Beban Gempa Pada Pondasi

33
MODUL 11 BEBAN GEMPA PADA PONDASI

description

menjelaskan mengenai beban gempa pada pondasi

Transcript of Beban Gempa Pada Pondasi

Page 1: Beban Gempa Pada Pondasi

MODUL 11

BEBAN GEMPA PADA PONDASI

Page 2: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

DAFTAR ISI

Bab 1 Pengantar..................................................................................................1

1.1. Umum.............................................................................................1

1.2. Tujuan Instruksional Umum............................................................1

1.3. Tujuan Instruksional Khusus..........................................................1

Bab 2 Mekansime Kejadian Gempa..................................................................2

2.1. Pendahuluan..................................................................................2

2.2. Jenis Plate Boundary......................................................................2

2.3. Bahaya Gempa (seismic hazard)...................................................3

Bab 3 SEISMISITAS INDONESIA.......................................................................7

3.1. Umum.............................................................................................7

Bab 4 ANALISIS RESIKO GEMPA.....................................................................9

4.1. Umum.............................................................................................9

4.2. Resiko Gempa Batuan Dasar Berdasarkan Peta Gempa Indonesia

10

4.3. Pengaruh Kondisi Tanah Dan Respon Spektra............................14

Bab 5 LIQUEFACTION.....................................................................................18

5.1. Umum...........................................................................................18

5.2. CYCLIC STRESS APPROACH....................................................19

5.2.1. Beban Gempa...........................................................................19

5.2.2. Pelawan Liquefaction................................................................20

i

Page 3: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

Bab 1 Pengantar

1.1. Umum

Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki intensitas kejadian gempa yang cukup

tinggi (high seismicity area). Bahkan kejadian gempa yang memakan korban jiwa hingga

ratusan ribu orang baru saja terjadi di Banda Aceh pada tanggal 26 Desember yang lalu.

Oleh karena itu perencanaan beban gempa pada struktur bawah gedung adalah sangat

penting dalam rangka mengurangi (mitigation) bahaya gempa yang mungkin terjadi.

Dalam desain pondasi adalah sangat penting untuk memperhitungkan beban-beban

kegempaan, dimana beban tersebut ditentukan berdasarkan potensi kejadian gempa yang

mungkin terjadi pada suatu lokasi tertentu. Intensitas kegempaan bergantung pada seberapa

jauh lokasi dari sumber-sumber kegempaan. Di Indonesia telah disusun tingkat intensitas

kegempaan berdasarkan zona-zona tertentu, yang dijadikan menjadi sebuah peta yang

disebut dengan peta kegempaan. Dengan mengacu pada peta ini maka dapat dihitung

besaran beban gempa yang akan dimasukkan dalam proses perhitungan stabilitas pondasi.

1.2. Tujuan Instruksional Umum

Setelah menyelesaikan modul ini diharapkan mahasiswa mampu mempertimbangkan

beban-beban kegempaan yang harus dimasukkan dalam analisis kegempaan dalam

perencanaan pondasi.

1.3. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.

1. Mahasiswa memahami konsep tentang kegempaan.

2. Mahasiswa memahami mekanisme terjadinya gempa.

3. Mahasiswa memahami macam-macam bahaya (seismic hazard) yang mungkin

ditimbulkan oleh kejadian gempa.

4. Mahasiswa mampu menggunakan peta gempa untuk memperkirakan beban gempa

yang harus dianalisis dalam perencanaan pondasi.

5. Mahasiswa mampu menghitung dan membuat response spektra pada suatu lokasi

yang ditinjau.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 1

Page 4: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

Bab 2 Mekansime Kejadian Gempa

2.1. Pendahuluan

Pada umumnya gempa terjadi secara tiba-tiba dalam bentuk pelepasan energi akibat adanya

deformasi pada kulit bumi sebagai interaksi antar lempeng tektonik. Lempeng-lempeng

besar di dunia ditunjukkan pada Gambar 1, di bawah ini. Bersamaan dengan terjadinya

gempa, energi dirambatkan dari sumbernya dalam bentuk gelombang seismik elastis. Lama

terjadinya gempa (durasi), besarnya (amplitude) dan frekuensi dari gelombang ini

merupakan fungsi dari jenis dan megnitude gempa, jaraknya dari epicenter dan jenis-jenis

material geologis yang dilewatinya. Struktur yang berada di daerah lintasan gelombang

tersebut akan mengalami guncangan yang dapat berakhir dengan kehancuran atau

kerusakan pada bangunan tersebut.

Gambar 1 Plat tektonik di dunia

2.2. Jenis Plate Boundary

Lempeng (plat) yang mengalami pergeseran dapat dibedakan dalam tiga macam seperti

ditunjukkan dalam Gambar 2.

Divergent plate boundaries: dimana plat bergerak saling menjauh

Convergent Plate boundaries: dimana plat bergerak saling mendekati

Transform plate boundaries: dimana plat saling menggeser satu sama lain

Gambar 2 Jenis-jenis plate boundary

2.3. Bahaya Gempa (seismic hazard)

Akibat terjadinya gempa menyebabkan timbulnya bahaya-bahaya yang secara umum dapat

digolongkan menjadi sebagai berikut:

Ground Motion: mengguncang struktur hingga dapat menjadi rusak (Gambar 3)

Liquefaction: berubahnya tanah-tanah granular yang awalnya stabil menjadi

melumpur sehingga struktur-struktur yang berada di atasnya menjadi mengalami

penurunan atau menjadi rusak (Gambar 4 dan Gambar 5)

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 2

Page 5: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

Landslides: dipicu oleh adanya guncangan (Gambar 6)

Kebakaran : hasil tidak langsung dari gempa yang menyebabkan terjadi kebakaran

karena rusaknya pipa-pipa gas dan lain-lain (Gambar 7)

Tsunami: gelombang laut yang besar yang terjadi akibat timbulnya pergeseran dasar

laut akibat terjadinya gempa yang bersumber di dasar laut (Gambar 8)

Gambar 3 Rusaknya bangunan karena guncangan gempa

Gambar 4 Bangunan rubuh pada gempa Niigata 1964

Gambar 5 Rubuhnya jembatan Nishinomia akibat liquifaksi tanah pada gempa Kobe 1995

Gambar 6 Longsoran badan jalan kereta api pada gempa Niigata 2004

Gambar 7 Kebakaran yang timbul pada saat gempa

Gambar 8 Illustrasi kejadian tsunami

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 3

Page 6: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

Bab 3 SEISMISITAS INDONESIA

3.1. Umum

Indonesia merupakan daerah dengan keaktifan seismik yang besar karena dikelilingi oleh

empat lempeng tektonik terbesar di dunia, yaitu lempeng Eurasian, Australian, Pacific dan

Philipine. Dari kejadian-kejadian gempa yang telah dikumpulkan selama ini menunjukkan

bahwa dari tahun 1897 hingga tahun 2000 terdapat kejadian gempa dengan magnitude

gempa Ms > 5.0 sebanyak kira-kira 8237 kejadian dan 5 % diantaranya terjadi di Pulau Jawa

(Irsyam et al., 1999). Lokasi epicenter untuk kejadian gempa ini ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9 Aktivitas seismik di Indonesia (Irsyam et. al., 1999)

Sumber zona kegempaan di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yaitu zona

subduction, zona strike slip dan zona diffuse seismik, seperti ditunjukkan pada Gambar 10.

Pada kenyataannya semua segmen merupakan zona aktif, namun hanya sedikit yang

pernah mengalami gempa besar (Mw > 8.5) selama dua abad terakhir ini.

Gambar 10 Zona kegempaan di Indonesia

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 4

Page 7: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

Bab 4 ANALISIS RESIKO GEMPA

4.1. Umum

Analisis resiko gempa (seismic hazard analysis) merupakan istilah yang berkaitan dengan

proses perencanaan parameter ground motion dalam analisis seismik. Parameter ground

motion ini biasanya menyangkut penentuan percepatan dan respon spektra di batuan dasar

dalam periode ulang tertentu. Secara umum untuk mendapatkan parameter ini meliputi

beberapa langkah berikut:

1. Identifikasi sumber-sumber gempa yang berkemampuan menimbulkan gerakan

batuan kuat (strong ground motion) pada lokasi proyek.

2. Mengevaluasi potensi seismik masing-masing sumber gempa tersebut.

3. Mengevaluasi intensitas rencana ground motion di lokasi proyek.

Identifikasi sumber-sumber gempa meliputi jenis fault dan lokasinya. Untuk itu dibutuhkan

data-data geologi, seismologi dan geofisika. Sumber-sumber gempa yang diakomodasi

adalah sumber-sumber gempa yang dianggap berpotensi menghasilkan gerakan tanah yang

cukup signifikan pada struktur yang ditinjau. Sumber-sumber gempa Indonesia yang meliputi

daerah longitude dan latitude ditunjukkan pada

Gambar 11. Magnitude terendah adalah M=5 dan kedalaman maksimum adalah 200 km.

Data-data kegempaan ini berasal dari kejadian gempa sejak 14 Desember 1901 hingga 30

Desember 2000.

Intensitas gerakan tanah pada suatu lokasi umumnya dapat ditinjau berdasarkan evaluasi

berikut:

1. Metode deterministik (Deterministic Seismic Hazard Analysis)

2. Metode probabilistik (Probabilistic Seismic Hazard Analysis)

3. Menggunakan peraturan dan standar bangunan yang ada.

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 5

Page 8: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

Gambar 11 Distribusi epicenter kejadian gempa antara tahun 1901 sampai 2001 untuk

magnitude minimum 5 dan kedalaman maksimum 200 km

4.2. Resiko Gempa Batuan Dasar Berdasarkan Peta Gempa

Indonesia

Sumber gempa di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi yang berbeda

seperti ditunjukkan pada Gambar 12 dengan pola yang berbeda dan ditabulasi pada Tabel 1.

Gambar 12 Sumber kegempaan untuk mengembangkan peta gempa Indonesia (Firmansjah

dan Irsyam, 1999)

Tabel 1 Klasifikasi zona seismik yang digunakan untuk mengembangkan peta gempa Indonesia

(Firmansjah, J. & Irsyam, M., 1999)

Classification Source Area Maximum Magnitude

Subduction Zones 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Sumatera

Java

Banda

Seram

North Irian Jaya

Halmahera

Sangihe Talaud

North Sulawesi

Molluca Passage

8.5

8.2

8.5

8.4

8.4

8.5

8.5

8.0

8.5

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 6

Page 9: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

Transform Zones 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Sumatra Fault

Sukabumi

Baribis

Lasem

Majene – Bulukumba

Palu – Koro

Matano

Sorong

Ransiki – Lengguru

Yapen – Mamberano

Tarera - Aiduna

7.6

7.6

6.0

6.0

6.5

7.6

7.6

7.6

6.5

7.6

6.5

Diffuse Seismicity 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Flores back-arc

East Kalimantan

South Arm Sulawesi

East Arm Sulawesi

Southeast Arm Sulawesi

Central Sulawesi

South Halmahera

Central Banda

Aru

Salawati – Bintuni Basin

Central Irian Jaya

7.0

6.0

6.0

6.0

6.0

6.5

7.0

8.0

6.0

6.0

8.5

Berdasarkan sumber-sumber gempa pada Gambar 12, maka dikembangkanlah peta

percepatan puncak pada batuan dasar untuk periode ulangan 500 tahun untuk wilayah

Indonesia, seperti diperlihatkan pada Gambar 13. Peta ini telah menjadi Peraturan Gempa

Indonesia (SNI-1726, 2003).

Gambar 13 Peta gempa Indonesia (SNI-1726, 2003)

4.3. Pengaruh Kondisi Tanah Dan Respon Spektra

Kondisi tanah setempat sangat berpengaruh pada saat gelombang gempa merambat ke

permukaan tanah. Gambar 14 menunjukkan bagaimana percepatan di permukaan tanah

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 7

Page 10: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

menjadi lebih besar daripada percepatan di batuan terutama pada tingkat percepatan yang

kecil.

Gambar 14 Hubungan antara percepatan batuan dan percepatan permukaan (Idriss, 1990)

Pada Gambar 15 terlihat perbandingan antara nilai-nilai percepatan yang dicatat pada

batuan dan percepatan di puncak dam. Gambar ini menunjukkan besarnya pengaruh

amplifikasi pada struktur tanah.

Gambar 15 Perbandingan percepatan pada batuan dan puncak struktur bendungan tanah (Harder, 1991)

Kondisi tanah lokal juga akan mempengaruhi kandungan frekuensi pada gerakan tanah

permukaan dan dengan demikian juga respon spektra yang dihasilkannya. Gambar 16

menunjukkan bagaimana pengaruh kondisi tanah setempat pada bentuk spektra. Ternyata

bahwa pada periode di atas 0,5 detik, amplifikasi spektral adalah jauh lebih besar pada

tanah daripada batuan. Pada periode yang lebih panjang amplifikasi spektral meningkat

dengan berkurangnya kekakuan tanah. Gambar ini dengan jelas menunjukkan bahwa

kedalaman dan lunaknya lapisan tanah akan menghasilkan gerakan tanah dengan periode

yang panjang (rendah frekuensi). Efek ini dapat menjadi sangat penting apabila struktur yang

diletakkan pada lapisan tanah itu memiliki periode alami yang panjang.

Gambar 16 Respon spektra normalisasi rata-rata (5 % damping) untuk beberapa lokasi (Seed

et al., 1976)

Disamping itu Borcherdt (1994) juga telah mempelajari pengaruh kondisi tanah lokal

berdasarkan data-data dari gempa Loma Prieta. Hasil penelitiannya memberikan hubungan

faktor amplifikasi terhadap kondisi tanah lokal ditunjukkan pada Tabel 2. Klasifikasi tanah

yang digunakan dalam tabel ini konsisten dengan Uniform Building Code (UBC) 1997. Tipe

tanah SC-1a, SC-1b, SC-II, SC-III dan SC-IV adalah sesuai dengan tipe tanah SA, SB, SC, SD

dan SE (Tabel 3).

Tabel 2 Faktor amplifikasi periode pendek pada kondisi tanah dengan kelas tertentu

(Borcherdt, 1994)

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 8

Page 11: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

Site Classes –shear wave velocity (m/s)

Ground

Motion (g)

SC-1a SC-1b SC-II SC-III SC-IV

1620 1050 540 290 150

0.1 0.9 1.0 1.3 1.6 2.0

0.2 0.9 1.0 1.2 1.4 1.6

0.3 1.0 1.0 1.1 1.1 1.2

0.4 1.0 1.0 1.0 0.9 0.9

Average 1.0 1.0 1.2 1.3 1.4

Tabel 3 Klasifikasi tanah dari UBC - 1997

Site

ClassDescription (m/s)

SA Hard Rock >1500 - -

SB Rock - -

SC Hard Soil and Soft rock >50 >200

SD Medium Soil

SE Soft Soil <15 <100

Faktor amplifikasi Ca dan Cv berdasarkan UBC’97, berturut-turut ditunjukkan pada Tabel 4

dan Tabel 5.

Tabel 4 Faktor Amplifikasi Percepatan Untuk Ca (UBC’97)

A 0.8 0.8 0.8 0.8B 1.0 1.0 1.0 1.0C 1.1 1.2 1.2 1.0D 1.5 1.5 1.4 1.2E 2.4 2 1.7 1.2

Z=0.20 Z=0.30Klas Site Z=0.075 Z=0.15

Tabel 5 Faktor Amplifikasi Percepatan Untuk Cv (UBC’97)

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 9

Page 12: Beban Gempa Pada Pondasi

Modul 11

A 0.8 0.8 0.8 0.8B 1.0 1.0 1.0 1.0C 1.6 1.7 1.6 1.5D 2.3 2.1 2.0 1.8E 3.3 3.3 3.2 2.8

Klas Site Z=0.075 Z=0.15 Z=0.20 Z=0.30

Sebagai contoh ambillah besarnya percepatan di batuan dasar sebesar 0.20 yang diperoleh

dari Peta Gempa Indonesia dengan kondisi tanah lokal merupakan klas D. Maka dari Tabel 4

dan Tabel 5 diperoleh:

Untuk Site Class D:

Dari data-data tersebut dapat dibuat respon spektra rencana di permukaan tanah sebagai

berikut:

Gambar 17 Grafik Respon Spektra Jawa Barat

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB Pintor Simatupang REKAYASA PONDASI II 10

Page 13: Beban Gempa Pada Pondasi

Bab 5 LIQUEFACTION

5.1. Umum

Masalah liquefaction mulai dibicarakan secara serius setelah terjadinya gempa Niigata

tahun 1964. Pada kejadian gempa ini mulai dikenali akibat-akibat yang ditimbulkan oleh

liquefaction, seperti banyaknya gedung-gedung yang mengalami keruntuhan.

Liquefaction pada tanah atau secara signifikan adalah hilangnya kekuatan dan kekakuan

tanah akibat meningkatnya tegangan air pori selama berlangsungnya guncangan gempa.

Akhir-akhir ini telah dipercaya bahwa banyaknya keruntuhan pondasi pada gedung-

gedung dipicu oleh terjadinya liquefaction. Meskipun pondasi dari gedung-gedung

tersebut adalah pondasi tiang yang cukup dalam dan terletak pada tanah keras. Apabila

di atas lapisan dukung pondasi terdapat cukup tebal lapisan pasir yang mengalami

liquefaction selama terjadinya gempa, maka pondasi tiang tersebut akan mengalami

gangguan atau mengalami patah di tengah atau tergulingnya gedung karena kepala tiang

umumnya dihubungkan secara daktail, seperti ditunjukkan pada Gambar 18.

Gambar 18 Kegagalan pondasi tiang akibat liquefaction

Kegagalan pondasi tiang pada kejadian liquefaction merupakan akibat timbulnya gaya

lateral tambahan yang harus dipikul oleh tiang. Kebanyakan kejadian menunjukkan

bahwa lokasi kerusakan terjadi pada kepala tiang dan batas antara tanah yang

mengalami liquefaction dan lapisan yang tidak mengalami liquefaction.

Perpindahan permanen horizontal permukaan tanah di dekat ujung bebas tiang

merupakan parameter penting dalam menentukan besarnya momen lentur yang merusak

tiang. Disamping itu parameter lain yang penting adalah sebagai berikut: kekuatan dan

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

1

Page 14: Beban Gempa Pada Pondasi

kekakuan tiang, kekuatan dan kekuatan hubungan kepala tiang, kekuatan dan kekakuan

lapisan yang tidak mengalami liquefaction, ketebalan lapisan yang mengalami liquefaction

Terdapat beberapa pendekatan untuk mengevaluasi liquefaction, sebagai berikut

(Kramer, 1996):

a. Cyclic stress approach

b. Cyclic strain approach

c. Energy dissipation approach

d. Effective stress-based response analysis approach, and

e. Probabilistic approach

5.2. CYCLIC STRESS APPROACH

Cyclic stress approach berkenaan dengan menentukan tegangan geser siklis yang

ditimbulkan oleh gempa agar terjadi liquefaction. Pendekatan ini didasarkan pada

magnitude gempa dan jumlah tegangan geser siklis akibat guncangan gempa.

Pendekatan tegangan siklis secara konseptual adalah sederhana: beban gempa

dinyatakan dalam tegangan geser siklis, kemudian dibandingkan dengan tahanan

liquefaction tanah yang juga dinyatakan tegangan geser siklis. Pada suatu lokasi dimana

beban melampaui tahanan, maka di situ akan terjadi liquefaction. Namun perlu kehati-

hatian dalam menentukan kondisi beban dan tahanan liquefaction.

5.2.1. Beban Gempa

Tingkat tekanan pori ekses (excess pore pressure) yang dibutuhkan untuk menimbulkan

liquifaksi berkaitan dengan amplitudo dan lamanya gempa. Pendekatan tegangan siklis

didasarkan pada asumsi bahwa timbulnya tekanan pori ekses pada dasarnya

berhubungan dengan tegangan geser siklis, sehingga beban seismik dapat dinyatakan

dalam tegangan geser siklis. Beban gempa ini dapat diprediksi dengan dua cara: a)

analisis rinci ground response dan b) pendekatan simplifikasi dari Seed et al. (1975).

Prosedur simplifikasi Seed et al. (1975) menggunakan prosedur weighting terhadap

sekumpulan catatan riwayat tegangan geser dari gempa kuat yang tersedia untuk

menentukan angka tegangan uniform (Neq), yang akan menimbulkan peningkatan

tegangan pori yang ekivalen dengan riwayat waktu acak. Neq diambil pada amplitudo 65 %

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

2

Page 15: Beban Gempa Pada Pondasi

dari tegangan geser siklis tertinggi ( ). Angka ekivalen tegangan siklis

uniform untuk magnitude gempa 5,3 – 7,7 diunjukkan pada Gambar 19. Dalam gambar ini

digunakan komponen ground motion terkuat yang ada catatannya.

Gambar 19 Angka ekivalen tegangan siklis uniform, Neq (Seed, et al., 1975)

5.2.2. Pelawan Liquefaction

Pelawan liquefaction (liquefaction resistance) dapat ditentukan lewat uji laboratorium

terhadap contoh tanah tak terganggu atau didasarkan atas pengamatan terhadap

kejadian liquefaction pada kejadian-kejadian gempa terdahulu. Menurut Kramer (1996),

hasil dari pengamatan kejadian liquefaction di masa lalu adalah lebih baik jika

dibandingkan dengan hasil uji laboratorium yang beragam.

Evaluasi terhadap pelawan liquefaction dapat dicapai dengan menggunakan hubungan

antara nilai SPT terkoreksi (N1)60 dan nisbah (ratio) tegangan siklis uniform ekivalen yang

dibutuhkan untuk memicu liquefaction dengan lama dan tipikal gempa bermagnitude M =

7,5, sebagaimana digagas oleh Seed et al. (1984). Dalam hubungan ini, nisbah tegangan

siklis (CSR) dinyatakan sebagai,

where,

= tegangan geser siklis yang bekerja pada bidang horizontal

= tegangan vertikal efektif awal (sebelum gempa)

Nilai N-SPT yang distandarisasi (N1)60 didasarkan pada standar alat dan prosedur

sebagaimana diberikan pada Tabel 6 (Seed et al., 1984). Sistem dan prosedur standar

untuk (N1)60 dikombinasikan dengan sistem tali (rope) dan cathead yang secara tipikal

menghasilkan kira-kira 60 % dari energi tinggi jatuh bebas teoretis. Untuk sistem lain nilai

N-SPT harus dikoreksi.

Gambar 20 Hubungan antara nisbah tegangan siklis yang menimbulkan liquefaction (CSR)

causing liquefaction dan nilai (N1)60 untuk M = 7,5 (Seed et al., 1975)

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

3

Page 16: Beban Gempa Pada Pondasi

Tabel 6 Alat dan prosedur standar SPT (Seed et al., 1984)

Jika nilai N-SPT diperoleh dengan menggunakan alat dan prosedur selain dari yang

diberikan dalam Tabel 6, maka nilai tersebut harus dikoreksi terhadap nilai-N60 sebagai

nilai standar (nilai ER lihat Tabel 7) ,

Tabel 7 Ringkasan nisbah energi (ER) for some common SPT procedures (Seed et al., 1984)

An appropriate corrections necessary to develop the standardized, the penetration

resistance (N)60 must then be further corrected to account for effective overburden

pressure, by using a correction factor CN as shown in Fig. 4-3 as example. Thus

(3)

The final penetration resistances are plotted in Fig. 4-2 to develop relationship with cyclic

stress ratio causing liquefaction (CSRl) for fines contents of 5%, 15%, and 35%.

However, it is should be noted that this relationship is only for earthquake magnitude of

M=7.5. For earthquake magnitude other than M=7.5, the value CSRl determined from Fig.

4-2 can be corrected to develop an estimate of the CSRl necessary to cause liquefaction

as

(4)

Fig. 4-3 Correction factor CN to account for overburden stress

(Seed & Idriss, 1982)

The correction factor, CM is a function of earthquake magnitude as shown in Fig. 4-4.

Fig. 4-4 Representative relationship between CSR and number of cycles

required to cause liquefaction (Seed & Harder, 1990)

4.2.3 Pore Pressure Generation

To evaluate the potential pore pressure increase due to a given intensity of earthquake

shaking in sandy soils, a simple approximate was presented by DeAlba, et al. (1976)

shown in Fig.4-5. From this figure, the relationship between induced pore pressure ratio

(ru) and cycle ratio of the number of equivalent cycles induced by the earthquake (Ne) and

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

4CM =

Page 17: Beban Gempa Pada Pondasi

the number of such cycles required to cause liquefaction (Nl), will lie between the

boundaries shown in Fig. 4-5.

Fig. 4-5 Rate of pore water pressure build up in cyclic simple shear test

(DeAlba et al., 1976)

The value of Ne can be determined from Fig. 4-1, and the value of N l can be obtained from

Fig. 4-4 by following procedures: (Seed et al., 1983)

1. Determined the average cyclic stress ratio induced by the earthquake and the

factor of safety against liquefaction.

2. Determine the number of effective stress cycles (at 0.65 max) induced by the

earthquake, Ne.

3. Plot the induced effects (induced stress ratio expressed as the ordinate of the

curve shown in Fig. 4-4 divided by the factor of safety) vs. the number of cycles as

a point on Fig. 4-4.

4. For the ordinate of the point determined in step 3, read from the curve the number

of cycles required to cause liquefaction, Nl.

4.3. MITIGATION OF LIQUEFACTION WITH GRAVEL DRAIN

4.3.1 Design of Gravel Drain

Mitigation of liquefaction by using gravel or rock drain is intended to control of undesirable

pore water pressure. Fig. 4-6 is a schematic diagram of gravel or rock drains (Das, 1993).

The purpose of the installation of gravel drains is to dissipate the excess pore water

pressure almost as fast as it is generated in the sand deposit due to cyclic loading. The

design principles of gravel drains have been developed by Seed and Booker (1977).

Assuming that Darcy’s law is valid, the continuity of flow equation in the sand layer for the

condition of purely radial flow can be written as

(5)

Eq. (5) has been solved by Seed & Booker (1977). It has been shown that the pore water

pressure ratio, ru is a function of the following parameters,

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

5

Page 18: Beban Gempa Pada Pondasi

It is also a function of ratio Ne / Nl, as discussed previously. And the following relation to

be,

(6)

where kh is permeability, mv3 is coefficient of volume compressibility, and td is earthquake

duration. By using these parameters, the solution of Eq. (5) is given in a nondimensional

form as shown in Fig. 4-7. In this figure, pore water pressure ratio in term of ug is defined

as,

Fig. 4-6 Gravel drain: (a) lay out (b) cross section S-S (Das, 1993)

Pore water pressure ratio ug reflects an effort of gravel drains to make the pore water

pressure ratio maximum induced during earthquake. It is noted that the ratio ug should be

less than one after installation of gravel drain.

Based on the Fig. 4-7 then the relationship between rg and ratio of Rd/Re can be used to

design gravel drain properly.

Fig. 4-7(a) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain

system parameters for Ne/Nl = 1 (Seed & Booker, 1977)

4.3.2 Influence of Gravel Drain Installation

The installation of gravel drain is intended for dissipation pore water pressure from sand

layer to gravel column. However, the most important effect of gravel drain installation is

reduction of cyclic shear stress during earthquake. In case of the installation of gravel

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

6

Page 19: Beban Gempa Pada Pondasi

drain and driven piles, the reduction factor for cyclic shear stress is defined by the ratio of

shear stress in the loose sand layer (Wismann et al, 1999) as

(7)

where,

Ra = ratio of drain column and piles to the total cross section area

Rs = the stiffness ratio between gravel and sand

Fig. 4-7(b) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain

system parameters for Ne/Nl = 2 (Seed & Booker, 1977)

Fig. 4-7(c) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain

system parameters for Ne/Nl = 3 (Seed & Booker, 1977)

Fig. 4-7(d) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain

system parameters for Ne/Nl = 4 (Seed & Booker, 1977)

The cyclic stress ratio developed in the earthquake shaking after installation of gravel

drains and piles to be,

(8)

4.3.3 Pore Water Pressure Dissipation

Pore water pressure dissipation after installation of drain can be assumed by that of one

dimensional consolidation analysis proposed by Terzaghi. However, Terzaghi”s

consolidation analysis is actually used for vertical drainage. Therefore, the application of

gravel drain in the radial drainage needs to be changed .

Analogously to vertical flow equation, the consolidation time for radial flow is defined as

(9)

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

7

Page 20: Beban Gempa Pada Pondasi

where,

t = time for consolidation

de = the equivalent influence spacing between drain column

Th = the time factor for horizontal drainage

ch = the horizontal coefficient of consolidation for horizontal drainage as mobilized by

vertical compression.

The values of de and Th can be seen in Fig. 4-8. The factor ch is a function of permeability

and compressibility coefficients which can be taken as

(10)

Fig. 4-8 Theoretical results for radial drainage (Koerner, R.M., 1984)

4.4. CASE STUDY ON CILACAP POWER PLANT

In order to design of gravel drain, a complete calculation was conducted on the based to

the condition of main building by using data from boring B.04. Soil condition and N-SPT

values as shown in Fig. 4-9. It is noted that evaluation of liquefaction only for sandy soil.

4.4.1 Evaluation of Liquefaction

Cyclic shear stress ratio induced by earthquake is defined by (CSR)eq for earthquake

magnitude M = 6.9 with duration of shaking about 20 seconds as shown in Table 4-3

(Seed et al., 1976). Number of cycles equivalent for this earthquake is 12 cycles based on

0.65 of maximum shear stress. Table 4-4 shows a brief calculation to evaluate the

liquefaction potential in the main building area.

Table 4-3. Earthquake magnitude and corresponding duration

(Seed et al., 1976)

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

8

Page 21: Beban Gempa Pada Pondasi

Fig. 4-9 Profile of boring B.04

Table 4-4 Calculation to evaluate the liquefaction potential

Depth (m) N (N1)60 (CSR)eq (CSR)l Fl Nl

3.5 10 16.5 0.371 0.297 0.80 6

5.5 12 15.8 0.367 0.276 0.75 5

7.5 9 10.2 0.351 0.201 0.57 3

9.5 12 12.0 0.347 0.233 0.67 4

12.0 8 7.1 0.336 0.148 0.44 2

From the above table, it can be seen that the sandy layer liquefies fully. F l is factor of

safety against liquefaction. Fig. 4-9 shows also the liquefiable layer.

Since the sandy layer liquefies completely, to avoid this hazard then an installation of

gravel drain is necessary.

4.4.2 Reduction of Cyclic Shear Stress

After installation of gravel drains and driven piles, it is supposed that reduction of cyclic

shear stress is exist. Number of piles are designed approximately 1200 piles with 0.6 m

diameter. Gravel drains column are approximately 1100 columns with 0.6 m diameter. The

area of main building approximately 8000 m2. The ratio of drain columns and piles to total

cross area of main building, Ra = 0.081. The stiffness ratio between gravel and sand, Rs is

suggested by Wismann et al. (1999) in the range of 8-35. Since the absence of data about

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

9

Page 22: Beban Gempa Pada Pondasi

gravel will be used, it is realistic to apply a value for Rs to be 8 as a minimum value. The

calculation of cyclic stress ratio after installation of gravel column and piles is given in

Table 4-5.

Table 4-5 Evaluation the effect of installation gravel drains and piles

Depth (m)

(1)

(CSR)eq

(2)

(CSR)eq-after

(3)

(CSR)l

(4)(3)/(4) Nl Ne/Nl

3.5 0.371 0.215 0.297 0.77 100 0.12

5.5 0.367 0.213 0.276 0.82 50 0.24

7.5 0.351 0.205 0.201 1.08 14 0.86

9.5 0.347 0.202 0.233 0.92 25 0.48

12.0 0.336 0.196 0.148 1.39 8 1.5

Number of cycles required to cause liquefaction (N l) in the above table can be obtained

from Fig. 4-10. Cyclic stress ratio, (CSR)eq is cyclic stress ratio induced by earthquake with

magnitude M=7.5, where number of equivalent cycles is 15.

Fig. 4-10 Relationship between shear stress level and the number of cycles

required to cause liquefaction (Tokimatsu and Seed, 1987)

From the above table, it is noted that the ratio of number of cycles equivalent induced by

earthquake (12) and number of cycles equivalent against liquefaction, Ne/Nl varies from

0.12 to 1.5. However, the lower sand layer about 2.5 m does not have any significant

effect to liquefaction. Therefore, it is reliable if the ratio of Ne/Nl is taken as 1.

4.4.3 Design of Gravel Drain

Parameters that used are given in the following:

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

10

Page 23: Beban Gempa Pada Pondasi

The permeability is predicted from grain size analysis where D20 = 0.14 mm. Based on

typical permeability value given by Handbook on Liquefaction remediation of Reclaimed

Land (Port and Harbour Research Institute, Japan), permeability kh = 3.8 x 10-5 m/s.

Coefficient of volume compressibility, mv3 = 2.0 x 10-5 m2/kN. This value is taken from

Handbook on Liquefaction remediation of Reclaimed Land (Port and Harbour Research

Institute, Japan).

Duration of earthquake about, td = 40 s. The radius of gravel column is given, Rd = 0.3 m

and the spacing of gravel drain, Re = 2.5 m for column length varies about 5 to 10 m.

Then, it is obtained Tad = 84

From previous calculation the ratio Ne/Nl = 1 and the ratio Rd/Re = 0.12. From curve in Fig.

7(a) for Ne/Nl = 1 and Rd/Re = 0.12, the expected of pore water pressure maximum is

approximately less than ru = 0.45. It means that the generated pore water pressure during

earthquake is limited until 45 % of effective stress only.

Time consumption to dissipate pore water pressure from sand layer during earthquake

shaking can be obtained from Eq. (9) for 90 percent consolidation. By using permeability

value and coefficient of volume compressibility for sand layer, the horizontal coefficient

consolidation to be

With de = 1.053 x 2.5 m = 2.6 m and dw = 0.3 m, it is obtained n = 9. From Fig. 4-8 for Uz =

90% obtained Th = 0.4.

And finally,

It can be concluded that the pore water pressure should be dissipated to drain column

completely during earthquake shaking. Thus, by application the gravel drain the

liquefaction can be prevented.

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

11

Page 24: Beban Gempa Pada Pondasi

Daftar Pustaka

1. Borcherdt, R.D., Estimates of site dependent response spectra for design

(methodology and justification), Earthquake Spectra, Vol. 10, No.4, 1994.

2. Das, B.M., (1993), Principles of Soil Dynamics, Elsevier.

3. DeAlba, P., Seed, H.B., Chan, C.K., (1976), Sand liquefaction in large-scale simple

shear tests, JGED, ASCE, 102, GT9.

4. Firmansjah, J. dan Irsyam, M., Development of seismic hazard map for Indonesia,

Konferensi Nasional Rekayasa Kegempaan di Indonesia, ITB, 1999.

5. Handbook on liquefaction remediation of reclaimed land, (1996), Port and Harbour

Research Institute.

6. Irsyam, M., Development of earthquake microzonation and site specific response

spectra to obtain more accurate seismic base shear coefficient, Final Report, ITB,

2001.

7. Koerner, M.K., (1985), Construction and Geotechnical Methods in Foundation

Engineering, McGraw-Hill.

8. Kramer, S.L., (1996), Geotechnical Earthquake Engineering, Prentice Hall.

9. Seed, H.B., Idriss, I.M., Makdisi, F., and Banerje, N., (1975), Representation of

irregular stress time histories by equivalent uniform stress series in liquefaction

analyses, EERC 75-29, University of California, Berkeley.

10. Seed, H.B., Martin, P.P., and Lysmer, J., (1976), Pore-water pressure changes

during soil liquefaction, JGED, ASCE, 102, GT4.

11. Seed, H.B., Tokimatsu, K., Harder, L.F., and Chung, R., (1985), Influence of SPT

procedures in soil liquefaction resistance evaluation, JGED, ASCE, 111, No.12.

12. Seed, H.B. and Booker, J., (1977), Stabilization of potentially liquefiable sand

deposits using gravel drains, JGED, ASCE, 103, GT7.

13. Seed, H.B. and Idriss, I.M., (1982), Ground motions and soil liquefaction during

earthquakes, EERI, Berkeley, California.

14. Seed, R.B. and Harder, L.F., (1990), SPT-based analysis of cyclic pore pressure

generation and undrained residual strength, in J.M. Duncan ed., Proceedings, H.

Bolton Seed Memorial Symposium, University of California, Berkeley, Vol.2.

15. Standar Nasional Indonesia , SNI-1726, 2003.

16. Tokimatsu, K. and Seed, H.B., (1987), Evaluation of settlements in sands due to

earthquake shaking, JGED, ASCE, 113, No.8.

17. Wissman, Lawton, and Farrel, (1999), Geopier Design.

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

12

Page 25: Beban Gempa Pada Pondasi

Referensi

[1]. Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York,

1988.

[2]. Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.

[3]. Meyerhof, G.G.: Bearing capacity and settlement of pile foundations, Journal of the

Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 102, No. GT3, pp. 197-228,

[4]. Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.

[5]. Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publication,

Cement and Concrete Association, 1977.

[6]. Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-Graw-

Hill, New York, 1973.

[7]. Vesic, A.S.: Experiment with instrumented pile groups in sand, American Society for

Testing and Materials; Special Technical Publication, No. 444, pp. 177-222, 1969.

[8]. Vesic, A.S.: Test on instrumented piles-Ogeechee River site, Journal of the Soil

Mechanics and Foundations Divisions, ASCE, Vol. 96, No. SM2, pp. 561-584, 1970.

[9]. Vesic, A.S.: Design of Pile Foundations, National Cooperative Highway Research

Program Synthesis of Practice No. 42, Transportation Research Board, Washington,

D.C., 1977.

Perencanaan Beban Gempa pada Substructure

13