Behavioral Finance

41

Transcript of Behavioral Finance

Page 1: Behavioral Finance

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 2: Behavioral Finance

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 3: Behavioral Finance

BEHAVIORAL FINANCE 

SUDAH WAKTUNYA! 

  

Kumpulan Artikel – Seri 5 

 

Budi Frensidy 

 

 

 

 

                                                                

 

 

 

Jakarta, 2010 

Page 4: Behavioral Finance

BEHAVIORAL FINANCE, SUDAH WAKTUNYA! 

Kumpulan Artikel – Seri 5 

oleh Budi Frensidy 

 

Editor                            :  Budi Frensidy 

Tata Letak & Desain Sampul  :  Tim Evolitera 

 

 

 

PT Evolitera 

EvoHackSpace –Ruko Kayu Putih 

 Jalan Kayu Putih IV Blok D, No. 1, 3rd floor 

East Jakarta 13260, INDONESIA 

 

Diterbitkan di 

www.evolitera.co.id 

oleh 

PT Evolitera 

Jakarta, 2010 

 

 

 

© Budi Frensidy, 2010  

 

 

 

Page 5: Behavioral Finance

 UNDANG­UNDANG REPUBLIK INDONESIA  NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA   Lingkup Hak Cipta Pasal 2 

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta Hak Cipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis  setelah  suatu  ciptaan  dilahirkan  tanpa  mengurangi  pembatasan menurut peraturan perundang‐undangan yang berlaku. 

 Ketentuan Pidana Pasal 73: 

1. Barangsiapa  dengan  sengaja  melanggar  dan  tanpa  hak  melakukan  perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat  (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing‐masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau  denda  paling  sedikit  Rp1.000.000,‐  (satu  juta  rupiah),  atau  pidana penjara  paling  lama  7  (tujuh)  tahun  dan/atau  denda  paling  banyak Rp5.000.000.000,‐ (lima miliar rupiah). 

2. Barangsiapa  dengan  sengaja  menyiarkan,  memamerkan,  mengedarkan,  atau menjual  kepada  umum  suatu  ciptaan  atau  barang  hasil  pelanggaran  hak  cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,‐ (lima ratus juta rupiah). 

 

 

 

 

 

 

Page 6: Behavioral Finance

 

Do you have an exciting imagination? 

Do you have a blog that you want to compilate? 

Or, do you have a script you want to publish but don’t know how? 

 

Just publish it with us! 

 

 

 

 

 

www.evolitera.co.id  

 

 

By publishing with us, you have the opportunity to get 

 advertisement income and donation 

 

 

 

 

Page 7: Behavioral Finance

Dari Editor 

 

Buku  ini  adalah  kumpulan  tulisan  oleh  Budi  Frensidy  yang  pernah 

dipublikasikan melalui media massa (surat kabar) tingkat nasional. 

 

Dalam  tulisan‐tulisan beliau, Anda dapat memahami pasar  fnansial dan pasar 

modal,  cara‐cara  berinvestasi  yang  cerdas,  sampai  dengan  mengelola 

keuangan dan investasi pribadi secara cermat dan tepat. 

 

Seri Ke‐4 ini membahas dasar pemahaman tentang behavioral finance di dalam 

dunia pasar modal, dan memuat 8 artikel. 

Budi Frensidy, S.E., M.Com, Akt. 

 

Adalah  seorang  pengajar  di  Fakultas  Ekonomi 

Universitas  Indonesia,  dengan  mata  ajar 

Matematika Keuangan serta Manajemen Investasi.  

 

Tidak  sedikit  karya  tulis  yang  dihasilkan,  baik 

artikel‐artikel  di  surat  kabar  terkemuka  tingkat 

nasional, buku‐buku teks kuliah, serta jurnal ilmiah 

tingkat internasional. 

(Profil lengkap dapat dilihat di sini)

Page 8: Behavioral Finance

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 9: Behavioral Finance

 

DAFTAR ISI 

 

 

Ada Apa dengan Efficient Market Hypothesis? 

 

Tingkah Laku Investor 

 

Saham Loser... 

 

Coattail Investing 

 

Hati Panas, Kepala Dingin 

 

Behavioral Finance, Sudah Waktunya! 

 

Siap Menyesal dalam Berinvestasi 

 

Semua Serba Relatif 

Page 10: Behavioral Finance

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 11: Behavioral Finance

Ada Apa dengan Efficient Market Hypothesis?

Hipotesa pasar efisien atau efficient market hypothesis (EMH) adalah

salah satu proposisi utama dalam ilmu keuangan selama lebih dari tiga puluh

tahun. Hipotesa ini dimulai dari pandangan Milton Friedman (1953) yang

mengatakan, ”Prices are right, there is no free lunch.” Samuelson (1965) dan

Mandelbrot (1966) juga berpendapat sama setelah mereka membuktikan harga

sekuritas bergerak secara acak (random) dan return tidak dapat diprediksi.

Fama (1970) dalam artikel klasiknya mengenai EMH mendefinisikan pasar

efisien sebagai pasar sekuritas yang harganya mencerminkan informasi yang

tersedia. Secara radikal, EMH mengesampingkan kemungkinan adanya sistem

perdagangan atau strategi yang dapat menghasilkan keuntungan yang abnormal.

Dalam bahasa sederhana, EMH mengatakan tidak ada investor yang mampu

mengalahkan pasar secara konsisten.

Waktu, biaya, dan energi yang didedikasikan untuk menganalisa dan

memilih sekuritas hanya akan sia-sia. Excess return sangat sulit untuk diperoleh,

sementara biaya transaksi (komisi dan spread) harus dibayar. Analisa teknikal

yang dilakukan investor aktif tidak akan dapat memberikan return di atas pasar

dan kinerja portofolio investor pasif yang akan lebih baik.

Asumsi EMH Tiga asumsi mendasari EMH. Pertama, investor diasumsikan rasional dan

karenanya akan menilai semua sekuritas secara rasional. Kedua, jika ada

investor yang tidak rasional, kehadiran mereka akan bersifat acak (random).

Karenanya, mereka akan saling meniadakan tanpa memengaruhi harga sekuritas

di pasar. Ketiga, kalaupun para investor itu tidak mengambil posisi yang saling

berlawanan tetapi bertransaksi dalam arah yang sama, para arbitrageur akan

datang untuk menetralkan mereka. Arbitrageur akan menghilangkan pengaruh

para investor irasional itu pada harga sekuritas di pasar.

Investor yang rasional akan menilai setiap sekuritas sesuai nilai

fundamentalnya yaitu sebesar present value dari aliran kas di masa datang

Page 12: Behavioral Finance

dengan menggunakan tingkat diskonto yang sesuai dengan risikonya. Jika ada

informasi fundamental, mereka akan bereaksi dengan segera dan dalam

sekejap, informasi itu sudah tercerminkan dalam harga sekuritas. Jika tidak ada

informasi fundamental, tidak ada alasan untuk perubahan harga.

Pada periode 1960-an hingga 1980-an EMH diakui mempunyai landasan

asumsi yang kuat dengan sederetan bukti empiris yang mendukungnya.

Universitas Chicago, tempat EMH diperkenalkan, tak ayal lagi langsung menjadi

pusat studi finansial tingkat dunia. Pada tahun 1978 Michael Jensen, seorang

lulusan universitas itu, bahkan sempat mendeklarasikan bahwa tidak ada

proposisi dalam ilmu Ekonomi yang mempunyai bukti empiris sebanyak EMH.

Tantangan EMH Sesaat setelah deklarasi Jensen, serangan terhadap EMH menjadi

semakin gencar baik secara empiris maupun terhadap asumsinya. Diantara

serangan yang paling melemahkan EMH adalah fenomena volatilitas saham

yang jauh lebih besar daripada volatilitas dividen atau earning-nya (Shiller, 1981)

dan adanya noise trader yang membuat harga saham menjauhi nilai

fundamentalnya (Black, 1986 dan De Long et al., 1990). EMH juga dikritik karena

gagal menjelaskan kejadian merosotnya indeks Dow Jones sebesar 22,6% tanpa

ada informasi signifikan mengenai fundamental perusahaan pada tanggal 19

Oktober 1987.

EMH juga tak berdaya menjelaskan gejala harga saham yang tidak

bergerak menurut pola random walk seperti yang dibuktikan De Bondt & Thaler

(1985 dan 1987) dalam jangka panjang, dan Bernard & Thomas (1989) dan

Jegadeesh & Titman (1993) dalam jangka pendek. De Bondt & Thaler terkenal

dengan pembuktian terjadinya overreaction atau long-term reversal. Bahwa

dalam periode 3 tahun, kinerja portofolio saham winners akan berada di bawah

portofolio saham losers. Sementara, Bernard & Thomas dan Jegadeesh &

Titman membuktikan kalau dalam jangka pendek terjadi sebaliknya yaitu

underreaction dan momentum. Untuk periode 6 – 12 bulan, saham yang naik

(turun) cenderung untuk terus naik (turun).

Page 13: Behavioral Finance

Menjawab kritikan di atas, pendukung EMH seperti Robert Merton tidak

tinggal diam tetapi balik menantang dengan mengatakan kalau bukti-bukti

empiris itu mempunyai permasalahan teknis, lemah secara statistik, atau salah

dalam modelnya. Selain itu, bukankah adanya overreaction dan underreaction

juga sesuai dengan asumsi mereka bahwa ulah investor irasional akan saling

meniadakan.

Sejatinya, sebelumnya EMH juga sudah banyak dikritik para

penentangnya. Namun, karena pakar keuangan dan bukti empiris yang

mendukung EMH lebih banyak, EMH dapat bertahan dengan berlindung di

bawah jargon ”anomali”. Segala sesuatu yang tidak sesuai atau tidak dapat

dijelaskan oleh EMH dikatakan sebagai suatu anomali seperti anomali efek

Januari, efek perusahaan kecil, dan lainnya.

Tidak cukup dengan bukti-bukti empiris, para penentang EMH juga

menyerang asumsi EMH. Transaksi para investor irasional ternyata tidak acak

dan tidak saling meniadakan. Aksi arbitrageur untuk menghilangkan mispricing

(ketidaksesuaian harga sekuritas dengan nilai fundamentalnya) kenyataannya

ada batasnya. Akibatnya, aksi mereka menjadi cukup berisiko karena mispricing

dapat saja bertahan lama tanpa ada investor lain yang menyadari hal itu sebagai

mispricing.

Kasus ambruknya Long Term Capital Management (LTCM) pada tahun

1998 yang dikelola dua pemenang nobel ekonomi tahun 1997 karena berusaha

mengeksploitasi setiap kali terjadinya mispricing menjadi pelajaran yang paling

berharga. Saat itu, LTCM harus mengalami kerugian sebesar 553 juta US$

hanya dalam satu hari.

Menurut penentang EMH, dengan asumsi-asumsi yang sangat lemah,

model dan teori yang dikembangkan EMH untuk menjelaskan dan memprediksi

fenomena pasar menjadi ikut dipertanyakan.

Page 14: Behavioral Finance
Page 15: Behavioral Finance

Tingkah Laku Investor

Berawal dari anomali dan fakta empiris yang terjadi di pasar modal yang

menunjukkan kegagalan paradigma hipotesa pasar efisien (EMH) dalam

menjelaskan banyak fenomena keuangan, berkembanglah behavioral finance.

Sedikitnya ada enam perbedaan antara EMH dan behavioral finance (BF),

seperti yang diutarakan Thaler (1994) dan Jegadeesh (1995).

Pertama, EMH mengasumsikan semua agen ekonomi akan

memaksimumkan expected utility (kepuasan), sedangkan BF mengasumsikan

individu akan meminimumkan expected regret (penyesalan). Ini persis seperti

pengakuan Markowitz, pemenang nobel ekonomi untuk teori portofolionya, yang

menyatakan kalau dia membagi portofolionya dalam saham dan obligasi sama

besar (masing-masing 50%) karena ingin meminimumkan future regret.

Kedua, EMH bersifat normatif yang mencoba untuk mempredikasi apa

yang belum terjadi (ex ante) sedangkan BF adalah teori positif yang berusaha

untuk menggambarkan apa yang sudah terjadi (ex post).

Ketiga, EMH mengatakan manusia itu bersifat risk averse alias

menghindari risiko. Sifat inilah yang menyebabkan banyak orang di seluruh dunia

membeli produk asuransi dan banyak kas surplus di Indonesia tidak menyukai

investasi di pasar modal dan lebih memilih deposito yang relatif tidak berisiko.

Menurut BF, investor itu sebenarnya bukan risk averse tetapi loss averse.

Ini sesuai dengan teori prospeknya Daniel Kahneman (1979), psikolog pertama

dan satu-satunya yang memenangkan nobel ekonomi pada tahun 2002. Menurut

Kahneman, investor itu risk averse kalau sedang mengalami untung. Tapi kalau

sedang rugi, investor cenderung menjadi seorang risk taker (pengambil risiko).

Contohnya adalah, seorang investor membeli saham pada harga Rp2.000.

Beberapa hari kemudian, katakan harga sahamnya naik menjadi Rp2.200 dan

seorang analis mengatakan kalau di minggu berikutnya, saham itu mempunyai

peluang 50% untuk naik menjadi Rp2.400 dan 50% untuk turun menjadi Rp2.000

lagi. Dihadapkan pada kondisi seperti ini, sebagian besar investor akan risk

averse dan memutuskan untuk menjual saham itu.

Page 16: Behavioral Finance

Dengan merealisasikan keuntungan sebesar Rp200 ini, investor merasa

menang dan menilai keputusan pembelian saham yang dilakukannya tepat.

Alasan lainnya adalah karena decreasing sensitivity, bahwa keuntungan Rp200

berikutnya (dari Rp2.200 menjadi Rp2.400) memberikan kepuasan yang lebih

kecil daripada Rp200 pertama.

Sekarang misalkan keadaan sebaliknya yang terjadi bahwa harga saham

itu beberapa hari setelah dibeli turun menjadi Rp1.800. Analis yang dihubungi

mengatakan kalau ke depan, saham itu berpeluang sama besar untuk naik ke

Rp2.000 atau turun yaitu masing-masing 50%. Dalam situasi seperti ini, hampir

pasti investor akan memilih untuk tidak menjual sahamnya.

Merealisasikan kerugian berarti mengaku salah dan ada rasa malu, jika hal

ini diketahui orang lain. Kahneman menyebut ini sebagai disposition effect. Efek

dan bias ini dialami hampir seluruh investor saham individu di bursa manapun

yaitu sell the winners too soon and hold the losers too long (Shefrin dan Statman,

1985).

Teorema Bayesian Keempat, EMH mengasumsikan manusia itu dapat melakukan prediksi

yang tidak bias yaitu yang sesuai dengan teori Bayes (conditional probability). BF

mengasumsikan sebaliknya bahwa prediksi manusia itu seringnya bias (keliru)

karena tidak memahami konsep probabilita bersyarat dari Bayes. Berikut

ilustrasinya.

Misalkan ada 100 tas yang masing-masing berisi 100 koin. Dari 100 tas itu,

45 tas masing-masing berisi 70 koin hitam dan 30 koin merah. Sementara 55 tas

lainnya berisi sebaliknya yaitu 30 koin hitam dan 70 koin merah. Jika sebuah tas

diambil secara acak, berapa peluang tas itu berisi lebih banyak koin hitam?

Jawabannya 45%.

Sekarang misalkan keadaan berikut. Sebuah tas diambil secara acak dan

dari tas itu diambil 12 koin dengan pengembalian. Dari 12 koin yang terambil itu,

8 berwarna hitam dan 4 berwarna merah. Dengan informasi di atas, berapa

peluang tas yang terambil itu adalah tas yang berisi lebih banyak koin hitam?

Page 17: Behavioral Finance

Ketika Shefrin (2002) melakukan eksperimen ini, dua jawaban yang paling

banyak dia peroleh adalah 45% dan 67% yaitu sekitar 55 persen responden.

Angka 45% berasal dari proporsi awal dan 67% sangat mungkin dari 8/12.

Jawaban sisanya menyebar dan tertinggi adalah jawaban 75%. Tidak ada yang

menjawab benar karena jawaban yang diharapkan adalah 96,04%. Ini

menunjukkan bahwa prediksi manusia itu jauh dari akurat karena tidak

memproses informasi terakhir dengan benar atau tidak berdasarkan teorema

Bayes, sesuai yang dikatakan BF.

Kelima, EMH memandang manusia sebagai pengambil keputusan yang

selalu berdasarkan rational expectation. Sementara BF mengatakan

pengambilan keputusan sering didasarkan pada ekspektasi yang naif atau

normal. Jika EMH mengatakan investor akan mencari return yang optimal, BF

mengesampingkan kemungkinan itu karena investor berusaha untuk

mendapatkan return yang memuaskan. Itulah sebabnya banyak orang Indonesia

cukup puas dengan bunga deposito yang relatif rendah itu.

Terakhir, EMH mengasumsikan manusia adalah makhluk ekonomi yang

rasional (homo economicus) atau rational economic man (REM) dengan profit

sebagai motif utama. Sementara BF melihat banyak aspek lain yang juga

mendasari keputusan seseorang seperti rasa bangga, bersalah, malu, takut,

empati, atau jiwa sosial yang ada dalam diri setiap manusia.

Contohnya, banyak orang melakukan donasi untuk bencana alam tanpa

menyebutkan namanya. Ada juga yang bersusah payah menyelamatkan orang

lain dari bangunan yang terbakar atau yang bersedia melakukan apa saja untuk

menyaksikan keadilan ditegakkan. Asumsi REM tidak dapat menjelaskan

fenomena ini.

Page 18: Behavioral Finance
Page 19: Behavioral Finance

Saham Loser... Anda investor saham langsung? Jika ya, saya dapat memastikan kalau

portofolio Anda saat ini berisi lebih banyak saham rugi (losers) daripada saham

untung (winners). Bukan karena pasar sedang bearish, saya berkesimpulan

demikian. Saat pasar sedang bullish pun, saham losers cenderung disimpan

dalam portofolio seorang investor sementara saham winners sudah dijual untuk

profit taking. Ini terjadi tidak hanya di bursa kita tetapi di bursa lainnya di dunia

dan disebut disposition effect. Saya pun belum sepenuhnya dapat melepaskan

diri dari efek ini. Menurut Shefrin dan Statman (1985), inilah kesalahan utama

investor individual di bursa saham yaitu sell the winners too soon and hold the

losers too long.

Anda masih tidak mau mengakui kalau Anda mengalami bias ini? Silahkan

periksa portofolio Anda. Jika saham losers dalam portofolio Anda lebih banyak

daripada saham winners, tentunya Anda tidak dapat mengelak lagi. Alternatif lain

untuk mengujinya adalah dengan membuka catatan penjualan saham yang telah

Anda lakukan selama setahun terakhir. Jika saham yang sudah Anda lepas

tersebut lebih banyak saham yang untung daripada yang rugi, Anda positif

mengalami disposition effect. Dengan kata lain, Anda lebih banyak

merealisasikan keuntungan daripada kerugian.

Terakhir, masih ada cara lain untuk memastikan Anda terpengaruh efek

ini. Selama tahun ini, silahkan bandingkan keuntungan hasil penjualan saham

Anda (realized gain) dengan keuntungan yang ada dalam portofolio Anda

(unrealized gain). Jika realized gain lebih besar daripada unrealized gain, Anda

terkena efek ini.

Ketika Camerer dan Weber (1998) melakukan penelitian ini, mereka

mendapatkan ketiga pendekatan di atas memberikan hasil yang sama yaitu

mendukung teori disposition effect mereka. Mengapa ini dapat terjadi? Hanya

behavioral finance, dan bukan manajemen investasi atau teori keuangan lainnya,

yang mampu menjelaskan fenomena ini dengan baik. Berikut pandangannya.

Page 20: Behavioral Finance

Loss/regret aversion Berbeda dengan teori keuangan modern yang mengatakan manusia itu

adalah risk averse, behavioral finance menyatakan kalau manusia itu sebenarnya

loss averse, dan bukan risk averse. Buktinya, saat harga sahamnya turun di

bawah harga belinya, investor individual cenderung untuk menahannya dengan

harapan harga sahamnya kembali naik dan kerugian berubah menjadi

keuntungan.

Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan kalau manusia

merasakan kerugian jauh lebih dalam dan lebih lama daripada efek keuntungan

dengan jumlah uang yang sama (Kahneman dan Tversky, 1979). Siapa pun

sepakat kalau kerugian selalu membawa kesedihan dan kekecewaan sementara

keuntungan mendatangkan kepuasan dan kesenangan. Namun, derajat

kesedihan dan kesenangan yang ditimbulkan untuk nilai uang yang sama adalah

berbeda. Dampak kerugian Rp1 juta relatif lebih besar daripada efek keuntungan

Rp1 juta. Dalam bahasa ilmiah, dikatakan kurva kepuasan (utilitas) di daerah

keuntungan adalah konkaf sementara kurva utilitas di daerah kerugian adalah

konveks.

Dalam investasi saham, kerugian berarti salah memilih atau membeli

saham. Merealisasikan kerugian berarti mengakui kesalahan ini. Jika

pengambilan keputusan yang salah ini diketahui orang lain, dampak pengakuan

salah menjadi lebih besar lagi karena ada rasa malu. Orang lain sangat mungkin

akan menilai investor tadi kurang kompeten atau tidak mampu menguasai

keadaan. Pandangan seperti ini cukup menyakitkan dan menurunkan harga diri.

Ini sesuai dengan ajaran ilmu psikologi yang mengatakan manusia cenderung

menilai dirinya sendiri positif, kompeten, dan mampu mengendalikan lingkungan

sekitarnya.

Alasan lain investor tidak bersedia merealisasikan kerugiannya adalah

karena keinginannya untuk meminimumkan future regret, sesuai dengan asumsi

behavioral finance. Memutuskan menjual saham rugi membuka kemungkinan

timbulnya penyesalan yang lebih besar di kemudian hari jika harga saham

kembali naik. Merealisasikan kerugian juga menutup kemungkinan keputusan

Page 21: Behavioral Finance

awal, yaitu pembelian saham, sebenarnya tepat. Bahwa investor tersebut

sesungguhnya kompeten dan menguasai pasar.

Jika kemudian harga saham tersebut naik, investor itu tidak saja menderita

kerugian tetapi juga mengalami penyesalan yang luar biasa besar karena telah

melakukan dua kesalahan berturut-turut. Pertama, membeli saham losers dan

kedua, melepaskannya pada saat yang tidak tepat. Efek keputusan kedua

membawa konsekuensi emosional yang lebih dalam, jauh di atas efek keputusan

pertama. Untuk meminimumkan penyesalan ini, banyak investor mengambil

posisi bertahan dengan saham pecundangnya.

Sebaliknya terjadi untuk saham-saham untung yang dimiliki investor

individual. Ada efek kebanggaan dan kemenangan dalam diri investor karena

telah mengambil keputusan yang tepat dalam memilih dan membeli saham.

Karenanya, tanpa menunggu lama, investor individual pada umumnya akan

segera merealisasikan keuntungannya.

Implikasi dari kedua bias ini adalah, investor individual biasanya

mengalami banyak keuntungan kecil (many small gains) dan hanya sedikit

keuntungan besar (few large gains) di satu sisi; dan banyak kerugian besar

(many large losses) dan sedikit kerugian kecil (few small losses) di sisi lain.

Untuk mengatasi kejadian tak menyenangkan ini, saya menganjurkan

Anda mengikuti nasihat Goldberg dan Nitzsch dalam bukunya behavioral finance

(1995) yaitu tentukan target harga dan strategi stop loss untuk setiap saham.

Pastikan target profit sekitar tiga kali dari maksimum kerugian yang masih dapat

Anda terima. Jika Anda hanya bersedia menanggung kerugian maksimal 20%,

target profit sebaiknya adalah 60%. Let the profits, not the losses, run.

Page 22: Behavioral Finance
Page 23: Behavioral Finance

Coattail Investing

Dalam artikel Harga saham tertekan inflasi beberapa bulan lalu, saya

menuliskan kalau inflasi berhubungan terbalik dengan harga saham. Pada saat

inflasi tinggi, kenaikan harga saham cenderung tertahan dan return relatif rendah,

seperti terjadi di bursa kita tahun 2005 dan tahun ini. Sebaliknya ketika inflasi

rendah pada tahun 2006 dan 2007, harga saham melaju kencang dan return

menjadi tinggi.

Tingkat inflasi sebagai salah satu indikator utama ekonomi makro tidak

disangsikan lagi adalah juga variabel penting penentu harga dan indeks saham

setelah laporan keuangan dan aksi korporasi. Pertanyaannya sekarang, faktor-

faktor apa lagi yang juga ikut memengaruhi harga dan indeks saham di bursa

kita.

Mengamati tingkah laku para investor di BEI, saya mengidentifikasi

sedikitnya ada tiga faktor lain yaitu aliran bersih dana investor asing di bursa,

nilai tukar rupiah, dan indeks regional. Untuk membuktikan dugaan ini, saya

mengadakan penelitian sederhana menggunakan data harian IHSG sebagai

variabel dependen dan ketiga variabel di atas sebagai variabel independen

selama dua puluh dua bulan (Januari 2006 – Oktober 2007).

Aliran bersih dana investor asing didefinisikan sebagai selisih aksi beli dan

aksi jual investor asing di BEI. Jika mereka membeli lebih banyak (sedikit)

daripada menjual, nilai variabel ini akan positif (negatif). Untuk indeks regional,

saya menggunakan indeks Hang Seng dari bursa Hong Kong sebagai proksi

karena beberapa alasan.

Pertama, bursa Hong Kong adalah bursa saham terkemuka yang paling

dekat dengan Indonesia secara geografis dengan perbedaan waktu hanya 1 jam.

Bursa saham besar lainnya lebih jauh dengan perbedaan waktu 2 jam (Tokyo)

hingga 12 jam (New York). Kedua, sama seperti IHSG, indeks Hang Seng

berdasarkan nilai kapitalisasi saham sedangkan Dow Jones (DJIA) dan Nikkei

225 adalah indeks berdasarkan harga saham yang dihitung dari sampel 30

saham utama di bursa New York dan dari 225 saham utama di bursa Tokyo.

Page 24: Behavioral Finance

Ketiga, kapitalisasi pasar BEI juga lebih dekat dengan bursa Hong Kong

daripada dengan bursa Tokyo atau bursa terbesar dunia yaitu New York.

Terakhir, bursa saham Tokyo sebagai bursa saham terbesar Asia yang

mengalami bearish selama hampir 20 tahun terakhir, tidak tepat untuk dijadikan

benchmarking karena sangat berbeda dengan bursa saham kita yang bullish

pada tahun 2003 – 2007. Kita ketahui bersama kalau Nikkei 225 yang sempat

menyentuh angka 39.000 pada tahun 1989, sekarang hanya bertengger di

13.000-an atau tinggal sepertiganya saja.

Berhubungan positif Sesuai dugaan awal, hasil penelitian yang sudah saya presentasikan di 2nd

Doctoral Journey in Management dan di hadapan Tim Studi Aliran Dana Asing

Bapepam – LK bulan Juni 2008 lalu, atas undangan mereka, menunjukkan ketiga

variabel itu berhubungan signifikan positif (pada α = 1%) dengan pergerakan

IHSG. Jika kurs rupiah melemah, katakan dari Rp9.100 menjadi Rp9.200 per

USD, IHSG pada hari yang sama juga cenderung melemah. Walaupun harga

saham menjadi lebih murah dalam USD karena depresiasi rupiah, investor asing

justru melakukan lebih banyak aksi jual daripada aksi beli.

Penjelasan yang masuk akal untuk fenomena ini adalah kurs rupiah

merupakan indikator ekonomi makro yang mencerminkan permintaan rupiah di

pasar uang internasional. Permintaan rupiah yang tinggi (rendah) mencerminkan

optimisme (pesimisme) pasar. Saat rupiah mengalami apresiasi (depresiasi)

berarti permintaan akan rupiah tinggi (rendah) dan pasar uang internasional

optimis (pesimis) terhadap perekonomian kita. Investor di bursa pun akan ikut

optimis (pesimis) dan pasar menjadi bullish (bearish).

Hubungan positif antara IHSG dengan indeks Hang Seng dan aliran dana

asing dari hasil penelitian ini mengkonfirmasi tingkah laku sehari-hari para

investor di BEI. Bahwa mereka umumnya melakukan herding (berkelompok)

dalam keputusan investasinya. Yang sering menjadi acuan mereka adalah

indeks bursa dunia seperti Hang Seng dan lainnya serta aksi para investor asing

di BEI.

Page 25: Behavioral Finance

Karenanya, saat bursa besar dunia bergerak positif (negatif), bursa kita

juga ikut positif (negatif). Walaupun transaksi investor asing hanya sekitar 25%

dari pasar, saat mereka melakukan aksi beli (jual), investor domestik ikut

membeli (menjual). Di mata investor domestik, investor asing diakui mempunyai

dana besar dan menguasai dua pertiga kapitalisasi pasar BEI. Mereka juga

dipandang mempunyai analisis fundamental yang lebih baik. Pandangan ini tidak

selalu benar dan sangat mungkin terjadi hanya di beberapa negara berkembang

saja.

Dari sisi behavioral finance, fenomena di atas menunjukkan dua poin

penting. Pertama, banyak investor di BEI percaya pada analisa teknikal dan

momentum pasar. Bahwa saham yang harganya naik (turun) akan terus naik

(turun). Ini sesuai dengan proposisi Bernard & Thomas (1989) dan Jegadeesh &

Titman (1993) bahwa harga saham cenderung meneruskan kenaikan dan

penurunannya dalam 6-12 bulan.

Kedua, investor di BEI umumnya tidak berani menyimpang dari pola

umum. Jika suatu saham, atau pasar saham secara keseluruhan, diburu

(dihindari) investor besar, mereka akan turut mengejar (melepas) saham.

Melawan sentimen pasar global dan aksi investor asing dinilai berisiko dan dapat

menimbulkan penyesalan besar (future regret) di kemudian hari.

Untuk meminimalkan regret ini, mereka menerapkan strategi follow the

smart money yaitu mengekor bursa dunia dan aksi investor asing. Strategi

investasi seperti ini membawa efek destabilisasi di pasar dan dapat

menyebabkan harga saham semakin menjauhi nilai fundamentalnya.

Kini Anda paham kalau IHSG itu dipengaruhi banyak faktor yaitu laporan

keuangan emiten, inflasi, aksi korporasi, aliran dana asing, kurs, dan indeks

regional.

Page 26: Behavioral Finance
Page 27: Behavioral Finance

Hati Panas, Kepala Dingin

Dalam bukunya Beyond Greed and Fear (2002), Shefrin menuliskan kalau

praktisi keuangan kerap melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.

Beberapa kesalahan itu berharga mahal. Itulah sebabnya dia sangat

menganjurkan praktisi keuangan meluangkan waktu untuk mempelajari

behavioral finance, cabang ilmu keuangan yang akan sangat membantu para

pelaku pasar mengenali kesalahan-kesalahan yang dilakukan dirinya dan orang

lain.

Dengan memahami bias-bias ini, investor akan menjadi rasional. Tidak

hanya untung, tetapi untung besar dan bukan untung kecil. Kalaupun rugi, hanya

rugi kecil dan jarang rugi besar. Benarkah investor banyak yang irasional dan

apa buktinya? Behavioral finance mengatakan ya dan ada sederet bukti yang

mampu dikumpulkannya. Di kolom ini sejatinya saya sudah menceritakan

beberapa kesalahan itu. Namun, masih lebih banyak yang belum dituliskan.

Diantara kesalahan itu adalah efek disposisi yang dikemukakan Shefrin

dan Statman (1985) yang pernah saya utarakan tahun lalu dalam artikel Pepesan

kosong dalam portofolio. Karena tidak menyadari bias ini, banyak investor

melakukan kesalahan menjual saham untung (winners) terlalu cepat dan

memegang saham rugi (losers) terlalu lama. Akibat kesalahan ini, investor

mengalami banyak keuntungan kecil tetapi sedikit keuntungan besar dan banyak

kerugian besar tetapi sedikit kerugian kecil. Investor seperti ini dapat dipastikan

akan penuh penyesalan karena telah salah menerapkan strategi. Bukannya

membiarkan laba mengalir, dia malah membatasi keuntungan dan membiarkan

kerugian mengimpit dirinya.

Untuk mengatasi kelemahan ini, Goldberg dan Nitzsch (1995)

menasihatkan para investor untuk menentukan target harga dan strategi stop

loss untuk setiap saham. Pastikan target profit minimal tiga kali dari maksimal

kerugian yang masih dapat Anda terima. Jika Anda hanya bersedia menanggung

kerugian maksimal 20%, target profit sebaiknya 60% atau lebih.

Page 28: Behavioral Finance

Pilih angka Contoh lain tentang irasionalitas manusia adalah permainan memilih

angka yang diperkenalkan Martin Shubik (1971). Pada awal 1997, Financial

Times mengadakan kontes ini dengan hadiah dua tiket British Airways rute New

York atau Chicago-London pulang pergi untuk pemenangnya. Para pembaca

diminta untuk memilih bilangan bulat antara 0 dan 100. Pemenangnya adalah

yang memilih dua pertiga (atau yang paling mendekati) dari rata-rata angka yang

dipilih seluruh peserta.

Untuk membantu pembaca memahami kontes ini, harian itu memberikan

contoh singkat. Jika ada lima orang yang ikut dan masing-masing memilih angka

10, 20, 30, 40, dan 50, maka rata-rata adalah 30 dan yang menjadi pemenang

adalah yang memilih dua pertiganya yaitu 20. Apa pesan dari permainan ini?

Bahwa untuk menang, Anda perlu memahami bagaimana keputusan

peserta lain. Jika menurut Anda, orang lain rata-rata akan memasukkan angka

20, Anda harus memilih dua pertiganya yaitu 14. Tetapi jika Anda yakin orang

lain juga mempunyai pemikiran yang sama seperti Anda, maka rata-rata akan

menjadi 14 dan pemenangnya adalah yang memilih angka 10. Jika Anda

meneruskan logika berhitung ini, Anda akan sampai pada angka 1. Yang rasional

mestinya memilih angka 1.

Kenyataannya, dalam kelompok yang terdiri atas orang-orang

berpendidikan tinggi sekalipun, angka kemenangan bukan 1. Dalam kontes yang

diselenggarakan Financial Times di atas, angka kemenangan ternyata 13. Ini

menunjukkan bahwa sebagian besar orang tidak rasional sehingga membuat

kesalahan dalam pilihannya. Jika semua orang rasional, angka kemenangan

adalah 1.

Lelang uang Permainan rasionalitas yang hampir sama adalah lelang dolar yang

dilakukan Max Bazerman dalam bukunya Smart Money Decisions (1999).

Kepada para mahasiswanya, dia melelang uang kertas $100 yang ada di

dompetnya. Siapa yang menawar tertinggi akan memperoleh uang itu. Bazerman

hanya mensyaratkan lelang diikuti minimal dua orang dengan harga awal $5 dan

Page 29: Behavioral Finance

kelipatan $5 di atasnya. Berbeda dengan lelang lainnya, dia mengharuskan

peserta yang menawar tertinggi kedua juga membayar harga tawarannya tanpa

mendapatkan uang itu. Jika Andi menawar $15 dan Beni menawar $20, dan Andi

serta yang lainnya tidak ada yang berani menawar lebih besar lagi, maka Beni

akan menang. Dia akan memperoleh uang $100 itu dengan harga $20 dan Andi

sebagai penawar tertinggi kedua harus membayar Bazerman $15.

Dalam banyak kesempatan, penawaran berlangsung sangat cepat untuk

mencapai kisaran $70. Di sekitar tawaran ini biasanya peserta yang lain, kecuali

dua penawar tertinggi, akan mundur. Pilihan yang tersedia untuk kedua orang

yang terjebak ini hanya menaikkan tawaran agar tidak kalah atau menerima

kerugian sebagai penawar tertinggi kedua. Dua orang terakhir ini akan terus

bersaing hingga melampaui $100. Diluar dugaan kita semua, tidak ada yang mau

mengalah sehingga sangat sering uang $100 itu ditawar di atas $100 dengan

rekor tertinggi $505 dalam sepuluh tahun eksperimen Bazerman.

Kelas pun riuh dengan sorakan setiap kali tawaran menembus $100

karena menyadari para penawar telah bertindak irasional. Selama satu dekade,

Bazerman menang lebih dari $20.000 yang tidak digunakan untuk dirinya tetapi

untuk konsumsi makanan dan minuman para mahasiswanya di kelas dan

kegiatan amal. Inilah salah satu contoh jebakan uang yang mendorong orang

menjadi irasional. Dua kesalahan sekaligus dilakukan dua peserta terakhir.

Pertama, mereka gagal mempertimbangkan keputusan pihak lain. Kedua,

mereka melupakan tujuan utama dan berubah menjadi ingin mengalahkan lawan

tanpa memperhitungkan untung-rugi.

Tip dari saya, jebakan uang seperti di atas sungguh ada di sekitar kita dan

hadir dalam berbagai kemasan yang menarik. Bijak dan rasionallah dalam

menghadapinya.

Page 30: Behavioral Finance
Page 31: Behavioral Finance

Behavioral Finance, Sudah Waktunya!

Dalam artikel tentang ilmu finansial dulu dan sekarang, saya mengatakan

kalau salah satu ilmu keuangan yang sedang berkembang pesat adalah

behavioral finance dan sayangnya, baru ada satu-dua perguruan tinggi kita yang

sudah menawarkan mata kuliah ini. Itu pun untuk tingkat magister dan doktoral.

Kondisi ini sangat berbeda dengan di negara maju yang sudah

menawarkannya di hampir semua sekolah keuangan terkemukanya. Beberapa

universitas seperti Universitas Mannheim di Jerman bahkan sudah mempunyai

lembaga atau pusat studi khusus untuk behavioral finance. Apa itu persisnya

behavioral finance (BF), dan perbedaannya dengan ilmu keuangan tradisional?

Aplikasi psikologi Sejatinya, BF dibangun dari dua disiplin ilmu yaitu psikologi dan keuangan.

BF sering didefinisikan sebagai aplikasi ilmu psikologi dalam memengaruhi

tingkah-laku keuangan. Sebelumnya, dalam keuangan tradisional, tidak ada

usaha untuk melihat perilaku keuangan dari sudut psikologi padahal psikologi itu

adalah dasar dari keinginan dan motivasi manusia sekaligus sumber kekeliruan

manusia akibat salah persepsi, kepercayaan diri berlebihan, dan emosi.

Kesalahan (error) dan kekeliruan (bias) ini nyatanya melanda seluruh aspek

keuangan dan memengaruhi semua pelaku pasar.

Sebagai ilmu baru, BF menarik banyak peminat, tidak hanya di kalangan

akademisi tetapi juga di kalangan praktisi karena banyaknya konsep BF yang

dapat diaplikasikan. Makalah-makalah tentang BF juga secara rutin muncul dan

dipresentasikan di jurnal, seminar, dan simposium ilmiah keuangan bergengsi.

Artikel-artikel populer BF juga secara tetap dimuat di harian-harian

terkemuka seperti Wall Street Journal dan New York Times sejak Januari 2002.

Financial Times bahkan pernah menyediakan rubrik khusus untuk pembahasan

BF. Beberapa TV di AS pun tidak ketinggalan dalam mendedikasikan

programnya untuk diskusi mengenai BF.

Page 32: Behavioral Finance

Lembaga-lembaga keuangan juga semakin banyak yang menerapkan

konsep-konsep behavioral. Di barisan paling depan ada Fuller & Thaler,

Martingale, LSV, dan Dreman. Selain itu, masih ada American Skandia, Goldman

Sachs, Merrill Lynch, dan Vanguard. Tidak hanya di AS, lembaga-lembaga

keuangan yang ada di Eropa juga ramai-ramai menerapkan strategi behavioral

dalam mengelola dananya seperti KBC, ABN Amro, J.P. Morgan Fleming, dan

Robeco.

Namun demikian, masih ada saja orang yang salah persepsi kalau BF itu

adalah ilmu keuangan untuk mengalahkan pasar. Karena itu, Shefrin (2002)

merasa perlu mengingatkan investor untuk tidak memahami BF setengah-

setengah. BF harus dipahami secara lengkap dan investor tidak boleh

melupakan bagian terpenting dari BF yaitu pengakuan adanya risiko sentimen

investor atau risiko karena faktor psikologis, yang kadang lebih besar daripada

risiko fundamental. BF menekankan bahwa walaupun investor belajar dari

pengalaman, mereka umumnya belajar dengan lambat.

Banyak analis mengubah pandangannya tentang pasar dari positif menjadi

netral atau bahkan negatif hanya karena perubahan psikologis investor, tanpa

ada perubahan fundamental sama sekali. Contoh nyata di Indonesia adalah

perubahan sentimen pasar terhadap saham BUMI belum lama ini. Saham ini

pernah direkomendasikan untuk dikoleksi karena berpotensi menembus harga

Rp10.000 atau bahkan Rp12.000 menurut beberapa valuasi. Namun, akibat

sentimen negatif investor di bursa, saham ini justru menyentuh harga

terendahnya dalam empat tahun terakhir yaitu Rp640 November lalu.

Tiga perbedaan Ada tiga tema utama yang membedakan BF dari ilmu keuangan dan

investasi tradisional. Pertama, BF mengakui kalau praktisi keuangan acap

melakukan kesalahan karena menggunakan aturan praktis (rule of thumb)

sebagai pegangan dalam memroses data. BF menyebut ini sebagai bias

heuristic. Goldberg dan Nitsch (2001) mendefinisikan heuristic sebagai aturan

atau strategi dalam memroses informasi untuk mendapatkan solusi yang cepat

namun belum tentu optimal.

Page 33: Behavioral Finance

Menurut ilmu psikologi, manusia hanya dapat memroses paling banyak

tujuh macam informasi secara bersamaan. Heuristic digunakan ketika manusia

dikelilingi setumpuk informasi atau saat tidak punya waktu untuk memroses

informasi secara keseluruhan. Heuristic juga sering dipilih ketika sebuah masalah

dianggap tidak penting atau ketika orang tidak mempunyai pengalaman

sebelumnya untuk menyelesaikan sebuah persoalan tertentu (Aronson 1994).

Contoh kekeliruan atau bias heuristic investor adalah pemikiran bahwa

kinerja masa lalu adalah indikator paling baik untuk kinerja masa depan,

sehingga reksa dana yang berprestasi terbaik di masa lalu adalah yang paling

layak beli. BF menyebut bias seperti ini sebagai representativeness bias.

Keuangan tradisional tidak mengakui ini karena mengasumsikan semua investor

dapat menggunakan informasi dan alat-alat statistik dengan benar dan

semestinya.

Kedua, BF berbeda dari keuangan tradisional dalam memandang bentuk

(form) atau penyajian data/informasi (framing). Menurut BF, form dan framing

sama pentingnya dengan isi (substance). Keuangan tradisional memandang form

dan framing tidak penting. Maksudnya, urutan, cara penyajian, dan penggunaan

kata-kata tidak akan diperhatikan investor karena pelaku pasar hanya akan

mempertimbangkan substance.

Contohnya, ketika diminta untuk cut loss, banyak investor tidak mau

melakukannya. Tetapi jika dinasihatkan untuk transfer your asset, investor yang

sama sangat mungkin bersedia menuruti.

Ketiga, BF menilai bias heuristic dan efek framing pada akhirnya akan

menyebabkan harga menyimpang dari nilai fundamentalnya dan pasar menjadi

inefisien. Sebaliknya, keuangan tradisional mengatakan, walaupun ada bias

heuristic dan efek framing, pasar akan tetap efisien.

Page 34: Behavioral Finance
Page 35: Behavioral Finance

Siap Menyesal dalam Berinvestasi

Jika portofolio Anda sepanjang tahun lalu sebagian besar masih dalam

saham atau reksa dana saham, siapa pun Anda dan sudah berapa banyak pun

jam terbang Anda sebagai investor saham, saya dapat pastikan ada rasa

penyesalan pada diri Anda.

Mereka yang baru mulai berinvestasi saham setahun terakhir akan

merasakan penyesalan yang paling besar karena belum pernah merasakan

keuntungan. Yang sudah menjadi investor saham sejak 2007 juga menyesal

cukup dalam. Mereka telah mengalami gurihnya capital gain sepanjang tahun

2007 namun karena optimisme diri dan sentimen positif yang melanda pasar,

mereka tidak mengurangi portofolio sahamnya tetapi mungkin justru

menambahnya.

Penyesalan yang sama juga dialami para investor yang sudah ada di

pasar saham sejak tahun 2006 atau sebelumnya dengan kadar yang lebih ringan

dan berbeda-beda. Mereka yang sempat mengurangi portofolionya di tahun 2007

atau di semester pertama tahun 2008 lalu mungkin masih bisa sedikit tersenyum.

Sementara yang sama sekali belum sempat profit taking dalam dua tahun

terakhir hanya dapat geleng-geleng kepala melihat terus merosotnya indeks.

Terakhir, para investor yang sudah berkiprah tahunan di bursa namun dalam

setahun atau dua tahun terakhir malah menyetor dana tambahan untuk

meningkatkan portofolio sahamnya akan sangat bersedih dan hanya mampu

menunduk lesu.

Harus siap menyesal Sehubungan dengan penyesalan dalam berinvestasi saham

sesungguhnya tidak terjadi hanya pada periode bearish seperti saat ini. Dalam

keadaan pasar sedang bullish pun, fenomena ini kerap terjadi seperti pengakuan

seorang kawan dekat saya, seorang pengajar di lain fakultas di UI. Masuk ke

pasar saham pada saat yang tepat yaitu di awal tahun 2003 ketika IHSG masih

Page 36: Behavioral Finance

tidak jauh dari angka 400, sekitar belasan bulan kemudian portofolio sahamnya

melonjak 100%.

Mendengar pencapaian return yang luar biasa ini, kawan-kawannya

banyak yang tergiur untuk mengikuti jejaknya. ”Hampir setiap hari ada saja rekan

pengajar yang datang atau menelpon saya meminta tip dan nasihat praktis untuk

sukses berinvestasi saham,” tuturnya. Daripada melayani mereka satu per satu,

dikumpulkanlah teman-temannya ini pada suatu hari. Seperti sudah diduga,

salah satu pertanyaan utama dalam pertemuan itu adalah, ”Apa kesan dan

pesan Bapak sebagai investor saham untuk kami yang tertarik dan baru akan

memulai?” Kawan dekat saya itu pun bercerita panjang lebar dan menjawab

pertanyaan itu dengan jujur berdasarkan pengalaman pribadinya. Jawabannya

kurang lebih sebagai berikut.

”Bermain saham itu penuh penyesalan. Menjual saham yang sudah

untung yang kita miliki, kita menyesal karena harganya terus naik sesudah kita

menjualnya. Tidak menjualnya juga kadang menimbulkan penyesalan jika

kemudian ternyata harga saham itu merosot. Itu baru soal keputusan jual.

Keputusan beli pun sama dan ini sangat sering saya alami.

Beberapa kali saya sudah berencana untuk membeli saham tertentu pada

pagi hari tetapi karena pagi itu saya harus mengajar atau menguji, saya menjadi

tidak sempat melakukannya. Ketika sudah sempat di sekitar jam makan siang,

saya hanya bisa gigit jari mengetahui harga saham yang saya incar itu sudah

naik 20% hanya dalam beberapa jam. Saya pun tidak jadi membelinya dan cuma

bisa sedih meratapi nasib yang kurang beruntung. Untuk itu, hanya ada satu

pesan saya kepada Bapak/Ibu yang sedang mempertimbangkan menjadi

investor saham. Mereka yang tidak bersedia atau tidak siap mengalami banyak

penyesalan kurang cocok menjadi investor saham. Silakan persiapkan diri

Bapak/Ibu jika dapat hidup berdampingan dengannya,” ceritanya.

Dua macam Sejatinya, tidak ada yang aneh atau baru dalam kisah nyata di atas karena

literatur behavioral finance (BF) sudah menuliskan fenomena ini sejak dulu. BF

menyebutnya sebagai bias penyesalan (regret bias), salah satu dari sekian

Page 37: Behavioral Finance

banyak bias yang sudah diidentifikasi BF. Ada dua macam penyesalan yang

biasa dialami investor saham. Yang pertama disebut error of commission atau

penyesalan yang timbul akibat investor mengambil aksi tertentu (action) yang

ternyata salah. Sedangkan yang kedua adalah error of omission yaitu

penyesalan karena investor tidak mengambil aksi tersebut (inaction).

Contohnya adalah seorang investor ditawari pemesanan saham sebuah

perusahaan saat initial public offering (IPO). Dalam kondisi ini, dia mempunyai

dua pilihan yaitu ikut memesan saham atau tidak ikut. Kemungkinan yang akan

terjadi juga ada dua yaitu IPO sukses dan harga saham melejit atau IPO gagal

dan harga saham merosot.

Tidak akan ada penyesalan investor jika dia jadi memesan saham dan IPO

sukses atau dia tidak jadi memesan dan IPO gagal. Penyesalan baru akan timbul

dalam kasus investor tadi jadi memesan saham tetapi IPO gagal (harga jatuh).

Dalam kondisi seperti ini, semua investor dalam hatinya pasti akan berkata,

”Mestinya saya tidak ikut memesan saham itu.” Inilah yang disebut error of

commission yaitu penyesalan sudah bertransaksi atau membeli tetapi ternyata

keputusan ini salah.

Rasa menyesal juga akan muncul jika investor tidak jadi memesan saham

tetapi IPO sukses (harga melonjak). Investor tersebut tentu sangat menyesali

tindakan bodohnya melewatkan kesempatan emas ini. BF menyebutkan

penyesalan yang bersumber dari tidak jadi bertransaksi ini sebagai error of

omission.

Lebih lanjut, BF menjelaskan kalau kadar penyesalan dalam error of

commission lebih kuat daripada dalam error of omission. Error of commission itu

lebih terasa karena ada transaksi. Tip dari saya, jangan terlalu sering memelototi

pergerakan harga saham, cukup beberapa kali dalam sebulan. Mengikuti pasar

saham terus menerus akan membuat Anda bertransaksi lebih sering yang

berakibat tingginya biaya transaksi dan juga banyaknya penyesalan.

Page 38: Behavioral Finance
Page 39: Behavioral Finance

Semua Serba Relatif

Dari pelajaran bahasa Indonesia di sekolah menengah, Anda tentu masih

ingat bahwa hampir semua kata sifat dapat dibandingkan sehingga kita

mempunyai istilah bagus, lebih bagus, dan paling bagus. Dari ilmu fisika kita juga

belajar bahwa cahaya bersifat saling mengalahkan. Lilin memberikan cahaya

yang sangat berarti ketika listrik mati dan tidak ada sumber penerangan lain.

Namun, ketika listrik menyala, cahaya lilin tidak berarti. Cahaya listrik di suatu

tempat pun menjadi sia-sia jika pada saat yang sama tempat itu mendapatkan

sinar matahari.

Contoh lainnya adalah sebuah burung yang bernyanyi di sebuah kebun

atau sawah yang sunyi dapat terdengar dengan jelas, sementara jika burung itu

bernyanyi di lingkungan sebuah pabrik atau di sekitar jalan tol, suaranya nyaris

tak terdengar. Kedua contoh ini menunjukkan kalau persepsi umumnya bersifat

relatif dan bukan absolut. Kejadian alam yang sama mempunyai efek yang

berbeda, tergantung tempat dan latar belakangnya.

Eksperimen klasik dalam fisika mengenai penilaian secara relatif ini adalah

tentang tiga baskom. Baskom pertama berisi air dingin, baskom kedua air

hangat, dan yang ketiga air panas. Dua kelompok terpisah dibentuk. Kelompok

pertama diminta mencelupkan tangannya ke air dingin sebelum memasukkannya

ke baskom air hangat. Sementara kelompok kedua memulainya dari air panas,

dan kemudian merendam tangannya di air hangat. Kelompok pertama ternyata

merasakan air hangat sebagai panas, sedangkan kelompok kedua justru

menyatakan air hangat itu sebagai dingin. Pengalaman sebelumnya terbukti

memengaruhi persepsi dan penilaian seseorang.

Pengalaman menentukan Keputusan keuangan para investor juga bersifat relatif. Baik terhadap

alternatif lain maupun terhadap pengetahuan, latar belakang, lingkungan, dan

pengalamannya. Jika seseorang tidak memahami apa itu saham dan obligasi,

kedua alternatif investasi itu tentunya luput dari perhatiannya dan kalah menarik

Page 40: Behavioral Finance

dibandingkan deposito. Jika orang tua, keluarga besar, dan sanak saudara Anda

tidak ada yang berinvestasi dalam reksa dana karena produk ini baru ada di

Indonesia sejak tahun 1996, sangat masuk akal jika Anda tidak tertarik.

Jika lingkungan rumah dan kantor seseorang tidak ada yang berinvestasi

dalam saham dan obligasi, hampir pasti dia pun tidak menilai positifnya menjadi

investor saham dan obligasi. Jika Anda pernah mengalami kerugian saham

hingga 75% dalam setahun, menyaksikan penurunan nilai portofolio 40% menjadi

sesuatu yang biasa. Demikian juga jika Anda punya pengalaman meraup

keuntungan saham hingga 50% lebih dalam beberapa bulan, melihat kenaikan

portofolio 25% setahun menjadi tidak terlalu menggembirakan.

Jika Anda terbiasa dengan gurihnya saham dan obligasi, return deposito

yang hanya sekitar tingkat inflasi jauh dari target Anda. Jika Anda pernah

menjual sebuah saham seharga Rp500 beberapa bulan lalu, Anda kemungkinan

besar tidak akan membelinya kembali pada harga Rp700. Jika Anda belum

menjual seluruh saham itu, Anda mungkin tidak bersedia menjual sisanya pada

harga Rp400.

Pada suatu kesempatan di tahun 2007 lalu, saya diminta BEJ untuk

menjelaskan mekanisme dan menariknya investasi di pasar modal kepada

publik. Melihat saya begitu menikmati investasi di saham dan obligasi,

bertanyalah seorang peserta. “Bagaimana caranya agar saya dapat melepaskan

diri dari trauma kerugian besar investasi saham saat krisis tahun 1998 lalu dan

apa yang Bapak lakukan untuk mengurangi risiko besar yang terkandung dalam

saham?”

Sejatinya, menghapuskan sepenuhnya pengalaman masa lalu tidaklah

mudah karena konsep relatif di atas. Saya hanya mengatakan kalau yang bijak

akan selalu melihat adanya peluang di balik semua risiko. Seorang rekan

investor malah pernah menasihatkan saya bahwa tidak ada investor piawai yang

tidak pernah mengalami kerugian signifikan. Tetapi tidak semua investor yang

pernah rugi besar akan menjadi investor yang hebat. Bukannya menyerah kalah,

kita justru harus menilai positif kerugian material sebagai kesempatan untuk

dapat menjadi investor yang penuh kalkulasi, tidak ikut-ikutan, dan lihai.

Page 41: Behavioral Finance

Jika saat ini, sama seperti tahun 1998 lalu, Anda tidak membutuhkan dana

tunai, saran saya Anda tidak melepaskan saham-saham unggulan Anda tetapi

justru meningkatkan portofolio Anda, jika tersedia dana yang tidak akan terpakai

dalam beberapa tahun ke depan. Contohnya, saham Astra yang harganya hanya

sekitar Rp250 pada September 1998 kini berharga belasan ribu rupiah.

Itu juga nasihat yang kerap saya berikan kepada beberapa rekan investor

yang bertanya dan persis dengan yang dikatakan Buffet, ”Be greedy when others

are fearful and be fearful when others are greedy.”

Alokasi aset Menjawab pertanyaan kedua, saya merasa lebih kompeten. Memahami

besarnya risiko saham, saya menganjurkan siapa pun untuk tidak menaruh

100% dananya dalam saham. Simpanlah dana sebesar 3-6 bulan pengeluaran

bulanan Anda dalam tabungan atau reksa dana pasar uang. Silakan membagi

dana yang tersisa dalam saham dan obligasi. Jika Anda sanggup menghadapi

penurunan nilai hingga 90% dari investasi Anda, silahkan masukkan sekitar 75%-

90% dalam saham. Jika tidak, kurangi bobot saham Anda menjadi maksimal

50%-65%.

Untuk meminimumkan penyesalan, Markowitz sebagai penemu teori

portofolio ternyata juga membagi dananya sama besar dalam saham dan

obligasi. Saya pun melakukan yang sama. Bobot saham dalam portofolio saya,

selama dua tahun terakhir tidak pernah lebih dari 65% dan lainnya dalam obligasi

US$. Ketika teman-teman saya yang dananya hampir 90% dalam saham

mengalami kerugian hingga 55%-70% dari portofolionya tahun lalu, saya hanya

mengalami kerugian kurang dari sepertiganya karena investasi dolar saya

memberikan kupon dan capital gain hingga 25%.

============================================================