BAB VII Persoalan Sosial Politik Dlm Puisi Dan Cerpen
-
Upload
dr-i-wayan-artika-spd-mhum -
Category
Documents
-
view
99 -
download
8
Transcript of BAB VII Persoalan Sosial Politik Dlm Puisi Dan Cerpen
BAB VIIPERSOALAN-PERSOALAN SOSIAL POLITIK DALAM
GUGUR MERAH DAN LAPORAN DARI BAWAH
Peroalan-persoalan sosial politik yang muncul di dalam Gugur Merah dan
Laporan dari Bawah mencerminkan pandangan sastrawan Lekra mengenai realitas
dan harapan serta sastra terlibat dalam kehidupan sosial politik. Sejalan dengan itu,
keseluruhan persoalan yang dikemukakan dalam karya sastra dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu persoalan yang bernilai ”strategis” bagi perjuangan PKI dan
persoalan minor yang bernilai ”nasional” (persoalan-persoalan umum kehidupan
berbangsa).
Penyajian hasil kajian dalam Bab VII dipilah menjadi dua bagian, yaitu (1)
persoalan-persoalan politik dalam Gugur Merah dan (2) persoalan-persoalan sosial
politik dalam Laporan dari Bawah. Pembicaraan pada bab ini dilandasi oleh teori
sosiologi sastra dan paham realisme sosialis. Secara sosiologis, puisi-puisi dan
cerpen-cerpen tersebut memiiki hubungan yang erat dengan masyarakatnya yang
tampak melalui terciptanya hubungan interteks dengan teks-teks nonsastra. Pada
dasarnya, persoalan sosial politik yang dikemukakan di dalam kedua antologi
tersebut, dinaungi oleh pandangan dunia Marxis (lihat kembali Bab IV) yang
dipraktikkan oleh PKI melalui jalan revolusi untuk mencapai kekuasaan di tingkat
negara. Pandangan tersebut membentuk struktur masyarakat yang berlandaskan
Marxisme yaitu perlawanan kaum tertindas melalui perjuangan kelas untuk mencapai
124
sosialisme atau menghapuskan masyarakat berkelas dengan cara mengambil alih
kepemilikian alat-alat produksi dari tangan perseorangan menjadi milik masyarakat.
Persoalan-persoalan sosial politik yang dikemuakan dalam Gugur Merah dan
Laporan dari Bawah mengacu kepada struktur masyarakat tersebut. Dengan
demikian, struktur tersebut dapat digunakan ketika membaca karya-karya sastra
Lekra. Hal itulah yang diterapkan dalam kajian ini sehingga sampai kepada
pemahaman prinsip penerapan teori New Historicisme bahwa teks nonsastra yang
dipilih sebagai ko-teks adalah sumber membangun kerangka atau struktur. Kerangka
atau struktur tersebut digunakan sebagai perspektif dalam pembacaan karya sastra.
Struktur tersebut pada akhirnya menjadi konvensi yang mengikat dua peristiwa, yaitu
penciptaan dan pembacaan karya sastra.
7.1 Antologi Gugur Merah
7.1.1 Persoalan-persoalan Strategis dalam Perjuangan PKI
a. Tanah dan Kaum Tani
Persoalan tanah dan kaum tani yang dikemukakan dalam puisi-puisi Gugur
Merah (demikian pula dalam cerpen-cerpen Laporan dari Bawah) memiliki
pararelitas dengan pandangan Aidit (1964b: 35-36). Melalui kutipan pendapat
Presiden Soekarno, Aidit mengemukakan bahwa kaum tani yang kurang tanah atau
tidak bertanah objektif membutuhkan tanah garapan karena jika tidak menggarap
tanah mereka bukan kaum tani. Aidit juga sejalan dengan pandangan Presiden
Soekarno mengenai hubungan landreform dengan Revolusi Indonesia:
125
[...]”Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama sadja dengan pohon tanpa batang, sama sadja dengan omong besar tanap isi. Melaksanakan landreform berarti melaksanakan satu bagian jang mutlak dari Revolusi Indonesia”[...] Landreform berarti ”perombakan hak tanah dan penggunaan tanah”. (hal. 36)
Pada bagian lain Aidit menjelaskan peran penting kaum tani dalam revolusi.
Menurut Aidit, karena jumlah kaum tani adalah mayoritas maka mereka bersama
kekuatan seluruh rakyat berjuang melawan imperialisme dan feodalisme. Hal itu
hanya bisa dilakukan jika kaum tani yang hidupnya ditindas oleh tuan tanah feodal
dapat dibangkitkan dalam rangka menegakkan landreform yang radikal. Dalam hal
ini Aidit (1964b: 56) kembali mengutip pendapat Presiden Soekarno bahwa tanah
untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah. Penyediaan tanah bagi kaum tani
sejalan dengan program beridikari (berdiri di atas kaki sendiri) dalam bidang pangan
nasional (Aidit, 1964b: 56). Dalam ruang lingkup Revolusi Indonesia, Aidit
menyetujui pandangan Presiden Soekarno bahwa kaum tani dan buruh sebagai
sokoguru. Aidit kembali mengutip pendapat Presiden Soekarno yang mengatakan
bahwa kaum buruh dan tani baik karena vitanya maupun karena jumlah mereka
mayoritas, harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi sokoguru
masyarakat adil dan makmur di Indonesia. Menurut Aidit (1964b: 70), kaum tani dan
buruh adalah pencipta nilai-nilai materi dalam masyarakat, menghasilkan sandang,
pangan, dan perumahan bagi masyarakat. Di samping itu, kaum tani dan buruh adalah
golongan yang paling menderita dan tertindas.
Kepemilikan tanah garapan menjadi persoalan yang populer di dalam antologi
Gugur Merah, yang tercermin misalnya melalui penggunaan diksi yang berkaitan
126
dengan kaum tani dan tanah (lampiran tabel 2). Kaum tani tidak memiliki tanah
sehingga mereka bergantung kepada tuan tanah yang memperbudak mereka. Cerpen-
cerpen tersebut untuk menyadarkan kaum tani terhadap adanya penindasan tuan
tanah. Dengan tumbuhnya kesadaran tersebut, kaum tani bisa keluar dari
permasalahannya melalui serangkaian aksi, gerakan, dan perlawanan.
Persoalan pokok kaum tani timbul karena ”Tanah-tanah masih tetap bukan
milik pengolah”.1 Tanah-tanah mereka dirampas oleh tuan-tuan tanah, menindas2
yang tidak ubahnya seperti macan yang ganas dan buas.3 Padahal bagi mereka,
sawah berarti kehidupan anak istri dan keluarganya.4 Dalam puisi lainnya kita
menemukan permasalahan serupa, yaitu ketika tanah garapan telah menghasilkan
panen maka tuan tanah merampasnya, ”lalu datang tuantanah kuasa/mengaku rimba
jadi miliknya”,5 mengusir dan mengancamnya, sehingga kaum tani tidak bertanah.
Kehidupan kaum tani dapat dikatakan sangat tragis. Mereka bekerja keras di
sawah ”punggungnya terpanggang”,6 kelaparan,7 dan mereka tidak memiliki beras8
1 “Sungai Lebah” karya Ahmady Hamid (hal. 53); [...]siapa yang kuasa menahan api ini/api yang bangkit dari pusat bumi/enath raksasa dari benua manapun juga/pasti kan tunduk dilututnya/bahkan sangkur yang ditempa dari besi apapun juga/pasti kan patah ditangkaianya[...] (”Apai Juang Menjulang Didesa” karya Toga Tambunan, hal. 872)2 “Surat Petani Mat Asam” karya Agam Wispi (hal. 109-10)3 ”Dari Pedalaman Jawa” karya Kusni Sulang (hal 465-6); ”Kami Tiada Punya Tanah” karya S. Romzah (hal. 698) 4 ”Cerita dari Cucukan” Kusni Sulang (hal. 458-60)5 “Debur Ombak Berdebur” karya Agam Wispi (hal. 111-2); “Keluarga Kelasi” karya Agam Wispi (hal. 113); ”Ketahon-Suatu Titik Balik” karya Budhi Santosa Djajadisastra (hal. 254)6 “Isola” karya Benni Cung (hal. 231-2)7 “Api Juang Menjulang Didesa” karya Toga Tambunan (hal. 872-3)8 “Panen” karya A. Qadar (hal 34-5);
127
karena ”sia-sia padi menjadi/panen dirampas”.9 Karena padi yang dimiliki oleh kaum
tani ”buat menghidupi orang orang dikota”10 maka mereka pun hidup miskin.
Permasalahan lain yang dihadapai oleh kaum tani adalah kekuatan posisi tuan tanah
sehingga tuan tanah yang jahat tidak mudah dikalahkan oleh perlawanan kaum tani.11
Permasalahan lain bersumber pada perkara sistem bagi hasil. Kaum tani
dirugikan oleh sistem ini karena yang memperoleh bagian jauh lebih banyak adalah
tuan tanah.12 Di samping itu, kaum tani juga mengalami masalah lain, yaitu pada saat
musim paceklik tiba.13 Pada saat musim ini, ”senja murung sekali” dan ”orang-orang
desa kelaparan” karena pada saat ”ingin makan beras tak ada”. Pada musim paceklik,
anak-anak menangis menahan rasa lapar dan hanya dihibur oleh pelukan bunda dalam
bilik. Karena itulah ”kelam malam ini/lebih kelam desa petani”.14
Karena adanya penindasan dan pengisapan tersebut, kaum tani mengalami
kesenjangan ekonomi dengan kelas orang kaya. Orang kaya tersenyum simpul di
jendela-jendela rumah mereka sambil menghitung kekayaannya dan memandang
lumbung padinya yang berderet-deret:
Dagokelam malam ini
9 “Rumput-rumput Morokrambangan” karya Agam Wispi (hal. 95-8); “Isola” karya Benni Cung (hal. 232); dibalipun berhektar padi menguning/tapi dibalipun beribu petani mati [...] (”Bali” karya Putu Oka, hal. 564)10 ”Harihari Didesa” karya Eka Rahendra S. (hal. 310)11 “Kuil Nirwana dan Mimpi” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 162-3); ”Untukmu Pahlawan Tani” karya D.N. Aidit (hal. 293-4)12 ”Percakapan” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 153-4)13 “Musim Paceklik” karya Achmedya Tatang (hal. 567); ”Bagi Selembar Tanah” karya Rumambi (hal. 637-40)14 “Dago” karya Agam Wispi (hal. 89)
128
lebih kelam desa petaninamun setiakawan-pekerja abadiseterang cemerlang mentari pagi
(Agam Wispi, hal. 89)
Puisi tersebut tidak hanya mengungkapkan permasalahan yang dialami kaum tani
tetapi juga mendorong semangat hidup (setia kawan dalam bekerja abadi). Persoalan
tidak untuk diratapi tetapi kenyataan yang harus dilewati dengan cara perjuangan
untuk sampai pada matahari pagi yang cemerlang.
b. Kemiskinan dan Kesenjangan Kelas
Di samping persoalan tanah, di kalangan penyair-penyair kubu Lekra,
kemiskinan massa rakyat pekerja dan kesenjangan mendapat perhatian yang besar,
yang terungkap misalnya lewat kutipan di bawah ini.
[...]yang kuasa kian kayayang tidak punya kian tak punya apa-apa
(”Teruskan Aksi, karya Kusni Sulang, hal 472)
Kemiskinan dan kelaparan dipandang sebagai masalah yang merusak manusia.15
Kehidupan miskin seperti seorang ”ibu merangkul anaknya beratap langit dan
bintang-bintang”.16 Kemiskinan tentu saja merupakan beban hidup para pengemis
yang berwajah pucat dengan ”tangan sia-sia menadah”17; mereka ”mengemis dari
pintu ke pintu”.18 Kemiskinan tidak hanya dialami oleh pengemis tetapi juga oleh
kaum tani, ”lapar didesa/lapar dalam rumah petani”.19
15 “Kuil Nirwana dan Mimpi” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 162); ”Hari-hari Bersejarah” karya S.W. Kuncahjo (hal. 718)16 “Melalui Pintu Terbuka” karya Agam Wispi (hal. 69)17 “Orang-orang Lorong” karya Agam Wispi (hal. 62)18 “Lagu” karya Sugiarti Siswadi (hal. 815)19 “Teruskan Aksi” karya Kusni Sulang (hal 471)
129
Dalam puisi-puisi lainnya, dikemukakan kemiskinan warga kota Jakarta yang
dialami oleh sopir oplet, tukang becak, dan kaum gelandangan.20 Di Surabaya
digambarkan bahwa orang-orang miskin kehilangan tempat tinggal.21 Pardo seorang
tukang arang misalnya, juga terhimpit kemiskinan dan tidak ada jalan keluar,
sehingga kemiskinan tersebut seperti bayangan yang selalu mengejarnya:
Tukang Arangkau lalu depankuberbaju keringat dan hitam cemorenglangkahmu gontai dihimpit bebannasib memberat tanpa pengasihan
kau tetap berjalan pardowalau matahari keras menggigithimpitan hidup ikuti kau seperti bayangankau dan ia seperti main kejaran
aku takut, pardojika nanti kau terkalahkansedang dirumah banyak mutlut ternganga menunggu (F.L. Risakota, hal. 343)
Dalam keadaan miskin, menderita, dan lapar, Djuhainah (dari Banyuwangi) merintih
dan meregang. Pengarang melukiskan bahwa penderitaan tersebut lebih panjang
daripada ”jalanraya Anyer-Banyuwangi”.22 Dari pedalaman Jawa kemiskinan itu
tampak pada orang-orang di pasar, pada anak-anak menunggang kerbau di jalan-jalan
dan mereka tidak bersekolah.23 Kemiskinan juga menimpa keluarga nelayan yang
hasil tangkapannya tidak cukup untuk membeli beras.24 Tidak jauh dengan kehidupan
miskin nelayan, kemiskinan juga dialami oleh penarik pedati.25
20 ”Jakarta Oi Jakarta” karya Agam Wispi (hal. 79)21 “Surabaya” karya Agam Wispi (hal. 127)22 ”Djuhainah Masih Bernyanyi” karya H.R. Bandaharo (hal. 382)23 ”Dari Pedalaman Jawa” karya Kusni Sulang (hal. 465) 24 ”Nelayan” karya Masran H.A. (hal. 514); ”Orang-orang Lapar” karya Piek Ardijanto Supriadi (hal. 558)25 “Penarik Pedati” karya Anantaguna (hal. 660)
130
Persoalan kesenjangan antara kelas kaya dan miskin, hadir dalam berbagai
ungkapan, misalnya kaum kaya melakukan diet demi kecantikan tetapi kaum miskin
benar-benar menderita lapar.26 Kesenjangan semacam itu juga tampak pada semakin
lebarnya jurang pemisah antara kaum miskin dengan kaum kaya.27 Kesenjangan
antara kaum kaya dan kaum miskin dihadirkan melalui ungkapan, di restoran tuan-
tuan kaya makan mewah, sebaliknya di lantai restoran tersebut para pengemis
mengais rezeki.28 Kesenjangan kelas juga terjadi di antara kelas buruh dan kelas yang
”berkapital”.29 Kaum buruh menyadari bahwa di atas kerja keras, keringat, dan darah
kaum buruh, kapitalis mendirikan dinasti ekonomi.
c. Imperialisme dan Kolonialisme
Ketika berbicara mengenai revolusi, Aidit menguraikan secara mendalam
imperialisme, kapitalisme, dan kolonialisme untuk menjelaskan bahwa imperialisme
dan kolonialisme mengakibatkan penderitaan rakyat. Dengan demikian, menjadikan
imperialisme dan kolonialisme sebagai musuh utama revolusi semakin jelas dan
berlandasan kuat. Presiden Soekarno juga antiimperialisme dan antikolonialisme,
sebagaimana terungkap di dalam pidato-pidatonya dalam Dibawah Bendera Revolusi
(II).
26 “Sekeping Roti” karya Basudewa (hal. 223)27 ”Teruskan Aksi” karya Kusni Sulang (hal. 472)
28 “Hidup” karya Putu Oka (hal. 566)29 “Suatu Tuntutan” karya S.W. Kuncahjo (hal. 728)
131
Aidit (1964b: 8) mengemukakan bahwa imperialisme adalah suatu politik
negara-negara tertentu yang berusaha meluaskan wilayahnya dengan cara
menaklukan negeri-negeri asing. Imperialisme tidak terlepas dari pertumbuhan sistem
kapitalisme. Menurut Aidit, imperialisme adalah anak kapitalisme. Dalam sistem
kapitalisme, cara produksi barang-barang materi dilakukan berdasarkan milik
perseorangan atas alat-alat produksi untuk melakukan pengisapan kerja kaum buruh.
Menurut Aidit (1964: 14), kolonialisme menjadi ciri hakiki imperialisme karena
berhubungan langsung dengan pengisapan-pengisapan serikat kapitalis monopoli
internasional. Di samping itu, Aidit (1964: 16) juga mengemukakan bahwa
imperialisme adalah suatu sistem pembelengguan secara finansial dan penindasan
mayoritas penduduk di dunia, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Sejalan
dengan itu, Presiden Soekarno menegaskan bahwa syarat mutlak keberhasilan
Revolusi Indonesia (Revolusi Nasional) adalah antiimperialis (hal. 175). Untuk
melawan imperialisme harus mengerahkan dua kekuatan sekaligus, yaitu kekuatan
moral dan kekuatan fisik (hal. 228). Sikap antiimperialisme dan antikolonialisme
yang dilaksanakan oleh Presiden Soekarno (1964: 239-230) tersurat di dalam kutipan
berikut.
Ai, kita ini patriot, kita ini anti-imperialisme, kita ini bukan republikein mogol-setengah-matang, kita ini bukan pendurhaka Proklamasi! Kita ini sudah berkali-kali sumpah, bahwa kita akan berdjoang terus, ja, tadi saja telah katakan: meski diseluruh abad ke-XX sekalipun, sampai Irian Barat dikembalikan kepangkuan Ibu Pertiwi. Dan kita inipun prinsipiil anti-kolonialisme dan anti-imperialisme, dimanapun ia dilakukan. Kitalah jang didalam Konperensi Asia-Afrika bulan April jang lalu berkata, bahwa imperialisme belum mati. ”Colonialism is not yet dead. How can we say it is dead, as long as vast areas of Asia and Africa are unfree!” kitalah pula jang tidak mau ketinggalan memberi bantuan moril kepada semua bangsa-bangsa jang memperdjoangkan kemerdekaannja, seperti Tunisia, Aldjazair, Marocco, Vietnam, Malaya, dan lain-lain. Karena itu, sekali lagi kita berkata, kita
132
akan berdjoang terus, berdjoang terus dengan segala daja upaja, berdjoang terus mati-matian, sampai Irian Barat dikembalikan kepada kita, sampai tiap-tiap kutu imperialisme-kolonialisme musna dari pangkuan ibu pertiwi.
Sehubungan dengan permasalahan melawan imperialisme dan kolonialisme.
puisi-puisi Gugur Merah cenderung menyerukan agar massa rakyat yang tertindas
dan terisap melakukan perlawanan. Hal ini muncul di dalam puisi-puisi
antiimperialisme dan antikolonialisme. Serdadu Amerika adalah serdadu yang
biadab30 karena Amerika yang menjajah di Afrika, Kongo, Tanzania, Ghana,
Amerika Latin, Kuba, Panama, Puerto Rico. Di negara-negara tersebut Amerika
melakukan berbagai tindakan kejahatan (membunuh), campur tangan dalam urusan
rumah tangga suatu negara, menipu, mengadu domba, menjerat leher dan
membelenggu atas nama memberi bantuan, dan menyebarkan pelacuran.
[...]apa kerja mereka di Afrika,di Konggo, di Tanzania, di Ghana dan di mana-mana?untuk apa mereka di Amerika Latin,di Kuba, di Panama, di Puerto Rico dan di semua pelosok?bahkan apa faedah mereka di Eropa dan di bagian lain dunia ini?katanya berdagang, tapi dagangannya adalah maut,katanya bersahabat, tapi persahabatannya adalah campur tangan,penipuan dan subversi,katanya untuk perdamaian, tapi yang dibawanya adu domba dan neokolonilaisme,katanya membantu, tapi bantuannya menjerat leher danmembelenggukatanya membawa kebudayaan, tapi kebudayaannya memabukkan,pelacuran dan saling tembak[...]
(”Menempuh Jalan Rakyat”, karya H.R. Bandaharo, hal. 396)
30 Yankee Go Home!” karya Benni Cung (hal. 241)
133
Imprealisme adalah suatu keganasan karena menciptakan kehancuran hidup
manusia.31 Di negara-negara yang dikuasai imprealis ”semua hari adalah malam”,
”setiap menit, setiap jam gelap dan pahit”. Rakyat dihantui ketakutan dan mereka
dibunuh pada malam hari di sejumlah negara (Ajzasair, Laos, Korea Selatan,
Guatemala, Kongo).32
Akibat buruk tersebut menjadi pemicu bagi rakyat di negara-negara terjajah
untuk melakukan perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme. Amerika,
Inggris, Perancis adalah tengkulak-tengkulak perang yang harus dilawan oleh
rakyat.33 Salah satu cara melakukan perlawanan terhadap imperialisme adalah dengan
melakukan bikot segala hal yang berhubungan dengan imperialis.34 Bagi penyair-
penyair kubu Lekra, perlawanan tersebut dilandasi oleh semangat Asia-Afrika
(semangat bangsa-bangsa Asia-Afrika, yang dicetuskan ketika Konferensi Asia-
Afrika di Bandung) yang hendak ”memutus rantai imprealis dunia”.35 Perlawanan 31 ”Sesudah Panmunjom” karya H.R. Bandaharo (hal. 379); [...]sebab disini setiap jengkal tanah/bersimbah darah/bekas tangan sipenjajah/dan disini kita temukan disetiap dada/goresan luka bekas jamahan Amerika[...] (”Dari Daerah Dimana Darah Pernah Tumpah” karya S.W. Kuncahjo, hal. 716)32 ”Remaja Abadi, Tetap Seorang Guru” karya H.R. Bandaharo (hal. 385)33 “Selamat Kembali, Manusia Pertama” karya Agam Wispi (hal. 91); ”Menjaga Tanah Air”karya Kusni Sulang (hal. 476); ”Jangan Orang Berpangku Tangan” karya Kusni Sulang (hal. 479); ”Hancurlah Imprealis AS!” karya Lelono Karyani (hal. 489); Yankee Go Home!/No Imprealism!; kepadamulah “setan dunia imperialis Amerika Serikat”/tangan-tangan kukuh itu mengacungkan genggam dendamnya/kepadamulah rakyat-rakyat pejuang menjorokkan perlawanan/sebab suatu revolusi/untuk dunia-kemerdekaan tanpa penindasan. (”Percikan Api Kemerdekaan” karya M.A. Simadjuntak hal. 502); ”Catatan Peking” karya Njoto (hal. 536); ”Shanghai” karya Njoto (hal. 542); [...]Api-panggang anti-Amerika/makin garang makin perkasa[...] (”Ayolah Panglima” karya Ros S.B. hal 618); ”Semua Merapatkan Barisan” karya S. Anantaguna (hal. 682); ”Yang Tak Tergoyahkan” karya S.W. Kuncahjo (hal. 723)34 ”Aksi Boikot” karya Sitor Situmorang (hal. 758); ”Tunggu Hari Akhirmu Yankee” karya Sutikno W.S. (hal. 837); ”Kita Senantiasa Berjuang” karya Toemini (hal. 868)35 ”Yang Tegak dengan Berani” karya Benni Cung (hal. 230); […]imperialis kita gasak!/modal Inggris kita tindak![...] (”Hari-hari Bersejarah” karya S.W. Kuncahjo, hal. 719); [...]diatas derita Amerika membina neraka[...] (”Si Mungil Berbaju Merah” karya S.W. Kuncahjo, hal. 720); ”Jangan
134
terhadap imperialisme diikuti oleh adanya keyakinan bahwa imprealisme tidak akan
bertahan lama.36 Hal itu ditegaskan dalam sejumlah pernyataan, ”sudah lenyap mitos
tentang keunggulan AS,/sudah lenyap mitos tentang keunggulan senjata
imprealis,/karena rakyat bangkit berlawan./karena manusialah yang menentukan!”37
d. Harapan Hidup Lebih Baik
Puisi-puisi Gugur Merah digunakan sebagai mimbar bagi penyair dalam
rangka menyemaikan harapan-harapan perjuangan PKI. Walaupun hal itu
diungkapkan dengan berbagai istilah namun senantiasa mencerminkan tujuan akhir,
yaitu masyarakat sosialis/masyarakat adil dan makmur. Mengenai hal ini, dapat
ditemukan pararelitas terhadap pandangan Aidit (1964b) dan Presiden Soekarno
(1964). Aidit mengemukakan bahwa masyarakat sosialis adalah masyarakat adil
karena pengisapan atas manusia oleh manusia telah dihapuskan (hal. 78). Dalam
masyarakat tersebut tidak ada lagi golongan yang hidup enak dari kerja orang lain.
Bagi Aidit, adil saja tidak cukup tetapi harus terselenggara kemakmuran.
Kemakmuran dicapai dengan cara pengembangan tenaga produktif secara besar-
besaran untuk memproduksi barang-barang konsumsi yang berlimpah (Aidit, 1964:
79). Karena itu, masyarakat adil dan makmur adalah perkembangan yang lebih tinggi
daripada masyarakat sosialis atau menurut pandangan Marxis disebut masyarakat
komunis (di dalam masyarakat ini orang bekerja menurut kemampuan dan menerima
Kauhina” karya S.W. Kuncahjo (hal. 726); ”Pernyataan” karya Toga Tambunan (hal. 874) 36 ”Leningrad” karya Boejoeng Saleh (hal. 244)37 “Menempuh Jalan Rakyat” karya H.R. Bandaharo (hal. 394)
135
penghasilan menurut kebutuhan). Aidit juga mengutip Manipol untuk menjelaskan
bahwa sosialisme sama sekali tidak bertentangan dengan Marxisme. Karena itu:
[...]kaum Komunis Indonesia tidak hanja sepenuhnja mendukung gagasan sosialisme Indonesia tapi mengambilbagian aktif untuk memperjuangkan tidak hanja tertjapainja Indonesia jang merdeka penuh dan demokratis, tetapi untuk meneruskan perdjuangan hingga tertjapainja kemenangan sosialisme Indonesia[...] (hal 79-80)
Pada konteks ini, Presiden Soekarno juga mengemukakan bahwa sosialisme adalah
arah dan tujuan Revolusi Indonesia (hal. 458). Dalam Manipol USDEK Presiden
Soekarno mengemukakan arti sosialisme, yaitu konsep kerakyatan dan untuk
memberi kebahagian kepada rakyat Indonesia (hal. 459). Pada bulan Agustus 1964,
Presiden Soekarno menegaskan bahwa Rovolusi Indonesia bukan sekadar untuk
mengusir penjajah Belanda tetapi melebihi tujuan tersebut, yaitu menuju sosialisme
atau ”Dunia Baru (Hal. 566-567, 597).
Sehubungan dengan cita-cita tersebut, para penyair Lekra menyemai dan
membina harapan dan semangat perjuangan partai. Kesadaran yang disampaikan oleh
para penyair adalah bahwa tujuan akhir perjuangan PKI memang belum terwujud
namun demikian, melalui puisi-puisi tersebut dibina keyakinan massa rakyat terhadap
harapan (sosialisme, masyarakat adil makmur) sebagai kebenaran dan pada suatu hari
nanti akan menjadi kenyataan.
Harapan-harapan tersebut diungkapkan dengan berbagai pernyataan, seperti
”fajar ini tak lama lagi”, ”didepan tengadah dunia yang baru”,38 ”hari datang”, ”titik
38 “Asahan” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 148); “Kepada Perdamaian” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 152)
136
kemenangan” yang pasti dicapai,39 ”surga bukan lagi hanya dongengan”,40
”kemenangan paling akhir”41 atau ”masyarakat baru”.42 Harapan juga sebagai
optimisme terhadap kemenangan, ”Kemenangan tak bisa ditunda/itu pasti datang”.43
Harapan atau haridepan itu diumpamakan dengan teluk yang indah pada siang
hari atau laut lepas dengan ombak putih.44 Seorang nelayan menyatakan harapan
mereka, ”dari lumpur pantaiku yang anyir/derita ini pasti berakhir”.45 Walaupun
demikian, ada kalanya ”hari depan” samar-samar46 tetapi jika selalu ada kerja keras
maka harapan itu pasti dicapai, ”kita pasti akan sampai ke ujung jalan ini”.47 Pada
konteks perjuangan PKI, harapan itu adalah hari depan yang disongsong (sosialisme,
suatu kehidupan sosial yang gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur dan
seluruh petani memiliki tanah):
”Ya,-hari depan yang disongsong hingga kinibernama; sosialismedimana gemah ripahdan loh jinawi subur kang sarwa tinandur dan tanah bagi petani”
(”Dari Pedalaman Jawa” karya Kusni Sulang, hal. 466)
[...]Sepatah kata terucapkan untuk dunia baruSuara kami suara pembebasan
39 “Selangkah Lagi” karya Dharmawati (hal. 275)40 ”Kasih Bersemi” karya Sugiarti Siswadi (hal. 814)41 ”Tak Ada Perpisahan” karya Tarjadi (hal. 846)42 ”Kita Senantiasa Berjuang” karya Toemini (hal. 868)43 “Jakarta” karya A.S. Rachman Hadi (hal. 197)44 ”Pertemuan” karya Dharmawati (hal. 282)45 “Jawab yang Kesekian” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 150)46 “Danau Timur” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 156)47 “Hanya Inilah Jalannya” karya D.N. Aidit (hal. 288)
137
Suara kami suara persahabatanSuara kami suara sosialisme dan kedamaian
(”Tentang Cinta” karya Lelono Karyani, hal. 483)
Harapan-harapan tersebut ditanam dengan kuat dalam diri massa rakyat
pekerja sehingga dengan mudah dapat dibayangkan bahwa ia akan datang pada
malam pesta kemenangan kaum terhina dan kaum yang lapar:
[...]suatu malam kita kan berjumpa dalam pestapesta kemenangan kaum terhina, kaum yang lapar
(”Menanti Hari Tiba” karya Putu Oka, hal. 569)
e. Buruh dan Upah
Persoalan yang paling mendasar dialami oleh kaum buruh yang muncul di
dalam puisi-puisi Gugur Merah adalah kerja keras namun tetap melarat (miskin),
diperbudak oleh majikan, dan menerima upah kerja yang sangat kecil. Di Jembrana
(Bali) misalnya, kaum buruh diisap oleh majikan48 dan begitu pula yang terjadi pada
kaum buruh perkebunan teh di Subang:
SubangTeh dan para pendaki gunung, acendengan tanya siapa punyamilyaran untung dibawa berlayarkenegeri seberang jauh diutara
Teh dan para pendaki gunung, ujangpeluh buruh menyuburkannyakurang upah tahankan laparmalam dingin tubuh telanjang
Teh dan para pendaki gunung, tuanbelumkah tuan merasa kenyang?sebelum marah kami muntahkan:gratifikasi naikkan upah!
(T. Iskandar, hal. 844)
48 “Jembrana” karya Hidajat Sastramuljana I.W. (hal. 365)
138
Buruh kayu jati juga tidak luput dari penindasan dan mereka bekerja keras dalam
keadaan lapar, ”tidak peduli perut sejak kemarinsore belum terisi”.49 Melalui
penggambaran derita buruh kayu jati, penyair menyampaikan protes kepada majikan
bahwa harga kayu jati tidak lebih tinggi ketimbang harga hidup para buruh:
[...]mendorong lori bersama hidupnyadidepannya kayu jati mahaldibelakangnya hidup lebih mahal[...]harga kayu jati mahalhidup lebih mahal(”Harga Kayu Jati” karya Rumambi, hal. 645)
7.1.2 Persoalan Nasional
Persoalan-persoalan nasional adalah persoalan-persoalan yang dialami oleh
bangsa Indonesia yang sedang menjalankan revolusi di bawah pemerintahan Presiden
Soekarno. Persoalan-persoalan yang dimaksud adalah yang dibicarakan di dalam
pidato-pidato Presiden Soekarno yang dihimpun di dalam buku Dibawah Bendera
Revolusi (II).
Presiden Soekarno (1964: 152, 153) mengatakan bahwa gerombolan
bersenjata seperti RMS (Republik Maluku Selatan), DI (Darul Islam) adalah
gangguan Revolusi Indonesia dari dalam negeri. Karena itu, demi kepentingan
nasional gerakan tersebut harus dibasmi. Presiden Soekarno menegaskan bahwa para
49 ”Harga Kayu Jati” karya Rumambi (hal. 644)
139
pemimpin gerombolan tersebut (Kartosuwirjo, Daud Baureueh, Kahar Muzakar,
Soumokil) memecah belah persatuan Indonesia (hal. 226). Dalam hal nasionalisme
dan persatuan, Presiden Soekarno tidak pernah berhenti menyerukannya. Hal itu
misalnya tampak melalui kutipan di bawah ini.
[...]Berbahagialah suatu bangsa, jang berani menghadapi kenjataan demikian itu! Berani menerima bahwa kesulitan-kesulitannja tidak akan lenjap dalam tempo satu malam, dan berani pula menjingkilkan lengan badjunja untuk memetjahkan kesulitan-kesulitan itu dengan segenap tenaganja sendiri dan segenap ketjerdasannja sendiri. Sebab bangsa jang demikian itu, --bangsa jang berani mengatasi kesulitan-kesulitan--, bangsa jang demikian itu akan mendjadi bangsa gemblengan. Bangsa jang besar, bangsa jang Hanjakrawarti-hambaudenda. Bangsa jang demikian itulah hendaknja Bangsa Indonesia!” Ja, Bangsa jang demikian itulah hendaknja Bangsa Indonesia! Maka gelorakanlah semangat Nasionalmu! Gelorakanlah rangsang kemauan Nasionalmu! Gelorakanlah rangsa Perbuatan-perbuatan Nasionalmu! Dan, engkau, hai Bangsa Indonesia, betul-betul nanti mendjadi satu bangsa jang Gembelengan! (hal. 391)
Kutipan tersebut menyirakan semangat mencintai tanah air yang menggelora.
Persoalan kemerdekaan bagi Presiden Soekarno adalah soal jiwa sebuah
bangsa. Melalui kumandang Proklamasi 17 Agustus 1945, menunjukkan kepada
dunia bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa budak tetapi bangsa yang berjiwa
banteng (hal. 430). Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir tetapi jembatan emas dalam
Revolusi Indonesia menuju cita-cita sosialisme Indonesia. Dalam rangka mencapai
cita-cita itu, rakyat berjuang karena Revolusi Indonesia bukan revolusi istana tetapi
revolusi rakyat (hal. 278-279, 387). Persoalan-persoalan sosial politik tersebut
dikemukakan di dalam puisi-puisi Lekra, yang menunjukan bahwa pararelitas antara
karya sastra denga teks nonsastra, yang diuraikan dalam bagian selanjutnya.
a. Gerombolan Bersenjata
140
Persoalan yang berkaitan dengan gerombolan bersenjata yang muncul di
dalam sejumlah puisi, mengarah kepada terancamnya rasa aman rakyat. Darul Islam
adalah ancaman bagi rakyat di desa-desa tempat para pemberontak tersebut
beroperasi. Rubia misalnya, anak Mak Isah ”direnggut oleh DI”.50 Karena merasa
tidak aman, Mak Isah menginginkan agar tentara lebih lama berdiam di desa sehingga
desa aman karena pada malam hari mungkin saja anggota DI datang ke desa
”menagih padi dan sekali nyawa”.51 Gerombolan DI (Darul Islam) juga melakukan
monopoli kopra dan padi.52 Anggota DI di daerah perkebunan kopi telah membunuh
ayah seorang anak gadis. Keadaan ini membuat warga desa tidak tenang dan
mengalami rasa takut karena anggota DI merampas padi petani sehingga petani dan
keluarganya kelaparan.
Sehubungan dengan persoalan gerombolan bersenjata, puisi-puisi Gugur
Merah mengemukakan solusinya, yaitu tidak ada pilihan lain bagi kaum tani di desa
kecuali melakukan perlawanan terhadap gerombolan tersebut. Dalam hal ini kaum
tani dibantu oleh PKI. Berkat bantuan PKI pembrontak DI kalah sehingga rakyat
bergairah kerja menanam padi sambil bernyanyi.53 Tanpa kebangkitan kaum tani di
Tana Toraja gerombolan atau pembrontak DI tidak bisa dibasmi.54 Hal yang sama
juga terjadi di lereng-lereng Gunung Tangkubanperahu, seperti kutipan puisi berikut.
50 “Hari Kedua Didesa” karya Eka Rahendra S. (hal. 311)51 ”Hari Kedua Didesa” karya Eka Rahendra S. (hal. 311); ”Hari Ketiga Didesa” karya Eka Rahendra S. (hal. 313)52 “Pahlawan Munafik” karya Agam Wispi (hal. 115)53 ”Daerah Perlawanan” Annas H.C. (hal. 178-179)54 ”Petani-petani Tanatoraja” karya M.A. Arsjad (hal. 494)
141
[...]kabut dingin mengendap dikaca jendelatapi wajah-wajah legam dipinggang lembah dan bukitberlawanan, pangkal kehidupan atau kematiankendati malam akan meregamsebab darul islam sudah dikalahkan-merekalah kaum taniDilereng-lereng tangkuban prahu[...]
(”Dikaki-kaki Tangkubanprahu” karya Putu Oka, hal. 575)
b. Cinta Tanah Air
Sehubungan dengan cinta tanah air, puisi-puisi Gugur Merah lebih banyak
mengemukakan alasan-alasan mengapa mencintai tanah air Indonesia dan bagaimana
cara mencintainya. Di samping itu, puisi-puisi ini juga menegaskan keterikatan antara
kemerdekaan dan cinta tanah air. Cinta tanah air tidak dapat dilepaskan dengan
sejarah penderitaan jutaan rakyat ketika berjuang mencapai kemerdekaan tersebut.
Karena itu, pujian kepada para pahlawan harus dikumandangkan:
ia pahlawan perebut menangwalau campur darah nyawadan senyum menangnya dipintu kubur
(”Ibu, Anakmukah itu?” karya Azis Akbar, hal. 213)
Cinta tanah air dapat diwujudkan melalui pujian kepada tanah air, ”negerimu
yang mengharum tanahnya”.55 Indonesia adalah bumi tercinta tempat pertemuan dua
samudra. Indonesia adalah tanah tersayang yang merangkaikan dua benoa. Indonesia
adalah negeri jelita untaian ratna katulistiwa. Indonesia diharumkan oleh mawar dan
cempaka. Indonesia dihijaukan oleh sawah-ladang dan gunung berwarna biru yang
yang menjulang tinggi:
55 ”Menyongsong Pagi yang Cemerlang” karya A.S. Rachman Hadi (hal. 184);
142
Bila padaku engkau bertanyasiapakah aku?dengan kebahagiaan tak terhinggakan kujawabaku putra Indonesiabumi tercinta tempat pertemua dua samodratanah tersayang yang merangkaikan dua benuanegeri jelita untaian ratna katulistiwayang diwangikan harum mawar serta cempaka dihijaukan sawah-ladang dan diwarnai biru gunung menyundul mega
(”Bila Engkau Bertanya” karya S.W. Kuncahjo, hal. 733)
Dengan demikian, wujud cinta tanah air adalah rasa bangga menjadi putera
Indonesia. Wujud lain mencintai tanah air adalah dengan memenuhi panggilan tanah
air yang ”bergema ke seluruh negeri”56 atau ”kelautan tempat panggilan bunda” untuk
”menjaga dwiwarna buah jantung bunda” dan selalu setia kepada panji tanah air.57
Hal itu sejalan dengan perkataan seorang anak kepada ibunya, ”Biarkan anakmu
berangkat, bunda/sandang senapan di bahunya/pertahankan tanah air.58 Adapun
alasan mencintai tanah air adalah karena tanah air adalah ”tanah nenek moyang”,
”tanah tersayang” yang harus diperjuangkan untuk ”merebut kembali tanah hilang”.59
Dengan demikian bisa dikemukakan bahwa mencintai tanah air dilakukan dengan
kerelaan berkorban,60 yang diwujudkan tidak hanya dengan kata-kata tetapi dengan
jiwa.61 Hal ini sejalan dengan pandangan Seti, seorang sukarelawan, bahwa tidak ada
tempat yang paling terhormat pada abad ini selain gugur di gelanggang perlawanan
membela tanah air, rakyat, dan revolusi:
56 “Ibu. Aku Teken Sukarelawan” karya Budiman Sudarsono (hal. 260)57 ”Selamat Jalan Barisan” karya A.S. Rachman Hadi (hal. 186)58 ”Keinginan Anak Lelaki” karya Benni Cung (hal 234)59 “Cilangkap” karya Benni Cung (hal. 226)60 ”Sayup Senja” karya A.S. Rahman Hadi (hal. 201); ”Balim” karya Benni Cung (hal. 237)61 ”Panji” karya Kusni Sulang (hal. 469)
143
Ibu, adakah tempat yang lebih terhormat diabad ini selain gugur di gelanggang perlawanan?Bela tanah air, rakyat, dan revolusi[...]Dan hari ini dialun pasang gelombang kebangkitan panggilan tanah air bergema keseluruh negeri kumandangnya sigapkan berjuta-juta pemuda pria dan wanita membaris-rapatkan putera-putera terbaik bumi tumpah darah ”ke-Kalibata, ayo ke Kaltara!” ”maju terus pantang mundur, pasti menang!”
(”Ibu, Aku Teken Sukarelawan” karya Budiman Sudarsono, hal. 260, 261)
Cinta tanah air juga dapat dinyatakan oleh bangsa Indonesia dengan cara mendukung
apa yang diputuskan oleh Presiden Soekarno, ”Saya sekarang menyatakan Indonesia
keluar dari PBB”62 dan seluruh komponen kekuatan bangsa (kaum buruh, kaum tani,
massa prajurit), kaum Manipolis Nasakom ”bersatu hati, bersatu tujuan/mengganyang
nekolim”.63
Puisi-puisi kubu Lekra yang mengemukakan persoalan cinta tanah air
Indonesia, sebagai wujud nasionalisme, tidak sepenuhnya bebas dari bayang-bayang
kepentingan PKI. Dengan demikian, puisi-puisi tersebut tidak tampak sebagai karya
yang semata-mata berorientasi kepada kepentingan partai tetapi juga berkiblat kepada
kepentingan yang lebih besar (kepentingan bangsa Indonesia). Puisi ”Bila Engkau
Bertanya” karya S.W. Kuncahjo (hal. 733-734) mewakili sikap tersebut:
Bila padaku engkau bertanyasiapakah aku?dengan kebahagiaan tak terhinggakan kujawabaku putra Indonesiabumi tercinta tempat pertemua dua samodratanah tersayang yang merangkaikan dua benuanegeri jelita untaian ratna katulistiwa
62 ”Menempuh Jalan Rakyat” karya H.R. Bandaharo (394)63 ”Menempuh Jalan Rakyat” (hal. 394)
144
yang diwangikan harum mawar serta cempaka dihijaukan sawah-ladang dan diwarnai biru gunung menyundul mega
Bila padaku engkau bertanyasiapakah orang tuaku?dengan kebanggaan memompa dadakan kujawabmereka rakyat pekerjaburuh dan tani sokoguru revolusiyang tumbuh dan kembang ditempa kerjayang dilahirkan oleh derita dan mengemban amanat memahami deritayang bergelimangkan darah, keringat dan airmata
c. Revolusi Indonesia
Pada bagian ini pembicaraan mengenai persoalan yang berkaitan dengan
Revolusi berkisar di seputar metafora, makna, tujuan, dan jalannya revolusi. Melalui
beberpa puisi dapat dimengerti pandangan-pandangan bahwa revolusi sebagai
gelombang pasang dan mengantarkan bangsa Indonesia ke dunia baru karena
Revolusi tercipta di atas kehancuran yang kolot dan paham tua.
Revolusi adalah gelombang pasang memecah menggebu-gebu merangsang bersimbah keberanian diterjang taufan kemungkinan tak terelakkan
(“Patahkan Belenggu” karya Ros S.B., hal. 620)
[...]Dilihatnya tanah air kita kian benderangya panjirevolusi membawa terang
(“Panji” karya Kusni Sulang, hal. 469)
[...]kanda, revolusi itu terciptadiatas kehancuran kekolotan dan paham tua(sebagai warisan kitapun mesti hancur)
(“Surat-surat” karya Putu Oka, hal. 582)
145
Keyakinan terhadap kekuatan revolusi ditumbuhkan melalui sejumlah puisi,
antara lain dengan mengemukakan bahwa revolusi adalah bahtera yang tidak
mungkin karam.64 Sejalan dengan itu, revolusi adalah kekuatan tekad dan sikap tak
pernah menyerah.65 Senada dengan itu, revolusi adalah pembebasan hidup dan tenaga
yang sangat kuat sehingga ia tidak bisa dibendung66 karena revolusi seperti laut
pasang.67 Dengan demikian, Revolusi akan berjalan terus68 dan setahap demi setahap
pasti dimenangkan sampai ke puncak.69
Beberapa puisi mengemuakan peranan kaum tani dan buruh dalam Revolusi
Indonesia, bahwa mereka tidak hanya yang menghangatkan dan menghidupi
revolusi70 tetapi sekaligus yang melaksanakan revolusi71 melalui pengabdian.72
Peranan kaum tani dan buruh di dalam Revolusi ditegaskan melalui ungkapan bahwa
mereka adalah ”ibubapa” revolusi73 atau sering pula diungkapkan dengan istilah yang
sangat populer pada masa Presiden Soekarno, yaitu soko guru revolusi:
betapa hangat kemesraan juang merasuk kalbupadukan diri dengan kaum buruh dan tani sokoguru revolusi
(”Ibu, Aku Teken Sukarelawan” karya Budiman Sudarsono, hal. 260)
petani Pariaman ombak perkasa,
64 ”Kaumtani Sungai Tanu” karya F.L. Risakota (hal. 344)65 ”Ombak Pariaman” karya F.L. Risakota (hal. 346) 66 “Arus” A.S. Rahman Hadi (hal. 191)67 “Sajak untuk Anak Gadis Tani” karya M.A. Arsjad (hal. 493)68 “Perhitungan” karya Benni Cung (hal. 238)69 “Dikaki Gunung Slamet” karya Hidajat Sastramuljana I.W. (hal. 364)70 “Boyolali” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 166)71 “Sebuah Peringatan” karya A.S. Rahman Hadi (hal. 202); ”Kaumtani Sungai Tanu” karya F.L. Risakota (hal. 344)72 ”Terlalu” karya S. Anantaguna (hal. 680)73 ” Sajak untuk Adik Gadis Tani” karya M.A. Arsjad (hal. 492)
146
pulau Angsa hijau semesta,sampai kemanapun datang berita,petani mendukung revolusi
(”Ombak Pariaman” karya F. L. Risakota, hal. 346)
Walaupun secara umum puisi-puisi tersebut mengemukakan pandangan-
pandangan yang memuliakan revolusi, muncul pula kritik terhadap revolusi, yaitu
rovolusi telah gagal. Arah revolusi masih dipertanyakan sehingga muncul ungkapan,
”ulangi revolusi sekali lagi”. Dalam hal ini, kegagalan revolusi tidak bisa dibiarkan
tetapi harus dipecahkan. Demikianlah kritik terhadap revolusi yang dikemukakan
oleh Azis Akbar dalam puisi yang dikutip sebagai berikut.
Anak Merdekaandai petani di sudut hutan gunungdan buruh pelabuhan merindu hidup baru
andai pejuang membenanmkan gigi di sela bibirdan rakyat merdeka memeras dada
andai mereka bertanya kepada kamiapa arti merdeka
kami anak merdeka akan memekikkan revolusi kamigagaloleh percaya kami pada hati manusia
andai ada orang napaskanulangi revolusi sekali lagikami hanya tersenyum dan mata menancap dibintang tenang
tapikegagalan ini harus kami pecahkan
(hal. 212)
d. Kemerdekaan
Puisi-puisi yang menghadirkan persoalan kemerdekaan, lebih banyak
mengemukakan pandangan mengenai hakikat kemerdekaan, misalnya kemerdekaan
147
tersebut seperti sinar matahari yang mendatangi setiap orang.74 Untuk mencapai
kemerdekaan segala hal dipertaruhkan75 atau membutuhkan pengorbanan yang iklas.76
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa harga kemerdekaan sangat mahal sehingga
kemerdekaan tidaklah pernah merupakan hadiah dan tidak sebagai barang gaib dari
langit juga bukan sebagai warisan tetapi hasil perlawanan.
[...]kita ketahui bahwa kemerdekaan tidaklah pernah merupakan hadiahtidak sebagai barang gaib dari langit, tidakpun sebagai warisankemerdekaan senantiasa adalah hasil perlawananyang diperjuangkan terus-menerus dari generasi ke generasi
(”Nyanyian Kemerdekaan” karya H.R. Bandaharo, hal. 390)
[...]biar kemerdekaan makin berseri!tidaklah enak menerima dollarhidup mewah kecang pesiar?tidak, kemerdekaan jauh berharga/kerincing dollar bukan bandingannya[...]
(”Suatu Malam” karya S.W. Kuncahjo, hal. 732)
Karena sedemikian tinggi nilai kemerdekaan bagi suatu bangsa, maka
perasaan ”merdeka” harus dijaga dengan kecintaan karena merupakan juru selamat
dari segala kegagalan.77 Walaupun demikian kenyataannya tetapi ”panasnya api
kemerdekaan tak pernah mati”.78 Secara hakiki, setiap manusia membutuhkan
perasaan merdeka, ”disetiap dada rindu merdeka”79 karena kemerdekaan melebihi
segarnya mawar serta melati.80 Hal itu menjadi suatu alasan agar kemerdekaan rakyat
74 “Nyanyian Kemerdekaan 1951” karya Habibbur Rahman (hal. 358)75 “Kemerdekaan” karya S. Anantaguna (hal. 687)76 ”Ibu, Aku Teken Sukarelawan” karya Budiman Sudarsono (hal. 260)
77 “Lebih Rapatkan Barisan” karya A.S. Rahman Hadi (hal. 198)78 ”Senja Turun di Asahan” karya F.L. Risakota (hal. 352)79 ”Yang Tegak dengan Berani” karya Benni Cung (hal. 230)80 ”Suatu Tuntutan” karya S.W. Kuncahjo (hal. 728)
148
tidak boleh dirampas.81 Sejalan dengan itu, kemerdekaan atau kedaulatan adalah
kerinduan hakiki bagi siapa saja karena persoalan kemerdekaan atau kedaulatan itu
menyangkut persoalan pokok manusia.82 Dengan kata lain, kemerdekaan untuk semua
orang, baik yang berwarna kulit putih, sawomatang, kuning, dan hitam.83 Bagi bangsa
Indonesia, kemerdekaan berarti ”merdeka berpikir, merdeka memerintah diri
sendiri”84 dan membawa prakarsa ”api” dari padang-padang pembebasan.85
Di samping pemaknaan kemerdekaan, beberapa puisi mengemukakan
persoalan yang berkaitan dengan kemerdekaan, yaitu yang diselewengkan untuk
tujuan lain.86 Hal itu menyebabkan arti ”merdeka” dan ”kebebasan hidup” masih ada
dipertanyakan.87 Setidaknya kemerdekaan yang dirayakan setiap tahun belum sebulat-
bulatnya kemerdekaan karena jika diibaratkan sungai, kemerdekaan belum dilayari
sampai ke hulu:
tanah airku sayang,agaknya kemerdekaan hari ini yang kita rayakanbelum sebulat-bulatnya kemerdekaanbagai sungai belum dilayar sampai kehulutapi dengar, radio menyuarakan ke seluruh duniakomando Bung Karnountuk tegakkan sosialisme kemerdekaan sesungguhnyadan dunia baru yang harus dibina
(”Merayakan Kemerdekaan” karya Kusni Sulang, hal. 461-462)
81 “Yang Tegak dengan Berani” karya Benni Cung (hal. 230)82 “Selamat Tinggal Selamat Berjumpa” karya Benni Cung (hal. 240)83 “Yang Mati Hidup Kembali” karya D.N. Aidit (hal. 290)84 “Bicara kepada Orang-orang yang Hidup” karya H.R. Bandaharo (hal. 369)
85 “Percikan Api Kemerdekaan” karya M.A. Simandjuntak (hal. 502)86 “Orang yang Sendiri” karya Ambia (hal. 172)87 ”Kelahiran” karya A.S. Rahman Hadi (hal. 182); ”Anak Merdeka” karya A. Akbar (hal. 212)
149
e. Konsep dan Perjuangan Rakyat
Seperti telah diketahui secara umum bahwa kubu Lekra mengabdi kepada
rakyat, maka puisi-puisi yang ditulis oleh penyair-penyairnya pun mengungkapkan
konsep-konsep mereka mengenai rakyat. Konsep rakyat yang dikemukakan di dalam
puisi-puisi tersebut meliputi (1) siapa sebenarnya rakyat, (2) rakyat sebagai
kekuatan, (3) rakyat pemegang kedaulatan, dan (4) rakyat pembuat sejarah. Melalui
puisi-puisi yang mengungkapkan keempat konsep tersebut, penyair-penyair kubu
Lekra menunjukkan penghormatan yang tinggi terhadap rakyat.88
Dalam salah satu puisi dikemukakan bahwa rakyat adalah pahlawan dengan
kehidupan yang luhur.89 Sementara itu dalam puisi lainnya rakyat disepadankan
dengan kebenaran, keadilan, dan kekuatan.90 Yang menarik adalah cara penyair Lekra
mengagungkan rakyat, yaitu dengan menggunakan perbandingan yang bernada
hiperbola, seperti ”semangat yang tak pernah terpatahkan91 dan tidak pernah kalah;”92
lautan yang tidak pernah berhenti melakukan perlawanan;93 baja;94 tangan yang
perkasa yang menghancurleburkan kekejaman dan nafsu penguasa;95 mahatahu;96
Karena keberadaan rakyat yang sedemikian rupa maka rakyat harus dijunjung tinggi
88 ”Perpisahan” karya S.W. Kuncahjo (hal. 730)89 ”Pernyataan” karya B. Kemala (hal. 218)90 ”Selamat Tinggal Selamat Berjumpa” karya Benni Cung (hal. 240)91 ”Tak Terpatahkan” karya Chalik Hamid S.R. (hal. 269)92 ”Si Mungil Berbaju Merah” karya S.W. Kuncahjo (hal. 721)93 “Lautan” karya Ros S.B. (hal. 619); “Marx Dihatiku dan di Kuba” karya Anantaguna (hal. 677)94 ”Sesudah Panmunjom”H.R. Bandaharo (hal. 379); ”Pantun Nasehat” karya Urang Ketek Nan Sati (hal. 886)95 ”Penjara takkan Bisa Memadamkan Aksi” karya Kusni Sulang (hal. 457)96 “Ya Mustaza” karya Tjarakarakjat (hal. 864)
150
dan dihormati97 karena kekuasaan berada di tangan rakyat.98 Di samping itu, ada juga
puisi yang mengutip pandangan Marxis mengenai rakyat, yaitu rakyat bikin sejarah.
Karena rakyat sebagai pembuat sejarah maka vonis rakyat adalah vonis sejarah:
tapi waktunya akan tiba, mungildimana impianmu bukan lagi bayangan yang kosong-hampasebab rakyat tak pernah kalahsebab rakyatlah pembuat sejarah
(”Si Mungil Berbaju Merah” karya S.W. Kuncahjo, hal. 721)
sebab apabila rakyat kalian sanggahingat, vonis rakyat vonis sejarah!
(”Suatu Cermin” karya S.W. Kuncahjo, hal. 725)
Puisi-puisi yang dibicarakan dalam bagian ini juga ditujukan kepada massa
rakyat pekerja agar mereka mengerti konsep rakyat dan melalui pengertian tersebut
mereka mengambil peran dalam sejarah99 karena kehidupan itu sesungguhnya hak
milik rakyat.100
Di samping mengemukakan konsep tentang rakyat, puisi-puisi Gugur Merah
juga memberi perhatian yang besar kepada perjuangan, kerja keras, dan perlawanan
rakyat. Perjuangan rakyat tidak lepas dari berbagai rintangan, ”tidak luput dari
ancaman badai yang datang dan pergi.101 Walaupun demikian, rakyat tidak
tergoyahkan karena rakyat kuat seperti ”karang ditengah laut”102 atau seperti ”tangan-
tangan baja yang keras menghantam”.103 Melalui puisi ini kita mengetahui gambaran
97 ”Jakarta” karya Lelono Karyani (hal. 486)98 ”Shanghai” karya Njoto (hal. 542)99 “Ode Kemerdekaan” karya Sutikno W.S. (hal. 839)100 ”Lagu” karya Sjariffuddin Tandjung (hal. 772)101 “Dago” karya Agam Wispi (hal. 89)102 Dago” karya Agam Wispi (hal. 89)103 “Surabaya” karya Agam Wispi (hal. 122)
151
perjuangan hidup rakyat menghadapi rintangan yang berat namun ia tetap tegar.
Selain memiliki kekuatan yang besar, dalam perjuangan, rakyat juga memiliki sikap
optimis memandang datangnya masa depan, yang diungkapkan dengan ”akan datang
masanya jalan-jalan bertabur bunga” seperti ”fajar yang terbit esok”, dan kini ”tujuan
diambang pintu”;104 ”pembebasan adalah kepastian”;105
Pesoalan nyata yang dihadapi oleh rakyat adalah ketika berhadapan dengan
penguasa-penguasa yang tidak tahu diri; penguasa-penguasa yang tidak peduli
dengan usaha rakyat yang bekerja keras dalam ”membalik tanah mencairkan logam
mendidihkan air di dapur” atau ”membelokkan sungai-sungai membuat rangkaian
permai”.106 Rakyat juga mempertanyakan, ”apa gunanya banyak jenderal/jika petani
tiada aman/apa arti tanda jasa berjubel/jika manipol dibungkam”.107 Karena itu rakyat
harus bersiap menggiring mereka (para jenderal) ke lubang kubur.108 Masih ada
persoalan lain yang dihadapi rakyat, yaitu harga beras yang melonjak.109 Penguasa
tidak mempedulikan rakyat karena para jaksa dan para menteri hanya berfoya-foya
dalam acara liburan padahal sebutir nasi yang dimakan rakyat adalah pergulatan
tanpa ampun.110 Rakyat juga tidak luput dari persoalan yang diakibatkan oleh praktik
penanaman modal asing sehingga mereka mengajukan protes kepada Presiden
104 Surabaya” karya Agam Wispi (hal. 122)105 “Orang-orang Lorong” karya Agam Wispi (hal. 62)106 “Melalui Pintu Terbuka” karya Agam Wispi (hal. 69-71)107 ”Berdebur Ombak Berdebur” karya Agam Wispi (hal. 111)108 ”Berdebur Ombak Berdebur” karya Agam Wispi (hal. 111)109 “Corat-coret Dinding” karya Agam Wispi (hal. 76); “Kisah Tukang Obat Kebudayaan” karya Agam Wispi (hal. 106)110 ”Sebuah Peringatan” karya Asmoro Rachman Hadi (hal. 202)
152
Soekarno, ”hati ini pedih ditindas modal asing”.111 Ketika rakyat menjalankan
Revolusi, penguasa-penguasa ternyata melakukan aksi kontra-Revolusi sehingga
rakyat mengecam keras, ”awas! Penguasa jahat dan kontra revolusi”.112
f. Persoalan-persoalan Lain
Di samping persoalan-persoalan yang telah dibicarakan, puisi-puisi Gugur
Merah juga mengemukakan persoalan-persoalan lainnya, seperti Trikora (Tri
Komando Rakyat) yang diungkapkan sebagai ”nyala” dan ”bara” di dada rakyat. 113
atau Dwikora (ganyang Malaysia dan perkuat ketahanan revolusi).114 Persoalan lain
yang disinggung adalah perebutan Irian Barat. Para sukarelawan datang ke Irian
Jaya/Barat (sekarang Papua) dengan cinta dan wujud cinta kepada tanah air
Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Hermanus, Wages, Simon, dan Samori.115
Sehubungan dengan pembebasan Irian Barat, sebuah puisi mengemukakan bahwa
rakyat (kaum tani) bersatu padu dengan tentara membela Irian Jaya.116
Bangsa Indonesia juga aktif ikut serta mewujudkan perdamaian dunia. Hal ini
diwujudkan dengan pengiriman pasukan Garuda ke daerah-daerah perang di bawah
naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), misalnya dihadirkan dalam salah satu
puisi yang mengungkapkan bahwa langkah Pasukan Garuda ”mengesan tiap bumi
111 “Balada Rakyat Indonesia” karya F.L. Risakota (hal. 330)112 ”Berita dari Buleleng” karya Putu Oka (hal. 576)113 “Ibu, Aku Teken Sukarelawan” karya Budiman Sudarsono (hal. 260)114 “Salam Seorang Prajurit” karya F.L. Risakota (hal. 350)115 “Hermanus o Hermanus” karya Sutikno W.S. (hal. 827)116 ”Bedilpacul Ditangan” karya Sudisma (hal. 804)
153
yang rindu merdeka”.117 Hal ini sebagai wujud semboyan bangsa Indonesia bahwa
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai.118
7.2 Antologi Laporan dari Bawah
Persoalan-persoalan sosial politik yang dikemukakan dalam antologi Laporan
dari Bawah dapat ditelusuri melalui tema cerpen (lampiran tabel 8). Tema-tema
tersebut menunjukkan kecenderungan keterlibatan para pengarang Lekra dalam
persoalan sosial politik berdasarkan perspektif ideologi Marxis. Persoalan-persoalan
sosial politik yang bernilai strategis dalam perjuangan PKI lebih dalam melibatkan
para pengarang ketimbang persoalan sosial politik yang bernilai nasional. Karena itu,
cerpen-cerpen yang dihasilkan menunjukkan keterlibatan sastra dalam pergolakan
ideologi, sosial, dan politik. Cerpen-cerpen tersebut mengambil bentuk lain
pergerakan PKI, yaitu dalam dunia sastra atau kebudayaan namun bukan untuk
membangun dunia sastra dan kebudayaan tersebut tetapi sastra dan kebudayaan
sebagai alat perjuangan politik. Hal ini sangat jelas di dalam cerpen-cerpen Lekra,
lebih-lebih pada cerpen-cerpen propaganda (lampiran tabel 8).
7.2.1 Persoalan-persoalan Strategis dalam Perjuangan PKI
a. Tanah dan Kaum Tani
Persoalan-persoalan di seputar konflik pertanahan yang adalah representasi
ide revolusioner di bidang hak tanah dan tata guna tanah (landreform) dalam
117 “Pergilah” karya F.L. Risakota (hal. 322)118 “Rindu Damai” karya J.G.A. Putu Sinden (hal. 404)
154
kerangka Revolusi Indonesia, yang diwujudkan menjadi dua undang-undang negara,
yaitu UUPA dan UUPBH. Persoalan ini muncul misalnya dalam cerpen ”Boyolali”
karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 50-51). Cerpen ini mempersoalkan bahwa
pelaksanaan landreform, UUPA, dan UUPBH tidak sesuai dengan harapan,
sebagaimana hal itu terjadi di Desa Ketaon (Boyolali). Persoalan yang sama muncul
pula di dalam cerpen ”Pak Ibrahim dan Transfusi” karya Bambang Sukowati (hal.
68). Agar tanah milik H. Ibrahim tidak dibagi-bagikan kepada petani, ia berusaha
”membalik nama tanah-tanah miliknya”.
Dalam cerpen ”Lelaki Itu Datang Lagi” karya L.S. Retno (hal. 155-161)
dikemukakan bahwa munculnya sengketa tanah di antara kaum tani dan tuan tanah
adalah akibat adanya penyelewengan landreform, UUPA, dan UUPBH. Hal itu
dilukiskan melalui perasaan cemas yang selalu dialami oleh Ibu Bungaintan karena
ancaman pihak perkebunan yang sewaktu-waktu akan mengusir dirinyanya dan
petani-petani lainnya dan mentraktor tanah yang selama ini mereka garap. Sengketa
tanah kembali muncul dalam beberapa cerpen seperti ”Pengadilan Tani” karya
Sugiarti Siswadi (hal. 445-456); ”Ketika Padi Mulai Menguning” karya T.B. Darwin
Effendie (hal 494-496; ), ”Paman” karya L.S. Retno (hal. 146-154). Pada dasarnya
pokok persoalan cerpen-cerpen tersebut adalah tuan tanah yang tidak mau
menyerahkan kelebihan tanahnya kepada kaum tani. Dalam cerpen ”Bibi Kerti” karya
Putu Oka (hal. 305-309) dikemukakan usaha Bibi Kerti dalam memepertahankan
155
tanahnya dari pengakuan paksa tetangganya, Intaran. Bibi Kerti mendasarkan
perjuangannya di atas landreform.
Persoalan lain yang dialami oleh kaum tani adalah ketidakadilan dalam sistem
bagi hasil. Sehubungan dengan hal itu, kaum tani menuntut keadilan dalam
pembagian hasil panen (sesuai dengan UUPBH) namun tuan tanah tetap menolak
tuntutan kaum tani, sebagaimana persoalan ini muncul di dalam cerpen ”Dua
Kemenangan” karya Dwijono (hal. 104-107). Permasalahan yang sama juga
dikemukakan dalam cerpen ”Trisik” karya Misbach Tamrin (hal. 224-227). Di Trisik
setan desa memeras tenaga dan keringat kaum tani demi kekayaan sendiri dan kaum
tani hidup semakin miskin.
Apakah hati kawan-kawan tidak akan tergugah dan merasa gemas? Jika mereka, petani-petani di desa itu, selama seratus hari siang malam telah menggugurkan beberapa bukit untuk meratakan sebuah sungai, dan ketika mereka menaburkan benih di atasnya, datang di siang bolong birokrat-birokrat jahat mengusir mereka? Betapa Pak Nojo tidak tersedu-sedu. Tanah garapan mereka bukan dikorbankan untuk dewa, bukan pula bagi Nyi Loro Kidul yang keramat, melainkan menjadi mangsa dan dirampas oleh si setan desa. Dan tragik ini adalah salah satu tragik yang paling memilukan sepanjang kami kenal. Semua kami tahu betul, tidak ada kanvas yang bisa menampungnya, walau dengan kemahiran seorang pelukis ”Grand Master” sekalipun, pasti tidak akan mampu menggambarkannya secara benar-benar fitri seperti yang kami saksikan. Kau dapat bayangkan kawan. Kemana harga keringat mereka yang terperas di atas terik dan di malam dingin menusuk, serta beberapa tetes air mata yang tak ternilai itu? Setan-setan desa itu tidak kenal belas kasihan, dan tidak pernah membayar utangnya terhadap hasil jerih payah kaum tani, walau ia berada di tepi kolong kuburnya sekalipun. Petani-petani itu telah menaklukan bukit, dan mengalahkan sungai, tetapi masih berdaya dibawah tongkat penindasan. (cerpen ”Trisik” karya Misbach Tamrin, hal. 225)
Ketika tuntutan tidak dipenuhi oleh tuan tanah, kaum tani melakukan
perlawanan dengan cara tidak mau membayar sewa tanah dan tidak mau
mengembalikan tanah gadai, sebagaimana hal itu dikemukakan dalam cerpen
”Paman” karya L.S. Retno (hal. 146-154). Dalam cerpen L.S. Retno yang lainnya
dikemuakan bahwa perlawanan kaum tani dilakukan dengan cara tetap bertahan di
156
tanah garapan mereka walaupun ada ancaman penggusuran dari pihak perkebunan
(cerpen ”Lelaki Itu Datang Lagi”, hal. 155-161).
b. Buruh dan Upah
Persoalan yang dialami oleh kaum buruh adalah upah yang sangat rendah
sehingga mereka hidup miskin. Persoalan ini memicu perjuangan kaum buruh yang
terungkap dalam cerpen-cerpen kubu Lekra (lampiran tabel 7). Cerpen-cerpen
tersebut pada umumnya mengemukakan perjuangan kaum buruh melawan majikan
untuk memperoleh kenaikan upah melalui serikat atau organisasi buruh yang
bernaung di bawah PKI. Dalam cerpen ”Besok” karya Bachtiar Siagian (hal. 62-64)
dikemukakan bentrokan antara Saring (buruh pelabuhan) dengan seorang komisaris
(orang Belanda). Bentrokan ini terjadi karena kebencian Saring terhadap orang
Belanda di pelabuhan.
Perjuangan kaum buruh perempuan di kota Solo yang dipimpin oleh Bu
Partinah (dari SOBSI) tidak seperti perjuangan buruh pada umumnya yaitu menuntut
kenaikan upah kepada majikan tetapi sebagaimana hal itu dikemukakan dalam cerpen
”Delegasi” karya K. Sunarjo (hal. 130-132), mereka berdemonstrasi di sebuah kantor
jawatan untuk menuntut agar negara menghentikan mengimpor barang mewah (lux)
dan menurunkan harga-harga kebutuhan pokok. Menurut cerpen ini, buruh-buruh
perempuan itu adalah Kartini-Kartini, srikandi-srikandi, pahlawan-pahlawan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa cerpen ini mengungkapkan suatu pujian kepada kaum
buruh, khususnya kepada kaum buruh perempuan.
157
Dalam cerpen ”Perjuangan dan Hidup” karya Lyn Suharti (hal. 180-183)
dikemukakan persoalan hidup kaum miskin di ibu kota. Narpi berani mengabil
keputusan, pindah kerja, meninggalkan Mirjam (kekasihnya), untuk memperoleh
upah yang lebih tinggi. Cerpen ”Kakitangan dan Pembela” karya Siwa Patria (hal.
394-398) memberi gambaran yang utuh mengenai kehidupan tertindas kaum buruh
dan perjuangan mereka, melalui tokoh Pak Wikrama (mandor I sebuah perkebunan di
Asahan). Ia telah bekerja selama 30 tahun namun tetap hidup miskin. Pak Wikrama
memperjuangkan nasibnya agar terbebas dari penderitaanya sebagai buruh, melalui
organisasi atau serikat buruh. Dalam cerpen ”Kisah Bung Hardjo” karya Widjaja (hal.
510-514), sebagaimana perjuangan Pak Wikrama, Hardjo (seorang buruh kecil),
berjuang melalui organisasi buruh ”SB”, salah satu organisasi buruh yang berada di
bawah SOBSI (yang diketuai oleh Karnadi). Dalam cerpen ”Tantangan” karya
Nurlan (hal. 261-263) dikisahkan kehidupan buruh yang teramat miskin (Kalang,
Baki, dan buruh lannya). Kalang memimpin pemogokan untuk menuntut kenaikan
gaji kepada majikan atau toke yang hidup mewah tanpa kerja keras.
Di samping melalui organisasi atau serikat buruh, penggalangan
kesetiakawanan merupakan cara perjuangan buruh karena dinilai menguntungkan
bagi buruh dalam hal menuntut kenaikan gaji dan memperoleh santunan kesehatan,
sebagaimana dialami oleh Pak Mul dkk. dalam cerpen ”Batuk” karya Tjak Wib (hal.
504-506). Ketika Pak Mul (seorang buruh) sakit rekan-rekan buruh lainnya
158
melakukan pemogokan bersama, yang didasari oleh prinsip setia kawan kaum buruh
dan pemogokan itu berhasil.
Ada kalanya perjuangan kaum buruh gagal karena yang bersangkutan dipecat,
seperti dalam cerpen ”Setelah Dipecat” karya S. End. Namun demikian, kisah ini
jarang muncul di dalam cerpen-cerpen Laporan dari Bawah karena akan melemahkan
semangat perjuangan kaum buruh.
c. Kemiskinan
Persoalan kemiskinan adalah tema yang sangat penting dalam antologi
Laporan dari Bawah (lampiran tabel 7). Gambaran yang dikemukakan di dalam
cerpen-cerpen tersebut menunjukkan ketragisan hidup kaum miskin (rakyat jelata).
Dalam cerpen ”Lapar” karya Bohari (hal. 80-86) Pok Inah adalah keluarga buruh
miskin di Jakarta dengan empat anak (As, Wati, Jadi, dan Hambali). Ia meminta
anaknya yang tertua (As) untuk ikut antri minyak ketimbang pergi ke sekolah dan
dirinya sendiri pergi ke Tanah Tinggi untuk ikut antri beras. Hari itu Pok Inah
memperoleh tiga liter beras tetapi Wati gagal memperoleh minyak tanah. Karena
tidak ada minyak tanah keluarga itu tidak bisa memasak nasi. Pada hari lainnya, Pok
Inah bisa memberi makan anak-anaknya karena memperoleh pinjaman beras
sebanyak dua liter dari Bu Saleh. Persoalan yang sama juga dikemukakan dalam
cerpen ”Segumpal Perjuangan” karya Sugiarti Djasman S.S. (hal. 420-422).
Dalam cerpen ”Beras” karya Tjak Wib (hal 507-508) Pak Wongso dan
keluarganya tidak hanya menghadapi ancaman kelaparan karena tidak tersedia beras
159
tetapi sisa beras yang hanya satu liter harus direlakan untuk memberi ”sokongan”
tentara yang bermalam di desanya setelah berperang. Kuntarni (siswa kelas III SR)
menyadari dirinya miskin sehingga untuk membeli gaun putih yang akan dipakai
pada perayaan Hari Kartini pada tanggal 21 April, harus kerja keras membantu
ibunya membuat gerabah.
Dalam cerpen ”Tikar dan Debu” karya Marapisingga (hal. 217-219)
dikisahkan suami istri Sidin dan Minah pada akhirnya memilih menjadi pengemis di
kota setelah ia menjual sebidang tanah di kampungnya dan sejak itu ia mengembara
dari satu desa ke desa lain menjual tenaganya dengan hanya bermodalkan cangkul.
Persoalan ini juga dikemukakan dalam cerpen ”Pergi” karya Setiawan H.S. (hal. 390-
391), yang mengemukakan bahwa seorang ibu harus meninggalkan anak-anaknya
(yang sedang tidur lelap) serta suaminya karena tidak mampu bertahan dalam hidup
yang miskin.
Walaupun jasanya dalam hal mengaspal jalan-jalan di kotanya sangat besar
tetapi Wahab (tukang aspal) tetap hidup miskin (dalam cerpen ”Tukang Aspal” karya
S. Gita, hal. 334-337). Sementara itu, S. Gita dalam cerpennya yang lain,
”Sripanggung” (hal. 338-340) kembali mengemukakan kemiskinan yang dialami
oleh kelompok ketoprak keliling. Cerpen ini mengisahkan suatu perjuangan hidup
rombongan ketoprak yang berusaha keras menyambung hidup ketika pertunjukan
sepi penonton dengan cara menjual barang-barang yang dimiliki.
160
Cerpen-cerpen yang mengemukakan persoalan hidup miskin, menderita,
melarat, kelaparan, sebenarnya tidak hanya mengemukakan suatu gambaran hidup
rakyat jelata yang tragis tetapi juga mengemukakan perjuangan atau perlawanan
terhadap keadaan atau perlawanan terhadap agen-agen kemiskinan. Bagi pengarang-
pengarang kubu Lekra yang menganut paham Marxis dan realisme sosialis, realitas
kemiskinan tersebut dipergunakan sebagai titik tolak menuju realitas berikutnya
karena menurut ideologi Marxis, tidak cukup hanya memahami dunia tetapi
bagaimana mengubah dunia.
d. Kesenjangan Kelas
Sindiran terhadap hidup mewah kelas orang kaya oleh kelas orang miskin
dikemukakan dalam cerpen ”Dia Yang Berkebudayaan” karya Ahmad Jacub (hal. 42-
47). Dalam cerpen tersebut sindiran dikemukakan oleh Dimun (kawan seperjuangan
Hartono, setelah penandatanganan kesepakatan dalam KMB, naik pangkat dengan
cepat). Sebaliknya, Dimun tetap miskin dan Hartono kaya raya sehingga disebut
dengan nama ”Kabir” (kapitalis birokrat atau orang kaya yang menjadi pejabat
pemerintah). Kesenjangan semacam itu dialami juga oleh Saman (yang hidup miskin)
dan Hadi (yang kaya raya)119 padahal mereka dulu adalah teman seperjuangan.
Dalam cerpen ”Air Pasang” karya Lilik M. (hal. 172-174) dikemukakan
kesenjangan kelas terjadi di antara kelas nelayan (Hasan) dan kelas tengkulak ikan
(Haji Zakariah) di Pantai Ampenan (Lombok). Cerpen ”Tetap Bertahan” karya
119 “Kemana Arah” (hal. 328-331)
161
Sesongko (hal. 380-387) mengangkat persoalan yang masih berkisar pada
kesenjangan kelas antara orang kebanyakan dengan haji. Kesenjangan kelas yang
juga terjadi di sebuah kantor pemerintah, antara sep (atasan) dengan bawahan
(”aku”), diceritakan dalam cerpen ”Sepku” karya Pramoedya Ananta Toer (hal. 294-
297). Atasan bisa seenaknya libur dan memperoleh gaji tinggi dan tidak demikian
halnya dengan bawahan. Kesenjangan di antara Raden Gantarpati (orang kaya) dan
Kasbi (bawahannya) dikemukakan dalam cerpen ”Tak Ada Bekas” karya S. Gita (hal.
341-344). Pada umumnya persoalan kesenjangan kelas diselesaikan dengan cara
melakukan perlawanan sehingga kelas yang ditindas memperoleh kemenangan
berupa tidak adanya lagi kesenjangan kelas. Hal ini menunjukkan bahwa cerpen
menggunakan realitas untuk mencapai realitas yang seharusnya. Keadaan ini sangat
cocok dengan konsep ”realitas” yang dikembangkan oleh teori sastra Marxis.
e. Imperialisme dan Kolonialisme
Praktik-praktik imperialisme dan kolonialisme menimbulkan penderitaan
rakyat. Hal inilah yang memicu perlawanan terhadap imperialisme, kolonialisme, dan
feodalisme. Akibat buruk imperialisme dikemuakan dalam cerpen ”Semalam dalam
Tahanan” karya Made Serinata (hal. 192-201). Sementara itu, dalam cerpen
”Keinginan seorang Perempuan” karya Abdul Kohar Ibrahim (hal. 35-40),
dikemukakan keburukan-keburukan imperialisme Portugis atau Eropa. Menurut
cerpen ini, di Angola, kopi, jagung, lada, kapas, budak-budak, emas, berlian, dan besi
dikuasai oleh imperialisme Portugis. Dalam cerpen ”Sebuah Lagu” karya Nurlan (hal.
162
264-268) dikemukakan sikap anti-Amerika (antiimperialisme), melalui pernyataan
simpati atau solidaritas terhadap perjuangan rakyat Vietnam melawan Amerika.
Dalam cerpen tersebut digambarkan bahwa tentara Amerika menembaki petani-petani
Vietnam dengan sangat kejam. Hal itu menimbulkan perasaan solidaritas bangsa
Indonesia terhadap Vietnam melalui suatu demonstrasi di Gedung Pemuda (Jakarta).
Sejalan dengan cerpen tersebut, persoalan antiimperialisme juga dikemukakan dalam
cerpen ”Palu Artit” karya Sulami (467-469). Sementara itu, dalam cerpen ”Kuntarni”
karya N. Rosa (hal. 236-238) dikemukakan bahwa liberalisme yang identik dengan
imperialisme tidak cocok dengan keadaan di Indonesia. Dalam cerpen ini juga
dipaparkan alasan penolakan tersebut, bahwa imperialisme bertolak belakang dengan
sosialisme. Dalam cerpen ”Pak Wirjo Komunis Tua” karya Zein D. Datu (hal. 526-
531) dikemukakan bahwa di sebuah pabrik gula milik asing di Jawa Timur terjadi
kemelaratan karena keuntungan pabrik hanya untuk kemakmuran orang Belanda.
Pengisapan imperialis menyebabkan buruh-buruh pribumi berbadan kurus kering dan
mereka tidur di bedeng-bedeng yang menyerupai kandang, dan anak-anak buruh
kekurangan vitamin.
7.2.2 Persoalan-persoalan Minor
Di samping persoalan-persoalan yang telah diuraikan, persoalan-persoalan
yang dibicarakan pada bagian ini tidak merupakan persoalan yang kurang
163
memperoleh tempat di kalangan pengarang-pengarang Lekra. Persoalan
pemberontakan bersenjata di daerah-daerah (PRRI) misalnya adalah ancaman bagi
penduduk di desa-desa, sebagaimana dikemukakan dalam cerpen ”Kesatuannya Lain”
karya Busjari Latif (hal. 88-90). Di kampung Tjingkaring (Bukit Tinggi) PRRI
merampok harta kekayaan Minah, yang suaminya sendiri adalah anggota PRRI. Hal
ini menunjukkan bahwa PRRI sangat kejam. Pada cerpen yang berjudul ”Atik” karya
Koe Iramanto (hal. 134-136) dikemukakan bahwa pembrontak PRRI telah membunuh
ayah Atik tetapi pihak keluarga, terutama istri (ibu Atik) memaknai kematian
suaminya sebagai suatu ”pengorbanan yang diminta oleh perjuangan mahabesar”.
Perlawanan terhadap feodalisme dilakukan oleh Si Jantan (rakyat jelata)
terhadap Sultan Alamsjah (penguasa di Pematangkasih), yang dikemukakan dalam
cerpen ”Si Jantan Karang Di Pantai” karya Djakaria (hal. 96-101). Perlawanan
tersebut dilakukan oleh Si Jantan karena ia tidak bisa menerima sikap Sultan
Alamsjah yang sewenang-wenang (merampas milik rakyat, menghukum rakyat yang
tidak bersalah dalam kerja paksa, serta mengawini paksa Si Umbut –kekasih hati Si
Jantan). Permasalahan antifeodalisme dikemukakan pula dalam cerpen ”Raden
Rahardjo” karya Moedjiono (hal. 230-234). Menurut lurah yang mengadili
perselisihan nama Rakimin (rakyat biasa) dan Raden Sastra (kaum ningrat Jawa),
tidak ada gunanya mempertentangkan perbedaan berdasarkan keturunan karena
banyak sekali kaum ningrat yang sudah ketinggalan zaman.
164
Perlawanan terhadap tradisi hidup lama (kuno) secara simbolis dikemukakan
melalui cara hidup seorang nenek di ”rumah tua-nya” dalam cerpen ”Rumah Tua”
karya T. Iskandar (hal. 478-485). Nenek tetap ingin mempertahankan rumahnya
padahal sudah rapuh. Nenek tetap pula ingin hidup dengan segala tradisi (dan agama)
masa lalu yang telah ketinggalan zaman. Di pihak lain, cucu-cucu nenek
menginginkan agar rumah dan tradisi lama ditinggalkan dengan cara merubuhkan
rumah tersebut. Akhirnya ”rumah tua itu kandas sungguh-sungguh telah runtuh. Dan
dalam tumpukan runtuhan kayu terhimpit nenek kami yang kami cintai, yang mati
bersama pikiran tuanya” (hal. 485).
Nasakom adalah suatu pilihan dalam rangka menyelesaikan Revolusi
Indonesia. Demikianlah inti permasalahan tentang Nasakom yang disinggung dalam
percakapan yang melibatkan tiga wartawan Indonesia (dari Jakarta) dengan dua orang
pelaut Filifina (Jose dan Ildefonso), dalam cerpen ”Don Mariano” karya Amarzan
Ismail Hamid (hal. 52-56). Dari percakapan tersebut dikemukakan bahwa Nasakom
mencerminkan tiga kekuatan yang bersatu dan bisa diterapkan di berbagai lapangan,
seperti di pers. Menurut Presiden Soekarno (1964: 544), Nasakom adalah tiga
penggolongan objektif kesadaran politik rakyat Indonesia. Dalam rangka Revolusi
Indonesia yang berdasarkan gotong royong, Nasakom adalah porosnya. Dengan
adanya Naskom semua golongan rakyat Indonesia bersatu padu mendukung revolusi
sebagai satu bentuk gabungan tenaga revolusioner (hal. 467).
165
Perjuangan merebut Irian Barat dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi (II)
mendapat ulasan yang panjang. Tetapi dalam cerpen-cerpen Lekra tidak banyak
dibicarakan, mulai muncul dalam pidato bulan Agustus 1950 hingga 1963. Pada
bulan Agustus 1952, Presiden Soekarno (1964: 152) mengemukakan bahwa persoalan
Irian Barat ibarat duri dalam daging bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu,
dianjurkan oleh Presiden Soekarno agar bangsa Indonesia tidak tinggal diam. Puncak
pidato Presiden Soekarno sehubungan dengan persoalan Irian Barat adalah dalam
pidato berjudul ”Tahun Kemenangan” (Agustus, 1962), yang menyerukan
TRIKORA:
Maka atas dasar ini, lahirlah TRIKORA. Lahirlah Tri Komando Rakyat, jang saja atas nama Rakjat Gagalkan pembentukan ”Negara Papua”! Kibarkan Sang Merah Putih dimana-mana di Irian Barat!, siap-siaplah untuk komando mobilisasi-umum! –Demikianlah isi Trikora itu. Ketjuali itu Angkatan Perang diperintahkan untuk siap menerima perintah menggempur kolonialisme Belanda di Irian Barat setiap waktu, membebaskan Irian Barat dengan kekerasan sendjata setiap saat. (hal. 500)
Dalam beberapa cerpen dikemuakan bahwa perjuangan merebut Irian Barat
oleh para pemuda asal Irian Barat sendiri penuh dengan penderitaan, misalnya dalam
cerpen ”Danau Tigi Merah Berdarah” karya Abdul Kohar Ibrahim (hal. 16-18).
Cerpen ini mengemukakan kisah perlawanan rakyat Irian Barat yang dipimpin oleh
Marius, di Danau Tiggi, melawan Belanda. Akhir cerpen ini adalah kekalahan pihak
Belanda dan kemenangan itu dibayar juga oleh korban yang berjatuhan di pihak
rakyat Irian Barat.
Persoalan harapan yang dikemukakan dalam sejumlah cerpen Laporan dari
Bawah merupakan tujuan dari perjuangan hidup rakyat jelata yang miskin, menderita,
166
lapar, dan melarat. Adanya keyakinan terhadap hidup yang lebih baik dimiliki oleh
Mirjam (buruh percetakan di Jakarta), yang dikemukakan dalam cerpen ”Perjuangan
dan Hidup” karya Lyn Suharti (hal. 180-183). Menurut Mirjam, ”Manusia bukan
manusia, jika tak punya angan-angan untuk haridepannya” (hal. 181). Cerpen ”Onah
Ditepi Ciliwung” karya S. Djin (hal. 318-324) mengemukakan harapan dan impian
rakyat (orang-orang miskin, menderita, jelata) digantungkan kepada PKI.
Menggantungkan harapan rakyat jelata kepada PKI juga diyakini oleh Pak Wirjo,
sebagaimana dikemukakan dalam cerpen ”Pak Wirjo Komunis Tua” karya Zein D.
Datu (hal. 526-531). Manto (seorang buruh di pabrik gula milik Belanda di Jawa
Timur) meyakini bahwa akan datang saatnya nanti buruh akan menjadi tuan di negeri
sendiri.
7.3 Pararelitas Persoalan dalam Puisi dan Cerpen dengan Teks Nonsastra
Pengkajian persoalan-persoalan sosial politik yang dikemukakan di dalam
puisi-puisi dan cerpen-cerpen Lekra, membuktikan bahwa sastra dan sastrawan
terlibat di dalam Revolusi Indonesia. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam
Mukadimah Lekra (1950). Lekra membangun kebudayaan, seni, dan sastra secara
revolusioner dengan menegaskan bahwa dalam bidang kebudayaan harus ada
perlawanan (revolusi) terhadap imperialisme, kolonialisme, dan feodalisme.
Walaupun demikian, pada kenyataannya sastrawan Lekra lebih dalam melibatkan diri
pada persoalan-persoalan yang bernilai strategis bagi gerakan PKI (lihat lampiran
tabel 8) karena PKI dan Lekra berhubungan secara ideologi dan politik. Hal itu
167
tampak pada pengungkapan persoalan-persoalan sosial politik dalam puisi dan cerpen
yang terhimpun dalam kedua antologi tersebut.
Persoalan-persoalan sosial politik yang dikemukakan dalam puisi dan cerpen
menunjukkan pararelitas antara sastra dengan teks nonsastra. Sesuai dengan teori
New Historicism, sastra dan teks nonsastra secara bersama-sama mengartikulasikan
keadaan zamannya. Persoalan-persoalan sosial politik yang bernilai strategis bagi PKI
yang dikemukakan dalam puisi pada dasarnya sama dengan yang dikemukakan di
dalam cerpen, seperti kaum tani dan tanah, buruh dan upah, kemiskinan dan
kesenjangan kelas, imperialisme dan kolonialisme, dan harapan hidup (sosialisme).
Persoalan-persoalan minor yang dibahas di dalam puisi dan cerpen, yaitu gerombolan
bersenjata, cinta tanah air, Revolusi Indonesia, kemerdekaan, konsep dan perjuangan
rakyat, nasakom, Irian Barat. Persoalan-persoalan tersebut menunjukkan pararelitas
karya sastra denga teks nonsastra karena dibicarakan juga di dalam buku Dibawah
Bendera Revolusi (II) dan di dalam buku Revolusi Indonesia, Latarbelakang sedjarah
dan haridepannja.
Melalui pidato-pidato dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (II) dikethui
bahwa selama masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia mengalami
persoalan-persoalan seperti: kemerdekaan, revolusi, serikat buruh, nasionalisme,
perang terhadap imperialisme-kolonialisme, persatuan dan kesatuan, kapitalisme,
masyarakat adil dan makmur, kesadaran kelas, separatisme, politik luar negeri,
perebutan Irian Barat, konfrontasi dengan Malaysia, gotong royong, demokrasi,
168
ekonomi, partai politik, kesenian, perjuangan, ideologi, agraria, Manipol USDEK,
sosialisme, Nasakom, tanah dan kaum tani (landreform).
Dalam buku Revolusi Indonesia, Latarbelakang sedjarah dan haridepannja
dikemukakan persoalan-persoalan yang hampir sama dengan apa yang dikemukakan
di dalam pidato-pidato Presiden Soekarno, yang menunjukkan kesejalanan pandangan
di antara keduanya. Persoalan-persoalan tersebut seperti: pengaruh kuat imperialisme
(di lapangan politik, ekonomi, dan kebudayaan), kolonialisem adalah ciri hakiki dari
imperialisme, pengisapan dan penindasan kaum feodal kepada kaum tani,
neokolonialisme, persaudaraan di antara negara-negara terjajah atau negara-negara
sosialialisme, kaum tani dan tanah (revolusi agraria, landreform, UUPA dan
UUPBH), revolusi, A.S. sebagai musuh nomor satu bangsa Indonesia, sosialisme
sebagai masa depan Revolusi Indonesia.
Sejalan dengan strategi perjuangan PKI yang menjadikan kaum tani dan buruh
sebagai landasan massa perjuangannya, sastrawan kubu Lekra mengkhususkan diri
dalam persoalan-persoalan hidup kaum tani dan buruh. Dalam kerangka ini, puisi-
puisi dan cerpen-cerpen tersebut berfungsi sebagai senjata perjuangan dalam
menghancurkan kaum penindas rakyat yaitu imperialisme, kolonialisme, dan
feodalisme. Perjuangan tersebut ada di bawah cita-cita Marxisme dan komando PKI.
Keadaan yang demikian melahirkan karya-karya progresif dan revolusioner, yang
tercermin melalui diksi yang digunakan misalnya di dalam puisi-puisi Gugur Merah
(lampiran tabel 1-5).
169
Lekra menganut konsep seni untuk rakyat dan sejalan dengan pernyataan
massa rakyat pekerja sebagai pencipta sejarah, yang direpresentasikan dalam karya-
karya puisi dan cerpen dalam wujud cenderung menghadirkan rakyat sebagai subjek
utama, yang harus dihormati, dipuja, dan dibela. Lekra memang tidak
mengembangkan bentuk-bentuk khas karya sastra Indonesia modern untuk kalangan
rakyat, sebagaimana hal itu dalam sastra tradisional atau dalam kesenian rakyat.
Pelaku-pelaku sastra untuk rakyat tetap dipegang oleh kalangan sastrawan dan
penerapan konsep seni untuk rakyat adalah berupa penonjolan aspek perlawanan
rakyat untuk mencapai pembebasan dari penindasan. Hal ini sejalan dengan rumusan
Lekra mengenai Revolusi Agustus 1945, yaitu sebagai usaha pembebasan rakyat
Indonesia dari penjajahan, pengisapan, dan penindasan feodal.
Keterlibatan Lekra dalam persoalan sosial politik praktis tidak hanya
dilakukan melalui karya seni tetapi juga melalui forum-forum konferensi dan
kongres. Resolusi-resolusi yang dihasilkan akan dijabarkan kembali dalam karya
seni, termasuk pula dalam karya sastra. Hal ini tampak nyata misalnya dalam
Resolusi Konfrenas II Lekra, yang menyangkut (1) kebangkitan kaum tani, (2) anti-
Amerika Serikat (dari segi politik, ekonomi, kebudayaan); yang sejalan dengan
munculnya persoalan-persoalan sosial politik dalam kedua antologi ini.
Sebagai lembaga kebudayaan, Lekra memegang kendali dan garis komando
kebijakan-kebijakan yang harus dipatuhi oleh para seniman. Kendali dan garis
komando tersebut berdiri di atas kebijakan PKI, yaitu (1) seni untuk rakyat dan
170
berkepribadian rakyat, (2) seni revolusioner, (3) dukungan PKI terhadap kebijakan
Presiden Soekarno, (4) memperjuangkan sosialisme/komunisme. Keadaan yang
sedemikian rupa adalah gejala umum dan melekat erat pada paham realisme sosialis,
yaitu sastrawan tunduk di bawah perintah partai dan garis politik organisasi (Farid,
1997: xiv-xv).
171