BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL … · produksi minyak bumi dan penemuan lapangan baru...

102
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Percepatan Pembangunan Industri Gas Bumi Laporan Akhir Kajian DIREKTORAT SUMBER DAYA ENERGI, MINERAL DAN PERTAMBANGAN November 2012

Transcript of BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL … · produksi minyak bumi dan penemuan lapangan baru...

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

Percepatan

Pembangunan

Industri Gas Bumi Laporan Akhir Kajian

DIREKTORAT SUMBER DAYA ENERGI, MINERAL

DAN PERTAMBANGAN

November 2012

i

KATA PENGANTAR

Indonesia merupakan salah satu negara eksportir gas bumi terbesar di dunia.

Namun ironisnya, pemenuhan kebutuhan gas di Indonesia masih banyak mengalami

kendala sehingga sampai saat ini Indonesia belum dapat memanfaatkan gas secara

maksimal. Padahal pemanfaatan gas ini diproyeksikan untuk menggantikan sebagian

porsi bahan bakar minyak yang semakin terbatas. Secara umum, walaupun cadangan

gas Indonesia kecil namun jumlahnya sangat menjanjikan bila dibandingkan dengan

cadangan minyak yang jauh menipis, apalagi bila ditambah cadangan gas

unconventional yang saat ini sedang dirintis. Di masa mendatang, dengan banyaknya

penemuan cadangan gas di dunia, gas akan berpotensi menjadi energi yang murah dan

menjadi sumber energi yang strategis.

Industri gas bumi mengalami transformasi melalui proses deregulasi di tahun

2001 dengan terbitnya UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

menggantikan UU Migas tahun 1960. Dengan UU ini, peranan Pertamina berubah dari

monopoli operator dan regulator menjadi fokus sebagai operator. Sebagai gantinya,

dibentuklah BP Migas dan BPH Migas untuk melaksanakan pengendalian dan

pengaturan di sektor hulu dan hilir migas Indonesia. Dalam perjalanannya, UU Migas

ini mengalami banyak perubahan dengan adanya pembatalan-pembatalan beberapa

pasal melalui putusan MK. Banyaknya judicial review dan pembatalan ini menunjukkan

adanya permasalahan dalam kebijakan migas.

Penyusunan Kajian “Percepatan Pembangunan Industri Gas Bumi” dilakukan

untuk memetakan permasalahan dan bottlenecking di sektor gas yang selama ini

menghambat pemanfaatan gas. Dari hasil pemetaan ini diharapkan dapat tersusun

usulan strategi untuk mempercepat pembangunan industri gas bumi. Kajian ini disusun

melalui studi literatur, diskusi, dan seminar untuk mendapatkan masukan dari

narasumber dan para para pihak terkait.

Sebagai penutup, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu pelaksanaan penyusunan kajian ini, mulai dari persiapan, diskusi, seminar,

sampai dengan penulisan laporan. Semoga kajian ini dapat memberikan kontribusi

dalam rangka pembangunan dan pengembangan pembangunan industri gas bumi yang

berkelanjutan dan berkeadilan. Saran dan kritik sangat kami harapkan demi

penyempurnaan laporan ini.

Jakarta, Desember 2012

Direktur Sumber Daya Mineral, Energi dan Pertambangan

Ir. Montty Girianna, M.Sc., MCP, Ph.D.

ii

ABSTRAK

Kajian ini bertujuan untuk menentukan permasalahan pembangunan industri gas bumi

dan merumuskan solusinya berupa arah kebijakan untuk mempercepat pembangunan industri

gas bumi. Penyusunan kajian dilakukan melalui brainstorming dengan serangkaian diskusi dan

seminar yang mengundang berbagai pihak yang secara langsung terlibat dalam industri gas

baik dari kalangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun dari kalangan akademisi

atau universitas, serta para pelaku usaha yang langsung terlibat dalam industri ini.

Berdasarkan kondisi saat ini, gas berpotensi sebagai energi masa depan Indonesia

selain energi terbarukan menggantikan minyak bumi. Hal ini didasarkan pada kecenderungan

banyaknya penemuan lapangan baru gas dan peningkatan produksi gas sementara kondisi

produksi minyak bumi dan penemuan lapangan baru cenderung menurun. Namun demikian,

dengan adanya kesenjangan lokasi antara pusat kebutuhan dan pusat pasokan banyak hal yang

harus dibenahi terutama infrastruktur penghubung.

Sampai saat ini, banyak langkah yang telah dilakukan pemerintah Indonesia diantaranya

adalah proses deregulasi sektor migas yang dimulai tahun 2001 dengan deregulasi peran

monopoli Pertamina sebagai operator sekaligus regulator berubah menjadi hanya sebagai

operator. Sementara peran regulator di sektor hulu dipegang Pemerintah yang dilaksanakan

oleh BP Migas dan di sektor hilir, BPH Migas berperan sebagai regulator bersama-sama

Ditjen Migas. Proses deregulasi ini bertujuan untuk menciptakan iklim kompetisi pada industri

gas yang pada akhirnya diharapkan dapat memberi keuntungan pada konsumen akhir.

Walaupun demikian, sampai saat ini terdapat beberapa permasalahan pokok yang belum

terselesaikan dengan proses deregulasi yang telah dilakukan. Apabila tidak diatasi dengan baik,

permasalahan ini dapat terus menghambat pembangunan industri gas bumi dalam negeri.

Perencanaan Inftrastruktur serta kebijakan alokasi dan harga yang belum jelas merupakan

permasalahan pokok yang harus segera dituntaskan untuk mempercepat pembagunan industri

gas bumi.

Untuk itu, beberapa hal yang perlu segera dilakukan adalah: (i) Percepatan Revisi UU

No. 22 Tahun 2001 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas yang mencakup penyempurnaan aspek

kelembagaan pengelola migas, integrasi antara sektor hulu dan hilir, penyempurnaan

mekanisme dan substansi RIJTDGB, penyempurnaan prioritas alokasi yang diantaranya

termasuk usulan renegosiasi porsi gas ekspor, transparansi biaya produksi (produsen dan

konsumen) dalam mendukung penetapan kebijakan harga gas, keterlibatan aktif pemerintah

dalam mekanisme seleksi (lelang) konsumen gas, penyempurnaan kebijakan fiskal melalui

perubahan porsi bagi hasil kontraktor dalam skema KKS (menjadi bertambah) dan penerapan

subsidi gas

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

ABSTRAK ..................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... v

DAFTAR TABEL .......................................................................................................... vii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2 Perumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3 Tujuan dan Sasaran ..................................................................................... 3

1.4 Ruang Lingkup Studi .................................................................................. 4

1.5 Pendekatan Studi ........................................................................................ 4

1.6 Sistematika Laporan ................................................................................... 5

BAB 2 PERKEMBANGAN INDUSTRI GAS BUMI INDONESIA

2.1 Potensi Gas Bumi Indonesia ....................................................................... 6

2.2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia ........................................ 8

BAB 3 DEREGULASI DAN KEBIJAKAN HARGA GAS BUMI

3.1 Struktur Industri Gas .................................................................................. 13

3.1.1 Tipe Integrasi Vertikal ...................................................................... 15

3.1.2 Tipe Kompetisi di Segmen Produksi ................................................ 16

3.1.3 Tipe Akses Terbuka untuk Niaga Umum ......................................... 17

3.1.4 Tipe Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh ........................................... 19

3.2 Deregulasi Industri Gas Bumi Indonesia ................................................... 21

3.2.1 Deregulasi Industri Sektor Hulu Gas Bumi Indonesia ..................... 23

3.2.2 Deregulasi Sektor Hilir Gas Bumi Indonesia ................................... 26

3.3 Kebijakan Alokasi dan Harga Gas Bumi Indonesia .................................. 30

3.3.1 Harga Gas Hulu dan Harga Gas Hilir untuk Pengguna Tertentu ..... 31

3.3.2 Harga Gas Rumah Tangga ................................................................ 36

3.3.3 Harga Gas untuk Pengguna Umum (Hilir) ....................................... 39

BAB 4 KEBUTUHAN, PASOKAN DAN INFRASTRUKTUR GAS

4.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas ...................................................................... 41

4.1.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Pupuk ................................... 41

4.1.2 Kebutuhan dan Pasokan Gas Listrik ................................................ 42

4.1.3 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Lainnya ................................ 47

4.1.4 Kebutuhan dan Pasokan Gas untuk Transportasi ............................. 48

iv

4.2 Infrastruktur Gas Indonesia ....................................................................... 54

4.2.1 Perkembangan Infrastruktur Gas Bumi Indonesia ........................... 54

4.2.2 Rencana Infrastruktur Gas Bumi Indonesia ..................................... 56

BAB 5 STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI GAS DALAM

NEGERI

5.1 Simulasi Manfaat Substitusi BBM ke Gas ................................................ 60

5.1.1 Skenario Subsidi ............................................................................... 61

5.1.2 Penghematan Belanja Subsidi BBM ................................................ 63

5.1.3 Pengurangan Emisi CO2 .................................................................. 67

5.2 Strategi Pengembangan Industri Gas Dalam Negeri ................................. 67

5.2.1 Strategi Pengembangan Infrastruktur Gas ....................................... 68

5.2.2 Strategi Alokasi Gas Dalam Negeri ................................................. 74

5.2.3 Strategi Penetapan Harga Gas dalam Negeri ................................... 77

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 84

6.2 Rekomendasi ............................................................................................. 86

6.3. Tindak Lanjut dari Rekomendasi .............................................................. 90

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 93

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kondisi Geografis Cadangan Gas Indonesia .............................................. 8

Gambar 2 Perkembangan Produksi Minyak dan Gas Indonesia ................................. 9

Gambar 3 Rencana Produksi Minyak dan Gas Indonesia sampai 2018 ...................... 9

Gambar 4 Perbandingan Proporsi Lokasi Pasokan dan Kebutuhan Gas Indonesia ... 10

Gambar 5 Proyeksi Produksi Gas Nasional pada Tahun 2015 dengan Total Pasokan

10.000 MMSCFD ...................................................................................... 11

Gambar 6 Grafik Perkembangan Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi (2002 -2011) ....... 12

Gambar 7 Rantai Nilai Industri Gas Bumi ................................................................. 13

Gambar 8 Mekanisme Industri Gas Transisi .............................................................. 16

Gambar 9 Mekanisme Akses Terbuka untuk Niaga Umum ....................................... 17

Gambar 10 Mekanisme Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh ......................................... 19

Gambar 11 Kerangka Regulasi Pengusahaan Gas Bumi .............................................. 22

Gambar 12 Skema Pengusahaan Gas Bumi ................................................................. 23

Gambar 13 Mekanisme Pelaksanaan DMO Gas .......................................................... 26

Gambar 14 Hubungan KESDM, BP Migas dan BPH Migas dalam Pengelolaan Migas 27

Gambar 15 Otoritas Penetap Harga Gas Pipa ............................................................... 31

Gambar 16 Penetapan Harga Jual Beli Gas didalam Skema Perjanjian Jual Beli Gas

(PJBG) ....................................................................................................... 32

Gambar 17 Perkembangan Harga Gas LNG, Gas Pipa Ekspor dan Gas Pipa Domestik

2006-2012 ................................................................................................. 34

Gambar 18 Harga LNG Ekspor - Pasar Jepang, Guangdong, dan Fujian ................... 36

Gambar 19 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN untuk Jawa Bali . 44

Gambar 20 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian

Barat .......................................................................................................... 44

Gambar 21 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian

Timur ......................................................................................................... 45

Gambar 22 Profil Angkutan Umum Secara Basional (2010) Berdasarkan Jenis

Angkutan (a) dan Berdasarkan Provinsi di mana Angkutan Umum

Beroperasi (b) ............................................................................................. 49

Gambar 23 Potensi Pasokan Gas dan Kebutuhan Gas Di Kota-Kota yang Mendapat

Giliran Substitusi dari BBM Ke BBG ...................................................... 52

Gambar 24 Pasokan Gas Berdasarkan Perusahaan Pemasok Gas untuk Sektor

Transportasi (2012) .................................................................................... 53

Gambar 25 Eksisting dan Rencana Infrastruktur Gas Dalam Negeri .......................... 56

Gambar 26 Infrastruktur Gas untuk Pulau Jawa .......................................................... 59

Gambar 27 Proyeksi Kebutuhan BBG untuk Angkutan Umum di Kota dan Untuk

Angkutan Umum di Kabupaten Berdasarkan Jumlah Angkutan Umum

2010 ........................................................................................................... 59

vi

Gambar 28 Penerimaan Minyak dan Gas Bumi dan Subsidi BBM dengan Skenario

25% dan 50% Substitusi BBM Bersubsidi Sektor Transportasi oleh Gas

Bumi (2009) .............................................................................................. 65

Gambar 29 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Transmisi dan Realisasi Gas

yang Diangkut ........................................................................................... 69

Gambar 30 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Distribusi Gas ........................... 71

Gambar 31 Gambaran Realitas Implementasi Kebijakan Unbundling ........................ 71

Gambar 32 Perbandingan Rencana dan Realisasi Alokasi Gas Tahun 2011 ............... 74

Gambar 33 Jadwal Penyesuaian Harga Gas Hulu (Y) dan Hilir (X) ........................... 80

Gambar 34 Metode Seleksi Pembeli (Konsumen) Gas untuk Pengguna Tertentu ...... 81

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Potensi Sumber Daya Energi Fosil Indonesia per 2011 .............................. 7

Tabel 2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia (2002 – 2011) ................. 12

Tabel 3 Beberapa Model Harga Gas Bumi Indonesia untuk Beberapa Sektor

Konsumen .................................................................................................... 33

Tabel 4 Daftar Harga Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil ......... 38

Tabel 5 Perkembangan Harga Gas Bumi untuk Pengguna Umum .......................... 40

Tabel 6 Realisasi Pemanfaatan Gas untuk Industri Pupuk (dalam MMSCFD) ........ 41

Tabel 7 Kebutuhan Gas untuk Industri Pupuk Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas

(dalam MMSCFD) ...................................................................................... 42

Tabel 8 Proyeksi Kebutuhan Gas dan Pasokan untuk Pembangkit Listrik .............. 43

Tabel 9 Kebutuhan Gas untuk Industri Selain Pupuk ............................................... 47

Tabel 10 Kontrak dan Realisasi Pemakaian Gas Pelanggan Industri Retail (PGN) ... 48

Tabel 11 Kota-kota dengan Jumlah Angkutan Umum di atas 2.000 Kendaraan

(2010) ........................................................................................................... 50

Tabel 12 Kebutuhan BBM untuk Angkutan Umum dan Proyeksi Kebutuhan BBG

untuk Mensubstitusi BBM Angkutan Umum .............................................. 51

Tabel 13 Timeline Konversi BBM ke BBG untuk Transportasi di Beberapa Kota/Kab

sampai dengan 2015 ................................................................................... 53

Tabel 14 Infrastruktur Gas - Floating Storage dan Pipa Transmisi Gas ..................... 58

Tabel 15 Skenario Substitusi BBM Bersubsidi oleh Gas untuk Transportasi dan

BBM Non-subsidi untuk Industri dan Listrik ............................................... 62

Tabel 16 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Premium dan Solar

di Sektor Transportasi oleh Gas (2015) ....................................................... 66

Tabel 17 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Solar di Sektor

Industri dan Listrik oleh Gas 2015) ............................................................. 66

Tabel 18 Harga Gas KKKS dan Perubahan Kenaikan Harga Gas (Mei 2012) .......... 78

Tabel 19 Kontraktor KKS yang Melakukan Penjualan Gas dengan PGN ................. 78

Tabel 20 Aktifitas Tata Niaga Gas Domestik 2012 .................................................... 80

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang mengembangkan gas bumi

khususnya dalam pengembangan ekspor gas bumi cair (liquefied natural gas: LNG).

Namun demikian, pengembangan industri gas bumi untuk pemanfaatan dalam negeri

masih sangat lambat terutama dalam pengembangan infrastruktur gas. Hal ini

disebabkan karena hingga saat ini gas sering kali hanya dianggap sebagai komoditi

sumber penerimaan negara. Seiring dengan penurunan produksi dan kenaikan harga

minyak dunia akhir-akhir ini, pemerintah mulai melihat peluang gas sebagai sumber

energi dan juga sebagai bahan baku untuk industri dalam negeri.

Pengelolaan gas bumi mulai ditata kembali dengan UU No. 22 tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi beserta beberapa peraturan pelaksanaannya. Pembenahan

regulasi tersebut telah mengubah kegiatan usaha gas bumi menjadi bersifat lebih

mandiri, transparan, berdaya saing, berwawasan pelestarian lingkungan, serta

mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional. Hal lain yang menjadi pokok

perubahan adalah pembagian yang lebih tegas antara fungsi-fungsi pemerintah, pengatur,

dan pelaku usaha; pemecahan rantai usaha ke dalam beberapa kegiatan utama

(unbundling); serta penekanan pada liberalisasi sektor hilir dengan juga penekanan pada

prioritas pemanfaatan gas bumi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Untuk menunjang pelaksanaan UU No. 22 tahun 2001, dibentuklah Badan

Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur

Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melalui PP No. 42 tahun 2002 dan

PP No. 67 tahun 2002. Sementara, Pertamina yang dalam UU No. 8 tahun 1971

bertindak sebagai “operator, regulator, dan pemegang Kuasa Pertambangan”, diubah

menjadi sebuah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT Persero) yang hanya

bertindak sebagai operator melalui Keputusan Presiden No. 57/2002. Perkembangan

terakhir, BP Migas telah dibubarkan melalui Keputusan MK tanggal 13 November 2012

setelah dilakukan Judicial Review terhadap UU No. 22 tahun 2001. Sebagai pengganti,

Presiden mengintruksikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM)

2

untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Migas (SKSP Migas) yang secara

struktural berada di bawah KESDM. Terlepas dari pembubaran BP Migas tersebut,

banyak pembenahan lain yang telah dilakukan. Diantaranya adalah ditetapkannya

beberapa regulasi baik berupa kebijakan prioritas alokasi untuk dalam negeri maupun

kebijakan pengaturan pengusahaan gas dalam negeri. Namun demikian, strategi atau

langkah-langkah untuk mewujudkan tujuan peningkatan pemanfaatan gas bumi di

dalam negeri masih belum jelas terlihat.

Kajian ini membahas gambaran industri gas bumi secara umum, industri hilir

gas bumi, mekanisme pengembangan industri hilir gas bumi, serta pengalaman

beberapa negara lain dalam mengembangkan industri hilir gas bumi. Berdasarkan

pemahaman terhadap teori, analisis dan pengalaman negara lain dalam mengembangkan

industri gas bumi, kajian ini mencoba untuk menarik pelajaran khususnya mengenai

pengembangan industri hilir gas bumi untuk dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi

Indonesia. Di tengah reformasi sektor energi yang sedang dilakukan saat ini, di samping

belum optimalnya pengembangan industri hilir gas bumi di tanah air, kajian ini

diharapkan dapat berkontribusi dalam proses transformasi industri hilir gas bumi

Indonesia dan mendukung peningkatan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.

1.2 Perumusan Masalah

Kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.5 tahun

2006 tentang Kebijakan Energi Nasional menargetkan bahwa porsi atau peran gas bumi

dalam energy mix akan meningkat dari 20,4 persen pada tahun 2011 menjadi sebesar 30

persen pada tahun 2025. Target ini memiliki konsekuensi bagi pemerintah untuk

meningkatkan produksi dan penggunaan gas alam di dalam negeri dengan laju

pertumbuhan yang tinggi, sekaligus juga menurunkan ketergantungan pada energi

minyak bumi. Dengan kebijakan ini, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan lebih

baik dari saat ini dan keuangan negara akan lebih hemat dengan berkurangnya subsidi

bahan bakar minyak (BBM) dan energi yang harus ditanggung oleh pemerintah dalam

APBN dari tahun ke tahun sehingga alokasinya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan

pembangunan terutama infrastruktur di luar Jawa dalam mewujudkan pemerataan

pembangunan.

3

Kebijakan pengalihan pemanfaatan energi dari minyak ke gas untuk keperluan

dalam negeri harus segera dilakukan mengingat kondisi potensi migas kita yang telah

bergeser dari minyak ke gas. Gas bumi merupakan sumber energi yang paling tepat dan

siap menjadi energi pengganti minyak. Beberapa pihak juga menganggap gas bumi

sebagai ‘jembatan’ pemanfaatan energi dari dominasi fosil ke energi terbarukan.

Selain itu, banyak juga faktor eksternal dan global yang akan mempengaruhi

pola konsumsi gas bumi di dalam negeri seperti:

1. Kondisi geopolitik yang mencerminkan situasi perdagangan gas (LNG) di tataran

regional dan global. Ini akan mempengaruhi posisi harga gas terutama di kawasan

Asia yang akan berdampak secara tidak langsung pada kondisi supply-demand gas

Indonesia di masa datang.

2. Fluktuasi kenaikan harga minyak yang tajam di pasar internasional telah berdampak

langsung terhadap permintaan dan harga gas di dalam negeri terutama oleh industri

dan pembangkit listrik yang ingin beralih dari BBM ke gas bumi.

3. Kondisi infrastruktur dan kebijakan harga yang akan menentukan pasokan gas.

4. Kebijakan hilirisasi sektor dan revitalisasi industri pupuk yang sedang dicanangkan

pemerintah saat ini diperkirakan akan berdampak pula pada pertumbuhan kebutuhan

dalam negeri yang pesat. Salah satu kebijakan hilirisasi tersebut adalah kebijakan

peningkatan nilai tambah mineral dan pertambangan melalui industri pengolahan dan

pemurnian.

1.3 Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari kajian ini adalah untuk menentukan permasalahan pembangunan

industri gas bumi dan merumuskan solusinya berupa arah kebijakan untuk mempercepat

pembangunan industri gas bumi. Tujuan selanjutnya adalah untuk mendukung

stakeholders pengembangan gas bumi sehingga memiliki landasan yang kuat serta

cukup komprehensif dalam melakukan percepatan pembangunan industri gas bumi.

Adapun sasaran kegiatan kajian ini adalah tersusunnya kebijakan strategis dalam

rangka mempercepat pembangunan industri gas bumi di Indonesia.

4

1.4 Ruang Lingkup Studi

Ruang lingkup kajian ini adalah:

a. Inventarisasi dan evaluasi peraturan dan ketentuan berkaitan dengan pengembangan

dan pemanfaatan gas bumi terutama untuk pemanfaatan kebutuhan dalam negeri.

b. Identifikasi masalah-masalah yang ada dalam pengembangan industri gas bumi.

c. Analisis kajian akademis sebagai landasan penyusunan pedoman pengembangan

gas untuk pemanfaatan dalam negeri.

d. Perumusan alternatif kebijakan pengembangan industri gas bumi untuk

pemanfaatan dalam negeri.

1.5 Pendekatan Studi

Metode penelitan percepatan pembangunan industri gas bumi ini akan dilakukan

melalui brainstorming dengan serangkaian diskusi dan seminar yang mengundang

berbagai pihak yang secara langsung terlibat dalam industri gas baik dari kalangan

pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun dari kalangan akademisi atau universitas,

serta para pelaku usaha yang langsung terlibat dalam industri ini. Para pakar dan

pengamat yang memiliki keahlian di bidang gas bumi dijadikan narasumber dalam

rangkaian seminar dan diskusi tersebut untuk memperkaya kajian ini.

Untuk dapat memperoleh informasi yang akurat dari kalangan industri gas bumi,

juga dilakukan interview langsung dengan melakukan kunjungan lapangan ke beberapa

industri pengguna gas bumi meliputi pabrik kertas, pabrik pupuk, pabrik kaca, pabrik

semen dan smelter tembaga, dan pemasok gas. Dengan kunjungan kerja tersebut

diharapkan dapat diperoleh berbagai informasi mengenai permasalahan dan kondisi di

lapangan yang dihadapi langsung oleh pelaku industri, serta peran penting penggunaan

gas bumi dalam proses industri.

Cakupan data yang akan digunakan dalam kajian ini umumnya dimulai dari

periode 2001 sampai dengan 2011 sepanjang data tersebut tersedia dan cukup akurat

untuk digunakan. Periode ini dinilai dapat mewakili perkembangan dan perilaku yang

terjadi dalam industri gas bumi Indonesia, mengingat banyak perkembangan penting

yang terjadi terutama menyangkut permintaan dan suplai gas bumi di dalam negeri

5

sehingga hal ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap kondisi pertumbuhan industri

gas bumi nasional ini di masa depan.

1.6 Sistematika Laporan

Penulisan kajian ini dilakukan secara sistematis dan terdiri atas enam bab

sebagai berikut:

a. Bab I yang berisi mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan

dilakukannya kajian, serta metode penelitan yang digunakan dalam kajian ini.

b. Bab II yang mencakup perkembangan industri gas bumi di Indonesia mulai dari

cadangan, produksi, dan pemanfaatan gas bumi di Indonesia.

c. Bab III yang menguraikan deregulasi dan kebijakan alokasi dan gas bumi yang

telah dan sedang dilakukan di Indonesia.

d. Bab IV yang mencakup kebutuhan, pasokan, dan infrastruktur gas bumi Indonesia

e. Bab V yang menguraikan strategi dan upaya percepatan dan perluasan pemanfaatan

gas bumi di dalam negeri.

f. Bab VI yang akan menyampaikan kesimpulan dan rekomendasi yang dapat

digunakan untuk mempercepat pembagunan industri gas bumi nasional.

6

BAB 2

PERKEMBANGAN INDUSTRI GAS BUMI INDONESIA

2.1 Potensi Gas Bumi Indonesia

Dalam hal pengembangan industri gas bumi, di tahun 1980-an, Indonesia

termasuk salah satu negara yang pertama kali menerapkan teknologi LNG untuk

keperluan ekspor dengan tujuan utama Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Ekspor gas

bumi belakangan dilakukan juga melalui pipa ke Singapura dan Malaysia. Namun

beberapa tahun terakhir ini pemerintah berupaya untuk mengalihkan ke pasar domestik

sebagai pengganti minyak yang produksinya sudah menurun seperti halnya konversi

minyak tanah ke LPG. Selain itu, faktor peningkatan kebutuhan gas dalam negeri yang

tinggi pada tahun-tahun terakhir ini juga ikut mendorong hal ini. Sektor utama

pengguna gas bumi Indonesia adalah sektor listrik, dan industri.

Sebagai salah satu sumber energi, pangsa gas dalam bauran energi di Indonesia

masih rendah, terlebih bila dibandingkan dengan minyak bumi. Pada tahun 2011,

pemanfaatan gas baru sekitar 20,4 persen dari energi total Indonesia. Berdasarkan

Perpres 5 tahun 2006, pemerintah menargetkan penggunaan gas alam menjadi 30 persen

dari total penggunaan energi pada tahun 2025. Sementara berdasarkan Draft KEN

terakhir (2012), penggunaan gas akan digantikan oleh energi terbarukan dan

diproyeksikan menurun menjadi 20 persen di tahun 2025 dan akan menurun menjadi 15

persen di tahun 2050. Walaupun secara persentase menurun, diperkirakan jumlah riil

kebutuhan gas (untuk energi) akan terus meningkat menjadi 50–54 MTOE atau 5.800–

6.200 MMSCFD dari pemanfaatan gas dalam negeri saat ini di kisaran 4.200 MMSCFD.

Secara geografis, Indonesia sebenarnya memiliki banyak cekungan migas.

Berdasarkan data cadangan sumber daya yang dikeluarkan oleh KESDM, sampai tahun

2011 potensi sumber daya energi fosil atau hidrokarbon yang dimiliki masing-masing

jenis energi ini adalah sebagaimana tabel berikut.

7

Tabel 1 Potensi Sumber Daya Energi Fosil Indonesia per 2011

No Energi Fosil

(Tidak terbarukan)

Sumber

Daya

(SD)

Cadangan

(Cad)

Rasio

SD/Cad

(persen)

Produksi

(Prod)

Rasio

Cad/Prod

(Tahun)*)

1 MinyakBumi (miliarbarel) 56.6 7.99**) 14 0.346 23

2 Gas Bumi(TSCF) 334.5 152.89 51 2.9 55

3 Batubara (miliar ton) 104.8 20.98 18 0.254 83

4 Coal Bed Methane /CBM

(TSCF)

453 - - - -

*) dengan asumsi tingkat produksi tetap dan tidak ada penemuan prospek baru

Sumber : KESDM, 2011.

Data tersebut menunjukkan bahwa kekayaan cadangan energi fosil yang dimiliki

Indonesia terutama minyak bumi tidaklah seperti yang selalu digambarkan dan

dibayangkan selama ini. Kenyataan yang ada di lapangan saat ini, dalam penemuan

lapangan baru cadangan gas bumi cenderung lebih banyak dari pada minyak bumi. Jika

dibanding dengan tingkat produksi saat ini, produksi minyak bumi akan habis dalam

jangka waktu 23 tahun, adapun cadangan gas bumi masih cukup tersedia dalam jumlah

besar untuk diproduksi selama 55 tahun lagi. Di tingkat global pun, cadangan gas dunia

meningkat lima kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan cadangan minyak. Selain

gas bumi, Indonesia memiliki potensi unconventional gas berupa CBM, sebesar 453

TSCF yang besarnya tiga kali lipat dari cadangan gas bumi yang ada saat ini, dan shale

gas, walaupun sampai saat ini belum diketahui dengan pasti besarnya jumlah sumber

daya yang dimiliki. Indikasi awal yang diperoleh dari hasil pemboran oleh KKS

menunjukkan bahwa angka cadangan shale gas kemungkinan sangat besar dengan

sebagian besar berada di laut dalam.

Cadangan gas Indonesia tersebar dengan jumlah terbesar berturut-turut terdapat

di Kawasan Natuna sebanyak 51,46 TSCF (33,65 persen), Sumatera sebanyak 33,48

TSCF (21,9 persen), Papua sebanyak 24,32 TSCF (15,91 persen), Kalimantan sebanyak

18,33 TSCF (12 persen), Laut Timur – Arafuru 15,22 TSCF (9,95 persen). Sementara

sisanya berada di Jawa sebesar 10,1 TSCF (6,1 persen) dan Sulawesi sebesar 4,23 TSCF

(2.8 persen) (Gambar 1). Konfigurasi cadangan gas ini didukung oleh tren penemuan

cadangan di bagian timur Indonesia dan umumnya di daerah laut dalam.

8

Gambar 1 Kondisi Geografis Cadangan Gas Indonesia (Ditjen Migas, 2012)

2.2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia

Produksi gas bumi Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dengan

disertai penurunan produksi minyak, sektor migas Indonesia telah bergeser dari

dominasi minyak ke dominasi gas di tahun 2002 (Gambar 2). Pada tahun 2012 catatan

produksi minyak sampai bulan April menunjukkan produksi minyak 880 ribu barel oil

equivalen (BOE), sementara produksi gas mencapai 1,432 juta BOE (sekitar 63,94

persen dari keseluruhan migas). Walaupun sempat menurun hingga tahun 2007 namun

pertumbuhan produksi gas tahun 2002 – 2012 secara umum meningkat sebesar 1,3

persen. Sementara pada rentang tahun yang sama produksi minyak menurun sebesar 3,5

persen. Kecenderungan ini akan terus berlanjut seiring dengan kecenderungan lebih

banyaknya penemuan daerah prospek gas dibanding prospek minyak dan rencana

produksi yang termuat dalam Plan of Development (PoD) (Gambar 3).

9

Gambar 2 Perkembangan Produksi Minyak dan Gas Indonesia (BP Migas, 2012)

Seperti halnya cadangan gas, tingkat produksi gas bumi Indonesia tersebar di

beberapa lokasi. Lokasi terbesar yang memiliki produksi tertinggi adalah Kalimantan

Timur sebesar 32 persen dari produksi nasional, disusul dengan Sumatera Bagian

Tengah dan Selatan sebesar 21 persen yang kemudian disusul oleh Papua dan Riau serta

Jawa Barat masing-masing sebesar 18 persen dan 14 persen. Sisanya diproduksi di

berbagai lokasi lainnya.

Gambar 3 Rencana Produksi Minyak dan Gas Indonesia sampai 2018 (Ditjen Migas,

2012)

1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

OIL (MBOPD) 1,683 1,631 1,589 1,582 1,624 1,288 1,407 1,515 1,338 1,362 1,445 1,299 1,387 1,539 1,575 1,487 1,535 1,612 1,624 1,570 1,557 1,557 1,500 1,415 1,342 1,252 1,127 1,096 1,063 1,006 955 979 960 958

GAS (MBOEPD) 198 320 407 393 434 424 457 595 619 633 675 731 769 865 977 1,062 1,079 1,214 1,097 1,306 1,310 1,227 1,161 1,185 1,133 1,257 1,431 1,397 1,306 1,150 1,107 1,126 1,157 1,487

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,600

1,800

OIL (MBOPD) GAS (MBOEPD)

Dominasi Minyak Dominasi Gas

Terang Sirasun

Peciko 7B

Tunu 13C

Sumpal

Rubi

Senoro

Peciko 7C

Madura BD

Ande-Ande Lumut

Banyu Urip

Jangkrik

IDD - Bangka

Masela

South

Mahakam

IDD – Gehem Hub

IDD – Gendalo Hub Kepodang

: Minyak dan Gas Bumi

: Minyak Bumi

: Gas Bumi

DOMINASI GAS Kaltim

(Total E&P)

Kaltim

(Total E&P)

Jatim (Kangean Energy)

Jateng

(MCL)

Kepri (Genting Natuna Oil) Jatim

(Husky Madura)

Jateng

(PCML)

Sumsel (COPI Grissik) Sulbar (Pearl Oil Sebuku) Kaltim

(Total E&P)

Sulteng

(JOB Pertamina –

Kaltim

(Chevron Indonesia

Kaltim

(Chevron Indonesia

Kaltim

(Chevron Indonesia

Kaltim

(ENI Muara Bakau)

Kaltim

(Total E&P)

Maluku (Inpex Masela)

10

Sementara dari jumlah permintaan domestik berdasarkan kontrak gas yang ada,

lokasi yang memiliki demand paling banyak adalah Sumatera Bagian Tengah dan

Selatan sebesar 34 persen yang disusul oleh daerah Jawa Bagian Barat sebesar 31

persen. Jawa Bagian Tengah dan Timur serta Kalimantan Timur menempati urutan

selanjutnya dengan 18 persen dan 11 persen. Sisanya tersebar di lokasi lainnya.

Perbandingan gambaran kondisi lokasi suplai dan kebutuhan gas dapat dilihat pada

Gambar 4. Kondisi perbedaan lokasi ini memerlukan kebijakan pemerintah untuk

mempercepat infrastruktur transportasi gas atau bila perlu membuat konsentrasi industri

baru mendekati sumber dari gas.

Gambar 4 Perbandingan Proporsi Lokasi Pasokan dan Kebutuhan Gas Indonesia

(BP Migas dalam Widodo, 2012)

Pada tahun 2015, berdasarkan Neraca Gas Nasional (2010-2025), sebaran

produksi gas tidak banyak berubah, dengan total pasokan kurang-lebih 10.000

MMSCFD1 (Gambar 5). Kalimantan Bagian Timur diproyeksikan dapat memproduksi

gas sampai dengan 2.900 MMSCFD, Sumatra Bagian Tengan/Selatan 2.000 MMSCFD,

Papua 1.200 MMSCFD, dan Natuna 675 MMSCFD. Cadangan gas di Papua dan

Natuna cukup besar dan cukup layak untuk dipercepat pengembangannya, sehingga

produksinya dapat ditingkatkan masing-masing menjadi lebih dari 2.000 MMSCFD.

1 Neraca Gas Nasional (2010-2025), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 2010

Pemanfaatan Gas Bumi, 2011 (4.277

mmscfd)

Produksi Gas Bumi, 2011 (8.922 mmscfd)

11

Gambar 5 Proyeksi Produksi Gas Nasional pada Tahun 2015 dengan Total Pasokan

10.000 MMSCFD (Neraca Gas Indonesia, 2010-2025)

Berdasarkan data pemanfaatan gas dari Ditjen Migas, walaupun sempat agak

berfluktuasi di tahun 2009 dan 2010, secara umum konsumsi gas dalam negeri

meningkat 1,21 persen seiring dengan penurunan ekspor gas Indonesia sebesar rata-rata

0,72 persen. Penurunan ekspor ini selain karena peningkatan kebutuhan dalam negeri

juga karena habisnya beberapa kontrak ekspor. Peningkatan konsumsi dalam negeri di

beberapa tahun mendatang diperkirakan masih belum signifikan sehubungan dengan

keterbatasan transmisi dan jaringan distribusi di Indonesia.

Secara sektoral, pengguna utama gas adalah sektor pupuk dan petrokimia, sektor

kelistrikan, dan sektor industri. Selebihnya adalah pemanfaatan untuk keperluan sendiri

(termasuk untuk peningkatan produksi migas dan sebagai bahan baku LPG) dan hilang

(termasuk yang dibakar). Porsi pemanfaatan sektor pupuk dan petrokimia, cenderung

tetap di kisaran dari 7–10 persen produksi gas. Sementara itu, porsi gas untuk sektor

industri mengalami peningkatan. Walaupun sempat turun signifikan di tahun 2009 dan

2010, pertumbuhan rata-rata pemanfaatan gas untuk sektor industri di tahun 2002

sampai 2011 mencapai 7,7 persen. Sementara porsi gas untuk sektor kelistrikan

cenderung berfluktuasi. Dari tahun 2002 sampai 2009 terjadi peningkatan sebesar rata-

rata 8,3 persen per tahun dan setelah itu menurun sebesar rata-rata 14 persen sampai

tahun 2011. Penurunan ini diperkirakan akan terus berlangsung seiring dengan

selesainya beberapa proyek pembangkit 10.000 MW tahap I yang sebagian besar

- 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000

Kep.Riau-Natuna

NAD

Sumbag-ut

Sumbag-teng-sel

Jabag-bar

Jabag-teng

Jabag tim

Kalbag-tim

Sulbag-teng

Sulbag-sel

Papua

Maluku bag sel

Kep.Riau-Natuna

NAD Sumbag-utSumbag-teng-sel

Jabag-bar Jabag-teng Jabag tim Kalbag-timSulbag-

tengSulbag-sel Papua

Maluku bag sel

SUPPLY (MMSCFD) 675 389 266 1.995 1.107 166 842 2.892 317 76 1.245 -

12

berbahan bakar batubara. Porsi untuk pemanfaatan sendiri (own use) pada kurun waktu

tahun 2002–2011 menurun sebesar rata-rata 6,99 persen. Tabel 2 dan Gambar 6

memperlihatkan konsumsi gas sejak tahun 2002, yakni untuk ekspor dan pemanfaatan

dalam negeri.

Tabel 2 Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi Indonesia (2002 – 2011)

2002 % 2003 % 2004 % 2005 % 2006 % 2007 % 2008 % 2009 % 2010 % 2011 %

PRODUKSI TOTAL (BSCFD) 8.320 8.640 8.280 8.180 8.093 7.686 8.210 8.389 8.386 8.981

Pemanfaatan Domestik (MMSCFD)

Pupuk + Petrokimia 728,0 8,8 703,4 8,1 693,2 8,4 705,8 8,6 711,0 8,8 679,1 8,8 575,1 7,0 795,0 9,5 716,4 8,5 708,8 8,4

Listrik 538,0 6,5 512,8 5,9 462,9 5,6 446,8 5,5 463,8 5,7 502,3 6,5 542,6 6,6 962,0 11,5 734,2 8,8 721,4 8,6

Industri (termasuk PGN) 678,0 8,1 841,6 9,7 1.021,4 1.056,8 12,9 1.219,3 15,1 1.083,3 14,1 1.361,5 16,6 961,0 11,5 790,4 9,4 1.356,4 16,1

Own Use (termasuk Lifting, Kilang,

dan LPG) 1.166,6 14,0 1.128,1 13,1 992,9 997,4 12,2 974,6 12,0 943,4 12,3 1.066,2 13,0 1.010,0 12,0 790,4 9,4 672,1 8,0

Loose (Flare& Kondensat) 440,6 5,3 407,1 4,7 350,4 357,9 4,4 347,2 4,3 295,6 3,8 298,2 3,6 493,0 5,9 507,0 6,0 501,3 5,9

TOTAL DOMESTIK 3.551,2 42,7 3.593,0 41,6 3.520,8 42,5 3.564,7 43,6 3.715,9 45,9 3.503,7 45,6 3.843,6 46,8 4.221,0 50,3 3.538,4 42,2 3.960,0 47,0

Pemanfaatan Ekspor (MMSCFD)

LNG 4.535,5 54,5 4.709,9 54,5 4.390,3 53,0 4.124,4 50,4 3.934,5 48,6 3.562,6 46,4 3.682,5 44,9 3.345,0 39,9 3920,2 46,7 3.543,7 42,0

LPG 6,8 0,1 15,5 0,2 15,5 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

GAS 226,5 2,7 323,6 3,7 353,4 4,3 490,9 6,0 442,6 5,5 619,7 8,1 683,9 8,3 823,0 9,8 927,4 11,1 924,5 11,0

TOTAL EKSPOR 4.768,8 57,3 5.049,0 58,4 4.759,2 57,5 4.615,3 56,4 4.377,1 54,1 4.182,3 54,4 4.366,4 53,2 4.168,0 49,7 4.847,6 57,8 4.468,2 53,0

Sumber : Ditjen Migas (2012) diolah kembali

Sumber : Ditjen Migas (2012) diolah kembali

Gambar 6 Grafik Perkembangan Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi (2002 -2011)

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

TOTAL EKSPOR Listrik

Industri (termasuk PGN) Pupuk + Petrokimia

Own Use (termasuk Lifting, Kilang, dan LPG) Loose (Flare& Kondensat)

13

BAB 3

DEREGULASI DAN KEBIJAKAN HARGA GAS BUMI

3.1 Struktur Industri Gas

Sebagaimana halnya minyak bumi, kegiatan industri gas bumi dapat dibedakan

ke dalam dua kelompok utama yaitu kegiatan hulu (upstream) dan hilir (downstream).

Di antara kedua kelompok kegiatan itu, kadang ditambahkan pula kegiatan antara

(midstream). Gambar 7 memperlihatkan diagram rantai nilai industri gas bumi.

| UPSTREAM | ANTARA | HILIR |

Gambar 7 Rantai Nilai Industri Gas Bumi (Nugroho, 2004)

Dalam rangka pengembangan industri, banyak negara melakukan perubahan

dalam struktur dan pengaturan industri gas dengan membuka kompetisi pada gas dan

transportasinya. Sejak tahun 1984, Amerika Serikat memisahkan segmen pasokan gas

buminya dari segmen pipa transmisi antar negara bagian, menderegulasi produksi gas

bumi dan niaga umum, dan memperkenalkan sistem kompetisi dalam penentukan

transmisi gas antar negara bagian. Sementara itu, Inggris membuka kompetisi pada

industri gasnya dalam hal tertentu ketika Pemerintah Inggris memulai privatisasi British

Gas dan melanjutkannya pada segmen niaga umum dan mempromosikan gas resale.

Mulai tahun 1998, Inggris menjadi negara dengan industri gas bumi paling kompetitif di

dunia.

Keberhasilan Amerika Serikat dan Inggris dalam merestrukturisasi industri gas

setidaknya telah banyak menginspirasi negara-negara di dunia untuk mengembangkan

industri gas masing-masing. Argentina pernah melakukan perubahan pada industri

gasnya di tahun 1992 dengan adanya pemisahan dan kemudian privatisasi produksi gas,

transportasi dan distribusi. Perusahaan distribusi dan niaga umum dapat membeli

langsung dari produsen gas tanpa melalui perusahaan pengangkut gas, meskipun pada

tahun-tahun belakangan ini ada indikasi nasionalisasi perusahaan minyak dan gas. Di

lain pihak, Meksiko membuka kompetisi di industri gas pada tahun 1993 dan Hungaria

Ijin Tambang

Eksplorasi Eksploitasi Marketing

dan Transport

Pengolahan dan

Processing Partai besar Partai kecil

14

memisahkan dan melakukan privatisasi pada perusahaan distribusi gas pada tahun

1994–1995. Saat ini, banyak negara-negara di Asia, Eropa dan Amerika Selatan akan

melakukan perubahan pada industri gasnya untuk meningkatkan efisiensi dan menarik

investasi baru. Negara-negara ini melihat banyaknya manfaat dari perubahan yang

dilakukan negara-negara terdahulu.

Walaupun demikian, pemerintah yang akan melakukan reformasi industri gas

pasti menghadapi tugas yang berat. Diperlukan adanya kajian untuk melihat sejauhmana

viability kompetisi pada industri gas secara keseluruhan dan di dalam masing-masing

segmen, dengan mengidentifikasinya melalui sifat ‘natural monopoli’ dari gas itu

sendiri. Selain itu, juga diperlukan adanya formulasi khusus dari kebijakan dan aturan-

aturan serta merancang mekanisme hubungan yang efisien dari segmen yang diregulasi

mapun yang dideregulasi.

Keberlangsungan kompetisi dalam industri gas ditentukan oleh tiga faktor yaitu:

teknologi, ukuran pasar, dan entry barrier. Faktor teknologi akan mempengaruhi skala

keekonomian, sementara ukuran pasar mempengaruhi banyaknya perusahaan yang

dapat berkompetisi secara efisien dalam pasar gas, sedangkan entry barrier akan

mempengaruhi sejauh mana perusahaan baru dapat memasuki pasar. Faktor-faktor

tersebut menentukan keefisienan industri dalam model statis. Sementara model dinamis

dari industri gas menggabungkan perubahan-perubahan dari faktor-faktor di atas dalam

merefleksikan dinamika lingkungan pada tataran operasional. Perkembangan teknologi,

ketidakpastian pasokan dan kebutuhan, dan perubahan peraturan mempengaruhi

keberlangsungan dari kompetisi industri gas dalam jangka panjang dan hal ini harus

dikaji pada masing-masing segmen industri gas bumi secara terpisah.

Mengingat sifat monopoli alamiah pada kegiatan distribusi dan transportasi gas,

diperlukan adanya pengaturan terkait keekonomian untuk menghindari penyalahgunaan

kekuatan pasar dari perusahaan gas yang telah ada. Tujuan utama dari pengaturan

tersebut adalah efisiensi ekonomi dengan didukung fairness dan transparansi.

Pengaturan ini menggunakan beberapa instrumen untuk mengatur harga gas dan

pelayanannya, di antaranya instrumen tingkat pengembalian (IRR) dan pembatasan

harga. Dengan instrumen IRR, utililiti gas diharuskan menentukan tarif gas bumi

sedemikian rupa sehingga laba yang dihasilkan tidak melebihi IRR yang telah

ditentukan. IRR target biasanya ditentukan dengan mengacu pada bidang dengan profil

15

risiko yang hampir sama. Sementara, instrumen price cap menentukan harga maksimum

yang dapat dibebankan perusahaan gas kepada konsumennya selama periode tertentu,

misalnya tiga–lima tahun. Setelah itu, pihak regulator mereview dan menentukan price

cap baru. Selama periode tersebut, peningkatan pendapatan hanya dapat dilakukan

dengan efisiensi. Instumen ini harus disertai dengan kebijakan standar pelayanan dan

keselamatan agar melindungi kondumen dalam mendapat pasokan yang handal.

Esensi dari efisiensi yang dilakukan adalah untuk memastikan bahwa tarif/harga

jasa transportasi dan distribusi gas telah mencerminkan keekonomiannya dengan tetap

memperhatikan kepentingan sosial. Untuk mencapai hal tersebut, tidak harus melalui

penetapan harga tetapi juga melalui insentif yang diberikan pemerintah. Jika iklim

kompetisi produksi gas dan perdagangan berlangsung baik, harga dan persyaratan harus

dideregulasi untuk menciptakan pasar yang efisien. Jika produsen, trader dan supplier

dibatasi dalam penentuan harga atau dalam memasuki pasar, maka pelaku pasar lainnya

akan mendapatkan kekuatan pasar untuk menentukan harga yang tinggi.

Negara kecil umumnya memiliki tingkat kompetisi yang terbatas dalam pasar

gasnya, karena pasar tidak cukup besar untuk mendukung operasi secara efisien. Di

negara-negara ini, regulator harus fokus untuk mempermudah persyaratan dibanding

mengatur perusahaan dalam negeri, sehingga kompetitor luar negeri dapat dengan

mudah masuk sebagai kekuatan penyeimbang.

Deregulasi yang dilakukan banyak negara telah menghasilkan tipe struktur

industi gas bumi. Perubahan struktur yang paling penting adalah Open Access, yaitu

membuka segmen transportasi gas ke pihak ke tiga, dan Unbundling, dengan

memisahkan perdagangan gas dengan transportasi gas.

3.1.1 Tipe Integrasi Vertikal

Tipe ini adalah struktur tradisional dari industri gas bumi di mana produksi,

transportasi dan distribusi dilakukan oleh satu perusahaan yaitu perusahaan gas

terintegrasi. Perusahaan seperti ini umumnya memiliki posisi eksklusif dalam pasokan

gas ke konsumen dan diatur ketat karena posisi monopolinya di pasar. Badan pengawas

biasanya menggunakan instrumen IRR atau price cap untuk mencipatakan efisiensi

ekonomi dan membatasi kekuatan pasar dari perusahaan. Tipe ini kurang fleksible

16

dalam situasi pasar dinamis dan regulasi sering kali tidak cukup berpengaruh pada

efisiensi operasi.

3.1.2 Tipe Kompetisi di Segmen Produksi

Dalam tipe ini, produsen gas menjual gas ke perusahaan terintegrasi yang

menguasai transmisi, distribusi dan layanan (service). Perusahaan gas tersebut

kemudian menjual produk-produknya dalam bentuk bundled: gas itu sendiri, jasa

transmisi, dan layanan distribusi ke konsumen, baik konsumen besar maupun konsumen

kecil . Dalam mekanisme ini, tidak ada pilihan bagi produsen dan konsumen untuk

mengatur alternatif jasa, dan praktis tidak terjadi kompetisi di antara pemberi jasa.

Gambar 8 memperlihatkan konsep industri gas dalam transisi.

Gambar 8 Mekanisme Industri Gas Transisi (Nugroho, 2004 diolah kembali)

Dari gagasan kompetisi di segmen produksi tersebut, nampak bahwa sampai saat

ini Indonesia masih menerapkan mekanisme ini. Mekanisme bundling ini, meskipun

sederhana, masih menyisakan “keunggulan” yaitu dapat dimanfaatkan untuk

menerapkan subsidi silang antara segmen rantai gas dan kategori konsumen.

Tipe kompetisi di segmen produksi ini, memisahkan segmen produksi dari

segmen lain di industri gas bumi dan melahirkan kompetisi di antara produser sehingga

menghasilkan produksi yang lebih efisien dibandingkan tipe integrasi vertikal. Produsen

menjual gas bumi ke perusahaan gas yang kemudian dijual kembali ke konsumen.

Transaksi antara produsen dan perusahaan gas mengembangkan pasar gas niaga umum

di mana gas diperdagangkan untuk dijual kembali. Contoh dari perusahaan tipe ini

adalah British Gas sebelum privatisasi tahun 1986 yang membeli gas bumi dari lebih

140 produsen.

Pada tipe ini, pengaturan dibutuhkan untuk membatasi kekuatan pasar dari

perusahaan gas terhadap produsen dan konsumen. Harga konsumen diatur dengan

mekanisme yang sama dengan model integrasi vertikal, sementara harga gas yang dijual

Produsen Jasa Transmisi,

Distribusi, Konsumen

17

produsen diatur melalui mekanisme tender di mana produsen memberi penawaran untuk

memasok ke perusahaan gas. Harga yang terbentuk akan mencerminkan nilai pasar dari

gas bumi, jauh lebih baik dari harga yang ditentukan oleh regulator. Perusahaan gas

monopoli seringkali menghalangi akses langsung produsen dan konsumen karena

regulasi yang tidak tegas atau karena kekuatan pasarnya. Oleh karenanya, beberapa

negara mengupayakan untuk membuka transportasi dan distribusi ke sistem kompetisi.

3.1.3 Tipe Akses Terbuka untuk Niaga Umum

Dalam tipe ini, produsen menjual gas ke perusahaan transmisi yang kemudian

menjual kembali gas tersebut ke perusahaan layanan distribusi. Selanjutnya, perusahaan

distribusi tersebut menjual gas ke konsumen kecil maupun niaga umum. Di sisi lain,

niaga umum juga dapat membeli gas secara bebas dan langsung baik dalam bentuk

bundled maupun unbundled dari masing-masing service provider. Gambar 9

memperlihatkan secara skematik tipe akses terbuka yang namun masih terbatas untuk

konsumen besar.

Gambar 9 Mekanisme Akses Terbuka untuk Niaga Umum

(Nugroho, 2004 diolah kembali)

Tipe akses terbuka untuk niaga umum ini memungkinkan open access pada

transportasi. Pada tipe ini perusahaan gas dapat menyediakan dua jenis pelayanan yaitu

penyediaan gas ke konsumen dan penyediaan jasa transportasi ke niaga umum dan

industri. Perusahaan gas dipisahkan secara vertikal menjadi unit/perusahaan transportasi

dan beberapa unit distribusi dan menyediakan akses terbuka pada jaringan pipanya.

Industri gas di Amerika Serikat antara tahun 1985 dan 1992 adalah contoh dari industi

Konsumen

Kecil

Konsumen

Besar umum

18

gas tipe ini. Demikian pula dengan industri gas ketika di unbundling menjadi pemasok

gas dan operator pipa di tahun 1996.

Rezim ‘open akses’ menciptakan efisiensi di pasar niaga umum gas dan

menguntungkan pasar. Keuntungan produsen dengan open akses ini adalah

meningkatnya jumlah pembeli dan menurunnya masalah ‘monopsoni’ seperti tipe

kompetisi di segmen produksi. Perusahaan distribusi dan konsumen besar diuntungkan

dengan adanya akses langsung ke segmen produksi dan memiliki banyak pilihan dalam

pasokan gas.

Namun, untuk perusahaan transportasi, tipe akses terbuka ini lebih sulit dari

pada tipe vertikal maupun tipe kompetisi di segmen produksi karena harus

mengkoordinasikan gas miliknya dan gas milik pihak ketiga melalui jaringan pipa.

Transaksi dalam pasar konsumen besar gas biasanya dilakukan secara langsung

sehingga ketika ada intermediasi hal ini menjadi kompleks dan biaya transaksi dari open

access menjadi lebih mahal. Hal ini lebih banyak merugikan konsumen kecil ketimbang

peluang untuk mendapatkan yang lebih murah. Lebih jauh, hal ini juga menciptakan

peluang usaha bagi trader yang dapat mengumpulkan kebutuhan dan suplai untuk

konsumen kecil dengan membeli gas dan jasa transportasi atas nama sendiri. Trader

akan membebankan biaya untuk transaksi intermediasi dan meminimasi biaya gas dan

jasa transportasinya dengan membeli jumlah yang banyak.

Terdapat tiga tujuan utama pengaturan yang penting dalam tipe industri gas ini

yaitu melindungi konsumen dari kekuatan pasar perusahaan gas, menciptakan kompetisi

di pasar niaga umum, dan mencegah kekuatan pasar dari perusahaan pipa terhadap

jaringan pipanya. Harga konsumen diatur dengan pengaturan IRR dan price cap. Harga

niaga umum gas dideregulasi jika ada kompetisi di pasar. Bila tidak, sebaiknya terlebih

dahulu menghilangkan entry barrier sebelum mengatur harga secara langsung. Hal ini

dikarenakan pengaturan harga niaga umum tidak menciptakan perdagangan yang

kompetitif.

Harga jasa transportasi atau access price adalah faktor paling penting dalam

mencapai kompetisi dan efisiensi di level pasar niaga umum. Hal ini karena perusahaan

transportasi yang tidak diatur dapat membebani access price yang mahal atau mencabut

akses demi monopsoni power. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengaturan access

price optimal dengan prinsip efisiensi yang meliputi biaya transportasi kepada pihak

19

ketiga dan keuntungan segmen transportasi pipa dalam pasokan gas. Harga ini memberi

perusahaan transportasi insentif yang tepat dalam menyediakan open access dengan

memastikan hanya pemakai yang membayar lebih murah untuk niaga umum gas yang

akan memakai jasa transportasi.

3.1.4 Tipe Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh

Dalam tipe ini, produsen gas menjual gas ke perusahaan transmisi, yang

kemudian menjualnya kembali ke perusahaan distribusi. Perusahaan pemasok (supplier)

adalah afiliasi dari perusahaan distribusi. Perusahaan service adalah supplier lain yang

dapat melakukan services penjualan gas, baik dalam bentuk bundled maupun unbundled.

Konsumen besar maupun kecil bebas memilih penyediaan layanan gas. Gambar 10

memperlihatkan skema mekanisme liberalisasi penuh, yang telah diterapkan di beberapa

negara industri.

Gambar 10 Mekanisme Akses Terbuka/Liberalisasi Penuh

(Nugroho, 2004 diolah kembali)

Tipe ini memperlihatkan unbundling — pemisahan pasokan gas dari jasa

transportasi dan distribusi — dan deregulasi penuh pasar gas bumi. Alasan utama

unbundling adalah kemampuan perusahaan transportasi dalam menghindari kompetisi

di pasar niaga umum gas melalui langkah selain harga seperti jasa transportasi dengan

kualitas rendah. Unbundling mengurangi distorsi. Selain itu, unbundling juga

memfasilitasi pengembangan banyak perusahaan pemasok yang membeli gas di pasar

niaga umum, menjual kembali di hilir, dan menggunakan perusahaan jasa transportasi

dan perusahaan distribusi. Kompetisi antar perusahaan pasokan menekan

melambungnya harga jual dan memfasilitasi akses langsung dari segmen produksi ke

konsumen. Peningkatan kompetisi dan deregulasi di pasar gas mengurangi perlunya

Service

(D1)

Service

(D2, D3)

Konsume

n Kecil

Niaga

umum

20

pengaturan harga di level wholesale dan membutuhkan regulasi yang memberi

fleksibilitas harga di level retail. Dalam hal ini, pengaturan IRR kurang efektif

dibandingkan dengan pengaturan price cap.

Proses unbundling sendiri terbagi menjadi 4 tahap, yang penerapannya

tergantung dari kerumitan operasional jaringan dan aspek keekonomian jaringan. Empat

tahap unbundling berturut-turut adalah: i) Accounting Unbundling (pemisahan akuntasi

antara kegiatan pengangkutan dan niaga); ii) Functional Unbundling (pemisahan fungsi

antara kegiatan pengangkutan dan niaga); iii) Legal Unbundling (pemisahan perusahaan

antara kegiatan pengangkutan dan niaga); dan iv) Ownership Unbundling (pemisahan

kepemilikan antara kegiatan pengangkutan dan niaga).

Jaringan pipa transmisi, karena mudah secara operasional dan dampak

finansialnya tidak terlalu besar, dapat langsung menerapkan legal atau ownership

unbundling. Di lain pihak, jaringan pipa distribusi, dengan tingkat kerumitan

operasional dan dampak finansial yang cukup tinggi, pada umumnya dimulai dari

accounting unbundling terlebih dahulu sebelum dilakukan tahapan unbundling

berikutnya. Beberapa jaringan distribusi gas bumi di negara-negara Eropa dan USA,

sampai dengan saat inipun masih ada yang hanya dapat menerapkan accounting dan

functional unbundling saja, padahal deregulasi bisnis gas bumi di sana telah terjadi

sejak puluhan tahun yang lalu.

Pada tipe liberalisasi penuh, pasar gas mengalami transformasi yang signifikan

dalam mengakomodasi kebutuhan dari pelaku pasar yang mencari pengaturan dan

perdagangan lebih fleksibel dari tipe akses terbuka untuk niaga umum. Gas

diperdagangkan melalui kontrak jangka pendek untuk memenuhi pasokan dan

kebutuhan dalam jangka pendek dan memberi pelaku pasar fleksibilitas. Pengembangan

pasar jengka pendek dan spot price menciptakan efisiensi di keseluruhan pasar gas

karena harga terus ditentukan secara likuid dan, dengan kompetisi, harga gas menjadi

lebih efisien. Pelaku pasar menggunakan spot price sebagai harga acuan dalam kontrak

gas bilateral dan hasilnya kebanyakan gas diperdagangkan dalam spot price.

Perdagangan gas jangka pendek menciptakan volatilitas dalam volume dan

harga sehingga meningkatkan ketidakpastian kebutuhan jasa transportasi. Di beberapa

periode, kebutuhan dapat melebihi kapasitas yang ada, di lain periode mungkin turun di

bawah kapasitas.

21

3.2 Deregulasi Industri Gas Bumi Indonesia

Berdasarkan konstitusi UUD 1945, Negara Republik Indonesia memiliki semua

hak akan minyak dan gas dalam wilayahnya yang ditujukan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Pasal 33) dan dalam pengelolaannya dilakukan

oleh Pemerintah. Dalam rangka pelaksanaannya, pengaturan mengenai gas baik

eksplorasi maupun produksi didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 tahun 2001

dan peraturan pelaksanaannya.

Setelah diberlakukannya undang-undang ini, Pertamina, sebagai operator

lapangan yang sebelumnya juga menjadi wakil negara dalam tanggung jawab

pengaturan kegiatan hulu minyak dan gas (regulator), beralih hanya menjadi operator

saja. Tugas ini kemudian diserahkan kepada BP Migas, yang dibentuk sebagai sebuah

Badan Hukum Milik Negara, dan juga KESDM (Ditjen Migas). Sementara untuk

kegiatan sektor hilir, meliputi pengolahan, transportasi, penyimpanan dan perdagangan,

merupakan tanggung jawab BPH Migas.

Pengusahaan hulu sektor minyak dan gas dilakukan melalui sebuah Kontrak

Bagi Hasil (Profit Sharing Contract/PSC), yang ditandatangani bersama BP Migas.

Berdasarkan PSC, kontraktor berhak atas persentase tertentu dari minyak dan/atau gas

bumi. Kegiatan hulu dapat dilakukan oleh perusahaan Indonesia atau pun perusahaan

asing, dengan catatan satu perusahaan hanya dapat tercatat dalam satu PSC. Untuk

sektor hilir, kegiatan usaha harus dilakukan oleh perusahaan Indonesia. Dalam

praktiknya, perusahaan asing dapat berpartisipasi dengan terlebih dahulu mendirikan

anak perusahaan lokal dan memperoleh ijin usaha hilir dari Pemerintah.

Secara umum, UU No. 22 tahun 2001 mengamanatkan pengutamaan alokasi gas

untuk dalam negeri melalui kebijakan efektifitas pengaturan sektor hulu dengan hilir.

Kebijakan ini dilakukan dengan memisahkan kegiatan badan usaha sektor hulu dengan

sektor hilir (Pasal 10). Selain itu dalam UU ini ditegaskan pula tentang kemungkinan

pemanfaatan fasilitas secara bersama-sama untuk usaha Transportasi Gas Bumi melalui

pipa yang menyangkut kepentingan umum (Pasal 8).

Untuk pemanfaatan dalam negeri, dalam peraturan pelaksanaan Permen ESDM

No. 3 tahun 2010 telah diatur mengenai urutan sektor atau kegiatan prioritas yang

22

mendapat alokasi gas, yaitu untuk kegiatan lifting minyak, pupuk, listrik dan lainnya.

Sementara dalam kegiatan pengusahaan gas bumi, badan usaha dapat memperoleh ijin

niaga dan ijin transportasi secara bersamaan. Dengan kata lain, badan usaha dapat

bertindak sebagai transporter di suatu kesempatan dan trader di kesempatan lainnya.

Berikut ini adalah bagan kerangka regulasi dan skema pengusahaan gas bumi di

Indonesia.

Gambar 11 Kerangka Regulasi Pengusahaan Gas Bumi (PGN, 2011)

23

Gambar 12 Skema Pengusahaan Gas Bumi (PGN, 2011)

3.2.1 Deregulasi Industri Sektor Hulu Gas Bumi Indonesia

UU no. 22 tahun 2001 mengamanatkan pemisahan usaha hulu dan hilir sehingga

perlu dibentuk Badan Pelaksana dan Badan Pengatur Hilir Migas. BP Migas dibentuk

setelah adanya PP No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu

Migas (BP Migas) yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Posisi BP

Migas ini begitu strategis, langsung di bawah Presiden berkooordinasi dengan KESDM

dalam hal pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas. Ketua BP Migas dipilih oleh

Presiden setelah mendapat rekomendasi dari Menteri ESDM dan mendapat persetujuan

DPR. Sebagai BHMN, BP Migas bersifat non-profit dan untuk mendanai kegiatannya

BP Migas menerima fee sekitar 1 persen dari pendapatan negara di kegiatan hulu.

Sebagai regulator hulu, BP Migas, memiliki tugas dan kewenangan berikut ini :

a. Memberi rekomendasi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

sehubungan dengan persiapan dan tender wilayah kerja dan kontrak kerja sama;

b. Menandatangani PSC;

c. Menganalisis dan memberi rekomendasi kepada ESDM terkait Plan of

Development (POD) pertama untuk persetujuan KESDM;

d. Menyetujui POD selanjutnya;

e. Menyetujui program kerja dan anggaran (Work Program & Budget / WP&B);

24

f. Memantau pelaksanaan kontrak kerja sama; dan

g. Menunjuk penjual (minyak/gas) hak Pemerintah (BP Migas mengumpulkan bagian

gas Pemerintah tetapi harus menunjuk pihak lain untuk menjual gas).

Kontrak Kerja Sama (KKS) adalah kontrak antara perusahaan dengan BP Migas

dan berlaku mengikat secara hukum yang diatur oleh dan berlaku sesuai dengan hukum

Indonesia. Sesuai dengan konstitusi, negara melalui pemerintah memiliki semua minyak

dan gas dalam wilayahnya. Kepemilikan gas bumi tetap di tangan negara cq Pemerintah

dari produksi sampai transportasi ke pembeli pihak ketiga. KKS meliputi eksplorasi

sampai produksi. Ketentuan umum dalam KKKS sejak diberlakukannya UU 22 tahun

2001 adalah :

Jangka waktu 30 tahun

Periode eksplorasi 6 tahun yang dapat diperpanjang (jika tidak ada penemuan

komersil selama periode eksplorasi, KKS dapat dihentikan)

Persyaratan pengiriman program kerja eksplorasi kepada BP Migas untuk

persetujuan dan ketaatan terhadap program kerja yang disetujui

Perusahaan menunjuk operator pengelola KKS

Pemerintah Indonesia berhak mendapat bagian produksi KKS yang dikenakan

penyesuaian sesuai dengan formula pengeluaran :

Untuk produksi minyak bumi umumnya setelah dipotong cost recovery adalah:

62,5 persen : 37,5 persen

Untuk produksi gas bumi setelah dipotong cost recovery adalah: perusahaan

71,4 persen : 28,6 persen

BP Migas dapat meminta perusahaan KKS untuk menawarkan hingga 10 persen

kepemilikan kepada perusahaan/pemerintah Indonesia. Selain itu, BP Migas juga

dapat meminta kepemilikan ini kepada BUMD. Hal ini dilakukan dengan ketentuan

bahwa investor Indonesia harus membayar biaya akuisisi kepemilikan dan

memenuhi komitmen semua keuangan yang timbul.

KKS dapat dikenai PPh, Bea Masuk tertentu termasuk tax holiday untuk waktu

yang disepakati.

Operator diminta untuk mengikuti aturan tender dan pengadaan dengan transparan.

Kepemilikan perusahaan dalam KKS ditransfer atau dialihkan.

Perselisihan di bawah KKS diselesaikan oleh internasional arbitrase.

25

Ketentuan KKS mensyaratkan perusahaan untuk menawarkan kepemilikan

kepada BUMD pada saat persetujuan POD. Selain itu, di banyak tender KKS, Pertamina

diberi keistimewaan untuk mendapat 15 persen kepemilikan dari WKP setelah negosiasi

secara bisnis to bisnis dengan pemenang tender.

Untuk penerimaan negara dari gas terdiri dari pajak dan non pajak. Penerimaan

pajak terdiri pajak perusahaan dan pajak perorangan. Penerimaan bukan pajak terdiri

dari kewajiban produksi dan penerimaan lainnya dalam bentuk biaya eksplorasi dan

bonus lain (seperti bonus produksi). Umumnya komposisi bagi hasil untuk gas adalah

70 (pemerintah) : 30 (Perusahaan). Secara teori, perusahaan dapat menegosiasikan

komposisi bagi hasil ini. Masing-masing pemerintah dan perusahaan dapat menerima

porsi produksi dalam bentuk in kind. Selain porsi produksi, pemerintah juga

memperoleh pemasukan dari pajak penghasilan dari perusahaan dengan besaran 44

persen untuk perusahaan. Biaya operasi, biaya modal dan bonus menjadi pengurang dari

penghasilan kena pajak. Pemerintah juga berhak mendapatkan signature and production

bonus berdasarkan kesepakatan KKS.

Untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri, kontraktor hulu migas

diwajibkan menyisihkan 25 persen dari gas bagian mereka untuk Domestic Market

Obligation (DMO) lima tahun sejak mulai produksi. Apabila BP Migas tidak

mendapatkan pembeli potensi dalam negeri atau negosiasi dengan pembeli potensial

gagal, perusahaan dapat meminta persetujuan BP Migas untuk menjual kuantitas DMO

di pasar internasional. Secara lengkap skema DMO dapat dilihat pada gambar berikut

ini.

26

Keterangan : DM = Domestic Market; FM = Free Market

Gambar 13 Mekanisme Pelaksanaan DMO Gas (BP Migas, 2011)

Pada tanggal 11 November 2012, MK melalui keputusannya membatalkan

beberapa pasal UU No. 22/2001 yang berkaitan dengan fungsi dan wewenang BP Migas

dan membubarkan BP Migas. Fungsi BP Migas kemudian diambil alih oleh

Kementerian ESDM melalui unit baru dibawah Menteri ESDM, yakni Satuan Kerja

Sementara Pelaksana Migas dan semua kontrak dengan BP Migas tetap berlaku (Perpres

95/2012 serta KepMen ESDM No. 3135/K/08/MPF/2012) sedangkan semua pekerja BP

Migas diberikan gaji dan tunjangan jabatan sesuai ketentuan sebelum pengalihan

(Kepmen No 3136/K/08/MPF/2012).

3.2.2 Deregulasi Sektor Hilir Gas Bumi Indonesia

Penerapan UU No. 22 tahun 2001 telah mengubah tata kelola usaha gas. Otoritas

kebijakan kegiatan pengusahaan gas bumi di Indonesia dipegang oleh KESDM cq.

Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Ditjen Migas). Sementara di sektor hulu, kegiatan

pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh BP Migas. Untuk sektor hilir, kegiatan

pengaturan dilakukan oleh KESDM cq BPH Migas secara bersama-sama (Gambar 14).

27

Gambar 14 Hubungan KESDM, BP Migas dan BPH Migas dalam Pengelolaan Migas

(KESDM, 2011)

Ditjen Migas, dengan dibantu BP Migas, mengatur ketersediaan pasokan gas

bumi untuk kebutuhan dalam negeri, serta harga gas bumi untuk konsumen industri,

listrik, transportasi dan komersial. Ditjen Migas bersama-sama dengan BPH Migas

mengatur ketersediaan infrastruktur jaringan pipa gas bumi. Di samping itu, Ditjen

Migas mengatur ketersediaan infrastruktur pipa untuk gas, seperti pipa dedicated hilir,

pipa untuk kepentingan sendiri dan jaringan pipa gas kota, serta infrastruktur non-pipa,

seperti CNG Station dan LNG Receiving and Gas Refasification Terminal. Dilain pihak,

BPH Migas mengatur tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa (gas pipeline toll fee),

harga gas bumi untuk konsumen rumah tangga dan pelanggan kecil, dan kegiatan usaha

transmisi dan distribusi gas bumi melalui pipa (Open Acces, Hak Khusus, Akun

Pengaturan).

Berdasarkan Permen ESDM No. 7 tahun 2005, Ijin Kegiatan Hilir diperlukan

untuk tiap jenis kegiatan hilir secara terpisah. Sebagai contoh, untuk transportasi gas

dibutuhkan Ijin Usaha Transportasi Gas. Apabila perusahaan melakukan kegiatan hilir

yang bersinggungan dengan kegiatan hilir lainnya, perusahaan hanya perlu

mendapatkan satu ijin usaha. Selain Ijin Usaha yang dikeluarkan Menteri ESDM,

transportasi gas yang melalui bagian pipa transmisi dan jaringan distribusi memerlukan

hak khusus yang dikeluarkan oleh BPH Migas. Hak khusus ini diberikan melalui proses

lelang yang dilaksanakan BPH Migas. Satu hak khusus akan diberikan kepada

perusahaan untuk area segmen transmisi atau jaringan distribusi.

28

Pada saat ini Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi

Nasional (RIJTDGBN) merupakan pedoman dasar yang digunakan sebagai acuan

investasi dan pengembangan pasar domestik serta pembangunan jaringan transmisi dan

distribusi gas bumi bagi badan usaha dalam kerangka kegiatan usaha hilir gas bumi,

yang dapat disesuaikan dan disempurnakan setiap tahun berdasarkan usulan BPH Migas.

BPH Migas berwenang menentukan akses untuk sistem transportasi,

interkoneksi dan kerjasama antar sistem pipa. BPH Migas berwenang meninjau dan

mengawasi pengaturan jalur pipa gas dan infrastruktur terkait. BPH Migas telah

mengeluarkan regulasi mengenai persyaratan pihak ketiga untuk masuk akses fasilitas

pengangkutan yang dimiliki pemegang ijin khusus. BPH Migas mengatur bahwa

pemegang ijin khusus harus mengijinkan akses pihak ketiga pada fasilitas transportasi

gas bumi di bawah ketentuan khusus yang disepakati antara pemegang ijin khusus

dengan pihak ketiga. Jika pemegang ijin khusus menolak untuk memberikan akses

pihak ketiga ke jalur pipa gas, maka pemegang ijin khusus harus memberikan alasan

kepada BPH Migas dengan ketentuan jika BPH Migas menilai alasan tersebut tidak

berdasar, BPH Migas dapat mencabut ijin khususnya. Apabila kapasitas pemegang ijin

khusus menurun dan terjadi kekurangan pasokan gas, badan usaha dapat meminta

persetujuan BPH Migas untuk mengembangkan kapasitasnya. Opsi lainnya, jika

pemegang ijin khusus tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar untuk pasokan gas, BPH

Migas akan membuka segmen baru pada jalur sama untuk dilelang. Pada situasi ini,

pemegang ijin khusus baru akan tetap memiliki ijin khususnya terhadap segmennya.

Kebijakan Open Access

Regulasi open access dijelaskan pada pasal 46 ayat 1, UU No.22/2001 yang

menyebutkan bahwa pengawasan terhadap kegiatan usaha pengangkutan gas bumi

melalui pipa oleh BPH Migas dilakukan untuk optimasi dan mencegah terjadinya

monopoli pemanfaatan fasilitas pipa transmisi dan distribusi gas bumi oleh badan usaha

tertentu. Dalam rangka mengimplementasikan aturan tersebut, BPH Migas telah

mengeluarkan Peraturan BPH Migas No. 15/P/BPHMIGAS/VII/2008, tentang

Pemanfaatan Bersama Fasilitas Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa (Open Access).

29

Kebijakan Unbundling

Regulasi unbundling adalah peraturan untuk memisahkan kegiatan bisnis yang

bersifat monopoli alamiah dari kegiatan bisnis yang dapat dikompetisikan. Kegiatan

yang bersifat monopoli alamiah dalam hal ini adalah pengangkutan gas melalui jaringan

pipa, sedangkan kegiatan yang dapat dikompetisikan adalah kegiatan niaga gas.

Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa

Tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa diatur dan ditetapkan oleh BPH

Migas (Pasal 46 ayat (3) huruf (d) Undang-Undang No. 22/2001 Tentang Minyak dan

Gas Bumi). BPH Migas telah mengeluarkan Peraturan BPH Migas No. 16/P/BPH

Migas/VII/2008, tentang Penetapan Tarif Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.

Metode yang digunakan oleh BPH Migas dalam menentukan tarif adalah metoda Cost

of Service, di mana BPH Migas menentukan IRR yang wajar yaitu maksimal sama

dengan WACC (Weighted Average Cost of Capital). Cost of service adalah jumlah

pendapatan yang berhak pemilik jaringan pipa (Transporter) peroleh, sehingga

pendapatan tersebut dapat digunakan untuk membayar semua biaya yang dikeluarkan

oleh transporter dalam menjalankan kegiatan usahanya, serta mendapatkan keuntungan

yang wajar dari modal yang telah diinvestasikan. Persamaan yang digunakan untuk

menghitung toll fee adalah (Cost of Service)/(Gas Volume Flowing Trough Pipeline).

WACC dihitung berdasarkan rumus ((CD (1-T)D/(D+E))+(( CE E)/(D+E)),

dimana D adalah jumlah modal pinjaman (Debt), E adalah jumlah modal sendiri

(Equity), T adalah tarif pajak pendapatan, CD adalah bunga modal pinjaman, dan CE

adalah biaya modal sendiri. CE dihitung berdasarkan rumus Rf + (BPMEM+ICRP),

dimana Rf (Risk Free Rate) adalah tingkat pengembalian investasi bebas risiko, yaitu

tingkat bunga surat utang yang dikeluarkan oleh negara Amerika Serikat (US Treasury

Bond), atau beta adalah fluktuasi portfolio investasi bidang usaha hilir gas bumi

dibandingkan dengan pasar (stock market). Pasar di sini adalah Bursa Efek Indonesia.

BPMEM adalah Base premium for mature equity market, yaitu premi pasar yang telah

mempunyai peringkat AAA, ICRP adalah Indonesia country risk premium, yaitu premi

risiko investasi di Indonesia, yang saat ini dalam katagori BB+2.

2 Contoh perhitungan – Sebuah perusahaan pengangkutan gas bumi melalui pipa, telah berinvestasi dan mulai beroperasi tahun

2012 dan menhajukan tarif kepada BPH Migas, Berapakah IRR yang ditetapkan BPH Migas dalam menentukan Tarif jika diketahui

bahwa nilai investasi pipa adalah USD 10.000.000 yang didanai dengan modal pinjaman sebesar 50% (USD 5.000.000) dengan

30

Akun Pengaturan

Sebagaimana telah diketahui, suatu jaringan pipa gas dapat dimanfaatkan secara

bersama (open access) apabila telah ada tarif yang ditetapkan oleh regulator pada

jaringan tersebut. Regulator dapat menentukan tarif apabila tersedia data akun

pengangkutan yang terpisah dari data akun kegiatan niaga, oleh karena itu syarat

minimal suatu jaringan dapat di open acces adalah telah melaksanakan accounting

unbundling. Terkait dengan accounting unbundling dan pengumpulan data akun

pengangkutan, BPH Migas telah mengeluarkan Peraturan No. 21/2011 tentang Akun

Pengaturan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa Transmisi. Akun

Pengaturan untuk jaringan pipa distribusi gas bumi belum dibuat oleh BPH Migas

karena jaringan distribusi gas bumi sampai dengan saat ini masih ditetapkan Pemerintah

sebagai jaringan pipa dedicated hilir. Akun Pengaturan dilaporkan oleh Badan Usaha

kepada BPH Migas setiap tahun, dan digunakan oleh BPH Migas sebagai bahan untuk

mengevaluasi tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa.

3.3 Kebijakan Alokasi dan Harga Gas Bumi Indonesia

Berdasarkan regulasi, kebijakan alokasi gas bumi di Indonesia ditetapkan oleh

pemerintah. Melalui Permen ESDM No 3 tahun 2010, pemerintah menetapkan prioritas

pemanfaatan gas bumi dalam negeri secara berurutan mulai dari lifting minyak, industri

pupuk, listrik dan industri lainnya. Kebijakan ini banyak menimbulkan perdebatan dari

konsumen gas terutama dari sektor industri. Alasan utamanya adalah pemerintah lebih

mendahulukan sektor yang berpotensi menambah penerimaan negara secara cepat

(lifting minyak) dibandingkan sektor yang memiliki banyak faktor nilai tambah seperti

sektor industri.

Untuk penentuan harga jual gas, berdasarkan regulasi yang ada terdapat

beberapa otoritas yang berwenang menetapkan tergantung konsumen pemakainya

(Gambar 15).

bungan pinjaman 6% dan modal sendiri sebesar 50% (USD 5.000.000). Berdasarkan data tahun 2012: Rf = 3.95 %, US Treasury

Bond Rate, ß = 1.141, ß PT PGN , BPMEM = 6.00% , dan ICRP = 3.60%. Dengan data tersebut, maka CE = 3.95% + 1.141 (6.00%

+ 3.60%) = 14.90%. Kemudian D = USD 5.000.000, E = Modal Sendiri = USD 5.000.000, T= 25%, CD =6.00%, dan CE = 14.90%. Dengan hasil perhitungan parameter tersebut maka WACC = 8.75%. Dengan kata lain IRR yang digunakan untuk menentukan Tarif

Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada Badan Usaha Pengangkutan ini adalah 8.75%.

31

Gambar 15 Otoritas Penetap Harga Gas Pipa

3.3.1 Harga Gas Hulu dan Harga Gas Hilir untuk Pengguna Tertentu

Dalam hal penetapan harga gas di hulu (well head price) dan harga gas hilir

untuk pengguna tertentu seperti halnya pada sektor transportasi, BP Migas ikut berperan

sesuai dengan fungsinya dengan menunjuk penjual gas bagian negara (biasanya

Produsen) (Gambar 16). Setelah itu, khusus untuk harga gas di hulu produsen selaku

penjual akan mencari pembeli dan bernegosiasi. BP Migas akan mengawasi proses

negosiasi tersebut. Hasil negosiasi oleh BP Migas ini kemudian diusulkan kepada

Menteri ESDM untuk dievaluasi oleh Kementerian ESDM, dalam hal ini melalui

Direktorat Jenderal Migas (Ditjen Migas). Dalam melakukan evaluasi, Ditjen Migas

melakukan klarifikasi dengan BP Migas, dan jika disetujui, maka Menteri akan

menyampaikan persetujuan tersebut kepada BP Migas. Selanjutnya, produsen dan

konsumen gas melakukan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) yang diketahui oleh

Kementerian ESDM. Dengan demikian, baik harga maupun volume gas dalam setiap

perjanjian yang dilakukan oleh kontraktor KKS dengan pembeli gas, harus atas

sepengetahuan dan persetujuan pemerintah, melalui Ditjen Migas.

Menteri Harga Gas Hulu dan Harga Gas Hilir

Untuk Pengguna Tertentu

Konsumen dari Gas Produsen

(sebagai penjual)

BPH Migas Harga Gas Hilir Untuk Rumah Tangga Konsumen

Rumah Tangga

Badan Usaha

Harga Gas Hilir Untuk Pengguna Umum Konsumen dari

Gas Badan Usaha Niaga

32

Gambar 16 Penetapan Harga Jual Beli Gas didalam Skema Perjanjian Jual Beli Gas

(PJBG) (BP Migas, 2012)

Harga gas hulu sendiri ditentukan melalui berbagai pertimbangan. Berdasarkan

PP No. 30/2009 tentang Perubahan atas PP No. 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir

Migas Pasal 72 dan Permen ESDM No. 21/2008 tentang Pedoman Penetapan Harga

Jual BBM dan Gas Bumi Pasal 5, pertimbangan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Harga gas bumi harus mengacu kepada keekonomian pengembangan lapangan dan

infrastruktur, yakni fasilitas alir gasnya, serta mempertimbangkan keekonomian

konsumen gas bumi.

b. Harga gas bumi dapat berupa eskalasi, yakni dikaitkan dengan harga minyak bumi,

dikaitkan dengan harga produk, serta dikaitkan dengan harga kombinasi harga

produk dan harga minyak bumi.

c. Pemilihan model harga gas bumi harus mempertimbangkan pendapatan negara

dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang optimal.

d. Penetapan harga gas bumi mempertimbangkan kesetaraan antara kepentingan

produsen dan konsumen gas bumi.

Dengan kata lain, untuk melindungi produsen dan konsumen gas bumi, model

harga gas bumi dapat menggunakan formulasi yang dikaitkan dengan minyak dan/atau

produk konsumen (urea, amonia, LPG, dll). Berikut adalah contoh model formula harga

gas hulu yang saat ini digunakan di Indonesia.

201

1 ©

BP

MIG

AS

– A

ll r

igh

ts r

eser

ved

20

DIAGRAM ALIR PENETAPAN HARGA GAS BUMI

PENETAPAN

MESDM Menteri ESDM

DITJEN MIGAS

BPMIGAS

PRODUSEN /

PENJUAL

KONSUMEN /

PEMBELI EVALUASI

Ya

Sepakat

Negosiasi

Usulan

Belum memenuhi syarat

Penunjukan penjual

PJBG

EVALUASI

Tidak

3 2

1

Setuju

Tidak Setuju

1 1

2 3

3

2 2 2

1

33

Tabel 3 Beberapa Model Harga Gas Bumi Indonesia untuk Beberapa Sektor Konsumen

No Jenis Harga Gas Keterangan

1 Harga Tetap

(sepanjang kontrak)

Digunakan untuk pembeli jenis Pembangkitan Listrik dan Industri.

Banyak digunakan pada periode sebelum 2004, pada saat harga BBM

domestik relatif rendah dan dalam rangka meningkatkan pemanfaatan

gas dalam negeri.

Dalam beberapa tahun terakhir penggunaannya terbatas pada gas

flare dan jual-beli gas jangka pendek.

Contoh : Harga Gas untuk Industri = 5,4 USD/MMBTU.

2 Harga Ekskalasi

Tahunan

Penggunaan eskalasi harga gas sebagai faktor penyeimbang

penurunan laju produksi dan sejalan dengan peningkatan

pertumbuhan perekonomian dan peningkatan harga minyak bumi

dunia.

Harga eskalasi ini banyak digunakan untuk pembeli jenis

pembangkitan listrik dan industri.

Contoh : Harga Gas untuk industri = USD 5/MMBTU Eskalasi 3

persen per tahun.

3 Harga dikaitkan

Harga Minyak atau

Gas

Digunakan untuk pembeli dalam bisnis hulu dan hilir minyak serta

ekspor (kegiatan produksi migas dan kilang minyak).

Contoh : Harga Gas Untuk Ekspor LNG Jepang=

0,987x0,154xJCC+0,34.

4 Harga dikaitkan

dengan produk

konsumen

Digunakan untuk pembeli dalam industri petrokimia sebagai bahan

baku (amonia, pupuk dan methanol).

Harga gas untuk pupuk = 5,75+0,2(NH3-350)/32+0,3(UreaG-

329)/26.

5 Harga kombinasi

dikaitkan dengan

minyak dan produk

konsumen

Digunakan untuk pembeli dalam industri petrokimia sebagai bahan

baku (amonia, pupuk dan methanol).

Harga gas untuk pupuk = C1x(NH3-25)/155+C2xICP/15+(C3x(NH3-

225)/32).

Gas untuk kepentingan domestik umumnya dialirkan melalui pipa, baik

langsung dari kontraktor KKS ke konsumen, maupun melalui jaringan pipa transmisi

milik badan usaha, seperti BUMN Pertamina ataupun PGN, untuk sampai ke konsumen.

Harga gas untuk pasar domestik ini umumnya jauh lebih rendah dari harga gas untuk

ekspor. Dalam kontrak antara Chonoco Phillips dengan PT PGN yang ditandatangani

34

23

Perkembangan Harga Gas dan ICP tahun 2006 – 2012

Keterangan:

Sebelum tahun 2009, harga gas rata-rata masih menggunakan harga flat.

pada tahun 2005, untuk penjualan gas sampai dengan tahun 2023, harga gas yang

disetujui BP Migas adalah sebesar US$ 1,85 per MMBTU.

Secara garis besar, harga gas hulu rata-rata ke pasar domestik mencapai US$ 3,8

per MMBTU. Namun, sejak tahun 2006, harga pipa gas domestik meningkat , dan

beranjak dari US$ 3,81 (2006) menjadi US$ 5,64 (20012), seperti terlihat dalam

Gambar 17.

Gambar 17 Perkembangan Harga Gas LNG, Gas Pipa Ekspor dan Gas Pipa Domestik

2006-2012 (BP Migas, 2012)

Khusus penjualan gas hulu untuk ekspor mengacu kepada ketentuan sebagai

berikut: i) harga gas bumi/LNG/gas pipa untuk ekspor tidak lebih rendah dari harga gas

bumi domestik yang paling tinggi untuk peruntukan yang sama; ii) model harga gas

bumi/LNG/gas pipa yang digunakan dikaitkan dengan harga minyak bumi dengan tetap

memberikan keuntungan yang maksimal bagi negara; dan iii) harga gas bumi/LNG/gas

pipa yang disepakati sedapat mungkin dilakukan peninjauan secara periodik untuk

disesuaikan dengan kondisi pasar yang berlaku.

Sebelum tahun 2000, selama kurang lebih 30 tahun, Indonesia mendominasi

struktur pasar internasional LNG bersama negara lainnya seperti Malaysia dan Brunei.

Formula harga LNG dan kondisi yang disepakati berdasarkan negosiasi langsung tanpa

35

melalui tender, yang sangat menguntungkan pihak produsen (market seller) dan bersifat

jangka panjang.

Pada awal tahun 2000-an, menjelang akan dikembangkannya proyek Tangguh,

mulai muncul sejumlah negara produsen baru yang akan segera memasuki pasar seperti

Qatar, Oman, Nigeria, Algeria, Australia, Alaska dan Sakhalin. Akibatnya harga pasar

LNG yang semula dipegang seller mulai beralih ke buyer, sehingga harga ditetapkan

melalui tender karena banyaknya negara produsen LNG. Dengan beralih ke buyer

market, perjanjian penjualan LNG (Sales Purchasing Agreement/ SPA) umumnya

bersifat jangka pendek, dan harga tidak lagi ditentukan pada tingkat yang

menguntungkan produsen. Terlebih lagi dengan selesainya pembangunan train kilang

LNG di Malaysia dan Australia yang tidak disertai komitmen atau kontrak dari pembeli,

sehingga harga yang ditawarkan oleh proyek atau kilang LNG yang belum atau baru

direncanakan untuk dibangun ini tertekan lebih rendah lagi. Surplus kapasitas (excess

capacity) kilang LNG ini pada umumnya dijual dengan kontrak jangka pendek (spot

market). Kondisi seperti ini kemungkinan akan berlanjut dengan adanya excess supply

gas dari Amerika Serikat sebagai efek dari keberhasilan pengembangan shale gas.

Harga LNG untuk pasar Asia umumya mengacu kepada index Japanese Crude

Cocktail (JCC), melalui rumusan P=0,122(JCC)+1,2367, dimana JCC dinyatakan dalam

US$ per barel, dan P adalah harga LNG dalam US$ per MMBTU. Dengan demikian

jika harga JCC adalah US$ 40 per barel, maka harga LNG dipatok sekitar US$ 6 per

MMBTU. Saat ini, harga minyak mentah berada di atas US$ 100 per barel, dengan

mengacu kepada rumusan JCC ini, maka harga LNG mencapai US$ 13-14 per MMBTU.

Kontrak-kontrak LNG untuk pasar Asia yang ditandatangani sebelum tahun 2002,

mengacu kepada rumusan JCC ini. Untuk kontrak-kontrak setelah itu, harga LNG

cenderung menurun. Kontrak LNG ke Guangdong pada tahun 2005 mencerminkan

adanya perubahan harga LNG. Rumusan JCC di koreksi dengan menerapkan slope yang

jauh lebih kecil, sehingga harga LNG menjadi jauh lebih murah. Dengan rumusan

Guangdong, harga LNG hanya mencapai US$ 7-8 per MMBTU jika harga minyak

mentah mencapai US$ 100 per barel. Gambar 18 mencerminkan rumusan harga LNG

untuk pasar Asia.

36

Gambar 18 Harga LNG Ekspor - Pasar Jepang, Guangdong, dan Fujian

Harga gas pipa ekspor terus meningkat dari US$ 7/MMBTU (2006) menjadi

US$ 16,73/MMTU. Harga gas pipa ekspor telah meningkat dua kali lebih dari harga di

tahun 2006, dan ini mengikuti tren harga ekspor LNG yang juga naik mendekati

US$ 15/MMBTU pada tahun 2012. Dalam kurun waktu yang sama, kenaikan ini relatif

sangat besar dibandingkan dengan kenaikan harga gas domestik.

3.3.2 Harga Gas Rumah Tangga

Penentuan harga gas untuk rumah tangga dan pelanggan kecil kecil dilakukan

oleh BPH Migas. Berdasarkan Peraturan BPH Migas No. 22/VII/2011, golongan rumah

tangga didefinisikan sebagai konsumen gas bumi yang pemanfaatannya untuk

kebutuhan sendiri (konsumen akhir) dengan jumlah pemanfaatan gas bumi sampai 50

m3/bulan. Sementara pelanggan kecil adalah konsumen gas bumi yang pemanfaatannya

untuk kebutuhan sendiri (konsumen akhir) dengan jumlah pemakaian gas bumi sampai

1.000 m3/bulan.

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

8.00

9.00

10.00

10 20 30 40 50 60 70

LNG

Pri

ce(

CIF

),$

/MM

BTU

JCCCrudeOilPrices(CIF),$/bbl

P(Japan)

P(Guangdong)

ActualP(Japan),contractsbefore2002

P(Fujian)

Guangdong(China)P=0.052(JCC)+2.1133

JapanP=0.1226(JCC)+1.2367

Fujian(China)P=0.0525(JCC)+1.34

37

Rumah tangga dan pelanggan kecil digolongkan masing-masing dalam dua

golongan berdasarkan kemampuan daya beli konsumen gas bumi dan sifat kegiatan

sebagai berikut:

1. Rumahtangga RT-1 meliputi rumah susun, rumah sederhana, rumah sangat

sederhana dan sejenisnya, sementara RT-2 meliputi rumah menengah, rumah

mewah, apartemen dan sejenisnya.

2. Pelanggan kecil PK-1 meliputi rumah sakit pemerintah, puskesmas, panti asuhan,

tempat ibadah, lembaga pendidikan pemerintah, lembaga keagamaan, kantor

pemerintah, lembaga sosial dan sejenisnya, sementara PK-2 meliputi hotel,

restoran/rumah makan, rumah sakit swasta, perkantoran swasta, lembaga

pendidikan swasta, pertokoan/ruko/rukan/pasar/mall/swalayan dan kegiatan

komersil lainnya.

Perhitungan harga gas bumi ditentukan dengan menggunakan metode indeks harga

konsumen yang dikeluarkan oleh BPS untuk komoditi gas, bahan bakar, penerangan dan

air dengan batasan minimum 10 m3/bulan dan maksimum 50 m

3/bulan untuk rumah

tangga. Untuk pelanggan kecil, batasan minimum penggunaan sebesar 50 m3 dan

maksimum 1.000 m3/bulan. Apabila pemakaian melebihi batas tersebut, harga jual akan

dikenai biaya tambahan sebesar 20 persen dari harga gas.

Penetapan harga gas bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil dilakukan

melalui dua mekanisme tergantung jenis investasinya:

a. Untuk gas yang seluruh investasinya dibiayai badan usaha, penetapan harga

didasarkan IRR yang ditetapkan oleh Badan Pengatur yang mengacu pada besaran

WACC. Berikut adalah rumusan singkat mengenai WACC.

38

b. Untuk gas yang seluruhnya investasinya dibiayai pemerintah didasarkan pada biaya

pembelian gas bumi, biaya operasional dan pemeliharaan fasilitas, biaya

administrasi dan umum, pajak-pajak, retribusi daerah dan pendapatan (hasil dari

perkalian volume penjualan gas bumi dengan besaran harga gas bumi) serta margin

badan usaha yang besarnya ditetapkan oleh BPH Migas

Tabel 4 menunjukkan besaran harga gas bumi untuk rumah tangga di beberapa area

distribusi.

Tabel 4 Daftar Harga Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil

Area Distribusi Jenis Pelanggan Harga (Rp/m3) Dasar Hukum

Banten (PGN)

Rumah Tangga 1 2.477 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 111/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 3.973

Pelanggan Kecil 1 2.477

Pelanggan Kecil 2 2.849

Bogor (PGN)

Rumah Tangga 1 2.720 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 108/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 3.263

Pelanggan Kecil 1 2.720

Pelanggan Kecil 2 3.127

Bekasi (PGN)

Rumah Tangga 1 2.668 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 109/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Pelanggan Kecil 2 3.069

Rumah Tangga 2 3.202

Pelanggan Kecil 1 2.668

Cikampek (Karawang)

Rumah Tangga 1 2.668 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 110/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 3.202

Pelanggan Kecil 1 2.668

Pelanggan Kecil 2 3.069

Jakarta (PGN)

Rumah Tangga 1 2.618 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 107/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 3.141

Pelanggan Kecil 1 2.618

Pelanggan Kecil 2 3.010

Cirebon (PGN)

Rumah Tangga 1 1.714 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 112/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 2.056

Pelanggan Kecil 1 1.714

Pelanggan Kecil 2 1.971

Palembang (PGN)

Rumah Tangga 1 2.259 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 113/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 2.711

Pelanggan Kecil 1 2.259

Pelanggan Kecil 2 2.598

39

Area Distribusi Jenis Pelanggan Harga (Rp/m3) Dasar Hukum

Medan (PGN)

Rumah Tangga 1 2.458 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 117/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 2.949

Pelanggan Kecil 1 2.458

Pelanggan Kecil 2 2.827

Surabaya - Gresik (PGN)

Rumah Tangga 1 2.507 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 114/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 3.009

Pelanggan Kecil 1 2.507

Pelanggan Kecil 2 2.883

Sidoarjo-Mojokerto (PGN)

Rumah Tangga 1 2.496 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 115/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 2.995

Pelanggan Kecil 1 2.496

Pelanggan Kecil 2 2.870

Pasuruan - Probolinggo (PGN)

Rumah Tangga 1 2.496 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 116/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 2.995

Pelanggan Kecil 1 2.496

Pelanggan Kecil 2 2.870

Batam (PGN)

Rumah Tangga 1 2.838 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 118/RTPK/BPH

Migas/Kom/VIII/2007 Tanggal

21 Agustus 2007

Rumah Tangga 2 3.406

Pelanggan Kecil 1 2.838

Pelanggan Kecil 2 3.264

Tarakan (Perusda) Rumah Tangga 2.802

Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 23/P/BPH

Migas/VII/2011

Depok (Jabar Energi) Rumah Tangga 2.790

Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 24/P/BPH

Migas/VII/2011

Palembang (SP2J)

Rumah Tangga 1 2.250 Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 20/P/BPH

Migas/II/2011 Rumah Tangga 2 2.750

Bekasi (Sinergi Patriot) Rumah Tangga 2.773

Keputusan Kepala BPH Migas

Nomor : 25/P/BPH

Migas/XII/2011

3.3.3 Harga Gas untuk Pengguna Umum (Hilir)

Penetapan harga gas untuk pengguna umum (hilir) dilakukan secara business to

business oleh perusahaan (badan usaha). Berdasarkan hasil verifikasi BPH Migas

terhadap kegiatan niaga gas bumi melalui pipa dedicated hilir dari tahun 2008 sampai

2012, harga gas bumi rata-rata yang dijual oleh badan usaha niaga dedicated hilir

mengalami kenaikan sebesar 14,5 persen per tahun. Pada tahun 2008, harga jual gas

bumi rata-rata adalah USD 3,99/MMBtu, sedangkan pada kuartal II tahun 2012 telah

mencapai USD 6,89/MMBtu sementara harga jual gas rata-rata PGN sebagai badan

usaha niaga terbesar mencapai USD 8,45/MMBTU (Tabel 5).

40

Tabel 5 Perkembangan Harga Gas Bumi untuk Pengguna Umum

Tahun 2008 2009 2010 2011 2012

Harga rata-rata

(USD/MMBtu) 3,99 4,68 5,19 6,16 6,89

41

BAB 4

KEBUTUHAN, PASOKAN DAN INFRASTRUKTUR GAS

4.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas

4.1.1 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Pupuk

Melalui Instruksi Presiden No. 2 tahun 2010 tentang Revitalisasi Industri Pupuk

dan Permen ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi

untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri, industri pupuk menjadi salah satu prioritas

penerima gas nasional. Industri ini strategis dalam mendukung sektor pertanian untuk

menjalankan program ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas nasional. Walaupun

demikian, dampak dari kebijakan tersebut masih dipertanyakan. Data menunjukkan

realisasi pemanfaatan gas untuk industri pupuk selama enam tahun terakhir cenderung

stagnan dikisaran angka 600 MMSCFD (Tabel 6).

Tabel 6 Realisasi Pemanfaatan Gas untuk Industri Pupuk (dalam MMSCFD)

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

539,1

(6,6 %)

520

(6,4 %)

542,1

(7,1 %)

575,4

(7,1 %)

618

(7,4 %)

618,2

(6,3 %)

615,3

(7,3 %)

Sumber : Ditjen Migas (2011)

Untuk tahun 2011 sendiri, alokasi gas bumi untuk pupuk sesuai dengan kontrak

adalah 11,3 persen namun pada realisasinya alokasi gas untuk industri pupuk hanya 7,3

persen. Jumlah ini pun masih di bawah kebutuhan industri pupuk berdasarkan kontrak

gas antara produsen pupuk dan produsen gas sebesar 793 MMSCFD (Tabel 7).

Sementara, gas untuk ekspor justru meningkat dari 50,4 persen berdasarkan contracted

demand menjadi 55,4 persen pada realisasinya. Selain itu, untuk peningkatan produksi

dan pemakaian sendiri menigkat dari 4,5 persen yang dialokasikan menjadi 6,5 persen

pada realisasi

42

Tabel 7 Kebutuhan Gas untuk Industri Pupuk Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Gas

(dalam MMSCFD)

Sumber : Berbagai sumber diolah kembali

4.1.2 Kebutuhan dan Pasokan Gas Listrik

Saat ini kapasitas total pembangkit tenaga listrik terpasang (installed capacity)

mencapai 41.9 GW, di mana PLN memiliki 31.7 GW dan Independent Power

Producers (IPP) sebesar 7.3 GW. Pada neraca gas 2012–2025, alokasi gas untuk listrik

(berdasarkan kontrak) tahun 2011 mencapai 14,99 persen. Dalam realisasi, pemanfaatan

gas untuk listrik hanya mencapai 8,6 persen dengan jumlah mencapai 721,4 MMSCFD.

Kekurangan pasokan gas ini mengakibatkan PLN terpaksa menggunakan BBM dan

membeli dari beberapa badan usaha niaga gas seperti PGN yang tentunya lebih

memberatkan keuangan PLN.

Tabel 8 memperlihatkan kebutuhan gas untuk pembangkit listrik, kontrak

pembelian gas dan pasokan gas di seluruh kawasan Indonesia, serta perkiraan realisasi

pasokan gas sampai dengan tahun 2020. Pada tahun 2010, kebutuhan gas mencapai

1.602 BBTUD, sedangkan kontrak gas hanya mencapai 1.407 BBTUD. Meskipun

demikian, diperkirakan realisasi pasokan gas (berdasarkan alokasi gas BP Migas) untuk

KAPASITAS

(ton/hari) 2009 – 2011 2012 - 2030

PUSRI IB 570 55,00 55,00 PERTAMINA EP s.d 2012

PUSRI II 570 45,00 - MEDCO Blok SSE s.d 2018

PUSRI III 570 62,50 - PERTAMINA s.d 2012

PUSRI IV 570 62,50 - PERTAMINA s.d 2012

PUSRI II B *) 86,00

PUSRI III B *) 86,00

PUSRI IV B *) 86,00

225,00 313,00

PKT - 1 700 91,00 - East Kal PSC s.d. 2012 Pabrik beroperasi s.d

2011

PKT - 2 570 80,00 80,00 East Kal PSC s.d. 2018

PKT - 3 570 62,00 62,00 East Kal PSC s.d. 2017

PKT - 4 570 52,00 52,00 East Kal PSC s.d. 2022

PKT – 5 *) 1.155.000 123,00 Total E&P, Sebuku

&Tangguh

Diversion

285,00 317,00

PIM-1 600 60,00 60,00 Medco (Blok A) 2011 – 2019

PIM-2 570 50,00 50,00 Medco (Blok A) 2011 - 2019

110,00 110,00

PKC 1A 586 60,00 - BP West Java s.d. 2017 Pabrik beroperasi s.d

2011

PKC 1B 570 48,00 48,00 Pertamina EP s.d. 2008 **)

PKC 2 *) 910 86,00

108,00 134,00

PKG 1 460 65,00 65,00 Kodeco & KEI s.d. 2015

PKG 2 *) 570 60,00 Blok Cepu

65,00 125,00

793,00 999,00

PUPUK SRIWIDJADJA

Pabrik beroperasi sampai

dengan tahun 2011

2.871.000

PABRIKTAHUN

PEMASOK KONTRAK PJBG KETERANGAN

TOTAL PKC

PETROKIMIA GRESIK

TOTAL PKG

TOTAL KEBUTUHAN PUPUK

TOTAL PUSRI

PUPUK KALIMANTAN

TIMUR

TOTAL PKT

PUPUK ISKANDAR

MUDA

TOTAL PIM

PUPUK KUJANG

CIKAMPEK

43

pembangkit listrik diperkirakan hanya mancapai 1.003 BBTUD. Pada tahun 2020, untuk

membangkitkan tambahan 4093 MW, gas yang dibutuhkan diperkirakan akan mencapai

1.904 BBTUD. Volume gas yang sudah dikontrak sebesar 1.011 BBTUD, dan realisasi

alokasi gas diperkirakan hanya mencapai 973 BBTUD.

Tabel 8 Proyeksi Kebutuhan Gas dan Pasokan untuk Pembangkit Listrik (PLN, 2012)

Kebutuhan gas untuk pembangkit listrik saat ini mencapai 1.602 BBTUD untuk

membangkitkan listrik sebesar 11 GW, dan sebagian besar gas tersebut dimanfaatkan

untuk membangkitkan listrik di Jawa dan Bali (67 persen), disusul kawasan Indonesia

bagian barat (28 persen), dan sisanya untuk kawasan Indonesia bagian timur (5 persen).

Jawa Barat dan Jawa Timur merupakan dua kawasan dengan kebutuhan akan gas untuk

pembangkit listrik terbesar. Jawa barat membutuhkan sekitar 738 BBTUD sedangkan

2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Batam 48 88 88 88 88 88 88 88 88

Aceh - - 51 39 39 39 35 29 29

Sumatera Utara 152 152 86 86 86 86 86 86 86

Riau 50 50 60 70 70 70 65 65 65

Sumatera Selatan 145 147 126 126 126 106 106 106 106

Jambi 51 60 67 67 67 65 57 57 57

Bangka - - - 1 1 3 3 3 4

Lampung - - - 10 10 10 10 10 10

Kalseltengtim 30 68 66 66 66 66 66 66 66

Sulawesi Selatan 39 48 48 48 48 48 48 48 57

Sulut-Gorontalo dan Sulteng - - 4 4 4 4 4 5 5

Papua 3 4 4 8 8 8 13 9 9

Indonesia Timur Tersebar 15 16 24 24 25 25 25 25 25

Jawa Bagian Barat 738 717 835 861 784 651 643 608 751

Jawa Bagian Tengah - 25 161 166 166 166 166 140 130

Jawa Bagian Timur 331 332 342 357 343 404 403 404 404

Bali - - - 9 9 9 11 12 12

TOTAL DEMAND 1,602 1,707 1,962 2,030 1,940 1,848 1,829 1,761 1,904

CONTRACT

Batam 41 81 81 81 81 81 81 81 81

Aceh - 15 15 15 15 15 15 15 15

Sumatera Utara 28 122 117 113 110 100 100 100 100

Riau 40 44 62 62 62 62 62 62 62

Sumatera Selatan 126 98 57 57 57 57 26 18 18

Jambi 47 51 51 51 51 51 44 40 40

Bangka - - - - - - - - -

Lampung - - - - - - - - -

Kalseltengtim 44 64 84 84 54 54 52 52 52

Sulawesi Selatan 53 53 53 53 53 53 53 53 53

Sulut-Gorontalo dan Sulteng - - - - 25 25 25 25 25

Papua (potensi) 2 4 4 4 4 4 4 4 4

Indonesia Timur Tersebar - - - - - - - - -

Jawa Bagian Barat 681 605 442 407 354 305 269 133 133

Jawa Bagian Tengah - 25 161 166 166 166 166 140 130

Jawa Bagian Timur 385 463 442 360 342 339 327 299 298

Bali - - - - - - - - -

TOTAL CONTRACT 1,447 1,625 1,569 1,453 1,374 1,312 1,224 1,022 1,011

SUPPLY / CONSUMPTION

Batam 41 81 81 81 81 81 81 81 81

Aceh - 15 15 15 15 15 15 15 15

Sumatera Utara - 5 100 100 100 100 100 100 100

Riau 15 44 62 62 62 62 62 62 62

Sumatera Selatan 126 107 57 57 57 57 26 18 18

Jambi 43 47 47 47 47 47 40 40 40

Bangka - - - - - - - - -

Lampung - - - - - - - - -

Kalimantan 25 37 57 57 32 32 32 32 32

Sulawesi Selatan 53 53 53 53 53 53 53 53 53

Sulut-Gorontalo dan Sulteng - - - - 25 25 25 25 25

Papua 2 4 4 4 4 4 4 4 4

Indonesia Timur Tersebar - - - - - - - - -

Jawa Bagian Barat 515 513 384 354 311 270 270 153 153

Jawa Bagian Tengah - 25 161 166 166 166 166 140 130

Jawa Bagian Timur 372 392 360 290 260 290 280 260 260

Bali - - - - - - - - -

TOTALSUPPLY 1,192 1,323 1,381 1,286 1,213 1,202 1,154 983 973

Kawasan/DaerahTahun

DEMAND

44

Jawa Timur sebanyak 331 BBTUD. Pada tahun 2012, Jawa Timur belum memanfaatkan

gas untuk pembangkit listrik, namun mulai tahun 2013, gas akan segera dibutuhkan

untuk pembangkit listrik. Namun demikian, kebutuhan akan gas ini tidak semuanya

terpenuhi. Volume dari Kontrak Jual Beli Gas (PJBG) antara pemasok gas dengan PLN

belum mencukupi volume permintaan akan gas. Di samping itu, volume gas yang sudah

dikontrak pun serangkali tidak dapat dipenuhi oleh pemasok gas. Gambar 19, 20 dan 21

memperlihatkan ketidakmampuan pasokan dan kontrak gas untuk kebutuhan gas dari

pembangkit PLN.

Gambar 19 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN untuk Jawa Bali

(PLN, 2012)

Gambar 20 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian

Barat (PLN, 2012)

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

DEMAND SUPPLY CONTRACT

0

100

200

300

400

500

600

2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

DEMAND CONTRACT SUPPLY

45

Gambar 21 Hubungan Kebutuhan, Pasokan dan Kontrak Gas PLN Indonesia Bagian

Timur (PLN, 2012)

Kebutuhan PLN akan gas sampai saat belum terpenuhi. Kendala yang dihadapi,

di samping kendala yang berkaitan dengan ketersediaan alokasi gas yang terbatas,

berkaitan dengan hal-hal yang di luar kemampuan penjual atau pemasok gas (KKKS

atau PGN). Pertama, kondisi (level playing field) Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG)

seringkali tidak seimbang antara penjual dan pembeli gas (PLN). Volume pasokan gas

seringkali tidak sesuai PJBG terutama disebabkan oleh kendala kondisi subsurface

ataupun kondisi surface di lapangan gas. Hal ini mengakibatkan adanya ketidakpastian

pasokan gas untuk pembangkit listrik. Namun demikian, PJBG umumnya tidak

menganut adanya penalti atau Delivery-or-Pay (DOP) bila pemasok underperform,

sedangkan PLN dikenakan Take-or-Pay (TOP) bila tidak bisa menyerap gas. Shortfall

hanya sebagai pengurang kewajiban PLN, bukan sebagai jaminan pasokan.

Kedua, perhitungan volume atau cadangan reservoir gas yang meleset, sehingga

pasokan gas tidak sesuai dengan kontrak yang disebutkan dalam PJBG3. Hal ini

terutama disebabkan karena kondisi sumur gas yang sudah tua (mature) sehingga

mengalami early-decline yang cukup besar. Beberapa contoh kasus dimana produksi

gas mengalami penurunan produksi yang lebih cepat dari perkiraan PJBG adalah: i)

PJBG Salamender ke Belawan, di mana sumur gas mengalami penurunan menjadi nol

(0) pada akhir 2012, padahal komitmen atau kontrak pasokan adalah sampai tahun

2017; ii) PJBG Kalila ke Teluk Lembu, di mana sumur gas mengalami penurunan dari

3 Untuk dapat mengembalikan volume ke pasokan awal, pemasok meminta adanya kenaikan harga (PLN,

2012)

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

DEMAND contract supply

46

30 BBTUD (kontrak) menjadi 3 BBTUD; iii) PJBG HESS ke Gresik, pasokan gas tidak

sesuai kontrak, penurunan dari 100 BBTUD sesuai dengan PJBG original,

diamandemen menjadi 76 BBTUD, tetapi realisasi pasokan hanya 55 BBTUD; iv)

PJBG WMO ke Gresik, dari 123 BBTUD, realisasi hanya 100 BBTUD; v) PJBG

CNOOC ke Cilegon, turun dari 80 BBTUD menjadi 76 BBTUD; vi) PJBG Pertamina

ke Belawan, off-spec karena kandungan air, pasokan berhenti sebelum waktunya; dan

vii) PJBG Semco ke PLTG Tanjung Batu dan Semberah, tidak sesuai PJBG karena

kondisi sumur.

Ketiga, alokasi atau penyaluran gas ke PLN kalah prioritasnya terhadap alokasi

gas untuk yang lain, seperti untuk lifting minyak dan impor. Sebagai contoh, shutdown

akibat pemeliharaan fasilitas sumur Jambi Merang akan mengakibatkan menurunnya

pasokan gas PGN (dari COPY) ke PLN, karena COPY harus menggantikan pasokan gas

Jambi Merang ke Chevron, untuk keperluan lifting minyak. Di samping itu, alokasi gas

untuk PLN menjadi second priority terhadap kontrak gas ke Singapura.

Keempat, adanya permintaan kenaikan harga dari pemasok gas pada masa PJBG.

Pemasok, atas rekomendasi BP Migas, meminta kenaikan harga gas pada masa PJBG

karena berbagai sebab, antara lain adalah adanya kenaikan biaya operasi dan

pemeliharaan, investasi baru untuk bisa mempertahankan pasokan gas, dan sebagainya4.

Kelima adalah terbatasnya fleksibilitas pola penyaluran gas dari KKKS ataupun

PGN ke PLN serta infrastruktur gas. Operasi dari pembangkit listrik PLN mengikuti

beban permintaan listrik (load follower) sehingga diperlukan adanya swing rate antara

base-load dan peak-load. Operasi seperti ini tidak dapat diikuti oleh pola penyaluran

gas dari pemasok, sehingga, dengan terbatasnya infrastruktur gas, kelebihan pasokan

gas di suatu lokasi pembangkit listrik tidak dapat disalurkan ke lokasi yang lain.

Sebagai contoh, dengan terbatasnya fasilititas jaringan pipa gas PGN, keperluan gas

swap dari lapangan Gajah Baru ke Muara Tawar sebesar 40 BBTUD tidak dapat

dilaksanakan.

4 Plan of Development (POD) dan biaya Cost Recovery dari kegiatan pengembangan lapangan gas adalah

atas persetujuan BP Migas

47

4.1.3 Kebutuhan dan Pasokan Gas Industri Lainnya

Kebutuhan sektor industri selain pupuk akan mencapai 1.282,86 MMSCFD

(Kemenperin, 2012). Sebagian besar diperuntukkan sebagai energi sebanyak 1.057,86

MMSCFD. Dari jumlah tersebut, sebanyak 758,78 MMSCFD diperuntukkan sebagai

utilitas. Kebutuhan ini akan meningkat menjadi 1.368,63 MMSCFD di tahun 2013 dan

1.420,92 MMSCFD di tahun 2014. Diperkirakan industri petrokimia akan banyak

mengalami peningkatan kebutuhan di tahun 2013 sebesar 31,11 persen (Tabel 9).

Tabel 9 Kebutuhan Gas untuk Industri Selain Pupuk

No Industri 2012 2013 2014 2020 2025

1 Bahan Baku (Petrokimia) 225.00 295.00 295.00 598.00 783.00

2 Energi 1,057.86 1,073.63 1,125.92 1,237.00 1,252.00

Kontak Langsung dengan

produk 299.08 309.46 309.59 353 353

'- Utilitas 115.85 115.97 116.10

'- Logam 80.00 80.00 80.00

'- Kaca 71.93 81.19 81.19

'- Glassware 24.30 24.30 24.30

'- Semen 7.00 8.00 8.00

Utilitas 758.78 764.17 816.33 884 899

T O T A L 1,282.86 1,368.63 1,420.92 1,835.00 2,035.00

Sumber: Kemenperin, 2012 diolah kembali

Pada periode 2014-2020, kebutuhan gas akan meningkat rata-rata 4,26 persen

per tahun menjadi 1.835 MMSCFD. Pada periode ini, kebutuhan industri petrokimia

akan meningkat 11,78 persen per tahun, jauh dari kebutuhan industri lainnya. Sementara

pada periode 2020-2025, kebutuhan gas akan meningkat rata-rata per tahun 2,07 persen

menjadi 2.035 MMSCFD.

Pemenuhan kebutuhan gas untuk sektor industri (di luar industri pupuk dan

petrokimia) umumnya dilakukan dengan melakukan kontrak dengan perusahaan

penyalur gas diantaranya PT. PGN, PT. Pertagas, dan beberapa trader gas. Kondisi

yang dihadapi oleh industri nasional hingga saat ini, quota pasokan yang telah

disepakati oleh pemasok gas belum dapat dialirkan ke masing-masing industri seperti

ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

48

Tabel 10 Kontrak dan Realisasi Pemakaian Gas Pelanggan Industri Retail (PGN)

Sumber : PGN dalam Presentasi Kemenperin 2012

4.1.4 Kebutuhan dan Pasokan Gas untuk Transportasi

Kebutuhan gas untuk transportasi masih relatif sedikit dibandingkan dengan

kebutuhan gas untuk listrik dan industri. Kebutuhan gas, atau untuk transportasi biasa

disebut Bahan Bakar Gas (BBG), untuk angkutan umum baik di daerah perkotaan (kota-

kota besar) maupun kabupaten dapat diperkirakan dari jumlah angkutan umum dan

konsumsi BBM untuk setiap jenis angkutan umum. Jenis angkutan umum yang ada di

Indonesia terdiri dari: (i) Bus Ukuran Besar (BB); (ii) Bus Ukuran Sedang (BS); (iii)

Bus Ukuran Kecil (BK); (iv) Mobil Penumpang Umum (MPU); dan (v) Taxi. Jumlah

angkutan umum di seluruh Indonesia pada tahun 2010 mencapai sekitar 415.200,

dimana 50 persen dari jumlah tersebut merupakan Mobil Penumpang Umum, diikuti

dengan Bus Kecil (21 persen) dan Taxi (14 persen), dan sebagian kecil bus sedang/besar.

Jumlah kendaraan umum tersebut, lebih dari 100 ribu berada di Jabodetabek. Sementara

itu jumlah angkutan umum untuk provinsi Jawa Tengah, Sumatra Utara, Jawa Timur,

Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat hanya memiliki sekitar lebih dari 25 ribu kendaraan,

seperti terlihat dalam Gambar 22.

Kontrak dan Realisasi Pemakaian Gas Pelanggan Industri Retail (PT. PGN)

BBTUD

Kontrak Realisasi Kontrak Perkiraan

SBU Distribusi Wil. I

Jawa Bagian Barat (*) 329,0 310,3 329,0 320,0

SBU Distribusi Wil. II

Jawa Bagian Timur 149,4 147,8 149,4 144,0

SBU Distribusi Wil. III

Sumbagut (**) 84,9 82,3 84,9 72,0

TOTAL 563,3 540,4 563,3 536,0

(*) Industri di luar PLN, Krakatau Daya Listrik dan Independent Power Plant.

(**) Industri di luar PLN Batam.

2011 2012

49

Gambar 22 Profil Angkutan Umum Secara Basional (2010) Berdasarkan Jenis Angkutan

(a) dan Berdasarkan Provinsi di mana Angkutan Umum Beroperasi (b).

Selanjutnya, apabila melihat jumlah angkutan di kota-kota besar, terdapat 23

kota yang memiliki angkutan umum di atas 2.000 kendaraan. Ada tiga kota dengan

jumlah angkutan umum di atas 10.000 kendaraan, tertinggi di DKI Jakarta dengan

jumlah 73 ribu kendaraan dan diikuti Medan dengan 27,3 ribu serta Surabaya sebanyak

10,8 ribu kendaraan. Delapan kota dengan jumlah angkutan umum antara 5 sampai 10

ribu kendaraam adalah antara lain kota Bogor, Bandung, Tangerang, Jambi, Makasar,

Balikpapan, dan Depok, seperti terlihat di Tabel 11.

Apabila BBM untuk semua armada angkutan umum di 23 kota ini disubstitusi

dengan BBG akan dibutuhkan 254,98 MMSCFD. Namun demikian, sementara ini

substitusi secara keseluruhan belum dapat dilakukan karena keterbatasan jaringan

transmisi/distribusi gas dan ketidakpastian pasokan gas. Sehubungan dengan itu,

substitusi BBM ke BBG harus dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan

potensi ketersediaan pasokan gas dan pertumbuhan armada angkutan umum.

Bus Besar, 7%

Bus Sedang, 8%

Bus Kecil, 21%

Mobil Penumpang

Umum, 50%

Taxi, 14%

-

25

,00

0

50

,00

0

75

,00

0

10

0,0

00

12

5,0

00

BANGKABELITUNGGORONTALO

KALIMANTANBARATSULAWESIBARATSULAWESIUTARA

KALIMANTANTENGAHMALUKUUTARA

SULAWESITENGAHSULAWESITENGGARA

DIYOGYAKARTABANTEN

IRIANBARATBENGKULU

MALUKUKEPULAUANRIAU

NUSATENGGARATIMURKALIMANTANSELATAN

PAPUA(IRIANJAYA)NANGGROEACEHDARUSSALAM

NUSATENGGARABARATSUMATERSELATANSUMATERABARAT

JAMBILAMPUNG

KALIMANTANTIMURRIAUBALI

JAWABARATSULAWESISELATAN

JAWATIMURSUMATERAUTARA

JAWATENGAHJABODETABEK

Kendaraan

50

Tabel 11 Kota-kota dengan Jumlah Angkutan Umum di atas 2.000 Kendaraan (2010)

Berdasarkan rata-rata konsumsi BBM bahwa bus besar membutuhkan rata-rata

sebesar 125 liter per hari dan bus kecil serta mobil penumpang umum sebesar 20 liter,

maka konsumsi BBM untuk angkutan umum adalah sebesar 12,6 juta liter/hari. Apabila

jumlah BBM tersebut disubstitusi ke BBG, maka kebutuhan BBG untuk mensubstitusi

BBM untuk angkutan umum adalah sebanyak 441,56 MMSCFD, seperti terlihat dalam

Tabel 10.

Dari jumlah konsumsi tersebut, maka provinsi yang memiliki kebutuhan BBG di

atas 25 MMSCFD adalah Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, dan Sumatera

Utara. Apabila melihat tingkat konsumsi di kota-kota, maka terdapat 26 kota yang

membutuhkan konsumsi di atas 1 MMSCFD dengan total seluruh kebutuhan adalah

sebesar 266 MMSCFD. Diantara 26 kota ini, Jakarta membutuhkan BBG di atas 80

MMSCFD, sedangkan kota-kota Pekanbaru, Medan, Jambi, dan Surabaya adalah kota

yang memiliki konsumsi BBG jauh di bawah Jakarta, namun di atas 10 MMSCFD.

Sementara itu, apabila melihat jumlah kebutuhan BBG untuk angkutan umum di setiap

kabupaten terlihat bahwa kebutuhannya lebih kecil dari 10 MMSCFD. Terdapat sekitar

34 kabupaten dengan kebutuhan BBG diatas 1 MMSCFD. Namun demikian, diantara

34 kabupaten tersebut, terdapat 3 kabupaten yaitu: Tangerang, Malang, dan Bandung

No Kota Bus Besar Bus Sedang Bus Kecil Mobil Penumpang

Umum TAXI TOTAL

1 KOTA DKI JAKARTA 4.064 4.944 26.002 14.204 23.778 72.992

2 KOTA MEDAN 3.000 4.208 9.667 9.691 751 27.317

3 KOTA SURABAYA 463 - - 6.180 4.131 10.774

4 KOTA PEKANBARU 8.000 - - 600 472 9.072

5 KOTA BOGOR 238 72 4.462 3.392 - 8.164

6 KOTA BANDUNG 192 12 12 5.454 1.201 6.871

7 KOTA TANGGERANG 89 - 300 2.401 3.698 6.488

8 KOTA JAMBI 3.037 - 2.220 971 30 6.258

9 KOTA MAKASSAR 56 271 285 4.000 1.216 5.828

10 KOTA BALIKPAPAN 18 257 30 5.070 400 5.775

11 KOTA DEPOK 157 46 568 281 4.072 5.124

12 KOTA BEKASI 264 211 - 1.665 2.771 4.911

13 KOTA SEMARANG 62 852 1.000 1.890 958 4.762

14 KOTA DENPASAR - - - 3.000 1.657 4.657

15 KOTA MALANG 920 150 2.000 345 470 3.885

16 KOTA PADANG 87 285 - 2.919 327 3.618

17 KOTA PALEMBANG - 468 504 2.015 114 3.101

18 KOTA BATAM 25 13 - - 2.938 2.976

19 KOTA BANDAR LAMPUNG - - - 2.942 15 2.957

20 KOTA SALATIGA - 595 958 1.388 - 2.941

21 KOTA JAYAPURA - 25 183 2.308 - 2.516

22 KOTA SURAKARTA 564 297 630 432 536 2.459

23 KOTA CIANJUR - - - 2.000 - 2.000

TOTAL 21.236 12.706 48.821 73.148 49.535 205.446

51

dengan kebutuhan diatas 5 MMSCFD, dengan jumlah kebutuhan gas sebanyak 19,48

MMSCFD.

Tabel 12 Kebutuhan BBM untuk Angkutan Umum dan Proyeksi Kebutuhan BBG untuk

Mensubstitusi BBM Angkutan Umum

Apabila substitusi akan dilakukan di 26 kota, beberapa hambatan adalah

besarnya dana yang dibutuhkan untuk investasi jaringan transmisi/distribusi gas dan

penyediaan converter kit, ketersediaan pasokan gas, kesiapan sumber daya di masing-

masing pemerintah kota, dan payung hukum pelaksanaan substitusi BBM ke BBG di

masing-masing wilayah.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 19/2010, telah direncanakan

kota/kabupaten terpilih yang akan mendapatkan giliran substitusi dari BBM ke BBG

dengan potensi sumber pasokan gasnya sampai dengan tahun 2015. Kota-kota tersebut

terutama adalah Jakarta, Medan, Surabaya, Sengkang, Semarang, Kabupaten Bekasi,

Palembang, Cilegon, dan Gresik. Pemilihan kota tersebut didasarkan pada keadaan

pasokan gas. Total kebutuhan BBG untuk kota-kota tersebut adalah sebesar 140,57

MMSCFD. Namun demikian, pasokan gas yang ada hanya mencapai sebesar 138,39

No JenisAngkutanUmum JumlahAngkutanUmum

Jenis BBM Konsumsi BBM(liter/hari-Unit)

KebutuhanBBM(jutaliter/hari)

1 BusUkuranBesar 27.611 Solar 125 3,5

2 BusUkuranSedang 33.116 Solar 36 1,2

3 BusUkuranKecil 87.189 Solar 20 1,8

4 MobilPenumpangUmum

208.283 Premium 204,2

5 Taxi 58.945 Premium 35 2,1

TOTAL Solar/Premium

12,6

No JenisAngkutanUmum JumlahAngkutanUmum

Jenis BBM Konsumsi BBG(MMSCFD/Unit)

KebutuhanBBG(MMSCFD)

1 BusUkuranBesar 27.611 Solar 0,004375 120,80

2 BusUkuranSedang 33.116 Solar 0,00126 41,73

3 BusUkuranKecil 87.189 Solar 0,0007 61,03

4 MobilPenumpangUmum

208.283 Premium 0,0007145,80

5 Taxi 58.945 Premium 0,001225 72,21

TOTAL 441,56

52

MMSCFD atau sekitar 98 persen. Seperti terlihat dalam Gambar 23, kota Jakarta dan

Medan adalah kota yang mengalami defisit, sedangkan yang surplus adalah Semarang

dan Palembang. Kebutuhan gas dihitung berdasarkan kebutuhan gas pada tahun 2010,

sedangkan potensi pasokan gas dihitung untuk kurun waktu 2011-2015.

Gambar 23 Potensi Pasokan Gas dan Kebutuhan Gas Di Kota-Kota yang Mendapat

Giliran Substitusi dari BBM Ke BBG

Selanjutnya, secara rinci pemenuhan gas secara bertahap: (i) untuk tahun 2010

sudah dapat dimulai di Jakarta, Medan, Surabaya, dan Palembang; (ii) tahun 2011

dimulai di Gresik dan Kab. Bekasi; (iii) Tahun 2012 ditambah dengan Cilegon; (iv)

tahun 2014 ditambah dengan Sengkang; dan (v) tahun 2015 diperluas ke Semarang

(Tabel 13).

0,00

1,04

2,49

3,25

3,49

4,70

11,41

32,90

81,28

2,5

2,5

12,01

1

5,48

0,8

25,9

17,2

71

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

GRESIK

CILEGON

PALEMBANG

BEKASI (Kabupaten)

SEMARANG

SENGKANG

SURABAYA

MEDAN

JAKARTA

PASOKAN BBG (MMSCFD) KEBUTUHAN BBG (MMSCFD)

53

Tabel 13 Timeline Konversi BBM ke BBG untuk Transportasi di Beberapa Kota/Kab

sampai dengan 2015 (Sumber: PerMen ESDM 19/2010)

Gambar 24 Pasokan Gas Berdasarkan Perusahaan Pemasok Gas untuk Sektor

Transportasi (2012)

Gambar 24 memperlihatkan jumlah gas yang dipasok dan dialokasikan sesuai

dengan PerMen ESDM 19/2010 berdasarkan perusahan pemasok gas. PT PGN akan

memasok 84,2 MMSCFD (61 persen), PT Pertamina EP (18 persen) dan PT Pertagas (7

persen). PT PGN akan memanfaatkan FSRU yang saat ini sedang dibangun di Medan,

sebagai receiving terminal gas dan akan menerima gas yang dipasok dari lapangan gas

Tangguh. Ketiga, Badan Usaha (dua BUMN dan satu anak perusahaan BUMN) ini akan

memasok gas 118,4 MMSCFD (85 persen) dari kebutuhan gas untuk kota/kabupaten

tersubstitusi. Sisanya (15 persen) akan dipasok oleh badan usaha swasta dan BUMD.

Pembelian gas pipa dari produsen gas dilakukan melalui Perjanjian Jual Beli Gas

0.4 0.8 1.0 1.0 1.1 2.0 2.5 3.5 3.7 4.0

9.9 24.3

84.2

0 20 40 60 80 100

PT Sadikun Niagamas

PT Banten Inti Gasindo

PT EHK

MUMD Gresik

Medco

PT Pertagas

PT PGN

MMSCFD

54

(PJBG) atau Gas Sale Purchase Agreement (GSPA) dengan harga gas pipa yang

disesuaikan dengan harga keekonomian gas, yakni mengacu kepada ongkos produksi

gas dari produsen.

4.2 Infrastruktur Gas Indonesia

4.2.1 Perkembangan Infrastruktur Gas Bumi Indonesia

Infrastruktur gas pertama kali dibangun oleh PT PERTAMINA pada tahun 1965,

yaitu pipa gas transmisi Cilamaya-Cilegon untuk keperluan pabrik baja. Gas yang

dialirkan oleh pipa transmisi tersebut kemudian dijadikan sumber pasokan gas untuk

distribusi di kawasan yang dilintasi pipa, seperti Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, dan

Cilegon, dan supply ke pabrik pupuk Kujang di Cikampek. Pada tahun 1993, PT PGN

mulai merencanakan pembangunan pipa gas transmisi ruas Grissik-Duri, yang dapat

diselesaikan pembangunannya pada tahun 1998. PT PGN kemudian memperkenalkan

konsep Jaringan Pipa Gas Bumi Indonesia Terintegrasi pada tahun 1998, yang

melibatkan delapan (8) ruas utama pipa transmisi. Pada kurun waktu 1998-2003, PT

PGN membangun ruas pipa Grissik-Singapura yang dilanjutkan dengan pembangunan

ruas South Sumatra West Java (SWJ) dalam kurun waktu 2003-2007. Pada tahun 2005,

pemerintah menerbitkan secara resmi Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi

Gas Bumi Nasional. Berdasarkan rencana induk tersebut, pada tahun 2006, BPH Migas

telah memberikan tiga (3) lisensi untuk pembangunan tiga (3) ruas pipa transmisi.

Namun demikian, pembangunan dari ketiga ruas tersebut sampai saat ini belum dapat

dilaksanakan.

Jaringan pipa distribusi untuk gas (tidak selalu dari gas bumi, namun juga dari

batubara dan minyak tanah) sudah ada sejak jaman Belanda namun kapasitasnya relatif

kecil. Jaringan tersebut dibangun di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Surabaya,

Bandung, Medan, Palembang, dan Makasar, dan sampai saat ini umumnya jaringan

tersebut masih berfungsi dengan baik. Sampai dengan tahun 2003, PT PGN telah

memperluas dan mengoperasikan jaringan pipa distribusi di 13 wilayah. Saat ini,

pemerintah melalui Direktorat Jenderal MIGAS sedang menyiapkan pengembangan

jaringan distribusi rumah tangga di 18 kota, dengan target penyelesaiannya pada tahun

2014.

55

LNG Plant Bontang (mulai ekspor tahun 1977) di Kalimantan Timur dan Arun

di Aceh (1978) merupakan dua LNG Plant yang digunakan untuk memasok LNG ke

Jepang, Korea, dan Taiwan. Pada tahun 2010, LNG Plant Tangguh di Papua mulai

mengekspor LNG ke Cina. LNG Plant di Donggi Senoro saat ini sedang dalam tahap

persiapan pembangunan, dengan tujuan untuk memasok LNG ke luar negeri. Walaupun

kebutuhan gas di dalam negeri, terutama di pulau Jawa, meningkat cukup besar, sampai

saat ini Indonesia belum mempunyai LNG Receiving Terminal. Pembangunan 2 LNG

terminal yang diprakarsai oleh PT PERTAMINA, PT PGN, dan PT PLN di Medan

(Sumatera Utara) dan Muara Karang (Jawa Barat) mulai disiapkan sejak tahun 2006,

namun sampai saat ini pengembangnnya terkendala oleh ketidakpastian alokasi pasokan

gas dan pembelinya (off-taker).

Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dari Compressed Natural gas

(CNG) mulai beroperasi di Indonesia tahun 1984, di mana pada saat itu PT

PERTAMINA bertindak baik sebagai operator maupun regulator industri bahan bakar

gas (BBG). Pada tahun itu terdapat 16 unit SPBG/CNG yang dibangun, akan tetapi saat

ini (2010) hanya ada 6 unit yang masih dapat beroperasi. Penyebab utamanya adalah

harga BBG yang relatif rendah sehinga pengembangan dan pengoperasian SPBG

menjadi tidak layak secara ekonomi. Dibandingkan dengan negara lain yang

mengembangkan CNG, seperti India dan Pakistan, pengembangan industri CNG di

Indonesia hampir tidak berarti.

Sampai dengan saat ini, infastruktur gas yang tersedia masih terbatas. Jaringan

pipa gas transmisi (open access) sepanjang 3.633,69 km yang membentang di sepanjang

Sumatera Bagian Tengah dan Selatan memasok gas ke Jawa Bagian Barat. Jaringan

distribusi sepanjang 689,08 km mengalirkan gas ke kota-kota di Sumatera dan

sepanjang 3.244,66 km ke kota-kota di Jawa. Walaupun di Indonesia telah dibangun

infrastruktur pengolahan LNG, yakni LNG Liquefaction Plant di Arun 12,65 MMTPA,

Bontang 21,64 MMTPA, dan Tangguh 7,6 MMTPA yang menjadikan Indonesia

sebagai salah satu pemasok LNG terbesar di dunia dengan total kapasitas LNG 42,09

MMTPA, namun semuanya digunakan untuk ekspor. Gambar berikut ini menunjukkan

infrastruktur yang sudah eksisting dan rencana pengembangan berikutnya.

56

Sumber : Ditjen Migas (2012)

Gambar 25 Eksisting dan Rencana Infrastruktur Gas Dalam Negeri

Selain rencana pengembangan di atas, pemerintah sudah merintis

pengembangan gas kota di beberapa lokasi yang berdekatan dengan sumber gas sejak

tahun 2008. Beberapa kota yang sudah dikembangkan adalah Surabaya, Palembang,

Tarakan, Depok, Bekasi (dua fase), Sidoarjo (dua fase), Bontang, Sengkang, dan

Jabodetabek (khusus rusun).

4.2.2 Rencana Infrastruktur Gas Bumi Indonesia

Pemanfaatan LNG – Sumber gas yang akan digunakan untuk pembangkit listrik

berada di Kalimantan dan Papua. Untuk itu, gas dalam bentuk Lequified Natural Gas

(LNG) akan dikirimkan dari sumber-sumber gas ke Jawa dan Sumatra. Fasilitas

terminal penerima (receiving terminal) dan regasifikasi telah dan akan dibangun di

beberapa tempat. Saat ini, Floating Storage Receiving Unit (FSRU) West Java sudah

beroperasi dan menerima LNG dari Bontang serta memasok LNG ke pembangkit listrik

di Muara karang sejak bulan Mei 2012, sebesar 180 BBTUD. Pasokan LNG ke

pembangkit listrik Tanjung Priok sampai saat ini belum dapat dilaksanakan karena

dapat dimanfaatkannya pipa PHE ONWJ. Saat ini beberapa fasilitas atau infrastruktur

Berdasarkan Neraca Gas Indonesia 2011 - 2025, Sumatra Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah/Timurmembutuhkan tambahan suplai gas yang tidak dapat dipenuhi dari wilayah tersebut;

ARUN 6.8 MTPA(6 trains) BONTANG

22.59 MTPA(8 trains)

DONGGI-SENORO LNG Plant-Planned(2 MTPA/ 1 train)

TANGGUH 7,6 MTPA(2 trains)

MASELA LNG Plant-Planned (4.5

MTPA)

NATUNAIn progress Transmission pipe

(Existing)

Transmission pipe (Plan)

LNG Plant

LNG Receiving Terminal/ FSRT*

FSRT by PGN capacity 1,5 - 2 MTPA In the end of 2011

FSRT by PT Nusantara Regas(JV PT Pertamina dan PT PGN)capacity 3 MTPA in the end of 2011

FSRT by Pertamina capacity 3 MTPA 20121 2 3

1

2

3

*) FSRT = Floating Storage and Regasification Terminal

4Small Scale LNG Receiving Terminal Halmahera capacity 30 MMSCFD

4

5

Small Scale LNG Receiving Terminal Samarinda capacity 30 MMSCFD5

Small Scale LNG Receiving Terminal Balikpapan capacity 15 MMSCFD6

6

7

8

Small Scale LNG Receiving Terminal Bali capacity 25 MMSCFD7

Small Scale LNG Receiving Terminal Pomalaa capacity 25 MMSCFD8

57

gas masih dalam tahap pengembangan, yakni FSRU Lampung, Revitalisasi Arun, FSRU

Jawa Tengah, Mini LNG untuk Indonesia Timur, dan Mini LNG Bali.

Pemanfaatan CNG – Disamping LNG, Compressed Natural Gas (CNG) akan

dimanfaatkan untuk pembangkit lsitrik. Sampai saat ini masih dalam tahap konstruksi

adalah i) fasilitas CNG Jakabaring, dengan kapasitas 3 BBTUD, dan direncanakan

untuk Commercial Operating Date (COD) pada tanggal 15 Desember 2012; ii) CNG

Sungai Gelam, dengan kapasitas 4.5 BBTUD, dan direncanakan untuk COD pada

Januari 2013. Fasilitas CNG yang saat ini dalam tahap pengadaan/prakualifikasi adalah:

i) Marine CNG Gresik – Lombok dengan kapasitas 5 BBTUD; ii) Marine CNG Gresik

– Bawean dengan kapasitas 0.35 BBTUD. Sementara ini fasilitas CNG yang saat ini

masih dalam tahap kajian adalah i) CNG Tambak Lorok, dengan kapasitas 15-17

BBTUD; ii) CNG Muara Tawar, dengan kapasitas 16 BBTUD; iii) CNG Grati, dengan

kapasitas 16 BBTUD; dan iv) CNG Bangkanai, dengan kapasitas 4 BBTUD.

Trans Java Gas Pipe line – Trans Java Pipeline sepanjang 700 km akan

dibangun dengan mengikutsertakan investasi Badan Usaha (BUMN dan Swasta). Saat

ini baru jaringan pipa Cilegon – Sunyaragi yang sudah terbangun oleh PT Pertamina

Gas. Dua ruas lainnya yang dimiliki oleh perusahaan ini akan dibangun, yakni dari

Cirebon ke KHT, dan dari Tegalgede ke Muara Tawar, masing-masing sepanjang 84

km dan 140 km. PT Rekayasa Industri akan membangun ruas Cirebon-Semarang

sepanjang 255 km, dengan kapasitas 350 – 500 MMSCFD. Sedangkan ruas Semarang

ke Gresik akan dibangun oleh PT Pertamina Gas sepanjang 271 km, dengan kapasitas

350 – 500 MMSCFD. Ruas pipa dari EJGP (East Java Gas Pipeline) sepanjang 20 km

akan dibangun oleh PT Pertamina Gas, melalui skema BOO dengan PT PLN. Gambar

26 memperlihatkan jaringan gas pipa Trans Java, baik yang saat ini sudah terbangun,

maupun yang akan dibangun.

58

Tabel 14 Infrastruktur Gas - Floating Storage dan Pipa Transmisi Gas

No Infrastruktur Gas Developer

1 FSRU Teluk Jakarta for Muara Karang Combined Cycle

Plants.

• Total capacity : 3 MTPA

• Total Contract : 594 TBTU

• Period : May 2012 - 2022

• Onstream : May 2012

• Secured supply : 11,93 MT for 11 years @ avr

150 bbtud

PT Nusantara Regas (Pertamina &

PGN)

2 Arun Revitalization Project for Belawan Combined Cycle

Plant and other industries.

• Total capacity : 300 bbtud

• Volume for PLN : 100 bbtud

• Onstream : Q4 2013

• Source : BP Tangguh and others

PT Pertamina

3 FSRU Lampung for West Java Power Plants and

Industries.

• Total capacity : 400 bbtud

• Onstream : Q4 2014

PT PGN, Tbk

4 Feasibility study is now carried out by PLN and

Pertamina for implementation of Mini LNG Facility in

eastern region (East Kalimantan, Sulawesi) and Bali

PT PLN

5 Trans Java Pipe Line

Cilegon – Sunyaragi (Existing Pipeline):

Cirebon – KHT, Tegalgede – Muara Tawar:

Pertamina Gas

Various size & capacity

Perlu penyesuaian kapasitas agar dapat berintegrasi

Cirebon – Semarang:

Rekayasa Industri

255 km, 350 – 500 MMSCFD

Semarang – Gresik:

Pertamina Gas

271 km, 350 – 500 MMSCFD

EJGP - Grati:

Pertamina Gas (BOO) dgn PLN

20 km x 20” – 130 MMSCFD

PT Pertamina Gas

59

Gambar 26 Infrastruktur Gas untuk Pulau Jawa (Ditjen Migas, 2012)

Gambar 27 Proyeksi Kebutuhan BBG untuk Angkutan Umum di Kota dan Untuk Angkutan

Umum di Kabupaten Berdasarkan Jumlah Angkutan Umum 2010 (Ditjen Migas, 2012)

0 25

50

75

100

125

BANGKABELITUNG

GORONTALO

KALIMANTANBARAT

SULAWESIBARAT

SULAWESIUTARA

KALIMANTANTENGAH

MALUKUUTARA

SULAWESITENGAH

IRIANBARAT

SULAWESITENGGARA

BANTEN

MALUKU

DIYOGYAKARTA

KALIMANTANSELATAN

PAPUA(IRIANJAYA)

BENGKULU

NANGGROEACEHDARUSSALAM

NUSATENGGARABARAT

NUSATENGGARATIMUR

KEPULAUANRIAU

SUMATERSELATAN

LAMPUNG

SUMATERABARAT

KALIMANTANTIMUR

BALI

JAMBI

JAWABARAT

SULAWESISELATAN

SUMATERAUTARA

RIAU

JAWATIMUR

JAWATENGAH

JABODETABEK

BBG(MMSCFD)

0

1,00

0,00

0

2,00

0,00

0

3,00

0,00

0

4,00

0,00

0

BANGKABELITUNG

GORONTALO

KALIMANTANBARAT

SULAWESIBARAT

SULAWESIUTARA

KALIMANTANTENGAH

MALUKUUTARA

SULAWESITENGAH

IRIANBARAT

SULAWESITENGGARA

BANTEN

MALUKU

DIYOGYAKARTA

KALIMANTANSELATAN

PAPUA(IRIANJAYA)

BENGKULU

NANGGROEACEHDARUSSALAM

NUSATENGGARABARAT

NUSATENGGARATIMUR

KEPULAUANRIAU

SUMATERSELATAN

LAMPUNG

SUMATERABARAT

KALIMANTANTIMUR

BALI

JAMBI

JAWABARAT

SULAWESISELATAN

SUMATERAUTARA

RIAU

JAWATIMUR

JAWATENGAH

JABODETABEK

BBM(Liter/hari)

60

BAB 5

STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI GAS

DALAM NEGERI

5.1 Simulasi Manfaat Substitusi BBM ke Gas

Sejak tahun 1950, pemerintah telah menerapkan kebijakan penyediaan bahan

bakar minyak (BBM) murah untuk kebutuhan bahan bakar di dalam negeri. Kebijakan

tersebut bertahan lebih dari 50 tahun, dan selama kurun waktu tersebut kebijakan ini

tidak berdampak negatif baik terhadap penyediaan energi secara nasional, maupun

anggaran pendapatan dan belanja pemerintah (APBN). Hal ini dimungkinkan karena

semua kebutuhan BBM dapat dipenuhi oleh produksi minyak bumi yang menjadi

bagian pemerintah (government take) dalam kontrak bagi hasil produksi (Production

Sharing Contract – PSC) minyak bumi6. Namun sejak tahun 1997, seiring dengan

berkurangnya produksi minyak bumi nasional, kebutuhan BBM di dalam negeri harus

juga dipenuhi oleh BBM dan minyak mentah impor. Sejak saat itu, penyediaan BBM

murah harus dipenuhi melalui subsidi, yang mencerminkan selisih harga BBM dalam

negeri dengan harga pasar (internasional)7. Nilai subsidi ini terbukti semakin membesar

seiring dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia, di samping kebutuhan

nasional akan BBM yang terus meningkat.

Selain memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), subsidi

BBM juga ditengarai menurunkan pendapatan devisa nasional serta menyebabkan

distorsi harga energi, sehingga energi alternatif (selain minyak) tidak dapat berkembang

sebagaimana mestinya. Subsidi BBM juga mempunyai sumbangan terhadap

pemborosan penggunaan BBM dan peningkatan emisi karbon-dioksida (CO2) –

pencemaran lingkungan. Di samping itu, manfaat dari penerapan subsidi BBM

seringkali kurang mencapai kelompok sasaran yang ditargetkan semula, yakni

masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini terjadi karena pada kenyataannya sebagian

besar (70%) dari subsidi BBM ini dinikmati oleh masyarakat dengan pendapatan

menengah ke atas – masyarakat dengan kendaraan bermotor. Dengan memperhatikan

6 Dikenal berbagai bentuk kontrak produksi minyak bumi, seperti Kontrak Kerja Sama (KKS), atau

Kontrak Bagi Hasil (KBH). Dalam KPS, dari total produksi minyak bumi, ada sebagaian yang menjadi

milik Pemerintah (Government Take) dan sebagian lagi menjadi milik kontraktor/pengembang. 7 Mid-Oil Platts Singapore (MOPS).

61

hal-hal tersebut, substitusi BBM menjadi sangat penting. Substitusi ini dapat dilakukan

oleh jenis energi selain minyak bumi, yang tersedia dengan cadangan yang cukup besar

di dalam negeri serta relatif lebih murah – yakni gas bumi.

Pemanfaatan gas bumi – bahan bakar gas (BBG) – untuk mengganti BBM dapat

mereduksi dampak negatif dari kebijakan subsidi BBM, yang selama ini diterapkan,

antara lain (i) pengurangan permintaan volume BBM secara nasional dan nilai subsidi

BBM yang harus dianggarkan dalam APBN, (ii) peningkatan penghematan devisa

negara, dan (iii) peningkatan potensi efisiensi biaya operasi konsumen energi. Di

samping itu, karena BBG merupakan energi yang lebih bersih dibandingkan dengan

BBM, emisi CO2 yang dikeluarkan dari pembakaran bahan bakar lebih sedikit.

5.1.1 Skenario Subsidi

Pada tahun 2015, konsumsi BBM bersubsidi jenis Premium diperkirakan akan

mencapai 23,9 juta KL dan solar 12 juta KL. Substitusi BBM sektor transportasi oleh

gas dapat dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan ketersediaan infrastruktur gas

dan pasokan gas untuk dalam negeri, misalnya dimulai dengan 25 persen substitusi, 50

persen, dan 75 persen dari total kebutuhan BBM nasional. Di samping untuk sektor

transportasi, skenario substitusi BBM juga dilakukan untuk sektor-sektor yang

mengkonsumsi solar non-subsidi, seperti industri dan listrik. Skenario substitusi

dilakukan dengan memperhatikan kesiapan sektor ini dalam melakukan fuel-switching

dari BBM ke BBG. Pentahapan substitusi BBM oleh gas dapat dilakukan dengan

berbagai skenario, baik untuk BBM bersubsidi di sektor transportasi maupun untuk

BBM non-subsidi di sektor industri dan listrik.

Tabel 15 memperlihatkan skenario substitusi BBM oleh gas dengan tahapan 25

persen untuk BBM bersubsidi di sektor transportasi (Skenario I), 50 persen untuk BBM

bersubsidi di sektor transportasi (Skenario II). Saat ini pemanfatan BBG sebagai bahan

bakar di sektor transportasi masih sangat marginal, sehingga persentase BBG di sektor

transportasi dapat dianggap ‘nol’. Mengganti 25 persen dan 50 persen BBM bersubsidi

dengan BBG (Skenario I dan Skenario II), berarti meningkatkan peranan BBG di sektor

transportasi. Skenario III sama dengan Skenario I, yakni mengganti 25 persen BBM

bersubdisi di sektor transportasi oleh gas, namun ditambah dengan substitusi 5 persen

solar di sektor industri, dan 15 persen solar di sektor energi/pembangkit listrik. Saat ini

62

(data tahun 2007) persentase BBG di dalam portofolio bahan bakar industri adalah 23,7

persen, dan substitusi BBM oleh gas sebanyak 5 persen menjadikan peranan BBG

meningkat menjadi 28,7 persen. Sedangkan substitusi 15 persen solar untuk listrik

menjadikan peranan BBG meningkat dari 15,6 persen menjadi 30,6 persen. Beberapa

skenario substitusi BBM lainnya dapat dikembangkan dari tiga skenario dasar ini.

Tabel 15 Skenario Substitusi BBM Bersubsidi oleh Gas untuk Transportasi dan BBM

Non-subsidi untuk Industri dan Listrik

Jenis BBM Bersubsidi/non-

subsidi

Proyeksi Volume

BBM tahun 2015

(Juta KL)

Skenario Substitusi BBM

I II III

Substitusi

BBM

bersubsidi

Premium 23,9 25% 50% 25%

Solar 12,0 25% 50% 25%

Substitusi

BBM non-

subsdidi

Solar industri 10,2 0% 0% 5%

Solar Listrik 16,5 0% 0% 15%

Harga gas ekspor saat ini berkisar antara US$ 12-14 per MMBTU, sedangkan

harga gas di dalam negeri sekitar US$ 7 per MMBTU. Dua skenario harga gas

digunakan untuk memanfaatkan gas didalam negeri, yakni harga gas yang sesuai dengan

harga ekspor (Skenario P1) dan harga gas 25 persen lebih rendah dari harga ekspor

(Skenario P2). Penjualan gas di dalam dengan harga ekspor merupakan kondisi yang

sangat ideal, dimana penerimaan negara dari gas tidak akan mengalami penurunan, dan

pelaksanaannya relatif lebih mudah dibandingkan dengan skenario dimana harga gas

dijual didalam negeri dengan harga yang lebih rendah.

Ketiga Skenario substitusi BBM oleh gas (Skenario I, II, dan III) dan dua

Skenario harga gas di dalam negeri (Skenario P1 dan P2) menjadi acuan dalam

pembahasan dan simulasi substitusi BBM oleh gas, dan analisa selanjutnya akan

didasarkan pada skenario-skenario tersebut.

63

5.1.2 Penghematan Belanja Subsidi BBM

Substitusi BBM oleh gas bumi dapat mengurangi belanja subsidi BBM. Di

samping permintaan akan BBM di dalam negeri akan berkurang, penyediaan BBM per

juta kilo liter lebih mahal dibandingkan dengan penyediaan bahan bakar gas. Biaya

penyediaan BBM termasuk ongkos pengilangan dan pemurnian minyak mentah (baik

minyak mentah yang diproduksi dalam negeri maupun impor), ongkos transportasi,

serta biaya pembelian BBM impor, sedangkan biaya penyediaan gas adalah ongkos

likuifaksi, shipping fee, gasifikasi (untuk CNG/LNG) dan/atau ongkos transportasi pipa

(sistem pipa). Dalam tahun 2009, pembelian BBM impor dilakukan dengan harga

sekitar Rp. 5.300 per liter untuk premium dan sekitar Rp. 5.400 untuk solar, sedangkan

gas diekspor dengan harga yang lebih murah, yakni sekitar Rp. 2.800 per liter ekivalen.

Pada tahun 2009, realisasi penerimaan negara dari minyak dan gas bumi adalah

Rp. 175,9 trilyun. Belanja subsidi untuk memenuhi konsumsi 37,7 juta KL BBM

domestik mencapai Rp. 41,6 trilyun8

. Dengan jumlah belanja subsidi tersebut,

penerimaan netto dari minyak dan gas bumi adalah Rp. (175,9-41,6) = Rp. 134,3 trilyun.

Sustitusi BBM oleh gas tidak akan menurunkan penerimaan negara dari minyak dan gas

bumi secara netto, bahkan mengalami peningkatan karena belanja subsidi BBM

berkurang. Gambar 5 memperlihatkan bahwa jika Skenario I substitusi BBM (25 persen

BBM bersubsidi untuk sektor transportasi) oleh gas diterapkan pada tahun 2009, maka

belanja subsidi BBM akan menurun dari Rp. 41,6 trilyun menjadi Rp. 34,5 trilyun, atau

penghematan sekitar Rp. 7,1 trilyun (17 persen), dan penerimaan netto dari minyak dan

gas bumi menjadi Rp. 141,5 trilyun. Seperti terlihat dalam gambar, penghematan ini

akan semakin besar jika substitusi BBM oleh gas dinaikkan menjadi dua kali lipat

(Skenario II). Dengan substitusi 50 persen BBM, penghematan subsidi mencapai Rp.

14,2 triyun, atau 34 persen dari belanja subsidi tanpa substitusi BBM, dan penerimaan

netto dari minyak dan gas bumi menjadi Rp. 148,5 trilyun.

Substitusi BBM oleh gas tidak akan menurunkan penerimaan negara dari

minyak dan gas bumi, apabila harga gas di dalam negeri ditentukan sama dengan harga

gas ekspor. Apabila harga gas untuk domestik lebih rendah dari harga ekspor, maka

8

BBM bersubsidi jenis Premium dan Solar, yang dikonsumsi sebagai bahan bakar untuk sektor

transportasi, saat ini merupakan komponen utama dari BBM bersubsidi, yakni mencapai 33,2 juta KL

atau 88 persen dari total volume BBM bersubsidi. Tidak seperti Minyak Tanah yang terus dikurangi

melalui konversi ke LPG, Premium merupakan jenis BBM berubsidi yang terus mengalami kenaikan dari

tahun ke tahun, seiring dengan pertumbuhan kendaraan bermotor, yang secara nasional cukup tinggi.

64

penerimaan pemerintah dari penjualan gas akan menurun. Namun penurunan

penerimaan ini juga diikuti dengan penurunan belanja subsidi yang lebih besar,

sehingga secara netto, penerimaan negara mengalami perbaikan. Seperti terlihat dalam

Gambar 28, substitusi 50 persen BBM bersubsidi oleh gas (Skenario II) dengan harga

gas 25 persen lebih rendah dari harga ekspor (Skenario P2), akan menurunkan

penerimaan negara dari Rp. 175,9 trilyun menjadi Rp. 171,4 trilyun, namun

penghematan dari belanja subsidi sebesar Rp. 14,2 trilyun menjadikan netto penerimaan

negara, sebesar Rp. 144,1 trilyun, lebih baik dari netto penerimaan negara tanpa

substitusi, yakni Rp. 134,4 trilyun.

65

Gambar 28 Penerimaan Minyak dan Gas Bumi dan Subsidi BBM dengan Skenario 25% dan 50% Substitusi BBM Bersubsidi Sektor

Transportasi oleh Gas Bumi (2009)

10

0

11

0

120

13

0

14

0

15

0

16

0

17

0

18

0

Tidak ada substitusi

25% substitusi & harga gas = harga ekspor

50% substitusi & harga gas = harga ekspor

50% substitusi & harga gas = 75% harga ekspor

Tidak ada substitusi25% substitusi & harga

gas = harga ekspor

50% substitusi & harga

gas = harga ekspor

50% substitusi & harga

gas = 75% harga ekspor

Net Penerimaan MIGAS (Trilyun, 2009) 134.3 141.4 148.5 144.1

Subsidi BBM (Trilyun) 41.6 34.5 27.4 27.4

66

Tabel 16 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Premium dan Solar di Sektor Transportasi oleh Gas (2015)

BBM Volume (juta

KL)

Emisi CO2

(juta ton)

Pengurangan Emisi (juta ton CO2)

Substitusi BBM

(25%)

Substitusi

BBM (50%) Substitusi BBM (75%)

Premium Transportasi 23,86 57,59 2,74 5,48 8,23

Solar Transportasi 11,98 34,29 2,08 4,17 6,25

Total 35,8 91,88 4,82 9,65 14,48

Pengurangan 5,2% 10,5% 15,8%

Tabel 17 Proyeksi Potensi Pengurangan Emisi CO2 dari Substitusi Solar di Sektor Industri dan Listrik oleh Gas (2015)

BBM

Pengurangan Emisi (juta ton CO2)

Volume (juta KL) Emisi CO2

(juta ton)

Subtitusi 5% Solar

Sektor Industri

Subtitusi 15% Solar

Sektor Listrik

Subtitusi 5% Solar

Industri + 15%

Solar Listrik

Solar Industri 10,2 29,27 1,62 - 1,62

Solar Listrik 16,5 47,19 - 11,26 11,26

Total 26,7 76,46 1,62 11,26 12,88

Pengurangan

2,1% 14,7% 16,8%

67

5.1.3 Pengurangan Emisi CO2

Substitusi BBM oleh gas bumi dapat menurunkan emisi gas rumah kaca (CO2) karena

tingkat emisi BBG jauh lebih kecil dibandingkan dengan tingkat emisi BBM. Berdasarkan

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pembakaran per MMBTU ekivalen,

premium menghasilkan 73,09 kg CO2, sedangkan gas alam/CNG menghasilkan 59,27 kg CO2.

Tabel 16 memperlihatkan potensi penurunan emisi CO2 pada tahun 2015 untuk substitusi

Premium dan Solar dengan gas untuk sektor transportasi, dan Tabel 17 untuk substitusi solar

dengan gas di sektor industri dan listrik. Seperti terlihat dalam tabel, 25% substitusi BBM di

sektor transportasi (Skenario I) akan menurunkan emisi CO2 sebesar 4,82 juta ton per tahun,

dan 50% substitusi (Skenario II) akan menurunkan 9,65 juta per tahun. Substitusi BBM

Skenario III akan memberikan penurunan emisi CO2 yang jauh lebih besar, yakni

(4,82+12,88)=17,7 juta ton9.

Hasil simulasi, baik dengan Skenario I, II maupun III, secara umum menunjukkan

bahwa substitusi BBM ke gas memiliki dampak positif, baik terhadap keuangan negara

maupun lingkungan hidup. Dengan demikian, maka peningkatan penggunaan gas perlu

didorong melalui strategi pengembangan yang tepat.

5.2 Strategi Pengembangan Industri Gas Dalam Negeri

Sesuai dengan konstitusi UUD 1945, pemanfaatan sumber daya alam termasuk gas

harus dikuasai Negara dan digunakan sebesar – besar untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Dengan berbagai manfaatnya baik sebagai bahan baku industri kimia dan salah satu sumber

energi termasuk juga sebagai sumber pendapatan negara menjadikan posisi gas bumi sangat

strategis, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tataran global. Kebijakan gas yang tepat

seyogyanya meningkatkan nilai competitiveness dari negara produsen gas.

Pembangunan industri gas dalam negeri khususnya dalam mengoptimalisasikan

pemanfaatan gas dalam negeri dipengaruhi beberapa faktor yang di antaranya sangat

menentukan keberhasilan dan percepatan pembangunan industri gas dalam negeri yang

dilakukan. Dari faktor-faktor itu, berikut adalah faktor kunci dalam keberhasilan optimalisasi

9 Penurunan emisi ini akan menyumbang cukup signifikan kepada target penurunan emisi nasional. Menurut

Rencana Aksi Nasional penurunan gas Rumah Kaca (RAN-GRK), target penurunan emisi gas rumah kaca secara

nasional adalah 26% dari tingkat emisi Business as Usual (BAU) pada tahun 2020, dimana upaya mitigasi di

sektor energi menyumbang sekitar 6% dari target nasional, yakni sekitar 30 juta ton CO2.

68

pemanfaatan gas dalam negeri yaitu: (i) Pengembangan infrastruktur gas bumi, (ii) Kebijakan

Alokasi (iii) Kebijakan Harga

5.2.1 Strategi Pengembangan Infrastruktur Gas

Sesuai dengan karakteristik kepulauan, Indonesia memiliki tantangan dalam

pengembangan konektifitas nasionalnya. Masalah jaringan perhubungan, logistik, maupun

infrastruktur energi seperti halnya gas menjadi tantangan untuk Indonesia. Selain itu khusus

yang terakhir, posisi geografis dari sumber cadangan gas dan pusat kebutuhan gas yang

terpisah membutuhkan perencanaan infrastruktur yang komprehensif dari hulu ke hilir agar

dapat mengoptimalkan pemanfaatan gas dalam negeri. Dalam kaitan tersebut, sudah

seharusnya kebijakan yang ada saat ini lebih diarahkan pada intensifikasi pengembangan

infrastruktur gas.

Sejak beberapa tahun lalu, gas lebih berfungsi sebagai komoditi dengan tujuan ekspor.

Dengan kebijakan itu, Indonesia menjadi salah satu negara pelopor pengembangan

infrastruktur LNG sebagai moda transportasi ekspor. Seiring dengan pulihnya pembangunan

setelah era reformasi, kebutuhan akan gas sebagai sumber energi meningkat. Terlebih lagi

dengan menipisnya cadangan minyak yang selama ini menjadi energi utama Indonesia

disertai peningkatan harga yang signifikan di tahun akhir tahun 2000-an.

Dengan perubahan paradigma ini, Indonesia sudah mulai mencanangkan pengutamaan

gas untuk keperluan dalam negeri. Walaupun demikian, sampai saat ini pasokan gas Indonesia

yang cukup besar belum cukup memenuhi kebutuhan akan gas itu sendiri. Hal ini disebabkan

pasokan gas yang ada sudah diikat melalui perjanjian ekspor yang dilakukan sebelumnya

dengan pertimbangan ketidaksiapan infrastruktur dalam negeri. Pertimbangan ini selain faktor

harga menjadi alasan produsen lebih cenderung menjual gas ke luar negeri. Akibatnya

kontrak gas ke dalam negeri umunya lebih pendek yang berkisar 2–10 tahun. Padahal dari

segi ekonomi, pay back period investasi dari industri tersebut umumnya berjangka panjang

20–30 tahun.

Dengan sifat fisiknya, gas memerlukan infrastruktur khusus untuk menyalurkan dari

produsen ke konsumen. Terlebih bagi Indonesia yang memiliki karakteristik geografis

kepulauan yang terpisah-pisah. Moda transportasi gas dapat berupa pipa atau LNG beserta

FSRU dan fasilitas regasifikasinya. Selain moda transportasi, fasilitas pengolahan berupa

69

kilang atau SPBG untuk keperluan transportasi menjadi hal yang tersendiri. Khusus untuk

infrastruktur transportasi, jaringan pipa masih menjadi benchmark sebagai syarat penting

pengembangan gas termasuk di Indonesia. Secara umum infrastruktur gas dibagi menjadi tiga

jenis yaitu infrastruktur transmisi yang berfungsi menyalurkan gas antar wilayah, infrastruktur

distribusi yang berfungsi menyalurkan gas ke konsumen akhir dalam wilayah tertentu,

infrastruktur pendukung seperti FSRU, SPBG, Mother station dan lainnya.

Dari data BPH Migas, kapasitas infrastruktur transmisi sebenarnya masih jauh di atas

realisasi gas yang diangkut (Gambar 29) sehingga seharusnya bukan suatu kendala

pemanfaatan gas dalam negeri.

Gambar 29 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Transmisi dan Realisasi Gas yang

Diangkut (Sumber : BPH Migas, 2012)

Hal ini menunjukkan belum optimalnya perencanaan infrastruktur yang ada sehingga

kurang terintegrasi dan belum efektifnya kebijakan open access. Oleh karenanya perlu adanya

review terhadap perencanaan infrastruktur gas yang termuat di Rencana Induk Jaringan

Transmisi dan Distribusi Gas Bumi (RIJTDGB) baik dari mekaniseme maupun substansinya.

RIJTDGB ini merupakan rencana pembangunan jaringan transmisi dan distribusi Gas Bumi

yang pada kenyataannya tidak selalu dapat diimplementasikan secara otomatis karena terlalu

banyak faktor ketidakpastiannya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

penyempurnaan RIJTDGB adalah :

RIJTDGB tidak mencantumkan volume yang akan dialirkan, panjang maupun diameter

pipa, dan besaran tekanannya.

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Kapasitas (mmscfd) 895 895 2215 2215 2215 2215 2215 11336 11336 11496

Realisasi gas (mmscfd) 756 2631 3671 3732

Panjang (m) 1006 1006 1634 1634 1634 1634 1634 3634 3634 3647

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

km

mm

scfd

70

RIJTDGB hanya menggambarkan pipa transmisi, sedangkan pipa distribusi hanya

digambar kotak (area). Padahal di dalam jaringan pipa distribusi terdapat pipa gas

bertekanan tinggi dan berkapasitas besar seperti feeder line dan pipa induk distribusi yang

memiliki panjang dan diameter bisa melebihi pipa transmisi. Oleh karena itu, pipa-pipa

distribusi bertekanan tinggi dan berkapasitas besar tersebut perlu dimasukkan dalam

RIJTDGB.

RIJTDGB tidak mencantumkan berapa jalur pipa yang akan dibangun dan tidak

mencantumkan apakah pipa tersebut bisa lewat laut atau darat atau sebagian lewat laut

dan sebagian lewat darat (contoh East Natuna ke Jawa).

RIJTDGB tidak mencantumkan dari satu sumber bisa dialirkan ke berbagai tujuan, serta

tidak mencantumkan pula dari satu sumber pasokan dapat diangkut menggunakan

berbagai moda transportasi seperti pipa dan kapal LNG/CNG.

Beberapa hal yang perlu ditambahkan dalam RIJTDGBN. Mekanisme penyusunannya

perlu diperkaya dengan menyebutkan lokasi sumber Gas Bumi yang ada (bisa dilihat dari

Neraca Gas Bumi Nasional), mencantumkan kemungkinan lokasi Gas Bumi yang bisa

dialirkan (demand), menyebutkan kemungkinan moda transportasi lainnya selain

menggunakan pipa misalnya LNG dan CNG. Selanjutnya agar RITJDGBN dapat

dilaksanakan secara efektif dan efisien, sebaiknya didasarkan pada kepentingan nasional,

kepentingan daerah, keekonomian dan life time dari jaringan pipa transmisi dan distribusi

tersebut.

Selain kualitas perencanaan pada RIJTDGB, penyebab lain belum optimalnya

pemanfaatan gas dalam negeri adalah belum optimalnya dukungan jaringan distribusi. Data

BPH Migas menunjukkan bahwa kapasitas distribusi tidak meningkat secara signifikan di

kisaran 2000 – 3000 MMSCFD (Gambar 30). Terhambatnya pengembangan jaringan

distribusi diantaranya karena penerapan kebijakan unbundling perlu dibarengi pengaturan

lebih lanjut dalam pengusahaan gas agar tidak menghambat pengembangan jaringan distribusi

gas. Berdasarkan data BPH Migas tahun 2012, pertumbuhan jaringan distribusi dari tahun

2008–2011 rata-rata 1,15 persen sementara pertumbuhan gas yang diniagakan mencapai 15,32

persen.

71

Gambar 30 Perkembangan Panjang, Kapasitas Ruas Distribusi Gas (Sumber: BPH Migas,

2012)

Kondisi ini menunjukkan semakin banyaknya gas yang diniagakan tanpa diimbangi

fasilitas distribusi yang artinya semakin banyak badan usaha niaga tanpa fasilitas. Dengan

kebijakan unbundling, badan usaha lebih memilih usaha niaga dibanding usaha pengangkutan.

Kondisi ini juga didukung oleh mekanisme pemilihan pembeli gas (beauty contest) yang

kurang selektif seperti yang termuat dalam PTK BP Migas No. 29 tahun 2009. Penentuan

pemenang lelang hanya mengacu pada peningkatan penerimaan negara (dari peningkatan

harga gas) dan kurang mengedepankan komitmen pembeli dalam mengembangkan jaringan

distribusi gas. Akibat lebih lanjut adalah high cost economy dengan perpanjangan rantai

dalam bisnis gas bumi. Gambar 31 di bawah ini memberikan gambaran realitas pelaksanaan

kebijakan unbundling di beberapa wilayah distribusi gas Indonesia.

Gambar 31 Gambaran Realitas Implementasi Kebijakan Unbundling

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Kapasitas (mmscfd) 2384 2384 2384 2605 2625 2933 2934 2938 2977 3037

Panjang (m) 3128 3128 3128 3920 3937 3955 3955 3972 4016 4058

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

4500

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

km

mm

svfd

72

Regulasi Unbundling di Indonesia diatur dalam Permen MESDM Nomor 19 Tahun

2009 Tentang Kegiatan Usaha Gas Bumi Melalui Pipa10

. Secara konsep, tujuan dari kebijakan

ini sangat baik untuk menjaga fairness dalam usaha gas. Namun dengan kebijakan ini, para

pelaku usaha lebih condong menanamkan uangnya pada usaha niaga yang memiliki resiko

lebih rendah dari usaha pengangkutan. Selain itu, jumlah investasi yang diperlukan dalam

pembangunan infrastruktur gas bernilai besar. Dengan kondisi infrastruktur gas Indonesia

yang belum matang, kebijakan unbundling kurang berdampak baik pada pengembangan

infrastruktur gas. Selain itu dalam implementasinya regulasi ini tidak mengenal pentahapan

ubundling yang seharusnya dilakukan dan langsung menuju legal unbundling.

Untuk penerapan kebijakan open access, saat ini BPH Migas baru dapat menerapkan

open access pada jaringan pipa transmisi saja, karena dari sisi teknik operasional mudah

dilakukan. BPH Migas belum dapat menerapkan open access pada Jaringan Pipa Distribusi,

karena jaringan tersebut oleh Pemerintah ditetapkan sebagai Jaringan Pipa Katagori

Dedicated Hilir. Untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatan infrastruktur gas bumi di

dalam negeri beberapa yang perlu diusulkan: i) Semua jaringan pipa distribusi maupun

jaringan transmisi hendaknya berkatagori open access yang dilakukan secara bertahap dimulai

dari accounting unbundling sampai legal unbundling; ii) Open Access pada jaringan distribusi

hendaknya juga dilakukan secara bertahap di mulai dari jaringan tekanan tinggi dulu sebab

lebih mudah dilihat dari aspek teknik operasionalnya.

Kompleksnya permasalahan perencanaan infrastruktur gas memerlukan peran aktif

pemerintah. Namun permasalahan klasik dalam infrastruktur adalah pendanaan. Sejak krisis

ekonomi dan keuangan tahun 1998, belanja infrastruktur Indonesia terus menurun, dari

puncaknya pada tahun 1995 sebesar 9,2 persen dari GDP menjadi kira-kira 3,2 persen pada

tahun 2005, dan kemudian sedikit meningkat menjadi 3,9 persen pada tahun 2009.

Menurunnya belanja infrastruktur sudah barang tentu menyebabkan penyediaan infrastruktur

menjadi tidak sebanding dengan perkembangan kebutuhan akibat pertambahan penduduk.

10 Ayat 1 dari Pasal 19: Badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan hak khusus pada ruas transmisi dan/atau

wilayah jaringan distribusi dilarang melakukan kegiatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas pengangkutan gas bumi yang

dimiliki dan / atau dikuasainya. Ayat 2 dar Pasal 19: Dalam hal badan usaha pemegang izin usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dan

hak khusus pada ruas transmisi dan/atau wilayah jaringan distribusi melakukan ke giatan usaha niaga gas bumi melalui pipa pada fasilitas

pengangkutan gas bumi yang dimilikinya dan/ atau dikuasainya, wajib membentuk badan usaha terpisah dan mempunyai izin usaha niaga

gas bumi melalui pipa. Huruf (c) dari Pasal 31: Dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun, Badan Usaha yang telah melaksanakan

Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa dan Kegiatan Usaha Niaga Gas Bumi Melalui Pipa pada Ruas Transmisi dan/atau

Wilayah Jaringan Distribusi, wajib membentuk Badan Usaha terpisah dan menyesuaikan dengan Peraturan Menteri ini.

73

Oleh sebab itu, pemerintah perlu membuat terobosan baru dalam mengintensifkan Skema

Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) pada pembangunan infrastruktur gas.

Upaya peningkatan kelembagaan dan peraturan-perundangan dalam bidang

infrastruktur juga sudah meningkat. Terbitnya UU Migas dan peraturan pelaksananya

bertujuan untuk mengurangi monopoli Pemerintah dan memungkinkan keterlibatan sektor

swasta termasuk dalam pengadaan infrastruktur gas. Salah satu kendala penting dalam kaitan

dengan mempercepat pembangunan bidang infrastruktur ini adalah proses pembebasan lahan.

Dengan terbitnya UU pengadaan lahan, setengah dari permasalahan ini selesai. Saat ini,

Perpres pelaksana UU pengadaan lahan sedang difinalisasikan.

Dalam rangka pengembangan kerangka kelembagaan, Pemerintah telah berupaya

melakukan berbagai langkah terobosan guna mendukung pelaksanaan KPS. Peraturan

Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam

Penyediaan Infrastruktur telah diubah untuk kedua kalinya melalui Peraturan Presiden Nomor

56 Tahun 2011. Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) sebagai

salah satu komite tingkat kementerian telah direvitalisasi melalui Peraturan Presiden Nomor

12 Tahun 2011. Sementara itu, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) melalui anak

perusahaannya PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) serta PT Penjaminan Infrastruktur

Indonesia (PII) juga telah beroperasi secara penuh masing-masing sebagai instrumen

pembiayaan dan penjaminan pembangunan infrastruktur melalui skema KPS. Landasan

hukum operasional PT PII telah ditetapkan melalui Perpres 78/2010 serta Peraturan Menteri

Keuangan (PMK) 260/2010.

Hambatan dalam bidang pembiayaan swasta meskipun masih ada namun sebenarnya

dapat disiasati. Sebagaimana diketahui, jangka-waktu pengembalian modal (payback period)

dari proyek-proyek KPS biasanya panjang, yang tidak sesuai dengan masa jatuh-tempo

sumber dana perbankan. Selain itu, prinsip kehati-hatian yang diterapkan dalam perbankan di

Indonesia juga tidak memungkinkan penerapan pola pembiayaan project financing karena

tidak adanya jaminan (collateral) atas pinjaman. Namun dengan semakin stabil dan kuatnya

perekonomian Indonesia dan semakin tingginya kepercayaan asing terhadap ekonomi kita,

maka kemungkinan bagi masuknya investor asing dalam bidang infrastruktur dan

diperolehnya pinjaman dana asing oleh investor dalam negeri menjadi terbuka lebar

74

Selain permasalahan di atas, masalah klasik lainnya peraturan yang bersifat tumpang

tindih, belum dilengkapi dengan jaminan penggantian biaya, dan proyek infrastruktur yang

ditawarkan kepada sektor swasta tidak dipersiapkan dengan matang sehingga beberapa proyek

belum clear n clean. Belum lagi masalah keterbatasan sumber daya manusia untuk KPS ini

dan koordinasi yang lemah antar instansi

Dengan rumitnya proses KPS ini, pembangunan infrastruktur gas juga sebaiknya

dilakukan oleh pemerintah melalui pendanaan APBN seluruhnya terutama pada infrastruktur-

infrastruktur kunci seperti FSRU dan beberapa ruas jaringan pipa tertentu yang strategis

sementara pembangunan pipa lainnya bisa dikerjakan melalui skema KPS atau swasta murni.

Sumber pendanaan untuk pembangunan tersebut dapat berasal dari iuran pemakaian gas

(setelah dikurangi biaya operasi BPH Migas) atau melalui penerapan depletion premium dari

dana bagi hasil migas atau dengan mengajak partisipasi masyarakat dan pemerintah daerah

setempat.

5.2.2 Strategi Alokasi Gas Dalam Negeri

Walaupun dalam beberapa tahun terakhir ini alokasi gas untuk dalam negeri lebih

diutamakan yang ditandai dengan kontrak, namun dalam realisasinya seringkali tidak

maksimal. Sebagai contoh, berikut ini perbandingan alokasi gas tahun 2011 berdasarkan

kontrak.

Gambar 32 Perbandingan Rencana dan Realisasi Alokasi Gas Tahun 2011 (Ditjen Migas, 2012)

Dari dua grafik di atas, diketahui bahwa alokasi untuk ekspor dan peningkatan

produksi minyak cenderung aman. Sementara untuk industri pupuk dan listrik cenderung

menurun. Beberapa industri pupuk dan listrik mengatasi kekurangan pasokan ini melalui

75

badan usaha niaga seperti PGN, Pertagas dan lainnya sehingga alokasi sektor industri lainnya

ikut meningkat.

Pergeseran alokasi gas untuk ekspor lebih sulit dengan adanya adanya konsekuensi

ekonomi dan bisnis (sanksi penalti) yang akan dihadapi pemerintah dengan pengurangan

alokasi ekspor. Akibatnya apabila terjadi krisis gas, yang pertama kali diamankan adalah

alokasi gas untuk ekspor. Contoh nyata dalam hal ini adalah kasus rebutan alokasi antara

ekspor ke Singapura, lifting minyak Chevron dan untuk PLN Muara karang yang akhir-akhir

ini menjadi bahan audit BPK. Dalam kasus ini ekspor menjadi prioritas pertama, selanjutnya

lifting minyak dan kemudian untuk listrik (PLN) itu sendiri. Dengan pertimbangan tersebut,

memang tidak ada yang dapat dilakukan pemerintah selain dari renegosiasi baik dari segi

harga atau jumlah alokasi.

Terkait urutan prioritas pemanfaatan gas dalam negeri, pemerintah menempatkan

kegiatan lifting minyak sebagai prioritas pertama sebelum pupuk, listrik dan industri lainnya.

Pada kegiatan lifting minyak, gas berfungsi sebagai bahan bakar untuk menghasilkan uap

yang akan diinjeksikan sebagai proses Enhance Oil Recovery (EOR). Dengan adanya EOR,

produksi minyak bumi dapat dipertahankan yang menjadi salah satu potensi pendapatan

negara. Efek selanjutnya adalah keterjaminan pasokan BBM bersubsidi. Secara umum,

pengaruh dari alokasi gas untuk lifting adalah ketahanan energi namun kurang memberi nilai

tambah.

Sementara dalam industri pupuk yang menjadi prioritas selanjutnya, gas bumi lebih

berperan sebagai bahan baku dimana gas berperan sekitar 50–60 persen dari struktur biaya

produksi pupuk. Penguatan industri pupuk ini diharapkan dapat meningkatkan industri

pertanian nasional. Namun yang kadangkala terjadi adalah ekspor pupuk yang diantaranya

dilakukan secara ilegal. Sementara dalam kelistrikan, gas digunakan sebagai sumber energi

untuk pembangkitan listrik. Secara umum, gas memiliki kelebihan dibanding sumber energi

lainnya diantaranya relatif lebih bersih, memiliki faktor kapasitas yang tinggi dan relatif lebih

murah.

Sebagai pengguna prioritas terakhir adalah industri lainnya. Secara karakteristik,

industri memiliki nilai tambah yang tinggi. Pada industi ini umumnya gas digunakan sebagai

bahan bakar. Sebagian di antaranya kontak langsung dengan produk yang umumnya tidak

dapat digantikan dengan bahan lain seperti dalam industri logam, keramik, kaca, gelas dan

76

semen. Pada industri petrokimia, gas lebih berperan sebagai bahan baku. Keunggulan gas

dalam proses produksi di sektor industri adalah lebih efisien dibanding sumber energi lainnya

yang akan menjadikan harga kompetitif untuk keunggulan industri domestik yang selanjutnya

akan berdampak pada penguatan perekonomian nasional.

Dengan demikian, kebijakan alokasi gas saat ini lebih cenderung ditujukan pada

kegiatan strategis seperti peningkatan produksi minyak bumi namun cenderung kurang

produktif dan kurang bernilai tambah. Sementara kegiatan produktif menjadi prioritas di

bawahnya. Selain dari strategi alokasi gas, kebijakan pengembangan sektor hulu gas perlu

dikaji agar lebih mendukung iklim investasi sehingga kegiatan eksplorasi lebih berkembang

dan tentunya akan banyak penemuan play gas yang baru. Dengan begitu cadangan gas lebih

meningkat dan kesinambungan pasokan akan lebih terjamin dalam beberapa tahun mendatang.

Dari hasil kegiatan pemboran sumur eksplorasi yang dilakukan selama periode yang

sama 2001 sampai dengan 2011 antara rencana kegiatan pemboran, realisasi kegiatan

pemboran dengan adanya sumur yang menghasilkan (discovery) dapat menunjukkan besarnya

sukses rasio. Dari tahun ke tahun, angka sukses rasio ini mengecil. Jika pada tahun 2001

sampai 2004, sukses rasio masih sebesar di atas 51,5 persen, namun sejak tahun 2005 sampai

2010 rata sukses rasio ini rata-rata hanya berada di kisaran 41 persen. Penurunan sukses rasio

ini kemungkinan karena eksplorasi dilakukan sebagian besar di wilayah timur dan umumnya

di daerah laut dalam. Sementara wilayah barat umumnya telah dieksplorasi secara mendalam.

Perkembangan teknologi eksplorasi di tahun-tahun itu tidak membantu banyak seiring

perbedaan kondisi geologi bawah permukaan wilayah timur dan wilayah barat. Dengan

pengenalan kondisi geologi melalui intensifikasi kegiatan eksplorasi, success ratio ini

diperkirakan dapat meningkat kembali.

Kebijakan insentif yang dapat diterapkan adalah Split untuk produsen gas bertambah

dan Split pemerintah berkurang yang tentunya dibarengi dengan klausul yang menguntungkan

terhadap pemerintah seperti harga jual gas untuk domestik yang dapat ditekan sesuai dengan

kemampuan keekonomian pasar dalam negeri. Dampak berantai dari kebijakan ini adalah

menggiatnya kembali kegiatan eksplorasi dan eksploitasi lapangan gas; tumbuhnya

infrastruktur gas bumi (jaringan transmisi dan distribusi gas bumi baik melalui pipa maupun

LNG) dan sarana aplikasi gas bumi secara komersial tanpa bantuan APBN, serta tumbuhnya

perekonomian nasional yang berbasis energi murah.

77

Selain itu, kebijakan penyertaan pemerintah daerah dalam bentuk Participating

Interest (PI) sebesar 10 persen pada kegiatan hulu migas harus dilakukan secara selektif

karena pada praktik di lapangan, kebijakan ini malah membuat program pengembangan

lapangan migas terhambat. Risiko kegiatan usaha hulu yang besar membuat pemerintah

daerah membutuhkan waktu lama untuk mencari mitra usaha (partner) yang mampu

menyerap risiko finansial yang timbul pada kegiatan eksploitasi tahap lanjut. Makin besar

lapangan produksi yang akan dikerjakan, makin lama pula waktu yang dibutuhkan oleh

pemerintah daerah untuk mendapatkan mitra yang sesuai. Hal yang mungkin perlu dikaji

adalah justru kebijakan participating interest di sisi hilir migas. Selain risiko usaha di hilir

yang tidak sebesar di hulu, kebijakan ini juga diharapkan dapat memicu peningkatan

infrastruktur migas yang menjadi syarat investasi di hilir, sementara pemerintah pusat lebih

berperan aktif dalam penentuan atau jaminan alokasi gas. Contoh sederhana adalah

pembangunan jaringan gas kota yang melibatkan partisipasi pemerintah daerah melalui

penyertaan BUMD sebagai operator.

5.2.3 Strategi Penetapan Harga Gas dalam Negeri

Jumlah cadangan gas Indonesia yang besar ini jika dibanding cadangan dunia

sebenarnya tidak signifikan yaitu 1,7 persen (nomor sebelas dunia) namun dalam tingkat

regional Asia Pasifik jumlah ini merupakan yang terbesar di atas Australia yang hanya 1,6

persen. Kondisi cadangan gas yang merata di Asia Pasifik menjadikan tingkat kompetisi di

pasar regional menjadi ketat. Saat ini dengan perkembangan cadangan gasnya, Australia dan

Malaysia menjadi kompetitor utama. Ditambah dengan perkembangan shale gas di Amerika

Serikat yang akan mengakibatkan oversuplai di tingkat domestik Amerika. Akibatnya

produsen gas AS akan melirik pasar Asia Pasifik dan juga Eropa sehingga persaingan gas

secara global akan lebih ketat di masa mendatang dan harga gas regional Asia cenderung

menurun.

Harga gas di hulu ditentukan melalui kontrak jual beli gas antara KKKS dengan

pembeli gas, dan sebelum berlaku harga gas ini terebih dahulu mendapat persetujuan dari

KESDM dengan pengawasan BP Migas. Harga gas di hulu rata-rata yang berlaku adalah

US$ 3,8 per MMBTU. Harga masing-masing kontrak bervariasi, mulai dari US$ 1,8 per

MMBTU untuk PJBG antara ChonocoPhillips dengan PT PGN, US$ 2,2 per MMBTU untuk

78

kontrak EP Pertamina dengan PT PGN, dan sebagainya. Tabel 18 memperlihatkan harga-

harga gas di hulu untuk beberapa kontrak PJBG yang sudah berlaku saat ini.

Tabel 18 Harga Gas KKKS dan Perubahan Kenaikan Harga Gas (Mei 2012)

No Kontraktor KKS Pembeli Gas Harga

(US$/MMBTU)

Harga hasil

Renegosiasi - Mei

20120

(US$/MMBTU)

1 ChonocoPhillips PGN 1,85 5,60

2 EP Pertamina (Region

Sumatra)

PGN 2,20 5,50

Harga gas di hulu yang berlaku saat ini dianggap terlalu rendah, dibandingkan dengan

harga gas untuk ekspor. Harga gas untuk kontrak dengan Malaysia dari blok Natuna B adalah

US$ 5,5 per MMBTU. Bahkan saat ini harga gas yang berlaku internasional (jika kontrak

dilakukan sekarang) mencapai US$ 12-16 per MMBTU. BP Migas kemudian meninjau

kembali harga gas hulu ini dan pada bulan Mei 2012 memfasilitasi renegosiasi harga gas

untuk beberapa PJBG yang sudah berlaku (amandemen) dan juga untuk konrak PJBG yang

baru12

. Untuk penjualan gas dari KKKS ChonocoPhillips, misalnya harga gas kemudian

ditetapkan meningkat dari US$ 1,85 menjadi US$ 5,6 per MMBTU, dan juga ditetapkan

bahwa harga gas akan menjadi US$ 6,5 per MMBTU pada tahun 2014. Renegosiasi dilakukan

untuk mendongkrak harga gas hulu menjadi rata-rata US$ 5-6 per MMBTU. Argumen BP

Migas merenegosiasi kenaikan harga adalah untuk memberikan kepastian pasokan dan

ketersediaan gas di dalam negeri.

PGN adalah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pengangkutan gas melalui

pipa serta tata niaga gas – gas transporter dan trader. PGN membeli gas dari KKKS dan

menyalurkannya melalui jaringan pipa gas transmisi miliknya. Disamping itu, PGN juga

memberikan layanan pengangkutan gas pipa, dengan menerapkan toll-fee (US$0,41 per

MMBTU) dan service fee (US$ 2 per MMBTU) bagi perusahaan-perusahaan yang akan

memanfaatkan jaringan transmisi gas pipa milik PGN.

Sebagai trader, PGN membeli gas dari sejumlah KKKS, kemudian menjualnya kepada

konsumen akhir, seperti PLN dan industri. Tabel 19 memperlihatkan pembelian gas dari

12

Kepala BP Migas akan merenegosiasi harga gas hulu yang baru untuk 14 kontrak (Mei 2012)

79

beberapa KKKS dan harga yang disepakati. Chonoco Phillips merupakan Kontraktor KKKS

dengan penjualan gas terbanyak (64 persen) dibandingkan dengan kontraktor KKS lainnya.

Tabel 19 Kontraktor KKS yang Melakukan Penjualan Gas dengan PGN

No Kontraktor KKS Harga

(US$/MMBTU)

Proporsi dari total

pembelian gas

(persen)

1 ChonocoPhillips 1,85 64

2 Pertamina Pagar Dewa 2,2 21

3 Pertamina Jawa Barat 2,5 5

4 Medco Lematang 2,65 5

5 Medco Keramasan 2,65 4

6 Ellips NA 1

PGN menjual gas ke konsumen akhir dengan harga yang bervariasi, dengan

memasukkan komponan harga gas yang di beli dari KKKS, toll-fee, dan service-fee. Dengan

harga rata-rata gas hulu US$ 3,8 per MMBTU, maka harga gas rata-rata ke konsumen adalah

US$ 6,2 per MMBTU. Dengan adanya kenaikan harga gas hulu (hasil renegosiasi BP Migas),

dimana harga gas hulu naik menjadi rata-rata US$ 5-6 per MMBTU, PGN kemudian

memberlakukan harga gas hiir baru, yakni dengan menaikkan rata-rata 55 persen dari harga

gas yang berlaku saat ini, menjadi US$ 10,2 per MMBTU.

Peran PGN dalam tata niaga gas sangat besar. Dari sebelas perusahaan yang bergerak

di niaga gas, selama kuartal pertama 2012, PGN melakukan transaksi jual/beli migas sebesar

665,34 MMSCFD, yakni 88,5 persen dari total transaksi jual beli gas di dalam negeri. Dari

sejumlah itu, kurang lebih 150 MMBTU atau 22,5 persen dijual oleh PGN ke PLN (Tabel 20).

80

Tabel 20 Aktifitas Tata Niaga Gas Domestik 2012 (BPH Migas, 2012)

Dengan perannya yang sangat dominan di dalam tata niaga gas dalam negeri, kenaikan

harga yang diberlakukan oleh PGN sangat ‘memukul’ konsumen. Ongkos produksi naik

mengikuti kenaikan harga gas. Pemerintah yang diinisiasi KESDM dan Kementerian

Perindustrian, kemudian memutuskan untuk mereskedul kenaikan harga gas, baik itu harga

gas hilir maupun hulu. Untuk harga gas hilir, kenaikan dilakukan secara bertahap, kenaikan

35 persen pada tanggal 1 September 2012, dan kenaikan 15 persen pada bulan April 2012.

Dengan demikian kenaikan 50 persen (bukan 55 persen seperti yang ditetapkan oleh PGN),

dilakukan secara bertahap dalam kurun waktu 8 bulan. Menurut jadwal kenaikan harga gas ini,

pada taanggal 1 September 2012, harga gas PGN akan naik dari US$ 6,2 per MMBTU

menjadi US$ 8,2 per MMBTU, dan pada tanggal 1 April 2013 mencapai US$ 9,0 per

MMBTU. Di samping itu, kenaikan harga gas hulu juga akan ditinjau kembali. Gambar 33

memperlihatkan jadwal penyesuaian harga gas hulu dan hilir.

Gambar 33 Jadwal Penyesuaian Harga Gas Hulu (Y) dan Hilir (X)

1September2012 1April2013

X=6USD/MMBTU(Hilir)

Y=3.8USD/MMBTU(Hulu)

15%

35%

81

Untuk penetapan harga di hulu, mekanisme seleksi pembeli (konsumen) gas itu sendiri

yang diatur melalui Peraturan Tata Kelola (PTK) BP Migas No. 29 tahun 2009. Untuk

kepentingan umum – termasuk untuk kebutuhan energi di daerah penghasil, kelistrikan (PLN),

kebutuhan lifting, pupuk, petrokimia, BBG dan Citygas - dilakukan melalui penunjukan

langsung sementara untuk kepentingan bisnis – kelistrikan untuk kawasan industri, LPG,

industri, eksport, dan lain-lain dilakukan melalui Beauty Contest (lelang terbatas) (Gambar

34).

Gambar 34 Metode Seleksi Pembeli (Konsumen) Gas untuk Pengguna Tertentu (BP Migas,

2011)

Dari mekanisme penentuan harga jual gas hulu, walaupun dalam persetujuan akhir

berada di tangan pemerintah cq KESDM, namun peran pasif pemerintah dalam proses ini

sedikit banyak mempengaruhi keputusan pemenang yang kurang tepat. Apabila pengawasan

BP Migas kurang optimal, proses lelang dan penentuan harga mungkin saja akan lebih

mencerminkan kepentingan produsen sebagai penjual yang ditunjuk BP Migas. Selain itu

proses ini kadang kala menumbuhkan peluang badan usaha niaga terbatas (trader gas bumi

tanpa fasilitas distribusi) yang dapat mendongkrak harga gas bumi di titik konsumen akhir

(end user). Dampaknya, produsen gas bumi tidak dapat menyalurkan gasnya secara langsung

pada konsumen akhir pada tingkat harga yang lebih kompetitif.

82

Khusus untuk sektor hilir, penetapan harga gas lebih diberikan kepada badan usaha

niaga dan kurang memperhatikan kepentingan konsumen akhir. Oleh karenanya perlu ada

pengaturan lebih lanjut mengenai harga gas di tingkat konsumen. Selain untuk melindungi

kepentingan konsumen akhir, hal ini juga bertujuan juga untuk mencegah adanya praktik

‘calo atau makelar’ gas tanpa infrastruktur yang dapat membebani keekonomian gas di tingkat

konsumen. Mekanisme pengaturan tersebut dapat melalui pengaturan IRR atau cap price di

konsumen.

Selain harmonisasi mekanisme penetapan harga gas di hulu dan di tingkat konsumen

akhir dari trader, kebijakan yang perlu diusulkan adalah kebijakan subsidi gas untuk

melindungi kerugian dari produsen. Dengan kebijakan ini harga gas yang diterima Kontraktor

Kotak I Ilustrasi Sederhana Penerapan Kebijakan Subsidi Gas

Asumsi

Harga BBM bersubsidi = Rp.4500/ltr = $80/bbl = $12/MMBTU

Harga LNG = $18/MMBTU

Biaya cryogenic $3/MMBTU,

Harga gas yang diterima kontraktor sebelum LNG plant = 18 – 3 = $15/MMBTU

Asumsi biaya produksi gas (cost recovery) $3/MMBTU

Bagian Kontraktor = 30% ($15-$3) + $3 = $6,6/MMBTU

Dan bagian Pemerintah $15 - $6,6 = $8,4/MMBTU

Dibandingkan dengan

Harga BBM bersubsidi = $12/MMBTU

Harga gas yang diterima dari ekspor LNG = $15/MMBTU

Bagian Kontraktor $6,6 (44%) dan Pemerintah $8,4 (56%)

Agar gas dapat mensubstitusi BBM bersubsidi, harga gas diturunkan, menjadi $8/MMBTU

Dan agar Kontraktor tidak dirugikan, ia tetap mendapat $6,6/MMBTU, sedangkan

Pemerintah mendapat $1,4/MMBTU

Simple Cost Benefit Analysis.

Dengan menjual gas di dalam negeri seharga $8/MMBTU, pemerintah menanggung

opportunity loss $7/MMBTU

Harga impor BBM, asumsi $130/bbl, dijual dengan harga subsidi $80/bbl.

Pemerintah menanggung subsidi $50/bbl atau $8/MMBTU

Financial cost benefit analysis menunjukkan Pemerintah untung $1 untuk setiap MMBTU

substitusi gas terhadap BBM bersubsidi.

Pemerintah menanggung opportunity loss $8,4 - $1,4 = $7/MMBTU

Financial cost benefit analysis menunjukkan Pemerintah memperoleh keuntungan $1 untuk

setiap MMBTU substitusi gas terhadap BBM bersubsidi.

83

tetap menarik, tetapi gas dijual kepada konsumen domestik tertentu dengan harga cukup

menarik untuk mendorong konsumen meninggalkan BBM yang disubsidi. Selain keuntungan

ekonomi, subsidi gas lebih cenderung lebih sulit disalahgunakan dibanding subsidi BBM.

Walaupun demikian, pengambilan kebijakan ini harus dilakukan secara berhati-hati

agar tidak menambah beban keuangan negara sehingga pada prakteknya penerapan kebijakan

subsidi gas ini harus dilakukan simultan dengan pengurangan subsidi BBM dalam skala

energi yang sama. Untuk mengimplementasikan hal ini perlu banyak upaya dalam

pengembangan infrastruktur gas terutama pada sektor transportasi.

84

BAB 6

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan

Peranan gas bumi Indonesia di masa mendatang akan menjadi kunci dalam

memperkuat perekonomian nasional baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku

industri. Hal ini tidak lepas dari tren pergeseran peningkatan cadangan dan produksi migas

dari dominasi minyak ke dominasi gas yang dipengaruhi kondisi geologi dan cekungan

sedimen Indonesia. Di periode 2002 - 2012, produksi gas Indonesia meningkat rata-rata 1,3

persen sementara produksi minyak justru menurun rata-rata sebesar 3 persen. Peningkatan

harga minyak dunia di periode tersebut tidak secara signifikan meningkatkan cadangan dan

produksi minyak Indonesia. Sementara itu, kemunculan beberapa negara-negara produsen gas

yang baru di kawasan Asia yang menyebabkan harga gas regional menurun tidak

menyurutkan tren perkembangan penemuan lapangan gas baru di Indonesia.

Dalam kondisi demikian, sebenarnya Indonesia telah menyiapkan berbagai perangkat

kebijakan dan program peningkatan pemanfaatan gas bumi untuk dalam negeri. Salah satunya

adalah Kebijakan Energi Nasional yang tercantum dalam Perpres No. 5 tahun 2006 yang salah

satunya menargetkan porsi gas dalam bauran energi akan meningkat menjadi 30 persen

(nomor dua setelah batubara 33 persen) di tahun 2025 dengan tingkat konsumsi gas dalam

negeri meningkat dari 212,8 SBM menjadi 832 SBM. Untuk mendukung tercapainya target

itu, beberapa kebijakan teknis sudah dikeluarkan pemerintah mulai dari RIJTDGB yang

dimulai tahun 2006, neraca gas yang dimulai tahun 2007 dan diperbaharui setiap tahun

sampai pada pengaturan mengenai kegiatan usaha gas melalui Permen No. 19 tahun 2009 dan

alokasi gas melalui Permen ESDM No. 3 tahun 2009. Namun demikian, sampai saat ini

pemanfaatan gas bumi masih saja rendah. Walaupun secara konsumsi riil gas Indonesia

meningkat namun sampai tahun 2011 porsi gas Indonesia justru menurun dari 22,4 persen di

tahun 2005 menjadi 20,4 persen. Pemanfaatan gas dalam negeri sendiri hanya meningkat

sedikit dari 43,6 di tahun 2005 menjadi 47 persen. Sektor pengguna utama gas dalam negeri

adalah pupuk – petrokimia, listrik dan industri dengan pertumbuhan sektor industri yang

paling cepat yaitu rata-rata 7,7 persen per tahun dari tahun 2001 – 2011.

85

Perlambatan pemanfaatan gas ini tidak lepas dari efek proses deregulasi industri gas

Indonesia yang diamanatkan UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas. Beberapa hal pokok dari

UU itu adalah pemisahan sektor hulu dan hilir dengan BP Migas sebagai pelaksana

pengawasan dan pengendalian di sektor hulu dan BPH Migas sebagai pengatur kegiatan usaha

di sektor hilir. Prinsip pokok dari proses deregulasi ini adalah penghapusan monopoli usaha

migas melalui sistem kompetisi yang pada akhirnya bertujuan untuk mencapai efisiensi dan

efektifitas dengan memaksimalkan penerimaan atau keuntungan negara. Mekanisme efisiensi

kegiatan usaha migas dilakukan melalui kebijakan pengaturan open access dalam

pemanfaatan infrastruktur dengan tetap menjunjung aspek fairness melalui kebijakan

unbundling usaha pengangkutan dan usaha niaga. Sementara mekanisme efektifitas dilakukan

melalui penetapan prioritas alokasi gas. Pada perkembangan proses deregulasi melalui UU No.

22 tahun 2001 dan peraturan di bawahnya, terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan

Mahkamah Konstitusi (MK) di antaranya pasal 12 ayat 3, pasal 22 ayat 1 dan pasal 28 ayat 2

terkait kewajiban pasok dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dan harga bahan

bakar minyak (BBM) pada 21 Desember 2004, dan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal

41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 UU

yang berkaitan dengan posisi BP Migas yang tidak konstitusional pada tanggal 13 November

2012 sehingga harus dibubarkan. Untuk mengisi kekosongan lembaga, sampai terbentuk tugas

BP Migas dialihkan kepada Kementerian ESDM melalui Satuan Kerja Sementara Pelaksana

Migas (SKSP Migas) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 95 tahun 2012 dan

Kepmen ESDM No. 3135 dan 3136 .

Permasalahan pokok dalam mempercepat pembangunan industri gas bumi adalah

permasalahan infrastruktur, pengaturan harga dan penetapan alokasi gas. Permasalahan

infrastruktur lebih disebabkan perencanaan infrastruktur yang ada melalui RIJTDGB belum

bersifat terintegrasi antara penyediaan dan kebutuhan gas. Perencanaan infrastruktur

RIJTDGB kurang memperhatikan perencanaan sektor lainnya seperti industri, listrik dan

pupuk sehingga penempatan infrastruktur gas kurang efektif dalam memaksimalkan

kebutuhan gas dalam negeri sehingga infrastruktur gas yang ada kurang termanfaatkan

dengan optimal. Sementara permasalahan harga lebih disebabkan oleh tidak adanya

pengaturan penetapan harga hilir di tingkat konsumen (pengguna umum) oleh pemerintah dan

selama ini dilakukan oleh badan usaha secara business to business. Akibatnya banyak tumbuh

86

badan usaha niaga (trader) tanpa fasilitas dan perkembangan jaringan distribusi gas yang

lambat.

Permasalahan prioritas alokasi gas sebenarnya sudah dicoba diselesaikan melalui

Permen ESDM No. 3 tahun 2010 tentang Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi untuk dalam Negeri,

namun sampai saat ini berdasarkan realisasi penyaluran gas, porsi ekspor masih lebih prioritas

dari pemanfaatan dalam negeri. Selain itu, dari urutan prioritas pengguna gas yang diatur

dalam Permen ESDM tersebut masih menjadi perdebatan di antara stakeholder gas itu sendiri

baik dari pihak pemerintah (KESDM, Kemenperin, dan lain-lain) maupun dari pihak

pengguna gas (pupuk, industri, listrik, migas).

6.2 Rekomendasi

Mempertimbangkan hasil dari kajian ini, beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan untuk

mempercepat pembangunan industri gas bumi adalah sebagai berikut :

1. Percepatan Revisi UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas

Harus diakui bahwa lahirnya UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas didasari oleh

semangat reformasi termasuk di sektor migas dengan konsep deregulasi baik di sektor

hulu dan hilir. Namun demikian, akibat proses penyusunan UU tersebut dilakukan secara

cepat timbul beberapa masalah lainnya. Pada beberapa kesempatan, pasal-pasal dalam

UU ini dibatalkan MK dengan pertimbangan tidak sesuai dengan semangat konstitusi

UUD 1945. Atas dasar itulah, perlu segera dikeluarkan revisi terhadap UU Migas.

Berdasarkan data dari DPR, revisi UU Migas sudah masuk ke dalam Prolegnas sejak

tahun 2010 atas inisiatif DPR. Namun sampai saat ini draft usulan belum sekalipun

dibahas. Tidak hanya itu, Naskah Akademik sebagai persyaratan pembahasan juga masih

dalam tahap penyiapan. Beberapa hal yang perlu dibenahi dalam UU ini adalah :

(a) Penyempurnaan Aspek Kelembagaan :

Bubarnya BP Migas melalui keputusan MK merupakan salah satu hal yang perlu

menjadi perhatian. Walaupun saat ini peran BP Migas diambil alih oleh SKSP Migas

yang berada di bawah KESDM, namun untuk ke depannya perlu segera dipikirkan

badan atau lembaga yang bertanggung jawab untuk mengelola usaha hulu migas serta

mekanisme koordinasi antar lembaga. Beberapa opsi bentuk kelembagaan yang

87

mengemuka saat ini adalah BUMN, BHMN atau langsung pemerintah sendiri melalui

KESDM. Penentuan lembaga ini perlu memperhatikan alasan putusan MK mengenai

pembubaran BP Migas yang salah satunya inefisiensi pengelolaan dan menimbulkan

bias kewenangan negara dalam pengelolaan migas yang dalam hal ini diwakili

pemerintah melalui kementerian sektor (ESDM) sehingga apapun bentuk kelembagaan

itu seyogyanya berada di bawah Menteri sebagai otoritas penetap kebijakan. Selain itu

dalam pelaksanaan tugasnya, dalam lembaga ini perlu dibentuk dewan pengawas

(semacam Wali Amanat atau Dewan Komisaris yang anggotanya tidak hanya berasal

dari sektor energi tetapi juga berasal dari pemanfaat migas)

(b) Integrasi Sektor Hulu – Hilir

Selama ini pemisahan antara hulu dan hilir yang juga disertai pembentukan BP Migas

dan BPH Migas mengakibatkan sulitnya mencapai target dan sasaran sebagaimana

yang ditetapkan dalam perencanaan gas. Sebagai contoh banyaknya proyek

infrastruktur gas yang direncanakan saat ini seringkali mengalami penundaan

beberapa tahun lamanya. Hal ini disebabkan karena dalam perencanaannya, kurang

memperhatikan pasokan (hulu) atau kebutuhan (hilir). Selain itu, pemisahan badan

pelaksana hulu dan pengatur hilir yang memiliki indeks kinerja kunci yang berbeda

seringkali mempersulit koordinasi. Sebagai contoh walaupun dalam visi dan misi BP

Migas dan BPH Migas memiliki kesamaan untuk memaksimalkan kemakmuran

masyarakat namun BP/SKSP Migas lebih berorientasi untuk memaksimalkan

penerimaan negara, tanpa memandang kemampuan dan daya beli konsumen gas dalam

negeri. Sementara BPH Migas dalam salah satu visinya justru bertujuan untuk lebih

mengutamakan peningkatan pemanfaatan gas melalui persaingan usaha yang sehat.

Oleh karenanya sebaiknya hanya ada satu lembaga yang berfungsi pelaksana, dan

pengatur migas (hulu dan hilir) yang berada di bawah KESDM. Sementara itu, Ditjen

Migas melepaskan fungsi pengaturan untuk lebih fokus dalam fungsinya sebagai

otoritas penetap dan pengawas kebijakan.

2. Penyempurnaan RIJTDGB

Dalam menyempurnakan RIJTDGB, penyempurnaan yang diambil di antaranya

mengenai mekanisme dan substansi dari RIJTDGB di antaranya :

88

• Membuat lebih detail dari aspek teknis jaringan pipa yang direncanakan baik pipa

transmisi maupun distribusi. Data-data teknis itu diantaranya volume yang akan

dialirkan, panjang maupun diameter pipa, dan besaran tekanannya, jumlah jalur dan

kondisi akses pipa.

• Memuat lebih banyak skenario atau alternatif moda transportasi.

• Proses penyusunannya perlu memperhatikan neraca gas, rencana sektor perindustrian,

pupuk, kelistrikan dan sektor lainnya pemanfaat gas.

3. Penyempurnaan Prioritas Alokasi dan Kebijakan Harga Gas Dalam Negeri

(a) Renegosiasi Porsi Gas Ekspor dan Penyempurnaan Kebijakan Alokasi Gas

Karena keterbatasan pasokan gas domestik dalam memenuhi kebutuhan pengguna gas

dalam negeri, perlu dilakukan dua hal penting yaitu : (i) renegosiasi ekspor gas yang

bertujuan mengurangi porsi gas yang diekspor suntuk dialihkan untuk penggunaan

dalam negeri; (ii) penyempurnaan kebijakan alokasi gas yang tepat sasaran dan

disepakati oleh berbagai sektor pengguna baik dari kementerian maupun asosiasi

selaku perwakilan swasta. Kebijakan alokasi gas saat ini yang terdapat pada Permen

ESDM No. 3 tahun 2010 cenderung lebih bersifat ‘ESDM’ sentris dan kurang

mengakomodir sektor di luar ESDM. Kebijakan ini hanya mengedepankan

penerimaan negara secara langsung melalui alokasi gas untuk lifting minyak.

Sementara sektor-sektor yang memiliki nilai tambah tinggi seperti industri dan listrik

menjadi urutan prioritas terakhir. Padahal dari proses peningkatan nilai tambah itu,

terdapat potensi penerimaan negara yang tinggi dan dalam jangka waktu lama. Benefit

jangka panjangnya adalah tingkat competitiveness negara akan terangkat yang akan

mendukung tumbuhnya investasi di sektor industri yang menyerap tenaga kerja lebih

banyak di banding sektor produksi minyak. Kebijakan alokasi hasil kesepakatan itu

kemudian dituangkan dalam Rencana Alokasi Gas dalam jangka waktu 5 tahun. Bila

diperlukan, BUMN seperti PGN dan Pertagas dapat dilibatkan melalui penugasan

khusus untuk mengawal terlaksananya rencana alokasi gas tersebut.

(b) Transparansi Biaya Produksi (Konsumen dan Produsen) dalam Mendukung

Penetapan Kebijakan Harga Gas

Sesuai dengan putusan MK tahun 2004, penetapan harga BBM dan gas bumi

dilakukan oleh pemerintah dan tidak diserahkan pada mekanisme pasar. Hal ini

89

ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan kemajuan bangsa.

Walaupun demikian, kebijakan harga gas dari pemerintah harus juga mencerminkan

tingkat keekonomian agar mendorong investor migas dalam mengembangkan

lapangan-lapangan gas. Dalam rangka memaksimalkan penerimaan negara, kebijakan

harga gas saat ini masih berpihak pada produsen sehingga perlu didorong adanya

kewajiban transparansi biaya produksi baik dari pihak hulu (produsen), tengah

(pengangkut) dan hilir (konsumen). Dengan transparansi ini, pemerintah dapat

mengambil kebijakan pengaturan harga gas yang layak untuk konsumen dalam negeri

di berbagai level dengan berbagai mekanisme baik penetapan langsung atau secara

model.

(c) Keterlibatan Aktif Pemerintah dalam Mekanisme Seleksi Konsumen Gas

Selama ini peran pemerintah dalam proses seleksi konsumen gas dalam negeri kurang

aktif dan hanya sebatas persetujuan akhir. Selama ini peran BP Migas (sekarang SKSP

Migas) dan Produsen memegang peranan penting dalam seleksi tender. Penunjukan

produsen gas sebagai penjual gas bumi bagian pemerintah seperti yang saat ini terjadi

dan ketentuan anggaran BP Migas yang berasal dari pendapatan negara dari sektor

hulu migas (sekitar 1 persen) menciptakan hasil lelang yang lebih mengutamakan

pendapatan negara tanpa melihat kepentingan pembangunan lainnya. Akibatnya

kepentingan ekspor saat ini lebih diprioritaskan karena menguntungkan dari segi harga.

Untuk itu, peran aktif pemerintah dalam proses seleksi dan negosiasi harga gas bagian

pemerintah perlu dikedepankan. Apabila diperlukan, pemerintah dapat menugaskan

BUMN sebagai penjual gas bagian pemerintah dengan pengawasan langsung di bawah

pemerintah.

4. Penyempurnaan Kebijakan Fiskal untuk Pemanfaatan Gas dalam Negeri

Beberapa terobosan kebijakan fiskal yang dapat diambil oleh pemerintah adalah:

(a) Penambahan Porsi Bagi Hasil Kontraktor dalam Skema KKS

Saat ini, meskipun dalam beberapa tahun ini terjadi peningkatan produksi gas yang

signifikan namun tidak sebanding dengan peningkatan cadangan gas. Selain itu risiko

eksplorasi, dengan menurunnya faktor success ratio, menjadi tantangan tersendiri.

Dalam rangka itu diperlukan adanya kebijakan fiskal yang menarik dapat menarik

investor untuk mengeksplorasi daerah-daerah baru di antaranya dengan menambah

90

porsi bagian kontraktor dalam KKS. Saat ini kebijakan bagi hasil gas umumnya adalah

70 persen bagian pemerintah dan 30 persen bagian pengembang. Perlu adanya kajian

lebih lanjut mengenai perubahan pola bagi hasil ini, baik untuk gas conventional

maupun unconventional. Sebaiknya, penerapan kebijakan ini dikombinasikan dengan

peningkatan porsi gas DMO apabila proyek pengembangan hulu berhasil.

(b) Penerapan Subsidi Gas

Subsidi gas dilakukan dengan pertimbangan adanya gap harga ekspor gas dengan

kemampuan daya beli konsumen dalam negeri. Pemberian subsidi ini sebaiknya

diberikan terutama sektor-sektor yang masih menggunakan BBM seperti sektor

transportasi.

5. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Open Access dan Unbundling

Selama ini pelaksanaan kebijakan open access dan unbundling belum efektif dalam

mencapai pengembangan gas yang efisien dan transparan. Hal ini disebabkan karena

pelaksanaan kebijakan dilakukan secara cepat tanpa melalui pentahapan dan kurang

memperhitungkan kondisi riil. Selain itu faktor tidak adanya dukungan regulasi lainnya

menjadikan kebijakan ini tidak efektif.

6.3. Tindak Lanjut dari Rekomendasi

Sebagai tindak lanjut dari rekomendasi ini, berikut adalah matriks tindak lanjut untuk para

pemangku kepentingan terkait percepatan pembangunan industri gas bumi.

91

No. Pemangku Kepentingan Rekomendasi

1. Kementerian Koordinator

Bidang Perekonomian

1. Memimpin koordinasi pelaksanaan strategi kebijakan percepatan pembangunan industri gas

2. Mengkoordinasikan kajian tentang nilai manfaat gas terhadap berbagai sektor untuk menentukan prioritas alokasi gas

2. Kementerian PPN/

Bappenas

1. Memimpin koordinasi perencanaan strategi percepatan pembangunan industri gas (termasuk penyusunan Rencana Induk

Pengembangan Industri Gas)

2. Melakukan kajian penyusunan model pengembangan industri gas bersama-sama stakeholder gas lainnya.

3. Menjadi instansi yang menghubungkan sektor di bidang ekonomi dengan bidang lainnya (Kesra dan Polhukkam) terkait

pemanfatan gas dalam negeri

3. Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral

1. Koordinasi dengan Komisi VII DPR untuk mempercepat pembahasan UU Migas termasuk fasilitasi restrukturisasi

kelembagaan migas guna percepatan pengembangan gas bumi

2. Melakukan inventarisasi dan pengkajian peraturan perundangan yang menghambat upaya percepatan pembangunan

industri gas bumi (termasuk aturan dan mekanisme pemilihan pemenang lelang gas dan lain-lain) serta mengusulkan

penyempurnaan kebijakan tersebut.

3. Fasilitasi perijinan terkait penyediaan gas dan pembangunan infrastruktur gas di tingkat pusat dan daerah

4. Melakukan percepatan penemuan cadangan baru melalui penyempurnaan kebijakan kontrak kerja sama (termasuk

melakukan kajian fiscal term pada skema bagi hasil gas bersama Kementerian Keuangan) dan kebijakan terkait lainnya.

5. Mempermudah proses persetujuan POD yang pertama

4. Kementerian Keuangan 1. Memberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan dalam rangka percepatan pembangunan industri gas bumi baik di hulu

maupun di hilir

2. Memberikan dukungan dan evaluasi kebijakan dan peraturan perundangan di bidang keuangan negara mendukung

percepatan pemanfaatan gas bumi dalam negeri.

3. Melakukan kajian fiscal term pada skema bagi hasil gas (bersama KESDM)

4. Pelaksanaan insentif fiskal bagi pengembangan pemanfaatan gas bumi jika diperlukan.

5. Pengkajian mekanisme subsidi gas dan pelaksanaannya untuk mempercepat pengembangan industri gas bumi.

5. Kementerian Perindustrian 1. Inventarisasi kebutuhan gas untuk sektor industri

2. Melakukan kajian prioritisasi kluster industri yang memakai gas

3. Mengembangkan industri peralatan (konverter dan lainnya) yang mendukung percepatan pembangunan industri gas bumi

4. Memberikan dukungan kebijakan dan peraturan perundangan di bidang industri yang mendukung konversi BBM ke BBG

6. Kementerian Pertanian 1. Melakukan inventarisasi kebutuhan gas dari industri pupuk

2. Melakukan kajian mengenai insentif harga gas untuk pupuk bersama Kementerian Keuangan dan mengusulkan hasilnya

3. Melakukan pengawasan hasil produksi pupuk agar tepat sasaran dan tidak disalahgunakan untuk diekspor

92

7. Kementerian Negara

BUMN

1. Pelaksanaan restrukturisasi korporat guna mendukung pengembangan pemanfaatan gas bumi.

2. Sinkronisasi antar BUMN terkait untuk bisa mengoptimalkan penggunaan gas untuk kepentingan domestik.

8. Kementerian Perhubungan 1. Meningkatkan fungsi infrastruktur transportasi terutama kendaraan untuk mendukung konversi BBM ke BBG

2. Memberikan dukungan kebijakan dan peraturan perundangan di bidang transportasi yang mendukung konversi BBM ke

BBG

9. Kementerian Kehutanan 1. Memberikan dukungan kebijakan terkait optimalisasi penggunaan kawasan hutan untuk mendukung pembangunan

infrastruktur gas

2. Mempercepat penyelesaian izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha hulu dan hilir gas sesuai persyaratan

yang ditetapkan

10. Kementerian Hukum dan

HAM

Memberikan dukungan pengharmonisasian peraturan perundangan terkait percepatan pembangunan industri gas bumi

11. BPH Migas 1. Evaluasi regulasi dan kebijakan yang ada untuk mendukung percepatan pengembangan pemanfaatan gas bumi termasuk

usaha hilirnya.

2. Fasilitasi percepatan pembangunan infrastruktur transmisi dan distribusi gas untuk kebutuhan domestik.

3. Mengusulkan perbaikan kelembagaan Migas

12. Badan Pertanahan Nasional Mempercepat pemberian hak atas tanah yang dipergunakan untuk mendukung percepatan pembangunan industri gas bumi

(terutama dalam hal pembangunan infrastruktur)

13. Pemda (Provinsi dan

Kota/Kabupaten)

Melakukan percepatan dan kemudahan perijinan yang terkait dengan upaya percepatan pembangunan industri gas bumi

93

DAFTAR PUSTAKA

__________. 2012. Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 22 Tahun 2001

tentang Minyak dan Gas Bumi [Pasal 1 angka 19 dan 23, Pasal 3 huruf b, Pasal 4 ayat

(3), Pasal 6 Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 13 dan Pasal 44. Mahkamah

Konstitusi. Jakarta

__________.2012. Rancangan Kebijakan Energi Nasional. Bahan Presentasi. Dewan Energi

Nasional. Jakarta.

__________. 2012. Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasional. Bahan

Presentasi. BPH Migas. Jakarta

_________. 2012. Strategi dan Peran PLN Dalam Pemanfaatan Gas untuk Pembangkit PLN. PT.

PLN (Persero). Bahan Presentasi. Jakarta

_________. 2012. Strategi dan Peran PGN dalam Mendukung Optimalisasi Pemanfaatan Gas

Bumi Dalam Negeri. PT. PGN. Bahan Presentasi. Jakarta

__________. 2012. Kebijakan Hilir Pengembangan Gas Bumi. Bahan Presentasi. Ditjen Migas,

KESDM. Jakarta.

__________. 2010. Pemanfaatan Gas untuk Kebutuhan dalam Negeri – Implikasinya Terhadap

Penyediaan Infrastruktur Gas Bumi. Bahan Presentasi. Direktorat Sumber Daya Energi,

Mineral dan Pertambangan. Bappenas. Jakarta

__________. 2010. Neraca Gas Indonesia, 2010-2025. Ditjen Migas, KESDM. Jakarta

_________. 2012. Oil and Gas In Indonesia (Investment and Taxation Guide) 2012.

Pricewatercopper. Jakarta

Arsegianto. 2012. Strategi Percepatan Pembangunan Infrastruktur Gas Untuk Kebutuhan

Domestik. Bahan Presentasi. ITB. Bandung

Baskoro, Michael. 2011. Alligning Indonesia’s Gas Chain for Optimation of Open Access, Gas

Bundling and Tariff Policies. Bahan Presentasi. Indogas-2011. Jakarta

Girianna, Montty. 2012. Economic Value Defines The Path For Gas Market. Jakarta Post. Jakarta

Girianna, Montty dkk. 2011. Structuring Domestic Gas Market. IRSA. Jakarta

Girianna, Montty. 2011. Gas To Benefit The Country’s Growing Economy. Jakarta Post. Jakarta

Girianna, Montty. 2009. Seeking Revision To Our LNG Price For Fujian Market. Jakarta Post.

Jakarta

Girianna, Montty. 2007. Challenges And Potential Of Domestic Gas Market. Jakarta Post. Jakarta

Juris, Andres. 1998. The Emergence Of Markets In The Natural Gas Industry. Public Policy For

Private Sector. World Bank. Washington

Nafis, Popi Ahmad. 2012. Strategi Penetapan Harga Gas Bumi Hulu Dalam Mendukung

Pemanfaatan Dalam Negeri. Bahan Presentasi. BP Migas. Jakarta

Nugroho, Hanan. 2004. Pengembangan Industri Hilir Gas Bumi Indonesia: Tantangan Dan

Gagasan. Majalah Perencanaan Pembangunan. Bappenas. Jakarta

94

Nugroho, Hanan. 2011. A Mosaic of Indonesian Energy Policy. ITB Press. Bogor

Nugroho, Hanan. 2012. Energi Dalam Perencanaan Pembangunan. ITB Press. Bogor

Purwanto, Widodo. 2012. Pengembangan Pasar Gas Bumi Dalam Negeri dan Mekanisme Pricing

(International Best Practices). Bahan Presentasi. UI. Jakarta.

Purwanto, Sri Wahyu. 2012. Strategi Pengaturan Usaha Hilir Gas Bumi Dalam Mendukung

Optimalisasi Pemanfaatan Gas Bumi Dalam Negeri. Bahan Presentasi. BPH Migas.

Jakarta.

Wagimin, Naryanto. 2012. Kebijakan Alokasi Gas Bumi Hulu Dalam Mendukung Pemanfaatan

Dalam Negeri. Bahan Presentasi. Ditjen Migas, KESDM. Jakarta

Tanduk, Tony. 2012. Dukungan Dan Peran Gas Bumi Terhadap Pembangunan Sektor Industri

Dalam Negeri. Bahan Presentasi. Kementerian Perindustrian. Jakarta.

Tjandranegara, Abdul Qoyum. 2012. Ekspor Gas Bumi & Lifting Minyak Dgn Gas Bumi

Berakibat Negara Kehilangan Devisa. Bahan Presentasi. Jakarta

Safiun, Ahmad. 2012. Kebutuhan Gas Dari Sektor Industri. Bahan Presentasi. FIPGB. Jakarta.

Soedarmo, Erie. 2012. Prospek Bisnis Industri Gas Serta Upaya Peningkatan Nilai Tambah Produk

Gas Bumi. Bahan Presentasi. Jakarta

Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun 2010 tentang Alokasi dan

Pemanfaatan as Bumi Untuk Dalam Negeri. KESDM. Jakarta.

Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri ESDM No. 19 tahun 2000 tentang Kegiatan Usaha

Hilir Gas Bumi. KESDM. Jakarta.

Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana

Hulu Minyak dan Gas Bumi. Sekretaris Kabinet. Jakarta.

Republik Indonesia. 2002. Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 2002 tentang Badan Pengatur dan

Penyediaan Hilir Minyak dan Gas Bumi. Sekretaris Kabinet. Jakarta.

Republik Indonesia. 2001. Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Sekretaris Kabinet. Jakarta.