bahan KUBE
-
Upload
ali-saidina -
Category
Documents
-
view
280 -
download
1
description
Transcript of bahan KUBE
Pengembangan Energi Terbarukan Sebagai Energi Aditif di Indonesia-
Pendahuluan
Merupakan suatu kenyataan bahwa kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik di Indonesia, makin berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seiring dengan pesatnya peningkatan pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi. Namun pelaksanaan penyediaan energi listrik yang dilakukan oleh PT.PLN (Persero), selaku lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola masalah kelistrikan di Indonesia, sampai saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi listrik secara keseluruhan. Kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya pusat-pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik (Ramani,K.V,1992), serta terbatasnya kemampuan finansial, merupakan faktor-faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional.
Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter;
1. dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi
2. dapat menyediakan energilistrik dalam skala lokal regional3. mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, serta4. cinta lingkungan, dalam artian proses produksi dan pembuangan hasil
produksinya tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya.
Sistem penyediaan energi listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas adalah sistem konversi energi yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti: matahari, angin, air, biomas dan lain sebagainya (Djojonegoro,1992). Tak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber-sumber daya energi terbarukan dewasa ini telah meningkat dengan pesat, khususnya di negara-negara sudah berkembang, yang telah menguasai rekayasa dan teknologinya, serta mempunyai dukungan finansial yang kuat. Oleh sebab itu, merupakan hal yang menarik untuk disimak lebih lanjut, bagaimana peluang dan kendala pemanfaatan sumber-sumber daya energi terbarukan ini di negara-negara sedang berkembang, khususnya di Indonesia.
Ramalan Kebutuhan dan Ketersediaan Energi Listrik di Indonesia
Dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dalam sepuluh tahun terakhir, skenario "export-import" dan pertumbuhan penduduk, pada tahun 1990 diramalkan bahwa
tingkat pertumbuhan kebutuhan energi listrik nasional dapat mencapai 8,2 persen rata-rata per tahun, seperti ditunjukkan dalam tabel-1 berikut.
Tabel-1Ramalan Kebutuhan Energi Listrik
Sektor1990 2000 2010
GWh persen GWh persen GWh persen
Industri 35.305 68,0 84.822 69,0 183.389 70,0
Rumah tangga 9.865 19.00 22.2392 18.0 40.789 16.0
Fasilitas umum 3.634 7,0 6.731 6.0 12.703 5.5
Komersial 3.115 6.0 8.811 7,0 21.869 8.5
Total 51.919 100.0 122.603 100.0 258.747 100.0
Sumber: Djojonegoro, 1992
Kebutuhan energi listrik tersebut diharapkan dapat dipenuhi oleh pusat-pusat pembangkit listrik, baik yang dibangun oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1990 kebutuhan energi listrik sebesar 51.919 GWh telah dipenuhi oleh seluruh pusat pembangkit listrik yang ada dengan kapasitas daya terpasang sekitar 22.000 MW. Sehingga pada tahun 2010 dari kebutuhan energi listrik, yang diramalkan mencapai 258.747 GWh per tahun, diharapkan dapat dipenuhi oleh sistem suplai energi listrik dengan kapasitas total sebesar 68.760 MW, yang komposisi sumber daya energinya seperti diperlihatkan dalam tabel-2
Tabel-2Prakiraan Penyedian Energi Listri di Indonesia
Sumber Energi1990 2000 2010
MW persen MW persen MW persen
BatubaraGasMinyakSolarPanas BumiAirBiomassLain-lain(Surya Angin)
1.9303.5302.21011.0201702.85027020
8.816.010.050.10.813.01.20.1
10.7507.0801.9509.4105007.720290160
28.418.75.224.81.320.40.80.4
28.05014.7603204.06043010.310460370
35.321.50.55.90.615.00.70.5
Total 22.000 100.0 37.860 100.0 68.760 100.0
Sumber: Djojonegoro, 1992 & Wibawa, 1996.
Dari tabel-2 ini tampak jelas terlihat, bahwa penggunaan minyak bumi, termasuk solar/minyak disel, sebagai bahan bakar produksi energi listrik akan sangat berkurang,
sebaliknya pemanfaatan sumber-sumber daya energi baru dan terbarukan, seperti air, matahari, angin dan biomas, mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kecenderungan ini tentu akan terus bertahan seiring dengan makin berkurangnya cadangan minyak bumi serta batubara, yang pada saat ini masih merupakan primadona banan bakar bagi pembangkit listrik di Indonesia.
Akan tetapi sejak tahun 1992 kebutuhan energi listrik nasional meningkat mencapai 18 persen rata-rata per tahun, atau sekitar dua kali lebih tinggi dari skenario yang dibuat pada tahun 1990. Hal ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi nasional kaitannya dengan pertumbuhan industri dan jasa konstruksi. Jika keadaan ini terus bertahan, berarti diperlukan pula pengadaan sistem pembangkit energi listrik tambahan guna mengantisipasi peningkatan kebutuhan tersebut. Dilema yang timbul adalah bahwa di satu sisi, pusat-pusat pembangkit energi listrik yang besar tentu akan diorientasikan untuk mencukupi kebutuhan beban besar, seperti industri dan komersial. Di sisi lain perlu juga dipikirkan agar beban kecil, seperti perumahan dan wilayah terpencil, dapat dipenuhi kebutuhannya akan energi listrik. Salah satu alternatif yang dapat diupayakan adalah dengan membangun pusat-pusat pembangkit kecil sampai sedang yang memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, khususnya sumber daya energi baru dan terbarukan.
Peluang Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
a. Menipisnya cadangan minyak bumi
Setelah terjadinya krisis energi yang mencapai puncak pada dekade 1970, dunia menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak bumi, sebagai salah satu tulang punggung produksi energi terus berkurang
Bahkan beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi seperti sekarang, maka dalam waktu 50 tahun cadangan minyak bumi dunia akan habis. Keadaan ini bisa diamati dengan kecenderungan meningkatnya harga minyak di pasar dalam negeri, serta ketidak stabilan harga tersebut di pasar internasional, karena beberapa negara maju sebagai konsumen minyak terbesar mulai melepaskan diri dari ketergantungannya kepada minyak bumi sekaligus berusaha mengendalikan harga, agar tidak meningkat. Sebagai contoh; pada tahun 1970 negara Jerman mengkonsumsi minyak bumi sekitar 75 persen dari total konsumsi energinya, namun pada tahun 1990 konsumsi tersebut menurun hingga tinggal 50 persen (Pinske, 1993).
Jika dikaitkan dengan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar sistem pembangkit listrik, maka kecenderungan tersebut berarti akan meningkatkan pula biaya operasional pembangkitan yang berpengaruh langsung terhadap biaya satuan produksi energi listriknya. Di lain pihak biaya satuan produksi energi listrik dari sistem pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan menunjukkan tendensi menurun, sehingga banyak ilmuwan
percaya, bahwa pada suatu saat biaya satuan produksi tersebut akan lebih rendah dari biaya satuan produksi dengan minyak bumi atau energi fosil lainnya.
b. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan hidup menunjukkan gejala yang positif. Masyarakat makin peduli akan upaya penanggulangan segala bentuk potusi, mulai dari sekedar menjaga kebersihan lingkungan sampai dengan mengontrol limbah buangan dan sisa produksi. Banyak pembangunan proyek fisik yang memperhatikan faktor pelestarian lingkungan, sehingga perusakan ataupun pengotoran yang merugikan lingkungan sekitar dapat dihindari, minimal dikurangi. Setiap bentuk produksi energi dan pemakaian energi secara prinsip dapat menimbulkan bahaya bagi manusia, karena pencemaran udara, air dan tanah, akibat pembakaran energi fosil, seperti batubara, minyak dan gas di industri, pusat pembangkit maupun kendaraan bermotor. Limbah produksi energi listrik konvensional, dari sumber daya energi fosil, sebagian besar memberi kontribusi terhadap polusi udara, khususnya berpengaruh terhadap kondisi klima.
Pembakaran energi fosil akan membebaskan Karbondioksida (CO2) dan beberapa gas yang merugikan lainnya ke atmosfir. Pembebasan ini merubah komposisi kimia lapisan udara dan mengakibatkan terbentuknya efek rumah kaca (treibhouse effect), yang memberi kontribusi pada peningkatan suhu bumi. Guna mengurangi pengaruh negatif tersebut, sudah sepantasnya dikembangkan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan dalam produksi energi listrik. Sebagai ilustrasi, setiap kWh energi listrik yang diproduksi dari energi terbarukan dapat menghindarkan pembebasan 974 gr CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOx ke udara, dari pada Jlka diproduksi dari energi fosil. Bisa dihitung, jika pada tahun 1990 yang lalu 85 persen dari produksi energi listrik di Indonesia (sekitar 43.200 GWh) dihasilkan oleh energi fosil, berarti terjadi pembebasan 42 juta ton CO2, 41,5 ribu ton SO2 serta 30 ribu ton NOx. Kita tahu bahwa CO2 merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca, SO2 mengganggu proses fotosintesis pada pohon, karena merusak zat hijau daunnya, serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam bersama-sama dengan NOx. Sedangkan NOx sendiri secara umum dapat menumbuhkan sel-sel beracun dalam tubuh mahluk hidup, serta meningkatkan derajat keasaman tanah dan air jika bereaksi dengan SO2.
Kendala pengembangan Energi terbarukan di Indonesia
Pemanfaatan sumber daya energi terbarukan sebagai bahan baku produksi energi listrik mempunyai kelebihan antara lain;
1. relatif mudah didapat,2. dapat diperoleh dengan gratis, berarti biaya operasional sangat rendah,3. tidak mengenal problem limbah,
4. proses produksinya tidak menyebabkan kenaikan temperatur bumi, dan5. tidak terpengaruh kenaikkan harga bahan bakar (Jarass,1980).
Akan tetapi bukan berarti pengembangan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan ini terbebas dari segala kendala. Khususnya di Indonesia ada beberapa kendala yang menghambat pengembangan energi terbarukan bagi produksi energi listrik, seperti:
1. harga jual energi fosil, misal; minyak bumi, solar dan batubara, di Indonesia masih sangat rendah. Sebagai perbandingan, harga solar/minyak disel di Indonesia Rp.380,-/liter sementara di Jerman mencapai Rp.2200,-/liter, atau sekitar enam kali lebih tinggi.
2. rekayasa dan teknologi pembuatan sebagian besar komponen utamanya belum dapat dilaksanakan di Indonesia, jadi masih harus mengimport dari luar negeri.
3. biaya investasi pembangunan yang tinggi menimbulkan masalah finansial pada penyediaan modal awal.
4. belum tersedianya data potensi sumber daya yang lengkap, karena masih terbatasnya studi dan penelitian yang dilkakukan.
5. secara ekonomis belum dapat bersaing dengan pemakaian energi fosil.6. kontinuitas penyediaan energi listrik rendah, karena sumber daya energinya
sangat bergantung pada kondisi alam yang perubahannya tidak tentu.
Potensi sumber daya energi terbarukan, seperti; matahari, angin dan air, ini secara prinsip memang dapat diperbarui, karena selalu tersedia di alam. Namun pada kenyataannya potensi yang dapat dimanfaatkan adalah terbatas. Tidak di setiap daerah dan setiap waktu; matahari bersinar cerah air jatuh dari ketinggan dan mengailr deras serta angin bertiup dengan kencang Di sebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan tersebut, nilaii sumber daya energi sampal saat ini belum dapat begitu menggantikan kedudukan sumber daya energi fosil sebagai bahan baku produksi energi listrik. Oleh sebab itu energi terbarukan ini lebih tepat disebut sebagai energi aditif, yaitu sumber daya energi tambahan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi listrik, serta menghambat atau mengurangi peranan sumber daya energi fosil.
Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
Berdasar atas kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran energi terbarukan pada produksi energi listrik khususnya, maka beberapa strategi yang mungkin diterapkan, antara lain:
1. meningkatkan kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan dengan; pelaksanaan identifikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah; upaya perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konversi energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia; pembuatan "prototype" yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan standar rekayasanya; perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik; pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan energi terbarukan tersebut.
2. menekan biaya investasi dengan menjajagi kemungkinan produksi massal sistem pembangkitannya, dan mengupayakan agar sebagian komponennya dapat diproduksi di dalam negeri, sehingga tidak semua komponen harus diimport dari luar negeri. Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung terhadap biaya produksi.
3. memasyarakatkan pemanfaatan energi terbarukan sekaligus mengadakan analisis dan evaluasi lebih mendalam tentang kelayakan operasi sistem di lapangan dengan pembangunan beberapa proyek percontohan .
4. meningkatkan promosi yang berkaitan dengan pemanfaatan energi dan upaya pelestarian lingkungan.
5. memberi prioritas pembangunan pada daerah yang meliki potensi sangat tinggi, baik teknis maupun sosio-ekonomisnya.
6. memberikan subsidi silang guna meringankan beban finansial pada tahap pembangunan. Subsidi yang diberikan, dikembalikan oleh konsumen berupa rekening yang harus dibayarkan pada setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul dari rekening tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem pembangkit energi listrik di wilayah lain.
Pembangunan sistem pembangkit energi listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, terutama air, sudah banyak dilaksanakan di Indonesia. Pemanfaatan energi angin banyak diterapkan di daerah pantai, seperti di Jepara, pulau Lombok, Sulawesi dan Bali. Sementara energi matahari telah dimanfaatkan di beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan wlayah timur Indonesia. Sebagian besar dari pembangunan tersebut berupa proyea-proyek percontohan.
Daftar Pustaka
Djojonegoro,W., 1992, Pengembangan dan penerapan energi baru dan terbarukan, Lokakarya "Bio Mature Unit" (BMU) untuk pengembangan masyarakat pedesaan, BPPT, Jakarta.
Fritzler,M., 1993, Stichwort-Umweltgiffe, Wilhelm Heyne Verlag, Moenchen, Germany.
Jarass, 1980, Strom aus Wind - Integration einer regenerativen EnergieQuelle, Springer-Verlag, Berlin. Pinske,J.D., 1993, Elektrische Energieerzeugung, 2.vollst. ueberarb. Aufl., BG.Teubner, Stuttgart
Ramani,K.V., 1992, Rural electnEcation and rural development, Rural electrification guide book for Asia & Pacific, Bangkok.
Soetendro,H.,Soedirman,S.,Sudja,N., 1992, Rural Electnfication in Indonesia, Rural Electrification Guide book for Asia & the Pacific, Bangkok.
Schleswag (Hrsg.), 1993, Additive Energien-intelligent genutzt, Flensburg, Germany.
Wibawa,U., 1996, Effahrung mit dem Betneb Kleinwindhybrid Eanlage in Ciparanti-Ciamis, ARTES-lnstitu, Flensburg
Zuhal,1995, Policy & Development Programs on Rural ElectriScation for next 10 years, Ditjen.Listrik & Pengembangan Energi, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta.
Sumber : Elektro Indonesia 5/1997
NILAH PETA PRODUKSI dan KONSUMSI ENERGI DUNIA
Forumhijau.com - Pertumbuhan konsumsi energi dunia turun pada 2012 namun produksi
bahan bakar fosil di sejumlah wilayah meningkat pesat. Amerika Serikat mencatat kenaikan
produksi minyak dan gas terbesar pada 2012. Produksi gas di AS yang melimpah menekan
harga sekaligus mengurangi konsumsi batu bara. Hal ini terungkap dari laporan BP
Statistical Review of World Energy 2013 yang dirilis Rabu (12/6).
Laporan ini menyebutkan, sistem energi dunia terus mengalami perubahan. Produksi energi
nuklir mengalami penurunan terbesar pada 2012. Produksi energi nuklir Jepang
"menghilang" setelah bencana nuklir Fukushima pada 2011. Jepang harus mengandalkan
pada bahan bakar impor termasuk impor gas alam cair (LNG) agar "lampu" mereka tetap
menyala.
Di Eropa, harga gas lebih tinggi dibanding di AS sehingga pembangkit listrik mengambil
kebijakan yang berlawanan arah dengan pembangkit di AS yaitu mengganti sumber energi
untuk pembangkit listrik mereka dari gas ke batu bara.
Menurut laporan BP, pertumbuhan konsumsi energi dunia turun menjadi 1,8% pada 2012
dari 2,4% pada tahun sebelumnya. Hal ini dipicu tidak hanya oleh kelesuan ekonomi namun
juga perubahan perilaku dalam menggunakan energi dari konsumen individu dan bisnis
yang lebih efisien.
Negara berkembang, terutama China dan India menjadi motor permintaan energi
menyumbang 90% peningkatan permintaan energi. Dulu, 24 tahun yang lalu negara
berkembang hanya menyumbang 42% konsumsi energi dunia, kini porsi konsumsi energi
negara berkembang mencapai 56% konsumsi energi global.
Selama dua tahun berturut-turut, gangguan pasokan minyak dari Afrika dan Timur Tengah
tertutupi oleh pertumbuhan produksi di negara Timur Tengah lain terutama oleh Arab Saudi,
Uni Emirat Arab dan Qatar. Namun walau pasokan minyak mengalami peningkatan, harga
minyak terus mencetak rekor tertinggi.
Batu bara tetap menjadi bahan bakar fosil dengan pertumbuhan tertinggi di dunia. Untuk
pertama kalinya, China menjadi konsumen batu bara terbesar. Energi air dan energi baru
terbarukan (bersama dengan gas alam murah di Amerika Utara) bersaing dengan batu bara
memasok energi dunia. Produksi bahan bakar nabati turun untuk pertama kalinya sejak
2000 akibat melesunya pasar energi nabati di AS, namun secara umum kapasitas produksi
energi terbarukan naik 15,2% dan mencapai rekor bauran kapasitas energi dunia baru
sebesar 4,7%.
Kabar buruknya, emisi CO2 dunia dari konsumsi energi terus meningkat pada 2012 setelah
sempat melambat pada 2011. Negara yang menikmati penurunan emisi yang signifikan
adalah AS akibat peralihan penggunaan energi dari batu bara ke gas. Peralihan ini
membantu AS mengurangi emisi CO2 mereka menjadi setara dengan emisi tahun 1994.
“Semua informasi di atas menunjukkan dunia memiliki banyak pilihan energi. Tantangannya
adalah memilih berinvestasi di energi mana yang terbaik. Kita memerlukan energi yang
aman dan kompetitif sehingga penting untuk memaksimalkan semua kemampuan yang ada
untuk mengurangi risiko dan biaya energi,” ujar Bob Dudley, Chief Executive dari BP Group
sebagaimana dikutip dalam berita BP
©[FHI/Hijauku]
Follow us: @ForumHijau_ID
# ForumHijau # Energi
Kemedag Terbitkan Aturan Baru Ekspor-Impor MigasSabtu, 10 Januari 2015, 05:25 WIB
Komentar : 0
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri PAN dan RB Yuddy Chrisnandi dan pendiri Artha Graha Tomy Winata membagikan sembako saat pembukaan pasar murah di Jakarta,Ahad (30/11). (foto : mgROL29)A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan menerbitkan aturan baru soal
ekspor-impor minyak bumi, gas bumi dan bahan bakar lainnya melalui Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 03/M-DAG/PER/1/2015 yang telah dikeluarkan pada 5 Januari 2015.
"Penerbitan Permendag 3/2015 bertujuan untuk memperketat pengawasan baik untuk
ekspor dan impor migas, yang merupakan produk strategis dan sumber penerimaan
negara," kata Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, Jumat (9/1).
Rachmat mengatakan, salah satu alasan diterbitkannya Permendag 03/2015 tersebut
adalah kegiatan ekspor dan impor migas, harus dilakukan pengetatan dan pengawasan
agar lebih terkelola dengan baik serta lebih terintegrasi dengan Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM).
"Pengetatan dan pengawasan tersebut untuk mendata dan mencatat setiap migas yang
keluar dan masuk. Untuk mengetahui realisasi besaran ekspor dan impor, sehingga dengan
adanya permendag ini akan mampu menciptakan transparansi," kata Rachmat.
Rachmat menjelaskan, beberapa perubahan dengan adanya permendag tersebut antara
lain adanya kewajiban registrasi bagi para eksportir dan importir untuk mendapatkan status
Importir Terdaftar (IT) dan Eksportir Terdaftar (ET).
Selain itu, lanjut Rachmat, juga wajib mendapatkan rekomendasi dari Kementerian ESDM
agar bisa diajukan ke Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan Surat Persetujuan
Ekspor (SPE) maupun Surat Persetujuan Impor (SPI).
Dikeluarkannya SPE dan SPI setelah adanya rekomendasi dari Kementerian ESDM
tersebut, menurut Rachmat, merupakan salah satu upaya untuk menciptakan tata kelola
energi nasional, transparansi, dan juga pemberantasan mafia migas.
"Dengan demikian keluar dan masuknya migas bisa diketahui oleh Kementerian ESDM
sebagai bagian dalam menciptakan tata kelola energi nasional dan pemberantasan mafia
migas," kata Rachmat.
Rachmat menambahkan, untuk setiap ekspor dan impor migas, juga wajib dilakukan
verifikasi oleh surveyor independen yang ditunjuk oleh menteri perdagangan sehingga bisa
diketahui realisasi ekspor dan impor migas untuk menciptakan transparansi.
Berdasarkan data, ekspor minyak bumi, gas bumi dan bahan bakar lainnya pada tahun
2012 lalu tercatat kurang lebih sebanyak 36,9 miliar dolar Amerika Serikat, sementera
impor untuk tahun yang sama sebesar 42,5 miliar dolar AS.
Pada 2013, ekspor tercatat sebesar 32,6 miliar dolar AS dan impor 45,2 miliar dolar AS.
Sementara untuk tahun 2014 lalu, ekspor komoditas tersebut menurun menjadi sebesar
27,9 miliar dolar AS dan impor senilai 40 miliar dolar AS.
MigasReview, Jakarta – Minyak dan gas bumi (migas) merupakan produk strategis dan sumber
pendapatan negara. Oleh karena itu, diperlukan aturan baru terkait lalu lintas ekspor dan impor
bahan bakar minyak (BBM), gas bumi dan bahan bakar lainnya.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengatakan, Peraturan Kementerian Perdagangan
(Permendag) No. 3 Tahun 2015 merupakan penyempurnaan peraturan sebelumnya, yaitu
Permendag No. 42 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Migas yang bertujuan untuk
mendata mengetahui realisasi ekspor impor migas.
“Kami perlu melakukan pengetatan dan pengawasan kegiatan ekspor dan impor migas dengan
dilakukannya pendataan agar lebih terkelola dengan baik, transparan dan terintegrasi dengan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” ujarnya di kantor Kementerian
Perdagangan, Jakarta, Jum’at (9/1).
Dalam Permendag baru ini, sedikitnya ada tiga ketentuan baru, yaitu pertama, seluruh pelaku usaha
ekspor dan impor migas diwajibkan melakukan registrasi untuk Importir Terdaftar (IT) dan Eksportir
Terdaftar (ET) sebelum mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dan Impor.
Kedua, kegiatan ekspor dan impor migas harus mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dan Impor
dari Kementerian Perdagangan setelah ada pertimbangan teknis atau rekomendasi Menteri ESDM.
Sebelumnya, ketentuan ekspor dan impor migas hanya perlu persetujuan ekspor dan impor dari
Kementerian Perdagangan setelah ada rekomendasi dari Kementerian ESDM dan tidak diperlukan
registrasi ET dan IT.
Ketiga, untuk setiap ekspor dan impor migas wajib dilakukan verivikasi olehsurveyor independen
yang ditunjuk oleh Menteri Perdagangan. Permendag No. 3 Tahun 2015 akan berlaku mulai 7 April
2015. (op)
Pengertian Transformasi Energi
Posted in Fisika by Tedi Mulyadi On September 5, 2015. No commentsTransformasi energi adalah proses perubahan energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Proses ini
terjadi sepanjang waktu, baik di dunia dan di dalam masyarakat. Ketika orang mengkonsumsi
makanan, tubuh memanfaatkan energi kimia dalam ikatan makanan dan mengubahnya menjadi
energi mekanik, bentuk baru dari energi kimia, atau energi panas. Transformasi energi merupakan
konsep penting dalam penerapan ilmu fisika. Kemampuan energi untuk diubah seperti
mengotomatiskan lampu, menghibur, dan menghangatkan dunia dalam banyak cara yang luar
biasa.
Konsep transformasi energi dapat digambarkan dalam sejumlah kegiatan umum. Seperti mesin,
mesin di dalam mobil, mengubah energi gas kimia dan oksigen menjadi energi mekanik dari
gerakan mesin. Sebuah bola lampu mengubah energi kimia dari bohlam menjadi radiasi
elektromagnetik, atau cahaya. Kincir angin memanfaatkan energi angin dan mengubahnya menjadi
energi mekanik dalam gerakan putaran turbin, yang kemudian diubah menjadi energi listrik. Panel
solar mengubah cahaya menjadi listrik.
Siklus energi (transformasi energi)
Transformasi energi juga dapat dijelaskan dalam hal energi potensial, energi yang tersimpan dari
suatu sistem, yang dapat diubah menjadi energi kinetik, atau energi gerakan. Sebagai contoh,
sebuah roller coaster yang berada di atas sebuah bukit dikatakan memiliki energi potensial. Energi
potensial ini diperoleh ketika roller coaster bergerak ke atas bukit. Setelah roller coaster mulai
bergerak menuruni bukit, gaya gravitasi diberikan dan energi potensial berubah menjadi energi
kinetik. Selama transformasi energi, energi potensial sering diubah menjadi energi kinetik dan
kembali lagi ke energi potensial.
Selama apapun transformasi energi, sebagian besar energi akan hilang ke lingkungan. Akibat
kerugian ini, tidak ada mesin yang 100% efisien. Umumnya, sebagian dari energi yang hilang
selama transformasi energi adalah panas. Hal ini dapat diamati dalam praktek dengan mencatat
panas yang dipancarkan oleh komputer, mobil, atau jenis lain dari mesin yang telah digunakan
selama jangka waktu tertentu.
Kemampuan mesin tertentu atau sistem untuk mengkonversi antara bentuk energi disebut “efisiensi
konversi energi.” Semua sistem memiliki efisiensi konversi energi yang berbeda. Turbin air,
misalnya, memiliki efisiensi konversi energi yang sangat tinggi hampir 90%, sedangkan mesin
pembakaran memiliki 10% dari efisiensi konversi 50%. Teknik dan fisika yang terus-menerus dalam
mengejar sistem mampu mencapai efisiensi konversi energi tinggi.
Advertisements
Bentuk energi utama adalah sebagai berikut:
o Energi cahaya (cahaya)
o Energi kimia
o Energi mekanik
o Tenaga nuklir
o Tenaga listrik
o Energi panas (thermal)
o Energi suara
Sepintas Belajar Ekonomi Energi
DECEMBER 15, 2011 1 COMMENT
Teori dan Konsep Ekonomi Energi
Keterkaitan antara energi dan aktivitas perekonomian menghasilkan persepsi yang berbeda-beda
tergantung latar belakang teori, pendekatan, serta ruang lingkup penelitian. Perekonomian modern
mempunyai tren ketergantungan terhadap energi, akan tetapi peranan energi dalam perekonomian
sebetulnya komplek dan dinamis. Sebagian besar literatur memang menekankan pengaruh tahap
pembangunan ekonomi terhadap pemakaian energi daripada hubungan timbal baliknya (Toman dan
Jamelkova, 2003; Stern dan Cleveland, 2004).
Dalam pandangan teori pertumbuhan neoklasik misalnya, sebagian besar studi mengeksplorasi
kemungkinan adanya substitusi atau komplementer antara energi dan faktor input lainnya serta
interaksinya dalam mempengaruhi produktivitas. Menurut pandangan neoklasik ini, kontribusi energi
terhadap perekonomian relatif dilihat dari biaya produksinya. Di lain pihak pandangan para ahli ekonomi
ekologi, energi merupakan kebutuhan mendasar bagi produksi. Dengan menerapkan hukum
termodinamika, perekonomian dipandang sebagai subsistem yang terbuka dari ekosistem global.
Sedangkan, teori neoklasik dipandang under estimate terhadap peranan energi dalam aktivitas ekonomi
(Okcwell, 2008). Oleh karenanya dalam memahami peran energi dalam ekonomi, kiranya perlu dibahas
dulu energi dalam konteks teori produksi.
Sumber Daya Energi dan Teori Produksi
Sumber daya alam secara umum dibedakan menjadi sumber daya yang dapat diperbarui (renewable
resources) dan sumber daya yang tak terbarukan (non-renewable/exhaustible resources). Namun suatu
saat sumber daya yang dapat diperbarui dapat menjadi tidak dapat diperbarui, dikarenakan permintaan
yang terus meningkat sehingga laju pengurasan melebihi laju reproduksinya.
Dalam fungsi produksi, konsep dapat diperbarui merupakan kunci. Oleh karenanya kelangkaan sumber
daya menjadi perhatian utama para ahli ekonomi. Stok kapital, tenaga kerja dan beberapa sumber daya
alam sebagai input produksi merupakan faktor yang dapat diperbarui, sementara sumber daya energi
yang dipakai saat ini sebagian besar tidak dapat diperbarui.
Sumber daya alam seharusnya digabungkan dengan faktor produksi lainnya agar dapat menghasilkan
keluaran yang optimal. Sumber daya alam lebih menyerupai modal karena harus digali atau dikuras
dahulu sebagai bahan mentah sebelum dapat dipakai sebagai faktor produksi. Bersama dengan input
lainnya sumber daya alam kemudian diolah menjadi barang yang siap dikonsumsi atau digunakan untuk
input produksi dalam menghasilkan barang dan jasa lainnya (Purnomo Yusgiantoro, 2000). Dalam hal ini
energi memiliki peranan penting sebagai determinan proses produksi dan pertumbuhan.
Menurut hukum pertama termodinamika yang dikenal sebagai ‘mass balance principle’, energi tidak dapat
diciptakan dan dihapuskan. Konsekuensinya untuk memproduksi sesuatu diperlukan input material lain.
Hukum kedua termodinamika ‘the efficiency law’ menyatakan energi diperlukan dalam
mentransformasi/memindahkan barang (Stern dan Cleveland, 2004).
Perspektif lainnya, dalam model ekonomi ekologi menempatkan energi sebagai faktor primer yang telah
disediakan oleh alam. Oleh karenanya stock energi dalam kegiatan ekonomi yang mengalami degradasi
seiring dengan waktu dapat menjadi kendala, dan penyediaan energi dalam setiap periode menjadi
penting untuk diketahui (Stern, 1999). Dalam model biofisik, penyediaan energi mendapatkan kendala
geologi dan proses ekstraksi. Di lain pihak, kapital dan tenaga kerja lebih diartikan sebagai aliran modal
dan jasa tenaga kerja daripada sebagai stok. Sehingga, pemakaian energi dihitung dari proses yang
melekat pada biaya dari aliran input tersebut. Dalam hal ini, nilai tambah kegiatan ekonomi dan harga
komoditas output dipengaruhi oleh rente ekstaksi energi dan biaya pemakaian energi (Costanza, 1980).
Kaitan Energi dalam Teori Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi menelaah faktor-faktor penentu dari pertumbuhan output jangka menengah dan
jangka panjang. Faktor-faktor tersebut adalah tenaga kerja penuh, sumber daya alam, teknologi tinggi,
dan akumulasi modal yang cepat, dan tabungan sebagai investasi yang tergantung pada besarnya
pendapatan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan sebagai ungkapan umum yang menggambarkan tingkat
perkembangan suatu negara atau regional tertentu, yang diukur melalui pertumbuhan (% pertambahan
agregat output, seperti PDB) dari pendapatan nasional rill. Nilai tersebut dapat dikonstankan berdasarkan
tahun dasar tertentu, terutama untuk melihat faktor kenaikan harga-harga atau inflasi. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi ideal dan utama bagi
perkembangan perekonomian.
Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam,
serta tingkat teknologi yang digunakan. Menurut Adam Smith, pertumbuhan bersifat kumulatif, artinya jika
ada pasar yang cukup dan ada akumulasi kapital, akan ada pembagian kerja dengan produktivitas
tenaga kerja yang menaik. Kenaikan ini menyebabkan pendapatan nasional naik, untuk kemudian
memperbesar jumlah penduduk dan mekanisme pasar. Perkembangan ekonomi akan berhenti
disebabkan oleh terbatasnya sumber daya alam disamping karenadiminishing return. Ahli-ahli ekonomi
klasik menganut law of diminishing return, ini berarti pertumbuhan ekonomi tidak akan berlangsung
secara terus-menerus karena keterbatasan sumber daya. Hal ini menunjukkan sumber daya alam dapat
menjadi kendala dalam pertumbuhan ekonomi.
Model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang mendasarkan analisisnya pada peralatan fungsi produksi; Q
= f (K, L;t). Solow (1956), menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses yang
berlangsung dengan kombinasi yang bervariasi antar faktor-faktor produksi. Model pertumbuhan ekonomi
Solow mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki pengembalian skala konstan (constan returns to
scale), berlakunya tambahan hasil yang semakin menurun pada setiap input (the law of diminishing
returns to factor) dan elastisitas positif penggantian antara setiap input. Pendapat ini sepenuhnya
berpangkal pada pemikiran aliran klasik yang menyatakan bahwa perekonomian akan tetap mengalami
tingkat kesempatan kerja penuh dan kapasitas alat-alat modal akan tetap sepenuhnya digunakan dari
masa ke masa.
Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh
semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, semua faktor produksi dapat bertambah
secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan ekonomi di
semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang.
Paul Romer dan Robert Lucas, dua orang ahli ekonomi yang mengembangkan mekanisme pertumbuhan
ekonomi yang bersifat endogen. Hasil pengamatan empirik kedua ekonom tersebut menunjukkan bahwa
determinan pertumbuhan ekonomi jangka panjang memiliki banyak variabel yang sifatnya endogen.
Pandangan atas variabel-variabel yang turut menentukan pertumbuhan ekonomi jangka panjang
kemudian dimasukkan dalam model yang dibangun sehingga tidak lagi merupakan variabel yang
eksogen.
Model baru ini menganggap pertumbuhan ekonomi berlangsung terus menerus tidak terbatas sebagai
hasil dari investasi kapital termasuk human capital, sehingga hasil investasi ini tidak dengan sendirinya
menurun ketika perekonomian berkembang. Adanya spillovers of knowledge diantara produsen dan
manfaat eksternal kapital dalam bentuk sumber daya manusia merupakan bagian dari proses
pertumbuhan. Kedua faktor tersebut dapat mengurangi kecenderungan diminishing returns sehingga
akan terjadi akumulasi kapital. Hal yang penting lain adalah masuknya faktor perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang berperan secara signifikan dalam pertumbuhan jangka panjang.
Kemajuan teknologi merupakan hasil dari R & D. Bila dalam suatu perekonomian tidak terjadi
kecenderungan penurunan ide, maka tingkat pertumbuhan jangka panjang akan tetap positif.
Solow (1974), menunjukkan bahwa kesinambungan dapat dicapai dalam sebuah model yang terbatas
pada pemakaian nonrenewable resouces saat elastisitas substitusi antara dua input terjadi dan kondisi
teknis tertentu lainnya dipenuhi. Model yang sama dalam sistem ekonomi yang kompetitif, menunjukkan
pemanfaatan sumber daya, konsumsi dan kesejahteraan sosial akhirnya jatuh menuju nol (Stiglitz, 1974).
Kesinambungan terjadi ketika masyarakat berinvestasi kembali untuk menggantikan sumber daya alam
yang menipis.
Sumber daya energi yang langka diharapkan dapat diganti oleh lebih banyak substitusi, atau “setara”
dalam bentuk manusia atau kapital (orang, mesin, pabrik, dll). Kedua ahli ini menekankan pentingnya
substitusi terhadap pemakaian sumber daya energi. Namun kenyataanya, perekonomian yang kompetitif
itu sendiri sulit terjadi, karena masyarakat cenderung meningkatkan terus konsumsi, kendala harga
(bahan baku dan biaya produksi) dan timbulnya market failure. Pemahaman ini menjadi terbatas, karena
belum memasukkan adanya substitusi antar sumber daya itu sendiri, misalkan penemuan-penemuan
baru serta pengembangan sumber daya terbarukan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterkaitan Energi dan Pertumbuhan Ekonomi
Banyak ahli ekonomi ekologi mengkritik berbagai pandangan teori pertumbuhan (terutama aliran klasik
dan neoklasik) yang hanya memfokuskan pada batasan institusional dalam pertumbuhan (Stern dan
Cleveland, 2004). Mereka menekankan perlunya memahami lebih mikro pada batasan susbtitusi antar
input dan perkembangan teknologi sebagai faktor penting dalam mengatasi kendala keterbatasan sumber
daya alam.
Menurut Stern dan Cleveland (2004), dengan melihat hubungan antara
energi dan output agregat dalam fungsi produksi Q = f (K, L, E; t), maka beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi keterkaitan tersebut antara lain:
Substitusi/komplementer antara energi dan input lainnya (kapital, mesin, tenaga kerja).
Substitusi/komplementer yang terjadi antar input lainnya (selain energi: padat karya, padat modal,
dsb.).
Perubahan teknologi (inovasi, intensitas, efisiensi, dll.).
Pergeseran komposisi input energi (jenis, kualitas, dll.).
Pergeseran komposisi output (disaggregate output/sektoral).
Dalam batasan substitusi misalnya, sumber daya energi itu sendiri terdiri dari berbagai jenis dan
karakteristik serta nilai efisiensinya. Masing-masing mempunyai karakter yang dapat membantu
meningkatkan efisiensi aktivitas ekonomi. Keterbatasan substitusi juga diharapkan dapat dipecahkan
dengan meningkatnya peranan human capitalserta kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ahli ekonomi John Stuart Mill berpendapat, terbatasnya sumber daya tidak membuat pembangunan
stagnan atau mundur. Hal ini karena ekspektasi perkembangan pengetahuan dan teknologi dalam
pengelolaan sumber daya dan pertumbuhan ekonomi (Tahvonen, 2000).
Tahvonen dan Salo (2001) mempelajari transisi antara energi terbarukan dan energi tidak terbarukan
pada berbagai level pembangunan. Mereka menemukan, pada awalnya ekonomi bekerja menggunakan
energi terbarukan kemudian berevolusi ke energi tak terbarukan dan kembali lagi ke pemakaian energi
terbarukan. Secara teknis hal ini sangat mendukung, apalagi jika harga energi tak terbarukan semakin
meningkat terus. Diversifikasi ke arah energi terbarukan menjadi salah satu tantangan ekonomi saat ini
dan ke depan.
Pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini masih mengalami kendala dalam meniru
perubahan-perubahan struktural perekonomian di negara-negara maju. Hal ini diperkirakan juga
berkaitan erat dengan mekanisme berjalannya faktor-faktor tersebut di atas (Stern dan Cleveland 2004).
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, terlihat pentingnya mekanisme substitusi. Menurut Nicholson (2005),
pemahaman elastisitas substitusi dari banyak input ini pada kenyataannya sering menimbulkan
komplikasi dalam praktek. Elastisitas dengan dua input merupakan perubahan proporsi antar input
terhadap perubahan proporsi rate of technical substitution untuk menjamin produksi yang konstan. Untuk
banyak input, maka input lainnya dianggap konstan. Hal ini menimbulkan permasalahan, karena faktanya
perubahan rasio dua input akan diikuti perubahan level input lain yang dapat bersifat substitusi atau
komplementer. Sebagai alternatif, kadang-kadang elastisitas substitusi hanya dihitung sebagai elastisitas
parsial terhadap fungsi harga/biayanya.
Konsep Peran Energi dalam Pembangunan Ekonomi
Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi memiliki arti yang sedikit berbeda, meski keduanya
sering dianalogikan sama. Keduanya menerangkan mengenai perkembangan perekonomian yang
berlaku atau secara aktual terjadi.
Pembangunan ekonomi umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan
perkapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Jelas dapat dilihat dari definisi ini bahwa
pembangunan ekonomi memiliki tiga karakteristik penting, yaitu: (1) Suatu proses, yang berarti
perubahan yang terjadi secara terus menerus (sustainable), (2) Usaha untuk menaikkan tingkat
pendapatan perkapita, dan (3) Kenaikan pendapatan perkapita itu harus berlangsung dalam jangka
panjang. Di dalam analisis, pembangunan ekonomi perlu dipandang sebagai suatu proses saling
berkaitan dan hubungan saling mempengaruhi antar faktor yang menghasilkan pembangunan nyata.
Sehingga, dapat diketahui deretan peristiwa yang mewujudkan peningkatan dalam kegiatan ekonomi dan
taraf kesejahteraan masyarakat. Dalam prakteknya, laju pembangunan ekonomi sering dilihat dari
pertambahan pendapatan domestik bruto riilnya.
Menurut Purnomo Yusgiantoro (2000), salah satu komponen yang mempengaruhi pembangunan
ekonomi adalah jumlah pemakaian energi secara nasional. Meningkatnya pemakaian energi mendorong
proses industrialisasi. Permintaan energi pada industri manufaktur untuk menjalankan mesin-mesin
memang sangat tinggi. Di sisi lain, dukungan kontribusi energi, terutama dalam penerimaan ekspor dan
penerimaan pemerintah, menjadi sarana akumulasi modal pembangunan. Dengan menyadari bahwa
pemakaian energi sangat erat berhubungan dengan PDB, maka dapat diperkirakan berapa kenaikan
yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat output tertentu. Besarnya kenaikan pemakaian energi yang
dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dapat diketahui dengan menghitung elastisitas energi
terhadap output nasional. Elastisitas tersebut diformulasikan sebagai berikut:
EE = (DEC/EC)/(DPDB/PDB)
EE = Elastisitas energi
EC = Pemakaian energi nasional pada waktu tertentu
PDB = Produk domestik bruto waktu tertentu
DEC = Incremental pemakaian energi selang waktu tertentu (EC2-EC1)
DPDB = Incremental PDB selang waktu tertentu (PDB2-PDB1)
Selain sebagai indikator yang dapat dijadikan pijakan dalam proses pengambilan keputusan strategi
pembangunan, elastisitas energi juga dapat digunakan untuk mengukur sampai dimana efisiensi dan
tahap industrialisasi suatu negara. Elastisitas energi yang semakin kecil menggambarkan struktur
produksi semakin efisien dan energi memiliki nilai tambah yang besar terhadap produksi nasional. Namun
elastisitas yang kecil ini kadang-kadang juga dapat menggambarkan informasi yang menyesatkan. Angka
elastisitas seperti itu biasanya ditemui di negara-negara yang masih berbasis pertanian. Sedangkan
elastisitas yang besar juga tidak berarti jelek. Elastisitas yang besar biasanya dijumpai di negara-negara
industri maju. Elastisitas yang besar juga tidak selalu menunjukkan industri negara itu sudah maju, tetapi
boleh jadi karena negara ini terlalu boros memakai energi yang ada. Pihak pengambil keputusan harus
sangat berhati-hati dalam menafsirkan informasi elastisitas yang ada. Indikator-indikator lainnya harus
turut diperhatikan.
Selain elastisitas, beberapa negara menggunakan konsep penghitungan intensitas energi yang dapat
dirumuskan sebagai berikut:
IE = EC/PDB
IE = Intensitas energi
EC = Pemakaian energi nasional pada waktu tertentu
PDB = Produk domestik bruto pada waktu tertentu
Intensitas energi yang cenderung mengalami penurunan biasanya merupakan salah satu penyebabnya
pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi didorong industri manufaktur. Pertumbuhan ekonomi lebih didorong
industri jasa. Karena merupakan konsep rata-rata (average), bukan konsep marjinal seperti elastisitas,
maka intensitas tidak dapat menggambarkan efisiensi pemakaian energi. Penjelasan intensitas
pemakaian energi terbatas pada besaran pemakaian energi dalam pembangunan suatu negara. Dengan
membandingkan keduanya dapat diketahui keunggulan konsep elastisitas dibandingkan intensitas
pemakaian energi.
Energi dalam Konteks Perekonomian Makro
Ekonomi makro sebagai suatu kerangka analisis berkaitan dengan pembahasan ekonomi secara
keseluruhan. Topik yang dibahas ekonomi makro berhubungan dengan hal seperti pertumbuhan
ekonomi, aras (level) output nasional, neraca pembayaran, anggaran, belanja, inflasi, dan sebagainya.
Kerangka pembahasan ekonomi makro menggunakan pendekatan analisis permintaan dan penawaran
agregat (Purnomo Yusgiantoro, 2000).
Penawaran agregat merupakan jumlah barang yang ditawarkan dalam suatu perekonomian. Penawaran
agregat dapat dipengaruhi oleh variabel tenaga kerja (L), stok kapital (K) dan sumber daya alam (R).
Permintaan agregat didefinisikan sebagai jumlah barang yang diminta dalam suatu perekonomian.
Besarnya barang yang diminta tersebut dapat dipengaruhi variabel konsumsi (C), investasi (I), sektor
pemerintah (G) serta neraca pembayaran (X-M).
Energi dalam penawaran agregat merupakan bagian dari input produksi yang dampak substitusinya satu
sama lain menarik untuk dibahas. Penawaran agregat dalam sisi persediaan dari keseimbangan harga
nasional dengan output, dalam hal ini digunakan Produk Domestik Bruto/Gross Domestic Product (GDP).
Masalah substitusi, baik energi mensubstitusi non-energi ataupun sebaliknya, menjadi penting dalam
menghasilkan PDB. Elastisitas substitusi adalah seberapa besar input non-energi mensubstitusi energi
dalam menghasilkan PDB yang akan mempengaruhi bentuk isoquant dan tingkat kenaikan PDB.
Peran energi dalam makroekonomi dapat ditentukan dari kerangka tersebut, namun perlu pula
diperhatikan elastisitasnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ketersediaan energi dalam jangka
pendek masih dibatasi oleh teknologi, sehingga kemampuan substitusinya juga terbatas. Bila elastisitas
substitusinya kecil, maka pengurangan input energinya akan memberi dampak negatif pada sistem
ekonomi dan mengakibatkan tingkat PDB mengalami penurunan. Sedangkan elastisitas substitusi dalam
jangka panjang dapat diperbaiki menjadi lebih besar dengan kemungkinan perubahan teknologi dan
efisiensi energi, sehingga substitusi non-energi tidak akan mempengaruhi tingkat PDB.
Peningkatan substitusi erat terkait dengan tersedianya teknologi dan manajemen sisi permintaan, seperti
program diversifikasi dan konservasi energi demi peningkatan efisiensi pemakaian energi. Elastisitas
substitusi jangka panjang secara teoretis akan lebih besar dari jangka pendek, namun kenyataan ini
bervariasi untuk tiap negara.
Sedangkan, keterkaitan antara energi dengan permintaan agregat secara umum dapat dilihat dari
beberapa komponen ekonomi makro seperti penerimaan pemerintah, neraca pembayaran, investasi, dan
inflasi (Purnomo Yusgiantoro, 2000). Cara menelaah apakah ada keterkaitan energi dengan
perekonomian adalah melihat bukti-bukti empiris yang pernah terjadi. Krisis energi dunia pada tahun
1970-an setidaknya menunjukkan adanya keterkaitan tersebut. Dasawarsa 1970-an merupakan masa di
mana terjadi penurunan pendapatan per kapita riil Amerika Serikat yang pertama sejak dasawarsa 1930-
an. Pada saat yang sama terjadi stagflasi – keadaan inflasi yang selalu stagnan dan tidak bisa berubah
untuk menjadi lebih baik dan tingkat pengangguran pun terlihat sangat tinggi. Fenomena tersebut tidak
hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga menyebar di hampir semua negara industri maju.
Krisis energi juga membawa dampak bagi negara-negara berkembang. Efek makro krisis energi terhadap
negara maju dan berkembang sebenarnya dapat dianggap sebagai suatu siklus. Kenaikan harga minyak
dunia membuat nilai ekspor negara produsen minyak (negara berkembang) terangkat naik. Karena
perannya sebagai inputproduksi, maka kenaikan harga minyak dunia tersebut mengakibatkan
bertambahnya biaya produksi negara pengimpor minyak. Harga barang yang diproduksi negara
pengimpor minyak jelas menjadi lebih mahal. Ketika negara berkembang harus mengimpor barang-
barang tersebut, yang sebagian besar barang modal, nilai impornya menjadi lebih besar.
Windfall profit penerimaan minyak menanjak drastis dan dialami negeri produsen migas, disebabkan oleh
harga minyak yang mendadak melonjak. Bila sebaliknya yang terjadi, maka jelas sistem ekonomi tidak
mendapatkanwindfall profit tetapi collapse (penurunan mendadak) karena harga minyak merosot tajam.
Minyak bumi merupakan salah satu energi yang sering berfluktuasi. Penyebabnya bukan hanya faktor
fundamental pasar yang dapat dapat berubah, tetapi juga pengaruh perkembangan Timur Tengah, politik,
perang, psikologis, dan ulah spekulan. Sebagian besar negara yang pendapatan nasionalnya tergantung
ekspor migas sering menghadapi kenyataan harga minyak meleset jauhi dari harga patokan yang telah
ditetapkan.
Booming ekspor – terutama minyak dan gas bumi - dapat menjadi penyebab gagalnya pembangunan.
Sindrom ini dikenal sebagai Dutch Disease. Istilah ini diambil berdasarkan pengalaman pembangunan
Negeri Belanda setelah tahun 1960. Pada tahun itu ditemukan cadangan sumber gas bumi yang sangat
besar. Nilai ekspor yang tiba-tiba melonjak dan surplus neraca pembayaran menjadi sumber
kemakmuran baru, tetapi hal demikian tidak berlangsung lama. Perekonomian Belanda perlahan-lahan
mengalami krisis. Yang terjadi pada tahun 1970-an merupakan anti klimaks dari keadaan sebelumnya.
Inflasi meningkat tajam, ekspor barang manufaktur turun, pertumbuhan pendapatan nasional turun, dan
tingkat penggangguran terus meningkat. Kemudian terjadi boomingminyak pada tahun 1970-an dan
1980-an yang membawa dampak serupa bagi Arab Saudi, Nigeria, dan Meksiko.
Para ahli ekonomi mulai menyadari bahwa krisis ekonomi yang pernah terjadi di Negeri Belanda dapat
saja menjadi fenomena umum yang disebabkan oleh “kegembiraan” berlebihan atas surplus yang
diperoleh dari ekspor minyak dan gas bumi. Dutch Disease juga pernah dialami Indonesia. Tingginya
harga minyak dunia pada dasawarsa 1970-an membuat penerimaan ekspor Indonesia dari minyak dan
gas bumi meningkat tajam. Tetapi saat itu belum disadari dan disiapkan diversifikasi ekspor dari migas ke
nonmigas. Yang terjadi kemudian hampir sama dengan apa yang pernah dialami Belanda.
Energi terkait dengan neraca modal nasional lewat kegiatan pengembangan dan pemanfaatan energi.
Sesuai dengan karakteristiknya yang penuh risiko, padat modal, serta berteknologi tinggi, maka
pengembangannya dilakukan oleh penanam modal asing atau perusahaan multinasional. Investasi asing
langsung (foreign direct investment) di Indonesia untuk minyak, gas bumi, batubara, panas bumi dan
pembangkit listrik dilakukan oleh perusahaan multinasional. Itu adalah bagian dari modal swasta yang
masuk (private capital inflow), besarnya relatif kecil dibandingkan dengan modal pemerintah yang masuk
(government capital inflow). Investasi pengembangan energi sekunder yang terbesar untuk sistem
kelistrikan merupakan bagian dari neraca modal pemerintah yang pembiayaannya sebagian besar dari
dana pinjaman dan hibah lembaga donor internasional.
Tingkat harga nasional diperoleh dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran agregat.
Perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan maupun penawaran agregat otomatis
mengubah tingkat harga nasional. Inflasi terjadi karena tarikan permintaan (demand pull inflation) akibat
kenaikan pengeluaran konsumsi (C), investasi (I), dan pemerintah (G). Inflasi dapat pula terjadi karena
dorongan kenaikan biaya faktor produksi kapital (K), tenaga kerja (L) dan bahan bakar energi (E) dalam
penawaran (cost push inflation). Pengaruh keduanya terhadap kegiatan perekonomian tampak
berbeda. Demand pull inflation ditandai oleh meningkatnya output,sedangkan cost push
inflation cenderung menurunkan aktivitas ekonomi yang ditandai menurunnya output.
Energi terkait langsung dengan inflasi terutama karena energi sebagai faktor produksi akan memberi
dampak inflasi lewat cost push inflation. Energi sebagai faktor produksi dimanfaatkan oleh konsumen
akhir (end user) dalam transportasi, pembangkit listrik, industri, rumah tangga dan bentuk kegiatan
komersial lainnya. Dampak terhadap inflasi lebih banyak terlihat dalam kenaikan harga energi
yang digunakan langsung oleh konsumen akhir.