditemui di akun Twitter @tamijustisia

Sri Suryani, berkelana dan sketsa adalah rumahnya. Silakan bertamu di karyasurya.wix.com/srisuryani

Vallin Tsarina, penikmat kopi hitam, susu jahe, dan teh tubruk. Ke-hidupan menempatkannya berada di antara, about.me/vallintsarina

Page 56: Beranda #3 Negeri di Atas Angan

56 56

Beranda Edisi #3 Agustus 2014