BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...
Transcript of BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI KAIN ...
121
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI
KAIN TENUN SONGKET BALI
Komodifikasi songket Bali sebenarnya adalah bagian dari gejala sosial
masyarakat Bali yang semakin modern. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab komodifikasi songket Bali antara lain perubahan struktur sosial
masyarakat, pola konsumsi yang berubah, tingkat pendidikan, pengaruh media
dengan ideologi globalisasinya dan perkembangan sektor pariwisata dan indutri
kreatif di Bali.
6.1. Perubahan Struktur Sosial Masyarakat
Struktur masyarakat dalam kelompok, dalam kegiatan dan pengawasan
serta organisasinya selalu mengalami perubahan (Daldjoen, 1979). Perubahan
sosial sebagai bagian dari proses sosial mencakup perubahan dalam struktur,
fungsi dan budaya kelompok kemasyarakatan. Perubahan sosial berarti juga
perubahan struktur, kontak kontak budaya yang menimbulkan akulturasi dan
konflik budaya. Perubahan sosial dapat terjadi secara wajar maupun
direncanakan. Secara jelas perubahan yang diinginkan adalah sebuah kemajuan.
Menurut Todd (dalam Daldjoen, 1979) kemajuan yang diinginkan dalam sebuah
perubahan sosial adalah semua peningkatan atau pertambahan dalam hal
kemakmuran, kesehatan, jumlah penduduk, ketertiban, dan kesempatan bagi
masyarakat. Dalam hal ini para sosiolog menyebutkan ada empat faktor penyebab
perubahan sosial yaitu: lingkungan alam, perubahan penduduk, isolasi dan kontak
122
sosial, serta struktur suatu budaya. Dalam kaitannya dengan kebudayaan
Koentjaraningrat (1985) berpendapat bahwa perubahan sebuah kebudayaan
melalui proses internal yaitu evolusi kebudayaan dan proses eksternal yaitu proses
difusi dan komunikasi kebudayaan.
Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang terus menerus bergerak dalam
bingkai perubahan. Manuaba (dalam Supartha, 1999) mengatakan bahwa
masyarakat Bali termasuk kelompok masyarakat yang sangat dinamik dalam
perubahan. Saat ini menurut Geriya (2000) Bali berada pada fase transisi dimana
masyarakatnya menjadi semakin heterogen yang masih mendukung sekaligus
dikotomi kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Secara meluas terjadi
perubahan dimana struktur masyarakat yang dahulu berorientasi pada pertanian
atau agraris berubah menjadi masyarakat yang lebih industrialis dengan segala
bentuk karakter masyarakat yang mencirikannya.
6.1.1. Struktur Masyarakat Agraris ke Masyarakat Non Agraris
Profil kebudayaan Bali pasca-agraris berwajah ganda yaitu dengan wajah
tradisional dan wajah modern (Vickers dalam Geriya, 1996). Menurut Bagus
(1999) hasil penelitian Clifford Geertz keadaan Bali sebelum peristiwa G 30S/PKI
keadaan masyarakat belum berorientasi pasar dan sangat kental dengan kehidupan
kolektifnya. Baru stelah proses PJP I masyarakat Bali telah berubah secara
mendasar menjadi masyarakat berorientasi pasar.
Bali telah berabad-abad hidup mengandalkan sektor pertanian.
Kebudayaan tradisional Bali adalah kebudayaan tanah, kebudayaan pertanian.
123
Jika jiwa setiap orang Bali melekat pada tanah nenek moyang mereka, pada desa
tempat nenek moyang mereka dilahirkan. Tanah adalah pusat kehidupan orang
Bali, karena pertanian adalah mata pencaharian utama orang Bali. Seluruh seni
budaya yang lahir bahkan agama orang Bali berkaitan dengan tanah. Sektor
pertanian di Bali merupakan bagian dari kebudayaan Bali itu sendiri. Masyarakat
Bali adalah petani yang handal menanam padi. Pertanian sawah di Bali sudah
sangat terkenal karena sistem subak yang mengatur irigasi persawaan secara
efektif dan efisien karena menerapkan dimensi sosio religious masyarakat. Dapat
dikatakan seluruh kebudayaan yang tumbuh di Bali berhubungan dengan sikap
dan mental masyarakat agraris. Pada masyarakat Bali agraris ukuran kesejahteraan
adalah luas kepemilikan sawah dan panen yang dihasilkannya. Wilayah garapan
sawah yang luas ini dikerjakan bersama-sama dalam kelompok tani yang kuat
solidaritasnya. Waktu senggang dalam siklus menanam dua kali dalam setahun
dimamfaatkan dengan kegiatan sosial serta mengembangkan daya cipta dan karsa
dalam kreatifitas berkesenian dan berkebudayaan.
Gambar 6.1
Kesederhanaan Masyarakat Agraris Bali dalam Berbusana
Sumber: http://senja17.blogspot.com
124
Sebagai masyarakat agraris masyarakat Bali adalah masyarakat yang
kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat. Adat istiadat ini sudah
mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan
atau perbuatan manusia Bali dalam kehidupan sosialnya. Secara tradisional orang
Bali melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-
kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Kebiasaan-kebiasaan
yang diwariskan turun temurun tersebut adalah upaya untuk mengatasi fenomena
alam yang tidak dapat diramalkan (Van Peursen, 1994). Karena itu seluruh
kemampuan hidup atau kebudayaan masyarakat agraris hakikinya adalah jawaban
terhadap tantangan yang bersumber dari alam. Salah satu yang lahir dari budaya
agraris Bali adalah kerajinan tradisional Bali yang kini termasyur di
mancanegara.Tanpa pertanian budaya seni dan kerajinan masyarakat Bali sulit
berkembang.
Sampai tahun 1976 sektor pertanian Bali menyerap 67,5 persen tenaga
kerja. Kemudian menurun tiap-tiap tahunnya seiring dengan semakin menguatnya
keberadaan sektor pariwisata. Sampai tahun 2003 kontribusi sektor pertanian
dalam menyerap tenaga kerja mencapai 35,63 persen.
Tabel 6.1 Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Lapangan Pekerjaan Periode 1995-
1999
No Lapangan Kerja 1995 1996 1997 1998 1999
1 Pertanian 666.214 643.532 661.199 590.096 601.007
2 Industri 203.42 205.751 223.570 186.846 256.255
3
Perdagangan, Hotel,
dan Restoran 297.877 306.863 330.268 352.793 378.261
4 Lain-lain 437.482 429.681 430.371 46.444 466.919
Jumlah 1.603.993 1.584.827
1.645.408
1.597.179
1.702.441
Sumber : BPS Bali
125
Pergeseran sektor pertanian ke sektor industri pariwisata dalam kurun waktu
tigapuluh tahun ini dianggap sangat dramatis mengubah wajah provinsi Bali.
Salah seorang informan sambil lalu mengatakan:
“Masyarakat sekarang sudah meninggalkan pertanian khususnya yang
dekat perkotaan. Sekitar sepuluh tahun lalu kota Denpasar masih banyak
sawah disini, tapi sekarang bangunan kantor dan perumahan menggantikan
areal persawahan. Kegiatan bertanipun tersingkir. Bapak sayapun sekarang
tidak bertani lagi, sudah berusaha dibidang jasa.”
(Wawancara 8 Juni 2013).
Seiring dengan berubahnya mata pencaharian masyarakat ada beberapa aktivitas
masyarakat yang juga mulai di tinggalkan. Sang informan sambil lalu juga
mengatakan :
“Biasanya kalau sehabis bertani, atau saat menunggu masa tanam
selanjutnya petani mengerjakan ketrampilan-ketrampilan lain yang
bermamfaat. Misalnya dalam berkriya, mematung, melukis, menenun atau
berkesenian untuk kebutuhan upacara agama. Tapi sekarang banyak yang
tidak dilakukan lagi. Ibu saya dulu membuat kebaya sendiri, sekarang
banyak toko yang menjual kebaya jadi, lebih mudah membelinya.”
(Wawancara 8 Juni 2013)
Penuturan informan diatas menjelaskan bagaimana secara perlahan
perubahan kegiatan masyarakat agraris yang berubah menjadi non agraris
berdampak pada pilihan masyarakat untuk memperoleh kebutuhan mereka yakni
dengan cara membeli barang jadi dari pada membuatnya sendiri.
Pada era 1980 an hingga1990 an Bali ditandai dengan perubahan cukup
drastis dalam sistem ekonominya, yaitu mulai ditinggalkannya sektor pertanian di
pedesaan. Sektor pariwisata dan pasar industri kerajinan di perkotaan lebih
menjanjikan perolehan uang tunai yang lebih banyak dan cepat. Sebagai
gambaran, pada tahun 1970 an proporsi tenaga kerja pertanian mencapai 60-70
126
persen, dan pada tahun 2009 tinggal 35 persen. Sektor ekonomi andalan telah
bergeser dari pertanian ke jasa (pariwisata) dan industri kerajinan.
Kini pertanian tertinggal dibelakang, padahal pertanian telah menjadi
sokoguru bagi budaya tradisional Bali. Tradisi mencari merta (mata pencaharian)
di sawah dan ladang yang dianggap kampungan telah ditinggalkan, sebaliknya
sektor pariwisata yang dianggap bergengsi menjadi favorit masyarakat karena
menjanjikan lebih banyak dollar (Bagus, 2002). Menurut Bagus kaum muda
sekarang merasa ngekoh dan “jatuh gengsi” mengusahakan lahan-lahan pertanian
yang kotor. Dari sisi moral, kaum spiritual Hindu menganggap Bali sedang
berjalan menuju kaliyuga, di mana masyarakat mengalami kemajuan yang pesat
dalam aspek-aspek material namun semakin miskin dalam aspek spiritual.
Masyarakat yang dinamis ini terperangkap pada masalah-masalah keduniawian.
Dalam kitab Parasara Dharmasastra 1.33 tertulis bentuk perubahan tersebut:
“Yuge ca ye dharmas tatra ca ye dvijah , tesam ninda na kattavya yuga rupa hi te
dvijah” (aturan dan etika yang berlaku pada setiap zaman selalu berbeda).
Tradisi menyakralkan berbagai tahapan kehidupan manusia yang penting,
seperti kehamilan, kelahiran, peralihan usia, pernikahan, dan kematian, tidak
dibiarkan berlalu begitu saja. Tradisi menahannya dengan upacara, yang berisi
persyaratan yang tak boleh ditawar seperti penggunaan kain tenun dalam ritual.
Tujuannya agar tertoreh dalam batin dan menimbulkan rasa hormat. Akan tetapi,
globalisasi dan modernisasi yang memuliakan efisiensi, efektivitas, dan
menghitung segalanya dari keuntungan telah membuat perubahan yang dahsyat.
Di semua sektor kehidupan telah terjadi pengekangan emosional dengan dalih
127
penyesuaian yang menyebabkan terjadi erosi dan abrasi pada keutuhan tradisi.
Kaitannya dengan busana bahwa dalam keadaan masyarakat seperti ini aturan atau
pakem berbusana tradisional juga mulai dilupakan. Dalam kaitannya dengan hal
tersebut seorang informan mengatakan :
“Terus terang saya tidak banyak tahu tentang pakem berbusana tradisional
Bali. Pakem busana tradisional Bali itu banyak dan rumit. Jadi saya lebih
memilih mencari cara yang sederhana saja. Asalkan tidak terlalu jauh, saya
memakai apa yang saya mau saja dengan kreasi saya sendiri. Kadang
bertanya dahulu keorang-orang. Tapi banyak juga yang tidak mampu
memberi penjelasan yang memuaskan.”
(Wawancara )
Sejak 1960-an dan 1970-an pemerintah Indonesia secara aktif
mengkapitalisasi kebudayaan Bali yang terkenal sebagai tujuan mass tourism dan
membangun Bali dengan infrastruktur pendukung, Bali pun kian berkembang
dengan kultur pariwisatanya (Picard,1995). Sejak itu pula nilai-nilai budaya asing
masuk kian derasnya. Semakin longgarnya ikatan tradisi dalam masyarakat Bali
adalah dampak dari menguatnya sifat individualis yang yang menjadi penciri
masyarakat industrialis modern. Masyarakat mulai menghitung untung rugi atas
apapun.
Persaingan atau kompetisi menjadi sebuah norma baru menggantikan
ikatan solidaritas atau semangat kebersamaan. Ilmuan seperti Charles Darwin,
Thomas Hobbes, Sigmund Freud, dan Margaret Mead mendukung nilai-nilai
kapitalisme khususnya kompetisi antar individu sebagai norma yang terbaik
dalam membentuk jiwa wirausaha. Dari sisi budaya kapitalis, norma-norma baru
ini adalah lahan yang subur untuk menumbuhkan inovator-inovator dalam industri
dan budaya. Demikian juga masyarakat Bali di abad ke-21 ini menjadi masyarakat
128
industrialis yang memegang nilai-nilai baru, dengan pergaulan baru dan cara
pandang yang baru.
Masyarakat Bali menjadi sedemikian terbuka dengan intrusi masyarakat
global, dan rentan dengan ide-ide internasionalisme. Percampuran berbagai
kebudayaan di Bali semakin menyeret Bali dalam proses homogenisasi
kebudayaan. Homegenisasi budaya yang diusung oleh gerakan internasionalisme,
identik dengan ideologi kapitalisme. Ritzer (1996) menyebutkan gejala
masyarakat seperti ini berada di bawah pengaruh Mc.Donaldisasi dimana nilai-
nilai kapitalisme seperti efficiency, calculability , predictability dan control
menjadi pegangan untuk mengatur hubungan antar masyarakat. Ide-ide baru
dicerminkan lewat berbusana terlihat pada Gambar 6.2 dibawah ini.
Gambar 6.2
Wanita Bali Pasca Agraris dengan Busana Kebaya Modern
Dokumentasi: Indonesia Fashion Week 2012
Struktur masyarakat industrialis Bali semakin mengedepankan prinsip-
prinsip efisiensi dalam ekonomi. Hal ini dikarenakan aspek ekonomi menjadi titik
pusat dari kemunculan modernisasi di setiap negara (Max Weber, 1996) dan hal
129
yang sama terjadi pula di Bali. Dengan dorongan motif ekonomi yang kuat, setiap
individu menurut Alex Inkelex (1965) beorientasi pada imbalan atas jasa-jasanya.
Dengan tindakan-tindakan yang dianggap rasional ini, masyarakat
bergerak dengan sejumlah tindakan untuk memuaskan kebutuhannya, diantaranya
dengan memproduksi, mengkonsumsi, dan mendistribusikan barang atau jasa
tertentu. Hukum dan pranata sosial yang berlaku pada keadaaan ini adalah yang
bersifat mendorong masyarakat untuk mencapai tujuannya, seperti; keterbukaan,
kebebasan berekspresi, demokrasi, penghargaan terhadap teknologi dan informasi,
sikap terbuka untuk perubahan, dan sebagainya. Paralel dengan semua itu di
dalam masayarakat muncul selebrasi akan nilai-nilai individualis yang dianggap
relevan dengan budaya kapitalis tetapi sekaligus memiliki ekses negatif. Nilai
individualisme kemudian menekan nilai altruisme yang dianggap usang (Robert
Bellah dan Mac Intyre, 1987). Bellah setuju dengan pendapat Habermas mengenai
kolonisasi hidup modern, yaitu terlalu banyak struktur kontrak ekonomis dan
birokratis pada kehidupan modern menjadi model hidup yang dijadikan ideologis.
Keuntungan ekonomi dianggap menjadi alasan utama bagi seluruh tindakan
masyarakat dan sering mengorbankan suprastruktur seperti sosial budaya. Dari
titik ini maka komodifikasi menjadi sebuah keniscayaan dalam norma modern.
Kondisi sekarang ini dimana komodifikasi budaya begitu sarat di Bali.
Ardika (2008), mengatakan komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh
pelaku ekonomi, masyarakat lokal pun berpotensi karena mereka mempunyai hak
untuk melakukannya. Hampir semua aspek budaya yang mampu dijual mengalami
komodifikasi. Yang menjadi komoditas tidak saja budaya tangible tapi juga
130
merambah pada yang intangible. Terkait dalam penelitian ini, salah satu artefak
budaya Bali yaitu kain tenun tradisional Bali, khususnya songket juga mengalami
komodifikasi. Kelompok masyarakat industri kain Songket Bali, baik pengrajin
sebagai hulu sampai kehilir yaitu konsumen, juga terlibat secara langsung maupun
tidak langsung dalam proses komodifikasi kain songket Bali. Hal ini ditegaskan
juga oleh Tjokorda Abinanda Sukawati atau Tjok Abi seorang designer terkemuka
Denpasar:
“Sebenarnya, kami sebagai orang Bali punya rasa enggan, dan takut
membuat karya-karya dari bahan songket Bali, karena kami mengerti
bagaimana proses yang terjadi saat songket diproduksi, kami tahu latar
belakang sejarah dan konteks saat songket dihasilkan. Hanya saja,
kreativitas kami tergelitik untuk membuat karya-karya baru. Memang ada
beberapa kasus, karena adanya dorongan permintaan dari customer kami.
Tentu sebagai designer kami berusaha untuk memenuhi permintaan
mereka, tetapi sedapat mungkin kami memberikan panduan agar mereka
tidak terlalu banyak melakukan modifikasi, karena songket Bali selain
mahal juga motifnya yang bersifat sakral.”
(Wawancara 8 April 2013)
Dari penjelasan informan tersebut diatas, terungkap pula motif ekonomi
mendorong pelaku produksi membuat modifikasi terhadap songket Bali. Menurut
Tjok Abi nilai tambah dari sebuah karya desain berbahan songket dapat berkali-
kali lipat dari nilai bahan dasar songket itu sendiri. Produksi songket yang
diwakili oleh pengrajin tenun juga terjerumus dengan pesatnya permintaan
songket di pasar. Pengrajin juga memenuhi order yang menginginkan berbagai
perubahan tertentu dalam motif dan warna. Biasanya yang diinginkan adalah
warna dan motif yang lebih mengikuti selera pasar dan trend berbusana.
131
Karakteristik masyarakat modern yang berorientasi pada peningkatan
akumulasi kekayaan diungkap oleh Max Weber (1996: 53-60) “Man is dominated
by the making of money, by the acquisition of wealth as the ultimate purpose of
his life…A man does not „by nature‟ wish to earn more and more money, but
simply to live as he is accustomed to live and to earn as much as is necessary for
that purpose”, Hal ini juga menjelaskan motivasi individual kapitalis fesyen
dalam memodifikasi artefak budaya seperti songket Bali. Dalam wawancara Rico
Ananta mengatakan :
“Desainer juga harus memperhitungkan untung ruginya, biaya yang kita
keluarkan untuk sebuah pagelaran busana tidak kecil. Kami harus
memikirkan biaya gedung yang baik dengan menjaga selera pelanggan
kami. Biasanya hotel, ballroom, convention hall atau restaurant. Kami
juga harus menyewa event organizer yang mengatur jalannya acara.Kami
juga harus menyediakan hidangan santap malam dan membuat iklan,
semuanya butuh biaya. Karena itu kami butuh dukungan sponsor. Sponsor
mau memberi kalau acara ini sukses mendatangkan publik fesyen, dan
kami mengharapkan mereka adalah pembeli potensial kami. Dengan
demikian semua mendapatkan keuntungan.”
(Wawancara 15 April 2013)
Apa yang disampaikan narasumber diatas menyingkapkan bahwa para
desainer adalah kapitalis fesyen yang sama halnya dengan pengusaha lainnya
mengejar keuntungan finansial. “Showrooms are where big business is done and
besides cosmetics and perfumes, it's bags, boots and shoes rather than clothes
that reap the greatest financial rewards for the men-in-suits behind LVMH and
Gucci Group, etc”. (http://www.thenational.ae/lifestyle/what-makes-money-in-
fashion).
132
6.1.2. Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat
Perekonomian Bali bertumbuh seiring dengan meningkatnya citra Bali
sebagai tujuan wisata. Perputaran uang dalam transaksi ekonomi kian cepat terjadi
dengan kedatangan wisatwan yang membelanjakan uangnya selama berwisata.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Region III, I Gde Made Sadguna,
kepada harian Bali Post 22 Januari 2013, menjelaskan menguatnya pertumbuhan
perekonomian Bali didorong oleh kuatnya konsumsi domestik seiring dengan
peningkatan kelompok kelas menegah ke atas.
Dari sisi ketenagakerjaan data statistik ketenagakerjaan provinsi Bali tahun
2007 menunjukkan dari jumlah total penduduk Bali sekitar 3.466.200 orang, yang
bekerja sebesar 1.911.700 orang atau sekitar 72,61 persen dari jumlah total
penduduk. Ini menunjukkan tingkat produktivitas penduduk di Bali tergolong
cukup tinggi. PDRB Bali tahun 2012 meningkat sebesar 6,65 persen dibanding
tahun 2011. Besaran PDRB Bali tahun 2012 mencapai Rp 83,94 trilyun. Gini
rasio provinsi Bali tahun 2011 yaitu 0.3820 yang artinya pemerataan pendapatan
penduduk Bali cukup moderat. Konsumsi non makanan perkapita penduduk Bali
tahun 2010 sebesar Rp. 319 571,- perbulan Dan meningkat pada tahun 2011
sebesar Rp 442 226,- perbulan. Dalam hal ini seorang informan dari Dekranasda
mengatakan:
“Masyarakat Bali memang semakin sejahtera dalam ekonomi. Income
masyarakat meningkat karena pertumbuhan sektor pariwisata Bali.
Naiknya income juga berarti kemampuan atau daya beli mereka naik.
Makanya sektor konsumsi di Bali luar biasa bertambah Kita lihat saja
pertumbuhan retail dan ramainya pasar dipenuhi oleh manusia. Toko
busana juga sangat menonjol.”
(Wawancara 20 Agustus 2013)
133
Dampak pertumbuhan pendapatan terhadap tingkat konsumsi masyarakat
berkorelasi positif. Menurut pakar ekonomi John Maynard Keynes bahwa
pengeluaran seseorang untuk konsumsi dan tabungan dipengaruhi oleh
pendapatannya. Semakin besar pendapatan seseorang maka akan semakin banyak
tingkat konsumsinya pula. Dalam perkembangan ekonomi menurut Rostow
(1959) masyarakat modern secara linear berada dalam tahap komsumsi tinggi
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (linier stage of growth models). Tetapi
terjadi paradoksikal pada pola konsumsi masyarakat bahwa kebutuhan yang
ditunjukkan dalam ekspresi konsumsi bukanlah sebuah kebutuhan dasar (basic
needs). Lury (1988) mengatakan ada peningkatan dalam makna relatif ekspresif
dibandingkan dengan mamfaat fungsional atau instrumental barang-barang. Jadi
terlihat bahwa yang dikonsumsi masyarakat tidak hanya sekedar objek tetapi juga
makna-makna di dalamnya. Pierre Bordieu dan Richard Nice (1984) juga
menghubungkan konsumsi dengan simbol-simbol sosial dalam masyarakat.Dalam
pandangannya barang-barang yang dikonsumsi mengalami prosses modifikasi
tertentu sehingga mampu menjadi simbol status seseorang. Saat ditanya mengapa
menggunakan songket seorang informan, Ni Luh Putu Suyeni, mengatakan:
“Saya menggunakan songket karena selain memang indah songket itu
mahal sehingga memberikan kesan mewah bagi yang memakainya.”
(Wawancara 26 Juni 2013)
Gorge Simmel (dalam Ritzer, 2008) berpendapat bahwa imajinasi
mengenai barang konsumsi muncul dari penilaian terhadap barang tersebut.
Dalam hal ini terjadi sebuah konstruksi mengkonsumsi dalam masyarakat
sehingga memunculkan budaya. Menurut Don Slater (1997) konsumsi adalah
134
bagaimana manusia dan aktor sosial dengan kebutuhan yang dimilikinya
berhubungan dengan sesuatu dalam hal ini material, barang simbolik, jasa atau
pengalaman. Jean Baudrillard (dalam Wijaya, 2007), menjelaskan fenomena era
Postmodern, dimana masyarakat lebih mengutamakan simbol dan citra sehingga
konsumsi adalah usaha memenuhi keinginan (want) ketimbang kebutuhan (need).
Kultur konsumerisme adalah sebuah propaganda kaum kapitalis. Ini
sejajar dengan apa yang dikatakan oleh Adorno dalam The Culture Industry
bahwa kebudayaan juga diorganisasi dan dikendalikan oleh sistem administrasi
industri. Penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme membangun
kesadaran palsu dalam mengkonsumsi barang dipertegas oleh Fairclough (1995)
bahwa proses konsumsi menyangkut bagaimana barang didistribusikan dan
dikonsumsi. Kaum kapitalis tidak lagi mencari keuntungan dari nilai guna (utility
value) suatu barang melainkan dari nilai tukarnya (exchange value). Victor Lebow
seorang Retail Analyst (dalam Boot, 2008) mengatakan bahwa budaya konsumsi
adalah agenda kaum kapitalis.
“Our enormously productive economy… demands that we make
consumption our way of life, that we convert the buying and using of
goods into rituals, that we seek our spiritual satisfaction, our ego
satisfaction, in consumption… we need things consumed, burned up,
replaced and discarded at an ever increasing rate.”
Konsumerisme merupakan sebuah trend global yang menyebar keseluruh
penjuru dunia melalui agen-agen kapitalis. Bahkan kekuatan konsumen menjadi
energi sosial yang sangat kuat dalam merubah struktur masyarakat. Konsumen
global saat ini memiliki bargain position yang mempengaruhi keputusan dalam
proses produksi. Oleh karena itu kaum kapitalis segera mengambil posisi untuk
135
merekayasa struktur masyarakat konsumtif melalui manipulasi hasrat lewat
penciptaan citra dan imaji. Tujuannya adalah merangsang lahirnya kebutuhan-
kebutuhan palsu untuk kemudian dikonsumsi secara membabi-buta. Akhirnya
tampaklah belanja dan konsumerisme sebagai gaya hidup kekinian masyarakat
kontemporer. Menurut Piliang (2004) transformasi aktifitas ekonomi manufaktur
menuju ekonomi hasrat (libidinal economy) telah menular kesetiap tempat bahkan
untuk tempat yang paling privat sekalipun. Hasrat atau libidinal adalah konsepsi
yang berarti hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya immaterial, berupa citraan,
status, kelas sosial, prestise, pujian, dan hal-hal immaterial lainnya. Ekonomi
hasrat oleh Jean Baudrillard dijelaskan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
perkembangbiakan dan naturalisasi hasrat dimana apapuun diproduksi, apapun
normal, apapun nyata. Jean Francois Lyotard (1994) mengganggap bahwa
ekonomi libido dalam budaya konsumerisme memamfaatkan potensi kesenangan
dan gairah yang tersimpan dalam diri individu tanpa takut akan tabu dan adat;
gunakan dan pertotonkan sebebas bebasnya keindahan-keindahan penampilan,
busana, kepribadian, wajah dan tubuh untuk membangkitkan gairah perputaran
modal.
Salah satu proyek kaum kapitalis dalam reproduksi citra dan hasrat adalah
melalui fesyen. Fesyen diciptakan sebagai medium pembentukan personalitas,
gaya, citra, gaya hidup, dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda.
Fesyen bekerja dengan logika ekonomi libido. Piliang menjelaskan bahwa fesyen
sebagai proyek kapitalisme memproduksi lebih banyak lagi konsep, lebih banyak
lagi produk, lebih banyak lagi kesenangan, lebih banyak lagi prestise, lebih
136
banyak lagi tanda, lebih banyak lagi gairah (fashion for passion), segala sesuatu
berkembang biak berkali-kali lipat. Intensifikasi energi libido ini membuka ruang-
ruang untuk komodifikasi baik komodifikasi penampilan, komodifikasi tubuh dan
kegairahan.
Songket Bali adalah artefak budaya tradisional Bali yang pada awalnya
diproduksi dan dikonsumsi secara terbatas. Hal ini dapat dimengerti karena baik
kemampuan menenun dan bahan atau material yang digunakan juga mengandung
nilai scarcity yakni hanya terbatas pada kelas bangsawan. Namun dalam logika
kapitalisme tidak ada sesuatu yang tabu dan terlarang, maka komodifikasi bukan
hal yang tidak mungkin. Ekonomi Bali yang didorong oleh faktor konsumsi
merupakan ruang yang luas untuk terjadinya komodifikasi budaya. Songket Bali
ditengarai sudah terpengaruh dengan sentuhan modifikasi sejak awal tahun 2000-
an dimana ajang Bali Fashion Week yang pertama digelar.
6.2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan memiliki fungsi sosial yang menjadi agen perubahan dalam
masyarakat. Menurut Nordholt (2002) modernitas di Bali dimulai pada tahun
1920-an dan 1930-an ketika ada sekelompok orang terpelajar lokal dalam
masyarakat. Pada waktu itu pihak Belanda ingin membangun birokrasi ala Barat
yang modern dan rasional. Ini juga bagian dari upaya pemerintah Belanda untuk
menghapus sistem stratifikasi sosial yang berlaku dalam masyarakat pada saat itu
karena dianggap sebagai ganjalan bagi penerapan sistem birokrasi Barat. Saat ini
jumlah penduduk yang melek huruf provinsi Bali cukup tinggi. Pada tahun 2010
statistik menunjukkan jumlah penduduk laki-laki yang melek huruf sebesar 93.01
137
persen dan kaum perempuan sebesar 83.79 persen atau rata-rata penduuduk Bali
yang melek huruf sebesar 88,40 persen.
Tabel 6.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat Bali Tahun 2005 s.d. 2007
No. Tingkat
Pendidikan
Tahun
2005 2006 2007
1 SD kebawah 52,32 % 52.07% 50,17 %
2 SMTP 15,20 % 14, 97 % 14,22 %
3 SMU/SMK 24,17 % 23,70 % 25,20 %
4 Diploma 3,81 % 4,15 % 5,08 %
5 Universitas 4,50 % 5,11 % 5, 33 %
Sumber: BPS Bali
Persentase penduduk Bali usia 15 tahun keatas menurut ijazah tertinggi
yang ditamatkan tahun 2011, SD sederajat sebesar 24,30 persen, SLTP sederajat
sebesar 19,12 persen, SMA sederajat 31,62 persen, program diploma (D1,D2,D3)
sebesar 4,47 persen dan perguruan Tinggi (S1,S2,S3) sebesar 6,68 persen.
Pendidikan memiliki hubungan causal terhadap perubahan sosial.
Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berdampak pada perubahan
yang luas serta dalam semua aspek masyarakat. Secara linear masyarakat lebih
terbuka dan peka terhadap hal-hal yang baru. Hal ini dapat berarti sebuah hal yang
positif atau sebaliknya. Menurut Tjok Istri Ratna Cora:
“Pertumbuhan industri fesyen di Bali tergantung pada keterbukaan
masyarakat akan ide-ide baru. Kuncinya adalah pendidikan. Saat ini
masyarakat Bali sudah lebih terdidik. Karena itu pula kami beranikan diri
membuka program studi fesyem di ISI Denpasar, karena kami merasa
harus mengantisipasi kemajuan masyarakat yang semakin terdidik.
Dengan demikian kami memberikan landasan akademis bagi
perkembangan fesyen di Bali.”
(Wawancara 26 Juli 2013)
Apa yang disampaikan informan diatas menegaskan bahwa fesyen adalah
konsumsi bagi orang-orang yang terdidik..
138
Dalam pandangan kritis nya Samuel Hutington menyebutkan pendidikan
sebagai proses homogenisasi. Dimana melalui modernisasi, membentuk struktur
dan kecenderungan yang serupa pada banyak masyarakat. Penyebab utama proses
homogenisasi ini adalah perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan
transportasi.
Pendidikan juga dianggap menyebarkan budaya barat atau westernisasi.
Melalui pendidikan Gramsci (dalam Patria, 1999) mengatakan telah terjadi
hegemoni budaya terhadap negara Dunia ketiga. Masyarakat kemudian lebih
banyak mengadaptasi nilai-nilai gaya hidup Barat sebagai identitas modern
sehingga kecenderungannya menganggap budaya lokal terbelakang dan usang.
Selain itu pendidikan menanamkan faham sekularisme pada tingkatan yang
moderat. Sekularisme merupakan pandangan hidup yang memisahkan nilai-nilai
altruism seperti agama dengan kehidupan dunia atau sekuler. Rico Ananta
memberikan pandangannya tentang hubungan pendidikan dan fesyen:
“Fesyen yang ngerti adalah yang bersekolah saja, mereka sudah menerima
ide-ide baru, berwawasan luas dan mengikuti trend.”
(Wawancara 15 April 2013)
Pandangan Rico diatas menganggap bahwa fesyen lebih menarik bagi kalangan
yang sudah terdidik karena kemampuan mereka mendapatkan informasi yang
relatif lebih banyak.
Pendidikan juga menjadi medium penyebaran budaya konsumerisme.
Dalam keadaan ekonomi mengalami perkembangan, menurut Rostow (1995),
masyarakat modern berada dalam tahap komsumsi tinggi dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, sedangkan masyarakat tradisional mengalami hanya sedikit
139
perubahan baik dibidang ekonomi maupun sosial budaya. Dalam hal ini
masyarakat mengalami perubahan pola konsumsinya, dimana kebutuhan simbolik
lebih menonjol dari kebutuhan instrumental dari suatu barang.
Masyarakat modern juga ditandai dengan budaya hedonisme atau cara
hidup bermewah-mewah untuk mengejar prestise atau gengsi tertentu.
Kesenjangan sosial dan ekonomi, yang terjadi karena ketidakadilan dalam proses
pembangunan, misalnya karena menekankan atau memprioritaskan daerah atau
golongan sosial tertentu. Kehidupan kota metropolitan yang gemerlap, panggung-
panggung fesyen, konser musik, kerumunan masa di mal, pub, kafe dan restaurant
adalah gaya hidup yang hedonis. Semuanya adalah buah dari propaganda kapitalis
melalui komodifikasi gairah atau intensifikasi dari ekonomi libidinal.
6.3. Media dan Globalisasi
Permukaan dunia saat ini berubah secara drastis dengan sedemikian cepat.
Perubahan ini dipacu oleh perkembangan teknologi media dan informasi.
Gambaran masyarakat dunia yang mampu melakukan transaksi ekonomi dan
memperoleh informasi dalam waktu sepersekian menit dan detik terjadi berkat
teknologi satelit dan komputer. Tidak dapat ditolak lagi semua orang pun masuk
pada sebuah era dimana semua masyarakat dunia terhubung satu sama lainnya.
Pada tahun 1964, Mc. Luhan membuat sebuah hipotesis bahwa dunia
berjalan menuju sebuah kondisi yang disebutnya dengan istilah “global village”
(Sztompka, 2007). Hampir semua negara di dunia telah masuk dalam ikatan
kebudayaan global. Perubahan kebudayaan lokal dan sosial akibat revolusi
informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses
140
terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena
pengaruh kebudayaan global. Mereka dipengaruhi terutama melalui reproduksi
narasi yang dilakukan oleh media massa secara cepat. Media memberi kontribusi
yang cukup besar dalam mengkonstruksi realitas tersebut. Dan, konstruksi
tersebut tidak selamanya bertahan. Dalam waktu yang berubah secara cepat,
media juga tak jarang kemudian mendekonstruksi, dan merekonstruksi realitas.
Salah seorang informan, pengajar fesyen dari ISI Denpasar, Tjok Istri Ratna Cora
mengatakan:
“Fesyen itu budaya dari luar, dari barat tepatnya, kemudia disebarluaskan
melalui media seperti televisi, majalah, koran, internet dan juga melalui
pergaulan internasional.”
(Wawancara 26 JUli 2013)
Kehadiran media memperpendek jarak dan waktu. Heideger (1971)
menyebutnya dengan istilah menghilangnya jarak atau abolition distance. Dalam
gobalisasi menurut Robertson (1992) terjadi kompresi waktu dan jarak sehingga
terjadilah sebuah kesadaran umum. Melalui media, lahirlah kelompok pemodal
untuk membentuk mainstream atau nilai-nilai yang sekaligus membentuk struktur
budaya dominan. Dengan demikian, kekuatan kelompok partikular dapat
menghasilkan cultural transgression berkat mitos-mitos bentukan mereka dan
diekspresikan melalui media yang mereka miliki.
Media massa merupakan sarana penyebarluasan berita dan informasi
kepada khalayak luas, baik secara lokal, nasional, maupun internasional. Hal ini
selaras dengan fungsi media massa sebagai lembaga siaran yang berkepentingan
dengan penyebaran informasi dan bisnis serta upaya mempengaruhi opini publik
internasional (Shoelhi, 2009). Globalisasi terjadi ketika ada media yang
141
memfasilitasi interaksi antara masyarakat. Media di sini dapat berwujud teknologi
informasi, teknologi dan transportasi (Levit, 1983) sehingga terjadi mobilisasi
informasi dan manusia ke seluruh dunia. Giddens (1984) interaksi yang terjadi
membentuk sistem sosial yang mencakup pelbagai pelaku atau aktor sosial
dimana mereka melakukan proses pertukaran barang, jasa, serta ide-ide.
Dalam era globalisasi ekonomi, teknologi, informasi dan kultural, budaya
lokal dalam hal ini budaya tradisional Bali mengalami kondisi tarik menarik atau
tension dengan konteks budaya global (Prasiasa, 2011). Ada dua pendapat yang
berseberangan tentang kondisi Bali akibat pengaruh globalisasi. Yang pertama
beranggapan bahwa pengaruh tersebut hanya merubah sisi-sisi permukaan dari
kebudayaan tradisional Bali. Pendapat ini didukung oleh sosiolog Selo Sumardjan
dan budayawan Bali I Made Bandem. Kelompok kedua beranggapan globalisasi
telah menjadi ancaman serius bagi budaya tradisional Bali yang sedang
mengalami distorsi, diskontinu dan disintergrasi. Pendapat ini didukung oleh
Naya Sujana.
Masyarakat adat Bali lebih mengutamakan kebersamaan dalam
menyelesaikan persoalan sesuai semboyan salunglung sabayantaka, briyug
sepanggul, tis panes bareng, duduk sama rendah-berdiri sama tinggi, sedangkan
masyarakat global menempatkan kebersamaan hanya sebagai acuan tetapi cara
mencapai tujuan bersama tersebut diserahkan kepada kemampuan individu dan
iklim persaingan (Putra, 1998). Menurut Putra masuknya unsur luar melalui
globalisasi baik orang, nilai maupun kegiatannya sulit dijangkau oleh sifat dan
kekuatan hukum adat di Bali. Globalisasi hakekatnya adalah proses yang wajar
142
dan alamiah (Firmanzah, 2007) dimulai ketika masyarakat masyarakat memiliki
rasa ingin tahu dan mencoba keluar dari lingkungannya untuk memahami, belajar
dan membuka diri terhadap dunia luar. Kini tontonan televisi, situs-situs di
internete, majalah, surat khabar dan sebagainya lebih dominan menjadi panduan
menggantikan awig-awig dan ajaran-ajaran leluhur nenek moyang. Piliang (2003)
mengungkapkan bahwa pada era post-industri media terlibat dalam
mempengaruhi makna yang termuat dalam objek-objek seni melalui proses
komunikasi. Media bahkan disebut sebagai bagian dari kekuasaan yang
menentukan proses produksi-konsumsi objek-objek estetik. Objek-objek seni yang
merupakan bagian dari kebudayaan materi yang diproduksi dan dikonsumsi
kemudian dijadikan alat untuk menyampaikan makna-makna dan kepentingan-
kepentingan sosial yang ada di belakangnya.
Media berjasa memperkenalkan artefak budaya Bali seperti kain tenun
Songket Bali kepada masyarakat luas, sehingga sadar akan keindahan dan
keistimewaannya. Tetapi disisi yang lain media berperan dalam menyebarkan
diskursus konsumsi sehingga komodifikasi budaya di Bali sedemikian meluas
menjangkau artefak budaya. Diskursus Media dan Globalisasi menanamkan
kesadaran palsu dalam benak masyarakat. Dalam aspek psikoanalis konsumsi
dipandang sebagai fenomena tak sadar (unconscious) (Lacan dalam Althusser,
1996). Karena itu konsumsi juga dipandang sebagai reproduksi hasrat dan
reproduksi pengalaman bawah sadar yang bersifat primordial. Melalui citra baik
visual dan non visual yang diproduksi media, dan informasi yang terus menerus
menggempur masyarakat, akhirnya alam bawah sadar masyarakat tunduk pada
143
rasionalitas yang dibangun oleh kaum kapitalis. Dalam bukunya yang berjudul
„The Culture Code‟, Clotaire Rapaille (2007) menjelaskan bahwa pengolahan
informasi ini, serta perbedaan tindakan yang diambil, dipengaruhi oleh suatu
pemahaman bawah sadar yang melekat pada suatu barang atau isu. Skema berikut
(Skema 6.1) menggambarkan bagaimana ideologi konsumsi bekerja.
Masyarakat Songket Bali
Kode Konsumsi
Informasi
Citraan
Skema 6.1
Pengaruh Media dan Globalisasi dalam Komodifikasi Songket Bali
Pemahaman bawah sadar ini ia namakan „kode‟. Kode ini dikemas dalam
format citra atau imaji-imaji dan informasi yang bekerja dialam bawa sadar, untuk
membangkitkan hasrat-hasrat yang tertidur.
Seorang narasumber sambil lalu mengatakan:
“Informasi fesyen bisa kita dapat di mana-mana, ada televisi, majalah,
surat khabar atau secara langsung melihat pagelaran fashion show. Dari
situ kita tahu trend yang berkembang, tahun ini warna apa yang paling
disukai?, musim ini modelnya yang gimana? Sedikit banyak saya
mengikuti pada trend tersebut. Supaya gak dibilang ketinggalan atau ga up
date gitulah.”
(Wawancara 6 Agustus 2013)
Diskursus
Media &
Globalisasi
Alam Bawah Sadar
Keputusan Rasional
Masyarakat Fesyen
Komodifikasi
Songket
144
Tuturan narasumber mengungkapkan bahwa keputusan mereka untuk
menggunakan sebuah model busana sediki banyak dipengaruhi oleh informasi
tentang trend busana di media yang merupakan agen propaganda pengusaha atau
koporasi. Seorang feminis Elizabeth Wilson menganggap propaganda media di
semua ruang publik dengan mencitrakan perempuan sebagai makhluk fashionable
memiliki motif konsumsi.
“Now, feminists have begun to explore the meanings of fashionable and
other kinds of dress. This exploration has gone against the grain of
traditional feminist suspicion of fashionable dress: many feminists reject
fashion because of the way in which it reinforces the sexual objectification
of women; for it‟s association with conspicuous consumption and the
positioning of women as economic chattels, as property, and because it is
held to be uncomfortable to render women helpless (high heels and
pinched-in waists, for example, can impede movement).”
Wilson melihat, kode-kode yang digunakan di sini adalah explorasi
seksual tubuh wanita yang membangkitkan alam sadar untuk bereaksi dengan
tindakan-tindakan konsumsi akan produk-produk fesyen. Mass media sebagai
alat korporasi bekerja begitu eksesif untuk mendukung industri “fast fashion”
dan menghidupkan hasrat-hasrat wanita dalam fesyen tetap menyala.
6.4 Pariwisata dan Industri Kreatif
6.4.1 Perkembangan Pariwisata dan Industri Kreatif
Bali dan pariwisata adalah dua kata yang identik saat ini. Hal ini tidak
berlebihan karena kontribusi sektor pariwisata menjadi yang terbesar bagi
pendapatan asli daerah (PAD) Bali. Sumberdaya alam Bali adalah keindahan
landscape atau bentang alamnya. Karena itu Bali selain mengandalkan sektor
pertanian, juga mengedepankan sektor pariwisata. Bahkan akhir-akhir ini
145
pariwisata menjadi sektor tulang punggung bagi perekonomian Bali. Peranan
pariwisata tidak saja dalam kontribusinya terhadap PDRB tetapi juga dalam
penyerapan tenaga kerja. Ini terlihat bagaimana perdagangan, hotel dan restoran
yang menjadi bahagaian pada sektor pariwisata menyumbang PDRB Bali 2001
sebesar 33.91 persen (Bappeda Bali 2002). Pada tahun 1998 industri pariwisata
menyumbang 51,6 persen terhadap pendapatan masyarakat Bali. Tenaga kerja
yang terserap pada sektor ini di tahun yang sama sebesar 38,0 persen dan terus
meningkat tiap tahunnya (Erawan dalam Pitana, 2006).
Pada awalnya kekhawatiran masyarakat Bali terhadap sektor pariwisata
cukup besar karena ada banyak studi yang menunjukkan sektor pariwisata
membawa dampak buruk terhadap keberlangsungan budaya tradisional Bali
(Picard, 1996).
“When tourism was accused of corrupting Balinese culture, the issues
were the desacralization of the temples and the profanation of religious
ceremonies, the monetarization of social relations and the weakening of
community ties, or the relaxing of moral standards and the rise of
mercantile attitudes. These days, whether they are worrying about the
commoditization of their culture or rejoicing in the creativity of their
artists, the Balinese authorities seem to be concerned above all about what
is likely to be shown and sold to tourists”.
Demikian juga Askovic (1988) beranggapan pula bahwa kekuatan
kapitalis melalui pariwisata mendesak element-element budaya di Bali menjadi
kebutuhan dalam ekonomi pariwisata. Tetapi sejak pencetusan Bali sebagai
Pariwisata Budaya sebagai hasil dari seminar Pariwisata tahun 1971 oleh Pemda
Bali, kekhawatiran tersebut mulai memudar. Pariwisata budaya yang dimaksud
adalah sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun1974 dan 1991 yakni
146
pariwisata yang dikembangkan bertumpu pada kebudayaan lokal yakni
kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu sebagai bagian yang diakui
sebagai kebudayaan nasional yang berdasarkan Pancasila.
Kekhawatiran akan dampak negatif pariwisata terhadap kebudayaan
tradisonal Bali seperti yang diungkapkan Picard berlawanan dengan apa yang
dikemukakan oleh Hanna dan McKean. Menurut mereka pariwisata melalui
proses komersialisasi serta dorongan motif-motif ekonomi dari aktor-aktor yang
terlibat justru merangsang kreatifitas. Dalam hal ini masyarakat pendukung
pariwisata termotivasi untuk mengembangkan seni budaya yang layak dijual
dengan memenuhi selera penikmatnya. Hal ini mengawali lahirnya kreativitas
seniman dan atau pelaku seni di Bali untuk berinovasi, mencari betuk-bentuk
baru, memodifikasi serta memadupadankan bentuk-bentuk seni yang pernah ada
baik dari dalam maupun dari unsur di luar Bali.
Berbagai bentuk seni budaya di Bali sekarang ini mengalami
komersialisasi secara gencar dan intens. Komodifikasi budaya begitu sarat di Bali,
dan sebagian besar berhubungan dengan ekstensifikasi dan intensifikasi sektor
pariwisata (Ardika, 2007 dan Pitana, 2000). Misalnya seperti apa yang di katakan
oleh Sanger (1988) tentang tarian Bali yang secara estetika sekarang disesuaikan
dengan selera pengunjung atau turis. Budiarsa (2012) membahasnya dalam
komodifikasi Tari Gambuh, dalam seni arsitektur dan artefak budaya Setiawan
(2011) dalam komodifikasi Pura Tirta Empul, dalam seni lukis Arta (2010)
membahasnya dalam seni lukis klasik Wayang Kamasan dan sebagainya. Semua
ini dapat berdampak buruk dikemudian hari bila tidak terkontrol dengan baik. If
147
they created cultural productions specifically for tourists, there would be
enormous potential for crass commercialisation (Picard 1996).
Hubungan antara pariwisata dan industri kreatif semakin menunjukkan
sebuah keterkaitan yang saling memperkuat terutama sejak konferensi WIPO
(World Intelectual Property Organization) tahun 2008 di Bali. Kemudian Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan nomenklatur baru Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang semula bernama Kementerian Kebudayan
dan Pariwisata. Melalui pencanangan ini pariwisata Indonesia dibangun
berlandaskan kreativitas sumber daya manusia serta berbasis pada komunitas
(Hermantoro, 2011). Sejak pariwisata mengambil alih kehidupan orang Bali,
maka seni budaya di Bali diciptakan semata-mata untuk pariwisata yang
menghasilkan uang. Howe (2005) mengatakan :
“People come to see Balinese culture, and therefore it must be accessible
and tailored to tourist requirements…This has fostered the notion that
kebudayaan is a kind of object which Balinese possess but over which they
no longer have sole control, because it is being shaped partly to suit the
interests of the market and foreign investors”.
Sebagai salah satu daerah tujuan wisata, Bali khususnya Denpasar yang
memiliki warisan budaya yang adiluhung, juga dikenal dengan kerajinan tekstil
dan industri kreatifnya. Burns dan Holden (1995) menyatakan bahwa pariwisata
menimbulkan proses komoditisasi terhadap budaya lokal. Kedatangan wisatawan
ke Bali menyebabkan meningkatnya kebutuhan barang-barang seni sebagai
souvenir dan berbagai atraksi budaya Bali seperti ngaben, odalan dan lain-lain
sebagai event daya tarik wisata (Ardika, 2007).
148
Sebagai sebuah artefak budaya, songket Bali juga menjadi objek komoditi
oleh ekonomi pariwisata untuk dieksplorasi (Ramsayer, 1997). Keunikan motif
dan warna yang khas dari songket Bali mengundang kelompok designer untuk
mengembangkan lebih jauh disain-disain busana yang mewakili kehidupan kaum
urban. Pagelaran fesyen show, expo perdagangan, bahkan dalam rangkaian acara
pertemuan pemimpin negara (high summit) sering menampilkan songket Bali
dalam format desain baru (lihat Gambar 6.3)
Gambar 6.3
Songket Bali dalam pagelaran busana karya
Priyo Octaviano pada APEC 2013 Nusa Dua
Dokumentasi A3 Denpasar
Menurut Tjok Istri Ratna Cora Sudharsana, seorang pemerhati busana
sekaligus pengajar dalam studi fesyen ISI Denpasar, bahwa pertumbuhan sektor
industri fesyen di Bali cukup menjanjikan, dengan adanya even-even besar seperti
Bali Fashion Week dan Pesta Keseniaan Bali (PKB).
“Kini para designer Bali punya ajang tersendiri dan mampu menunjukkan
diri mereka sejajar dengan perancang busana dari kota-kota besar lainnya
seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Bahkan designer Bali punya
149
kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan exposure ke tingkat
internasional, mengingat reputasi Bali sebagai tujuan wisata terkenal di
mancanegara. Menanggapi perkembangan fesyen di Bali, kini ISI
Denpasar juga membuka study fesyen. Diharapkan melalui fakultas ini,
lahir desainer-desainer Bali yang mampu mengangkat nama Bali dan kain
tradisionalnya”
(Wawancara 26 Juli 2013)
Senada dengan Tjok Istri Ratna Cora, designer Bali Rico Ananta
mengungkapkan bahwa para designer Bali merasa bangga karena Bali memiliki
budaya tenun yang sudah terkenal.
“Sebagai designer yang tinggal di Bali, kami merasa bangga karena Bali
memiliki budaya tenun yang cukup dipandang, sebut saja kain tenun
Gringsing yang mendunia, kain Endek yang magis, kain Prada dan
Songket Bali yang mewah, kain Cepuk, kain Poleng yang sakral, dan
banyak lagi. Kekayaan ini menjadi inspirasi designer untuk berkarya
menghasilkan busan-busana yang elegan dan cantik. Ide-ide tidak akan
habis untuk menciptakan busana-busana dengan inspirasi dari kain
tradisional Bali”
(Wawancara 15 April 2013)
Sangat disadari oleh para perancang busana, bahwa sektor pariwisata yang
dominan di Bali membantu mereka sekaligus mendorong industri kreatif fesyen
turut berkembang. Menurut panitia BFW 2008, sebuah sisi fenomena lokal turut
bermunculan seiring dengan meningkatnya permintaan wisatawan untuk
mengkonsumsi fesyen bertemakan etnik. Maka dengan latar belakang itu, Bali
Fashion Week menjadi tolok ukur para desainer Bali maupun nasional yang sudah
dikenal luas. Mereka juga memamfaatkan booming ekonomi khususnya dengan
meningkatnya jumlah masyarakat kelas ekonomi menengah yang menjadi motor
budaya konsumtif di Bali.
150
6.4.2 Industri Kreatif Fesyen Bali
Kontribusi industri kreatif Indonesia pada PDB nasional cukup besar.
Menurut BPS tahun 2002 – 2006 rata-rata kontribusi PDB industri kreatif
Indonesia sebesar 6,3 persen dari total PDB Nasional dengan nilai Rp 104,6
triliun. Nilai ekspor industri kreatif mencapai Rp 81,4 triliun dan berkontribusi
sebesar 9,13 persen terhadap total nilai ekspor nasional dengan penyerapan tenaga
kerja mencapai 5,4 juta pekerja. Dari data diatas PDB industri kreatif menduduki
peringkat ke-7 dari 10 lapangan usaha utama yang ada di Indonesia. PDB industri
kreatif saat ini masih didominasi oleh kelompok fesyen, kerajinan, periklanan, dan
desain. Secara khusus dalam industri fesyen Menteri Perdagangan Gita Wirjawan
dalam harian Tempo Minggu 19 Mei 2013 mengatakan Tahun 2012 industri
fashion telah menyumbang sebesar 0,5 persen dari total PDB (US$ 1 triliun)
Indonesia.Pada tahun 2011 industri fashion mencapai angka 2,3 persen sebagai
merupakan penyumbang ekspor atau sekitar US$203,6 miliar. Diperkirakan
sumbangan industri fashion terhadap ekspor hingga 2,5 persen setiap tahunnya.
Seniman-seniman Bali telah mendorongi industri kreatif Bali berkembang
dengan pesat. Sinergis terjadi antara komunitas kesenian atau artis Bali,
masyarakat dan pemerintah daerah Bali. Pertumbuhan UKM dalam sektor
industri kreatif tidak terlepas dari propaganda konsep basmasesa yang
dipopulerkan oleh Ida Pedande Sidamen yang merupakan sebuah kearifan lokal
yang diharapkan mampu mengobarkan semangat dalam keunggulan dan
persaingan (Bagus, 2002). Dukungan pranata sosial Bali seperti ini memberikan
151
dorongan besar bagi para seniman untuk terus serius mengembangkan teknik,
mencari dan mendalami karakter yan memberikan pencirian bagi karya-karya
mereka. Hal yang sama disampaikan oleh Tjok Abi:
“Orang Bali itu memang dilahirkan untuk berkesenian. Kehidupan sehar-
hari kami adalah berkesenian. Saat membuat banten, me-ngaya di acara
adat dan agama, dan apapun aktivitasnya selalu berhubungan dengan seni
budaya. Saya sendiri berasal dari keluarga seni, ayah saya Tjokorda Raka
Sukawati sang penemu teknik konstruksi Sosrobahu adalah seorang arsitek
demikian juga ibu saya, juga mencintai senibudaya. Kecintaan saya
dibidang design juga adalah dorongan keluarga yang akhirnya membuat
saya memutuskan pergi menimbah ilmu design ke Inggris”.
(Wawancara 8 April 2013)
Penuturan Tjok Abi merupakan bukti bahwa latarbelakang seni budaya
orang Bali dan pemahaman estetika yang berdasar kuat dari seni budaya
tradisional merupakan modal besar bagi para desainer untuk berkembang dan
sekaligus mendukung perkembangan industri ini di Bali. Industri kreatif fesyen
Bali sangat diperhitungkan dalam ajang-ajang pertunjukkan adibusana nasional.
Bali sudah menggelar Bali Fashion Week sejak tahun 2000. Bali Fashion Week
menginspirasi berdirinya Yogyakarta Fashion Week dan Indonesi Fashion Week
beberapa tahun sesudahnya. Bahkan Jakarta Fashion Week baru dimulai sejak
Desember 2012. Kepada CNN Ika Mardiana inisiator Bali Fashion Week
mengatakan: We want to establish a strong platform for the Indonesian fashion
industry to get a foothold in the international fashion arena, and this event
provides those involved in the industry with facilities and the means to promote
their products.” Dalam kesempatan tersebut Ika Mardiana juga ikut menampilkan
karya-karyanya yang mengangkat kain tenun tradisional Bali termasuk songket ke
panggug cat walk.
152
Pada pagelaran Bali Fashion Week (BFW) ke tiga tahun 2002, Ika
bereksperimen dengan Songket Bali yang didesignnya dengan begitu berani.
Sebelumnya, Ika Mardiana pada tahun 1985 mendirikan Yayasan Moda Bali.
Yayasan ini juga yang melatari berdirinya asosiasi designer Bali atau lebih
dikenal dengan Mobas (Moda Bali Association). Mobbas dan APPMI (Asosiasi
Perancang Pengusaha Indonesia) cabang Bali adalah organisasi yang mewadai
masyarakat fesyen Bali untuk berkreasi.
Keberadaan BFW menurut beberapa pihak, menjadi salah satu indikator
bagi Bali aman, setelah tragedi bom Bali yang meluluh lantakan image Bali
sebagai surga yang damai di mata dunia internasional.Sebuah majalah mode
Australia (http://fashion-magazine-style.blogspot.com) menulis keberadaan BFW
“Not only from the aspect of economics (the export of the thing), but also from the
aspect of tourism. Minimally, the foreigner learned that Indonesia was still safe to
be visited.”
Gambar 6.4
Ika Mardiana Inisiator Bali Fashion Week
Sumber: http://www.ikabutoni.com/designer-ika/biography.htm
153
BFW dalam kurun waktu sepuluh tahun baru mengadakan lima kali show,
dengan hambatan yang dikeluhkan penyelenggara seperti mahalnya pembiayaan
dari sebuah show yang diadakan dan animo masyarakat Bali yang kurang untuk
menghadiri acara-acara seperti ini.
Gambar 6.5
Logo Bali Fashion Week IV
Dokumentasi Yayasan Moda Bali 2007
Tetapi menurut Tjok Abi dan Rico Ananta bahwa kecenderungan
kesadaran fesyen masyarakat menunjukkan trend positif seiring dengan perbaikan
kualitas ekonomi masyarakat. Hal ini di tunjukkan dengan besarnya permintaan
design dari masyarakat dan penjualan setiap butik. Dari sisi designer, appresiasi
masyarakat sudah membaik ditandai dengan munculnya designer-designer muda
dengan kreativitas mereka cukup membanggakan.
Fesyen seperti halnya industri seni yang lain, harus terus menerus
mengembangkan kreativitasnya. Menurut Hegel (dalam Piliang, 2004) dari sisi
subjek, para designer adalah korban objektivikasi dimana subjek mengalami rasa
ketidakpuasan abadi terhadap hasil ciptaannya sehingga membangkitkan motivasi
154
dan daya yang tak habis-habisnya bagi pengembangan lebih lanjut dalam suatu
dialektika penciptaan. Tetapi baik pandangan Hegel dan Marx tentang
objektivikasi ini menyimpang ketika fenomena konsumerisme terjadi dalam
masyarakat dimana yang terjadi hanya relasi konsumer semata: consumer par
excellence (Piliang; 2004). Dalam hal ini penekanannya adalah gejala
komodifikasi. Bahkan menurut Bourdieu (1984) mereka tidak menemukan,
tetapi mengulang kembali apa yang sudah ada dalam format recycle. “After a
fashion dies, it may resurface. Designers often borrow ideas from past. It may
reappear in an interpreted way by changing fabric or silhouette. Its not totally
new but its never exactly the same.” Seperti pada penyelenggaraan BFW ke-4
,dengan tema Tri Hita Karana, designer Bali menggagas design-design bertajuk
recycle sebagai wujud pengamalan konsep konservasi lingkungan yang melekat
pada filsafat hidup Hindu Bali.
Para designer juga melalukan investigasi terhadap pelanggan mereka.
Mereka mempelajari karakteristik yang berbeda-beda dari setiap pelanggan
mereka, dengan demikian mereka dapat memuaskan keinginan customer. Tjok
Abi juga mengatakan hal yang sama:
“Biasanya para pelanggan kami adalah orang-orang yang kami kenal
secara baik. Mereka berasal dari keluarga kelas menengah atas dari
kawasan Denpasar dan sekitarnya. Ada juga sebagian kecil berdomisili di
beberapa kota besar seperti Jakarta, tetapi mereka adalah warga Bali.
Tidak sulit mengenali mereka apalagi bila mereka berasal dari keluarga
puri. Pergaulan kami dalam lingkungan puri sedikit membantu mengenal
karakter mereka sehingga lebih muda mengetahui apa yang mereka mau.”
(Wawancara 8 April 2013)
Kepuasan pelanggan menjadi motivasi yang besar bagi designer dalam
berkarya, walaupun terkadang ada idealisme tersendiri untuk menghasilkan
155
sebuah produk bernilai estetika yang tinggi, namun projek seperti ini hanya
menjadi koleksi saja. Keputusan-keputusan untuk momodifikasi kain tenun
tradisional seperti songket sepenuhnya adalah pertimbangan pasar. Menurut
Manuaba (1999) di sektor industri kecil dan rumahtangga eksport kerajinan dan
garmen mengalami perubahan design dan bentuknya sesuai dengan keinginan
pembeli atau pelanggan. Kepentingan bisnis adalah alasan utama menjadikan
fesyen sebagai komoditas untuk mendatangkan profit, terlihat sebagai bahan
perhatian desainer Bali. Jadi fesyen adalah masalah konsumsi, masalah
komodifikasi.
Keberadaan industri fesyen di Bali sama halnya dengan industri fesyen
diseluruh dunia adalah warisan budaya barat. Sebagai budaya barat fesyen bersifat
elitis (high fashion), fesyen juga yang menggambarkan gaya hidup kelas borjuis
masyarakat Eropah.Ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Karl Marx
bahwa seni atau art terikat pada kelas masyarakat tertentu. Kritik Marx adalah
art atau seni berhubungan dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Masyarakat fesyen adalah para pelaku atau aktor dari komodifikasi.