Babad Tulungagung

9
Babad Tulungagung ( Bagian I ) Pada zaman Majapahit, tersebutlah kota seberang parit, sebuah kota di sebelah selatan sungai Brantas, yaitu Dukuh Bonorowo. Tepatnya di sekitar Campurdarat, dipimpin oleh seorang sakti terkenal, Kyai Pacet yang mengajarkan ilmu Joyokawijayan. Beliau memiliki tujuh orang murid, yaitu Pangeran Kalang dari Tanggulangin, Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak, Menak Sopal dari Trenggalek, Kyai Kasanbesari ( murid tertua ) dari Dukuh Tunggul, Kyai Singotaruno dari Dukuh Plosokandang, Kyai Sendang Gumuling dari Desa Bono, dan Pangeran Lembu Peteng Putra Majapahit yang merupakan murid terbaru. Pada suatu pertemuan dengan murid – muridnya tersebut, Kyai Pacet selain memberikan wejangan – wejangan hidup, beliau juga menyindir salah satu muridnya yaitu Kyai Kasanbesari karena terduga membelot hendak mendirikan perguruan sendiri di luar perguruan Kyai Pacet. Karena merasa disindir terus oleh gurunya, akhirnya Kyai Kasanbesari pergi tanpa pamit dan meninggalkan alamat palsu agar tidak dapat ditemukan. Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya, Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem untuk membujuk Kasanbesari kembali ke Bonorowo. Dipilihnya kedua muridnya tersebut karena ia mengerti bahwa mereka berdua diam – diam juga menjadi murid dari Kyai Kasanbesari. Selama itu, Kyai Pacet bersemedi di dalam sebuah gua, dengan Pangeran Lembu Peteng ditugaskan untuk menjaganya di luar gua. Akhirnya kedua murid yang diutus tersebut berhasil menemukan Kyai Kasanbesari, dalam pertemuan tersebut Pangeran Bedalem memutuskan untuk tidak mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet. Sebaliknya Pangeran Kalang malah membela tindakan Kasanbesari bahkan bersemangat untuk memberontak dan membunuh guru mereka, Kyai Pacet. Kasanbesari dan Pangeran Kalang secara diam – diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemedi, tanpa diketahui oleh Pangeran Lembu Peteng. Namun alangkah terkejutnya kedua orang tersebut karena dalam penglihatan mereka yang mereka jumpai

Transcript of Babad Tulungagung

Page 1: Babad Tulungagung

Babad Tulungagung ( Bagian I )

Pada zaman Majapahit, tersebutlah kota seberang parit, sebuah kota di sebelah selatan sungai Brantas, yaitu Dukuh Bonorowo. Tepatnya di sekitar Campurdarat, dipimpin oleh seorang sakti terkenal, Kyai Pacet yang mengajarkan ilmu Joyokawijayan.

Beliau memiliki tujuh orang murid, yaitu Pangeran Kalang dari Tanggulangin, Pangeran Bedalem dari Kadipaten Betak, Menak Sopal dari Trenggalek, Kyai Kasanbesari ( murid tertua ) dari Dukuh Tunggul, Kyai Singotaruno dari Dukuh Plosokandang, Kyai Sendang Gumuling dari Desa Bono, dan Pangeran Lembu Peteng Putra Majapahit yang merupakan murid terbaru.

Pada suatu pertemuan dengan murid – muridnya tersebut, Kyai Pacet selain memberikan wejangan – wejangan hidup, beliau juga menyindir salah satu muridnya yaitu Kyai Kasanbesari karena terduga membelot hendak mendirikan perguruan sendiri di luar perguruan Kyai Pacet. Karena merasa disindir terus oleh gurunya, akhirnya Kyai Kasanbesari pergi tanpa pamit dan meninggalkan alamat palsu agar tidak dapat ditemukan.

Kyai Pacet lalu menyuruh dua orang muridnya, Pangeran Kalang dan Pangeran Bedalem untuk membujuk Kasanbesari kembali ke Bonorowo. Dipilihnya kedua muridnya tersebut karena ia mengerti bahwa mereka berdua diam – diam juga menjadi murid dari Kyai Kasanbesari. Selama itu, Kyai Pacet bersemedi di dalam sebuah gua, dengan Pangeran Lembu Peteng ditugaskan untuk menjaganya di luar gua.

Akhirnya kedua murid yang diutus tersebut berhasil menemukan Kyai Kasanbesari, dalam pertemuan tersebut Pangeran Bedalem memutuskan untuk tidak mencampuri urusan Kyai Kasanbesari dan Kyai Pacet. Sebaliknya Pangeran Kalang malah membela tindakan Kasanbesari bahkan bersemangat untuk memberontak dan membunuh guru mereka, Kyai Pacet. Kasanbesari dan Pangeran Kalang secara diam – diam masuk ke dalam gua tempat Kyai Pacet bersemedi, tanpa diketahui oleh Pangeran Lembu Peteng. Namun alangkah terkejutnya kedua orang tersebut karena dalam penglihatan mereka yang mereka jumpai adalah seekor singa yang siap menerkam mereka. Mereka berdua pun lari tunggang langgang meninggalkan gua tempat Kyai Pacet bersemedi tersebut. Kemudian tampaklah Kyai Pacet keluar dari gua memegang cahaya dengan diiringi suara “ gemludhug / bergemuruh “, pusaka tersebut kemudian diberi nama Kyai Gledhug. Tempat dimana Kyai Pacet bersemedi itu sampai sekarang bernama ( Perempatan ) GLEDHUG. Tapi sekarang di manakah guanya?.

Kyai Pacet kemudian mengejar Kyai Kasanbesari dan Pangeran Kalang. Akhirnya Kasanbesari terkejar, dan dia mengeluarkan ilmu kanuragannya dengan membanting buah kemiri yg berubah menjadi seekor harimau. Kyai Pacet mengimbanginya dengan membanting bungkul gempaan yang berubah menjadi ular besar. Kedua binatang itu berkelahi, harimau kanuragan dari Kyai Kasanbesari kalah dan berubah menjadi buah kemiri lagi. Tempat dimana Kyai Kasanbesari menderita kekalahan oleh Kyai Pacet dinamakan Desa MACANBANG. Merasa kalah, Kasanbesari melarikan diri lagi. Kyai Pacet akhirnya mengutus Pangeran Lembu Peteng dan murid – muridnya yang lain untuk mengejar Kasanbesari dan Pangeran kalang.

Page 2: Babad Tulungagung

Kyai Kasanbesari melarikan diri ke Ringinpitu, sedang Pangeran Kalang dikejar terus oleh Pangeran Lembu Peteng. Pangeran Kalang lari ke Betak dan bersembunyi di tamansari Kadipaten Betak. Pada waktu itu putri dari Bedalem yang bernama Roro Kembangsore sedang berada di Tamansari. Roro Kembangsore merasa tidak keberatan Pangeran Kalang bersembunyi di tempat tersebut, karena Pangeran Kalang masih memiliki hubungan paman dengannya.

Di Tamansari Pangeran Lembu Peteng bertemu dengan Roro Kembangsore yg mengakui bahwa pamannya bersembunyi disitu. Keduanya kemudian jatuh cinta dan menjalin hubungan. Sang paman pun melaporkan kejadian itu kepada sang ayah, Pangeran Bedalem. Sang ayah pun murka namun Pangeran Lembu Peteng dapat meloloskan diri bersama dengan Roro Kembangsore.

Kembali kepada kisah Kyai Besari yang berhasil meloloskan diri ke desa Ringinpitu, dia bersembunyi di rumah Kyai Becak yang masih bisa dikatakan sebagai kakaknya. Kebetulan Kyai Becak sedang berada di pendopo bersama dengan dua orang anaknya yang bernama Banguntulak dan Dadaptulak. Kedatangan Kasanbesari ke Ringinpitu bermaksud untuk meminjam pusaka Ringinpitu yang berbentuk tombak bernama Korowelang dengan alasan untuk kepentingan “ Ngideri Pari ”, namun Kyai Becak tidak memberikannya. Kyai Besari marah, mereka bertarung dan Kyai Becak pun kalah dan mati terbunuh.

Banguntulak dan Dadaptulak mengejar Kasanbesari namun mereka berdua juga kalah. Banguntulak terluka dan berlumuran darah, darahnya berbau langu, maka tempat di mana ia mati dinamakan BOYOLANGU. Sedangkan tempat dimana Dadaptulak meninggal dinamakan DADAPAN. Kyai Besari berjumpa dengan Pangeran Bedalem dan mereka bersama – sama mengejar Pangeran Lembu Peteng yang lari bersama dengan Roro Kembangsore.

Ketika Pangeran Lembu Peteng dan Roro Kembangsore sedang beristirahat di tepi sungai, datanglah Kyai Besari dan Pangeran Bedalem. Pangeran Lembu Peteng tertangkap dan dibunuh, lalu jenazahnya dibuang ke kali / sungai. Sekarang kali tersebut bernama Kali LEMBU PETENG. Namun Roro Kembangsore dapat meloloskan diri.

Perwira Majapahit beserta Pangeran Suka mendapat tugas dari Raja untuk mencari Putra yang meninggalkan kerajaan tanpa pamit, yaitu Pangeran Bedalem. Pangeran Bedalem yang mendengar berita bahwa dia dikejar oleh bala tentara Majapahit, sangat ketakutan dan melarikan diri ke selatan. Saking takutnya, Pangeran Bedalem pun bunuh diri dengan menceburkan diri ke sebuah kedung, dan kedung itu pun diberi nama KEDUNG BEDALEM. Suatu ketika Pangeran Suka dirunduk oleh Kyai Besari dan tergelincir masuk ke sebuah kedung lalu dinamakan KEDUNGSUKO. Di desa Tunggul, oleh Perwira Mada, Kyai Besari digerebek dan akhirnya mati terkena pusakanya sendiri yaitu pusaka Korowelang. Dukuh tersebut oleh sang perwira dinamakan Dukuh TUNGGULSARI. Konon sang perwira akhirnya diangkat menjadi Patih dan mendapat gelar Patih Gajah Mada.

Roro Inggit adalah adik dari Reta Mursodo janda Pangeran Bedalem. Jadi Roro Inggit adalah buleknya Roro Kembangsore. Setelah Pangeran Bedalem mati bunuh diri, maka Pangeran Kalang menjabat Adipati di Betak, dan hatinya tertawan oleh Roro Inggit. Berarti Paklik dari Bapak naksir dengan Bulek dari Ibu. Pangeran Kalang berhasrat menjadikan Roro Inggit sebagai istrinya, tetapi Roro Inggit menolak dan juga Retno Mursodo pun tidak menyetujuinya. Karena

Page 3: Babad Tulungagung

dipaksa oleh Adipati Kalang, Roro Inggit bersama dengan Retno Mursodo meninggalkan Betak dan melarikan diri ke Plosokandang. Adipati Kalang mengeluarkan suatu maklumat, yang menyatakan bahwa barang siapa ketempatan dua orang putri Kadipaten tetapi tidak mau melapor, maka ia akan dijatuhi hukuman gantung.

Roro Inggit dan Retno Mursodo sengaja datang ke Plosokandang untuk mencari pengayoman dari Kyai Plosokandang yang bernama lain Kyai Singotaruno, yang juga merupakan salah satu murid Kyai Pacet dan masih satu perguruan dengan Adipati Kalang. Kyai Singotaruno tidak berkeberatan melindunginya, meskipun ia tahu bahwa tindakannya itu membahayakan dirinya.

Adipati Kalang datang ke Plosokandang dan bertanya kepada Kyai Singotaruno apakah kedua putri dari Betak tersebut bersembunyi di tempat itu, namun Kyai Singotaruno menjawab tidak mengetahui keberadaan kedua putrid tersebut. Adipati Kalang merasa tidak percaya dan ingin memeriksa sendiri ke belakang. Mendengar hal itu, kedua putrid langsung berkemas dan melarikan diri ke arah barat. Sayangnya Adipati Kalang mengetahui hal itu, dan ia sangat marah, Kyai Singotaruno dianggap salah dan dihukum gantung. Roro Inggit putus asa dan sangat ketakutan bila ia sampai tertangkap oleh Adipati Kalang. Dia pun memutuskan terjun ke dalam sebuah Blumbang atau Beji. Desa tempat Roro Inggit bunuh diri tersebut kini terkenal dengan nama Desa BEJI.

Lokasi yang dipercaya sebagai tempat Roro Inggit bunuh diri tersebut berada di sawah belakang perumahan depan SMU Boyolangu.

Kali ini cerita Babad Tulungagung kita akan mengisahkan tentang Roro Kembang Sore dan Joko Budheg. Namun sebelumnya kita akan flash back sedikit cerita tentang Babad Tulungagung Bagian I yang berakhir dengan bunuh dirinya Roro Inggit.

Roro Inggit adalah adik dari ibunya Roro Kembang Sore, Retno Mursodo. Roro Inggit bunuh diri di sebuah Beji karena tidak ingin diperistri oleh Adipati Kalang. Adipati Kalang sendiri adalah adik dari ayahanda Roro Kembang Sore, Pangeran Bedalem. Ia menjabat sebagai Adipati Betak setelah Pangeran Bedalem bunuh diri di sebuah Kedung. Adipati Kalang dan Pangeran Bedalem adalah 2 dari 7 murid Kyai Pacet, yang bersama Kyai Kasanbesari ingin membunuh Kyai Pacet.

Pangeran Bedalem dan Kasanbesari adalah orang yang bertanggung jawab atas dibunuhnya Pangeran Lembu Peteng (mayatnya dibuang di kali lembu peteng), kekasih dari Roro Kembang Sore. Dalam keputusasaan selepas kematian Lembu Peteng, Roro Kembang Sore melarikan diri ke Desa Dadapan. Beruntunglah ia bertemu dan kemudian ditolong oleh seorang janda bernama Mbok Rondo Dadapan. Karena iba, Mbok Rondo Dadapan mempersilahkan Roro Kembang Sore untuk tinggal di tempatnya tanpa syarat apapun.

Mbok Rondo Dadapan adalah seorang orang tua tunggal, dengan seorang anak lelaki bernama Joko Bodho. Lama kelamaan Joko Bodho terpikat oleh kecantikan Roro Kembang Sore dan ingin sekali memperistrinya. Namun keinginan Joko Bodho selalu ditolak dengan halus oleh Roro Kembang Sore, karena ia belum bisa melupakan kisah cinta tragisnya bersama Pangeran Lembu Peteng.

Page 4: Babad Tulungagung

Suatu hari ketika ibunya sedang bepergian, Joko Bodho menyatakan lagi keinginannya kepada Kembang Sore, bahwa ia masih sangat ingin memperistrinya. Karena merasa didesak terus, akhirnya Roro Kembang Sore pun bersedia menjadi istri Joko Bodho dengan satu syarat, yaitu Joko Bodho harus menjalani Tapa Mbisu di sebuah gunung dekat desa Dadapan. Joko Bodho menyetujui syarat tersebut.

Tanpa menunggu ibunya kembali, Joko Bodho pun pergi meninggalkan rumah untuk menjalankan syarat dari wanita pujaannya. Roro Kembang Sore juga ikut pergi ke gunung cilik. Ikatan janji ini tidak diketahui oleh Mbok Rondo Dadapan.

source : http://twitpic.com/b34lei

Ketika kembali dari perjalanannya, Mbok Rondo Dadapan mendapati rumahnya kosong tanpa penghuni, ia mencari kesana kemari dan memanggil – manggil putranya dan Kembang sore, namun tidak ada jawaban. Akhirnya ia menemukan putranya sedang duduk bersila menghadap barat di sebuah gunung, dipanggilnya berulang kali namun ia tidak menjawab. Sebelumnya Joko Bodho sudah mengetahui dari jauh bahwa ibunya datang, namun karena ia sedang melakoni Tapa Mbisu, ia pun memakai cikrak di kepalanya, berharap ibunya tidak bisa melihat keberadaannya.

Terus memanggil berulang kali namun tetap tidak dijawab oleh putranya, saking jengkelnya, Mbok Rondho pun mengumpat, “ Anak dipanggil orang tua kok diam saja! Tuli seperti batu!”.

source : http://travel.detik.com/read/2011/11/14/134715/1766980/1025/legenda-dan-batu-joko-budeg

Seketika itu juga, Joko Bodho pun berubah menjadi batu. Mbok Rondho menyadari keterlanjutan kata – katanya, ia pun berujar :

“ Besok kalau ada ramainya zaman, gunung ini saya beri nama Gunung Budheg “

Page 5: Babad Tulungagung

Setelah kejadian itu, tidak diketahui pasti apakah Mbok Rondo Dadapan menemukan Kembang Sore atau tidak.

Pada suatu hari, Adipati Kalang mendengar berita bahwa di Gunung Cilik ada seorang pendeta wanita yang menamakan dirinya Resi Winadi. Siapakah pendeta wanita yang menamakan dirinya Resi Winadi tersebut?, tunggu di #secriTA minggu depan.

Babad Tulungagung III : Kisah Resi Winadi

Dipost on Saturday, October 27th, 2012 Artikel terdapat di SEJARAH. Silahkan berpartisipasi melalui RSS 2.0 feed. Anda dapat memberikan respons , or trackback

Babad Tulungagung Bagian III ini akan mengkisahkan tentang Resi Winadi. Bagi pembaca yang belum sempat mengikuti cerita Babad Tulungagung I dan II bisa berkunjung ke sini Babad TA I dan Babad TA II .

Sebelumnya, cerita Babad Tulungagung II berakhir dengan berubahnya Joko Budheg menjadi batu di Gunung Cilik dan terdengarnya kabar bahwa di gunung tersebut terdapat seorang pendeta wanita bernama Resi Winadi.

Kabar Resi Winadi yang selain dikenal sebagai seorang pendeta tapi juga dikenal sebagai seorang empu pembuat pusaka sampai juga ke telinga Adipati Kalang. Resi Winadi memiliki dua abdi kinasih yang selalu setia membantunya, kedua abdi tersebut bernama SARWO dan SARWONO.

Pada suatu hari Abdi Sarwo diperintahkan Resi Winadi pergi ke Kadipaten Betak untuk mengadu kesaktian pusaka yang dibuat Resi Winadi dengan pusaka milik Adipati Kalang. Sebelum berangkat ke Betak, Abdi Sarwo diberi dua wejangan oleh Resi Winadi tentang bagaimana cara mengadu pusaka tersebut dan perjanjian jika dia menang. Cara mengadunya adalah dengan menikamkan pusaka tersebut ke sebuah pohon beringin, jika daunnya rontok dan pohonnya tumbang maka dialah pemenangnya.

Yang kedua, bila pusaka Resi Winadi kalah maka dia bersedia tunduk dan patuh kepada Adipati Kalang. Namun jika pusaka Resi Winadi yang menang dan Adipati Kalang berkeinginan untuk memiliki pusakanya maka dia harus pergi sendiri ke Gunung Cilik, dan jika Adipati Kalang sudah mulai naik harus berjalan jongkok, dan tidak boleh memandang wajah sang Resi Winadi sebelum diijinkan.

Setelah mendapat Wejangan dari Resi, berangkatlah Abdi Sarwo. Sedangkan tugas Sarwono adalah untuk menyamar dan masuk ke Taman Sari Betak. Tugas penyamaran Abdi Sarwono adalah untuk mencabut sumbat ijuk yang ada di Taman Sari Betak yang terletak di bawah Batu Gilang.

Page 6: Babad Tulungagung

Sesampainya di Kadipaten Betak, Sarwo menghadap Adipati Kalang dan mengutarakan maksud dan tujuannya untuk adu kesaktian pusaka. Sang Adipati pun menanggapi dan menyetujuinya. Masing-masing membawa senjata pusaka ke alun – alun untuk diadu kekuatan dan kesaktiannya.

Pusaka Kadipaten Betak dicoba terlebih dahulu ke pohon beringin yang tumbuh di tengah alun-alun, tetapi tidak terjadi apapun. Kemudian giliran Pusaka Resi Winadi dari Gunung Cilik. Setelah ditikamkan, pohon beringin pun langsung rontok daunnya dan tumbang pohonnya. Adipati Kalang mengakui kekalahannya dan ingin memiliki pusaka tersebut. Sarwo tidak keberatan asalkan Adipati menepati syarat yang diajukan.

Ketika Adipati Kalang berangkat ke Gunung Cilik dengan diantar Abdi Sarwo dan beberapa prajurit, Abdi Sarwono memperingatkan penduduk Betak untuk segera mengungsi, karena akan terjadi banjir bandang di Kadipaten Betak. Kemudian di Taman Sari Betak, Sarwono yang mendapat tugas mencabut sumbat ijuk segera mencari dan akhirnya menemukannya. Ketika sumbat ijuk dicabut oleh Sarwono, seketika itu pula memancarlah sumber air yang besar. Kadipaten Betak pun banjir dan terendam oleh air.

Abdi Sarwono dapat menyelamatkan diri dengan menaiki sebuah getek yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagaimana piweling dari Resi Winadi. Setelah menyelesaikan tugasnya, Sarwono bergegas kembali ke Gunung Cilik melaporkan peristiwa yang terjadi di Betak kepada Resi Winadi. Setibanya di Gunung Cilik Sarwono mendapati Retno Mursodo ibunda Roro Kembang Sore sedang berbincang dengan Sang Resi Winadi.

Retno Mursodo yang lari dikejar Pangeran Kalang akhirnya sampai ke Gunung Cilik. Dia menceritakan kisah Roro Inggit kepada Sang Resi. Tak lama datanglah Patih Majapahit dengan bala tentaranya yang ingin menanyakan kebenaran berita kematian Lembu Peteng yang mereka terima. Kemudian tampak dari kejauhan dua orang mendatangi mereka, seorang datang dengan berjalan jongkok dan menyembah. Orang yang datang dengan berjalan jongkok dan menyembah tersebut tak lain adalah Adipati Kalang yang diantar oleh cantrik Sarwo.

Setelah sampai di depan Resi Winadi, Adipati Kalang diijinkan memandang Sang Resi. Alangkah malu dan terkejutnya Adipati Kalang karena Resi Winadi pendeta dari Gunung Cilik yang disembah – sembahnya tadi adalah keponakannya sendiri, Roro Kembang Sore.  Karena malu bercampur takut perbuatannya diketahui Patih Majapahit, Adipati Kalang pun melarikan diri, tentara Majapahit lalu mengejarnya.

Akhirnya Adipati Kalang dapat ditangkap dan dihujani senjata tajam hingga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka. Tempat di mana Adipati Kalang ditangkap dan dihujani senjata tajam hingga pakaiannya hancur dan badannya penuh dengan luka dinamakan CUWIRI. Asal kata CUWIRI adalah Suwiri, Klambine Adipati Kalang disuwiri.

Dengan luka parah Pangeran Kalang masih dapat melarikan diri, tapi tertangkap lagi dan badannya disembret – sembret oleh anak buah patih Majapahit. Tempat badan Adipati Kalang disembre – sembret oleh anak buah patih Majapahit tersebut sekarang dikenal dengan nama desa KALANGBRET.

Page 7: Babad Tulungagung

Adipati Kalang masih berusaha lari, tapi karena sudah merasa lelah dia pun bersembunyi di song sungai, dan disinilah dia menemui ajalnya. Tempat tersebut oleh patih Majapahit ( yang konon bernama Patih Gajah Mada ) dinamakan KALI NGESONG. Mayat ( batang – bhs. Jawa ) Adipati Kalang akhirnya terbawa arus sampai ke timur dan tersangkut pada akar pohon. Tempat tersangkutnya mayat Adipati Kalang sekarang terkenal dengan nama BATANGSAREN. Dari Batangsaren, kemudian mayat tersebut terbawa arus lagi sampai ke sungai Ngrowo. Sedangkan bekas Padepokan dan pertapaan Roro  Kembang Sore hingga sekarang menjadi tempat pesadranan.