BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN ......217 berkiblat pada rakyat. Pada sisi yang lain,...

53
215 BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL MASYARAKAT ADAT Gerakan sosial yang terjadi secara global, selalu dimulai dari individu yang bergabung membentuk kelompok. Gerakan sosial yang terjadi tentu memiliki indikator penyebab, serta target yang hendak dicapai. Karena itu tidak ada sebuah gerakan sosial tanpa indikator dan dan tujuan yang hendak dicapai. Secara simbolik dapat diungkap dengan bahasa sederhana, ―tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api‖, dan ―tidak mungkin pucuk janur bergoyang kalau tidak ada angin‖. Merunut sejarah gerakan sosial secara global dan nasional, ditemukan di sana, terjadinya sejumlah gerakan sosial tidak dipicu oleh sejumlah indikator. Jika gerakan sosial dilakukan oleh para buruh pabrik, maka pemicu atau indikatornya memiliki kaitan dengan hak- hak buruh (upah kerja, jaminan kesehatan dll). Tujuannya jelas, para buruh menginginkan kenaikan upah, dan adanya jaminan kesehatan buruh. Jika gerakan sosial berhubungan dengan masyarakat dalam suatu daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Kaimana, terakit dengan demonstrasi masyarakat adat tentang implementasi kebijakan, maka indikatornya berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah terhadap masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Mansur Fakih (1966:35) memberi catatan bahwa atas nama kebebasan demokrasi di tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi gerakan sosial di Amerika yang dikenal dengan nama komunitas gerakan hak- hak sipil di kalangan kulit hitam. Gerakan mahasiswa di tahun 1960-an dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan

Transcript of BAB VI ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK GERAKAN ......217 berkiblat pada rakyat. Pada sisi yang lain,...

  • 215

    BAB VI

    ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

    GERAKAN PERLAWANAN SIMBOL

    MASYARAKAT ADAT

    Gerakan sosial yang terjadi secara global, selalu dimulai dari

    individu yang bergabung membentuk kelompok. Gerakan sosial yang

    terjadi tentu memiliki indikator penyebab, serta target yang hendak

    dicapai. Karena itu tidak ada sebuah gerakan sosial tanpa indikator dan

    dan tujuan yang hendak dicapai. Secara simbolik dapat diungkap

    dengan bahasa sederhana, ―tidak mungkin ada asap kalau tidak ada api‖, dan ―tidak mungkin pucuk janur bergoyang kalau tidak ada angin‖.

    Merunut sejarah gerakan sosial secara global dan nasional,

    ditemukan di sana, terjadinya sejumlah gerakan sosial tidak dipicu

    oleh sejumlah indikator. Jika gerakan sosial dilakukan oleh para buruh

    pabrik, maka pemicu atau indikatornya memiliki kaitan dengan hak-

    hak buruh (upah kerja, jaminan kesehatan dll). Tujuannya jelas, para

    buruh menginginkan kenaikan upah, dan adanya jaminan kesehatan

    buruh.

    Jika gerakan sosial berhubungan dengan masyarakat dalam suatu

    daerah, seperti yang terjadi di Kabupaten Kaimana, terakit dengan

    demonstrasi masyarakat adat tentang implementasi kebijakan, maka

    indikatornya berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah terhadap

    masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

    Mansur Fakih (1966:35) memberi catatan bahwa atas nama

    kebebasan demokrasi di tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi gerakan

    sosial di Amerika yang dikenal dengan nama komunitas gerakan hak-

    hak sipil di kalangan kulit hitam. Gerakan mahasiswa di tahun 1960-an

    dan 1970-an, gerakan lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan

  • 216

    gerakan solidaritas maupun gerakan perempuan di tahun 1970-an dan

    1980-an. Dalam konteks ini, lahirlah berbagai macam pendekatan dan

    teori tentang gerakan sosial.

    Masih teringat kuat dalam ingatan umat manusia tentang

    gerakan sosial yang terjadi di Afrika Selatan yang dikenal dengan nama

    gerakan anti Apartheid. Tujuan dari gerakan sosial tersebut untuk pendekatan perubahan sosial yang dominan (mainstream approach), yaitu suatu perubahan sosial yang direkayasa oleh negara melalui apa

    yang disebut sebagai pembangunan (development).

    Pada tahun 1998 Indonesia digemparkan dengan gerakan

    reformasi. Gerakan reformasi saat itu tidak mungkin terhapus dalam

    benak setiap anak bangsa, sebab hasil dari gerakan reformasi mampu

    melahirkan sejarah baru yang patut kita catat bersama, bahwa hanya

    melalui gerakan reformasi, riwayat orang kuat di Indonesia dengan

    sebutan ―bapak pembangunan‖ yang terkenal dengan rezim simbol ORBA berhasil diruntuhkan.

    Dari runutan sejarah tersebut, tergambar jelas bahwa gerakan

    demonstrasi massa mengatasnamakan rakyat tidak boleh dipandang

    sebelah mata, sebab telah terbukti keampuhannya dalam mencapai

    sebuah cita-cita yang diinginkan. Pada sisi lain, gerakan sosial tidak

    boleh dipandang sebagai ancaman dalam konteks berbangsa dan

    bernegara, sebab berdemokrasi yang baik selalu merujuk pada

    kebebasan, dan kebebasan merujuk pada terbukanya ruang-ruang

    demokrasi bagi setiap warga negara. Dengan kebebasan berdemokrasi

    pula, rakyat bisa menyalurkan apa yang dirasakan kepada pemerintah,

    atau kepada atasan mereka. memahami konteks tersebut lahirlah

    UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN I998 TENTANG

    KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM.

    Lahirnya Undang Undang ini merupakan syarat bahwa

    pemerintah (Pusat-Daerah) memiliki kemampuan mengakomodir

    kebebasan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

    Singkat kata singkat cerita, jangan berikan label haram terhadap

    gerakan sosial, karena melalui gerakan sosial, rakyat secara bebas dapat

    menyuarakan ketidakadilan atas implementasi kebijakan yang tidak

  • 217

    berkiblat pada rakyat. Pada sisi yang lain, diharapkan rakyat dapat

    menggunakan hak ―kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum‖ secara baik dan tertanggungjawab.

    Perlawanan simbol adat terhadap kebijakan pemerintah

    merupakan bagian dari gerakan sosial yang sudah lama terjadi di

    wilayah Papua. Gerakan sosial yang terjadi di Papua jika dikelompokan

    menurut jenis serta tujuan, masing-masing memiliki perbedaan, namun

    yang pasti gerakan sosial terjadi karena adanya indikator penyebab dan

    tujuan yang hendak dicapai.

    Sejumlah indikator tersebut tidak hadir begitu saja, jika dikaji

    secara baik, dampak yang ditimbulkan sangat berkaitan dengan

    sejumlah implementasi kebijakan yang tidak menjawab substansi

    masalah sosial, sehingga pada akhirnya melahirkan gerakan

    perlawanan sosial tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan gerakan

    perlawanan sosial mendatar (horizontal) antara masyarakat lokal

    dengan kaum migran/pendatang dari luar Papua.

    Tidak bisa dipungkiri, bahwa dari gerakan pelawanan sosial

    tegak lurus/atas bawah (vertikal), dan gerakan perlawanan sosial

    mendatar (horizontal) antara masyarakat lokal dengan kaum

    migran/pendatang dari luar Papua, terkadang dilakukan tanpa

    menggunakan kekerasan (non fisik), tetapi ada pula yang dilakukan

    dengan cara kekerasan (fisik).

    Gerakan sosial yang menggunakan kekerasan fisik, bukan sesuatu

    hal yang rahasia. Dari sejumlah gerakan sosial yang terjadi dalam

    wilayah nusantara, oleh pemerintah diistilahkan dengan sebutan yang

    berbeda-beda, misalnya ―gerakan separatis‖, ―gerakan sipil bersenjata‖, atau GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Muncul sejumlah gerakan tersebut tentu memiliki alasan yang berbeda-beda, akan tetapi yang

    pasti bahwa penyebabnya bisa disimpulkan menjadi dua hal, yaitu;

    pertama, unsur ketidakpuasan atas sejumlah kebijakan pembangunan

    yang dianggap tidak merata di bumi nusantara; dan kedua, terkait

    dengan tujuan yang ingin dicapai oleh gerakan tersebut.

  • 218

    Dari kedua hal tersebut, jika dihubungkan dengan gerakan

    perlawanan simbol adat di ―Negeri 1001 Senja‖, maka gerakan perlawanan dengan menggunakan simbol adat merupakan bagian dari

    gerakan sosial. Yang membedakan gerakan ini dengan sejumlah

    gerakan sosial yang lain ada pada indikator awal, serta tujuan yang

    hendak mereka capai. Salah satu indikator gerakan perlawanan simbol

    adat di ―Negeri 1001 Senja‖ dilatarbelakangi oleh sejumlah konsep pembangunan masadepan yang berkaitan dengan konsep-konsep atau

    pesan-pesan leluhur. Pesan-pesan leluhur ini diterima dalam bentuk

    cerita tuturan dan dijadikan barometer terhadap implementasi

    kebijakan pemerintah. Yang mengkhawatirkan dari konsep ini adalah,

    ketika implementasi kebijakan tidak merujuk pada konsep leluhur

    mereka, maka konsep kebijakan pemerintah dianggap tidak sejalan dan

    bisa menimbulkan dampak

    Tujuan dari sejumlah kebijakan pemerintah yang berkaitan

    dengan pembangunan di ―Negeri 1001 Senja‖ adalah, adanya keinginan yang kuat dari pihak pemerintah untuk menciptakan pemerataan

    pembangunan dari sejumlah kebijakan yang dibuat. Sementara itu dari

    tujuan gerakan perlawanan masyarakat adat menggunakan simbol

    dapat diindikasikan memuat sejumlah pesan kepada pemerintah dan

    pihak-pihak lain, bahwa terdapat sejumlah penyimpangan kebijakan

    yang terjadi di atas wilayah otoritas adat.

    Membaca artikel jurnal terdahulu khususnya pada artikel jurnal

    volume 4/nomor 1/April 2011 tentang Masalah Sosial: ―Konflik Masyarakat Adat Papua (Amume dan Kamoro) dengan Freeport pada tahun 1969‖, dapat dipastikan bahwa perlawanan fisik dan non fisik masyarakat Papua terhadap pemerintah sudah berlangsung cukup lama.

    Dan hal itu terjadi disebabkan pada faktor intimidasi, kekerasan fisik

    dan pemerkosaan terhadap hak dasar OAP.

    Keadaan ini terjadi, biasanya mengatasnamakan pembangunan

    yang dilakukan pihak pemerintah. Karena itu, pembangunan tidak

    selamanya membawa dampak positif, dampak-dampak negatif pun

    selalu terjadi. Pembuktian terhadap dampak negatif atasnama

    pembangunan terlihat jelas dari sejumlah kebijakan yang

  • 219

    mengakibatkan masyarakat lokal terpinggirkan atas nama

    pembangunan. Karena itu, terkadang sikap masyarakat lokal

    mempertahankan hak-hak, bahkan menolak sejumlah kebijakan

    pembangunan karena telah terbukti, pembangunan tidak selamanya

    membawa dampak positif bagi mereka. Dalam konteks ini, tidak segan-

    segan pemerintah melalui aparatur pemerintah (TNI POLRI) dilibatkan

    untuk memuluskan jalannya kebijakan pembangunan atasnama

    pembangunan itu sendiri.

    Uraian bab ini merupakan kajian analisis yang berkaitan dengan

    temuan penulis selama melaksanakan penelitian di Kabupaten Kaimana

    yang dimuat pada bab empat dan bab lima.

    Kebijakan Publik

    Masih dalam penekanan soal kebijakan publik. Pada bagian awal,

    penulis telah menguraikan definsi menurut Thomas R. Dye (1995 : 2),

    bahwa ―kebijakan publik sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama tampil berbeda (what government do, why do it, and what diffirence it makes)‖. Dengan demikian, kebijakan publik adalah ―fakta strategis‖ dari pada ―fakta politis‖ ataupun teknis. Sebagai ―fakta strategi‖, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses

    kebijakan, khsusnya pada proses perumusan.

    Sebagai sebuah ―strategi‖, kebijakan publik tidak saja bersifat ―positif ― namun juga ―negatif‖, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat ―menerima salah satu‖ dan ―menolak yang lain‖. Meskipun terdapat ruang bagi ―win-win‖ dan sebuah tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi ―win-win‖ sengat terbatas sehingga kebijakan publik lebih banyak pada ranah ―zero-sum-game‖, yaitu ―menerima yang ini, dan menolak yang lain‖.

    Seorang kepala daerah dalam kedudukannya sebagai kepala

    pemerintahan merupakan jabatan politik. Akan tetapi jabatan politik

    tidak terjadi begitu saja. Jabatan politik seorang kepala daerah akan

  • 220

    sangat ditentukan oleh rakyat dalam konteks demokrasi ―dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat‖. Karena itu, kebijakan seorang kepala daerah tidak melulu berkiblat pada arah kebijakan politik. Dalam

    kedudukanya sebagai seorang pejabat politik, kebijakan yang dibuat

    harus dipadukan dan disetarakan dengan kebutuhan publik, sehingga

    dalam jabatan politik, seorang kepala daerah dapat melakukan

    kebijakan publik yang akan menyentuh persoalan yang dihadapi

    masyarakat. Jika kebijakan publik menyentuh kebutuhan publik, maka

    Dye menyebutkan hal itu sebagai kebijakan ―strategi‖ karena menyentuh kebutuhan publik.

    Banyak kebijakan strategis yang telah dibuat pemerintah daerah,

    namun banyak pula yang tidak menjawab kebutuhan publik. Hal ini

    harus diluruskan secara baik, karena untuk mengukur sebuah

    kebijakan publik, harus didasarkan pada fakta yang memiliki kaitan

    dengan sejumlah masalah sosial yang dialami publik. Hal ini penting,

    karena dalam implementasi kebijakan publik, terkadang terikut serta

    sejumlah kepentingan politik yang memberi dampak, dan

    memengaruhi kebijakan publik. Walaupun dalam implemetasi

    kebijakan publik hal itu berjalan secara normal, namun dampak dari

    kebijakan publik yang telah dipolitisir, akan mengalami permasalahan.

    Dengan demikian kebijakan publik yang dibuat dapat dikategorikan

    sebagai ―kebijakan politis‖.

    Seorang kepala daerah selalu diperhadapkan dalam dua fakta

    terkait dengan pengambilan kebijakan publik. Pertama, berkaitan

    dengan jabatan politik; dan kedua berkaitan dengan kedudukannya

    sebagai kepala daerah hasil pilihan rakyat. Dua sisi yang berbeda ini

    mewajibkan seorang kepala daerah untuk bisa membedakan mana

    kebijakan politik dan mana kebijakan publik. Dye menggambarkan

    secara jelas bahwa, dalam ruang kebijakan terdapat cela yang

    memungkinkan seseorang untuk membuat kebijakan berdasarkan

    konsep ―win-win‖, namun dalam penentuan kebijakan, kedua hal tersebut harus ada yang lebih diuntungkan. Hal ini berararti kebijakan

    politik dan kebijakan publik tidak bisa direalisasi dalam satu kebijakan,

  • 221

    sebab jika hal itu terjadi, maka satu dari dua hal tersebut akan terkena

    dampak atau menjadi korban.

    Menghadapi sejumlah permasalahan yang terjadi di Kabupaten

    Kaimana, sejumlah kebijakan telah dibuat dengan dalil kepentingan

    dan kebutuhan masyarakat (publik). Dalam penekanan awal penulis

    telah memberi penjelasan, bahwa kebijakan tidak bisa disalahkan

    karena berkaitan dengan hak seorang kepala daerah. Dye menjelaskan

    hal itu sebagai berikut, bahwa: ―kebijakan adalah sikap pemerintah untuk membuat atau tidak membuat kebijakan‖. Artinya, untuk membuat kebijakan publik, atau tidak membuat kebijakan, hal itu

    merupakan sikap pemerintah. Namun masyarakat selalu memahami

    bahwa kebijakan publik merupakan tindakan riil pemerintah, yang

    berhubugan dengan masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat.

    Pemahaman masyarakat ini bertolak dari sejumlah masalah yang

    mereka rasakan, karena itu, jika seorang kepala daerah tidak membuat

    keputusan nyata, hal itu dianggap tidak membuat keputusan.

    Pertanyaannya adalah, apa yang membedakan seseorang

    dikatakan membuat dan atau tidak membuat kebijakan. Ilustrasi

    berikut ini akan memudahkan kita untuk memahami hal tersebut:

    ―jika anda berjalan pada ruas jalan yang berlobang lalu mempertanyakan kebijakan seorang kepala daerah tentang jalan yang berlubang tersebut. Pertanyaan anda pasti didasarkan pada kenyataan bahwa jalan berlubang sangat mengganggu perjalanan, karena anda tidak bisa melajukan kenderaan dengan kecepatan maksimum. Pada titik simpulan, anda akan mengatakan, pemerintah tidak membuat kebijakan untuk memperbaiki jalan tersebut. Tetapi apakah benar pemerintah tidak membuat kebijakan terhadap kondisi jalan itu? Ternyata prediksi anda meleset, karena ruas jalan yang berlubang ketika dibijaki oleh pemerintah setempat, menimbulkan banyak korban jiwa, karena ruas jalan tersebut seringkali digunakan oleh anak muda sebagai tempat balapan liar. Bertolak dari konteks tersebut, maka pemerintah membuat kebijakan untuk tidak memperbaiki ruas jalan yang berlubang tadi. Karena itu, kebijakan tidak selalu terlihat riil atas persoalan yang terlihat riil pula‖.

  • 222

    Contoh ini memberi penjelasan bahwa kebijakan tidak selalu

    logis bagi semua pihak. Ada kebijakan yang logis bagi pihak pembuat

    kebijakan, tetapi pada sisi lain, hal itu tidak logis bagi pihak lain.

    Namun inti dari sebuah kebijakan publik haruslah berdampak positif

    bagi semua pihak.

    Belajar di negeri der Panzer

    Menjalankan roda pemerintahan, kebijakan publik menjadi

    sangat penting. Kebijakan publik tidak hanya sebatas memberi arahan

    terhadap sejumlah program kerja yang telah ditetapkan oleh setiap

    SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sebagai eksekutor kebijakan,

    melainkan tujuan dibuatnya kebijakan publik agar setiap SKPD

    memiliki kesamaan dan keseragaman visi untuk mewujudkan dan

    merealisasikan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Penegasan

    ini disebut oleh Robert Eyestone secara luas, kebijakan publik dapat

    didefinisikan sebagai ―hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya‖.

    Penjelasan Eyestone memberi penekanan pada kebijakan sebagai

    relasi dalam sebuah unit kerja. Bisa juga dipahami sebagai perekat

    birokrasi yang memiliki tujuan bersama yaitu melayani masyarakat.

    Kita bisa membayangkan bagaimana jika dalam birokrasi pemerintahan

    yang begitu sibuk dengan sejumlah program kerja, jika tidak diimbangi

    dengan kebijakan publik dari seorang kepala daerah, maka hal itu akan

    menimbulkan kekacauan dalam birokrasi pemerintah. Kebijakan

    publik yang dibuat oleh pemerintah daerah Kabupaten Kaimana

    misalnya: terkait dengan pendidikan delapan anak asli Kaimana ke

    Jerman.

    Setiap kebijakan publik memiliki dampak atau konsekwensi.

    Dampak serta konsekwensi tersebut sangat berhubungan dengan

    keberhasilan maupun kegagalan dari sebuah kebijakan yang dicapai.

    Heidenheimer (1930:1) menjelaskan bahwa kebijakan publik

    merupakan sebuah studi tentang ―bagaimana, mengapa, dan apa konsekwensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖. Yang ingin ditekankan oleh Heidenheimer adalah soal studi tentang

    ―bagaimana‖ merumuskan sebuah kebijakan publik yang bisa memberi

  • 223

    jawaban terhadap masalah yang dihadapi publik (masyarakat).

    Penekanan ―bagimana‖ juga bertujuan mempertanyakan cara mendesain dan merancang sebuah kebijakan publik. Misalnya, untuk

    meningkatkan mutu sumber daya manusia di Kabupaten Kaimana,

    pemerintah menginginkan anak-anak asli Kaimana harus bersekolah di

    luar negeri. Mengawali konsep ini, Heidenheimer menawarkan

    langkah pertama yang harus dilakukan adalah ―bagaimana‖ mendesain konsep menjadi program yang bisa dituangkan dalam sebuah kebijakan

    publik. Untuk mendasain konsep tersebut dibutuhkan figur atau

    individu yang memiliki kecakapan khusus. Selain itu juga, tindakan

    ―bagaimana‖ merujuk pada membangun ANT (Aktor Network)-nya, baik di daerah, pusat hingga di Jerman. Tawaran Heidenheimer ini

    sangat penting dilakukan mengawali peluncuran sebuah kebijakan

    publik.

    Lebih lanjut Heidenheimer memberi penekanan studi tentang

    ―mengapa‖ jika dihubungkan dengan kebijakan untuk menyekolahkan delapan anak asli Kaimana di Jerman, maka alasan mendasarnya harus

    jelas. Penjelasan tentang alasan mendasar pemerintah menyekolahkan

    delapan anak asli Kaimana ke negeri ―der Panzer‖. Untuk mengetahui alasan mendasar pemerintah Kabupaten Kaimana menyekolahkan

    delapan anak asli Kaimana ke negeri ―der Panzer‖, penulis menemukannya melalui lansiran berita Online Radar Sorong yang di

    unduh pada tanggal 26 Desember 2017, hal itu dijelaskan sebagai

    berikut:

    ...―tujuan kuliahkan anak-anak di Jerman merupakan harapan saya, supaya anak-anak Kaimana ini pun besok-besok bisa bersaing dengan anak-anak lain di Papua. Kaimana ini tidak ada orang hebat, sama seperti daerah lainnya. Kita tidak punya orang di Provinsi bahkan di Negara ini, kita tidak punya orang. Karena itulah, harapan saya ingin menyekolahkan anak-anak Kaimana ini agar kita juga bisa mengangkat muka kalau berbicara di provinsi dan di Negara ini. Kenapa yang lainnya bisa, kita tidak bisa?‖...

    Penjelasan di atas memberi keterangan bahwa tujuan

    menyekolahkan delapan anak asli Kaimana ke Jerman karena

    pemerintah daerah menginginkan ke depan ada anak asli Kaimana

  • 224

    yang bisa memainkan peran pada tingkat provinsi maupun tingkat

    pusat di masa yang akan datang. Jika hal ini yang menjadi target, maka

    apa yang ditawarkan oleh Heidenheimer terkait dengan ―apa konsekuensi dari tindakan (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖, bisa terjawab.

    Dari sejumlah kebijakan yang dibuat, ternyata setiap kebijakan

    memiliki dampak dan konsekuensi masing-masing. Itu berarti, bahwa

    tidak ada satu pun kebijakan yang sempurna. Karena itu, lebih awal

    sebelum melakukan sebuah kebijakan publik, pembuat kebijakan sudah

    harus berpikir tentang bagaimana menghadapi konsekuensinya. Hal ini

    penting! Ketika pemerintah berani membuat kebijakan publik, maka

    pemerintah harus memiliki keberanian untuk menerima kegagalan,

    karena suksesnya kebijakan publik yang diimplementasikan adalah

    kebijakan yang mampu meminimalisir konflik, bukan sebaliknya

    menghindari konflik.

    Untuk meminimalisir konflik, haruslah dimulai dari cara

    memahami inti dari konflik yaitu ―bagaimana hubungan masyarakat dapat berjalan sesuai dengan tujuan bermasyarakat‖. Dalam hal ini, pertikaian dan konflik dilihat sebagai bagian dari sistem sosial yang

    tidak dapat dihindari. Selain itu pula, konflik menjadi petunjuk bahwa

    di dalam hubungan atau relasi sosial masyarakat terdapat dominasi,

    kohesi, serta kekuasaan. Lewis A. Coser memandang ―konflik dapat direkayasa untuk menciptakan kohesi atau keteraturan sosial‖.

    Dalam kenyataannya, kebijakan yang dirancang atas nama

    kepentingan masa depan daerah terbentur masalah. Hal itu ditandai

    dengan dikembalikannya empat anak dari Jerman ke Indonesia.

    Kondisi ini mengakibatkan kemarahan sebagian masyarakat lokal,

    dengan melakukan demonstrasi massa menggunakan simbol adat untuk

    memalang kantor bupati. Selain demonstrasi massa, untuk melakukan

    pemelangan kantor bupati, massa juga menuntut Bupati Kaimana

    segera memberi penjelasan terkait kasus dipulangkannya empat anak

    dari Jerman tersebut.

  • 225

    Sesuai keterangan Bupati Kaimana yang dilansir koran Online

    Radar Sorong yang di unduh pada tanggal 27 Desember 2017 sebagai

    berikut:

    KAIMANA- Pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak mampu lagi bersekolah di Jerman. Hal itu ditegaskan Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma, pada saat konferensi pers yang berlangsung kemarin di Ruang Rapat Bupati Kaimana. Konferensi pers tersebut bertujuan untuk memberikan klarifikasi atas informasi keliru yang saat ini tengah dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Kaimana.

    Lebih lanjut dijelaskan: ―Jadi tidak pernah pemerintah daerah mengirimkan anak-anak asli Kaimana ke luar negeri lalu memulangkan mereka‖... pernyataan seperti ini menunjukan bahwa pemerintah sangat konsisten dengan tujuan menyekolahkan delapan anak asli

    Kaimana ke Jerman. Sikap ini secara tidak langsung menunjukan sikap

    idealisme dalam sebuah program kerja dan hal itu menjadi sangat

    penting.

    Pada sisi lain, fakta dikembalikannya empat orang anak asli

    Kaimana dari Jerman ke Indonesia, memberi gambaran jelas masih

    terdapat sejumlah kelemahan dari kebijakan yang dibuat. Karena itu,

    hal yang sangat penting dan yang harus diperhatikan adalah idealisme

    harus realistis. Idealisme yang realistis seharusnya memperhatikan

    semua faktor, lebih khusus pada konteks lapangan yang menjadi arena

    implementasi kebijakan. Hal ini jelas terukur dari penjelasan Bupati

    Kaimana:

    ...―pulangnya 4 anak asal Kaimana dari Jerman, bukan atas kehendak pemerintah daerah, tetapi atas permintaan sendiri. Keempat mereka bersepakat untuk meminta pemerintah daerah untuk mencari pendidikan di Indonesia dan memulangkan mereka karena mereka tidak mampu lagi bersekolah di Jerman‖...

  • 226

    Sangatlah manusiawi, kalau keempat anak meminta kembali ke

    Indonesia. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa mereka ―tidak mampu lagi bersekolah di Jerman‖... dari sejumlah penjelasan ada hal yang harus dikatahui bahwa, sistem ANT yang dibangun memiliki

    kekurangan dan menyebabkan empat anak tersebut meminta untuk

    dikembalikan ke Indonesia, hal itu terekam dari penjelasan kepala

    daerah yang dilansir koran daerah Online Radar Sorong sebagai

    berikut:

    ―Pihak yang berhak merekomendasikan anak-anak sekolah di Jerman ini sudah lepas tangan. Akhirnya, keempat anak ini pulang, karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya. Memang ini merupakan program primadona saya, kalau buat jalan, semua Bupati bisa lakukan, tetapi karena 4 anak ini harus dipulangkan, maka saya menyerahkan kepada Tuhan saja, mungkin ini ujian buat kami pemerintah daerah. Tetapi kemarin saya baru terhibur dengan diterimanya ketiga anak kita yang saat ini masih di Jerman di Student Collage. Ini sebuah mujizat yang Tuhan beri buat kami pemerintah daerah, yang bekerja dengan niat yang tulus untuk membangun negeri ini, tetapi ada pihak-pihak lain yang menilainya dengan persepsi mereka sendiri,‖ ujar Bupati Mairuma panjang lebar.

    Penjelasan ini menitikberatkan pada sistem ANT yang digunakan

    untuk menangani program studi ke Jerman. Perbedaan sistem ANT di

    Indonesia berbeda dengan sistem yang berlaku di Jerman. Gambaran

    dari penjelasan di atas, bahwa: ...―akhirnya, keempat anak ini pulang, karena ini Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya‖...

    Di Indonesia kita masih bisa menggunakan berbagai indikator

    ketika sebuah kebijakan mengalami jalan buntut. Misalnya: hubungan

    kekeluargaan, mayoritas dan minoritas, pribumi dan kaum pendatang,

    warga keturunan dan bukan keturunan, putra daerah dan bukan putra

    daerah. Ternyata, ukuran seperti ini tidak berlaku di Jerman. Karena

    itu penjelasan kepala daerah Kabupaten Kaimana yang mengatakan

    bahwa ...―Jerman bukan di Indonesia yang bisa dilakukan kolusi dan lain sebagainya‖... pada konteks seperti ini, maka penekanan Heidenheimer semakin jelas, bahwa kebijakan publik merupakan studi

    tentang ―bagaimana, mengapa, dan apa konsekwensi dari tindakan

  • 227

    (action) dan pasif (in-action) pemerintah‖, menjadi sangat penting untuk diperhatikan, sehingga implementasi kebijakan publik yang

    seringkali menimbulkan gesekan konflik harus diminimalisir dengan

    cara yang ditawarkan Heidenheimer bahwa kebijakan harus lebih

    dahulu diuji; ―mengapa‖ kebijakan dibuat, ―bagaimana‖ harus dibuat dan ―apa konsekuensi logis dari kebijakan tersebut‖.

    Dalam kenyataannya, implementasi kebijakan publik yang

    dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kaimana mengalami masalah.

    Hal ini terjadi karena ruang cipta suatu kebijakan berbeda dengan

    ruang implementasi kebijakan. Perbedaan kedua ruang tersebut dapat

    diukur dari tempat masing-masing, ruang cipta kebijakan berada pada

    ruang birokrasi yang tidak bersentuhan dengan kehidupan sosial.

    Sementara pada ruang implementasi kebijakan, di sana terjadi kontak

    dengan sejumlah indikator permasalahan sosial.

    Dari perbedaan kedua ruang tersebut, sangatlah wajar jika

    kebijakan pada tataran implementasinya muncul sejumlah

    permasalahan, karena itu Richard Rose menyarankan agar kebijakan

    publik haruslah dipahami sebagai ―serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekwensi-konsekwensi-nya bagi mereka yang bersangkutan, ketimbang sebagai suatu keputusan tersendiri‖. Definisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan

    sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu. Artinya, Rose ingin

    menyampaikan bahwa kebijakan publik, merupakan sejumlah kegiatan

    yang memiliki konsekwensi yang berhubungan dengan sejumlah

    pihak, karena itu kebijakan/keputusan yang dibuat tidak berdiri

    sendiri.

    Pelayanan birokrasi pendidikan dasar dan prilaku gerakan kolektif

    Pelayanan birokrasi menjadi sangat penting, karena tujuan

    pelayanan birokrasi merupakan jawaban pemerintah atas sejumlah

    permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dari sejumlah

    permasalahan yang di hadapi masyarakat di Kabupaten Kaimana,

    masalah pendidikan merupakan satu dari sejumlah persoalan sosial

    yang dihadapi masyarakat dan pemerintah.

  • 228

    Mengatasi masalah pendidikan, pemerintah telah melakukan

    sejumlah kebijakan diantaranya, penambahan tenaga guru PNS yang

    dimiliki Pemerintah Kabupaten Kaimana. Kebijakan yang dilakukan

    pemerintah adalah dengan melakukan kontrak tenaga guru, baik yang

    berada dalam wilayah maupun dari luar wilayah Kabupaten Kaimana.

    Selain menambah aparat tenaga guru, pemerintah juga melakukan

    penerimaan pegawai kontrak untuk dipekerjakan pada dinas-dinas

    yang masih sangat membutuhkan. Salah satu SKPD yang menjadi

    sasaran penembahan tenaga pegawai kontrak adalah dinas kesehatan

    dan dinas pendidikan Kabupaten Kaimana.

    Dampak dari kebijakan penambahan tenaga pegawai kontrak,

    khususnya pada dinas kesehatan, maka sebagian masyarakat atas nama

    suku Mairasi melakukan pemalangan terhadap kantor dinas kesehatan

    dan kantor rumah sakit. Sikap pemalangan ini dilakukan karena

    beberapa nama anggota masyarakat dari suku Mairasi tidak diakomodir

    dalam SK (Surat Keputusan) penerimaan pegawai kontrak. Pemalangan

    tersebut sempat melumpuhkan aktifitas pegawai dinas kesehatan dan

    pegawai kesehatan yang bertugas sebagai pagawi di kantor RSUD

    (Rumah Sakit Umum Daerah) Kaimana.

    Penerimaan pegawai tidak hanya sebagai peluang bagi para

    pencari kerja, sisi lain dari kebijakan pemerintah adalah, bagaimana

    pemerintah bisa menjawab persoalan masyarakat, baik menyangkut

    kuantitas (jumlah) pegawai, maupun kualitas (mutu/hasil) pelayanan

    pemerintah terhadap sejumlah masalah yang dihadapi pemerintah.

    Menghadapi persoalan ini, pemerintah melakukan langkah-

    langkah riil, yaitu dengan memprioritaskan anak-anak asli, dan hal itu

    dijelaskan oleh kepala daerah saat menghadiri kegiatan RAKERSIS

    (Rapat Kerja Klasis) Gereja Protestan Indonesia di Papua, tahun 2014 di

    Jemaat Imanuel Kensi mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut:

    ―jika ada anak-anak Tuhan yang mengikuti tes CPNS, khususnya anak-anak asli Kaimana, kalau kita mengikuti kriteria kelulusan tes, maka hasil lulus tes CPNS didominasi oleh mereka-mereka yang datang dari luar, karena itu sebagai Kepala Daerah, saya mencoba untuk membuat perimbangan, sehingga hasil kelulusan tes CPNS bisa ada keterwakilan anak-anak negeri juga. Jika saya

  • 229

    tidak lakukan interfensi, maka sangat kasihan sekali, anak-anak negeri tidak banyak yang bisa menjadi pegawai negeri sipil‖.

    Penjelasan yang disampaikan memberi keterangan terkait sikap

    pemerintah daerah dalam melakukan perimbangan penerimaan tenaga

    Pegawai Kontrak dan CPNS. Dalam konsep kebijakan, ―tindakan kebijakan ―policy‖ digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah), atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu‖. Dengan demikian, apa yang dilakukan pemerintah merupakan sikap yang sangat tepat mewakili birokrasi pemerintah.

    Selain upaya pemerintah untuk melakukan kebijakan menambah

    jumlah PNS dan pegawai kontrak, pada sisi yang lain, pemerintah

    berhadapan dengan sejumlah persoalan terkait dengan pengabdian

    ANS di lingkungan kerja pemerintah daerah Kabupaten Kaimana,

    khusus untuk PNS yang melaksanakan fungsi sebagai guru.

    Kebiasaan meninggalkan tempat tugas mengakibatkan

    masyarakat melakukan pemalangan terhadap gedung sekolah, dan

    rumah kepala sekolah.

    ―masyarakat dorang (mereka) palang sekolah, karena guru-guru selalu tidak berada di tempat tugas. Kalau kita bandingkan guru-guru masa sekarang ini paling berbeda dengan guru-guru pada waktu dulu, waktu kami sekolah, hanya ada satu dua tenaga guru yang ajar kami, tetapi mereka bisa mengajar enam kelas, bahkan dorang (mereka) bisa lakukan les pelajaran malam hari di rumah pastori. Sekarang ini, guru-guru yang dinas pendidikan kasih untuk kitorang (kita) di kampung-kampung, ada guru pemerintah PNS, guru kontrak, tapi tidak sama dengan pace-pace1 (bapa-bapa) guru dulu, pace-pace (bapa-bapa) guru itu mengajar di depan kelas, mereka ajar masyarakat berkebun, mereka bisa jadi mantri, mereka ajar masyarakat kerja rumah (tukang kayu). Tetapi tenaga guru yang sekarang ini, su tra (sudah tidak) mengajar baik-baik, su tra (sudah tidak) betah di tempat tugas. Coba kalau dinas mau ganti tenaga guru itu dorang (mereka) lihat yang pas di kampung baru kasih tugas, kalau begini-begini sama saja, kitorang pung (kita punya) anak-anak tidak bisa pintar. Kalau tidak percaya bapa lihat ada beberapa

    1 Istilah ini digunakan untuk menyapa kaum pria dewasa artinya bapa.

  • 230

    keluarga yang sudah bawa turun mereka punya anak di kota untuk sekolah di sana, karena guru-guru tidak ada, mungkin ada tenaga honor satu orang dari kampung yang mengajar saja‖.

    Hal ini menunjukan kinerja birokrasi pemerintah di lapangan

    belum mencapai target yang diharapkan. Kebiasaan guru meninggalkan

    tempat tugas berbulan-bulan, bahkan hingga mencapai satu tahun

    ajaran. Fenomena ini menunjukan betapa lemahnya fungsi kontrol

    pemerintah, khususnya instansi penanggungjawab penyelenggaraan

    pendidikan.

    Menghadapi persoalan seperti ini, masyarakat setempat

    mengambil langkah-langkah konkrit, menyampaikan laporan kepada

    pihak kepolisian, dalam hal ini POLSEK (Kepolisian Sektor) terdekat

    dan melakukan pemalangan sekolah dan rumah dinas guru kepala

    sekolah. Setelah itu, masyarakat menyampaikan tindakan mereka

    kepada dinas terkait (dinas pendidikan) di Kabupaten Kaimana.

    Menanggapi laporan masyarakat, pihak dinas pendidikan

    melakukan mutasi terhadap kepala sekolah yang selalu meninggalkan

    tempat tugas. Kebijakan ini menurut Charles O. Jones. merupakan

    sikap yang memiliki hubungan dan kesamaan dengan tujuan (goals), program, keputusan, (decision), standard, proposal, dan grand design. Pada sisi lain, pemerintah telah memenuhi hak-hak pegawai (guru),

    hak-hak tersebut diuraikan sebagai berikut:

    ―untuk hak-hak pegawai sudah kami berikan dengan memperhatikan lokasi atau wilayah kerja pegawai di daerah. Untuk mereka-mereka yang bertugas di daerah terpencil atau terisolir, selain gaji kami berikan insentif zona yang lumayan besar, tidak saja itu, ada uang lauk pauk dan masih ada tambahan-tambahan pengasilan yang lain. Tujuan dari semuanya itu, kita berharap tidak ada alasan yang dibuat-buat untuk tidak melaksanakan tugas di kampung-kampung‖.

    Terlepas dari konteks penataan sejumlah PNS yang berprofesi

    sebagai guru, pemerintah juga melakukan pergeseran pada sejumlah

    kepala distrik. Tepatnya pada tahun 2009, suhu politik di Kabupaten

    Kaimana mulai mencapai titik panas terkait dengan pemilihan kepala

    daerah.

  • 231

    Pemilihan kepala daerah merupakan pesta rakyat di tingkat

    daerah. Menghadapi pelaksanaan pesta demokrasi pemelihan kepala

    daerah, rakyat secara bebas ingin menyatakan pilihan mereka kepada

    kandidat yang dipercaya rakyat, maka dampak yang muncul di atas

    permukaan adalah terjadinya pengkotak-kotakan. Realitas seperti ini

    sangatlah logis, karena setiap individu memiliki kebebasan dan

    menggunakan kebebasan secara individu untuk memilih figur kepala

    daerah.

    Tidak saja rakyat, ternyata pengaruh pemilihan kepala daerah

    memengaruhi kebijakan politik pemerintah. Menjelang akhir periode

    pertama 2005-2010, kepala daerah Kabupaten Kaimana membuat

    kebijakan memutasikan beberapa kepala distrik. Kabijakan ini di

    pandang sebagai kebijakan politik dalam rangka untuk menjawab

    kepentingan sang petahana untuk periode berikut 2010-2015.

    Jelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah Kabupaten Kaimana,

    pemenang pemilihan kepala daerah Kabupaten Kaimana periode 2010-

    2015 dimenangkan oleh wakil bupati periode 2005-2010. Sebagai

    pemenang, berbagai kebijakan pun dilakukan. Dari sejumlah kebijakan

    yang dibuat, mutasi/pergeseran Kepala Distrik Teluk Arguni mendapat

    sorotan hangat dari masyarakat lokal. Sikap masyarakat tersebut,

    dinampakkan dengan cara menandatangi surat penolakan oleh

    sejumlah kepala kampung, disertai dengan sikap pemalangan Kantor

    Distrik Teluk Arguni menggunakan simbol adat ―kakur-utie ro‖.

    Sikap penolakan masyarakat adat terhadap mutasi/pergeseran

    kepala Distrik Teluk Arguni merupakan sebuah gerakan sosial

    masyarakat adat yang disebut oleh Sidney Tarrow (1998) merupakan

    ―prilaku kolektif‖. Tarrow memberi pandangannya dengan menyebut ―prilaku kolektif‖ dengan mengkaitkan dampak negatif Revolusi Prancis yang berhubungan dengan kemarahan massa pada periode abad

    pencerahan sebagai akar perkembangan teori gerakan sosial. Kemudian

    teori ini menjadi salah satu teori klasik dalam mempelajari fenomena

    gerakan sosial di Eropa Barat dan Amerika Utara. Gustave Le Bon

    (1895) perintis utama teori prilaku kolektif menginterpretasikan

  • 232

    kerumunan massa Revolusi Prancis merupakan bentuk perilaku

    kolektif yang menyerupai emosi binatang.

    Sangatlah benar, bahwa dampak demonstrasi massa selalu dinilai

    sebagai bentuk awal sebuah kegiatan yang berdampak pada

    KAMTIBMAS, pengerusakan sejumlah infrastruktur pemerintah.

    Wajah demonstrasi massa dengan sikap arogan inilah, maka Le Bon

    menyamakan hal tersebut sebagai prilaku kolektif menyerupai emosi

    binatang. Namun fakta yang digunakan Le Bon untuk membangun

    teori gerakan sosial didasarkan pada fakta gerakan Revolusi Prancis.

    Karena itu, ketika melakukan perbandingan dengan gerakan sosial di

    Indonesia, khususnya gerakan sosial menggunakan simbol adat di

    Kabupaten Kaimana tentu memiliki perbedaan.

    Penulis melihat perbedaan tersebut didasarkan pada fakta-fakta

    empiris sebagai berikut: pertama, secara kultur, masyarakat Prancis

    berbeda dengan masyarakat di Papua dan Papua Barat, khususnya

    masyarakat adat delapan suku besar di Kaimana. Perbedaan kultur ini

    menjadi landasan kuat ketika dijadikan sebagai dasar membangun

    sebuah teori gerakan sosial; kedua, bentuk kesamaan gerakan sosial

    yang terjadi di Prancis dan di Kabupaten Kaimana hanya berada pada

    kerumunan massa, sementara yang membedakan kedua gerakan sosial

    ada pada ANT (Aktor Network)-nya; dan ketiga, gerakan sosial yang

    terjadi di Kabupaten Kaimana tidak bersifat menghancurkan

    infrastruktur, perebutaan kekuasaan dan atau penggulingan rezim.

    Karena substansi dari gerakan sosial di Kabupaten Kaimana adalah

    upaya menunjukan identitas dan pemerataan keadilan dari prespektif

    kultur masyarakat adat.

    Jika dirunut kronologis gerakan sosial di Kabupaten Kaimana,

    maka gerakan perlawanan yang menggunakan simbol adat memenuhi

    regulasi yang telah ditetapkan, misalnya: izin pihak keamanan.

    Tahapan memperoleh izin untuk melakukan demonstrasi massa

    merupakan tahapan pembuktian diri, bahwa gerakan demonstrasi

    massa atau gerakan perlawanan simbol adat adalah bagian dari hak

    konstitusi warga negara. Sejalan dengan hal tersebut, maka gerakan

    demonstrasi massa atau gerakan perlawanan simbol masyarakat adat di

  • 233

    Kabupaten Kaimana tidak bisa disamakan dengan ―gerakan kolektif‖ yang terjadi pada saat Revolusi Prancis.

    ―waktu itu kami hanya disuruh untuk tanda tangan surat oleh pace distrik, tetapi pace (bapak) distrik tidak kasih jelaskan kalau untuk tolak kepala distrik yang baru, pace (bapak) distrik hanya bilang karena para petugas tidak melaksanakan tugas di kampung-kampung dengan baik jadi bapa dong tanda tangan supaya bapak Bupati bisa perhatikan apa yang bapa-bapa sampaikan‖.

    Ajakan ini menggambarkan ada upaya dari pihak pemerintah

    (kepala distrik) untuk mengajak masyarakat adat terlibat dalam pusaran

    masalah yang dia hadapinya, terkait dengan kebijakan mutasi terhadap

    yang bersangkutan. Konteks inilah yang menjadi substansi yang

    membedakan gerakan sosial di Prancis pada abad pencerahan dengan

    gerakan pelawanan sosial di Kabupaten Kaimana.

    Perbedaan Gerakan Revolusi Prancis dan Gerakan Perlawanan

    Simbol Adat di Kaibupaten Kaimana haruslah diukur dari indikator

    pemicu serta dampak yang ditimbulkan. Indikator pemicu Gerakan

    Revolusi Prancis, dipicu oleh sistem kepemimpinan Monarki

    (Kerajaan) yang dipimpin oleh raja yang berlaku tidak adil dalam

    mengatur kerajaan Prancis saat itu, seperti: ―kekuasaan raja tidak terbatas; kekuasaan raja tidak diatur dan tidak dibatasi oleh undang-undang; kekuasaan raja tidak diawasi oleh parlemen; raja menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan sehingga tidak pernah salah; raja memerintah secara turun temurun; raja bertindak sewenang-wenang‖. Konteks ini menjadi wajah yang memicu ―gerakan kolektif‖ Revolusi Prancis.

    Konteks ini bisa saja terjadi, karena prilaku kolektif merupakan

    respon terhadap sebuah situasi yang tidak stabil secara spontan dan

    tidak terstruktur. Yang dimaksud dengan struktur sosial sangat

    berkaitan dengan peraturan, undang-undang, kebijakan pemerintah

    dan lembaga formal dan non formal, David Popenoe (1977:259).

    Karena itu, pemicu Gerakan Revormasi Prancis itu sendiri terjadi

    dalam konteks yang disebut dengan ―kekuasaan raja tidak diatur dan tidak dibatasi oleh undang-undang‖.

  • 234

    Ketika kekuasaan raja tidak lagi terbatasi oleh undang-undang,

    maka menurut Blumer, ―masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki kedirian sendiri-sendiri, sehingga ―tindakan kolektif‖ adalah tindakan yang didahului dari penafsiran pribadi atas situasi sosial yang mereka alami‖ (Irving Zetlin, 1995:332). Dalam konteks ini, sesungguhnya lembaga-lembaga sosial dalam kehadirannya, sudah

    harus memberi perhatian atas situasi sosial yang tidak seimbang (situasi

    yang memberi dampak keuntungan bagi penguasa sementara rakyat

    berada dalam situasi yang sangat menderita). Namun, dalam kenyataan

    tersebut lembaga-lembaga sosial tidak bisa berbuat banyak. Di sinilah

    letak titik lemah kehadiran sejumlah lembaga-lembaga sosial, Neil

    Smelser (1962), Donatella Della Porta dan Mario Diani (1999: 4).

    Mungkin saja kehadiran lembaga-lembaga sosial, keagamaan,

    mahasiswa tidak mampu berbuat banyak karena dampak tekanan

    penguasa, akan tetapi ―perilaku kolektif‖ tidak akan pernah berhenti, Ralph H. Tuner dan Lewis M.Killian (1972) dalam (Popenoe 1977:404).

    Ibadah haji di antara kebijakan dan religious symbols

    Kebijakan pemerintah untuk mengirim CJH asal Kaimana

    menunaikan rukun Islam ke lima merupakan program rutin

    pemerintah setiap tahun. Sejak berdirinya Kabupaten Kaimana tahun

    2005, pemerintah daerah membuat kebijakan mengirim masyarakat

    Kaimana yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik ke kota-kota suci,

    Mekah dan Yerusalem.

    Kebijakan yang mengantar manusia untuk memenuhi rukun

    Islam yang ke lima di tahun 2012, ternyata terbentur dengan masalah

    ketika tiba di Jakarta. Dari tiga puluh sembilan CJH yang

    diberangkatkan ke Mekah, hanya delapan belas CJH yang memiliki

    kelengkapan dokumen, dua puluh satu CJH lainnya tidak memiliki

    kelengkapan dokumen. Mereka lalu bersepakatan bersama untuk tidak

    melakukan perjalanan haji alias batal berangkat.

    Dari dilansir berita surat kabar Online Radar Sorong, Selasa 23

    Oktober 2012 | 04:21 menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:

  • 235

    ―KAIMANA - Ratusan warga asli Kaimana melakukan aksi unjuk rasa ke Kantor Bupati Kaimana, sekitar pukul 11.00 WIT siang kemarin (22/10). Aksi itu dilakukan menyusul pembatalan keberangkatan 39 calon jemaah haji asal Kaimana, yang diprogramkan oleh pemerintah daerah selama dua tahun anggaran dan dibiayai APBD tahun 2011 dan 2012. Saat ini, ke-39 CJH asal Kaimana yang batal berangkat, masih berada di Wisma Sayidah Inn, Kompleks Universitas Islam Negeri, Ciputat Jakarta Selatan. Menurut rencana, mereka akan kembali ke Kaimana, Rabu (24/10) mendatang. Ke-39 warga Kaimana batal berangkat karena 18 calon jemaah haji tidak memiliki visa‖.

    Dari lansiran berita tersebut, ditemukan beberapa catatan

    penting, antara lain; bahwa program keberangkatan menunaikan

    ibadah haji yang diikuti oleh tiga puluh sembilan CJH merupakan

    bagian dari program tahun 2011 dan 2012, maka diperkirakan setiap

    tahun pemerintah Kabupaten Kaimana mengirim kurang lebih delapan

    belas hingga sembilan belas CJH, biaya perjalanan CJH bersumber dari

    APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah).

    Dari lansiran berita koran Rada Sorong, ditemukan titik lemah

    kebijakan yang berdampak pada gagal berangkat CJH ke tanah suci

    disebabkan pada masalah kelengkapan dokumen visa, itu berarti, titik

    lemah kebijakan tersebut sangat berkaitan dengan jaringan ANT yang

    digunakan oleh pemerintah Kabupaten Kimana. Kondisi ini tidak saja

    menggambarkan kegagalan sebuah kebijakan, melainkan terkesan

    jajaran birokrasi tidak memahami secara baik regulasi, baik dalam

    bentuk kebijakan maupun undang-undang ibadah haji. Keterkaitan

    dengan ―kebijakan itu sendiri merupakan suatu arahan atau usulan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah untuk digunakan mencapai tujuan‖... Carl Friedrik.

    Dalam implementasi kebijakan, seharusnya yang diperhatikan

    adalah proses. Karena setiap proses telah ada regulasi yang mengatur

    dan regulasi selalu merujuk pada undang-undang yang berlaku.

    Misalnya, terkait kebijakan memberangkatkan CJH dari Kabupaten

    Kaimana, regulasinya telah diatur berdasarkan kewenangan

    pemerintah (pusat hingga daerah). Hal itu tercermin jelas dari

    UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG

  • 236

    PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-

    UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS

    UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

    PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI MENJADI UNDANG-

    UNDANG. Pada bagian kedua, tentang ―KEWAJIBAN PEMERINTAH‖ bahwa:

    Pasal 6

    ―Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan

    perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan

    ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan,

    dan hal-hal lain yang diperlukan oleh Jemaah Haji‖. Bagian Ketiga

    ―Hak Jemaah Haji‖ dan:

    Pasal 7

    Jemaah Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan

    perlindungan dalam menjalankan Ibadah Haji, yang meliputi: (a)

    pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di tanah air,

    di perjalanan, maupun di Arab Saudi; (b) pelayanan akomodasi,

    konsumsi, transportasi, dan pelayanan kesehatan yang memadai, baik

    di tanah air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi; (c)

    perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia; (d) penggunaan Paspor

    Haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah

    Haji; dan (e) pemberian kenyamanan Transportasi dan pemondokan

    selama di tanah air, di Arab Saudi, dan saat kepulangan ke tanah air.

    Jika dijelaskan bahwa CJH asal Kabupaten Kaimana mengalami

    masalah (gagal berangkat) disebabkan karena ketiadaan dokumen,

    maka berdasarkan uraian regulasi undang-undang yang berlaku,

    kegagalan berangkat telah menyalahi ketentuan pada pasal enam dan

    pasal tujuh, UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2009.

    Merujuk pada pasal enam dan pasal tujuh tentang ―KEWAJIBAN PEMERINTAH‖, jhal sangat memiliki kaitan dengan hak-hak warga negara, lihat pasal tujuh. Karena itu, ketika pemerintah lalai

    menjalankan ―kewajiban pemerintah‖, maka terkesan pemerintah mengabaikan hak-hak dasar CJH yang akan melaksanakan rukun Islam

  • 237

    ke lima. Dampak dari kelalaian tersebut akhirya mengakibatkan

    demonstrasi massa terhadap kebijakan yang dibuat. Seperti yang lansir

    oleh koran daerah Radar Sorong bahwa:

    ―massa yang berjumlah ratusan orang datang dengan konvoi kendaraan roda dua maupun roda empat. Sampai di Kantor Bupati, massa yang membawa ―KERANDA MAYAT‖ dan meletakannya di loby ruang tunggu Bupati dan Wakil Bupati. Aparat keamanan dari Polres Kaimana dan Satpol PP tidak bisa berbuat banyak. Usai meletakan KERANDA MAYAT, massa menyegel ruang kerja Bupati Kaimana, Drs. Matias Mairuma. Massa juga menyegel ruang kerja wakil Bupati, Burhanudin Ombaier, S.Sos, dan Assisten I Setda Kaimana, Rita Teurupun, S.Sos. Setelah melakukan aksi pemalangan ruang kerja Bupati, Wakil Bupati dan Asisten I Setdakab Kaimana, sebagian besar massa keluar menggelar orasi di halaman Kantor Bupati, sementara sejumlah warga lainnya bergerak menyegel tiap-tiap ruang kerja di Kantor Bupati Kaimana ini. Aksi itu menyebabkan sejumlah PNS yang sedang berada di dalam ruangan, langsung berhamburan keluar dan memilih untuk berada di luar ruangan. Selain menyegel kantor Bupati Kaimana, massa yang kecewa ini juga menyegel ruang Gedung DPRD Kaimana dan ruang Setwan. Koordinator aksi, Muhammad Karet, dalam orasinya di depan wakil rakyat yang menerima mereka, menegaskan kedatangan pihaknya ke Kantor Bupati dan DPRD sebagai bentuk kekecewaan terhadap proses pengurusan ke 39 calon jemaah haji asal Kaimana yang akhirnya batal berangkat menunaikan ibadah haji. Kami minta DPRD agar membuat laporan ke pihak-pihak terkait soal permasalahan ini. Warga asli Kaimana mempertanyakan mengapa pemerintah melakukan hal ini, memberikan pengurusan haji kepada mereka yang tidak berpengalaman dalam pengurusan keberangkatan haji,• tegasnya. Rusli Ufnia, orator lainnya juga mendesak DPRD Kaimana segera memanggil Bupati Kaimana. Jika pemanggilan tersebut tidak diindahkan, maka DPRD segera membuat sidang paripurna istimewa untuk menidaklanjuti persoalan ini hingga tuntas,• tukasnya2.

    2 Sumber http://www.radarsorong.com/read/2012/10/23/3387/Warga-Palang-Kantor-

    Bupati-dan-DPRD, diunduh pada tanggal 14 November 2017

    http://www.radarsorong.com/read/2012/10/23/3387/Warga-Palang-Kantor-Bupati-dan-DPRDhttp://www.radarsorong.com/read/2012/10/23/3387/Warga-Palang-Kantor-Bupati-dan-DPRD

  • 238

    Sikap masa seperti ini merupakan bagian dari kekecewaan

    terhadap keberangkatan CJH yang tidak bisa menjalankan Rukun

    Isalam ke lima di Tanah Suci.

    Berbeda dengan sikap massa yang melakukan pemalangan

    terhadap infrastruktur dengan menggunakan simbol adat. Kemarahan

    massa terkait gagal berangkat CJH ke tanah suci, tidak menampakkan

    kekecewaan mereka dengan menggunakan simbol adat, massa lebih

    memilih menggunakan simbol yang memiliki nilai relijius.

    Ada pesan penting dari penggunaan simbol relijius tersebut,

    bahwa sebenarnya demonstrasi massa yang mereka lakukan tidak

    memiliki kaitan dengan sejumlah demonstrasi massa yang

    menggunakan simbol adat, selain itu pula, fungsi simbol reliji (keranda

    mayat) yang berhubungan dengan fungsinya (tempat mengusung

    mayat), memberi pengertian tentang ketidakberdayaan pemerintah

    dalam mengurusi perjalanan CJH ke Tanah Suci. Dalam konteks ini,

    rakyat berada pada posisi sebagai pihak yang menyampaikan keluhan

    mereka terhadap pemerintah.

    Ditinjau dari sisi teori gerakan sosial, demonstrasi massa

    merupakan bagian dari sikap keluhan masyarakat kepada pemerintah

    atas berbagai persoalan sosial yang mereka hadapi. Dalam teori keluhan

    yang besumber dari ―The Manifesto of the Communist Party, Karl Marx dan Frederick Engels mengutarakan bila sejarah setiap

    perkembangan peradaban masyarakat yang ada sampai dengan saat ini,

    tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjuangan kelas (Fargains, 2000:

    31).

    Jika menghubungkan substansi masalah CJH dengan teori

    perlawanan kelas yang dipelopori oleh Karl Marx, maka yang di lihat

    orang adalah bentuk perlawanan kaum jelata terhadap kaum borjuis

    (kaum kelas atas). Namun haruslah dipahami, bahwa dampak dari

    prilaku kaum borjuis-lah yang mengakibatkan munculnya gerakan

    perlawanan kaum jelata terhadap kaum borjuis. Perilaku kaum borjuis

    (kaum kelas atas) yang berindak semenah-menah terhadap kaum jelata

    pada akhirnya menimbulkan keluhan dan akibat dari keluhan tersebut

    muncul gerakan perlawanan.

  • 239

    Dalam kaitannya dengan substansi pokok bahasan ini, maka

    demonstrasi massa terhadap gagal berangkat tiga puluh sembilan CJH

    merupakan bagian dari sikap kekesalan dan keluhan massa yang

    mengakibatkan munculnya gerakan perlawanan menggunakan simbol

    ―keranda mayat‖. Gerakan demonstrasi ini tidak mewakili struktur kelas sosial dalam kehidupan masyarakat.

    Penggunaan simbol menurut R. M. Maclver bahwa simbol

    ―keranda mayat‖ melambangkan ―Kesatuan sebuah kelompok... sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian dan sarana komunikasi, sebagai landasan pemahaman bersama... penggunaan simbol ―keranda mayat‖ pada prespektif Edmund Leach (1950:340), hal itu dilihat sebagai ―tindakan-tindakan ekspresif‖ yang bisa menimbulkan presepsi yang berbeda, bisa berhubungan dengan ―tatanan dunia sebagaimana adanya, atau ―bermaksud untuk mengubah tatanan itu secara metaforis‖.

    Inti dari penggunaan simbol ―keranda mayat‖, merupakan simbol reliji yang menggambarkan ketidakpekaan pemerintah terhadap kaum

    yang menunaikan ibadahnya.

    Penggunaan Simbol dalam Kehidupan Manusia

    Manusia dalam aktifitas kesehariannya selalu ditampilkan

    dengan menggunakan simbol, karena itu manusia disebut sebagai

    makhluk simbolik. Perhatikan dalam kehidupan keluarga, entah status

    sosialnya terpadang, atau tidak terpandang, setidaknya dalam rumah

    masing-masing pasti terdapat sejumlah simbol yang digunakan, walau

    mereka tidak merasakan bahwa mereka sementara hidup dengan

    menggunakan simbol. Jika mereka menyadari akan hal itu, dengan

    jujur mereka akan mengatakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa

    simbol.

    Contoh sederhana yang mungkin tidak mereka sadari, ketika

    anda masuk di rumah seorang kristen yang cukup kaya (terpandang),

    ditemukan pada pintu depan terpasang indah sebuah simbol salib, tidak

    jauh dari rumahnya, ada keluarga kristen sederhana (tidak terpandang),

  • 240

    pada bagian depan pintu rumahnya juga terpasang simbol salib yang

    sama. Kedua keluarga yang berbeda status sosial ini, sama-sama

    memiliki kendaraan, yang kaya menggunakan roda empat, sementra

    yang sederhana menggunakan roda tiga (becak). Pada bagian depan

    kendaraan, masing-masing memasang simbol salib, dan yang tidak

    kalah penting dibagian leher kedua orang tersebut melingkar rantai

    dengan simbol salib. Perbedaannya, yang kaya menggunakan simbol

    salib dengan bahan dasar logam mulia (emas), sementara yang

    sederhana menggunakan simbol salib dari bahan dasar kayu.

    Ternyata, antara kaya dan miskin, keduanya memiliki

    ketergantungan yang sama terhadap simbol yang digunakan. Tidak

    peduli asal-usul bahan dasar simbol yang mereka gunakan, yang

    penting bagi mereka adalah simbol berbentuk salib. Sepertinya ada rasa

    aman yang mereka temukan di balik penggunaan simbol tersebut,

    karena itu ketika simbol itu diambil orang, sikap kegelisaan akan

    mereka nampakkan dan mulai berpikir negatif, pasti sesuatu yang

    buruk akan terjadi pada diri mereka.

    Sikap ini sudah ada jauh sebelum simbol salib hadir dalam

    kehidupan manusia, perhatikan ungkapan ini:

    ―sebenarnya simbol-simbol adat yang dimiliki suku Irarutu3 cukup banyak termasuk nama marga. Sama juga dengan marga-marga yang digunakan oleh beberapa suku yang lain. Nama marga memiliki tujuan masing-masing sesuai dengan asal-usul marga yang digunakan. Tujuan penggunaan marga untuk kita suku Irarutu sebenarnya memiliki tujuan untuk menunjukan asal suku, batas wilayah dan asal-usul leluhur masing-masing. Kalau tidak ada marga yang kita gunakan, maka kita menjadi orang asing disuatu tempat. Misalnya, kalau marga yang saya gunakan seperti marga ruwe, maka orang akan mengetahui bahwa saya berasal dari suku Irarutu, kalau saya dari suku Irarutu, maka semua orang mengetahui asal-usul saya dan saya punya milik tanah sampai di mana. Karena itu, marga yang kami gunakan memiliki tujuan tentang kejelasan asal usul, batas-batas wilayah agar tidak menguasai hak milik orang lain atau suku lain.

    3 Salah satu nama suku dari delapan suku yang berada di Kabupaten Kaimana. Irarutu berasal dua kata yaitu Iraru = bahasa/bicara tuturan, dan Tu = benar, sesungguhnya dengan demikian, kata Irarutu mengandung pengertian bahasa yang benar, bicara yang benar

  • 241

    Informasi yang disampaikan hendak memberi kejelasan bahwa

    penggunaan simbol memiliki hubungan dengan leluhur dan alam.

    Karena itu terkait kebijakan pemerintah yang menjadi sasaran gerakan

    perlawanan simbol, maka tujuan gerakan perlawanan tersebut pada

    satu sisi memiliki kaitan dengan gerakan perlawanan yang memiliki

    kemiripan dengan gerakan sosial berbasis etnis, namun pada sisi lain,

    gerakan perlawanan simbol adat bertujuan untuk mengingatkan

    pemerintah bahwa perlawanan yang dilakukan memiliki hubungan

    dengan konteks masa lalu. Gerakan perlawanan simbol merupakan

    gerakan kolektif yang tidak hanya melihat pada masa depan yang akan

    lebih baik, tetapi pada prinsip tertentu, gerakan perlawanan simbol

    ingin menunjukan keterikatan mereka dengan para leluhur.

    Munculnya gerakan kolektif seperti gerakan perlawanan simbol

    adat yang berbasis pada kekuatan simbol masyarakat adat, hal itu

    merupakan sebuah gerakan yang tidak mengarah pada upaya melawan

    pemerintah (menurunkan pemerintahan yang sah), dan tidak bisa

    disamakan dengan gerakan sosial kelas bawah. Sebab yang ingin

    ditunjukan dari penggunaan simbol adat adalah otoritas masyarakat

    adat, mereka ingin menyampaikan pesan-pesan kultur kepada pihak

    pemerintah bahwa mereka adalah pemilik alam.

    Disaat yang sama, melalui simbol adat yang digunakan oleh

    masyarakat adat, masyarakat lokal secara tidak langsung telah memberi

    garis beda antara institusi adat dengan institusi pemerintah, bahwa

    sebenarnya sejak awal keduanya memang beda. Namun perbedaan itu

    tidak berkaitan dengan konteks kelas dalam kehidupan sosial seperti

    teorinya Karl Marx.

    Menggunakan simbol adat sebagai tameng

    Cara memainkan simbol adat oleh masyarakat lokal memiliki

    tujuan untuk menata keteraturan hidup secara internal dan eksternal.

    Secara internal simbol adat digunakan untuk setiap upacara ritual

    (upacara perkawinan, kelahiran, kematian dll). Sementara untuk

    kegunaannya secara eksternal, simbol adat digunakan untuk

    mempertahankan keberadaan komunitas mereka dari berbagai

    ancaman yang datang dari luar komunitas mereka (perang antar suku,

  • 242

    gangguan alam gaib). Pertanyaannya adalah: kapan simbol-simbol

    masyarakat adat terbentuk dan mulai digunakan.

    Hadirnya simbol adat dan penggunaannya dalam diri manusia,

    dimulai dari setiap individu berkeinginan hidup bergabung menjadi

    satu komunitas. Karena terjadi penggabungan setiap individu, dan

    jumlah manusia semakin bertambah melalui perkawinan, maka untuk

    menjaga dan mengatur manusia, mereka membutuhkan sejumlah

    aturan dalam rangka mengatur ketertiban dalam komunitas mereka.

    Untuk tujuan tersebut, maka aturan-aturan diciptakan hanya bersifat

    simbol dan tanda-tanda. Saat itu, manusia belum bisa menciptakan

    huruf, saat itu yang bisa dilakukan manusia hanya sebatas simbol.

    Dalam bukunya ―Strategi Kebudayaan‖, C. A. van Peursen menguraikan pengertian dan proses terwujudnya simbol atau lambang

    dalam kebudayaan manusia antara lain: Tanda mempunyai pertalian

    tertentu dan tetap dengan apa yang ditandai: ―di mana ada asap, di sana ada api‖, asap merupakan tanda adanya api. Namun menurutnya, antara tanda dan apa yang ditandai, tak ada lagi suatu pertalian

    alamiah. Api hanya bisa diketahui kalau ada asap, keduanya berbeda

    secara natural tetapi saling berhubungan satu dengan yang lain.

    Untuk menandai sesuatu yang dilarang, masyarakat adat di

    Kabupaten Kaimana menggunakan beragam simbol seperti ―utie ro-kakur‖ dan simbol ―nggama‖. Simbol ―utie ro-kakur‖ dan simbol ―nggama‖ secara fisik diambil dari beberapa jenis pohon seperti ―utie ro - kakur‖ diambil dari daun sagu dan bambu, sedangkan simbol ―nggama‖ diambil dari janur kelapa. Kedua jenis simbol ini hanya boleh digunakan untuk menandai sesuatu yang berhubungan dengan

    kepemilikan hak ulayat masyarakat lokal. Misalnya, pada lokasi/tempat

    tertentu yang memiliki potensi alam, terkadang karena kecerobohan

    dan sifat tamak manusia, alam digarap hingga menimbulkan kerusakan

    bahkan berpotensi menghancurkan alam sekitar sehingga berdampak

    punahnya habitat di sekitar lingkungan masyarakat, untuk menjaga

    kepunahan alam tersebut, maka masyarakat menggunakan simbol adat

    untuk menandai lokasi tersebut. Wilayah tersebut akan diolah jika

    dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan masyarakat adat, maka

  • 243

    simbol adat kembali dilepaskan. Pada saat itulah potensi alam bisa

    digarap kembali. Kebiasaan ini biasanya masyarakat lokal menyebutnya

    dengan istilah ―sasi nggama‖.

    Secara alamiah, antara simbol ―nggama‖ dengan apa yang ―dilarang/ditandai‖ tidak memiliki hubungan alamiah. Keterhubungan keduanya hanya saling menerangkan satu dengan yang lain. ―Jadi simbol yang terlihat hanya berfungsi menerangkan sesuatu yang tidak sama dengan dirinya sendiri‖. Hal ini sejalan dengan pernyataan R. M. Maclver, ia menjelaskan bahwa: ―Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan maksud simbol... pengungkapan simbol tidak hanya bertujuan memberi keterangan

    tentang sesuatu, tetapi lebih dari itu, ―simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu‖, simbol dijadikan sebagai pusat perhatian tergantung pada makna dan tujuan penggunaannya, selain

    untuk melesteraikan alam, tetapi juga sebagai sumber kehidupan dari

    apa yang mereka tandai. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa simbol

    sebagai ―sebuah sarana komunikasi‖.

    Alasan simbol sebagai sarana komunikasi karena simbol yang

    digunakan merupakan wujud kesepakatan bahasa bersama.

    Kesepakatan bahasa bersama sudah mencakup komunikasi, yang oleh

    Maclver memperjelasnya sebagai ―landasan pemahaman bersama‖... simbol pada sisi yang lain, digunakan dan dilihat sebagai bentuk dan

    cara masyarakat berkomunikasi dengan alam sekitar dengan

    menggunakan media yang berada di alam sekita seperti simbol

    ―nggama‖, maka ―setiap komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, masyarakat adat di Kabupaten Kaimana selalu ―menggunakan simbol-simbol, sebab ―masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol‖.

    Karena itu, kegunaan simbol adat ―nggama‖ dimanfaatkan sebagai alat komunikasi dan informasi antara kelompok atau individu,

    baik yang berada dalam satu wilayah, maupun yang berada di wilayah

    yang berbeda. Namun dalam penggunaana simbol adat, mereka dapat

    disatukan. Hal tersebut oleh Hartoko dan Rakhmanto (1998:133)

    memahaminya dari sisi etimologi, dalam bahasa Yunani ―sym-ballein‖,

  • 244

    yang berarti: ―melemparkan bersama suatu (benda atau perbuatan), yang berhubungan dengan ide.

    Dalam kehidupan manusia, ide seringkali dihubungkan dengan

    konsep-konsep. Sejumlah konsep tersebut melebur dalam diri manusia

    secara individu, dan disebut kekuatan atau potensi. Potensi atau

    kekuatan dalam diri manusia, lalu dituangkan menjadi buah-buah pikir

    manusia dalam bentuk simbol-simbol.

    Untuk memahami hal ini, kita harus membedakan tuangan ide-

    ide masa lalu dengan tuangan ide-ide masa sekarang. Pada masa lalu

    ide-ide dibuat dalam bentuk simbol-simbol, karena pada zamaan itu

    manusia belum mengenal huruf serta membaca dan menulis, maka ide-

    ide hanya dilahirkan dari pikiran mereka sebatas berbentuk simbol.

    Melalui sejumlah simbol masyarakat adat, manusia dapat

    membaca maksud-maksud tertentu yang tertuang dalam simbol. Pada

    masa sekarang, simbol didesain lebih modern dan mengalami

    perubahan bentuk sesuai zaman. Manusia mulai mendesain simbol

    yang dikenal dengan sebutan abjad (a-z), dan dari desain simbol

    berbentuk abjad, maka untuk menandai sesuatu lokasi yang dianggap

    terlarang, cukup dengan menulis seperti begini: ―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖.

    Sesungguhnya tujuan menggunakan simbol adat secara fisik, dan merangkain tulisan larangan, keduanya memiliki tujuan yang

    sama, yaitu ―dilarangan menebang pohon‖. Yang membedakan kedua hal tersebut adalah: pertama, simbol adat dalam bentuk apapun penggunaannya hanya sebatas pada komunitas tertentu dan tidak

    bersifat universal, sementara untuk simbol bahasa seperti ―dilarang menebang pohon di kawasan hutan lindung‖, berlakunya universal; kedua, secara fisik simbol adat seperti simbol ―nggama‖, sangat mudah ditiru pihak lain, maka simbol adat tidak berlaku universal. Sementara

    simbol bahasa berlaku universal, sebab abjad (huruf) memiliki sifat

    universal dan siapa saja boleh menggunakan simbol abjad (huruf).

    Karena sifat universalnya tidak mengganggu dan mengurangi fisik

    simbol bahasa tersebut.

  • 245

    Kebebasan berbahasa dan simbol kuasa dalam bahasa

    Berbahasa yang baik haruslah dimulai dari niat mempelajari

    bahasa. Tidak ada orang yang bisa berbahasa tanpa dimulai dari niat

    mempelajari bahasa. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat

    komunikasi antar manusia, dalam penggunaan bahasa, manusia dapat

    menggunakannya untuk berkomunikasi dengan alam dan makhluk

    hidup yang berada di sekitar manusia, termasuk berkomunikasi dengan

    alam gaib.

    Karena itu, dengan mempelajari bahasa, seseorang dapat

    menggunakan bahasa yang dipelajarinya untuk berbagai maksud, bisa

    untuk hal-hal yang postif tetapi ada orang yang mempelajari bahasa

    untuk tujuan negatif. Hal ini disebabkan karena bahasa mengandung

    unsur kekuatan. Dengan bahasa setiap individu bisa saling

    berkomunikasi dan berinteraksi dalam nilai-nilai yang positif,

    sementara dalam nilainya yang negatif, bahasa bisa digunakan untuk

    menghancurkan orang lain. Hal-hal yang mungkin tidak kita sadari

    dengan bahasa yang digunakan, orang bisa saja memuji dan menghina

    orang lain, dengan bahasa pula manusia bisa membangun dan

    meruntuhkan sebuah kekuatan. Pernakah kita bayangkan bagaimana

    jika pembangunan yang dilakukan tidak menggunakan bahasa. Kisah

    pembangunan menara babel oleh desainer terkenal bernama Nimrod

    hancur berantakan hanya karena kekacauan bahasa.

    Tidak bisa disangkal, bahwa untuk memulai proses

    pembangunan, bahasa sangat memainkan peran utama. Tanpa bahasa,

    komunikasi untuk memulai pembangunan tidak akan pernah berjalan.

    Dengan kesadaran itulah, maka sebelum republik ini terbentuk, pada

    tahun 1928 para pemuda dengan kesadaran nasionalis, mereka

    meletakan bahasa sebagai dasar utama.

    Di antara simbol-simbol negara yang dimiliki bangsa Indonesia,

    kita lebih mengedepankan Simbol Pancasila sebagai unsur kekuatan

    negara, dan mengabaikan peran Bahasa Indonesia sebagai salah satu

    unsur terpenting dalam kehidupan berbangsa, padahal Simbol

    Pancasila bisa dipahami dengan baik, karena menggunakan Bahasa

    Indonesia, perhatikan ke lima sila yang memuat falsafa bangsa,

  • 246

    bayangkan saja jika ke lima sila tidak menggunakan Bahasa Indonesia,

    maka saya sangat yakin, kita tidak pernah memahami secara benar apa

    maksud dan tujuan dari ke lima sila tersebut. Ke lima sila memiliki

    kekuatan dikarenakan menggunakan Bahasa Indonesia.

    Republik ini terbentuk dari beragam suku bangsa dan bangsa.

    Menyadari kemajemukan suku bangsa dan bahasa, maka sangat tepat

    jika keberagaman bangsa bisa diikat menjadi satu kekuatan. Untuk

    maksud tersebut, cetusan ikrar ―sumpah pemuda‖, tentang ―berbahasa satu bahasa Indonesia‖, sangatlah tepat jika simbol bahasa Indonesia dijadikan wadah pemersatu perekat keberagaman dalam melaksanakan

    pembangunan.

    Indonesia menjadi bangsa yang besar karena dalam sejarah

    bangsa, Indonesia mampu mengukir sejumlah sejarah yang besar. Tidak

    ada dalam sejarah sebuah bangsa yang besar menghadirkan catatan

    sejarah sederhana. Tentu masih teringat dalam sejarah bangsa

    Indonesia, bagaimana bangsa ini hadir dengan tahapan-tahapan orde

    dengan bahasa simbol yang sangat memengaruhi masyarakat. Pada era

    ORLA, kita mengenal berbagai bahasa simbol seperti NASAKOM,

    bapak Proklamator dll. Pada era ORBA, kita juga mengenal bahasa

    simbol yang digunakan seperti bapak pembangunan, REPELITA

    (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan era Reformasi masa SBY-JK

    (Susilo Bambang Yudoyono–Yusuf Kalla) mereka berdua tampil dengan

    bahasa simbol ―good governance‖ dan ―katakan tidak pada korupsi‖, tidak ketinggalan era JOKOWI (Joko Widodo) dan JK (Jusuf Kalla),

    keduanya menggunakan bahasa simbol ―kerja, kerja, kerja‖.

    Dalam skala daerah, penggunaan bahasa simbol hampir tak

    terhitung jumlahnya. Simbol-simbol tersebut diciptakan dan

    digunakan berdasarkan kebutuhan, misalnya ketika mengawali masa

    kampanye pemelihan kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

    Ada yang menggunakan istilah seperti: ―penyambung lidah rakyat‖, ―putra daerah‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖, ―pemimpin yang merakyat‖, dan ―bersama rakyat kita bisa‖, ―membangun dari kampung‖.

  • 247

    Sepintas kedengaran indah, keren dan masuk akal. Rakyat seakan

    melayang-layang mendengar sejuta istilah tersebut, tetapi yang utama

    dari sejumlah bahasa simbol seperti ini, perancang dan penggunanya

    sementara membangun relasi kekuatan dan kekuasaan melalui bahasa

    itu sendiri, John B. Thompson menyebutnya sebagai ―As competent speakers we are aware of the many ways in which linguistic exchanges can express relation of power‖... karena itu, dalam penggunaan bahasa simbol, tidak secara lengsung menerangkan hubungan komunikasi

    antara kelompok politik dengan masyarakat, tetapi di dalamnya

    terkandung makna berbeda yang mengarah pada tujuan membangun

    relasi kekuasaan.

    Di Tanah Papua, provinsi hingga daerah-daerah kabupaten/kota,

    berbagai istilah bahasa simbol dilahirkan atas nama rakyat. Beberapa

    istilah yang sangat indah digunakan, misalnya ―OAP‖, ―putra daerah‖, dan ―menjadi tuan di negeri sendiri‖. Penggunaan bahasa simbol seperti ini, ditujukan kepada masyarakat Papua, dengan tujuan untuk

    mengingatkan mereka sebagai pemilik atau tuan tanah di atas tanah

    mereka. Selain itu, bahasa simbol seperti ini memberi gambaran jelas

    bahwa rakyat sangat diutamakan dalam pembangunan. Namun hal itu

    menurut Thompson hanyalah ―We are sensitive to the variation in accent, intonation and vocabulary which reflect different positions in the social hierarchy‖.

    Peranan bahasa dalam kehidupan manusia, khsusnya bahasa

    Indonesia sangat penting. Boleh jadi kita dapat menyebutnya sebagai

    bahasa pembangunan, karena kegiatan pembangunan yang berlangsung

    di Indonesia secara menyeluruh menggunakan bahasa Indonesia. Hal

    itu tercermin dari sistem operasioanl pelayanan pemerintah dan sistem

    pelaporan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan selalu

    menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi ada dua hal yang diperhatikan,

    Thompson menjelaskannya sebagai berikut: Bahasa seringkali menjadi

    ―aparatus hegemoni‖ dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara; pertama, ketika ia (bahasa) tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-

    bahasa lain (yang plural), karena dianggap sebagai ancaman; dan kedua,

  • 248

    ketika ia (bahasa) digunakan untuk menyampaikan informasi (atau

    versi informasi), yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

    Dari pendapat Thompson, dipahami bahwa pada saat para

    pemuda mencetuskan sumpah pemuda, maka di saat itulah bahasa-

    bahasa lokal terancam. Ancaman terhadap bahasa-bahasa daerah yang

    dimiliki suku bangsa dan bahasa di nusantara, bisa terlihat ketika

    bahasa lokal tidak diakomodir dalam sistem pendidikaan nasional.

    Keadaan ini terkesan menempatkan bahasa lokal menjadi bahasa

    nomor dua di negerinya sendiri. Jika kita menjadi tuan di negeri

    sendiri, maka bahasapun harus menjadi tuan di negeri-nya juga.

    Kekuasaan bahasa tidak selalu positif, dan juga tidak selamanya

    negatif, karena kekuasaan bahasa tidak tampil dalam bentuk fisik.

    Dalam tampilannya yang tidak berwujud fisik, maka terkadang

    kekuasaan bahasa sulit untuk dideteksi, sejauh mana dampak yang akan

    ditimbulkan.

    Salah satu bentuk kehadiran kekuasaan bahasa tanpa fisik, selalu

    menyerupai simbol yang kehadirannya terkadang menggunakan bahasa

    slogan yang berkiblat kepada rakyat, misalnya; ―bersama rakya kita bisa‖, ―suara rakyat suara Tuhan‖ dll. Bahasa simbol seperti ini merupakan bahasa pengagungan semu kepada masyarakat, rakyat

    seakan diberi legalitas, ―seolah-olah tanpa rakyat mereka tidak bisa buat apa-apa‖ bahkan ―suara rakyat diberi pengakuan adalah suara Tuhan‖, sesungguhnya ada alasan dibalik pengagungan semu tersebut, karena rakyat sebagai pemegang mandat dalam sistem demokrasi, maka

    penggunaan bahasa simbol bertujuan untuk menarik simpati rakyat.

    Ada saja cara yang dibuat oleh manusia untuk menghadirkan

    dirinya di tengah-tengah rakyat sebagai penguasa. Jelmaannya didesain

    sedemikian rupa melalui bahasa simbol dan ditaburi jutaan makna, hal

    ini dilakukan dengan harapan agar hati masyarakat bisa direbuat.

    Pada sisi lain, desain simbol bahasa menunjukan bahwa manusia

    memang makhluk pencipta simbol. Cara manusia mendesain simbol-

    simbol untuk mencapai tujuan yang diharapkan memang patut diberi

    apresiasi. Perhatikan saja, walaupun makhluk manusia itu belum

  • 249

    pernah bertemu dengan Allah, namun dengan daya imajinasi yang

    dimiliki, makhluk manusia mampu mendesain wajah dan nama Allah

    yang jauh di luar batas kemampuan manusia. Hal ini menunjukan

    betapa hebat makhluk yang satu ini. Bourdieu menyebutkan bahwa

    ―what creates the power of words and slogans, a power capable of maintaining or subverting the social order, is the belief in the legitimacy of words and of those who utter them‖.

    Begitu kuatnya bahasa simbol dalam berbagai bentuk slogan,

    tatanan sosial masyarakat yang begitu kuat mampu diobrak abrik untuk

    mendapat simpati mereka. Perhatikan bagaimana penjual obat di pasar,

    dengan bahasa dan berbahasa yang dia gunakan untuk menawarkan

    hasil prodaknya yang tidak berlabel SNI (Standar Nasional Indonesia),

    bahkan tidak memiliki nomor registrasi dari BPOM (Badan pengawas

    Obat dan Makanan), apalagi sertifikat halal dari MUI (Majelis Ulama

    Indonesia), tetapi dari kekuatan bahasa, semua orang mampu

    didoktrin, bahkan mungkin saja dokterpun bisa terbuai membeli obat

    yang dijualnya. Itulah kreatifitas manusia dalam menghadirkan

    beragam simbol bahasa yang dia ciptakan. Dan itulah manusia sebagai

    makhluk pencipta simbol.

    Gunakan Manusia Dalam Membangun Jangan Gunakan

    Janji

    Mungkin sudah menjadi kebiasaan dalam mengawali sebuah

    proses pembangunan, janji harus diikutsertakan dalam proses itu.

    Karena itu, rasanya kalau janji tidak diikutertakan maka proses

    pembangunan akan terasa hambar. Benarkah demikian? Mungkin iya!

    bagi mereka yang suka memberi janji kepada rakyat, sementara pada

    pihak lain, janji selalu dikonotasikan sama dengan utang dari pihak

    yang menerima janji kepada pihak yang memberi janji. Walau

    demikian, orang masih suka memulai proses pembangunan didahului

    dengan menyampaikan sejumlah janji-janji kepada masyarakat.

    Masyarakat memang terkadang dibuai dengan janji-janji manis

    berupa tawaran-tawaran yang berasal dari pihak-pihak yang memiliki

  • 250

    kepentingan, baik dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi, sosial,

    dan pendidikan dll, mereka berusaha mendapatkan dukungan serta

    simpati masyarakat, maka solusi yang ditempuh dengan cara memberi

    harapan berupa janji kepada masyarakat.

    Membangun masyarakat dengan janji merupakan solusi di luar

    logika (nir-logis), masyarakat merupakan fakta pembangunan,

    masyarakat itu merupakan makhluk sosial yang bisa di lihat, diraba,

    diajak berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama, sementara janji

    merupakan daya imajinatif manusia, alat pembujuk yang tidak

    berwujud. Kedua hal ini menjadi sangat tidak logis jika janji (nir-logis)

    digunakan untuk membangun yang logis (masuk akal) seperti manusia.

    Apa yang dijanjikan mungkin bagi anda masuk akal, mungkin

    juga bagi anda dan dia masuk akal, tetapi sebaiknya yang logis adalah

    masuk akan untuk kau, aku dan mereka. Pada bagian ini, penulis akan

    menggambarkan hasil temuan penulis terkait dengan dampak

    pembangunan yang selalu dimulai dari janji. Bagaimana hal itu

    berdampak dalam kehidupan masyarakat lokal dan pembangunan

    terhadap Orang Asli Papua di Kabupaten Kaimana.

    Bilang kitong (kita) sekolah supaya jadi tuan di negeri sendiri terus kalau tidak sekolah?

    ―walaupun saya staf Distrik Teluk Arguni, namun sebagai anak

    negeri saya tidak setuju dengan cara-cara seperti ini. Memang Kepala

    Distrik yang diganti itu lawan politik, tetapi pesta rakyat ini sudah

    selesai, mengapa pemerintah masih dendam trus lakukan pergantian.

    Sebagai anak negeri, kami lihat selama ini belum ada anak asli yang

    memimpin Distrik Teluk Arguni, hanya orang-orang luar saja yang

    menduduki jabatan kepala Distrik. Trus pemerintah bilang ―kita harus menjadi tuan di negeri sendiri‖, tetapi orang lain yang datang lalu jadi tuan di negeri kita, dan kita hanya sebagai penonton saja. Memang

    kepala distrik baru juga anak Kaimana dari kampung ini juga, tetapi

    dalam dirinya sudah mengalir dua macam darah, ada darah Papua dan

    darah Cina, jadi sebenarnya yang harus diutamakan adalah mereka

    yang asli dulu barulah anak-anak Papua yang peranakan. Karena

    Bupati Kaimana sudah buat keputusan maka kami anak negeri buat

  • 251

    sikap penolakan dan kantor distrik kami palang menggunakan simbol

    adat‖.

    Bahasa sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan

    manusia, karena itu dalam menggunakan bahasa, manusia dapat

    berinteraksi dengan sesamanya. Begitu kuatnya peranan bahasa dalam

    kehidupan manusia, sampai-sampai manusia lupa kalau bahasa dapat

    membuat dirinya terjerat dalam berbagai masalah.

    Menghadapi persoalan pembangunan di Papua, khususnya

    pembangunan di ―Negeri 1001 Senja‖, faktor utama yang dihadapi adalah manusia. Karena yang dihadapi adalah manusia, maka yang

    harus dilakukan adalah pembinaan terhadap manusia, sebab manusia

    merupakan indikator utama dalam pembangunan.

    Terkadang tanpa sadar dalam melaksanakan pembinaan, terjadi

    kesalahan-kesalahan dalam pembentukan karakter manusia. Kesalahan

    tersebut erat kaitannya dengan bahasa yang digunakan saat melakukan

    komunikasi.

    Penjelasan responden pada paragrap pertama, terindikasi terjadi

    kesalahan dalam melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Tanpa

    sadar, dalam melaksanakan pembangunan pada bidang pemberdayaan

    masyarakat atau peningkatan kualitas hidup masyarakat, sejumlah

    pihak yang bertanggung jawab dalam program-program tersebut, entah

    sadar atau tidak, mereka mendesain cara berkomunikasi dengan cara

    seperti misalnya: ―kamu harus sekolah supaya bisa menjadi tuan di negeri sendiri‖. Pesan bahasa simbol yang disampaikan dengan cara seperti ini, tidak sebatas sebagai bahasa spirit/penyemengat semata.

    Seharusnya disadari bahwa suatu saat masyarakat akan meminta

    pertanggungjawaban atas apa yang kita sampaikan kepada mereka.

    Fakta yang sangat jelas bisa dilihat dari aksi pemalangan Kantor

    Distrik Teluk Arguni atas kebijakan pemerintah untuk melakukan

    mutasi terhadap kepala distrik. Sikap masyarakat adat dengan

    melakukan pemalangan terhadap kantor distrik menunjukan bahwa

    masyarakat meminta pertanggungjawaban atas pesan bahasa simbol

    yang pernah mereka terima dari pihak pemerintah, atau dari pihak-

  • 252

    pihak lain. Mungkin saja pemerintahan saat ini bisa saja membantah

    bahwa kami tidak memberi janji dan harapan seperti itu, namun satu

    hal yang pasti, bahwa pemerintahan saat ini adalah juga bagian dari

    pemerintahan masa lalu, yang berhadapan dengan konteks yang sama.

    Karena itu sikap masyarakat jelas. John B. Thompson menjelaskan

    bahwa:

    ―bahasa tak sekedar menjadi alat komunikasi yang mencakup sekumpulan kata-kata bermakna dalam sebuah proses pemahaman. Ia juga bisa berubah menjadi instrumen kekerasan yang mengeksploitasi semesta simbolik dalam jejaring kekuasaan. Bahasa—sebagai salah satu ruang produksi dan diaspora simbol—didapati oleh pelbagai kepentingan untuk memperebutkan legitimasi dan mendapatkan otoritas guna menanamkan otoritas‖.

    Bahasa seringkali menjadi aparatus hegemoni dari sebuah sistem kekuasaan melalui dua cara. Pertama, ketika ia tidak memberi ruang hidup bagi bahasa-bahasa lain (yang plural) karena dianggap sebagai

    ancaman. Kedua, ketika ia digunakan untuk menyampaikan informasi yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan. Dalam pertarungan

    simbolik, selalu terdapat kekuatan-kekuatan untuk memberi nama

    yang diakui secara resmi, monopoli visi yang sah terhadap dunia sosial,

    dan memaksa pandangan suatu kelompok atas kelompok lain. Dalam

    pertarungan simbolik pula, kompetisi antar pelaku sosial terjadi dengan

    tujuan akhir memperoleh kekuasaan.

    Dari teori ini, dapat dipahami bahwa pesan-pesan berupa

    dorongan terthadap masyarakat lokal di Papua ―kamu sekolah supaya bisa jadi tuan di negeri sendiri‖, pada satu sisi sangatlah tepat karena memberi motifasi terhadap masyarakat, namun pada sisi lain tersirat

    sikap pemerintah bahwa ―selama kamu tidak mau sekolah, kamu tidak akan bisa menjadi tuan di negerimu sendiri‖.

    Pendidikan selalu menjadi faktor penentu masa depan seseorang

    untuk menjadi tuan di atas tanah-nya sendiri. Karena itu, jika tidak

    berpendidikan, maka jangan berharap menjadi tuan di negeri sendiri.

    Steitmen ini perlu dievaluasi kembali, karena konotasi dari bahasa

    simbol ini seakan memberi keleluasaan kepada siapa saja, dari dunia

    mana saja, suku mana saja untuk bisa menjadi tuan di negeri orang lain,

  • 253

    asalkan dia berpendidikan. Jika berangkat dari konteks seperti ini,

    maka sampai kapanpun, OAP di ―Negeri 1001 Senja‖, tidak akan pernah mendapat kesempatan menjadi tuan di atas negerinya sendiri,

    karena pendidikan dijadikan syarat utama.

    Jika pendidikan menjadi syarat untuk menjadi tuan di atas tanah

    mereka sendiri, maka masyarakat diperhadapkan dengan pilihan yang

    amat berat. Pilihan jalur pendidikan menjadi sebuah syarat utama

    mungkin bagi pihak lain yang memiliki kemapanan ekonomi hal itu

    tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi masyarakat kecil, menempuh

    pendidikan tinggi bukan persoalan mudah bagi mereka hidup di

    kampung-kampung terpencil di Papua khususnya di Kabupaten

    Kaimana.

    Jika pendidikan itu semudah aktifitas masyarakat seperti

    memancing, pangkur sagu dan berburu hewan hutan, maka hal itu

    tidak masalah. Tidak disuruhpun mereka langsung melakukannya.

    Tingkat kesulitan pelaksanan pendidikan di Kabupaten Kaimana sangat

    jelas dari cerita responden yang satu ini:

    ―pendidikan yang berlangsung di negeri ini, tidak bisa kita samaratakan, sebab ada wilayah-wilayah tertentu yang boleh dikatakan pendidikannya sudah agak membaik, tetapi ada pula di wilayah-wilayah tertentu yang masih perlu diberi perhatian ekstra oleh pemerintah. Mengapa saya katakan demikian, karena dari sejumlah usul saran yang kami terima saat MUSDIS (Musyawarah Distrik) di setiap distrik, setiap usul saran berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, pada wilayah tertentu, kalau tidak ada guru, mereka langsung temui instansi terkait dan melaporkan situasi terkini, bahwa guru-guru tidak ada di kampung. Melalui laporan masyarakat, pemerintah langsung mengambil langkah-langkah, itu konteks pertama. Yang kedua, walaupun pemerintah telah hadirkan guru, tetapi orang tuanya datang dan mengambil anak-anak mereka disekolah untuk dibawa masuk hutan berminggu-minggu bahkan bisa berbulan-bulan. Konteks ini yang saya katakan tadi bahwa tidak bisa kita ukur standar rata-rata pendidikan di Kabupaten Kaimana, sebab masalah pendidikan yang dialami sangat berbeda-beda, jadi, kalau kita memberi perhatian pada satu wilayah untuk mendongkrak pendidikan dasar di wilayah tersebut untuk bisa

  • 254

    sama dengan wilayah yang satu, nanti ada masyarakat di wilayah lain cemburu dan mengatakan bahwa pemerintah tidak adil‖.

    Dari tingkat kesulitan seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa

    kriteria menjadi tuan di negeri sendiri seharusnya dievaluasi kembali.

    Penekanan terhadap ―diveluasi kembali‖ tidak berarti mengabaikan jalur pendidikan. Sebab pendidikan sudah menjadi keputusan dan janji

    para pendiri bangsa bahwa ―mencerdaskan kehiduan bangsa‖ sudah menjadi tugas pemerintah terhadap masyaraktanya (lihat baid keempat

    UUD 1945).

    Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam konteks nasional, biaya

    pendidikan masih teramat mahal dan sulit dijangkau oleh kaum papah

    di wilayah terpencil. Dalam skala daerah, ada kebijakan-kebijakan

    pemerintah daerah yang sudah menggratiskan biaya pendidikan namun

    masih sebatas SMU/SMK sederajat. Bahkan di Tanah Papua hak-hak

    pendidikan OAP sangat jelas tersalur dalam Undang-Undang Otonomi

    Khusus Nomor 21 Tahun 2001. Tetapi dalam faktanya, biaya

    pendidikan yang tersalur dari UU OTSUS Papua, belum bisa

    membiayai seluruh OAP yang mengikuti pendidikan tinggi. Karena itu,

    motifasi terhadap OAP untuk mengikuti pendidikan agar ―bisa menjadi tuan di negeri sendi