bahan ogma
-
Upload
david-widyanto -
Category
Documents
-
view
250 -
download
4
description
Transcript of bahan ogma
Kondisi Geologi Indonesi
Peta Tektonik dan Gunung Berapi di Indonesia. Garis biru melambangkan batas antar
lempeng tektonik, dan segitiga merah melambangkan kumpulan gunung berapi. Sumber:
MSN Encarta Encyclopedia
Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-
Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan
lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific
di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi
tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan
tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi. Pelepasan energi sesaat ini
menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena percepatan gelombang seismik,
tsunami, longsor, dan liquefaction. Besarnya dampak gempa bumi terhadap bangunan
bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme
sumber, jenis lapisan tanah di lokasi bangunan dan kualitas bangunan.
Peristiwa tektonik yang cukup aktif, selain menimbulkan gempa dan tsunami, juga membawa
berkah dengan terbentuknya banyak cekungan sedimen (sedimentary basin). Cekungan ini
mengakomodasikan sedimen yang selanjutnya menjadi batuan induk maupun batuan
reservoir hydrocarbon. Kadungan minyak dan gas alam inilah yang kini banyak kita tambang
dan menjadi tulang punggung perekonomian kita sehingga tahun 1990-an.
Kondisi Tektonik di Kepulauan Indonesia
Indonesia, juga merupakan negara yang secara geologis memiliki posisi yang unik karena
berada pada pusat tumbukan Lempeng Tektonik Hindia Australia di bagian selatan, Lempeng
Eurasia di bagian Utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur laut. Hal ini mengakibatkan
Indonesia mempunyai tatanan tektonik yang komplek dari arah zona tumbukan yaitu Fore
arc, Volcanic arc dan Back arc. Fore arc merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan
zona tumbukan atau sering di sebut sebagai zona aktif akibat patahan yang biasa terdapat di
darat maupun di laut. Pada daerah ini material batuan penyusun utama lingkungan ini juga
sangat spesifik serta mengandung potensi sumberdaya alam dari bahan tambang yang cukup
besar. Volcanic arc merupakan jalur pegunungan aktif di Indonesia yang memiliki topografi
khas dengan sumberdaya alam yang khas juga. Back arc merupakan bagian paling belakang
dari rangkaian busur tektonik yang relatif paling stabil dengan topografi yang hampir
seragam berfungsi sebagai tempat sedimentasi. Semua daerah tersebut memiliki kekhasan
dan keunikan yang jarang ditemui di daerah lain, baik keanegaragaman hayatinya maupun
keanekaragaman geologinya
.
Indonesia merupakan negara yang secara geologis memiliki posisi yang unik karena berada
pada pusat tumbukan Lempeng Tektonik Hindia Australia di bagian selatan, Lempeng
Eurasia di bagian Utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur laut. Lempeng Indo-Australia
bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara,
sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Hal ini mengakibatkan Indonesia
mempunyai tatanan tektonik yang komplek dari arah zona tumbukan yaitu Fore arc, Volcanic
arc dan Back arc. Fore arc merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan zona
tumbukan atau sering di sebut sebagai zona aktif akibat patahan yang biasa terdapat di darat
maupun di laut. Pada daerah ini material batuan penyusun utama lingkungan ini juga sangat
spesifik serta mengandung potensi sumberdaya alam dari bahan tambang yang cukup besar.
Implikasi dari proses tektonik yang membentuk kepualauan Indonesia bisa dilihat pada
gambar dibawah ini:
Sebaran Gunungapi dan Titik Pusat Gempa di Kepulauan Indonesia
Gambar di atas menunjukkan sebaran gunung api (segitiga merah), titik gempa (tanda plus
ungu) dan hot spot (tanda bintang jingga). Rangkaian gunungapi dan titik gempa selalu
berasosiasi dengan zona penunjaman (bisa anda lihat pada gambar pertemuan lempeng di
atas). Pulau Sumatra, Jawa, Flores, Maluku, Sulawesi dan bagian utara Papua akan rawan
dengan gunungapi dan gempa. Hampir seluruh kepulauan di Indonesia memiliki potensi
gempa kecuali pulau Kalimantan yang relatif aman.
KONSEP DASAR PULAU JAWA
Menurut para ahli bumi, batuan dasar (atau dikenal dengan nama Basement) di Pulau
Jawa terbentuk antara tahun 70-35 juta tahun sebelum masehi. Batuan ini tersusun oleh
batuan malihan (matamorfik), serta batuan beku. Ahli geologi ini sudah lama meneliti Pulau
Jawa dan tidak pernah menemukan batuan yg berumur lebih tua dari 50juta tahun lalu.
Jawa Barat usia batuan dasarnya lebih tua dari Jawa Tengah dan Jawa Timur,
mengapa ? Karena basement (batuan dasar) di Jawa Timur tebentuk pada tahap-tahap akhir
setelah ditubruk lempeng Australia dan numpuk-numpuk membentuk basement di Jawa
Timur.
Pada 20 juta tahun sebelum masehi, zona tubrukan lempeng Australia dengan
lempeng Asia terkunci dan menyebabkan menunjamnya lempeng Australia dibawah lempeng
Asia. Penunjaman ini yg berlangsung hingga sekarang dan menyebabkan munculnya gunung-
gunung api disebelah barat Pulau Sumatra dan juga sebelah selatan Pulau Jawa.
Pada waktu itu Jawa Tengah dan Jawa Timur berupa lautan karena kalau dilihat di
selatan Pulau Jawa banyak dijumpai gunung gamping. Gamping itu dulunya terumbu karang
yang hidup dan adanya di laut. Kalau sekarang contohnya ya Pulau Seribu itu atau kalau yang
besar Great Barier di sebelah timut Australia. Dengan logika yang sederhana seperti itulah
maka ahli kebumian ini tahu bahwa pegunungan selatan Jawa, termasuk Batugamping di
Wonosari itu, dahulunya adalah lautan.
Lima juta tahun yang lalu konfigurasi serta bentuk pulau-pulau di Indonesia sudah
mirip dengan yang ada saat ini. Pulau Jawa dan pulau Sumatra sudah “ditumbuhi” gunung-
gunung api yg masih aktif hingga saat ini. Termasuk Gunung Merapi yang sangat aktif
kemaren itu. Patahan-patahan di sumatra masih saja bergerak, juga saat itu patahan-patahan
Jawa mulai terbentuk dan semakin jelas.
Patahan di Jakarta, juga patahan Opak, Patahan Grindulu, Patahan Cimandiri, dan juga
patahan-patahan kecil lainnya. Yang digariskan warna merah adalah patahan hingga ke
batuan dasar, sedangkan yang warna hijau adalah patahan yang terlihat dipermukaan saat ini.
Pola stuktur di Pulau Jawa berupa pola Meratus , pola Sunda dan arah Timur –
Barat (Sujanto dan Sumantri , 1977 dalam Natalia dkk., 2010)
Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah
terekspresikan dari pola penyebarab singkapan batuan pra- Tersier di daerah
KarangSambung.
Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati, “Florence”
timur, “Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian
Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih
dominan terekspresikan di bagian timur.
Pola Sunda berarah Utara - Selatan, di bagian barat tampak lebih dominan sementara
perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan.Ekspresi yang mencerminkan pola ini
adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna.
Pola Sunda pada Umumnya berupa struktur regangan.Pola Jawa di bagian barat pola ini
diwakili oleh sesar-sesar naik seperti sesar Beribis dan sesar-sesar dalam Cekungan Bogor.
Di bagian tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan
Serayu Selatan (Gambar 8). Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan
Kendeng yang berupa sesar naik.
Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola Meratus merupakan pola yang
paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai Paleosen dan
tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karang Sambung hingga di
daerah Cimandiri Jawa Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih
muda.
Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda telah
mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir hingga Oligosen
Akhir.
Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah
ada sebelumnya (Pulunggono, 1994 dalam Natalia dkk., 2010 ). Data seismik menunjukkan
bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga sekarang.
KEADAAN GEOLOGI DAERAH BANTEN
Definisi geologi dan geofisika propinsi banten adalah sbb :
Di daerah Selat Sunda terdapat ujung dari patahan atau Sesar Sumatra (Semangko)
yang merupakan sesar geser aktif sepanjang 1650 km dengan pergerakan lateral
antara 20 – 25 km dan percepatan horizontal 6 cm/th.
Karakter geologi & geofisika Prop.Banten, sbb :
o Terdapat beberapa gunung berapi diantaranya G.Anak Krakatau dan G
Condong
o Terdapat mata air panas di sekitar Rawa Danau
o Terdapat beberapapatahan atau sesar
o Mempunyai tingkat kegempaan tinggi
Jenis batuan yang ada digolongkan dalam batuan undifferentiated volcanis product,
pliocene-sedimentary, alluvium, miocene-volcanic facies, pleistocene-sedimentary
facies, andesit.
KEADAAN GEOLOGI DAERAH JAWA TIMUR
Penelitian Geofisika dengan metode Gayaberat telah dilakukan di daerah Cekungan
Jawa Timur bagian utara yang meliputi wilayah Bojonegoro dan Tuban. Pengukuran data
gayaberat sebanyak 270 titik ukur diperoleh pada tahun 2005 dan pada tahun 2006
pengukuran sebanyak 180 titik. Dari data tersebut telah dibuat peta kontur Bouguer anomali.
Dari peta anomali Bouguer ini dapat dikelompokkan tiga kelompok anomali, yaitu :
1. Kelompok anomali rendah 38 mGal dijumpai di bagian utara daerah penelitian di sekitar
daerah Tuban.
2. Kelompok anomali tinggi dijumpai berarah Timur- barat dan membelok ke arah Baratlaut-
tenggara (E-W-NW).
3. Kelompok anomali sisa diperoleh dengan metoda polinomial dari orde 1 hingga orde 4
yang memperlihatkan adanya konsistensi kelurusan struktur dengan arah Barat-Timur yang
melewati Tuban dan diduga merupakan sesar normal yang berkembang menjadi Sesar geser
mengiri pada daerah inverted zone yang kemungkinan berhubungan dengan RMKS fault
Zone.
Berdasarkan peta anomali sisa dan Bouguer anomali rendah pola kontur yang
melingkar dijumpai di daerah Soka hingga Babat dan Senon wilayah Bojonegoro ini diduga
cerminan dari batuan sedimen yang cukup tebal dan berdensitas rendah. Anomali sedang
dijumpai menyebar di daerah penelitian. Dari daerah montong ke arah baratdaya dijumpai
anomali sedang yang berbentuk nose structure yang berada diantara anomali rendah. Dalam
kontek aliran fluida, pola anomali Bouguer yang berbentuk demikian kemungkinan dapat
merupakan tempat akumulasinya fluida secara konvengen.
Berdasarkan data regional (geologi dan gayaberat) daerah kajian berada dalam
anomali Bouguer positif dan pola nose structure tersebut berada di atas F. Tawun-F.
Ngrayong yang mempunyai sejarah erosi yang panjang, diduga di bawah daerah ini masih
dijumpai satuan batuan Formasi Kujung (Prupuh chalk dan Kranji mudstone).
Daerah penelitian meliputi wilayah Propinsi Jawa Tengah bagian timur dan Jawa
Timur. Di Jawa Tengah penelitian lapangan batuan paleogen dan batuandasar Pra-Tersier
dilakukan di daerah karangsambung, Nanggulan, dan Bayat (Kabupaten Klaten), sedangkan
di Jawa Timur penelitian batuan Paleogen dan batuan dasar Pra-Tersier didasarkan pada data
sumur dan data seismik. Daerah Jawa bagian timur dipilih sebagai daerah penelitian karena
keunikannnya sebagai tempat terjadinya perubahan zona subduksi Neogen yang berarah
timur-barat. Penelitian ini menghasilkan peta geologi dan stratigrafi baru daerah
Karangsambung. Stratigrafi baru ini memunculkan tiga satuan batuan baru.
Hasil penemuan penelitian ini, yang diusulkan sebagai :
o "Formasi Bulukuning" - berumur Eosen Awal,
o "Komplek Larangan" - berumur Eosen Akhir, dan
o "Anggota Breksi Mondo Formasi Totogan" - berumur Oligosen.
Ketiga satuan baru ini oleh peneliti terdahulu depetakan sebagai bagian dari Komplek
Malange Luk Ulo.
Hadirnya Formasi Bulukuning yang berumur Eosen Awal menunjukkan bahwa pada
saat formasi ini diendapkan proses subduksi komplek Malange Luk Ulo sudah tidak aktif dan
bagian utaranya berubah menjadi cekungan laut dangkal dimana Formasi Bulukuning
diendapkan, sementara di bagian yang lain, di bagian selatan, masih terdapat daerah bekas
palung subduksi kapur yang berupa cekungan sempit dan dalam dimana Formasi
Karangsambung dan komplek Larangan diendapkan. Kenampakan terdeformasi Komplek
Larangan, Formasi Karangsambung, dan Formasi Bulukuning menunjukkan bahwa setelah
pengendapan Formasi Karangsambung dan komplek Larangan di daerah Luk Ulo terjadi
deformasi kompresional yang cukup signifikan pada Eosen Akhir-Oligosen Awal.
Hasil penelitian menunjukkan himpunan batuan Pra-Tersier Komplek bayat berbeda
dengan Komplek Melange Luk Ulo, Karangsambung. Batuan Pra-Tersier Luk Ulo,
merupakan Malange tektonik komplek akresi, produk khas subduksi lempeng samudera yang
dicirikan oleh percampuran tektonik berbagai ukuran dan jenis blok batuan dalam masadasar
lempung dan mengandung komponen oceanic plate stratigraphy (OPS).
Singkapan Komplek Bayat didominasi oleh batuan metamorf derajat rendah-
menengah berupa filit dan sekis dengan komposisi kalsit antara 15-60% (calcareous phyllite
dan calcareous schist). tidak dijumpainya himpunan batuan OPS dan terdapatnya calcareous
phyllite dan calcareous schist menunjukkan batuan asal (protolit). Komplek bayat adalah
batuan sedimen yang mengandung karbonat yang berasosiasi dengan batuan sedimen terigen
(asal darat) yang berasosiasi dengan lingkungan kontinen.
Provenan batupasir daerah Luk Ulo, Karangsambung umumnya berada di recycled
oregen, sub-zona foreland unplift. Sedangkan batupasir Eosen dari ketiga daerah lainnya
(Nanggulan, Bayat, dan Cekungan Jawa Timur) menunjukkan kemiripan provenan, yakni di
continental block, sub-zona craton interior. Hasil analisis ini, menunjukkan bahwa batuan
dasar daerah karangsambung berbeda dibandingkan batuan dasar ketiga daerah tersebut, hasil
ini mendukung pendapat bahwa Jawa bagian Timur batuan dasarnya bersifat kontinental dan
disebut mikrokontinen Jawa Timur.
Evolusi tektonik daerah penelitian sejak kapur hingga Oligosen (Paleogen Akhir)
dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu :
Periode pertama, berlangsung pada Kapur akhir sampai Paleosen ketika subduksi
Lempeng Samudera Indo-Australia pada zona subduksi Ciletuh-Karangsambung-Meratus
berhenti karena tumbukan Mikrokontinen Pasternoster, belum menumbuk dan di depannya
masih terdapat sisa morfologi palung di daerah Karangsambung. Periode ini ditandai dengan
terjadinya pengangkatan pada Paleosen yang membentuk ketidakselarasan regional antara
batuan Pra-Tersier dengan batuan Tersier.
Periode kedua, berlangsung pada Eosen adalah periode regangan ditandai oleh
pembentukkan cekungan-cekungan Paleogen. Di daerah penelitian cekungan terbentuk di
daerah komplek akresi dan di bekas palung yang menghasilkan endapan olistostrom Formasi
Karangsambung dan komplek Larangan. Di daerah tepi selatan Mikrokontinen Jawa Timur
berkembang Cekungan Nanggulan dan Bayat.
Periode ketiga, terjadi pada Oligosen, ketika di daerah Luk Ulo Formasi Karangsambung
dan Komplek Larangan terdeformasi akibat tumbukan Mikrokontinen Jawa Timur.
Disamping mengakibatkan gejala tumbukan di daerah Luk Ulo, secara regional subduksi ini
menghasilkan busur volkanik Oligosen yang membentuk sebagain besar morfologi
Pegunungan Selatan jawa.
KEADAAN GEOLOGI DAERAH JAWA BARAT
Jawa Barat merupakan daerah yang lebih sering dan lebih banyak mengalami
gangguan longsor jika dibandingkan dengan daerah Jawa yang lain. Gangguan tersebut
menjadi terasa sekali akibatnya karena adanya unsur manusia dengan kegiatannya yang
terkena oleh gerakan longsor atau longsoran, seperti jiwa manusia, rumah, jalan raya dan
jalan kereta api, sawah dan ladang, peternakan, saluran irigasi dan sebagainya. Macam-
macam longsoran telah terjadi tetapi kelompok longsoran yang terbanyak adalah lawina
bahan rombakan (debris avalanche), luncuran bahan rombakan (debris slide), dan nendat
(slump); kemudian menyusul aliran tanah (earth flow), aliran lumpur (mud flow), pengocoran
pasir (sand run), dan gelinciran bongkah (block glide).
Dalam lawina bahan rombakan (debris avalanche), peluncuran bahan rombakan
(debris slide), aliran tanah (earth flow), dan aliran lumpur (mud flow) terdapat pengaruh yang
besar dari tanah pelapukan dan hasil rombakan.rnDaerah longsoran yang dikelompokkan atas
dasar kondisi geologi dan proses yang mempengaruhi dapat digolongkan atas :
a. Daerah longsoran yang terjadi karena adanya perbedaan permeabilitas dan konsistenst
batuan penutup dengan batuan dasarnya; umumnya terdapat pada batas antara batuan tuf
gunungapi muda dengan batuan sedimen Tersier.
b. Daerah longsoran pada endapan sedimen Tersier yang kurang konsisten, dan terlipat kuat;
umumnya pada jalur Bogor.
c. Daerah longsoran pada endapan sedimen marin yang terangkat atau terlipat kuat-kuat;
umumnya pada jalur Pegunangan Selatan Jawa Barat.
d. Lain-lain Pengaruh sesar longsoran yang tampak adalah pada breksi milonit, yang dapat
dipersamakan sifatnya dengan bahan rombakan sehingga dapat menyebabkan kelabilan tanah.
Pengaruh gempa tektonik dan volkanik terhadap longsoran kurang menunjukkan
adanya hubungan yang nyata meskipun hal tersebut sangat masuk akal.
Longsoran dipengaruhi pula oleh factor :
Ketajaman sudut lereng
Curah hujan
Aliran air
Vegetasi
Hasil kegiatan manusia seperti penggalian dan sebagainya yang memperbesar sudut
setempat.
Interpretasi kestabilan wilayah terhadap longsor dibuat berdasarkan peta sudut lereng,
keadaan geologi, dan intensitas terjadinya gerakan. Wilayah kestabilan dibagi dalam :
1) Daerah stabil,
2) Daerah mungkin bergerak, dan
3) Daerah labil.
Peta ini dapat dibuat dalam peta daerah contoh berskala 1:25000, sedangkan pada peta
berskala 1:1000000 hanya dapat ditunjukkan pengelompokan daerah longsor menurut ciri-ciri
dan macam longsorannya.
. STRUKTUR GEOLOGI PULAU SUMATRA
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan pertumbukan antara lempeng
India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 Juta tahun lalu yang mengakibatkan
perubahan sistematis dari perubahan arah dan kecepatan relatif antar lempengnya.
Penunjaman Sunda berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang
3.700 km, serta berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Arah penunjaman menunjukkan
beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta menunjam
miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Berdasarkan karakteristik
morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah penunjaman, busur Sunda dibagi
menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari propinsi Jawa, Sumatera Selatan
dan Tengah, Sumatera Utara-Nicobar, Andaman dan Burma. Diantara Propinsi Jawa dan
Sumatera Tengah-Selatan terdapat Selat Sunda yang merupakan batas tenggara lempeng
Burma.
SUMATRA SELATAN
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan erat
dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga timur laut
terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah
sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate)
yang berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone
konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut
dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan.
Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik,
dan busur belakang. Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis,
yaitu :
Mesozoikum Tengah
Kapur Akhir sampai Tersier Awal
Plio-Plistosen
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah barat laut-
tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan
Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan
cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan
Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan
Cekungan Sumatera Tengah.
Posisi Cekungan Sumatera Selatan sebagai cekungan busur belakang (Blake,1989)
Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan
busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara
Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India.
Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya
dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda
(Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara
dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Salim et al. (1995), Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal
Tersier(Eosen- Oligosen) ketika rangkaian(seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem
penunjaman menyudut antara lempeng samudra Hindia dibawah lempeng benua Asia.
Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa
yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa
Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir–Tersier awal dan Orogenesa Plio-Plistosen.
Episode pertama, endapan-endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan
terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk
pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan
Nazirman,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut- tenggara yang berupa sesar-
sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak-gerak tensional
yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara-selatan. Dikombinasikan dengan
hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan-batuan Pra-Tersier, gerak gerak
tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra-Talang
akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio-Plistosen yang menyebabkan pola
pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan
dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga
terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar
Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal
yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan
Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar-sesar yang baru terbentuk di daerah ini
mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan
horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio- Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah
barat laut- tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut-barat daya dan barat laut-
tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan
sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut- tenggara sebagai
hasil orogenesa Plio- Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan
atas pola tua yang berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara serta pola muda yang berarah
barat laut- tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera.
SUMATRA TENGAH
Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasil hidrokarbon
terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah merupakan
cekungan belakang busur. Cekungan Sumatra tengah ini relatif memanjang Barat laut-
Tenggara, dimana pembentukannya dipengaruhi oleh adanya subduksi lempeng Hindia-
Australia dibawah lempeng Asia. Batas cekungan sebelah Barat daya adalah Pegunungan
Barisan yang tersusun oleh batuan pre-Tersier, sedangkan ke arah Timur laut dibatasi oleh
paparan Sunda. Batas tenggara cekungan ini yaitu Pegunungan Tigapuluh yang sekaligus
memisahkan Cekungan Sumatra tengah dengan Cekungan Sumatra selatan. Adapun batas
cekungan sebelah barat laut yaitu Busur Asahan, yang memisahkan Cekungan Sumatra
tengah dari Cekungan Sumatra utara.
Proses subduksi lempeng Hindia-Australia menghasilkan peregangan kerak di bagian bawah
cekungan dan mengakibatkan munculnya konveksi panas ke atas dan diapir-diapir magma
dengan produk magma yang dihasilkan terutama bersifat asam, sifat magma dalam dan
hipabisal. Selain itu, terjadi juga aliran panas dari mantel ke arah atas melewati jalur-jalur
sesar. Secara keseluruhan, hal-hal tersebutlah yang mengakibatkan tingginya heat flow di
daerah cekungan Sumatra tengah
Peta pergerakan lempeng Daerah Sumatra dan kawasan Asia Tenggara lainnya pada masa
kini
Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah adalah
adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Subduksi lempeng yang miring dari
arah Barat daya pulau Sumatra mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress di
Cekungan Sumatra tengah. Hal ini dicerminkan oleh bidang sesar yang curam yang berubah
sepanjang jurus perlapisan batuan, struktur sesar naik dan adanya flower structure yang
terbentuk pada saat inversi tektonik dan pembalikan-pembalikan struktur. Selain itu,
terbentuknya sumbu perlipatan yang searah jurus sesar dengan penebalan sedimen terjadi
pada bagian yang naik (inverted).
Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama dengan
cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa struktur
Barat laut-Tenggara dan Utara-Selatan. Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan
jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat laut–Tenggara.
Elemen tektonik yang membentuk konfigurasi Cekungan Sumatra tengah dipengaruhi adanya
morfologi High – Low pre-Tersier. Pada gambar 4 dapat dilihat pengaruh struktur dan
morfologi High – Low terhadap konfigurasi basin di Cekungan Sumatra tengah (kawasan
Bengkalis Graben), termasuk penyebaran depocenter dari graben dan half graben. Lineasi
Basement Barat laut-Tenggara sangat terlihat pada daerah ini dan dapat ditelusuri di
sepanjang cekungan Sumatra tengah. Liniasi ini telah dibentuk dan tereaktivasi oleh
pergerakan tektonik paling muda (tektonisme Plio-Pleistosen). Akan tetapi liniasi basement
ini masih dapat diamati sebagai suatu komponen yang mempengaruhi pembentukan formasi
dari cekungan Paleogen di daerah Cekungan Sumatra tengah.