BAHAYA LISAN DAN PENCEGAHANNYA DALAM AL-QUR’AN …
Transcript of BAHAYA LISAN DAN PENCEGAHANNYA DALAM AL-QUR’AN …
BAHAYA LISAN DAN PENCEGAHANNYA
DALAM AL-QUR’AN (Sebuah Kajian Tematik)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
DIKALUSTIAN RIZKIPUTRA
NIM:107034001545
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
BAHAY A LISAN DAN PENCEGAHANNYA
DALAM AL-QUR'AN (Sebuah Kajian Tematik)
Skipsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam
(s.Th.r)
Oleh:
DIKALUSTIAN RIZKIPUTRANrM. 107034001545
Di bawah Bimbingan :
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
T]NIVBRSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/2011M
Mbstut. [t..q.n.NrP. 19721 024 2003121 002
PEI\GESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul Baltaya lisan dan Pencegahannyu dulum ul-Qur'un
(Sebuuh Kttjiun Tematik) telah di ujikan dalam sidang munaclasah Fakultas
lJshuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 13 I)csember 2011.
Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi
Islam (S. Th.l) pada Jurusan Tafsir Hadits.
Jakarta" 13 l)csember 2011
SIDANG MUNAQASAI{
Ketua Sidang" Sekrclaris Sidang,ryDr. M. Suryadinata. MA
NrP. 19600908 198903 I 00sDr. Lilik Ummi Kaltsum. MANIP. 19711003 r99903 2 001
NIP: 19680901 I
Anggota,
Pembimbing I
JADr. Liliktlllnmi Kaltsdm. MA
NIP. 19711003 199903 2 001
Muslih. MANIP. 19721024 2003121 002
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan gelar strata 1 (S1), di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 08 Desember 2011
Penulis,
( Dikalustian Rizkiputra )
i
ABSTRAK
Dikalustian Rizkiputra, “Bahaya Lisan dan Pencegahannya Dalam al-Quran;
Sebuah Kajian Tematik”
Dalam al-Quran kata lisan itu sendiri mengandung lima makna, yaitu : (1)
lisan sebagai pancaindera, (2) lisan sebagai alat bicara, (3) lisan sebagai alat untuk
mentrasformasikan pikiran kepada pendengar, (4) lisan sebagai kesan yang baik,
dan (5) lisan sebagai do’a. Salah satu kelebihan yang diberikan Allah Swt. kepada
manusia selain akal adalah lisan. Lisan merupakan anggota tubuh yang amat
penting bagi manusia, dengan lisan seseorang dapat berkomunikasi antar
sesamanya dengan baik, dengan lisan juga seseorang dapat berkomunikasi dengan
hewan, alam dan dengan tuhannya. Namun dibalik itu semua, lisan mempunyai
bahaya yang sangat besar jika lisan seseorang tak terjaga dengan baik.
Salah satu bahaya lisan yang sudah mendarah daging dan juga sudah
menjadi tradisi di setiap kalangan yaitu menggunjing, dusta, sumpah palsu,
menuduh dan mengolok-olok. Pada zaman sekarang ini masih banyak orang-
orang yang belum mengetahui bahaya lisan tersebut, masih banyak orang-orang
yang menyepelekan bahaya tersebut. Mereka berbicara sana-berbicara sini,
menggunjing sana-menggunjing sini, mengejek sana-mengejek sini tapi mereka
tak sedikitpun menyadari bahwa akan ada bahaya yang menghampirinya. Dengan
kata lain, tanpa disadari mereka menjerumuskan diri sendiri ke dalam neraka.
Selain itu, masih banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi, seperti tawuran
antar mahasiswa, keributan dalam rumah tangga, keributan antar warga, dan
bahkan keributan-pun terjadi dikalangan pejabat. Semua itu tak lepas dari lisan
yang tak terjaga.Itulah lisan, dibalik kelembutannya terdapat bahaya yang sangat
besar.
Semua permasalahan di atas dapat di cegah dengan berbagai cara,
Rasulullah Saw. memberikan alternatif kepada ummatnya agar tidak terjerumus
ke dalam bahaya lisan, yaitu dengan diam. Karena diam merupakan salah satu
cara yang sangat mudah dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, seperti apakah
bahaya-bahaya yang akan mereka terima? bagaimanakah cara pencegahannya?.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendasari penulis untuk membahas tentang
bahaya lisan dan pencegahannya berdasarkan al-Quran yang dihimpun secara
tematik.
Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui bahaya lisan
dan pencegahannya dalam al-Quran sehingga penelitian ini dapat bermanfaat
untuk dijadikan sebagai pelajaran oleh setiap ummat muslim, khususnya dalam
setiap perbuatan dan tingkah laku sehari-hari sehingga setiap orang dapat
bertanggungjawab dan mengetahui dampak yang terjadi terhadap apa yang telah
diperbuatnya.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sanjungkan hanya kepada Allah Swt., yang
dengan rahmat-Nya, taufiq-Nya, hidayah-Nya, penelitian berjudul “Bahaya Lisan
Dan Pencegahannya Dalam Al-Qur’an (Sebuah Kajian Tematik)” ini dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga dan para sahabatnya, yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
Segala karya tulis yang da’if, tentunya di dalam penelitian ini masih
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka
yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah
bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini. Untuk itu penulis
sangat menerima kritikan dan saran yang membangun sehingga dapat
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada di masa datang.
Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingin-tahuan
penulis terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele namun memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam bidang keislaman. Penulis juga menyadari
bahwa, penelitian ini tidak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang
telah membantu penulis, baik moril maupun materil. Maka pada kesempatan ini,
izinkanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya khusus
kepada:
iii
1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat (Rektor), Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih M.A
(Dekan Fakultas Ushuluddin), Dr. Bustamin, M.Si (Ketua Jurusan Tafsir
Hadis), dan Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA (Sekjur Tafsir Hadits).
2. Bapak Muslih, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang dengan
keikhlasan dan kesabarannya membimbing, mengarahkan dan memotivasi
penulis hingga selesai skripsi ini.
3. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khusunya dosen-dosen di jurusan Tafsir
Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat
merekalah penulis mendapatkan setetes air dari samudra ilmu pengetahuan.
4. Pimpinan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Imanjama’ beserta jajaran pengelola
perpustakaan tersebut yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk melakukan penelitian ini hingga selesai.
5. Yang tercinta Ayahanda H. Syamsul Anwar, S.Ip dan Ibunda Hj. Rahmadiah
yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan segenap
hati dan yang tidak lelah untuk terus mendoakan ananda untuk mencapai
kesuksesan dimasa depan. Sungguh ananda belum bisa membalas semua
kebaikan mama-papa, hanya do’a yang dapat penulis sampaikan kepada
mama-papa. Semoga Allah Swt. selalu melindungi mama-papa dan semoga
ananda selalu dapat berbakti kepadanya. Kakak-kakakku (Bang Asgi, Mas
Andre, dan Teh Suci) serta saudara-saudaraku tercinta yang memberikan
motivasi dan membantu penulis baik materil maupun inmaterial sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini. I love My Family.
iv
6. Untuk teman-teman UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya teman-
teman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2007/2008, khususnya kelas TH-B:
yang tidak bisa disebutkan semuanya. Teman-teman senior TH (Qurthubi,
S.Th.I, Umam, S.Th.I, Haikal, Encin, S.Th.I, Zami, S.Th.I dan Irfan, S.Th.I)
yang telah memberikan bantuan, masukan-masukan tentang skripsi ini. “gak
ada lo gak rame”. dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam
ungkapan yang singkat ini.
7. Buat sahabat-sahabatku H. Ismail Amir, S.Th.I (Bule), Mu’min, Zainal
Fathoni, Faiz, Zamroni, Arfan Akbar dan Arma yang senantiasa memberikan
banyolan-banyolan yang menghibur penulis di saat penulis sedang “Bt”,
suntuk dan lain-lain. Dan buat Arma “kapan kita main petasan lagi?.
Hhee…”. Dan semua rekan-rekan seperjuangan yang selalu memberi support
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
8. Segenap kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat (HMI-KOMFUF), yang telah memberikan banyak pelajaran
mengenai ke-HMI-an, keorganisasian, perpolitikan, dan Nilai Dasar
Perjuangan (NDP). Terutama untuk Aqib, Daud, Pipit, Ryan AF, dan lain-
lain, yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi di sela-sela waktu
kosong. Sukses untuk semuanya dan Yakin Usaha Sampai (Yakussa)
9. Seluruh alumni Ma’had Al-Zaytun 2001 angkatan tiga (GANGGA), terutama
untuk tedy novian (Irex), Daniel, Nobel, Bangga, Aan (Idunk), Musthopa
(Pa’De), Arief Rizqi, Said Muchsin, dan lain-lain. Terimakasih atas semua
dukungan dan kebersamaannya yang telah kita bina dari mulai di al-Zaytun
v
hingga kini. Semoga kita tetap selalu bersilahturahmi atas nama Al-Zaytun-
GANGGA.
10. Kepada sang pujaan hati Siti Arfah Nasytaiyah yang selalu menemani penulis
di saat susah maupun senang, yang selalu setia mendengarkan curahan hati
penulis ketika penulis mempunyai masalah, yang selalu memberikan
perhatian lebih kepada penulis dan yang selalu mengisi hari-hari penulis
dengan senyum dan tawa. I miss you
11. Para rekan kerja di Al-Azhar Peduli Ummat. Semoga kita dapat bekerja
dengan solid sesuai visi dan misi lembaga sosial ini.
Akhirnya hanya kepada Allah jualah, penulis mengharap ridha dan rasa
syukur penulis yang tak terhingga. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat,
khususnya bagi penulis. Amin
Jakarta, 08 Desember 2011
Ttd,
Dikalustian Rizkiputra
Penulis
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI1
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan
b be
t te
ts te dan es
j je
h h dengan garis bawah
kh ka dan ha
d de
dz de dan zet
r er
z zet
s es
sy es dan ye
s es dengan garis bawah
d de dengan garis bawah
t te dengan garis bawah
z zet dengan garis bawah
„ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan
1 Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik -Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi)- yang di susun oleh Hamid Nasuhi, dkk. Terbitan CeQDA (Center
for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008/2009, hal.
492 – 495.
vii
gh ge dan ha
f ef
q ki
k ka
l el
m em
n en
w we
h ha
„ apostrof
y ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebai beeriku:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
______ a fathah
______ i kasrah
______ u dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ____ي
و__ __ au a dan u
viii
Vokal Panjang (Madd)
Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا
î i dengan topi di atas ــي
û u dengan topi di atas ـــو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh
huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan
berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”,
demikian seterusnya.
Ta Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf
/t/ (lihat contoh 3).
ix
Contoh:
no Kata Arab Alih aksara
1 tarîqah
2 al-jâmî ah al-islâmiyyah
3 wahdat al-wujûd
Huruf Kapital
Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih
aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain
yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan
lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-
Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI………………………………………………. vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. x
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………...1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah…………………………….... 9
C. Tinjauan Pustaka……………………………………………. 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………...... 11
E. Metode Penelitian…………………………………………... 11
F. Sistematika Penulisan………………………………………. 13
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG LISAN............................. 15
A. Pengertian Lisan ……………………………………………. 15
B. Manfaat Penciptaan Lisan ………………………………….. 22
C. Pendapat Ulama Mengenai Lisan …………………………... 23
BAB III MACAM DAN DAMPAK BAHAYA LISAN DALAM AL-
QUR’AN……………………………………….……….......….. 26
A. Menggunjing………………………………...........……….... 26
B. Menuduh…………………..................................................... 34
xi
C. Mengolok-olok………………………...……………………. 39
D. Dusta atau Bohong.................................................................. 51
E. Sumpah Palsu…………………...…………………………... 58
BAB IV MENCEGAH BAHAYA LISAN …….....……………............. 63
A. Metode Pencegahan……………...……...………………....... 63
B. Manfaat Menjaga Lisan ……………….................................. 77
BAB V PENUTUP……………………………………………………… 80
A. Kesimpulan………………………………………………….. 80
B. Saran………………………………………………………… 80
DAFTAR PUSTAKA……………………..…………………………………… 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt. menciptakan manusia dengan berbagai keistimewaan
dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan lain-Nya. Salah satu
keistimewaan yang diberikan Allah Swt. kepada manusia adalah kemampuan
berbicara dan memahami berbagai bahasa. Allah Swt. berfirman:
“Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut
mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan
kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah kami ciptakan”. (QS. al-Isrâ' : 70)
Dalam ayat lain, difirmankan:
“(Tuhan) yang maha pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia
menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara”. (QS. al-Rahmân/55: 1-4)
Para mufassir, seperti al-Suddi, al-Hasan, Abu 'Aliyah, dan Ibnu Zayd
berpendapat mengenai firman Allah Swt. yang berbunyi ’allamah al-bayân,
adalah bahwa Allah Swt. mengajarkan manusia berbicara, menulis, memahami,
dan mengerti apa yang diucapkannya dan yang diucapkan orang lain kepadanya.1
1 Ahsin Sakho Muhammad, dkk., ed., Tematis Ensiklopedi Al-Quran, jilid. 3. Terjemah
al-Mausu’ah al-Qur’âniyah (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, t.t.), h. 38-39.
1
2
Lisan manusia bukanlah lisan seperti burung beo yang tidak memahami
apa yang diucapkannya. Lisan bagaikan pedang bermata dua. Lisan bisa
dipergunakan untuk bertakwa kepada Allah, menyebarkan kebaikan kepada
sesama dan juga bisa dijadikan alat untuk mencegah kemungkaran di tengah umat.
Selain itu, lisan ternyata bisa sangat berbahaya apabila dipergunakan untuk
mengikuti kehendak setan, memecah belah kaum muslimin dan perbuatan lainnya
yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.2
Lisan atau lidah memang tak bertulang dan ini merupakan karunia yang
amat vital dan sangat penting pada manusia. Karena dengan lisan seseorang dapat
berkomunikasi antar sesama dengan baik, dengan lisan seseorang dapat
berkomunikasi dengan hewan, alam dan bahkan dengan tuhannya. Namun, masih
banyak orang yang kurang menyadari akan bahaya lisan ini, sehingga banyak
permasalahan-permasalahan yang terjadi disebabkan oleh lisan itu sendiri, seperti
kasus pembakaran rumah, pembakaran kios, kerusuhan, tawuran massal, baku
hantam antar warga masyarakat, sampai keributanpun terjadi di kalangan pejabat.
Hal ini terjadi karena lisan yang tak di jaga dengan baik sehingga menyebabkan
kesenjangan sosial dalam bermasyarakat.3
Lisan seringkali membuat seseorang dicampakkan ke dalam api neraka,
karena lisan sangat memberikan kontribusi bagi akhir amalan seorang hamba.
Seorang manusia akan terjerumus ke dalam jurang neraka yang jaraknya antara
Timur sampai Barat ketika ia tidak bisa menjaga lisannya. Walaupun mungkin
amalan ibadah ritualnya sangat baik, tapi tatkala lisannya kurang mendapat tempat
2 Sa‟id bin „Ali bin Wahf al-Qahthani, Bahaya Lidah; Penyakit Lisan dan Terapinya.
Penerjemah Eko Haryono, Aris Munandar (Jogjakarta: Media Hidayah, 2003), cet. 10, h. 5. 3 http://endahngawi.blogspot.com/2010/08/urgensi-akhlak-lisan.html. Diakses pada
tangggal 27 Januari 2011
3
yang cukup untuk dijaga, maka sudah barang tentu akibatnya akan merusak
ibadah4 yang lainnya. Sebagaimana Nabi Saw. bersabda di dalam hadisnya:
5
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa
dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih
jauh antara Timur dan Barat”. (HR. Mutafaq „alaih).
Di sisi lain, Nabi memberikan alternatif kepada ummatnya untuk tidak
terjerumus dalam bahayanya lisan, yaitu dengan diam. Karna diam merupakan
usaha yang paling minimal dari manusia tanpa menguras tenaga dan
mengorbankan materi, bahkan tanpa pemikiran mendalam.6 Nabi bersabda:
7
“Telah bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah. Bercerita
kepada kami Abu al-Ahwas dari Abi Hasin dari Abi Salih dari Abi Hurairah
berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: barang siapa beriman kepada Allah dan
hari akhir maka janganlah ia menyakiti tetangganya dan barang siapa beriman
4 Ibadah adalah penghambaan diri kepada Allah Swt. dengan mentaati segala perintah-
Nya dan menjauhi segala perintah-Nya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw.
“dan inilah hakekat Islam, karena Islam maknanya ialah penyerahan diri kepada Allah Swt.
semata-mata yang disertai dengan kepatuhan mutlak-Nya dengan penuh rasa rendah diri dan
cinta”. Ibadah berarti juga segala perkataan dan perbuatan, baik lahir maupun bathin yang dicintai
dan diridhoi Allah. Dan suatu ibadah hanya diterima Allah Swt. apabila diniati dengan ikhlash dan
semata-mata karena Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Lihat: Syekh Muhammad At-
Tamimi, Kitab Tauhid (Jakarta: QALAM, 1995), cet. I, h. 15. 5 Mahyuddin Abî Zakariâ Yahya ibn Syarf al-Nawawi, Riyâdhus Shalihin, bâb Tarjim al-
Ghibah wa al-„Amru Bihafidz. Juz II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994) h. 176. 6 Eneng Maria Ulfah, "Etika Menjaga Lisan Dalam al-Quran; Kajian Terhadap QS. An-
Nisâ ayat 114 dan QS. Al-Hujurat ayat 12" (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), no. 429, h. 15. 7 Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabûri, Sahîh Muslim, jilid I (Beirut:
dâr al-Fikri, t.t.), h. 68
4
kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memulyakan tamunya dan barang
siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau
diam” (HR. Muslim)
Salah satu bahaya lisan yang telah menyebar di kalangan masyarakat Islam
dan telah menjadi kebiasaan adalah menggunjing. Dalam setiap pertemuan,
perkumpulan atau yang lainnya, tanpa disadari selalu saja ada orang yang
membicarakan keburukan orang lain. Bahkan, orang yang menggunjing pada
umumnya memiliki hubungan kerabat dengan orang yang digunjingnya. Mereka
tampak menikmati membicarakan orang lain, mereka tampak asyik menggunjing
orang lain ketika ada perkumpulan arisan, pengajian, atau kegiatan yang lainnya.
Padahal tanpa disadari siksa pedih telah mengancam mereka di depan mata akibat
menggunjing orang lain. Allah Swt. berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka
(kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-
cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang”. (QS. Al-
Hujurât/49: 12)
Kebiasaan menggunjing sudah menjadi hal yang biasa dalam masyarakat
Islam saat ini, menggunjing tidak hanya merajalela pada setiap perkumpulan-
perkumpulan atau pengajian-pengajian saja. Bahkan, dengan kecanggihan
teknologi dewasa ini seolah-olah memaksa manusia untuk berbuat ghibah dalam
wujud apapun, baik itu melalui chatting lewat Yahoo Massenger, Facebook,
5
Twitter, atau lewat SMS sekalipun, semua tak lepas dari menggunjing, dan juga
tak ketinggalan tayangan televisi seperti Insert, Sensasi Artis, Kiss, dan berita-
berita gosip lainnya yang menjadi tontonan sehari-hari juga memberikan
informasi plus bumbu-bumbu penyedap agar berita menjadi sedap di dengar
dengan menggunjing ini.
Menurut KH. Said Agil Siradj (pengurus besar NU), beliau mengatakan
bahwa 70% acara infotainment adalah menggunjing, dan beliau juga mengatakan
hal tersebut berdasarkan musyawarah ulama NU Juli 2006 yang menyimpulkan
bahwa berita infotainment mengarah kepada menggunjing dan fitnah. Hal yang
sama juga dinyatakan oleh guru besar Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Prof. Dr. Din Syamsuddin (Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah), mengatakan bahwa berita yang tujuannya merusak orang lain
atau keluarga adalah bentuk dari menggunjing dan hukumnya haram. 8
Sebagai manusia yang beriman dan meyakini ajaran Islam sebagai
pedoman hidup, maka setiap manusia harus pandai-pandai menjaga lisan dari
bahayanya. Baik itu bahaya yang berhubungan dengan kehidupan sosial seperti
berakhlak dengan manusia ataupun bahaya yang berhubungan dengan persoalan
ukhrowi seperti melafazkan sesuatu yang bukan untuk Allah seperti misalnya
bersumpah bukan atas nama Allah, sumpah palsu maupun sebutan-sebutan
kesyirikan lainnya.9
Dari permasalahan di atas akan berdampak pada akhlak seseorang. karena
akhlak merupakan pondasi terhadap sikap baik-buruknya seseorang. akhlak
8 http://firmanazka.blogspot.com/2010/07/bahaya-lisan-terhadap-ghibah-hukum.html.
Diakses pada tanggal 27 Januari 2011 9 http://endahngawi.blogspot.com/2010/08/urgensi-akhlak-lisan.html. Diakses pada
tangggal 27 Januari 2011
6
merupakan bentuk plural dari al-khuluq yang artinya budi pekerti dan kata ini
biasa digunakan untuk mengistilahkan sebuah karakter dan tabiat dasar penciptaan
manusia.10
Dilihat dari segi bentuk dan macamnya, akhlak tersebut dapat dibagi
kepada dua bagian. Pertama, akhlak yang terpuji atau akhlak mahmudah seperti
berlaku jujur, pemaaf, sabar dan sebagainya. Kedua, akhlak yang tercela atau
akhlak madzmumah seperti pemarah, pembohong, mencuri, dan sebagainya.11
Dari contoh permasalahan di atas mengenai bahaya lisan, maka sudah
dipastikan semua sifat atau perbuatan yang berkaitan dengan bahaya lisan ini
termasuk kategori akhlak madzmumah.
Menurut Ibnu Taimiyah, akhlak berkaitan erat dengan iman karena iman
terdiri atas beberapa unsur berikut:12
1. Berkeyakinan bahwa Allah Swt. adalah sang pencipta satu-satunya,
pemberi rizki dan penguasa seluruh kerajaan.
2. Mengenal Allah dan meyakini bahwa hanya Allah Swt. yang patut di
sembah.
3. Cinta kepada Allah Swt. melebihi segala cinta terhadap semua
makhluk-Nya. Tidak ada cinta yang dirasakan seorang hamba, kecuali
didasarkan atas cintanya kepada Allah Swt..
10
Mahmud al-Mishri, Ensiklopedia Akhlak Muhammad saw. Penerjemah Abdul Amin,
dkk. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009), cet. 1, h. 4 11
Siti Hidayah, "Akhlak Dalam Perspektif Al-Quran (Studi Analisis QS. Al-A’râf/7: 199-
202)", (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif hidayatullah Jakarta, 2009), h. 5 12
Mahmud al-Mishri, Ensiklopedia Akhlak Muhammad saw. Penerjemah Abdul Amin,
dkk. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009), cet. 1, h. 6
7
4. Cinta hamba terhadap Tuhannya akan mengantarkannya pada tujuan
yang satu, yaitu demi mencapai ridha Allah Swt., baik terhadap hal-hal
kecil maupun hal-hal besar dalam kehidupan sehari-hari.
5. Arahan ini mengalahkan egoisme pribadi, nafsu keji dalam diri, dan
segala tujuan semu dunia. Kekuatan dasar ini yang memudahkan
seseorang untuk melahirkan perspektif objektif dan langsung atas
pandangan terhadap esensi segala sesuatu. Ini merupakan pondasi yang
utama dalam tataran akhlak.
6. Ketika telah berhasil tercipta suatu pandangan objektif dan langsung
akan esensi sesuatu maka perilaku dan perbuatan seseorang telah
menjadi bagian dari akhlak.
7. Jika perbuatan seseorang telah menjadi bagian dari akhlak, hal itu
merupakan pertanda bahwa seseorang telah melalui jalan-jalan yang
harus di tempuh menuju kesempurnaan manusia.
Dalam realita kehidupan sekarang ini, ternyata masih banyak sekali orang
yang tidak tahu tentang bahaya lisan dan tidak memperhatikan terhadap masalah
kecil ini. Bahkan masih banyak orang-orang yang tidak menyadari bahwa ia
sesungguhnya telah menggunakan lisannya dengan tidak baik di dalam setiap
pembicaraan sehingga tanpa disadari akan mengakibatkan bahaya bagi dirinya
sendiri.
Al-Quran sebagai hudâ al-linnâs sudah selayaknya menjadi referensi
utama dalam hal apapun. Ketika al-Quran dihubungkan dengan permasalahan-
permasalahan yang ada dalam segala aspek kehidupan manusia di dunia ini, maka
pada saat itulah al-Quran berada pada posisi sebagai bayyinât min al-Hudâ yang
8
menjelaskan tentang petunjuk tersebut. Namun, penampilan al-Quran yang
bersifat global membuat setiap permasalahan/tema yang dikandungnya tidak dapat
dipahami secara menyeluruh tetapi diperlukan penafsiran berdasarkan metode-
metode yang disepakati oleh para ulama tafsir,13
mengingat al-Quran sebagai
pedoman hidup, jalan keselamatan, maka segala sesuatu yang terkandung dalam
al-Quran haruslah dipahami agar manusia tidak tersesat pada akhirnya nanti.
Para ulama tafsir dalam memahami kandungan al-Quran berdasarkan suatu
masalah/tema menggunakan metode tematik, yaitu menafsirkan al-Quran
berdasarkan masalah/tema yang dibicarakan dengan cara menghimpun seluruh
atau sebagian ayat dari berbagai surat yang berbicara tentang tema yang sama
untuk kemudian dikaitkan dengan ayat yang lainnya, sehingga pada akhirnya
dapat diambil suatu kesimpulan tentang masalah/tema tersebut menurut al-Quran.
Banyak tema yang diteliti dalam kerangka metode tafsir tematik,
diantaranya adalah mengenai bahaya lisan. Penulis beralasan, karena bahaya lisan
termasuk dalam suatu bentuk kerusakan dalam akhlak sehingga Rasulullah saw di
13
Dari segi metode, penafsiran al-Quran dari waktu ke waktu mengalami perkembangan.
Abdul Hayyi al-Farmawi membagi metode penafsiran al-Quran menjadi empat macam, yakni
tahlili, ijmali, muqarran dan maudu’î. Metode tahlili ialah metode penafsiran yang mufasirnya
berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan
runtutan ayat-ayat al-Quran sebagaimana tercantum dalam al-Quran. Metode ijmali ialah cara
menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan menyajikan makna-maknanya secara global, yakni dengan
menyajikan ayat demi ayat sesuai urutan mushaf dan bacaan serta menjelaskan maksud lafal-lafal
yang dikandungnya sehingga maksud dari setiap ayat menjadi lebih jelas. Metode Muqarran atau
perbandingan ialah metode penafsiran dengan membandingkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, atau
berbicara dengan redaksi yang berbeda tentang masalah yang sama atau diduga sama. Termasuk
dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat al-Quran dengan hadis Nabi
saw yang tampaknya bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsîr yang
berkaitan dengan ayat al-Quran. Metode maudu’î atau tematik ialah cara menafsirkan al-Quran
melalui penetapan topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari
berbagai surat yang berbicara tentang topik tersebut untuk dikaitkan dengan ayat yang lainnya, lalu
diambil kesimpulan secara menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Quran.
Lihat : Muhammad Chirzin, Permata Al-Quran (Yogyakarta: QIRTAS, 2003), h. 81- 82
9
utus bertujuan untuk menyempurnakan akhlak kepada ummatnya. Sebagaimana
dalam hadis Rasulullah saw. bersabda:
) 14
Maka dari penjelasan singkat di atas, itulah sebabnya penulis ingin
membahas tentang bahaya lisan dengan judul skripsi “BAHAYA LISAN DAN
PENCEGAHANNYA DALAM AL-QURAN” (Sebuah Kajian Tematik).
B. Perbatasan dan Perumusan Masalah
1. Perbatasan Masalah
Masalah lisan merupakan masalah yang cukup luas dan penting dalam
kehidupan bermasyarakat, dan di dalam al-Quran banyak sekali yang menjelaskan
mengenai bahaya lisan. Namun demikian, untuk menghindari pembahasan yang
berbelit-belit dan tidak mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi
ini, maka penulis perlu membatasi permasalahan skripsi ini yakni lebih
menitikberatkan pada permasalahan-permaslahan yang sering terjadi di kalangan
masyarakat, seperti menggunjing, menuduh, dusta, mengolok-olok, dan sumpah
palsu. Adapun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah ini adalah QS. al-
Hujurât/49 ayat 12, QS. al-Qalam/68 ayat 11, QS. al-Humazah/14 ayat 1, QS. al-
14
Abî Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn „Ali al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, bab
Bayâni Makârim al-Akhlâq, Juz. 10 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.) h. 191.
10
Nisâ/4 ayat 20, 112, QS. al-Ahzab/33 ayat 58, QS. al-Mumtahanah/60 ayat 12,
QS. al-Baqarah/2 ayat 14-15, QS. al-Mâ‟idah/5 ayat 58, QS. al-Nisâ/4 ayat 140,
QS. al-An‟âm/6 ayat 10, QS. at-Taubah/9 ayat 79, QS. Luqman/31 ayat 6, QS, al-
Hujurât/49 ayat 11, QS. al-Nisâ/4 ayat 50, QS. al-An‟âm/6 ayat 93, QS. al-A‟râf/7
ayat 36, 40, QS. at-Taubah/9 ayat 77, QS. al-Nahl/16 ayat 62, QS. al-Ankabut/29
ayat 68, QS. ali „Imrân/3 ayat 77, QS. at-Taubah/9 ayat 42, 107.
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan tersebut, kemudian penulis merumuskan permasalahan
utama dalam skripsi ini dirumuskan dengan, Bagaimana pandangan al-Quran
terhadap bahaya lisan dan pencegahannya?
C. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini
dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah dilakukan
atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan menjadi acuan
penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama, sehingga diharapkan
kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah ada.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada satu karya
yang membahas permasalahan ini, yaitu : Skripsi oleh Eneng Maria Ulfah dengan
judul “Etika Menjaga Lisan Dalam Al-Quran; Kajian Terhadap QS. An-Nisâ ayat
114 dan QS. Al-Hujurat ayat 12”, tahun 2005, no. 429.
Dari tinjauan di atas, dapat penulis katakan bahwa pembahasan skripsi ini
berbeda dengan karya di atas, karna penulis membahas bahaya lisan serta
11
pencegahannya berdasarkan ayat-ayat al-Quran secara umum dan dikumpulkan
secara tematik dan kemudian diambil kesimpulannya berdasarkan ayat-ayat
tersebut.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bahaya lisan yang dikabarkan dalam al-Quran.
2. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai metode mencegah bahaya
lisan.
3. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar
kesarjanaan Strata Satu (S-1) Sarjana Theologi Islam (S. Th. I) pada
Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan penambahan informasi mengenai bahaya lisan dengan harapan
dapat menjadi bahan kajian keislaman, khususnya di bidang tafsir. Sekaligus
penulis dapat memberikan sumbangsih dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam.
E. Metodologi Penelitian
Metode penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode Library
Research (penelitian kepustakaan), yaitu suatu metode dengan mengadakan studi
kepustakaan terhadap buku-buku/kitab-kitab, kamus, majalah, koran, artikel dan
sebagainya yang ada hubungan dengan masalah yang akan dibahas.
12
Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber
utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu al-Quran al-Karim.
Sedangkan data sekunder adalah data pendukung berupa buku-buku, kitab-kitab
tafsir, artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan
ini.
Teknik pembahasan dalam skripsi ini, adalah tematik yaitu salah satu
metode penafsiran dalam al-Quran yang berusaha menjelaskan ayat-ayat al-Quran
dengan mengacu pada satu pokok bahasan tertentu sehingga dapat menghasilkan
pemahaman yang lebih utuh dan lebih sistematis. Ada enam langkah yang
dilakukan penulis dalam menerapkan metode tematik ini, yaitu:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (tema/topik).
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan kronologisnya disertai dengan
asbâb an-Nuzûl
4. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
5. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan
pokok pembahasan
6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan cara
menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama
sehingga kesemuanya bertemu dalam satu analisa tanpa ada perbedaan.
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku
“Pedoman Akademik –Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi)- yang disusun oleh Hamid Nasuhi, dkk. Terbitan CeQDA (Center for
13
Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun
2008 – 2009
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa sub-
sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta
mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang
masalah, batasan dan rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab ini
berusaha memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada
bab-bab selanjutnya.
Bab kedua membahas tentang gambaran umum tentang lisan yang meliputi
: pengertian lisan, hikmah penciptaan lisan, dan pendapat ulama tentang lisan.
Bab ini berusaha menjelaskan tentang lisan secara umum baik ditinjau dari segi
kebahasaan, istilah maupun kedokteran. Selain itu juga, bab ini berusaha
menjelaskan hikmahnya dan pendapat dari para ulama tentang lisan tersebut.
Output yang diharapkan pada bab ini adalah pembaca dapat memahami pengertian
lisan serta hikmahnya secara baik dan benar.
Bab ketiga membahas tentang ayat-ayat yang berkaitan tentang bahaya
lisan yang meliputi : ayat-ayat tentang menggunjing, ayat-ayat tentang menuduh,
ayat-ayat tentang dusta, ayat-ayat tentang mengolok-olok, dan ayat-ayat tentang
sumpah palsu. Bab ini berusaha menjelaskan pokok pembahasan dengan
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan bahaya lisan berdasarkan metode
14
tematik. Adapun output yang diharapkan adalah pembaca dapat memahami
bahaya lisan dengan berbagai bentuk dan dampaknya berdasarkan dalil yang ada
sehingga dapat memberikan dorongan kepada pembaca untuk mencegahnya.
Bab empat membahas tentang mencegah bahaya lisan yang meliputi :
mencegah bahaya lisan dalam al-Quran, metode pencegahan bahaya lisan, dan
manfaat menjaga bahaya lisan. Bab ini berusaha menjelaskan tentang cara
pencegahan berdasarkan al-Quran dan manfaatnya sehingga para pembaca dapat
memahami dengan baik dan mempraktekkannya dengan benar.
Bab lima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang
didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada
bab-bab sebelumnya, dan juga memuat saran-saran yang diperlukan. Bab ini
berusaha menjawab pertanyaan yang dibuat pada perumusan masalah sehingga
para pembaca dapat mengetahui jawaban dari masalah tersebut. Selain itu juga,
bab ini memberikan saran kepada para pembaca agar mereka mempunyai motivasi
untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembahasan ini.
15
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG LISAN
A. Pengertian Lisan
1. Lisan Menurut Bahasa
Lisan “لــسان” berasal dari akar kata yang terdiri atas tiga huruf; lam - sin –
nun yang dihubungkan menjadi “لــسـن” dan mempunyai makna dasar yaitu
panjang yang agak lembut. Dalam lisân al-‘Arabi, kata lisan “لــسان” diartikan
“ jârihat al-Kalâm, yaitu anggota badan yang bisa mengeluarkan ”جـارحة الكــلام
perkataan. Sedangkan bentuk jamak dari lisan adalah alsun “ألســن” dan alsinah
Samin Halabi, penulis buku kosakata al-Quran, ‘Umdat al-Huffaz fi .”ألســنه“
Tafsîr Asyraf al-Alfaz, membedakan dua bentuk jamak tersebut. Jika kata lisan
diposisikan sebagai muzakkar maka bentuk jamaknya adalah “ألســنه” alsinah,
tetapi jika lisan diposisikan sebagai mu’annats maka bentuk jamaknya adalah
alsun. Para ahli bahasa memaknai lisan sebagai salah satu organ tubuh ”ألســن“
yang terdapat di bagian mulut yang menghasilkan kekuatan berbicara yang dapat
dimengerti oleh sesama manusia atau disebut juga “بـتحريــك الــفـصاحة” bi tahrîk al-
fasâhat, yaitu ketajaman lisan oleh pengguna bahasa Arab disebut “اللســن” al-
lasan.1
1 Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arabi, juz 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi), h. 275-
276. Lihat juga: Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. II (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), cet. I, h. 520
15
16
Kata lisan dalam bentuk tunggal dan jamak disebut dalam al-Quran
sebanyak 25 kali. Menurut para pakar penyusun Mu’jam Alfâzh Al-Qur’ân al-
Karîm, kata lisan sendiri mengandung lima makna, yaitu:2
1.1. Lisan sebagai salah satu pancaindera, seperti dalam QS. Al-Balad [90] ayat
9, yang berbunyi:
“Lidah dan dua buah bibir”.
Kata lisan yang dimaksud ayat di atas adalah salah satu
pancaindera yang mendatangkan banyak manfaat seperti alat perasa untuk
mencicipi makanan, mengatur suara, menggerakkan makanan di dalam
mulut agar mudah dikunyah dan ditelan.
1.2. Lisan sebagai alat berbicara, seperti dalam QS. An-Nahl [16] ayat 116,
yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-
adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.
Kata lisan/alsinatikum yang dimaksud ayat di atas adalah salah
satu fungsi lisan yang bisa dijadikan untuk berbicara baik atau bohong.
Ayat ini menjelaskan tentang peringatan Allah Swt. kepada umat Nabi
2 Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. II (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), cet. I, h. 520-521
17
Muhammad Saw. agar tidak membuat kebohongan dengan lisannya
tentang hukum halal dan haram dengan tidak berlandaskan pada pikiran
sehat dan wahyu agama.
1.3. Lisan sebagai bahasa atau ucapan yang berfungsi mentransformasikan
pikiran seorang pembicara atau penulis kepada pendengar atau pembaca.
Lisan yang bermakna ucapan ditemukan dalam ungkapan Nabi Musa yang
menyatakan bahwa Harun, saudaranya yang mampu berbicara secara fasih,
seperti dalam QS. Al-Qasas [28] ayat 34, yang berbunyi:
“Dan saudaraku Harun Dia lebih fasih lidahnya daripadaku,3 Maka
utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan
(perkataan)ku. Sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku".
1.4. Lisan sebagai citra atau kesan baik. Kata lisan mencerminkan demikian
jika disandingkan setelahnya dengan kata sidqin, seperti dalam QS.
Maryam [19] ayat 50 dan asy-Syu‟ara [26] ayat 84, yang berbunyi :
“Dan kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami
dan kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi”.
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang
datang) kemudian”.
3 Nabi Musa a.s. selain merasa takut kepada Fir'aun juga merasa dirinya kurang lancar
berbicara menghadapi Fir'aun. Maka dimohonkannya agar Allah mengutus Harun a.s. bersamanya,
yang lebih fasih lidahnya. Lihat al-Quran digital versi 2.1
18
Pada ayat yang pertama dinyatakan Nabi Ibrahim dan
keturunannya diberikan kesan dan pujian baik dari orang lain karena
ketegarannya memperjuangkan ajaran tauhid. Sedangkan pada ayat kedua,
diungkapkan doa Nabi Ibrahim agar ia dijadikan kenangan yang baik bagi
orang setelahnya.
1.5. Lisan sebagai do‟a, seperti dalam QS. Al-Mâidah [5] ayat 78, yang
berbunyi :
“Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan
Daud dan Isa putera Maryam. yang demikian itu, disebabkan mereka
durhaka dan selalu melampaui batas”.
2. Lisan Menurut Istilah
Lisan adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut yang dapat
membantu pencernaan makanan dengan mengunyah dan menelan. Lisan berada di
dalam mulut manusia, dan bertetangga dengan gigi dan gusi. Lisan hanyalah
segumpal otot lentur yang melintang dan panjang sehingga dapat digerakkan atau
dijulurkan. Normalnya, lisan memiliki ukuran 5-6 cm. Lisan juga dikenal sebagai
indera pengecap yang banyak memiliki struktur tunas pengecap4. Lisan juga turut
membantu dalam tindakan bicara.5
4 Tunas pengecap adalah bagian pengecap yang ada di pinggir papila, terdiri dari dua sel
yaitu sel penyokong dan sel pengecap. Sel pengecap berfungsi sebagai reseptor. Sedangkan sel
penyokong berfungsi untuk menopang. Terdapat lebih dari 10.000 tunas pengecap pada lidah
manusia usianya hanya seminggu. Tunas itu akan mati dan segera digantikan oleh sel-sel yang
baru. Sel-sel reseptor (tunas pengecap) terdapat pada tonjolan-tonjolan kecil pada permukaan lidah
(papila). Sel-sel inilah yang bisa membedakan rasa manis asam, pahit, dan asin. Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah dan lihat juga http://www.anneahira.com/anatomi-lidah.htm. 5 http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. di akses pada tanggal 06 Maret 2011
19
Lisan merupakan nikmat Allah Swt. yang sangat besar dan luar biasa bagi
manusia. Lisan juga merupakan karunia besar yang harus disyukuri oleh manusia,
karena dengan lisan manusia dapat merasakan berbagai citra rasa masakan,
dengan lisan manusia dapat berkata-kata dan berbicara, dengan lisan manusia
menjadi makhluk yang paling mulia dan istimewa dibandingkan dengan makhluk-
makhluk lain yang telah diciptakan-Nya.
Perkataan yang diucapkan lisan tidak akan keluar dari empat hal berikut
ini. Pertama, ucapan yang seluruhnya mengandung mudarat. Kedua, ucapan yang
seluruhnya mengandung manfaat. Ketiga, ucapan yang mengandung manfaat dan
mudarat. Keempat, ucapan yang tidak mengandung manfaat ataupun mudarat.6
Adapun ucapan yang seluruhnya mengandung mudarat, maka sudah
seharusnya seseorang menjaga diri dari bahaya lisan, demikian pula terhadap
ucapan yang aspek mudarat-nya lebih banyak daripada aspek manfaatnya.
Sedangkan ucapan yang tidak mengandung manfaat dan tidak mengandung
mudarat hanya menghasilkan kesia-siaan waktu saja.
Tiga dari empat macam perkataan telah nyata kerugiannya, sehingga
tinggallah yang ke empat yang sudah jelas manfaatnya, yaitu perkataan yang
aspek manfaatnya lebih besar dari aspek mudarat-nya. Inilah jenis perkataan yang
harus dibiasakan dan hendaknya seseorang menyibukkan diri dengannya, karena
di dalamnya terdapat tazkiah an-Nafs (pensucian jiwa).7
6 Abdullah bin Jaarullah, Awas! Bahaya Lisan. Penerjemah Abu Haidar, Abu Fahmi
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. VI, h. 8. 7 Abdullah bin Jaarullah, Awas! Bahaya Lisan. Penerjemah Abu Haidar, Abu Fahmi
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), cet. VI, h. 8.
20
3. Lisan Menurut Ilmu Kedokteran
Dalam ilmu kedokteran, lisan merupakan organ tubuh yang tersusun atas
otot-otot yang berada di dalam rongga mulut.8 Lisan terbagi menjadi dua bagian,
yaitu akar lisan dan tubuh lisan. Akar lisan terdiri atas tonsil lisan (amandel) dan
jendela buntu yang terletak pada tulang lisan, rahang bawah, dan katup jakun oleh
otot-otot. Sedangkan, tubuh lisan terdiri atas celah lisan, punggung lisan, dan
ujung lisan yang terletak pada bagian bawah lisan yang dihubungkan dengan dasar
mulut oleh urat di bawah lisan.9 Bila lisan digulung ke belakang, maka tampaklah
permukaan bawahnya yang disebut frenulum linguae, sebuah struktur urat halus
yang mengaitkan bagian belakang lisan pada dasar mulut. Bila dijulurkan, maka
ujung lisan meruncing, dan bila terletak tenang di dasar mulut, maka ujung lisan
berbentuk bulat.10
Lisan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan indera khusus
pengecap. Lisan sebagian besar terdiri dari dua kelompok otot. Otot intrinsik lisan
melakukan semua gerakan halus, sementara otot extrinsik mengaitkan lisan pada
bagian-bagian sekitarnya serta melaksanakan gerakan-gerakan-kasar yang sangat
penting pada saat mengunyah dan menelan. Lisan mengaduk-aduk makanan,
menekannya pada langit-langit dan gigi. dan akhirnya mendorongnya masuk
farinx.11
8 http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah. di akses pada tanggal 06 Maret 2011
9 http://www.anneahira.com/anatomi-lidah.htm. Di akses pada tanggal 06 Maret 2011.
10 Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerjemah Sri Yuliani
Handoyo (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), cet. 28, h.310. 11
Farinx adalah pangkal tenggorokan atau kerongkongan. Lihat Pius Abdillah, Kamus
Ilmiah Populer Lengkap (Surabaya: Arkola, t.t.), h. 145, dan lihat juga Evelyn C. Pearce, Anatomi
dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerjemah Sri Yuliani Handoyo (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2006), cet. 28, h.310.
21
Lisan memiliki permukaan kasar yang berwarna merah dan berbintik-
bintik kecil yang tumbuh pada lisan. Bintik-bintik ini disebut dengan papilla yang
berfungsi sebagai pengecap rasa. Terdapat tiga jenis papila yaitu:12
1. Papila Filiformis (fili=benang), adalah yang terbanyak dan menyebar pada
seluruh permukaan lisan yang berbentuk seperti benang halus dan terletak
pada 2/3 bagian lisan. Organ-ujung untuk pengecapan adalah puting-puting
pengecap yang sangat banyak terdapat dalam dinding Papila Sirkumvalata
dan Papila Fungiformis.
2. Papila Sirkumvalata atau Circum Valata (sirkum/circum=bulat), adalah
jenis papilla yang terbesar dan masing-masing dikelilingi semacam
lekukan seperti parit yang tersusun berjejer membentuk seperti huruf “V”
di belakang lisan.
3. Papila Fungiformis (fungi=jamur), berbentuk seperti jamur dan terletak
pada bagian sisi lidah dan ujung lisan.
Gambar 1. Struktur Lisan
Sumber dari http://oyariaflorentina.blogspot.com
12
Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerjemah Sri Yuliani
Handoyo (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006), cet. 28, h.311.
22
B. Manfaat Penciptaan Lisan
Dengan lisan, manusia bisa merasakan manis, pahit, pedas, asam, asin,
hambar ataupun tawar. Maha besar Allah Swt. yang menciptakan hanya dalam
satu batang lisan yang tak bertulang, manusia bisa merasakan begitu banyak rasa.
Dari ujung lisan, tengah lisan, tepi lisan sampai dengan pangkal lisan. Masing-
masing mampu mendeteksi rasa yang berbeda-beda dalam satu lisan yang sama.
Gambar 2. Pengecapan Rasa
Sumber dari Pustekkom Depdiknas
Di dalam lisan juga terdapat ribuan zat yang sangat membantu dalam
pencernaan dan melemahkan zat-zat yang berbahaya bagi lambung. Lisan juga
mempunyai fungsi sebagai pendeteksi masuknya racun ataupun virus ke dalam
tubuh, sehingga dengan lisan juga dokter pun akan sangat terbantu dalam
mendiagnosa pasiennya yang terserang penyakit.13
Selain sebagai alat deteksi rasa dan penyakit, lisan juga bermanfat untuk
membantu manusia dalam mengeluarkan kata-kata. Seorang manusia tidak dapat
bersuara atau berbicara dengan jelas apabila tidak dilengkapi dengan lisan. Lisan
mampu membentuk suara seseorang jadi kencang atau pelan. Lisan juga mampu
mempengaruhi merdu tidaknya suara seseorang. Maka tidak heran jika banyak
13
William F. Ganong, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 20. Penerjemah Djauhari
Widjayakusumah, ed. (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003), h.184
23
penyanyi yang rela mengasuransikan lisannya hingga jutaan dollar, karena dengan
lisannya juga ia bisa mendapatkan jutaan dollar. Selain itu, seorang penceramah
juga mampu mendapatkan ratusan juta rupiah dalam sekali tampil. Semuanya itu
karena kepandaian seseorang dalam berceramah.
Lisan juga dapat bermanfaat sebagai perantara untuk menyampaikan
perasaan hati seseorang. Sanjungan atau celaan, rasa cinta, rasa kesal, rasa marah,
rasa malu, dan lain-lain. Semuanya dapat diekspresikan melalui lisan. Oleh karena
itu sudah sepatutnya seseorang mewaspadai lisannya sendiri dari bahaya lisan.
Dengan demikian, tanpa disadari lisan manusia yang diciptakan Allah SWT
mempunyai manfaat yang sungguh luar biasa. Oleh sebab itu sangatlah wajar
apabila manusia diperingatkan untuk berhati-hati terhadap lisannya.
C. Pendapat Ulama Tentang Lisan
„Ali bin Abi Tâlib14
berkata :
15 “Lisan itu sebagai ukuran yang tidak dimengerti oleh kebodohan dan
dikuatkan oleh akal pikiran”
14
Beliau adalah khalifah yang terakhir (keempat) dari khulafâ’ ar-Râsyidîn. Ayah beliau
bernama Abu Tâlib bin Abdul Mutâlib bin Hasyim bin Abd. Manaf, adalah kakak kandung dari
ayah Nabi SAW, yaitu Abdullah bin Abdul Mutâlib. Ibunya bernama Fatimah binti As‟ad bin
Hasyim bin Abd. Manaf. Ali merupakan orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-
anak atau sepupu Nabi SAW yang kemudian menjadi menantunya. Ali ibn Abi Tâlib di bunuh
oleh Ibnu Muljam, ia menusuk Ali dengan pedangnya ketika Ali akan menunaikan shalat shubuh
di Masjid Kufah. Ali mengembuskan nafas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan sebagai
khalifah selama kurang lebih empat tahun. Lihat Kafrawi Ridwan, dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol.
I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), cet. III, h. 111 15
Abul Hasan Ali Al Mawardi, Mutiara Akhlak Al-Karimah, terj: Adâb an-Nafs (Jakarta:
Pustaka Amani, 1993), h. 134.
24
Berkata seorang fushaha’ :
16
“Ikatlah lisan-mu kecuali karena kebenaran yang akan kamu jelaskan atau
karena kebatilan yang akan kamu patahkan, atau karena hikmah yang akan kamu
sebar-luaskan atau karena kenikmatan yang akan kamu sebut-sebutkan”.
Abdullah ibnu Mas‟ud17
berkata,
18
“Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia. Tidak ada sesuatu yang lebih
membutuhkan penjara dari pada lisan" .
Syair dari Sayyidina Ibnu Abi Muthi,
, .,
“Lisan seseorang ibarat singa dalam kandang, jika dilepas pasti menerkam.
Jagalah mulut dari ucapan kotor dan kendalikanlah, niscaya kendali itu akan
menjadi dinding dari segala perkataan”19
Muhammad bin Wasi‟ berkata bahwa menjaga lisan itu lebih berat
tanggungannya daripada menjaga dinar dan dirham.20
Menurut KH. Mawardi Labay El-Sulthani di dalam bukunya yang berjudul
“Lidah Tidak Bertulang”, ia mengatakan bahwa lisan ibarat mata pedang tajam
16
Abul Hasan Ali Al Mawardi, Mutiara Akhlak Al Karimah, terj: Adâb an-Nafs (Jakarta:
Pustaka Amani, 1993), h. 136. 17
Nama lengkapnya adalah Abdullah ibnu Mas‟ud ibnu Gafil ibnu Hubaib. Beliau
dilahirkan di Mekkah dan termasuk kelompok pertama yang masuk Islam. Abdullah Ibnu Mas‟ud
merupakan seorang sahabat Rasulullah dan juga seorang pelayan Rasulullah yang setia dan
dipercaya dalam memegang rahasia dan beliau selalu menemani Rasulullah dalam setiap
perjalanannya. Oleh sebab itu ia banyak sekali mengetahui hal-ihwal Rasulullah SAW. Lihat
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), 371. 18
Al-Ghazali, Mutiara Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn. Penerjemah Irwan Kurniawan (Bandung:
Mizan, 1997), cet. I, h.235. 19
Imam al-Ghazali, Wasiat Imam al-Ghazali; Minhajul Abidin (Jakarta: Darul Ulum
press, 1986), h. 140-142 20
Said Hawwa, Induk Pensucian diri. Penerjemah Syed Ahmad Semait, dkk. (Singapura:
Pustaka Nasional, t.t.), h. 1172
25
yang siap menghujam ke mana saja ia mau. Karena lisan, walaupun kecil tapi ia
mampu menjangkau segala sesuatu, baik itu yang haq maupun yang bathil, yang
taat maupun yang maksiat, bahkan lisan-pun bisa mengubah seseorang dari iman
ke kufur, dan sebaliknya.
Abu Bakar as-Siddiq r.a21
pernah meletakkan batu pada mulutnya untuk
mencegah dirinya dari berbicara dan kemudian ia menunjuk pada lisan-nya seraya
berkata, “inilah yang menjerumuskanku ke dalam kesulitan dan kebinasaan”.22
Al-Ghazali23
mengatakan anggota tubuh yang paling durhaka kepada
manusia adalah lisan. Sungguh lisan itu merupakan alat perangkap setan yang
paling jitu untuk menjerumuskan manusia.24
Demikianlah beberapa pendapat ulama mengenai lisan dan begitu banyak
yang harus diberikan perhatian untuk menjaga lisan dari bahayanya. Dengan
berkenalan terhadap semua bahaya lisan, maka seseorang dapat menahan diri dari
hal-hal yang dapat menjermuskan seseorang ke dalam neraka hanya karena lisan
yang tak terjaga.
21
Nama aslinya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah at-Tamimi. Beliau termasuk khalifah
pertama dari khulafâ’ ar-Râsyidîn dan juga sahabat Nabi Muhammad SAW yang terdekat dan
termasuk orang-orang yang pertama masuk islam (as-Sâbiqûn al-Awwalûn). Gelar Abu Bakar
diberikan Rasulullah SAW karena ia seorang yang paling cepat masuk Islam, sedangkan gelar as-
Siddiq yang berarti “amat membenarkan” adalah gelar yang diberikan kepadanya karena ia sering
kali membenarkan Rasulullah SAW dalam berbagai macam peristiwa, terutama pada peristiwa
Isra‟ Mi‟raj. Lihat Kafrawi Ridwan, dkk, ed. Ensiklopedi Islam, vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994), cet. III, h. 37. 22
Said Hawwa, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun-Nafs terpadu. Penerjemah Aunur
Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. (Jakarta: Robbani Press, 1999), cet.II, h. 469 23
Nama aslinya adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Imam Abu Hamid al-
Ghazali, yang terkenal dengan gelar Hujjatul Islam. Beliau lahir di Thus sebuah tempat di
Khurasan (Iran), pada tahun 450 H/1058 M. Kitab beliau yang sangat popular dan terbesar ialah
kitab Ihya Ulumuddin dan Minhajul ‘Abidin sebuah kitab tasawuf. Pada tanggal 14 Jumadil Akhir
505 H, beliau wafat setelah beliau berwudhu dengan sempurna, kemudian berbaring, dan
meluruskan kakinya, lalu menghadap ke kiblat. Lihat Mahyudin Ibrohim, Nasehat 125 Ulama
Besar (Jakarta: Darul Ulum, 1987), cet. I, h. 188-192 24
Imam al-Ghazali, Bahaya Lidah (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. II, h. 1
26
BAB III
MACAM DAN DAMPAK BAHAYA LISAN DALAM AL-QUR’AN
Lisan adalah suatu anugerah Allah Swt, kenikmatan dari Allah Swt. dan
termasuk pula ciptaannya yang halus dan penuh dengan keajaiban. Lisan itu
bentuknya kecil, tetapi sangat besar manfaatnya. Besar ketaatannya kepada Allah
dan besar pula dosanya kepada Allah.
Adapun bahaya lisan yang sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat
saat ini adalah menggunjing, menuduh, mengolok-olok, dusta, dan sumpah palsu.
Kelima hal tersebutlah yang melatarbelakangi permasalahan-permasalahan yang
terjadi saat ini. Selain itu juga, masih banyak orang-orang yang tidak mengetahui
dampak dari perbuatan kelima tersebut. Oleh sebab itu, pada bab ini penulis
berusaha menjelaskan kelima macam bahaya lisan tersebut dan dampaknya
berdasarkan al-Qur‟an. Berikut uraian kelima macam bahaya lisan tersebut :
A. Menggunjing
Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz
al-Qur‟an al-Karîm ditemukan beberapa bentuk kata yang mengandung makna
menggunjing, antara lain: “ ,dalam QS. al-Hujurât (49) ayat 12 ” ــــــــؽــزـــــت
بص“ “ dalam QS. al-Qalam (68) ayat 11, dan ” ـــــ ـــــــضح ” dalam QS. al-
Humazah (104) ayat 1.1
1 Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 643, 904.
26
27
1. Memakan Bangkai Dalam QS. al-Hujurat/49 Ayat 12
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-
sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan
janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha penerima taubat
lagi maha penyayang.”
Asbabun Nuzul
Ibnu al-Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang berkata,
“Orang banyak menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salmân
al-Fârisî. Suatu ketika, Salman memakan sesuatu kemudian tidur lalu
mengorok. Seseorang yang mengetahui hal tersebut langsung menyebarkan
perihal makan dan tidurnya Salmân al-Fârisî kepada orang banyak. Oleh
sebab itu turunlah ayat ini” 2
2. Menghambur Fitnah Dalam QS. al-Qalam/68 Ayat 11
“yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah”.
3. Neraka Wail Dalam QS. al-Humazah/104 Ayat 1
“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela”.
2 Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl
(al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 204.
28
Asbabun Nuzul
Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Ishâq yang berkata, “Setiap
kali Umayyah bin Khalaf melihat Rasulullah, maka ia selalu menghina dan
mencaci maki beliau. Maka Allah menurunkan ayat-ayat dalam surah ini
secara keseluruhan.3
Kata ( ةدــػ ) yaghtab terambil dari kata ( ثخــغ ) ghîbah yang berasal dari
kata ( ةــغ ) ghayb, yakni tidak hadir. Ghîbah adalah menyebut orang lain yang
tidak hadir di hadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh
yang bersangkutan. Jika keburukan tersebut tidak terdapat oleh yang
bersangkutan, maka itu termasuk buhtân/kebohongan besar.4
Dalam kitab lisân al-„Arabi, ghîbah berasal dari kata “الإؼــزـــبة” al-
Ightiyâb, “إؼـزـــبة” Ightâba, “إؼــزـــبثــب” Igtiyâbân, yang berarti menggunjing atau
menuturkan keburukan orang lain yang tidak disukai. Jika yang digunjingnya itu
memang benar adanya pada diri seseorang. Maka itulah ghîbah . Dan jika yang
digunjingnya itu tidak terdapat pada seseorang, maka itu disebut buhtân.5
Nabi Muhammad Saw telah menerangkan definisi ghîbah sebagai berikut :
:
6
3 Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl
(al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 242. 4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 13
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 256 5 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 10 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 152
6 Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisabûri, Sahih Muslim (Beirut: Dâr
Ihyâ‟I al-Turâts al-„Arabi, t.t.), vol.4, hadis 2589, h. 201.
29
“Diceritakan dari Yahya ibn Ayub dan Qutaibah dan Ibn Hajar berkata
diceritakan dari Ismâ‟îl dari al-„Alâ‟ dari bapaknya dari Abu Hurairah,
sesungguhnya Rasulullah bersabda: Tahukah kalian apakah ghîbah itu ? para
sahabat menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Lalu beliau
melanjutkan: yaitu kamu menceritakan saudaramu tentang hal yang tidak
disukainya. Kemudian seseorang bertanya: bagaimana pendapat tuan jika yang
aku ceritakan itu memang ada pada diri saudaraku yang aku ceritakan itu?. Beliau
menjawab: bila apa yang kamu ceritakan itu memang ada pada diri saudaramu,
maka kamu telah melakukan ghîbah terhadapnya. Dan apabila yang kamu
ceritakan itu tidak ada pada diri saudaramu, berarti kamu telah mengada-ada
tentangnya” (HR. Muslim)
Dalam hal ini perlu di garisbawahi pada ayat ضبـضن ثعـة ثعدــلا ػ " " (Dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain). Yang dimaksud dengan menceritakan,
menyebut-nyebut atau menggunjing dalam ayat ini adalah menggunjing secara
terang-terangan atau dengan isyarat, dan lain-lain yang bisa menyakiti hati
seseorang karena perkataannya. Dan bagi orang-orang yang menggunjing wajib
bertaubat kepada Allah Swt dan meminta maaf kepada orang yang
digunjingkannya.7
Dalam ayat ini Allah Swt. memberikan perumpamaan mengenai
menggunjing agar hambanya menjauhi dan berhati-hati terhadap perbuatan keji
ini, yaitu dengan perumpamaan " رـزب فنشـ ـة أحذم أ أمو ىح أخـأح" (Adakah
seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati?). Maka ada beberapa penekanan pada ayat ini untuk menggambarkan betapa
buruknya menggunjing.
Pertama, pada gaya pertanyaan yang dinamai istifhâm taqrîri yakni yang
bukan bertujuan meminta informasi, tetapi mengundang yang ditanya untuk
membenarkan. Kedua, ayat ini menjadikan apa yang pada hakikatnya sangat tidak
disenangi, dilukiskan sebagai hal yang disenangi. Ketiga, ayat ini
7 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, jilid 9 (Mesir: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 139
30
mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan
menegaskan “sukakah salah seorang di antara kamu”. Keempat, daging yang
dimakan bukan sekedar daging manusia melainkan daging saudara sendiri. Dan
kelima, ayat ini menyatakan bahwa daging saudara tersebut dalam keadaan mati
yang tidak dapat membela diri sendiri.8
Pada ayat 11 dalam QS. al-Qalam/68, Allah Swt menyebutkan
menggunjing dengan kata “ــبص -al ”اىض“ Hammâz. Kata ini terambil dari kata ”ــ
Hamzu yang artinya tekanan dan dorongan yang keras atau bisa juga diartikan
mendorong/menusuk dengan tangan atau tongkat. Dalam kitab lisân al-„Arabi,
kata “ــبص ”اىض“ Hammâz berasal dari kata ”ــ al-Hamzu, bisa diartikan dengan
beberapa arti, yaitu “اىؽــض” al-Ghaddu (yang halus), ”اىنـــسـش” al-Kasru
(bilangan), “يب عـ ـ صر“ ,al-„Aybu (aib, cacat, cela) “ال ع al-„Asaru (debu), dan “ال
بة“ ي غ .al-Ghîbah “ال9
Dari beberapa pengertian tentang kata “اىض” al-Hamzu, maka penulis
berkesimpulan bahwa “اىض” al-Hamzu adalah suatu tekanan dari lidah yang
mendorong orang lain untuk mengucapkan secara halus tentang aib orang lain.
Dari sinilah kata tersebut dipahami dalam arti menggunjing, mengumpat, atau
menyebut sisi negatif orang lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan/tidak
dihadapan orang yang bersangkutan, atau dengan kata lain yang menunjukkan
persamaan makna yaitu ghîbah.
Dari penafsiran di atas, penulis sepakat dengan penafsiran Quraish Shihab
bahwa kata ghîbah dan hammaz dapat diartikan juga sebagai menggunjing, karena
8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 13
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 257 9 Ibnu Mandzûr, Lisân al-„Arabi, juz 15 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h.
132. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,
vol. 14 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 384
31
kedua-duanya mempunyai kesamaan dalam perbuatan buruk yang disebabkan
oleh lidah. Dengan kata lain, sinonim dari ghîbah adalah hammâz.
Pada ayat 1 dalam QS. al-Humazah, Allah Swt. menyebutkan
menggunjing dengan kata “اىضح” humazah. Kata ini adalah bentuk jamak dari
kata “ــبص ض“ hammâz yang terambil dari kata ”ــ al-Hamzu yang artinya ”اى
tekanan dan dorongan yang keras atau bisa juga diartikan mendorong/menusuk
dengan tangan atau tongkat. Sebagaimana kalimat “ ضاد اىشــبطـــ ـ ” yang artinya
dorongan-dorongan/bisikan setan untuk melakukan kejahatan (QS. al-
Mu‟minûn/23:97).
Kata “ىضح” lumazah adalah bentuk jamak dari “بص lammâz yang ”ىــــ
diambil dari kata “ض al-Lamzu, yang digunakan untuk menggambarkan ”اىيــ
ejekan yang mengundang tawa atau bisa juga diartikan mengejek dengan
menggunakan isyarat mata atau tangan yang disertai dengan kata-kata yang
diucapkan baik secara berbisik-bisik, di hadapan maupun di belakang orang yang
diejek. Dengan kata lain “ض ”الإؼــزـــبة“ al-Lamzu bisa juga disebut dengan ”اىيــ
al-Ightiyâb 10
Sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya, bahwa sinonim dari
ghîbah adalah hammâz atau humazah. Namun pada ayat ini ada sedikit tambahan
kata, yaitu kata “ىضح” lumazah atau “ض ”اىضح“ al-Lamzu setelah kata ”اىيــ
humazah. Kata ini merupakan sebuah penekanan dari kata “اىضح” humazah atau
hammâz, yang bisa penulis katakan bahwa menggunjing tidak hanya dilakukan
10
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h.
326. Lihat juga: Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. I (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), cet. I, h. 278. Dan M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Quran, vol. 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 513
32
oleh lidah saja, tetapi dengan isyarat mata atau tangan atau meniru tingkah laku
seseorang dengan maksud merendahkannya, maka inipun sudah termasuk dalam
kategori menggunjing. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali, bahwa ghîbah
tidak terbatas hanya dengan kata-kata saja, tetapi bisa juga dengan tulisan,
perbuatan, sindiran atau isyarat yang menggambarkan atau memberikan
pengertian tentang keburukan atau kekurangan orang lain.11
Perlu digarisbawahi bahwa maksud dari kata (ــو) pada ayat 1 dalam QS.
al-Humazah adalah hanya untuk menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan
kenistaan. Dalam kitab lisân al-„Arabi kata ini diartikan sebagai “ ”ميــخ اىــعــزاة
kalimah al-„Adzab. Artinya kata ini bisa juga dijadikan ancaman bagi pengumpat
dan pencela sehingga sang pengancam dapat mendoakan seseorang agar
mendapatkan kecelakaan, kehinaan atau adzab dari Allah Swt. Sementara para
ulama berpendapat bahwa “wail” adalah salah satu nama di neraka dan bagi yang
melakukan pelanggaran tertentu akan mendapat siksa di neraka “wail”.12
Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut :
1. Ghîbah selain diartikan dengan ( ةــغ ) ghayb, ( الإؼــزـــبة ) al-Ightiyâb,
bisa juga diartikan dengan (ــبص hammâz, yang mempunyai (ــ
kesamaan dalam perbuatan buruk yang disebabkan oleh lidah. Begitu
juga dengan kata “ىضح” lumazah, yang merupakan sebuah penekanan
dari kata (ــبص .hammâz (ــ
11
Tim penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, jilid I (Bandung: Angkasa,
2008), cet. I, h. 405. Lihat juga: Mawardi Labay El-Sulthani, Lidah Tidak Bertulang (Jakarta: Al-
Mawardi Prima, 2002), cet. I, h. 120-122. 12
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 15 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h.
422. Lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,
vol. 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 511
33
2. Perumpamaan orang yang suka menggunjing itu seperti orang yang
makan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Karena
menggunjing itu berarti merobek-robek kehormatan seseorang yang
artinya sama saja dengan merobek-robek daging saudaranya yang telah
mati.
3. Menggunjing merupakan salah satu faktor terjadinya fitnah. Allah Swt.
menyatakan bahwa orang yang suka menggunjing itu lebih cenderung
kepada fitnah. Maka tidak heran jika banyak terjadi fitnah, perselisihan
sesama manusia yang disebabkan menggunjing.
4. Menggunjing adalah perbuatan buruk yang diancam dengan adzab.
Allah Swt. mengancam dan bahkan mendoakan kepada hambanya
yang suka menggunjing yang dilakukan oleh lidah dengan kata
“celakalah”.
5. Neraka “wail” yang apinya akan menjilat sampai ke hulu hati adalah
tempat bagi orang-orang yang suka menggunjing.
6. Selain lidah, menggunjing juga bisa dilakukan dengan perbuatan
lainnya, seperti menggunakan isyarat mata, tangan, dan perbuatan
lainnya yang bertujuan merendahkan orang lain
7. Salah satu cara untuk mendapat ampunan dari Allah adalah dengan
bertaubat dan setelah itu bertakwalah kepada-Nya. Karena Allah maha
penerima taubat dan maha penyayang bagi hamba-Nya yang mau
bertaubat.
34
B. Menuduh
Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz
al-Qur‟an al-Karîm dan dibantu juga dengan al-Quran digital versi 2.1. Penulis
menemukan dua bentuk kata buhtân dalam al-Quran, antara lain: kata “ ثـــزــب ”
dalam QS. al-Nûr (24) ayat 16 dan QS. al-Mumtahanah (60) ayat 12. Dan kata “
.dalam QS. al-Nisâ‟ (4) ayat 20, 112, dan 156 ”ثـــزــبب 13
. Namun, penulis tidak
semua mencantumkan ayat-ayat di atas, karena ada beberapa ayat yang tidak
mengandung dampak bahaya lisan.
1. Menanggung Dosa Yang Nyata QS. al-Nisâ‟/4 Ayat 20 dan 112, QS. al-
Ahzab/33 Ayat 58
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,14
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta
yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya
barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan
jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?”
(QS. al-Nisâ‟/4 Ayat 20)
“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa,
kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka
sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.”
(QS. al-Nisâ‟/4 Ayat 112)
13
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 177. 14
Maksudnya Ialah: menceraikan isteri yang tidak disenangi dan kawin dengan isteri
yang baru. Sekalipun ia menceraikan isteri yang lama itu bukan tujuan untuk kawin, Namun
meminta kembali pemberian-pemberian itu tidak dibolehkan. Lihat al-Quran digital versi 2.1
35
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan
mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya
mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. al-
Ahzab/33 Ayat 58)
2. Bai‟at Dalam QS. al-Mumtahanah/60 Ayat 12
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan
menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan
membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-
adakan antara tangan dan kaki mereka15
dan tidak akan mendurhakaimu
dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan
mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah
maha pengampun lagi maha penyayang.”
Kata buhtânân pada ayat-ayat di atas diterjemahkan dengan tuduhan dusta.
Kata ini terambil dari kata bahata, yabhutu, bahtan, dan buhtânan ( ثزب- جذ- ثذ -
(ثزبب . yang artinya mengherankan. Sama dengan kata dahsy (دــش) dan kata
hayrah (حشح) yang artinya tercengang dan heran. Kata buhtân (ثزب) bisa juga
diartikan bohong. Bohong disebut buhtân karena membuat pendengarnya merasa
15
Perbuatan yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka itu Maksudnya
ialah Mengadakan pengakuan-pengakuan palsu mengenai hubungan antara pria dan wanita seperti
tuduhan berzina, tuduhan bahwa anak si Fulan bukan anak suaminya dan sebagainya. Lihat al-
Quran digital versi 2.1
36
heran.16
Tuduhan atau ucapan yang tidak benar akan menyebabkan yang dituduh
menjadi heran.17
Menurut Abu Ishâq sebagaimana dikutip Ibnu Manzûr di dalam bukunya
lisân al-„Arabi mengatakan bahwa buhtân berarti al-bâtil alladzî yatahayyaru min
butlânih ( .”kebatilan yang mengherankan seseorang“ (اىجبطو اىز زحش ثطلا
Kata “اىجذ” al-buht dan “اىجـز” al-bahîtah diartikan sebagai “اىنــزة” dusta atau
bohong. Beliau menguatkan pendapat itu dengan hadis mengenai ghîbah yang
telah disebutkan di atas.18
Dalam QS. al-Nisa/4 ayat 112, kata (خطئخ) khathi‟ah biasa diartikan
kesalahan yang tidak disengaja, tetapi karena ayat di atas menggunakan kata
yaksib yang berarti melakukan, maka ini mengisyaratkan bahwa kesalahan yang
tidak disengaja itu dilakukan karena adanya kelalaian dan tanggung jawab
pelakunya. Namun, ada juga yang memahami kata khathi‟ah dalam arti dosa yang
tidak menyentuh orang lain, seperti meninggalkan kewajiban shalat atau puasa,
melakukan perbuatan yang haram, dan lain-lain. Sedangkan kata ”إصب” itsman
yang diambil dari kata “الإصـ” al-Itsm yang berarti “اىـزـت” al-Dzanbu, yaitu dosa
atau kesalahan. Namun kata ”إصب” itsman yang dimaksud pada ayat ini adalah dosa
yang berdampak terhadap orang lain, seperti membunuh atau mencuri.19
Dalam QS. al-Ahzab/33 ayat 58, Kata “امــزسـجا” iktasabû terambil dari
kata “ امزست-رنست-مسـجب-نست-مــسـت ” kasaba-yaksibu-kasbân-takassaba-iktasab,
16
Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. I (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), cet. I, h. 148 17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 367 18
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz I (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 514. 19
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz I (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 74.
Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 557.
37
yang berarti “ “ Talab al-Rizq (mencari rizki) atau bisa juga ”طيت اىشصق رصشؾ
Tasarrafa wajtahad (kelakuan, tingkah laku dan berusaha dengan ”اجزـذ
sungguh-sungguh). Namun yang dimaksud “امــزسـجا” iktasabû dalam ayat ini
adalah untuk menunjuk perbuatan manusia yang disengaja.20
Dan kata "احزيا" ihtamalû terambil dari kata “ -حلاب-حلا-حو-حـــو
hamala-yahmilu-hamlân-humlânân-mahmûlun, yang ”حه berarti “ؼـضـت”
ghadib (marah). Namun yang dimaksud "احزيا" ihtamalû pada ayat ini adalah
mereka yang membebani diri mereka sendiri dengan suatu beban yang mestinya
mereka tidak perlu memikulnya, akan tetapi karena mereka melakukan
penghinaan, tuduhan, dan lain-lain, maka terpaksalah mereka memikul beban
tersebut dengan susah payah.21
Dalam QS. al-Mumtahanah/60 ayat 12 terdapat kalimat “walâ ya‟tîna bi
buhtânin yaftarînahu baina aydîhinna wa arjulihinna” mengandung beberapa
kemungkinan makna. Sebagaimana yang dikutip M. Quraish Shihab dari Thâhir
ibn „Âsyûr, yaitu:
1. Jika yang dimaksud dengan buhtân adalah berita bohong, maka kalimat di
atas bermakna mengada-ada dan berbohong secara langsung di hadapan
yang dituduh.
2. Jika yang dimaksud dengan buhtân adalah sesuatu yang merupakan bahan
kebohongan, maka kalimat ayat di atas bermakna mengaku hamil, yang
kemudian dia memungut anak dan menyatakan bahwa anak itu adalah
20
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t), h. 87.
Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 11
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 319. 21
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 3 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 331.
Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 11
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 319.
38
anak sah dari suaminya, dengan tujuan agar suaminya tidak
menceraikannya atau dengan tujuan lainnya.
3. Jika kata buhtân diartikan sebagai kedurhakaan, maka makna ini bermakna
membolehkan pria selain suaminya melakukan sesuatu kedurhakaan pada
diri mereka, misalnya mencium, memegang-megang, meraba-rabanya,
inilah yang dimaksud “dengan mengadakan-adakan antara tangan-tangan
mereka”, sedangkan berzina dengannya, inilah yang dimaksud “dengan
mengada-adakan antara kaki-kaki mereka”22
Dalam ayat-ayat di atas mengenai buhtân sebagian besar dihubungkan
dengan kata itsmân mubinân dan „Adzhimân. Artinya Allah telah menetapkan
bahwa buhtân salah satu perbuatan dosa besar dan Allah telah mengancam bagi
hambanya yang suka menuduh dengan menanggung dosa yang besar pada hari
kiamat kelak.
Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1. Haram bagi seorang suami yang mengambil mahar dan harta lainnya
dengan cara menuduh sang istri.
2. Janganlah menuduh seseorang yang tidak bersalah dengan tuduhan
yang tidak benar.
3. Orang yang menuduh seseorang yang tidak bersalah akan
mendapatkan dua dosa. Yaitu, dosa atas kejahatannya dan dosa atas
tuduhannya kepada orang lain. Inilah yang dimaksud menanggung
beban yang berat.
22
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 14
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 177-178
39
4. Menyakiti orang mu‟min berarti sama saja menyakiti Rasul Saw,
meyakiti Rasul berarti mengundang kemurkaan Allah, karena
menghina Rasul SAW sama dengan menghina Allah Swt.
5. Suatu konsekuensi dalam berbai‟at atau ucapan janji setia adalah:
a. Janganlah menyekutukan Allah dengan apapun.
b. Tidak mencuri.
c. Tidak berzina.
d. Tidak membunuh anak-anak
e. Tidak berdusta yang di ada-adakan antara tangan dan kaki
f. Tidak durhaka
6. Tuduh-menuduh merupakan salah satu poin terpenting untuk
dihindarkan, karena hal ini bila dilakukan bisa menyebabkan gugurnya
bai‟at yang telah diucapkan.
C. Mengolok-olok
Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz
al-Qur‟an al-Karîm dan dibantu juga dengan al-Quran digital versi 2.1. Penulis
menemukan beberapa bentuk kata yang mengandung makna mengolok-olok atau
mencela, mulai dari fi‟il madi, fi‟il mudâri‟, fi‟il „amr, masdar, dan lain-lain.
Antara lain: Kata “ رــســزــــضء ” terdapat dalam QS. al-Taubah (9) ayat 65. Kata
“ ـــســـزــــــضئ ” terdapat dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 15. Kata “ ــســزــــضء ”
terdapat dalam QS. al-An‟âm (6) ayat 5 dan 10, QS. Hûd (11) ayat 8, QS. Hijir
(15) ayat 11, QS. an-Nahl (16) ayat 34, QS. al-Anbiyâ‟ (21) ayat 41, QS. al-
Syu‟arâ‟ (26) ayat 6, QS. al-Rûm (30) ayat 10, QS. Yasîn (36) ayat 30, QS. al-
40
Zumar (39) ayat 48, QS. Ghâfir (40) ayat 83, QS. al-Zukhruf (43) ayat 7, QS. al-
Jâtsiyah (45) ayat 33, QS. al-Ahqâf (46) ayat 26. Kata “ إســـزــــــضءا ” terdapat
dalam QS. al-Taubah (9) ayat 64. Kata “ اســـزــــــضئ ” terdapat dalam QS. al-
An‟âm (6) ayat 10, QS. al-Ra‟d (13) ayat 32, QS. al-Anbiyâ‟ (21) ayat 41. Kata “
“ terdapat dalam QS. al-Nisâ‟ (4) ayat 140. Kata ”ـــســـزــــــضأ ــســزــــضء ”
terdapat dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 14. Kata “ اىــســزــــضء ــ ” terdapat
dalam QS. al-Hijir (15) ayat 95. Dan kata -sendiri terdapat dalam QS. al ”ــضا “
Baqarah (2) ayat 67 dan 231, QS. al-Mâ‟idah (5) ayat 57, QS. al-Kahfi (18) ayat
56 dan 106, QS. al-Anbiyâ‟ (21) ayat 36, QS. al-Furqân (25) ayat 41, QS. Luqmân
(31) ayat 6, QS. al-Jâtsiyah (45) ayat 9 dan 35.23
Namun, penulis tidak semua mencantumkan semua ayat-ayat di atas,
karena banyak redaksi ayat yang mempunyai kesamaan makna maupun teks. Jadi
penulis mencantumkan hanya beberapa ayat saja yang kiranya bisa mewakili dari
ayat-ayat tentang mengolok-olok. Penulis juga mencantumkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan mengolok-olok dari buku indeks alquran.24
1. Terombang-ambing dalam kesesatan pada QS. al-Baqarah {2}ayat 14-15
“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman,
mereka mengatakan: "Kami telah beriman". dan bila mereka kembali
kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya Kami
sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok. Allah akan
23
Muhammad Fuad „Abd al-Bâqî, Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur‟an al-Karîm
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 905-906. 24
Azharuddin Sahil, Indeks al-Quran; Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata Dalam
Al-Quran (Bandung: Mizan, 2007), cet. 1, h. 240
41
(membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-
ambing dalam kesesatan mereka.”
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan al-Wâhidî dan al-Tsa‟labî dari jalur Muhammad ibn
marwân dan al-Sady al-Saghîr dari al-Kalbi dari Abi Sâlih dari Ibn
„Abbas, berkata bahwa ayat ini diturunkan berkaitan tentang „Abdullah bin
Ubay dan kawan-kawannya yang pada suatu hari di saat mereka bertemu
dengan beberapa sahabat Nabi SAW, „Abdullah bin Ubay berkata kepada
teman-temannya: "Lihatlah, bagaimana caranya aku mempermainkan
mereka yang bodoh-bodoh itu!" Ia pun mendekat dan menjabat tangan
Abu Bakar sambil berkata. "Selamat penghulu Bani Taim dan Syaikhul
Islam dan orang kedua beserta Rasulullah di gua (Tsaur) yang
mengurbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah." Kemudian ia
menjabat tangan Umar sambil berkata: "Selamat penghulu Bani Adi bin
Ka'b yang mendapat gelaran al-Fâruq, yang kuat memegang Agama Allah,
yang mengurbankan jiwa dan harta bendanya untuk Rasulullah."
Kemudian ia menjabat tangan Ali bin Abi Thalib sambil berkata: "Selamat
saudara sepupu Rasulullah, mantunya, dan penghulu bani Hasyim sesudah
Rasulullah." Setelah itu mereka berpisah dan berkatalah Abdullah bin
Ubay kepada kawan-kawannya. "Sebagaimana kamu lihat perbuatanku
tadi, jika kamu bertemu dengan mereka, berbuatlah seperti apa yang telah
kulakukan." Kawan-kawannya pun memuji-muji Abdullah bin Ubay.
42
Setibanya Kaum Muslimin (Abu Bakar, Umar dan Ali) kepada Nabi Saw.
mereka memberitahukan peristiwa tadi, maka turunlah ayat di atas.25
2. Tidak memfungsikan akal dalam QS. al-Mâ‟idah {5} ayat 58
“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan)
sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang
demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau
mempergunakan akal.”
3. Neraka Jahanam dalam QS. al- Nisâ‟{4} ayat 140
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di
dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari
dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu
duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.
karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu
serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua
orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam.”
4. Balasan (adzab) yang tak bisa dihindarkan dalam QS. al-An‟âm/6 Ayat 10
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa Rasul sebelum
kamu, Maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara
mereka balasan (azab) olok-olokan mereka”.
25
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl
(al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 7. Lihat juga: al-Quran digital versi 2.1
43
5. Ancaman adzab pedih dalam QS. at-Taubah {9} ayat 79
“(Orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela
orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan
(mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina
mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka
azab yang pedih”.
Asbabun Nuzul
al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam bâb al-Zakâh dari
Ibnu Mas‟ûd berkata, “Ketika turun ayat sedekah, kami memikul harta
benda kami di atas punggung kami. Lalu datanglah seseorang yang
menyedekahkan hartanya yang banyak. Dan orang-orang pun berkata,
“Dia mau pamer”. Kemudian datang pula seseorang yang menyedekahkan
satu sâ‟ dan mereka berkata, “sungguh Allah tidak memerlukan sedekah
orang ini”. Maka turunlah ayat ini. 26
6. Adzab yang menghinakan dalam QS. Luqmân/31 Ayat 6
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan
Allah tanpa pengetahuan. Dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”.
26
Jalaluddin as-Suyuthi, Asbâb an-Nuzûl; Sebab Turunnya Ayat al-Quran, penerjemah
Tim Abdul Hayyie (Jakarta: Gema Insani, 2009), h. 295
44
Asbabun Nuzul
Juwaibir meriwayatkan dari Ibnu Abbâs bahwa Ayat ini turun
tentang al-Nasr ibn al-Harits yang membeli seorang budak wanita
penyanyi. Setiap kali ia mendengar ada orang yang hendak masuk Islam,
ia membawanya kepada penyanyinya itu dan berkata, “beri ia makan dan
minum serta nyanyikan lagu untuknya. Ini lebih baik dari apa yang
diserukan oleh Muhammad kepadamu: shalat puasa, dan berperang untuk
membelanya.” Maka turunlah ayat ini.
Jalaluddin as-Suyuthi mengutip dari al-Qurthubi, bahwa ayat ini
turun tentang al-Nasr ibn al-Harits sebab ia membeli buku-buku bangsa
asing yang berisi kisah-kisah tentang Rustum dan Spandiar dari Persia.
Dia bangga dengan kandungan buku itu, sehingga ia mengundang orang
untuk mendengarnya agar mereka berdalih dari alQuran. Dan kalau orang-
orang Quraisy mengatakan bahwa Muhammad berkata ini-itu, dia tertawa
lalu Ia mengatakan, “kisahku ini lebih baik daripada perkataan
Muhammad.” Hal ini dituturkan oleh al-Kalbi.27
7. Mengolok termasuk perbuatan dzhalim dalam QS. al-Hujurât {49} ayat 11
27
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl
(al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 172. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-
Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 11 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h.
114
45
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-
laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu
lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih
baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri28
dan jangan memanggil
dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah
(panggilan) yang buruk sesudah iman29
dan Barangsiapa yang tidak
bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Asbabun Nuzul
Dari Abu Jabir Ibn al-Dahâk berkata, “Adakalanya seorang laki-
laki memiliki dua atau tiga nama panggilan. Boleh jadi ia kemudian
dipanggil dengan nama yang tidak disenanginya. Sebagai responnya,
turunlah ayat, “...dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk....”. Imam at-Tirmidzî menyatakan bahwa riwayat ini
berkualitas hasan.
Dalam riwayat lain dari Imam Ahmad yang juga dari Abu Jabirah
disebutkan, ayat ini turun berkenaan dengan kami, Bani Salamah. Pada
saat Nabi Saw. Sampai di Madinah, setiap laki-laki dari Bani Salamah
memiliki dua atau tiga nama panggilan. Suatu ketika, Nabi saw.
memanggil salah seorang dari mereka dengan nama tertentu, kemudian
orang-orang berkata kepada Rasulullah, “wahai Rasulullah, sesungguhnya
28
Jangan mencela dirimu sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin
karena orang-orang mukmin itu seperti satu tubuh. Lihat al-Quran digital versi 2.1 29
Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti
panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan
sebagainya. Lihat al-Quran digital versi 2.1
46
ia marah dengan panggilan tersebut.” Maka tidak lama kemudian turunlah
ayat ini.30
Dalam kitab lisân al-„Arabi kata “ســزــضء” yastahzi‟u terbentuk dari kata
“ اسـزــضأ–رـضأ ” tahazza‟a-istahja'a, yang di ambil dari kata “ ـضءا-ــــضأ-ــضأ ”
haza‟a-yahja‟u-huz‟ân, yang artinya adalah “ , اىسخش, سـخش اىسخش ” sakhira, al-
Sukhriyah, al-Sukhriyyu, yaitu olok-olokan, ejekan atau ejekan yang menimbulkan
tertawaan orang, atau bisa juga diartikan perkataan pedas yang menyakitkan
hati.31
Dalam ayat lain juga terdapat dua kata yang berbeda namun mempunyai
arti yang sama, yaitu: kata “اســزـــضئ” istuhzi‟a terbentuk dari kata “ اسـزــضأ–رـضأ ”
tahazza‟a-istahja'a, yang di ambil dari kata “ ـضءا-ــــضأ-ــضأ ” haza‟a-yahja‟u-
huz‟ân, yang mengandung arti ejekan. Dan kata “ســخـشا” sakhirû terambil dari
kata “ ســخـشخ-سخشب-سخشب-سخشح ” sukhratan-sikhriyyân-sukhriyyân-sukhriyah, yang
mempunyai arti “ ضحنذ ضحنذ ث, ـضئ ” huz‟u, dahiktu minhu wa dahiktu bih,
yaitu ejekan yang menjadi bahan tertawaan orang atau bisa juga diartikan ejekan
yang disertai pelecehan dan penghinaan terhadap yang dicemoohkan.32
Maksud firman Allah Swt. Dalam QS. al-Baqarah/2 ayat 15, “….Allah
memperolok-olok mereka…”, ini merupakan pernyataan Allah terhadap orang
munafik, bahwa Allah sendiri yang akan membalas mereka setimpal dengan apa
yang mereka lakukan. Jika mereka memperolok-olok dengan berbagai sikap dan
30
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl
(al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 203. 31
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 15 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 84. 32
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 6 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 203.
Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 8
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 456.
47
tingkah, maka Allah pun akan mengambil tindakan yang serupa dengan
memperolok-olokan mereka. 33
Dalam hal ini perlu penulis garisbawahi, bahwa Allah akan membalas
dengan tindakan serupa, bukan berarti Allah mengolok-olok mereka dengan
perkataan-Nya. Kata memperolok-olok disini hanya merupakan majaz dari kata
memperolok-olok sebelumnya, karena untuk mengisyaratkan bahwa sanksi itu
setimpal dengan dosa yang mereka lakukan.
Salah satu cara Allah Swt. memperolok-olok mereka adalah Allah
membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan di dunia sehingga mereka tidak
mampu sadar akan kesesatannya. Namun Allah tetap memperlakukan mereka
sama dengan perlakuan Allah terhadap orang-orang beriman, tetapi di akhirat
nanti mereka akan mendapatkan siksa yang amat pedih.
Dalam QS. al-Nisa/4 ayat 140, terdapat kata (خضا) yang berarti masuk
ke dalam sesuatu yang cair. Artinya seseorang yang terjerumus ke dalam ejekan
atau olok-olokan mereka, maka ia tidak akan mendapatkan kebahagiaan, jalan
kebahagiaan itu selalu tertutup karena terhalang oleh pembicaraan yang tidak
pernah memberikan solusi terbaik. Hal ini diumpamakan ketika seseorang
menepuk air sungai, maka air tersebut tidak membelah. Air itu langsung menyatu
kembali tanpa ada kesempatan untuk membuat celahan atau belahan dari hasil
tepukan seseorang. Inilah yang dimaksud dengan kata yakhûdû.34
Kata “ ,Maksudnya .(tentulah kamu serupa dengan mereka) ”إن إرا ضي
jika seseorang duduk bersama orang-orang yang sedang mengolok-olok, mencela
33
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 1
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. I, h. 110-111. 34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 598.
48
ayat-ayat Allah atau tentang syari‟at Islam, maka ia termasuk ke dalam kelompok
mereka, karena telah rela mendengar kebatilan dan kekufuran yang mereka
ucapkan.35
Akibatnya, Allah akan mengumpulkan mereka bersama-sama di dalam
neraka jahanam. Inilah balasan orang yang suka menghina, mencela,
memperolok-olok ayat-ayat Allah.
Dalam QS. al-An’am/6 ayat 10, Kata “حــبق” hâqa yang artinya
menimpa, beberapa ulama tafsir ada yang memahaminya dalam arti “menjadi
kepastian” yang tidak bisa dihindarkan. Namun, ada juga yang memahaminya
dalam arti “meliputi”. Artinya apa yang menimpa mereka tidak hanya sentuhan
atau siksa yang mengenai bagian tertentu dari diri mereka atau hanya mengenai
sebagian dari mereka, tetapi siksa itu menimpa secara keseluruhan yang terlibat
dalam olok-olok dan tidak satupun yang dapat lolos dari siksa-Nya.36
Kata “ىــاىحــذش” lahw al-Hadîs dalam QS. Luqman/31 ayat 6 adalah
kalimat murakkab yang terdiri dari dua kata, yaitu lahw yang berakar dari fi‟il
madi lahâ, yang mempunyai arti “اىيــعـت” al-La‟ib, yaitu permainan, bermain-
main, senda gurau, tidak berguna atau bisa juga diartikan sembarangan.
Sedangkan al-Hadîs diambil dari kata “ حذصب-حذس-حذس ” hadatsa, yahdutsu,
hudûsân, yaitu omongan, perkataan, pembicaraan, obrolan, dan sejenisnya.37
Dalam koneks ayat di atas, Allah sedang menjelaskan bahwa di antara
manusia lainnya masih banyak yang menggunakan perkataaannya untuk hal-hal
yang tidak berguna, main-main, sembarangan, untuk menyesatkan manusia
35
Muhammad Mutawali as-Sya‟râwi, Tafsîr as-Sya‟râwi, jilid 5 (Kairo: Akhbâr al-Yaum,
t.t.), h. 2730-2731 36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 4
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 27 37
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 3 dan 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.),
h. 75 dan 347. Lihat juga: Departemen agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang
disempurnakan), jilid 7 (Jakarta: Departemen agama RI, 2004), h. 537
49
lainnya dari jalan Allah Swt. Kebanyakan mereka menggunakan perkataannya
dengan tidak dilandasi pengetahuan yang benar sehingga menyebabkan ajaran
Allah Swt dijadikan bahan olok-olokan.38
Kata “رــيــضا” dalam QS. al-Hujurat/49 ayat 11 ini terambil dari kata
Quraish Shihab mengutip dari Ibnu „Asyur, mengartikan dengan arti . ”اىيــــض“
ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir,
tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Berbeda
dengan kata “رــبثضا” tanâbazû (saling memberi gelar buruk) yang terbentuk dari
kata “اىــــجـز” al-Nabzu (gelar buruk) dan diambil dari kata “ـجـز” nabadza, yang
artinya membuang. Namun dalam lisân al-„Arabi kata “ـجـز” nabadza diartikan
“ ن ثبىفعو اىقه ف الأجسب اىـعب, طشحل اىشــئ ذك أبل ”, yaitu melemparkan
atau mengutarakan kejelekan seseorang tentang kedudukannya, baik
dihadapannya ataupun dibelakangnya. Dan bisa juga diartikan dengan melakukan
perbuatan ataupun dengan perkataan tentang yang ada pada dirinya.39
Ada tiga kandungan yang terdapat pada kalimat “ سنؾـــىضا أــلا د ”, yaitu:
a. Janganlah mengejek orang lain, karena mereka sama dengan dirimu
sendiri, ejekanmu terhadap mereka berarti ejekan terhadap dirimu
sendiri.
b. Jangan mengejek orang lain, karena ejekan itu dapat mengundang yang
diejek untuk mengejek kamu pula
38
Departemen agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), jilid 7
(Jakarta: Departemen agama RI, 2004), h. 537 39
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 14 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 18-
19. Lihat juga: Sahabuddin, dkk, ed., Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, vol. I (Jakarta:
Lentera Hati, 2007), cet. I, h. 278. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan
dan Keserasian al-Quran, vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 251-252.
50
c. Jangan mengejek dirimu sendiri, dengan jalan melakukan suatu
perbuatan yang mengundang orang lain menertawakan dan
mengejekmu.
Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1. Bagi orang yang suka mengolok-olok orang mukmin, mukminat, dll,.
maka Allah akan membalas olok-olokan mereka dengan cara
menyesatkan mereka di dunia dan adzab yang pedih.
2. Mengolok-olok orang lain dianggap tidak mempunyai akal.
3. Orang yang sudah terjerumus dalam perkumpulan tersebut, maka
termasuk dalam golongan mereka, yaitu golongan orang-orang
munafik dan orang-orang kafir.
4. Ancaman bagi orang yang suka mengolok-olok agama Allah adalah di
masukkan ke dalam neraka jahanam bersama orang-orang munafik dan
orang-orang kafir
5. Siapa pun yang mengolok-olok, maka akan mendapatkan balasan
berupa adzab dari Allah Swt.
6. Mengejek orang lain baik dengan perkatan, perbuatan atau isyarat
sekalipun, berarti sama saja mengejek diri sendiri
7. Siapa saja yang tidak bertaubat dari kesalahan-kesalahan di atas, maka
mereka termasuk golongan orang yang dzalim.
51
D. Dusta atau Bohong
Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâz
al-Qur‟an al-Karîm ditemukan banyak sekali bentuk kata yang mengandung
makna dusta. Namun untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan
tidak mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis
perlu membatasi ayat-ayat dusta ini yakni lebih menitikberatkan pada ayat-ayat
yang berkenaan dengan balasan dari dusta itu sendiri, yang penulis ambil dari
buku indeks alquran40
dan dibantu juga dengan al-Quran digital versi 2.1 tentang
ayat-ayat yang berkaitan dengan balasan dari perbuatan dusta.
1. Dosa Yang Nyata Dalam QS. al-Nisâ‟/4 Ayat 50
“Perhatikanlah, betapa mereka mengada-adakan dusta terhadap
Allah? dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi
mereka)”.
2. Siksa Yang Sangat Menghinakan Dalam QS. al-An‟âm/6 Ayat 93
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat
kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada
saya", Padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang
yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah."
40
Azharuddin Sahil, Indeks al-Quran; Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata Dalam
Al-Quran (Bandung: Mizan, 2007), cet. 1, h. 178
52
Alangkah dahsyatnya Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang
zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang Para Malaikat memukul
dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di hari ini
kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu
mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena)
kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.”
Asbabun Nuzul
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ikrimah mengenai firman-Nya, “Dan
siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan
terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya"......”.
Ia berkata, Ayat ini turun berkenaan dengan Musailamah, sedangkan ayat,
“....dan orang yang berkata, Saya akan menurunkan seperti apa yang
diturunkan Allah....." turun berkenaan dengan Abdullah bin Sa‟ad bin Abi
Sarh. Dia dahulu menulis surat kepada Nabi Saw., berisi ungkapan
“„Azîzun hakîm”, lalu Nabi Saw. membalas surahnya dan berisi ungkapan
“ghafûrun rahîm”. Tatkala surat balasan itu dibacakan kepadanya, dia
berkata, “ya, sama saja”. Maka dia pun keluar dari Islam dan bergabung
dengan orang-orang kafir Quraisy.
Al-Suddi meriwayatkan hal senada dan ia menambahkan bahwa
Abdullah ini berkata, “kalau Muhammad diberi wahyu, akupun diberi
wahyu. Kalau Allah menurunkan wahyu kepadanya, akupun menerima
seperti apa yang diturunkan Allah itu, Muhammad berkata, “samî‟ân
„alîmân”, akupun berkata, „alîmân hakîmân.”41
41
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl
(al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 101.
53
3. Kekal Di Dalam Neraka dan Tidak Akan Masuk Surga Dalam QS. al-
A‟râf/7 Ayat 36, 40
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi
mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga
unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah kami memberi pembalasan
kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.”
4. Kemunafikan Dalam Hati Dalam QS. at-Taubah/9 Ayat 77
“Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai
kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri
terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga
karena mereka selalu berdusta.”
5. Disegerakan Masuk Ke Neraka Dalam QS. al-Nahl/16 Ayat 62.
“Dan mereka menetapkan bagi Allah apa yang mereka sendiri
membencinya, dan lidah mereka mengucapkan kedustaan, Yaitu bahwa
Sesungguhnya merekalah yang akan mendapat kebaikan. Tiadalah
54
diragukan bahwa nerakalah bagi mereka, dan Sesungguhnya mereka
segera dimasukkan (ke dalamnya).”
6. Neraka Jahannam Dalam QS. al-Ankabut/29 Ayat 68
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang
mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak
tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam
itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?”
Kata “اىنــــزة” al-Kadzib di sini adalah sesuatu yang diucapkan lisan,
namun pada kenyataannya tidak sesuai dengan isi hati. Kata “اىنــــزة” al-Kadzib
sendri berasal dari kata “ مــزثب-نــزة-مزة ” kadzaba-yukadzibu-kadzibân, yang
artinya “ضـذاىـصذق” diddu al-Sidq, yaitu tidak benar.42
Kata “ د ساــــغ ” ghamarât
yang diartikan sakarat al-maut atau al-Harb al-Maut adalah bentuk jamak dari
“ حســــغ ” ghamrat yang diambil dari akar kata “ؼــــش-اىؽش” ghamara-al-Ghamru
yang artinya “اىــبء اىنـــضش” al-Mâ‟u al-Katsîr, yaitu banyak air, membanjiri, atau
menggenangi. Maksudnya adalah memenuhi sesuatu, atau menutupi dan
menghilangkan bekas-bekasnya. Kata ini mengandung makna kesungguhan dan
ketiadaan ampun yang diberikan oleh para malaikat yang sedang mencabut nyawa
seorang pendusta. Hal ini menggambarkan betapa kasar dan kejamnya malaikat
ketika menghadapi seorang yang pendusta, dan lain-lain, sambil berkata
“keluarkanlah nyawamu untuk menghadapi siksaan yang akan kamu hadapi”.
Inilah balasan bagi orang-orang yang berbuat dusta kepada Allah.43
42
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 12 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h. 50. 43
Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arabi, juz 10 (Beirut: Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabi, t.t.), h.
116. Lihat juga: M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,
vol. 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 196-197.
55
Maksud mendustakan ayat-ayat Allah pada ayat 40 surat al-A’raf adalah
mendustakan pokok-pokok dan hukum-hukum agama, seperti yang berhubungan
dengan adanya Allah dan ke-Esaan-Nya, dan yang berhubungan dengan kenabian,
hari kiamat, hari kebangkitan dan lain-lainnya. Maka orang seperti inilah yang
tidak akan dibukakan pintu langit dan tidak akan masuk surga.44
Ada beberapa pengertian tentang tidak dibukakannya pintu langit,
diantaranya adalah tidak akan diterima amal mereka dan tidak akan sampai
kepada Allah. Bahkan bukan saja amal dan usahanya yang tidak sampai kepada
Allah, do‟a dan permintaan pun tidak akan sampai kepada Allah. M. Quraish
Shihab mengutip dari Thahir Ibn Âsyûr yang berpendapat bahwa kalimat abwâbas
sama‟ atau pintu-pintu langit ini hanya untuk mengisyaratkan bahwa mereka tidak
akan memperoleh aneka limpahan karunia ilahi yang bersifat ruhaniah atau
spiritual.45
Demikianlah istilah tersebut menggambarkan keadaan mereka yang
mendapatkan kesesatan sehingga tidak menemukan kemudahan untuk masuk
surga.
Sedangkan maksud perumpamaan kata “hingga unta masuk ke dalam
lubang jarum” dalam ayat tersebut, penulis berpendapat bahwa ini adalah sebuah
penekanan bahwa tidak akan dibukakan pintu langit dan tidak akan masuk surga
selama-lamanya. Sebagaimana unta tidak akan pernah masuk selama-lamanya ke
dalam lubang jarum tersebut. Kalimat ini juga berkaitan erat dengan ayat
sebelumnya, yaitu ayat QS. al-A‟râf {7} ayat 36, yang mengatakan bahwa
penghuni bagi orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt. adalah di neraka dan
44
Departemen agama RI, Al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan), jilid 3
(Jakarta: Departemen agama RI, 2004), h. 413. 45
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 5
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 94.
56
ia kekal di dalamnya. Maka jelas ini adalah sebuah penekanan yang diumpamakan
dengan unta dan jarum.
(لا جش أ ىــ اىـــبس) “tiadalah diragukan bahwa nerakalah bagi mereka”.
Dalam QS. al-Nahl/16 ayat 62, maksudnya adalah tidak ada keraguan pada
mereka untuk memasukkan mereka ke dalam neraka disebabkan karena mereka
selalu melemparkan segala hal yang tidak mereka senangi kepada Allah dan juga
kedustaan mereka yang menyebabkan mereka pantas masuk ke dalam neraka.
Kata lâ jarama sendiri diambil dari kata jarim/orang yang melakukan kejahatan
dengan arti mujrim. Lâ jârimata berarti tidak ada salahnya menghukum mereka,
karena memberikan hukuman kepada orang yang bersalah bukanlah sebuah
pelanggaran. Jadi, lâ jarama mempunyai dua arti, yaitu: mereka berhak mendapat
neraka, dan tidak ada salahnya juga memasukkan mereka ke dalam neraka sebagai
balasan atas perbuatan mereka.46
Kata (ظــي) zulum dalam ayat 68 surat al-Ankabut, mempunyai arti
sebenarnya adalah penganiayaan, maksudnya adalah menempatkan sesuatu tidak
pada tempatnya. Zulum merupakan suatu perbuatan tercela, bahkan besar dan
kecilnya dosa ditentukan oleh besar kecilnya zulum. Semakin besar sasaran
kezaliman, maka semakin besar pula dosa kezalimannya. Kezaliman terhadap
Allah merupakan kezaliman yang paling besar.
Ada tiga penekanan pada ayat ini tentang keburukan kaum musyrikin.
Pertama, kata (إفــزــش) iftarâ, yang artinya mengada-ada, berbohong. Kedua,
kebohongan yang dimaksud bukan kebohongan terhadap makhluk, tetapi terhadap
46
Muhammad Mutawali as-Sya‟râwî, Tafsîr as-Sya‟râwî, jilid 9 (Kairo: Akhbâr al-Yaum,
t.t.), h. 6234
57
Allah Swt.. Ketiga, kebohongan ini bukan kebohongan yang kecil tapi (مــزثــب)
kadzibân atau kebohongan besar.47
Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1. Orang yang suka berdusta kepada Allah diancam dengan siksaan yang
pedih, terutama ketika sakarat al-Maut dan menjadi penghuni neraka
jahanam bersama orang munafik dan kafir selama-lamanya
2. Ada dua macam kedzaliman, yaitu:
a. Membuat kedustaan terhadap Allah Swt.
b. Menantang terhadap wahyu dengan membuat serupanya untuk
menandingi al-Quran.
3. Pintu langit (amal, usaha, doa, dan rohnya) tidak dibukakan bagi
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berlaku sombong
terhadap-Nya. Selain pintu langit tidak dibukakan, Allah juga tidak
akan memasukkan mereka ke dalam surga selama-lamanya.
4. Allah akan menutup hati mereka untuk kebenaran dan mereka selalu
dinaungi oleh kemunafikan sampai mereka menemui Allah Swt.
5. Makhluk yang paling aniaya, paling dzalim adalah orang yang
berdusta kepada Allah Swt.
47
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, vol. 10
(Jakarta: Lentera Hati, 2002) , cet. I, h. 543.
58
E. Sumpah Palsu
Hasil penelusuran penulis dalam kitab al-Mu‟jam al-Mufahras li al-Fâdz
al-Qur‟an al-Karîm ditemukan beberapa bentuk kata yang mengandung makna
sumpah. Namun untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan tidak
mengarah kepada maksud dan tujuan dari penulisan skripsi ini, maka penulis perlu
membatasi ayat-ayat sumpah ini yakni lebih menitikberatkan pada ayat-ayat yang
berkenaan dengan dampak sumpah palsu, yang penulis ambil dari buku indeks
alquran48
dan dibantu juga dengan al-Quran digital versi 2.1 tentang ayat-ayat
yang berkaitan dengan balasan dari perbuatan dusta.
1. Tidak akan dilihat oleh Allah Swt. dalam QS. ali „Imrân/3 Ayat 77
“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan)
Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu
tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-
kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari
kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. bagi mereka azab yang
pedih.”
Asbabun Nuzul
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ikrimah bahwa ayat ini turun
berkaitan dengan Huyai bin Akhtab, Ka‟ab ibn al-Asyraf, dan orang-orang
Yahudi lainnya yang menyembunyikan Taurat asli yang diturunkan oleh
48
Azharuddin Sahil, Indeks al-Quran; Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata Dalam
Al-Quran (Bandung: Mizan, 2007), cet. 1, h. 425-426.
59
Allah. Lalu mereka mengubahnya dan bersumpah bahwa itu adalah dari
Allah.49
2. Membinasakan Diri Sendiri dan Allah yang menjadi saksi atas sumpah
seseorang Dalam QS. at-Taubah/9 Ayat 42, 107
“Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu Keuntungan yang
mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka
mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu Amat jauh terasa oleh mereka.
mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: "Jikalau Kami sanggup
tentulah Kami berangkat bersama-samamu." mereka membinasakan diri
mereka sendiri50
dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya mereka
benar-benar orang-orang yang berdusta.”
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang
mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang
mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang
mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi
Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.51
Mereka sesungguhnya bersumpah:
"Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi
bahwa Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).”
49
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl
(al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 47. 50
Maksudnya mereka akan binasa disebabkan sumpah mereka yang palsu. Lihat al-
Quran digital versi 2.1 51
Yang dimaksudkan dengan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak
dahulu ialah seorang pendeta Nasrani bernama Abu 'Amir, yang mereka tunggu-tunggu
kedatangannya dari Syiria untuk bersembahyang di masjid yang mereka dirikan itu, serta
membawa tentara Romawi yang akan memerangi kaum muslimin. akan tetapi kedatangan Abu
'Amir ini tidak Jadi karena ia mati di Syiria. dan masjid yang didirikan kaum munafik itu
diruntuhkan atas perintah Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan wahyu yang diterimanya sesudah
kembali dari perang Tabuk. Lihat al-Quran digital versi 2.1.
60
Asbabun Nuzul
Ayat 107 ini diturunkan kepada Bani Ghunum bin Auf dari suku
Khazaj yang membangun masjid dhirar atas perintah pendeta Abu Amir
sebagai ungkapan rasa dengki kepada Bani Amru bin Auf dari suku „Aus
yang telah membangun masjid Quba. Mereka meminta Nabi Saw. untuk
shalat di dalamnya sebagaimana beliau telah shalat di masjid Quba‟. Nabi
meminta maaf tidak bisa shalat di sana sampai sekembalinya beliau dari
perang tabuk. Maka kemudian ayat ini turun kepada beliau yang
memberitahukan maksud didirikannya masjid dirar itu, dan
memerintahkan kepada beliau untuk merobohkan serta membakar masjid
itu. 52
Pada kata “ثــعــــذ الله” janji dengan Allah dalam QS. ali Imran/3 ayat 77,
mempunyai dua kemungkinan. Pertama, janji fitrah. Kedua, janji yang diberikan
kepada ahli kitab, yaitu mereka mengetahui kedatangan Nabi Saw dan akan
menyatakan beriman kepadanya. Sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi, 53
“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi:
"Sungguh, apa saja yang aku berikan kepadamu berupa kitab dan Hikmah
kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada
padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan
menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima
52
Jalâluddin „Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyûti, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl
(al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.), h. 242. Lihat juga: Wahbah Zuhaili, dkk.
Ensiklopedia Al-Qur‟an. Penerjemah; Tim Kuwais (Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. I, h. 205. 53
Muhammad Mutawali as-Sya‟râwî, Tafsîr as-Sya‟râwî, jilid 3 (Kairo: Akhbâr al-Yaum,
t.t.), h. 1553
61
perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?" mereka menjawab: "Kami
mengakui". Allah berfirman: "Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku
menjadi saksi (pula) bersama kamu".”
Jadi, sifat dusta dilekatkan pada diri mereka ketika menyatakan beriman,
lalu keimanan mereka ditukar dengan makanan dan pakaian. Perbuatan ini berarti
mereka telah meninggalkan janji Allah. Karena itu Allah berfirman, “mereka itu
tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata
dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak
pula akan mensucikan mereka. Bagi mereka siksa yang pedih.”
Kata (أىـئل) ini kembali kepada kalimat ( ...إ اىزـ شـزش ), artinya ayat ini
ditujukan tidak hanya kepada mereka yang membeli ayat-ayat Allah Swt., namun
juga berlaku untuk mereka yang menyatakan keimanan kepada Rasul Saw
kemudian mengingkarinya. Dan ayat ini berlaku juga bagi seluruh manusia di
setiap waktu.54
Maksud dari kalimat “dan Allah tidak akan berkata-berkata dengan mereka
dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat” adalah bahwa Allah
tidak akan memperdulikan mereka, dan Allah menjauhkan mereka dari rahmat
dan ridha-Nya, dan Allah tidak mau membersihkan dosa-dosanya. Maka
akibatnya mereka mendapatkan ganjaran yang setimpal.55
Orang-orang munafik mengira bahwa sumpah palsu yang mereka ucapkan
menguntungkan bagi mereka dan dapat menutupi sifat kemunafikan mereka,
padahal perbuatan ini hanya mencelakakan diri mereka sendiri, yaitu secara tidak
54
Muhammad Mutawali as-Sya‟râwî, Tafsîr as-Sya‟râwî, jilid 3 (Kairo: Akhbâr al-Yaum,
t.t.), h. 1554 55
Muhammad Mutawali as-Sya‟râwî, Tafsîr as-Sya‟râwî, jilid 3 (Kairo: Akhbâr al-Yaum,
t.t.), h. 1554
62
langsung mereka telah memasukkan diri sendiri dalam kebinasaan. Sumpah palsu
termasuk salah satu dosa besar sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:
56 “Bercerita kepadaku Muhammad ibn Basyâr, bercerita Muhammad ibn
Ja‟far, bercerita Syu‟bah dari Firâs dari as-Sya‟bî dari „Abdullah ibn „Amru dari
Nabi Saw. bersabda: Dosa besar itu adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada
kedua orang tua, membunuh diri seseorang, dan bersumpah palsu.”
Dari uraian di atas, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1. Allah langsung yang menjadi saksi terhadap sumpah palsu mereka.
2. Seseorang yang sengaja mengingkari sumpahnya, janjinya akan
mendapatkan murka dari Allah Swt dan mendapatkan siksa yang berat.
3. Ada empat hukuman yang diberikan Allah Swt. kepada orang yang
suka mengingkari janji dan sumpahnya, yaitu:
a. Allah tidak akan memberi rahmat dan ridha kepadanya
b. Allah tidak akan memperdulikan mereka pada hari kiamat.
c. Allah tidak akan menghapus dosa-dosanya.
d. Allah memberikan siksa yang pedih.
4. Perbuatan ini termasuk perbuatan yang harus di jauhi karena
merupakan dosa besar.
56
„Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Matan al-Bukhârî Masykûl, jilid 4
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h.186
63
BAB IV
MENCEGAH BAHAYA LISAN
A. Metode Pencegahan
Dalam bab sebelumnya penulis telah memaparkan tentang pengertian lisan
dan ayat-ayat yang berkaitan dengan bahaya lisan. Sedangkan dalam bab ini
penulis menjelaskan tentang hal yang mendasar dan sangat penting dalam upaya
mencegah atau mengobati penyakit ini serta manfaatnya dalam al-Quran dan
hadis.
Al-Qur‟an adalah obat penawar atas segala penyakit, baik yang ada pada
dada manusia maupun yang ada pada lisan manusia. Sebagaimana firman Allah
Swt. yang berbunyi,
“Dan kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Isra‟/17: 72)
Di dalam al-Quran terdapat ayat-ayat tentang mencegah, mengobati
penyakit lisan. Dan ini juga bisa dijadikan sebagai pengobatan dalam Islam untuk
menyembuhkan semua aspek psikopatologi yang bersifat khusus (berdasarkan
nilai-nilai agama). Di antaranya sebagai berikut:
1. Membaca al-Quran
“Dan kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah
kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. al-Isra‟/17: 72)
63
64
Allah Swt. mengabarkan tentang kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasul-
Nya Shallallahu „alaihi wa sallam yaitu Al-Qur`an yang tidak terdapat kebatilan di
dalamnya baik dari sisi depan maupun belakang yang diturunkan dari Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji bahwa sesungguhnya Al-Qur`an itu merupakan
penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin, yaitu menghilangkan segala hal
berupa keraguan kemunafikan, kesyirikan, penyimpangan dan penyelisihan yang
terdapat dalam hati. Al-Qur`an-lah yang menyembuhkan itu semua. Di samping
itu, al-Quran merupakan rahmat yang membuahkan keimanan yang selalu
mendorong untuk melakukan kebaikan. Hal ini tidaklah didapatkan kecuali oleh
orang yang mengimani, membenarkan serta mengikutinya. Bagi orang yang
seperti ini Al-Qur`an akan menjadi penyembuh dan rahmat. Adapun orang kafir
yang mendzalimi dirinya sendiri maka tatkala mendengarkan Al-Qur`an tidaklah
bertambah baginya melainkan semakin jauh dan semakin kufur. Sebab ini ada
pada orang kafir itu sendiri, bukan pada Al-Qur`annya. Seperti firman Allah Swt,
...
“... “Katakanlah, Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-
orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada
sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah
(seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh”. (QS, fussilat/41: 44 )
Membaca Al-Qur‟an merupakan ibadah yang paling utama dan dicintai
Allah. Dalam hal ini para ulama sepakat, bahwa hukum membaca Al-Qur‟an
adalah wajib ‘ain. Artinya setiap individu yang mengaku dirinya muslim harus
mampu baca Al-Qur‟an dengan baik dan benar. Kalau tidak, maka ia berdosa.
65
2. Melakukan shalat malam
“ Dan Dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-
perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.
Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Hûd/11: 114)
Shalat malam atau yang biasa disebut dengan shalat tahajud adalah shalat
yang diwajibkan kepada Nabi SAW sebelum turun perintah shalat wajib lima
waktu. Shalat malam merupakan shalat yang sangat dianjurkan untuk
dilaksanakan karena dengan mengerjakan shalat ini seseorang dapat terjaga dari
setiap bahaya yang ada. Ada sembilan keutamaan shalat malam bila dikerjakan
dengan sungguh-sungguh, antara lain :1
1. Dipelihara oleh Allah SWT dari segala macam bencana.
2. Tanda ketaatannya akan tampak kelihatan dimukanya.
3. Dicintai para hamba Allah yang shaleh dan dicintai oleh semua
manusia.
4. Lisannya akan mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung
hikmah.
5. Dijadikan orang bijaksana yang diberi pemahaman dalam agama.
6. Wajahnya berseri ketika bangkit dari kubur di Hari Pembalasan nanti.
7. Mendapat keringanan ketika di hisab.
8. Dapat melewati jembatan shirotol mustaqim dengan sangat cepat.
9. Catatan amalnya diberikan ditangan kanan.
1 http://tahajudcallmq.wordpress.com/2007/08/20/“-keutamaan-shalat-tahajud-”/. Di
akses pada tanggal 27 Desember 2011
66
3. Bergaul dengan orang baik dan shaleh
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah
kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS.
al-Nisâ‟/4: 144)
Salah satu hal terpenting yang harus diperhatikan dalam menghindari
bahaya lisan adalah dalam pergaulan. Teman yang soleh akan membawa kepada
kebaikan, sebaliknya teman yang buruk akan menjerumuskan kita ke jurang
kenistaan. Rasulullah saw bersabda tentang pentingnya memilih teman,
“Perumpamaan teman yang soleh dan teman yang buruk adalah ibarat penjual
minyak wangi dan peniup tungku. Penjual minyak wangi bisa memberimu tanpa
kita harus membeli, atau (paling tidak) engkau akan mendapatkan bau harum
darinya. Sedangkan peniup tungku bisa membakar pakaianmu atau engkau akan
mencium bau busuk darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam menjelaskan hadits ini Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini
berbicara tentang keutamaan bergaul dengan orang-orang yang soleh, pelaku
kebaikan, tata krama, akhlak mulia, wara‟, berilmu, dan mempunyai sopan santun.
Sebaliknya, hadits ini melarang kita bergaul dengan pelaku kejahatan, pembuat
bid„ah, suka menggunjing, berbuat dosa, dan sikap tidak terpuji lainnya.”2
Berteman dengan seorang yang soleh seperti para ulama, ahli ibadah, ahli
dzikir dan yang lainnya, maka akan mendapatkan hal yang positif. Misalnya
ketika berteman dengan orang yang senang mengunjungi majlis dzikir, maka
2 http://syafiiakrom.wordpress.com/2009/06/18/bergaul-dengan-orang-orang-soleh/. Di
akses pada tanggal 27 Desember 2011.
67
otomatis akan ikut senang mendatangi majlis dzikir, berteman dengan orang yang
selalu berbicara baik, sopan dan lisannya penuh dengan kalimat thoyibah, maka
secara perlahan sifat tersebut akan menempel kepada temannya yang selalu
bergaul dengannya.
Itulah pentingnya bergaul dengan orang-orang yang sholih. Oleh karena
itu, sangat penting sekali mencari lingkungan yang baik dan mencari sahabat atau
teman dekat yang semangat dalam menjalankan agama sehingga kita pun bisa
tertular aroma kebaikannya. Jika lingkungan atau teman kita adalah baik, maka
ketika kita keliru, ada yang selalu menasehati dan menyemangati kepada
kebaikan.
4. Melakukan puasa
...
“... laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan
yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-
laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. al-Ahzâb/33:
35)
Sesungguhnya di antara amal shaleh yang agung sisi Allah adalah
berpuasa, dan sungguh syara' telah menganjurkan dan menghimbau kaum
muslimin untuk melaksanakannya dan menjadikannya sebagai salah satu rukun
Islam yang agung. Allah Swt telah memberitahukan bahwa umat-umat terdahulu
tidak pernah terlepas dari puasa tersebut, sebab puasa dapat mendidik akhlak,
menyucikan jiwa dan mendidik kesabaran. Maka inilah alasan penulis untuk
68
mencantumkan puasa sebagai metode untuk mencegah dari bahaya lisan. Ada
enam keutamaan dalam berpuasa3 :
1. Puasa merupakan salah satu sebab turunnya ampunan dan curahan pahala
2. Puasa merupakan salah satu sebab untuk menyelamatkan diri dari siksaan
api neraka
3. Puasa merupakan salah satu sebab untuk masuk ke dalam surga
4. Puasa merupakan sebuah amalan yang sangat istimewa yang disandarkan
Allah kepada diri-Nya
5. Puasa merupakan benteng dari perbuatan jelek
6. Puasa akan mendatangkan kegembiraan di hati orang yang beriman; yaitu
di dunia ketika dia berbuka/berhari raya dan di akherat ketika dia berjumpa
dengan Allah dengan membawa amalannya
5. Dzikir
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati
menjadi tenteram.” (QS. al-Ra‟d/13: 28)
Sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi,
4
“Diceritakan dari Muhammad ibn Basyar, diceritakan dari Muhammad ibn
Yazîd ibn khunais al-Makiy berkata saya telah mendengar dari Sa‟id ibn Hasan al-
3 http://abumushlih.com/keutamaan-puasa.html/
4 Abî „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwaynî, Sunan Ibn Mâjah, kitâb al-Futun,
bâb kaf al-Lisân fi al-Fitnah, no. 3971, juz ke-II (Beirut:Dâr al-Fikr, 1995), h. 487.
69
Makhzûmî berkata diceritakan dari ummu Salih dari Sofiyyah binti Syaibah dari
Ummu Habibah istri Nabi Saw dari Nabi Saw bersabda: Setiap perkataan bani
Adam akan membahayakan dirinya sendiri, tidak ada yang bermanfaat baginya
kecuali menyeru kepada kebaikan, melarang yang mungkar atau berdzkir kepada
Allah Swt. (HR. Ibnu Mâjah)
Barang siapa yang mampu melakukan salah satu dari kelima tekhnik
tersebut maka Allah Swt. akan mengabulkan permintaan dengan menyembuhkan
penyakit yang dideritanya.5
Menurut Syahminan Zaini,6 metode pencegahan seluruhnya ada tujuh
point, namun di sini penulis hanya membatasi enam point dan ditambah dengan
beberapa point dari buku yang lain. Di antaranya adalah :
1. Penyadaran
Yaitu sadar atas kesalahan yang dilakukan dan mengerti,
menghayati ajaran agama dan serta mengamalkannya sehingga dapat
disadari atas apa yang dilakukannya tersebut. Jika manusia telah
menyadari serta menghayati pokok-pokok ajaran Islam serta
mengamalkannya dengan baik dan benar. Maka manusia akan jauh dari
bahaya lisan.
Penyadaran diri terhadap suatu perubahan dalam diri manusia
sangatlah penting karena kesadaran merupakan kunci yang harus dimiliki
pada setiap diri manusia agar perubahan itu dapat tercapai. Dengan adanya
kesadaran yang dimiliki setiap individu, maka akan sangat mudah untuk
menyelesaikan masalah dan penyadaran merupakan langkah awal untuk
mengobati semua kesalahan yang terjadi pada diri seseorang.
5 Mujib dan Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Pers,
2001), h. 218 6 Syahminan Zaini, Penyakit Rohani dan Penyebabnya (Surabaya: al-Ikhlas, 1990), cet.
II, h. 125-142.
70
2. Waspada (mawas diri)
Waspada artinya selalu memandang diri di dalam setiap gerak-
geriknya, baik gerak-gerik jasmani, maupun gerak-gerik batin. Orang yang
waspada akan selalu mengamati dan memperhatikan dirinya sendiri
terlebih dahulu dalam setiap melakukan perbuatan.
Waspada ini bukanlah perbuatan yang boleh dilakukan sesekali
waktu saja ataupun dalam waktu tertentu saja, melainkan kewaspadaan
harus dilakukan setiap saat, sebab jika manusia lengah terhadap
kewaspadaannya sendiri, maka dengan mudah setan akan menjerumus
manusia ke dalam perbuatan yang buruk, baik yang dilakukan oleh lisan
ataupun hati. Oleh karena itu kewaspadaan harus selalu ada disetiap saat.
Firman Allah Swt. yang berbunyi,
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh
syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga,
ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat
kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.
Sesungguhnya kami Telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-
pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-A‟raf/7: 27)
3. Tobat
Metode ini merupakan metode yang harus dilakukan oleh setiap
manusia, ketika manusia telah menyadari atas kesalahannya. Agar manusia
memiliki rohani dan jasmani yang bersih dari segala dosa-dosanya dan
71
berjanji akan tidak mengulanginya kembali. Hal ini berdasarkan firman
Allah Swt. yang berbunyi,
…
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan
Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke
dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…” (QS. al-
Tahrîm/77: 8)
Setiap manusia pasti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik
manusia adalah yang mau bertobat atas kesalahannya tersebut.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi,
7 “Diceritakan dari Ahmad ibn Manî‟, diceritakan Zaid ibn al-
Hubâb, diceritakan „Ali ibn Mas‟adah dari Qatâdah dari Anas berkata,
bersabda Rasulullah Saw: Setiap keturunan Adam pasti mempunyai
kesalahan dan sebaik-baik kesalahannya adalah orang yang mau
bertaubat“. (HR. Ibnu Mâjah)
4. Memperbanyak Amal Saleh
Untuk membetulkan akhlak seseorang adalah dengan memperbanyak
amal saleh. Karena dengan amal saleh semua penyakit yang disebabkan
lisan dapat dicegah dengan baik. Dan dengan perbuatan amal saleh juga
dapat mencegah, menghapus, menghilangkan dan mengobati perilaku yang
buruk.
7 Abî „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwaynî, Sunan Ibn Mâjah, kitâb al-Zuhud,
bâb dzikr al-Taubah, no. 4251, juz ke-II (Beirut:Dâr al-Fikr, 1995), h. 577.
72
Dalam Islam banyak sekali yang bisa dijadikan sebagai amal soleh,
sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas, yaitu membaca al-Quran,
shalat malam, puasa, dzikir, dan masih banyak lagi amal soleh yang masih
bias dijadikan sebagai pengebalan diri terhadap perbuatan-perbuatan jahat
yang dapat merusak akhlak seseorang.
5. Berdoa
Berdoa artinya meminta sesuatu kepada Allah dengan cara
menyatakan kerendahan dan ketundukkan kepada-Nya. Islam mengajarkan
manusia untuk selalu berdoa kepada sang pencipta, karena doa merupakan
senjata kaum mukminin yang dapat membantu manusia agar terhindar,
mengobati, menghilangkan semua penyakit yang diderita oleh manusia.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Doa adalah senjata kaum muslimin
dan tiang agama, serta cahaya langit dan bumi”
Namun diterima atau tidaknya sebuah doa itu ada pada kekuasaan
Allah Swt. bisa jadi tidak diterimanya doa seseorang dikarenakan
kurangnya ketakwaan kepada Allah Swt.. Karena Allah Swt. telah
berfirman dalam al-Quran yang berbunyi,
...
"…Sesungguhnya Allah hanya menerima doa dari orang-orang
yang bertakwa". (QS. al-Mâ‟idah/5: 27)
6. Sabar
Sabar yang dimaksud di sini adalah sabar dalam menghadapi
gejolak hawa nafsu setan agar tidak terjerumus oleh bujuk rayu setan yang
mengakibatkan kerusakan akhlak pada diri manusia. Firman Allah Swt
yang berbunyi,
73
“Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar”. (QS. al-anfal/8: 46)
7. Membiasakan lisan dengan ucapan kalimat at-tayyib
Kalimat at-tayyib ini terbagi menjadi tiga bagian, di antaranya:8
a. Qaulan Karima
Secara harfiah adalah perkataan yang mulia. Artinya ucapan yang
mengandung kemuliaan. Seperti, takbir, tahlil, tahmid, tasbih, dan lain-
lain.
b. Qaulan Sadida
Secara harfiah berarti perkataan yang benar. Artinya ucapan yang
mengandung kebenaran dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan
Allah Swt. dan manusia.
c. Qaulan Ma’rufa
Secara harfiah berarti perkataan yang membangun, perkataan yang
mengandung kesopanan, kesantunan, nasehat, dan lain-lain.
8. Memperbanyak Diam
Diam merupakan salah satu metode yang sangat dianjurkan
Rasulullah Saw. untuk menghindari bahayanya lisan. Karena diam akan
menjauhkan dari hawa nafsu, memberikan kenikmatan ibadah,
8 Mawardi Labay El-sulthani, Bahaya Provokasi Lidah Tidak Bertulang; Pahit dan
Manisnya Dunia Karena Lidah (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2002), cet. I, h. 35-48
74
melembutkan hati dan mendatangkan kesucian diri dan kehormatan.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi,
9
“Diceritakan dari Abu Bakr, diceritakan dari Abu al-Ahwas dari
Abî Hasîn dari Abi Sâlih, dari Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah
Saw: Barang siapa yang beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir,
hendaknya mengatakan perkataan yang baik atau lebih baik diam”. (HR.
Ibnu Mâjah)
Sebagian ulama mengatakan bahwa di dalam diam itu terdapat
tujuh keajaiban yang tersembunyi, di antaranya adalah:
1. Diam termasuk ibadah tanpa susah payah.
2. Diam merupakan perhiasan diri seseorang tanpa harus memakainya.
3. Diam merupakan kemuliaan seseorang tanpa harus adanya kekuasaan.
4. Diam merupakan sebuah benteng seseorang tanpa adanya penjaga.
5. Diam membuat orang menjadi kaya tanpa harus bergantung kepada
orang lain.
6. Diam itu menyenangkan, karena memberi kesempatan kepada malaikat
pencatat amal.
7. Diam menutup aib yang berbicara, karena diam itu perhiasan untuk
orang alim dan merupakan penutup aib bagi orang yang bodoh.10
9 Abî „Abdillâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwaynî, Sunan Ibn Mâjah, kitâb al-Futun,
bâb kaf al-Lisân fi al-Fitnah, no. 3971, juz ke-II (Beirut:Dâr al-Fikr, 1995), h. 486. 10
Erwan Juhara, Suhairi Es-Shabar, Manajemen Lisân; Sarana Keselamatan Dunia-
Akhirat (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2005), cet. II, h. 11
75
Imam al-Ghazali dalam bukunya “minhajul abidin”11
mengenai lisan
menyatakan bahwa seseorang wajib untuk memelihara lisan. Sebab, di antara
anggota badan dan pancaindera yang paling banyak menimbulkan kerusakan
adalah mulut. Maka menurut al-Ghazali ada lima hal yang harus diperhatikan:
1. Lisan itu sangat berpengaruh terhadap seluruh anggota badan dalam
kebaikan dan keburukan. Al-Ghazali mengutip sebuah hadis yang
berbunyi, diriwayatkan oleh Abu Sa‟id al-Khudri, bahwa anggota
badan anak Adam pada setiap pagi sepadan kepada lisan agar berlaku
baik. Seolah-olah mereka berkata, “wahai lisan, jika engkau berlaku
baik, maka kamipun akan berbuat baik. Dan jika engkau berlaku jahat,
maka kamipun terpaksa berlaku jahat pula.”
2. Ucapan lisan selain dzikrullah adalah sia-sia belaka. Jadi, jangan
membuang-buang waktu secara percuma dengan mengobrol yang tidak
bermanfaat.
3. Menjaga lisan merupakan faktor terpenting dalam mempertahankan
amal saleh. Jika lisan tak terkendali, maka ia akan cenderung membuat
kerusakan amal saleh.
4. Untuk menghindari bahaya dunia, maka berbicaralah sesuai dengan
tempatnya. Imam Sufyan mengatakan, “jagalah mulutmu, jangan
sampai membuat ompong gigimu sendiri”. Artinya, jika seseorang
berbicara seenaknya, maka ada kemungkinan orang tersebut dipukul
hingga giginya ompong atau patah.
11
Imam al-Ghazali, Wasiat Imam Ghazali minhajul Abidin (Jakarta: Darul Ulum Press,
1986), h. 140-142
76
5. Hal terpenting dalam menjaga, mencegah bahaya lisan adalah dengan
senantiasa mengingat ancaman-ancaman dari Allah Swt.
Imam al-Ghazali mengatakan bahwa siapa saja yang mengalami penyakit
hati dan lisan, maka kata-kata yang baik dapat bermanfaat untuk mendorong
dalam perubahan akhlak seseorang, begitu juga dengan kisah-kisah yang
mendatangkan perumpamaan-perumpamaan atau ancaman-ancaman yang
semuanya itu merupakan upaya untuk mencegah adanya penyakit lisan pada diri
seseorang. Sebagaimana dalam firman-Nya yang berbunyi,
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam
hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka
pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa
mereka.” (QS. Al-Nisâ‟/4: 63)
Sebab perkataan yang baik dan perilaku yang baik dapat mencegah,
menghapus, menghilangkan dan mengobati perilaku yang buruk. Upaya seperti ini
dapat menjadikan jiwa manusia suci, bersih dan fitri sebagaimana ia baru
dilahirkan dari rahim ibunya.
Demikianlah metode yang digunakan untuk mencegah bahaya lisan yang
selama ini sudah menjadi hal yang wajar dikalangan masyarakat. Semoga penulis
dan para pembaca dapat mempraktekkan metode ini dengan baik dan benar
sehingga penulis dan para pembaca dapat meminimalisirkan kejelekan-kejelekan
yang terdapat dalam lisan.
77
B. Manfaat Menjaga Lisan
Dalam buku penyakit rohani dan pengobatannya, menurut Syahminan
Zaini,12
ada empat point tentang manfaat menjaga lisan. Namun, penulis juga
menambahkan beberapa manfaatnya berdasarkan hadis shahih. Di antaranya
adalah:
1. Mendapat keutamaan di sisi Allah Swt dan Rasul-Nya.
Dalam hadits al-Bukhari yang berbunyi,
13
“Diceritakan dari Sa‟îd ibn Yahya ibn Sa‟îd al-Qursyî berkata,
diceritakan dari bapak saya berkata diceritakan dari Abu Bardah dari
„Abdillah ibn Abi Bardah dari Abi Bardah dari Abu Musa Ra berkata,
Rasulullah ketika ditanya tentang orang yang paling utama dari orang-
orang Islam, beliau menjawab: “(Orang Islam yang paling utama adalah)
orang yang selamat dari kejahatan tangan dan lisannya.” (HR. Al-Bukhari)
2. Mendapat jaminan surga dari Rasulullah Saw.
Dalam hadis al-Bukhari yang berbunyi,
14
12
Syahminan Zaini, Penyakit Rohani dan Penyebabnya (Surabaya: al-Ikhlas, 1990), cet.
II, h. 125-142. 13
Abî „Abdillah Muhammad ibn Ismâ‟îl al-Bukhârî, Sahih al-Bukhârî bi Hâsyah al-
Sanadî, Kitâb al-Îmân, bâb Ay‟ al-Islâm afdal, juz I (T.tp:Dâr Nahr al-Nayl, t.t.), h. 11. 14
Abî Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn „Ali al-Baihaqî, Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ, bab
Bayâni Makârim al-Akhlaq, Juz. 8 (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.) h. 166.
78
“Diceritakan dari Abu Qâsim „Abd al-Rahman ibn Muhammad al-
Sarâj imlâ‟, diberitakan dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Mu‟mil ibn al-
Hasan, diceritakan dari al-Fadl ibn Muhammad al-Sya‟rânî, diceritakan
dari Muhammad ibn Abi Bakr al-Muqaddamî bercerita kepada saya „Umar
ibn „Ali dari Abi Hazim dari Sahl bin Sa‟d berkata, sesumgguhnya
Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang
berada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya
(kemaluan) maka aku akan menjamin baginya al-jannah (surga).” (HR. Al-
Bukhari)
3. Terhindar dari penyakit-penyakit jasmani yang disebabkan oleh adanya
penyakit rohani.
4. Terhindar dari ketegangan batin yang disebabkan dorongan hawa nafsu
setan. Orang-orang yang sudah menjauh dari penyakit lisan, maka tidak
akan berani melakukan perbuatan dosa, karena takut kepada segala
ancaman di dunia maupun di akhirat.
5. Terhindar dari macam-macam bahaya.
Bencana atau musibah pada dasarnya terdapat dua macam, yaitu:
a. bencana yang datangnya dari Allah Swt. atau alam. Seperti, gempa
bumi, tsunami, dan lain-lain.
b. bencana yang disebabkan karena kesombongan atau kelalaian manusia
itu sendiri. Seperti, kecelakaan, kebakaran, dan lain-lain.
Orang-orang yang dapat mencegah bahayanya lisan, maka akan
terhindar dari segala bencana dikarenakan mereka telah mempunyai
hubungan yang mesra dengan tuhan, dengan sesama manusia dan
dengan alam. Dan juga mereka mempunyai ketakwaan kepada Allah
Swt. Firman Allah Swt yang berbunyi,
6. Dipermudahkan segala urusan dan memperoleh ketentraman dalam hidup
di dunia maupun di akhirat.
79
Demikianlah beberapa point tentang menjaga lisan yang dapat penulis
kemukakan pada skripsi ini. Semoga ini menjadi rujukan bagi penulis khususnya
dan pada masyarakat umumnya.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan akhir sebagai berikut:
1. Semua bahaya lisan dalam al-Qur’an ialah sifat yang sangat dibenci Allah
Swt. dalam hal apapun, karena dapat merusak akhlak seseorang dan orang
lain.
2. Pencegahan bahaya lisan menurut al-Qur’an, yaitu dengan cara membaca
al-Quran serta memahami maknanya dan membiasakan diri dengan
melakukan puasa, dzikir, dan shalat malam.
3. Pengaruh pencegahan ini dalam al-Quran memberikan kebaikan pada
perilaku manusia sehingga manusia dapat menjalankan syariat agama
dengan benar tanpa ada keraguan di dalam memahami agama tersebut.
B. Saran-Saran
Pada awalnya penulis mempunyai impian untuk membuat satu karya
penulisan yang baik dan sesuai dengan standarisasi yang ideal. Tetapi mengingat
waktu yang terus berjalan dan tuntutan yang terus meningkat, maka inilah tulisan
penulis yang sederhana dan yang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu
hanya kritik dan saran dari para pembacalah yang akan menilai kapasitas
penulisan ini.
80
81
Dalam penulisan ini masih banyak sekali kekurangan-kekurangan dalam
penelitian mengenai bahaya lisan, oleh karena itu saran penulis kepada para
intelektual muslim agar melakukan penelitian lebih lanjut lagi terhadap bahaya
lisan, karena bahaya lisan tidak hanya yang terdapat pada penulisan ini saja, masih
banyak bahaya-bahaya lisan yang belum dikaji. Oleh karena itu, demi
kesempurnaan peneltian ini dan untuk menambah wawasan pengetahuan
keislaman dunia, alangkah baiknya diadakan penelitian lebih lanjut terhadap
bahaya lisan. Terakhir semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan sedikit
pengetahuan untuk penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Amin.
82
DAFTAR PUSTAKA
Agama RI, Departemen. al-Quran dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan),
Jilid 3, 4, 5, 7. Jakarta: Departemen agama RI, 2004.
al-Baihaqî, Abî Bakr Ahmad ibn al-Husain ibn ‘Ali. Sunan al-Baihaqî al-Kubrâ,
Juz. 10, 8. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
al-Bâqî, Muhammad Fuad ‘Abd. Mu’jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’an al-
Karîm. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
al-Bukhârî, ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ’îl. Matan al-Bukhârî Masykûl. Jilid 4
Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
--------. Sahih al-Bukhârî bi Hâsyah al-Sanadî. T.tp:Dâr Nahr al-Nayl, t.t.
Chirzin, Muhammad. Permata Al-Quran. Yogyakarta: QIRTAS, 2003.
El-sulthani, Mawardi Labay. Bahaya Provokasi Lidah Tidak Bertulang; Pahit dan
Manisnya Dunia Karena Lidah. Jakarta: al-Mawardi Prima, 2002.
F. Ganong, William. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 20. Penerjemah
Djauhari Widjayakusumah, ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2003.
al-Ghazali, Imam. Mutiara Ihyâ’ ‘Ulûmuddîn. Penerjemah Irwan Kurniawan.
Bandung: Mizan, 1997.
--------, Wasiat Imam al-Ghazali; Minhajul Abidin. Jakarta: Darul Ulum press,
1986.
--------, Bahaya Lidah. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Hawwa, Said. Induk Pensucian diri. Penerjemah Syed Ahmad Semait, dkk.
Singapura: Pustaka Nasional, t.t.
--------, Mensucikan Jiwa; Konsep Tazkiyatun-Nafs terpadu. Penerjemah Aunur
Rafiq Shaleh Tamhid, Lc. Jakarta: Robbani Press, 1999.
Hidayah, Siti. "Akhlak Dalam Perspektif Al-Quran (Studi Analisis QS. Al-A’raf/7:
199-202)." Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif
hidayatullah Jakarta, 2009.
Ibrohim, Mahyudin. Nasehat 125 Ulama Besar. Jakarta: Darul Ulum, 1987.
W82
83
Jaarullah, Abdullah bin. Awas! Bahaya Lisan. Penerjemah Abu Haidar, Abu
Fahmi. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Juhara, Erwan dan Es-Shabar, Suhairi. Manajemen Lisân; Sarana Keselamatan
Dunia-Akhirat. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2005.
Manzûr, Ibnu. Lisân al-‘Arabi, Juz 1, 2, 3, 6, 10, 12, 14, 15. Beirut: Dâr Ihyâ’ al-
Turâts al-‘Arabi, t.t.
al-Marâghî, Ahmad Mustafâ. Tafsîr al-Marâghî, Jilid 3, 4, 6, 8, 9. Mesir: Dâr al-
Fikr, t.t.
al-Mawardi, Abul Hasan Ali. Mutiara Akhlak Al-Karimah. Terjemahan Adâb an-
Nafs. Jakarta: Pustaka Amani, 1993.
al-Mishri, Mahmud. Ensiklopedia Akhlak Muhammad saw. Penerjemah Abdul
Amin, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2009.
Muhammad, Ahsin Sakho, dkk., ed. Tematis Ensiklopedi Al-Quran, Jilid III.
Terjemah al-Mausu’ah al-Qur’âniyah. Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, t.t.
Mujib dan Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Pers, 2001.
al-Naisabûri, Muslim ibn Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi. Sahih Muslim. Beirut:
Dâr Ihyâ’I al-Turâts al-‘Arabi, t.t.
--------. Sahih Muslim, Jilid I. Beirut: dâr al-Fikri, t.t.
Nasution, Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.
Nawawi, Mahyuddin Abî Zakariâ Yahya ibn Syarf al-Nawawi. Riyâdhus Shalihin,
bâb Tarjim al-Ghibah wa al-‘Amru Bihafidz. Juz II.
Pearce, Evelyn C. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Penerjemah Sri
Yuliani Handoyo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006.
al-Qahthani, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf. Bahaya Lidah; Penyakit Lisan dan
Terapinya. Penerjemah Eko Haryono, Aris Munandar. Jogjakarta: Media
Hidayah, 2003.
al-Quran digital versi 2.1
al-Qazwaynî, Abî ‘Abdillâh Muhammad ibn Yazîd. Sunan Ibn Mâjah. Beirut:Dâr
al-Fikr, 1995.
ar-Rifa’I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. Penerjemah
Drs. Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani, 2008.
84
Ridwan, Kafrawi, dkk., ed. Ensiklopedi Islam, Vol. I. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994.
Sahabuddin, dkk, ed. Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, Vol. I. Jakarta:
Lentera Hati, 2007.
--------. Ensiklopedia Al-Quran; Kajian Kosakata, Vol. II. Jakarta: Lentera Hati,
2007.
Sahil, Azharuddin. Indeks al-Quran; Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata
Dalam Al-Quran. Bandung: Mizan, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran,
Vol. 1, 2, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 15. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
al-Suyûti, Jalâluddin ‘Abdurrahman ibn Abu Bakar. Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb an-
Nuzûl. al-Riyâd: Maktabah al-Riyâd al-Haditsah, t.t.
al-Sya’râwi, Muhammad Mutawali. Tafsîr as-Sya’râwî, Jilid 3, 4, 5, 9. Kairo:
Akhbâr al-Yaum, t.t.
At-Tamimi, Muhammad. Kitab Tauhid. Jakarta: QALAM, 1995.
Tim penulis UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Tasawuf, Jilid I. Bandung:
Angkasa, 2008.
Ulfah, Eneng Maria. "Etika Menjaga Lisan Dalam al-Quran; Kajian Terhadap
QS. An-Nisâ ayat 114 dan QS. Al-Hujurat ayat 12." Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Zaini, Syahminan. Penyakit Rohani dan Penyebabnya. Surabaya: al-Ikhlas, 1990.
Zuhaili, Wahbah, dkk. Ensiklopedia Al-Qur’an. Penerjemah Tim Kuwais. Jakarta:
Gema Insani, 2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah
http://www.anneahira.com/anatomi-lidah.htm.
http://id.wikipedia.org/wiki/Lidah.
http://endahngawi.blogspot.com/2010/08/urgensi-akhlak-lisan.html.
http://firmanazka.blogspot.com/2010/07/bahaya-lisan-terhadap-ghibah
hukum.html.