Balita Tunggal Gizi Buruk Pada Keluarga Inti Berpenghasilan Rendah

download Balita Tunggal Gizi Buruk Pada Keluarga Inti Berpenghasilan Rendah

of 21

description

balita gizi buruk

Transcript of Balita Tunggal Gizi Buruk Pada Keluarga Inti Berpenghasilan Rendah

BAB I

Balita Tunggal Gizi Buruk Pada Keluarga Inti Berpenghasilan Rendah:Pelayanan Kedokteran KeluargaWidiawati1, Lucy Widasari2, Maria S Thadeus31Dokter Muda Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta2Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta3Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta

Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa dengan pelayanan kedokteran keluarga yang holistik, komprehensif, bekesinambungan, terpadu dan paripurna dapat mengatasi permasalahan penyakit akut dalam keluarga inti. Pasien adalah anak tunggal yang tinggal dalam keluarga inti dengan orang tua bekerja sebagai tukang parkir berpenghasilan rendah dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Masalah dalam keluarga ini adalah kurangnya pengetahuan pelaku rawat (ibu pasien) mengenai kesehatan dalam mengasuh anaknya, rendahnya pendapatan keluarga, dan kurangnya kebersihan lingkungan yang dapat menularkan penyakit pada balita dengan gizi buruk. Masalah pasien antara lain gizi buruk dan kekebalan tubuh yang menurun. Penatalaksanaan klinis yang dilakukan bersifat asimptomatik. Pada pelaku rawat dilakukan edukasi mengenai penyakit menular yang dapat mudah menginfeksi anaknya yang sedang turun kekebalan tubuhnya; diberikan penjelasan tentang asupan gizi pada anak di masa pertumbuhan dan pentingnya peran ibu dalam memberikan asupan gizi seimbang. Keberhasilan tindakan dinilai dari data klinis dan indeks koping keluarga. Hasil studi menunjukkan perkembangan penyakit disebabkan rendahnya daya tahan tubuh anak akibat gizi buruk, kurangnya pengetahuan keluarga terhadap kesehatan dan perawatan anak, serta pelayanan provider kesehatan yang kurang menyeluruh. Penerapan pelayanan kedokteran keluarga secara holistik, komprehensif, berkesinambungan, terpadu dan paripurna yang memandang pasien sebagai bagian dari keluarga,dan lingkungannya, telah dijalankan dan berhasil memperbaiki keadaan pasien, sehingga keluarga mulai mencoba mengatasi problema finansial yang juga akan mempengaruhi peningkatan taraf kesehatan pasien dan keluarganya. Pada akhir studi, berat badan anak bertambah. Masalah gizi buruk yang berhubungan dengan pola pemberian nutrisi pada anak dan kebersihan perawatan anak masih perlu pembinaan dalam membentuk perilaku hidup bersih dan sehat.Kata kunci: gizi buruk, keluarga inti, pelayanan kedokteran keluargaChild Malnutrition With Low Economic Status : Family Medicine Approach

Widiawati1, Lucy Widasari2, Maria S Thadeus31Student of Faculty of Medicine University of UPN Veteran Jakarta2Nutrition Departement Faculty of Medicine UPN Veteran Jakarta3Pathology Anatomy Departement Faculty of Medicine UPN Veteran Jakarta

ABSTRACT

The purpose of this study is to prove that with family medicine approach that is holistic, comprehensive, throughly, integrated, and complete can solve the problems in this nuclear family. The patient is a single kid in the family with parent that works as parking keeper and a housewife mother. The father has low income. The problem of the family is the lack of knowledge of care taker about the health of child care, the low income, and the lack of environmental hygiene. The problem of patient is malnutrition dan the state of immunocompromised. The management that will be done is asymptomatic. To the care taker, we educate patient about the infection disease that will be easily infect the kid with immunocompromised kid. To the patient, we educate about infectious disease that can easily infect her child who was immunocompromised; given an explanation of nutrition intake in infant and the important role of mother in providing balanced nutrition. The succes of the action is assessed from clinical data and family coping index. The study shows the development of diseases caused by low immunity of children due to poor nutrition, lack of knowledge of family health and child care, and health care providers are less comprehensive. Application of family medical approach in a holistic, comprehensive, continous, integrated and plenary that views patients as part of the family, and environment, has been run and managed to improve the patients condition, so the family began to try to overcome the financial problems will also affect the health level improvement for patients and their families. At the end of the study, childs weight is increases. Malnutrition problem associated with the patern of nutrition in child care and hygiene of children still need guidance in shaping the behaviour of clean and healthy living.

keyword: malnutrition, nuclear family, family medicine approach.

iii

PendahuluanGizi buruk adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan karena kekurangan asupan energi dan protein juga mikronutrien dalam jangka waktu lama (WHO, 2008). Anak disebut gizi buruk apabila berat badan dibanding umur tidak sesuai (selama 3 bulan berturut-turut tidak naik) dan tidak disertai tanda-tanda bahaya.Keadaan gizi yang kurang atau buruk bisa merupakan salah satu penyebab tingginya angka kematian anak di negara berkembang termasuk Indonesia. Status gizi yang buruk pada anak dapat menimbulkan pengaruh yang tidak baik karena dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 yang dilakukan oleh departemen kesehatan RI masih terdapat banyak anak balita yang menderita masalah gizi (Badan Litbang Kesehatan, 2007). Di Indonesia masalah status gizi masih merupakan masalah yang serius. Dari sekitar 25 juta balita, 4,6 juta diantaranya menderita gizi kurang dimana berat badannya tidak memenuhi berat badan normal menurut umurnya. Disamping itu sebanyak 3,4 juta balita tergolong kurus dimana berat badannya kurang proporsional dengan tinggi badannya, dan 3,1 juta balita kegemukan. Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target rencana pembangunan jangka menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional. Sepuluh kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang pada Balita salah satunya yaitu Kota Jakarta Selatan sebesar 8,3% (Badan Litbang Kesehatan, 2007).Di provinsi Jawa Barat khususnya kota Depok angka kejadian gizi buruk dan gizi kurang juga masih tinggi. Sekitar 227 balita di Kota Depok diidentifikasi menderita gizi buruk. Menurut Dinas Kesehatan Kota Depok (2010), balita itu tersebar di enam kecamatan Pancoran Mas, Beji. Sukmajaya, Cimanggis, Sawangan, dan Limo. Jumlah terbesar terdapat di Kecamatan Cimanggis, yaitu 77 balita. Berikutnya, Sawangan dengan 47 penderita dan Pancoran Mas dengan 50 penderita.Mengingat usia balita merupakan usia pertumbuhan dan perkembangan, maka perlu penanganan yang tepat dan menyeluruh pada pasien-pasien dengan status gizi buruk, gizi kurang, atau post gizi buruk agar tidak jatuh kembali ke keadaan sebelumnya. Oleh karena itu diperlukan pendekatan kedokteran keluarga yang komprehensif.Ilustrasi KasusSeorang anak perempuan, Nv, usia 38 bulan, balita tunggal dilaporkan berat badannya selalu kurang. Kader posyandu RW 03 melaporkan berat badan anak ini selalu di bawah garis merah pada KMS nya. Pasien adalah anak dari keluarga inti yang mempunyai ayah sebagai tukang parkir dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Saat ini berat badan pasien 9,6 kg dengan tinggi badan 88 cm. Pasien lahir normal saat usia kandungan 7 bulan dengan BBL 1400 gr dan PBL 40 cm.Dari anamnesis dengan ibu pasien, didapatkan bahwa anaknya sulit makan. Ibu pasien mengatakan bahwa putrinya sering sakit. Seringkali, si anak mengalami batuk dan pilek. Nafsu makan pasien semakin turun ketika sedang sakit. Sehingga ibu pasien mengeluhkan berat badan anaknya sulit naik. Batuk dan pilek berlangsung selama 3-7 hari kemudian sembuh kembali.Pasien sudah diimunisasi secara lengkap di Puskesmas Pancoran Mas. Imunisasi BCG diberikan pada usia 1 bulan. Imunisasi Hepatitis B diberikan 3 kali. Imunisasi polio diberikan 4 kali. Imunisasi DPT diberikan 3 kali. dan yang terakhir imunisasi campak pada usia 9 bulan. Riwayat tumbuh kembang pasien selalu telat. Pasien mulai merangkak saat usia 1 tahun dan bisa berjalan pada usia 1 tahun 6 bulan. Saat ini pasien belum bisa berbicara, hanya mengucapkan kata mama dan ayah.Sejak lahir, pasien mendapatkan ASI sampai sekarang. pada usia lebih dari 6 bulan mulai diberikan makanan tambahan. Dalam sehari, pasien minum 2 sampai 3 kotak susu kemasan (ukuran 240 ml). Saat ini susu yang digunakan adalah susu bubuk yang didapat dari pembagian pos gizi setiap bulannya. Apabila susu dari pos gizi sudah habis maka susu yang diminum adalah susu kemasan. Riwayat kehamilan ibu tidak ada kelainan. Ny. W tidak pernah sakit selama hamil; tidak ada demam, dan tidak ada trauma. Riwayat persalinan dilakukan secara normal dengan penolong persalinan suami dan ibu pasien di kendaraan umum saat usia kehamilan tujuh bulan karena keluar flek, mulas dan ketuban pecah dini. Setelah persalinan ibu pasien tidak menjalani perawatan tetapi bayi yang dilahirkan harus menjalani perawatan selama 7 hari di NICU karena berat badan lahir yang rendah dan prematur. Bayi yang dilahirkan termasuk dalam kategori BBLR, An. Nv lahir dengan berat badan 1400 gram (Berat Badan Lahir Sangat Rendah). Riwayat anemia pada kehamilan disangkal.Pada pemeriksaan fisik didapatkan seorang anak yang kompos mentis, tampak kurus, dengan BB 9,6 kg dan TB 88 cm serta status gizi Z score kurva WHO berada di SD-3 (Gizi buruk). Dari tanda vital (Respirasi: 20 x/m, N: 88/menit, Temp: afebris) tidak didapatkan tanda-tanda kegawatan, mata tampak cekung, kardiovaskuler: jantung dalam batas normal, paru-paru: normal.

Penilaian Struktur dan Komposisi KeluargaKeluarga terdiri atas 2 generasi dengan kepala keluarga berusia 30 tahun, dan ibu berusia 21 tahun. Bentuk keluarga adalah keluarga inti (nuclear). Dari perkawinan ini mereka mempunyai seorang anak (pasien) An.Nv yang berusia 38 bulan yang tinggal bersama orang tuanya.

Gambar 1 GenogramNy.WTn.GAn. Nv56 thn60 thn55 thn57 thn21 thn30 thn38 blnKet:PerempuanLaki-lakiMeninggalPasienTinggal satu rumah

Penilaian Terhadap KeluargaDalam penatalaksanaan penyakit pasien sangat diperlukan peran serta dan peran aktif seluruh anggota keluarga, terutama ibu pasien dalam merawat dan memperhatikan nutrisi bagi anaknya. Pasien masih dalam masa tumbuh kembang dan asupan gizi akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Keluarga berperan dalam memperhatikan gizi balita. Keluarga juga seharusnya banyak mengetahui prinsip pemberian makan pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, yaitu memperhatikan komposisi asupan makanan dengan pola gizi seimbang sesuai dengan usia dan kebutuhan anak. Untuk itu, agar tujuan dapat tercapai dalam menangani pasien dengan melibatkan keluarga dalam perawatan serta untuk mendeteksi faktor resiko yang berkaitan dengan masalah fisik, psikologik, sosial, dan lingkungan keluarga, maka dilakukan kunjungan rumah pada tanggal 18 Januari, 1 Februari, dan 15 Februari 2011.

Identifikasi Masalah Keluarga1. Masalah dalam fungsi biologis: pasien memiliki status gizi yang buruk. Berat badan pasien sulit sekali naik, dan berat badannya selalu di bawah normal. Kondisi ini menyebabkan pasien mudah jatuh sakit karena fungsi kekebalannya yang terganggu (immunocompromised).2. Masalah dalam fungsi psikologis: pasien adalah anak satu-satunya yang sangat bergantung pada ibunya. Aktivitas sehari-hari si ibu lebih banyak disibukkan dalam mengurus anaknya. Pasien sangat ketergantungan terhadap ibunya dan tidak mau diurus selain oleh ibunya.3. Masalah dalam fungsi ekonomi dan pemenuhan kebutuhan: Dalam keluarga ini terdapat ketergantungan finansial pada kepala keluarga yang pengahasilannya rendah (di bawah UMR). Kepala keluarga bekerja sebagai tukang parkir yang memiliki dua shift waktu bekerja yaitu siang dan malam hari. 4. Masalah perilaku kesehatan: Keluarga cukup mengerti akan pentingnya kesehatan dan pemeliharaan kesehatan, namun usaha dalam mengatasi masalah gizi buruk yang dihadapi anaknya tersebut belum maksimal karena terbentur masalah ekonomi. Pola makan keluarga tidak teratur, tidak tiga kali sehari. Dalam merawat pasien, pelaku rawat kurang memperhatikan masalah higiene. Hal ini terlihat dari kuku pasien yang kotor dan panjang, ini dikarenakan pelaku rawat tidak rutin memotong kuku pasien.5. Masalah lingkungan: Lingkungan rumah kurang mendukung (kebersihan lingkungan rumah kurang), serta keadaan rumah cukup sempit sehingga mudah menjangkitkan penyakitpenyakit infeksi, yang dapat mempengaruhi status gizi anak.6. Kondisi lingkungan ditinjau dari kondisi rumah. Rumah yang dihuni adalah rumah kontrakan yang berada di daerah padat. Karakteristik rumah yang dihuni adalah luas rumah 5,7 X 2,25 m, jumlah orang dalam satu rumah adalah 3 orang, tidak memiliki halaman rumah, tidak bertingkat, lantai rumah dari keramik, dinding rumah dari tembok. Penerangan rumah pada siang hari hanya dari satu jendela di sisi depan rumah, pada malam hari menggunakan lampu listrik. Ventilasi rumah memanfaatkan pintu rumah depan dan satu jendela rumah, kondisi kelembapan dalam rumah lembap, dan tidak ada bantuan ventilasi di dalam rumah. Kebersihan di dalam rumah masih kurang. Tata letak barang dalam rumah kurang tertata rapi, barang-barang tertumpuk di satu tempat. Sumber air rumah; air minum berasal dari pompa listrik, air cuci dan masak dari pompa listrik, jarak sumber air dari septic tank 8 m. Kamar mandi keluarga tersedia di dalam rumah berjumlah 1 buah dengan jamban jongkok 1 buah. Limbah dan sampah dialirkan ke got, dan sampah dibuang ke tempat sampah di luar rumah. Kesan kebersihan lingkungan pemukiman kurang.

Diagnosis Holistik (18 Februari 2005; primary care)

Aspek Personal:Pasien belum memiliki harapan dan kekhawatiran.

Aspek Klinis:Anak Nv: Gizi buruk (Z Score WHO SD-3) dan daya tahan tubuh rendah.

Aspek Individual:Pasien adalah anak perempuan berusia 38 bulan yang memiliki masalah kebiasaan dalam hal kebersihan diri.

Aspek Psikososial:Keluarga berpenghasilan rendah, masalah kebersihan rumah yang kurang dan tidak sehat, serta lingkungan perumahan yang padat.

Aspek Fungsional:Derajat 5, pasien tidak dapat berbuat apa-apa karena ketergantungan dengan pelaku rawat

Diagnosis KeluargaKeluarga inti dengan pasangan kepala keluarga yang mempunyai pekerjaan dengan penghasilan rendah, dan beban keluarga ditanggung oleh kepala keluarga sehingga pemenuhan kebutuhan untuk anak tidak dapat terpenuhi dengan baik terutama masalah gizi karena harus terbagi dengan kebutuhan primer lainnya. Pengetahuan orang tua tentang gizi masih kurang. Orangtua berharap anaknya tidak mudah sakit dan berat badannya bisa naik, karena mereka khawatir akan pertumbuhan anaknya menjadi terhambat.

Tujuan Umum Penyelesaian Masalah Pasien dan KeluargaTerselesaikannya masalah pasien dan terwujudnya keluarga yang sadar akan gizi sehingga memperhatikan gizi anaknya agar proses tumbuh kembang anak tidak terganggu.

Indikator Keberhasilan Pasien terus mendapat nutrisi/asupan gizi yang seimbang, status gizi dan tumbuh kembang terus dipantau sehingga terjadi peningkatan status gizi pada anak. Pasien diberikan stimulasi yang baik untuk perkembangannya yang sesuai usianya, dari ibu dan ayahnya.Orang tua, khususnya ibu pasien yang bertindak sebagai pelaku rawat memahami prinsip gizi seimbang yang sesuai usia dan kebutuhan pasien. Pelaku rawat juga mampu menerapkan pemberian nutrisi sehingga mampu mensiasati pemberian makan pada anak agar tercapainya gizi seimbang pada pasien. Hal ini diharapkan adanya perbaikan status gizi pada anak.Setiap anggota keluarga memahami pentingnya peranan keluarga dalam memperbaiki status gizi anak. Sehingga ibu dan ayah anak turut membantu perawatan anak tersebut dan turut berperan dalam proses tumbuh kembang anak.

Tindak Lanjut Terhadap Pasien dan KeluargaUntuk menindaklanjuti permasalahan klinis dan keluarga maka dilakukan rencana penatalaksanaan pasien dan keluarga. Masalah klinis pasien direncanakan dengan tatalaksana non farmakologis dengan pembinaan terhadap keluarga. Keluhan pada pasien yaitu berat badan pasien yang sulit naik perlu pembinaan keluarga. Maka, tindak lanjut pada pasien yaitu dengan memberikan makanan dengan cara pemberian makanan tambahan ini termasuk memperbaiki kekurangan zat gizi mikro. Pembinaan untuk keluarga adalah dengan memotivasi pelaku rawat untuk datang ke pemberian makanan tambahan di posyandu dan puskesmas setiap bulan.Pelaku rawat (ibu pasien) diberikan edukasi mengenai pemilihan makanan yang baik untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal bagi putrinya. Pendidikan gizi merupakan salah satu unsur yang terkait dalam meningkatkan status gizi jangka panjang. Melalui sosialisasi dan penyampaian pesan-pesan gizi yang praktis akan membentuk suatu keseimbangan antara gaya hidup dengan pola konsumsi. Untuk memberikan pertumbuhan yang optimal kepada anak, maka diperlukan gizi yang cukup yaitu jika makanan yang dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal. Ibu pasien diberikan edukasi dalam menyediakan makanan yang mengandung zat gizi seimbang sehingga terhindar dari risiko penyakit yang mengancam yaitu penyakit infeksi terutama diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).Pemberian ASI pada pasien harus dihentikan, karena mempengaruhi asupan makanan pasien. Pasien menjadi malas makan apabila selalu diberikan ASI, selain itu ASI yang diberikan pelaku rawat selama ini, kualitas dan kandungan gizinya sudah jauh berkurang.Masalah kondisi fisik pasien yang mudah terkena infeksi ditindaklanjuti dengan mengobatinya. Resiko penyakit yang mudah menginfeksi pasien adalah dermatosis, diare, tuberkulosis, dan cacingan.Kondisi psikososial pasien juga perlu ditangani. Masalah psikososial pasien adalah hanya ingin bersama ibunya setiap saat. Maka ibunya sebagai pelaku rawat harus sudah mengenalkan pasien pada lingkungan sosial. Misalnya dengan mengenalkan kepada balita-balita seusianya atau mengajak pasien untuk beraktivitas di luar rumah. Selain itu pelaku rawat perlu memberikan stimulasi agar perkembangan pasien membaik.

Alur Penatalaksanaan Pasien

18 Januari 2011, dilaporkan balita usia 38 bulan tercatat dalam BGMGizi BurukAn. Nv: BB: 9,6 kg ,TB 88 cmZ score: -3 SDPemberian makanan tambahanKemiskinanKurang PendidikanKurang keterampilanAsupan Makanan kurangPersediaan pangan di rumahPerawatan anak dan ibu hamilPelayanan kesehatanPenyakit infeksiEdukasi pada ibu pasien mengenai pemberian asupan gizi anakEdukasi mengenai pola asuh anak (higienis)Motivasi mencari pendapatan tambahan

Gambar 2 Bagan alur penatalaksanaan pasienTindakan Terhadap Keluarga

Tindakan Terhadap Keluarga

Penatalaksanaan pasien ini memerlukan partisipasi seluruh anggota keluarga dalam mengatasi masalah yang dihadapinya. Sehingga dapat memperbaiki status gizi keluarga umumnya dan status gizi balita pada khususnya. Tindakan awal pada keluarga adalah menjelaskan masalah yang dihadapi keluarga pasien. Masalah pada keluarga ini adalah kurangnya pengetahuan keluarga mengenai status gizi balita, perekonomian keluarga (pendapatan yang rendah), dan kurangnya kebersihan lingkungan.Pelaku rawat (ibu pasien) diberikan edukasi mengenai pentingnya status gizi yang yang sesuai dengan usia dan kebutuhannya. Status gizi ini sangat penting sebagai indikator kesehatan dan kesejahteraan. Untuk memberikan pertumbuhan yang optimal kepada anak, maka diperlukan gizi yang sesuai dengan usia balita yaitu makanan yang mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal. Ibu pasien diajari dalam menyediakan makanan yang mengandung zat gizi seimbang.Pelaku rawat diajarkan mengenai perawatan anak. Dalam hal ini yang paling penting adalah masalah kebersihan. Ibu pasien diedukasi mengenai kebersihan dalam hal penyediaan makanan, kebersihan tubuh anak, dan kebersihan rumah. Penyediaan makanan yang memperhatikan kehigienisan akan mencegah anak terjangkit penyakit infeksi. Begitu juga sama halnya akan kebersihan tubuh anak, akan mencegah anak dari penyakit infeksi kulit. Masalah aspek lingkungan diatasi dengan selalu menjaga kebersihan rumah dimulai dari merapikan barang-barang sampai membersihkannya dari debu. Untuk masalah ekonomi dalam keluarga, disarankan untuk mengoptimalkan kemampuan anggota keluarga dan kondisi yang ada. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga sekaligus menghilangkan ketergantungan finansial kepada kepala keluarga. Upaya yang disarankan antara lain; ibu mengikuti kegiatan PKK di wilayah setempat, menanam tanaman seperti cabai dengan menggunakan media tanam pot yang kemudian hasilnya dapat dijual, atau berjualan makanan di lingkungan sekitar rumah.Perkembangan anak sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan anak terhadap ibunya, sehingga fungsi psikologis anak dapat menjadi optimal. Pelaku rawat (ibu pasien) dan anggota keluarga lain dianjurkan untuk tetap melakukan stimulasi perkembangan anak, misalnya dengan permainanpermainan yang edukatif, mengenalkan kosa kata atau abjad dengan cara bernyanyi dan gerakan-gerakan.Dilakukan penilaian terhadap penguasaan masalah dan kemampuan beradaptasi yang dapat dilihat pada Tabel 1. Penilaian kemampuan mengatasi masalah secara keseluruhan dan kemampuan adaptasi dengan skala:5 :dapat diselesaikan sepenuhnya oleh pasien dan keluarganya4 :penyelesaian hampir seluruhnya oleh keluarga dengan sedikit petunjuk dari orang lain / dokter / pelayanan kesehatan3 :ada keinginan untuk penyelesaian, terdapat sumber namun perlu penggalian yang belum dimanfaatkan, hanya sedikit atas partisipasi keluarga dan sebagian besar masih dilakukan provider.2 :partisipasi keluarga hanya berupa keinginan saja karena tidak mampu, tidak ada sumber, penyelesaian sepenuhnya dilakukan oleh orang lain/dokter/pelayanan kesehatan1 :tidak ada partisipasi, menolak, tidak ada penyelesaian walaupun sarana tersedia99 :tidak dapat dinilai.

Tabel 1 Penilaian Kemampuan Mengatasi Masalah (Koping Keluarga)NoMasalahRencana IntervensiHasilNilai Koping

AwalAkhir

1Gizi buruk dan daya tahan tubuh kurangRutin datang pada kegiatan Pemberian makanan tambahan.Pemberian supplemen vitamin.Pada saat kunjungan pasien tidak sedang sakit.23

2Pengetahuan pelaku rawat akan status gizi kurang, pengetahuan akan kondisi anaknya kurang. Pengetahuan pola asuh anak kurang, ibu masih menyusui anaknya.Edukasi mengenai gizi yang sesuai dengan usia dan kebutuhan anak. Dengan memberikan catatan pada ibu pasien tentang daftar makanan dan cara pemberiannya pada balita.

Edukasi mengenai ASI.Ibu pasien mulai menyediakan makanan yang beraneka ragam sesuai dengan kandungan gizi yang seimbang.

Ibu sudah mulai menyapih anaknya.3

24

3

3Pola makan: pasien makan tidak teratur waktunya, tidak sesuai dengan kebutuhan.Edukasi mengenai gizi yang sesuai dengan usia dan kebutuhan anak.Pasien diberi makan 3 X sehari disertai 2 X selingan2

4

4Kebersihan diri: pelaku rawat kurang memperhatikan kebersihan diri pasien, kuku pasien tidak dipotong.Edukasi mengenai kebersihan diri.Ibu sudah rutin memotong kuku anaknya.Memandikan anaknya 2 x sehari.Mengajari anaknya untuk cuci tangan sebelum makan.3

3

25

5

4

5Kebersihan rumah kurang terjaga. Sampah masih berserakan, barang-barang tidak tertata rapi, tumpukan pakaian kotor berserakan.Edukasi mengenai kebersihan lingkungan.Ibu membuang sampah pada tempatnya.Barang-barang di rumah sudah tertata rapi.Ibu rutin menyapu rumahnya.3

2

25

4

4

6Kurangnya pendapatan kepala keluarga.Motivasi untuk mencari pendapatan tambahan: Berdagang, menanam tanaman, dan menjahit.Ibu sudah berdagang nasi uduk.24

7Ibu pasien kurang bersosialisasi ke lingkungan perumahan sekitar. Pasien jarang dibawa ke aktivitas luar rumah.Mengenalkan ibu pada kegiatan di masyarakat.Sampai kunjungan terakhir, ibu sudah mengikuti kegiatan PKK 1 X.23

8Pasien sangat ketergantungan pada ibunya, pasien kurang berinteraksi kepada orang lain.Meminta ayahnya turut berperan dalam mengasuh anaknya.Ketika ayahnya tidak bekerja pada siang hari, pasien mau ditinggal bersama ayahnya saat ibunya berdagang.Ketika ayahnya bekerja pada siang hari, pasien dibawa berdagang untuk beraktivitas di luar rumah bersama ibunya.

2

3

Total koping30/13 =2,351/13 =3,9

Kesan dari kemampuan penyelesaian masalah awal dalam keluarga adalah 2 yaitu keluarga cukup mampu menyelesaikan sedikit masalahnya dan masih memerlukan petunjuk penyelesaian masalah dari orang lain/dokter/provider kesehatan. Pada akhir studi dilakukan penilaian kembali kemampuan keluarga menyelesaikan masalahnya. Nilai akhir koping keluarga yang didapat adalah 4, dimana keluarga mampu menyelesaikan masalahnya namun tidak sepenuhnya dan masih tergantung arahan dan upaya dari provider petugas pelayan kesehatan.

Hasil Pembinaan1. Telah dilakukan edukasi mengenai gizi seimbang pada orang tua pasien dan orang tua pasien bersedia untuk mengatur pola makan anak yang sedikit namun sering. Serta memberi makanan dengan gizi yang seimbang. 2. Orang tua pasien mengupayakan pemberian gizi seimbang yang berarti mendapatkan cukup semua kelompok zat gizi seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta air untuk keperluan tubuh yang sesuai dengan kebutuhan anak. 3. Ibu pasien mulai melakukan kebiasaan yang dianjurkan pembina, yaitu mulai mengurangi pemberian ASI pada pasien dengan bertahap.4. Orang tua pasien bersedia untuk lebih menjaga kebersihan lingkungan rumah.5. Pelaku rawat besedia untuk menjaga kebersihan pasien dengan rajin memotong kukunya, dan mengajari untuk mencuci tangan. 6. Ibu pasien mulai berdagang nasi uduk membantu bibinya untuk mendapatkan tambahan pendapatan keluarga. Hasil pembinaan keluarga secara keseluruhan menunjukkan peningkatan indeks koping/penguasaan masalah dari 2 sebelum pembinaan menjadi 4 setelah pembinaan. Konsep pelayanan kedokteran keluarga telah dijalankan dan perlu ditunjang dengan kerjasama yang baik antara provider kesehatan serta keluarga.

PembahasanDalam penanganan kasus ini dilakukan pendekatan kedokteran keluarga untuk memberikan pelayanan kesehatan yang holistik, komprehensif, berkesinambungan, terpadu dan paripurna, dengan memandang pasien sebagai bagian dari dirinya sendiri. Keluarga dan lingkungannya. Pasien An. Nv didiagnosis gizi buruk berdasarkan anamnesa adanya berat badan yang sulit naik dan mudah sakit. Dari KMS, berat badan pasien berada pada Bawah Garis Merah. BB pasien 9,6 kg dan dan TB 88 cm serta status gizi Z score kurva WHO berada di SD-3.Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi buruk. Timbulnya gizi buruk tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit. Pada pasien, terjadinya gizi buruk oleh karena asupan makanan yang tidak sesuai dengan gizi seimbang. Ini terlihat masih diberikannya ASI pada pasien yang berusia 38 bulan pasien menjadi malas makan selain karena sudah kenyang dari ASI. BBLR juga salah satu faktor resiko penyebab gizi buruk (William's, 2007).Menurut UNICEF (2009), ada beberapa faktor penyebab tidak langsung terjadinya gizi buruk. Tiga penyebab tidak langsung yang menyebabkan gizi buruk yaitu: ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai, pola pengasuhan anak kurang memadai, dan pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga. Makin tinggi tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan maka akan makin banyak keluarga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan.Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai disebabkan oleh karena masalah ekonomi. Menurut (Mardiasmo, 2001) pendapatan keluarga pada pasien adalah dalam kategori rendah. Pemenuhan kebutuhan keluarga sepenuhnya hanya dari penghasilan kepala keluarga. Sikap keluarga yang tidak memprioritaskan masalah gizi untuk pemenuhan kebutuhan menjadi masalah. Pada awal sebelum pembinaan, pemenuhan kebutuhan pangan hanya sebatas kenyang. Setelah dilakukan pembinaan mengenai edukasi pentingnya gizi seimbang terutama untuk balita, keluarga mulai memprioritaskan makanan yang bergizi untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini juga didukung dari pendapatan tambahan selain penghasilan dari kepala keluarga. Untuk pendapatan tambahan, pelaku rawat sudah mau mengikuti nasihat pembina dengan cara ikut berjualan nasi uduk di lingkungan perumahan membantu pekerjaan bibinya. Hal ini dipilih mengingat keterbatasan keterampilan, di rumah juga tidak ada ruang kosong seperti halaman rumah untuk menanam sesuatu yang bisa dijual.Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental dan sosial. Hal ini berkaitan dengan tingkat pengetahuan dalam pola asuh, dalam kesehatan anak, khususnya mengenai gizi. Pelaku rawat memiliki pendidikan terakhir SMP dan kepala keluarga SMA. Dari tingkat pendidikan sebenarnya pengetahuan mereka cukup. Namun, untuk pola rawat masih kurang karena pasien belum mengerti bagaimana merawat anaknya. Dari faktor sosial pelaku rawat juga masih kurang mengajari pasien bagaimana bersosialisasi paling tidak dengan balita seusianya di lingkungan perumahan. Hal ini menyebabkan pasien hanya mau di asuh oleh ibunya (pelaku rawat). Seringnya pasien terkena penyakit infeksi juga menunjukkan kurangnya pengetahuan pasien mengenai pencegahan penyakit menular. Kondisi higiene pasien menjadi salah satu penyebab utama mudahnya pasien sakit selain kondisi status gizinya. Pengetahuan mengenai ASI juga masih kurang karena pelaku rawat masih memberikan ASI di usia pasien yang sudah 38 bulan. Tidak ada satu pun jenis makanan yang mengandung semua zat gizi, yang mampu membuat seseorang untuk hidup sehat, tumbuh kembang dan produktif (U.S. Department of Health and Human Services, 2011). Oleh karena itu, setiap orang perlu mengkonsumsi aneka ragam makanan; kecuali bayi umur 0-4 bulan yang cukup mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI) saja. Bagi bayi 0-4 bulan, ASI adalah satu-satunya makanan tunggal yang penting dalam proses tumbuh kembang dirinya secara wajar dan sehat (Shealy & Benton-Davis, 2005). MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi yang diberikan kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya setelah umur 4 bulan. Pada umur 4-6 bulan (masa transisi), bayi terus minum ASI dan mulai diperkenalkan dengan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) MP-ASI berbentuk lumat atau setengah cair. Pemberian ASI harus didahulukan sebelum MP-ASI (Departemen Kesehatan RI, 2006). Pada umur 6-9 bulan, kuantitas dan kualitas MP-ASI perlu diperhatikan. MP-ASI diberikan sesuai umur bayi, minimal diberikan 3 x sehari. Porsi MP-ASI setiap kali makan sebagai berikut:

Pada umur 6 bulan, berikan minimal 6 sendok makan Pada umur 7 bulan, berikan minimal 7 sendok makanPada umur 8 dan 9 bulan, berturut-turut berikan 8 dan 9 sendok makan.

Sejak umur 10 bulan, makanan keluarga perlu diperkenalkan kepada bayi, agar pada saat berumur 12 bulan, bayi sudah dapat makan bersama keluarga. Porsi makanan anak 12 bulan kira-kira separuh dari porsi orang dewasa. Pemberian ASI tetap diteruskan sampai bayi berumur 2 tahun. Makanan selingan yang bergizi (bubur kacang hijau, biskuit, pepaya/jeruk) perlu diberikan.Pada umur 24 bulan, secara bertahap anak perlu disapih. Antara lain dengan menjarangkan waktu menyusui (Departemen Kesehatan RI, 2006).Pada usia balita terjadi pertumbuhan dan perkembangan sangat pesat. Karena itu kebutuhan zat gizi tiap satuan berat badan relatif lebih tinggi dari kelompok umur lain. Contohnya adalah kebutuhan energi bayi/balita 100-120 kilokalori per kilogram berat badan, sedangkan pada orang dewasa 40-50 kilokalori per kilogram berat badan. Kebutuhan protein bayi/balita: 2-2,5 gram/kilogram berat badan, sedangkan untuk orang dewasa 1 gram per kilogram berat badan. Dari contoh ini terlihat, bahwa makin bertambah umur, kebutuhan zat gizi seseorang relatif lebih rendah untuk tiap kilogram berat badannya (Departemen Kesehatan RI, 2006). ASI hanya baik komposisinya sampai usia 6 bulan dan perlu ditambahkan makanan pendamping ASI samapai usia 24 bulan, setelah itu komposisi ASI baik kualitas dan kuantitasnya menjadi sangat berkurang (American Academy of Pediatrics, 2006).Makan makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan. Makanan yang beraneka ragam yaitu makanan yang mengandung unsur-unsur zat gizi yang diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantintasnya, dalam pelajaran ilmu gizi biasa disebut triguna makanan yaitu, makanan yang mengandung zat tenaga, pembangun dan zat pengatur (Almatsir, 2002). Apabila terjadi kekurangan atas kelengkapan salah satu zat gizi tertentu pada satu jenis makanan, akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari makanan yang lain. Jadi makan makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. Makanan sumber zat tenaga antara lain: beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, roti dan mie. Minyak, margarin dan santan yang mengandung lemak juga dapat menghasilkan tenaga. Makanan sumber zat tenaga menunjang aktivitas sehari-hari. Makanan sumber zat pembangun yang berasal dari bahan makanan nabati adalah kacang-kacangan, tempe, tahu. Sedangkan yang berasal dari hewan adalah telur, ikan, ayam, daging, susu serta hasil olahan, seperti keju. Zat pembangun berperan sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan seseorang. Makanan sumber zat pengatur adalah semua sayur-sayuran dan buah-buahan. Makanan ini mengandung berbagai vitamin dan mineral, yang berperan untuk melancarkan bekerjanya fungsi organ-organ tubuh (Almatsir, 2002).Kesehatan lingkungan kurang memadai. Faktor lingkungan berperan penting dalam perbaikan pasien dengan status gizi buruk. Lingkungan yang padat sulit dimodifikasi. Kondisi rumah yang perlu diperhatikan adalah kecukupan ventilasi, kebersihan di dalam rumah, dan sumber air bersih. Lingkungan padat berpotensi untuk menularkan penyakit infeksi dengan mudah (Conant & Fadem, 2008). Ventilasi rumah kurang memadai, hal ini berdampak buruk bagi kesehatan antara lain: berkurangnya kadar oksigen, adanya bau pengap, suhu udara ruangan menjadi naik, dan kelembapan udara menjadi bertambah. Kecepatan aliran udara penting untuk mempercepat pembersihan udara ruangan. Kecepatan udara dikatakan sedang jika gerak udara 5-20 cm per detik atau volume pertukaran udara bersih antara 25-30 cfm (cubic feet per minute) untuk setiap orang yang berada di dalam ruangan (Kepmenkes RI, 1999). Hal yang sama juga pada luas rumah. Berdasarkan Direktorat Higiene dan Sanitasi Depkes (1993), kepadatan penghuni pada keluarga ini memenuhi standar ( 2 orang per 8 m2). Luas rumah adalah 12,375 m2, anggota keluarga dihitung 2,5 karena pasien masih berumur 38 bulan. Sesuai dengan ketentuan anak < 1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1-10 tahun dihitung setengah. Maka kepadatan adalah 2 orang per 4,95 m2.

SaranSaran bagi kesinambungan pelayanan adalah:Untuk pembina berikutnya :1. Sumber Daya Manusia :Dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka pembinaan kesehatan perlu kerjasama yang baik antara petugas kesehatan dengan masyarakat sekitar.2. Mental psikologikal :Untuk melakukan pembinaan terhadap suatu keluarga perlu pendekatantertentu yang sangat membutuhkan keuletan dalam menjalankan pembinaan. 3. Komunikasi :Kemampuan berkomunikasi merupakan hal utama pelayan kesehatan yang bertugas sebagai pembina. Komunikasi yang baik bertujuan untuk menjadi perantara dan juga keluarga yang akan dibina agar lebih terbuka terhadap permasalahannya dan mengerti dengan apa yang disampaikan oleh pembina sehingga program keluarga binaan ini dapat terlaksana. 4. Manajemen klinis :Untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam keluarga perlu adanya kerjasama antara provider kesehatan dan seluruh anggota keluarga.5. Evaluasi masalahMenindak lanjuti tindakan yang belum terlaksana yaitu:a. apakah pelaku rawat sudah dapat menapih anaknya secara totalb. apakah pasien memiliki daya tahan tubuh yang baik dengan peningkatan berat badannya.c. apakah ibu sudah mampu menambahkan pendapatan keluarga untuk kehidupan ekonomi keluarga yang lebih baik.

Penutup

Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor dan begitu kompleks, asupan makanan yang kurang dan tingginya penyakit infeksi merupakan dua faktor penyebab langsung kurang gizi. Di samping itu faktor lainnya seperti pengetahuan ibu yang kurang, pola asuh yang salah, sanitasi dan higiene perorangan yang buruk, dan pelayanan kesehatan juga ikut berperan dalam masalah gizi. Hal lain yang tak kalah penting adalah faktor budaya, ekonomi, pendidikan dan politik yang juga mempunyai peran besar terjadinya masalah gizi. Oleh karena itu, pendekatan kedokteran keluarga sangat diperlukan dalam penanganan masalah gizi di masyarakat.

18

Daftar Pustaka

1. Almatsir, S. 2002. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka.2. American Academy of Pediatrics. 2005. Breastfeeding and the Use of Human Milk. Pediatrics , 496-506.3. Badan Litbang Kesehatan. 2007. Riskesdas. Depok: Departemen Kesehatan R.I.4. Conant, J., & Fadem, P. 2008. A community guide to environmental health. California: Hesperian Foundation.5. Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman umum pemberian makanan pendamping air susu ibu lokal. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.6. Keputusan Menteri Kesehatan. 2010. Penggunaan kartu menuju sehat bagi balita. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.7. Mardiasmo. 2001. Perpajakan. Yogyakarta: Andi.8. Shealy, & Benton-Davis, G.-S. 2005. Guide to breastfeeding intervention. Atlanta: US Departement of Health and Human Services.9. U.S. Department of Health and Human Services. 2011. Your guide to breastfeeding. Atlanta: U.S. Departement of Health and Human Services.10. UNICEF. 2009. Winning the fight against malnutrition. Progress Towards Nutrition, 1-4.11. William's. 2007. Mechanisms of risk in preterm low-birthweight infants. Pediatric, 142.

x