BAB Ithesis.umy.ac.id/datapublik/t37215.doc · Web viewDari rangkaian adegan yang telah diuraikan...

84
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan meningkatnya produksi film Indonesia belakangan ini, terdapat satu fenomena menarik, yaitu banyaknya film yang dibuat oleh sutradara perempuan. Salah satu dampaknya, dalam penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) sejak tahun 2004, kategori sutradara terbaik selalu ada minimal satu nominasi perempuan, kecuali pada tahun 2007. Tentu saja keberadaan sutradara perempuan dalam perfilman nasional bukanlah hal baru. Namun, ramainya produksi film Indonesia yang dipelopori perempuan dalam satu dasawarsa ini tetap saja mengundang perhatian. Apalagi, sebagian besar hasil karyanya mendapat sambutan positif, baik secara komersial maupun kritikal, nasional maupun internasional. Ini bisa jadi bukti bahwa kompetensi sutradara perempuan Indonesia 1

Transcript of BAB Ithesis.umy.ac.id/datapublik/t37215.doc · Web viewDari rangkaian adegan yang telah diuraikan...

BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan meningkatnya produksi film Indonesia belakangan ini, terdapat satu fenomena menarik, yaitu banyaknya film yang dibuat oleh sutradara perempuan. Salah satu dampaknya, dalam penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI) sejak tahun 2004, kategori sutradara terbaik selalu ada minimal satu nominasi perempuan, kecuali pada tahun 2007. Tentu saja keberadaan sutradara perempuan dalam perfilman nasional bukanlah hal baru. Namun, ramainya produksi film Indonesia yang dipelopori perempuan dalam satu dasawarsa ini tetap saja mengundang perhatian. Apalagi, sebagian besar hasil karyanya mendapat sambutan positif, baik secara komersial maupun kritikal, nasional maupun internasional. Ini bisa jadi bukti bahwa kompetensi sutradara perempuan Indonesia tidak bisa dianggap remeh.(http://www.muvila.com/read/sutradara-perempuan-penggerak-sinema-indonesia-masa-kini/ akses tanggal 17 Desember 2013).

Nama-nama seperti Nan T. Achnas, Nia Dinata, Upi (dahulu Upi Avianto), Lasja Fauzia Susatyo, Viva Westi, Sekar Ayu Asmara, Ratna Sarumpaet, Djenar Maesa Ayu, Lola Amaria, Titien Wattimena, Sammaria Simanjuntak, Mouly Surya, Kamila Andini (putri dari Garin Nugroho). Hanya dalam kurun waktu 12 tahun, terbukti sudah banyak film-film karya sutradara perempuan Indonesia yang berkualitas dan menorehkan prestasi membanggakan. Kita juga patut berbangga karena luasnya ruang berkarya dan tingginya nilai saing sutradara perempuan di Indonesia, dalam profesi yang dulunya didominasi kaum lelaki ini.

Jika membicarakan kuantitas, maka nama Lasja Fauzia Susatyo merupakan salah satu nama yang sering terdengar karena menjadi salah satu yang paling produktif. Sutradara yang mengawali karier di bidang video musik ini telah menyutradarai enam film, sebagiannya berhubungan dengan musik, selain terlibat dalam dua film omnibus Perempuan Punya Cerita (2007) dan Kita versus Korupsi (2012). Lasja yang kerap berkolaborasi dengan Upi ini memulai debut layar lebar dengan romansa remaja Lovely Luna (2004), dilanjutkan dengan kisah anak band Dunia Mereka (2006), musikal pop Bukan Bintang Biasa: The Movie (2007), musikal anak-anak Langit Biru (2011), Mika (2013) yang meraih cukup banyak penonton di triwulan pertama tahun 2013. Karya Lasja selanjutnya yang rilis pada tahun yang sama adalah Cinta dari Wamena (2013) yang masih mengusung isu HIV/AIDS (http://www.muvila.com/read/sutradara-perempuan-penggerak-sinema-indonesia-masa-kini/ akses tanggal 17 Desember 2013).

Film Indonesia yang mengangkat tentang penyakit menular yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya khususnya HIV/AIDS, setidaknya ada 10 film yakni, Aids Phobia yang dirilis pada tahun 1986, Akibat Bebas Sex tahun 1996, Mencari Madonna pada tahun 2005, Pesan Dari Surga tahun 2006, Karena Aku Sayang Markus rilis tahun 2007, Perempuan Punya Cerita segmen cerita Jakarta tahun 2007, Bidadari Jakarta tahun 2010, Akibat pergaulan Bebas tahun 2010, Cinta Dari Wamena yang dirilis 13 Juni 2013, MIKA 17 Januari 2013. (http://filmindonesia.or.id/search/all/HIV+AIDS akses tanggal 1 Desember 2013)

Film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika merupakan film–film bergendre drama yang mengangkat isu mengenai penderita HIV dan AIDS dikalangan masyarakat yang diangkat ke layar lebar oleh sutradara perempuan Lasja Fauzia Susatyo yang merupakan lulusan Media Production dari Towson University Maryland Amerika Seikat. Hanya saja, ketiga film bertema AIDS yang pernah disutradarai olehnya terlihat hanya sebatas komoditas jaminan laku. Karya yang dilahirkan sepenuhnya mencerminkan sikap dan pandangan hidup tentang dunia (world view) dari para kreatornya. Dengan kata lain, jika sineas memindahkan ideologi yang berasal dari struktur sosial melalui fakta-fakta, maka suatu karya kreatif pada dasarnya menciptakan suatu dunia bentukan dari ideologi yang dianut kreatornya. Ideologi atau pandangan dunia yang mentoleransi penindasan karena berada pada posisi mayoritas atau struktur kekuasaan, tercermin dari gambaran dalam film yang diciptakan.

Film idealnya menjadi ekspresi artistik dan mengutamakan gaya dan ideologi pengarangnya, karena pengarang film yang baik memiliki gaya dan tema konsisten, gaya tersebut tidak bisa dihilangkan dalam keseluruhan karya mereka. Ini karena pengarang film yang baik memiliki gaya dan tema konsisten, gaya tersebut tidak bisa dihilangkan dalam keseluruhan karya mereka (Lewis&Christian,1994:1). Dari kedua film bertema AIDS yang pernah disutradarai oleh Lasja F Susatyo, terlihat tidak adanya konsistensi dan cenderung sebagai karya yang hanya mementingkan permintaan pasar yang tidak berniat melahirkan teks yang mempertanyakan posisi ODHA dalam suatu konstruksi sosial, sehingga tanpa disadari sering terjadi ketergelinciran sehingga meneguhkan konstruksi sosial dalam stigma negatif, diskrimisansi maupun ketidaksetaraan gender. Kecenderungan ini tidak terlepas dari budaya patriarkhi, dengan wajah kapitalis. Patriarkhi adalah budaya dominasi kultur laki–laki terhadap aktivitas sosok perempuan dalam berbagai hal sehingga mereka terus didominasi.

Film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika disutradarai oleh sutradara perempuan sekaligus penulis skenario oleh perempuan, Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta ditulis oleh Melissa Karim, Film Mika diangkat ke layar lebar berdasarkan kisah nyata yang diadaptasi dari novel laris yang juga ditulis oleh perempuan berjudul Waktu Aku Sama Mika dan Karena Cinta Itu Sempurna karangan Indi. Dapat dikatakan bahwa ini adalah karya perempuan. Hanya saja, tampak tidak adanya relasi yang signifikan antara citra perempuan dalam sinema yang dihasilkan oleh perempuan. Seperti masih dalam perangkap maskulinitas masyarakat yang cenderung melihat lelaki sebagai pemeran utama dan perempuan hanya sebagai pelengkap. Kedua film inipun masih seperti kebanyakan film–film Indonesia pada umumnya. Kita jarang melihat wanita yang kuat dan mandiri, hubungan yang setara, ataupun pria yang memperlakukan wanita dengan penghormatan dan perhatian yang sungguh–sungguh. Perempuan kebanyakan tidak sadar bahwa dirinya hanya dijadikan objek pelengkap dan hanya dijadikan objek komoditas dalam sebuah film. Konstruksi sosial seperti ini berasal dari kekuasaan patriarkhi mengakibatkan struktur sosial yang tidak adil dan bersifat tidak setara di antara mayoritas dan minoritas dalam konteks ras, anutan agama, nilai kultural, dan kecenderungan seksual. Ketidakadilan gender ini pada dasarnya merupakan implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas.

Film memiliki kekuatan yang signifikan untuk mengkonstruksi realitas sosial dan juga mampu menangkap gejala-gejala dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang kemudian disajikan kembali kepada masyarakat untuk mendapat apresiasi. Sebagai salah satu media komunikasi, film mengandung berbagai pesan yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Pesan-pesan tersebut dibangun dari berbagai macam tanda yang terdapat dalam film. Oleh karena itu, film-film yang mempunyai nilai moral yang positif sangat diperlukan untuk dipertontonkan kepada masyarakat luas, sebagai salah satu bahan pembelajaran bagi masyarakat tersebut. Penyampaian pesan dalam film lebih bersifat variatif karena sebuah film dapat menyimbolkan pesannya dalam dialog, narasi, dan tulisan sebagai pesan verbal. Sedangkan perilaku, karakter, ekspresi, penampilan, pencahayaan, sudut pengambilan gambar, musik latar, warna, dan tanda atau simbol lain yang memiliki arti tertentu merupakan sarana komunikasi non verbal dari sebuah film. Film berperan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat, selain media elektronik dan media cetak seperti televisi, radio, majalah, koran, dan sebagainya. Film dapat dikatakan sebagai tranformasi kehidupan masyarakat, karena film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikan ke dalam layar.

Berbicara mengenai konstruksi relitas maka tidak akan terlepas dari ideologi yang terdapat didalamnya seperti yang dijelaskan oleh Karl Marx dan Federich Engels dalam Alex Sobur, yang melihat bahwa ideologi sebagai fabrikasi atau pemalsuan yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk membenarkan diri mereka sendiri. Karena itu, konsep ideologi tersebut jelas sangat subjektif dan keberadaannya hanya untuk melegitimasi kelas penguasa ditengah masyarakat. Menurut mereka, ideologi atau gagasan politik dominan disetiap masyarakat akan selalu mencerminkan kepentingan dari kelas yang berkuasa (Marx dalam Sobur 2002:64).

Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, karena film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Film memberikan dampak yang besar terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu dipahami secara linier, artinya film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari kehidupan masyarakat (Irwanto dalam Sobur, 2004:127)

Media menciptakan sebuah narasi yang kemudian dapat membentuk realitas di masyarakat sebagai khalayak. Narasi yang dihasilkan media bersifat natural dan universal, yang artinya bahwa media mempunyai kontrol dan kuasa yang penuh untuk membuat narasi tentang sebuah peristiwa. Media mempunyai kewenangan untuk mengkonstruksi atau membangun dan memanipulasi kisah untuk memproduksi berbagai makna dan mengarahkan audience dengan cara tertentu sesuai dengan kepentingan yang ada dibelakangnya.

Selama ini media menggambarkan mengenai orang dengan HIV AIDS (ODHA) terjadi karena adanya keterkaitan antara penderitanya dengan seks, penyakit dan kematian, serta perilaku yang mungkin melanggar hukum, haram, atau tabu, seperti hubungan seks sebelum nikah dan di luar nikah, jasa pelayanan seks, seks antar sesama pria, dan pemakaian narkoba melalui suntikan. Inilah yang menjadi alasan perlakuan diskriminatif terhadap ODHA, diskriminatif ini dalam bentuk perlakuan tak sama yang diberikan kepada pihak tertentu. Perlakuan diskriminatif terhadap ODHA bisa dari keluarga sendiri, teman dan kerabat, masyarakat sekitar, ataupun pemerintah. Ketika identitas ODHA diketahui oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya, proses stigmatisasi dan diskrimininasi pun akan segera tertuju kepada ODHA. Pemberian stigma dan perlakuan yang diskriminatif tentunya memberikan tekanan yang tajam secara mental-psikologis pada ODHA. Karena itu pulalah orang yang telah terjangkit HIV/AIDS lebih cenderung untuk menyembunyikan identitasnya sebagai ODHA dari lingkungan keluarga dan sekitar karena takut menerima stigma dan tindakan diskriminatif secara langsung. Tidak dapat dipungkiri bahwa HIV AIDS membawa dampak yang cukup signifikan bagi ODHA itu sendiri. Trauma, sikap membisu, suka menghindar, tidak Percaya Diri (PD), merasa jelek, terhina, dan sebagainya adalah beberapa contoh dari apa yang ODHA rasakan.

Struktur yang bersifat menindas dan diskriminatif ini mulai dari penindasan terhadap setiap minoritas yang menyimpang dari garis jenis dan orientasi seksual seperti mayoritas heteroseksual terhadap minoritas homoseksual, juga penindasan dan diskriminasi itu ditujukan kepada ODHA. Pemahaman yang baik terhadap ODHA dapat diciptakan dan diperoleh melalui sarana pendidikan formal maupun informal. Media film sebagai pendidikan informal dianggap mampu untuk memberikan informasi yang cukup tentang ODHA dan diharapkan menciptakan sikap yang penuh dukungan dan pengertian terhadap ODHA. Di sinilah arti penting dari media film sebagai pendidikan yang sifatnya informatif dan antisipatif. Dikatakan informatif karena dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang ODHA dan dikatakan antisipatif karena dapat bermanfaat pula dalam upaya pencegahan penularan virus HIV/AIDS terhadap kerentanannya dari segi medis.

Film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta menggambarkan seorang ibu rumah tangga yang menjadi korban karena tertular virus HIV (diperankan oleh Susan Bachtiar) dari suaminya (Wingky Kurniawan) yang telah meninggal karena over dosis dan ODHA, dan karena penyakit ini dia mendapatkan diskriminasi oleh mertuanya dengan harus dipisahkannya dari anaknya.

Gambar 1.1

Adegan awal yang dalam film Perempuan Punya Cerita–segmen cerita Jakarta memperlihatkan kekontrasan antara antara laki–laki dan perempuan. Diperlihatkan diatas bahwa suaminya meninggal dunia di toilet sebuah club malam karena over dosis bersama perempuan lain. Sedangkan istrinya berdoa dalam sebuah klenteng. Perempuan yang digambarkan sebagai mahluk lemah dan taat beragama namun tetap saja tertindas dalam kekuasaan kaum laki–laki. Perempuan yang hanya menjadi korban karena tertular HIV AIDS dari suaminya sendiri. Harus berjuang melawan penyakit yang dideritanya seorang diri sekaligus berjuang supaya bisa membesarkan putrinya. Meskipun terlihat adanya perlawanan untuk tetap bersatu dengan putrinya namun pada akhirnya, iapun tak kuasa menahan penyakitnya yang semakin hari kian melemahkan fisiknya sehingga harus menyerahkan kuasa perwalian anaknya kepada mertuanya.

Film Mika merupakan catatan harian seorang gadis bernama Indi yang menderita skoliosis, lalu jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Mika yang menderita AIDS. Mika dan Indi kemudian berpacaran. Adegan film Mika berawal dari sebuah blog berwarna merah muda, berjudul “Mika Malaikatku” bergambar seorang lelaki bersayap hitam terbang dan awan biru, berkaos kuning dan bercelana panjang, dengan bantuan narasi yang tertulis didalam blog tersebut yang tujuan membangun ketertarikan para penonton.

“Dear Mika, aku pernah janji sama kamu, aku akan membagi cerita ini kalau aku sudah siap. Kamu tau Mika..? pertama kali kita ketemu, kamu kelihatan bercahaya sekali. Kaya malaikat, dan semenjak saat itu aku tahu, hidupku tak kan pernah sama seperti sebelumnya.”

Gambar I.2

Film Mika Menggambarkan bahwa HIV tidak menular dengan mudah, tidak seperti virus Influenza atau Tubercolossis yang bisa melalui udara. Pengambaran lain bahwa kita tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap orang yang hidup dan terdampak oleh HIVAIDS. Kehadiran Mika dalam kehidupan Indi berhasil membuat ia bersemangat. Dimata Indi, Mika adalah malaikat tanpa sayap yang membangunkan ia dari mimpi gelapnya. Mika bagaikan pelita yang menerangi hidup Indi untuk terus maju. Puncak konflik dari film ini terjadi pada saat orang-orang di sekitar Indi tahu soal hubungannya dengan Mika yang hidup dengan HIV, dan Mika yang akhirnya kalah dalam perjuangan melawan penyakitnya dan meninggal dunia.(http://www.odhaberhaksehat.org/2013/kisah-hiv-dan-aids-menjadi-inspirasi-tontonan-film-bioskop/ diakses tanggal 1 Desember 2013)

Ketika sosok ODHA bersentuhan dengan gender dalam film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta dan Mika. Obyektifikasi, komodifikasi atau subordinasi seakan menjadi “nama umum” untuk melabeli ODHA. Penggambaran ODHA dalam tokoh perempuan yang digambarkan sebagai sosok korban sedangkan sosok heroik dalam penggambaran ODHA dalam tokoh laki–laki. Seolah–olah meneguhkan bahwa perempuan hanya sebagai objek pasif, sedangkan laki–laki adalah subjek aktif narasi. Serta tidak adanya penelitian tentang narasi mengenai media dalam ranah kesehatan masyarakat membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana narasi orang dengan HIV AIDS (ODHA) dalam film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika.

B. Rumusan Masalah

Dilihat dari latar belakang masalah di atas, maka dengan ini penulis dapat merumuskan sebuah permasalahan yaitu : Bagaimana narasi ODHA (orang dengan HIV AIDS) dalam film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis struktur naratif pada obyek yang telah dipilih, sehingga mendapatkan temuan tentang bagaimana ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) yang digambarkan dalam struktur naratif dalam film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang penulis lakukan ini adalah :

1. Manfaat Akademis

Dapat memiliki manfaat bagi perkembangan dan pendalaman bagi peminat studi komunikasi khususnya tentang film sehingga mampu menjadi acuan bagi studi–studi berikutnya terutama dalam metode penelitian kualitatif analisis tekstual menggunakan analisis naratif.

2. Manfaat Praktis

Penulis diharapkan dapat menambah wawasan mengenai narasi ODHA (orang dengan HIV AIDS) dalam film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika. Selain itu diharapkan penelitian ini memiliki manfaat ktitik sosial khususnya dalam rangka meningkatkan kesadaran kritis masyarakat terhadap media perfilm–an di Indonesia saat ini.

E. Kerangka Teori

Media film telah hadir dimana citra, suara, dan lensa membantu menghasilkan rajutan kehidupan sehari–hari, mendominasi waktu luang, membentuk pandangan–pandangan politik dan sikap sosial, dan memberikan bahan yang digunakan orang untuk membangun identitas pribadi. Film memberikan contoh tentang makna dari menjadi seorang pria atau wanita, dari kesusksesan atau kegagalan, berkuasa atau tidak berkuasa, juga memberikan bahan banyak orang untuk membangun naluri tentang kelas mereka, tentang etnis dan ras, kebangsaan, seksualitas, tentang “kita” dan “mereka”. Media juga membantu membentuk pandangan umum tentang dunia dan nilai–nilainya yang paling dalam dengan mendefinisikan apa yang dianggap baik atau buruk, positif atau negatif, bermoral atau biadab. Kisah dan citra media memberikan simbol, mitos, dan sumber yang membantu terbentuknya budaya bersama bagi sebagian orang di berbagai belahan dunia dewasa ini. Media turut membentuk pandangan kita terhadap dunia, opini publik, nilai dan sikap, dan karenanya, merupakan forum penting pergulatan dan kekuatan sosial (Douglas,2010:47) Film sebagai bahasa memberikan tanda–tanda tempat makna diproduksi, sedangkan citraan visual dalam film merupakan konsep–konsep yang dikombinasikan atau dipertukarkan dalam proses presentasi, sebuah proses yang melibatkan pembuatnya dan penonton film tersebut (Stokes,2007 :18). Kedua film yang menjadi objek dalam penelitian ini, disutradarai oleh perempuan dan naskah yang dibuat oleh perempuan, kedua film ini bisa dikatakan sebagai film perempuan.

1. Gender dan Kapitalisme Media

Paul Watson salah seorang pendiri Greenpeace menyatakan tentang perilaku media massa. Menurutnya, konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran. Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa (Abrar,1995:59). Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi.

Diskriminasi dan ketidakadilan terhadap ODHA merupakan produk dari sebuah konstruksi sosial yang berasal dari kekuasaan kaum mayoritas mengakibatkan struktur sosial yang tidak adil dan bersifat tidak setara di antara mayoritas dan minoritas dalam konteks ras, anutan agama, nilai kultural, dan kecenderungan seksual. Stigma negatif dan ketidakadilan terhadap ODHA pada dasarnya merupakan implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas, selain terdapat dalam ranah privat, juga terjadi di ranah publik. Dalam hal ini adalah media publik yaitu film. ODHA sepertinya selalu ditampilkan sebagai kutukan dan mahluk terbuang dalam bentuk visualisasi penindasan, bullying. Hal ini menunjukkan telah terjadi komodifikasi ODHA dalam media, dimana konstruksi sosial kaum mayoritas berperan besar. Film menampilkan wacana yang dapat dijadikan pintu untuk memahami kondisi suatu masyarakat pada era tertentu. Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga konstruksi sosial yang membentuk masyarakat juga dapat dilihat melalui film.

Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar lebar. Begitu pula halnya dengan masalah mengenai perempuan yang selalu menarik untuk dibicarakan dan tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Pandangan masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh media massa, terutama sinema atau film.

Dalam konteks gender (perempuan), konstruksi sosial muncul dalam penampilan perempuan dalam peran-peran mereka di film tersebut seperti seksualitas, feminitas dan stereotip perempuan (Siregar,2000:4). Citra perempuan dalam sinema selalu berpotensi menjadi ancaman bagi laki–laki. Hal itu dikarenakan apabila citra perempuan ditampilkan lebih positif maka bagi laki–laki akan memperlihatkan sosok laki–laki menjadi sama dengan feminim. Oleh karenanya dalam sinema dominan terdapat dua cara pandang untuk mengalihkan ancaman tersebut yaitu fetisisme dan voyerisme. Fetisisme mengubah perempuan menjadi citra yang aman, dimana tubuh perempuan tidak diperlihatkan secara utuh namun hanya beberapa bagian tubuh saja, seperti kaki atau rambut. Voyerisme yaitu menganggap perempuan dapat dikendalikan dan merupakan subjek kekuasaan laki–laki. Berdasarkan pandangan tersebut bukan membuat perempuan sebagai citra yang baik tapi menjadi sumber kenikmatan laki–laki dan bukan sebagai ancaman.

Menurut Mulvey, kehadiran perempuan dalam film adalah sebagai pajangan, setara benda mati. Seberapapun pentingnya perempuan ini, bukanlah untuk kepentingan perempuan itu sendiri. Melainkan untuk memenuhi hasrat voyeuristik bagi tokoh laki–laki dalam film, begitupun penonton. Sebab, penonton akan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh laki–laki dalam film, kemudian menikmati perempuan sebagaimana tokoh tersebut menikmatinya (Mulvey,1992:750-751). Mulvey menambahkan bahwa citra perempuan dalam sinema mainsream yang dihasilkan sebagai tontontan untuk pandangan laki–laki. Perempuan ditampilkan sebagai objek pasif, sedangkan laki–laki adalah subjek aktif narasi.

Media massa memiliki ketergantungan yang relatif terhadap industri bisnis atau lebih mudah disebut sebagai industri profit dengan sistem ekonomi media. Selubung kapitalisme ini merupakan basis kepentingan kaum borjuis untuk mengeksploitasi kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Budaya ini lahir tanpa disadari, baik dalam bentuk visualisasi semiotika, pengelompokkan, pembagian kerja, dan lain sebagainya. Media massa tidak hanya dianggap sekedar sebagai hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan penerima pada lain pihak. Lebih dari semua itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks didalam kebudayaan. Pendekatan seperti ini disebut pendekatan strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linear (Fiske,1990:39).

Media pada dasarnya adalah cermin dan refleksi dari masyarakat secara umum. Karena itu, media bukanlah saluran yang bebas, dia juga subyek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Penanaman dan sisipan ideologi tertentu dalam sebuah tayangan di media massa dapat menjadi keharusan bagi orang–orang yang mempunyai tujuan tertentu. Karir politik, rating dan profit merupakan tujuan umum yang harus dicapai oleh para penguasa media. Tayangan tentang ODHA, adalah suatu kemalangan yang dijadikan komoditas oleh para penguasa media. Dianggap dapat memberikan rating yang tinggi dengan cerita yang menguras air mata, sehingga mampu mendatangkan income yang besar. Masyarakat perlu memahami bagaimana media menyampaikan kemalangan, karena konstruksi ODHA merupakan bagian dari ideologi dominan kaum mayoritas.

Berbagai konsekuensi yang muncul akibat dari penyimpangan terhadap kehidupan keterasingan sosok ODHA. Mereka yang juga memiliki kebebasan hidup tanpa imbalan apapun, bebas dari segala sesuatu belenggu oleh kaum penindas sebagai kaum mayoritas. Namun, mereka memiliki topeng yang bermacam-macam, mulai dari budaya patriarkhi sampai budaya kapitalisme, yakni budaya yang hanya menginginkan profit dalam industri bisnis. Mereka bergerak secara halus dalam memanipulasi konstruksi realitas dalam media. Tanpa kita sadari, diskriminasi ODHA menjadi dialektika sejarah kehidupan sosial.

Manakala media massa bergerak semata-mata dari dorongan modal untuk profit, pada dasarnya sebagai institusi bisnis, sebenarnya tidak relevan mengaitkan keberadaannya dengan norma kebebasan berekspresi. Sebab kaidah kebebasan berekspresi merupakan acuan nilai bersama (shared value) yang menjamin hak publik untuk mendapat informasi maupun hiburan yang sesuai dengan kepentingannya di ruang publik. Benefit sosial bagi khalayak ditandai dengan tumbuhnya apresiasi dalam konteks sosial dan kultural yang lebih baik terhadap ruang publik, sehingga keberadaannya di ruang publik dapat diwujudkan dengan peran yang lebih baik pula.

Kesadaran tentang konstruksi sosial menjadi penting, sebab akan menjadi titik tolak dari proses kreatif. Masalah yang perlu diapresiasi adalah bentuk-bentuk penindasan yang berasal dari nilai mayoritas. Penindasan dapat bergerak dalam bentuk kekerasan fisik sampai kekerasan simbolis yang bersifat psikhis. Penindasan, pemberian stigma negatif serta bullying terhadap Odha misalnya, dapat dipandang sebagai kekerasan simbolis jika tujuan akhir adalah kepentingan hegemoni pasar dalam struktur kapitalisme.

Menurut McQuail, media kapitalis ada empat komponen aktor, yakni audience, financial agency, media production and distribution, and regulative agencies (McQuails, 2005:98). Keempat hal inilah yang menurut McQuail, menjadi aktor besar sebagai konsepsi dalam industri media yang serba kapitalis. Namun, aktor yang dominan dalam pembentukan media massa yang kapital adalah media production dan financial agencies. Dua konsepsi lainnya merupakan komponen yang relatif terpinggirkan dalam dominasi kapitalis, audience dan regulator.

Para produser mengendalikan isi medianya melalui cara–cara tertentu untuk menyandikan pesan–pesan. Becker menggambarkan proses tersebut sebagai berikut:

Events do not signify...to be intelligible events must be put into symbolic form..the communicator has a choice of codes or sets of symbols. The one chosen affects the meaning of the events for receivers. Since every langauge –every symbol—coincides with an ideology, the choice of a set of symbols is, whether conscious or not, the choice of an ideology (Peristiwa tidak bisa menunjukkan...agar bisa dipahami peristiwa harus dijadikan bentuk–bentuk simbolis...si komunikator mempunyai pilihan kode–kode atau kumpulan simbol. Pilihan tersebut akan mempengaruhi makna peristiwa bagi penerimanya. Karena setiap bahasa---setiap bahasa hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol, sengaja atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi). (Littlejohn dalam Sobur 2002:93).

James Lull berpendapat, ideologi merupakan ungkapan yang paling tepat untuk mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari bangsa, kelompok agama, kandidat dan pergerakan poltik, organisasi bisnis, sekolah, serikat buruh, bahkan regu olah raga profesional dan orkes rock. Tetapi, menurut Lull, istilah itu paling sering menunjukkan hubungan antara informasi dan kekuasaan sosial dalam konteks ekonomi-politik berskala besar. Dalam pengertian ini, cara–cara berpikir yang terpilih didukung melalui berbagai macam saluran oleh meraka yang mempunyai kekuasaan politik dan ekonomi dalam masyarakat (Lull dalam Sobur 2002:65).

2. Konstruksi ODHA dan Teori Kepanikan Moral

Alex sobur, dalam bukunya “Analisis Teks Media” mengatakan bahwa pekerjaan media adalah hasil dari para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Realitas yang dikonstruksi sangat bergantung pada ideologi yang berada dibelakangnya, atau kepentingan yang bermain dibelakang meja kerja para pekerja media tersebut. Sobur menambahkan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) (Sobur,2002:62).

Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus–menerus suatu realitas yang dimilikinya dan dialami bersama secara subyektif. Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivitas dan internalisasi. Konstruksi sosial, dalam pandangan mereka, tidak berlangsung dalam ruang hampa atau kondisi netral, namun sarat dengan kepentingan–kepentingan (Bungin,2008:13)

Media sesungguhnya berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Media massa bukan sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki ketertarikan dengan realitas. Jelasnya, bahwa ada berbagai kepentingan yang bermain dan menguasai media massa. Selain kepentingan ideology masyarakat dan negara, dalam diri media massa itu sendiri juga terselubung kepentingan lain. Misalnya, kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan kerja para karyawan dan sebagainya. Lebih jauh, media sebagai hegemoni “penguasa ekonomi” terhadap masyarakat pemirsa. Konteks ini terlihat jelas pada gagasan konstruksi sosial menjadi bagian dari kekuasaan kapitalis dan alat kapitalisme dalam mengkonstruksi ideologi masyarakat tentang diri dan kebutuhan masyarakat. Akhirnya dalam pandangan sosial, realitas adalah ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subyektifitas individu lain dalam institusi sosialnya.

Proses pemapanan ideologi dalam masyarakat lewat narasi bisa dikaitkan dengan teori kepanikan moral (moral panic) diperkenalkan oleh Stanley Cohen (Stanley Cohen,1973:4-5). Kepanikan moral menurut Cohen adalah reaksi masyarakat yang tidak proposional terhadap tindakan orang, kelompok, yang dianggap menyimpang dari nilai dan norma sosial serta budaya yang berlaku. Para penjaga moral (tokoh masyarakat, agamawan, dan editor) bersatu padu dalam mendefenisikan suatu perilaku yang dianggap menyimpang. Dasar kepanikan moral adalah rasa terancam masyrakat yang terlalu dibesar–besarkan karena representasi tidak akurat suatu tindakan tertentu atau karena tindakan tersebut dianggap lebih serius daripada hal lain.

Cohen menambahkan, perkembangan kepanikan moral selalu mengikuti sebuah pola tertentu. Dia membedakan antara empat fase, yaitu sebagai berikut: Pertama, peringatan (Warning). Ini ditandai dengan munculnya tanda–tanda yang menunjukkan bahaya dari suatu kelompok, orang atau tindakan. Pada fase ini, mulai muncul kesadaran (awareness) dari sejumlah masyarakat mengenai dampak negatif perilaku/kelompok tertentu bagi masyarakat. Kedua, dampak (impact). Fase ini berupa munculnya serangan, respons yang belum terorganisir atas tindakan, orang atau kelompok. Pada tahap in, kelompok atau perilaku tertentu sudah didefinisikan sebagai musuh (folk devils) yang harus dimusuhi. Ketiga, inventory. Tahapan ini berupa penggambaran yang sistematis (dan buruk) mengenai kelompok atau orang, beserta dengan akibat–akibat yang ditimbulkan. Dalam fase ini, media massa memainkan peran sentral dalam menciptakan pengacau masyarakat. Keempat, reaksi. Adanya respons yang formal untuk mengatasi dampak buruk tindakan. Misalnya muncul peraturan, pembatasan aktivitas kelompok dan sebagainya (Cohen dalam Eriyanto, 2013:223)

Media memainkan peranan penting dalam kepanikan moral (moral panic). Ini terutama lewat kecenderungan mendistorsi dan melebih–lebihkan arti penting peristiwa–peristiwa tertentu. Media secara aktif juga mengkonstruksi folk devils–pengacau masyarakat, yakni kelompok–kelompok yang mengancam nilai–nilai kemasyarakatan dan dianggap brutal serta berbahaya bagi “orang kebanyakan”. Folk devils adalah istilah yang dipakai oleh Cohen untuk menggambarkan kelompok, orang, perilaku yang menjadi “musuh media” karena dipandang membahayakan nilai–nilai moral masyarakat. Di indonesia misalnya adalah kelompok gay maupun lesbian, punk, hubungan tanpa nikah (kumpul kebo) dan juga terhadap ODHA.

Kepanikan moral (moral panic) adalah mekanisme bagi suatu komunitas untuk menjaga nilai–nilai bersama seperti nilai kepantasan, moralitas, kesantunan dan sebagainya. Jika ada suatu perilaku yang dipandang tidak sesuai dengan nilai–nilai yang hidup dalam masyarakat, masyarakat mempunyai mekanisme diri dalam menjaga nilai tersebut. Perilaku itu ditampilkan secara buruk dan menyimpang (deviance), sebagai akibatnya ada alasan untuk memberikan retriksi pada perilaku itu agar tidak berkembang (Eriyanto, 2013:227).

3. Genre Film

Istilah Genre berasal dari bahasa Perancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Dalam film, genre dapat didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama seperti; setting, isi dan subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, serta karakter. Klasifikasi tersebut menghasilkan genre-genre popular seperti aksi, petualangan, drama, komedi, horor, roman dan sebagainya. Dengan demikian fungsi genre bisa dikatakan adalah untuk memudahkan klasifikasi film, genre membantu kita memilah-milah film-film tersebut sesuai dengan spesifikasinya (Pratista,2008 :10)

Selain itu, genre juga bisa sebagai antisipasi penonton terhadap film yang akan ditonton. Jika seseorang telah menentukan untuk melihat film dengan genre tertentu, maka sebelumnya ia telah mendapat gambaran umum (ide) di kepalanya tentang film yang akan ia tonton. Sehubungan dengan penelitian ini, genre digunakan untuk melihat dan memahami ideologi apa yang ditunjukkan oleh film-film Lasja F Susatyo, sehingga dalam analisis mempermudah pembacaan representasinya dalam konteks ideologi film tersebut.

Genre dibagi menjadi; Genre primer: merupakan genre-genre pokok yang telah ada dan popular sejak perkembangan sinema era 1900-an hingga 1930-an, misalnya aksi, drama, komedi, horror, fantasi, serta fiksi ilmiah. Genre sekunder: merupakan turunan atau pengembangan dari genre primer misalnya detektif, thriller, spionase, dan superhero. Perlu dicatat bahwa sebuah film bisa memiliki klasifikasi multi genre, hal ini merupakan pengembangan trend film dan pasarnya (Pratista,2008:11).

Bordwell & Thompson menekankan bahwa bintang atau artis yang ikut dalam pembuatan film juga bisa digunakan sebagai indikator untuk menentukan genre.

“As a visual medium, cinema can also define genre through conventional iconography. Even stars can become iconography – Judy Garland for the musical, John Wayne for the Western, Arnold Schwarnegger for the action picture, Bill Murray for comedy. (Sebagai media visual, film juga bisa mendefinisikan genre dengan iconography. Bahkan bintang juga bisa menjadi iconography – Judy Garland untuk musikal, John Wayne untuk Western, Arnold Schwarnegger untuk film aksi, Bill Murray untuk komedi” (David Bordwell & Kristin Thompson, 2004:111)

Sama halnya dengan bintang dan artis Indonesia, karena di sini ada juga beberapa artis yang hanya bermain di genre tertentu sehingga bisa menjadi ikonografi genre film Indonesia. Misalnya saja, Suzanna untuk film horor mistik, Warkop DKI untuk komedi, dan Vino Sebastian untuk film drama. Film drama sering kali terinspirasi dari kejadian yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Temanya berasal dari isu sosial skala besar seperti ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, ketidakharmonisan, masalah kejiwaan, penyakit masyarakat, kemiskinan, dan sebagainya. “Film-film drama umumnya berhubungan dengan tema, cerita, set, karakter, serta suasana yang memotret kehidupan nyata. Konflik bisa dipicu oleh lingkungan, diri sendiri, maupun alam. Kisahnya sering kali menggugah emosi, dramatik, dan sering menguras air mata (tearjeker) penontonnya (Pratista,2008: Materi Kuliah Teori Film)”. Sehingga dalam film bergenre drama, kesuksesan filmnya juga ditentukan dengan kebenaran sosial tercermin dalam “kebenaran” film tersebut.

4. Narasi Film

Narasi berasal dari kata latin narre, yang artinya “membuat tahu”. Dengan demikian, narasi berkaitan dengan upaya untuk memberitahu sesuatu atau peristiwa. Narasi adalah representasi dari peristiwa–peristiwa atau rangkaian dari peristiwa–peristiwa (Eriyanto,2013:1-2). Narasi merupakan rangkaian peristiwa yang disusun melalui hubungan sebab akibat dalam ruang waktu tertentu (Brodwell&Thompson,2000:83). Naratif adalah sebuah cara utama tentang bagaimana manusia mengatur pengalaman–pengalaman mereka dalam sebuah episode yang penuh makna. Naratif merupakan sebuah cara akan penalaran dan sebuah representasi baik melalui berbagai media (lisan atau tertulis) seperti novel, surat, film, sinetron (Fulton,2005:27)

Film dibentuk oleh dua unsur pembentuk yakni; unsur naratif, dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Masing–masing unsur tidak akan dapat membentuk film jika berdiri sendiri-sendiri. Bisa dikatakan bahwa unsur naratif adalah bahan atau materi yang akan diolah, sedangkan unsur sinematik adalah cara dan gaya untuk mengolahnya (Pratista,2008:11).

Dalam film cerita, unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita film. Jika naratif adalah pembentuk cerita, maka unsur sinematik adalah semua aspek teknis dalam produksi sebuah film. Dengan kata lain jika naratif adalah nyawa sebuah film, maka unsur sinematik adalah tubuh fisiknya. Namun bukan berarti sinematik kalah penting dari naratif, karena unsur sinematik inilah yang membuat sebuah cerita menjadi sebuah karya audio visual berupa film (Pratista,2008:3).

Peran sinematik dalam penelitian ini adalah untuk memberi koridor yang lebih spesifik terhadap karakter - karakter dalam film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika bentuk mise-en-scene. Unsur sinematik meliputi

a. Mise en scene adalah segala aspek yang berada didepan kamera yang akan diambil gambarnya, yakni setting (penunjuk ruang dan waktu untuk memberikan informasi yang kuat dalam mendukung cerita filmnya), tata cahaya, kostum dan tata rias wajah, serta pergerakan pemain.

b. Sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni: kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mancakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya. Framing adalah hubungan kamera dengan objek yang akan diambil, seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera dan seterusnya. sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah obyek diambil gambarnya oleh kamera.

c. Editing tahap pasca produksi: pemilihan serta penyambungan shot-shot yang telah diambil; tahap setelah filmnya selesai: teknik yang digunakan untuk menghubungkan tiap shot-nya.

d. Suara dalam film dapat kita pahami sebagai seluruh suara yang keluar dari gambar, yakni dialog, musik, dan efek suara.

Sinematografi secara sederhana merupakan aspek teknis dalam film, aspek dalam sinematografi meliputi aspek kamera, framing dan durasi gambar. Di bagian ini akan diperinci aspek sinematografi yang lebih fokus kepada visualisasi gambar dalam film yaitu framing (Pratista,2008:89). Framing merupakan relasi kamera dengan objek yang diambilnya, framing sangat pent ing dalam sebuah film karena melalui “jendela” inilah penonton disuguhkan semua jalinan peristiwa dan menentukan persepsi si penonton terhadap sebuah gambar atau shot. Framing berkaitan erat dengan jarak, sudut, serta pergerakan kamera terhadap objek, penjelasannya sebagai berikut: (Pratista,2008:100)

1. Jarak kamera

Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap objek yang diambil, adapun dimensi jarak kamera terhadap objek secara garis besar dibagi menjadi tiga yakni Long shot, Medium shot, dan Close-up, secara mendetil dan disesuaikan dengan kebutuhan efek yang ingin dicapai bisa dikelompokkan menjadi tiga besar yakni:

a. Long shot

Pada jarak ini wujud fisik manusia telah tampak jelas. Shot ini digunakan sebagai establishing shot yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang lebih dekat. Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas, objek utama dan latar terlihat seimbang.

b. Medium shot

Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. Gestur serta ekspresi wajah mulai tampak. Menunjukkan hubungan yang bersifat personal.

c. Close up

Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, kaki, atau sebuah objek kecil lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gesture yang mendetil, biasanya digunakan untuk adegan dialog yang intim (Pratista, 2008:104-105).

2. Sudut kamera

Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap objek yang berada dalam frame, secara umum dibagi menjadi tiga sudut yaitu:

a. Straight angle;

Posisi kamera berbanding lurus dengan objek yang diambil, sebagian besar gambar dalam film biasanya menggunakan angle ini.

b. High angle / tilt down

Sudut ini mampu membuat sebuah objek seolah tampak lebih kecil, lemah serta terintimidasi.

c. Low angle / tilt up

Sudut ini membuat sebuah objek tampak lebih besar, dominan, percaya diri serta kuat (Pratista,2008:106)

Kedua elemen yang membentuk sebuah framing tersebut selain alasan teknis juga mampu membawakan penggambaran sebuah sebuah peristiwa dalam film, penonton bisa dibuat merasa terancam ketika sosok monster terlihat besar sekali dengan menggunakan teknik low angle. Demikian juga dalam film-film bertema AIDS yang disutradari oleh Lasja F Susatyo, framing ini akan digunakan untuk melihat posisi hubungan karakter-karakter saat dalam sebuah adegan, sehingga akan menunjukkan emosi yang dibawakan oleh mereka.

Bagian yang penting dalam analisis naratif adalah cerita (story) dan alur cerita (plot). Kedua aspek ini penting dalam memahami suatu narasi, bagaimana narasi bekerja, bagian mana dari suatu peristiwa yang ditampilkan dalam narasi, dan bagian mana yang tidak ditampilkan (Eriyanto,2013:15-16). Sebuah narasi tidak mungkin memindahkan waktu yang sesungguhnya (dalam realitas dunia nyata) ke dalam sebuah teks. Karena itu, dalam analisis naratif akan dilihat perbandingan waktu. Ada tiga aspek penting untuk dilihat dalam analisis mengenai waktu, yakni sebagai berikut (Eriyanto,2013:24) :

a. Durasi, adalah waktu dari suatu peristiwa. Pertama, durasi cerita merujuk kepada keseluruhan waktu dari suatu peristiwa dari awal hingga akhir. Kedua, durasi dari cerita ini bisa bulan, tahun, bahkan ratusan tahun, tergantung dari peristiwa. Durasi plot merujuk kepada waktu keseluruhan dari alur (plot) suatu narasi. Durasi plot umumnya lebih pendek dibandingkan dengan durasi. Ketiga, durasi teks, ini merujuk kepada waktu dari suatu teks.

b. Urutan peristiwa (order), adalah rangkaian peristiwa satu dengan peristiwa yang lain sehingga membentuk narasi. Pertama, urutan cerita (story order). Dalam cerita (story), urutan bersifat kronologis, cerita adalah peristiwa sesungguhnya, sehingga pasti bersifat kronologis. Kedua, urutan plot (plot order). Dalam plot, rangkaian peristiwa bisa bersifat kronologis, bisa juga tidak kronologis. Penulis cerita bisa masuk ke peristiwa saat ini, dan kemudian peristiwa sebelumnya disajikan dalam bentuk kilas balik (flashback). Ketiga, urutan teks (screen order). Sama seperti urutan plot, dalam teks atau screen, urutan adegan bisa berupa kronologis bisa juga tidak (Teresa,dalam David Herman, 2007: 57).

c. Frekuensi peristiwa yang ditampilkan, mengacu kepada berapa kali suatu peristiwa yang sama ditampilkan (Luc & Bart Vervaeck 2001: 66). Dalam cerita (order), kategori frekuensi pasti tidak ada. Karena peristiwa dalam kondisi nyata, pasti hanya terjadi satu kali, dan tidak mungkin diulang. Tetapi dalam plot atau teks (screen), mungkin saja peristiwa dihadirkan beberapa kali. Pertama, frekuensi plot. Ini merujuk kepada berapa kali suatu peristiwa ditampilkan dalam plot. Suatu peristiwa ditampilkan berulang–ulang untuk menekankan makna tertentu dalam narasi. Kedua, frekuensi teks. Ini merujuk kepada berapa kali suatu adegan ditampilkan dalam keseluruhan narasi (Eriyanto,2013:35).

Selain waktu, aspek penting lain dari sebuah narasi adalah ruang. Sama dengan waktu, dalam ruang (space), ada tiga perbedaan: ruang cerita (story space), ruang alur (plot space), dan ruang teks (screen space) (Gillespie,2006:96). Adapun yang dimaksud dengan ruang alur (plot space) adalah ruang yang disajikan secara eksplisit dalam sebuah narasi. Tempat–tempat yang diacu dalam narasi disajikan dan diceritakan secara eksplisit dalam narasi. Ruang teks (screen space) adalah ruang atau tempat yang bukan hanya disajikan secara eksplisit tetapi juga ditampilkan keasliannya dalam narasi. Dalam sebuah film, umumnya ini dilakukan dengan jalan pengambilan gambar (shot) narasi yang diceritakan. Sementara ruang cerita (story space) adalah ruang atau tempat yang tidak disajikan secara eksplisit dalam narasi, tetapi khalayak bisa membayangkan tempat tersebut lewat hubungan sebab akibat atau kaitan antara satu tokoh dengan tokoh lain dalam narasi (Eriyanto,2013:38).

Dari unsur naratif inilah kita bisa melihat alur cerita, dan juga karakter-karakter yang memainkan sebuah film. Selain menyampaikan cerita, narasi juga menyampaikan ideologi sebuah budaya, dan merupakan cara yang di dalamnya nilai-nilai dan ideal-ideal direproduksi secara kultural. Karena itu, analisis naratif kerap digunakan untuk membongkar maksud ideologis sebuah karya (Stokes,2007:72-73).

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang merupakan sebuah riset yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam–dalamnya. Riset atau penelitian naratif ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling bahkan populasi atau sampling sangat terbatas. Didalam riset ini yang lebih ditekankan persoalan kedalaman data (kualitas) data dan bukan banyaknya (kuantitas) (Kriyanto,2006:58). Adapun dalam penelitian ini menggunakan metode analisis naratif kualitatif yakni menggunakan teks dalam sebuah narasi sebagai bahan analisisnya. Narasi pada dasarnya adalah penggabungan berbagai peristiwa menjadi satu jalinan cerita. Karena itu, titik sentral dalam analisis naratif adalah mengetahui bagaimana peristiwa disusun dan jalinan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain–misalnya mengapa peristiwa satu ditampilkan diawal sementara peristiwa lain di akhir, bagaimana peristiwa satu dan peristiwa lain dirangkai menjadi satu kesatuan (Eriyanto,2013:15)

Analisis naratif membantu kita memahami bagaimana pengetahuan, makna dan nilai diproduksi dan sebarkan dalam masyrakat. Memahami bagaimana dunia sosial dan politik diceritakan dalam pendangan tertentu yang dapat membantu kita mengetahui kekuatan dan nilai sosial dominan dalam masyrakat (Ronald & Sobieraj,2007:7). Banyak cerita (seperti narasi sejarah) lebih merepresentasikan kekuatan dominan, kelompok berkuasa yang ada dalam masyrakat.

Media narratives, like all narratives, are told form particular perspectives, privileging certain viewpoints and versions of events over others. Knowing what (and whose) stories get told or remain untold is crucial to understanding the exercise of power in society. Stories about events and characters, real or fictional, may be shaped in ways that serve the interest of powerful institusions such as goverment or bussiness (Gillespie,2006:83)

Melalui analisis naratif kita misalnya bisa mengetahui aktor atau karakter mana yang diposisikan sebagai pahlawan dan sebaliknya bisa mengetahui karakter mana yang diposisikan sebagai penjahat. Film disajikan dalam bentuk cerita, dan dalam cerita tersebut sebenarnya terdapat nilai–nilai dan ideologi yang ingin ditonjolkan oleh pembuat film. Narasi berperan dalam membentuk apa yang dipandang benar dan apa yang dipandang salah, apa yang boleh dan tidak boleh. Narasi tidak hanya berisi tentang peristiwa dan karakter, tetapi didalamnya juga terdapat nilai–nilai benar–salah, baik–buruk yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini, narasi berkaitan dengan ideologi.

Menurut John Fiske, ideologi bisa dipahami sebagai proses umum produksi makna dan gagasan (Fiske,1990:166). Ideologi berkaitan dengan pandangan atau sistem keyakinan yang dipercaya oleh masyarakat. Kepercayaan itu diterima oleh anggota masyarakat sebagai sesuatu yang absah dan dipandang benar. Disini tidak begitu penting untuk mengetahui apakah kepercayaan dan keyakinan itu diperoleh lewat paksaan atau sukarela, yang paling penting anggota masyarakat menerima keyakinan atau kepercayaan itu sebagai sebuah kebenaran dan mengikat masyarakat. Sekarang ini, istilah ideologi memang mempunyai dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia (worldview) yang menyatakan nilai–nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan–kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutar balikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial (Jorge Larrin dalam Sunarto,2001:31). Narasi mengikat dan memperkuat ideologi (keyakinan dan kepercayaan) yang ada dalam masyarakat. Lewat cerita, karakter dan peristiwa, anggota masyarakat diperkenalkan apa yang baik dan apa yang buruk. Cerita–cerita tersebut menjadi panduan bagi anggota masyarakat dalam berperilaku dan bersikap.

Dalam penelitian ini, penulis menganalisis dengan mengamati bagaimana cerita (story) dan plot, struktur narasi dan karakter. Menurut Algirdas Greimas (dalam Eriyanto,2013:197), analisis naratif dapat dilakukan dengan menganalisis karakter menggunakan model aktan dan memperhatikan oposisi segi empat dalam narasi. Dengan model aktan peneliti akan melihat bagaimana karakter dalam narasi diposisikan serta melihat relasi antar karakter yang ada dalam narasi. Hal ini bisa memperjelas peristiwa yang terjadi. Relasi antar karakter akan membantu menjelaskan bagaimana proses perwujudan sebuah makna dalam medium komunikasi berupa film serta bagaimana gejala–gejala sosial terjadi dan dinarasikan dalam sebuah film.

Dengan menganalisis menggunakan oposisi segi empat dalam narasi, akan membantu peneliti melihat fenomena dengan lebih detail dan akan mendapat banyak masukan fenomena dan peristiwa secara tersirat selain yang sudah jelas didalam film. Karena dalam kenyaataanya realitas tidak hanya terbagi dalam dua sisi yang saling bertentangan, misalnya baik dan buruk. Sehingga diharapkan penelitian ini mampu menganalisis nilai–nilai dominan dan ideologi yang terdapat dalam obyek penelitian.

2. Tahap–tahap Penelitian

Dalam penelitian “Odha dalam Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta dan Mika (Analisis Naratif Orang Dengan HIV AIDS dalam Film Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta (2007) dan Mika (2013), peneliti akan menganalisis melalui beberapa tahap. Pertama, peneliti mendapatkan film Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta (2007) dan Mika (2013) dari membeli VCD, menonton film kedua film tersebut, kemudian menganalisis film dengan fokus pada beberapa elemen yaity story & plot, struktur narasi, fungsi dan karakter narasi. Dengan menganalisis karakter menggunakan model aktan dan semantic square Greimas dengan menentukan scene–scene yang telah dipilih dari obyek film . Dengan cara menguraikan adegan–adegan yang terdapat dalam film. Dari masing–masing adegan tersebut, kemudian diuraikan karakter dan fungsi narasi yaitu objek, subjek, pengirim (destinator), penerima (receiver), pendukung (adjuvant), dan penghalang (traitor). Dari rangkaian adegan yang telah diuraikan fungsi dan karakternya tersebut, penulis kemudian diharapkan bisa melihat kontradiksi, konsistensi, dan peran dari masing–masing karakter dalam narasi. menganalisis kedua film tersebut dengan memfokuskan pada dua hal yakni : Odha dalam sosok laki – laki sebagai pahlawan dalam film Mika dan Odha dalam sosok perempuan sebagai korban dalam film Perempuan Punya Cerita–segmen cerita Jakarta.

Tabel 1.1

Scene dan dialog perbedaan Odha dalam film Mika dan

Perempuan Punya Cerita – segmen cerita Jakarta

No

Odha laki–laki sebagai pahlawan dalam film Mika

Odha perempuan sebagai Korban dalam film Perempuan Punya Cerita–segmen cerita Jakarta

1.

Adegan blog bergambar seorang laki–laki bersayap terbang diatas awan

Adegan: laki-laki meninggal dunia dengan jarum suntik di lengan (representasi drug user). Salah satu penularan HIV/AIDS adalah melalui jarum suntik IDU (injections drug user)

2.

Adegan wajah Mika bercahaya, representasi dari malaikat

Dialog : Kamu tau Mika..? pertama kali kita ketemu, kamu kelihatan bercahaya sekali. Kaya malaikat.

Adegan menggambarkan sosok wanita yang sedang melakukan sembahyang di klenteng, merepresentasikan tipe perempuan baik–baik yang taat beragama.

3.

Adegan tokoh Indi menggambar Mika sebagai sosok malaikat bersayap dalam buku diarynya

Dialog Laksmi dan seorang penagih hutang : “kamu pasti tahu, kelakuan suami kamu”.

4.

Dialog : Kamu selalu menguatkan aku saat aku lagi lemah

Dialog :“ápa aku bilang pap. Si Reno kena AIDS gara-gara dia. Ini buktinya. Ternyata dia juga positif, kita harus bawa cucu kita”. dialog tersebut merepresentasikan Laksmi sebagai korban dari fitnah orang tua Reno. Sehingga melarikan diri dari rumah bersama putrinya.

5.

Dialog : kadang hidup memang aneh, kadang seseorang yang meninggal ternyata malah bisa membuat orang yang ditinggalkannya jadi lebih hidup.

Adegan yang bersetting di dalam klenteng memiliki frekuensi yang cukup sering, merepresentasikan wanita yang taat beribadah

a. Tema Penelitian

Orang dengan HIV AIDS yang digambarkan dalam struktur naratif film Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta dan Mika, keduanya bertema sama namun memiliki perbedaan. Keduanya mewakili masing–masing cerita dan nilai yang disampaikan oleh pembuatnya

b. Obyek Penelitian

Dalam penelitian ini film yang menjadi obyek penulis dalam penelitian adalah struktur naratif yang terdapat dalam film Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta dan Mika yang bertema ODHA. Dari kedua film tersebut adalah :

1. Perempuan Punya Cerita–segmen cerita Jakarta rilis pada tahun 2007.

Film Perempuan Punya Cerita–segmen cerita Jakarta menceritakan sebuah ketakutan yang hanya mengada-ada terhadap HIV AIDS, penyakit yang di nilai sebagai penyakit negatif di angkat didalam cerita ini. Hingar bingarnya kota Jakarta tidak menyurutkan perjuangan Laksmi (Susan Bachtiar) untuk mengalahkan penyakit HIV AIDS yang dideritanya dan juga memperjuangkan Belinda, anaknya ketika dituduh menularkan penyakit itu ke suaminya oleh mertuanya (Ratna Riantiarno). Laksmi adalah seorang ibu dengan satu anak. Walau ingin memperjuangkan segalanya dan ingin meraih mimpi-mimpi indahnya bersama Belinda putri semata wayangnya. Dia tetap seorang ibu yang bijaksana dan kuat. Namun ditengah usaha kerasnya, Laksmi harus menyerahkan hak perwalian anaknya kepada mertuanya karena penyakit HIV AIDS yang dideritanya.

2. Mika rilis pada tahun 2013.

Film Mika menceritakan tentang Indi (Velove Fexia) adalah seorang perempuan penderita scoliosis yang sebelumnya pendiam, polos dan tidak percaya diri. Sikap pasif tersebut disebabkan karena tidak mudah mencari teman seumurannya yang bisa meneriama kondisi cacat tulang belakangnya. Lalu datanglah Mika (Vino G Sebastian) dalam kehidupan Indi. Dia mengenalnya pada saat dia sedang berlibur di rumah baru omnya. Hari pertama berkenalan Mika mengatakan bahwa dia sakit HIV. Indi menilai Mika adalah sosok yang jujur. Sebaliknya, Ibu Indi malah menganggap Mika adalah beban. Akhirnya mereka berdua berpacaran, Mika selalu menjadi pahlawan bagi Indi. Berkat Mika, Indi meninggalkan sifat pasifnya menjadi lebih ceria dan percaya diri. Namun akhirnya Mika harus menyerah dengan penyakit HIV AIDS yang menggerogoti tubuhnya dan meninggal dunia.

G. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membutuhkan data–data untuk keperluan penelitian. Peneliti mendapatkan data–data sebagai berikut :

1. Dokumentasi

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan observasi melalui pengamatan dan menonton kedua film bertema ODHA dalam bentuk video yaitu film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika, sehingga diharapkan nantinya akan membantu mengetahui mengenai struktur dalam narasi–narasi terhadap orang dengan HIV AIDS (ODHA) dalam film Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta dan Mika

2. Studi Pustaka

Teknik ini merupakan cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan kategori bahan–bahan tertulis yang berhubungan dengan penelitian, baik dari sumber dokumen maupun buku–buku, koran majalah dan tulisan–tulisan pada media internet.

H. Sumber Data

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pengamatan yang dilakukan dengan melihat, mencermati dan mengamati kedua film yang bertema ODHA yaitu Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika yang dalam bentuk video.

2. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh melalui sumber–sumber lain, seperti buku–buku, jurnal, media online, serta media lain yang menunjang dalam penelitian ini.

I. Teknik Analisi Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, studi pustaka dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Hal ini bertujuan agar data yang telah diperoleh lebih mudah untuk dibaca dan diinterpretasikan.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data kualitatif dimana dalam penelitian kualitatif akan menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari informan dalam penelitian. Data deskriptif tersebut berupa narasi–narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil analisis video kedua film bertema AIDS dalam film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika. Adapun analisis tekstual atau teks pada penelitian ini menggunakan teks media berupa video dari kedua film tersebut menggunakan elemen–elemen sebagai berikut:

A. Story & Plot

Cerita dan alur (plot) berbeda. Plot adalah apa yang ditampilkan secara eksplisit dalam sebuah teks. Sementara cerita (story) adalah urutan kronologis dari suatu peristiwa, dimana peristiwa tersebut bisa ditampilkan dalam teks bisa juga tidak ditampilkan dalam teks. Sebuah narasi pada dasarnya mengangkat suatu peristiwa tertentu. Peristiwa yang utuh (dari awal hingga akhir) disebut dengan cerita (story). Peristiwa utuh ini bisa ditampilkan bisa juga tidak ditampilkan dalam teks. Sementara alur (plot) adalah peristiwa yang eksplisit yang ditampilkan dalam teks (Lacey,2000 :16).

Berdasarkan urutan peristiwa, cerita (story) menampilkan peristiwa secara berurutan, kronologis dari awal hingga akhir. Sementara alur (plot), urutan peristiwa bisa dibolak–balik (Herman,2007:43). Pembuat cerita (story teller) berkepentingan untuk membuat narasi yang disajikan menarik. Karena itu, urutan peristiwa yang disajikan tidak selalu mengikuti kronologi waktu, tetapi diatur peristiwa mana yang menarik terlebih dahulu, baru disusul dengan peristiwa pendukung yang tidak menarik, pembuat cerita juga ingin khalayak bisa menikmati narasi, karena itu urutan waktu diatur agar menimbulkan ketegangan bagi pembaca narasi. Dengan memahami perbedaan cerita (story) dengan plot, kita bisa menggambarkan apakah narasi menampilkan peristiwa secara utuh, apakah peristiwa berdasarkan urutan kronologis tertentu. Jika urutan peristiwa tidak disajikan secara kronologis, bagaimana urutan tersebut ditampilkan dalam teks.

B. Struktur Narasi

Sebuah narasi mempunyai struktur. Jika sebuah narasi dipotong–potong, maka narasi mempunyai beberapa bagian (sub) dimana masing–masing bagian saling berhubungan. Seorang ahli sastra dan budaya asal Bulgaria, Tzveten Todorov mengajukan gagasan mengenai struktur dari suatu narasi. Gagasan Todorov menarik karena ia melihat teks mempunyai susunan atau struktur tertentu. Pembuat teks disadari atau tidak menyusun teks ke dalam tahapan atau struktur tersebut, sebaliknya khalayak juga membaca narasi berdasarkan tahapan atau struktur tersebut. Bagi Todorov, narasi adalah apa yang dikatakan, karenannya mempunyai urutan kronologis, motif dan plot, dan hubungan sebab akibat dari sebuah peristiwa (Todorov,1977:111). Menurut Todorov, suatu narasi mempunyai struktur dari awal hingga akhir. Narasi dimulai dari adanya keseimbangan yang kemudian terganggu oleh adanya kekuatan jahat. Narasi diakhiri oleh upaya untuk menghentikan gangguan sehingga keseimbangan (ekuilibrium) tercipta kembali. Jika digambarkan, struktur sebuah narasi sebagai berikut (Todorov,1997:111) :

Ekuilibrium

Gangguan

Ekuilibrium

(keseimbangan)

(kekacauan)

(keseimbangan)

Narasi diawali dari sebuah keteraturan, kondisi masyarakat yang tertib. Keteraturan tersebut kemudian berubah menjadi kekacauan akibat tindakan dari seorang tokoh. Narasi diakhiri dengan kembalinya keteraturan. Dalam banyak cerita fiksi, ini misalnya ditandai dengan musuh yang berhasil dikalahkan, pahlawan yang hidup bahagia, masyarakat yang bisa dibebaskan sehingga menjadi makmur dan bahagia selamanya. Sejumlah ahli memodifikasi struktur Todorov tersebut, misalnya yang dilakukan oleh Nick Lacey (lacey,2000:29) dan Gillespie (Gillespie,2006:97-98). Lacey dan Gillespie memodifikasi struktur narasi tersebut menjadi lima bagian. Modifikasi terutama dibuat untuk tahapan antara gangguan ke ekuilibrium. Tahapan yang ditambahkan misalnya gangguan yang makin meningkat, kesadaran akan terjadinya gangguan dan klimaks (gangguan memuncak). Bagian terpenting lain yang ditambahkan adalah adanya upaya untuk menyelesaikan gangguan.

Tabel 1.2

Tabel perbandingan struktur narasi menurut Lacey dan Gilliepie

No

Lacey

Gillespie

1.

Kondisi keseimbangan dan keteraturan

Eksposisi, kondisi awal

2.

Gangguan (disruption) terhadap keseimbangan

Gangguan, kekacauan

3.

Kesadaran terjadi gangguan

Komplikasi, kekacauan makin besar

4.

Upaya untuk memperbaiki gangguan

Klimaks, konflik memuncak

5.

Pemulihan menuju keseimbangan

Penyelesaian akhir

Penjelasan dan diskripsi dari perbandingan struktur narasi menurut Lacey dan Gilliespie adalah sebagai berikut:

1. Kondisi awal, kondisi keseimbangan dan keteraturan.

Narasi umumunya diawali dari situasi normal, ketertiban dan keseimbangan. Dalam narasi tentang superhero, umumnya diawali oleh kondisi kota yang damai, kerajaan yang makmur, dan seterusnya. Atau narasi tentang sebuah keluarga, diawali dengan kondisi keluarga yang harmonis dan bahagia.

2. Gangguan (disruption) terhadap keseimbangan

Bagian atau struktur kedua dari narasi adalah adanya gangguan (disruption). Ini bisa berupa tindakan atau adanya tokoh yang merusak keharmonisan, keseimbangan, atau keteraturan. Kehidupan yang normal dan tertib, setelah adanya tokoh atau tindakan tertentu berubah menjadi tidak teratur. Dalam film tentang superhero misalnya, babak kedua ini ditandai oleh kehadiran musuh (villain) yang melakukan tindakan jahat yang mengubah ketertiban sebuah kota. Penduduk menjadi terancam dan tidak tertib. Gangguan ini juga bisa berupa tindakan tertentu dari aktor yang bisa mengubah ketertiban. Suatu keluarga yang harmonis, berubah kacau ketika sang ayah melakukan selingkuh, atau anak mengonsumsi narkotika. Tindakan itu mengubah keluarga menjadi tidak harmonis, hubungan yang baik menjadi buruk dan seterusnya

3. Kesadaran terjadi gangguan

Pada tahap ketiga, gangguan (disruption) makin besar, dan dampaknya makin dirasakan. Pada tahap ini, gangguan umunya mencapai titik puncak (klimaks). Dalam narasi mengenai superhero, babak ini ditandai oleh kekuatan musuh yang makin kuat. Musuh berhasil memperoleh pengikut dan dampak yang ditimbulkan oleh musuh tersebut, makin besar dirasakan oleh penduduk. Atau sebuah cerita keluarga, pada tahap ini kekacauan mengalami titik puncak. Perselingkuhan yang dilakukan oleh ayah misalnya membuat konflik dikeluarga makin besar, keluarga diambang perceraian.

4. Upaya untuk memperbaiki gangguan

Pada tahap ini, narasi biasanya berisi tentang hadirnya sosok pahlawan (hero) yang berupaya untuk memperbaiki kondisi. Di tahap ini, sudah ada upaya untuk menciptakan keteraturan kembali, meskipun upaya itu digambarkan mengalami kegagalan. Dalam narasi mengenai superhero misalnya, ditahap ini sudah muncul perlawanan terhadap musuh. Tetapi musuh terlalu kuat, umumnya pahlawan (hero) digambarkan kalah terlebih dahulu.

5. Pemulihan menuju keseimbangan

Tahap ini adalah babak terakhir dri suatu narasi. Kekacauan yang muncul pada babak dua, berhasil diselesaikan sehingga keteraturan bisa dipulihkan kembali. Penduduk bisa bekerja dengan aman, keluarga menjadi harmonis kembali dan seterusnya. Dalam narasi superhero, tahapan ini biasnya digambarkan bagaimana pahlawan (hero) berhasil mengalahkan musuh.

C. Fungsi dan Karakter Narasi

Didalam narasi (cerita) terdapat karakter, yakni orang atau tokoh yang mempunyai sifat atau perilaku tertentu. Karakter tersebut masing–masing mempunyai fungsi dalam narasi, sehingga narsi menjadi koheren (menyatu). Narasi tidak hanya menggambarkan isi, tetapi juga di dalamnya terdapat karakter–karakter. Dengan adanya karakter, akan memudahkan bagi pembuat cerita (storyteller) dalam mengungkapkan gagasannya. Karakter disini bisa sesuatu yang dekat atau jauh dari kehidupan sehari–hari khalayak tetapi membantu untuk menggambarkan dunia atau realitas (Uri Margolin dalam David Herman,2007:71). Sebagai misal, pembuat cerita ingin menyampaikan pesan bahwa kebaikan akan berhasil melawan kejahatan meski kejahatan didukung oleh kekuatan besar. Agar pesan tersampaikan, pembuat cerita membutuhkan karakter–karakter yang bisa mewakili isi pesan, mulai dari karakter pahlawan (orang baik), penjahat hingga karakter–karakter yang membantu pahlawan dan penjahat.

Seorang ahli bahasa asal Lithuania, Algirdas Greimas mengembangkan lebih lanjut gagasan Propp. Greimas menganalogikan narasi sebagai struktur makna (semantic structure). Mirip sebuah kalimat yang terdiri atas rangkaian kata–kata, setiap kata dalam kalimat menempati posisi dan fungsinya masing–masing (sebagai subjek, objek, predikat, dan seterusnya) (Eriyanto,2013:95-96). Kata yang satu juga mempunyai relasi dengan kata yang lain sehingga membentuk kesatuan yang koheren dan mempunyai makna. Narasi menurut Greimas juga harus seperti sebuah semantik dalam kalimat. Karakter dalam narasi menempati posisi dan fungsinya masing–masing. Lebih penting dari posisi itu adalah relasi dari masing–masing karakter. Sebuah narasi dikarakterisasi oleh enam peran, yang disebut Greimas sebagai aktan (actan) dimana aktan tersebut berfungsi mengarahkan jalannya cerita. Karena itu, analisis Greimas ini kerap juga disebut sebagai model aktan. Keenam peran tersebut bisa digambarkan sebagai berikut (Greimas,1983:202)

Tabel 1.3

Tabel Karakter Greimas

No

Karakter

Deskripsi

1.

Subjek

Menduduki peran utama sebuah cerita, tokoh utama yang mengarahkan jalannya cerita.

2.

Objek

Merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Objek bisa berupa orang, tetapi bisa juga sebuah keadaan atau kondisi yang dicita – citakan.

3.

Pengirim (destinator)

Merupakan penentu arah, memberikan aturan dan nilai – nilai dalam narasi. Pengirim umumnya tidak bertindak secara langsung, ia hanya memberikan perintah atau aturan – aturan kepada tokoh dalam narasi.

4.

Penerima (reciever)

Karakter ini berfungsi sebagai pembawa nilai dari pengirim (destinator). Fungsi ini mengacu kepada objek tempat dimana pengirim menempatkan nilai atau aturan dalam cerita

5.

Pendukung (adjuvant)

Karakter ini berfungsi sebagai pendukung subjek dalam usahanya mencapai objek.

6.

Penghalang (traitor),

Karakter ini berfungsi sebaliknya dengan pendukung, dimana karakter ini menghambat subjek dalam mencapai tujuan.

Pengirim

Objek

penerima

(Destinator)

(Receiver)

Pendukung

Subjek

penghambat

(Adjuvant)

(Traitor)

Greimas melihat ketertarikan antara satu karakter dengan karakter lain. Dari fungsi – fungsi dalam sebuah narasi, secara sederhana bisa dibagi ke dalam tiga relasi struktural, sebagai berikut: (Silverman,1993:74-75)

1. Relasi struktural antara subjek versus objek.

Relasi ini disebut juga sebagai sumbu hasrat atau keinginan (axis of desire). Objek adalah tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Menurut Cohan and Shires, hubungan antara subjek dengan objek adalah hubungan langsung yang bisa diamati secara jelas dalam teks (Steven Cohan & Linda,1998:69-70). Relasi antara subjek dan objek ini bisa berupa hubungan yang dikehendaki oleh kedua belah pihak (misalnya, seorang pahlawan sebagai subjek yang ingin membebaskan putri dari penculikan penjahat) atau tidak dikehendaki (seorang penculik ingin menyekap korbannya). Objek ini tidak harus selalu berupa orang, tetapi juga berupa keadaan. Misalnya keinginan dari pahlawan (subjek) untuk membebaskan suatu negeri dari raja yang kejam (objek). Dalam film Mika bisa dilihat bahwa Mika (subjek) ingin membebaskan Indi (Objek) dari rasa minder, tidak percaya diri dan sifat tertutupnya.

2. Relasi antara pengirim (destinator) versus penerima (receiver).

Relasi ini disebut juga sebagai sumbu pengirim (axis of transmission). Pengirim memberikan nilai, aturan, atau perintah agar objek bisa dicapai. Sementara penerima adalah manfaat setelah objek berhasil agar dicapai oleh subjek. Sebagai misal, seorang raja (pengirim) memberikan perintah kepada prajurit agar membebaskan putri (objek) yang ditawan oleh seorang penyihir. Objek dari cerita ini adalah membebaskan putri, yang menjadi inti atau tujuan dari keselurihan cerita. Sementara penerima (receiver) adalah putri. Dalam film Mika, Mika meminta kepada kedua sahabatnya untuk menjaga Indi (receiver)

3. Relasi struktural antara pendukung (adjuvant)

Relasi ini disebut juga sebagai sumbu kekuasaan (axis of power). Pendukung melakukan sesuatu untuk membantu subjek agar bisa mencapai objek, sebaliknya penghambat melakukan sesuatu untuk mencegah subjek mencapai objek. Sebagai misal, dalam suatu cerita, pahlawan mendapat bantuan dari orang pintar, pedang, kuda, sementara pahlawan juga mendapat halangan dari penyihir, naga, dan sebagainya (Eriyanto,2013:95-97).

Greimas juga memperkenalkan sebuah terminologi yang disebut sebagai segi empat semiotik (semiotic square). Dalam oposisi segi empat, fakta atau realitas bisa dibagi ke dalam empat sisi (S1, S2, S1, S2 ). Hubungan antara S1 dengan S2 dan S1 antara dengan S2 adalah hubungan oposisi. Hubungan antara S1 dengan S2 dan antara S2 dengan S1 adalah hubungan kontradiksi. Sementara hubungan antara S1 dengan S1 dan antara S2 dengan S2 adalah hubungan implikasi. (Greimas & Courtes,1979,308-311)

S1

S2

S1

S2

Keterangan :

: Relasi oposisi (kebalikan)

: Relasi kontradiksi

: Relasi implikasi

Gambar 1.3, Oposisi segi empat/ semiotika dari Greimas

Sumber : Julien Greimas and Jean Courtes (1979), Semiotics and Language : An Analytical Dictionary, Blomington : Indiana University Press, hal 309

Melalui oposisi segi empat bisa dijelaskan berbagai latar dan kondisi masyarakat, serta peristiwa yang bukan hanya dari hal yang berlawanan saja, melainkan juga sisi lain ditengah–tengah itu. Melalui oposisi segi empat, kita bisa menafsirkan suatu narasi lenbih baik dibandingkan dengan menggunakan oposisi biner (Eriyanto,2013:202). Beberapa langkah dilakukan dalam tahapan segi empat ini. Pertama, membagi gambaran ODHA dalam empat sisi, peneliti mengambil gambaran sosok ODHA dalam tokoh laki-laki sebagai kepahlawanan dan perempuan sebagai korban, seperti bagan dibawah ini:

Laki-laki

kepahlawanan

Perempuan

korban

Gambar 1.4, Gambaran Odha dalam oposisi segi empat dari Greimas

Relasi kebalikan (oposisi), kontradiksi dan implikasi diantara oposisi segi empat tersebut juga mempunyai struktur yang lebih rumit. Greimas menggambarkan sebagai dimensi struktur (structural dimensions) dan struktur semik (semic structure). Selengkapnya hubungan tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 1.4

Dimensi Struktur dan semik

Relasi

Dimensi Struktur

Struktur Semik

Kebalikan (oposisi)

Sumbu S (kompleks)

S1 + S2

Sumbu S ( netral)

S1 + S2

Kontradiksi

Skema 1

S1 + S1

Skema 2

S2 + S2

Implikasi

Deixis 1

S1 + S2

Deixis 2

S2 + S1

Sumber: Algerdas Jullien Greimas, 1987, On Meaning : Selected Writing in Semiotic Theory, London : Frances Printer, hal 51

� HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sel darah putih didalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh

� Yang selanjutnya akan disebut ODHA kepanjangan dari Orang Dengan HIV AIDS

PAGE

53