BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL … · sampai dengan penulisan laporan. Semoga kajian ini...
Transcript of BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL … · sampai dengan penulisan laporan. Semoga kajian ini...
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Percepatan
Pembangunan
Industri Gas Bumi Laporan Akhir Kajian
DIREKTORAT SUMBER DAYA ENERGI, MINERAL
DAN PERTAMBANGAN
November 2012
i
KATA PENGANTAR
Indonesia merupakan salah satu negara eksportir gas bumi terbesar di dunia.
Namun ironisnya, pemenuhan kebutuhan gas di Indonesia masih banyak mengalami
kendala sehingga sampai saat ini Indonesia belum dapat memanfaatkan gas secara
maksimal. Padahal pemanfaatan gas ini diproyeksikan untuk menggantikan sebagian
porsi bahan bakar minyak yang semakin terbatas. Secara umum, walaupun cadangan
gas Indonesia kecil namun jumlahnya sangat menjanjikan bila dibandingkan dengan
cadangan minyak yang jauh menipis, apalagi bila ditambah cadangan gas
unconventional yang saat ini sedang dirintis. Di masa mendatang, dengan banyaknya
penemuan cadangan gas di dunia, gas akan berpotensi menjadi energi yang murah dan
menjadi sumber energi yang strategis.
Industri gas bumi mengalami transformasi melalui proses deregulasi di tahun
2001 dengan terbitnya UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
menggantikan UU Migas tahun 1960. Dengan UU ini, peranan Pertamina berubah dari
monopoli operator dan regulator menjadi fokus sebagai operator. Sebagai gantinya,
dibentuklah BP Migas dan BPH Migas untuk melaksanakan pengendalian dan
pengaturan di sektor hulu dan hilir migas Indonesia. Dalam perjalanannya, UU Migas
ini mengalami banyak perubahan dengan adanya pembatalan-pembatalan beberapa
pasal melalui putusan MK. Banyaknya judicial review dan pembatalan ini menunjukkan
adanya permasalahan dalam kebijakan migas.
Penyusunan Kajian “Percepatan Pembangunan Industri Gas Bumi” dilakukan
untuk memetakan permasalahan dan bottlenecking di sektor gas yang selama ini
menghambat pemanfaatan gas. Dari hasil pemetaan ini diharapkan dapat tersusun
usulan strategi untuk mempercepat pembangunan industri gas bumi. Kajian ini disusun
melalui studi literatur, diskusi, dan seminar untuk mendapatkan masukan dari
narasumber dan para para pihak terkait.
Sebagai penutup, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu pelaksanaan penyusunan kajian ini, mulai dari persiapan, diskusi, seminar,
sampai dengan penulisan laporan. Semoga kajian ini dapat memberikan kontribusi
dalam rangka pembangunan dan pengembangan pembangunan industri gas bumi yang
berkelanjutan dan berkeadilan. Saran dan kritik sangat kami harapkan demi
penyempurnaan laporan ini.
Jakarta, Desember 2012
Direktur Sumber Daya Mineral, Energi dan Pertambangan
Ir. Montty Girianna, M.Sc., MCP, Ph.D.
ii
ABSTRAK
Kajian ini bertujuan untuk menentukan permasalahan pembangunan industri gas bumi
dan merumuskan solusinya berupa arah kebijakan untuk mempercepat pembangunan industri
gas bumi. Penyusunan kajian dilakukan melalui brainstorming dengan serangkaian diskusi dan
seminar yang mengundang berbagai pihak yang secara langsung terlibat dalam industri gas
baik dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun dari kalangan akademisi
atau universitas, serta para pelaku usaha yang langsung terlibat dalam industri ini.
Berdasarkan kondisi saat ini, gas berpotensi sebagai energi masa depan Indonesia
selain energi terbarukan menggantikan minyak bumi. Hal ini didasarkan pada kecenderungan
banyaknya penemuan lapangan baru gas dan peningkatan produksi gas sementara kondisi
produksi minyak bumi dan penemuan lapangan baru cenderung menurun. Namun demikian,
dengan adanya kesenjangan lokasi antara pusat kebutuhan dan pusat pasokan banyak hal yang
harus dibenahi terutama infrastruktur penghubung.
Sampai saat ini, banyak langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia diantaranya
adalah proses deregulasi sektor migas yang dimulai tahun 2001 dengan deregulasi peran
monopoli Pertamina sebagai operator sekaligus regulator berubah menjadi hanya sebagai
operator. Sementara peran regulator di sektor hulu dipegang Pemerintah yang dilaksanakan
oleh BP Migas dan di sektor hilir, BPH Migas berperan sebagai regulator bersama-sama
Ditjen Migas. Proses deregulasi ini bertujuan untuk menciptakan iklim kompetisi pada industri
gas yang pada akhirnya diharapkan dapat memberi keuntungan pada konsumen akhir.
Walaupun demikian, sampai saat ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang belum
terselesaikan dengan proses deregulasi yang telah dilakukan. Apabila tidak diatasi dengan baik,
permasalahan ini dapat terus menghambat pembangunan industri gas bumi dalam negeri.
Perencanaan Inftrastruktur serta kebijakan alokasi dan harga yang belum jelas merupakan
permasalahan pokok yang harus segera dituntaskan untuk mempercepat pembagunan industri
gas bumi.
Untuk itu, beberapa hal yang perlu segera dilakukan adalah: (i) Percepatan Revisi UU
No. 22 Tahun 2001 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang mencakup penyempurnaan aspek
kelembagaan pengelola migas, integrasi antara sektor hulu dan hilir, penyempurnaan
mekanisme dan substansi RIJTDGB, penyempurnaan prioritas alokasi yang diantaranya
termasuk usulan renegosiasi porsi gas ekspor, transparansi biaya produksi (produsen dan
konsumen) dalam mendukung penetapan kebijakan harga gas, keterlibatan aktif pemerintah
dalam mekanisme seleksi (lelang) konsumen gas, penyempurnaan kebijakan fiskal melalui
perubahan porsi bagi hasil kontraktor dalam skema KKS (menjadi bertambah) dan penerapan
subsidi gas
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................... i
ABSTRAK ..................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan dan Sasaran ..................................................................................... 3
1.4 Ruang Lingkup Studi .................................................................................. 4
1.5 Pendekatan Studi ........................................................................................ 4
1.6 Sistematika Laporan ................................................................................... 5
BAB 2 PERKEMBANGAN INDUSTRI GAS BUMI INDONESIA
2.1 Potensi Gas Bumi Indonesia ....................................................................... 6
2.2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia ........................................ 8
BAB 3 DEREGULASI DAN KEBIJAKAN HARGA GAS BUMI
3.1 Struktur Industri Gas .................................................................................. 13
3.1.1 Tipe Integrasi Vertikal ...................................................................... 15
3.1.2 Tipe Kompetisi di Segmen Produksi ................................................ 16
3.1.3 Tipe Akses Terbuka untuk Niaga Umum ......................................... 17
3.1.4 Tipe Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh ........................................... 19
3.2 Deregulasi Industri Gas Bumi Indonesia ................................................... 21
3.2.1 Deregulasi Industri Sektor Hulu Gas Bumi Indonesia ..................... 23
3.2.2 Deregulasi Sektor Hilir Gas Bumi Indonesia ................................... 26
3.3 Kebijakan Alokasi dan Harga Gas Bumi Indonesia .................................. 30
3.3.1 Harga Gas Hulu dan Harga Gas Hilir untuk Pengguna Tertentu ..... 31
3.3.2 Harga Gas Rumah Tangga ................................................................ 36
3.3.3 Harga Gas untuk Pengguna Umum (Hilir) ....................................... 39
BAB 4 KEBUTUHAN, PASOKAN DAN INFRASTRUKTUR GAS
4.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas ...................................................................... 41
4.1.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Pupuk ................................... 41
4.1.2 Kebutuhan dan Pasokan Gas Listrik ................................................ 42
4.1.3 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Lainnya ................................ 47
4.1.4 Kebutuhan dan Pasokan Gas untuk Transportasi ............................. 48
iv
4.2 Infrastruktur Gas Indonesia ....................................................................... 54
4.2.1 Perkembangan Infrastruktur Gas Bumi Indonesia ........................... 54
4.2.2 Rencana Infrastruktur Gas Bumi Indonesia ..................................... 56
BAB 5 STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI GAS DALAM
NEGERI
5.1 Simulasi Manfaat Substitusi BBM ke Gas ................................................ 60
5.1.1 Skenario Subsidi ............................................................................... 61
5.1.2 Penghematan Belanja Subsidi BBM ................................................ 63
5.1.3 Pengurangan Emisi CO2 .................................................................. 67
5.2 Strategi Pengembangan Industri Gas Dalam Negeri ................................. 67
5.2.1 Strategi Pengembangan Infrastruktur Gas ....................................... 68
5.2.2 Strategi Alokasi Gas Dalam Negeri ................................................. 74
5.2.3 Strategi Penetapan Harga Gas dalam Negeri ................................... 77
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 84
6.2 Rekomendasi ............................................................................................. 86
6.3. Tindak Lanjut dari Rekomendasi .............................................................. 90
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 93
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kondisi Geografis Cadangan Gas Indonesia .............................................. 8
Gambar 2 Perkembangan Produksi Minyak dan Gas Indonesia ................................. 9
Gambar 3 Rencana Produksi Minyak dan Gas Indonesia sampai 2018 ...................... 9
Gambar 4 Perbandingan Proporsi Lokasi Pasokan dan Kebutuhan Gas Indonesia ... 10
Gambar 5 Proyeksi Produksi Gas Nasional pada Tahun 2015 dengan Total Pasokan
10.000 MMSCFD ...................................................................................... 11
Gambar 6 Grafik Perkembangan Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi (2002 -2011) ....... 12
Gambar 7 Rantai Nilai Industri Gas Bumi ................................................................. 13
Gambar 8 Mekanisme Industri Gas Transisi .............................................................. 16
Gambar 9 Mekanisme Akses Terbuka untuk Niaga Umum ....................................... 17
Gambar 10 Mekanisme Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh ......................................... 19
Gambar 11 Kerangka Regulasi Pengusahaan Gas Bumi .............................................. 22
Gambar 12 Skema Pengusahaan Gas Bumi ................................................................. 23
Gambar 13 Mekanisme Pelaksanaan DMO Gas .......................................................... 26
Gambar 14 Hubungan KESDM, BP Migas dan BPH Migas dalam Pengelolaan Migas 27
Gambar 15 Otoritas Penetap Harga Gas Pipa ............................................................... 31
Gambar 16 Penetapan Harga Jual Beli Gas didalam Skema Perjanjian Jual Beli Gas
(PJBG) ....................................................................................................... 32
Gambar 17 Perkembangan Harga Gas LNG, Gas Pipa Ekspor dan Gas Pipa Domestik
2006-2012 ................................................................................................. 34
Gambar 18 Harga LNG Ekspor - Pasar Jepang, Guangdong, dan Fujian ................... 36
Gambar 19 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN untuk Jawa Bali . 44
Gambar 20 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian
Barat .......................................................................................................... 44
Gambar 21 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian
Timur ......................................................................................................... 45
Gambar 22 Profil Angkutan Umum Secara Basional (2010) Berdasarkan Jenis
Angkutan (a) dan Berdasarkan Provinsi di mana Angkutan Umum
Beroperasi (b) ............................................................................................. 49
Gambar 23 Potensi Pasokan Gas dan Kebutuhan Gas Di Kota-Kota yang Mendapat
Giliran Substitusi dari BBM Ke BBG ...................................................... 52
Gambar 24 Pasokan Gas Berdasarkan Perusahaan Pemasok Gas untuk Sektor
Transportasi (2012) .................................................................................... 53
Gambar 25 Eksisting dan Rencana Infrastruktur Gas Dalam Negeri .......................... 56
Gambar 26 Infrastruktur Gas untuk Pulau Jawa .......................................................... 59
Gambar 27 Proyeksi Kebutuhan BBG untuk Angkutan Umum di Kota dan Untuk
Angkutan Umum di Kabupaten Berdasarkan Jumlah Angkutan Umum
2010 ........................................................................................................... 59
vi
Gambar 28 Penerimaan Minyak dan Gas Bumi dan Subsidi BBM dengan Skenario
25% dan 50% Substitusi BBM Bersubsidi Sektor Transportasi oleh Gas
Bumi (2009) .............................................................................................. 65
Gambar 29 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Transmisi dan Realisasi Gas
yang Diangkut ........................................................................................... 69
Gambar 30 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Distribusi Gas ........................... 71
Gambar 31 Gambaran Realitas Implementasi Kebijakan Unbundling ........................ 71
Gambar 32 Perbandingan Rencana dan Realisasi Alokasi Gas Tahun 2011 ............... 74
Gambar 33 Jadwal Penyesuaian Harga Gas Hulu (Y) dan Hilir (X) ........................... 80
Gambar 34 Metode Seleksi Pembeli (Konsumen) Gas untuk Pengguna Tertentu ...... 81
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Potensi Sumber Daya Energi Fosil Indonesia per 2011 .............................. 7
Tabel 2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia (2002 – 2011) ................. 12
Tabel 3 Beberapa Model Harga Gas Bumi Indonesia untuk Beberapa Sektor
Konsumen .................................................................................................... 33
Tabel 4 Daftar Harga Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil ......... 38
Tabel 5 Perkembangan Harga Gas Bumi untuk Pengguna Umum .......................... 40
Tabel 6 Realisasi Pemanfaatan Gas untuk Industri Pupuk (dalam MMSCFD) ........ 41
Tabel 7 Kebutuhan Gas untuk Industri Pupuk Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas
(dalam MMSCFD) ...................................................................................... 42
Tabel 8 Proyeksi Kebutuhan Gas dan Pasokan untuk Pembangkit Listrik .............. 43
Tabel 9 Kebutuhan Gas untuk Industri Selain Pupuk ............................................... 47
Tabel 10 Kontrak dan Realisasi Pemakaian Gas Pelanggan Industri Retail (PGN) ... 48
Tabel 11 Kota-kota dengan Jumlah Angkutan Umum di atas 2.000 Kendaraan
(2010) ........................................................................................................... 50
Tabel 12 Kebutuhan BBM untuk Angkutan Umum dan Proyeksi Kebutuhan BBG
untuk Mensubstitusi BBM Angkutan Umum .............................................. 51
Tabel 13 Timeline Konversi BBM ke BBG untuk Transportasi di Beberapa Kota/Kab
sampai dengan 2015 ................................................................................... 53
Tabel 14 Infrastruktur Gas - Floating Storage dan Pipa Transmisi Gas ..................... 58
Tabel 15 Skenario Substitusi BBM Bersubsidi oleh Gas untuk Transportasi dan
BBM Non-subsidi untuk Industri dan Listrik ............................................... 62
Tabel 16 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Premium dan Solar
di Sektor Transportasi oleh Gas (2015) ....................................................... 66
Tabel 17 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Solar di Sektor
Industri dan Listrik oleh Gas 2015) ............................................................. 66
Tabel 18 Harga Gas KKKS dan Perubahan Kenaikan Harga Gas (Mei 2012) .......... 78
Tabel 19 Kontraktor KKS yang Melakukan Penjualan Gas dengan PGN ................. 78
Tabel 20 Aktifitas Tata Niaga Gas Domestik 2012 .................................................... 80
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang mengembangkan gas bumi
khususnya dalam pengembangan ekspor gas bumi cair (liquefied natural gas: LNG).
Namun demikian, pengembangan industri gas bumi untuk pemanfaatan dalam negeri
masih sangat lambat terutama dalam pengembangan infrastruktur gas. Hal ini
disebabkan karena hingga saat ini gas sering kali hanya dianggap sebagai komoditi
sumber penerimaan negara. Seiring dengan penurunan produksi dan kenaikan harga
minyak dunia akhir-akhir ini, pemerintah mulai melihat peluang gas sebagai sumber
energi dan juga sebagai bahan baku untuk industri dalam negeri.
Pengelolaan gas bumi mulai ditata kembali dengan UU No. 22 tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi beserta beberapa peraturan pelaksanaannya. Pembenahan
regulasi tersebut telah mengubah kegiatan usaha gas bumi menjadi bersifat lebih
mandiri, transparan, berdaya saing, berwawasan pelestarian lingkungan, serta
mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional. Hal lain yang menjadi pokok
perubahan adalah pembagian yang lebih tegas antara fungsi-fungsi pemerintah, pengatur,
dan pelaku usaha; pemecahan rantai usaha ke dalam beberapa kegiatan utama
(unbundling); serta penekanan pada liberalisasi sektor hilir dengan juga penekanan pada
prioritas pemanfaatan gas bumi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Untuk menunjang pelaksanaan UU No. 22 tahun 2001, dibentuklah Badan
Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur
Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melalui PP No. 42 tahun 2002 dan
PP No. 67 tahun 2002. Sementara, Pertamina yang dalam UU No. 8 tahun 1971
bertindak sebagai “operator, regulator, dan pemegang Kuasa Pertambangan”, diubah
menjadi sebuah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT Persero) yang hanya
bertindak sebagai operator melalui Keputusan Presiden No. 57/2002. Perkembangan
terakhir, BP Migas telah dibubarkan melalui Keputusan MK tanggal 13 November 2012
setelah dilakukan Judicial Review terhadap UU No. 22 tahun 2001. Sebagai pengganti,
Presiden mengintruksikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM)
2
untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Migas (SKSP Migas) yang secara
struktural berada di bawah KESDM. Terlepas dari pembubaran BP Migas tersebut,
banyak pembenahan lain yang telah dilakukan. Diantaranya adalah ditetapkannya
beberapa regulasi baik berupa kebijakan prioritas alokasi untuk dalam negeri maupun
kebijakan pengaturan pengusahaan gas dalam negeri. Namun demikian, strategi atau
langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan peningkatan pemanfaatan gas bumi di
dalam negeri masih belum jelas terlihat.
Kajian ini membahas gambaran industri gas bumi secara umum, industri hilir
gas bumi, mekanisme pengembangan industri hilir gas bumi, serta pengalaman
beberapa negara lain dalam mengembangkan industri hilir gas bumi. Berdasarkan
pemahaman terhadap teori, analisis dan pengalaman negara lain dalam mengembangkan
industri gas bumi, kajian ini mencoba untuk menarik pelajaran khususnya mengenai
pengembangan industri hilir gas bumi untuk dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi
Indonesia. Di tengah reformasi sektor energi yang sedang dilakukan saat ini, di samping
belum optimalnya pengembangan industri hilir gas bumi di tanah air, kajian ini
diharapkan dapat berkontribusi dalam proses transformasi industri hilir gas bumi
Indonesia dan mendukung peningkatan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.
1.2 Perumusan Masalah
Kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.5 tahun
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menargetkan bahwa porsi atau peran gas bumi
dalam energy mix akan meningkat dari 20,4 persen pada tahun 2011 menjadi sebesar 30
persen pada tahun 2025. Target ini memiliki konsekuensi bagi pemerintah untuk
meningkatkan produksi dan penggunaan gas alam di dalam negeri dengan laju
pertumbuhan yang tinggi, sekaligus juga menurunkan ketergantungan pada energi
minyak bumi. Dengan kebijakan ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih
baik dari saat ini dan keuangan negara akan lebih hemat dengan berkurangnya subsidi
bahan bakar minyak (BBM) dan energi yang harus ditanggung oleh pemerintah dalam
APBN dari tahun ke tahun sehingga alokasinya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan
pembangunan terutama infrastruktur di luar Jawa dalam mewujudkan pemerataan
pembangunan.
3
Kebijakan pengalihan pemanfaatan energi dari minyak ke gas untuk keperluan
dalam negeri harus segera dilakukan mengingat kondisi potensi migas kita yang telah
bergeser dari minyak ke gas. Gas bumi merupakan sumber energi yang paling tepat dan
siap menjadi energi pengganti minyak. Beberapa pihak juga menganggap gas bumi
sebagai ‘jembatan’ pemanfaatan energi dari dominasi fosil ke energi terbarukan.
Selain itu, banyak juga faktor eksternal dan global yang akan mempengaruhi
pola konsumsi gas bumi di dalam negeri seperti:
1. Kondisi geopolitik yang mencerminkan situasi perdagangan gas (LNG) di tataran
regional dan global. Ini akan mempengaruhi posisi harga gas terutama di kawasan
Asia yang akan berdampak secara tidak langsung pada kondisi supply-demand gas
Indonesia di masa datang.
2. Fluktuasi kenaikan harga minyak yang tajam di pasar internasional telah berdampak
langsung terhadap permintaan dan harga gas di dalam negeri terutama oleh industri
dan pembangkit listrik yang ingin beralih dari BBM ke gas bumi.
3. Kondisi infrastruktur dan kebijakan harga yang akan menentukan pasokan gas.
4. Kebijakan hilirisasi sektor dan revitalisasi industri pupuk yang sedang dicanangkan
pemerintah saat ini diperkirakan akan berdampak pula pada pertumbuhan kebutuhan
dalam negeri yang pesat. Salah satu kebijakan hilirisasi tersebut adalah kebijakan
peningkatan nilai tambah mineral dan pertambangan melalui industri pengolahan dan
pemurnian.
1.3 Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari kajian ini adalah untuk menentukan permasalahan pembangunan
industri gas bumi dan merumuskan solusinya berupa arah kebijakan untuk mempercepat
pembangunan industri gas bumi. Tujuan selanjutnya adalah untuk mendukung
stakeholders pengembangan gas bumi sehingga memiliki landasan yang kuat serta
cukup komprehensif dalam melakukan percepatan pembangunan industri gas bumi.
Adapun sasaran kegiatan kajian ini adalah tersusunnya kebijakan strategis dalam
rangka mempercepat pembangunan industri gas bumi di Indonesia.
4
1.4 Ruang Lingkup Studi
Ruang lingkup kajian ini adalah:
a. Inventarisasi dan evaluasi peraturan dan ketentuan berkaitan dengan pengembangan
dan pemanfaatan gas bumi terutama untuk pemanfaatan kebutuhan dalam negeri.
b. Identifikasi masalah-masalah yang ada dalam pengembangan industri gas bumi.
c. Analisis kajian akademis sebagai landasan penyusunan pedoman pengembangan
gas untuk pemanfaatan dalam negeri.
d. Perumusan alternatif kebijakan pengembangan industri gas bumi untuk
pemanfaatan dalam negeri.
1.5 Pendekatan Studi
Metode penelitan percepatan pembangunan industri gas bumi ini akan dilakukan
melalui brainstorming dengan serangkaian diskusi dan seminar yang mengundang
berbagai pihak yang secara langsung terlibat dalam industri gas baik dari kalangan
pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun dari kalangan akademisi atau universitas,
serta para pelaku usaha yang langsung terlibat dalam industri ini. Para pakar dan
pengamat yang memiliki keahlian di bidang gas bumi dijadikan narasumber dalam
rangkaian seminar dan diskusi tersebut untuk memperkaya kajian ini.
Untuk dapat memperoleh informasi yang akurat dari kalangan industri gas bumi,
juga dilakukan interview langsung dengan melakukan kunjungan lapangan ke beberapa
industri pengguna gas bumi meliputi pabrik kertas, pabrik pupuk, pabrik kaca, pabrik
semen dan smelter tembaga, dan pemasok gas. Dengan kunjungan kerja tersebut
diharapkan dapat diperoleh berbagai informasi mengenai permasalahan dan kondisi di
lapangan yang dihadapi langsung oleh pelaku industri, serta peran penting penggunaan
gas bumi dalam proses industri.
Cakupan data yang akan digunakan dalam kajian ini umumnya dimulai dari
periode 2001 sampai dengan 2011 sepanjang data tersebut tersedia dan cukup akurat
untuk digunakan. Periode ini dinilai dapat mewakili perkembangan dan perilaku yang
terjadi dalam industri gas bumi Indonesia, mengingat banyak perkembangan penting
yang terjadi terutama menyangkut permintaan dan suplai gas bumi di dalam negeri
5
sehingga hal ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi pertumbuhan industri
gas bumi nasional ini di masa depan.
1.6 Sistematika Laporan
Penulisan kajian ini dilakukan secara sistematis dan terdiri atas enam bab
sebagai berikut:
a. Bab I yang berisi mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan
dilakukannya kajian, serta metode penelitan yang digunakan dalam kajian ini.
b. Bab II yang mencakup perkembangan industri gas bumi di Indonesia mulai dari
cadangan, produksi, dan pemanfaatan gas bumi di Indonesia.
c. Bab III yang menguraikan deregulasi dan kebijakan alokasi dan gas bumi yang
telah dan sedang dilakukan di Indonesia.
d. Bab IV yang mencakup kebutuhan, pasokan, dan infrastruktur gas bumi Indonesia
e. Bab V yang menguraikan strategi dan upaya percepatan dan perluasan pemanfaatan
gas bumi di dalam negeri.
f. Bab VI yang akan menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi yang dapat
digunakan untuk mempercepat pembagunan industri gas bumi nasional.
6
BAB 2
PERKEMBANGAN INDUSTRI GAS BUMI INDONESIA
2.1 Potensi Gas Bumi Indonesia
Dalam hal pengembangan industri gas bumi, di tahun 1980-an, Indonesia
termasuk salah satu negara yang pertama kali menerapkan teknologi LNG untuk
keperluan ekspor dengan tujuan utama Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Ekspor gas
bumi belakangan dilakukan juga melalui pipa ke Singapura dan Malaysia. Namun
beberapa tahun terakhir ini pemerintah berupaya untuk mengalihkan ke pasar domestik
sebagai pengganti minyak yang produksinya sudah menurun seperti halnya konversi
minyak tanah ke LPG. Selain itu, faktor peningkatan kebutuhan gas dalam negeri yang
tinggi pada tahun-tahun terakhir ini juga ikut mendorong hal ini. Sektor utama
pengguna gas bumi Indonesia adalah sektor listrik, dan industri.
Sebagai salah satu sumber energi, pangsa gas dalam bauran energi di Indonesia
masih rendah, terlebih bila dibandingkan dengan minyak bumi. Pada tahun 2011,
pemanfaatan gas baru sekitar 20,4 persen dari energi total Indonesia. Berdasarkan
Perpres 5 tahun 2006, pemerintah menargetkan penggunaan gas alam menjadi 30 persen
dari total penggunaan energi pada tahun 2025. Sementara berdasarkan Draft KEN
terakhir (2012), penggunaan gas akan digantikan oleh energi terbarukan dan
diproyeksikan menurun menjadi 20 persen di tahun 2025 dan akan menurun menjadi 15
persen di tahun 2050. Walaupun secara persentase menurun, diperkirakan jumlah riil
kebutuhan gas (untuk energi) akan terus meningkat menjadi 50–54 MTOE atau 5.800–
6.200 MMSCFD dari pemanfaatan gas dalam negeri saat ini di kisaran 4.200 MMSCFD.
Secara geografis, Indonesia sebenarnya memiliki banyak cekungan migas.
Berdasarkan data cadangan sumber daya yang dikeluarkan oleh KESDM, sampai tahun
2011 potensi sumber daya energi fosil atau hidrokarbon yang dimiliki masing-masing
jenis energi ini adalah sebagaimana tabel berikut.
7
Tabel 1 Potensi Sumber Daya Energi Fosil Indonesia per 2011
No Energi Fosil
(Tidak terbarukan)
Sumber
Daya
(SD)
Cadangan
(Cad)
Rasio
SD/Cad
(persen)
Produksi
(Prod)
Rasio
Cad/Prod
(Tahun)*)
1 MinyakBumi (miliarbarel) 56.6 7.99**) 14 0.346 23
2 Gas Bumi(TSCF) 334.5 152.89 51 2.9 55
3 Batubara (miliar ton) 104.8 20.98 18 0.254 83
4 Coal Bed Methane /CBM
(TSCF)
453 - - - -
*) dengan asumsi tingkat produksi tetap dan tidak ada penemuan prospek baru
Sumber : KESDM, 2011.
Data tersebut menunjukkan bahwa kekayaan cadangan energi fosil yang dimiliki
Indonesia terutama minyak bumi tidaklah seperti yang selalu digambarkan dan
dibayangkan selama ini. Kenyataan yang ada di lapangan saat ini, dalam penemuan
lapangan baru cadangan gas bumi cenderung lebih banyak dari pada minyak bumi. Jika
dibanding dengan tingkat produksi saat ini, produksi minyak bumi akan habis dalam
jangka waktu 23 tahun, adapun cadangan gas bumi masih cukup tersedia dalam jumlah
besar untuk diproduksi selama 55 tahun lagi. Di tingkat global pun, cadangan gas dunia
meningkat lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan cadangan minyak. Selain
gas bumi, Indonesia memiliki potensi unconventional gas berupa CBM, sebesar 453
TSCF yang besarnya tiga kali lipat dari cadangan gas bumi yang ada saat ini, dan shale
gas, walaupun sampai saat ini belum diketahui dengan pasti besarnya jumlah sumber
daya yang dimiliki. Indikasi awal yang diperoleh dari hasil pemboran oleh KKS
menunjukkan bahwa angka cadangan shale gas kemungkinan sangat besar dengan
sebagian besar berada di laut dalam.
Cadangan gas Indonesia tersebar dengan jumlah terbesar berturut-turut terdapat
di Kawasan Natuna sebanyak 51,46 TSCF (33,65 persen), Sumatera sebanyak 33,48
TSCF (21,9 persen), Papua sebanyak 24,32 TSCF (15,91 persen), Kalimantan sebanyak
18,33 TSCF (12 persen), Laut Timur – Arafuru 15,22 TSCF (9,95 persen). Sementara
sisanya berada di Jawa sebesar 10,1 TSCF (6,1 persen) dan Sulawesi sebesar 4,23 TSCF
(2.8 persen) (Gambar 1). Konfigurasi cadangan gas ini didukung oleh tren penemuan
cadangan di bagian timur Indonesia dan umumnya di daerah laut dalam.
8
Gambar 1 Kondisi Geografis Cadangan Gas Indonesia (Ditjen Migas, 2012)
2.2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia
Produksi gas bumi Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan
disertai penurunan produksi minyak, sektor migas Indonesia telah bergeser dari
dominasi minyak ke dominasi gas di tahun 2002 (Gambar 2). Pada tahun 2012 catatan
produksi minyak sampai bulan April menunjukkan produksi minyak 880 ribu barel oil
equivalen (BOE), sementara produksi gas mencapai 1,432 juta BOE (sekitar 63,94
persen dari keseluruhan migas). Walaupun sempat menurun hingga tahun 2007 namun
pertumbuhan produksi gas tahun 2002 – 2012 secara umum meningkat sebesar 1,3
persen. Sementara pada rentang tahun yang sama produksi minyak menurun sebesar 3,5
persen. Kecenderungan ini akan terus berlanjut seiring dengan kecenderungan lebih
banyaknya penemuan daerah prospek gas dibanding prospek minyak dan rencana
produksi yang termuat dalam Plan of Development (PoD) (Gambar 3).
9
Gambar 2 Perkembangan Produksi Minyak dan Gas Indonesia (BP Migas, 2012)
Seperti halnya cadangan gas, tingkat produksi gas bumi Indonesia tersebar di
beberapa lokasi. Lokasi terbesar yang memiliki produksi tertinggi adalah Kalimantan
Timur sebesar 32 persen dari produksi nasional, disusul dengan Sumatera Bagian
Tengah dan Selatan sebesar 21 persen yang kemudian disusul oleh Papua dan Riau serta
Jawa Barat masing-masing sebesar 18 persen dan 14 persen. Sisanya diproduksi di
berbagai lokasi lainnya.
Gambar 3 Rencana Produksi Minyak dan Gas Indonesia sampai 2018 (Ditjen Migas,
2012)
1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
OIL (MBOPD) 1,683 1,631 1,589 1,582 1,624 1,288 1,407 1,515 1,338 1,362 1,445 1,299 1,387 1,539 1,575 1,487 1,535 1,612 1,624 1,570 1,557 1,557 1,500 1,415 1,342 1,252 1,127 1,096 1,063 1,006 955 979 960 958
GAS (MBOEPD) 198 320 407 393 434 424 457 595 619 633 675 731 769 865 977 1,062 1,079 1,214 1,097 1,306 1,310 1,227 1,161 1,185 1,133 1,257 1,431 1,397 1,306 1,150 1,107 1,126 1,157 1,487
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800
OIL (MBOPD) GAS (MBOEPD)
Dominasi Minyak Dominasi Gas
Terang Sirasun
Peciko 7B
Tunu 13C
Sumpal
Rubi
Senoro
Peciko 7C
Madura BD
Ande-Ande Lumut
Banyu Urip
Jangkrik
IDD - Bangka
Masela
South
Mahakam
IDD – Gehem Hub
IDD – Gendalo Hub Kepodang
: Minyak dan Gas Bumi
: Minyak Bumi
: Gas Bumi
DOMINASI GAS Kaltim
(Total E&P)
Kaltim
(Total E&P)
Jatim (Kangean Energy)
Jateng
(MCL)
Kepri (Genting Natuna Oil) Jatim
(Husky Madura)
Jateng
(PCML)
Sumsel (COPI Grissik) Sulbar (Pearl Oil Sebuku) Kaltim
(Total E&P)
Sulteng
(JOB Pertamina –
Kaltim
(Chevron Indonesia
Kaltim
(Chevron Indonesia
Kaltim
(Chevron Indonesia
Kaltim
(ENI Muara Bakau)
Kaltim
(Total E&P)
Maluku (Inpex Masela)
10
Sementara dari jumlah permintaan domestik berdasarkan kontrak gas yang ada,
lokasi yang memiliki demand paling banyak adalah Sumatera Bagian Tengah dan
Selatan sebesar 34 persen yang disusul oleh daerah Jawa Bagian Barat sebesar 31
persen. Jawa Bagian Tengah dan Timur serta Kalimantan Timur menempati urutan
selanjutnya dengan 18 persen dan 11 persen. Sisanya tersebar di lokasi lainnya.
Perbandingan gambaran kondisi lokasi suplai dan kebutuhan gas dapat dilihat pada
Gambar 4. Kondisi perbedaan lokasi ini memerlukan kebijakan pemerintah untuk
mempercepat infrastruktur transportasi gas atau bila perlu membuat konsentrasi industri
baru mendekati sumber dari gas.
Gambar 4 Perbandingan Proporsi Lokasi Pasokan dan Kebutuhan Gas Indonesia
(BP Migas dalam Widodo, 2012)
Pada tahun 2015, berdasarkan Neraca Gas Nasional (2010-2025), sebaran
produksi gas tidak banyak berubah, dengan total pasokan kurang-lebih 10.000
MMSCFD1 (Gambar 5). Kalimantan Bagian Timur diproyeksikan dapat memproduksi
gas sampai dengan 2.900 MMSCFD, Sumatra Bagian Tengan/Selatan 2.000 MMSCFD,
Papua 1.200 MMSCFD, dan Natuna 675 MMSCFD. Cadangan gas di Papua dan
Natuna cukup besar dan cukup layak untuk dipercepat pengembangannya, sehingga
produksinya dapat ditingkatkan masing-masing menjadi lebih dari 2.000 MMSCFD.
1 Neraca Gas Nasional (2010-2025), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2010
Pemanfaatan Gas Bumi, 2011 (4.277
mmscfd)
Produksi Gas Bumi, 2011 (8.922 mmscfd)
11
Gambar 5 Proyeksi Produksi Gas Nasional pada Tahun 2015 dengan Total Pasokan
10.000 MMSCFD (Neraca Gas Indonesia, 2010-2025)
Berdasarkan data pemanfaatan gas dari Ditjen Migas, walaupun sempat agak
berfluktuasi di tahun 2009 dan 2010, secara umum konsumsi gas dalam negeri
meningkat 1,21 persen seiring dengan penurunan ekspor gas Indonesia sebesar rata-rata
0,72 persen. Penurunan ekspor ini selain karena peningkatan kebutuhan dalam negeri
juga karena habisnya beberapa kontrak ekspor. Peningkatan konsumsi dalam negeri di
beberapa tahun mendatang diperkirakan masih belum signifikan sehubungan dengan
keterbatasan transmisi dan jaringan distribusi di Indonesia.
Secara sektoral, pengguna utama gas adalah sektor pupuk dan petrokimia, sektor
kelistrikan, dan sektor industri. Selebihnya adalah pemanfaatan untuk keperluan sendiri
(termasuk untuk peningkatan produksi migas dan sebagai bahan baku LPG) dan hilang
(termasuk yang dibakar). Porsi pemanfaatan sektor pupuk dan petrokimia, cenderung
tetap di kisaran dari 7–10 persen produksi gas. Sementara itu, porsi gas untuk sektor
industri mengalami peningkatan. Walaupun sempat turun signifikan di tahun 2009 dan
2010, pertumbuhan rata-rata pemanfaatan gas untuk sektor industri di tahun 2002
sampai 2011 mencapai 7,7 persen. Sementara porsi gas untuk sektor kelistrikan
cenderung berfluktuasi. Dari tahun 2002 sampai 2009 terjadi peningkatan sebesar rata-
rata 8,3 persen per tahun dan setelah itu menurun sebesar rata-rata 14 persen sampai
tahun 2011. Penurunan ini diperkirakan akan terus berlangsung seiring dengan
selesainya beberapa proyek pembangkit 10.000 MW tahap I yang sebagian besar
- 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000
Kep.Riau-Natuna
NAD
Sumbag-ut
Sumbag-teng-sel
Jabag-bar
Jabag-teng
Jabag tim
Kalbag-tim
Sulbag-teng
Sulbag-sel
Papua
Maluku bag sel
Kep.Riau-Natuna
NAD Sumbag-utSumbag-teng-sel
Jabag-bar Jabag-teng Jabag tim Kalbag-timSulbag-
tengSulbag-sel Papua
Maluku bag sel
SUPPLY (MMSCFD) 675 389 266 1.995 1.107 166 842 2.892 317 76 1.245 -
12
berbahan bakar batubara. Porsi untuk pemanfaatan sendiri (own use) pada kurun waktu
tahun 2002–2011 menurun sebesar rata-rata 6,99 persen. Tabel 2 dan Gambar 6
memperlihatkan konsumsi gas sejak tahun 2002, yakni untuk ekspor dan pemanfaatan
dalam negeri.
Tabel 2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia (2002 – 2011)
2002 % 2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 % 2008 % 2009 % 2010 % 2011 %
PRODUKSI TOTAL (BSCFD) 8.320 8.640 8.280 8.180 8.093 7.686 8.210 8.389 8.386 8.981
Pemanfaatan Domestik (MMSCFD)
Pupuk + Petrokimia 728,0 8,8 703,4 8,1 693,2 8,4 705,8 8,6 711,0 8,8 679,1 8,8 575,1 7,0 795,0 9,5 716,4 8,5 708,8 8,4
Listrik 538,0 6,5 512,8 5,9 462,9 5,6 446,8 5,5 463,8 5,7 502,3 6,5 542,6 6,6 962,0 11,5 734,2 8,8 721,4 8,6
Industri (termasuk PGN) 678,0 8,1 841,6 9,7 1.021,4 1.056,8 12,9 1.219,3 15,1 1.083,3 14,1 1.361,5 16,6 961,0 11,5 790,4 9,4 1.356,4 16,1
Own Use (termasuk Lifting, Kilang,
dan LPG) 1.166,6 14,0 1.128,1 13,1 992,9 997,4 12,2 974,6 12,0 943,4 12,3 1.066,2 13,0 1.010,0 12,0 790,4 9,4 672,1 8,0
Loose (Flare& Kondensat) 440,6 5,3 407,1 4,7 350,4 357,9 4,4 347,2 4,3 295,6 3,8 298,2 3,6 493,0 5,9 507,0 6,0 501,3 5,9
TOTAL DOMESTIK 3.551,2 42,7 3.593,0 41,6 3.520,8 42,5 3.564,7 43,6 3.715,9 45,9 3.503,7 45,6 3.843,6 46,8 4.221,0 50,3 3.538,4 42,2 3.960,0 47,0
Pemanfaatan Ekspor (MMSCFD)
LNG 4.535,5 54,5 4.709,9 54,5 4.390,3 53,0 4.124,4 50,4 3.934,5 48,6 3.562,6 46,4 3.682,5 44,9 3.345,0 39,9 3920,2 46,7 3.543,7 42,0
LPG 6,8 0,1 15,5 0,2 15,5 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
GAS 226,5 2,7 323,6 3,7 353,4 4,3 490,9 6,0 442,6 5,5 619,7 8,1 683,9 8,3 823,0 9,8 927,4 11,1 924,5 11,0
TOTAL EKSPOR 4.768,8 57,3 5.049,0 58,4 4.759,2 57,5 4.615,3 56,4 4.377,1 54,1 4.182,3 54,4 4.366,4 53,2 4.168,0 49,7 4.847,6 57,8 4.468,2 53,0
Sumber : Ditjen Migas (2012) diolah kembali
Sumber : Ditjen Migas (2012) diolah kembali
Gambar 6 Grafik Perkembangan Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi (2002 -2011)
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
TOTAL EKSPOR Listrik
Industri (termasuk PGN) Pupuk + Petrokimia
Own Use (termasuk Lifting, Kilang, dan LPG) Loose (Flare& Kondensat)
13
BAB 3
DEREGULASI DAN KEBIJAKAN HARGA GAS BUMI
3.1 Struktur Industri Gas
Sebagaimana halnya minyak bumi, kegiatan industri gas bumi dapat dibedakan
ke dalam dua kelompok utama yaitu kegiatan hulu (upstream) dan hilir (downstream).
Di antara kedua kelompok kegiatan itu, kadang ditambahkan pula kegiatan antara
(midstream). Gambar 7 memperlihatkan diagram rantai nilai industri gas bumi.
| UPSTREAM | ANTARA | HILIR |
Gambar 7 Rantai Nilai Industri Gas Bumi (Nugroho, 2004)
Dalam rangka pengembangan industri, banyak negara melakukan perubahan
dalam struktur dan pengaturan industri gas dengan membuka kompetisi pada gas dan
transportasinya. Sejak tahun 1984, Amerika Serikat memisahkan segmen pasokan gas
buminya dari segmen pipa transmisi antar negara bagian, menderegulasi produksi gas
bumi dan niaga umum, dan memperkenalkan sistem kompetisi dalam penentukan
transmisi gas antar negara bagian. Sementara itu, Inggris membuka kompetisi pada
industri gasnya dalam hal tertentu ketika Pemerintah Inggris memulai privatisasi British
Gas dan melanjutkannya pada segmen niaga umum dan mempromosikan gas resale.
Mulai tahun 1998, Inggris menjadi negara dengan industri gas bumi paling kompetitif di
dunia.
Keberhasilan Amerika Serikat dan Inggris dalam merestrukturisasi industri gas
setidaknya telah banyak menginspirasi negara-negara di dunia untuk mengembangkan
industri gas masing-masing. Argentina pernah melakukan perubahan pada industri
gasnya di tahun 1992 dengan adanya pemisahan dan kemudian privatisasi produksi gas,
transportasi dan distribusi. Perusahaan distribusi dan niaga umum dapat membeli
langsung dari produsen gas tanpa melalui perusahaan pengangkut gas, meskipun pada
tahun-tahun belakangan ini ada indikasi nasionalisasi perusahaan minyak dan gas. Di
lain pihak, Meksiko membuka kompetisi di industri gas pada tahun 1993 dan Hungaria
Ijin Tambang
Eksplorasi Eksploitasi Marketing
dan Transport
Pengolahan dan
Processing Partai besar Partai kecil
14
memisahkan dan melakukan privatisasi pada perusahaan distribusi gas pada tahun
1994–1995. Saat ini, banyak negara-negara di Asia, Eropa dan Amerika Selatan akan
melakukan perubahan pada industri gasnya untuk meningkatkan efisiensi dan menarik
investasi baru. Negara-negara ini melihat banyaknya manfaat dari perubahan yang
dilakukan negara-negara terdahulu.
Walaupun demikian, pemerintah yang akan melakukan reformasi industri gas
pasti menghadapi tugas yang berat. Diperlukan adanya kajian untuk melihat sejauhmana
viability kompetisi pada industri gas secara keseluruhan dan di dalam masing-masing
segmen, dengan mengidentifikasinya melalui sifat ‘natural monopoli’ dari gas itu
sendiri. Selain itu, juga diperlukan adanya formulasi khusus dari kebijakan dan aturan-
aturan serta merancang mekanisme hubungan yang efisien dari segmen yang diregulasi
mapun yang dideregulasi.
Keberlangsungan kompetisi dalam industri gas ditentukan oleh tiga faktor yaitu:
teknologi, ukuran pasar, dan entry barrier. Faktor teknologi akan mempengaruhi skala
keekonomian, sementara ukuran pasar mempengaruhi banyaknya perusahaan yang
dapat berkompetisi secara efisien dalam pasar gas, sedangkan entry barrier akan
mempengaruhi sejauh mana perusahaan baru dapat memasuki pasar. Faktor-faktor
tersebut menentukan keefisienan industri dalam model statis. Sementara model dinamis
dari industri gas menggabungkan perubahan-perubahan dari faktor-faktor di atas dalam
merefleksikan dinamika lingkungan pada tataran operasional. Perkembangan teknologi,
ketidakpastian pasokan dan kebutuhan, dan perubahan peraturan mempengaruhi
keberlangsungan dari kompetisi industri gas dalam jangka panjang dan hal ini harus
dikaji pada masing-masing segmen industri gas bumi secara terpisah.
Mengingat sifat monopoli alamiah pada kegiatan distribusi dan transportasi gas,
diperlukan adanya pengaturan terkait keekonomian untuk menghindari penyalahgunaan
kekuatan pasar dari perusahaan gas yang telah ada. Tujuan utama dari pengaturan
tersebut adalah efisiensi ekonomi dengan didukung fairness dan transparansi.
Pengaturan ini menggunakan beberapa instrumen untuk mengatur harga gas dan
pelayanannya, di antaranya instrumen tingkat pengembalian (IRR) dan pembatasan
harga. Dengan instrumen IRR, utililiti gas diharuskan menentukan tarif gas bumi
sedemikian rupa sehingga laba yang dihasilkan tidak melebihi IRR yang telah
ditentukan. IRR target biasanya ditentukan dengan mengacu pada bidang dengan profil
15
risiko yang hampir sama. Sementara, instrumen price cap menentukan harga maksimum
yang dapat dibebankan perusahaan gas kepada konsumennya selama periode tertentu,
misalnya tiga–lima tahun. Setelah itu, pihak regulator mereview dan menentukan price
cap baru. Selama periode tersebut, peningkatan pendapatan hanya dapat dilakukan
dengan efisiensi. Instumen ini harus disertai dengan kebijakan standar pelayanan dan
keselamatan agar melindungi kondumen dalam mendapat pasokan yang handal.
Esensi dari efisiensi yang dilakukan adalah untuk memastikan bahwa tarif/harga
jasa transportasi dan distribusi gas telah mencerminkan keekonomiannya dengan tetap
memperhatikan kepentingan sosial. Untuk mencapai hal tersebut, tidak harus melalui
penetapan harga tetapi juga melalui insentif yang diberikan pemerintah. Jika iklim
kompetisi produksi gas dan perdagangan berlangsung baik, harga dan persyaratan harus
dideregulasi untuk menciptakan pasar yang efisien. Jika produsen, trader dan supplier
dibatasi dalam penentuan harga atau dalam memasuki pasar, maka pelaku pasar lainnya
akan mendapatkan kekuatan pasar untuk menentukan harga yang tinggi.
Negara kecil umumnya memiliki tingkat kompetisi yang terbatas dalam pasar
gasnya, karena pasar tidak cukup besar untuk mendukung operasi secara efisien. Di
negara-negara ini, regulator harus fokus untuk mempermudah persyaratan dibanding
mengatur perusahaan dalam negeri, sehingga kompetitor luar negeri dapat dengan
mudah masuk sebagai kekuatan penyeimbang.
Deregulasi yang dilakukan banyak negara telah menghasilkan tipe struktur
industi gas bumi. Perubahan struktur yang paling penting adalah Open Access, yaitu
membuka segmen transportasi gas ke pihak ke tiga, dan Unbundling, dengan
memisahkan perdagangan gas dengan transportasi gas.
3.1.1 Tipe Integrasi Vertikal
Tipe ini adalah struktur tradisional dari industri gas bumi di mana produksi,
transportasi dan distribusi dilakukan oleh satu perusahaan yaitu perusahaan gas
terintegrasi. Perusahaan seperti ini umumnya memiliki posisi eksklusif dalam pasokan
gas ke konsumen dan diatur ketat karena posisi monopolinya di pasar. Badan pengawas
biasanya menggunakan instrumen IRR atau price cap untuk mencipatakan efisiensi
ekonomi dan membatasi kekuatan pasar dari perusahaan. Tipe ini kurang fleksible
16
dalam situasi pasar dinamis dan regulasi sering kali tidak cukup berpengaruh pada
efisiensi operasi.
3.1.2 Tipe Kompetisi di Segmen Produksi
Dalam tipe ini, produsen gas menjual gas ke perusahaan terintegrasi yang
menguasai transmisi, distribusi dan layanan (service). Perusahaan gas tersebut
kemudian menjual produk-produknya dalam bentuk bundled: gas itu sendiri, jasa
transmisi, dan layanan distribusi ke konsumen, baik konsumen besar maupun konsumen
kecil . Dalam mekanisme ini, tidak ada pilihan bagi produsen dan konsumen untuk
mengatur alternatif jasa, dan praktis tidak terjadi kompetisi di antara pemberi jasa.
Gambar 8 memperlihatkan konsep industri gas dalam transisi.
Gambar 8 Mekanisme Industri Gas Transisi (Nugroho, 2004 diolah kembali)
Dari gagasan kompetisi di segmen produksi tersebut, nampak bahwa sampai saat
ini Indonesia masih menerapkan mekanisme ini. Mekanisme bundling ini, meskipun
sederhana, masih menyisakan “keunggulan” yaitu dapat dimanfaatkan untuk
menerapkan subsidi silang antara segmen rantai gas dan kategori konsumen.
Tipe kompetisi di segmen produksi ini, memisahkan segmen produksi dari
segmen lain di industri gas bumi dan melahirkan kompetisi di antara produser sehingga
menghasilkan produksi yang lebih efisien dibandingkan tipe integrasi vertikal. Produsen
menjual gas bumi ke perusahaan gas yang kemudian dijual kembali ke konsumen.
Transaksi antara produsen dan perusahaan gas mengembangkan pasar gas niaga umum
di mana gas diperdagangkan untuk dijual kembali. Contoh dari perusahaan tipe ini
adalah British Gas sebelum privatisasi tahun 1986 yang membeli gas bumi dari lebih
140 produsen.
Pada tipe ini, pengaturan dibutuhkan untuk membatasi kekuatan pasar dari
perusahaan gas terhadap produsen dan konsumen. Harga konsumen diatur dengan
mekanisme yang sama dengan model integrasi vertikal, sementara harga gas yang dijual
Produsen Jasa Transmisi,
Distribusi, Konsumen
17
produsen diatur melalui mekanisme tender di mana produsen memberi penawaran untuk
memasok ke perusahaan gas. Harga yang terbentuk akan mencerminkan nilai pasar dari
gas bumi, jauh lebih baik dari harga yang ditentukan oleh regulator. Perusahaan gas
monopoli seringkali menghalangi akses langsung produsen dan konsumen karena
regulasi yang tidak tegas atau karena kekuatan pasarnya. Oleh karenanya, beberapa
negara mengupayakan untuk membuka transportasi dan distribusi ke sistem kompetisi.
3.1.3 Tipe Akses Terbuka untuk Niaga Umum
Dalam tipe ini, produsen menjual gas ke perusahaan transmisi yang kemudian
menjual kembali gas tersebut ke perusahaan layanan distribusi. Selanjutnya, perusahaan
distribusi tersebut menjual gas ke konsumen kecil maupun niaga umum. Di sisi lain,
niaga umum juga dapat membeli gas secara bebas dan langsung baik dalam bentuk
bundled maupun unbundled dari masing-masing service provider. Gambar 9
memperlihatkan secara skematik tipe akses terbuka yang namun masih terbatas untuk
konsumen besar.
Gambar 9 Mekanisme Akses Terbuka untuk Niaga Umum
(Nugroho, 2004 diolah kembali)
Tipe akses terbuka untuk niaga umum ini memungkinkan open access pada
transportasi. Pada tipe ini perusahaan gas dapat menyediakan dua jenis pelayanan yaitu
penyediaan gas ke konsumen dan penyediaan jasa transportasi ke niaga umum dan
industri. Perusahaan gas dipisahkan secara vertikal menjadi unit/perusahaan transportasi
dan beberapa unit distribusi dan menyediakan akses terbuka pada jaringan pipanya.
Industri gas di Amerika Serikat antara tahun 1985 dan 1992 adalah contoh dari industi
Konsumen
Kecil
Konsumen
Besar umum
18
gas tipe ini. Demikian pula dengan industri gas ketika di unbundling menjadi pemasok
gas dan operator pipa di tahun 1996.
Rezim ‘open akses’ menciptakan efisiensi di pasar niaga umum gas dan
menguntungkan pasar. Keuntungan produsen dengan open akses ini adalah
meningkatnya jumlah pembeli dan menurunnya masalah ‘monopsoni’ seperti tipe
kompetisi di segmen produksi. Perusahaan distribusi dan konsumen besar diuntungkan
dengan adanya akses langsung ke segmen produksi dan memiliki banyak pilihan dalam
pasokan gas.
Namun, untuk perusahaan transportasi, tipe akses terbuka ini lebih sulit dari
pada tipe vertikal maupun tipe kompetisi di segmen produksi karena harus
mengkoordinasikan gas miliknya dan gas milik pihak ketiga melalui jaringan pipa.
Transaksi dalam pasar konsumen besar gas biasanya dilakukan secara langsung
sehingga ketika ada intermediasi hal ini menjadi kompleks dan biaya transaksi dari open
access menjadi lebih mahal. Hal ini lebih banyak merugikan konsumen kecil ketimbang
peluang untuk mendapatkan yang lebih murah. Lebih jauh, hal ini juga menciptakan
peluang usaha bagi trader yang dapat mengumpulkan kebutuhan dan suplai untuk
konsumen kecil dengan membeli gas dan jasa transportasi atas nama sendiri. Trader
akan membebankan biaya untuk transaksi intermediasi dan meminimasi biaya gas dan
jasa transportasinya dengan membeli jumlah yang banyak.
Terdapat tiga tujuan utama pengaturan yang penting dalam tipe industri gas ini
yaitu melindungi konsumen dari kekuatan pasar perusahaan gas, menciptakan kompetisi
di pasar niaga umum, dan mencegah kekuatan pasar dari perusahaan pipa terhadap
jaringan pipanya. Harga konsumen diatur dengan pengaturan IRR dan price cap. Harga
niaga umum gas dideregulasi jika ada kompetisi di pasar. Bila tidak, sebaiknya terlebih
dahulu menghilangkan entry barrier sebelum mengatur harga secara langsung. Hal ini
dikarenakan pengaturan harga niaga umum tidak menciptakan perdagangan yang
kompetitif.
Harga jasa transportasi atau access price adalah faktor paling penting dalam
mencapai kompetisi dan efisiensi di level pasar niaga umum. Hal ini karena perusahaan
transportasi yang tidak diatur dapat membebani access price yang mahal atau mencabut
akses demi monopsoni power. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan access
price optimal dengan prinsip efisiensi yang meliputi biaya transportasi kepada pihak
19
ketiga dan keuntungan segmen transportasi pipa dalam pasokan gas. Harga ini memberi
perusahaan transportasi insentif yang tepat dalam menyediakan open access dengan
memastikan hanya pemakai yang membayar lebih murah untuk niaga umum gas yang
akan memakai jasa transportasi.
3.1.4 Tipe Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh
Dalam tipe ini, produsen gas menjual gas ke perusahaan transmisi, yang
kemudian menjualnya kembali ke perusahaan distribusi. Perusahaan pemasok (supplier)
adalah afiliasi dari perusahaan distribusi. Perusahaan service adalah supplier lain yang
dapat melakukan services penjualan gas, baik dalam bentuk bundled maupun unbundled.
Konsumen besar maupun kecil bebas memilih penyediaan layanan gas. Gambar 10
memperlihatkan skema mekanisme liberalisasi penuh, yang telah diterapkan di beberapa
negara industri.
Gambar 10 Mekanisme Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh
(Nugroho, 2004 diolah kembali)
Tipe ini memperlihatkan unbundling — pemisahan pasokan gas dari jasa
transportasi dan distribusi — dan deregulasi penuh pasar gas bumi. Alasan utama
unbundling adalah kemampuan perusahaan transportasi dalam menghindari kompetisi
di pasar niaga umum gas melalui langkah selain harga seperti jasa transportasi dengan
kualitas rendah. Unbundling mengurangi distorsi. Selain itu, unbundling juga
memfasilitasi pengembangan banyak perusahaan pemasok yang membeli gas di pasar
niaga umum, menjual kembali di hilir, dan menggunakan perusahaan jasa transportasi
dan perusahaan distribusi. Kompetisi antar perusahaan pasokan menekan
melambungnya harga jual dan memfasilitasi akses langsung dari segmen produksi ke
konsumen. Peningkatan kompetisi dan deregulasi di pasar gas mengurangi perlunya
Service
(D1)
Service
(D2, D3)
Konsume
n Kecil
Niaga
umum
20
pengaturan harga di level wholesale dan membutuhkan regulasi yang memberi
fleksibilitas harga di level retail. Dalam hal ini, pengaturan IRR kurang efektif
dibandingkan dengan pengaturan price cap.
Proses unbundling sendiri terbagi menjadi 4 tahap, yang penerapannya
tergantung dari kerumitan operasional jaringan dan aspek keekonomian jaringan. Empat
tahap unbundling berturut-turut adalah: i) Accounting Unbundling (pemisahan akuntasi
antara kegiatan pengangkutan dan niaga); ii) Functional Unbundling (pemisahan fungsi
antara kegiatan pengangkutan dan niaga); iii) Legal Unbundling (pemisahan perusahaan
antara kegiatan pengangkutan dan niaga); dan iv) Ownership Unbundling (pemisahan
kepemilikan antara kegiatan pengangkutan dan niaga).
Jaringan pipa transmisi, karena mudah secara operasional dan dampak
finansialnya tidak terlalu besar, dapat langsung menerapkan legal atau ownership
unbundling. Di lain pihak, jaringan pipa distribusi, dengan tingkat kerumitan
operasional dan dampak finansial yang cukup tinggi, pada umumnya dimulai dari
accounting unbundling terlebih dahulu sebelum dilakukan tahapan unbundling
berikutnya. Beberapa jaringan distribusi gas bumi di negara-negara Eropa dan USA,
sampai dengan saat inipun masih ada yang hanya dapat menerapkan accounting dan
functional unbundling saja, padahal deregulasi bisnis gas bumi di sana telah terjadi
sejak puluhan tahun yang lalu.
Pada tipe liberalisasi penuh, pasar gas mengalami transformasi yang signifikan
dalam mengakomodasi kebutuhan dari pelaku pasar yang mencari pengaturan dan
perdagangan lebih fleksibel dari tipe akses terbuka untuk niaga umum. Gas
diperdagangkan melalui kontrak jangka pendek untuk memenuhi pasokan dan
kebutuhan dalam jangka pendek dan memberi pelaku pasar fleksibilitas. Pengembangan
pasar jengka pendek dan spot price menciptakan efisiensi di keseluruhan pasar gas
karena harga terus ditentukan secara likuid dan, dengan kompetisi, harga gas menjadi
lebih efisien. Pelaku pasar menggunakan spot price sebagai harga acuan dalam kontrak
gas bilateral dan hasilnya kebanyakan gas diperdagangkan dalam spot price.
Perdagangan gas jangka pendek menciptakan volatilitas dalam volume dan
harga sehingga meningkatkan ketidakpastian kebutuhan jasa transportasi. Di beberapa
periode, kebutuhan dapat melebihi kapasitas yang ada, di lain periode mungkin turun di
bawah kapasitas.
21
3.2 Deregulasi Industri Gas Bumi Indonesia
Berdasarkan konstitusi UUD 1945, Negara Republik Indonesia memiliki semua
hak akan minyak dan gas dalam wilayahnya yang ditujukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Pasal 33) dan dalam pengelolaannya dilakukan
oleh Pemerintah. Dalam rangka pelaksanaannya, pengaturan mengenai gas baik
eksplorasi maupun produksi didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 tahun 2001
dan peraturan pelaksanaannya.
Setelah diberlakukannya undang-undang ini, Pertamina, sebagai operator
lapangan yang sebelumnya juga menjadi wakil negara dalam tanggung jawab
pengaturan kegiatan hulu minyak dan gas (regulator), beralih hanya menjadi operator
saja. Tugas ini kemudian diserahkan kepada BP Migas, yang dibentuk sebagai sebuah
Badan Hukum Milik Negara, dan juga KESDM (Ditjen Migas). Sementara untuk
kegiatan sektor hilir, meliputi pengolahan, transportasi, penyimpanan dan perdagangan,
merupakan tanggung jawab BPH Migas.
Pengusahaan hulu sektor minyak dan gas dilakukan melalui sebuah Kontrak
Bagi Hasil (Profit Sharing Contract/PSC), yang ditandatangani bersama BP Migas.
Berdasarkan PSC, kontraktor berhak atas persentase tertentu dari minyak dan/atau gas
bumi. Kegiatan hulu dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia atau pun perusahaan
asing, dengan catatan satu perusahaan hanya dapat tercatat dalam satu PSC. Untuk
sektor hilir, kegiatan usaha harus dilakukan oleh perusahaan Indonesia. Dalam
praktiknya, perusahaan asing dapat berpartisipasi dengan terlebih dahulu mendirikan
anak perusahaan lokal dan memperoleh ijin usaha hilir dari Pemerintah.
Secara umum, UU No. 22 tahun 2001 mengamanatkan pengutamaan alokasi gas
untuk dalam negeri melalui kebijakan efektifitas pengaturan sektor hulu dengan hilir.
Kebijakan ini dilakukan dengan memisahkan kegiatan badan usaha sektor hulu dengan
sektor hilir (Pasal 10). Selain itu dalam UU ini ditegaskan pula tentang kemungkinan
pemanfaatan fasilitas secara bersama-sama untuk usaha Transportasi Gas Bumi melalui
pipa yang menyangkut kepentingan umum (Pasal 8).
Untuk pemanfaatan dalam negeri, dalam peraturan pelaksanaan Permen ESDM
No. 3 tahun 2010 telah diatur mengenai urutan sektor atau kegiatan prioritas yang
22
mendapat alokasi gas, yaitu untuk kegiatan lifting minyak, pupuk, listrik dan lainnya.
Sementara dalam kegiatan pengusahaan gas bumi, badan usaha dapat memperoleh ijin
niaga dan ijin transportasi secara bersamaan. Dengan kata lain, badan usaha dapat
bertindak sebagai transporter di suatu kesempatan dan trader di kesempatan lainnya.
Berikut ini adalah bagan kerangka regulasi dan skema pengusahaan gas bumi di
Indonesia.
Gambar 11 Kerangka Regulasi Pengusahaan Gas Bumi (PGN, 2011)
23
Gambar 12 Skema Pengusahaan Gas Bumi (PGN, 2011)
3.2.1 Deregulasi Industri Sektor Hulu Gas Bumi Indonesia
UU no. 22 tahun 2001 mengamanatkan pemisahan usaha hulu dan hilir sehingga
perlu dibentuk Badan Pelaksana dan Badan Pengatur Hilir Migas. BP Migas dibentuk
setelah adanya PP No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu
Migas (BP Migas) yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Posisi BP
Migas ini begitu strategis, langsung di bawah Presiden berkooordinasi dengan KESDM
dalam hal pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas. Ketua BP Migas dipilih oleh
Presiden setelah mendapat rekomendasi dari Menteri ESDM dan mendapat persetujuan
DPR. Sebagai BHMN, BP Migas bersifat non-profit dan untuk mendanai kegiatannya
BP Migas menerima fee sekitar 1 persen dari pendapatan negara di kegiatan hulu.
Sebagai regulator hulu, BP Migas, memiliki tugas dan kewenangan berikut ini :
a. Memberi rekomendasi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
sehubungan dengan persiapan dan tender wilayah kerja dan kontrak kerja sama;
b. Menandatangani PSC;
c. Menganalisis dan memberi rekomendasi kepada ESDM terkait Plan of
Development (POD) pertama untuk persetujuan KESDM;
d. Menyetujui POD selanjutnya;
e. Menyetujui program kerja dan anggaran (Work Program & Budget / WP&B);
24
f. Memantau pelaksanaan kontrak kerja sama; dan
g. Menunjuk penjual (minyak/gas) hak Pemerintah (BP Migas mengumpulkan bagian
gas Pemerintah tetapi harus menunjuk pihak lain untuk menjual gas).
Kontrak Kerja Sama (KKS) adalah kontrak antara perusahaan dengan BP Migas
dan berlaku mengikat secara hukum yang diatur oleh dan berlaku sesuai dengan hukum
Indonesia. Sesuai dengan konstitusi, negara melalui pemerintah memiliki semua minyak
dan gas dalam wilayahnya. Kepemilikan gas bumi tetap di tangan negara cq Pemerintah
dari produksi sampai transportasi ke pembeli pihak ketiga. KKS meliputi eksplorasi
sampai produksi. Ketentuan umum dalam KKKS sejak diberlakukannya UU 22 tahun
2001 adalah :
Jangka waktu 30 tahun
Periode eksplorasi 6 tahun yang dapat diperpanjang (jika tidak ada penemuan
komersil selama periode eksplorasi, KKS dapat dihentikan)
Persyaratan pengiriman program kerja eksplorasi kepada BP Migas untuk
persetujuan dan ketaatan terhadap program kerja yang disetujui
Perusahaan menunjuk operator pengelola KKS
Pemerintah Indonesia berhak mendapat bagian produksi KKS yang dikenakan
penyesuaian sesuai dengan formula pengeluaran :
Untuk produksi minyak bumi umumnya setelah dipotong cost recovery adalah:
62,5 persen : 37,5 persen
Untuk produksi gas bumi setelah dipotong cost recovery adalah: perusahaan
71,4 persen : 28,6 persen
BP Migas dapat meminta perusahaan KKS untuk menawarkan hingga 10 persen
kepemilikan kepada perusahaan/pemerintah Indonesia. Selain itu, BP Migas juga
dapat meminta kepemilikan ini kepada BUMD. Hal ini dilakukan dengan ketentuan
bahwa investor Indonesia harus membayar biaya akuisisi kepemilikan dan
memenuhi komitmen semua keuangan yang timbul.
KKS dapat dikenai PPh, Bea Masuk tertentu termasuk tax holiday untuk waktu
yang disepakati.
Operator diminta untuk mengikuti aturan tender dan pengadaan dengan transparan.
Kepemilikan perusahaan dalam KKS ditransfer atau dialihkan.
Perselisihan di bawah KKS diselesaikan oleh internasional arbitrase.
25
Ketentuan KKS mensyaratkan perusahaan untuk menawarkan kepemilikan
kepada BUMD pada saat persetujuan POD. Selain itu, di banyak tender KKS, Pertamina
diberi keistimewaan untuk mendapat 15 persen kepemilikan dari WKP setelah negosiasi
secara bisnis to bisnis dengan pemenang tender.
Untuk penerimaan negara dari gas terdiri dari pajak dan non pajak. Penerimaan
pajak terdiri pajak perusahaan dan pajak perorangan. Penerimaan bukan pajak terdiri
dari kewajiban produksi dan penerimaan lainnya dalam bentuk biaya eksplorasi dan
bonus lain (seperti bonus produksi). Umumnya komposisi bagi hasil untuk gas adalah
70 (pemerintah) : 30 (Perusahaan). Secara teori, perusahaan dapat menegosiasikan
komposisi bagi hasil ini. Masing-masing pemerintah dan perusahaan dapat menerima
porsi produksi dalam bentuk in kind. Selain porsi produksi, pemerintah juga
memperoleh pemasukan dari pajak penghasilan dari perusahaan dengan besaran 44
persen untuk perusahaan. Biaya operasi, biaya modal dan bonus menjadi pengurang dari
penghasilan kena pajak. Pemerintah juga berhak mendapatkan signature and production
bonus berdasarkan kesepakatan KKS.
Untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri, kontraktor hulu migas
diwajibkan menyisihkan 25 persen dari gas bagian mereka untuk Domestic Market
Obligation (DMO) lima tahun sejak mulai produksi. Apabila BP Migas tidak
mendapatkan pembeli potensi dalam negeri atau negosiasi dengan pembeli potensial
gagal, perusahaan dapat meminta persetujuan BP Migas untuk menjual kuantitas DMO
di pasar internasional. Secara lengkap skema DMO dapat dilihat pada gambar berikut
ini.
26
Keterangan : DM = Domestic Market; FM = Free Market
Gambar 13 Mekanisme Pelaksanaan DMO Gas (BP Migas, 2011)
Pada tanggal 11 November 2012, MK melalui keputusannya membatalkan
beberapa pasal UU No. 22/2001 yang berkaitan dengan fungsi dan wewenang BP Migas
dan membubarkan BP Migas. Fungsi BP Migas kemudian diambil alih oleh
Kementerian ESDM melalui unit baru dibawah Menteri ESDM, yakni Satuan Kerja
Sementara Pelaksana Migas dan semua kontrak dengan BP Migas tetap berlaku (Perpres
95/2012 serta KepMen ESDM No. 3135/K/08/MPF/2012) sedangkan semua pekerja BP
Migas diberikan gaji dan tunjangan jabatan sesuai ketentuan sebelum pengalihan
(Kepmen No 3136/K/08/MPF/2012).
3.2.2 Deregulasi Sektor Hilir Gas Bumi Indonesia
Penerapan UU No. 22 tahun 2001 telah mengubah tata kelola usaha gas. Otoritas
kebijakan kegiatan pengusahaan gas bumi di Indonesia dipegang oleh KESDM cq.
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas). Sementara di sektor hulu, kegiatan
pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh BP Migas. Untuk sektor hilir, kegiatan
pengaturan dilakukan oleh KESDM cq BPH Migas secara bersama-sama (Gambar 14).
27
Gambar 14 Hubungan KESDM, BP Migas dan BPH Migas dalam Pengelolaan Migas
(KESDM, 2011)
Ditjen Migas, dengan dibantu BP Migas, mengatur ketersediaan pasokan gas
bumi untuk kebutuhan dalam negeri, serta harga gas bumi untuk konsumen industri,
listrik, transportasi dan komersial. Ditjen Migas bersama-sama dengan BPH Migas
mengatur ketersediaan infrastruktur jaringan pipa gas bumi. Di samping itu, Ditjen
Migas mengatur ketersediaan infrastruktur pipa untuk gas, seperti pipa dedicated hilir,
pipa untuk kepentingan sendiri dan jaringan pipa gas kota, serta infrastruktur non-pipa,
seperti CNG Station dan LNG Receiving and Gas Refasification Terminal. Dilain pihak,
BPH Migas mengatur tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa (gas pipeline toll fee),
harga gas bumi untuk konsumen rumah tangga dan pelanggan kecil, dan kegiatan usaha
transmisi dan distribusi gas bumi melalui pipa (Open Acces, Hak Khusus, Akun
Pengaturan).
Berdasarkan Permen ESDM No. 7 tahun 2005, Ijin Kegiatan Hilir diperlukan
untuk tiap jenis kegiatan hilir secara terpisah. Sebagai contoh, untuk transportasi gas
dibutuhkan Ijin Usaha Transportasi Gas. Apabila perusahaan melakukan kegiatan hilir
yang bersinggungan dengan kegiatan hilir lainnya, perusahaan hanya perlu
mendapatkan satu ijin usaha. Selain Ijin Usaha yang dikeluarkan Menteri ESDM,
transportasi gas yang melalui bagian pipa transmisi dan jaringan distribusi memerlukan
hak khusus yang dikeluarkan oleh BPH Migas. Hak khusus ini diberikan melalui proses
lelang yang dilaksanakan BPH Migas. Satu hak khusus akan diberikan kepada
perusahaan untuk area segmen transmisi atau jaringan distribusi.
28
Pada saat ini Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi
Nasional (RIJTDGBN) merupakan pedoman dasar yang digunakan sebagai acuan
investasi dan pengembangan pasar domestik serta pembangunan jaringan transmisi dan
distribusi gas bumi bagi badan usaha dalam kerangka kegiatan usaha hilir gas bumi,
yang dapat disesuaikan dan disempurnakan setiap tahun berdasarkan usulan BPH Migas.
BPH Migas berwenang menentukan akses untuk sistem transportasi,
interkoneksi dan kerjasama antar sistem pipa. BPH Migas berwenang meninjau dan
mengawasi pengaturan jalur pipa gas dan infrastruktur terkait. BPH Migas telah
mengeluarkan regulasi mengenai persyaratan pihak ketiga untuk masuk akses fasilitas
pengangkutan yang dimiliki pemegang ijin khusus. BPH Migas mengatur bahwa
pemegang ijin khusus harus mengijinkan akses pihak ketiga pada fasilitas transportasi
gas bumi di bawah ketentuan khusus yang disepakati antara pemegang ijin khusus
dengan pihak ketiga. Jika pemegang ijin khusus menolak untuk memberikan akses
pihak ketiga ke jalur pipa gas, maka pemegang ijin khusus harus memberikan alasan
kepada BPH Migas dengan ketentuan jika BPH Migas menilai alasan tersebut tidak
berdasar, BPH Migas dapat mencabut ijin khususnya. Apabila kapasitas pemegang ijin
khusus menurun dan terjadi kekurangan pasokan gas, badan usaha dapat meminta
persetujuan BPH Migas untuk mengembangkan kapasitasnya. Opsi lainnya, jika
pemegang ijin khusus tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar untuk pasokan gas, BPH
Migas akan membuka segmen baru pada jalur sama untuk dilelang. Pada situasi ini,
pemegang ijin khusus baru akan tetap memiliki ijin khususnya terhadap segmennya.
Kebijakan Open Access
Regulasi open access dijelaskan pada pasal 46 ayat 1, UU No.22/2001 yang
menyebutkan bahwa pengawasan terhadap kegiatan usaha pengangkutan gas bumi
melalui pipa oleh BPH Migas dilakukan untuk optimasi dan mencegah terjadinya
monopoli pemanfaatan fasilitas pipa transmisi dan distribusi gas bumi oleh badan usaha
tertentu. Dalam rangka mengimplementasikan aturan tersebut, BPH Migas telah
mengeluarkan Peraturan BPH Migas No. 15/P/BPHMIGAS/VII/2008, tentang
Pemanfaatan Bersama Fasilitas Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa (Open Access).
29
Kebijakan Unbundling
Regulasi unbundling adalah peraturan untuk memisahkan kegiatan bisnis yang
bersifat monopoli alamiah dari kegiatan bisnis yang dapat dikompetisikan. Kegiatan
yang bersifat monopoli alamiah dalam hal ini adalah pengangkutan gas melalui jaringan
pipa, sedangkan kegiatan yang dapat dikompetisikan adalah kegiatan niaga gas.
Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa
Tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa diatur dan ditetapkan oleh BPH
Migas (Pasal 46 ayat (3) huruf (d) Undang-Undang No. 22/2001 Tentang Minyak dan
Gas Bumi). BPH Migas telah mengeluarkan Peraturan BPH Migas No. 16/P/BPH
Migas/VII/2008, tentang Penetapan Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.
Metode yang digunakan oleh BPH Migas dalam menentukan tarif adalah metoda Cost
of Service, di mana BPH Migas menentukan IRR yang wajar yaitu maksimal sama
dengan WACC (Weighted Average Cost of Capital). Cost of service adalah jumlah
pendapatan yang berhak pemilik jaringan pipa (Transporter) peroleh, sehingga
pendapatan tersebut dapat digunakan untuk membayar semua biaya yang dikeluarkan
oleh transporter dalam menjalankan kegiatan usahanya, serta mendapatkan keuntungan
yang wajar dari modal yang telah diinvestasikan. Persamaan yang digunakan untuk
menghitung toll fee adalah (Cost of Service)/(Gas Volume Flowing Trough Pipeline).
WACC dihitung berdasarkan rumus ((CD (1-T)D/(D+E))+(( CE E)/(D+E)),
dimana D adalah jumlah modal pinjaman (Debt), E adalah jumlah modal sendiri
(Equity), T adalah tarif pajak pendapatan, CD adalah bunga modal pinjaman, dan CE
adalah biaya modal sendiri. CE dihitung berdasarkan rumus Rf + (BPMEM+ICRP),
dimana Rf (Risk Free Rate) adalah tingkat pengembalian investasi bebas risiko, yaitu
tingkat bunga surat utang yang dikeluarkan oleh negara Amerika Serikat (US Treasury
Bond), atau beta adalah fluktuasi portfolio investasi bidang usaha hilir gas bumi
dibandingkan dengan pasar (stock market). Pasar di sini adalah Bursa Efek Indonesia.
BPMEM adalah Base premium for mature equity market, yaitu premi pasar yang telah
mempunyai peringkat AAA, ICRP adalah Indonesia country risk premium, yaitu premi
risiko investasi di Indonesia, yang saat ini dalam katagori BB+2.
2 Contoh perhitungan – Sebuah perusahaan pengangkutan gas bumi melalui pipa, telah berinvestasi dan mulai beroperasi tahun
2012 dan menhajukan tarif kepada BPH Migas, Berapakah IRR yang ditetapkan BPH Migas dalam menentukan Tarif jika diketahui
bahwa nilai investasi pipa adalah USD 10.000.000 yang didanai dengan modal pinjaman sebesar 50% (USD 5.000.000) dengan
30
Akun Pengaturan
Sebagaimana telah diketahui, suatu jaringan pipa gas dapat dimanfaatkan secara
bersama (open access) apabila telah ada tarif yang ditetapkan oleh regulator pada
jaringan tersebut. Regulator dapat menentukan tarif apabila tersedia data akun
pengangkutan yang terpisah dari data akun kegiatan niaga, oleh karena itu syarat
minimal suatu jaringan dapat di open acces adalah telah melaksanakan accounting
unbundling. Terkait dengan accounting unbundling dan pengumpulan data akun
pengangkutan, BPH Migas telah mengeluarkan Peraturan No. 21/2011 tentang Akun
Pengaturan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa Transmisi. Akun
Pengaturan untuk jaringan pipa distribusi gas bumi belum dibuat oleh BPH Migas
karena jaringan distribusi gas bumi sampai dengan saat ini masih ditetapkan Pemerintah
sebagai jaringan pipa dedicated hilir. Akun Pengaturan dilaporkan oleh Badan Usaha
kepada BPH Migas setiap tahun, dan digunakan oleh BPH Migas sebagai bahan untuk
mengevaluasi tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa.
3.3 Kebijakan Alokasi dan Harga Gas Bumi Indonesia
Berdasarkan regulasi, kebijakan alokasi gas bumi di Indonesia ditetapkan oleh
pemerintah. Melalui Permen ESDM No 3 tahun 2010, pemerintah menetapkan prioritas
pemanfaatan gas bumi dalam negeri secara berurutan mulai dari lifting minyak, industri
pupuk, listrik dan industri lainnya. Kebijakan ini banyak menimbulkan perdebatan dari
konsumen gas terutama dari sektor industri. Alasan utamanya adalah pemerintah lebih
mendahulukan sektor yang berpotensi menambah penerimaan negara secara cepat
(lifting minyak) dibandingkan sektor yang memiliki banyak faktor nilai tambah seperti
sektor industri.
Untuk penentuan harga jual gas, berdasarkan regulasi yang ada terdapat
beberapa otoritas yang berwenang menetapkan tergantung konsumen pemakainya
(Gambar 15).
bungan pinjaman 6% dan modal sendiri sebesar 50% (USD 5.000.000). Berdasarkan data tahun 2012: Rf = 3.95 %, US Treasury
Bond Rate, ß = 1.141, ß PT PGN , BPMEM = 6.00% , dan ICRP = 3.60%. Dengan data tersebut, maka CE = 3.95% + 1.141 (6.00%
+ 3.60%) = 14.90%. Kemudian D = USD 5.000.000, E = Modal Sendiri = USD 5.000.000, T= 25%, CD =6.00%, dan CE = 14.90%. Dengan hasil perhitungan parameter tersebut maka WACC = 8.75%. Dengan kata lain IRR yang digunakan untuk menentukan Tarif
Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Badan Usaha Pengangkutan ini adalah 8.75%.
31
Gambar 15 Otoritas Penetap Harga Gas Pipa
3.3.1 Harga Gas Hulu dan Harga Gas Hilir untuk Pengguna Tertentu
Dalam hal penetapan harga gas di hulu (well head price) dan harga gas hilir
untuk pengguna tertentu seperti halnya pada sektor transportasi, BP Migas ikut berperan
sesuai dengan fungsinya dengan menunjuk penjual gas bagian negara (biasanya
Produsen) (Gambar 16). Setelah itu, khusus untuk harga gas di hulu produsen selaku
penjual akan mencari pembeli dan bernegosiasi. BP Migas akan mengawasi proses
negosiasi tersebut. Hasil negosiasi oleh BP Migas ini kemudian diusulkan kepada
Menteri ESDM untuk dievaluasi oleh Kementerian ESDM, dalam hal ini melalui
Direktorat Jenderal Migas (Ditjen Migas). Dalam melakukan evaluasi, Ditjen Migas
melakukan klarifikasi dengan BP Migas, dan jika disetujui, maka Menteri akan
menyampaikan persetujuan tersebut kepada BP Migas. Selanjutnya, produsen dan
konsumen gas melakukan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) yang diketahui oleh
Kementerian ESDM. Dengan demikian, baik harga maupun volume gas dalam setiap
perjanjian yang dilakukan oleh kontraktor KKS dengan pembeli gas, harus atas
sepengetahuan dan persetujuan pemerintah, melalui Ditjen Migas.
Menteri Harga Gas Hulu dan Harga Gas Hilir
Untuk Pengguna Tertentu
Konsumen dari Gas Produsen
(sebagai penjual)
BPH Migas Harga Gas Hilir Untuk Rumah Tangga Konsumen
Rumah Tangga
Badan Usaha
Harga Gas Hilir Untuk Pengguna Umum Konsumen dari
Gas Badan Usaha Niaga
32
Gambar 16 Penetapan Harga Jual Beli Gas didalam Skema Perjanjian Jual Beli Gas
(PJBG) (BP Migas, 2012)
Harga gas hulu sendiri ditentukan melalui berbagai pertimbangan. Berdasarkan
PP No. 30/2009 tentang Perubahan atas PP No. 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir
Migas Pasal 72 dan Permen ESDM No. 21/2008 tentang Pedoman Penetapan Harga
Jual BBM dan Gas Bumi Pasal 5, pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Harga gas bumi harus mengacu kepada keekonomian pengembangan lapangan dan
infrastruktur, yakni fasilitas alir gasnya, serta mempertimbangkan keekonomian
konsumen gas bumi.
b. Harga gas bumi dapat berupa eskalasi, yakni dikaitkan dengan harga minyak bumi,
dikaitkan dengan harga produk, serta dikaitkan dengan harga kombinasi harga
produk dan harga minyak bumi.
c. Pemilihan model harga gas bumi harus mempertimbangkan pendapatan negara
dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang optimal.
d. Penetapan harga gas bumi mempertimbangkan kesetaraan antara kepentingan
produsen dan konsumen gas bumi.
Dengan kata lain, untuk melindungi produsen dan konsumen gas bumi, model
harga gas bumi dapat menggunakan formulasi yang dikaitkan dengan minyak dan/atau
produk konsumen (urea, amonia, LPG, dll). Berikut adalah contoh model formula harga
gas hulu yang saat ini digunakan di Indonesia.
201
1 ©
BP
MIG
AS
– A
ll r
igh
ts r
eser
ved
20
DIAGRAM ALIR PENETAPAN HARGA GAS BUMI
PENETAPAN
MESDM Menteri ESDM
DITJEN MIGAS
BPMIGAS
PRODUSEN /
PENJUAL
KONSUMEN /
PEMBELI EVALUASI
Ya
Sepakat
Negosiasi
Usulan
Belum memenuhi syarat
Penunjukan penjual
PJBG
EVALUASI
Tidak
3 2
1
Setuju
Tidak Setuju
1 1
2 3
3
2 2 2
1
33
Tabel 3 Beberapa Model Harga Gas Bumi Indonesia untuk Beberapa Sektor Konsumen
No Jenis Harga Gas Keterangan
1 Harga Tetap
(sepanjang kontrak)
Digunakan untuk pembeli jenis Pembangkitan Listrik dan Industri.
Banyak digunakan pada periode sebelum 2004, pada saat harga BBM
domestik relatif rendah dan dalam rangka meningkatkan pemanfaatan
gas dalam negeri.
Dalam beberapa tahun terakhir penggunaannya terbatas pada gas
flare dan jual-beli gas jangka pendek.
Contoh : Harga Gas untuk Industri = 5,4 USD/MMBTU.
2 Harga Ekskalasi
Tahunan
Penggunaan eskalasi harga gas sebagai faktor penyeimbang
penurunan laju produksi dan sejalan dengan peningkatan
pertumbuhan perekonomian dan peningkatan harga minyak bumi
dunia.
Harga eskalasi ini banyak digunakan untuk pembeli jenis
pembangkitan listrik dan industri.
Contoh : Harga Gas untuk industri = USD 5/MMBTU Eskalasi 3
persen per tahun.
3 Harga dikaitkan
Harga Minyak atau
Gas
Digunakan untuk pembeli dalam bisnis hulu dan hilir minyak serta
ekspor (kegiatan produksi migas dan kilang minyak).
Contoh : Harga Gas Untuk Ekspor LNG Jepang=
0,987x0,154xJCC+0,34.
4 Harga dikaitkan
dengan produk
konsumen
Digunakan untuk pembeli dalam industri petrokimia sebagai bahan
baku (amonia, pupuk dan methanol).
Harga gas untuk pupuk = 5,75+0,2(NH3-350)/32+0,3(UreaG-
329)/26.
5 Harga kombinasi
dikaitkan dengan
minyak dan produk
konsumen
Digunakan untuk pembeli dalam industri petrokimia sebagai bahan
baku (amonia, pupuk dan methanol).
Harga gas untuk pupuk = C1x(NH3-25)/155+C2xICP/15+(C3x(NH3-
225)/32).
Gas untuk kepentingan domestik umumnya dialirkan melalui pipa, baik
langsung dari kontraktor KKS ke konsumen, maupun melalui jaringan pipa transmisi
milik badan usaha, seperti BUMN Pertamina ataupun PGN, untuk sampai ke konsumen.
Harga gas untuk pasar domestik ini umumnya jauh lebih rendah dari harga gas untuk
ekspor. Dalam kontrak antara Chonoco Phillips dengan PT PGN yang ditandatangani
34
23
Perkembangan Harga Gas dan ICP tahun 2006 – 2012
Keterangan:
Sebelum tahun 2009, harga gas rata-rata masih menggunakan harga flat.
pada tahun 2005, untuk penjualan gas sampai dengan tahun 2023, harga gas yang
disetujui BP Migas adalah sebesar US$ 1,85 per MMBTU.
Secara garis besar, harga gas hulu rata-rata ke pasar domestik mencapai US$ 3,8
per MMBTU. Namun, sejak tahun 2006, harga pipa gas domestik meningkat , dan
beranjak dari US$ 3,81 (2006) menjadi US$ 5,64 (20012), seperti terlihat dalam
Gambar 17.
Gambar 17 Perkembangan Harga Gas LNG, Gas Pipa Ekspor dan Gas Pipa Domestik
2006-2012 (BP Migas, 2012)
Khusus penjualan gas hulu untuk ekspor mengacu kepada ketentuan sebagai
berikut: i) harga gas bumi/LNG/gas pipa untuk ekspor tidak lebih rendah dari harga gas
bumi domestik yang paling tinggi untuk peruntukan yang sama; ii) model harga gas
bumi/LNG/gas pipa yang digunakan dikaitkan dengan harga minyak bumi dengan tetap
memberikan keuntungan yang maksimal bagi negara; dan iii) harga gas bumi/LNG/gas
pipa yang disepakati sedapat mungkin dilakukan peninjauan secara periodik untuk
disesuaikan dengan kondisi pasar yang berlaku.
Sebelum tahun 2000, selama kurang lebih 30 tahun, Indonesia mendominasi
struktur pasar internasional LNG bersama negara lainnya seperti Malaysia dan Brunei.
Formula harga LNG dan kondisi yang disepakati berdasarkan negosiasi langsung tanpa
35
melalui tender, yang sangat menguntungkan pihak produsen (market seller) dan bersifat
jangka panjang.
Pada awal tahun 2000-an, menjelang akan dikembangkannya proyek Tangguh,
mulai muncul sejumlah negara produsen baru yang akan segera memasuki pasar seperti
Qatar, Oman, Nigeria, Algeria, Australia, Alaska dan Sakhalin. Akibatnya harga pasar
LNG yang semula dipegang seller mulai beralih ke buyer, sehingga harga ditetapkan
melalui tender karena banyaknya negara produsen LNG. Dengan beralih ke buyer
market, perjanjian penjualan LNG (Sales Purchasing Agreement/ SPA) umumnya
bersifat jangka pendek, dan harga tidak lagi ditentukan pada tingkat yang
menguntungkan produsen. Terlebih lagi dengan selesainya pembangunan train kilang
LNG di Malaysia dan Australia yang tidak disertai komitmen atau kontrak dari pembeli,
sehingga harga yang ditawarkan oleh proyek atau kilang LNG yang belum atau baru
direncanakan untuk dibangun ini tertekan lebih rendah lagi. Surplus kapasitas (excess
capacity) kilang LNG ini pada umumnya dijual dengan kontrak jangka pendek (spot
market). Kondisi seperti ini kemungkinan akan berlanjut dengan adanya excess supply
gas dari Amerika Serikat sebagai efek dari keberhasilan pengembangan shale gas.
Harga LNG untuk pasar Asia umumya mengacu kepada index Japanese Crude
Cocktail (JCC), melalui rumusan P=0,122(JCC)+1,2367, dimana JCC dinyatakan dalam
US$ per barel, dan P adalah harga LNG dalam US$ per MMBTU. Dengan demikian
jika harga JCC adalah US$ 40 per barel, maka harga LNG dipatok sekitar US$ 6 per
MMBTU. Saat ini, harga minyak mentah berada di atas US$ 100 per barel, dengan
mengacu kepada rumusan JCC ini, maka harga LNG mencapai US$ 13-14 per MMBTU.
Kontrak-kontrak LNG untuk pasar Asia yang ditandatangani sebelum tahun 2002,
mengacu kepada rumusan JCC ini. Untuk kontrak-kontrak setelah itu, harga LNG
cenderung menurun. Kontrak LNG ke Guangdong pada tahun 2005 mencerminkan
adanya perubahan harga LNG. Rumusan JCC di koreksi dengan menerapkan slope yang
jauh lebih kecil, sehingga harga LNG menjadi jauh lebih murah. Dengan rumusan
Guangdong, harga LNG hanya mencapai US$ 7-8 per MMBTU jika harga minyak
mentah mencapai US$ 100 per barel. Gambar 18 mencerminkan rumusan harga LNG
untuk pasar Asia.
36
Gambar 18 Harga LNG Ekspor - Pasar Jepang, Guangdong, dan Fujian
Harga gas pipa ekspor terus meningkat dari US$ 7/MMBTU (2006) menjadi
US$ 16,73/MMTU. Harga gas pipa ekspor telah meningkat dua kali lebih dari harga di
tahun 2006, dan ini mengikuti tren harga ekspor LNG yang juga naik mendekati
US$ 15/MMBTU pada tahun 2012. Dalam kurun waktu yang sama, kenaikan ini relatif
sangat besar dibandingkan dengan kenaikan harga gas domestik.
3.3.2 Harga Gas Rumah Tangga
Penentuan harga gas untuk rumah tangga dan pelanggan kecil kecil dilakukan
oleh BPH Migas. Berdasarkan Peraturan BPH Migas No. 22/VII/2011, golongan rumah
tangga didefinisikan sebagai konsumen gas bumi yang pemanfaatannya untuk
kebutuhan sendiri (konsumen akhir) dengan jumlah pemanfaatan gas bumi sampai 50
m3/bulan. Sementara pelanggan kecil adalah konsumen gas bumi yang pemanfaatannya
untuk kebutuhan sendiri (konsumen akhir) dengan jumlah pemakaian gas bumi sampai
1.000 m3/bulan.
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
10 20 30 40 50 60 70
LNG
Pri
ce(
CIF
),$
/MM
BTU
JCCCrudeOilPrices(CIF),$/bbl
P(Japan)
P(Guangdong)
ActualP(Japan),contractsbefore2002
P(Fujian)
Guangdong(China)P=0.052(JCC)+2.1133
JapanP=0.1226(JCC)+1.2367
Fujian(China)P=0.0525(JCC)+1.34
37
Rumah tangga dan pelanggan kecil digolongkan masing-masing dalam dua
golongan berdasarkan kemampuan daya beli konsumen gas bumi dan sifat kegiatan
sebagai berikut:
1. Rumahtangga RT-1 meliputi rumah susun, rumah sederhana, rumah sangat
sederhana dan sejenisnya, sementara RT-2 meliputi rumah menengah, rumah
mewah, apartemen dan sejenisnya.
2. Pelanggan kecil PK-1 meliputi rumah sakit pemerintah, puskesmas, panti asuhan,
tempat ibadah, lembaga pendidikan pemerintah, lembaga keagamaan, kantor
pemerintah, lembaga sosial dan sejenisnya, sementara PK-2 meliputi hotel,
restoran/rumah makan, rumah sakit swasta, perkantoran swasta, lembaga
pendidikan swasta, pertokoan/ruko/rukan/pasar/mall/swalayan dan kegiatan
komersil lainnya.
Perhitungan harga gas bumi ditentukan dengan menggunakan metode indeks harga
konsumen yang dikeluarkan oleh BPS untuk komoditi gas, bahan bakar, penerangan dan
air dengan batasan minimum 10 m3/bulan dan maksimum 50 m
3/bulan untuk rumah
tangga. Untuk pelanggan kecil, batasan minimum penggunaan sebesar 50 m3 dan
maksimum 1.000 m3/bulan. Apabila pemakaian melebihi batas tersebut, harga jual akan
dikenai biaya tambahan sebesar 20 persen dari harga gas.
Penetapan harga gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil dilakukan
melalui dua mekanisme tergantung jenis investasinya:
a. Untuk gas yang seluruh investasinya dibiayai badan usaha, penetapan harga
didasarkan IRR yang ditetapkan oleh Badan Pengatur yang mengacu pada besaran
WACC. Berikut adalah rumusan singkat mengenai WACC.
38
b. Untuk gas yang seluruhnya investasinya dibiayai pemerintah didasarkan pada biaya
pembelian gas bumi, biaya operasional dan pemeliharaan fasilitas, biaya
administrasi dan umum, pajak-pajak, retribusi daerah dan pendapatan (hasil dari
perkalian volume penjualan gas bumi dengan besaran harga gas bumi) serta margin
badan usaha yang besarnya ditetapkan oleh BPH Migas
Tabel 4 menunjukkan besaran harga gas bumi untuk rumah tangga di beberapa area
distribusi.
Tabel 4 Daftar Harga Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil
Area Distribusi Jenis Pelanggan Harga (Rp/m3) Dasar Hukum
Banten (PGN)
Rumah Tangga 1 2.477 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 111/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 3.973
Pelanggan Kecil 1 2.477
Pelanggan Kecil 2 2.849
Bogor (PGN)
Rumah Tangga 1 2.720 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 108/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 3.263
Pelanggan Kecil 1 2.720
Pelanggan Kecil 2 3.127
Bekasi (PGN)
Rumah Tangga 1 2.668 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 109/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Pelanggan Kecil 2 3.069
Rumah Tangga 2 3.202
Pelanggan Kecil 1 2.668
Cikampek (Karawang)
Rumah Tangga 1 2.668 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 110/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 3.202
Pelanggan Kecil 1 2.668
Pelanggan Kecil 2 3.069
Jakarta (PGN)
Rumah Tangga 1 2.618 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 107/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 3.141
Pelanggan Kecil 1 2.618
Pelanggan Kecil 2 3.010
Cirebon (PGN)
Rumah Tangga 1 1.714 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 112/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 2.056
Pelanggan Kecil 1 1.714
Pelanggan Kecil 2 1.971
Palembang (PGN)
Rumah Tangga 1 2.259 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 113/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 2.711
Pelanggan Kecil 1 2.259
Pelanggan Kecil 2 2.598
39
Area Distribusi Jenis Pelanggan Harga (Rp/m3) Dasar Hukum
Medan (PGN)
Rumah Tangga 1 2.458 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 117/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 2.949
Pelanggan Kecil 1 2.458
Pelanggan Kecil 2 2.827
Surabaya - Gresik (PGN)
Rumah Tangga 1 2.507 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 114/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 3.009
Pelanggan Kecil 1 2.507
Pelanggan Kecil 2 2.883
Sidoarjo-Mojokerto (PGN)
Rumah Tangga 1 2.496 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 115/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 2.995
Pelanggan Kecil 1 2.496
Pelanggan Kecil 2 2.870
Pasuruan - Probolinggo (PGN)
Rumah Tangga 1 2.496 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 116/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 2.995
Pelanggan Kecil 1 2.496
Pelanggan Kecil 2 2.870
Batam (PGN)
Rumah Tangga 1 2.838 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 118/RTPK/BPH
Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal
21 Agustus 2007
Rumah Tangga 2 3.406
Pelanggan Kecil 1 2.838
Pelanggan Kecil 2 3.264
Tarakan (Perusda) Rumah Tangga 2.802
Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 23/P/BPH
Migas/VII/2011
Depok (Jabar Energi) Rumah Tangga 2.790
Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 24/P/BPH
Migas/VII/2011
Palembang (SP2J)
Rumah Tangga 1 2.250 Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 20/P/BPH
Migas/II/2011 Rumah Tangga 2 2.750
Bekasi (Sinergi Patriot) Rumah Tangga 2.773
Keputusan Kepala BPH Migas
Nomor : 25/P/BPH
Migas/XII/2011
3.3.3 Harga Gas untuk Pengguna Umum (Hilir)
Penetapan harga gas untuk pengguna umum (hilir) dilakukan secara business to
business oleh perusahaan (badan usaha). Berdasarkan hasil verifikasi BPH Migas
terhadap kegiatan niaga gas bumi melalui pipa dedicated hilir dari tahun 2008 sampai
2012, harga gas bumi rata-rata yang dijual oleh badan usaha niaga dedicated hilir
mengalami kenaikan sebesar 14,5 persen per tahun. Pada tahun 2008, harga jual gas
bumi rata-rata adalah USD 3,99/MMBtu, sedangkan pada kuartal II tahun 2012 telah
mencapai USD 6,89/MMBtu sementara harga jual gas rata-rata PGN sebagai badan
usaha niaga terbesar mencapai USD 8,45/MMBTU (Tabel 5).
40
Tabel 5 Perkembangan Harga Gas Bumi untuk Pengguna Umum
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012
Harga rata-rata
(USD/MMBtu) 3,99 4,68 5,19 6,16 6,89
41
BAB 4
KEBUTUHAN, PASOKAN DAN INFRASTRUKTUR GAS
4.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas
4.1.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Pupuk
Melalui Instruksi Presiden No. 2 tahun 2010 tentang Revitalisasi Industri Pupuk
dan Permen ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi
untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri, industri pupuk menjadi salah satu prioritas
penerima gas nasional. Industri ini strategis dalam mendukung sektor pertanian untuk
menjalankan program ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas nasional. Walaupun
demikian, dampak dari kebijakan tersebut masih dipertanyakan. Data menunjukkan
realisasi pemanfaatan gas untuk industri pupuk selama enam tahun terakhir cenderung
stagnan dikisaran angka 600 MMSCFD (Tabel 6).
Tabel 6 Realisasi Pemanfaatan Gas untuk Industri Pupuk (dalam MMSCFD)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
539,1
(6,6 %)
520
(6,4 %)
542,1
(7,1 %)
575,4
(7,1 %)
618
(7,4 %)
618,2
(6,3 %)
615,3
(7,3 %)
Sumber : Ditjen Migas (2011)
Untuk tahun 2011 sendiri, alokasi gas bumi untuk pupuk sesuai dengan kontrak
adalah 11,3 persen namun pada realisasinya alokasi gas untuk industri pupuk hanya 7,3
persen. Jumlah ini pun masih di bawah kebutuhan industri pupuk berdasarkan kontrak
gas antara produsen pupuk dan produsen gas sebesar 793 MMSCFD (Tabel 7).
Sementara, gas untuk ekspor justru meningkat dari 50,4 persen berdasarkan contracted
demand menjadi 55,4 persen pada realisasinya. Selain itu, untuk peningkatan produksi
dan pemakaian sendiri menigkat dari 4,5 persen yang dialokasikan menjadi 6,5 persen
pada realisasi
42
Tabel 7 Kebutuhan Gas untuk Industri Pupuk Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas
(dalam MMSCFD)
Sumber : Berbagai sumber diolah kembali
4.1.2 Kebutuhan dan Pasokan Gas Listrik
Saat ini kapasitas total pembangkit tenaga listrik terpasang (installed capacity)
mencapai 41.9 GW, di mana PLN memiliki 31.7 GW dan Independent Power
Producers (IPP) sebesar 7.3 GW. Pada neraca gas 2012–2025, alokasi gas untuk listrik
(berdasarkan kontrak) tahun 2011 mencapai 14,99 persen. Dalam realisasi, pemanfaatan
gas untuk listrik hanya mencapai 8,6 persen dengan jumlah mencapai 721,4 MMSCFD.
Kekurangan pasokan gas ini mengakibatkan PLN terpaksa menggunakan BBM dan
membeli dari beberapa badan usaha niaga gas seperti PGN yang tentunya lebih
memberatkan keuangan PLN.
Tabel 8 memperlihatkan kebutuhan gas untuk pembangkit listrik, kontrak
pembelian gas dan pasokan gas di seluruh kawasan Indonesia, serta perkiraan realisasi
pasokan gas sampai dengan tahun 2020. Pada tahun 2010, kebutuhan gas mencapai
1.602 BBTUD, sedangkan kontrak gas hanya mencapai 1.407 BBTUD. Meskipun
demikian, diperkirakan realisasi pasokan gas (berdasarkan alokasi gas BP Migas) untuk
KAPASITAS
(ton/hari) 2009 – 2011 2012 - 2030
PUSRI IB 570 55,00 55,00 PERTAMINA EP s.d 2012
PUSRI II 570 45,00 - MEDCO Blok SSE s.d 2018
PUSRI III 570 62,50 - PERTAMINA s.d 2012
PUSRI IV 570 62,50 - PERTAMINA s.d 2012
PUSRI II B *) 86,00
PUSRI III B *) 86,00
PUSRI IV B *) 86,00
225,00 313,00
PKT - 1 700 91,00 - East Kal PSC s.d. 2012 Pabrik beroperasi s.d
2011
PKT - 2 570 80,00 80,00 East Kal PSC s.d. 2018
PKT - 3 570 62,00 62,00 East Kal PSC s.d. 2017
PKT - 4 570 52,00 52,00 East Kal PSC s.d. 2022
PKT – 5 *) 1.155.000 123,00 Total E&P, Sebuku
&Tangguh
Diversion
285,00 317,00
PIM-1 600 60,00 60,00 Medco (Blok A) 2011 – 2019
PIM-2 570 50,00 50,00 Medco (Blok A) 2011 - 2019
110,00 110,00
PKC 1A 586 60,00 - BP West Java s.d. 2017 Pabrik beroperasi s.d
2011
PKC 1B 570 48,00 48,00 Pertamina EP s.d. 2008 **)
PKC 2 *) 910 86,00
108,00 134,00
PKG 1 460 65,00 65,00 Kodeco & KEI s.d. 2015
PKG 2 *) 570 60,00 Blok Cepu
65,00 125,00
793,00 999,00
PUPUK SRIWIDJADJA
Pabrik beroperasi sampai
dengan tahun 2011
2.871.000
PABRIKTAHUN
PEMASOK KONTRAK PJBG KETERANGAN
TOTAL PKC
PETROKIMIA GRESIK
TOTAL PKG
TOTAL KEBUTUHAN PUPUK
TOTAL PUSRI
PUPUK KALIMANTAN
TIMUR
TOTAL PKT
PUPUK ISKANDAR
MUDA
TOTAL PIM
PUPUK KUJANG
CIKAMPEK
43
pembangkit listrik diperkirakan hanya mancapai 1.003 BBTUD. Pada tahun 2020, untuk
membangkitkan tambahan 4093 MW, gas yang dibutuhkan diperkirakan akan mencapai
1.904 BBTUD. Volume gas yang sudah dikontrak sebesar 1.011 BBTUD, dan realisasi
alokasi gas diperkirakan hanya mencapai 973 BBTUD.
Tabel 8 Proyeksi Kebutuhan Gas dan Pasokan untuk Pembangkit Listrik (PLN, 2012)
Kebutuhan gas untuk pembangkit listrik saat ini mencapai 1.602 BBTUD untuk
membangkitkan listrik sebesar 11 GW, dan sebagian besar gas tersebut dimanfaatkan
untuk membangkitkan listrik di Jawa dan Bali (67 persen), disusul kawasan Indonesia
bagian barat (28 persen), dan sisanya untuk kawasan Indonesia bagian timur (5 persen).
Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan dua kawasan dengan kebutuhan akan gas untuk
pembangkit listrik terbesar. Jawa barat membutuhkan sekitar 738 BBTUD sedangkan
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Batam 48 88 88 88 88 88 88 88 88
Aceh - - 51 39 39 39 35 29 29
Sumatera Utara 152 152 86 86 86 86 86 86 86
Riau 50 50 60 70 70 70 65 65 65
Sumatera Selatan 145 147 126 126 126 106 106 106 106
Jambi 51 60 67 67 67 65 57 57 57
Bangka - - - 1 1 3 3 3 4
Lampung - - - 10 10 10 10 10 10
Kalseltengtim 30 68 66 66 66 66 66 66 66
Sulawesi Selatan 39 48 48 48 48 48 48 48 57
Sulut-Gorontalo dan Sulteng - - 4 4 4 4 4 5 5
Papua 3 4 4 8 8 8 13 9 9
Indonesia Timur Tersebar 15 16 24 24 25 25 25 25 25
Jawa Bagian Barat 738 717 835 861 784 651 643 608 751
Jawa Bagian Tengah - 25 161 166 166 166 166 140 130
Jawa Bagian Timur 331 332 342 357 343 404 403 404 404
Bali - - - 9 9 9 11 12 12
TOTAL DEMAND 1,602 1,707 1,962 2,030 1,940 1,848 1,829 1,761 1,904
CONTRACT
Batam 41 81 81 81 81 81 81 81 81
Aceh - 15 15 15 15 15 15 15 15
Sumatera Utara 28 122 117 113 110 100 100 100 100
Riau 40 44 62 62 62 62 62 62 62
Sumatera Selatan 126 98 57 57 57 57 26 18 18
Jambi 47 51 51 51 51 51 44 40 40
Bangka - - - - - - - - -
Lampung - - - - - - - - -
Kalseltengtim 44 64 84 84 54 54 52 52 52
Sulawesi Selatan 53 53 53 53 53 53 53 53 53
Sulut-Gorontalo dan Sulteng - - - - 25 25 25 25 25
Papua (potensi) 2 4 4 4 4 4 4 4 4
Indonesia Timur Tersebar - - - - - - - - -
Jawa Bagian Barat 681 605 442 407 354 305 269 133 133
Jawa Bagian Tengah - 25 161 166 166 166 166 140 130
Jawa Bagian Timur 385 463 442 360 342 339 327 299 298
Bali - - - - - - - - -
TOTAL CONTRACT 1,447 1,625 1,569 1,453 1,374 1,312 1,224 1,022 1,011
SUPPLY / CONSUMPTION
Batam 41 81 81 81 81 81 81 81 81
Aceh - 15 15 15 15 15 15 15 15
Sumatera Utara - 5 100 100 100 100 100 100 100
Riau 15 44 62 62 62 62 62 62 62
Sumatera Selatan 126 107 57 57 57 57 26 18 18
Jambi 43 47 47 47 47 47 40 40 40
Bangka - - - - - - - - -
Lampung - - - - - - - - -
Kalimantan 25 37 57 57 32 32 32 32 32
Sulawesi Selatan 53 53 53 53 53 53 53 53 53
Sulut-Gorontalo dan Sulteng - - - - 25 25 25 25 25
Papua 2 4 4 4 4 4 4 4 4
Indonesia Timur Tersebar - - - - - - - - -
Jawa Bagian Barat 515 513 384 354 311 270 270 153 153
Jawa Bagian Tengah - 25 161 166 166 166 166 140 130
Jawa Bagian Timur 372 392 360 290 260 290 280 260 260
Bali - - - - - - - - -
TOTALSUPPLY 1,192 1,323 1,381 1,286 1,213 1,202 1,154 983 973
Kawasan/DaerahTahun
DEMAND
44
Jawa Timur sebanyak 331 BBTUD. Pada tahun 2012, Jawa Timur belum memanfaatkan
gas untuk pembangkit listrik, namun mulai tahun 2013, gas akan segera dibutuhkan
untuk pembangkit listrik. Namun demikian, kebutuhan akan gas ini tidak semuanya
terpenuhi. Volume dari Kontrak Jual Beli Gas (PJBG) antara pemasok gas dengan PLN
belum mencukupi volume permintaan akan gas. Di samping itu, volume gas yang sudah
dikontrak pun serangkali tidak dapat dipenuhi oleh pemasok gas. Gambar 19, 20 dan 21
memperlihatkan ketidakmampuan pasokan dan kontrak gas untuk kebutuhan gas dari
pembangkit PLN.
Gambar 19 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN untuk Jawa Bali
(PLN, 2012)
Gambar 20 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian
Barat (PLN, 2012)
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
DEMAND SUPPLY CONTRACT
0
100
200
300
400
500
600
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
DEMAND CONTRACT SUPPLY
45
Gambar 21 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian
Timur (PLN, 2012)
Kebutuhan PLN akan gas sampai saat belum terpenuhi. Kendala yang dihadapi,
di samping kendala yang berkaitan dengan ketersediaan alokasi gas yang terbatas,
berkaitan dengan hal-hal yang di luar kemampuan penjual atau pemasok gas (KKKS
atau PGN). Pertama, kondisi (level playing field) Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG)
seringkali tidak seimbang antara penjual dan pembeli gas (PLN). Volume pasokan gas
seringkali tidak sesuai PJBG terutama disebabkan oleh kendala kondisi subsurface
ataupun kondisi surface di lapangan gas. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian
pasokan gas untuk pembangkit listrik. Namun demikian, PJBG umumnya tidak
menganut adanya penalti atau Delivery-or-Pay (DOP) bila pemasok underperform,
sedangkan PLN dikenakan Take-or-Pay (TOP) bila tidak bisa menyerap gas. Shortfall
hanya sebagai pengurang kewajiban PLN, bukan sebagai jaminan pasokan.
Kedua, perhitungan volume atau cadangan reservoir gas yang meleset, sehingga
pasokan gas tidak sesuai dengan kontrak yang disebutkan dalam PJBG3. Hal ini
terutama disebabkan karena kondisi sumur gas yang sudah tua (mature) sehingga
mengalami early-decline yang cukup besar. Beberapa contoh kasus dimana produksi
gas mengalami penurunan produksi yang lebih cepat dari perkiraan PJBG adalah: i)
PJBG Salamender ke Belawan, di mana sumur gas mengalami penurunan menjadi nol
(0) pada akhir 2012, padahal komitmen atau kontrak pasokan adalah sampai tahun
2017; ii) PJBG Kalila ke Teluk Lembu, di mana sumur gas mengalami penurunan dari
3 Untuk dapat mengembalikan volume ke pasokan awal, pemasok meminta adanya kenaikan harga (PLN,
2012)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
DEMAND contract supply
46
30 BBTUD (kontrak) menjadi 3 BBTUD; iii) PJBG HESS ke Gresik, pasokan gas tidak
sesuai kontrak, penurunan dari 100 BBTUD sesuai dengan PJBG original,
diamandemen menjadi 76 BBTUD, tetapi realisasi pasokan hanya 55 BBTUD; iv)
PJBG WMO ke Gresik, dari 123 BBTUD, realisasi hanya 100 BBTUD; v) PJBG
CNOOC ke Cilegon, turun dari 80 BBTUD menjadi 76 BBTUD; vi) PJBG Pertamina
ke Belawan, off-spec karena kandungan air, pasokan berhenti sebelum waktunya; dan
vii) PJBG Semco ke PLTG Tanjung Batu dan Semberah, tidak sesuai PJBG karena
kondisi sumur.
Ketiga, alokasi atau penyaluran gas ke PLN kalah prioritasnya terhadap alokasi
gas untuk yang lain, seperti untuk lifting minyak dan impor. Sebagai contoh, shutdown
akibat pemeliharaan fasilitas sumur Jambi Merang akan mengakibatkan menurunnya
pasokan gas PGN (dari COPY) ke PLN, karena COPY harus menggantikan pasokan gas
Jambi Merang ke Chevron, untuk keperluan lifting minyak. Di samping itu, alokasi gas
untuk PLN menjadi second priority terhadap kontrak gas ke Singapura.
Keempat, adanya permintaan kenaikan harga dari pemasok gas pada masa PJBG.
Pemasok, atas rekomendasi BP Migas, meminta kenaikan harga gas pada masa PJBG
karena berbagai sebab, antara lain adalah adanya kenaikan biaya operasi dan
pemeliharaan, investasi baru untuk bisa mempertahankan pasokan gas, dan sebagainya4.
Kelima adalah terbatasnya fleksibilitas pola penyaluran gas dari KKKS ataupun
PGN ke PLN serta infrastruktur gas. Operasi dari pembangkit listrik PLN mengikuti
beban permintaan listrik (load follower) sehingga diperlukan adanya swing rate antara
base-load dan peak-load. Operasi seperti ini tidak dapat diikuti oleh pola penyaluran
gas dari pemasok, sehingga, dengan terbatasnya infrastruktur gas, kelebihan pasokan
gas di suatu lokasi pembangkit listrik tidak dapat disalurkan ke lokasi yang lain.
Sebagai contoh, dengan terbatasnya fasilititas jaringan pipa gas PGN, keperluan gas
swap dari lapangan Gajah Baru ke Muara Tawar sebesar 40 BBTUD tidak dapat
dilaksanakan.
4 Plan of Development (POD) dan biaya Cost Recovery dari kegiatan pengembangan lapangan gas adalah
atas persetujuan BP Migas
47
4.1.3 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Lainnya
Kebutuhan sektor industri selain pupuk akan mencapai 1.282,86 MMSCFD
(Kemenperin, 2012). Sebagian besar diperuntukkan sebagai energi sebanyak 1.057,86
MMSCFD. Dari jumlah tersebut, sebanyak 758,78 MMSCFD diperuntukkan sebagai
utilitas. Kebutuhan ini akan meningkat menjadi 1.368,63 MMSCFD di tahun 2013 dan
1.420,92 MMSCFD di tahun 2014. Diperkirakan industri petrokimia akan banyak
mengalami peningkatan kebutuhan di tahun 2013 sebesar 31,11 persen (Tabel 9).
Tabel 9 Kebutuhan Gas untuk Industri Selain Pupuk
No Industri 2012 2013 2014 2020 2025
1 Bahan Baku (Petrokimia) 225.00 295.00 295.00 598.00 783.00
2 Energi 1,057.86 1,073.63 1,125.92 1,237.00 1,252.00
Kontak Langsung dengan
produk 299.08 309.46 309.59 353 353
'- Utilitas 115.85 115.97 116.10
'- Logam 80.00 80.00 80.00
'- Kaca 71.93 81.19 81.19
'- Glassware 24.30 24.30 24.30
'- Semen 7.00 8.00 8.00
Utilitas 758.78 764.17 816.33 884 899
T O T A L 1,282.86 1,368.63 1,420.92 1,835.00 2,035.00
Sumber: Kemenperin, 2012 diolah kembali
Pada periode 2014-2020, kebutuhan gas akan meningkat rata-rata 4,26 persen
per tahun menjadi 1.835 MMSCFD. Pada periode ini, kebutuhan industri petrokimia
akan meningkat 11,78 persen per tahun, jauh dari kebutuhan industri lainnya. Sementara
pada periode 2020-2025, kebutuhan gas akan meningkat rata-rata per tahun 2,07 persen
menjadi 2.035 MMSCFD.
Pemenuhan kebutuhan gas untuk sektor industri (di luar industri pupuk dan
petrokimia) umumnya dilakukan dengan melakukan kontrak dengan perusahaan
penyalur gas diantaranya PT. PGN, PT. Pertagas, dan beberapa trader gas. Kondisi
yang dihadapi oleh industri nasional hingga saat ini, quota pasokan yang telah
disepakati oleh pemasok gas belum dapat dialirkan ke masing-masing industri seperti
ditunjukkan dalam tabel berikut ini.
48
Tabel 10 Kontrak dan Realisasi Pemakaian Gas Pelanggan Industri Retail (PGN)
Sumber : PGN dalam Presentasi Kemenperin 2012
4.1.4 Kebutuhan dan Pasokan Gas untuk Transportasi
Kebutuhan gas untuk transportasi masih relatif sedikit dibandingkan dengan
kebutuhan gas untuk listrik dan industri. Kebutuhan gas, atau untuk transportasi biasa
disebut Bahan Bakar Gas (BBG), untuk angkutan umum baik di daerah perkotaan (kota-
kota besar) maupun kabupaten dapat diperkirakan dari jumlah angkutan umum dan
konsumsi BBM untuk setiap jenis angkutan umum. Jenis angkutan umum yang ada di
Indonesia terdiri dari: (i) Bus Ukuran Besar (BB); (ii) Bus Ukuran Sedang (BS); (iii)
Bus Ukuran Kecil (BK); (iv) Mobil Penumpang Umum (MPU); dan (v) Taxi. Jumlah
angkutan umum di seluruh Indonesia pada tahun 2010 mencapai sekitar 415.200,
dimana 50 persen dari jumlah tersebut merupakan Mobil Penumpang Umum, diikuti
dengan Bus Kecil (21 persen) dan Taxi (14 persen), dan sebagian kecil bus sedang/besar.
Jumlah kendaraan umum tersebut, lebih dari 100 ribu berada di Jabodetabek. Sementara
itu jumlah angkutan umum untuk provinsi Jawa Tengah, Sumatra Utara, Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat hanya memiliki sekitar lebih dari 25 ribu kendaraan,
seperti terlihat dalam Gambar 22.
Kontrak dan Realisasi Pemakaian Gas Pelanggan Industri Retail (PT. PGN)
BBTUD
Kontrak Realisasi Kontrak Perkiraan
SBU Distribusi Wil. I
Jawa Bagian Barat (*) 329,0 310,3 329,0 320,0
SBU Distribusi Wil. II
Jawa Bagian Timur 149,4 147,8 149,4 144,0
SBU Distribusi Wil. III
Sumbagut (**) 84,9 82,3 84,9 72,0
TOTAL 563,3 540,4 563,3 536,0
(*) Industri di luar PLN, Krakatau Daya Listrik dan Independent Power Plant.
(**) Industri di luar PLN Batam.
2011 2012
49
Gambar 22 Profil Angkutan Umum Secara Basional (2010) Berdasarkan Jenis Angkutan
(a) dan Berdasarkan Provinsi di mana Angkutan Umum Beroperasi (b).
Selanjutnya, apabila melihat jumlah angkutan di kota-kota besar, terdapat 23
kota yang memiliki angkutan umum di atas 2.000 kendaraan. Ada tiga kota dengan
jumlah angkutan umum di atas 10.000 kendaraan, tertinggi di DKI Jakarta dengan
jumlah 73 ribu kendaraan dan diikuti Medan dengan 27,3 ribu serta Surabaya sebanyak
10,8 ribu kendaraan. Delapan kota dengan jumlah angkutan umum antara 5 sampai 10
ribu kendaraam adalah antara lain kota Bogor, Bandung, Tangerang, Jambi, Makasar,
Balikpapan, dan Depok, seperti terlihat di Tabel 11.
Apabila BBM untuk semua armada angkutan umum di 23 kota ini disubstitusi
dengan BBG akan dibutuhkan 254,98 MMSCFD. Namun demikian, sementara ini
substitusi secara keseluruhan belum dapat dilakukan karena keterbatasan jaringan
transmisi/distribusi gas dan ketidakpastian pasokan gas. Sehubungan dengan itu,
substitusi BBM ke BBG harus dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan
potensi ketersediaan pasokan gas dan pertumbuhan armada angkutan umum.
Bus Besar, 7%
Bus Sedang, 8%
Bus Kecil, 21%
Mobil Penumpang
Umum, 50%
Taxi, 14%
-
25
,00
0
50
,00
0
75
,00
0
10
0,0
00
12
5,0
00
BANGKABELITUNGGORONTALO
KALIMANTANBARATSULAWESIBARATSULAWESIUTARA
KALIMANTANTENGAHMALUKUUTARA
SULAWESITENGAHSULAWESITENGGARA
DIYOGYAKARTABANTEN
IRIANBARATBENGKULU
MALUKUKEPULAUANRIAU
NUSATENGGARATIMURKALIMANTANSELATAN
PAPUA(IRIANJAYA)NANGGROEACEHDARUSSALAM
NUSATENGGARABARATSUMATERSELATANSUMATERABARAT
JAMBILAMPUNG
KALIMANTANTIMURRIAUBALI
JAWABARATSULAWESISELATAN
JAWATIMURSUMATERAUTARA
JAWATENGAHJABODETABEK
Kendaraan
50
Tabel 11 Kota-kota dengan Jumlah Angkutan Umum di atas 2.000 Kendaraan (2010)
Berdasarkan rata-rata konsumsi BBM bahwa bus besar membutuhkan rata-rata
sebesar 125 liter per hari dan bus kecil serta mobil penumpang umum sebesar 20 liter,
maka konsumsi BBM untuk angkutan umum adalah sebesar 12,6 juta liter/hari. Apabila
jumlah BBM tersebut disubstitusi ke BBG, maka kebutuhan BBG untuk mensubstitusi
BBM untuk angkutan umum adalah sebanyak 441,56 MMSCFD, seperti terlihat dalam
Tabel 10.
Dari jumlah konsumsi tersebut, maka provinsi yang memiliki kebutuhan BBG di
atas 25 MMSCFD adalah Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, dan Sumatera
Utara. Apabila melihat tingkat konsumsi di kota-kota, maka terdapat 26 kota yang
membutuhkan konsumsi di atas 1 MMSCFD dengan total seluruh kebutuhan adalah
sebesar 266 MMSCFD. Diantara 26 kota ini, Jakarta membutuhkan BBG di atas 80
MMSCFD, sedangkan kota-kota Pekanbaru, Medan, Jambi, dan Surabaya adalah kota
yang memiliki konsumsi BBG jauh di bawah Jakarta, namun di atas 10 MMSCFD.
Sementara itu, apabila melihat jumlah kebutuhan BBG untuk angkutan umum di setiap
kabupaten terlihat bahwa kebutuhannya lebih kecil dari 10 MMSCFD. Terdapat sekitar
34 kabupaten dengan kebutuhan BBG diatas 1 MMSCFD. Namun demikian, diantara
34 kabupaten tersebut, terdapat 3 kabupaten yaitu: Tangerang, Malang, dan Bandung
No Kota Bus Besar Bus Sedang Bus Kecil Mobil Penumpang
Umum TAXI TOTAL
1 KOTA DKI JAKARTA 4.064 4.944 26.002 14.204 23.778 72.992
2 KOTA MEDAN 3.000 4.208 9.667 9.691 751 27.317
3 KOTA SURABAYA 463 - - 6.180 4.131 10.774
4 KOTA PEKANBARU 8.000 - - 600 472 9.072
5 KOTA BOGOR 238 72 4.462 3.392 - 8.164
6 KOTA BANDUNG 192 12 12 5.454 1.201 6.871
7 KOTA TANGGERANG 89 - 300 2.401 3.698 6.488
8 KOTA JAMBI 3.037 - 2.220 971 30 6.258
9 KOTA MAKASSAR 56 271 285 4.000 1.216 5.828
10 KOTA BALIKPAPAN 18 257 30 5.070 400 5.775
11 KOTA DEPOK 157 46 568 281 4.072 5.124
12 KOTA BEKASI 264 211 - 1.665 2.771 4.911
13 KOTA SEMARANG 62 852 1.000 1.890 958 4.762
14 KOTA DENPASAR - - - 3.000 1.657 4.657
15 KOTA MALANG 920 150 2.000 345 470 3.885
16 KOTA PADANG 87 285 - 2.919 327 3.618
17 KOTA PALEMBANG - 468 504 2.015 114 3.101
18 KOTA BATAM 25 13 - - 2.938 2.976
19 KOTA BANDAR LAMPUNG - - - 2.942 15 2.957
20 KOTA SALATIGA - 595 958 1.388 - 2.941
21 KOTA JAYAPURA - 25 183 2.308 - 2.516
22 KOTA SURAKARTA 564 297 630 432 536 2.459
23 KOTA CIANJUR - - - 2.000 - 2.000
TOTAL 21.236 12.706 48.821 73.148 49.535 205.446
51
dengan kebutuhan diatas 5 MMSCFD, dengan jumlah kebutuhan gas sebanyak 19,48
MMSCFD.
Tabel 12 Kebutuhan BBM untuk Angkutan Umum dan Proyeksi Kebutuhan BBG untuk
Mensubstitusi BBM Angkutan Umum
Apabila substitusi akan dilakukan di 26 kota, beberapa hambatan adalah
besarnya dana yang dibutuhkan untuk investasi jaringan transmisi/distribusi gas dan
penyediaan converter kit, ketersediaan pasokan gas, kesiapan sumber daya di masing-
masing pemerintah kota, dan payung hukum pelaksanaan substitusi BBM ke BBG di
masing-masing wilayah.
Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 19/2010, telah direncanakan
kota/kabupaten terpilih yang akan mendapatkan giliran substitusi dari BBM ke BBG
dengan potensi sumber pasokan gasnya sampai dengan tahun 2015. Kota-kota tersebut
terutama adalah Jakarta, Medan, Surabaya, Sengkang, Semarang, Kabupaten Bekasi,
Palembang, Cilegon, dan Gresik. Pemilihan kota tersebut didasarkan pada keadaan
pasokan gas. Total kebutuhan BBG untuk kota-kota tersebut adalah sebesar 140,57
MMSCFD. Namun demikian, pasokan gas yang ada hanya mencapai sebesar 138,39
No JenisAngkutanUmum JumlahAngkutanUmum
Jenis BBM Konsumsi BBM(liter/hari-Unit)
KebutuhanBBM(jutaliter/hari)
1 BusUkuranBesar 27.611 Solar 125 3,5
2 BusUkuranSedang 33.116 Solar 36 1,2
3 BusUkuranKecil 87.189 Solar 20 1,8
4 MobilPenumpangUmum
208.283 Premium 204,2
5 Taxi 58.945 Premium 35 2,1
TOTAL Solar/Premium
12,6
No JenisAngkutanUmum JumlahAngkutanUmum
Jenis BBM Konsumsi BBG(MMSCFD/Unit)
KebutuhanBBG(MMSCFD)
1 BusUkuranBesar 27.611 Solar 0,004375 120,80
2 BusUkuranSedang 33.116 Solar 0,00126 41,73
3 BusUkuranKecil 87.189 Solar 0,0007 61,03
4 MobilPenumpangUmum
208.283 Premium 0,0007145,80
5 Taxi 58.945 Premium 0,001225 72,21
TOTAL 441,56
52
MMSCFD atau sekitar 98 persen. Seperti terlihat dalam Gambar 23, kota Jakarta dan
Medan adalah kota yang mengalami defisit, sedangkan yang surplus adalah Semarang
dan Palembang. Kebutuhan gas dihitung berdasarkan kebutuhan gas pada tahun 2010,
sedangkan potensi pasokan gas dihitung untuk kurun waktu 2011-2015.
Gambar 23 Potensi Pasokan Gas dan Kebutuhan Gas Di Kota-Kota yang Mendapat
Giliran Substitusi dari BBM Ke BBG
Selanjutnya, secara rinci pemenuhan gas secara bertahap: (i) untuk tahun 2010
sudah dapat dimulai di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Palembang; (ii) tahun 2011
dimulai di Gresik dan Kab. Bekasi; (iii) Tahun 2012 ditambah dengan Cilegon; (iv)
tahun 2014 ditambah dengan Sengkang; dan (v) tahun 2015 diperluas ke Semarang
(Tabel 13).
0,00
1,04
2,49
3,25
3,49
4,70
11,41
32,90
81,28
2,5
2,5
12,01
1
5,48
0,8
25,9
17,2
71
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
GRESIK
CILEGON
PALEMBANG
BEKASI (Kabupaten)
SEMARANG
SENGKANG
SURABAYA
MEDAN
JAKARTA
PASOKAN BBG (MMSCFD) KEBUTUHAN BBG (MMSCFD)
53
Tabel 13 Timeline Konversi BBM ke BBG untuk Transportasi di Beberapa Kota/Kab
sampai dengan 2015 (Sumber: PerMen ESDM 19/2010)
Gambar 24 Pasokan Gas Berdasarkan Perusahaan Pemasok Gas untuk Sektor
Transportasi (2012)
Gambar 24 memperlihatkan jumlah gas yang dipasok dan dialokasikan sesuai
dengan PerMen ESDM 19/2010 berdasarkan perusahan pemasok gas. PT PGN akan
memasok 84,2 MMSCFD (61 persen), PT Pertamina EP (18 persen) dan PT Pertagas (7
persen). PT PGN akan memanfaatkan FSRU yang saat ini sedang dibangun di Medan,
sebagai receiving terminal gas dan akan menerima gas yang dipasok dari lapangan gas
Tangguh. Ketiga, Badan Usaha (dua BUMN dan satu anak perusahaan BUMN) ini akan
memasok gas 118,4 MMSCFD (85 persen) dari kebutuhan gas untuk kota/kabupaten
tersubstitusi. Sisanya (15 persen) akan dipasok oleh badan usaha swasta dan BUMD.
Pembelian gas pipa dari produsen gas dilakukan melalui Perjanjian Jual Beli Gas
0.4 0.8 1.0 1.0 1.1 2.0 2.5 3.5 3.7 4.0
9.9 24.3
84.2
0 20 40 60 80 100
PT Sadikun Niagamas
PT Banten Inti Gasindo
PT EHK
MUMD Gresik
Medco
PT Pertagas
PT PGN
MMSCFD
54
(PJBG) atau Gas Sale Purchase Agreement (GSPA) dengan harga gas pipa yang
disesuaikan dengan harga keekonomian gas, yakni mengacu kepada ongkos produksi
gas dari produsen.
4.2 Infrastruktur Gas Indonesia
4.2.1 Perkembangan Infrastruktur Gas Bumi Indonesia
Infrastruktur gas pertama kali dibangun oleh PT PERTAMINA pada tahun 1965,
yaitu pipa gas transmisi Cilamaya-Cilegon untuk keperluan pabrik baja. Gas yang
dialirkan oleh pipa transmisi tersebut kemudian dijadikan sumber pasokan gas untuk
distribusi di kawasan yang dilintasi pipa, seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, dan
Cilegon, dan supply ke pabrik pupuk Kujang di Cikampek. Pada tahun 1993, PT PGN
mulai merencanakan pembangunan pipa gas transmisi ruas Grissik-Duri, yang dapat
diselesaikan pembangunannya pada tahun 1998. PT PGN kemudian memperkenalkan
konsep Jaringan Pipa Gas Bumi Indonesia Terintegrasi pada tahun 1998, yang
melibatkan delapan (8) ruas utama pipa transmisi. Pada kurun waktu 1998-2003, PT
PGN membangun ruas pipa Grissik-Singapura yang dilanjutkan dengan pembangunan
ruas South Sumatra West Java (SWJ) dalam kurun waktu 2003-2007. Pada tahun 2005,
pemerintah menerbitkan secara resmi Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi
Gas Bumi Nasional. Berdasarkan rencana induk tersebut, pada tahun 2006, BPH Migas
telah memberikan tiga (3) lisensi untuk pembangunan tiga (3) ruas pipa transmisi.
Namun demikian, pembangunan dari ketiga ruas tersebut sampai saat ini belum dapat
dilaksanakan.
Jaringan pipa distribusi untuk gas (tidak selalu dari gas bumi, namun juga dari
batubara dan minyak tanah) sudah ada sejak jaman Belanda namun kapasitasnya relatif
kecil. Jaringan tersebut dibangun di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, Medan, Palembang, dan Makasar, dan sampai saat ini umumnya jaringan
tersebut masih berfungsi dengan baik. Sampai dengan tahun 2003, PT PGN telah
memperluas dan mengoperasikan jaringan pipa distribusi di 13 wilayah. Saat ini,
pemerintah melalui Direktorat Jenderal MIGAS sedang menyiapkan pengembangan
jaringan distribusi rumah tangga di 18 kota, dengan target penyelesaiannya pada tahun
2014.
55
LNG Plant Bontang (mulai ekspor tahun 1977) di Kalimantan Timur dan Arun
di Aceh (1978) merupakan dua LNG Plant yang digunakan untuk memasok LNG ke
Jepang, Korea, dan Taiwan. Pada tahun 2010, LNG Plant Tangguh di Papua mulai
mengekspor LNG ke Cina. LNG Plant di Donggi Senoro saat ini sedang dalam tahap
persiapan pembangunan, dengan tujuan untuk memasok LNG ke luar negeri. Walaupun
kebutuhan gas di dalam negeri, terutama di pulau Jawa, meningkat cukup besar, sampai
saat ini Indonesia belum mempunyai LNG Receiving Terminal. Pembangunan 2 LNG
terminal yang diprakarsai oleh PT PERTAMINA, PT PGN, dan PT PLN di Medan
(Sumatera Utara) dan Muara Karang (Jawa Barat) mulai disiapkan sejak tahun 2006,
namun sampai saat ini pengembangnnya terkendala oleh ketidakpastian alokasi pasokan
gas dan pembelinya (off-taker).
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dari Compressed Natural gas
(CNG) mulai beroperasi di Indonesia tahun 1984, di mana pada saat itu PT
PERTAMINA bertindak baik sebagai operator maupun regulator industri bahan bakar
gas (BBG). Pada tahun itu terdapat 16 unit SPBG/CNG yang dibangun, akan tetapi saat
ini (2010) hanya ada 6 unit yang masih dapat beroperasi. Penyebab utamanya adalah
harga BBG yang relatif rendah sehinga pengembangan dan pengoperasian SPBG
menjadi tidak layak secara ekonomi. Dibandingkan dengan negara lain yang
mengembangkan CNG, seperti India dan Pakistan, pengembangan industri CNG di
Indonesia hampir tidak berarti.
Sampai dengan saat ini, infastruktur gas yang tersedia masih terbatas. Jaringan
pipa gas transmisi (open access) sepanjang 3.633,69 km yang membentang di sepanjang
Sumatera Bagian Tengah dan Selatan memasok gas ke Jawa Bagian Barat. Jaringan
distribusi sepanjang 689,08 km mengalirkan gas ke kota-kota di Sumatera dan
sepanjang 3.244,66 km ke kota-kota di Jawa. Walaupun di Indonesia telah dibangun
infrastruktur pengolahan LNG, yakni LNG Liquefaction Plant di Arun 12,65 MMTPA,
Bontang 21,64 MMTPA, dan Tangguh 7,6 MMTPA yang menjadikan Indonesia
sebagai salah satu pemasok LNG terbesar di dunia dengan total kapasitas LNG 42,09
MMTPA, namun semuanya digunakan untuk ekspor. Gambar berikut ini menunjukkan
infrastruktur yang sudah eksisting dan rencana pengembangan berikutnya.
56
Sumber : Ditjen Migas (2012)
Gambar 25 Eksisting dan Rencana Infrastruktur Gas Dalam Negeri
Selain rencana pengembangan di atas, pemerintah sudah merintis
pengembangan gas kota di beberapa lokasi yang berdekatan dengan sumber gas sejak
tahun 2008. Beberapa kota yang sudah dikembangkan adalah Surabaya, Palembang,
Tarakan, Depok, Bekasi (dua fase), Sidoarjo (dua fase), Bontang, Sengkang, dan
Jabodetabek (khusus rusun).
4.2.2 Rencana Infrastruktur Gas Bumi Indonesia
Pemanfaatan LNG – Sumber gas yang akan digunakan untuk pembangkit listrik
berada di Kalimantan dan Papua. Untuk itu, gas dalam bentuk Lequified Natural Gas
(LNG) akan dikirimkan dari sumber-sumber gas ke Jawa dan Sumatra. Fasilitas
terminal penerima (receiving terminal) dan regasifikasi telah dan akan dibangun di
beberapa tempat. Saat ini, Floating Storage Receiving Unit (FSRU) West Java sudah
beroperasi dan menerima LNG dari Bontang serta memasok LNG ke pembangkit listrik
di Muara karang sejak bulan Mei 2012, sebesar 180 BBTUD. Pasokan LNG ke
pembangkit listrik Tanjung Priok sampai saat ini belum dapat dilaksanakan karena
dapat dimanfaatkannya pipa PHE ONWJ. Saat ini beberapa fasilitas atau infrastruktur
Berdasarkan Neraca Gas Indonesia 2011 - 2025, Sumatra Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah/Timurmembutuhkan tambahan suplai gas yang tidak dapat dipenuhi dari wilayah tersebut;
ARUN 6.8 MTPA(6 trains) BONTANG
22.59 MTPA(8 trains)
DONGGI-SENORO LNG Plant-Planned(2 MTPA/ 1 train)
TANGGUH 7,6 MTPA(2 trains)
MASELA LNG Plant-Planned (4.5
MTPA)
NATUNAIn progress Transmission pipe
(Existing)
Transmission pipe (Plan)
LNG Plant
LNG Receiving Terminal/ FSRT*
FSRT by PGN capacity 1,5 - 2 MTPA In the end of 2011
FSRT by PT Nusantara Regas(JV PT Pertamina dan PT PGN)capacity 3 MTPA in the end of 2011
FSRT by Pertamina capacity 3 MTPA 20121 2 3
1
2
3
*) FSRT = Floating Storage and Regasification Terminal
4Small Scale LNG Receiving Terminal Halmahera capacity 30 MMSCFD
4
5
Small Scale LNG Receiving Terminal Samarinda capacity 30 MMSCFD5
Small Scale LNG Receiving Terminal Balikpapan capacity 15 MMSCFD6
6
7
8
Small Scale LNG Receiving Terminal Bali capacity 25 MMSCFD7
Small Scale LNG Receiving Terminal Pomalaa capacity 25 MMSCFD8
57
gas masih dalam tahap pengembangan, yakni FSRU Lampung, Revitalisasi Arun, FSRU
Jawa Tengah, Mini LNG untuk Indonesia Timur, dan Mini LNG Bali.
Pemanfaatan CNG – Disamping LNG, Compressed Natural Gas (CNG) akan
dimanfaatkan untuk pembangkit lsitrik. Sampai saat ini masih dalam tahap konstruksi
adalah i) fasilitas CNG Jakabaring, dengan kapasitas 3 BBTUD, dan direncanakan
untuk Commercial Operating Date (COD) pada tanggal 15 Desember 2012; ii) CNG
Sungai Gelam, dengan kapasitas 4.5 BBTUD, dan direncanakan untuk COD pada
Januari 2013. Fasilitas CNG yang saat ini dalam tahap pengadaan/prakualifikasi adalah:
i) Marine CNG Gresik – Lombok dengan kapasitas 5 BBTUD; ii) Marine CNG Gresik
– Bawean dengan kapasitas 0.35 BBTUD. Sementara ini fasilitas CNG yang saat ini
masih dalam tahap kajian adalah i) CNG Tambak Lorok, dengan kapasitas 15-17
BBTUD; ii) CNG Muara Tawar, dengan kapasitas 16 BBTUD; iii) CNG Grati, dengan
kapasitas 16 BBTUD; dan iv) CNG Bangkanai, dengan kapasitas 4 BBTUD.
Trans Java Gas Pipe line – Trans Java Pipeline sepanjang 700 km akan
dibangun dengan mengikutsertakan investasi Badan Usaha (BUMN dan Swasta). Saat
ini baru jaringan pipa Cilegon – Sunyaragi yang sudah terbangun oleh PT Pertamina
Gas. Dua ruas lainnya yang dimiliki oleh perusahaan ini akan dibangun, yakni dari
Cirebon ke KHT, dan dari Tegalgede ke Muara Tawar, masing-masing sepanjang 84
km dan 140 km. PT Rekayasa Industri akan membangun ruas Cirebon-Semarang
sepanjang 255 km, dengan kapasitas 350 – 500 MMSCFD. Sedangkan ruas Semarang
ke Gresik akan dibangun oleh PT Pertamina Gas sepanjang 271 km, dengan kapasitas
350 – 500 MMSCFD. Ruas pipa dari EJGP (East Java Gas Pipeline) sepanjang 20 km
akan dibangun oleh PT Pertamina Gas, melalui skema BOO dengan PT PLN. Gambar
26 memperlihatkan jaringan gas pipa Trans Java, baik yang saat ini sudah terbangun,
maupun yang akan dibangun.
58
Tabel 14 Infrastruktur Gas - Floating Storage dan Pipa Transmisi Gas
No Infrastruktur Gas Developer
1 FSRU Teluk Jakarta for Muara Karang Combined Cycle
Plants.
• Total capacity : 3 MTPA
• Total Contract : 594 TBTU
• Period : May 2012 - 2022
• Onstream : May 2012
• Secured supply : 11,93 MT for 11 years @ avr
150 bbtud
PT Nusantara Regas (Pertamina &
PGN)
2 Arun Revitalization Project for Belawan Combined Cycle
Plant and other industries.
• Total capacity : 300 bbtud
• Volume for PLN : 100 bbtud
• Onstream : Q4 2013
• Source : BP Tangguh and others
PT Pertamina
3 FSRU Lampung for West Java Power Plants and
Industries.
• Total capacity : 400 bbtud
• Onstream : Q4 2014
PT PGN, Tbk
4 Feasibility study is now carried out by PLN and
Pertamina for implementation of Mini LNG Facility in
eastern region (East Kalimantan, Sulawesi) and Bali
PT PLN
5 Trans Java Pipe Line
Cilegon – Sunyaragi (Existing Pipeline):
Cirebon – KHT, Tegalgede – Muara Tawar:
Pertamina Gas
Various size & capacity
Perlu penyesuaian kapasitas agar dapat berintegrasi
Cirebon – Semarang:
Rekayasa Industri
255 km, 350 – 500 MMSCFD
Semarang – Gresik:
Pertamina Gas
271 km, 350 – 500 MMSCFD
EJGP - Grati:
Pertamina Gas (BOO) dgn PLN
20 km x 20” – 130 MMSCFD
PT Pertamina Gas
59
Gambar 26 Infrastruktur Gas untuk Pulau Jawa (Ditjen Migas, 2012)
Gambar 27 Proyeksi Kebutuhan BBG untuk Angkutan Umum di Kota dan Untuk Angkutan
Umum di Kabupaten Berdasarkan Jumlah Angkutan Umum 2010 (Ditjen Migas, 2012)
0 25
50
75
100
125
BANGKABELITUNG
GORONTALO
KALIMANTANBARAT
SULAWESIBARAT
SULAWESIUTARA
KALIMANTANTENGAH
MALUKUUTARA
SULAWESITENGAH
IRIANBARAT
SULAWESITENGGARA
BANTEN
MALUKU
DIYOGYAKARTA
KALIMANTANSELATAN
PAPUA(IRIANJAYA)
BENGKULU
NANGGROEACEHDARUSSALAM
NUSATENGGARABARAT
NUSATENGGARATIMUR
KEPULAUANRIAU
SUMATERSELATAN
LAMPUNG
SUMATERABARAT
KALIMANTANTIMUR
BALI
JAMBI
JAWABARAT
SULAWESISELATAN
SUMATERAUTARA
RIAU
JAWATIMUR
JAWATENGAH
JABODETABEK
BBG(MMSCFD)
0
1,00
0,00
0
2,00
0,00
0
3,00
0,00
0
4,00
0,00
0
BANGKABELITUNG
GORONTALO
KALIMANTANBARAT
SULAWESIBARAT
SULAWESIUTARA
KALIMANTANTENGAH
MALUKUUTARA
SULAWESITENGAH
IRIANBARAT
SULAWESITENGGARA
BANTEN
MALUKU
DIYOGYAKARTA
KALIMANTANSELATAN
PAPUA(IRIANJAYA)
BENGKULU
NANGGROEACEHDARUSSALAM
NUSATENGGARABARAT
NUSATENGGARATIMUR
KEPULAUANRIAU
SUMATERSELATAN
LAMPUNG
SUMATERABARAT
KALIMANTANTIMUR
BALI
JAMBI
JAWABARAT
SULAWESISELATAN
SUMATERAUTARA
RIAU
JAWATIMUR
JAWATENGAH
JABODETABEK
BBM(Liter/hari)
60
BAB 5
STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI GAS
DALAM NEGERI
5.1 Simulasi Manfaat Substitusi BBM ke Gas
Sejak tahun 1950, pemerintah telah menerapkan kebijakan penyediaan bahan
bakar minyak (BBM) murah untuk kebutuhan bahan bakar di dalam negeri. Kebijakan
tersebut bertahan lebih dari 50 tahun, dan selama kurun waktu tersebut kebijakan ini
tidak berdampak negatif baik terhadap penyediaan energi secara nasional, maupun
anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN). Hal ini dimungkinkan karena
semua kebutuhan BBM dapat dipenuhi oleh produksi minyak bumi yang menjadi
bagian pemerintah (government take) dalam kontrak bagi hasil produksi (Production
Sharing Contract – PSC) minyak bumi6. Namun sejak tahun 1997, seiring dengan
berkurangnya produksi minyak bumi nasional, kebutuhan BBM di dalam negeri harus
juga dipenuhi oleh BBM dan minyak mentah impor. Sejak saat itu, penyediaan BBM
murah harus dipenuhi melalui subsidi, yang mencerminkan selisih harga BBM dalam
negeri dengan harga pasar (internasional)7. Nilai subsidi ini terbukti semakin membesar
seiring dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia, di samping kebutuhan
nasional akan BBM yang terus meningkat.
Selain memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), subsidi
BBM juga ditengarai menurunkan pendapatan devisa nasional serta menyebabkan
distorsi harga energi, sehingga energi alternatif (selain minyak) tidak dapat berkembang
sebagaimana mestinya. Subsidi BBM juga mempunyai sumbangan terhadap
pemborosan penggunaan BBM dan peningkatan emisi karbon-dioksida (CO2) –
pencemaran lingkungan. Di samping itu, manfaat dari penerapan subsidi BBM
seringkali kurang mencapai kelompok sasaran yang ditargetkan semula, yakni
masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini terjadi karena pada kenyataannya sebagian
besar (70%) dari subsidi BBM ini dinikmati oleh masyarakat dengan pendapatan
menengah ke atas – masyarakat dengan kendaraan bermotor. Dengan memperhatikan
6 Dikenal berbagai bentuk kontrak produksi minyak bumi, seperti Kontrak Kerja Sama (KKS), atau
Kontrak Bagi Hasil (KBH). Dalam KPS, dari total produksi minyak bumi, ada sebagaian yang menjadi
milik Pemerintah (Government Take) dan sebagian lagi menjadi milik kontraktor/pengembang. 7 Mid-Oil Platts Singapore (MOPS).
61
hal-hal tersebut, substitusi BBM menjadi sangat penting. Substitusi ini dapat dilakukan
oleh jenis energi selain minyak bumi, yang tersedia dengan cadangan yang cukup besar
di dalam negeri serta relatif lebih murah – yakni gas bumi.
Pemanfaatan gas bumi – bahan bakar gas (BBG) – untuk mengganti BBM dapat
mereduksi dampak negatif dari kebijakan subsidi BBM, yang selama ini diterapkan,
antara lain (i) pengurangan permintaan volume BBM secara nasional dan nilai subsidi
BBM yang harus dianggarkan dalam APBN, (ii) peningkatan penghematan devisa
negara, dan (iii) peningkatan potensi efisiensi biaya operasi konsumen energi. Di
samping itu, karena BBG merupakan energi yang lebih bersih dibandingkan dengan
BBM, emisi CO2 yang dikeluarkan dari pembakaran bahan bakar lebih sedikit.
5.1.1 Skenario Subsidi
Pada tahun 2015, konsumsi BBM bersubsidi jenis Premium diperkirakan akan
mencapai 23,9 juta KL dan solar 12 juta KL. Substitusi BBM sektor transportasi oleh
gas dapat dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan ketersediaan infrastruktur gas
dan pasokan gas untuk dalam negeri, misalnya dimulai dengan 25 persen substitusi, 50
persen, dan 75 persen dari total kebutuhan BBM nasional. Di samping untuk sektor
transportasi, skenario substitusi BBM juga dilakukan untuk sektor-sektor yang
mengkonsumsi solar non-subsidi, seperti industri dan listrik. Skenario substitusi
dilakukan dengan memperhatikan kesiapan sektor ini dalam melakukan fuel-switching
dari BBM ke BBG. Pentahapan substitusi BBM oleh gas dapat dilakukan dengan
berbagai skenario, baik untuk BBM bersubsidi di sektor transportasi maupun untuk
BBM non-subsidi di sektor industri dan listrik.
Tabel 15 memperlihatkan skenario substitusi BBM oleh gas dengan tahapan 25
persen untuk BBM bersubsidi di sektor transportasi (Skenario I), 50 persen untuk BBM
bersubsidi di sektor transportasi (Skenario II). Saat ini pemanfatan BBG sebagai bahan
bakar di sektor transportasi masih sangat marginal, sehingga persentase BBG di sektor
transportasi dapat dianggap ‘nol’. Mengganti 25 persen dan 50 persen BBM bersubsidi
dengan BBG (Skenario I dan Skenario II), berarti meningkatkan peranan BBG di sektor
transportasi. Skenario III sama dengan Skenario I, yakni mengganti 25 persen BBM
bersubdisi di sektor transportasi oleh gas, namun ditambah dengan substitusi 5 persen
solar di sektor industri, dan 15 persen solar di sektor energi/pembangkit listrik. Saat ini
62
(data tahun 2007) persentase BBG di dalam portofolio bahan bakar industri adalah 23,7
persen, dan substitusi BBM oleh gas sebanyak 5 persen menjadikan peranan BBG
meningkat menjadi 28,7 persen. Sedangkan substitusi 15 persen solar untuk listrik
menjadikan peranan BBG meningkat dari 15,6 persen menjadi 30,6 persen. Beberapa
skenario substitusi BBM lainnya dapat dikembangkan dari tiga skenario dasar ini.
Tabel 15 Skenario Substitusi BBM Bersubsidi oleh Gas untuk Transportasi dan BBM
Non-subsidi untuk Industri dan Listrik
Jenis BBM Bersubsidi/non-
subsidi
Proyeksi Volume
BBM tahun 2015
(Juta KL)
Skenario Substitusi BBM
I II III
Substitusi
BBM
bersubsidi
Premium 23,9 25% 50% 25%
Solar 12,0 25% 50% 25%
Substitusi
BBM non-
subsdidi
Solar industri 10,2 0% 0% 5%
Solar Listrik 16,5 0% 0% 15%
Harga gas ekspor saat ini berkisar antara US$ 12-14 per MMBTU, sedangkan
harga gas di dalam negeri sekitar US$ 7 per MMBTU. Dua skenario harga gas
digunakan untuk memanfaatkan gas didalam negeri, yakni harga gas yang sesuai dengan
harga ekspor (Skenario P1) dan harga gas 25 persen lebih rendah dari harga ekspor
(Skenario P2). Penjualan gas di dalam dengan harga ekspor merupakan kondisi yang
sangat ideal, dimana penerimaan negara dari gas tidak akan mengalami penurunan, dan
pelaksanaannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan skenario dimana harga gas
dijual didalam negeri dengan harga yang lebih rendah.
Ketiga Skenario substitusi BBM oleh gas (Skenario I, II, dan III) dan dua
Skenario harga gas di dalam negeri (Skenario P1 dan P2) menjadi acuan dalam
pembahasan dan simulasi substitusi BBM oleh gas, dan analisa selanjutnya akan
didasarkan pada skenario-skenario tersebut.
63
5.1.2 Penghematan Belanja Subsidi BBM
Substitusi BBM oleh gas bumi dapat mengurangi belanja subsidi BBM. Di
samping permintaan akan BBM di dalam negeri akan berkurang, penyediaan BBM per
juta kilo liter lebih mahal dibandingkan dengan penyediaan bahan bakar gas. Biaya
penyediaan BBM termasuk ongkos pengilangan dan pemurnian minyak mentah (baik
minyak mentah yang diproduksi dalam negeri maupun impor), ongkos transportasi,
serta biaya pembelian BBM impor, sedangkan biaya penyediaan gas adalah ongkos
likuifaksi, shipping fee, gasifikasi (untuk CNG/LNG) dan/atau ongkos transportasi pipa
(sistem pipa). Dalam tahun 2009, pembelian BBM impor dilakukan dengan harga
sekitar Rp. 5.300 per liter untuk premium dan sekitar Rp. 5.400 untuk solar, sedangkan
gas diekspor dengan harga yang lebih murah, yakni sekitar Rp. 2.800 per liter ekivalen.
Pada tahun 2009, realisasi penerimaan negara dari minyak dan gas bumi adalah
Rp. 175,9 trilyun. Belanja subsidi untuk memenuhi konsumsi 37,7 juta KL BBM
domestik mencapai Rp. 41,6 trilyun8
. Dengan jumlah belanja subsidi tersebut,
penerimaan netto dari minyak dan gas bumi adalah Rp. (175,9-41,6) = Rp. 134,3 trilyun.
Sustitusi BBM oleh gas tidak akan menurunkan penerimaan negara dari minyak dan gas
bumi secara netto, bahkan mengalami peningkatan karena belanja subsidi BBM
berkurang. Gambar 5 memperlihatkan bahwa jika Skenario I substitusi BBM (25 persen
BBM bersubsidi untuk sektor transportasi) oleh gas diterapkan pada tahun 2009, maka
belanja subsidi BBM akan menurun dari Rp. 41,6 trilyun menjadi Rp. 34,5 trilyun, atau
penghematan sekitar Rp. 7,1 trilyun (17 persen), dan penerimaan netto dari minyak dan
gas bumi menjadi Rp. 141,5 trilyun. Seperti terlihat dalam gambar, penghematan ini
akan semakin besar jika substitusi BBM oleh gas dinaikkan menjadi dua kali lipat
(Skenario II). Dengan substitusi 50 persen BBM, penghematan subsidi mencapai Rp.
14,2 triyun, atau 34 persen dari belanja subsidi tanpa substitusi BBM, dan penerimaan
netto dari minyak dan gas bumi menjadi Rp. 148,5 trilyun.
Substitusi BBM oleh gas tidak akan menurunkan penerimaan negara dari
minyak dan gas bumi, apabila harga gas di dalam negeri ditentukan sama dengan harga
gas ekspor. Apabila harga gas untuk domestik lebih rendah dari harga ekspor, maka
8
BBM bersubsidi jenis Premium dan Solar, yang dikonsumsi sebagai bahan bakar untuk sektor
transportasi, saat ini merupakan komponen utama dari BBM bersubsidi, yakni mencapai 33,2 juta KL
atau 88 persen dari total volume BBM bersubsidi. Tidak seperti Minyak Tanah yang terus dikurangi
melalui konversi ke LPG, Premium merupakan jenis BBM berubsidi yang terus mengalami kenaikan dari
tahun ke tahun, seiring dengan pertumbuhan kendaraan bermotor, yang secara nasional cukup tinggi.
64
penerimaan pemerintah dari penjualan gas akan menurun. Namun penurunan
penerimaan ini juga diikuti dengan penurunan belanja subsidi yang lebih besar,
sehingga secara netto, penerimaan negara mengalami perbaikan. Seperti terlihat dalam
Gambar 28, substitusi 50 persen BBM bersubsidi oleh gas (Skenario II) dengan harga
gas 25 persen lebih rendah dari harga ekspor (Skenario P2), akan menurunkan
penerimaan negara dari Rp. 175,9 trilyun menjadi Rp. 171,4 trilyun, namun
penghematan dari belanja subsidi sebesar Rp. 14,2 trilyun menjadikan netto penerimaan
negara, sebesar Rp. 144,1 trilyun, lebih baik dari netto penerimaan negara tanpa
substitusi, yakni Rp. 134,4 trilyun.
65
Gambar 28 Penerimaan Minyak dan Gas Bumi dan Subsidi BBM dengan Skenario 25% dan 50% Substitusi BBM Bersubsidi Sektor
Transportasi oleh Gas Bumi (2009)
10
0
11
0
120
13
0
14
0
15
0
16
0
17
0
18
0
Tidak ada substitusi
25% substitusi & harga gas = harga ekspor
50% substitusi & harga gas = harga ekspor
50% substitusi & harga gas = 75% harga ekspor
Tidak ada substitusi25% substitusi & harga
gas = harga ekspor
50% substitusi & harga
gas = harga ekspor
50% substitusi & harga
gas = 75% harga ekspor
Net Penerimaan MIGAS (Trilyun, 2009) 134.3 141.4 148.5 144.1
Subsidi BBM (Trilyun) 41.6 34.5 27.4 27.4
66
Tabel 16 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Premium dan Solar di Sektor Transportasi oleh Gas (2015)
BBM Volume (juta
KL)
Emisi CO2
(juta ton)
Pengurangan Emisi (juta ton CO2)
Substitusi BBM
(25%)
Substitusi
BBM (50%) Substitusi BBM (75%)
Premium Transportasi 23,86 57,59 2,74 5,48 8,23
Solar Transportasi 11,98 34,29 2,08 4,17 6,25
Total 35,8 91,88 4,82 9,65 14,48
Pengurangan 5,2% 10,5% 15,8%
Tabel 17 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Solar di Sektor Industri dan Listrik oleh Gas (2015)
BBM
Pengurangan Emisi (juta ton CO2)
Volume (juta KL) Emisi CO2
(juta ton)
Subtitusi 5% Solar
Sektor Industri
Subtitusi 15% Solar
Sektor Listrik
Subtitusi 5% Solar
Industri + 15%
Solar Listrik
Solar Industri 10,2 29,27 1,62 - 1,62
Solar Listrik 16,5 47,19 - 11,26 11,26
Total 26,7 76,46 1,62 11,26 12,88
Pengurangan
2,1% 14,7% 16,8%
67
5.1.3 Pengurangan Emisi CO2
Substitusi BBM oleh gas bumi dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2) karena
tingkat emisi BBG jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat emisi BBM. Berdasarkan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pembakaran per MMBTU ekivalen,
premium menghasilkan 73,09 kg CO2, sedangkan gas alam/CNG menghasilkan 59,27 kg CO2.
Tabel 16 memperlihatkan potensi penurunan emisi CO2 pada tahun 2015 untuk substitusi
Premium dan Solar dengan gas untuk sektor transportasi, dan Tabel 17 untuk substitusi solar
dengan gas di sektor industri dan listrik. Seperti terlihat dalam tabel, 25% substitusi BBM di
sektor transportasi (Skenario I) akan menurunkan emisi CO2 sebesar 4,82 juta ton per tahun,
dan 50% substitusi (Skenario II) akan menurunkan 9,65 juta per tahun. Substitusi BBM
Skenario III akan memberikan penurunan emisi CO2 yang jauh lebih besar, yakni
(4,82+12,88)=17,7 juta ton9.
Hasil simulasi, baik dengan Skenario I, II maupun III, secara umum menunjukkan
bahwa substitusi BBM ke gas memiliki dampak positif, baik terhadap keuangan negara
maupun lingkungan hidup. Dengan demikian, maka peningkatan penggunaan gas perlu
didorong melalui strategi pengembangan yang tepat.
5.2 Strategi Pengembangan Industri Gas Dalam Negeri
Sesuai dengan konstitusi UUD 1945, pemanfaatan sumber daya alam termasuk gas
harus dikuasai Negara dan digunakan sebesar – besar untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Dengan berbagai manfaatnya baik sebagai bahan baku industri kimia dan salah satu sumber
energi termasuk juga sebagai sumber pendapatan negara menjadikan posisi gas bumi sangat
strategis, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tataran global. Kebijakan gas yang tepat
seyogyanya meningkatkan nilai competitiveness dari negara produsen gas.
Pembangunan industri gas dalam negeri khususnya dalam mengoptimalisasikan
pemanfaatan gas dalam negeri dipengaruhi beberapa faktor yang di antaranya sangat
menentukan keberhasilan dan percepatan pembangunan industri gas dalam negeri yang
dilakukan. Dari faktor-faktor itu, berikut adalah faktor kunci dalam keberhasilan optimalisasi
9 Penurunan emisi ini akan menyumbang cukup signifikan kepada target penurunan emisi nasional. Menurut
Rencana Aksi Nasional penurunan gas Rumah Kaca (RAN-GRK), target penurunan emisi gas rumah kaca secara
nasional adalah 26% dari tingkat emisi Business as Usual (BAU) pada tahun 2020, dimana upaya mitigasi di
sektor energi menyumbang sekitar 6% dari target nasional, yakni sekitar 30 juta ton CO2.
68
pemanfaatan gas dalam negeri yaitu: (i) Pengembangan infrastruktur gas bumi, (ii) Kebijakan
Alokasi (iii) Kebijakan Harga
5.2.1 Strategi Pengembangan Infrastruktur Gas
Sesuai dengan karakteristik kepulauan, Indonesia memiliki tantangan dalam
pengembangan konektifitas nasionalnya. Masalah jaringan perhubungan, logistik, maupun
infrastruktur energi seperti halnya gas menjadi tantangan untuk Indonesia. Selain itu khusus
yang terakhir, posisi geografis dari sumber cadangan gas dan pusat kebutuhan gas yang
terpisah membutuhkan perencanaan infrastruktur yang komprehensif dari hulu ke hilir agar
dapat mengoptimalkan pemanfaatan gas dalam negeri. Dalam kaitan tersebut, sudah
seharusnya kebijakan yang ada saat ini lebih diarahkan pada intensifikasi pengembangan
infrastruktur gas.
Sejak beberapa tahun lalu, gas lebih berfungsi sebagai komoditi dengan tujuan ekspor.
Dengan kebijakan itu, Indonesia menjadi salah satu negara pelopor pengembangan
infrastruktur LNG sebagai moda transportasi ekspor. Seiring dengan pulihnya pembangunan
setelah era reformasi, kebutuhan akan gas sebagai sumber energi meningkat. Terlebih lagi
dengan menipisnya cadangan minyak yang selama ini menjadi energi utama Indonesia
disertai peningkatan harga yang signifikan di tahun akhir tahun 2000-an.
Dengan perubahan paradigma ini, Indonesia sudah mulai mencanangkan pengutamaan
gas untuk keperluan dalam negeri. Walaupun demikian, sampai saat ini pasokan gas Indonesia
yang cukup besar belum cukup memenuhi kebutuhan akan gas itu sendiri. Hal ini disebabkan
pasokan gas yang ada sudah diikat melalui perjanjian ekspor yang dilakukan sebelumnya
dengan pertimbangan ketidaksiapan infrastruktur dalam negeri. Pertimbangan ini selain faktor
harga menjadi alasan produsen lebih cenderung menjual gas ke luar negeri. Akibatnya
kontrak gas ke dalam negeri umunya lebih pendek yang berkisar 2–10 tahun. Padahal dari
segi ekonomi, pay back period investasi dari industri tersebut umumnya berjangka panjang
20–30 tahun.
Dengan sifat fisiknya, gas memerlukan infrastruktur khusus untuk menyalurkan dari
produsen ke konsumen. Terlebih bagi Indonesia yang memiliki karakteristik geografis
kepulauan yang terpisah-pisah. Moda transportasi gas dapat berupa pipa atau LNG beserta
FSRU dan fasilitas regasifikasinya. Selain moda transportasi, fasilitas pengolahan berupa
69
kilang atau SPBG untuk keperluan transportasi menjadi hal yang tersendiri. Khusus untuk
infrastruktur transportasi, jaringan pipa masih menjadi benchmark sebagai syarat penting
pengembangan gas termasuk di Indonesia. Secara umum infrastruktur gas dibagi menjadi tiga
jenis yaitu infrastruktur transmisi yang berfungsi menyalurkan gas antar wilayah, infrastruktur
distribusi yang berfungsi menyalurkan gas ke konsumen akhir dalam wilayah tertentu,
infrastruktur pendukung seperti FSRU, SPBG, Mother station dan lainnya.
Dari data BPH Migas, kapasitas infrastruktur transmisi sebenarnya masih jauh di atas
realisasi gas yang diangkut (Gambar 29) sehingga seharusnya bukan suatu kendala
pemanfaatan gas dalam negeri.
Gambar 29 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Transmisi dan Realisasi Gas yang
Diangkut (Sumber : BPH Migas, 2012)
Hal ini menunjukkan belum optimalnya perencanaan infrastruktur yang ada sehingga
kurang terintegrasi dan belum efektifnya kebijakan open access. Oleh karenanya perlu adanya
review terhadap perencanaan infrastruktur gas yang termuat di Rencana Induk Jaringan
Transmisi dan Distribusi Gas Bumi (RIJTDGB) baik dari mekaniseme maupun substansinya.
RIJTDGB ini merupakan rencana pembangunan jaringan transmisi dan distribusi Gas Bumi
yang pada kenyataannya tidak selalu dapat diimplementasikan secara otomatis karena terlalu
banyak faktor ketidakpastiannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penyempurnaan RIJTDGB adalah :
RIJTDGB tidak mencantumkan volume yang akan dialirkan, panjang maupun diameter
pipa, dan besaran tekanannya.
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Kapasitas (mmscfd) 895 895 2215 2215 2215 2215 2215 11336 11336 11496
Realisasi gas (mmscfd) 756 2631 3671 3732
Panjang (m) 1006 1006 1634 1634 1634 1634 1634 3634 3634 3647
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
km
mm
scfd
70
RIJTDGB hanya menggambarkan pipa transmisi, sedangkan pipa distribusi hanya
digambar kotak (area). Padahal di dalam jaringan pipa distribusi terdapat pipa gas
bertekanan tinggi dan berkapasitas besar seperti feeder line dan pipa induk distribusi yang
memiliki panjang dan diameter bisa melebihi pipa transmisi. Oleh karena itu, pipa-pipa
distribusi bertekanan tinggi dan berkapasitas besar tersebut perlu dimasukkan dalam
RIJTDGB.
RIJTDGB tidak mencantumkan berapa jalur pipa yang akan dibangun dan tidak
mencantumkan apakah pipa tersebut bisa lewat laut atau darat atau sebagian lewat laut
dan sebagian lewat darat (contoh East Natuna ke Jawa).
RIJTDGB tidak mencantumkan dari satu sumber bisa dialirkan ke berbagai tujuan, serta
tidak mencantumkan pula dari satu sumber pasokan dapat diangkut menggunakan
berbagai moda transportasi seperti pipa dan kapal LNG/CNG.
Beberapa hal yang perlu ditambahkan dalam RIJTDGBN. Mekanisme penyusunannya
perlu diperkaya dengan menyebutkan lokasi sumber Gas Bumi yang ada (bisa dilihat dari
Neraca Gas Bumi Nasional), mencantumkan kemungkinan lokasi Gas Bumi yang bisa
dialirkan (demand), menyebutkan kemungkinan moda transportasi lainnya selain
menggunakan pipa misalnya LNG dan CNG. Selanjutnya agar RITJDGBN dapat
dilaksanakan secara efektif dan efisien, sebaiknya didasarkan pada kepentingan nasional,
kepentingan daerah, keekonomian dan life time dari jaringan pipa transmisi dan distribusi
tersebut.
Selain kualitas perencanaan pada RIJTDGB, penyebab lain belum optimalnya
pemanfaatan gas dalam negeri adalah belum optimalnya dukungan jaringan distribusi. Data
BPH Migas menunjukkan bahwa kapasitas distribusi tidak meningkat secara signifikan di
kisaran 2000 – 3000 MMSCFD (Gambar 30). Terhambatnya pengembangan jaringan
distribusi diantaranya karena penerapan kebijakan unbundling perlu dibarengi pengaturan
lebih lanjut dalam pengusahaan gas agar tidak menghambat pengembangan jaringan distribusi
gas. Berdasarkan data BPH Migas tahun 2012, pertumbuhan jaringan distribusi dari tahun
2008–2011 rata-rata 1,15 persen sementara pertumbuhan gas yang diniagakan mencapai 15,32
persen.
71
Gambar 30 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Distribusi Gas (Sumber: BPH Migas,
2012)
Kondisi ini menunjukkan semakin banyaknya gas yang diniagakan tanpa diimbangi
fasilitas distribusi yang artinya semakin banyak badan usaha niaga tanpa fasilitas. Dengan
kebijakan unbundling, badan usaha lebih memilih usaha niaga dibanding usaha pengangkutan.
Kondisi ini juga didukung oleh mekanisme pemilihan pembeli gas (beauty contest) yang
kurang selektif seperti yang termuat dalam PTK BP Migas No. 29 tahun 2009. Penentuan
pemenang lelang hanya mengacu pada peningkatan penerimaan negara (dari peningkatan
harga gas) dan kurang mengedepankan komitmen pembeli dalam mengembangkan jaringan
distribusi gas. Akibat lebih lanjut adalah high cost economy dengan perpanjangan rantai
dalam bisnis gas bumi. Gambar 31 di bawah ini memberikan gambaran realitas pelaksanaan
kebijakan unbundling di beberapa wilayah distribusi gas Indonesia.
Gambar 31 Gambaran Realitas Implementasi Kebijakan Unbundling
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Kapasitas (mmscfd) 2384 2384 2384 2605 2625 2933 2934 2938 2977 3037
Panjang (m) 3128 3128 3128 3920 3937 3955 3955 3972 4016 4058
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
km
mm
svfd
72
Regulasi Unbundling di Indonesia diatur dalam Permen MESDM Nomor 19 Tahun
2009 Tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa10
. Secara konsep, tujuan dari kebijakan
ini sangat baik untuk menjaga fairness dalam usaha gas. Namun dengan kebijakan ini, para
pelaku usaha lebih condong menanamkan uangnya pada usaha niaga yang memiliki resiko
lebih rendah dari usaha pengangkutan. Selain itu, jumlah investasi yang diperlukan dalam
pembangunan infrastruktur gas bernilai besar. Dengan kondisi infrastruktur gas Indonesia
yang belum matang, kebijakan unbundling kurang berdampak baik pada pengembangan
infrastruktur gas. Selain itu dalam implementasinya regulasi ini tidak mengenal pentahapan
ubundling yang seharusnya dilakukan dan langsung menuju legal unbundling.
Untuk penerapan kebijakan open access, saat ini BPH Migas baru dapat menerapkan
open access pada jaringan pipa transmisi saja, karena dari sisi teknik operasional mudah
dilakukan. BPH Migas belum dapat menerapkan open access pada Jaringan Pipa Distribusi,
karena jaringan tersebut oleh Pemerintah ditetapkan sebagai Jaringan Pipa Katagori
Dedicated Hilir. Untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatan infrastruktur gas bumi di
dalam negeri beberapa yang perlu diusulkan: i) Semua jaringan pipa distribusi maupun
jaringan transmisi hendaknya berkatagori open access yang dilakukan secara bertahap dimulai
dari accounting unbundling sampai legal unbundling; ii) Open Access pada jaringan distribusi
hendaknya juga dilakukan secara bertahap di mulai dari jaringan tekanan tinggi dulu sebab
lebih mudah dilihat dari aspek teknik operasionalnya.
Kompleksnya permasalahan perencanaan infrastruktur gas memerlukan peran aktif
pemerintah. Namun permasalahan klasik dalam infrastruktur adalah pendanaan. Sejak krisis
ekonomi dan keuangan tahun 1998, belanja infrastruktur Indonesia terus menurun, dari
puncaknya pada tahun 1995 sebesar 9,2 persen dari GDP menjadi kira-kira 3,2 persen pada
tahun 2005, dan kemudian sedikit meningkat menjadi 3,9 persen pada tahun 2009.
Menurunnya belanja infrastruktur sudah barang tentu menyebabkan penyediaan infrastruktur
menjadi tidak sebanding dengan perkembangan kebutuhan akibat pertambahan penduduk.
10 Ayat 1 dari Pasal 19: Badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus pada ruas transmisi dan/atau
wilayah jaringan distribusi dilarang melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang
dimiliki dan / atau dikuasainya. Ayat 2 dar Pasal 19: Dalam hal badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan
hak khusus pada ruas transmisi dan/atau wilayah jaringan distribusi melakukan ke giatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas
pengangkutan gas bumi yang dimilikinya dan/ atau dikuasainya, wajib membentuk badan usaha terpisah dan mempunyai izin usaha niaga
gas bumi melalui pipa. Huruf (c) dari Pasal 31: Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Badan Usaha yang telah melaksanakan
Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa pada Ruas Transmisi dan/atau
Wilayah Jaringan Distribusi, wajib membentuk Badan Usaha terpisah dan menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini.
73
Oleh sebab itu, pemerintah perlu membuat terobosan baru dalam mengintensifkan Skema
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) pada pembangunan infrastruktur gas.
Upaya peningkatan kelembagaan dan peraturan-perundangan dalam bidang
infrastruktur juga sudah meningkat. Terbitnya UU Migas dan peraturan pelaksananya
bertujuan untuk mengurangi monopoli Pemerintah dan memungkinkan keterlibatan sektor
swasta termasuk dalam pengadaan infrastruktur gas. Salah satu kendala penting dalam kaitan
dengan mempercepat pembangunan bidang infrastruktur ini adalah proses pembebasan lahan.
Dengan terbitnya UU pengadaan lahan, setengah dari permasalahan ini selesai. Saat ini,
Perpres pelaksana UU pengadaan lahan sedang difinalisasikan.
Dalam rangka pengembangan kerangka kelembagaan, Pemerintah telah berupaya
melakukan berbagai langkah terobosan guna mendukung pelaksanaan KPS. Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur telah diubah untuk kedua kalinya melalui Peraturan Presiden Nomor
56 Tahun 2011. Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) sebagai
salah satu komite tingkat kementerian telah direvitalisasi melalui Peraturan Presiden Nomor
12 Tahun 2011. Sementara itu, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) melalui anak
perusahaannya PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) serta PT Penjaminan Infrastruktur
Indonesia (PII) juga telah beroperasi secara penuh masing-masing sebagai instrumen
pembiayaan dan penjaminan pembangunan infrastruktur melalui skema KPS. Landasan
hukum operasional PT PII telah ditetapkan melalui Perpres 78/2010 serta Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) 260/2010.
Hambatan dalam bidang pembiayaan swasta meskipun masih ada namun sebenarnya
dapat disiasati. Sebagaimana diketahui, jangka-waktu pengembalian modal (payback period)
dari proyek-proyek KPS biasanya panjang, yang tidak sesuai dengan masa jatuh-tempo
sumber dana perbankan. Selain itu, prinsip kehati-hatian yang diterapkan dalam perbankan di
Indonesia juga tidak memungkinkan penerapan pola pembiayaan project financing karena
tidak adanya jaminan (collateral) atas pinjaman. Namun dengan semakin stabil dan kuatnya
perekonomian Indonesia dan semakin tingginya kepercayaan asing terhadap ekonomi kita,
maka kemungkinan bagi masuknya investor asing dalam bidang infrastruktur dan
diperolehnya pinjaman dana asing oleh investor dalam negeri menjadi terbuka lebar
74
Selain permasalahan di atas, masalah klasik lainnya peraturan yang bersifat tumpang
tindih, belum dilengkapi dengan jaminan penggantian biaya, dan proyek infrastruktur yang
ditawarkan kepada sektor swasta tidak dipersiapkan dengan matang sehingga beberapa proyek
belum clear n clean. Belum lagi masalah keterbatasan sumber daya manusia untuk KPS ini
dan koordinasi yang lemah antar instansi
Dengan rumitnya proses KPS ini, pembangunan infrastruktur gas juga sebaiknya
dilakukan oleh pemerintah melalui pendanaan APBN seluruhnya terutama pada infrastruktur-
infrastruktur kunci seperti FSRU dan beberapa ruas jaringan pipa tertentu yang strategis
sementara pembangunan pipa lainnya bisa dikerjakan melalui skema KPS atau swasta murni.
Sumber pendanaan untuk pembangunan tersebut dapat berasal dari iuran pemakaian gas
(setelah dikurangi biaya operasi BPH Migas) atau melalui penerapan depletion premium dari
dana bagi hasil migas atau dengan mengajak partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah
setempat.
5.2.2 Strategi Alokasi Gas Dalam Negeri
Walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini alokasi gas untuk dalam negeri lebih
diutamakan yang ditandai dengan kontrak, namun dalam realisasinya seringkali tidak
maksimal. Sebagai contoh, berikut ini perbandingan alokasi gas tahun 2011 berdasarkan
kontrak.
Gambar 32 Perbandingan Rencana dan Realisasi Alokasi Gas Tahun 2011 (Ditjen Migas, 2012)
Dari dua grafik di atas, diketahui bahwa alokasi untuk ekspor dan peningkatan
produksi minyak cenderung aman. Sementara untuk industri pupuk dan listrik cenderung
menurun. Beberapa industri pupuk dan listrik mengatasi kekurangan pasokan ini melalui
75
badan usaha niaga seperti PGN, Pertagas dan lainnya sehingga alokasi sektor industri lainnya
ikut meningkat.
Pergeseran alokasi gas untuk ekspor lebih sulit dengan adanya adanya konsekuensi
ekonomi dan bisnis (sanksi penalti) yang akan dihadapi pemerintah dengan pengurangan
alokasi ekspor. Akibatnya apabila terjadi krisis gas, yang pertama kali diamankan adalah
alokasi gas untuk ekspor. Contoh nyata dalam hal ini adalah kasus rebutan alokasi antara
ekspor ke Singapura, lifting minyak Chevron dan untuk PLN Muara karang yang akhir-akhir
ini menjadi bahan audit BPK. Dalam kasus ini ekspor menjadi prioritas pertama, selanjutnya
lifting minyak dan kemudian untuk listrik (PLN) itu sendiri. Dengan pertimbangan tersebut,
memang tidak ada yang dapat dilakukan pemerintah selain dari renegosiasi baik dari segi
harga atau jumlah alokasi.
Terkait urutan prioritas pemanfaatan gas dalam negeri, pemerintah menempatkan
kegiatan lifting minyak sebagai prioritas pertama sebelum pupuk, listrik dan industri lainnya.
Pada kegiatan lifting minyak, gas berfungsi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap
yang akan diinjeksikan sebagai proses Enhance Oil Recovery (EOR). Dengan adanya EOR,
produksi minyak bumi dapat dipertahankan yang menjadi salah satu potensi pendapatan
negara. Efek selanjutnya adalah keterjaminan pasokan BBM bersubsidi. Secara umum,
pengaruh dari alokasi gas untuk lifting adalah ketahanan energi namun kurang memberi nilai
tambah.
Sementara dalam industri pupuk yang menjadi prioritas selanjutnya, gas bumi lebih
berperan sebagai bahan baku dimana gas berperan sekitar 50–60 persen dari struktur biaya
produksi pupuk. Penguatan industri pupuk ini diharapkan dapat meningkatkan industri
pertanian nasional. Namun yang kadangkala terjadi adalah ekspor pupuk yang diantaranya
dilakukan secara ilegal. Sementara dalam kelistrikan, gas digunakan sebagai sumber energi
untuk pembangkitan listrik. Secara umum, gas memiliki kelebihan dibanding sumber energi
lainnya diantaranya relatif lebih bersih, memiliki faktor kapasitas yang tinggi dan relatif lebih
murah.
Sebagai pengguna prioritas terakhir adalah industri lainnya. Secara karakteristik,
industri memiliki nilai tambah yang tinggi. Pada industi ini umumnya gas digunakan sebagai
bahan bakar. Sebagian di antaranya kontak langsung dengan produk yang umumnya tidak
dapat digantikan dengan bahan lain seperti dalam industri logam, keramik, kaca, gelas dan
76
semen. Pada industri petrokimia, gas lebih berperan sebagai bahan baku. Keunggulan gas
dalam proses produksi di sektor industri adalah lebih efisien dibanding sumber energi lainnya
yang akan menjadikan harga kompetitif untuk keunggulan industri domestik yang selanjutnya
akan berdampak pada penguatan perekonomian nasional.
Dengan demikian, kebijakan alokasi gas saat ini lebih cenderung ditujukan pada
kegiatan strategis seperti peningkatan produksi minyak bumi namun cenderung kurang
produktif dan kurang bernilai tambah. Sementara kegiatan produktif menjadi prioritas di
bawahnya. Selain dari strategi alokasi gas, kebijakan pengembangan sektor hulu gas perlu
dikaji agar lebih mendukung iklim investasi sehingga kegiatan eksplorasi lebih berkembang
dan tentunya akan banyak penemuan play gas yang baru. Dengan begitu cadangan gas lebih
meningkat dan kesinambungan pasokan akan lebih terjamin dalam beberapa tahun mendatang.
Dari hasil kegiatan pemboran sumur eksplorasi yang dilakukan selama periode yang
sama 2001 sampai dengan 2011 antara rencana kegiatan pemboran, realisasi kegiatan
pemboran dengan adanya sumur yang menghasilkan (discovery) dapat menunjukkan besarnya
sukses rasio. Dari tahun ke tahun, angka sukses rasio ini mengecil. Jika pada tahun 2001
sampai 2004, sukses rasio masih sebesar di atas 51,5 persen, namun sejak tahun 2005 sampai
2010 rata sukses rasio ini rata-rata hanya berada di kisaran 41 persen. Penurunan sukses rasio
ini kemungkinan karena eksplorasi dilakukan sebagian besar di wilayah timur dan umumnya
di daerah laut dalam. Sementara wilayah barat umumnya telah dieksplorasi secara mendalam.
Perkembangan teknologi eksplorasi di tahun-tahun itu tidak membantu banyak seiring
perbedaan kondisi geologi bawah permukaan wilayah timur dan wilayah barat. Dengan
pengenalan kondisi geologi melalui intensifikasi kegiatan eksplorasi, success ratio ini
diperkirakan dapat meningkat kembali.
Kebijakan insentif yang dapat diterapkan adalah Split untuk produsen gas bertambah
dan Split pemerintah berkurang yang tentunya dibarengi dengan klausul yang menguntungkan
terhadap pemerintah seperti harga jual gas untuk domestik yang dapat ditekan sesuai dengan
kemampuan keekonomian pasar dalam negeri. Dampak berantai dari kebijakan ini adalah
menggiatnya kembali kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lapangan gas; tumbuhnya
infrastruktur gas bumi (jaringan transmisi dan distribusi gas bumi baik melalui pipa maupun
LNG) dan sarana aplikasi gas bumi secara komersial tanpa bantuan APBN, serta tumbuhnya
perekonomian nasional yang berbasis energi murah.
77
Selain itu, kebijakan penyertaan pemerintah daerah dalam bentuk Participating
Interest (PI) sebesar 10 persen pada kegiatan hulu migas harus dilakukan secara selektif
karena pada praktik di lapangan, kebijakan ini malah membuat program pengembangan
lapangan migas terhambat. Risiko kegiatan usaha hulu yang besar membuat pemerintah
daerah membutuhkan waktu lama untuk mencari mitra usaha (partner) yang mampu
menyerap risiko finansial yang timbul pada kegiatan eksploitasi tahap lanjut. Makin besar
lapangan produksi yang akan dikerjakan, makin lama pula waktu yang dibutuhkan oleh
pemerintah daerah untuk mendapatkan mitra yang sesuai. Hal yang mungkin perlu dikaji
adalah justru kebijakan participating interest di sisi hilir migas. Selain risiko usaha di hilir
yang tidak sebesar di hulu, kebijakan ini juga diharapkan dapat memicu peningkatan
infrastruktur migas yang menjadi syarat investasi di hilir, sementara pemerintah pusat lebih
berperan aktif dalam penentuan atau jaminan alokasi gas. Contoh sederhana adalah
pembangunan jaringan gas kota yang melibatkan partisipasi pemerintah daerah melalui
penyertaan BUMD sebagai operator.
5.2.3 Strategi Penetapan Harga Gas dalam Negeri
Jumlah cadangan gas Indonesia yang besar ini jika dibanding cadangan dunia
sebenarnya tidak signifikan yaitu 1,7 persen (nomor sebelas dunia) namun dalam tingkat
regional Asia Pasifik jumlah ini merupakan yang terbesar di atas Australia yang hanya 1,6
persen. Kondisi cadangan gas yang merata di Asia Pasifik menjadikan tingkat kompetisi di
pasar regional menjadi ketat. Saat ini dengan perkembangan cadangan gasnya, Australia dan
Malaysia menjadi kompetitor utama. Ditambah dengan perkembangan shale gas di Amerika
Serikat yang akan mengakibatkan oversuplai di tingkat domestik Amerika. Akibatnya
produsen gas AS akan melirik pasar Asia Pasifik dan juga Eropa sehingga persaingan gas
secara global akan lebih ketat di masa mendatang dan harga gas regional Asia cenderung
menurun.
Harga gas di hulu ditentukan melalui kontrak jual beli gas antara KKKS dengan
pembeli gas, dan sebelum berlaku harga gas ini terebih dahulu mendapat persetujuan dari
KESDM dengan pengawasan BP Migas. Harga gas di hulu rata-rata yang berlaku adalah
US$ 3,8 per MMBTU. Harga masing-masing kontrak bervariasi, mulai dari US$ 1,8 per
MMBTU untuk PJBG antara ChonocoPhillips dengan PT PGN, US$ 2,2 per MMBTU untuk
78
kontrak EP Pertamina dengan PT PGN, dan sebagainya. Tabel 18 memperlihatkan harga-
harga gas di hulu untuk beberapa kontrak PJBG yang sudah berlaku saat ini.
Tabel 18 Harga Gas KKKS dan Perubahan Kenaikan Harga Gas (Mei 2012)
No Kontraktor KKS Pembeli Gas Harga
(US$/MMBTU)
Harga hasil
Renegosiasi - Mei
20120
(US$/MMBTU)
1 ChonocoPhillips PGN 1,85 5,60
2 EP Pertamina (Region
Sumatra)
PGN 2,20 5,50
Harga gas di hulu yang berlaku saat ini dianggap terlalu rendah, dibandingkan dengan
harga gas untuk ekspor. Harga gas untuk kontrak dengan Malaysia dari blok Natuna B adalah
US$ 5,5 per MMBTU. Bahkan saat ini harga gas yang berlaku internasional (jika kontrak
dilakukan sekarang) mencapai US$ 12-16 per MMBTU. BP Migas kemudian meninjau
kembali harga gas hulu ini dan pada bulan Mei 2012 memfasilitasi renegosiasi harga gas
untuk beberapa PJBG yang sudah berlaku (amandemen) dan juga untuk konrak PJBG yang
baru12
. Untuk penjualan gas dari KKKS ChonocoPhillips, misalnya harga gas kemudian
ditetapkan meningkat dari US$ 1,85 menjadi US$ 5,6 per MMBTU, dan juga ditetapkan
bahwa harga gas akan menjadi US$ 6,5 per MMBTU pada tahun 2014. Renegosiasi dilakukan
untuk mendongkrak harga gas hulu menjadi rata-rata US$ 5-6 per MMBTU. Argumen BP
Migas merenegosiasi kenaikan harga adalah untuk memberikan kepastian pasokan dan
ketersediaan gas di dalam negeri.
PGN adalah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pengangkutan gas melalui
pipa serta tata niaga gas – gas transporter dan trader. PGN membeli gas dari KKKS dan
menyalurkannya melalui jaringan pipa gas transmisi miliknya. Disamping itu, PGN juga
memberikan layanan pengangkutan gas pipa, dengan menerapkan toll-fee (US$0,41 per
MMBTU) dan service fee (US$ 2 per MMBTU) bagi perusahaan-perusahaan yang akan
memanfaatkan jaringan transmisi gas pipa milik PGN.
Sebagai trader, PGN membeli gas dari sejumlah KKKS, kemudian menjualnya kepada
konsumen akhir, seperti PLN dan industri. Tabel 19 memperlihatkan pembelian gas dari
12
Kepala BP Migas akan merenegosiasi harga gas hulu yang baru untuk 14 kontrak (Mei 2012)
79
beberapa KKKS dan harga yang disepakati. Chonoco Phillips merupakan Kontraktor KKKS
dengan penjualan gas terbanyak (64 persen) dibandingkan dengan kontraktor KKS lainnya.
Tabel 19 Kontraktor KKS yang Melakukan Penjualan Gas dengan PGN
No Kontraktor KKS Harga
(US$/MMBTU)
Proporsi dari total
pembelian gas
(persen)
1 ChonocoPhillips 1,85 64
2 Pertamina Pagar Dewa 2,2 21
3 Pertamina Jawa Barat 2,5 5
4 Medco Lematang 2,65 5
5 Medco Keramasan 2,65 4
6 Ellips NA 1
PGN menjual gas ke konsumen akhir dengan harga yang bervariasi, dengan
memasukkan komponan harga gas yang di beli dari KKKS, toll-fee, dan service-fee. Dengan
harga rata-rata gas hulu US$ 3,8 per MMBTU, maka harga gas rata-rata ke konsumen adalah
US$ 6,2 per MMBTU. Dengan adanya kenaikan harga gas hulu (hasil renegosiasi BP Migas),
dimana harga gas hulu naik menjadi rata-rata US$ 5-6 per MMBTU, PGN kemudian
memberlakukan harga gas hiir baru, yakni dengan menaikkan rata-rata 55 persen dari harga
gas yang berlaku saat ini, menjadi US$ 10,2 per MMBTU.
Peran PGN dalam tata niaga gas sangat besar. Dari sebelas perusahaan yang bergerak
di niaga gas, selama kuartal pertama 2012, PGN melakukan transaksi jual/beli migas sebesar
665,34 MMSCFD, yakni 88,5 persen dari total transaksi jual beli gas di dalam negeri. Dari
sejumlah itu, kurang lebih 150 MMBTU atau 22,5 persen dijual oleh PGN ke PLN (Tabel 20).
80
Tabel 20 Aktifitas Tata Niaga Gas Domestik 2012 (BPH Migas, 2012)
Dengan perannya yang sangat dominan di dalam tata niaga gas dalam negeri, kenaikan
harga yang diberlakukan oleh PGN sangat ‘memukul’ konsumen. Ongkos produksi naik
mengikuti kenaikan harga gas. Pemerintah yang diinisiasi KESDM dan Kementerian
Perindustrian, kemudian memutuskan untuk mereskedul kenaikan harga gas, baik itu harga
gas hilir maupun hulu. Untuk harga gas hilir, kenaikan dilakukan secara bertahap, kenaikan
35 persen pada tanggal 1 September 2012, dan kenaikan 15 persen pada bulan April 2012.
Dengan demikian kenaikan 50 persen (bukan 55 persen seperti yang ditetapkan oleh PGN),
dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu 8 bulan. Menurut jadwal kenaikan harga gas ini,
pada taanggal 1 September 2012, harga gas PGN akan naik dari US$ 6,2 per MMBTU
menjadi US$ 8,2 per MMBTU, dan pada tanggal 1 April 2013 mencapai US$ 9,0 per
MMBTU. Di samping itu, kenaikan harga gas hulu juga akan ditinjau kembali. Gambar 33
memperlihatkan jadwal penyesuaian harga gas hulu dan hilir.
Gambar 33 Jadwal Penyesuaian Harga Gas Hulu (Y) dan Hilir (X)
1September2012 1April2013
X=6USD/MMBTU(Hilir)
Y=3.8USD/MMBTU(Hulu)
15%
35%
81
Untuk penetapan harga di hulu, mekanisme seleksi pembeli (konsumen) gas itu sendiri
yang diatur melalui Peraturan Tata Kelola (PTK) BP Migas No. 29 tahun 2009. Untuk
kepentingan umum – termasuk untuk kebutuhan energi di daerah penghasil, kelistrikan (PLN),
kebutuhan lifting, pupuk, petrokimia, BBG dan Citygas - dilakukan melalui penunjukan
langsung sementara untuk kepentingan bisnis – kelistrikan untuk kawasan industri, LPG,
industri, eksport, dan lain-lain dilakukan melalui Beauty Contest (lelang terbatas) (Gambar
34).
Gambar 34 Metode Seleksi Pembeli (Konsumen) Gas untuk Pengguna Tertentu (BP Migas,
2011)
Dari mekanisme penentuan harga jual gas hulu, walaupun dalam persetujuan akhir
berada di tangan pemerintah cq KESDM, namun peran pasif pemerintah dalam proses ini
sedikit banyak mempengaruhi keputusan pemenang yang kurang tepat. Apabila pengawasan
BP Migas kurang optimal, proses lelang dan penentuan harga mungkin saja akan lebih
mencerminkan kepentingan produsen sebagai penjual yang ditunjuk BP Migas. Selain itu
proses ini kadang kala menumbuhkan peluang badan usaha niaga terbatas (trader gas bumi
tanpa fasilitas distribusi) yang dapat mendongkrak harga gas bumi di titik konsumen akhir
(end user). Dampaknya, produsen gas bumi tidak dapat menyalurkan gasnya secara langsung
pada konsumen akhir pada tingkat harga yang lebih kompetitif.
82
Khusus untuk sektor hilir, penetapan harga gas lebih diberikan kepada badan usaha
niaga dan kurang memperhatikan kepentingan konsumen akhir. Oleh karenanya perlu ada
pengaturan lebih lanjut mengenai harga gas di tingkat konsumen. Selain untuk melindungi
kepentingan konsumen akhir, hal ini juga bertujuan juga untuk mencegah adanya praktik
‘calo atau makelar’ gas tanpa infrastruktur yang dapat membebani keekonomian gas di tingkat
konsumen. Mekanisme pengaturan tersebut dapat melalui pengaturan IRR atau cap price di
konsumen.
Selain harmonisasi mekanisme penetapan harga gas di hulu dan di tingkat konsumen
akhir dari trader, kebijakan yang perlu diusulkan adalah kebijakan subsidi gas untuk
melindungi kerugian dari produsen. Dengan kebijakan ini harga gas yang diterima Kontraktor
Kotak I Ilustrasi Sederhana Penerapan Kebijakan Subsidi Gas
Asumsi
Harga BBM bersubsidi = Rp.4500/ltr = $80/bbl = $12/MMBTU
Harga LNG = $18/MMBTU
Biaya cryogenic $3/MMBTU,
Harga gas yang diterima kontraktor sebelum LNG plant = 18 – 3 = $15/MMBTU
Asumsi biaya produksi gas (cost recovery) $3/MMBTU
Bagian Kontraktor = 30% ($15-$3) + $3 = $6,6/MMBTU
Dan bagian Pemerintah $15 - $6,6 = $8,4/MMBTU
Dibandingkan dengan
Harga BBM bersubsidi = $12/MMBTU
Harga gas yang diterima dari ekspor LNG = $15/MMBTU
Bagian Kontraktor $6,6 (44%) dan Pemerintah $8,4 (56%)
Agar gas dapat mensubstitusi BBM bersubsidi, harga gas diturunkan, menjadi $8/MMBTU
Dan agar Kontraktor tidak dirugikan, ia tetap mendapat $6,6/MMBTU, sedangkan
Pemerintah mendapat $1,4/MMBTU
Simple Cost Benefit Analysis.
Dengan menjual gas di dalam negeri seharga $8/MMBTU, pemerintah menanggung
opportunity loss $7/MMBTU
Harga impor BBM, asumsi $130/bbl, dijual dengan harga subsidi $80/bbl.
Pemerintah menanggung subsidi $50/bbl atau $8/MMBTU
Financial cost benefit analysis menunjukkan Pemerintah untung $1 untuk setiap MMBTU
substitusi gas terhadap BBM bersubsidi.
Pemerintah menanggung opportunity loss $8,4 - $1,4 = $7/MMBTU
Financial cost benefit analysis menunjukkan Pemerintah memperoleh keuntungan $1 untuk
setiap MMBTU substitusi gas terhadap BBM bersubsidi.
83
tetap menarik, tetapi gas dijual kepada konsumen domestik tertentu dengan harga cukup
menarik untuk mendorong konsumen meninggalkan BBM yang disubsidi. Selain keuntungan
ekonomi, subsidi gas lebih cenderung lebih sulit disalahgunakan dibanding subsidi BBM.
Walaupun demikian, pengambilan kebijakan ini harus dilakukan secara berhati-hati
agar tidak menambah beban keuangan negara sehingga pada prakteknya penerapan kebijakan
subsidi gas ini harus dilakukan simultan dengan pengurangan subsidi BBM dalam skala
energi yang sama. Untuk mengimplementasikan hal ini perlu banyak upaya dalam
pengembangan infrastruktur gas terutama pada sektor transportasi.
84
BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan
Peranan gas bumi Indonesia di masa mendatang akan menjadi kunci dalam
memperkuat perekonomian nasional baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku
industri. Hal ini tidak lepas dari tren pergeseran peningkatan cadangan dan produksi migas
dari dominasi minyak ke dominasi gas yang dipengaruhi kondisi geologi dan cekungan
sedimen Indonesia. Di periode 2002 - 2012, produksi gas Indonesia meningkat rata-rata 1,3
persen sementara produksi minyak justru menurun rata-rata sebesar 3 persen. Peningkatan
harga minyak dunia di periode tersebut tidak secara signifikan meningkatkan cadangan dan
produksi minyak Indonesia. Sementara itu, kemunculan beberapa negara-negara produsen gas
yang baru di kawasan Asia yang menyebabkan harga gas regional menurun tidak
menyurutkan tren perkembangan penemuan lapangan gas baru di Indonesia.
Dalam kondisi demikian, sebenarnya Indonesia telah menyiapkan berbagai perangkat
kebijakan dan program peningkatan pemanfaatan gas bumi untuk dalam negeri. Salah satunya
adalah Kebijakan Energi Nasional yang tercantum dalam Perpres No. 5 tahun 2006 yang salah
satunya menargetkan porsi gas dalam bauran energi akan meningkat menjadi 30 persen
(nomor dua setelah batubara 33 persen) di tahun 2025 dengan tingkat konsumsi gas dalam
negeri meningkat dari 212,8 SBM menjadi 832 SBM. Untuk mendukung tercapainya target
itu, beberapa kebijakan teknis sudah dikeluarkan pemerintah mulai dari RIJTDGB yang
dimulai tahun 2006, neraca gas yang dimulai tahun 2007 dan diperbaharui setiap tahun
sampai pada pengaturan mengenai kegiatan usaha gas melalui Permen No. 19 tahun 2009 dan
alokasi gas melalui Permen ESDM No. 3 tahun 2009. Namun demikian, sampai saat ini
pemanfaatan gas bumi masih saja rendah. Walaupun secara konsumsi riil gas Indonesia
meningkat namun sampai tahun 2011 porsi gas Indonesia justru menurun dari 22,4 persen di
tahun 2005 menjadi 20,4 persen. Pemanfaatan gas dalam negeri sendiri hanya meningkat
sedikit dari 43,6 di tahun 2005 menjadi 47 persen. Sektor pengguna utama gas dalam negeri
adalah pupuk – petrokimia, listrik dan industri dengan pertumbuhan sektor industri yang
paling cepat yaitu rata-rata 7,7 persen per tahun dari tahun 2001 – 2011.
85
Perlambatan pemanfaatan gas ini tidak lepas dari efek proses deregulasi industri gas
Indonesia yang diamanatkan UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas. Beberapa hal pokok dari
UU itu adalah pemisahan sektor hulu dan hilir dengan BP Migas sebagai pelaksana
pengawasan dan pengendalian di sektor hulu dan BPH Migas sebagai pengatur kegiatan usaha
di sektor hilir. Prinsip pokok dari proses deregulasi ini adalah penghapusan monopoli usaha
migas melalui sistem kompetisi yang pada akhirnya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan
efektifitas dengan memaksimalkan penerimaan atau keuntungan negara. Mekanisme efisiensi
kegiatan usaha migas dilakukan melalui kebijakan pengaturan open access dalam
pemanfaatan infrastruktur dengan tetap menjunjung aspek fairness melalui kebijakan
unbundling usaha pengangkutan dan usaha niaga. Sementara mekanisme efektifitas dilakukan
melalui penetapan prioritas alokasi gas. Pada perkembangan proses deregulasi melalui UU No.
22 tahun 2001 dan peraturan di bawahnya, terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan
Mahkamah Konstitusi (MK) di antaranya pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1 dan pasal 28 ayat 2
terkait kewajiban pasok dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dan harga bahan
bakar minyak (BBM) pada 21 Desember 2004, dan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal
41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU
yang berkaitan dengan posisi BP Migas yang tidak konstitusional pada tanggal 13 November
2012 sehingga harus dibubarkan. Untuk mengisi kekosongan lembaga, sampai terbentuk tugas
BP Migas dialihkan kepada Kementerian ESDM melalui Satuan Kerja Sementara Pelaksana
Migas (SKSP Migas) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 95 tahun 2012 dan
Kepmen ESDM No. 3135 dan 3136 .
Permasalahan pokok dalam mempercepat pembangunan industri gas bumi adalah
permasalahan infrastruktur, pengaturan harga dan penetapan alokasi gas. Permasalahan
infrastruktur lebih disebabkan perencanaan infrastruktur yang ada melalui RIJTDGB belum
bersifat terintegrasi antara penyediaan dan kebutuhan gas. Perencanaan infrastruktur
RIJTDGB kurang memperhatikan perencanaan sektor lainnya seperti industri, listrik dan
pupuk sehingga penempatan infrastruktur gas kurang efektif dalam memaksimalkan
kebutuhan gas dalam negeri sehingga infrastruktur gas yang ada kurang termanfaatkan
dengan optimal. Sementara permasalahan harga lebih disebabkan oleh tidak adanya
pengaturan penetapan harga hilir di tingkat konsumen (pengguna umum) oleh pemerintah dan
selama ini dilakukan oleh badan usaha secara business to business. Akibatnya banyak tumbuh
86
badan usaha niaga (trader) tanpa fasilitas dan perkembangan jaringan distribusi gas yang
lambat.
Permasalahan prioritas alokasi gas sebenarnya sudah dicoba diselesaikan melalui
Permen ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi untuk dalam Negeri,
namun sampai saat ini berdasarkan realisasi penyaluran gas, porsi ekspor masih lebih prioritas
dari pemanfaatan dalam negeri. Selain itu, dari urutan prioritas pengguna gas yang diatur
dalam Permen ESDM tersebut masih menjadi perdebatan di antara stakeholder gas itu sendiri
baik dari pihak pemerintah (KESDM, Kemenperin, dan lain-lain) maupun dari pihak
pengguna gas (pupuk, industri, listrik, migas).
6.2 Rekomendasi
Mempertimbangkan hasil dari kajian ini, beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan untuk
mempercepat pembangunan industri gas bumi adalah sebagai berikut :
1. Percepatan Revisi UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Harus diakui bahwa lahirnya UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas didasari oleh
semangat reformasi termasuk di sektor migas dengan konsep deregulasi baik di sektor
hulu dan hilir. Namun demikian, akibat proses penyusunan UU tersebut dilakukan secara
cepat timbul beberapa masalah lainnya. Pada beberapa kesempatan, pasal-pasal dalam
UU ini dibatalkan MK dengan pertimbangan tidak sesuai dengan semangat konstitusi
UUD 1945. Atas dasar itulah, perlu segera dikeluarkan revisi terhadap UU Migas.
Berdasarkan data dari DPR, revisi UU Migas sudah masuk ke dalam Prolegnas sejak
tahun 2010 atas inisiatif DPR. Namun sampai saat ini draft usulan belum sekalipun
dibahas. Tidak hanya itu, Naskah Akademik sebagai persyaratan pembahasan juga masih
dalam tahap penyiapan. Beberapa hal yang perlu dibenahi dalam UU ini adalah :
(a) Penyempurnaan Aspek Kelembagaan :
Bubarnya BP Migas melalui keputusan MK merupakan salah satu hal yang perlu
menjadi perhatian. Walaupun saat ini peran BP Migas diambil alih oleh SKSP Migas
yang berada di bawah KESDM, namun untuk ke depannya perlu segera dipikirkan
badan atau lembaga yang bertanggung jawab untuk mengelola usaha hulu migas serta
mekanisme koordinasi antar lembaga. Beberapa opsi bentuk kelembagaan yang
87
mengemuka saat ini adalah BUMN, BHMN atau langsung pemerintah sendiri melalui
KESDM. Penentuan lembaga ini perlu memperhatikan alasan putusan MK mengenai
pembubaran BP Migas yang salah satunya inefisiensi pengelolaan dan menimbulkan
bias kewenangan negara dalam pengelolaan migas yang dalam hal ini diwakili
pemerintah melalui kementerian sektor (ESDM) sehingga apapun bentuk kelembagaan
itu seyogyanya berada di bawah Menteri sebagai otoritas penetap kebijakan. Selain itu
dalam pelaksanaan tugasnya, dalam lembaga ini perlu dibentuk dewan pengawas
(semacam Wali Amanat atau Dewan Komisaris yang anggotanya tidak hanya berasal
dari sektor energi tetapi juga berasal dari pemanfaat migas)
(b) Integrasi Sektor Hulu – Hilir
Selama ini pemisahan antara hulu dan hilir yang juga disertai pembentukan BP Migas
dan BPH Migas mengakibatkan sulitnya mencapai target dan sasaran sebagaimana
yang ditetapkan dalam perencanaan gas. Sebagai contoh banyaknya proyek
infrastruktur gas yang direncanakan saat ini seringkali mengalami penundaan
beberapa tahun lamanya. Hal ini disebabkan karena dalam perencanaannya, kurang
memperhatikan pasokan (hulu) atau kebutuhan (hilir). Selain itu, pemisahan badan
pelaksana hulu dan pengatur hilir yang memiliki indeks kinerja kunci yang berbeda
seringkali mempersulit koordinasi. Sebagai contoh walaupun dalam visi dan misi BP
Migas dan BPH Migas memiliki kesamaan untuk memaksimalkan kemakmuran
masyarakat namun BP/SKSP Migas lebih berorientasi untuk memaksimalkan
penerimaan negara, tanpa memandang kemampuan dan daya beli konsumen gas dalam
negeri. Sementara BPH Migas dalam salah satu visinya justru bertujuan untuk lebih
mengutamakan peningkatan pemanfaatan gas melalui persaingan usaha yang sehat.
Oleh karenanya sebaiknya hanya ada satu lembaga yang berfungsi pelaksana, dan
pengatur migas (hulu dan hilir) yang berada di bawah KESDM. Sementara itu, Ditjen
Migas melepaskan fungsi pengaturan untuk lebih fokus dalam fungsinya sebagai
otoritas penetap dan pengawas kebijakan.
2. Penyempurnaan RIJTDGB
Dalam menyempurnakan RIJTDGB, penyempurnaan yang diambil di antaranya
mengenai mekanisme dan substansi dari RIJTDGB di antaranya :
88
• Membuat lebih detail dari aspek teknis jaringan pipa yang direncanakan baik pipa
transmisi maupun distribusi. Data-data teknis itu diantaranya volume yang akan
dialirkan, panjang maupun diameter pipa, dan besaran tekanannya, jumlah jalur dan
kondisi akses pipa.
• Memuat lebih banyak skenario atau alternatif moda transportasi.
• Proses penyusunannya perlu memperhatikan neraca gas, rencana sektor perindustrian,
pupuk, kelistrikan dan sektor lainnya pemanfaat gas.
3. Penyempurnaan Prioritas Alokasi dan Kebijakan Harga Gas Dalam Negeri
(a) Renegosiasi Porsi Gas Ekspor dan Penyempurnaan Kebijakan Alokasi Gas
Karena keterbatasan pasokan gas domestik dalam memenuhi kebutuhan pengguna gas
dalam negeri, perlu dilakukan dua hal penting yaitu : (i) renegosiasi ekspor gas yang
bertujuan mengurangi porsi gas yang diekspor suntuk dialihkan untuk penggunaan
dalam negeri; (ii) penyempurnaan kebijakan alokasi gas yang tepat sasaran dan
disepakati oleh berbagai sektor pengguna baik dari kementerian maupun asosiasi
selaku perwakilan swasta. Kebijakan alokasi gas saat ini yang terdapat pada Permen
ESDM No. 3 tahun 2010 cenderung lebih bersifat ‘ESDM’ sentris dan kurang
mengakomodir sektor di luar ESDM. Kebijakan ini hanya mengedepankan
penerimaan negara secara langsung melalui alokasi gas untuk lifting minyak.
Sementara sektor-sektor yang memiliki nilai tambah tinggi seperti industri dan listrik
menjadi urutan prioritas terakhir. Padahal dari proses peningkatan nilai tambah itu,
terdapat potensi penerimaan negara yang tinggi dan dalam jangka waktu lama. Benefit
jangka panjangnya adalah tingkat competitiveness negara akan terangkat yang akan
mendukung tumbuhnya investasi di sektor industri yang menyerap tenaga kerja lebih
banyak di banding sektor produksi minyak. Kebijakan alokasi hasil kesepakatan itu
kemudian dituangkan dalam Rencana Alokasi Gas dalam jangka waktu 5 tahun. Bila
diperlukan, BUMN seperti PGN dan Pertagas dapat dilibatkan melalui penugasan
khusus untuk mengawal terlaksananya rencana alokasi gas tersebut.
(b) Transparansi Biaya Produksi (Konsumen dan Produsen) dalam Mendukung
Penetapan Kebijakan Harga Gas
Sesuai dengan putusan MK tahun 2004, penetapan harga BBM dan gas bumi
dilakukan oleh pemerintah dan tidak diserahkan pada mekanisme pasar. Hal ini
89
ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa.
Walaupun demikian, kebijakan harga gas dari pemerintah harus juga mencerminkan
tingkat keekonomian agar mendorong investor migas dalam mengembangkan
lapangan-lapangan gas. Dalam rangka memaksimalkan penerimaan negara, kebijakan
harga gas saat ini masih berpihak pada produsen sehingga perlu didorong adanya
kewajiban transparansi biaya produksi baik dari pihak hulu (produsen), tengah
(pengangkut) dan hilir (konsumen). Dengan transparansi ini, pemerintah dapat
mengambil kebijakan pengaturan harga gas yang layak untuk konsumen dalam negeri
di berbagai level dengan berbagai mekanisme baik penetapan langsung atau secara
model.
(c) Keterlibatan Aktif Pemerintah dalam Mekanisme Seleksi Konsumen Gas
Selama ini peran pemerintah dalam proses seleksi konsumen gas dalam negeri kurang
aktif dan hanya sebatas persetujuan akhir. Selama ini peran BP Migas (sekarang SKSP
Migas) dan Produsen memegang peranan penting dalam seleksi tender. Penunjukan
produsen gas sebagai penjual gas bumi bagian pemerintah seperti yang saat ini terjadi
dan ketentuan anggaran BP Migas yang berasal dari pendapatan negara dari sektor
hulu migas (sekitar 1 persen) menciptakan hasil lelang yang lebih mengutamakan
pendapatan negara tanpa melihat kepentingan pembangunan lainnya. Akibatnya
kepentingan ekspor saat ini lebih diprioritaskan karena menguntungkan dari segi harga.
Untuk itu, peran aktif pemerintah dalam proses seleksi dan negosiasi harga gas bagian
pemerintah perlu dikedepankan. Apabila diperlukan, pemerintah dapat menugaskan
BUMN sebagai penjual gas bagian pemerintah dengan pengawasan langsung di bawah
pemerintah.
4. Penyempurnaan Kebijakan Fiskal untuk Pemanfaatan Gas dalam Negeri
Beberapa terobosan kebijakan fiskal yang dapat diambil oleh pemerintah adalah:
(a) Penambahan Porsi Bagi Hasil Kontraktor dalam Skema KKS
Saat ini, meskipun dalam beberapa tahun ini terjadi peningkatan produksi gas yang
signifikan namun tidak sebanding dengan peningkatan cadangan gas. Selain itu risiko
eksplorasi, dengan menurunnya faktor success ratio, menjadi tantangan tersendiri.
Dalam rangka itu diperlukan adanya kebijakan fiskal yang menarik dapat menarik
investor untuk mengeksplorasi daerah-daerah baru di antaranya dengan menambah
90
porsi bagian kontraktor dalam KKS. Saat ini kebijakan bagi hasil gas umumnya adalah
70 persen bagian pemerintah dan 30 persen bagian pengembang. Perlu adanya kajian
lebih lanjut mengenai perubahan pola bagi hasil ini, baik untuk gas conventional
maupun unconventional. Sebaiknya, penerapan kebijakan ini dikombinasikan dengan
peningkatan porsi gas DMO apabila proyek pengembangan hulu berhasil.
(b) Penerapan Subsidi Gas
Subsidi gas dilakukan dengan pertimbangan adanya gap harga ekspor gas dengan
kemampuan daya beli konsumen dalam negeri. Pemberian subsidi ini sebaiknya
diberikan terutama sektor-sektor yang masih menggunakan BBM seperti sektor
transportasi.
5. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Open Access dan Unbundling
Selama ini pelaksanaan kebijakan open access dan unbundling belum efektif dalam
mencapai pengembangan gas yang efisien dan transparan. Hal ini disebabkan karena
pelaksanaan kebijakan dilakukan secara cepat tanpa melalui pentahapan dan kurang
memperhitungkan kondisi riil. Selain itu faktor tidak adanya dukungan regulasi lainnya
menjadikan kebijakan ini tidak efektif.
6.3. Tindak Lanjut dari Rekomendasi
Sebagai tindak lanjut dari rekomendasi ini, berikut adalah matriks tindak lanjut untuk para
pemangku kepentingan terkait percepatan pembangunan industri gas bumi.
91
No. Pemangku Kepentingan Rekomendasi
1. Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian
1. Memimpin koordinasi pelaksanaan strategi kebijakan percepatan pembangunan industri gas
2. Mengkoordinasikan kajian tentang nilai manfaat gas terhadap berbagai sektor untuk menentukan prioritas alokasi gas
2. Kementerian PPN/
Bappenas
1. Memimpin koordinasi perencanaan strategi percepatan pembangunan industri gas (termasuk penyusunan Rencana Induk
Pengembangan Industri Gas)
2. Melakukan kajian penyusunan model pengembangan industri gas bersama-sama stakeholder gas lainnya.
3. Menjadi instansi yang menghubungkan sektor di bidang ekonomi dengan bidang lainnya (Kesra dan Polhukkam) terkait
pemanfatan gas dalam negeri
3. Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral
1. Koordinasi dengan Komisi VII DPR untuk mempercepat pembahasan UU Migas termasuk fasilitasi restrukturisasi
kelembagaan migas guna percepatan pengembangan gas bumi
2. Melakukan inventarisasi dan pengkajian peraturan perundangan yang menghambat upaya percepatan pembangunan
industri gas bumi (termasuk aturan dan mekanisme pemilihan pemenang lelang gas dan lain-lain) serta mengusulkan
penyempurnaan kebijakan tersebut.
3. Fasilitasi perijinan terkait penyediaan gas dan pembangunan infrastruktur gas di tingkat pusat dan daerah
4. Melakukan percepatan penemuan cadangan baru melalui penyempurnaan kebijakan kontrak kerja sama (termasuk
melakukan kajian fiscal term pada skema bagi hasil gas bersama Kementerian Keuangan) dan kebijakan terkait lainnya.
5. Mempermudah proses persetujuan POD yang pertama
4. Kementerian Keuangan 1. Memberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan dalam rangka percepatan pembangunan industri gas bumi baik di hulu
maupun di hilir
2. Memberikan dukungan dan evaluasi kebijakan dan peraturan perundangan di bidang keuangan negara mendukung
percepatan pemanfaatan gas bumi dalam negeri.
3. Melakukan kajian fiscal term pada skema bagi hasil gas (bersama KESDM)
4. Pelaksanaan insentif fiskal bagi pengembangan pemanfaatan gas bumi jika diperlukan.
5. Pengkajian mekanisme subsidi gas dan pelaksanaannya untuk mempercepat pengembangan industri gas bumi.
5. Kementerian Perindustrian 1. Inventarisasi kebutuhan gas untuk sektor industri
2. Melakukan kajian prioritisasi kluster industri yang memakai gas
3. Mengembangkan industri peralatan (konverter dan lainnya) yang mendukung percepatan pembangunan industri gas bumi
4. Memberikan dukungan kebijakan dan peraturan perundangan di bidang industri yang mendukung konversi BBM ke BBG
6. Kementerian Pertanian 1. Melakukan inventarisasi kebutuhan gas dari industri pupuk
2. Melakukan kajian mengenai insentif harga gas untuk pupuk bersama Kementerian Keuangan dan mengusulkan hasilnya
3. Melakukan pengawasan hasil produksi pupuk agar tepat sasaran dan tidak disalahgunakan untuk diekspor
92
7. Kementerian Negara
BUMN
1. Pelaksanaan restrukturisasi korporat guna mendukung pengembangan pemanfaatan gas bumi.
2. Sinkronisasi antar BUMN terkait untuk bisa mengoptimalkan penggunaan gas untuk kepentingan domestik.
8. Kementerian Perhubungan 1. Meningkatkan fungsi infrastruktur transportasi terutama kendaraan untuk mendukung konversi BBM ke BBG
2. Memberikan dukungan kebijakan dan peraturan perundangan di bidang transportasi yang mendukung konversi BBM ke
BBG
9. Kementerian Kehutanan 1. Memberikan dukungan kebijakan terkait optimalisasi penggunaan kawasan hutan untuk mendukung pembangunan
infrastruktur gas
2. Mempercepat penyelesaian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha hulu dan hilir gas sesuai persyaratan
yang ditetapkan
10. Kementerian Hukum dan
HAM
Memberikan dukungan pengharmonisasian peraturan perundangan terkait percepatan pembangunan industri gas bumi
11. BPH Migas 1. Evaluasi regulasi dan kebijakan yang ada untuk mendukung percepatan pengembangan pemanfaatan gas bumi termasuk
usaha hilirnya.
2. Fasilitasi percepatan pembangunan infrastruktur transmisi dan distribusi gas untuk kebutuhan domestik.
3. Mengusulkan perbaikan kelembagaan Migas
12. Badan Pertanahan Nasional Mempercepat pemberian hak atas tanah yang dipergunakan untuk mendukung percepatan pembangunan industri gas bumi
(terutama dalam hal pembangunan infrastruktur)
13. Pemda (Provinsi dan
Kota/Kabupaten)
Melakukan percepatan dan kemudahan perijinan yang terkait dengan upaya percepatan pembangunan industri gas bumi
93
DAFTAR PUSTAKA
__________. 2012. Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi [Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat
(3), Pasal 6 Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44. Mahkamah
Konstitusi. Jakarta
__________.2012. Rancangan Kebijakan Energi Nasional. Bahan Presentasi. Dewan Energi
Nasional. Jakarta.
__________. 2012. Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Bahan
Presentasi. BPH Migas. Jakarta
_________. 2012. Strategi dan Peran PLN Dalam Pemanfaatan Gas untuk Pembangkit PLN. PT.
PLN (Persero). Bahan Presentasi. Jakarta
_________. 2012. Strategi dan Peran PGN dalam Mendukung Optimalisasi Pemanfaatan Gas
Bumi Dalam Negeri. PT. PGN. Bahan Presentasi. Jakarta
__________. 2012. Kebijakan Hilir Pengembangan Gas Bumi. Bahan Presentasi. Ditjen Migas,
KESDM. Jakarta.
__________. 2010. Pemanfaatan Gas untuk Kebutuhan dalam Negeri – Implikasinya Terhadap
Penyediaan Infrastruktur Gas Bumi. Bahan Presentasi. Direktorat Sumber Daya Energi,
Mineral dan Pertambangan. Bappenas. Jakarta
__________. 2010. Neraca Gas Indonesia, 2010-2025. Ditjen Migas, KESDM. Jakarta
_________. 2012. Oil and Gas In Indonesia (Investment and Taxation Guide) 2012.
Pricewatercopper. Jakarta
Arsegianto. 2012. Strategi Percepatan Pembangunan Infrastruktur Gas Untuk Kebutuhan
Domestik. Bahan Presentasi. ITB. Bandung
Baskoro, Michael. 2011. Alligning Indonesia’s Gas Chain for Optimation of Open Access, Gas
Bundling and Tariff Policies. Bahan Presentasi. Indogas-2011. Jakarta
Girianna, Montty. 2012. Economic Value Defines The Path For Gas Market. Jakarta Post. Jakarta
Girianna, Montty dkk. 2011. Structuring Domestic Gas Market. IRSA. Jakarta
Girianna, Montty. 2011. Gas To Benefit The Country’s Growing Economy. Jakarta Post. Jakarta
Girianna, Montty. 2009. Seeking Revision To Our LNG Price For Fujian Market. Jakarta Post.
Jakarta
Girianna, Montty. 2007. Challenges And Potential Of Domestic Gas Market. Jakarta Post. Jakarta
Juris, Andres. 1998. The Emergence Of Markets In The Natural Gas Industry. Public Policy For
Private Sector. World Bank. Washington
Nafis, Popi Ahmad. 2012. Strategi Penetapan Harga Gas Bumi Hulu Dalam Mendukung
Pemanfaatan Dalam Negeri. Bahan Presentasi. BP Migas. Jakarta
Nugroho, Hanan. 2004. Pengembangan Industri Hilir Gas Bumi Indonesia: Tantangan Dan
Gagasan. Majalah Perencanaan Pembangunan. Bappenas. Jakarta
94
Nugroho, Hanan. 2011. A Mosaic of Indonesian Energy Policy. ITB Press. Bogor
Nugroho, Hanan. 2012. Energi Dalam Perencanaan Pembangunan. ITB Press. Bogor
Purwanto, Widodo. 2012. Pengembangan Pasar Gas Bumi Dalam Negeri dan Mekanisme Pricing
(International Best Practices). Bahan Presentasi. UI. Jakarta.
Purwanto, Sri Wahyu. 2012. Strategi Pengaturan Usaha Hilir Gas Bumi Dalam Mendukung
Optimalisasi Pemanfaatan Gas Bumi Dalam Negeri. Bahan Presentasi. BPH Migas.
Jakarta.
Wagimin, Naryanto. 2012. Kebijakan Alokasi Gas Bumi Hulu Dalam Mendukung Pemanfaatan
Dalam Negeri. Bahan Presentasi. Ditjen Migas, KESDM. Jakarta
Tanduk, Tony. 2012. Dukungan Dan Peran Gas Bumi Terhadap Pembangunan Sektor Industri
Dalam Negeri. Bahan Presentasi. Kementerian Perindustrian. Jakarta.
Tjandranegara, Abdul Qoyum. 2012. Ekspor Gas Bumi & Lifting Minyak Dgn Gas Bumi
Berakibat Negara Kehilangan Devisa. Bahan Presentasi. Jakarta
Safiun, Ahmad. 2012. Kebutuhan Gas Dari Sektor Industri. Bahan Presentasi. FIPGB. Jakarta.
Soedarmo, Erie. 2012. Prospek Bisnis Industri Gas Serta Upaya Peningkatan Nilai Tambah Produk
Gas Bumi. Bahan Presentasi. Jakarta
Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun 2010 tentang Alokasi dan
Pemanfaatan as Bumi Untuk Dalam Negeri. KESDM. Jakarta.
Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun 2000 tentang Kegiatan Usaha
Hilir Gas Bumi. KESDM. Jakarta.
Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana
Hulu Minyak dan Gas Bumi. Sekretaris Kabinet. Jakarta.
Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 2002 tentang Badan Pengatur dan
Penyediaan Hilir Minyak dan Gas Bumi. Sekretaris Kabinet. Jakarta.
Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Sekretaris Kabinet. Jakarta.