BAB II TINJAUAN UMUM A. Perkawinan Menurut Undang-Undang ...
BATAS USIA DALAM PERKAWINAN (Studi Komparatif Undang...
Transcript of BATAS USIA DALAM PERKAWINAN (Studi Komparatif Undang...
BATAS USIA DALAM PERKAWINAN
(Studi Komparatif Undang-Undang Perkawinan Indonesia dan Yaman)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ALFIDA HUSNA
1112044100014
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H / 2016 M
ABSTRAK
Alfida Husna. NIM 1112044100014. BATAS USIA DALAMPERKAWINAN (STUDI KOMPARATIF UNDANG-UNDANGPERKAWINAN INDONESIA DAN YAMAN). Program Studi Hukum KeluargaKonsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas IslamNegeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. Xi + 80 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang ikut mempengaruhipembentukan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dan Yaman, yangmenyebabkan terjadinya pembatasan usia menikah di Indonesia dan mengetahuisanksi hukum yang ditentukan oleh hukum positif di Indonesia dan Yaman bagipelaku perkawinan dibawah umur.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian studi kepustakaan (libraryresearch) melalui pendekatan yuridis normatif. Dengan Sumber Penelitianmenggunakan data primer, yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang PelaksanaanUndnag-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 23Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Personal Status No. 20 Tahun 1992,Konstitusi Yaman 16 Mei 1991 amndemen 29 September 1994. Dan bahansekunder, yaitu buku-buku, artikel ilmiah, arsip-arsip yang mendukung ataudokumen-dokumen. Analisis data dalam penelitian ini mengguakan analisisnormatif, dengan membandingkan undang-undang perkawinan Indonesia danYaman.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan perundang-undanganperkawinan di Indonesia dan Yaman salah satunya karena latar belakangsejarahnya. Pembentukan Pengaturan Perkawinan di Indoneisa tidak lepas dariketerlibatan tiga kepentingan, yaitu kepentingan negara, perempuan dan agama.Di Yaman, Sistem parlemen di Yaman, menetapkan batas usia menikah bagikeduanya 15 tahun karena alasan pubertas. Sampai saat ini memang di Indonesiadan Yaman sendiri belum diatur sanksi bagi yang menikah di bawah umur. Tetapidalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diaturbahwa kewajiban dan tanggungjawab orang tua untuk mencegah terjadinyaperkawinan pada usia anak-anak.
Kata Kunci : Batas Usia, Perkawinan di Bawah Umur, Komparatif, Yaman
Pembimbig : Drs. Wahyu Widiana, MA.
Daftar Pustaka : 1982 – 2013.
vi
KATA PENGANTAR
حیمحمن الر بسم هللا الر
Puji syukur Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan
kenikmatan kesehatan jasmani yang telah menyelesaikan skripsi ini. Serta
nikmatnya Iman dan Islam yang semoga kita selalu berada dalam ridha-nya.
Shalawat dan salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita baginda
Nabi Muhamad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahilliyah menuju
jaman yang ilmiah seperti sekarang ini.
Rasa syukur alhamdulillah tak henti-hentinya penulis panjatkan Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan taufiknya, sehingga
penulis dapat meyelesaikan skripsi ini denan baik. Dalam proses penulisan
skripsi ini, penulis memiliki banyak kendala dan hambatan. Baik secara
akademis maupun non akademis. Tetapi, penulis tetap semangat dan tidak
pantang menyerah. Usaha yang gigih dan kerja keras penulis tanamkan dalam
diri agar selalu semangat dalam menulis skripsi. Serta batuan do’a oleh semua
pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung
mempermudah penulis untuk menyelesaikan skripsi.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setingi-tinginya kepada semua
pihak yang telah membantu penulis. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
vii
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saefuddin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Abdul Halim, M.Ag dan Arip Purkon, MA, selaku Ketua dan
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Fakultas UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Drs. Wahyu Widiana, MA, selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar
membimbing penulis, memberikan saran dan meluangkan waktunya
hingga penulisan skripsi ini selesai.
5. Hotnidah Nasution, S.Ag, MA, selaku dosen Pembimbing Akademik.
6. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu dalam perkuliahan selama masa studi penulis.
7. Seluruh Staff dan Karyawan Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas dalam studi
kepustakaan.
8. Untuk kedua orang tua tercinta, Ayahanda (Alm) Sopyan, S.E. dan Ibunda
Popon Fatimah, terima kasih atas segala kasih sayang dan perhatiannya.
Doa-doa yang selau dipanjatkan. Terima kasih karena sudah percaya
kepada penulis untuk menyelesaikan studi di perguruan tinggi dan
mendukung penuh dalam pendidikan serta terus memotivasi penulis untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Terima kasih atas
viii
pengorbananya, selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis sehari-hari.
Sosok Ibu yang hebat yang sekaligus berperan sebagai Ayah. Serta adik
penulis, Alfitri Khaira Husna, terima kasih sudah memberi semangat dan
selalu menghibur penulis untuk segera menyelesaikan studi.
9. Keluarga besar di Karawang dan di Subang, terima kasih atas segala
perhatian dan dukungan baik materi maupun non materi.
10. Teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga angkatan 2012, terima kasih
sudah saling menyemangati dan berdiskusi selama empat tahun masa studi
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
11. Teman-teman Pengurus Keluarga Mahasiswa Islam Karawang (KMIK)
Jakarta.
12. Penghuni Asrama Putri KMIK Jakarta yang selalu memberikan semangat
serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
13. Teman-teman Keluarga Besar Moot Court Community (MCC) FSH UIN
Jakarta.
14. Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pitagoras 2015 serta warga Desa
Gunung Kaler Kampung Carenang, Tangerang.
Jakarta, 26 Juli 2016 M21 Syawwal 1437 H
Alfida Husna
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASYAH ................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................. iv
ABSTRAK....................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................... 1
B. Identifikasi Masalah..................................................... 9
C. Batasan & Rumusan Masalah....................................... 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................... 10
E. Tinjauan Review KajianTerdahulu............................... 11
F. Metode Penelitian……………………………………... 12
G. Sistematika Penulisan………………………………… 15
BAB II SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA
ISLAM DI INDONESIA DAN YAMAN
A. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia ......................... 16
1. Sejarah Islam di Indonesia ........................................ 16
2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam....................... 18
3. HukumKeluarga Islam dalam Peraturan
Perundang-Undangan ............................................... 21
B. Sejarah Hukum Keluarga di Yaman ............................. 24
1. Sejarah Islam di Yaman............................................ 24
2. Pembentukan Hukum Keluarga Yaman .................... 32
x
3. Hukum keluarga Islam dalam PeraturanPerundang-
UndanganYaman ...................................................... 35
BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BATAS USIA
MENIKAH DI INDONESIA DAN YAMAN
A. Batas Usia Menikah di Indonesia ................................. 38
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ............... 38
2. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 ....................... 41
3. Batas Usia Menurut Fuqaha………………………… 44
4. UU. No. 22 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak 47
B. Batas Usia Perkawinan di Yaman ................................ 54
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN BATAS USIA DI INDONESIA
DAN YAMAN
A. Analisis Hukum Positif di Indonesia ........................... 58
B. Analisis Hukum Positif di Yaman ................................ 68
C. Analisis Perbandingan Batas Usia Antara Indonesia
& Yaman ..................................................................... 76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................. 84
B. Saran ........................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 88
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan
meningkatnya kasus perkawinan karena kurangnya kesadaran untuk
bertanggungjawab dalam melaksanakan kehidupan berumah tangga.
Perkawinan yang diharapkan sesuai dengan tujuan perkawinan untuk dapat
keturunan dan untuk ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih
sayang. Menjadi keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Kesemuanya ini dapat dicapai hanya dengan prinsip bahwa perkawinan
adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.
Berkeluarga yang baik menurut Islam sangat menunjang untuk menuju
kepada kesejahteraan, termasuk dalam mencari rezeki Allah SWT.1
Batas usia dalam melangsungkan perkawinan sangat penting.
Karena di dalam perkawinan diperlukan kematangan psikologis.
Kedewasan ibu secara fisik dan mental sangat penting karena akan
berpengaruh terhadap perkembangan anak. Usia anak dalam perkawinan
menjadi penting untuk diperhatikan. Oleh karena itu, pendewasaan dalam
1 Tujuan perkawinan juga dapat dilihat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan dalam definisi Perkawinan Pasal 1 yang berbunyi bahwa, “Perkawinan adalahikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuanmembentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YangMaha Esa”.
2
menikah menjadi penting untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu
sebelum menikah.
Rasulullah memerintahkan orang-orang yang telah mempunyai
kesanggupan kawin, hidup berumah tangga karena perkawinan akan
memeliharanya dari (melakukan) perbuatan-perbuatan yang dilarang
Allah. Bahwa agama Islam menganjurkan bahkan mewajibkan seseorang
yang sudah memenuhi alasan untuk menikah.2 Dalam hubungan
perkawinan tidak boleh semata-mata hanya ikatan lahiriah saja dalam
makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami isteri dalam
ikatan formal, tetapi juga kedua-duanya harus membina ikatan batin.
Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas. Jalinan ikatan lahir
dan ikatan batin itulah yang menjadi pondasi yang kokoh dalam
membangun dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.3
Islam sudah memberikan persyaratan bagi seseorang yang akan
melangsungkan pernikahan. Tetapi, dalam Islam tidak ada aturan khusus
mengenai batas usia menikah. Di Indonesia sendiri justru batasan usia
menikah menjadi hal yang diperdebatkan. Maka, perlu adanya ketentuan
batasan usia menikah ini yang didasarkan pada tujuan untuk kemaslahatan
bersama dalam rumah tangga yang dibentuk dalam suatu ikatan
perkawinan. Untuk itu, calon pasangan yang akan melangsungkan
2Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2002, Cet. Kedua), h. 3.
3Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 27.
3
pernikahan harus telah masak jiwa dan raganya agar tercapai tujuan
perkawinan.
Secara eksplisit para fuqaha’ tidak sepakat terhadap batas usia
minimal perkawinan, namun ia berpandangan bahwa baligh bagi seseorang
itu belum tentu menunjukkan kedewasaannya, dengan alasan beberapa
pendapat mazhab. Syafi’i dan Hambali menyatakan usia baligh untuk anak
laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan Maliki
menetapkannya tujuh belas tahun. Sementara itu Hanafi menetapkan usia
baligh bagi anak laki-laki adalah delapan belas tahun, sedangkan anak
perempuan tujuh belas tahun.4
Memang pada dasarnya setiap laki-laki muslim dapat saja kawin
atau nikah dengan wanita yang disukainya. Dalam Islam pun, tidak ada
syarat usia dalam perkawinan. Namun di Indonesia, dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ayat (1)
menyatakan bahwa “perkawinan hanya diizinkan jika para pihak laki-laki
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan para pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Ketentuan batas kawin ini
seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat (1)
didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga
perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Perkawinan,
bahwa calon suami isteri telah masak jiwa raganya, agar tujuan
perkawinan dapat diwujudkan secara baik dan sehat. Untuk itu harus
4 Dedi Supriyadi & Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 26.
4
dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah
umur.5
Selanjutnya ada juga ketentuan bahwa bagi calon mempelai yang
belum mencapai umur 21 yang akan melangsungkan pernikahan harus
mendapat izin dari orang tua sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 2, 3, 4
dan 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam hal ini KHI
memberikan aturan yang sama dengan UU Perkawinan.6 Diatur juga dalam
Peraturan Pemerintah No.9/1975 juga dalam Pasal 6 ayat (2) buruf c
bahwa, “Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat
(2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun.7
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang telah direvisi oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 juga tidak
menentukan batasan usia untuk menikah. Undang-Undang ini hanya
menegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak juga
harus dilindungi dalam segala kegiatan untuk menjamin hak-haknya agar
dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam pasal 26 UU
5Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi Revisi (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2013, Cet. Pertama), h.59.
6Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta:Kencana, 2004, Cet. Kedua), h. 57.
7 Abdul Manan & M.Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang PeradilanAgama (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002, Cet. Kelima), h.9.
5
Perlindungan Anak juga dijelaskan bahwa orang tua juga wajib mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Konvensi Hak Anak (KHA) berlaku sebagai hukum internasional
dan KHA diratifikasi melalui Keppres No.36 tahun 1990, untuk
selanjutnya disahkan sebagai undang-undang Perlindungan Anak (UU PA)
No.23 tahun 2002. Pengesahan UU tersebut bertujuan untuk mewujudkan
perlindungan dan kesejahteraan anak. Dalam UU Perlindungan Anak
dinyatakan dengan jelas bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan
terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia.8
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia menganut prinsip bahwa
calon suami-isteri telah matang jasmani dan rohaninya untuk
melangsungkan perkawinan, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari
perkawinan dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Kedewasaan
yang matang diharapkan dapat menerima dan menyelesaikan problematika
rumah tangga dengan nalar yang matang dan berpikir dewasa. Dari sudut
kesehatan, kematangan bagi para mempelai perempuan, sangatlah penting.
Hal ini bersangkut paut dengan kematangan alat reproduksi dan
kematangan jiwa ketika si ibu mendidik dan membina anaknya. Dari orang
tua yang matang akan lahir anak-anak yang sehat dan kuat.9
8Sari Pediatri, “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya”, Vol 11, no. 2 (Agustus2009): h. 139.
9Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalamHukum Nasional (Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka, 2012. Cet. Kedua), h. 112.
6
Dengan demikian pengaturan tentang usia ini sebenarnya sesuai
dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan istri
harus telah masak jiwa dan raganya. Tujuannya adalah agar tujuan
perkawinan untuk menciptakan keluarga yang kekal dan bahagia secara
baik tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat dapat diwujudkan. Kebalikannya perkawinan di bawah umur
atau yang sering diistilahkan dengan perkawinan dini seperti yang telah
ditetapkan oleh undang-undang semestinyalah dihindari karena membawa
efek yang kurang baik, terutama bagi pribadi yang melaksanakannya.
Asas penting yang diusung undang-undang perkawinan Islam di
Dunia Islam adalah asas kematangan atau kedewasaan calon mempelai.
Maksudnya, undang-undang perkawinan menganut prinsip bahwa setiap
calon suami dan calon istri yang hendak melangsungkan akad pernikahan,
harus benar-benar telah matang secara fisik maupun psikis (rohani), atau
harus sudah siap secara jasmani maupun rohani, sesuai dengan yang
tertera dalam pengertian perkawinan itu sendiri “perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita”.10
Selain di Indonesia, sebagaimana hukum keluarga di negara-negara
muslim, salah satunya Yaman. Yaman juga menetapkan adanya batasan
usia menikah yaitu 15 tahun bagi laki-laki dan wanita. Dalam pasal 15
Personal Status N0. 22 Tahun 1992 berbunyi:
10Dedi Supriyadi & Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 37.
7
ال یصح تزویج الصغیر ذكرا كان أو أنثى دون بلوغھ خمسة عشرة سنة
It shall be invalid for a minor whether male or female to bemarried before attaining fifteen years of age.
Ini merupakan batasan terendah jika dibandingkan dengan
Indonesia. Masalah perkawinan di bawah umur meningkat di Yaman
karena persoalan ekonomi. Meningkat secara tajam pada tahun 2009
sebanyak 42% dan pada tahun 2012 meningkat sebanyak 54,5%. 11
Perkawinan memang termasuk ke dalam keperdataan. Perkawinan
merupakan peristiwa hukum yang jelas memberikan sebab dan akibat.
Maka dari itu perlu kebijakan khusus dari negara. Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 sudah mencoba mengkodifikasi hukum perkawinan tersebut.
Apabila perkawinan tidak diatur negara, maka bisa dibayangkan akan
berdampak pada ketidakadilan bagi perempuan dan anak-anak yang
dilahirkan. Memang masalah perkawinan pada Undang-Undang
Perkawinan termasuk dalam kebijakan hukum perdata. Namun bagaimana
kebijakan hukum pidana memandangnya ketika kedua calon pasangan
suami isteri melanggar ketentuan yang sudah ditentukan dalam Undang-
Undnag Perkawinan dalam hal pembatasan usia nikah.
Dalam kaitannya dengan pandangan hukum pidana positif di
Indonesia terhadap perkawinan di bawah umur, maka sejauh ini belum
ditemukan peraturan pidana positif Indonesia yang secara eksplisit
melarang perbuatan perkawinan di bawah umur. Belum ada sanksi pidana
11 International Organization for Migration (IOM), Tourist Marriage in Yemen(Sana’a: Yemen Modern Printing Press, 2014), h. 8.
8
yang bisa menjerat pelaku yang melakukan perkawinan di bawah umur.12
Kebijakan yang hendak mencantumkan pidana dalam Undang-Undang
Perkawinan yang akan datang, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari
kecenderungan kebijakan legislatif yang selalu mencantumkan ketentuan
pidana dalam hukum administrasi.
Secara garis besar, upaya pembaharuan atau modernisasi hukum
keluarga di negeri-negeri muslim didasari oleh beberapa pertimbangan
atau tujuan. Pertama, untuk kepentingan unifikasi hukum. Pluralisme
mazhab atau agama menjadi keniscayaan di negeri-negeri muslim. Kedua,
bertujuan untuk mengangkat status perempuan. Meski secara eksplisit
tujuan ini tidak tampak muncul ke permukaan, namun mencermati
substansi dan setting sosial yang melatari upaya pembaruan di beberapa
negeri muslim. Dan ketiga, pembentukan hukum keluarga tidak dapat
dilepaskan dari sisi dinamika sosial dan zaman. 13
Maka dari itu, penulis merasa tertarik meneliti masalah tersebut
dengan judul: Batas Usia Dalam Perkawinan (Studi Komparatif Undang-
Undang Perkawinan Indonesia dan Yaman).
B. Identifikasi Masalah
12Supriyadi dan Yulkarnain Harahap, “Perkaiwnan Dibawah Umur Dalam PerspektifHukum Pidana dan Hukum Islam”, Mimbar Hukum Volume 21, No. 3 (Oktober 2009): h.599.
13 Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indoneisa (Jakarta: Sinar Grafika:2013), h.7.
9
1. Apa faktor yang ikut mempengaruhi pembentukan Undang-Undang
Perkawinan di Indonesia dan Yaman?
2. Bagaimana pengaturan hukum Islam dan hukum positif memandang
usia dalam perkawinan?
3. Apa saja yang menyebabkan terjadinya pembatasan usia menikah di
Indonesia dan Yaman?
4. Apa sanksi pidana di Indonesia dan Yaman bagi pelaku yang menikah
di bawah umur?
5. Bagaimana dampak pembatasan usia menikah terhadap perempuan dan
anak-anak?
C. Batasan & Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dalam skripsi ini, penulis akan meneliti masalah tentang batas
usia dalam perkawinan. Agar masalah tidak meluas, penulis
membatasi penelitian ini yaitu menjelaskan batas usia dalam
perkawinan. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas,
penulis ingin meneliti lebih jauh terhadap Undang-Undang
Perkawinan di Indoneisa dan Yaman.
2. Rumusan Masalah
1. Apa faktor yang ikut mempengaruhi pembentukan Undang-
Undang Perkawinan di Indonesia dan Yaman?
10
2. Apa saja yang menyebabkan terjadinya pembatasan usia menikah
di Indonesia dan Yaman?
3. Adakah sanksi hukum yang ditentukan oleh hukum positif di
Indonesia dan Yaman bagi pelaku perkawinan dibawah umur?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari
penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui faktor yang ikut mempengaruhi terbentuknya
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dan Yaman.
2. Untuk mngetahui penyebab terjadinya pembatasan usia menikah di
Indonesia dan Yaman.
3. Untuk mengetahui sanksi hukum yang ditentukan oleh hukum
positif di Indonesia dan Yaman.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam
bidang ini dan mendapatkan gelar strata satu (S1).
2. Penulisan dalam bidang ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam bidang Hukum Islam khususnya bidang
perkawinan dalam negara-negara muslim.
11
3. Memberikan referensi kepada mahasiswa yang sedang meneliti
dalam permasalahan perbandingan di negara-negara muslim.
E. Tinjauan Review Kajian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan,
ditemukan hasil penulisan yang berkaitan dengan batasan dalam usia
menikah. Diantaranya adalah:
1. Sunendi, Sanki Pidana Bagi Praktek Perkawinan Di Bawah Umur
(Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif), Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Skripsi ini mnejelaskan bahwa dalam hukum Islam memang
diperbolehkan jika telah memenuhi ketentuan rukun dari suatu
perkawinan. sedangkan dalam UU Perkawinan, tdiak diperbolehkan
praktek perkawinan di bawah umur jika keduanya belum mencapai
batas usia untuk menikah. Dapat dipidanakan apabila menyetubuhi
wanita yang belum mencapai usia kawin, apabila dalam perbuatan
tersebut menimbulkan luka-luka.
Perbedaan dengan skripsi ini adalah tidak hanya memandang dari
hukum Islam dan hukum positif, tetapi membandingkan kedua hukum
keluarga di dua negara.
2. Udi Wahyudi, Tingkat Kedewasaan Antara Laki-Laki Dan Perempuan
Relevansinya Dengan Batas Usia Perkawinan (Studi Komparasi
12
Hukum Islam Dengan Pandangan Medis), Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Skripsi ini menjelaskan dalam pandangan medis menilai tingkat
kedewasaan laki-laki dan perempuan untuk menikah adalah diatas 20
tahun bagi perempuan dan di atas 25 tahun bagi laki-laki. Karena
pernikahan yang dilangsungkan dibawah umur tersebut, rentan sekali
terhadap penyakit organ reproduksi dan mental lainnya.
Perbedaan dengan skripsi ini adalah penulis tidak secara eksplisit
menentukan usia secara medis, hanya memandang bahwa faktor
kedewasaan juga penting diperhatikan untuk melangsungkan
pernikahan.
3. Haris Santoso, Batas Usia Minimal Perkawinan Di Indonesia
Perspektif Imam Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010.
Skripsi ini menjelaskan bahwa para fuqaha tidak menentukan usia
minimal untuk melangsungkan perkawinan tetapi menentukan baligh
sebagai batas minimalnya. Perbedaan dengan skripsi ini adalah
membandingkan pemikiran mazhab mayoritas di kedua negara.
F. Metodologi Penelitian
Dalam pengumpulan bahan/data agar mengandung suatu kebenaran
yang obyektif, maka penulis menggunakan metode penelitian ilmiah
sebagai berikut:
13
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian studi
pustaka (library research) dengan menggunakan penelitian normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan
hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang
dimaksud adalah mengenai assa-asas, norma, kaidah dari peraturan
perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin
(ajaran).14
2. Pendekatan
Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan
yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara
menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Dengan
meneliti perturan perundangan dan dokumen yang terkait dengan
penelitian ini.
3. Sumber Penelitian
Sumber yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
a. Data primer, sumber asli yang memuat informasi atau data bahan-
bahan hukum yang mengikat. Sumber primer dalam penelitian ini
adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksaanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-
14 Fahmi Muhammad Ahmadi & Jaenal Aripin, Metode Penelitia Hukum (Ciputat:Lembaga Penelitian, 2010), h. 31.
14
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Hukum
Keluarga Yaman Selatan (Qanun al-Usrah) Family Law 1974,
Hukum Keluarga Yaman No. 20 Tahun 1992, Konstitusi Yaman
16 Mei 1991 dan amandemen 29 September 1994.
b. Data Sekunder, yaitu sumber yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer tersebut. Data sekunder dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan, buku-buku, artikel ilmah,
arsip-arsip yang mendukung atau dokumen-dokumen.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dengan studi pustaka, yaitu dengan
mengumpulkan data yang membahas tentang batas usia dalam
perkawinan di Indonesia dan Yaman serta data yang ada relevansinya
dengan judul dan mengkajinya.
5. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data yang dilakukan dengan cara
analisis komparatif, yaitu dengan membandingkan undang-undang
perkawinan di negara Indonesia dengan Yaman mengenai perbedaan
batasan usia menikah. Sementara data yang diperoleh dari buku-buku,
artikel ilmiah, atau dokumen-dokumen yang mendukung, diklarifikasi
atau diinterprestasikan agar mudah dipahami.
6. Teknik Penulisan
15
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Panduan
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta” tahun 2012.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub bab
sebagai berikut:
Bab Pertama, dalam bab ini menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode
penelitian, sistematika penulisan dan daftar pustaka. Selanjutnya dalam
bab dua penulis memuat sejarah Islam di negara Indonesia dan Yaman,
Pembentukan Hukum Keluarga Islam Indonesia dan Yaman, Hukum
Keluarga Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan di Negara
Indonesia dan Yaman.
Bab ketiga, dalam bab ini membahas batas usia perkawinan di
Indonesia dan Yaman. Pada bab keempat, dalam bab ini berisi Analisis
Peraturan Perundang-Undangan Batas Usia Menikah di Indonesia dan
Yaman, Perbedaan Peraturan Perundang-Undangan Batas Usia Menikah di
Negara Indonesia dan Yaman. Dan yang terakhir bab kelima, pada bab ini
memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan untuk kemudian penulis
memberikan saran-saran yang konstruktif.
16
16
BAB II
SEJARAH PEMBENTUKAN HUKUM KELUARGA ISLAM DI
INDONESIA DAN YAMAN
A. Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia
1. Sejarah Islam di Indonesia
Negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang
berbentuk Republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pancasila adalah dasar
ideal negara yang menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah
negara yang menghargai dan menghormati kehidupan beragama.1
Di bawah Bab Agama, dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia)
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang berarti bahwa
dalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku
sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan
norma kesusilaan bangsa Indonesia, yang dalam menjalankan syariat
tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.2
1 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan hukum Perkawinan di Dunia Islam(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), h. 183.
2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Islam diIndonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 8.
17
Islam masuk ke Nusantara berasal dari benua India, daerah
Gujarat dan Malabar abad 12. Teori ini berlandasakan pada sejarah
migrasinya orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i. Kedua daerah
tersebut kemudian membawa ajaran Islam ke Nusantara oleh
pedagang-pedagang perantara yaitu pedagang Nusantara dan para
pedagang di Timur Tengah. Karena jalur perdagangan laut yang
menghubungkan Siraf di Teluk Persia, India, dan Cina sudah ada sejak
abad 4, dan berkembang menjadi jalur transportasi yang lebih besar di
abad ke-7.3
Dalam negara Indonesia yang berdasar Pancasila dan mayoritas
penduduknya beragama Islam, ada konsekuensi bahwa hukum yang
berlaku di Indonesia harus tetap konsisten dengan dan dilandasi oleh
nilai-nilai Ke-Tuhanan Yang Maha Esa [sebagai sila pertama
Pancasila yang menyinari sila-sila lainnya], dan tetap mengindahkan
nilai-nilai hukum agama Islam. Sebaiknya hukum di Indonesia,
khususnya yang berlaku bagi umat Islam Indonesia, tidak boleh
mengandung ketentuan yang bertentangan dengan hukum Islam.
Dengan demikian “di dalam negara hukum Pancasila yang penting
adalah hukum nasional yang sumber utamanya adalah hukum Islam
selain Pancasila.”4
3 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalamHukum Nasional (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 22.
4 Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islamdalam Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 126.
18
Hubungan yang erat antara Pancasila sebagai dasar negara,
dengan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar, membawa pengaruh kepada
tata nilai, corak dan isi hukum yang berlaku di Indoneisa. Pengaruh itu
bermuara kepada keinginan luhur bangsa, yaitu bahwa semua hukum
yang berlaku, harus bersumber dan dijiwai serta tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.5 Hukum Barat sebagai
hukum asing menggambarkan sejarah dan norma-norma bangsa Eropa
yang belum tentu sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia.
2. Pembentukan Hukum Keluarga Islam
Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional
tidak menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi mayoritas
penduduknya menganut agama Islam. Sebagian hukum Islam telah
berlaku di Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam. Kemudian
berlaku pada masa penjajahan kolonial Belanda hingga zaman
kemerdekaan. Secara yuridis, bagian hukum Islam telah dilaksanakan.
Namun, penerapan prinsip berangsur-angsur dalam pengundangan
hukum Islam di Indonesia.6
Pemberlakuan hukum keluarga di Indonesia bukan tanpa
upaya awal dari beberapa ahli hukum, baik ahli hukum Islam maupun
adat, yang telah memperkenalkan beberapa ide mereka. Terdapat
5 Suparman Usman, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islamdalam Tata Hukum Indonesia, h. 125.
6 Dedi Supriyadi & Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,(Bandung: Pustaka Al Fikriis, 2009), h. 184.
19
beberapa ahli hukum yang diangggap sebagai peletak dasar atau ide
pembaharuan. Ahli hukum tersebut adalah Hasbi Ash-Shiddieqy dan
Hazairin. Beberapa ahli hukum lain yang dianggap meneruskan dan
bahkan mewujudkan ide-ide dasar tersebut adalah Munawir Sjadzali
dan Bustanul Arifin. Ide-ide mereka kemudian mengantarkan
pemerintah melakukan upaya pembaharuan lewat apa yang menjadi
trend sejak abad ke-19 di berbagai negara Muslim di dunia, yaitu
kodifikasi hukum.7
Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi
dengan upaya pemerintah dalam negara-negara tertentu untuk
mengatur dan menertibkan aturan-aturan terkait dengan masalah
keluarga. Trend pembaharuan ini diawali Turki dengan dibuatnya
sebuah qanun yang sesuai dengan spirit pembaharuan hukum di Turki.
Upaya ini kemudian diikuti beberapa negara Muslim lainnya seperti
Tunisia, Maroko dan Mesir. Di Asia Tenggara, upaya ini diawali
pemerintah Malaysia dan kemudian Indonesia. 8
Para pakar hukum Islam telah berusaha membuat kajian
hukum Islam yang lebih komprehensif agar hukum Islam dapat
dipergunakan untuk menyelesaikan segala masalah umat dalam era
globalisasi saat ini. Dalam kaitan ini, prinsip yang harus dilaksanakan
adalah prinsip mashlahat yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan.
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip-prinsip yang dipegang
7 Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Jakarta: Kencana,2013), h. 12.
8 Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis, h.12..
20
para imam mazhab, khususnya aliran ar-rayu’ dan al-hadis yang telah
terbukti membawa ketertiban dan kesejahteran dalam masyarakat.9
Pembaharuan dalam bidang hukum keluarga tidak terjadi
hingga datangnya abad ke-20. Proses penyesuaian hukum yang
dilakukan terhadap hukum (keluarga) ini berbeda dengan proses
serupa yang terjadi sebelumnya dalam bidang-bidang lain dari hukum
Islam itu. Dengan beberapa pengecualian pembaharuan hukum
keluarga Islam ditandai tidak saja oleh penggantian hukum Islam
dengan hukum-hukum Barat, tetapi juga oleh perubahan-perubahan
dalam hukum Islam itu sendiri di sana-sini yang didasarkan atas
penafsiran kembali terhadap tradisi hukum Islam sesuai dengan
perkembangan penalaran dan pengalamannya. Dengan cara inilah
hukum keluarga Islam yang berlaku sejak dari Afrika Utara sampai ke
Asia Tenggara mengalami perubahan.10
Di antara perubahan-perubahan yang penting dalam bidang
hukum perkawinan adalah pengekangan terhadap perkawinan anak-
anak (di bawah umur) dan pembatasan poligami. Di antara tujuan
utama dan pertama dari pembaruan hukum keluarga Islam khususnya
dalam bidang perkawinan yang dilakukan di dunia Islam pada
umumnya memang untuk meningkatkan status atau kedudukan kaum
wanita dan memperkuat hak-hak para anggota keluarga inti (nuclear
9 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006.), h. 251.
10 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 172.
21
family) di atas hak-hak para anggota keluarga yang lebih jauh dalam
keluarga yang lebih besar (extended family).11
Undang-undang Perkawinan yang dirumuskan oleh negara
tersebut, jika dilihat dari konteks sejarahnya, merupakan jawaban
pemerintah terhadap kondisi masyarakat yang menginginkan
modernisasi dalam bidang hukum keluarga, selain juga sangat erat
kaitannya dengan politik pembangunan. Dari beberapa rumusan di
dalamnya dapat dilihat bagaimana undang-undang ini berusaha untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan mewujudkan proses
modernisasi.12
Hukum perkawinan Indonesia merupakan penjabaran hukum
perkawinan dalam Islam, terutama dalam kitab-kitab fikih
konvensional. Maka, dapat disebutkan bahwa pembaharuan hukum
keluarga di Indonesia antara lain merupakan upaya memperbaiki
status perempuan dan kedudukan mereka di masyarakat, sehingga
tidak jarang terjadi adanya pembaruan hukum Islam yang ada di kitab-
kitab fikih. Misalnya masalah pembatasan umur minimal usia
menikah.13
3. Hukum Keluarga Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan
11 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), h. 172.
12 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,2013), h. 176.
13 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 180.
22
Materi Hukum Keluarga Islam dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia, selain terdapat pada Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan dalam KHI yang dinyatakan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 juga
banyak terdapat pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang telah dua kali dirubah dengan Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 50 tahun 2009.
Undang-Undang Perkawinan merupakan hukum perkawinan
Islam yang ditransformasikan ke dalam hukum nasional, artinya ia
sebagai hukum nasional yang berasal dari hukum Islam. Seharusnya ia
mempunyai daya ikat yang kokoh bagi warga negara Indonesia yang
beragama Islam karena ia mempunyaI dua daya ikat. Di satu sisi
sebagai warga negara yang mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan hukum warga negaranya. Dan di sisi lain, ia adalah
hukum Islam yang setiap muslim harus menjalankannya.14
Masuknya hukum Islam ke dalam UU Perkawinan merupakan
proses politik di mana terjadi kompromi antara pemerintah dan umat
Islam. Kompromi ini dilakukan demi tercapainya ketenangan dan
ketertiban sebagai modal dasar dalam pembangunan Indonesia.15
14 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalamHukum Nasional (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 216.
15 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalamHukum Nasional, h. 122.
23
Upaya umat Islam untuk menjadikan hukum Islam menjadi
hukum yang diakui negara selalu muncul di setiap masa. Sejak
Indonesia belum merdeka hingga sekarang umat Islam menginginkan
hukum Islam menjadi hukum yang berlaku di Indonesia. Banyak yang
sudah dilakukan, salah satunya adalah penolakan terhadap RUU
Perkawinan yang bertentangan dengan hukum Islam pada tahun 1973.
Dengan melakukan tekanan politik, memaksa pemerintah
mengakomodasi keinginan umat Islam.16
Dan untuk kelancaran pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), dipandang
perlu untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur
ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang tersebut. Maka
dibuatlah Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 ditunjuk
kepada Menteri Agama agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang merupakan latar belakangnya di Jakarta, tanggal 2-5
Februari 1988, untuk digunakan oleh instansi Pemerintah dan oleh
masyarakat yang memerlukannya. Pelaksanaan Kompilasi Hukum
Islam dengan pertimbangan, yaitu sesuai dengan fungsi pengaturan
16 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalamHukum Nasional, h. 214.
24
Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap jalannya peradilan
disemua lingkungan peradilan di Indonesia, khususnya di lingkugan
Peradilan Agama, perlu mengadakan kompilasi Hukum Islam yang
selama ini menjadikan hukum positif di Pengadilan Agama. Bahwa
guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran
pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi dalam proyek
pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi, di pandang perlu
membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari para
pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik
Indonesia.17
Pernikahan dini (di bawah umur) merupakan praktik
pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang salah satu atau
keduanya berusia masih muda dalam pandangan kekinian. Praktik
pernikahan ini dipandang perlu memperoleh perhatian dan pengaturan
yang jelas. Maka, selain usia minimum pernikahan ditetapkan,
beberapa negara mengatur cara untuk mengantisipasi masih
mungkinnya pernikahan seperti itu bisa dilaksanakan, antara lain,
aturan yang memberikan keringanan (dispensasi).18
B. Sejarah Hukum Keluarga di Yaman
1. Sejarah Islam di Yaman
17 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: CV. AkademikaPressindo, 2007. Cet. Ketujuh), h. 15.
18 Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Jakarta: Kencana,2013), h. 43.
25
Republik Yaman adalah sebuah negara di Jazirah Arab di Asia
Barat Daya, bagian dari Timur Tengah. Yaman berbatasan dengan
Laut Arab di sebelah selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah
barat, Oman di sebelah timur dan Arab Saudi di sebelah utara. Orang-
orang keturunan Arab di Indonesia sebagian besarnya berasal dari
Yaman.
Luas wilayahnya mencapai 536.600 . Jumlah penduduk
pada tahun 2013 mencapai 24.400.000 jiwa. Pada tahun 2015 sekitar
25.956.200 jiwa. Islam merupakan agama mayoritas di Yaman,
terdapat sedikit orang yahudi. Hampir lebih dari seperempatnya
adalah pengikut Mazhab Syiah az-Zaidiyah. Pendapatan nasional
negara ini disandarkan pada pertanian yang mencapai 70% dari
keseluruhan pendapatannya. Biji kopi merupakan komoditas terbesar
dari pertaniannya.
Yaman berasal dari kata yamin, yang berarti “sisi sebelah
kanan”, sebagaimaan selatan yang berada pada bagian kanan ketika
melihat matahari terbit. Definisi lainnya mengatakan Yaman berasal
dari kata yumn, yang berarti “Kebahagiaan (felicity)”, sebagai salah
satu wilayah yang subur. Bangsa Romawi menjuluki Yaman dengan
istilah Arabian Felix (Arab yang Bahagia).19
19 Artikel diakses pada 1 Juni 2016 dari
https://www.scribd.com/doc/211802430/BAB-II-Tentang-Yaman.
26
Yaman merupakan salah satu pusat peradaban tertua kawasan
timur tengah. Ibukota dan kota terbesarnya adalah Sana’a. Wilayah
Yaman mencakup lebih dari 200 pulau, pulau terbesarnya adalah
Socotra, yang berada 354 km (220 mil) di sebelah selatan pulau utama
Yaman. Unifikasi Yaman terjadi pada tanggal 22 Mei 1990, yaitu
ketika Yaman Utara bersatu dengan Yaman Selatan, membentuk
Republik Yaman.
Sejak dahulu Yaman telah berada dalam persimpangan banyak
budaya. Antara abad ke-12 SM sampai dengan abad ke-6 M Yaman
merupakan salah satu pusat perdagangan dunia. Kerajaan Minea,
Sabaean (Shaba), Hadhramaut, Qataban, dan Himyar yang
menguntungkan diwilayah itu dengan rempah-rempah yang
menguntungkan saat itu.
Pada abad ke-8 SM, kerajaan Saben (Shaba) membangun
sebuah bendungan dengan tinggi 4 meter dan panjang 580 meter, yang
kemudian dikenal dengan nama bendungan Ma’rib. Dibawah
kepemimpinan Karib’il Watar I, kerajaan Sabaean (Shaba) berhasil
mempersatukan seluruh wilayah selatan Semenanjung Arab pada abad
ke-7 SM dan membangun pemerintahan konfederasi bersama kerajaan
Hadramite dan Qataban. Bangsa Yaman kuno mengembangangkan
suatu sistem tulis-menulis pada abad ke-10 SM, yang dikenal dengan
27
Musnad, yang digunakan sebagai bentuk tulisan utama diseluruh
Semenanjung Arab sampai dengan abad ke-6 M.20
Pada abad ke-7 M, suku-suku Yaman memeluk Islam dan
memainkan peran utama dalam penaklukan Muslim di Timur Tengah,
Afrika Utara dan Spanyol. Pada akhir abad ke-12 M, Dinasti
Ayyubiyah, yang berbasis di Mesir, mengambil alih kekuasaan kedua
Yaman dan daerah-daerah di sekitarnya. Setelah penaklukan
Ayyubiyah, Yaman dipegang oleh dinasti Ayyubiyah sampai wakil
gubernur Yaman memproklamasikan kemerdekaannya dari dinasti ini
pada tahun 1229.
Memasuki awal abad ke-20, konstelasi politik dunia mengalami
perubahan yang cukup mencolok, terutama di negara-negara muslim
Asia dan Afrika, yang merupakan daerah koloni Barat. Peradaban dan
pemikiran Barat modern, sedikit banyak turut menentukan arah
perkembangan negara-negara muslim pada masa selanjutnya. Salah
satu aspek yang tersentuh pembaharuan adalah pemikiran dan
pengembanan hukum keluarga Islam, yang semakin nyata setelah
terbentuknya negara-negara Islam baru yang meraih kemerdekaannya
pasca Perang Dunia II.21
20 Artikel diaskses pada 1 Juni 2016 darihttps://www.scribd.com/doc/211802430/BAB-II-Tentang-Yaman.
21 M. Atho Muzhdar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia IslamModern (Studi Perbandingn dan Keberanjakan UU Modern dari kitab-kitab Fikih) (Jakarta:Ciputat Press, 2003), h. 65.
28
Pada masa sebelum kemerdekaan, pemerintah kolonial Ingggris
telah mengadakan peradilan yang antara lain menerapkan hukum
Islam (syari’ah) dalam kasus-kasus yang melibatkan orang Islam
dalam masalah keluarga, seperti perkawinan, perceraian, kewarisan
dan perwalian. Hanya saja, penerapan hukum tersebut tidak meliputi
seluruh wilayah Yaman secara utuh. Hanya di daerah perkotaan saja
hukum keluarga Islam dapat diterapkan sepenuhnya. Sedangkan di
daerah pedalaman (pegunungan) masih berlaku hukum adat dan suku
masing-masing, meskipun telah ada upaya untuk memberlakukan
hukum sipil, hukum perburuhan, hukum keluarga dan hukum pidana
di seluruh wilayah negara.22
Pada akhir abad ke-19, syariah yang murni di Timur Tengah
dalam bentuk tradisionalnya hanya terbatas pada bidang hukum
keluarga, yang selanjutnya memasukkan hukum waris, sistem waqaf
dan dalam banyak kasus hukum hibah. Hanya Jazirah Arab yang pada
umumnya masih kebal dari pengaruh hukum Eropa. Di Saudi Arabia,
Yaman, Protektorat Aden dan Hadramaut serta beberapa kerajaan di
Teluk Persia hingga hari ini, hukum Islam tradisional masih tetap
fundamental, dengan beberapa modifikasi kecil-kecilan masih tetap
mengatur setiap aspek dari hubungan hukum. 23
22 M. Atho Muzhdar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia IslamModern (Studi Perbandingn dan Keberanjakan UU Modern dari kitab-kitab Fikih), h. 69.
23 Mustofa & Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika,2009), h. 39.
29
Hampir selama seribu tahun, Jazirah Arab berada di belakang
laju perkembangan Timur Tengah. Ketika penaklukan bangsa Arab
membuka era baru dalam peradaban Timur Tengah, penaklukan
tersebut melepaskan sebagian penduduknya, dan menempatkan
Jazirah Arab ini pada peranan marjinal dalam sejarah Timur Tengah.
Dalam sistem imamah di Yaman, Kesultanan Oman, dan Saudi
Arabia, agama dan negara dikaitkan dengan pola kaitan yang sangat
kuat. Raja (penguasa) dipandang sebagai pimpinan agama yang
bertanggungjawab menerapkan nilai-nilai ajaran Islam. Di seluruh
penjuru wilayah Jazirah Arabia ulama memainkan peran penting
sebagai penasihat politik bagi para penguasa, sebagai pimpinan
peradilan, sebagai pimpinan pendidikan Islam, sebagai sumber nasihat
moral dan otoritas politik baik ulama Ibadiyah, Zaidiyah Syafi’iyah,
maupun Wahhabiyah.24
Dalam beberapa dekade terakhir, Yaman merupakan negeri
terpenting bagi nasionalisme revolusioner dan perubahan politik.
Yaman memiliki posisi yang istimewa dalam perjalanan sejarah
jazirah ini sebab sejak zaman kuno Yaman telah menjadi pusat
masyarakat pertanian dan masyarakat negara yang terorganisir.
Sejarah Yaman selalu diliputi oleh pergolakan antara negeri wilayah
selatan dan negeri pastoral, yakni warga kesukuan yang tinggal di
wilayah utara. Setelah Yaman menerima Islam pada masa hayat Nabi,
24 Ira Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1999), h. 183.
30
ia bergabung menjadi bagian dari imperium Ummayah dan
Abbasiyah. Pada akhir abad sembilan, sebagaimana beberapa daerah
pinggiran lainnya, melepaskan diri dari Baghdad.25
Yaman menjadi pusat bagi Syi’isme. Di Yaman Utara, suku-
suku Arab lokal mengundang seorang pemuka Zaydiyah bernama
Yahya untuk menjadi imam dan menjadi arbitrator perselisihan antar
suku. Pemerintahan Zaydiyah turut menciptakan perdamaian antar
warga suku dan menerapkan nilai-niai ajaran Islam. Dengan demikian
berlangsunglah sebuah dinasti yang berkuasa dari 893 sampai 1962
dengan beberapa kali jeda. Yaman Selatan jatuh dibawah pengaruh
Mesir.
Pada abad sembilan belas Yaman terbagi menjadi wilayah
pengaruh Usmani di bagian utara dan sebuah wilayah protekrorat
Inggris di bagian selatan. Di wilayah utara, perjanjian tahun 1911
memperkokoh pemerintahan Usmani tetapi membagi kekuasaan
administratif antara pihak imam di wilayah perbukitan dan pihak
Usmani di wilayah pesisir. Hal ini selaras dengan pembagian Yaman
Utara menjadi wilayah kekuasaan Sunni dan wilayah selatan sebagai
kekuasan Zaydiyah.26
Pada permulaan abad ke-10 Yaman masih tunduk dibawah
pemerintahan ath-Thariyah. Namun, diujung sebelah utara semuanya
telah tunduk kepada pemimpin “Zaidiyyah”. Mamluk kemudian
25 Ira Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga, h. 184.26 Ira Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga, h. 184.
31
mengalahkan orang-orang ath-Thahiriyah, disebabkan sikapnya yang
menentang Mamluk pada saat berlangsungnya inovasi Portugis yang
gagal di Yaman. Kekalahan orang-orang ath-Thahriyah ini terjadi
pada tahun 923 H/1517 M. Mamluk mundur dari Yaman setelah
lemahnya pemerintahan mereka di Syam dan Mesir.27
Orang-orang Utsmaniyah menguasai Yaman (untuk yang
pertama kalinya) pada masa antara tahun 945-1045 H/1538-1635 M.
Mereka terus terlibat dalam perang yang berlangsung terus-menerus
melawan pemimpin Zaidiyyah sampai mereka terusir. Inggris
menguasai Aden pada tahun 1253 H/1837 M. Kemudian orang-orang
Utsmaniyah menguasai negeri itu kembali (untuk kedua kalinya).
Sebelum memeluk Islam, mereka adalah penganut agama
Nasrani dan Yahudi. Pada tahun 6 H/627 M, Rasulullah mengirimkan
surat kepada penguasa mereka al-Harits bin Abdu Kilal al-Himyari.
Utusan raja Himyar kemudian menemui Rasulullah kembali dan
membawakan kabar keislaman mereka pada tahun 9 H.
Maka, Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal untuk
mengajarkan Islam kepada mereka dan menjadi hakim di antara
mereka. Kemudian Yaman tumbuh kuat menopang agama ini dan
menjadikannya sebagai salah satu sendi dari sendi-sendi
kehidupannya. Pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq
tergabunglah ke dalam pasukan Islam ribuan tentara dari mereka.
27 Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX(Jakarta: Akbar Media, 2003), h. 473
32
Melalui penduduk Yaman inilah Islam masuk ke selatan Asia, Asia
Tenggara, dan Afrika Timur, lewat jalur perdagangan mereka.
Pemimpin az-Zaidiyah secara berturut-turut menguasai Yaman (284-
1382 H/897-1982 M).
Pemimpin terakhir mereka adalah Muhamad Badr yang
menghadapi kudeta militer. Kudeta tersebut menginginkan negeri itu
berganti menjadi Republik dengan kepemimpinn Abdullah as-Salal
pada tahun 1962. Maka, terjadilah peperangan antara orang-orang
kerajaan yang didukung Saudi Arabia, melawan orang-orang yang
menghendaki sistem Republik yang didukung oleh kekuatan Mesir
yang disusupi oleh Jamal Abdul Nashir yang masuk ke Yaman.
Perang ini berakhir dengan ditariknya kekuatan Abdul Nashir dari
medan tempur pada tahun 1387 H/1967 M.
Sedangkan, Yaman Demokratik Selatan telah diduduki oleh
penjajah Inggris pada tahun 1253 H/1837 M. Kemudian diikuti oleh
daerah-daerah lain yang jatuh ke tangan Inggris. Negeri ini berada
dalam penjajahan Inggris pada tahun 1388 H/1967. Kemudian
Komunis menguasai negeri ini. Presiden pertama mereka adalah
Qahthar Sya’bi.28
2. Pembentukan Hukum Keluarga Yaman
28 Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX,(Jakarta: Akbar Media, 2003), h. 473.
33
Setelah penyatuan Yaman, Yaman Utara dan Yaman Selatan,
disahkan UU No. 20 tahun 1992 tentang Personal Status. Dan disahkan
Konstitusi Yaman pada 29 September 1994. Dalam Konstitusi tersebut:
Pasal 1 berbunyi bahwa Yaman adalah sebuah negara berdaulatArab, dengan Agama Islam yang tidak dapat dipisahkan. PendudukYaman adalah bagian dari bangsa Arab dan Islam. Pasal 2, Islam dalahagama resmi negara. Pasal 3 menyatakan bahwa syariat Islam akanmenjadi sumber dari segala undang-undang. Pasal 23 menyatakan bahwawarisan diatur oleh syariah. Pasal 26 menyatakan bahwa keluarga adalahbagian dari masyarakat, agama sebagai pilarnya, adat dan cinta tanahair. Dan Pasal 31 menyatakan bahwa perempuan memiliki hak dankewajiban yang dijamin dan diatur oleh hukum syariah.
Yaman Utara dan Selatan bersatu pada tahun 1990, hukum
keluarga mengalami kodifikasi hukum dan membentuk UU No. 20 Tahun
1992 tentang Personal Status. Didalamnya juga diatur dalam Pasal 15 yang
menjelaskan bahwa batas usia menikah bagi perempuan dan laki-laki itu
sama, yaitu 15 tahun. Yaman Utara mayoritas bermazhab Zaidi, minoritas
bermazhab Syafi’i.29 Negara Yaman juga bermazhab Syafi’i, bercorak
pemikiran hukum, antara tradisional dan rasional, dasar pemikiran hukum:
Alquran, Sunnah, Ijmak dan Kias.30
Dan satu-satunya pengecualian yang mengatur pernikahan
berdasarkan prosedur ketetapan Dewan No. 27 Tahun 1976. Yaman
Selatan mempunyai Undang-Undang Hukum Keluarga juga yaitu Hukum
Keluarga pada tahun 1974. Sekarang Undang-Undang tersebut mengalami
29 Republic Decree Law No. 22 of 1992 Concerning Personal Status, Act. 1530 Sadari, “Hak Perempuan Pasca Perceraian: Analisis Perbandingan Hukum
Keluarga di Indonesia dan Dunia”, Jurnal Hukum Vol. 12, no. 2 (November 2015): h. 223.
34
kodifikasi hukum yang baru, yaitu 1992. Hukum keluarga ini dikodifikasi
untuk mewarnai hukum keluarga Yaman sendiri.31
Hukum yang berlaku di Republik Yaman setidaknya dipengaruhi
oleh tiga sistem hukum sesuai pasang surut dan sejarah di Yaman. Yaitu,
Sistem Hukum Kolonial (British-India), Hukum Islam dan Hukum Tradisi
Masyarakat Setempat (Urf). Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan sistem
hukum perkawinan di Indonesia, perjalanan dan kiprahnya tidak terlepas
dari pengaruh sistem hukum sebelumnya. Bahwa di Indonesia juga
dipengaruhi oleh tiga sistem hukum, yaitu: Hukum Islam, Hukum Barat
(warisan penjajah Belanda) dan hukum adat.32
Yaman, yang merupakan negara baru di kawasan Arab Selatan,
juga tidak lepas dari terpaan gelombang reformasi hukum keluarga. Tarik
ulur antara berbagai kepentingan yang ada, tampaknya turut mewarnai
pembaharuan hukum yang terjadi di sana. Pemerintahan revolusioner kiri
yang memerintah negara ini sejak kemerdekaannya telah membawa
perubahan-perubahan yang sangat mendasar dalam hukum keluarga.
Pengadilan tingkat pertama di setiap kabupaten memiliki yurisdiksi
yang perkaranya terdiri dari perkara keluarga, perdata dan pidana.
Pengadilan Banding ada di setiap provinsi yang menangani hukum
keluarga maupun pidana yang diproses dengan hakim tinggi. Mahkamah
Agung adalah pengadilan tertinggi banding yang berkedudukan di Sana’a,
31 Dawoud Sudqi El Alami and Doreen Hinchcliffe, Islamic Marriage and DivorceLaws of the Arab World (London: CIMEL, 1996), h. 249.
32 Sadari, “Hak Perempuan Pasca Perceraian: Analisis Perbandingan HukumKeluarga di Indonesia dan Dunia”, Jurnal Hukum Vol. 12, no. 2 (November 2015): h. 229.
35
yang memiliki delapan bidang yaitu, Konstitusi, Banding Pemeriksaan,
Kriminal, Militer, Sipil, Keluarga, Niaga, dan Administrasi.33
Putusan hakim yang diterbitkan di beberapa jurnal hukum yang
dikeluarkan oleh fakultas hukum Universitas Sana dan Aden, Jurists
Union, dan Kementerian Kehakiman di Sana dan Aden dari periode pra-
unifikasi. Hukum sejak reunifikasi diterbitkan dalam al-Jarida al-
Rasmiyya.
3. Hukum keluarga Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan
Yaman
Reformasi hukum keluarga di negara-negara muslim merupakan
contoh yang baik untuk melihat sisi-sisi pembaharuan dalam Islam,
mengingat reformasi hukum keluarga merupakan salah satu tema
reformasi Islam. Hal ini terkait dengan keberadaan hukum keluarga
sebagai “jantung” hukum Islam. Hukum keluarga Islam selama berabad-
abad diakui sebagai landasan utama bagi pembentukan masyarakat
muslim. Kajian Hukum Keluarga Islam terus berkembang karena
persoalan-persoalan yang muncul dengan kekuatan progressif di dunia
Islam.34
33 Anna Wurth, “Stalled Reform: Family Law In Post-Unification Yemen”, IslamicLaw and Society 10, no. 1 (March 2001), h. 13. Lihat pula pada Abdullahi A. An-Na’im,Islamic Family Law in a Chnging World: A Global Resource Book (London: Zed Books Led,t.t.), h. 145.
34 M. Atho’ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia IslamModern (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 66.
36
Pasal 3 Konstitusi Yaman menyatakan bahwa “Syariah adalah
sumber dari semua undang-undang. Di antara anggota komite ini adalah
para ulama. Negara adalah kunci dalam membentuk dan mengatur
lembaga perkawinan di Yaman. Personal Status No. 20 Tahun 1992
mengatur itu semua. Perkawinan adalah hubungan yang formal untuk
menghasilkan keturunan. Perkawinan diizinkan jika sudah mencapai usia
pubertas.35
Yaman Selatan dengan raja Yaum Shihr dan Mukatta,
menkodifikasi Hukum Keluarga Islam di bawah Dekrit Raja (Royal),
tahun 1942. Kemudian diperbarui dengan Family Law (Qanun al-Usrah)
No. 1 Tahun 1974. Sementara Yaman Utara, yang mayoritas penduduknya
pengikut Shi’ah Zaidiyah, menetapkan UU Keluarganya dengan Family
Law (Qanun al Usrah) No. 3 Tahun 1978. Bersamaan dengan disatukan
kedua negara ini menjadi Republik Yaman, ditetapkanlah UU Republik
(Republic Decree Law) No. 20 Tahun 1992.36
Undang-Undang baru No. 20 Tahun 1992 tersebut, mengikuti
tradisi Yaman Utara. Pengawasan keluarga oleh negara cukup minim.
Dengan demikian, pernikahan dan perceraian adalah sah dimata hukum
meski tanpa pendaftaran. Dalam kaitannya, dengan peraturan perkawinan
dan perceraian, tidak mengambil dari hukum Yaman Selatan: Bahwa
35 International Organization for Migration (IOM), Tourist Marriage in Yemen(Sana’a: Yemen Modern Printing Press, 2014), h. 9.
36 M. Atho’ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia IslamModern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 14.
37
kewajiban seorang wanita yang utama dalam perkawinan adalah
ketaatan.37
Dalam pasal 15, mengenai batas usia menikah di usia 15 tahun
bagi keduanya. Namun, batas usia ini merupakan bagian dari BAB pada
perwalian dalam perkawinan. selain itu, tidak ada ketentuan untuk
menegakkan batas usia, karena perkawinan tidak harus didaftarkan. Tidak
seperti sebelumnya Undang-Undang di Yaman Utara, menetapkan
hukuman untuk pelanggaran. Substansinya, pernikahan dini itu dilarang,
tetapi tidak dihukum atau menjadi batal. Bagi perempuan yang ingin
menikah, dibolehkan jika mencapai masa pubertas sesuai fiqh, kemudian
dihapuskan oleh undang-undang 1992.38
Pada ketentuan batas usia menikah, memberi batasan pada laki-
laki. Pada kenyataannya tidak. Sebaliknya, memberikan kebijakan kepada
laki-laki. Negara tidak mengatur untuk aspek-aspek perkawinan, banyak
merugikan wanita karena tidak ada perlindungan. Seperti dalam
pemeliharaan nafkah. Pengadilan mengeluarkan peraturan untuk
pemeliharaan wanita jika suaminya gagal membayar. Undang-Undang
1992 ada untuk memaksa pemeliharaan nafkah tersebut.
37 Anna Wurth, Stalled Reform: Family Law In Post-Unification Yemen, h. 19.38 Anna Wurth, Stalled Reform: Family Law In Post-Unification Yemen, h. 21.
38
BAB III
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BATAS USIA MENIKAH DI
INDONESIA DAN YAMAN
A. Batas Usia Menikah di Indonesia
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaannya
Penentuan batas umur perkawinan sangatlah penting sekali.
Karena suatu perkawinan di samping menghendaki kematangan
biologis menghendaki kematangan psikologis juga. Maka dalam
penjelasan undang-undang dinyatakan, bahwa calon suami isteri itu
harus telah matang jiwa dan raganya untuk melangsungkan
perkawinan agar supaya dapat mewujudkan perkawinan secara baik
tanpa berakhir pada perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik
dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon
suami-isteri yang masih di bawah umur.1
Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan berbunyi:
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belummencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin keduaorang tua. Pasal 7 ayat (1) berbunyi bahwa “perkawinan hanyadiizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
1 K.Wantjik Saaleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978),h. 26.
39
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.Selanjutnya dalam ayat (2), dalam hal penyimpangan dalam ayat (1)pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabatyang lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihakwanita. Dan ayat (3), ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salahseorang atau kedua orang tua tersebut pasal 6 ayat (3) dan (4)Undang-Undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasitersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksuddalam pasal 6 ayat (6).
Seorang calon suami yang belum berumur 19 tahun dan calon
istri yang belum berumur 16 tahun apabila hendak melangsungkan
perkawinan, maka harus mendapat dispensasi nikah dari Pengadilan
Agama. Permohonan dispensasi nikah bagi mereka yang belum
mencapai umur 19 dan 16 bagi calon suami dan istri tersebut diajukan
oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama
di daerah tempat tinggalnya.
Dispensasi nikah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 6 ayat
(2) huruf (c) yang berbunyi:
Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam Pasal 6ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang, apabila salah seorangcalon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluhsatu) tahun; dan Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi “Apabila ternyatadari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksudUndang-Undang dan atau belum dipenuhinya persyaratan tersebutdalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini, keadaan itu segeradiberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua ataukepada wakilnya.2
2 Pasal 6 & 7 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
40
Dispensasi perkawinan juga diatur dalam Peraturan Menteri
Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah dalam Bab
IV Persetujuan dan Dispensasi Nikah Pasal 7 yang berbunyi:
Apabila seseorang calon mempelai belum mencapai umur 21(dua puluh satu) tahun, harus mendapat izin tertulis kedua orang tua.Dan Pasal 8 yang berbunyi “Apabila seorang calon suami belummencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteribelum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun, harus mendapatdispensasi dari pengadilan.3
Beberapa negara, belakangan ini, melihat bahwa penetapan
usia nikah harus dilakukan, tidak terkecuali Indonesia. Negara-negara
tersebut merasa bahwa usia nikah harus dibatasi karena pernikahan
tidak akan memberikan kemaslahatan jika dilakukan pada saat
mempelai belum dianggap matang. Untuk itu negara mulai melakukan
intervensi terhadap pengaturan pernikahan. Ketika aturan muncul, isu
pernikahan dini mencuat saat beberapa praktik pernikahan dini yang
tidak sesuai dengan aturan dikemukakan.4
Urgensi ditetapkannya batas usia menikah karena banyaknya
fenomena perceraian yang diakibatkan dari pernikahan dini, belum
siapnya menjalani kehidupan berumah tangga. Belum memenuhi
ketentuan yang ditetapkan undang-undang. Mengingat, usia mereka
menikah yang dini yang belum dapat berfikir dewasa, dapat berakibat
3 Pasal 7 & 8 Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 Tentang PencatatanNikah
4 Asep Saepudin Jahar, dkk, Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis (Jakarta: Kencana,2013), h. 44
41
emosi yang berujung kepada perceraian. Maka dari itu, undang-
undang perkawinan mengatur batas usia bagi pria dan wanita yang
akan menikah.
2. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
Ketentuan batas minimal umur untuk menikah dalam UU
Perkawinan juga dimuat dalam Pasal 15 ayat (1) KHI dengan
mengungkap tujuan yang lebih jelas bahwa untuk kemashlahatan
keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh
calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan
dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana
dalam bagian penjelasan umum angka empat huruf d menyebutkan
bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk
dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah
adanya perkawinan di antara calon suami isteri yang masih di bawah
umur.
Kompilasi Hukum Islam Inpres No. 1 Tahun 1991, Pasal 98
ayat (1) menyatakan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri
sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak
42
bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.5
Setelah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, umur yang
kurang dari 21 tahun harus izin orang tua. Ini ada konsekuensi bahwa
yang belum berumur 19 dan 16 tahun juga harus ada izin orang tua.
Jadi kalau pengadilan mengizinkan tetapi orang tua tidak, kalau
anaknya perempuan ini dinamakan wali adhal. Wali adhal artinya wali
yang enggan bertindak sebagai wali nikah, apabila calon mempelai
wanita tersebut disamping walinya tidak mau menjadi wali nikah dan
wanita tersebut umurnya belum genap 21 tahun.
Wujud hukum Islam yang sistematis dan rinci adalah fiqh,
suatu hasil pemikiran fuqaha yang tersebar secara luas di dalam kitab-
kitab fiqh. Selanjutnya fiqh mengalami perluasan dan pendalaman.
Aksi-aksi sosial untuk menerapkan hukum Islam di dalam kehidupan
masyarakat, dilakukan oleh berbagai organisasi sosial. Dibidang
keluarga dilakukan oleh BP4, yang menyelenggarakan pendidikan pra
nikah bagi calon pasangan suami isteri.6
Kitab-kitab fiqih di Indonesia telah lama menjadi rujukan
dalam praktek ketentuan hukum keluarga di Indonesia. Bahkan secara
alami, sebelum ada KHI, Biro Peradilan Agama Kementerian Agama
pada tanggal 18 Februari 1958 mengeluarkan Edaran No. B/1/735,
yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam
5 Pasal 98 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.6 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafido
Persada, 1998), h. 78.
43
memelihara dan memutuskan perkara, maka hukum Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariah dianjurkan agar mempergunakan sebagai
pedoman kitab-kitab tersebut di bawah ini, yaitu Al Bajuri, Fathul
Muin dengan Syarahnya, Syarqawi alat Tahrir, Qulyubi/Muhalli,
Fathul Wahab dengan Syarahnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq,
Qawaninusy Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya, Qawaninusy
Syar’iyah Lissayyid Shodaqah Dahlan, Syamsuri Lil Fara’idl, Al Fiqh
‘alal Muadzahibil Arba’ah dan Mughnil Muhtaj.7 Lalu, KHI lebih
menyatukan pendapat-pendapat yang berkembang dalam kitab-kitab
fiqih tersebut, bahkan pendapat-pendapat lama yang berkembang.
Oleh karena itu, hukum Islam di bidang keluarga
diunifikasikan. Sebagaimana tercermin dalam KHI. Ia merupakan
suatu bentuk penyatuan dari keanekaragaman hukum Islam
sebagaimana tercermin dalam beraneka ragam produk pemikiran
fuqaha yang tersebar di dalam pelbagai kitab fiqh di Indonesia.
Dalam pembentukan hukum nasional dilakukan transformasi
asas-asas hukum Islam ke dalam peraturan perundang-undangan,
terutama hukum perdata, antara lain dalam UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Di samping itu, asas-asas hukum Islam
ditransformasikan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang. Transformasi hukum Islam dalam
pembentukan hukum tertulis, juga dilakukan dalam bentuk produk
7 Direktorat Kehakiman Badan Peradilan Agama Islam Kementerian AgamaKompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: t.p, 2001), h. 127-128.
44
pengadilan, baik melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum maupun melalui Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama dan dalam bentuk lain yang dilakukan oleh organisasi sosial.8
Asas- asas dan norma-norma hukum Islam ditransformasikan
dan diintegrasikan ke dalam hukum nasional, melalui peraturan
perundang-undangan dan produk-produk pengadilan. Asas-asas dan
norma-norma hukum Islam ditransformasikan dan diintegrasikan ke
dalam sebagian peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
seluruh masyarakat dan berlaku secara khusus di kalangan orang-
orang beragama Islam. Ia juga diterapkan dalam bentuk produk-
produk pengadilan.
Salah satu komponen dalam sistem hukum nasional adalah
penerapan dan penegakan hukum. Ia meliputi empat unsur sebagai
satu kesatuan. Pertama, perangkat hukum yang menjamin kepastian,
perlindungan dan ketertiban hukum yang intinya keadilan dan
kebenaran. Kedua, aparatur penegak hukum yang tangguh
menerapkan hukum dan menyelami rasa hukum dan keadilan. Ketiga,
kesadaran hukum masyarakat yang intinya menghargai dan mematuhi
hukum yang berlaku, keempat, sarana dan prasarana yang dibutuhkan
baik berupa kelembagaan maupun fisik.9
3. Batas Usia Menikah Menurut Fuqaha
8 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: PT. Raja GrafidoPersada, 1998), h. 86.
9 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, h. 92.
45
Dalam fikih tidak pernah dijumpai adanya batasan usia
menikah bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun,
hal ini tidak berarti bahwa undang-undang negara muslim tidak
menerapkan ketentuan mengenai pembatasan usia perkawinan ini.
Meninjau apa yang ada dalam kitab-kitab fiqh konvensional, dapat
dibandingkan dengan hukum perkawinan di Indonesia sejatinya
adalah 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Bagi
mereka yang tidak mencapai usia ini maka harus meminta izin dari
pengadilan, dan bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21
tahun maka harus menyertakan izin dari orang tua.10
Para fuqaha berbeda pendapat dalam menetapkan batas usia
menikah. Adanya tanda-tanda mulai kedewasaan, apabila telah
mengeluarkan air mani bagi laki-laki dan apabila telah mengeluarkan
darah haid bagi perempuan. Menurut Imam Abu Hanifah yakni setelah
seseorang mencapai usia 18 tahun bagi laki-laki dan usia 9 tahun bagi
perempuan. Menurut Imam Syafi’i bahwa usia baligh untuk
melaksanakan perkawinan adalah berusia 15 tahun. Pendapat yang
menjadi dasar bagi Imam Syafii mengenai usia 15 tahun bagi laki-laki
adalah dari Rasulullah bahwa jihad (turut dalam perang membela
agama Allah) itu adalah berusia 15 tahun. Pada usia itu juga sudah
10 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,2013), h. 200-202.
46
ditetapkan dalam hukuman hadd (denda) padanya.11 Dalam Fiqih juga
banyak diperdebatkan adalah tentang batas baligh seseorang. Seperti
dalam kitab Syariah Safiuddin Waja, karya Syekh Salmi Samir
Alhadromi dalam kitabnya, menyebutkan bahwa seseorang telah
dianggap baligh jika ia telah berusia 15 tahun.
Batas usia untuk dapat melangsungkan perkawinan dapat
dimasukan ke dalam syarat yang harus dipenuhi mempelai sebagai
bagian dari rukun nikah. Islam tidak pernah memberikan batasan
dalam hal usia menikah, kecuali jika dikaitkan antara pembagian fase
perkembangan manusia dari segi tingkat kemampuan menerima dan
melaksanakan hukum. Akan tetapi, beberapa negara muslim telah
menetapkan batas usia seorang laki-laki dan perempuan untuk
melangsungkan perkawinan. Hal ini ditujukan untuk mengurangi dan
menghapuskan praktik perkawinan anak-anak. Sehingga, perkawinan
yang belum memenuhi syarat usia tersebut, dianggap tidak sah oleh
hukum Negara; bahkan di Negara tertentu diberikan sanksi pidana
untuk perkawinan anak di bawah umur.
Selain itu disebutkan pula perkawinan mempunyai hubungan
dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang
lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju
kelahiran yang tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini
11 Amrullah, Batasan Umur Dalam Melangsungkan Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pendapat Imam Syafi’i (Lampung: t.p, t.t), h. 3.
47
menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi
wanita.
4. UU. No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
Dalam Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yang telah dirubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014
menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Pada Bab IV UU Perlindungan Anak juga dijelaskan tentang
Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua, Pasal 26 ayat (1) yaitu:
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: (a)mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak; (b)menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan bakat, danminatnya; dan (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin,
yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18
(delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak
yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak
48
berdasarkan asas-asas nondiskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi
anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
penghargaan terhadap pendapat anak.
Dan ayat (2) bahwa, dalam hal orang tua tidak ada, atautidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapatmelaksanaknan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajibandan tanggung tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai pembatasan usia nikah ini menjadi
penting karena beberapa hal yang melatarinya, terutama terkait dengan
hak-hak perempuan dan anak itu sendiri. Dalam suatu penelitian yang
dilakukan Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
disebutkan bahwa rata-rata usia ideal perempuan untuk menikah
berkisar usia 19,9 tahun dan laki-laki adalah 23,4 tahun. Untuk ukuran
ini, yang menjadi pertimbangan tidak semata-mata bersifat biologis,
tetapi lebih dari itu terkait pula dengan psikologis dan sosial.
Kematangan usia ini merupakan akumulasi dari kesiapan fisik,
ekonomi, sosial mental atau kejiwaan, agama, dan budaya.12
Aspek yang lainnya adalah kehamilan yang memiliki
keterkaitan erat dengan kondisi sosio ekonomi dan kesehatan
masyarakat. Akan tetapi, menurut banyak penelitian, seperti dikutip
Erick Eckholom dan Kathleen Newland, kemungkinan seorang ibu
meninggal atau anaknya meninggal atau menderita penyakit bertambah
12 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,2013), h. 204.
49
besar bila ibu melahirkan terlalu awal atau terlalu lambat. Perempuan
yang secara fisik belum matang akan menghadapi bahaya lebih besar
ketika melahirkan dan besar kemungkinan akan melahirkan anak yang
lemah dibandingkan perempuan yang berumur dua puluh atau relatif
dewasa.
Penyebab perkawinan dini, antara lain, adalah terkait cara
pandang masyarakat yang sangat sederhana terhadap perkawinan.
Faktor pendidikan, ekonomi, keluarga, maupun kebiasaan masyarakat
itu sendiri. Masih tingginya angka perkawinan dini tersebut merupakan
gejala umum, tidak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara
muslim yang melakukan pembaharuan hukum keluarga, dapat
dikatakan angka praktik perkawinan dini pun tidak jauh berbeda.13
Banyaknya praktik pembatasan perkawinan di Indonesia.
Meski dari angka statistik yang dikeluarkan BPS dari tahun ke tahun
menunjukkan peningkatan usia, namun dalam praktinya ternyata
perkawinan usia dini masih banyak dilakukan di Indonesia, hingga
mencapai 34%. Dalam kaitannya dengan pembahasan batas minimal
usia untuk nikah, ada baiknya disinggung sedikit tingkat pendidikan
orang yang hendak melangsungkannya. Kalau sistem pendidikan yang
berlaku di Indonesia diambil sebagai acuan, maka pernikahan di bawah
umur atau pada umur yang tepat berada pada batas minimal bagi
perempuan seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan,
13 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 204.
50
yaitu 16 tahun, maka sama halnya menghancurkan masa depan anak
perempuan itu sendiri.14
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak, dalam Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah kawin. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan dalam Pasal 1 angka 5
bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.15
Didalam sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, ada yang
dikenal dengan Pendidikan Dasar sebagaimana tercantum di dalam
pasal 1 PP Nomor 28 Tahun 1990, disebutkan bahwa: “Pendidikan
Dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun,
diselenggarakan enam tahun di Sekolah Dasar dan tiga tahun di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama atau satu pendidikan yang
sederajat.”16
Kalau seorang anak mulai memasuki Sekolah Dasar pada usia
anak 6 tahun atau tujuh tahun, maka ketika usia 15 tahun atau 16
14Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, h. 147.15 Definisi anak yang lain bisa juga dilihat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang PemberantasanTindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 TentangPengadilan Anak.
16 Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar.
51
tahun, ia baru saja telah menyelesaikan jenjang Pendidikan Dasar.
Adalah hal yang naif bila hanya dengan bekal pendidikan dasar,
seseorang sudah cukup untuk memahami arti penting tujuan
pernikahan, termasuk dalam hal pendidikan rumah tangga.
Penetapan pembatasan minimal usia nikah di Indonesia, yaitu
19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Apabila
dibandingkan dengan batasan usia calon mempelai di beberapa negara
Muslim, Indonesia secara definitif belum yang tertinggi tapi juga tidak
yang terendah. Penentuan batas usia di negara-negara Muslim tersebut,
masing-masing tentu memiliki pertimbangannya sendiri. 17
Rachmat Djatnika berkesimpulan bahwa penerapan konsepsi
hukum Islam di Indonesia dalam kehidupan masyarakat dilakukan
dengan penyesuaian pada budaya Indonesia yang hasilnya kadang
berbeda dengan hasil ijtihad penerapan hukum Islam di negeri-negeri
Islam lainnya, seperti halnya yang terdapat pada jual beli, sewa-
menyewa, warisan, wakaf, dan hibah. Demikian pula penerapan
hukum Islam dilakukan melalui yurisprudensi di Pengadilan Agama.18
Usia melangsungkan pernikahan memang pada masa idealnya,
tetapi harus diakui bahwa memang pernikahan adalah perbuatan
perdata. Asas hukum tindakan ini adalah kerelaan, selama tidak
17 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islm di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2013), h. 61.
18 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islm di Indonesia, h. 62.
52
menimbulkan kezaliman baik terhadap dirinya atau terhadap pihak
lain.
Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
adalah sebuah deklarasi yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada
tanggal 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris. Pasal 16
disebutkan bahwa:
(1) Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidakdibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untukmenikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yangsama dalam perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saatperceraian. (2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkanpilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.19 Dandisebutkan dalam Pasal 25 (2) disebutkan: Ibu dan anak-anak berhakmendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baikyang dilahirkan di dalam maupun diluar perkawinan, harus mendapatperlindungan sosial yang sama.
Tak hanya itu, secara umum Konvensi CEDAW (Convention
On The Elimination of All Forms of Discrimination againts Women)
mewajibkan negara-negara pihak untuk “mengejar kebijakan untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan melalui semua upaya
yang tepat dan segera”. Upaya konkret tersebut dicantumkan pula
dalam Lembar Fakta HAM Nomor 22 tentang Konvensi dan Komite
Diskriminasi terhadap Perempuan bahwa negara-negara bersangkutan
wajib mengupayakan kebijakan, meliputi:
(a) Memasukkan asas persamaan antara laki-laki danperempuan dalam Undang-Undang Dasar atau perundang-undanganlain untuk menjamin realisasi praktis pelaksanaan dari asas ini; (b)Membuat peraturan perundang-undangan serta upaya-upaya lain,
19 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,2013), h. 273.
53
termasuk sanksi-sanksi, yang melarang semua diskriminasi terhadapperempuan; (c) Menetapkan perlindungan hukum terhadap hakperempuan atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki, dan untukmenjamin perlindungan bagi kaum perempuan yang aktif dari setiapperilaku diskriminatif, melalui pengadilan nasional yang kompeten danbadan-badan pemerintah lainnya; (d) Menahan untuk tidak melakukansuatu tindakan diskriminasi terhadap perempuan, dan menjamin agarpejabat dan lembaga publik akan bertindak sesuai dengan kewajibanini; (e) mengambil semua langkah-langkah yang tepat untukmenghapus perlakuan diskriminatif terhadap perempuan oleh orang,organisasi atau lembaga apapun; (f) mengambil langkah-langkah yangtepat untuk mengubah dan menghapus undang-undang, peraturan,kebijakan, dan praktik-praktik yang ada yang merupakan diskriminasiterhadap perempuan; (g) Mencabut semua ketentuan pidana nasionalyang merupakan diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam pergaulan rumah tangga atau hukum keluarga, hak-hak
perempuan menjadi perhatian serius lembaga-lembaga internasional.
Terkait dengan penjaminan hak-hak asasi manusia, Komite HAM PBB
mengharuskan negara-negara pihak agar melakukan upaya-upaya
khusus untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dalam
setiap masalah yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan
keluarga, dan berdasarkan persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Yang menjadi pokok perhatian di antaranya adalah: (a) Hak yang sama
untuk bebas memilih pasangan dan untuk melangsungkan perkawinan
atas dasar persetujuan yang bebas dan sepenuhnya dari mereka.
Sanksi merupakan hukuman yang dijatuhkan oleh negara karena
terjadi pelanggaran oleh sendiri atau kelompok. Merujuk pada Undang-
Undang Perkawinan, batas usia sudah ditentukan. Tapi tidak ada aturan
54
khusus atau sanksi pidana yang mengatur apabila seseorang menikah di
bawah batas usia menikah yang sudah di tentukan.
Namun, kriminalisasi tersebut berkaitan dengan perbuatan pada
pasal 288 KUHP, yaitu pada ayat (1) menyatakan bahwa:
Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorangwanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwayang bersangkutan belum waktunya untuk di kawin, apabila perbuatanitu mengakibatkan luka-luka, diancam dengan pidana penjara palinglama empat tahun. Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-lukaberat, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun. Dan ayat(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lamadua belas tahun.
B. Batas Usia Perkawinan di Yaman
Hukum keluarga Yaman menggunakan Undang-Undang No. 20
Tahun 1992 tentang Personal Status. Berdasarkan penemuan penulis
peraturan di Yaman yang mengatur tentang batas usia menikah sekarang
ini hanya menggunakan peraturan tersebut. Dan jika calon suami istri
masih di bawah umur, pengadilan juga memberikan dispensasi sama
halnya dengan di Indonesia. Dengan atas izin dari wali anak tersebut.
Pemerintahan kolonial Inggris memandang Yaman sebagian dari
India, sehingga peraturan perundang-undangan yang berlaku di India dan
diberlakukan di Yaman antara lain: (1) peraturan tentang Perwalian
(Guardians Ordinance) dan peraturan tentang kedewasaan (Majority
Ordinance) yang diberlakukan pada tahun 1937; (2) peraturan tentang
Larangan Perkawinan Anak-Anak; (3) Hukum Pidana; dan (4) Hukum
55
Acara Pidana. Meskipun beberapa ketentuan dalam Syari’ah diberlakukan,
Pemerintah Inggris tidak menghargai adanya perbedaan antara hukum
Syari’ah dengan hukum Adat, bahkan seringkali terjadi pemaksaan
penerapan hukum baru bertentangan dengan hukum Syari’ah.
Pada tahun 1970, pemeritahan yang telah merdeka memberlakukan
konstitusi nasional yang antara lain menerapkan:
1) Islam merupakan agama resmi negara, meskipun kebebasan
beragama secara penuh tetap dijamin;
2) Negara menjamin persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
dalam seluruh aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial.
3) Secara bertahap, negara akan memberlakukan hukum sipil, hukum
pidana, hukum perburuhan dan hukum keluarga yang sesuai dengan
konstitusi nasional.
Khusus tentang persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan
perempuan, dalam hubungannya dengan rumah tangga (keluarga),
amandemen undang-undang tahun 1978 lebih menegaskan lagi bahwa
undang-undang yang berkenaan dengan hubungan kekeluargaan akan
disusun atas dasar persamaan hak kesetaraan gender tidak sebatas sebagai
wacana pemikiran dalam tataran ide, tetapi sudah merupakan agenda aksi
56
yang mesti dilaksanakan melalui peraturan yang mengikat, yakni lewat
undang-undang.20
Beberapa negara di dunia Islam telah menetapkan pasal di
dalam undang-undang hukum keluarga tentang batas minimal usia
untuk melangsungkan pernikahan baik bagi laki-laki maupun bagi
perempuan. Akan tetapi, walaupun telah ada Undang-Undang yang
mengatur hal tersebut, manipulasi umur tidak menutup kemungkinan
dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.21 Oleh karena itu, perlu didukung
adanya pasal atau ketentuan pidana bagi yang melanggar batas minimal
usia nikah itu.
Perkawinan lebih lanjut di Yaman dikarenakan meningkatnya
tingkat kemiskinan. Semakin rentan ekonomi, semakin banyak
perkawinan di bawah umur. Sebuah survei pada tahun 2013 oleh
pemerintahan Yaman dan UNICEF menemukan bahwa perempuan
yang berusia 15-49 tahun menikah di usia 15 tahun dan 43,6% menikah
di usia 18 tahun.22
Dalam Pasal 15 Personal Status No. 20 Tahun 1992
mensyaratkan batas usia sebelum perkawinan. Pertama, adanya
“manfaat” di dalam peraturan tersebut. Undang-undang tidak
20 H.M. Atho’ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia IslamModern, Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-Kitab Fikih (Jakarta:Ciputat Press, 20013), h. 71.
21 Mujahid, “Batas Minimal Usia Nikah Menurut Hadis Nabi SAW Dan HukumKeluarga di Dunia Islam”, An-Nisa’ Volume V, no. 2 (2012): h. 145.
22 International Organization for Migration (IOM), Tourist Marriage in Yemen(Sana’a: Yemen Modern Printing Press, 2014), h. 15.
57
menjelaskan apa yang dimaksud dengan manfaat tersebut, apakah
menguntungkan bagi suami atau anak. Kedua, melarang anak
melakukan hubungan suami isteri sebelum anak tersebut mencapai usia
pubertas. Dan lagi, hukum tidak menjelskan yang dimaksud dengan
pubertas tersebut.23
Dalam prakteknya, yang terjadi perkawinan tersebut justru tidak
melindungi anak. Perkawinan dini mengakibatkan hamil di usia muda,
yang mengakibatkan masalah reproduksi dan kesehatannya menjadi
terganggu. Akhirnya menyebabkan kematian yang tinggi. Tidak hanya
itu, kekerasan dalam rumah tangga juga terjadi dan pelecehan seksual.24
23 Laila Al-Zwaini, The Rule of Law in Yemen Prospects and Challenges,(Netherlands: t.p, 2012), h. 93.
24 Laila Al-Zwaini, The Rule of Law in Yemen Prospects and Challenges, h. 93.
58
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN BATAS USIA DI INDONESIA DAN
YAMAN
A. Analisis Hukum Positif di Indonesia
Sampai sekarang ini di negara Republik Indonesia berlaku berbagai
sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam serta hukum Barat
(baik itu civil law maupun common law atau hukum anglo sakson). Dari
ketiga hukum tersebut, tampak bahwa hukum adat dan hukum Islam
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama, dan hukum Islam
merupakan bagian dari rangkaian struktur agama Islam.1
Langkah maju telah diupayakan pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat terhadap kepastian hukum. Setidaknya pada tahun
1950 Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
kepastian hukum. Setidaknya pada tahun 1950 Pemerintah Republik
Indonesia telah berusaha memenuhinya dengan jalan membentuk Panitia
Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang
1 Dedi Supriyadi dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan (Bandung: PustakaAl-Fikriis, 2009), h. 183.
59
ditugaskan meninjau kembali segala peraturan mengenai perkawinan dan
menyusun rancangan UU Perkawinan yang dikehendaki zaman.2
Panitia berpendapat supaya membuat rancangan UU Perkawinan
yaitu suatu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh warga negara
dengan tidak membedakan golongan, agama dan suku bangsa. Disamping
itu dibuat peraturan-peraturan khusus untuk masing-masing golongan.
Sehingga tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan Rancangan UU
Perkawinan [Peraturan Umum] baru. Dalam RUU itu di atur beberapa hal
penting di antaranya: perkawinan di dasarkan atas kemauan kedua belah
pihak, batas umur ditetapkan 18 tahun untuk pria dan 15 tahun untuk
wanita.3
Ada 3 kelompok kepentingan yang berebut pengaruh dalm
pembahasan RUU Perkawinan. Ketiga kelompok tersebut sebagian berada
di dalam parlemen, tetapi ada juga yang tidak di dalam parlemen. Pertama,
kelompok pendukung yaitu kelompok pengusung draft RUU Perkawinan
ini, yakni kubu pemerintahan yang didukung oleh mayoritas kalangan
anggota DPR yang berasal dari Golkar, dan Partai Demokrasi. Karena
yang membuat draft RUU ini adalah Departemen Kehakiman yang
mayoritas sarjana hukum yang berpendidikan Belanda, tak pelak lagi
bahwa ideologi yang dibawa adalah ideologi sekuler, di mana perkawinan
2 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalamHukum Nasional (Jakarta: RMBooks, 2012), h. 83.
3 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalamHukum Nasional, h. 83.
60
merupakan transaksi keperdataan biasa, bukan dan tidak ada hubungannya
dengan agama.4
Kedua, para aktivis perempuan yang memperjuangkan nasib dan
hak-hak perempuan dan anak-anak dalam perkawinan. Kubu ini dipelopori
oleh Kowani dan mempunyai vocal point di Golkar. Ketiga, umat Islam
yang memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam dalam UU Perkawinan.
dalam Parlemen diwakili oleh fraksi Karya Pembangunan, namun diluar
parlemen dukungan ormas-ormas Islam, para ulama, mubalig dan
masyarakat awam melakukan tekanan-tekanan politik dalam bentuk
demonstrasi dilakukan secara simultan.
Cita-cita untuk mengadakan perlindungan hukum terhadap wanita
dan pemecahan berbagai masalah dalam keluarga, mula-mula disuarakan
oleh para wanita dalam kongres Perempuan Indonesia pertama yang
diselengggarakan di Jogyakarta tahun 1928. Cita-cita itu memeperoleh
bentuknya yang nyata dalam Kongres Perempuan Indonesia ketiga tahun
1938 dengan pembentukan Komisi Perkawinan, yang bertugas merancang
peraturan perkawinan yang seadil-adilnya, dengan tidak menyingung
agama Isam.5
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946 Pemerintah Republik
Indonesia mengundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
4 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalamHukum Nasional, h. 100.
5 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2002), Cetakan Kedua, h. 50.
61
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang membawa perbaikan
kedudukan bagi wanita yang beragama Islam. Pada tahun 1950 pemerintah
membentuk Panitia yang membuat rancangan undang-undang tentang
perkawinan. Rancangan panitia itu tidak sampai menjadi undang-undang
karena berbagai rintangan, antara lain karena perbedaan pandangan baik
mengenai bentuk maupun mengenai isi undang-undang perkawinan itu.
Undang-Undang Perkawinan yang mulai berlaku secara efektif,
sejak 1 Oktober 1975, mempunyai ciri khas kalau dibanding hukum,
undang-undang atau peraturan perkawinan yang dibuat oleh dan
diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda dahulu yang menganggap
perkawinan seorang pria dengan wanita hanyalah hubungan sekuler,
hubungan sipil atau hubungan perdata saja. Lepas sama sekali dari agama
atau hukum agama Undang-Undang Perkawinan yang termaktub dalam
UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya, sangat erat
hubunganya dengan agama.
Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan yang berlaku
di Indonesia, termasuk didalamnya Kompilasi Hukum Islam yang berlaku
khusus untuk umat Islam di tanah air kita. Yang erat hubungannya dengan
peranan yang memberikan hak dan kewajiban pada seseorang atau
lembaga dalam kehidupan kelompok dan masyarakat. Dan, karena
pentingnya kedudukan wanita dalam masyarakat akan ditelusuri
kedudukan wanita dalam peraturan perundang-undangan perkawinan
62
Indonesia apakah peraturan perkawinan Indonesia telah cukup memberi
perlindungan pada wanita dan keluarga.6
Undang-undang Perkawinan yang mulai berlaku dan dilaksanakan
tanggal 1 Oktober 1975 mempunyai ciri khas, kalau dibandingkan dengan
undang-undang atau hukum perkawinan sebelumya, sekurang-kurangnya
dalam tiga hal. Pertama dalam hal asasnya, kedua pada tujuannya, ketiga
dalam sifatnya yang mengangkat harkat dan derajat (kedudukan) kaum
wanita, para isteri di tanah air kita.7
Hukum negara atau hukum nasional, seperti halnya dengan
Undang-Undang Perkawinan ini, adalah hukum yang berlaku secara
nasional bagi semua warga negara, termasuk orang asing, dalam negara
nasional Indonesia. Hukum Islam mengenai perkawinan disamping hukum
adat dan hukum ex barat dipergunakan sebagai bahan baku dalam
pembentukan hukum perkawinan nasional itu. Undang-undang
Perkawinan yang berlaku juga bagi ummat Islam Indonesia itu, adalah
hasil ijtihad ummat Islam Indonesia, melalui para wakilnya di DPR
bersama pemerintah, yang bersifat pengembangan pemahaman tentang
hukum syari’at atau hukum agama Islam mengenai perkawinan yang
terdapat dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah untuk kemaslahatan umat
Islam Indonesia.8
6 Muhamad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 40.7 Muhamad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 40.8 Muhamad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 43.
63
Undang-undang Perkawinan juga menganut prinsip, seseorang
hanya dapat melangsungkan perkawinan apabila telah masak jiwa raganya.
Ukuran kemasakan jiwa raga itu dtentukan oleh umur seseorang. Ini
berarti, perkawinan antara seorang calon suami isteri yang masih dibawah
umur 19 (sembilan belas) dan 16 (enam belas) tahun, harus dicegah. Yang
dapat mencegah perkawinan di bawah umur itu adalah (a) keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, (b) pengampu, (c)
pejabat yang ditunjuk mengawasi perkawinan.9
Dalam konteks persamaan antara hukum dan terutama undang-
undang perkawinan Islam di dunia Islam, ialah berkenaan dengan asas-
asas atau prinsip-prinsip yang ditekankan dalam undang-undang
perkawinan, yakni asas sukarela, asas perpastisipasi keluarga, asas
mempersulit perceraian, asas monogami, asas kematangan (kedewasaan)
calon mempelai, asas memperbaiki (meningkatkan) derajat perempuan
dan asas legalitas dan bahkan asas selektivitas.10
Perbedaan-perbedaan yang dijumpai dalam hukum dan terutama
undang-undang perkawinan Islam di dunia Islam lebih banyak terdapat
pada hal-hal yang bersifat teknis admnistratif. Di antaranya berkenaan
dengan soal penentuan batas uasia kawin (nikah) dan penanggulangan
praktik poligami. Persamaan dan sekaligus perbedaan yang ada pada
9 Muhamad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 48.10 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:
RajaGrafindo, 2005), h. 202.
64
hukum perkawinan yang berlaku diantara sesama negara Islam di Dunia
Islam ini tentu ada faktor-faktor yang menjadi penyebabnya.11
Faktor utama dan pertama yang menyebabkan hukum (undang-
undang) keluarga Islam memiliki banyak persamaan di dunia Islam adalah
Alquran dan Hadis. Adapun penyebab perbedaannya disamping karena
perbedaan mazhab fiqih yang dianut masing-masing masyarakat muslim
ialah terutama juga terletak pada ketidaksamaan sistem hukum yang dianut
masing-masing negara yang ada di Dunia Islam.
Di saat penjajahan, hampir semua negara penjajah tidak hanya
berkeingian untuk menguasai negeri jajahan masing-masing akan tetapi
para penguasa jajahan juga berusaha untuk menggantikan sistem hukum
yang berlaku di negara-negara jajahannya dengan sistem hukum yang
mereka bawa dari negara-negara asal para penjajah. Belanda, misalnya,
menerapkan sistem hukum Kontinental di Indonesia. Penerapan sistem
hukum penjajah di negara-negara jajahan dengan segala akses yang
ditimbulkannya mempengaruhi pula pemberlakuan hukum Islam di
negara-negara Islam dan atau negara-negara berpenduduk muslim.
Pemberlakuan hukum keluarga Islam di negara-negara Islam dan
negara-negara berpenduduk muslim, sebagian ada yang melalui peraturan
perundang-undangan tertulis (codified law); dan sebagian yang lain ada
yang belum (tidak) memandang perlu menuangkannya dalam bentuk
11 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 203..
65
undang-undang tertulis (uncodified law). Secara umum dan garis besar,
hukum keluarga Islam yang berlaku di Dunia Islam adalah sama.
Kalaupun ada perbedaan di sana-sini, maka perbedaan itu lebih banyak
berhubungan dengan soal-soal teknis-administratif daripada perbedaan-
perbedaan yang bersifat filosofi-yuridis. Persamaan-persamaan itu
terutama disebabkan sumber hukumnya yang sama, yaitu Alquran dan al-
Hadis, sementara perbedaan-perbedaannya lebih disebabkan sistem hukum
dan kebudayaan serta tradisi masing-masing yang sedikit banyak turut
mempengaruhi perbedaan-perbedaan hukum keluarga Islam dan negara
berpenduduk Islam.12
Maksud pencegahan perkawinan di bawah umur adalah agar
mereka yang akan membentuk rumah tangga benar-benar telah mampu
menjadi kepala keluarga (suami) dan ibu rumh tangga (isteri).
Kemampuan ini perlu untuk mencapai tujuan perkawinan yakni
membentuk keluarga (rumah tangga) yang harmonis, bahagia dan
kekal. Namun, karena kekurangpahaman masyarakat terhadap prinsip
Undang-Undang Perkawinan mengenai kematangan jiwa raga ini,
masih banyak berlangsung perkawinan di bawah umur terutama di
desa-desa. Karena faktor ekonomi, kebiasan setempat, pemahaman
12 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 215.
66
kedewasan seseorang selama ini yakni kalau laki-laki sudah mimpi
atau wanita sudah menstruasi.13
Perkawinan di bawah umur adalah ikatan lahir antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang mudah putus dan
berujung pada perceraian. Perkawinan ini, biasanya, tidak dapat
mencapai tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga rumah tangga
yang harmonis, bahagia dan kekal.14
Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan derajat
kaum wanita. Apabila Undang-Undang Perkawinan ini dilaksanakan
secara bertanggungjawab, maka keluarga bahagia dan sejahtera yang
dicita-citakan akan terlaksana dengan baik dan selalu mendapat ridha
dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perlindungan kepada kaum wanita
menjadi lebih baik, dan hak-hak asasi manusia dihormati sesuai
dengan norma-norma yang berlaku.15
Dalam hal kedudukan para pihak di depan hukum (Principle
Equality Before The Law) di masing-masing negara contohnya di
Indonesia dan Yaman, sama-sama menganut dan menjunjung tinggi,
terlebih di Yaman telah dikuatkan juga Konstitusi Nasionalnya bahwa
“Negara menjamin/melindungi persamaan hukum antara laki-laki
13 Muhamad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindo,2002, Cet. Kedua), h. 48.
14 Muhamad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 49.15 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukm Perdata Islam di Indoneisa (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 13.
67
dengan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, baik poitik,
ekonomi, dan kehidupan sosial”.16
Berdasarkan analisis penulis, faktor dispensasi berdampak pada
perceraian. Meningkatnya jumlah faktor penyebab perceraian karena
perkawinan dibawah umur sampai tahun 2016. Biasanya terjadi di
daerah pedesaan. Maka dari itu, evektivitas dari dispensasi perkawinan
tidak relevan dengan Undang-Undang Perkawinan. Terbukti semakin
meningkatnya kasus perceraian akibat dispensasi.17
Batas minimal 19 tahun bagi calon pria dan 16 tahun bagi
perempuan merupakan ranah ijtihad fikih ala ulama Indonesia yang
sudah dipositifkan (diundang-undangkan). Meskipun begitu, spirit
peningkatan usia perkawinan pada tahun itu jelas berbeda dengan
minimal batas usia perkawinan ijtihad para ulama sebelumnya. Artinya
kondisi masyarakat dan tingkat pendewasaan laki-laki dan perempuan
di setiap wilayah bersifat kontekstul tergantung faktor-faktor yang
mendukung kedewasaan, seperti faktor pendidikan, psikis, sosial,
medis dan faktor lainnya.
Jika peningkatan batas usia perkawinan telah dilakukan
sebelumnya oleh para ulama klasik dan hukum positif Indoneisa pada
tahun 1974, mengapa tidak jika saat ini peraturan pasal 7 Undang-
16 Sadari, “Hak Perempuan Pasca Perceraian: Analisis Perbandingan HukumKeluarga di Indonesia dan Dunia”, Jurnal Hukum Vol. 12, no. 2 (November 2015): h. 245.
17 Data selengkapnya bisa dilihat di http://infoperkara.badilag.net/
68
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah seharusnya di
revisi karena berdasarkan beberapa ahli dan pandangan ahli.
B. Analisis Hukum Positif di Yaman
Yaman adalah negara yang berbentuk Republik. Bahasa resmi
yang digunakan adalah bahasa Arab. Agama yang berlaku adalah
agama Islam sebagai agama negara yang dianut oleh sekitar 95% dari
jumlah penduduknya. Yaman adalah sebuah negara Islam yang
menganut sistem presidensial dan menjadikan Syariah sebagai sumber
legislasi. Dalam lintas sejarahnya Repubik Yaman (Demokrat)
mengalami pasang surut, secara urut bentuk negara tersebut berbentuk
negara persemakmuran, negara kerajaan dan terakhir sebagai negara
republik. Sejak abad ke-19 Yaman Selatan merupakan negara jajahan
atau merupakan negara kolonial Pemerintahan Inggris tepatnya hingga
tahun 1967 Republik Yaman Selatan masih berada dibawah
penguasaan dan dominasi Pemerintahan Inggris.18
Selama periode penjajahan tersebut (negara bagian dari koloni
Inggris), sistem politik, sistem pemerintahan, sistem hukum dan
sistem peradilan juga peraturan perundang-undangan yang digunakan
mereduksi dan mengikuti Pemerintahan Persemakmuran India
18 Sadari, “Hak Perempuan Pasca Perceraian: Analisis Perbandingan HukumKeluarga di Indonesia dan Dunia”, Jurnal Hukum Vol. 12, no. 2 (November 2015): h. 241.
69
(British-India). Banyak peraturan dan perundang-undangan yang
diterapkan di Yaman.
Setelah merdeka dari jajahan Inggris, Yaman membangun
sistem dan peraturan hukum yang bagian-bagian aturannya memuat
Hukum Islam. Pada masa tersebut Islam merupakan sumber dasar
hukum kesultanan. Hal tersebut berdasarkan Konstitusi Nasional yang
diumumkan pada tahun 1970, yang menyatakan bahwa:
1. Islam sebagai agama resmi yang diakui negara secara utuh dalam
hukumannya dan bebas memeluknya serta akan mendapatkan
perlindungan;
2. Negara menjamin/melindungi persamaan hukum antara laki-laki
dengan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik,
ekonomi, dan kehidupan sosial.
3. Negara secara bertahap memberlakukan Hukum Perdata dan
Hukum Pidana.
Pada masa sebelum kemerdekaan, Pemerintah Kolonial Inggris
telah mengadakan peradilan yang antara lain menerapkan hukum
Islam (syari’ah) terhadap kasus-kasus yang melibatkan orang Islam
dalam masalah keluarga, seperti perkawinan, perceraian, kewarisan
dan perwalian. Hanya saja, penerapan hukum tersebut tidak meliputi
seluruh wilayah Yaman secara utuh. Hanya di daerah perkotaan saja
hukum keluarga Islam dapat diterapkan sepenuhnya. Sedangkan
didaerah pedalaman (pegunungan) masih berlaku hukum adat dan
70
suku masing-masing, meskipun telah ada upaya untuk memberlakukan
hukum sipil, hukum perburuhan hukum keluarga, dan hukum pidana
di seluruh wilayah negara.19
Mencermati keberagaman masyarakat Yaman Selatan, kesan
yang muncul pertama adalah “koservatisme”, mengingat bahwa
mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduknya adalah Sunniy-
Syafi’iy sedikit Syi’iy-Zaidiy. Namun, bila membaca aturan yang
terdapat dalam hukum keluarga yang diundangkan tahun 1974, nuansa
progresif-revolusioner terasa kental mewarnai reformasi hukum
keluarga. Bisa jadi hal tersebut terkait dengan pemerintahan militer
yang juga revolusioner. NLF (National Liberation Front), yang
kemudian berubah nama menjadi Yemen Socialist Party, sebagai
partai tunggal-penguasa yang dominan dan berdasarkan paham
sosialis, menuntut aksi-aksi yang revolusioner dan mendasar dalam
merombak struktur masyarakat. Persamaan hak dan kewajiban antara
lai-laki dan perempuan secara ekstrim diterapkan dalam menyusun
undang-undang, sehingga hukum keluarga Islam yang terbentuk
dalam sejarah ruang sistem patriarkhis harus dibongkar secara
mendasar.20
19 M. Atho’ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia IslamModern (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 69.
20 M. Atho’ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia IslamModern, h. 79.
71
Terlepas dari munculnya ide persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan yang sangat mendominasi seluruh pasal-pasalnya serta
motif sosialis di balik legalisasinya, hukum keluarga Yaman Selatan
dalam banyak hal membela dan menjunjung tinggi posisi perempuan.
Aturan-aturan yang ditetapkan berkaitan dengan pola hubungan antara
suami-isteri, cenderung mengurangi tekanan-tekanan yang selama ini
sangat membatasi ruang gerak dan kebebasan perempuan. Hak-hak
suami yang berlebihan pun dipangkas, meskipun di sisi lain juga ada
tuntutan terhadap tangungjawab yang lebih besar dari perempuan
(istri) sebagai partner dari laki-laki (suami).
Lebih jauh lagi, Family Law 1974, sebagai peraturan yang
pernah berlaku di Yaman, mencantumkan aturan pidana yang
mengatur tentang pelanggaran terhadap batas usia menikah. Pasal 49
menyebutkan bahwa:
1) Seseorang yang melakukan akad, atau mendaftarkanperkawinan yang menyalahi ketentuan-ketentuan yang terdapatdalam Family Law 1974 akan dikenai hukuman denda setingi-tingginya 200 dinar dan atau pidana kurungan maksimal 2tahun;
2) Seseorang yang melanggar sesuatu ketetapan yang terdapatdalam Family Law 1974 akan dikenai hukuman denda setinggi-tingginya 100 dinar dan atau pidana kurungan maksimal 1tahun.
Dengan bersatunya dua Yaman bersatu dalam satu Republik
Yaman, tidak berarti terhapus dua kelompok tersebut. Yaman (selatan)
adalah Sunni yang progresif dan revolusioner, dan mayoritas
penduduk Yaman (utara) adalah Syi’iy – Zaidiy, yang konservatif.
72
Pemerintah Republik Yaman (yang baru) didominasi kelompok utara
(Syi’ah-Zaidiyyah), yang cenderung eksklusif di bidang hukum,
sedangkan kelompok selatan yang Sunni-Syafi’i merupakan kekuatan
oposan21. Kenyataan ini bisa menjadi preseden buruk bagi
perkembangan hukum keluarga di Yaman untuk masa selanjutnya,
meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa gerakan revolusioner
selatan-lah yang akan banyak mewarnai kebijakan pemerintah melalui
efektifitasnya sebagai pressure group yang eksis dalam masyarakat.22
Perkembangan hukum keluarga dalam masyarakat muslim
kontemporer di negara-negara muslim dan di negara-negara yang
penduduknya beragama Islam, dimungkinkan oleh Undang-Undang
Dasar atau konstitusinya. Bahkan di beberapa negara muslim
tersebut, konstitusinya sendiri yang mengarahkan pembaharuan atau
pengembangan hukum keluarga, agar kehidupan keluarga yang
menjadi sendi dasar kehidupan masyarakat, terutama kehidupan
wanita, isteri, ibu dan anak-anak didalamnya, dilindungi. Dan dalam
hukum keluarga, bahwa pengundangannya merupakan pelaksanaan
perintah Undang-Undang Dasarnya masing-masing.
Selanjutnya di beberapa negara muslim atauran-aturan fiqh
secara bertahap diubah dan disesuaikan dengan perkembangan umat
Islam. Sungguhpun demikian, di samping pembaharuan atau
21 Oposan adalah menentang setiap gerakan.22 M. Atho’ Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 80.
73
pengembangan yang terus dilakukan, juga terdapat usaha untuk
memulihkan dan melindungi lembaga hukum Islam tradisional. Semua
ini telah mengubah wajah hukum keluarga dalam masyarakat muslim
kontemporer. Seperti yang terjadi di Yaman, pengundangan hukum
keluarga di sana cukup singkat tetapi revolusioner. 23
Kondisi yang demikian, juga ditemukan di berbagai negara
Islam yang masih merujuk pada kitab-kitab fiqh. Sebelum pada
umumnya, kitab-kitab itu adalah hasil ijtihad para mujtahid berbagai
tingkatan, untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat muslim
pada masanya. Hukum keluarga yang demikian, dapat dilihat dan
ditelusuri dalam kitab-kitab fikih berbagai mazhab; untuk mudahnya,
empat mazhab dalam Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) dan
tidak pada Syi’ah (Ithna Asyari, Isma’ili dan Zaidi).
Dalam konteks Indonesia, sebelum pembentukan Undang-
Undang Perkawinan 1974 beserta peraturan pelaksanaanya dan
sebelum pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam (1991) secara resmi,
hukum keluarga yang berlaku bagi ummat Islam Indonesia dan
dipergunakan oleh hakim agama dalam menyelesaikan sengketa
(keluarga) yang diajukan kepadanya adalah kitab fikih yang pada
umumnya dari mazhab Syafi’i.
23 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2002, Cet. Kedua), h. 95.
74
Isi hukum keluarga yang berlaku bagi masyarakat muslim
kontemporer dalam kodifikasi, baik parsial maupun total di negara
Yaman. Sebagai salah satu contoh pengembangan hukum keluarga
Islam tradisional. Dalam kitab-kitab hukum keluarga lama disebut
bahwa pria dapat melangsungkan pernikahannya jika telah ‘mimpi’
dan wanita jika telah ‘menstruasi’. Mimpi dan menstruasi adalah
tanda bahwa baik pria maupun wanita telah ‘dewasa’ atau akil balig.
Bila mimpi dan menstruasi datang tergantung pada kondisi (alam) dan
situasi di suatu tempat dan masyarakat tertentu. Pada umumnya pada
usia tiga belas dan atau empat belas tahun.
Dewasa ini, hukum keluarga dalam masyarakat kontemporer
menentukan batas umur dapat melangsungkan perkawinan, menurut
kondisi negara masing-masing. Yaman, misalnya, menentukan lima
belas tahun untuk pria dan lima belas tahun bagi perempuan. Namun
penting untuk dicatat, penetapan batas minimum umur untuk dapat
melangsungkan perkawinan ini hanya akan efektif kalau pencatatan
kelahiran secara tertib sudah dilaksanakan, sebagaimana yang terjadi
di Indonesia.
Dalam hubungan ini tidak ada salahnya untuk dicatat bahwa
dulu, wali mujbir dapat saja menikahkan seorang gadis yang berada di
bawah perwaliannya kendatipun (mungkin) gadis itu belum akil balig.
Kini, dibawah kodifikasi hukum keluarga yang berlaku dalam
masyarakat muslim kontemporer, seorang wali (walaupun mujbir)
75
tidak dibenarkan lagi melakukan intervensi, apalagi bertindak semena-
mena terhadap anak gadis yang berada dibawah perwaliannya.24
Kodifikasi hukum keluarga dalam masyarakat muslim
kontemporer selain dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian
hukum, juga bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat wanita
sesuai dengan ajaran Islam, melindungi wanita isteri dan anak-anak.
Untuk mencapai tujuan tersebut, masalah perkawinan dan perceraian
tidak lagi dianggap sebagai urusan pribadi tetapi telah dijadikan
menjadi urusan umum yang dikelola oleh pemerintah melalui lembaga
peradilan.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
sakinah (sejahtera dan bahagia) selama hidup, penyelesaian sengketa
yang masuk ranah hukum keluarga di negara-negara muslim harus
dilakukan didepan pengadilan. Pengadilan yang mengadili masalah
keluarga, seperti pengadilan agama harus berlaku adil dan bijaksana
dengan mempertimbangkan segala aspek, sebab keputusannya akan
mempengaruhi kehidupan keluarga selama-lamanya.
Sistem parlemen di Yaman, menetapkan batas usia menikah
bagi keduanya 15 tahun karena alasan pubertas. Larangan melakukan
hubungan suami istri sampai wanita mencapai pubertas.dan
diharapkan dalam pembatasan ini, dapat menjamin perlindungan.
24 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: RajaGrafindoPersada, 2002, Cet. Kedua), h. 98.
76
Namun ternyata usia batas minimal tersebut justru tidak menjamin
perlindungan.25
Pemerintah Yaman telah gagal dalam memberikan perlindungan
terhadap perempuan. Dengan menetapkan batas usia minimal 15
tahun. Pendaftaran pernikahan dan kelahiran anak menjadi komponen
penting dalam memerangi pernikahan dini, tetapi jarang ditegakkan.
Namun, hukum hanya memperhitungakan hubungan seks saja, tidak
dengan kematangan emosional bagaimana wanita akan melahirkan
dan membesarkan anak di usia dini.
C. Analisis Perbandingan Batas Usia Antara Indonesia & Yaman
Indonesia termasuk negara yang cukup mentoleransi
perkawinan muda. Dibandingkan dengan Yaman dengan batas usia 15
tahun. Memang, Islam tidak pernah menetapkan batas usia bagi
perempuan atau laki-laki untuk menikah, namun pelaksanaan
pernikahan tersebut sangat terkait dengan tujuan dan hikmah dari
pernikahan itu sendiri. Hal ini pula, kiranya yang termaktub dalam
penjelasan Undang-Undang Perkawinan Pasal 7, bahwa untuk menjaga
kesehatan suami istri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas umur
untuk perkawinan.
25 Artikel diakses pada 11 Oktober 2016 darihttps://www.hrw.org/report/2011/12/07/how-come-you-allow-little-girls-get-married/child-marriage-yemen
77
Beberapa faktor, terutama tingkat kesadaran dan pendidikan
masyarakat yang rendah, justru menggambarkan praktik perkawinan
usia dini yang tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain termasuk
Yaman. Masyarakat pedesaan yang lebih tradisional dan berpendidikan
rendah masih sering melakukan perkawinan dini.
Secara implisit, Undang-Undang Perkawinan menetapkan
perkawinan baru boleh dilakukan ketika seorang wanita mencapai
umur 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Meskipun praktik perkawinan
masyarakat Indonesia berbeda-beda, pada dasarnya perkawinan di
bawah umur masih tergolong tinggi. Meski Undang-Undang
Perkawinan atau KHI telah menetapkan batas minimal usia
perkawinan tersebut, tetapi pada praktiknya masih banyak terjadi
perkawinan di bawah usia 16 tahun.26
Dalam konteks hukum keluarga dan pemberdayaan perempuan,
hal yang semakin mendesak saat ini adalah mengupayakan hukum
yang responsif terhadap kepentingan mereka. Hal demikianlah yang
mendorong pengarustamaan gender dalam struktur negara beberapa
tahun terakhir ini. Namun, dalam konteks legislasi, beberapa kendala
masih menghinggapi, diantaranya adalah political will para perumus
undang-undang.27
26 Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indoneisa (Jakarta: Sinar Grafika:2013), h.345.
27 Ahmad Tholabie Kharlie, Hukum Keluarga Indoneisa, h.352.
78
Pengundangan hukum keluarga Islam di Dunia Islam,
khususnya hukum perkawinan Islam bagi keluarga muslim, pada
dasarnya dilakukan dalam rangka memperbaiki kedudukan umat Islam
terutama derajat kaum perempuannya. Untuk kepentingan itulah maka
pengundangan hukum perkawinan Islam didasarkan pada asas-asas
atau prinsip-prinsip hukum keluarga.28
Pembentukan hukum keluarga di suatu negara tidak terlepas
dari konteks dan sejarah pembentukannya. Termasuk bagaimana
undang-undang menetapkan batas usia dalam pernikahan. Dengan
berkembangnya peradaban manusia dan hukum yang mengatur secara
universal tentang batas usia menikah, namun dalam pengaturan dan
aplikasinya di negara yang satu dengan yang lainnya berbeda.
Termasuk Indonesia dan Yaman yang masing-masing mempunyai
perbedaan kebudayaan dan adat yang berbeda.
Sejauh pengamatan penulis, Undang-Undang Perkawinan yang
berlaku bagi umat Islam di Indonesia telah memberikan kedudukan
yang baik kepada wanita dalam kehidupan keluarga. Undang-Undang
Perkawinnan dan peraturan pelaksanaannya mengandung asas-asas
yang selain selaras dengan ajaran agama pada umumnya, ajaran Islam
pada khususnya, juga sesuai dengan hasrat untuk meningkatkan
kedudukan, harkat dan martabat wanita, selaras pula dengan
perkembangan masa.
28 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:RajaGrafindo, 2005), h. 215.
79
Kalau asas-asas, kaidah-kaidah, ketentuan petunjuk yang ada
dalam peraturan perkawinan Indonesia itu dipahami secara baik dan
benar, ia dapat digunakan sebagai landasan untuk membina kehidupan
perkawinan yang harmonis, kehidupan keluarga yang bahagia dan
sejahtera. Oleh karena itu, adalah menjadi kewajiban pria dan wanita,
mempelajarinya dengan seksama dan mempergunakannya sebagai
sarana untuk membangun keluarga yang berbahagia dalam rangka
usaha meningkatkan kualitas manusia, terutama peningkatan kualitas
keluarga dan generasi penerus bangsa.29
Lahirnya Undang-Undang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara Republik Indonesia tanggal 2 Januari 1974 untuk
sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Hukum
Perkawinan yang berlaku bagi muslim Indonesia yang tercantum
dalam kitab-kitab fikih (kitab-kitab hukum fikih Islam), menurut
sistem hukum di tanah air kita tidaklah dapat digolongkan kedalam
kategori “hukum tertulis” karena tidak tertulis dalam peraturan
perundang-undangan.
Dimasukkannya agama dalam hidup dan kehidupan keluarga
seperti terlihat pada pasal-pasal Undang-Undang Perkawinan
Indonesia ini adalah sesuai serta sejalan dengan perkembangan
pemikiran modern di negara-negara maju sekarang”.30
29 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2002, Cet. Kedua), h. 50.
30Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, h. 25.
80
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan Indonesia No. 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
tahun. Batas usia kawin tersebut, jika dibandingkan dengan negara-
negara lain sebenarnya tidak terlalu jauh, bahkan untuk laki-laki relatif
agak tinggi. Berbeda dengan Yaman, negara yang menetapkan batas
usia paling rendah di negara-negara muslim.31
Usaha pembaharuan Hukum Keluarga Muslim akan terus
berlanjut sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman, terutama
karena tuntutan yang datang dari gerakan emansipasi wanita di negara-
negara Muslim sendiri maupun akibat dari pengaruh gerakan
emansipasi wanita dari negara-negara maju..32
Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum
nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan perwujudan
kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.33
Karena persepsi tentang hubungan negara dengan agama,
hukum agama dan hukum negara, belum mantapnya pemahaman
tentang Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental
31 M. Atho ‘Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia IslamModern, (Jakarta: Ciputat Press), h. 209.
32 M. Atho ‘Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia IslamModern, h. 222.
33 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:RajaGrafindo, 2005), h. 349.
81
negara, dalam pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, terdapat
beberapa pendapat mengenai perkawinan antara orang-orang yang
berbeda agama. Berbeda seperti negara Yaman yang memang dasar
negaranya sudah berasaskan Islam. Islam sebagai fundamentalisme
negara.
Dalam menyikapi batasan usia minimal tersebut beberapa
negara muslim masih ada yang memberi celah atau toleransi
dilangsungkannya pernikahan dibawah usia tersebut dalam situasi-
situasi tertentu seperti Aljazair, Indonesia, Irak Libanon, Somalia,
Syria, Tunisia dan Turki.
Nama Negara Batasan Usia Pria Batasan Usia
Wanita
Indonesia 19 16
Yaman 15 15
Dengan mencermati tabel di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan yakni:
1. Undang-Undang tersebut lebih tegas dan pasti dalam menentukan
batas minimal seseorang dapat melangsungkan perkawinan, di
mana dalam kitab-kitab fiqih tidak secara tegas ditetapkan.
2. Usia minimal pria ditetapkan lebih tinggi dari wanita mengingat
secara psikologis wanita lebih cepat dewasa dibanding pria di
samping ada kecendurangan wanita menyukai pria yang lebih
82
dewasa dari dirinya. Berbeda dengan Yaman, batas usia laki-laki
dan perempuan sama.
3. Indonesia menetapkan batas usia minimal untuk dapat menikah
lebih tinggi dibanding Yaman.
4. Terdapat kesamaan pandang di kalangan para pembuat Undang-
Undang untuk menetapkan batas minimal usia ‘layak’ kawin di atas
batasan baligh sebagaimana yang dirumuskan para ulama fiqih.
5. Di Indonesia, jika calon suami isteri belum mencapai batas usia
yang dtentukan undang-undang, maka diberi dispensasi oleh
pengadilan. Begitu juga dengan Yaman yang memperoleh
dispensasi.
Undang-undang perkawinan apabila dicermati pasal demi pasal
undang-undang tersebut, maka diharapkan hubungan manusia yang
berkaitan dengan perkawinan saat berlangsung dengan tertib. Bukan
justru malah menimbulkan masalah baru dalam masyarakat. Dengan
demikian jika manusia melaksanakan pasal-pasal dalam Undang-
Undang tersebut dapat diartikan manusia melaksanakan nilai-nilai
ideal kemanusiaan. Agar masyarakat dalam hal perkawinan ada
kepastian dalam tingkah lakunya, sehingga terdapat ketertiban
masyarakat dan dimaksudkan untuk memecahkan masalah –masalah
dalam keluarga.
83
Dari bunyi Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan tersebut
dapat diketahui dengan jelas bahwa calon pengantin yang berumur di
bawah usia 21 tahun di anggap belum dewasa. Untuk itu perlu
mendapatkan ijin dari kedua orang tuanya yang merupakan salah satu
syarat untuk dapat berlangsungnya suatu perkawinan. Praktik
perkawinan di bawah umur membuka peluang tidak tercapainya asas
dan tujuan perkawinan. Sejauh pengamatan penulis, adanya aturan
dispensasi nikah belum efektif. Aturan tersebut membolehkan para
calon suami atau isteri yang masih berada di bawah umur untuk
melangsungkan pernikahan berdasarkan izin pengadilan.
84
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya,
maka pada BAB V ini ditarik kesimpulan untuk menjawab rumusan
masalah berdasarkan data yang diperoleh, yaitu:
1. Faktor yang mempengaruhi pembentukan perundang-undangan
perkawinan di Indonesia salah satunya karena latar belakang sejarah.
Karena Indonesia adalah jajahan dari Belanda, maka sistem Indonesia
banyak menganut warisan dari hukum Belanda.. Maka dari itu,
dibentuklah Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah terkait
Pelaksanaan UU Perkawinan yang mengatur perkawinan serta
Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk orang-orang yang beragama
Islam. Sedangkan di Yaman, yang negara jajahannya oleh British-
India, maka hukum positif di Yaman diambil dari hukum Inggris dan
India. Yaman termasuk negara muslim karena 95% penduduk
beragama Islam. Dan ideologi negara tersebut meggunakan hukum
Syariah.
2. Pembentukan Pengaturan Perkawinan di Indoneisa tidak lepas dari
keterlibatan tiga kepentingan, yaitu kepentingan negara, perempuan
dan agama. Yang dalam RUU Perkawinan pada saat itu 1 Desember
85
1942 juga merancang batas usia 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun
bagi wanita. Sedangkan di Yaman, Sistem parlemen di Yaman,
menetapkan batas usia menikah bagi keduanya 15 tahun karena alasan
pubertas. Larangan melakukan hubungan suami istri sampai wanita
mencapai pubertas dan diharapkan dalam pembatasan ini, dapat
menjamin perlindungan. Namun ternyata usia batas minimal tersebut
justru tidak menjamin perlindungan
3. Sampai saat ini memang di Indonesia sendiri belum diatur sanksi bagi
yang menikah di bawah umur. Tetapi dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatur bahwa kewajiban dan
tanggungjawab orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak. Juga mengasuh, memelihara, mendidik dan
melindungi anak. Dan dalam KUHP pasal 288, apabila dalam
perkawinan bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya
disetubuhi dan dari perbutan itu mengakibatkan luka-luka, maka
diancam dengan pidana penjara. Adapun di Yaman, pernah ada
pengaturan pidana atas peraturan perkawinan di bawah umur sebelum
Yaman bersatu, memang peraturan (Undang-Undang N0. 20 Tahun
1992) tidak mengaturnya, seperti di Indonesia.
B. SARAN
Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:
86
1. Batas Usia Perkawinan diharapkan semakin meminimalisir tingkat
perkawinan dini baik diperkotaan maupun dipedesaan, yang akhirnya
dapat mengurangi angka perceraian. Oleh karena itu pihak yang
berwenang, seperti KUA, perlu menyeleksi secara ketat tentang usia
calon pengantin ini.
2. Masalah dispensasi, seharusnya bukan jalan satu-satunya untuk
permohonan pernikahan di bawah umur minimal. Tapi harus
dipikirkan matang-matang baik dari segi psikologis jika akan
melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, perlu ada pendidikan
khusus seperti pendidikan pra nikah, atau kursus calon pengantin yang
ditentukan dengan kebutuhan rumah tangga suami isteri.
3. Perbandingan kedua undang-undang keluarga antara Indonesia dan
Yaman, menambah khazanah referensi dalam pembentukan hukum
keluarga.
4. Undang-Undang Hukum Keluarga di Yaman bisa sebagai bahan
pembelajaran bahwa masih banyak di negara Yaman yang masih
menikah dibawah umur.
5. Perlu ditentukan sanksi hukum bagi perkawinan dibawah umur, agar
tidak ada lagi perkawinan dibawah umur yang justru banyak
merugikan kaum perempuan.
6. Perlu ada sinkronisasi antara peraturan perundang-undangan di
Indonesia kini. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, anak dengan usia yang sudah 16 tahun dapat melakukan
87
pernikahan, sementara memuat Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, seseorang yang belum berumur 18 tahun
masih di anggap anak. Artinya, UU No. 1 Tahun 1974 membolehkan
pernikahan anak.
88
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. VII. Jakarta: CV.
Akademika, 2007.
Ahmadi, Muhammad Fahmi & Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum
Ciputat: Lembaga Penelitian, 2010.
Ali, Mohammad, Daud. Hukum Islam Dan Peradilan Agama. Cet. II. Jakarta:PT. Rajagrafindo, 2002.
__________, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Hukum Islam diIndonesia). Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
__________, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. II. Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2002.
Al-Usairy, Ahmad. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX.
Jakarta: Akbar Media, 2003.
Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafido
Persada, 1998.
Direktorat Kehakiman Badan Peradilan Agama Islam Kementerian Agama.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: t.p, 2001.
El Alami, Dawoud Sudqi and Hinchcliffe, Doreen. Islamic Marriage and
Divorce Laws of the Arab World. London: CIMEL, 1996.
Esposito, John L. Women in Muslim Family Law. New York: Syracuse
University Press, 1982.
Ghozali, Rahman, Abdul. Fiqh Munakahat. cet I. Jakarta: Kencana, 2003.
89
Harahap, Yahya, M. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama
UU No. 7 Tahun 1989 Edisi Kedua, cet. ke-5. Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Kompilasi Hukum Islam Inpres No. 1 Tahun 1991.
Lapidus, Ira. Sejarah Sosial Ummat Islam Bagian Ketiga. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999.
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukm Perdata Islam di Indoneisa. Jakarta:Kencana, 2006.
__________, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2006.
Manan, Abdul & Fauzan, M. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang
Peradilan Agama, cet. ke-5. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002.
Mujahid. “Batas Minimal Usia Nikah Menurut Hadis Nabi SAW Dan Hukum
Keluarga di Dunia Islam”. An-Nisa’ Volume V. no. 2 (2012).
Mustofa & Wahid, Abdul. Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Sinar
Grafika, 2009.
Muzdhar, M Atho & Nasution Khairuddin. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern. Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nuruddin, H, Amiur & Tarigan, Akmal, Azhari. Hukum Hukum Perdata Islam
di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Isam dari Fikih UU
No. 1/1974 sampai KHI, cet. ke-2. Jakarta: Kencana, 2004.
Ramulyo, M. Idris Ramulyo. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkaiwnan Islam, Cet. II.
Jakarta: Juli, 1990.
Republic Decree Law No. 22 of 1992 Concerning Personal Status Yaman.
Sana’a. Yaman.
90
Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007
Tentang Pencatatan Perkawinan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 1975. Peraturan Pemerinntah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 1990. Undang-Undnag No. 28 Tahun 1990 tentang
Pendidikan Dasar. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indoneisa. 1997. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sekretariat Negara.
Jakarta.
Rofiq, Ahmad, H. Hukum Perdata Islam di Indonesia Edisi Revisi. Cet I.
Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013.
Saaleh, K.Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1978.
Saepudin Jahar, Asep, dkk. Hukum Keluarga, Pidana & Bisnis. Jakarta:
Kencana, 2013.
Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, cet II. Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka, 2012.
91
Summa, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005.
Supriyadi, Dedi & Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di DuniaIslam, Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009.
Tahir, Mahmood, Personal Law In Islamic Countries: History, Text and
Comparative Analysis, New Delhi: Academy of Law and Religion,
1987.
Kharlie Tholabi, Ahmad. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Usman, Suparman. Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001.
Jurnal
Al-Zwaini, Laila. The Rule Of Yemen Prospects and Challenges. Netherlands:
Published, 2012.
Amrullah. Batasan Umur Dalam Melangsungkan Perkawinan Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Pendapat Imam Syafi’i.
Lampung: t.p, t.t.
An-Na’im, A Abdulahi. Islamic Family Law in a Chnging World: A Global
Resource Book. London: Zed Books Led, t.t.
International Organization for Migration (IOM). Tourist Marriage in Yemen.
Sana’a: Yemen Modern Printing Press, 2014.
Pediatri, Sari. “Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya”. Vol 11. No. 2
(Agustus 2009).
92
Sadari, “Hak Perempuan Pasca Perceraian: Analisis Perbandingan Hukum
Keluarga di Indonesia dan Dunia”, Jurnal Hukum Vol. 12, no. 2
(November 2015).
Supriyadi dan Yulkarnain Harahap. “Perkawinan Dibawah Umur Dalam
Perspektif Hukum Pidana dan Hukum Islam”. Mimbar Hukum Volume
21. No. 3 (Oktober 2009).
Wurth, Anna. Stalled Reform: Family Law In Post-Unification Yemen. Islamic Law
and Society 10, no. 1 (March 2001).
Internet dan Media
“Bidang Peradilan Agama”. Artikel diakses pada 18 Juli 2016 dari
http://infoperkara.badilag.net/.
“Tentang Yaman”. Atikel diakses pada 1 Juni 2016 dari
https://www.scribd.com/doc/211802430/BAB-II-Tentang-Yaman.
“Batas Usia”. Artikel ini diakses pada 10 Oktober 2016 dari
https://www.hrw.org/report/2011/12/07/how-come-you-allow-little-girls-
get-married/child-marriage-yemen
Lampiran 1
أدخلت بعض التعدیالت على هذا القرار وأصدرت بالقانون رقم (27) لسنة 1998م والقانون رقم (24) لسنة 1999م
.والقانون رقم (34) لسنة 2003م
م1992) لسنة 20القرار الجمهوري بالقانون رقم (
بشأن األحوال الشخصیـــة
رئیس مجلس الرئاسة :
بعد اإلطالع على إتفاق إعالن الجمهوریة الیمنیة. -
وعلى دستور الجمهوریة الیمنیة .-
م بتشكیل مجلس الوزراء. 1990لسنة )1وعلى القرار الجمهوري رقم (-
وبعد موافقة مجلس الرئاسة .-
(قـــــرر)
) : یسمى هذا القانون (قانون األحوال الشخصیة) .1مادة (
الكتاب األول
طبة وعقد الزواج الخ
الباب األول
طبـــــة الخ
) : الخطبة طلب التزوج والوعد به ، ویدخل في حكمها قراءة الفاتحة وتبادل الهدایا. 2مادة (
) : تمنع خطبة المرأة المحرمة حرمة مؤبدة أو مؤقتة. 3مادة (
لكل من الخاطبین العدول عن الخطبة. -1) : 4مادة (
ال فمثلها أو قیمتها یوم القبض. یرد كل من عدل-2 عن الخطبة الهدایا بعینها إذا كانت قائمة وا
إذا أنتهت الخطبة بالوفاة أو بسبب ال ید ألحد الطرفین فیه أو بعارض حال دون الزواج فال یسترد شئ من -3الهدایا.
) : إذا ترتب على العدول عن الخطبة ضرر یتحمل المتسبب التعویض . 5مادة (
الباب الثاني
عقد الزواج
الفصل األول
انعقاد الزواج وأركانه وشروطه
) : الزواج هو ارتباط بین زوجین بمیثاق شرعي تحل به المرأة للرجل شرعا وغایته إنشاء أسرة قوامها 6مادة (حسن العشرة.
) : یتم الزواج في مجلس واحد بإیجاب من مكلف ذكر غیر محرم بلفظ یفید التزویج حسب العرف وقبول 7مادة (مثله من مثله قبل األعراض ، ویجب أن یكون اإلیجاب والقبول منجزین غیر دالین على التوقیت ویلغى كل شرط ال
یتعلق به غرض ألحد الزوجین.
الكتابة وبالرسالة من الغائب في مجلس بلوغ الخبر ویصح العقد من المصمت ) : یتم العقد باللفظ و 8مادة (واألخرس باإلشارة المفهمة.
) : یشترط لتمام عقد الزواج حضور شاهدین مسلمین عدلین أو رجل وامرأتین وان یسمعا كالم المتعاقدین 9مادة (أو الكتابة أو الرسالة أو اإلشارة من األخرس والمصمت.
) : كل عقـــد بني على إكــراه الــــزوج أو الزوجــــة ال اعتبار له. 10مادة (
ال یعقد زواج المجنون أو المعتوه إال من ولیه بعد صدور إذن من القاضي بذلك. -1) : 11مادة (
ال یأذن القاضي بزواج المجنون أو المعتوه إال بتوافر الشروط التالیة :-2
قبول الطرف اآلخر التزوج من بعد اطالعه على حالته. -أ
كون مرضه ال ینتقل منه إلى نسله. -ب
كون زواجه فیه مصلحة له وال ضرر لغیره. -ج
یتم التثبت من الشرطین األخیرین المذكورین في الفقرة السابقة من هذه المادة بتقریر من ذوي االختصاص. -3
ال فواحدة. ـ یجوز للر 1) : 12مادة ( جل تعدد الزوجات إلى أربع مع القدرة على العدل وا
یعقد على زوجة أخرى مع تحقق الشروط التالیة:-2
أن تكون هناك مصلحة مشروعة. -أ
أن تكون للزوج كفایة مالیة إلعالة أكثر من زوجه. -ب
أن تشعر المرأة بأن مرید الزواج بها متزوج بغیرها. -ج
الزوجة بأن زوجها یرغب في الزواج علیها. أن تخبر -د
) : إذا أسلم غیر المسلمین مع زوجاتهم أقروا على أنكحتهم إال فیما حرمه اإلسالم. 13مادة (
) : یجب على من یتولى صیغة العقد وعلى الزوج وعلى ولي الزوجة أن یقیدوا ورقة عقد الزواج لدى 14مادة (ال عوقب كل منهم طبقا لما هو مقرر في الجهة المختصة في الدفتر المعد ل ذلك خالل أسبوع من تاریخ العقد وا
ذا قام أحد ممن تقدم ذكرهم بقید الورقة سقط االلتزام على اآلخرین ، ویجب أن تتضمن ورقة عقد الزواج القانون واؤجل. المعلومات الالزمة مثل سن الزوجین وأرقام بطاقات الهویة ومقدار المهر المعجل منه والم
الفصل الثاني
الوالیة في الزواج
) : ال یصح تزویج الصغیر ذكرا كان أو أنثى دون بلوغه خمسة عشرة سنة. 15مادة (
) : ولي عقد الزواج هو األقرب فاألقرب على الترتیب األب وان عال ثم االبن وان سفل ، ثم االخوة ، ثم 16مادة (ذا تعدد من أبناؤهم ، ثم األعمام ، ثم أبناؤهم ، ثم أعمام األب، ثم أبناؤهم ، كذلك ویقدم من تكون قرابته ألب وأم وا
هم في درجة واحدة كانت الوالیة لكل منهم ، ویصح عقد من سبق منهم ویبطل عقد من تأخروا إذا عقدوا ألكثر من
ذا أشكل ذلك بطل العقد. شخص واحد في وقت واحد وا
ذا ادعت امرأة مجهولة النسب بأن ال ولي لها مع عدم المنازع صدقت ) : القاضي ولي من ال والیة ل17مادة ( ه ، وابعد بحث القاضي والتأكد بیمینها.
ـ إذا كان الولي األقرب مخالفا في الملة أو مجنونا أو تعذر االتصال به أو أخفى مكانه انتقلت 1) : 18مادة (الوالیة لمن یلیه.
قاضي بتزویجها فان امتنع زوجها القاضي بمهر أمثالها لرجل كفء لها. إذا عضل ولي المرأة أمره ال-2
ال یقبل قول المرأة فیما ذكر في الفقرتین السابقتین من هذه المادة إال ببرهان. -3
) : یعتبر الولي عاضال إذا أمتنع عن تزویج المرأة وهي بالغة عاقلة راضیة من كفء إال أن یكون ذلك 19مادة (تریثا للتعرف على حال الخاطب ، على أن ال تزید مدة التریث على شهر. منه
) : یصح أن یتولى عقد الزواج عن طرفیة شخص واحد ینطق بصیغة اإلیجاب والقبول في مجلس العقد. 20مادة (
) : تصح الوكالة في الزواج ولو كان الولي الموكل غائبا غیبه منقطعة ویجوز للوكیل أن یزوج نفسه 21مادة (بمن وكل بتزویجها إال إذا شرط غیر ذلك ، كما یصح للولي أن یزوج نفسه بمن له الوالیة علیها وكل ذلك فیما ال
) من هذا القانون. 23یتعارض مع أحكام المادة (
) : من أجرى عقد زواج دون والیة أو وكالة فهو فضولي ، وعقد الزواج من الفضولي یعتبر كال عقد. 22مادة (
) : یشترط رضا المرأة ورضا البكر سكوتها ورضا الثیب نطقها. 23مادة (
الفصل الثالث
في موانع الزواج
) : یحرم على المرء من النسب أصوله وفروعه ونساؤهم ومن تناسل من أبویه وأول درجة من نسل 24مادة (أجداده وجداته وان علون وأصول زوجته لمجرد العقد علیها وفروعها بعد الدخول بها ویشترط لتحریم غیر األصول
والفروع أن یكون النسب من نكاح صحیح.
اع ما یحرم من النسب وتثبت الحرمة من المرضع وزوجها حال الرضاع وال یثبت ) : یحرم من الرض25مادة (الرضاع إال بامتصاص الرضیع من ثدي المرضع في الحولین األولین خمس رضعات متفرقات.
) : یحرم على الرجل الزواج من :26مادة (
المخالفة في الملة ما لم تكن كتابیة. -1
المرتدة عن دین اإلسالم. -2
المتزوجة بغیره. -3
المالعنة ممن العنها. -4
المطلقة منه ثالثا قبل أن تدخل بزوج آخر وتعتد منه. -5
المعتدة لغیر من تعتد منه في طالق رجعي أو بینونة صغرى. -6
المحرمة بحج أو عمرة. -7
الخنثى المشكل. -8
امرأة المفقود قبل الحكم بارتفاع الزواج. -9
: یحرم على الرجل الجمع بین امرأتین لو فرض أن أحدهما ذكر حرمت علیه األخرى من الطرفین. )27مادة (
) : تعتبر المعتدة من طالق رجعي في عصمة مطلقها إلى أن تنقضي عدتها. 28مادة (
) : یحرم على المسلمة الزواج بغیر مسلم. 29مادة (
الباب الثالث
في أحكام الزواج
الفصل األول
م عامهأحكا
) : كل زواج استوفى أركانه وشرائطه المبینة في الباب السابق فهو صحیح ، وتترتب علیه منذ انعقاده 30مادة (جمیع أثار الزواج المنصوص علیها في هذا القانون ما لم یكن موقوفا ولو لم یعقبه دخول ، ویعتبر الزواج موقوفا
ذا تم الرضاء سرت أثار الز واج من وقت العقد. قبل الرضاء ممن یملكه وا
) : الزواج الذي لم یستوف أركانه وشرائطه المبینة في الباب السابق باطل وال تترتب علیه قبل الدخول 31مادة (أیة أثار ، ویجب التفریق بین الطرفین قضاء أن لم یكن قد تم رضاء.
) :تترتب على الزواج الباطل إذا أعقبه دخول اآلثار اآلتیة: 32مادة (
جوب مهر المثل أو المهر المسمى أیهما أقل. و -1
ثبوت النسب على الوجه المبین في هذا القانون. -2
وجوب العدة عقب المفارقة رضاء أو قضاء وعقب الموت. -3
حرمة المصاهرة. -4
سقوط الحد عمن دخل جاهال . -5
الفصل الثاني
المهــــــــــر
ها بعقد صحیح وهو ما حصل علیه التراضي معینا ماال أو منفعة فإذا لم یلزم المهر المعقود ب-1) : 33مادة (یسم تسمیة صحیحة أو نسي ما سمى بحیث لم یعرف وجب مهر المثل.
المهر ملك للمرأة تتصرف فیه كیفما شاءت وال یعتد بأي شرط مخالف. -2
یل ولي المرأة للمهر مطالبتها به ما لم یكن ) : یجوز تعجیل المهر أو تأجیله كله أو بعضه وال یمنع تأج34مادة (التأجیل برضاها.
) : یجب المهر كله بالدخول الحقیقي ویستحق بموت الزوجین أو أحدهما. 35مادة (
) : یستحق نصف المهر المسمى بالطالق أو بالفسخ إذا كان من جهة الزوج قبل الدخول فإذا كان 36مادة (من جهة الزوجة فقط فال یستحق من المهر شئ ویكون على الزوجة رد ما الفسخ من جهة الزوجین معا أو
قبضته مما ال یستحق لها وال یلزمها رد مثل ما وهبته لزوجها.
) : إذا لم یسم المهر تسمیة صحیحة فللمرأة المطلقة قبل الدخول المتعة وهي كسوة مثلها من مثله بما ال 37مادة (یزید على نصف مهر المثل.
) : یلزم للمغلوط بها مهر المثل. 38(مادة
) : یجوز للمرأة قبل الدخول أن تمتنع على الدخول إلى أن یسمى لها مهر ویسلم ما لم یؤجل منه فإذا 39مادة (أجل لمدة معلومة أو بحسب ما جرى علیه العرف فلیس لها االمتناع قبل حلول األجل مع مراعاة ما هو منصوص
). 34علیه في المادة (
الفصل الثالث
في العشرة الحسنه
): للزوج على الزوجة حق الطاعة فیما یحقق مصلحة األسرة على األخص فیما یلي:ـ 40مادة (
االنتقال معه إلى منزل الزوجیة ما لم تكن قد اشترطت علیه في العقد البقاء في منزلها ومنزل أسرتها -1فیكون علیها تمكینه من السكن معها والدخول علیها.
تمكینه منها صالحه للوطء المشروع في غیر حضور أحد. -2
امتثال أمره والقیام بعملها في بیت الزوجیة مثل غیرها. -3
عدم الخروج من منزل الزوجیة إال بإذنه ولیس للزوج منع زوجته من الخروج لعذر شرعي أو ما جرى به -4العرف بمثله مما لیس فیه اإلخالل بالشرف وال بواجباتها نحوه وعلى األخص الخروج في إصالح مالها أو أداء
ا من یقوم بخدمتهما أو أحدهما غیرها. وظیفتها ویعتبر عذرا شرعیا للمرأة خدمة والدیها العاجزین ولیس لهم
) : یجب على الزوج لزوجته ما یلي:ـ 41مادة (
إعداد سكن شرعي مما یلیق مثله من مثله. -1
نفقة وكسوة مثلها من مثله. -2
العدل بینها وبین سائر زوجاته إذا كان للزوج اكثر من زوجه. -3
عدم التعرض ألموالها الخاصة. -4
ارها مادیا أو معنویا . عدم إضر -5
یشترط في المسكن الشرعي أن یكون مستقال تأمن فیه الزوجة على نفسها ومالها ، ویعتبر في -1) :42مادة (ذلك حال الزوج ومسكن أمثاله وعرف البلد وعدم مضارة الزوجة وللزوج أن یسكن مع زوجته وأوالده منها ومن
ه من النساء إذا كان إسكانهم واجبا علیه بشرط اتساع المسكن لسكناهم غیرها ولو كانوا بالغین وأبویه ومحارموعدم مضارة الزوجة وان ال تكون قد اشترطت غیر ذلك عند العقد.
ال یحق للزوج أن یسكن مع زوجته ضره لها في دار واحدة إال إذا رضیت بذلك ویحق لها العدول متى شاءت. -2
الكتاب الثاني
أحكامهانحالل الزواج و
الباب األول
فسخ الـــزواج
) : ینتهي الزواج بالفسخ أو بالطالق أو بالموت. 43مادة (
) : یشترط في الفسخ لفظه أو ما یدل علیه. 44مادة (
ذا كان سبب الفسخ 45مادة ( ) : ال یفسخ الزواج إال بحكم المحكمة ، وال یترتب على الفسخ شئ قبل الحكم به واغیر حل للرجل امتنعت المعاشرة الزوجیة ووجب الحیلولة بینهما إلى حین الحكم بالفسخ وفي جمیع مما یجعل المرأة
األحوال إذا كان الفسخ بعد الدخول تجب العدة أو االستبراء عند الحكم به.
) : إذا كان بین الزوجین سبب من أسباب التحریم حكم بفسخ الزواج. 46مادة (
ن طلب الفسخ إذا وجد بزوجه عیبا منفردا سواء كان العیب قائما قبل العقد أو طرأ ) : لكل من الزوجی47مادة (بعده ، ویعتبر عیبا في الزوجین معا الجنون والجذام والبرص ویعتبر عیبا في الزوجة القرن والرتق والعفل ،
م والبرص وغیرها من ویسقط الحق في طلب الفسخ بالرضاء بالعیب صراحة أو ضمنا إال في الجنون والجذااألمراض المعدیة المستعصي عالجها فانه یتحدد الخیار فیها وان سبق الرضاء ویثبت العیب إما باإلقرار ممن هو
موجود به أو بتقریر من طبیب مختص.
. ) : الكفاءة معتبرة في الدین والخلق وعمادها التراضي ولكل من الزوجین طلب الفسخ النعدام الكفاءة48مادة (
ذا 49مادة ( ) : إذا أسلم الزوج وكانت الزوجة غیر كتابیه وأبت اإلسالم أو اعتناق دین كتابي حكم بالفسخ واذا أرتد الزوج أو الزوجة عن اإلسالم حكم بالفسخ. أسلمت الزوجة وأبى الزوج اإلسالم حكم بالفسخ وا
ذا تعذر استیفاء حقها في النفقة منه أو من ) : لزوجة المتمرد عن اإلنفاق في حال الیسار الفسخ إ50مادة (ماله.
) : لزوجة المعسر المتمرد عن الكسب وهو قادر علیه أو العاجز عنه الفسخ إذا أمتنع عن الطالق. 51مادة (
لزوجة الغائب في مكان مجهول أو خارج الوطن فسخ عقد نكاحها بعد انقضاء سنه واحدة لغیر -1) : 52مادة (نتین للمنفق. المنفق وبعد س
لزوجة المحكوم علیه نهائیا بعقوبة الحبس مدة ال تقل عن ثالث سنوات طلب فسخ عقد نكاحها وال یحكم لها -2بذلك إال إذا مضى على حبس الزوج مدة ال تقل عن سنة.
) : إذا كان الرجل متزوجا بأكثر من واحدة مع عدم القدرة على اإلنفاق والسكن فلكل منهن طلب الفسخ 53مادة (وبعد الطلب یخیره القاضي بین اإلمساك بواحدة وطالق األخریات فإذا أمتنع فسخ القاضي زواج من طلبت.
لقاضي أن یتحرى السبب فان ثبت له عین حكما ) : إذا طلبت المرأة الحكم بالفسخ للكراهیة وجب على ا54مادة (ال أمر الزوج بالطالق فان امتنع حكم بالفسخ وعلیها أن ترجع من أهل الزوج وحكما من أهلها لإلصالح بینهما وا
المهر.
فسخ ) : إذا طلبت المرأة الحكم بالفسخ إلدمان الزوج الخمر أو المواد المخدرة وثبت ذلك تحكم المحكمة ب55مادة (الزواج وال یرد المهر.
) : الفسخ لألسباب المتقدمة والمبینة في هذا الباب یعتبر بینونة صغرى وال یهدم عدد الطلقات وال یعد 56مادة (طلقه.
) : إذا أختلف الرجل والمرأة في عقد الزواج أو فسخه أو بطالنه أو تسمیة المهر أو تعیینه أو قبضه أو 57مادة (فالبینة على المدعي والقول للمنكر مع یمینه. زیادته أو نقصه
الباب الثاني
الطالق والخلع
الفصل األول
الطالق وأحكامه
) : الطالق قول مخصوص أو ما في معناه به یفك االرتباط بین الزوجین وهو صریح ال یحتمل غیره ویقع 58مادة (إلشارة المفهومة عند العاجز عن النطق. الطالق باللغة العربیة وبغیرها لمن یعرف معناه وبالكتابة وا
) : یملك الزوج على زوجته ثالث طلقات تتجدد بدخول زوج آخر بها دخوال حقیقیا . 59مادة (
) : یقع الطالق من زوج مختار مكلف أو من وكیله ولو كانت الزوجة ، وللحاكم أن یأذن لولي المجنون 60مادة (أو المعتوه بایقاع الطالق عنه إذا وجد سببا یدعو لذلك وتحققت المصلحة .
قرائن األحوال من ) : ال یقع طالق السكران الذي فقد إدراكه ولم یبق له أي تمییز متى دلت على ذلك 61مادة (أقواله وأفعاله حین ایقاع الطالق.
) : یقع الطالق سنیا كان أو بدعیا . 62مادة (
) : الطالق ال یتبع الطالق ما لم تتخلله رجعه قولیة أو فعلیة. 63مادة (
) : الطالق المقترن بعدد قل أو كثر یقع طلقه واحدة. 64مادة (
فعل شئ أو تركه ال یقع إال إذا قصد أساسا الطالق والعبرة بالنیة. ) : الطالق المعلق على65مادة (
) : ال یقع الطالق بالحنث بیمین الطالق أو الحرام. 66مادة (
) : یقع الطالق رجعیا إذا حصل بعد دخول حقیقي على غیر عوض مال أو منفعة ولم یكن مكمال للثالث 67مادة (ذا كان الطالق مكمال للثالث كان بائنا فإذا أنتهت العدة ولم تحصل مر اجعة كان الطالق بائنا بینونة صغرى ، وا
بینونة كبرى.
) : الطالق الرجعي ال یزیل الزوجیة ، وللزوج أن یراجع زوجته خالل العدة ، فإذا أنقضت العدة دون 68مادة (مراجعة أصبح الطالق بائنا بینونة صغرى.
ئن یزیل الزوجیة حاال فإن كان بائنا بینونة صغرى فأنه ال یمنع المطلق من الزواج ) : الطالق البا69مادة (ذا كان بائنا بینونة كبرى بأن كان مكمال للثالث حرمت المرأة بمطلقته بعقد ومهر جدیدین خالل العدة أو بعدها وا
لألول أن یتزوجها بعقد ومهر جدیدین. على مطلقها ما لم تتزوج بآخر یدخل بها دخوال حقیقیا وتعتد منه فیجوز
) : إذا أتفق الزوجان على وقوع الطالق وأختلفا على كونه رجعیا أم بائنا فالقول لمنكر البائن إال أن 70مادة (ذا أختلف الزوجان على وقوع الطالق في وقت مضى فالقول یكون الزوج مقرا بأنه طلقها ثالث فالقول قولـه ، وا
. لمنكر وقوعه
) : إذا طلق الرجل زوجته وتبین للقاضي أن الزوج متعسف في طالقها دون سبب معقول وأن الزوجة 71مادة (سیصیبها بذلك بؤس وفاقه جاز للقاضي أن یحكم لها على مطلقها بحسب حالة ودرجة تعسفه بتعویض ال یتجاوز
التعویض جملة أو شهریا بحسب مقتضى مبلغ نفقة سنة ألمثالها فوق نفقة العدة وللقاضي أن یجعل دفع هذا الحال.
الفصل الثاني
الخلع وأحكامـــــــه
) : الخلع هو فرقة بین الزوجین في مقابل عوض من الزوجة أو من غیرها ماال أو منفعة ولو كان بأكثر 72مادة (مما یلزم بالعقد أو كان مجهوال .
) :یتم الخلع بالرضا بین الزوجین أو ما یدل علیه عقدا كان أو شرطا ، ویشترط في الخلع ما یشترط في 73مادة (الطالق وأن تكون الزوجة حائزة التصرف بالنسبة للعوض.
في الخلع ) : یعتبر الخلع طالقا بائنا بینونة صغرى ما لم یكن مكمال للثالث فبائنا بینونة كبرى ، ویجب 74مادة (الوفاء بالبدل .
الباب الثالث
الرجعة والعدة واالستبراء
الفصل األول
الرجعـــــــة
) : تتم الرجعة بالقول ولو هازال أو بالفعل غیر مشروطة بوقت أو بغیره وتصح بغیر رضاء الزوجة 75مادة (وأولیائها.
عالم الزوجة بها فإن كانت مجنونة فإعالم ) : إذا كانت الرجعة بالقول فیجب على الزوج اإلشها76مادة ( د علیها واولیها.
) : إذا أختلف الرجل والمرأة بعد إنقضاء العدة على حصول الرجعة فالقول لمنكرها. 77مادة (
) : إذا أدعت المرأة أن عدتها قد أنقضت وال منازع لها في ذلك صدقت بیمینها مــا لم یغلب على الظن 78مادة (كذبها.
فصل الثانيال
العـــــــدة
) : العدة أما عن طالق أو فسخ أو موت. 79مادة (
) : عدة الطالق أو الفسخ ال تجب إال بعد الدخول وتبدأ في الطالق من تاریخ وقوعه إال أن تكون المرأة 80مادة (الدخول وبعده وتبدأ غیر عالمه به فمن تاریخ علمها وتبدأ في الفسخ من تاریخ الحكم به ، وعدة الموت تجب قبل
من تاریخ علم المرأة بوفاة زوجها ، ویجب اإلستبراء في الدخول بشبهة ویبدأ من تاریخ العلم بالمانع.
) : تنقضي عدة الحمل في جمیع األحوال بوضع جمیع حملها متخلفا وعدة المتوفى عنها زوجها غیر 81مادة (الحامل أربعة أشهر وعشرة أیام.
ة الطالق لغیر الحامل كاآلتي :ـ ) : عد82مادة (
لذات الحیض ثالث حیض غیر التي طلقت وهي فیها. -أ
لغیر ذات الحیض كاآلیسة ثالثة أشهر. -ب
المنقطعة لعارض تتربص ثالثة أشهر فإذا لم یعد فیها الحیض أنقضت عدتها بها وأن عاودها الحیض -ج
خاللها استأنفت ثالث حیض.
ذا توفى الزوج أثناء عدة المستحاضه-د ال فثالثة أشهر ، وا ثالث حیض أن كانت ذاكرة لوقتها وعددها واالعدة من طالق رجعي استأنفت المرأة عدة الوفاة من تاریخ علمها بوفاة زوجها.
ال فثالثة أشهر. 83مادة ( ) : المخالعة تعتد بحیضة أن كانت من ذوات الحیض وا
آلتي :ـ ) : العدة في الفسخ كا84مادة (
ال فثالثة أشهر. -1 المنكوحة باطال تستبرىء بحیضة أن كانت من ذوات الحیض وا
). 82سائر المفسوخات حكمهن حكم المطلقات على ماهو مبین بالمادة (-2
) : في األحوال التي تنقضي فیها العدة بالحیض یكون القول في ذلك للمرأة مع یمینها إذا ادعت المعتاد 85مادة (فأن ادعت غیر المعتاد حكم بالغالب في كل شهر حیضة.
) : العدة من طالق رجعي لها ثمانیة أحكام هي :ـ 86مادة (
الرجعة. -1
التوارث بین الزوجین. -2
عدم جواز الخروج إال بإذنه. -3
وجوب السكن. -4
وجوب النفقة. -5
تحریم من یحرم الجمع بینها وبین المطلقة . -6
تحریم الزواج بخامسه. -7
استئناف العدة لو مات أو راجع ثم طلق مع مراعاة ما هو منصوص علیه في الفقرة األخیرة من الـمــادة -8)82 .(
الطالق البائن لها ستة أحكام هي :ـ ) : العدة من 87مادة (
عدم الرجعة . -1
عدم اإلرث. -2
جواز الخروج دون إذن. -3
عدم وجوب السكن. -4
عدم وجوب النفقة. -5
جواز نكاح من یحرم الجمع بینها وبین المطلقة. -6
الفصل الثالث
االســــــتبراء
ال فثالثة ) : تستبري الحامل من زنى بوضع حملها وغ88مادة ( یر الحامل بحیضة أن كانت من ذوات الحیض واأشهر.
) : من أسلمت دون زوجها تستبرىء أن كانت حامال بوضع حملها وغیر الحامل بحیضة أن كانت من 89مادة (ال فثالثة أشهر. ذوات الحیض وا
الباب الرابع
الظهار واالیالء واللعان والمفقود
الفصل األول
الظهار وأحكامه
) : الظهار قول یتم بلفظ أو ما شاكله یشبه به الرجل زوجته التي تحته بأمه نسبا أو جزء منها ، ویقع 90مادة (الظهار صریحا أو كتابة ویكون مطلقا أو مؤقتا .
) : یشترط للظهار أن یكون من زوج مكلف مسلم لزوجته التي تحته ویشترط النیة مع المنكح فأن نوى 91مادة (لظهار ال تترتب أحكامه. غیر ا
) : یكون الظهار صریحا بلفظه كقوله ظاهرتك أو أنت مظاهرة ویكون كنایة كان یشبه الرجل زوجته بأمه 92مادة (أو بجزء منها ویكون مؤقتا كأن یقول ظاهرتك شهرا.
) : یقع الظهار ولو قیده الزوج بوقت أو بشرط . 93مادة (
ار تحریم وطء الزوجة المظاهرة ومقدماته وللزوجة المظاهرة منع زوجها من ذلك. ) : یترتب على الظه94مادة (
ذا أتى الرجل زوجته قبل الكفارة فال ینقض 95مادة ( ) : یرتفع التحریم في المطلق بالكفارة بعد إرادة الوطء واالتحریم علیه اإلستمرار في الوطء حتى یكفر.
والمشروط بإنقضاء الوقت أو وقوع الشروط وال كفارة أما قبل ذلك فبالكفارة ) : ینقضي التحریم في المؤقت 96مادة (حسبما تقدم.
للزوجة طلب التطلیق للظهار. -1) :97مادة (
ینذر القاضي الزوج بالتكفیر عن الظهار خالل أربعة أشهر من تاریخ اإلنذار فإذا أمتنع لغیر عذر حكم -2القاضي بالتطلیق.
دد الكفارات بتعدد المظاهرات من الزوجات ولو تم الظهار بالنسبة لهن بلفظ واحد وال یتعدد اللفظ ) : تتع98مادة (قبل أن یتماسا .
) : كفارة الظهار صیام شهرین متتابعین فإن لم یستطع فإطعام ستین مسكینا . 99مادة (
الفصل الثاني
االیالء وأحكامه
زوج بأن ال یطأ زوجته ، ویكون صریحا أو كنایة مطلقا أو مؤقتا . ) : اإلیالء یمین یصدر من ال100مادة (
) : یشترط في اإلیالء أن یصدر الیمین من زوج مكلف مختار غیر أخرس بلفظ صریح أو ما یفیده 101مادة (لزوجته.
) : إذا آلى الرجل من زوجتـــه ثم عطف على أخرى فال یقع اإلیالء على األخـرى بالعطف ویقع في حق 102مادة (األولى .
) : یكون اإلیالء صریحا بأن یحلف الرجل بأن ال یجامع زوجته في قبلها ، ویكون كنایة كأن یحلف أن 103مادة (ال یقرب منها أو بأن ال یجمع رأسیهما وساده.
) : یلزم المولى من زوجته الرجوع إلى ما كان علیه فأن رجع فعلیه كفارة الحنث. 104مادة (
) : للزوجة تربص أربعة أشهر من وقت اإلیالء فأن لم یرجع الزوج فللزوجة طلب التطلیق عند القاضي 105مادة (
فأن أستعد للفيء حدد القاضي مدة مناسبة فأن لم یفء طلقها علیه.
) : یكون الرجوع من الزوج القادر بالوطء وعلیه كفارة الحنث ، ویكون من العاجز باللفظ وال كفارة إال إذا 106مادة (وطئها.
) : إذا اختلفا فالقول لمن ینفى اإلیالء أو عدم مضى الوقت والبینة على مدعي وقوعه أو مضي الوقت. 107مادة (
الفصل الثالث
اللعان وأحكامه
) : اللعان أیمان یكذب بها كل من الزوجین اآلخر به یرتفع النكاح بینهما بحكم المحكمة ویوجبه رمي 108مادة (زوج مكلف مسلم لزوجته العفیفة في الظاهر الصالحة للوطء والباقیة تحته عن نكاح صحیح أو شبهه ولو في العدة
قبل العقد له بها أو لم یرمها بالزنى ولكن وقعت نسبة ذلك الرمي بزنى في حال یوجب الحد ولو أضاف الزنى إلى ماولده منها إلى الزنا مصرحا الكانیا وال بینه له وال إقرار منه بالولد وال منها بالزنى.
) : یجوز لكل من الزوجین طلب اللعان لدن القاضي وعلى القاضي أن یعظهما ویحثهما على التصادق 109مادة (لیف الزوج أربعا بأن یقول :فإن أمتنعا بدأ بتح
(واهللا العظیم أني لصادق فیما رمیتك به من الزنا ونفي ولدك هذا إن كان هناك ولد).
ویزاد في الخامسة بأن لعنة اهللا علیه أن كان من الكاذبین ) ثم تحلف المرأة أربعا كذلك
ویزاد في الخامسة أن غضب اهللا علیها إن كان من الصادقین .
الترتیب في الحلف بحیث إذا حلفت أوال وجب إعــادة تحلیفها بعد تحلیف الزوج ما لم یحكم. ویزاد
) : إذا تم الحلف على الوجه المبین في المادة السابقة تحكم المحكمة بالتفریق بین المتالعنین ونفي 110مادة (رأة أبدا . نسب الولد من الزوج ویرتفع النكاح ویسقط الحد عن الرجل وتحرم علیه الم
ذا أمتنعت المرأة كذلك حدت للزنى. 111مادة ( ) : إذا أمتنع الرجل عن األیمان ولو مرة واحدة حد للقذف وا
) : إذا رجع المالعن عن نفي الولد في حیاته صح الرجوع ولحق الولد به ویحد للقذف ویبقى التحریم 112مادة (مؤبدا .
الفصل الرابع
المفقود وأحكامـــه
الغائب هو الشخص الذي ال یعرف موطنه وال محل إقامته. -1):113(مادة
المفقود هو الغائب الذي ال تعرف حیاته وال وفاته. -2
) : إذا لم یكن للغائب أو المفقود وكیل یعتمد له القاضي مقدما إلدارة أمواله. 114مادة (
دم علیه وتدار وفق إدارة أموال القاصر. ) : تحصى أموال الغائب أو المفقود عند تعیین مق115مادة (
) : ینتهي الفقدان في الحاالت اآلتیة :116مادة (
عودة المفقود حیا . -أ
ثبوت وفاته . -ب
الحكم بإعتباره میتا . -ج
) : للقاضي أن یحكم بموت المفقود في الحاالت التالیة:117مادة (
إذا قام دلیل على وفاته. -أ
إذا مرت فترة كافیة على إعالن فقده في ظروف ال یغلب فیها الهالك على أن ال تقل المدة عن أربع -بسنوات.
إذا فقد في ظروف یغلب فیها هالكه ومضت سنتان على إعالن فقده. -ج
كان ) : على القاضي في جمیع األحوال أن یبحث عن المفقود بكل الوسائل للوصول إلى معرفة ما إذا118مادة (حیا أو میتا قبل أن یحكم بوفاته.
) : یعتبر یوم صدور الحكم بموت المفقود تاریخا لوفاته. 119مادة (
) : إذا حكم بإعتبار المفقود میتا ثم ظهر حیا فأنه :ـ 120مادة (
یستحق ما بقى من ماله في أیدي ورثته. -أ
ل بها. تعود زوجته إلى عصمته ما لم تتزوج ویقع الدخو-ب
الكتاب الثالث
القرابة وأحكامها
النسب والرضاعة والحضانة
الفصل األول
ثبوت النســــب
) : یثبت نسب الولد ألبیه بالفراش وهو الزواج الصحیح المستوفى ألركانه وشرائطه وما یلحق به وهو 121مادة () مع إمكان الوطء والبلوغ ومضي أقل مدة الحمل من یوم إمكان الوطء. 134المنصوص علیه في المادة (
إقرارها وبدون قید أو شرط ) . ) : تثبت بنوة الولد ألمه بمجرد ثبوت الوالدة (ولو بغیر 122مادة (
) : تثبت بنوة مجهول النسب أو الحمل المحقق لمن یقر ببنوته ولو في مرض الموت بشروط هي :ـ 123مادة (
أن ال یكذبه العقل أو العادة أو الشرع. -أ
أن ال یقر الرجل بأنه ولده من زنا. -ب
ذا كان المقر امرأة متزوجة أو أن ال یرد المقر له أن كان بالغا أو ال یرد ب-ج عد البلوغ أن كان صغیرا وا) فال یثبت نسب الولد من زوجها إال 121معتدة ولم تتوافر شروط النسب لزوجها طبقا لما هو مبین بالمادة (
بتصدیقه.
ویشرط أن ) : إذا أقر مجهول النسب باألبوة أو األمومة آلخر یثبت نسبه للمقر له بتصدیق األخیر له124مادة (ال یكذبه العقل أو العادة أو الشرع وأن ال یصرح الرجل بأنه ولده من زنا.
) : إذا كان اإلقرار لمجهول النسب باألبوة أو األمومة فال یثبت النسب في حق غیر المقر إال بتصدیق 125مادة (). 123المادة (األصل المشترك أو الفرع المتصل (الواسطة) مع توافر الشروط المنصوص علیها في
) : متى ثبت النسب باإلقرار فال رجوع عنه وتترتب علیه جمیع أحكام النسب ویعتبر السكوت تصدیقا 126مادة (إذا علم المقر له باإلقرار وعرف أن له اإلنكار وأن السكوت تصدیق ال ملجأ إلیه.
كان إبن عشر سنوات فما فوقها وتعتبر المرأة ) : یعتبر الرجل بالغا إذا إدعى اإلحتالم مع اإلحتمال و 127مادة (بالغة إذا ادعت اإلحتالم مع اإلحتمال وكانت بنت تسع سنوات فما فوقها وفي جمیع األحوال یعتبر الشخص بالغا إذا كان إبن خمس عشرة فما فوقها وعند اإلختالف في إحتمال البلوغ أو في تقدیر السن لعدم وجود إثبات رسمي
مختص. یستعان بطبیب
) : أقل مدة الحمل ستة أشهر وأغلبها تسعة أشهر وال حد ألكثرها مع ظهور القرائن الدالة علیه 128مادة (ستمرارها وتقریر الطبیب المختص. وا
) : إذا وضعت المرأة وادعت بقاء حمل آخر ودلت القرائن على صدقها وأیدها طبیب مختص أ لحق الولد 129مادة (
بالزوج.
) : ما ولدته المرأة حیا قبل إنقضاء العدة من طالق رجعي ثبت نسبه لمطلقها وما ولدته قبل انقضاء 130مادة (). 128العدة من طالق بائن یلحق بمطلقها إذا أتت به من یوم الطالق في مدة الحمل المبینة بالمادة (
لدون ستة أشهر من وقت اإلقرار الحق الولد بمطلقها ) : إذا أتت المرأة بالولد بعد إقرارها بانقضاء العدة 131مادة (في الطالق الرجعي مطلقا ویلحق به في البائن إذا أتت به من یوم الطــالق في مــدة الحمل المبینـــة في المادة
)128 .(
أتت به ) : إذا أتفق فراشان مترتبان وعادت الزوجة إلى زوجها األول فیلحق الولد بالزوج اآلخر إذا132مادة (لستة أشهر من یوم إمكان وطئه لها فإن أتت به لدون ستة أشهر الحق بالزوج األول.
) : یلحق الولد بالزوج المتوفى إذا أتت به المرأة من تاریخ الوفاة في مدة الحمل المبینة في المادة 133مادة ()128 .(
أركانه وشرائطه وفي المغلوط بها إذا أتت به ) : یلحق نسب الولد بالرجل في الزواج الذي لم یستوف 134مادة (المرأة لستة أشهر فأكثر بعد الدخول الحقیقي وقبل المفارقة فأن أتت به بعد المفارقة أو التفریق أ لحق بالرجل إذا
) . 128أتت به من تاریخ المفارقة أو التفریق في مدة الحمل المبینة في المادة (
تبني ولو كان المتبنى مجهول النسب. ) : ال یثبت النسب بال135مادة (
الفصل الثاني
الرضاعة وأحكامها
) : یجب على األم إرضاع ولدها إذا تعذر إرضاعه من أخرى وهي أحق بإرضاع ولدها ما لم تطلب أجرا 136مادة (ذا أرضعته أخرى یكون ذلك عند أمه ما لم تسقط حقها في ال حضانة. یزید على المعتاد من مثلها لمثله وا
) : تستحق المرضع نفقة وكسوة مثلها من مثله لمدة ال تزید على عامین من وقت الوالدة وتكون دینا 137مادة (ال یسقط إال باألداء أو باإلبراء.
الفصل الثالث
الحضانة وأحكامها
ه أو یضره بما ال ) : الحضانة هي حفظ الصغیر الذي ال یستقل بأمر نفسه وتربیته ووقایته مما یهلك138مادة (یتعارض مع حق ولیه ، وهي حق للصغیر فال یجوز النزول عنها وانما تمتنع بموانعها وتعود بزوالها.
ثنا عشر لألنثى ما لم یقدر القاضي خالفه لمصلحة المحضون . 139مادة ( ) : مدة الحضانة تسع سنوات للذكر وا
مانة على الصغیر والقدرة على تربیته وصیانته بدنیا وأخالقیا ) : یشترط في الحاضن البلوغ والعقل واأل140مادة (وأن كانت الحاضن امرأة فیشترط زیادة على ما تقدم أن ال تكون مرتدة عن اإلسالم وأن ال تمسكه عند من یبغضه
ن كان رجال فیشترط أیضا إتحاد ا لدین. وأن ال تشغل عن الحضانة خارج البیت إال إذا وجد من یقوم بحاجته وا
ذا أسقطت حقها فال یسقط إال إذا قبل الولد 141مادة ( ) : األم أولى بحضانة ولدها بشرط ثبوت أهلیتها للحضانة واال أجبرت ألن الحق للصغیر وال یجوز لزوجها اآلخر منعها حیث ال یوجد غیرها وال یمنع سوء خلقها من غیرها وا
عمره. حقها في الحضانة حتى یبلغ الصغیر الخامسة من
) : إذا ماتت األم أو بطلت حضانتها أنتقلت الحضانة إلى أمهاتها وأن علون ثم خاالت الصغیر ثم األب 142مادة (المسلم ثم أمهات األب وأن علون ثم أمهات أب األم ثم األخوات ثم بنات الخاالت ثم بنات األخوات ثم بنات األخوة
ذا أنعدم النساء انتقلت ثم العمات ثم بناتهن ثم بنات العم ثم عمات األب ثم بناتهن ثم بنات أعمام األب ، واالحضانة إلى األقرب فاألقرب من الذكور العصبة المحارم فأن لم یوجد فاألقرب من ذوي الرحم المحارم فأن عدموا
ب الواحد ثم فالعصبة غیر المحارم فأن عدموا فذوي األرحام المحارم ، ویقدم في كل درجة ذو السببین على ذي السبذوي األم على ذوي األب فإذا كانا على سواء كانت الحضانة لألصلح فأن تساویا في الصالح یرجع للقاضي ویجوز
للقاضي أن یتجاوز عن الترتیب في الحضانة إذا رأى في ذلك مصلحة الصغیر.
) : تنتقل الحضانــة من الحاضن إلى من یلیه بأحـــد أمور هي: 143مادة (
ونحوه من المنفرات كالجذام والبرص وكذا العمى واإلهمال والفسق وترك حفظ الصغیر والزواج إال أن یكون الجنونبذي رحم للصغیر.
) : یجوز لألب وسائر األولیاء نقل الطفل من حضانة حاضنة أولى إلى حاضنة أخرى بشرطین :ـ 144مادة (
التربیة أو أحسن منها. أن تكون الحاضنة األخرى مثل األولى في الحفظ و -أ
أن تكون الحاضنة األولى قد طلبت أجرا فوق أجر المثل والبینة في ذلك على الولي. -ب
) : على الحاضن القیام بما یصلح الطفل إال النفقة وتوابعها فهي على من تلزمه طبقا للمبین في باب 145مادة (ذا كان النفقات ویجوز للحاضن نقل الطفل إلى بلده ما لم یكن فیه ضرر على الطفل مادیا أو معنویا أو أخالقیا وا
یقة التي یتفقان علیها أو بما یراه القاضي. الصغیر عند أحد والدیه كان لآلخر حق رؤیته بالطر
) : یستحق الحاضن أجرة حضانة من مال الطفل أن كان له مال أو ممن تلزمه نفقته كما هو مبین في 146مادة (باب النفقات وتقدر أجرة الحاضنة بقدر حال من تلزمه ، وال تستحق الحاضن أجرة إذا كانت في عصمة أب الصغیر
ذا كان األب م عسرا تكون أجرة الحضانة من مال األم وال رجوع لها وأن كانت من مال غیر األم فبإذن المحكمة واوله الرجوع بها.
) : یضمن الحاضن إذا فرط عالما كل جنایة في الطفل ویكون ضمان الخطأ مع الجهل على العاقلة. 147مادة (
الفصل الرابع
الكفالة بعد إنتهاء الحضانة وأحكامها.
ذا 148مادة ( ) : متى أستغنى بنفسه الولد ذكرا أو أنثى خیر بین أبیه وأمه عند اختالفهما مع وجود المصلحة واأختلف من لهم الكفالة غیر األب واألم أختار القاضي من فیه المصلحة للولد بعد إستطالع رأیه.
الباب الثاني
النفقات وأحكامها
زمة في مال الشخص لغیره لسبب أو نسب وتشمل الغذاء والكسوة والسكن ) : النفقة هي المؤن الال 149مادة (والمعالجة واألخدام ونحو ذلك.
الفصل األول
نفقــــة الزوجیة
) : تجب النفقة للزوجة كیف كانت على زوجها كیف كان من وقت العقد غذاء وكساء ومسكنا وفراشا 150مادة (یسرا وعسرا وتقدم نفقة الزوجة على غیرها من النفقات. ومعالجة وأخداما والعبرة بحال الزوج
) : تجب على الزوج نفقة زوجته المطلقة منه رجعیا والحامل مطلقا إلى أن تنتهي العدة. 151مادة (
) : ال نفقة للزوجة في األحوال التالیة :ـ 152مادة (
إذا أمتنعت عن اإلنتقال إلى بیت الزوجیة من دون عذر شرعي.-أ
إذا تركت بیت الزوجیة من دون عذر شرعي. -ب
إذا أمتنعت الزوجة من الدخول إلى بیت الزوجیة من دون عذر شرعي. -ج
إذا عملت خارج البیت دون موافقة زوجها ما لم یكن متعسفا في منعها من العمل. -د
إذا أمتنعت من السفر مع زوجها دون عذر. -ه
الزوجة في الماضي بالمطل وال في المستقبل باإلبراء ویعتبر تعجیل النفقة للزوجة ) : ال یسقط حق153مادة (سقاطا للنفقة وال تسقط إال باإلبراء .. ویجوز للزوجة إبراء الزوج مما استحقته من تملیكا لها فیما استهلكته وا
ذا تبرع شخص بنفقة الزوجة فال تسقط إال إذا كان المتبر ع عن الزوج. النفقة في الماضي وا
) : إذا تمرد الزوج عن اإلنفاق على زوجته أو غاب وثبت أنه ال ینفق علیها قرر لها القاضي نفقة من 154مادة () والقول للزوجة في نفى اإلنفاق في الماضي. 149مال زوجها وفقا لما تقدم في المادة (
) : إذا تعذر حصول المرأة على النفقة من زوجها كانت نفقتها على من تجب علیه فیما لو كانت غیر 155مادة (متزوجة، ویجوز أن تقترض من النفقة المقدرة لها قضاء أو رضاء من غیر من تجب نفقتها علیه ، ویكون لمن
ى الزوج. أدى النفقة في الحالتین الرجوع على الزوجة بما أداه وهي ترجع عل
) : ال یحكم للزوجة بأكثر من نفقة سنه سابقة على المطالبة القضائیة ما لم یتفق الزوجان على خالف 156مادة (ذلك.
الفصل الثاني
نفقة األقــــــارب
) : ال نفقة لألقارب مع إختالف الدین إال لألصول وتقدر نفقة األقارب فور حاجة المنفق علیه من قبل 157مادة (نفقین. الم
) : نفقة الولد المعسر الصغیر أو المجنون على أبیه وأن عال األقرب الموسر أو المعسر القادر على 158مادة (الكسب فأن كان األب وأن عال معسرا غیر قادر على الكسب فعلى األم الموسرة ثم على سائر األقارب بالشروط
ذا 164المبینة في الـمـادة ( كان الولد موسرا فنفقته من ماله. ) من هذا القانون ، وا
) : نفقة الولد البالغ العاقل المعسر العاجز عن الكسب أو المشغول بطلب العلم إلى الثانویة العامة أو 159مادة (ما في مستواها بشرط أن ال یتجاوز سن العشرین لنیلها على أبویه أثالثا حسب اإلرث أن كانا موسرین ، فأن كان
فعلى الموسر منهما إال أن یكون له ولد موسر فنفقته على ولده الموسر ، وحكم نفقة البنت البالغة أحدهما معسرا المعسرة ولو كانت قادرة على الكسب ولكنها ال تتكسب إذا كانت غیر متزوجة حكم نفقة الصغیر المبین في المادة
السابقة.
ة واحدة عند الحاجة. ) : على األب الموسر أن یزوج ولده المعسر زوج160مادة (
) : نفقة األب وأن عال واألم وأن علت المعسرین ولو كانا قادرین على الكسب على الولد وأن نزل 161مادة (األقرب الموسر ذكرا كان أو أنثى كبیرا أو صغیرا وتقسم بین أوالد الطبقة الواحدة الموسرین بحسب اإلرث ، وتقدم
قة سائر األقارب. نفقة األم ثم نفقة األب على نف
ذا تعددت زوجات األب فال تلزم االبن غیر نفقة 162مادة ( ) : تلزم نفقة زوجة األب المعسر على أبنه الموسر واذا كان األب مزمنا أو مریضا ویحوجه واحدة منهن ، ویجب على االبن الموسر أن یسعف أباه المعسر بزوجة وا
وجبت نفقة الزوجة أو الخادم على ولده الموسر. ذلك إلى زوجه تقوم بشأنه أو خادم یخدمه
) : لألب المعسر أن یستنفق من مال ولده الصغیر والمجنون بقدر حاجته ولو بالبیع دون إذن القاضي 163مادة (ولیس لألب أن یأخذ من مال أبنه البالغ حاضرا أو غائبا أن لم یتعود إال بإذن القاضي.
ذا تعدد ) : تجب نفقة القر 164مادة ( یب المعسر العاجز عن الكسب على قریبه الموسر الوارث لو فرض موته واالورثة الموسرون تكون النفقة علیهم جمیعا كل بقدر حصته في المیراث واإلخدام لألقارب ال یجب إال للعجز.
ذا كان المنفق علیه والدا ) : تسقط نفقة القریب عن المدة الماضیة بعدم المطالبة ممن تلزمه النفقة إال إ165مادة (وال یجوز للقاضي أن یحكم بها في حالة الطلب ألكثر من شهرین سابقین على رفع 0أو ولدا صغیرا أو مجنونا
الدعوى.
) : في حكم النفقة یعتبر الشخص موسرا إذا كان یملك من المال زائدا على ما یكفیه هو ومن تلزمه 166مادة (القریب المعسر إلى وقت الدخل الدائم الذي یدخل علیه من وظیفة أو غلة أو تجارة أو نفقته ممن هو أخص من
صناعة وینفق على القریب المعسر من الزیادة وأن لم یكن له دخل دائم فإلى الحول ینفق من الزیادة على كفایة وم ولیله. الحول ویعتبر الشخص معسرا إذا كان عكس ما سبق وال یعطى إال إذا لم یبق له قوت ی
) : إذا أختلف القریبان وجبت البینة على طالب النفقة مع اللبس في اإلعسار واإلیسار. 167مادة (
الكتاب الرابع
الهبة ومشتبهاتها
الباب األول
في الهبـــــــة
الفصل األول
أركان الهبة وشروطها
) : الهبة هي عقد تبرعي یملك به مال أو تباح به منفعة حال الحیاة. 168مادة (
) : ال یشترط في الهبة القربة. 169مادة (
) : أركان الهبة أربعة وهي :170مادة (
صیغة العقد. -1
الواهب. -2
الموهوب. -3
الموهوب له. -4
) : تكون الهبة بإیجاب من الواهب أو نائبه وقبول من الموهوب له أو نائبه قبل األعراض وال یشترط 171مادة (نما یشترط التراضي صراحة واضحة أو ضمنا بما تدل في اإلیجاب والقبول أن یكونا صریحین أو في مجلس واحد وا
شارة المفهمة من أخرس ، وال تتم الهبة إال بقبول علیه قرائن األحوال ، وتصح الهبة بالكتابة وبالرسالة واإلالموهوب له أو نائبه ویقوم القبض مقام القبول.
) : یقبل عن الصغیر أو من في حكمه ولیه أو وصیه ، فإذا كان الولي أو الوصي هو الواهب ناب عنه 172مادة (بصیغة واحدة ، ویجوز أن یقبل من الصغیر أیضا في القبول وقبض الموهوب ویتم اإلیجاب والقبول في هذه الحالة
ومن في حكمه خاصة فیما جرى به العرف ، كما یجوز للمجیز أن یقبل الهبة بنفسه.
) : یجب اإلشهاد على الهبة ما لم تكن بخط الواهب إال ما جرى العرف على عدم اإلشهاد فیه ، مثل 173مادة (العینیات البسیطة والنقود.
رط في الواهب ما یأتي :ـ ) : یشت174مادة (
أن یكون مكلفا مختارا مطلق التصرف. -1
أن یكون مالكا للشيء الموهوب. -2
أن ال یكون مدینا بدین مستغرق لماله أو ال یكفي ما تبقى من ماله بعد الهبة لسداده إال أن یجیز الهبة -3صاحب الدین.
) : یشترط في الموهوب ما یأتي :ـ 175مادة (
أن یكون مما یجوز تملكه. -1
أن یكون معینا بما یمیزه كلقب أو إشارة. -2
أن یكون موجودا . -3
) : ال یصح هبة الشيء المستقبل ولو كان سببه موجودا. 176مادة (
) : إذا وهب الواهب ما یصح هبته وما ال یصح صحت الهبة فیما یصح وبطلت فیما ال یصح. 177مادة (
یشترط في الموهوب له أن یكون موجودا له أهلیة التملك فإن كان صغیر أو من كان في حكمه ) : 178مادة () : من هذا القانون بشأن قبول الهبة. 172طبقت المادة (
) : تصح الهبة للمساجد وجهات البر وغیرها ، ویقبل عنها من له الوالیة علیها. 179مادة (
قبول الهبة بطلت ، أما إذا مات بعد القبول قام ورثته مقامه في قبض ) : إذا مات الموهوب له قبل 180مادة (الموهوب.
) : تصح الهبة بعوض ولو من غیر الموهوب له ماال أو منفعة أو غرضا (مصلحة) ظاهرا أو من تدل 181مادة (علیه قرائن الحال للواهب أو لغیره.
) : یصح تبعیض الهبة تبرعا أو بعوض. 182مادة (
) : تجب المساواة في الهبة والمشتبهات بها بین األوالد وبین الورثة بحسب الفریضة الشرعیة. 183ة (ماد
الفصل الثاني
أحكام الهبة وأثارها
) : إذا تمت الهبة مستوفیة أركانها وشروطها المبینة في الفصل السابق فهي صحیحة ویترتب علیها 184مادة (آثارها من تملك الموهوب له المال الموهوب أو إستباحة المنفعة في الحال والتزامه بأداء العوض ماال أو منفعة أو
غیرها مع مراعاة ما نص علیه في المواد التالیة.
): الهبة في مرض الموت تأخذ حكم الوصیة ومرض الموت هو المرض الذي یتصل بالوفاة وما في 185(مادةحكمه كالمبارز ، ومن خرج لمالقاة العدو ومن أصیب في حادث مهلك.
): الهبة للوارث ووارثه في حیاته تأخذ حكم الوصیة إال فیما أستهلكه الموهوب له في حیاة الواهب 186مادة (أو حكما. حقیقة
): الهبة المنجزة في حال الصحة لغیر من ذكر في المادة السابقة تنفذ من رأس المال ویكون حكم 187مادة (المرض المخوف إذا برئ منه حكم الصحة.
): الهبة على عوض مشترط أن كان ماال أو منفعة تأخذ حكم البیع وأن كان غرضا تبقى على حكم 188مادة (الهبة التبرعیة.
): الهبة التبرعیة یجوز الرجوع فیها في األحوال وبالشروط المنصوص علیها في الفصل الثالث من هذا 189مادة (الباب.
): یلزم الواهب بعد القبول بتسلیم الموهوب للموهوب له وتمكینه منه. 190مادة (
تصرف فیه بعد القبول فتصرفه ): للواهب التصرف في الموهوب قبل القبول فهو على ملكه ، أما إذا191مادة (رجوع تطبق علیه أحكام الرجوع المبینة في الفصل الثالث من هذا الباب.
): إذا أستحقت العین الموهوبة أو ظهر فیها عیب فال ضمان إال إذا كان الواهب قد أخفى سبب 192مادة (ذا اإلستحقاق أو العیب فیقدر الحاكم للموهوب له على الواهب غرامة مالیة بمقدار ما أنفق الموهوب له أو غرم ، واكانت الهبة بعوض فیلزم الواهب بمقدار ما أداه الموهوب له من عوض.
): یلزم الموهوب له أداء ما أشترط علیه من عوض ماال أو منفعة أو غرضا . 193مادة (
): إذا أشترط الواهب عوضا وفاء دیونه فال یكون الموهوب له ملزما إال بوفاء الدیون المعلومة وقت 194مادة (الهبة.
): إذا كان الموهوب مثقال بضمان أو رهن لدین توقف نفوذ الهبة في حق الدائن على إجازته أو سداد 195مادة (دینه.
الفصل الثالث
ةالرجوع في الهبة التبرعی
شروطه وأحكامه
) : ال یجوز الرجوع في الهبة التبرعیة إال في األحوال اآلتیة :196مادة (
أن تكون الهبة التبرعیة لغرض (مصلحة) ظاهر أو مضمر تدل علیه قرائن الحال وتعذر تحقیق الغرض. -1
أن یكون الواهب أبا أو أما للموهوب له. -2
لهبة بأن أصبح فقیرا عاجزا عن الكسب. أن یكون للواهب عذر تحقق بعد ا-3
) :في أحوال الرجوع في الهبة التبرعیة في المادة السابقة یشترط للرجوع ما یأتي :ـ 197مادة (
بقاء الواهب والموهوب له على قید الحیاة. -1
ذا أن ال یكون المال الموهوب قد هلك في ید الموهوب له حقیقة أو حكما كأن یكون تصرف فیه-2 للغیر ، واهلك بعض الموهوب جاز الرجوع في الباقي مع تحقق باقي الشروط.
أن ال یكون المال الموهوب قد زاد زیادة متصلة بما ال یتسامح في مثله إال إذا كان الواهب أبا أو أما -3فیجوز الرجوع بشرط تعویض الموهوب له بقیمة ما زاد في الموهوب.
أن ال یكون قد تعلق بالمال الموهوب ضمان أو رهن بدین إال أن یجیز صاحب الدین أو یوفى الدین. -4
) . 196) من المادة (1أن ال تكون الهبة بین زوج وزوجته .. یشترط عدم الحیلة ومـــع مراعاة الفقرة (-5
أن ال تكون الهبة لذي رحم محرم غیر الولد. -6
دقة. أن ال تكون الهبة ص-7
) : الرجوع في الهبة بعد نفوذها یعتبر فسخا . 198مادة (
) : یلزم الواهب عند الرجوع تسلیم ما أنفقه الموهوب له على العین الموهوبة إال أن تكون الهبة على 199مادة (عوض لم یسلم أو غرض لم یتحقق فال رجوع للموهوب له بالنفقة.
لتي استولى علیها عند الرجوع في الهبة من وقت المطالبة بها قضائیا . ): یرد الموهوب له الغالت ا200مادة (
): إذا تلف الشيء الموهوب في ید الموهوب له بعد مطالبته عند القاضي بالرجوع في الهبة كان ضامنا 201مادة (سواء أكان التلف بتفریطه أو بغیره ، ویضمن للواهب قیمة الشيء الموهوب وقت المطالبة.
): إذا أستولى الواهب على الشيء الموهوب بغیر رضاء الموهوب له وبدون أن یحكم له بالرجوع كان 202ة (مادضامنا لتلف الشيء الموهوب في یده بتفریطه أو بغیره إذا حكم بعدم صحة الرجوع ویضمن للموهوب له قیمة
الشيء الموهوب وقت التلف .
الباب الثاني
المشتبهات بالهبة وأحكامها
الفصل األول
الهدیـــــــــــــة
): الهدیة هبة فیما ینقل تتم بالقبض ویكفي أن یحملها إلى المهدى إلیه ممیز. 203مادة (
): تحرم الهدیة إذا وقعت في مقابل واجب أو محظور مشروط أو مضمر ویعاقب الطرفان بحسب 204مادة (القانون.
(وهو ما یقدمه العریس أو غیره للعروسة). ): الجهاز للعروس یأخذ حكم العرف205مادة (
الفصل الثاني
في الصدقــــــــــــة
) : الصدقة كالهبة إال أنها ال تقتضي العوض ویقوم فیها القبض مقام القبول ویمتنع فیها الرجوع بعد 206مادة (القبول أو القبض.
ئن الدین والمجهز الكفن. ) : تصح الصدقة بدین على المیت أو بكفنه ویقبض الدا207مادة (
الفصل الثالث
النــــــــــــــــــذر
): النذر هو إیجاب مكلف مختار على نفسه بلفظه أو ما في معناه بمال أو فعل أو ترك یلزمه الوفاء به 208مادة (خرس ویقع دون توقف على قبول ، ویصح بكل لفظ یدل علیه أو بالكنایة أو بالكتابة أو باإلشارة المفهمة من األ
مطلقا أو مقیدا بشرط أو مضافا إلى أجل.
): یشترط في الناذر أن یكون مكلفا مختارا مسلما . 209مادة (
): یشترط في المنذور علیه أن ال یكون جهة معصیة. 210مادة (
): یشترط في المال المنذور به أن یكون مملوكا للناذر حال النذر هو أو سببه وأصله ال یصح تعلیق 211مادة (تعیینه بالذمة.
): النذر ینفذ من ثلث المال مطلقا سواء أكان حال المرض مشروطا أو غیر مشروط ما لم یكن قد 212مادة (أخرجه في حیاته مخرج التصرف.
نما یبطل برده. 213مادة ( ): ال یجوز الرجوع في النذر وا
): ال یجوز لذي الوالیة أو الوصایة رد نذر لمن له الوالیة علیه وللصغیر ومن في حكمه رده إذا بلغ 214مادة (
رشده ولو كان ولیه قد قبله نیابة عنه.
ق شرطه أو حلول أجله بطل النذر أما إذا تلفت ): إذا تلفت العین المنذور بها حقیقة بعد النذر قبل تحق215مادة (حكما فتعوض طبقا لما هو منصوص علیه في المادة التالیة.
): یضمن الناذر العین المنذور بها إذا تلفت بعد النذر بسبب منه مع حلول األجل أو تحقق الشرط 216مادة (قت النذر. ویعوض المنذور له بعین مثلها من نفس جنسها فأن تعذر فبقیمتها و
): یصرف النذر فیما عین الناذر فإن لم یعین كان له التعین في حیاته فأن مات ولم یعین تعین 217مادة (المصرف في الفقراء.
): إذا نذر على المسجد ولم یعین تعین في المسجد الذي إعتاد الصالة فیه ثم في المسجد المشهور 218مادة (لكثرة صالة الناس فیه.
): إذا مات الناذر ولم یعین والیا أو وصیا للمنذور به على المسجد ونحوه كانت الوالیة علیه لذي الوالیة 219مادة (العامة.
الفصل الرابع
العمـــرى والرقبـــى
): العـمرى تملیك عین أو إباحة منفعة لشخص بغیر عوض وهي إما مؤبدة أو مؤقتة أو مطلقة وال 220مادة (فتتم بما یدل على المعنى. یشترط فیها اللفظ
): العمرى المطلقة تقع على سبیل التأبید. 221مادة (
): العمرى المؤبدة تعتبر هبة وتأخذ أحكام الهبة وشروطها. 222مادة (
): العمرى المؤقتة تعتبر عاریة وتأخذ حكم العاریة وشروطها. 223مادة (
ى بأن یتفق المتعاقدان على أن یكون مال من مات منهما أوال ): الرقبى كالعمرى تأخذ حكمها أما الرقب224مادة (لآلخر فهي باطلة .
الفصل الخامس
اإلختالف في الهبة
): إذا أختلف الواهب والموهوب له تتبع األحكام اآلتیة: 225مادة (
أوال : القول لمن یدعي صحة الهبة ولوارثه إال في حالتین :
غر أو أنه كان ال یعلم بلوغه وقت تمام الهبة ولو تصادقـا على وقت متقدم أن یدعي الواهب فسادها لص-1تمت فیه الهبة.
أن یدعي الواهب فسادها لزوال عقله وكانت ظواهر الحال تغلب ذلك ، فالقول في هاتین الحالتین للواهب. -2
ثانیا : القول للموهوب في نفي شرط العوض مطلقا.
ثالثا : القول للموهب له في نفي أرادته العوض في الموهوب إذا كان تألفا .
رابعا : القول للموهوب له في أن ثمرة الموهوب حصلت بعد نفوذ الهبة إال لقرینة قاضیة فیكون القول للواهب.
خامسا : القول للموهوب له في أنه قبل الهبة.
یمین علیه والبینة على اآلخر. ) : من كان القول قولـه فال226مادة (
الكتاب الخامس
الوصیـــــة
الباب األول
أركان الوصیة وشروطها ومبطالتها وأحكامها
والرجوع فیها والوصیة الواجبة
الفصل األول
أركان الوصیة وشروطها
الزكاة والحج ): الوصیة تصرف مضاف إلى ما بعد الموت ، ویخرج ما یجب اإلیصاء به كتجهیز المیت و 227مادة (والدیون المتعلقة بالذمة من رأس التركة .
): أركان الوصیة أربعة :228مادة (
صیغة الوصیة. -أ
الموصـــــــــــي. -ب
الموصــى لــــــه. -ج
الموصى بـــــــه. -د
یجاب فیما ال محظور فیه وال ): تنعقد الوصیة باللفظ أو بالكتابة وعند العجز باإلشارة المفهمة وتتم باإل229مادة (حیلة وال یشترط فیها القبول ویجب اإلشهاد على الوصیة ما لم یثبت أنها بخط الموصي.
): یشترط في الموصي :230مادة (
أن یكون بالغا عاقال مختارا غیر محجور علیه. -أ
أن ال یكون مدینا بدین مستغرق. -ب
:): یشترط في الموصى له 231مادة (
أن ال یكون جهة معصیة. -أ
أن یكون معلوما . -ب
أن یكون موجودا وقت إنشاء الوصیة. -ج
أن ال یكون وارثا عند موت الموصي. -د
أن ال یكون قاتال للموصى إال إذا تقدمت الجنایة الوصیة. -ه
): یشترط في الموصى به :232مادة (
أن یكون ماال له قیمة أو منفعة لمثلها أجره. -1
أن یكون موجودا ومملوكا للموصي عند موته. -2
أن یكون في حدود ثلث التركة إذا كان للموصى ورثه. -3
الفصل الثاني
مبطالت الوصیة
): تبطل الوصیة بأمور هي :233مادة (
تلف العین الموصى بها قبل وفاة الموصي. -1
) من هذا القانون. 258وصى له الوصیة بعد وفاة الموصي على ما سیأتي بیانه في المادة (رد الم-2
موت الموصى له أو إكتشاف موته قبل وفاة الموصي. -3
موت الموصى لـه مع الموصي في وقت واحد بحیث ال یعرف من منهما مات أوال . -4
عیان فیلغى التوقیت ویؤبد. إنقضاء وقت الوصیة المؤقتة في المنافع ال في األ-5
) من هذا القانـون . 256رجوع الموصي عما أوصى به قوال أو فعال على ما سیأتي بیانـه في المـــادة (-6
جنون الموصي جنونا استمر حتى موته. -7
وصیة. قتل الموصى له الموصي عمدا أو خطأ أو شهادة زور أدت إلى قتله إال إذا تقدمت الجنایة ال-8
إذا كان الموصي مدینا بدین یستغرق كل ماله. -9
رجوع المجیز عن إجازة تمت في حیاة الموصي. -10
الفصل الثالث
أحكام الوصیة
الفرع األول
أحكام تتعلق بالموصى له
): ال تصح الوصیة للوارث إال بإجازة الورثة. 234مادة (
): ال تصح الوصیة لوارث الوارث في حیاة مورثه إال لمبرر یعوقه عن التكسب كاألعمى واألشل 235مادة (وأمثالهما.
) : ال تصح الوصیة لغیر الوارث فیما زاد على ثلث التركة إال بإجازة الورثة وتصح بكل التركة لمن ال 236مادة (فإن كان له مال غائب فیخرج الثلث منه عند حضوره. وارث له ، ویخرج الثلث من ثلث المال الحاضر
): ال تصح إجازة الوصیة إال من بالغ عاقل مختار بعد وفاة الموصي . 237مادة (
): ال تصح الوصیة إال لمعین شخصا كان أو جهة عامة أو خاصة فإذا لم یمكن تعیین الموصى لـه لن 238مادة (
تصح له الوصیة.
الوصیة للحمل وال تنفذ إال إذا أنفصل حیا لدون ستة أشهر من حین الوصیة إال إذا علم ): تصح 239مادة (وجوده بقرائن ظاهرة أو بقول طبیب مختص.
نتقال األموال والمعاملة بالمثل 240مادة ( ): تصح الوصیة لمختلف الملة غیر الحربى وكذا لألجنبي غیر الیمني وامتروك لولي األمر.
: اإلیصاء من أفضل أنواع البر یحمل على الجهاد أو على العلم أو سائر المبرات والمرجع هو الظروف )241مادة (ومقتضیات األحوال.
الفرع الثاني
أحكام تتعلق بالموصى به
): تصح الوصیة بالمنافع كما تصح باألعیان وال تتوارث المنافع إال بنص من الموصي. 242مادة (
): إذا مضت المدة المعینة لإلنتفاع قبل موت الموصى أو مات الموصى له قبل بدء مدة اإلنتفاع فال 243مادة (وصیة ویسقط حق الموصى له بعدم اإلنتفاع في المدة المحددة.
ن ): اإلیصاء بمطلق الغلة أو الثمرة أو النتاج یحمل على الموجود منها عند وفاة الموصي فإن لم یك244مادة (ثمة موجود فألول غلة أو ثمرة أو إنتاج إال إذا ظهر من قصد الموصي اإلستمرار فتأخذ الوصیة حكم الوقف.
): اإلیصاء بالنصیب والسهم من ماله یحمل على مثل أقل الورثة نصیبا وسهما إن كان له ورثة وال 245مادة (لم یكن ثمة عرف قائم. یزاد السهم على السدس وال النصیب على النصف حیث ال ورثة ما
): اإلیصاء بشيء أو بجزء غیر معین معلق على تفسیر الورثة. 246مادة (
): إذا أوصى بأن یعطى فالن ما أدعى أو ما في دفتره فیعتبر هذا في حكم اإلقرار بالدین ما لم یكذبه 247مادة (الثلث لغیر الوارث. الظاهر ویخرج من رأس التركة فإذا كذبه الظاهر أعتبر وصیة ویخرج من
): إذا أوصى بعین لجهة تباع كانت غلتها للموصى له من وقت الوفاة إلى البیع ما لم یقصد الثمن 248مادة (فتكون الغلة للورثة.
): إذا أوصى بأرض وعینها بإشارة أو لقب أو یحج عنه بثمنها فإن الغلة قبل البیع للورثة. 249مادة (
ذا أوصى ): إذا أوصى بع250مادة ( ین لمعین تخرج من ثلث التركة أستحقها الموصى له وال حق للوارث فیها ، وابعین یحج بها أو تصرف لجهة وأستأجر الوصي بالعین أو صرفها بعینها فال أولویة للوارث إال إذا عرف من قصد
الموصي التخلص فتكون األولویة في شرائها للوارث ووارثه.
ث ماله وعینه في كرائم األموال فال ینفذ من المعین إال بقدر ثلثه ویستوفي الموصى له ): إذا أوصى بثل251مادة (الباقي من التركة.
): یستحق الوارث البالغ العاقل أو وصي القاصر عن القاصر شفعة األولویة فیما باعه الوصي لقضاء 252مادة (و أجاز من بعد ولكل وارث الشفعة بقدر نصیبه ویأخذ الدیون أو تنفیذ الوصایا إذا لم یكن قد أذن بالبیع من قبل أ
الوارث المال بقیمته ال بالثمن الذي دفع فیه إال أن تكون التركة مستغرقه (بالدین أو تنقص عن تنفیذ الوصایا فیأخذ ال نفذ تصرف الوصي وتبطل شفعة الورثة بالتراخ ي الوارث المال باألكثر) ، وعلى الوارث عند الطلب التسلیم وا
ذا قصر وصي القاصر في طلب الشفعة للقاصر فللقاصر الطلب عند البلوغ. كالشفعة ، وا
الفرع الثالث
تزاحم الوصایا
): اإلیصاء بالتشریك كما إذا أوصى لفالن وفالن وأوصي لفالن والمسجد یحمل على التنصیف. 253مادة (
): إذا تواردت الوصایا على عین معینة فالعمل بالوصیة األخیرة. 254مادة (
): إذا تزاحمت الوصایا التبرعیة دون تعیین فتعتبر من الثلث ویقسم بینها. 255مادة (
): إذا أوصي بالثلث لشخص ثم أوصي بالثلث لشخص آخر اشتركا معا في الثلث ما لم ینص الموصي 256مادة (أوصى به لآلخر هو عین ما أوصى به لألول فأنه یكون رجوعا . على أن ما
الفصل الرابع
الرجــوع عـــن الوصیــــة وردها وقبولها
) : للموصي إلى حین موته الرجوع عن الوصیة قوال أو فعال كما إذا تصرف في العین الموصى بها أو 257مادة (ذا أضاف الموصي إلى هدمها أو غیر معالمها ، وال یعتبر تغییر أسم ال عین الموصى بها أو صفاتها رجوعا . وا
العین الموصى بها دون أن تتغیر معالمها اشترك الورثة مع الموصى له فیما تناولته اإلضافة . والتصرف المنجز ال رجوع فیه إال أن یكون في مرض الموت أو كانت فیه حیلة فیأخذ حكم الوصیة.
موت الموصي رد الوصیة أو قبولها بعد موت الموصى ویبطل رد الوصیة قبل موت ) : للموصى له بعد258مادة (ذا علم الموصى له بالوصیة بعد وفاة الموصي ولم الموصي ویجوز الرجوع عن القبول ویعتبر فسخا للوصیة ، وا
ضر وسكت یحضر عند حصر األموال أو قسمتها وطلبه الوارث عند القاضي فامتنع عن الحضور بغیر عذر أو ححكمت المحكمة باعتباره رادا للوصیة ، ویقوم وصي القاصر والمجنون مقام القاصر في رد الوصیة وقبولها ویلزم
إذن القاضي لرد الوصیة.
الفصل الخامس
الوصیة الواجبة
م بقدر ): إذا توفي شخص ذكرا كان أو أنثى عن أوالد أبن غیر وارثین له أو كانوا وارثین موصى له259مادة (یقل عن میراث أبیهم فیه لو كان حیا عند موته وكانوا فقراء أو أوالد بنت من الطبقة األولى والدهم فقیر وكانوا
فقراء ولم یقعدهم المتوفى أو یوصى لهم أو أوصى لهم بأقل من نصیب مؤرثهم فیه لو فرض حیا فیرضخ لهم من ذا تعدد األبناء تركته بقدر نصیب مؤرثهم لو فرض حیا أو ما یمكن ه بشرط أن ال یتجاوز ذلك ثلث التركة وا
المتوفون بنون وبنات على النحو المتقدم ذكره أشترك أبناؤهم وأبناء البنات من الطبقة األولى في ثلث التركة كل بقدر نصیب أصله ، ویحجب كل أصل من أبناء األبناء فرعه وتقدم الوصیة الواجبة على غیرها من الوصایا
برعیة. الت
): تجب التسویة بین األوالد في الزواج والتعلیم فإذا لم یوص سوى القاضي بینهم وتخرج التسویة من 260مادة (رأس التركة.
الباب الثاني
في الوصي
الفصل األول
تعریف الوصي وشروطه
ة قصاره وأموالهم ویجوز ): الوصي هو الذي یقیمه المورث في تركته لتنفیذ وصایاه بقضاء دیونه ورعای261مادة (للوصي أن یوصي غیره فیما هو وصي فیه ویقوم وصیه مكانه.
ذا مات ولم یوص ففي رعایة الصغار وأموالهم یقدم األب ثم وصیه ثم 262مادة ( ): الوصي مقدم على القاضي واالجد ثم وصیه.
): تعین المحكمة منصوبا ( وصیا) لمن ال وصایة له. 263مادة (
ذا 264مادة ( ): إذا توفى الوصي أو حجر علیه أو أفلس فعلى المحكمة أن تعین منصوبا ( وصیا) عن القاصر واغاب الوصي أو أعتقل وخشى من غیابه أو إعتقاله تعرض مصلحة القاصر للضیاع فعلى المحكمة أن تعین
منصوبا (وصیا) مؤقتا .
یوصي ألحد منهم وعلیه دیون ولـه حقوق فعند إختالف ): إذا مات المورث عن ورثة بالغین دون أن265مادة (ذا قبض أحد الورثة شیئا فلیس له أن یستبد به ولو الورثة تعین المحكمة من بینهم من یقوم بهذه الواجبات ، واذا أشترى الوارث بمال من التركة وطلب الورثة اشتراكهم فیه كل بقدر نصیبه أجیبوا إل ى بقدر نصیبه في التركة ، وا
ال كان لهم الرجوع بعین مالهم. ذلك وا
): إذا مات وهو مسافر ولم یوص أحدا فلرفیقه في السفر والیة تجهیزه ودفنه وحفظ ماله وتسلیمه إلى 266مادة (الورثة.
): المشرف والرقیب والمشروط علمه ورأیه یقتصر عملهم على اإلشراف أو الرقابة أو العلم والرأي إال إذا 267مادة (نص الموصي على غیر ذلك.
): یشترط في الوصي أن یكون بالغا عاقال أمینا مقتدرا على حملها حسن التصرف والسلوك. 268مادة (
): من بطلت وصایته بشرط من الشروط المذكورة في المادة السابقة فعلى القاضي أن یعین منصوبا 269مادة ((وصیا) بدله.
): إذا رفع إلى المحكمة انه یخشى من تصرف وصي في أموال القاصر الضرر وقامت قرائن على ذلك 270مادة (توقف تصرف الوصي على إذن المحكمة أما إذا ثبت الضرر بطلت وصایتــه وعینت المحكمة منصوبا ( وصیا) بدله.
): إذا رأى القاضي من الوصي ما یهدد مصلحة القاصر أو رأى عند محاسبته له خیانة كان علیه عزله 271مادة (وتعیین منصوب ( وصي) غیره.
) : في األحوال التي تعین فیها المحكمة منصوبا (وصیا) تكون المحكمة هي المسئولة األولى على 272مادة (أموال القاصر.
الفصل الثاني
الوصي وأجرهوالیة
): تثبت الوصایة للموصي بتعیین من جهة الموصي وعدم رده الوصیة وتوفر شروط الوصایة فیه. 273مادة (
ذا أوصى وقید بوقت أو بغیره أو عین فلیس 274مادة ( ) : إذا أوصى وأطلق عمت الوصایة جمیع التصرفات واللوصي أن یتعدى ما قید به أو ما عین له.
ا تعدد األوصیاء فلیس ألحدهم االنفراد في غیر تجهیز المیت وشراء حاجة الطفل والخصومة في ): إذ275مادة (الحقوق ورد الودیعة وقضاء الدیون وتنفیذ الوصایا من الثلث وبیع ما یخاف علیه من التلف وجمع األموال الضائعة
إال بنص من الموصي .
ینفرد وینوب القاضي عنهم إلى أن یجتمعوا. ): إذا أختلف األوصیاء فلیس ألحدهم أن 276مادة (
): إذا أشترط الموصي إجتماع الوصیین ومات أحدهما بطلت وصایة اآلخر أما إذا غاب أحد الوصیین أو 277مادة (تمرد كانت الوالیة للقاضي إلى أن یجتمعا أو یعود الغائب.
): ال والیة للوارث مع وجود الوصي فیما أوصى به. 278مادة (
): قضاء الفضولي دین الموصى أو تنفیذ وصایاه متوقف على إجازة الوصي ، فإذا أجاز كان للفضولي 279دة (ماالرجوع بما سلمه في ذلك.
ذا طلب الوصي أجرا قدره 280مادة ( ): تكون الوصایة تبرعا بغیر أجر إال إذا نص الموصي أو طلب الموصى واتاریخ الطلب. له القاضي بأجر المثل ویسرى األجر من
): أجرة الوصي تخرج من رأس المال مطلقا إذا كانت أجرة المثل فإذا زاد الموصى كانت الزیادة وصیة. 281مادة (
): كل ما یغرمه الوصي في حفظ مال القاصر والدفاع عنه یحسب على القاصر ویشترط تجویز القاضي 282مادة (فیما خالف المعتاد أو زاد على المثل.
الثالثالفصل
ما یجوز للوصي وما ال یجوز
): ال یصح للوصي التبرع من مال القاصر إال فیما جرى به العرف من رد تبرعات أو هبات كانت قد 283مادة (وصلت إلى والده في األعراس والموت ونحو ذلك بما ال یجحف.
المال الذي في یده وال یصح التصرف ): للوصي التصرف فیما فیه مصلحة القاصر أو كان الزما إلدارة 284مادة (في غیر ذلك إال بإذن المحكمة.
): ال یجوز للوصي تأجیر أموال القاصر ألكثر من ثالث سنوات. 285مادة (
): ال یجوز للوصي تأجیر أموال القاصر بأقل من أجر المثل. 286مادة (
بة لألب ال یصح للوصي اإلنفاق على القاصر ): مع مراعاة ما سبق النص علیه في هذا القانون بالنس287مادة (أو على من تجب على القاصر نفقته إال بتقدیر من القاضي.
): ال یجوز للوصي أن یتنازل عن دعاوى القاصر أو إسقاط حقوقه إال بإذن من المحكمة. 288مادة (
): یجب على الوصي بإذن من المحكمة إیداع أحد المصارف مال القاصر من نقد للمضاربة وحلي 289مادة (للخشیة علیها ویكون اإلیداع مضمونا من البنك ألنه مؤجر ، وال یجوز للوصي سحب شئ من المودع إال بإذن
المحكمة.
ة ، وذلك كالشراء وبیع سریع الفساد والمنقول ): القول في التصرف قول الوصي فیما ظاهره المصلح290مادة (غیر النفیس واإلنفاق المعتاد وأما فیما عدا ذلك فالظاهر عدم المصلحة وعلى الوصي البینة للحصول على موافقة
المحكمة ، وكل تصرف من الوصي في كرائم األموال من المنقول وفي العقار مطلقا متوقف نفوذه على صدور إذن ا في ضوء ما یثبت لدیها من المصلحة للقاصر. المحكمة مسبق
الفصل الرابع
ما یجب على الوصي إبالغ المحكمة به
): یجب على الوصي وعلى الورثة البالغین وعلى كل من في یده مال من التركة إذا مات المیت وله 291مادة (على المحكمة المبادرة إلى ذلك قصار إبالغ القاضي لحصر أموالهم في دفتر المحكمة وتسلیمه للوصي ، ویجب
متى طلب منها أي من المذكورین في صدر هذه المادة.
): یجب على الوصي على الحمل أن یبلغ القاضي بانفصال الحمل حیا أو میتا أو بانقضاء مدة الحمل 292مادة (طبقا لما هو مقرر في هذا القانون.
ة عن إدارته ألموال القاصر مؤیدا بالمستندات كل عام ویجب ): یجب على الوصي تقدیم حساب للمحكم293مادة (علیه إیداع الفائض من واقع كشف الحساب الذي یقدمه أو ما یلزمه به القاضي نتیجة فحص الحساب باسم
القاصر في أحد المصارف وللقاضي إعفاء الوصي من المحاسبة مستقبال إذا كان مال القاصر ال یغل ما یفیض عن حاجته.
الفصل الخامس
فیما یضمنه الوصي
): یضمن الوصي إذا خان أو تعدى أو فرط أو صرف المال في غیر مصرفه الذي عینه الموصي. 294مادة (
): إذا أجر الوصي مال القاصر بأقل من اجر المثل ضمن. 295مادة (
یة دینا على تركته. ): إذا مات الوصي ولم یعلم مصیر مال القاصر كان ما تسلمه بسبب الوصا296مادة (
الفصل السادس
في انتهاء وصیة الوصي
) : تنتهي وصایة الوصي بموته أو بعزله أو باستعفائه لعذر مقبول ما لم یتعین علیه وجوب القیام 297مادة (
بالوصیة أو خشي على المال تلفه ، وبالنسبة للقاصر أیضا بموت القاصر أو ببلوغه سن الرشد.
ى انتهت وصایة الوصي ألزم هو أو ورثته بتقدیم حساب ختامي مؤیدا بالمستندات عن وصایته ): مت298مادة (بتسلیم القاصر الذي بلغ رشده ما بیده من أموال (وال تبراء) ذمة الوصي أو ورثته إال باعتماد الحساب الختامي من
المحكمة أو القاصر بعد بلوغه سن الرشد.
الكتاب السادس
اریثالمــــــــــو
الباب األول
أحـــــــــــــكام عامه
) : یقصد باأللفاظ والتعابیر التالیة الواردة في هذا الكتاب المعاني الموضحة أمام كل واحد منها :299مادة (
اإلرث : هو عبارة عن انتقال األموال والحقوق الخاصة بالمیت إلى من یرثه.
المــورث : هو الشخص الذي یتوفى أو حكم بموته.
الـوارث : هو من یستحق نصیبا في تركة المیت بسبب القرابة أو الزوجیة.
الموروث : هو عبارة عن الحقوق واألموال التي تركها المیت.
السـبـب : هو ما یلزم من وجوده الوجود ومن عدمه العدم.
المانـــع : هو ما یلزم من وجوده عدم الحكم.
الفرض : هو النصیب الذي قدرته الشریعة اإلسالمیة للوارث ال یزید إال بالرد وال ینقص إال بالعول.
ذا انفرد اخذ المال كله. العاصــــب : هو من لیس له سهم مقدر في التركة ویأخذ ما یفي عن سهام ذوي الفروض وا
بنفسه : هو كل ذكر ال یدخل في نسبـــــــه إلى المیت أنثى وال یحتاج في التعصیب إلى غیره. العاصب
العاصب بغیره : هو كل أنثى صاحبة فرض تحتاج في التعصیب إلى غیرها وتشاركه في العصوبة .
وبه. العاصب مع غیره : هو كل أنثى صاحبة فرض تحتاج في التعصیب إلى غیرها وال تشاركه في العص
الحجــــب : هو منع من قام به سبب اإلرث من نصیبه كل أو بعضه من مقادیر أنصبائهم في التركة.
العـــــول : هو زیادة في عدد سهام ذوي الفروض ونقصان (من مقادیر) أنصبائهم في التركة.
فروضهم حیث ال عاصب. الــــــرد : هو ضم الباقي من التركة على أصحاب الفروض غیر الزوجین بنسبة
ذو الرحــم : المراد به كل قریب لیس بذي سهم وال عصبة.
الجد الصحیح : هو الذي ال یتوسط بینــــه وبــین المیــــت أنثى( الجـــــــد العصبي).
الجدة الصحیحـة : هي التي ال یدخل بینها وبین المیت جد غیر وارث.
آله ذكر وأنثى ولم یتبین حاله. الخنثى المشكــــل : هو من له
المفقـــــود : هو الغائب الذي لم تعلم حیاته وال موته.
ولد الزنـــــا : هو من لم یثبت له نسب بعقد صحیح.
ولد اللعان : هو من ولد على فراش زوجیه وأنكر الزوج بنوته وحكم الحاكم بنفي نسبه.
خذ منه سهام الورثة. أصل المسألة : هو اقل عدد یمكن أن تؤ
التصحیـح : هو أن یضرب أصل المسألة أو عولها في أقل عدد یمكن معه أن یستحق كل وارث بانفراده قدرا من السهام برقم صحیح وحاصل الضرب هو المسألة بعد التصحیح.
ضاء باعتباره میتا مع ): ال استحقاق ألحد في تركة المورث إال بعد تحقق وفاته أو صدور حكم من الق300مادة (مراعاة حیاة الوارث عند الوفاة حقیقة أم حكما .
): إذا مات اثنان ولم یعلم أیهما مات األول فال استحقاق ألحدهما في تركة األخر سواء كان موتهما 301مادة (في حادث واحد أم ال.
): یتعلق بتركة المیت حقوق أربعة مقدم بعضها على بعض :302مادة (
إخراج مؤن التجهیز من الموت إلى الدفن ونفقة معتدة. -أ
قضاء ما ثبت علیه من دین. -ب
تنفیذ ما یصح من الوصایا. -ج
تقسیم الباقي بین الورثة. -د
): اإلرث بالنكاح یكون بطریق الفرض أما اإلرث بالنسب فیكون بطریق الفرض أو التعصیب أیهما معا 303مادة (
ع مراعاة قواعد الحجب والعول والرد ، أما الوالء فقد ترك الكالم عنه لعدم وجوده حالیا . أو بالرحم م
): القتل مانع من المیراث إال أن یكون منفذا لحد أو قصاص شریطة أن یكون القاتل عند ارتكابه الفعل 304مادة (عاقال بالغاسن المسئولیة الجنائیة.
لتین واختالف الدارین ال یمنع اإلرث. ): ال توارث بین أهل م305مادة (
) من هذا القانون. 32): إذا كان لوارث جهتا ارث ورث بهما معا ، مع مراعاة أحكام المادة (306مادة (
): المستحقون للتركة في هذا القانون ستة أصناف مقدم بعضها على بعض على النحو التالي:ـ 307مادة (
أصحاب الفروض. -أ
نات االبن وان نزلن. البنات وب-1
األخوات الشقیقات. -2
األخوات ألب. -3
األم. -4
األخ ألم أو األخت ألم. -5
الزوج أو الزوجة. -6
الجدة ألم أو ألب. -7
) من هذا القانون. 321األب وأبوه وان عال في حالة المادة (-8
العصبات النسبیة :ـ -ب
الذكور وهم (االبن ، وابن االبن وان نزل ، األب وأبوه وان عال ، األخ الشقیق ، واألخ ألب ، وابن األخ -1الشقیق وان نزل ، ابن األخ ألب وان نزل ، العم الشقیق ، العم ألب ، ابن العم الشقیق وان بعد ، ابن العم ألب وان
بعد).
لشقیقات ، األخوات ألب كل ذلك إذا وجد معهم من یعصبهن). اإلناث : (البنات وبنات االبن ، األخوات ا-2
ذو األرحام. -ج
المقر له بنسب. -د
الموصي له بأكثر من الثلث حیث ال وارث. -ه
الخزانة العامة (بیت المال) -و
الباب الثاني
الفروض المقدرة وأصحابها
): تحدد الفروض على النحو التالي:ـ 308مادة (
النصف. -1
الربع. -2
الثمن -3
الثلثان. -4
الثلث. -5
السدس. -6
): النصف وهو لخمسة أصناف :ـ 309مادة (
الزوج إذا لم یكن للمیت فرع وارث. -1
البنت الواحدة إذا لم یكن لها معصب. -2
بنت االبن الواحدة إذا لم یكن لها معصب ولم تحجب. -3
ذا لم یكن لها معصب ولم تحجب. األخت الشقیقة الواحدة إ-4
األخت لألب الواحدة إذا لم یكن معها معصب ولم تحجب. -5
): الربع ویستحق ثالثة أصناف:ـ 310مادة (
الزوج إذا كان للمیت فرع وارث. -1
الزوجة أو الزوجات إذا لم یكن للمیت فرع وارث. -2
األم في حالة ما إذا كان الورثة زوجة وأبوین. -3
): الثمن وهو فرض الزوجة أو الزوجات إذا كان للمیت فرع وارث. 311ادة (م
): الثلثان وهو ألربعة أصناف :ـ 312مادة (
البنتان فأكثر إذا لم یكن معهن معصب. -1
بنتا االبن فاكثر إذا لم یكن معهن معصب ولم یحجبن. -2
األختان الشقیقتان فأكثر إذا لم یكن معهن معصب ولم یحجبن. -3
األختان ألب فأكثر إذا لم یكن معهن معصب ولم یحجبن. -4
): الثلث وهو لصنفین :ـ 313مادة (
األم إذا لم یكن للمیت فرع وارث وال اثنان فصاعدا من االخوة واألخوات. -1
اإلخوان ألم فأكثر إذا لم یكن للمیت فرع وارث وال اصل ذكر مع مراعاة انه في حالة إذا استغرقت السهام -2التركة وكان مع االخوة ألم أخ شقیق أو أكثر فانه یشاركهم في الثلث.
): السدس : ویستحقه من یأتي:314مادة (
األب إذا كان للمیت فرع وارث. -1
للمیت فرع وارث ولم یحجب. الجد الصحیح إذا كان -2
األم إذا وجد للمیت فرع وارث أو اثنان فأكثر من االخوة واألخوات وهو لها في مسألة زوج وأبوین. -3
بنت االبن فأكثر مع البنت الواحدة تكملة للثلثین إذا لم تعصب. -4
األخت ألب فأكثر مع األخت الشقیقة الواحدة تكملة للثلثین إذا ورثت. -5
األخ ألم أو األخت ألم إذا كان واحدا ولم یكن للمیت فرع وارث وال أصل ذكر. -6
الجدة أو الجدات إذا لم یحجبن. -7
الباب الثالث
التعصیــــــــب
): العصبة من النسب ثالثة أنواع :ـ 315مادة (
عاصب بنفسه. -1
عاصب بغیره. -2
عاصب مع غیره. -3
س : جهات أربع مقدم بعضها على بعض في اإلرث ، على الترتیب األتي:ـ ): للعصبة بالنف316مادة (
االبن ثم ابن االبن وان نزل. -1
األب ثم الجد الصحیح وان عال. -2
االخوة األشقاء ثم االخوة ألب ثم بنو االخوة األشقاء ثم األب وان نزل كل منهم. -3
ب وان بعدوا. العم ألبوین ثم ألب ثم ابن العم ألبوین ثم أل-4
): كل من كان أقرب إلى المیت درجة من العصبة بالنفس فهو أولى بالمیراث كاإلبن واألب وكل من كان 317مادة (ذا قرابتین فإنه أولى من ذي قرابة واحدة سواء كان ذو القرابتین ذكر أو أنثى فإذا اتحدوا في الجهة والدرجة والقوة
كان اإلرث بینهم.
): العصبة بالغیر :ـ 318مادة (
البنات مع األبناء. -أ
بنات االبن وان نزلن مع أبناء االبن وان نزلوا إذا كانوا في درجتهن مطلقا أو كانوا انزل منهن إذا لم یرثن -ببغیر ذلك.
رث في هذه األحوال األخوات ألبوین مع االخوة ألبوین واألخوات ألب مع االخوة ألب مع مراعاة أن یكون اإل -جللذكر مثل حظ االنثیین.
): العصبة مع الغیر :ـ 319مادة (
األخوات ألبوین أو ألب مع البنات أو بنات االبن وان نزلن مع مراعاة أن یكون لهن الباقي في التركة بعد الفروض یأخذن أحكامهم بالنسبة لباقي وفي هذه الحالة تعتبر األخوات ألبوین كاالخوة ألبوین واألخوات ألب كاالخوة ألب و
العصبات في التقدیم بالجهة والدرجة أو القوة.
إذا اجتمع ( الجد العصبي) مع االخوة واألخوات ألبوین أو ألب فانه یقاسمهم كأخ ما لم تنقصه -): أ320مادة (ناثا أو إناثا عصبهن الب نات أو بنات االبن. المقاسمة عن السدس فیرد إلیه إن كانوا ذكورا أو ذكورا وا
إذا كان الجد مع أخوات لم یعصبن بالذكور وال مع البنات أو بنات االبن فانه یستحق الباقي بعد أصحاب -بالفروض بطریق التعصیب وأما إذا كانت المقاسمة أو اإلرث التعصیب على الوجه المتقدم تحرم الجد من اإلرث أو
تنقصه عن السدس اعتبر صاحب فرض بالسدس.
إذا اجتمع األب أو الجد مع البنت أو بنت االبن وان نزلت استحق الجد السدس فرضا والباقي -) : أ321مادة (بطریق التعصیب.
إذا اجتمع األب أو الجد مع االبن أو ابن االبن فلیس له إال السدس فرضا والباقي للورثة تعصیبا. -ب
المال كله بالتعصیب. إذا انفرد األب أو الجد بنفسه فانه یأخذ -ج
الباب الرابع
الحجــــــــــب
) : الحجب نوعان هما :322مادة (
حجب نقصان . -أ
حجب حرمان. -ب
) : حجب النقصان مقصور على ذوى الفروض الخمسة:323مادة (
الزوج : ویحجب من النصف إلى الربع بالفرع الوارث. -أ
الزوجة أو الزوجات : تحجب أو یحجبن من الربع إلى الثمن بالفرع الوارث. -ب
األم وتحجب من الثلث إلى السدس بالفرع الوارث وباالثنین فأكثر من األخوة واألخوات مطلقا ولو لم یرثوا -جوتحجب من ثلث المال إلى ثلث الباقي بأحد الزوجین مع األب.
ة منهن من النصف إلى السدس والمتعدد منهن یحجبن من الثلثین إلى السدس بنات االبن : تحجب الواحد-دبالبنت.
األخوات ألب تحجب الواحدة منهن من النصف إلى السدس والمتعددات من الثلثین إلى السدس باألخت -ه
الشقیقة.
) : حجب الحرمان (اإلسقاط) یدخل على أحد عشر صنفا على النحو التالي:ـ 324مادة (
یحجب ولد االبن ومن تحته من األوالد باالبن واألعلى من أوالد األبناء یحجب من تحته. -1
یحجب الجد ومن فوقه من األجداد والجدات من قبله باألب وكل جد قریب یحجب الجد البعید. -2
تحجب الجدات من أي جهة باألم. -3
. یحجب األخ ألب وأم باالبن وابن االبن وان نزل واألب-4
یحجب األخ ألب باالبــــن وابن االبن وان نـــزل واألب واألخ ألب وأم واألخت ألب وأم إذا عصبتها البنت أو -5بنت االبن وان نزل.
یحجب األخ ألم بالولد وولد االبن وان نزل ذكرا كان أو أنثى واألب والجد وان عال. -6
ن نزل واألب والجد وان عال ، واألخ ألب وأم ، واألخ ألب ، یحجب ابن األخ ألب وأم باالبن وابن االبن وا-7أو األخت ألبوین ، أو ألب إذا عصبتهما البنت ، أو بنت األبن.
یحجب ابن األخ ألب باالبن وابن االبن وان نزل واألب والجد وان عال واألخ ألب وأم واألخ ألب وابن األخ -8لوارث. ألب وأم واألخت ألبوین إذا عصبت بالفرع ا
یحجب األعمام وبنوهم باألب والجد وان عال ، واألبن وابن االبن وان نزل واألخ الشقیق واألخ ألب وابن -9األخ الشقیق وابن األخ ألب وأم أو ألب إذا عصبت.
تحجب بنات االبن بالبنتین فاكثر إذا لم یكن معهن معصب. -10
إذا لم یكن معهن أخ معصب. تحجب األخوات ألب باألختین ألبوین فاكثر -11
الباب الخامس
الـــــــــــرد
) : إذا لم توجد عصبة من النسب ولم تستغرق الفروض للتركة فیرد الباقي على أصحاب الفروض 325مادة (بنسبة فروضهم باستثناء الزوجین فال رد علیهما.
الباب السادس
في إرث ذوي األرحام
عة أصناف على النحو التالي:) : ذوو األرحام أرب326مادة (
الصنف األول : من ینتمي إلى المیت وهم :
أوالد البنت ذكورا كانوا أو إناثا لهم میراثها ویقسم بینهم بالسویة. -أ
أوالد بنت االبن وأوالد بنات االبن ذكورا كانوا أو إناثا لهم میراثها أو میراثهن ( النصف أو الثلثان أو -بكانوا مع من یدلي بالبنت). السدس إذا
الصنف الثاني : من ینتمي إلى أبوي المیت :
أ ـ أوالد األخت ألب وأم أو ألحدهما لكل میراث أمه مع االجتماع واالنفراد فرضا وردا . -أ
أوالد بنات األخ ألب وأم حكمهم حكم من یدلى بهن إلى المیت اجتماعا وانفرادا . -ب
بنات ابن األخ ألبوین أو ألب حكمهن حكم من أدلى بهن. -ج
أوالد األخ ألم حكمهم حكم من یدلون به ولهم میراثه یقتسمونه بینهم على عدد رؤوسهم ویستوي فیه -دالذكر واألنثى.
الصنف الثالث : من ینتمي إلى جد المیت أو جدته وهم:
ألبوین أو ألب وحكمهن حكم من یدلین به من آبائهن ویعامل بنت العم ألب وأم أو ألب وبنت ابن العم -أمعاملتهن أوالد العم ألم وأوالد العمات وعمات األب والعمة ألم وبنات أعمام األم وكل من یدلي باألب.
العم ألم والعمة مطلقا سواء كانت ألبوین أو ألحدهما ینزلون منزلة األب. -ب
و ألحدهما وحكمهم انهم ینزلون منزلة األم ویأخذون ما تأخذه ویقسم المال بینهم األخوال والخاالت ألبوین أ-جإذا انفردوا فرضا وردا ونصیب األم الثلث مع عدم الحاجب أو السدس إذا كان هناك حاجب .. مع مراعاة انه في
ال الشقیق ، أما أخوال األب حالة ما إذا اجتمع ثالثة أخوال متفرقین فانه یكون للخال من األم السدس والباقي للخوخاالته وأخوال األم وأعمامها وعماتها وأوالدهم فینزل كل منهم منزلة ولد من یدلون به ال منزلة من یدلون من
األجداد والجدات.
الصنف الرابع : من ینتمي إلیهم المیت وهم :
أب األم ینزل منزلة األم. -أ
م األب ینزل منزلة بنته أم األب. أم األب تنزل منزلة األم ـ أب ـ أ-ب
األجداد والجدات المحجوبون ینزلون منزلة أوالدهم ولهم میراث من ینزلون منزلته. -ج
) : الذكر واألنثى من ذوي األرحام یتساوون في اإلرث إذا كانوا في درجة واحدة متفقین باإلدالء بنسب 327مادة (واحد ، أما إذا اختلفوا فلكل میراث من یدلي به مع مراعاة تفاضلهم بأسبابهم ویرثون ما یرثه أسبابهم تسهیما أو
سببه. تعصیبا فیحجبون من یحجبه سببه ویعصبون من یعصبه
الباب السابع
في إستحقاق التركة للمقر له بنسب
): یستحق المقر له بنسب التركة أو جزءا منها إذا كان مجهول النسب ولم یقم به مانع من موانع 328مادة (ال اإلرث مع مراعاة أن یكون المقر له حیا حقیقة أو حكما عند موت المؤرث وأن ال یرد إال قرار إذا كان بالغا وأن
یدخل اإلقرار على المقر ضررا وأن یكون المقر مكلفا مختارا ال یعلم هزله وال كذبه عقال وال شرعا .
الباب الثامن
في أحكام متنوعة
): یؤخر للحمل من تركة المتوفى نصیب ذكر حتى یتبین نوع الحمل وال یرث الحمل إال إذا ولد أكثره 329مادة (مع مراعاة انه ألحد ألكثر مدة الحمل في حالة استمرار القرائن . حیا ستة اشهر على األقل
): إذا زاد المؤخر للحمل عما یستحقه رد على من یستحقه من الورثة أما إذا نقص المؤخر فیرجح على 330مادة (من دخلت علیه الزیادة في نصیبه.
یقة أو بحكم المحكمة وقت موت المؤرث ): نصیب المفقود یخرج من التركة ویوقف فان ظهر حیا حق331مادة (ال وزع الموقوف على من یستحقه من الورثة وقت وفاة المؤرث. أخذه وا
): میراث الخنثى المشكل نصف نصیب الذكر ونصف نصیب األنثى وما بقي فیعطى للورثة. 332مادة (
. ): ولد الزنا وولد اللعان یرث أمه وقرابتها وترثهم هي وقرابتها333مادة (
): على متولي القسمة أن ینظر أوال إلى سهام الورثة ویستخرج منها المخرج الجامع حسب تفصیل ذلك 334مادة (
في حساب الفرائض ومنه یقسم والمخرج الجامع یخرج بطریقتین :
كسر. بطریقة القیراط وهو ما تجرى به المعاملة في الیمن والواحدة فیه أربعة وعشرون قیراطا یقسم ولو ب-أ
استخراج الوحدة الجامعة من مخارج ذوي السهام الست التي سبق تفصیلها بحیث یصیر نصیب كل وارث -بجبرا ال كسر فیه حسبما هو معروف في علم الفرائض وان كان الورثة عصبة فقط فسألتهم تخرج من مبلغ عدد
رؤوسهم بعد البسط للذكر مثل حظ األنثیین.
): كل تركة اجتمع فیها ثلث وما بقي (أم وأخ ) أو ثلثان وما بقي ( بنتان وأخ) أو ثلث وثلثان ( أختان 335مادة (شقیقتان وأختان ألم) فأصل مخرجها من ثالثة.
): كل تركة اجتمع فیها نصفان (أخت وزوج) أو نصف وما بقي ( بنت وأخ) أو نصف وثلث ما بقي 336مادة (صل مخرجها من اثنین. (زوج وأبوان) فأ
بن) أو ربع ونصف وما بقي (زوج وبنت وأخ) أو ربع وثلث 337مادة ( ): كل تركة اجتمع فیها ربع وما بقي (زوج واما بقي (زوجة وأبوان) فأصل مخرجها من أربعة.
وأخ) ): كل تركة اجتمع فیها ثمن وما بقي ( زوجة وابن ) أو ثمن ونصف وما بقي ( زوجه وبنت 338مادة (فأصل مخرجها من ثمانیة.
): كل تركة أجتمع فیها السدس والثلث والنصف ( زوج وأخوان ألم وأم) فأصل مخرجها من ستة وتعول 339مادة (إلى سبعة( زوج وأخت ألبوین وأخت ألب) أو إلى ثمانیة (زوج وأم وأخت) أو إلى تسعة( زوج وأخت وجد) أو إلى
ألبوین وأخت ألب) عشرة( زوج وأم وأخوان ألم وأخت
): كل تركة أجتمع فیها الربع والسدس أو الثلث فاصل مخرجها من أثنى عشر (زوجة وأخوان ألم وأم 340مادة (وعصبة) وقد تعول إلى ثالثة عشر ( زوج وأم وبنت ، وبنت إبن) أو إلى خمسة عشر (زوج وأبوان وبنتان) أو إلى
ب وأختان ألب وأم). سبعة عشر ( وأم وزوجة وأخوان ألم وأختان أل
) : كل تركة اجتمع فیها الثمن مع السدس أو الثلث فاصل مخرجها من أربعة وعشرین (أبوان وبنت 341مادة (وزوجة) وتعول إلى سبعة وعشرین(أبوان وبنتان وزوجة).
و ربع وما ) : كل تركة اجتمع فیها نصف وما بقي ورد على صنف فاصل مخرجها من اثنین (زوج وأم) أ342مادة (بقي ورد على صنف فاصل مخرجها من أربعة (زوج وبنت) أو ثمن وما بقي ورد على صنف فاصل مخرجها من
ثمانیة(زوجة وبنت) وكل تركة فیها نصف وما بقي ورد على صنفین فأصلها من أربعة (زوج وأخ ألم وجده).
ل مخرجها من ثمانیة (زوجة وأخ ألم وجدة). ) : كل تركة اجتمع فیها ربع وما بقي ورد على اثنین فأص343مادة (
) : كل تركة اجتمع فیها ربع وما بقي ورد على ثالثة فأصل مخرجها من أربعة (زوجة وأخوان ألم وأم) 344مادة (
وكل تركة اجتمع فیها ربع وما بقي ورد على أربعة فأصلها من ستة عشر (زوج وبنت وأم)
بقي ورد على أربعة فأصلها من اثنین وثالثین (زوجة وبنت وأم). ) : كل تركة فیها ثمن وما 345مادة (
) : كل تركة فیها ثمن وما بقي ورد على خمسة فأصلها من أربعین (زوجة وبنت ، وبنت ابن وأم). 346مادة (
): المناسخة هي أن یموت وارث من الورثة أو اكثر قبل قسمة تركة المؤرث األول فانه ال یمكن قسمة347مادة (تركة المیت الثاني إال بعد قسمة الدرجة األولى ولالختصار فانه البد لمثل هذه المسألة من صورتین :
الصورة األولى :
وهي إذا كان مخرج مسألة المیت األول موافقة لمخرج مسالة المیت الثاني كأن توفى شخص عن أب وأم وابنتین حدى االبنتین عن جدها وجدتها وأختها فمخرج هذه المسألة فلكل من األب واألم سدس فمخرجها من ستة ثم توفت إ
أیضا من ستة منكسرة على ثالثة راس الجد برأسین واألخت برأس فیضرب الثالثة في الستة أصل المسألة األولى تصح من ثمانیة عشر للجدة السدس من كال المسألتین والجد عشره وخمسه لألخت فالجد عصب األخت .
ة :الصورة الثانی
إذا كان مخرج المسألة الثانیة یباین مخرج المسألة األولى كأن یتوفى شخص عن أم وابنین فالمسألة من ستة وتصح من أثنى عشر ثم توفى أحد االبنین عن ولدین وبیدهما حصة أبیهما خمسة ال توافق مخرج المسألة األولى
ربعة فتضرب األربعة في مخرج األولى ستة تصح من وال تنقسم فمخرج ذلك من عدد رؤوسهما إثنان منكسرة على أأربعة وعشرین لألم السدس (أربعة) ولعمهما عشرة ولكل من االثنین في المسألة الثانیة خمسة.
توضح الالئحة الخاصة بتنظیم أعمال أمناء التوثیق اإلجراءات التي یجب على موثقي عقود -): أ 348مادة (أعمالهم .الزواج والطالق مراعاتها في
یجب على كل زوج طلق زوجته أن یبلغ الجهة المختصة بذلك خالل أسبوع من تاریخ وقوعه وذلك تحت -بطائلة التعرض للعقوبات القانونیة في حالة عدم االلتزام بذلك.
): كل ما لم یرد به نص في هذا القانون یعمل فیه بأقوى األدلة في الشریعة اإلسالمیة . 349مادة (
): یلغى أي قانون أو قرار أو الئحة أو قاعدة أو نظام یتعارض مع نصوص هذا القانون وعلى وجه 350ادة (مالخصوص یلغى ما یلي :
م الصادر في عدن. 1974) لسنة 1قانون األسرة رقم (-
م بشأن المواریث الشرعیة الصادر في صنعاء. 1976) لسنة 24قرار مجلس القیادة بالقانون رقم (-
م في شأن الوصیة الصادر في صنعاء. 1976) لسنة 142قرار مجلس القیادة بالقانون رقم (-
م بشأن الهبة الصادر في صنعاء. 1976) لسنة 77قرار مجلس القیادة بالقانون رقم (-
م بشأن األسرة الصادر في صنعاء. 1978) لسنة 3قرار مجلس القیادة بالقانون رقم (-
) : یعمل بهذا القرار بقانون من تاریخ صدوره وینشر في الجریدة الرسمیة . 351مادة (
صدر برئاسة الجمهوریة ـ بصنعاء
هـ1412/رمضــــــان/25بتاریخ :
م1992/مـــــــــارس/29الموافق :
الفریق / علي عبد اهللا صالح
رئیس مجلس الرئاســــــة
________________________________________
) لسنة 24م والقانون رقم (1998) لسنة 27أدخلت بعض التعدیالت على هذا القرار وأصدرت بالقانون رقم (م.2003) لسنة 34م والقانون رقم (1999