Behavioral Finance
-
Upload
tamlikho-ahmad -
Category
Documents
-
view
579 -
download
11
Transcript of Behavioral Finance
BEHAVIORAL FINANCE
SUDAH WAKTUNYA!
Kumpulan Artikel – Seri 5
Budi Frensidy
Jakarta, 2010
BEHAVIORAL FINANCE, SUDAH WAKTUNYA!
Kumpulan Artikel – Seri 5
oleh Budi Frensidy
Editor : Budi Frensidy
Tata Letak & Desain Sampul : Tim Evolitera
PT Evolitera
EvoHackSpace –Ruko Kayu Putih
Jalan Kayu Putih IV Blok D, No. 1, 3rd floor
East Jakarta 13260, INDONESIA
Diterbitkan di
www.evolitera.co.id
oleh
PT Evolitera
Jakarta, 2010
© Budi Frensidy, 2010
UNDANGUNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA Lingkup Hak Cipta Pasal 2
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta Hak Cipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang‐undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana Pasal 73:
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing‐masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,‐ (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,‐ (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,‐ (lima ratus juta rupiah).
Do you have an exciting imagination?
Do you have a blog that you want to compilate?
Or, do you have a script you want to publish but don’t know how?
Just publish it with us!
www.evolitera.co.id
By publishing with us, you have the opportunity to get
advertisement income and donation
Dari Editor
Buku ini adalah kumpulan tulisan oleh Budi Frensidy yang pernah
dipublikasikan melalui media massa (surat kabar) tingkat nasional.
Dalam tulisan‐tulisan beliau, Anda dapat memahami pasar fnansial dan pasar
modal, cara‐cara berinvestasi yang cerdas, sampai dengan mengelola
keuangan dan investasi pribadi secara cermat dan tepat.
Seri Ke‐4 ini membahas dasar pemahaman tentang behavioral finance di dalam
dunia pasar modal, dan memuat 8 artikel.
Budi Frensidy, S.E., M.Com, Akt.
Adalah seorang pengajar di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, dengan mata ajar
Matematika Keuangan serta Manajemen Investasi.
Tidak sedikit karya tulis yang dihasilkan, baik
artikel‐artikel di surat kabar terkemuka tingkat
nasional, buku‐buku teks kuliah, serta jurnal ilmiah
tingkat internasional.
(Profil lengkap dapat dilihat di sini)
DAFTAR ISI
Ada Apa dengan Efficient Market Hypothesis?
Tingkah Laku Investor
Saham Loser...
Coattail Investing
Hati Panas, Kepala Dingin
Behavioral Finance, Sudah Waktunya!
Siap Menyesal dalam Berinvestasi
Semua Serba Relatif
Ada Apa dengan Efficient Market Hypothesis?
Hipotesa pasar efisien atau efficient market hypothesis (EMH) adalah
salah satu proposisi utama dalam ilmu keuangan selama lebih dari tiga puluh
tahun. Hipotesa ini dimulai dari pandangan Milton Friedman (1953) yang
mengatakan, ”Prices are right, there is no free lunch.” Samuelson (1965) dan
Mandelbrot (1966) juga berpendapat sama setelah mereka membuktikan harga
sekuritas bergerak secara acak (random) dan return tidak dapat diprediksi.
Fama (1970) dalam artikel klasiknya mengenai EMH mendefinisikan pasar
efisien sebagai pasar sekuritas yang harganya mencerminkan informasi yang
tersedia. Secara radikal, EMH mengesampingkan kemungkinan adanya sistem
perdagangan atau strategi yang dapat menghasilkan keuntungan yang abnormal.
Dalam bahasa sederhana, EMH mengatakan tidak ada investor yang mampu
mengalahkan pasar secara konsisten.
Waktu, biaya, dan energi yang didedikasikan untuk menganalisa dan
memilih sekuritas hanya akan sia-sia. Excess return sangat sulit untuk diperoleh,
sementara biaya transaksi (komisi dan spread) harus dibayar. Analisa teknikal
yang dilakukan investor aktif tidak akan dapat memberikan return di atas pasar
dan kinerja portofolio investor pasif yang akan lebih baik.
Asumsi EMH Tiga asumsi mendasari EMH. Pertama, investor diasumsikan rasional dan
karenanya akan menilai semua sekuritas secara rasional. Kedua, jika ada
investor yang tidak rasional, kehadiran mereka akan bersifat acak (random).
Karenanya, mereka akan saling meniadakan tanpa memengaruhi harga sekuritas
di pasar. Ketiga, kalaupun para investor itu tidak mengambil posisi yang saling
berlawanan tetapi bertransaksi dalam arah yang sama, para arbitrageur akan
datang untuk menetralkan mereka. Arbitrageur akan menghilangkan pengaruh
para investor irasional itu pada harga sekuritas di pasar.
Investor yang rasional akan menilai setiap sekuritas sesuai nilai
fundamentalnya yaitu sebesar present value dari aliran kas di masa datang
dengan menggunakan tingkat diskonto yang sesuai dengan risikonya. Jika ada
informasi fundamental, mereka akan bereaksi dengan segera dan dalam
sekejap, informasi itu sudah tercerminkan dalam harga sekuritas. Jika tidak ada
informasi fundamental, tidak ada alasan untuk perubahan harga.
Pada periode 1960-an hingga 1980-an EMH diakui mempunyai landasan
asumsi yang kuat dengan sederetan bukti empiris yang mendukungnya.
Universitas Chicago, tempat EMH diperkenalkan, tak ayal lagi langsung menjadi
pusat studi finansial tingkat dunia. Pada tahun 1978 Michael Jensen, seorang
lulusan universitas itu, bahkan sempat mendeklarasikan bahwa tidak ada
proposisi dalam ilmu Ekonomi yang mempunyai bukti empiris sebanyak EMH.
Tantangan EMH Sesaat setelah deklarasi Jensen, serangan terhadap EMH menjadi
semakin gencar baik secara empiris maupun terhadap asumsinya. Diantara
serangan yang paling melemahkan EMH adalah fenomena volatilitas saham
yang jauh lebih besar daripada volatilitas dividen atau earning-nya (Shiller, 1981)
dan adanya noise trader yang membuat harga saham menjauhi nilai
fundamentalnya (Black, 1986 dan De Long et al., 1990). EMH juga dikritik karena
gagal menjelaskan kejadian merosotnya indeks Dow Jones sebesar 22,6% tanpa
ada informasi signifikan mengenai fundamental perusahaan pada tanggal 19
Oktober 1987.
EMH juga tak berdaya menjelaskan gejala harga saham yang tidak
bergerak menurut pola random walk seperti yang dibuktikan De Bondt & Thaler
(1985 dan 1987) dalam jangka panjang, dan Bernard & Thomas (1989) dan
Jegadeesh & Titman (1993) dalam jangka pendek. De Bondt & Thaler terkenal
dengan pembuktian terjadinya overreaction atau long-term reversal. Bahwa
dalam periode 3 tahun, kinerja portofolio saham winners akan berada di bawah
portofolio saham losers. Sementara, Bernard & Thomas dan Jegadeesh &
Titman membuktikan kalau dalam jangka pendek terjadi sebaliknya yaitu
underreaction dan momentum. Untuk periode 6 – 12 bulan, saham yang naik
(turun) cenderung untuk terus naik (turun).
Menjawab kritikan di atas, pendukung EMH seperti Robert Merton tidak
tinggal diam tetapi balik menantang dengan mengatakan kalau bukti-bukti
empiris itu mempunyai permasalahan teknis, lemah secara statistik, atau salah
dalam modelnya. Selain itu, bukankah adanya overreaction dan underreaction
juga sesuai dengan asumsi mereka bahwa ulah investor irasional akan saling
meniadakan.
Sejatinya, sebelumnya EMH juga sudah banyak dikritik para
penentangnya. Namun, karena pakar keuangan dan bukti empiris yang
mendukung EMH lebih banyak, EMH dapat bertahan dengan berlindung di
bawah jargon ”anomali”. Segala sesuatu yang tidak sesuai atau tidak dapat
dijelaskan oleh EMH dikatakan sebagai suatu anomali seperti anomali efek
Januari, efek perusahaan kecil, dan lainnya.
Tidak cukup dengan bukti-bukti empiris, para penentang EMH juga
menyerang asumsi EMH. Transaksi para investor irasional ternyata tidak acak
dan tidak saling meniadakan. Aksi arbitrageur untuk menghilangkan mispricing
(ketidaksesuaian harga sekuritas dengan nilai fundamentalnya) kenyataannya
ada batasnya. Akibatnya, aksi mereka menjadi cukup berisiko karena mispricing
dapat saja bertahan lama tanpa ada investor lain yang menyadari hal itu sebagai
mispricing.
Kasus ambruknya Long Term Capital Management (LTCM) pada tahun
1998 yang dikelola dua pemenang nobel ekonomi tahun 1997 karena berusaha
mengeksploitasi setiap kali terjadinya mispricing menjadi pelajaran yang paling
berharga. Saat itu, LTCM harus mengalami kerugian sebesar 553 juta US$
hanya dalam satu hari.
Menurut penentang EMH, dengan asumsi-asumsi yang sangat lemah,
model dan teori yang dikembangkan EMH untuk menjelaskan dan memprediksi
fenomena pasar menjadi ikut dipertanyakan.
Tingkah Laku Investor
Berawal dari anomali dan fakta empiris yang terjadi di pasar modal yang
menunjukkan kegagalan paradigma hipotesa pasar efisien (EMH) dalam
menjelaskan banyak fenomena keuangan, berkembanglah behavioral finance.
Sedikitnya ada enam perbedaan antara EMH dan behavioral finance (BF),
seperti yang diutarakan Thaler (1994) dan Jegadeesh (1995).
Pertama, EMH mengasumsikan semua agen ekonomi akan
memaksimumkan expected utility (kepuasan), sedangkan BF mengasumsikan
individu akan meminimumkan expected regret (penyesalan). Ini persis seperti
pengakuan Markowitz, pemenang nobel ekonomi untuk teori portofolionya, yang
menyatakan kalau dia membagi portofolionya dalam saham dan obligasi sama
besar (masing-masing 50%) karena ingin meminimumkan future regret.
Kedua, EMH bersifat normatif yang mencoba untuk mempredikasi apa
yang belum terjadi (ex ante) sedangkan BF adalah teori positif yang berusaha
untuk menggambarkan apa yang sudah terjadi (ex post).
Ketiga, EMH mengatakan manusia itu bersifat risk averse alias
menghindari risiko. Sifat inilah yang menyebabkan banyak orang di seluruh dunia
membeli produk asuransi dan banyak kas surplus di Indonesia tidak menyukai
investasi di pasar modal dan lebih memilih deposito yang relatif tidak berisiko.
Menurut BF, investor itu sebenarnya bukan risk averse tetapi loss averse.
Ini sesuai dengan teori prospeknya Daniel Kahneman (1979), psikolog pertama
dan satu-satunya yang memenangkan nobel ekonomi pada tahun 2002. Menurut
Kahneman, investor itu risk averse kalau sedang mengalami untung. Tapi kalau
sedang rugi, investor cenderung menjadi seorang risk taker (pengambil risiko).
Contohnya adalah, seorang investor membeli saham pada harga Rp2.000.
Beberapa hari kemudian, katakan harga sahamnya naik menjadi Rp2.200 dan
seorang analis mengatakan kalau di minggu berikutnya, saham itu mempunyai
peluang 50% untuk naik menjadi Rp2.400 dan 50% untuk turun menjadi Rp2.000
lagi. Dihadapkan pada kondisi seperti ini, sebagian besar investor akan risk
averse dan memutuskan untuk menjual saham itu.
Dengan merealisasikan keuntungan sebesar Rp200 ini, investor merasa
menang dan menilai keputusan pembelian saham yang dilakukannya tepat.
Alasan lainnya adalah karena decreasing sensitivity, bahwa keuntungan Rp200
berikutnya (dari Rp2.200 menjadi Rp2.400) memberikan kepuasan yang lebih
kecil daripada Rp200 pertama.
Sekarang misalkan keadaan sebaliknya yang terjadi bahwa harga saham
itu beberapa hari setelah dibeli turun menjadi Rp1.800. Analis yang dihubungi
mengatakan kalau ke depan, saham itu berpeluang sama besar untuk naik ke
Rp2.000 atau turun yaitu masing-masing 50%. Dalam situasi seperti ini, hampir
pasti investor akan memilih untuk tidak menjual sahamnya.
Merealisasikan kerugian berarti mengaku salah dan ada rasa malu, jika hal
ini diketahui orang lain. Kahneman menyebut ini sebagai disposition effect. Efek
dan bias ini dialami hampir seluruh investor saham individu di bursa manapun
yaitu sell the winners too soon and hold the losers too long (Shefrin dan Statman,
1985).
Teorema Bayesian Keempat, EMH mengasumsikan manusia itu dapat melakukan prediksi
yang tidak bias yaitu yang sesuai dengan teori Bayes (conditional probability). BF
mengasumsikan sebaliknya bahwa prediksi manusia itu seringnya bias (keliru)
karena tidak memahami konsep probabilita bersyarat dari Bayes. Berikut
ilustrasinya.
Misalkan ada 100 tas yang masing-masing berisi 100 koin. Dari 100 tas itu,
45 tas masing-masing berisi 70 koin hitam dan 30 koin merah. Sementara 55 tas
lainnya berisi sebaliknya yaitu 30 koin hitam dan 70 koin merah. Jika sebuah tas
diambil secara acak, berapa peluang tas itu berisi lebih banyak koin hitam?
Jawabannya 45%.
Sekarang misalkan keadaan berikut. Sebuah tas diambil secara acak dan
dari tas itu diambil 12 koin dengan pengembalian. Dari 12 koin yang terambil itu,
8 berwarna hitam dan 4 berwarna merah. Dengan informasi di atas, berapa
peluang tas yang terambil itu adalah tas yang berisi lebih banyak koin hitam?
Ketika Shefrin (2002) melakukan eksperimen ini, dua jawaban yang paling
banyak dia peroleh adalah 45% dan 67% yaitu sekitar 55 persen responden.
Angka 45% berasal dari proporsi awal dan 67% sangat mungkin dari 8/12.
Jawaban sisanya menyebar dan tertinggi adalah jawaban 75%. Tidak ada yang
menjawab benar karena jawaban yang diharapkan adalah 96,04%. Ini
menunjukkan bahwa prediksi manusia itu jauh dari akurat karena tidak
memproses informasi terakhir dengan benar atau tidak berdasarkan teorema
Bayes, sesuai yang dikatakan BF.
Kelima, EMH memandang manusia sebagai pengambil keputusan yang
selalu berdasarkan rational expectation. Sementara BF mengatakan
pengambilan keputusan sering didasarkan pada ekspektasi yang naif atau
normal. Jika EMH mengatakan investor akan mencari return yang optimal, BF
mengesampingkan kemungkinan itu karena investor berusaha untuk
mendapatkan return yang memuaskan. Itulah sebabnya banyak orang Indonesia
cukup puas dengan bunga deposito yang relatif rendah itu.
Terakhir, EMH mengasumsikan manusia adalah makhluk ekonomi yang
rasional (homo economicus) atau rational economic man (REM) dengan profit
sebagai motif utama. Sementara BF melihat banyak aspek lain yang juga
mendasari keputusan seseorang seperti rasa bangga, bersalah, malu, takut,
empati, atau jiwa sosial yang ada dalam diri setiap manusia.
Contohnya, banyak orang melakukan donasi untuk bencana alam tanpa
menyebutkan namanya. Ada juga yang bersusah payah menyelamatkan orang
lain dari bangunan yang terbakar atau yang bersedia melakukan apa saja untuk
menyaksikan keadilan ditegakkan. Asumsi REM tidak dapat menjelaskan
fenomena ini.
Saham Loser... Anda investor saham langsung? Jika ya, saya dapat memastikan kalau
portofolio Anda saat ini berisi lebih banyak saham rugi (losers) daripada saham
untung (winners). Bukan karena pasar sedang bearish, saya berkesimpulan
demikian. Saat pasar sedang bullish pun, saham losers cenderung disimpan
dalam portofolio seorang investor sementara saham winners sudah dijual untuk
profit taking. Ini terjadi tidak hanya di bursa kita tetapi di bursa lainnya di dunia
dan disebut disposition effect. Saya pun belum sepenuhnya dapat melepaskan
diri dari efek ini. Menurut Shefrin dan Statman (1985), inilah kesalahan utama
investor individual di bursa saham yaitu sell the winners too soon and hold the
losers too long.
Anda masih tidak mau mengakui kalau Anda mengalami bias ini? Silahkan
periksa portofolio Anda. Jika saham losers dalam portofolio Anda lebih banyak
daripada saham winners, tentunya Anda tidak dapat mengelak lagi. Alternatif lain
untuk mengujinya adalah dengan membuka catatan penjualan saham yang telah
Anda lakukan selama setahun terakhir. Jika saham yang sudah Anda lepas
tersebut lebih banyak saham yang untung daripada yang rugi, Anda positif
mengalami disposition effect. Dengan kata lain, Anda lebih banyak
merealisasikan keuntungan daripada kerugian.
Terakhir, masih ada cara lain untuk memastikan Anda terpengaruh efek
ini. Selama tahun ini, silahkan bandingkan keuntungan hasil penjualan saham
Anda (realized gain) dengan keuntungan yang ada dalam portofolio Anda
(unrealized gain). Jika realized gain lebih besar daripada unrealized gain, Anda
terkena efek ini.
Ketika Camerer dan Weber (1998) melakukan penelitian ini, mereka
mendapatkan ketiga pendekatan di atas memberikan hasil yang sama yaitu
mendukung teori disposition effect mereka. Mengapa ini dapat terjadi? Hanya
behavioral finance, dan bukan manajemen investasi atau teori keuangan lainnya,
yang mampu menjelaskan fenomena ini dengan baik. Berikut pandangannya.
Loss/regret aversion Berbeda dengan teori keuangan modern yang mengatakan manusia itu
adalah risk averse, behavioral finance menyatakan kalau manusia itu sebenarnya
loss averse, dan bukan risk averse. Buktinya, saat harga sahamnya turun di
bawah harga belinya, investor individual cenderung untuk menahannya dengan
harapan harga sahamnya kembali naik dan kerugian berubah menjadi
keuntungan.
Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan kalau manusia
merasakan kerugian jauh lebih dalam dan lebih lama daripada efek keuntungan
dengan jumlah uang yang sama (Kahneman dan Tversky, 1979). Siapa pun
sepakat kalau kerugian selalu membawa kesedihan dan kekecewaan sementara
keuntungan mendatangkan kepuasan dan kesenangan. Namun, derajat
kesedihan dan kesenangan yang ditimbulkan untuk nilai uang yang sama adalah
berbeda. Dampak kerugian Rp1 juta relatif lebih besar daripada efek keuntungan
Rp1 juta. Dalam bahasa ilmiah, dikatakan kurva kepuasan (utilitas) di daerah
keuntungan adalah konkaf sementara kurva utilitas di daerah kerugian adalah
konveks.
Dalam investasi saham, kerugian berarti salah memilih atau membeli
saham. Merealisasikan kerugian berarti mengakui kesalahan ini. Jika
pengambilan keputusan yang salah ini diketahui orang lain, dampak pengakuan
salah menjadi lebih besar lagi karena ada rasa malu. Orang lain sangat mungkin
akan menilai investor tadi kurang kompeten atau tidak mampu menguasai
keadaan. Pandangan seperti ini cukup menyakitkan dan menurunkan harga diri.
Ini sesuai dengan ajaran ilmu psikologi yang mengatakan manusia cenderung
menilai dirinya sendiri positif, kompeten, dan mampu mengendalikan lingkungan
sekitarnya.
Alasan lain investor tidak bersedia merealisasikan kerugiannya adalah
karena keinginannya untuk meminimumkan future regret, sesuai dengan asumsi
behavioral finance. Memutuskan menjual saham rugi membuka kemungkinan
timbulnya penyesalan yang lebih besar di kemudian hari jika harga saham
kembali naik. Merealisasikan kerugian juga menutup kemungkinan keputusan
awal, yaitu pembelian saham, sebenarnya tepat. Bahwa investor tersebut
sesungguhnya kompeten dan menguasai pasar.
Jika kemudian harga saham tersebut naik, investor itu tidak saja menderita
kerugian tetapi juga mengalami penyesalan yang luar biasa besar karena telah
melakukan dua kesalahan berturut-turut. Pertama, membeli saham losers dan
kedua, melepaskannya pada saat yang tidak tepat. Efek keputusan kedua
membawa konsekuensi emosional yang lebih dalam, jauh di atas efek keputusan
pertama. Untuk meminimumkan penyesalan ini, banyak investor mengambil
posisi bertahan dengan saham pecundangnya.
Sebaliknya terjadi untuk saham-saham untung yang dimiliki investor
individual. Ada efek kebanggaan dan kemenangan dalam diri investor karena
telah mengambil keputusan yang tepat dalam memilih dan membeli saham.
Karenanya, tanpa menunggu lama, investor individual pada umumnya akan
segera merealisasikan keuntungannya.
Implikasi dari kedua bias ini adalah, investor individual biasanya
mengalami banyak keuntungan kecil (many small gains) dan hanya sedikit
keuntungan besar (few large gains) di satu sisi; dan banyak kerugian besar
(many large losses) dan sedikit kerugian kecil (few small losses) di sisi lain.
Untuk mengatasi kejadian tak menyenangkan ini, saya menganjurkan
Anda mengikuti nasihat Goldberg dan Nitzsch dalam bukunya behavioral finance
(1995) yaitu tentukan target harga dan strategi stop loss untuk setiap saham.
Pastikan target profit sekitar tiga kali dari maksimum kerugian yang masih dapat
Anda terima. Jika Anda hanya bersedia menanggung kerugian maksimal 20%,
target profit sebaiknya adalah 60%. Let the profits, not the losses, run.
Coattail Investing
Dalam artikel Harga saham tertekan inflasi beberapa bulan lalu, saya
menuliskan kalau inflasi berhubungan terbalik dengan harga saham. Pada saat
inflasi tinggi, kenaikan harga saham cenderung tertahan dan return relatif rendah,
seperti terjadi di bursa kita tahun 2005 dan tahun ini. Sebaliknya ketika inflasi
rendah pada tahun 2006 dan 2007, harga saham melaju kencang dan return
menjadi tinggi.
Tingkat inflasi sebagai salah satu indikator utama ekonomi makro tidak
disangsikan lagi adalah juga variabel penting penentu harga dan indeks saham
setelah laporan keuangan dan aksi korporasi. Pertanyaannya sekarang, faktor-
faktor apa lagi yang juga ikut memengaruhi harga dan indeks saham di bursa
kita.
Mengamati tingkah laku para investor di BEI, saya mengidentifikasi
sedikitnya ada tiga faktor lain yaitu aliran bersih dana investor asing di bursa,
nilai tukar rupiah, dan indeks regional. Untuk membuktikan dugaan ini, saya
mengadakan penelitian sederhana menggunakan data harian IHSG sebagai
variabel dependen dan ketiga variabel di atas sebagai variabel independen
selama dua puluh dua bulan (Januari 2006 – Oktober 2007).
Aliran bersih dana investor asing didefinisikan sebagai selisih aksi beli dan
aksi jual investor asing di BEI. Jika mereka membeli lebih banyak (sedikit)
daripada menjual, nilai variabel ini akan positif (negatif). Untuk indeks regional,
saya menggunakan indeks Hang Seng dari bursa Hong Kong sebagai proksi
karena beberapa alasan.
Pertama, bursa Hong Kong adalah bursa saham terkemuka yang paling
dekat dengan Indonesia secara geografis dengan perbedaan waktu hanya 1 jam.
Bursa saham besar lainnya lebih jauh dengan perbedaan waktu 2 jam (Tokyo)
hingga 12 jam (New York). Kedua, sama seperti IHSG, indeks Hang Seng
berdasarkan nilai kapitalisasi saham sedangkan Dow Jones (DJIA) dan Nikkei
225 adalah indeks berdasarkan harga saham yang dihitung dari sampel 30
saham utama di bursa New York dan dari 225 saham utama di bursa Tokyo.
Ketiga, kapitalisasi pasar BEI juga lebih dekat dengan bursa Hong Kong
daripada dengan bursa Tokyo atau bursa terbesar dunia yaitu New York.
Terakhir, bursa saham Tokyo sebagai bursa saham terbesar Asia yang
mengalami bearish selama hampir 20 tahun terakhir, tidak tepat untuk dijadikan
benchmarking karena sangat berbeda dengan bursa saham kita yang bullish
pada tahun 2003 – 2007. Kita ketahui bersama kalau Nikkei 225 yang sempat
menyentuh angka 39.000 pada tahun 1989, sekarang hanya bertengger di
13.000-an atau tinggal sepertiganya saja.
Berhubungan positif Sesuai dugaan awal, hasil penelitian yang sudah saya presentasikan di 2nd
Doctoral Journey in Management dan di hadapan Tim Studi Aliran Dana Asing
Bapepam – LK bulan Juni 2008 lalu, atas undangan mereka, menunjukkan ketiga
variabel itu berhubungan signifikan positif (pada α = 1%) dengan pergerakan
IHSG. Jika kurs rupiah melemah, katakan dari Rp9.100 menjadi Rp9.200 per
USD, IHSG pada hari yang sama juga cenderung melemah. Walaupun harga
saham menjadi lebih murah dalam USD karena depresiasi rupiah, investor asing
justru melakukan lebih banyak aksi jual daripada aksi beli.
Penjelasan yang masuk akal untuk fenomena ini adalah kurs rupiah
merupakan indikator ekonomi makro yang mencerminkan permintaan rupiah di
pasar uang internasional. Permintaan rupiah yang tinggi (rendah) mencerminkan
optimisme (pesimisme) pasar. Saat rupiah mengalami apresiasi (depresiasi)
berarti permintaan akan rupiah tinggi (rendah) dan pasar uang internasional
optimis (pesimis) terhadap perekonomian kita. Investor di bursa pun akan ikut
optimis (pesimis) dan pasar menjadi bullish (bearish).
Hubungan positif antara IHSG dengan indeks Hang Seng dan aliran dana
asing dari hasil penelitian ini mengkonfirmasi tingkah laku sehari-hari para
investor di BEI. Bahwa mereka umumnya melakukan herding (berkelompok)
dalam keputusan investasinya. Yang sering menjadi acuan mereka adalah
indeks bursa dunia seperti Hang Seng dan lainnya serta aksi para investor asing
di BEI.
Karenanya, saat bursa besar dunia bergerak positif (negatif), bursa kita
juga ikut positif (negatif). Walaupun transaksi investor asing hanya sekitar 25%
dari pasar, saat mereka melakukan aksi beli (jual), investor domestik ikut
membeli (menjual). Di mata investor domestik, investor asing diakui mempunyai
dana besar dan menguasai dua pertiga kapitalisasi pasar BEI. Mereka juga
dipandang mempunyai analisis fundamental yang lebih baik. Pandangan ini tidak
selalu benar dan sangat mungkin terjadi hanya di beberapa negara berkembang
saja.
Dari sisi behavioral finance, fenomena di atas menunjukkan dua poin
penting. Pertama, banyak investor di BEI percaya pada analisa teknikal dan
momentum pasar. Bahwa saham yang harganya naik (turun) akan terus naik
(turun). Ini sesuai dengan proposisi Bernard & Thomas (1989) dan Jegadeesh &
Titman (1993) bahwa harga saham cenderung meneruskan kenaikan dan
penurunannya dalam 6-12 bulan.
Kedua, investor di BEI umumnya tidak berani menyimpang dari pola
umum. Jika suatu saham, atau pasar saham secara keseluruhan, diburu
(dihindari) investor besar, mereka akan turut mengejar (melepas) saham.
Melawan sentimen pasar global dan aksi investor asing dinilai berisiko dan dapat
menimbulkan penyesalan besar (future regret) di kemudian hari.
Untuk meminimalkan regret ini, mereka menerapkan strategi follow the
smart money yaitu mengekor bursa dunia dan aksi investor asing. Strategi
investasi seperti ini membawa efek destabilisasi di pasar dan dapat
menyebabkan harga saham semakin menjauhi nilai fundamentalnya.
Kini Anda paham kalau IHSG itu dipengaruhi banyak faktor yaitu laporan
keuangan emiten, inflasi, aksi korporasi, aliran dana asing, kurs, dan indeks
regional.
Hati Panas, Kepala Dingin
Dalam bukunya Beyond Greed and Fear (2002), Shefrin menuliskan kalau
praktisi keuangan kerap melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.
Beberapa kesalahan itu berharga mahal. Itulah sebabnya dia sangat
menganjurkan praktisi keuangan meluangkan waktu untuk mempelajari
behavioral finance, cabang ilmu keuangan yang akan sangat membantu para
pelaku pasar mengenali kesalahan-kesalahan yang dilakukan dirinya dan orang
lain.
Dengan memahami bias-bias ini, investor akan menjadi rasional. Tidak
hanya untung, tetapi untung besar dan bukan untung kecil. Kalaupun rugi, hanya
rugi kecil dan jarang rugi besar. Benarkah investor banyak yang irasional dan
apa buktinya? Behavioral finance mengatakan ya dan ada sederet bukti yang
mampu dikumpulkannya. Di kolom ini sejatinya saya sudah menceritakan
beberapa kesalahan itu. Namun, masih lebih banyak yang belum dituliskan.
Diantara kesalahan itu adalah efek disposisi yang dikemukakan Shefrin
dan Statman (1985) yang pernah saya utarakan tahun lalu dalam artikel Pepesan
kosong dalam portofolio. Karena tidak menyadari bias ini, banyak investor
melakukan kesalahan menjual saham untung (winners) terlalu cepat dan
memegang saham rugi (losers) terlalu lama. Akibat kesalahan ini, investor
mengalami banyak keuntungan kecil tetapi sedikit keuntungan besar dan banyak
kerugian besar tetapi sedikit kerugian kecil. Investor seperti ini dapat dipastikan
akan penuh penyesalan karena telah salah menerapkan strategi. Bukannya
membiarkan laba mengalir, dia malah membatasi keuntungan dan membiarkan
kerugian mengimpit dirinya.
Untuk mengatasi kelemahan ini, Goldberg dan Nitzsch (1995)
menasihatkan para investor untuk menentukan target harga dan strategi stop
loss untuk setiap saham. Pastikan target profit minimal tiga kali dari maksimal
kerugian yang masih dapat Anda terima. Jika Anda hanya bersedia menanggung
kerugian maksimal 20%, target profit sebaiknya 60% atau lebih.
Pilih angka Contoh lain tentang irasionalitas manusia adalah permainan memilih
angka yang diperkenalkan Martin Shubik (1971). Pada awal 1997, Financial
Times mengadakan kontes ini dengan hadiah dua tiket British Airways rute New
York atau Chicago-London pulang pergi untuk pemenangnya. Para pembaca
diminta untuk memilih bilangan bulat antara 0 dan 100. Pemenangnya adalah
yang memilih dua pertiga (atau yang paling mendekati) dari rata-rata angka yang
dipilih seluruh peserta.
Untuk membantu pembaca memahami kontes ini, harian itu memberikan
contoh singkat. Jika ada lima orang yang ikut dan masing-masing memilih angka
10, 20, 30, 40, dan 50, maka rata-rata adalah 30 dan yang menjadi pemenang
adalah yang memilih dua pertiganya yaitu 20. Apa pesan dari permainan ini?
Bahwa untuk menang, Anda perlu memahami bagaimana keputusan
peserta lain. Jika menurut Anda, orang lain rata-rata akan memasukkan angka
20, Anda harus memilih dua pertiganya yaitu 14. Tetapi jika Anda yakin orang
lain juga mempunyai pemikiran yang sama seperti Anda, maka rata-rata akan
menjadi 14 dan pemenangnya adalah yang memilih angka 10. Jika Anda
meneruskan logika berhitung ini, Anda akan sampai pada angka 1. Yang rasional
mestinya memilih angka 1.
Kenyataannya, dalam kelompok yang terdiri atas orang-orang
berpendidikan tinggi sekalipun, angka kemenangan bukan 1. Dalam kontes yang
diselenggarakan Financial Times di atas, angka kemenangan ternyata 13. Ini
menunjukkan bahwa sebagian besar orang tidak rasional sehingga membuat
kesalahan dalam pilihannya. Jika semua orang rasional, angka kemenangan
adalah 1.
Lelang uang Permainan rasionalitas yang hampir sama adalah lelang dolar yang
dilakukan Max Bazerman dalam bukunya Smart Money Decisions (1999).
Kepada para mahasiswanya, dia melelang uang kertas $100 yang ada di
dompetnya. Siapa yang menawar tertinggi akan memperoleh uang itu. Bazerman
hanya mensyaratkan lelang diikuti minimal dua orang dengan harga awal $5 dan
kelipatan $5 di atasnya. Berbeda dengan lelang lainnya, dia mengharuskan
peserta yang menawar tertinggi kedua juga membayar harga tawarannya tanpa
mendapatkan uang itu. Jika Andi menawar $15 dan Beni menawar $20, dan Andi
serta yang lainnya tidak ada yang berani menawar lebih besar lagi, maka Beni
akan menang. Dia akan memperoleh uang $100 itu dengan harga $20 dan Andi
sebagai penawar tertinggi kedua harus membayar Bazerman $15.
Dalam banyak kesempatan, penawaran berlangsung sangat cepat untuk
mencapai kisaran $70. Di sekitar tawaran ini biasanya peserta yang lain, kecuali
dua penawar tertinggi, akan mundur. Pilihan yang tersedia untuk kedua orang
yang terjebak ini hanya menaikkan tawaran agar tidak kalah atau menerima
kerugian sebagai penawar tertinggi kedua. Dua orang terakhir ini akan terus
bersaing hingga melampaui $100. Diluar dugaan kita semua, tidak ada yang mau
mengalah sehingga sangat sering uang $100 itu ditawar di atas $100 dengan
rekor tertinggi $505 dalam sepuluh tahun eksperimen Bazerman.
Kelas pun riuh dengan sorakan setiap kali tawaran menembus $100
karena menyadari para penawar telah bertindak irasional. Selama satu dekade,
Bazerman menang lebih dari $20.000 yang tidak digunakan untuk dirinya tetapi
untuk konsumsi makanan dan minuman para mahasiswanya di kelas dan
kegiatan amal. Inilah salah satu contoh jebakan uang yang mendorong orang
menjadi irasional. Dua kesalahan sekaligus dilakukan dua peserta terakhir.
Pertama, mereka gagal mempertimbangkan keputusan pihak lain. Kedua,
mereka melupakan tujuan utama dan berubah menjadi ingin mengalahkan lawan
tanpa memperhitungkan untung-rugi.
Tip dari saya, jebakan uang seperti di atas sungguh ada di sekitar kita dan
hadir dalam berbagai kemasan yang menarik. Bijak dan rasionallah dalam
menghadapinya.
Behavioral Finance, Sudah Waktunya!
Dalam artikel tentang ilmu finansial dulu dan sekarang, saya mengatakan
kalau salah satu ilmu keuangan yang sedang berkembang pesat adalah
behavioral finance dan sayangnya, baru ada satu-dua perguruan tinggi kita yang
sudah menawarkan mata kuliah ini. Itu pun untuk tingkat magister dan doktoral.
Kondisi ini sangat berbeda dengan di negara maju yang sudah
menawarkannya di hampir semua sekolah keuangan terkemukanya. Beberapa
universitas seperti Universitas Mannheim di Jerman bahkan sudah mempunyai
lembaga atau pusat studi khusus untuk behavioral finance. Apa itu persisnya
behavioral finance (BF), dan perbedaannya dengan ilmu keuangan tradisional?
Aplikasi psikologi Sejatinya, BF dibangun dari dua disiplin ilmu yaitu psikologi dan keuangan.
BF sering didefinisikan sebagai aplikasi ilmu psikologi dalam memengaruhi
tingkah-laku keuangan. Sebelumnya, dalam keuangan tradisional, tidak ada
usaha untuk melihat perilaku keuangan dari sudut psikologi padahal psikologi itu
adalah dasar dari keinginan dan motivasi manusia sekaligus sumber kekeliruan
manusia akibat salah persepsi, kepercayaan diri berlebihan, dan emosi.
Kesalahan (error) dan kekeliruan (bias) ini nyatanya melanda seluruh aspek
keuangan dan memengaruhi semua pelaku pasar.
Sebagai ilmu baru, BF menarik banyak peminat, tidak hanya di kalangan
akademisi tetapi juga di kalangan praktisi karena banyaknya konsep BF yang
dapat diaplikasikan. Makalah-makalah tentang BF juga secara rutin muncul dan
dipresentasikan di jurnal, seminar, dan simposium ilmiah keuangan bergengsi.
Artikel-artikel populer BF juga secara tetap dimuat di harian-harian
terkemuka seperti Wall Street Journal dan New York Times sejak Januari 2002.
Financial Times bahkan pernah menyediakan rubrik khusus untuk pembahasan
BF. Beberapa TV di AS pun tidak ketinggalan dalam mendedikasikan
programnya untuk diskusi mengenai BF.
Lembaga-lembaga keuangan juga semakin banyak yang menerapkan
konsep-konsep behavioral. Di barisan paling depan ada Fuller & Thaler,
Martingale, LSV, dan Dreman. Selain itu, masih ada American Skandia, Goldman
Sachs, Merrill Lynch, dan Vanguard. Tidak hanya di AS, lembaga-lembaga
keuangan yang ada di Eropa juga ramai-ramai menerapkan strategi behavioral
dalam mengelola dananya seperti KBC, ABN Amro, J.P. Morgan Fleming, dan
Robeco.
Namun demikian, masih ada saja orang yang salah persepsi kalau BF itu
adalah ilmu keuangan untuk mengalahkan pasar. Karena itu, Shefrin (2002)
merasa perlu mengingatkan investor untuk tidak memahami BF setengah-
setengah. BF harus dipahami secara lengkap dan investor tidak boleh
melupakan bagian terpenting dari BF yaitu pengakuan adanya risiko sentimen
investor atau risiko karena faktor psikologis, yang kadang lebih besar daripada
risiko fundamental. BF menekankan bahwa walaupun investor belajar dari
pengalaman, mereka umumnya belajar dengan lambat.
Banyak analis mengubah pandangannya tentang pasar dari positif menjadi
netral atau bahkan negatif hanya karena perubahan psikologis investor, tanpa
ada perubahan fundamental sama sekali. Contoh nyata di Indonesia adalah
perubahan sentimen pasar terhadap saham BUMI belum lama ini. Saham ini
pernah direkomendasikan untuk dikoleksi karena berpotensi menembus harga
Rp10.000 atau bahkan Rp12.000 menurut beberapa valuasi. Namun, akibat
sentimen negatif investor di bursa, saham ini justru menyentuh harga
terendahnya dalam empat tahun terakhir yaitu Rp640 November lalu.
Tiga perbedaan Ada tiga tema utama yang membedakan BF dari ilmu keuangan dan
investasi tradisional. Pertama, BF mengakui kalau praktisi keuangan acap
melakukan kesalahan karena menggunakan aturan praktis (rule of thumb)
sebagai pegangan dalam memroses data. BF menyebut ini sebagai bias
heuristic. Goldberg dan Nitsch (2001) mendefinisikan heuristic sebagai aturan
atau strategi dalam memroses informasi untuk mendapatkan solusi yang cepat
namun belum tentu optimal.
Menurut ilmu psikologi, manusia hanya dapat memroses paling banyak
tujuh macam informasi secara bersamaan. Heuristic digunakan ketika manusia
dikelilingi setumpuk informasi atau saat tidak punya waktu untuk memroses
informasi secara keseluruhan. Heuristic juga sering dipilih ketika sebuah masalah
dianggap tidak penting atau ketika orang tidak mempunyai pengalaman
sebelumnya untuk menyelesaikan sebuah persoalan tertentu (Aronson 1994).
Contoh kekeliruan atau bias heuristic investor adalah pemikiran bahwa
kinerja masa lalu adalah indikator paling baik untuk kinerja masa depan,
sehingga reksa dana yang berprestasi terbaik di masa lalu adalah yang paling
layak beli. BF menyebut bias seperti ini sebagai representativeness bias.
Keuangan tradisional tidak mengakui ini karena mengasumsikan semua investor
dapat menggunakan informasi dan alat-alat statistik dengan benar dan
semestinya.
Kedua, BF berbeda dari keuangan tradisional dalam memandang bentuk
(form) atau penyajian data/informasi (framing). Menurut BF, form dan framing
sama pentingnya dengan isi (substance). Keuangan tradisional memandang form
dan framing tidak penting. Maksudnya, urutan, cara penyajian, dan penggunaan
kata-kata tidak akan diperhatikan investor karena pelaku pasar hanya akan
mempertimbangkan substance.
Contohnya, ketika diminta untuk cut loss, banyak investor tidak mau
melakukannya. Tetapi jika dinasihatkan untuk transfer your asset, investor yang
sama sangat mungkin bersedia menuruti.
Ketiga, BF menilai bias heuristic dan efek framing pada akhirnya akan
menyebabkan harga menyimpang dari nilai fundamentalnya dan pasar menjadi
inefisien. Sebaliknya, keuangan tradisional mengatakan, walaupun ada bias
heuristic dan efek framing, pasar akan tetap efisien.
Siap Menyesal dalam Berinvestasi
Jika portofolio Anda sepanjang tahun lalu sebagian besar masih dalam
saham atau reksa dana saham, siapa pun Anda dan sudah berapa banyak pun
jam terbang Anda sebagai investor saham, saya dapat pastikan ada rasa
penyesalan pada diri Anda.
Mereka yang baru mulai berinvestasi saham setahun terakhir akan
merasakan penyesalan yang paling besar karena belum pernah merasakan
keuntungan. Yang sudah menjadi investor saham sejak 2007 juga menyesal
cukup dalam. Mereka telah mengalami gurihnya capital gain sepanjang tahun
2007 namun karena optimisme diri dan sentimen positif yang melanda pasar,
mereka tidak mengurangi portofolio sahamnya tetapi mungkin justru
menambahnya.
Penyesalan yang sama juga dialami para investor yang sudah ada di
pasar saham sejak tahun 2006 atau sebelumnya dengan kadar yang lebih ringan
dan berbeda-beda. Mereka yang sempat mengurangi portofolionya di tahun 2007
atau di semester pertama tahun 2008 lalu mungkin masih bisa sedikit tersenyum.
Sementara yang sama sekali belum sempat profit taking dalam dua tahun
terakhir hanya dapat geleng-geleng kepala melihat terus merosotnya indeks.
Terakhir, para investor yang sudah berkiprah tahunan di bursa namun dalam
setahun atau dua tahun terakhir malah menyetor dana tambahan untuk
meningkatkan portofolio sahamnya akan sangat bersedih dan hanya mampu
menunduk lesu.
Harus siap menyesal Sehubungan dengan penyesalan dalam berinvestasi saham
sesungguhnya tidak terjadi hanya pada periode bearish seperti saat ini. Dalam
keadaan pasar sedang bullish pun, fenomena ini kerap terjadi seperti pengakuan
seorang kawan dekat saya, seorang pengajar di lain fakultas di UI. Masuk ke
pasar saham pada saat yang tepat yaitu di awal tahun 2003 ketika IHSG masih
tidak jauh dari angka 400, sekitar belasan bulan kemudian portofolio sahamnya
melonjak 100%.
Mendengar pencapaian return yang luar biasa ini, kawan-kawannya
banyak yang tergiur untuk mengikuti jejaknya. ”Hampir setiap hari ada saja rekan
pengajar yang datang atau menelpon saya meminta tip dan nasihat praktis untuk
sukses berinvestasi saham,” tuturnya. Daripada melayani mereka satu per satu,
dikumpulkanlah teman-temannya ini pada suatu hari. Seperti sudah diduga,
salah satu pertanyaan utama dalam pertemuan itu adalah, ”Apa kesan dan
pesan Bapak sebagai investor saham untuk kami yang tertarik dan baru akan
memulai?” Kawan dekat saya itu pun bercerita panjang lebar dan menjawab
pertanyaan itu dengan jujur berdasarkan pengalaman pribadinya. Jawabannya
kurang lebih sebagai berikut.
”Bermain saham itu penuh penyesalan. Menjual saham yang sudah
untung yang kita miliki, kita menyesal karena harganya terus naik sesudah kita
menjualnya. Tidak menjualnya juga kadang menimbulkan penyesalan jika
kemudian ternyata harga saham itu merosot. Itu baru soal keputusan jual.
Keputusan beli pun sama dan ini sangat sering saya alami.
Beberapa kali saya sudah berencana untuk membeli saham tertentu pada
pagi hari tetapi karena pagi itu saya harus mengajar atau menguji, saya menjadi
tidak sempat melakukannya. Ketika sudah sempat di sekitar jam makan siang,
saya hanya bisa gigit jari mengetahui harga saham yang saya incar itu sudah
naik 20% hanya dalam beberapa jam. Saya pun tidak jadi membelinya dan cuma
bisa sedih meratapi nasib yang kurang beruntung. Untuk itu, hanya ada satu
pesan saya kepada Bapak/Ibu yang sedang mempertimbangkan menjadi
investor saham. Mereka yang tidak bersedia atau tidak siap mengalami banyak
penyesalan kurang cocok menjadi investor saham. Silakan persiapkan diri
Bapak/Ibu jika dapat hidup berdampingan dengannya,” ceritanya.
Dua macam Sejatinya, tidak ada yang aneh atau baru dalam kisah nyata di atas karena
literatur behavioral finance (BF) sudah menuliskan fenomena ini sejak dulu. BF
menyebutnya sebagai bias penyesalan (regret bias), salah satu dari sekian
banyak bias yang sudah diidentifikasi BF. Ada dua macam penyesalan yang
biasa dialami investor saham. Yang pertama disebut error of commission atau
penyesalan yang timbul akibat investor mengambil aksi tertentu (action) yang
ternyata salah. Sedangkan yang kedua adalah error of omission yaitu
penyesalan karena investor tidak mengambil aksi tersebut (inaction).
Contohnya adalah seorang investor ditawari pemesanan saham sebuah
perusahaan saat initial public offering (IPO). Dalam kondisi ini, dia mempunyai
dua pilihan yaitu ikut memesan saham atau tidak ikut. Kemungkinan yang akan
terjadi juga ada dua yaitu IPO sukses dan harga saham melejit atau IPO gagal
dan harga saham merosot.
Tidak akan ada penyesalan investor jika dia jadi memesan saham dan IPO
sukses atau dia tidak jadi memesan dan IPO gagal. Penyesalan baru akan timbul
dalam kasus investor tadi jadi memesan saham tetapi IPO gagal (harga jatuh).
Dalam kondisi seperti ini, semua investor dalam hatinya pasti akan berkata,
”Mestinya saya tidak ikut memesan saham itu.” Inilah yang disebut error of
commission yaitu penyesalan sudah bertransaksi atau membeli tetapi ternyata
keputusan ini salah.
Rasa menyesal juga akan muncul jika investor tidak jadi memesan saham
tetapi IPO sukses (harga melonjak). Investor tersebut tentu sangat menyesali
tindakan bodohnya melewatkan kesempatan emas ini. BF menyebutkan
penyesalan yang bersumber dari tidak jadi bertransaksi ini sebagai error of
omission.
Lebih lanjut, BF menjelaskan kalau kadar penyesalan dalam error of
commission lebih kuat daripada dalam error of omission. Error of commission itu
lebih terasa karena ada transaksi. Tip dari saya, jangan terlalu sering memelototi
pergerakan harga saham, cukup beberapa kali dalam sebulan. Mengikuti pasar
saham terus menerus akan membuat Anda bertransaksi lebih sering yang
berakibat tingginya biaya transaksi dan juga banyaknya penyesalan.
Semua Serba Relatif
Dari pelajaran bahasa Indonesia di sekolah menengah, Anda tentu masih
ingat bahwa hampir semua kata sifat dapat dibandingkan sehingga kita
mempunyai istilah bagus, lebih bagus, dan paling bagus. Dari ilmu fisika kita juga
belajar bahwa cahaya bersifat saling mengalahkan. Lilin memberikan cahaya
yang sangat berarti ketika listrik mati dan tidak ada sumber penerangan lain.
Namun, ketika listrik menyala, cahaya lilin tidak berarti. Cahaya listrik di suatu
tempat pun menjadi sia-sia jika pada saat yang sama tempat itu mendapatkan
sinar matahari.
Contoh lainnya adalah sebuah burung yang bernyanyi di sebuah kebun
atau sawah yang sunyi dapat terdengar dengan jelas, sementara jika burung itu
bernyanyi di lingkungan sebuah pabrik atau di sekitar jalan tol, suaranya nyaris
tak terdengar. Kedua contoh ini menunjukkan kalau persepsi umumnya bersifat
relatif dan bukan absolut. Kejadian alam yang sama mempunyai efek yang
berbeda, tergantung tempat dan latar belakangnya.
Eksperimen klasik dalam fisika mengenai penilaian secara relatif ini adalah
tentang tiga baskom. Baskom pertama berisi air dingin, baskom kedua air
hangat, dan yang ketiga air panas. Dua kelompok terpisah dibentuk. Kelompok
pertama diminta mencelupkan tangannya ke air dingin sebelum memasukkannya
ke baskom air hangat. Sementara kelompok kedua memulainya dari air panas,
dan kemudian merendam tangannya di air hangat. Kelompok pertama ternyata
merasakan air hangat sebagai panas, sedangkan kelompok kedua justru
menyatakan air hangat itu sebagai dingin. Pengalaman sebelumnya terbukti
memengaruhi persepsi dan penilaian seseorang.
Pengalaman menentukan Keputusan keuangan para investor juga bersifat relatif. Baik terhadap
alternatif lain maupun terhadap pengetahuan, latar belakang, lingkungan, dan
pengalamannya. Jika seseorang tidak memahami apa itu saham dan obligasi,
kedua alternatif investasi itu tentunya luput dari perhatiannya dan kalah menarik
dibandingkan deposito. Jika orang tua, keluarga besar, dan sanak saudara Anda
tidak ada yang berinvestasi dalam reksa dana karena produk ini baru ada di
Indonesia sejak tahun 1996, sangat masuk akal jika Anda tidak tertarik.
Jika lingkungan rumah dan kantor seseorang tidak ada yang berinvestasi
dalam saham dan obligasi, hampir pasti dia pun tidak menilai positifnya menjadi
investor saham dan obligasi. Jika Anda pernah mengalami kerugian saham
hingga 75% dalam setahun, menyaksikan penurunan nilai portofolio 40% menjadi
sesuatu yang biasa. Demikian juga jika Anda punya pengalaman meraup
keuntungan saham hingga 50% lebih dalam beberapa bulan, melihat kenaikan
portofolio 25% setahun menjadi tidak terlalu menggembirakan.
Jika Anda terbiasa dengan gurihnya saham dan obligasi, return deposito
yang hanya sekitar tingkat inflasi jauh dari target Anda. Jika Anda pernah
menjual sebuah saham seharga Rp500 beberapa bulan lalu, Anda kemungkinan
besar tidak akan membelinya kembali pada harga Rp700. Jika Anda belum
menjual seluruh saham itu, Anda mungkin tidak bersedia menjual sisanya pada
harga Rp400.
Pada suatu kesempatan di tahun 2007 lalu, saya diminta BEJ untuk
menjelaskan mekanisme dan menariknya investasi di pasar modal kepada
publik. Melihat saya begitu menikmati investasi di saham dan obligasi,
bertanyalah seorang peserta. “Bagaimana caranya agar saya dapat melepaskan
diri dari trauma kerugian besar investasi saham saat krisis tahun 1998 lalu dan
apa yang Bapak lakukan untuk mengurangi risiko besar yang terkandung dalam
saham?”
Sejatinya, menghapuskan sepenuhnya pengalaman masa lalu tidaklah
mudah karena konsep relatif di atas. Saya hanya mengatakan kalau yang bijak
akan selalu melihat adanya peluang di balik semua risiko. Seorang rekan
investor malah pernah menasihatkan saya bahwa tidak ada investor piawai yang
tidak pernah mengalami kerugian signifikan. Tetapi tidak semua investor yang
pernah rugi besar akan menjadi investor yang hebat. Bukannya menyerah kalah,
kita justru harus menilai positif kerugian material sebagai kesempatan untuk
dapat menjadi investor yang penuh kalkulasi, tidak ikut-ikutan, dan lihai.
Jika saat ini, sama seperti tahun 1998 lalu, Anda tidak membutuhkan dana
tunai, saran saya Anda tidak melepaskan saham-saham unggulan Anda tetapi
justru meningkatkan portofolio Anda, jika tersedia dana yang tidak akan terpakai
dalam beberapa tahun ke depan. Contohnya, saham Astra yang harganya hanya
sekitar Rp250 pada September 1998 kini berharga belasan ribu rupiah.
Itu juga nasihat yang kerap saya berikan kepada beberapa rekan investor
yang bertanya dan persis dengan yang dikatakan Buffet, ”Be greedy when others
are fearful and be fearful when others are greedy.”
Alokasi aset Menjawab pertanyaan kedua, saya merasa lebih kompeten. Memahami
besarnya risiko saham, saya menganjurkan siapa pun untuk tidak menaruh
100% dananya dalam saham. Simpanlah dana sebesar 3-6 bulan pengeluaran
bulanan Anda dalam tabungan atau reksa dana pasar uang. Silakan membagi
dana yang tersisa dalam saham dan obligasi. Jika Anda sanggup menghadapi
penurunan nilai hingga 90% dari investasi Anda, silahkan masukkan sekitar 75%-
90% dalam saham. Jika tidak, kurangi bobot saham Anda menjadi maksimal
50%-65%.
Untuk meminimumkan penyesalan, Markowitz sebagai penemu teori
portofolio ternyata juga membagi dananya sama besar dalam saham dan
obligasi. Saya pun melakukan yang sama. Bobot saham dalam portofolio saya,
selama dua tahun terakhir tidak pernah lebih dari 65% dan lainnya dalam obligasi
US$. Ketika teman-teman saya yang dananya hampir 90% dalam saham
mengalami kerugian hingga 55%-70% dari portofolionya tahun lalu, saya hanya
mengalami kerugian kurang dari sepertiganya karena investasi dolar saya
memberikan kupon dan capital gain hingga 25%.
============================================================