bahan KUBE

26
Pengembangan Energi Terbarukan Sebagai Energi Aditif di Indonesia - Pendahuluan Merupakan suatu kenyataan bahwa kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik di Indonesia, makin berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seiring dengan pesatnya peningkatan pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi. Namun pelaksanaan penyediaan energi listrik yang dilakukan oleh PT.PLN (Persero), selaku lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola masalah kelistrikan di Indonesia, sampai saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi listrik secara keseluruhan. Kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya pusat- pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik (Ramani,K.V,1992), serta terbatasnya kemampuan finansial, merupakan faktor-faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional. Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter; 1. dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi 2. dapat menyediakan energilistrik dalam skala lokal regional 3. mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, serta 4. cinta lingkungan, dalam artian proses produksi dan pembuangan hasil produksinya tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya.

description

kebijakan umum bidang energi

Transcript of bahan KUBE

Pengembangan Energi Terbarukan Sebagai Energi Aditif di Indonesia-

Pendahuluan

Merupakan suatu kenyataan bahwa kebutuhan akan energi, khususnya energi listrik di Indonesia, makin berkembang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari seiring dengan pesatnya peningkatan pembangunan di bidang teknologi, industri dan informasi. Namun pelaksanaan penyediaan energi listrik yang dilakukan oleh PT.PLN (Persero), selaku lembaga resmi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola masalah kelistrikan di Indonesia, sampai saat ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi listrik secara keseluruhan. Kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya pusat-pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik (Ramani,K.V,1992), serta terbatasnya kemampuan finansial, merupakan faktor-faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional.

Selain itu, makin berkurangnya ketersediaan sumber daya energi fosil, khususnya minyak bumi, yang sampai saat ini masih merupakan tulang punggung dan komponen utama penghasil energi listrik di Indonesia, serta makin meningkatnya kesadaran akan usaha untuk melestarikan lingkungan, menyebabkan kita harus berpikir untuk mencari altematif penyediaan energi listrik yang memiliki karakter;

1. dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian energi fosil, khususnya minyak bumi

2. dapat menyediakan energilistrik dalam skala lokal regional3. mampu memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, serta4. cinta lingkungan, dalam artian proses produksi dan pembuangan hasil

produksinya tidak merusak lingkungan hidup disekitarnya.

Sistem penyediaan energi listrik yang dapat memenuhi kriteria di atas adalah sistem konversi energi yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, seperti: matahari, angin, air, biomas dan lain sebagainya (Djojonegoro,1992). Tak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumber-sumber daya energi terbarukan dewasa ini telah meningkat dengan pesat, khususnya di negara-negara sudah berkembang, yang telah menguasai rekayasa dan teknologinya, serta mempunyai dukungan finansial yang kuat. Oleh sebab itu, merupakan hal yang menarik untuk disimak lebih lanjut, bagaimana peluang dan kendala pemanfaatan sumber-sumber daya energi terbarukan ini di negara-negara sedang berkembang, khususnya di Indonesia.

Ramalan Kebutuhan dan Ketersediaan Energi Listrik di Indonesia

Dengan memperhatikan pertumbuhan ekonomi dalam sepuluh tahun terakhir, skenario "export-import" dan pertumbuhan penduduk, pada tahun 1990 diramalkan bahwa

tingkat pertumbuhan kebutuhan energi listrik nasional dapat mencapai 8,2 persen rata-rata per tahun, seperti ditunjukkan dalam tabel-1 berikut.

Tabel-1Ramalan Kebutuhan Energi Listrik

Sektor1990 2000 2010

GWh persen GWh persen GWh persen

Industri 35.305 68,0 84.822 69,0 183.389 70,0

Rumah tangga 9.865 19.00 22.2392 18.0 40.789 16.0

Fasilitas umum 3.634 7,0 6.731 6.0 12.703 5.5

Komersial 3.115 6.0 8.811 7,0 21.869 8.5

Total 51.919 100.0 122.603 100.0 258.747 100.0

Sumber: Djojonegoro, 1992

Kebutuhan energi listrik tersebut diharapkan dapat dipenuhi oleh pusat-pusat pembangkit listrik, baik yang dibangun oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1990 kebutuhan energi listrik sebesar 51.919 GWh telah dipenuhi oleh seluruh pusat pembangkit listrik yang ada dengan kapasitas daya terpasang sekitar 22.000 MW. Sehingga pada tahun 2010 dari kebutuhan energi listrik, yang diramalkan mencapai 258.747 GWh per tahun, diharapkan dapat dipenuhi oleh sistem suplai energi listrik dengan kapasitas total sebesar 68.760 MW, yang komposisi sumber daya energinya seperti diperlihatkan dalam tabel-2

Tabel-2Prakiraan Penyedian Energi Listri di Indonesia

Sumber Energi1990 2000 2010

MW persen MW persen MW persen

BatubaraGasMinyakSolarPanas BumiAirBiomassLain-lain(Surya Angin)

1.9303.5302.21011.0201702.85027020

8.816.010.050.10.813.01.20.1 

10.7507.0801.9509.4105007.720290160

28.418.75.224.81.320.40.80.4 

28.05014.7603204.06043010.310460370

35.321.50.55.90.615.00.70.5

Total 22.000 100.0 37.860 100.0 68.760 100.0

Sumber: Djojonegoro, 1992 & Wibawa, 1996.

Dari tabel-2 ini tampak jelas terlihat, bahwa penggunaan minyak bumi, termasuk solar/minyak disel, sebagai bahan bakar produksi energi listrik akan sangat berkurang,

sebaliknya pemanfaatan sumber-sumber daya energi baru dan terbarukan, seperti air, matahari, angin dan biomas, mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kecenderungan ini tentu akan terus bertahan seiring dengan makin berkurangnya cadangan minyak bumi serta batubara, yang pada saat ini masih merupakan primadona banan bakar bagi pembangkit listrik di Indonesia.

Akan tetapi sejak tahun 1992 kebutuhan energi listrik nasional meningkat mencapai 18 persen rata-rata per tahun, atau sekitar dua kali lebih tinggi dari skenario yang dibuat pada tahun 1990. Hal ini disebabkan oleh tingginya pertumbuhan ekonomi nasional kaitannya dengan pertumbuhan industri dan jasa konstruksi. Jika keadaan ini terus bertahan, berarti diperlukan pula pengadaan sistem pembangkit energi listrik tambahan guna mengantisipasi peningkatan kebutuhan tersebut. Dilema yang timbul adalah bahwa di satu sisi, pusat-pusat pembangkit energi listrik yang besar tentu akan diorientasikan untuk mencukupi kebutuhan beban besar, seperti industri dan komersial. Di sisi lain perlu juga dipikirkan agar beban kecil, seperti perumahan dan wilayah terpencil, dapat dipenuhi kebutuhannya akan energi listrik. Salah satu alternatif yang dapat diupayakan adalah dengan membangun pusat-pusat pembangkit kecil sampai sedang yang memanfaatkan potensi sumber daya energi setempat, khususnya sumber daya energi baru dan terbarukan.

Peluang Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

a. Menipisnya cadangan minyak bumi

Setelah terjadinya krisis energi yang mencapai puncak pada dekade 1970, dunia menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak bumi, sebagai salah satu tulang punggung produksi energi terus berkurang

Bahkan beberapa ahli berpendapat, bahwa dengan pola konsumsi seperti sekarang, maka dalam waktu 50 tahun cadangan minyak bumi dunia akan habis. Keadaan ini bisa diamati dengan kecenderungan meningkatnya harga minyak di pasar dalam negeri, serta ketidak stabilan harga tersebut di pasar internasional, karena beberapa negara maju sebagai konsumen minyak terbesar mulai melepaskan diri dari ketergantungannya kepada minyak bumi sekaligus berusaha mengendalikan harga, agar tidak meningkat. Sebagai contoh; pada tahun 1970 negara Jerman mengkonsumsi minyak bumi sekitar 75 persen dari total konsumsi energinya, namun pada tahun 1990 konsumsi tersebut menurun hingga tinggal 50 persen (Pinske, 1993).

Jika dikaitkan dengan penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar sistem pembangkit listrik, maka kecenderungan tersebut berarti akan meningkatkan pula biaya operasional pembangkitan yang berpengaruh langsung terhadap biaya satuan produksi energi listriknya. Di lain pihak biaya satuan produksi energi listrik dari sistem pembangkit listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan menunjukkan tendensi menurun, sehingga banyak ilmuwan

percaya, bahwa pada suatu saat biaya satuan produksi tersebut akan lebih rendah dari biaya satuan produksi dengan minyak bumi atau energi fosil lainnya.

b. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan hidup menunjukkan gejala yang positif. Masyarakat makin peduli akan upaya penanggulangan segala bentuk potusi, mulai dari sekedar menjaga kebersihan lingkungan sampai dengan mengontrol limbah buangan dan sisa produksi. Banyak pembangunan proyek fisik yang memperhatikan faktor pelestarian lingkungan, sehingga perusakan ataupun pengotoran yang merugikan lingkungan sekitar dapat dihindari, minimal dikurangi. Setiap bentuk produksi energi dan pemakaian energi secara prinsip dapat menimbulkan bahaya bagi manusia, karena pencemaran udara, air dan tanah, akibat pembakaran energi fosil, seperti batubara, minyak dan gas di industri, pusat pembangkit maupun kendaraan bermotor. Limbah produksi energi listrik konvensional, dari sumber daya energi fosil, sebagian besar memberi kontribusi terhadap polusi udara, khususnya berpengaruh terhadap kondisi klima.

Pembakaran energi fosil akan membebaskan Karbondioksida (CO2) dan beberapa gas yang merugikan lainnya ke atmosfir. Pembebasan ini merubah komposisi kimia lapisan udara dan mengakibatkan terbentuknya efek rumah kaca (treibhouse effect), yang memberi kontribusi pada peningkatan suhu bumi. Guna mengurangi pengaruh negatif tersebut, sudah sepantasnya dikembangkan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan dalam produksi energi listrik. Sebagai ilustrasi, setiap kWh energi listrik yang diproduksi dari energi terbarukan dapat menghindarkan pembebasan 974 gr CO2, 962 mg SO2 dan 700 mg NOx ke udara, dari pada Jlka diproduksi dari energi fosil. Bisa dihitung, jika pada tahun 1990 yang lalu 85 persen dari produksi energi listrik di Indonesia (sekitar 43.200 GWh) dihasilkan oleh energi fosil, berarti terjadi pembebasan 42 juta ton CO2, 41,5 ribu ton SO2 serta 30 ribu ton NOx. Kita tahu bahwa CO2 merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca, SO2 mengganggu proses fotosintesis pada pohon, karena merusak zat hijau daunnya, serta menjadi penyebab terjadinya hujan asam bersama-sama dengan NOx. Sedangkan NOx sendiri secara umum dapat menumbuhkan sel-sel beracun dalam tubuh mahluk hidup, serta meningkatkan derajat keasaman tanah dan air jika bereaksi dengan SO2.

Kendala pengembangan Energi terbarukan di Indonesia

Pemanfaatan sumber daya energi terbarukan sebagai bahan baku produksi energi listrik mempunyai kelebihan antara lain;

1. relatif mudah didapat,2. dapat diperoleh dengan gratis, berarti biaya operasional sangat rendah,3. tidak mengenal problem limbah,

4. proses produksinya tidak menyebabkan kenaikan temperatur bumi, dan5. tidak terpengaruh kenaikkan harga bahan bakar (Jarass,1980).

Akan tetapi bukan berarti pengembangan pemanfaatan sumber daya energi terbarukan ini terbebas dari segala kendala. Khususnya di Indonesia ada beberapa kendala yang menghambat pengembangan energi terbarukan bagi produksi energi listrik, seperti:

1. harga jual energi fosil, misal; minyak bumi, solar dan batubara, di Indonesia masih sangat rendah. Sebagai perbandingan, harga solar/minyak disel di Indonesia Rp.380,-/liter sementara di Jerman mencapai Rp.2200,-/liter, atau sekitar enam kali lebih tinggi.

2. rekayasa dan teknologi pembuatan sebagian besar komponen utamanya belum dapat dilaksanakan di Indonesia, jadi masih harus mengimport dari luar negeri.

3. biaya investasi pembangunan yang tinggi menimbulkan masalah finansial pada penyediaan modal awal.

4. belum tersedianya data potensi sumber daya yang lengkap, karena masih terbatasnya studi dan penelitian yang dilkakukan.

5. secara ekonomis belum dapat bersaing dengan pemakaian energi fosil.6. kontinuitas penyediaan energi listrik rendah, karena sumber daya energinya

sangat bergantung pada kondisi alam yang perubahannya tidak tentu.

Potensi sumber daya energi terbarukan, seperti; matahari, angin dan air, ini secara prinsip memang dapat diperbarui, karena selalu tersedia di alam. Namun pada kenyataannya potensi yang dapat dimanfaatkan adalah terbatas. Tidak di setiap daerah dan setiap waktu; matahari bersinar cerah air jatuh dari ketinggan dan mengailr deras serta angin bertiup dengan kencang Di sebabkan oleh keterbatasan-keterbatasan tersebut, nilaii sumber daya energi sampal saat ini belum dapat begitu menggantikan kedudukan sumber daya energi fosil sebagai bahan baku produksi energi listrik. Oleh sebab itu energi terbarukan ini lebih tepat disebut sebagai energi aditif, yaitu sumber daya energi tambahan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi listrik, serta menghambat atau mengurangi peranan sumber daya energi fosil.

Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia

Berdasar atas kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran energi terbarukan pada produksi energi listrik khususnya, maka beberapa strategi yang mungkin diterapkan, antara lain:

1. meningkatkan kegiatan studi dan penelitian yang berkaitan dengan; pelaksanaan identifikasi setiap jenis potensi sumber daya energi terbarukan secara lengkap di setiap wilayah; upaya perumusan spesifikasi dasar dan standar rekayasa sistem konversi energinya yang sesuai dengan kondisi di Indonesia; pembuatan "prototype" yang sesuai dengan spesifikasi dasar dan standar rekayasanya; perbaikan kontinuitas penyediaan energi listrik; pengumpulan pendapat dan tanggapan masyarakat tentang pemanfaatan energi terbarukan tersebut.

2. menekan biaya investasi dengan menjajagi kemungkinan produksi massal sistem pembangkitannya, dan mengupayakan agar sebagian komponennya dapat diproduksi di dalam negeri, sehingga tidak semua komponen harus diimport dari luar negeri. Penurunan biaya investasi ini akan berdampak langsung terhadap biaya produksi.

3. memasyarakatkan pemanfaatan energi terbarukan sekaligus mengadakan analisis dan evaluasi lebih mendalam tentang kelayakan operasi sistem di lapangan dengan pembangunan beberapa proyek percontohan .

4. meningkatkan promosi yang berkaitan dengan pemanfaatan energi dan upaya pelestarian lingkungan.

5. memberi prioritas pembangunan pada daerah yang meliki potensi sangat tinggi, baik teknis maupun sosio-ekonomisnya.

6. memberikan subsidi silang guna meringankan beban finansial pada tahap pembangunan. Subsidi yang diberikan, dikembalikan oleh konsumen berupa rekening yang harus dibayarkan pada setiap periode waktu tertentu. Dana yang terkumpul dari rekening tersebut digunakan untuk mensubsidi pembangunan sistem pembangkit energi listrik di wilayah lain.

Pembangunan sistem pembangkit energi listrik yang memanfaatkan sumber daya energi terbarukan, terutama air, sudah banyak dilaksanakan di Indonesia. Pemanfaatan energi angin banyak diterapkan di daerah pantai, seperti di Jepara, pulau Lombok, Sulawesi dan Bali. Sementara energi matahari telah dimanfaatkan di beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan wlayah timur Indonesia. Sebagian besar dari pembangunan tersebut berupa proyea-proyek percontohan.

Daftar Pustaka

Djojonegoro,W., 1992, Pengembangan dan penerapan energi baru dan terbarukan, Lokakarya "Bio Mature Unit" (BMU) untuk pengembangan masyarakat pedesaan, BPPT, Jakarta.

Fritzler,M., 1993, Stichwort-Umweltgiffe, Wilhelm Heyne Verlag, Moenchen, Germany.

Jarass, 1980, Strom aus Wind - Integration einer regenerativen EnergieQuelle, Springer-Verlag, Berlin. Pinske,J.D., 1993, Elektrische Energieerzeugung, 2.vollst. ueberarb. Aufl., BG.Teubner, Stuttgart

Ramani,K.V., 1992, Rural electnEcation and rural development, Rural electrification guide book for Asia & Pacific, Bangkok.

Soetendro,H.,Soedirman,S.,Sudja,N., 1992, Rural Electnfication in Indonesia, Rural Electrification Guide book for Asia & the Pacific, Bangkok.

Schleswag (Hrsg.), 1993, Additive Energien-intelligent genutzt, Flensburg, Germany.

Wibawa,U., 1996, Effahrung mit dem Betneb Kleinwindhybrid Eanlage in Ciparanti-Ciamis, ARTES-lnstitu, Flensburg

Zuhal,1995, Policy & Development Programs on Rural ElectriScation for next 10 years, Ditjen.Listrik & Pengembangan Energi, Departemen Pertambangan dan Energi, Jakarta.

Sumber : Elektro Indonesia 5/1997

NILAH PETA PRODUKSI dan KONSUMSI ENERGI DUNIA

Forumhijau.com - Pertumbuhan konsumsi energi dunia turun pada 2012 namun produksi

bahan bakar fosil di sejumlah wilayah meningkat pesat. Amerika Serikat mencatat kenaikan

produksi minyak dan gas terbesar pada 2012. Produksi gas di AS yang melimpah menekan

harga sekaligus mengurangi konsumsi batu bara. Hal ini terungkap dari laporan BP

Statistical Review of World Energy 2013 yang dirilis Rabu (12/6).

Laporan ini menyebutkan, sistem energi dunia terus mengalami perubahan. Produksi energi

nuklir mengalami penurunan terbesar pada 2012. Produksi energi nuklir Jepang

"menghilang" setelah bencana nuklir Fukushima pada 2011. Jepang harus mengandalkan

pada bahan bakar impor termasuk impor gas alam cair (LNG) agar "lampu" mereka tetap

menyala.

Di Eropa, harga gas lebih tinggi dibanding di AS sehingga pembangkit listrik mengambil

kebijakan yang berlawanan arah dengan pembangkit di AS yaitu mengganti sumber energi

untuk pembangkit listrik mereka dari gas ke batu bara.

Menurut laporan BP, pertumbuhan konsumsi energi dunia turun menjadi 1,8% pada 2012

dari 2,4% pada tahun sebelumnya. Hal ini dipicu tidak hanya oleh kelesuan ekonomi namun

juga perubahan perilaku dalam menggunakan energi dari konsumen individu dan bisnis

yang lebih efisien.

Negara berkembang, terutama China dan India menjadi motor permintaan energi

menyumbang 90% peningkatan permintaan energi. Dulu, 24 tahun yang lalu negara

berkembang hanya menyumbang 42% konsumsi energi dunia, kini porsi konsumsi energi

negara berkembang mencapai 56% konsumsi energi global.

Selama dua tahun berturut-turut, gangguan pasokan minyak dari Afrika dan Timur Tengah

tertutupi oleh pertumbuhan produksi di negara Timur Tengah lain terutama oleh Arab Saudi,

Uni Emirat Arab dan Qatar. Namun walau pasokan minyak mengalami peningkatan, harga

minyak terus mencetak rekor tertinggi.

Batu bara tetap menjadi bahan bakar fosil dengan pertumbuhan tertinggi di dunia. Untuk

pertama kalinya, China menjadi konsumen batu bara terbesar. Energi air dan energi baru

terbarukan (bersama dengan gas alam murah di Amerika Utara) bersaing dengan batu bara

memasok energi dunia. Produksi bahan bakar nabati turun untuk pertama kalinya sejak

2000 akibat melesunya pasar energi nabati di AS, namun secara umum kapasitas produksi

energi terbarukan naik 15,2% dan mencapai rekor bauran kapasitas energi dunia baru

sebesar 4,7%.

Kabar buruknya, emisi CO2 dunia dari konsumsi energi terus meningkat pada 2012 setelah

sempat melambat pada 2011. Negara yang menikmati penurunan emisi yang signifikan

adalah AS akibat peralihan penggunaan energi dari batu bara ke gas. Peralihan ini

membantu AS mengurangi emisi CO2 mereka menjadi setara dengan emisi tahun 1994.

“Semua informasi di atas menunjukkan dunia memiliki banyak pilihan energi. Tantangannya

adalah memilih berinvestasi di energi mana yang terbaik. Kita memerlukan energi yang

aman dan kompetitif sehingga penting untuk memaksimalkan semua kemampuan yang ada

untuk mengurangi risiko dan biaya energi,” ujar Bob Dudley, Chief Executive dari BP Group

sebagaimana dikutip dalam berita BP

©[FHI/Hijauku]

Follow us: @ForumHijau_ID

# ForumHijau  # Energi

Kemedag Terbitkan Aturan Baru Ekspor-Impor MigasSabtu, 10 Januari 2015, 05:25 WIB

Komentar : 0

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Menteri PAN dan RB Yuddy Chrisnandi dan pendiri Artha Graha Tomy Winata membagikan sembako saat pembukaan pasar murah di Jakarta,Ahad (30/11). (foto : mgROL29)A+ | Reset | A-

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan menerbitkan aturan baru soal

ekspor-impor minyak bumi, gas bumi dan bahan bakar lainnya melalui Peraturan Menteri

Perdagangan Nomor 03/M-DAG/PER/1/2015 yang telah dikeluarkan pada 5 Januari 2015.

"Penerbitan Permendag 3/2015 bertujuan untuk memperketat pengawasan baik untuk

ekspor dan impor migas, yang merupakan produk strategis dan sumber penerimaan

negara," kata Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel, Jumat (9/1).

Rachmat mengatakan, salah satu alasan diterbitkannya Permendag 03/2015 tersebut

adalah kegiatan ekspor dan impor migas, harus dilakukan pengetatan dan pengawasan

agar lebih terkelola dengan baik serta lebih terintegrasi dengan Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Pengetatan dan pengawasan tersebut untuk mendata dan mencatat setiap migas yang

keluar dan masuk. Untuk mengetahui realisasi besaran ekspor dan impor, sehingga dengan

adanya permendag ini akan mampu menciptakan transparansi," kata Rachmat.

Rachmat menjelaskan, beberapa perubahan dengan adanya permendag tersebut antara

lain adanya kewajiban registrasi bagi para eksportir dan importir untuk mendapatkan status

Importir Terdaftar (IT) dan Eksportir Terdaftar (ET).

Selain itu, lanjut Rachmat, juga wajib mendapatkan rekomendasi dari Kementerian ESDM

agar bisa diajukan ke Kementerian Perdagangan untuk mendapatkan Surat Persetujuan

Ekspor (SPE) maupun Surat Persetujuan Impor (SPI).

Dikeluarkannya SPE dan SPI setelah adanya rekomendasi dari Kementerian ESDM

tersebut, menurut Rachmat, merupakan salah satu upaya untuk menciptakan tata kelola

energi nasional, transparansi, dan juga pemberantasan mafia migas.

"Dengan demikian keluar dan masuknya migas bisa diketahui oleh Kementerian ESDM

sebagai bagian dalam menciptakan tata kelola energi nasional dan pemberantasan mafia

migas," kata Rachmat.

Rachmat menambahkan, untuk setiap ekspor dan impor migas, juga wajib dilakukan

verifikasi oleh surveyor independen yang ditunjuk oleh menteri perdagangan sehingga bisa

diketahui realisasi ekspor dan impor migas untuk menciptakan transparansi.

Berdasarkan data, ekspor minyak bumi, gas bumi dan bahan bakar lainnya pada tahun

2012 lalu tercatat kurang lebih sebanyak 36,9 miliar dolar Amerika Serikat, sementera

impor untuk tahun yang sama sebesar 42,5 miliar dolar AS.

Pada 2013, ekspor tercatat sebesar 32,6 miliar dolar AS dan impor 45,2 miliar dolar AS.

Sementara untuk tahun 2014 lalu, ekspor komoditas tersebut menurun menjadi sebesar

27,9 miliar dolar AS dan impor senilai 40 miliar dolar AS.

MigasReview, Jakarta – Minyak dan gas bumi (migas) merupakan produk strategis dan sumber

pendapatan negara. Oleh karena itu, diperlukan aturan baru terkait lalu lintas ekspor dan impor

bahan bakar minyak (BBM), gas bumi dan bahan bakar lainnya.

 

Menteri Perdagangan Rachmat Gobel mengatakan, Peraturan Kementerian Perdagangan

(Permendag) No. 3 Tahun 2015 merupakan penyempurnaan peraturan sebelumnya, yaitu

Permendag No. 42 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Migas yang bertujuan untuk

mendata mengetahui realisasi ekspor impor migas.

 

“Kami perlu melakukan pengetatan dan pengawasan kegiatan ekspor dan impor migas dengan

dilakukannya pendataan agar lebih terkelola dengan baik, transparan dan terintegrasi dengan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” ujarnya di kantor Kementerian

Perdagangan, Jakarta, Jum’at (9/1).

 

Dalam Permendag baru ini, sedikitnya ada tiga ketentuan baru, yaitu pertama, seluruh pelaku usaha

ekspor dan impor migas diwajibkan melakukan registrasi untuk Importir Terdaftar (IT) dan Eksportir

Terdaftar (ET) sebelum mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dan Impor.

 

Kedua, kegiatan ekspor dan impor migas harus mendapatkan Surat Persetujuan Ekspor dan Impor

dari Kementerian Perdagangan setelah ada pertimbangan teknis atau rekomendasi Menteri ESDM.

Sebelumnya, ketentuan ekspor dan impor migas hanya perlu persetujuan ekspor dan impor dari

Kementerian Perdagangan setelah ada rekomendasi dari Kementerian ESDM dan tidak diperlukan

registrasi ET dan IT.

 

Ketiga, untuk setiap ekspor dan impor migas wajib dilakukan verivikasi olehsurveyor independen

yang ditunjuk oleh Menteri Perdagangan. Permendag No. 3 Tahun 2015 akan berlaku mulai 7 April

2015. (op)

Pengertian Transformasi Energi

Posted in Fisika by Tedi Mulyadi On September 5, 2015. No commentsTransformasi energi adalah proses perubahan energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Proses ini

terjadi sepanjang waktu, baik di dunia dan di dalam masyarakat. Ketika orang mengkonsumsi

makanan, tubuh memanfaatkan energi kimia dalam ikatan makanan dan mengubahnya menjadi

energi mekanik, bentuk baru dari energi kimia, atau energi panas. Transformasi energi merupakan

konsep penting dalam penerapan ilmu fisika. Kemampuan energi untuk diubah seperti

mengotomatiskan lampu, menghibur, dan menghangatkan dunia dalam banyak cara yang luar

biasa.

 Konsep transformasi energi dapat digambarkan dalam sejumlah kegiatan umum. Seperti mesin,

mesin di dalam mobil, mengubah energi gas kimia dan oksigen menjadi energi mekanik dari

gerakan mesin. Sebuah bola lampu mengubah energi kimia dari bohlam menjadi radiasi

elektromagnetik, atau cahaya. Kincir angin memanfaatkan energi angin dan mengubahnya menjadi

energi mekanik dalam gerakan putaran turbin, yang kemudian diubah menjadi energi listrik. Panel

solar mengubah cahaya menjadi listrik.

Siklus energi (transformasi energi)

Transformasi energi juga dapat dijelaskan dalam hal energi potensial, energi yang tersimpan dari

suatu sistem, yang dapat diubah menjadi energi kinetik, atau energi gerakan. Sebagai contoh,

sebuah roller coaster yang berada di atas sebuah bukit dikatakan memiliki energi potensial. Energi

potensial ini diperoleh ketika roller coaster bergerak ke atas bukit. Setelah roller coaster mulai

bergerak menuruni bukit, gaya gravitasi diberikan dan energi potensial berubah menjadi energi

kinetik. Selama transformasi energi, energi potensial sering diubah menjadi energi kinetik dan

kembali lagi ke energi potensial.

Selama apapun transformasi energi, sebagian besar energi akan hilang ke lingkungan. Akibat

kerugian ini, tidak ada mesin yang 100% efisien. Umumnya, sebagian dari energi yang hilang

selama transformasi energi adalah panas. Hal ini dapat diamati dalam praktek dengan mencatat

panas yang dipancarkan oleh komputer, mobil, atau jenis lain dari mesin yang telah digunakan

selama jangka waktu tertentu.

Kemampuan mesin tertentu atau sistem untuk mengkonversi antara bentuk energi disebut “efisiensi

konversi energi.” Semua sistem memiliki efisiensi konversi energi yang berbeda. Turbin air,

misalnya, memiliki efisiensi konversi energi yang sangat tinggi hampir 90%, sedangkan mesin

pembakaran memiliki 10% dari efisiensi konversi 50%. Teknik dan fisika yang terus-menerus dalam

mengejar sistem mampu mencapai efisiensi konversi energi tinggi.

Advertisements

Bentuk energi utama adalah sebagai berikut:

o Energi cahaya (cahaya)

o Energi kimia

o Energi mekanik

o Tenaga nuklir

o Tenaga listrik

o Energi panas (thermal)

o Energi suara

Sepintas Belajar Ekonomi Energi

DECEMBER 15, 2011 1 COMMENT

Teori dan Konsep Ekonomi Energi

Keterkaitan antara energi dan aktivitas perekonomian menghasilkan persepsi yang berbeda-beda

tergantung latar belakang teori, pendekatan, serta ruang lingkup penelitian. Perekonomian modern

mempunyai tren ketergantungan terhadap energi, akan tetapi peranan energi dalam perekonomian

sebetulnya komplek dan dinamis. Sebagian besar literatur memang menekankan pengaruh tahap

pembangunan ekonomi terhadap pemakaian energi daripada hubungan timbal baliknya (Toman dan

Jamelkova, 2003; Stern dan Cleveland, 2004).

Dalam pandangan teori pertumbuhan neoklasik misalnya, sebagian besar studi mengeksplorasi

kemungkinan adanya substitusi atau komplementer antara energi dan faktor input lainnya serta

interaksinya dalam mempengaruhi produktivitas. Menurut pandangan neoklasik ini, kontribusi energi

terhadap perekonomian relatif dilihat dari biaya produksinya. Di lain pihak pandangan para ahli ekonomi

ekologi, energi merupakan kebutuhan mendasar bagi produksi. Dengan menerapkan hukum

termodinamika, perekonomian dipandang sebagai subsistem yang terbuka dari ekosistem global.

Sedangkan, teori neoklasik dipandang under estimate terhadap peranan energi dalam aktivitas ekonomi

(Okcwell, 2008). Oleh karenanya dalam memahami peran energi dalam ekonomi, kiranya perlu dibahas

dulu energi dalam konteks teori produksi.

Sumber Daya Energi dan Teori Produksi

Sumber daya alam secara umum dibedakan menjadi sumber daya yang dapat diperbarui (renewable

resources) dan sumber daya yang tak terbarukan (non-renewable/exhaustible resources). Namun suatu

saat sumber daya yang dapat diperbarui dapat menjadi tidak dapat diperbarui, dikarenakan permintaan

yang terus meningkat sehingga laju pengurasan melebihi laju reproduksinya.

Dalam fungsi produksi, konsep dapat diperbarui merupakan kunci. Oleh karenanya kelangkaan sumber

daya menjadi perhatian utama para ahli ekonomi. Stok kapital, tenaga kerja dan beberapa sumber daya

alam sebagai input produksi merupakan faktor yang dapat diperbarui, sementara sumber daya energi

yang dipakai saat ini sebagian besar tidak dapat diperbarui.

Sumber daya alam seharusnya digabungkan dengan faktor produksi lainnya agar dapat menghasilkan

keluaran yang optimal. Sumber daya alam lebih menyerupai modal karena harus digali atau dikuras

dahulu sebagai bahan mentah sebelum dapat dipakai sebagai faktor produksi. Bersama dengan input

lainnya sumber daya alam kemudian diolah menjadi barang yang siap dikonsumsi atau digunakan untuk

input produksi dalam menghasilkan barang dan jasa lainnya (Purnomo Yusgiantoro, 2000). Dalam hal ini

energi memiliki peranan penting sebagai determinan proses produksi dan pertumbuhan.

Menurut hukum pertama termodinamika yang dikenal sebagai ‘mass balance principle’, energi tidak dapat

diciptakan dan dihapuskan. Konsekuensinya untuk memproduksi sesuatu diperlukan input material lain.

Hukum kedua termodinamika ‘the efficiency law’ menyatakan energi diperlukan dalam

mentransformasi/memindahkan barang (Stern dan Cleveland, 2004).

Perspektif lainnya, dalam model ekonomi ekologi menempatkan energi sebagai faktor primer yang telah

disediakan oleh alam. Oleh karenanya stock energi dalam kegiatan ekonomi yang mengalami degradasi

seiring dengan waktu dapat menjadi kendala, dan penyediaan energi dalam setiap periode menjadi

penting untuk diketahui (Stern, 1999). Dalam model biofisik, penyediaan energi mendapatkan kendala

geologi dan proses ekstraksi. Di lain pihak, kapital dan tenaga kerja lebih diartikan sebagai aliran modal

dan jasa tenaga kerja daripada sebagai stok. Sehingga, pemakaian energi dihitung dari proses yang

melekat pada biaya dari aliran input tersebut. Dalam hal ini, nilai tambah kegiatan ekonomi dan harga

komoditas output dipengaruhi oleh rente ekstaksi energi dan biaya pemakaian energi (Costanza, 1980).

Kaitan Energi dalam Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi menelaah faktor-faktor penentu dari pertumbuhan output jangka menengah dan

jangka panjang. Faktor-faktor tersebut adalah tenaga kerja penuh, sumber daya alam, teknologi tinggi,

dan akumulasi modal yang cepat, dan tabungan sebagai investasi yang tergantung pada besarnya

pendapatan masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan sebagai ungkapan umum yang menggambarkan tingkat

perkembangan suatu negara atau regional tertentu, yang diukur melalui pertumbuhan (% pertambahan

agregat output, seperti PDB) dari pendapatan nasional rill. Nilai tersebut dapat dikonstankan berdasarkan

tahun dasar tertentu, terutama untuk melihat faktor kenaikan harga-harga atau inflasi. Pertumbuhan

ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan merupakan kondisi ideal dan utama bagi

perkembangan perekonomian.

Menurut pandangan ahli-ahli ekonomi klasik ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi, yaitu: jumlah penduduk, jumlah stok barang-barang modal, luas tanah dan kekayaan alam,

serta tingkat teknologi yang digunakan. Menurut Adam Smith, pertumbuhan bersifat kumulatif, artinya jika

ada pasar yang cukup dan ada akumulasi kapital, akan ada pembagian kerja dengan produktivitas

tenaga kerja yang menaik. Kenaikan ini menyebabkan pendapatan nasional naik, untuk kemudian

memperbesar jumlah penduduk dan mekanisme pasar. Perkembangan ekonomi akan berhenti

disebabkan oleh terbatasnya sumber daya alam disamping karenadiminishing return. Ahli-ahli ekonomi

klasik menganut law of diminishing return, ini berarti pertumbuhan ekonomi tidak akan berlangsung

secara terus-menerus karena keterbatasan sumber daya. Hal ini menunjukkan sumber daya alam dapat

menjadi kendala dalam pertumbuhan ekonomi.

Model pertumbuhan ekonomi neoklasik yang mendasarkan analisisnya pada peralatan fungsi produksi; Q

= f (K, L;t). Solow (1956), menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses yang

berlangsung dengan kombinasi yang bervariasi antar faktor-faktor produksi. Model pertumbuhan ekonomi

Solow mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki pengembalian skala konstan (constan returns to

scale), berlakunya tambahan hasil yang semakin menurun pada setiap input (the law of diminishing

returns to factor) dan elastisitas positif penggantian antara setiap input. Pendapat ini sepenuhnya

berpangkal pada pemikiran aliran klasik yang menyatakan bahwa perekonomian akan tetap mengalami

tingkat kesempatan kerja penuh dan kapasitas alat-alat modal akan tetap sepenuhnya digunakan dari

masa ke masa.

Dalam teori neoklasik, teknologi dianggap sebagai faktor eksogen yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh

semua negara di dunia. Dalam perekonomian yang terbuka, semua faktor produksi dapat bertambah

secara leluasa dan teknologi dapat dimanfaatkan oleh setiap negara, maka pertumbuhan ekonomi di

semua negara di dunia akan konvergen, yang berarti kesenjangan akan berkurang.

Paul Romer dan Robert Lucas, dua orang ahli ekonomi yang mengembangkan mekanisme pertumbuhan

ekonomi yang bersifat endogen. Hasil pengamatan empirik kedua ekonom tersebut menunjukkan bahwa

determinan pertumbuhan ekonomi jangka panjang memiliki banyak variabel yang sifatnya endogen.

Pandangan atas variabel-variabel yang turut menentukan pertumbuhan ekonomi jangka panjang

kemudian dimasukkan dalam model yang dibangun sehingga tidak lagi merupakan variabel yang

eksogen.

Model baru ini menganggap pertumbuhan ekonomi berlangsung terus menerus tidak terbatas sebagai

hasil dari investasi kapital termasuk human capital, sehingga hasil investasi ini tidak dengan sendirinya

menurun ketika perekonomian berkembang. Adanya spillovers of knowledge diantara produsen dan

manfaat eksternal kapital dalam bentuk sumber daya manusia merupakan bagian dari proses

pertumbuhan. Kedua faktor tersebut dapat mengurangi kecenderungan diminishing returns sehingga

akan terjadi akumulasi kapital. Hal yang penting lain adalah masuknya faktor perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, yang berperan secara signifikan dalam pertumbuhan jangka panjang.

Kemajuan teknologi merupakan hasil dari R & D.  Bila dalam suatu perekonomian tidak terjadi

kecenderungan penurunan ide, maka tingkat pertumbuhan jangka panjang akan tetap positif.

Solow (1974), menunjukkan bahwa kesinambungan dapat dicapai dalam sebuah model yang terbatas

pada pemakaian nonrenewable resouces saat elastisitas substitusi antara dua input terjadi dan kondisi

teknis tertentu lainnya dipenuhi. Model yang sama dalam sistem ekonomi yang kompetitif, menunjukkan

pemanfaatan sumber daya, konsumsi dan kesejahteraan sosial akhirnya jatuh menuju nol (Stiglitz, 1974).

Kesinambungan terjadi ketika masyarakat berinvestasi kembali untuk menggantikan sumber daya alam

yang menipis.

Sumber daya energi yang langka diharapkan dapat diganti oleh lebih banyak substitusi, atau “setara”

dalam bentuk manusia atau kapital (orang, mesin, pabrik, dll). Kedua ahli ini menekankan pentingnya

substitusi terhadap pemakaian sumber daya energi. Namun kenyataanya, perekonomian yang kompetitif

itu sendiri sulit terjadi, karena masyarakat cenderung meningkatkan terus konsumsi, kendala harga

(bahan baku dan biaya produksi) dan timbulnya market failure. Pemahaman ini menjadi terbatas, karena

belum memasukkan adanya substitusi antar sumber daya itu sendiri, misalkan penemuan-penemuan

baru serta pengembangan sumber daya terbarukan.

 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterkaitan Energi dan Pertumbuhan Ekonomi

Banyak ahli ekonomi ekologi mengkritik berbagai pandangan teori pertumbuhan (terutama aliran klasik

dan neoklasik) yang hanya memfokuskan pada batasan institusional dalam pertumbuhan (Stern dan

Cleveland, 2004). Mereka menekankan perlunya memahami lebih mikro pada batasan susbtitusi antar

input dan perkembangan teknologi sebagai faktor penting dalam mengatasi kendala keterbatasan sumber

daya alam.

Menurut Stern dan Cleveland (2004), dengan melihat hubungan antara

energi dan output agregat dalam fungsi produksi Q = f (K, L, E; t), maka beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi keterkaitan tersebut antara lain:

Substitusi/komplementer antara energi dan input lainnya (kapital, mesin, tenaga kerja).

Substitusi/komplementer yang terjadi antar input lainnya (selain energi: padat karya, padat modal,

dsb.).

Perubahan teknologi (inovasi, intensitas, efisiensi, dll.).

Pergeseran komposisi input energi (jenis, kualitas, dll.).

Pergeseran komposisi output (disaggregate output/sektoral).

Dalam batasan substitusi misalnya, sumber daya energi itu sendiri terdiri dari berbagai jenis dan

karakteristik serta nilai efisiensinya. Masing-masing mempunyai karakter yang dapat membantu

meningkatkan efisiensi aktivitas ekonomi. Keterbatasan substitusi juga diharapkan dapat dipecahkan

dengan meningkatnya peranan human capitalserta kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Ahli ekonomi John Stuart Mill berpendapat, terbatasnya sumber daya tidak membuat pembangunan

stagnan atau mundur. Hal ini karena ekspektasi perkembangan pengetahuan dan teknologi dalam

pengelolaan sumber daya dan pertumbuhan ekonomi (Tahvonen, 2000).

Tahvonen dan Salo (2001) mempelajari transisi antara energi terbarukan dan energi tidak terbarukan

pada berbagai level pembangunan. Mereka menemukan, pada awalnya ekonomi bekerja menggunakan

energi terbarukan kemudian berevolusi ke energi tak terbarukan dan kembali lagi ke pemakaian energi

terbarukan. Secara teknis hal ini sangat mendukung, apalagi jika harga energi tak terbarukan semakin

meningkat terus. Diversifikasi ke arah energi terbarukan menjadi salah satu tantangan ekonomi saat ini

dan ke depan.

Pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini masih mengalami kendala dalam meniru

perubahan-perubahan struktural perekonomian di negara-negara maju. Hal ini diperkirakan juga

berkaitan erat dengan mekanisme berjalannya faktor-faktor tersebut di atas (Stern dan Cleveland 2004).

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, terlihat pentingnya mekanisme substitusi. Menurut Nicholson (2005),

pemahaman elastisitas substitusi dari banyak input ini pada kenyataannya sering menimbulkan

komplikasi dalam praktek. Elastisitas dengan dua input merupakan perubahan proporsi antar input

terhadap perubahan proporsi rate of technical substitution untuk menjamin produksi yang konstan. Untuk

banyak input, maka input lainnya dianggap konstan. Hal ini menimbulkan permasalahan, karena faktanya

perubahan rasio dua input akan diikuti perubahan level input lain yang dapat bersifat substitusi atau

komplementer. Sebagai alternatif, kadang-kadang elastisitas substitusi hanya dihitung sebagai elastisitas

parsial terhadap fungsi harga/biayanya.

Konsep Peran Energi dalam Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi memiliki arti yang sedikit berbeda, meski keduanya

sering dianalogikan sama. Keduanya menerangkan mengenai perkembangan perekonomian yang

berlaku atau secara aktual terjadi.

Pembangunan ekonomi umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan

perkapita masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Jelas dapat dilihat dari definisi ini bahwa

pembangunan ekonomi memiliki tiga karakteristik penting, yaitu: (1) Suatu proses, yang berarti

perubahan yang terjadi secara terus menerus (sustainable), (2) Usaha untuk menaikkan tingkat

pendapatan perkapita, dan (3) Kenaikan pendapatan perkapita itu harus berlangsung dalam jangka

panjang. Di dalam analisis, pembangunan ekonomi perlu dipandang sebagai suatu proses saling

berkaitan dan hubungan saling mempengaruhi antar faktor yang menghasilkan pembangunan nyata.

Sehingga, dapat diketahui deretan peristiwa yang mewujudkan peningkatan dalam kegiatan ekonomi dan

taraf kesejahteraan masyarakat. Dalam prakteknya, laju pembangunan ekonomi sering dilihat dari 

pertambahan pendapatan domestik bruto riilnya.

Menurut Purnomo Yusgiantoro (2000), salah satu komponen yang  mempengaruhi pembangunan

ekonomi adalah jumlah pemakaian energi secara nasional. Meningkatnya pemakaian energi mendorong

proses industrialisasi. Permintaan energi pada industri manufaktur untuk menjalankan mesin-mesin

memang sangat tinggi. Di sisi lain, dukungan kontribusi energi, terutama dalam penerimaan ekspor dan

penerimaan pemerintah, menjadi sarana akumulasi modal pembangunan. Dengan menyadari bahwa

pemakaian energi sangat erat berhubungan dengan PDB, maka dapat diperkirakan berapa kenaikan 

yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat output tertentu. Besarnya kenaikan pemakaian energi yang

dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dapat diketahui dengan menghitung elastisitas energi

terhadap output nasional. Elastisitas tersebut diformulasikan sebagai berikut:

EE  = (DEC/EC)/(DPDB/PDB)

EE       = Elastisitas energi

EC       = Pemakaian energi nasional pada waktu tertentu

PDB     = Produk domestik bruto waktu tertentu

DEC                = Incremental pemakaian energi selang waktu tertentu (EC2-EC1)

DPDB   = Incremental PDB selang waktu tertentu (PDB2-PDB1)

Selain sebagai indikator yang dapat dijadikan pijakan dalam proses pengambilan keputusan strategi

pembangunan, elastisitas energi juga dapat digunakan untuk mengukur sampai dimana efisiensi dan

tahap industrialisasi suatu negara. Elastisitas energi yang semakin kecil menggambarkan struktur

produksi semakin efisien dan energi memiliki nilai tambah yang besar terhadap produksi nasional. Namun

elastisitas yang kecil ini kadang-kadang juga dapat menggambarkan informasi yang menyesatkan. Angka

elastisitas seperti itu biasanya ditemui di negara-negara yang masih berbasis pertanian. Sedangkan

elastisitas yang besar juga tidak berarti jelek. Elastisitas yang besar biasanya dijumpai di negara-negara

industri maju. Elastisitas yang besar juga tidak selalu menunjukkan industri negara itu sudah maju, tetapi

boleh jadi karena negara ini terlalu boros memakai energi yang ada. Pihak pengambil keputusan harus

sangat berhati-hati dalam menafsirkan informasi elastisitas yang ada. Indikator-indikator lainnya harus

turut diperhatikan.

Selain elastisitas, beberapa negara menggunakan konsep penghitungan intensitas energi yang dapat

dirumuskan sebagai berikut:

IE  =  EC/PDB

IE     = Intensitas energi

EC    = Pemakaian energi nasional pada waktu tertentu

PDB  = Produk domestik bruto pada waktu tertentu

Intensitas energi yang cenderung mengalami penurunan biasanya merupakan salah satu penyebabnya

pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi didorong industri manufaktur. Pertumbuhan ekonomi lebih didorong

industri jasa. Karena merupakan konsep rata-rata (average), bukan konsep marjinal seperti elastisitas,

maka intensitas tidak dapat menggambarkan efisiensi pemakaian energi. Penjelasan intensitas

pemakaian energi terbatas pada besaran pemakaian energi dalam pembangunan suatu negara. Dengan

membandingkan keduanya dapat diketahui keunggulan konsep elastisitas  dibandingkan intensitas

pemakaian energi.

Energi dalam Konteks Perekonomian Makro

Ekonomi makro sebagai suatu kerangka analisis berkaitan dengan pembahasan ekonomi secara

keseluruhan. Topik yang dibahas ekonomi makro berhubungan dengan hal seperti pertumbuhan

ekonomi, aras (level) output nasional, neraca pembayaran, anggaran, belanja, inflasi, dan sebagainya.

Kerangka pembahasan ekonomi makro menggunakan pendekatan analisis permintaan dan penawaran

agregat (Purnomo Yusgiantoro, 2000).

Penawaran agregat merupakan jumlah barang yang ditawarkan dalam suatu perekonomian. Penawaran

agregat dapat dipengaruhi oleh variabel tenaga kerja (L), stok kapital (K) dan sumber daya alam (R).

Permintaan agregat didefinisikan sebagai jumlah barang yang diminta dalam suatu perekonomian.

Besarnya barang yang diminta tersebut dapat dipengaruhi variabel konsumsi (C), investasi (I), sektor

pemerintah (G) serta neraca pembayaran (X-M).

Energi dalam penawaran agregat merupakan bagian dari input produksi yang dampak substitusinya satu

sama lain menarik untuk dibahas. Penawaran agregat dalam sisi persediaan dari keseimbangan harga

nasional dengan output, dalam hal ini digunakan Produk Domestik Bruto/Gross Domestic Product (GDP).

Masalah substitusi, baik energi mensubstitusi non-energi ataupun sebaliknya, menjadi penting dalam

menghasilkan PDB. Elastisitas substitusi adalah seberapa besar input non-energi mensubstitusi energi

dalam menghasilkan PDB yang akan mempengaruhi bentuk isoquant dan tingkat kenaikan PDB.

Peran energi dalam makroekonomi dapat ditentukan dari kerangka tersebut, namun perlu pula

diperhatikan elastisitasnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Ketersediaan energi dalam jangka

pendek masih dibatasi oleh teknologi, sehingga kemampuan substitusinya juga terbatas. Bila elastisitas

substitusinya kecil, maka pengurangan input energinya akan memberi dampak negatif pada sistem

ekonomi dan mengakibatkan tingkat PDB mengalami penurunan. Sedangkan elastisitas substitusi dalam

jangka panjang dapat diperbaiki menjadi lebih besar dengan kemungkinan perubahan teknologi dan

efisiensi energi, sehingga substitusi non-energi tidak akan mempengaruhi tingkat PDB.

Peningkatan substitusi erat terkait dengan tersedianya teknologi dan manajemen sisi permintaan, seperti

program diversifikasi dan konservasi energi demi peningkatan efisiensi pemakaian energi. Elastisitas

substitusi jangka panjang secara teoretis akan lebih besar dari jangka pendek, namun kenyataan ini

bervariasi untuk tiap negara.

Sedangkan, keterkaitan antara energi dengan permintaan agregat secara umum dapat dilihat dari

beberapa komponen ekonomi makro seperti penerimaan pemerintah, neraca pembayaran, investasi, dan

inflasi (Purnomo Yusgiantoro, 2000). Cara menelaah apakah ada keterkaitan energi dengan

perekonomian adalah melihat bukti-bukti empiris yang pernah terjadi. Krisis energi dunia pada tahun

1970-an setidaknya menunjukkan adanya keterkaitan tersebut. Dasawarsa 1970-an merupakan masa di

mana terjadi penurunan pendapatan per kapita riil Amerika Serikat yang pertama sejak dasawarsa 1930-

an. Pada saat yang sama terjadi stagflasi – keadaan inflasi yang selalu stagnan dan tidak bisa berubah

untuk menjadi lebih baik dan tingkat pengangguran pun terlihat sangat tinggi. Fenomena tersebut tidak

hanya terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga menyebar di hampir semua negara industri maju.

Krisis energi juga membawa dampak bagi negara-negara berkembang. Efek makro krisis energi terhadap

negara maju dan berkembang sebenarnya dapat dianggap sebagai suatu siklus. Kenaikan harga minyak

dunia membuat nilai ekspor negara produsen minyak (negara berkembang) terangkat naik. Karena

perannya sebagai inputproduksi, maka kenaikan harga minyak dunia tersebut mengakibatkan

bertambahnya biaya produksi negara pengimpor minyak. Harga barang yang diproduksi negara

pengimpor minyak jelas menjadi lebih mahal. Ketika negara berkembang harus mengimpor barang-

barang tersebut, yang sebagian besar barang modal, nilai impornya menjadi lebih besar.

Windfall profit penerimaan minyak menanjak drastis dan dialami negeri produsen migas, disebabkan oleh

harga minyak yang mendadak melonjak. Bila sebaliknya yang terjadi, maka jelas sistem ekonomi tidak

mendapatkanwindfall profit tetapi collapse (penurunan mendadak) karena harga minyak merosot tajam.

Minyak bumi merupakan salah satu energi yang sering berfluktuasi. Penyebabnya bukan hanya faktor

fundamental pasar yang dapat dapat berubah, tetapi juga pengaruh perkembangan Timur Tengah, politik,

perang, psikologis, dan ulah spekulan. Sebagian besar negara yang pendapatan nasionalnya tergantung

ekspor migas sering menghadapi kenyataan harga minyak meleset jauhi dari harga patokan yang telah

ditetapkan.

Booming ekspor – terutama minyak dan gas bumi - dapat menjadi penyebab gagalnya pembangunan.

Sindrom ini dikenal sebagai Dutch Disease. Istilah ini diambil berdasarkan pengalaman pembangunan

Negeri Belanda setelah tahun 1960. Pada tahun itu ditemukan cadangan sumber gas bumi yang sangat

besar. Nilai ekspor yang tiba-tiba melonjak dan surplus neraca pembayaran menjadi sumber

kemakmuran baru, tetapi hal demikian tidak berlangsung lama. Perekonomian Belanda perlahan-lahan

mengalami krisis. Yang terjadi pada tahun 1970-an merupakan anti klimaks dari keadaan sebelumnya.

Inflasi meningkat tajam, ekspor barang manufaktur turun, pertumbuhan pendapatan nasional turun, dan

tingkat penggangguran terus meningkat. Kemudian terjadi boomingminyak pada tahun 1970-an dan

1980-an yang membawa dampak serupa bagi Arab Saudi, Nigeria, dan Meksiko.

Para ahli ekonomi mulai menyadari bahwa krisis ekonomi yang pernah terjadi di Negeri Belanda dapat

saja menjadi fenomena umum yang disebabkan oleh “kegembiraan” berlebihan atas surplus yang

diperoleh dari ekspor minyak dan gas bumi. Dutch Disease juga pernah dialami Indonesia. Tingginya

harga minyak dunia pada dasawarsa 1970-an membuat penerimaan ekspor Indonesia dari minyak dan

gas bumi meningkat tajam. Tetapi saat itu belum disadari dan disiapkan diversifikasi ekspor dari migas ke

nonmigas. Yang terjadi kemudian hampir sama dengan apa yang pernah dialami Belanda.

Energi terkait dengan neraca modal nasional lewat kegiatan pengembangan dan pemanfaatan energi.

Sesuai dengan karakteristiknya yang penuh risiko, padat modal, serta berteknologi tinggi, maka

pengembangannya dilakukan oleh penanam modal asing atau perusahaan multinasional. Investasi asing

langsung (foreign direct investment) di Indonesia untuk minyak, gas bumi, batubara, panas bumi dan

pembangkit listrik dilakukan oleh perusahaan multinasional. Itu adalah bagian dari modal swasta yang

masuk (private capital inflow), besarnya relatif kecil dibandingkan dengan modal pemerintah yang masuk

(government capital inflow). Investasi pengembangan energi sekunder yang terbesar untuk sistem

kelistrikan merupakan bagian dari neraca modal pemerintah yang pembiayaannya sebagian besar dari

dana pinjaman dan hibah lembaga donor internasional.

Tingkat harga nasional diperoleh dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran agregat.

Perubahan pada faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan maupun penawaran agregat otomatis

mengubah tingkat harga nasional. Inflasi  terjadi karena tarikan permintaan (demand pull inflation) akibat

kenaikan pengeluaran konsumsi (C), investasi (I), dan pemerintah (G). Inflasi dapat pula terjadi karena

dorongan kenaikan biaya faktor produksi kapital (K), tenaga kerja (L) dan bahan bakar energi (E) dalam

penawaran (cost push inflation). Pengaruh keduanya terhadap kegiatan perekonomian tampak

berbeda. Demand pull inflation ditandai oleh meningkatnya output,sedangkan cost push

inflation cenderung menurunkan aktivitas ekonomi yang ditandai menurunnya output.

Energi terkait langsung dengan inflasi terutama karena energi sebagai faktor produksi akan memberi

dampak inflasi lewat cost push inflation. Energi sebagai faktor produksi dimanfaatkan oleh konsumen

akhir (end user) dalam transportasi, pembangkit listrik, industri, rumah tangga dan bentuk kegiatan

komersial lainnya. Dampak terhadap inflasi lebih banyak terlihat dalam kenaikan harga energi

yang digunakan langsung oleh konsumen akhir.