BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN...
Transcript of BAB IV RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI …€¦ · BAB IV. RITUAL MANGEJING DAN...
BAB IV
RITUAL MANGEJING DAN PEMBENTUKAN INTEGRASI SOSIAL
MASYARAKAT KAMPUNG WAIWUNGA
4.1. Pengantar
Dalam bab-bab sebelumnya, terungkap bahwa agama beserta ritualnya
dalam suatu masyarakat terutama masyarakat suku, memiliki korelasi yang erat
dengan proses terbentuknya integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Demikian
pula Agama Marapu melalui ritual mangejing, berperan penting dalam
pembentukan integrasi sosial bagi masyarakat Sumba. Berdasarkan data-data
lapangan yang ditemukan, ritual mangejing di Kampung Waiwunga, merupakan
instrumen pembentuk integrasi sosial bagi masyarakat tersebut. Ritual mangejing
telah menjadi suatu kesatuan dan kompleksitas yang menjalin makna maupun
simbol dan perilaku dalam pembentukan integrasi sosial. Integrasi sosial yang
dimaksud adalah proses penyesuaian di antara sistem-unsur atau komponen yang
saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola
kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi, serta sebagai suatu realita
terjadinya pembauran menjadi kesatuan yang utuh dan bulat.
Bertitik tolak dari pemahaman di atas, uraian dalam bab ini akan
memaparkan pemikiran-pemikiran analitis terhadap ritual mangejing yang
terdapat dalam masyarakat Kampung Waiwunga. Hal ini dilakukan guna
menampilkan dimensi integrasi sosial bermakna logis dan integrasi sosial
fungsional kausal yang terbentuk dalam masyarakat tersebut. Demikian juga
berbagai potensi perubahan yang ditemukan, mendorong analisa diarahkan pada
ketegangan-ketegangan sosial yang terjadi sebagai akibat dari interaksi dan
74
penetrasi sejumlah faktor eksternal, serta keberadaan lembaga-lembaga sosial-
religius baru dalam konteks kehidupan masyarakat Waiwunga.
4.2. Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Bermakna Logis
Berdasarkan skema berpikir Cliford Geertz tentang kebudayaan dan
agama, ritual mangejing merupakan salah satu komponen pembentuk kebudayaan
sekaligus yang berperan dalam pembentukan integrasi sosial bermakna logis bagi
masyarakat kampung Waiwunga.28 Integrasi sosial bermakna logis (logico-
meaningful integration) adalah sesuatu yang khas kebudayaan, merupakan
kesatuan gaya, implikasi logis serta kesatuan makna dan nilai, dan tidak mudah
berubah-ubah. Aspek-aspek fundamental seperti “etos” dan “pandangan hidup”
merupakan dimensi makna yang turut membentuk integrasi sosial bermakna logis.
Etos adalah sifat, watak, dan kualitas kehidupan serta sikap mendasar terhadap
diri sendiri dan dunia diluar dirinya, yang direfleksikan dalam kehidupan nyata.
Sedangkan pandangan hidup (world view) merupakan aspek kognitif dan
eksistensial dari kehidupan atau kebudayaan dan merupakan gambaran tentang
kenyataan apa adanya baik konsep-konsep tentang alam, diri sendiri dan sesama
manusia.29
Berkaitan dengan hal di atas, kosmologi orang Sumba dalam konteks
Agama Marapu, terutama pandangan tentang alam semesta, pandangan tentang
Yang Ilahi, serta pandangan tentang manusia, menjadi titik pijak analitis untuk
menjelaskan lebih jauh tentang dimensi makna sebagai sumber integrasi sosial
bermakna logis.
28 Lihat Skema Berpikir Geertz pada Bab II 29 Geertz, Kebudayaan & Agama, 51.
75
4.2.1. Pandangan Dunia Orang Sumba Tentang Alam
Orang Sumba memahami alam sebagai totalitas yang memiliki kekuatan
gaib, memiliki kehidupan, memiliki kemauan atau kehendak. Konsepsi tentang
alam bagi orang Sumba terdiri dari tiga tingkat atau lapisan yaitu 1).Alam atas
atau langit sebagai tempat bersemayamnya Sang Ilahi yaitu Yang tidak dapat
disebutkan namaNya, Yang menciptakan Manusia, Ibu dan Bapak alam semesta
(Na Ndapa Tiki Tamu - Ndapa Nyura Ngara; Mawullu Tau - Majii Tau; Ina
Pakawurungu - Ama Pakawurungu) serta para leluhur (Marapu). 2).Alam Tengah
atau bumi, merupakan tempat manusia dan makluk-makluk lainnya; 3).Alam
bawah sebagai tempat bagi arwah-arwah atau roh orang mati yang tersesat dan
roh-roh jahat. Dunia ini merupakan tempat pertentangan roh-roh baik dan jahat.
Menjadi jelas bahwa orang Sumba memahami dirinya sebagai bagian
yang utuh dari alam semesta (totalitas kosmis). Dalam prinsip totalitas kosmis,
alam semesta yang diciptakan oleh Yang Ilahi, dilengkapi dengan keteraturan,
keharmonisan, keselarasan yang mana manusia memiliki tanggungjawab dan
kewajiban untuk terus memelihara keharmonisan itu. Keyakinan ini mengarahkan
segala aktivitas sosial-religious orang Sumba dalam berbagai-bagai bidang adat
istiadat (kawin mawin, pertanian, kematian), untuk menjaga keselarasan dan
keharmonisan hubungan dengan Yang Ilahi, alam semesta, dan sesama manusia.30
4.2.2. Pandangan Dunia Orang Sumba Tentang Ilahi
Orang Sumba meyakini bahwa keberadaan alam semesta tidak terjadi
dengan sendirinya, namun diciptakan oleh Sang Ilahi yaitu Mawullu-Majii
30 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 38-40, 90-93; Mubyarto, Etos Kerja dan
Kohesi Sosial, 39-41
76
(Pencipta) atau Ina Pakawurungu-Ama Pakawurungu (Ibu-Bapak semesta).
Setelah menciptakan, Sang Ilahi meninggalkan alam semesta dan bersemayan
ditempat yang jauh dan tak terjangkau oleh manusia yaitu tanah dan batu
keselamatan (Tana Manangu-Watu Manangu). Namun transendensi Ilahi tersebut
tidak menghalanginya untuk menjadi Yang Maha melihat dan Maha Mendengar
(Na ma Bakulu Wua Mata, Ma Mbaralu Kahilu) terhadap segala sesuatu yang
terjadi di dunia dan juga manusia dengan segala perilakunya. Dalam upaya
berhubungan dengan Yang Ilahi, orang Sumba percaya kepada leluhurnya yang
diperilah yaitu Marapu, yang dipandang memiliki kekuatan ilahi sebagai
“perantara” (Lindi Papakalangu, Ketu Papajolangu).31 Latar belakang
pemahaman inilah yang menyebabkan segala permohonan dalam ritual-ritual yang
dilakukan, disampaikan melalui Marapu.
Disamping sebagai perantara, Marapu diyakini pula sebagai pengatur,
pemelihara alam semesta yang mewujudkan kekuatan ilahi dalam bentuk tanda-
tanda alam (kilat, gempa bumi, dan lain-lain), maupun dalam bentuk benda-benda
(gunung, batu, pohon, emas yang dikeramatkan dan sebagainya). Eksistensi
rumah (uma), bukan sebagai tempat tinggal saja, namun melambangkan kesatuan
hidup manusia dengan Marapu yang diperilahnya, sekaligus menjadi pusat
penyelenggaraan penyembahan pada Marapu. Rumah-rumah adat dalam
perkampungan orang Sumba melambangkan hubungan dunia nyata yang tidak
dipisahkan begitu dengan alam baka. Rumah adat merupakan perpaduan mikro-
kosmos dan makro-kosmos.
31 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 87-88.
77
4.2.3. Pandangan Dunia Orang Sumba Tentang Manusia
Manusia merupakan makluk hidup yang juga turut diciptakan oleh Yang
Ilahi. Penciptaan manusia ini dilengkapi dengan hukum dan keteladanan (nuku
hara-hori pangerangu) yang menjadi dasar pokok hukum adat istiadat masyarakat
Sumba dan harus diberlakukan dalam seluruh kehidupan warganya. Dalam cerita
penciptaan manusia, sejarah leluhur orang Sumba hingga berada di Sumba
diungkapkan dalam syair adat (luluku) yang berbunyi: “Malaka-tana bara, hapa
riu-ndua riu, hapa njawa-ndua njawa, ruhuku mbali, ndima, ndima makaharu,
endi ambarai, numba hadamburu, haharu malai-kataka lindi watu”. Syair ini
berarti mengisahkan bahwa para leluhur datang ke Sumba melalui pulau-pulau
Riau, Jawa, Bali, Bima, Makassar, Ende, Manggarai, Ndao, Sabu-Raejua, lalu tiba
di salah satu tanjung yang bernama “tanjung sasar”. Ucapan kataka lindi watu
dimaksudkan bahwa semula antara Pulau Flores dan Sumba terdapat titian batu
yang dijadikan jembatan untuk menyeberang ke Pulau Sumba.32 Nuku hara-huri
pangerangu (hukum adat), merupakan standar normatif nilai-nilai dan tata aturan
yang dipesankan oleh para leluhur yang diperilah (Marapu) serta diwariskan
secara turun temurun dan berperan menata keteraturan serta menjadi pedoman
dalam kehidupan adat istiadat maupun perilaku keseharian bagi masyarakat
Sumba.
Kisah leluhur masyarakat Sumba dikisahkan dalam rumusan adat
“Awangu walu ndani-Tana walu tawa (Langit delapan tingkat dan bumi delapan
lapis), atau dari Bangga Bila-Mau Hanjata, Talora Mbidahu-Mau Mbidahu
32 Oe.H.Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, , 11-20, 26.
78
(langit ke delapan). Para leluhur turun ke bumi yang bernama Malaka Tana Bara
(Lapis langit ke 9). Dalam kisah masyarakat Sumba bagian Lewa disebut bahwa
telah turun delapan (8) leluhur maramba (raja) dan delapan (8) orang ata
(hambanya) dari langit delapan lapis di Malaka Tana Bara (Lapis ke 9), lalu ke
Jawa, Mbali, Ndima, Humba (Jawa, Bali, Bima, hingga tiba di Sumba). Berikut
adalah gambar delapan lapis langit:
Gambar 13. Sejarah perjalanan leluhur Sumba melalui delapan lapis langit.33
Adapun Awangu Walu Ndani (delapan lapis langit) tersebut adalah:
Langit pertama disebut Hupu Makanjidingu-Hupu Makapatangu (Yang tergelap
dan gulita). Disinilah tempat bersemayam Sang Pencipta Alam Semesta, dan
tempat lahir pihu mini maramaba-walu kawini ratu (tujuh laki-laki raja dan
delapan perempuan ratu). Langit kedua disebut Kabundu Tana Mulungu-Watu
Pahingganggu (timbunan tanah lenyap dan himpunan hutan lama). Langit Ketiga
33 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 211-232
79
adalah Tana Tanjuruku-Watu Pahingganggu (tanah yang licin dan batuyang
disokong). Langit keempat Lia Kanjidingu-Lia Kapatangu (Liang yang gelap
gulita). Langit kelima adalah Liangu lira-Ngamba watu (liang mengecil atau ciut
dan tebing batu). Langit Keenam adalah Reti Wula- Kudu Mbaya, Reti Ananjara-
Pindu Anatau (Kubur bulan dan batu kuningan, kubur arca kuda dan pintu patung
orang). Ditempat inilah dibuat bulan dan matahari. Langit ketujuh disebut Tana
Mumu-Watu Nggela (Tanah berguncang dan batu bergoyang). Langit kedelapan
adalah Talora Mbidahu-Mau Mundi, Bangga Bila-Mau Jati (Halaman rata dan
balai berkilat, dibawah naung pohon mundi-jeruk besar dan pohon jati). Pada lapis
kedelapan inilah para Marapu belajar segala sesuatu yang sekarang berlaku
dibumi, baik hal membuat rumah dengan segala ritusnya, membuat gong dan
tambur yang menjadi alat bunyi-bunyian. Semua hal ini diwariskan kepada
manusia. 34
4.2.4. Simbol-simbol Marapu
Pandangan dunia orang Sumba sebagaimana dipaparkan di atas,
merupakan sumber pembentuk Integrasi Sosial bermakna logis bagi masyarakat
Sumba, dan khususnya masyarakat Kampung Waiwunga. Ritual mangejing
merupakan panggung pentas tatanan makna, nilai, maupun perilaku dan simbol-
simbol kehidupan sosial-religi yang menjadi sumber pembauran dan penyatuan
masyarakat Kampung Waiwunga sebagai suatu identitas komunal sosial-religius.
Melalui ritual mangejing, dapat ditemukan bahwa tatanan makna
diproyeksikan dalam bentuk dan rumah adat orang Sumba dengan arsitektur dan
34 Kapita, Sumba Dalam Jangkauan Jaman, 211-232; Wora Hebi, Ringkiknya Sandel
Harumnya Cendana, 25-30.
80
fungsinya masing-masing yang menggambarkan posisi serta keutuhan hidup
manusia dalam hubungan dengan Yang Ilahi dan makluk ciptaan lainnya.35 Secara
sosial keyakinan akan keutuhan diatas, nampak pula dalam pola kampung
(praingu) sebagai bentuk keterikatan individu, marga, maupun klan (kabihu)
dalam lingkungan yang lebih luas. Konsepsi kampung (praingu) merupakan
gambaran keterikatan bathiniah dan kehidupan nyata bagi masyarakat kampung
Waiwunga baik terhadap tanah yang didiaminya untuk tidak boleh ditinggalkan
sebagai bentuk menjaga dan memelihara pemberian Yang Ilahi, maupun untuk
hidup bersama dan berdampingan satu dengan lain dalam menjalankan kehidupan
dan aktivitas bersama secara kolektif.36 Kuburan yang terletak ditengah kampung
(praingu), serta altar-altar persembahan (katoda) yang terletak ditengah kampung
atau di depan rumah setiap kabihu dan menjadi tempat pelaksanaan ritual
penyembahan kepada Marapu, merupakan pancaran faktualitas makna hubungan
manusia dengan Yang Ilahi. Dalam hal ini masyarakat kampung Waiwunga
berupaya terus berhubungan dengan para leluhur atau yang diperillah sebagai
Marapu melalui keberadaan kuburan, katoda (altar), dan simbol benda-benda suci
(tanggu Marapu).
Disamping simbol rumah, kampung, kuburan, dan katoda (altar
penyembahan), terdapat pula tanggu marapu (benda-benda suci Marapu) yang
disimpan dirumah.37 Benda-benda suci terdiri dari anyaman daun pandan atau
anyaman daun lontar maupun rotan yang dipergunakan untuk menyimpan beras,
nasi dan lauk pauk (mbola), periuk tanah (wurung tana), tempat sirih-pinang
35 Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, 36: Lihat pula Bab III tulisan ini 36 Lihat konsep kampung (praingu) dalam Bab II 37 Lihat Bab III tentang Tanggu Marapu
81
(tanga wahil). Tanggu marapu ini secara simbolis menunjukkan keberadaan salah
satu marga tertentu dalam kabihu, sekaligus menjadi pengikat setiap anggota
kabihu dan marga tersebut sebagai bagian dari kolektivitas kabihu. Tanggu
marapu telah membentuk ikatan rasa sebagai suatu kesatuan keluarga. Hubungan
kekeluargaan ini bukan lahir hanya karena mereka memiliki hubungan darah yang
jelas dan baku saja, namun karena mereka disatukan secara simbolis melalui
keberadaan benda-benda suci yang diklasifikasi sesuai nama marganya masing-
masing. Secara kolektif mereka telah ditandai dengan simbol-simbol benda suci
sebagai bagian yang utuh dari kolektif. Emile Durkheim mengatakan bahwa
kesatuan dan kepaduan mereka muncul dari nama dan lambang yang sama, dari
kepercayaan akan adanya ikatan bersama dengan kategori-kategori hal-ihwal
tertentu, dan dari ritus-ritus yang juga mereka praktekkan bersama.38
Mengelola alam terutama kegiatan bercocok tanam, adalah ibadah dan
karena itu menjadi kewajiban bagi setiap individu maupun kolektif masyarakat
Kampung Waiwunga untuk melakukannya. Makna mendasar di balik kegiatan
bertani (dan beternak) bukan sebatas untuk pemenuhan kebutuhan ekonomis,
namun berorientasi religius dan sosial. Orientasi religiusnya adalah menjaga
keseimbangan hubungan dengan alam dan menghasilkan bahan persembahan
kepada Marapu. Sedangkan orientasi sosialnya adalah bahwa apa yang dihasilkan,
akan menjadi bahan-bahan pendukung pelaksanaan adat istiadat dalam keluarga,
kabihu maupun dalam kebersamaan di kampung (praingu). Tuntutan-tuntutan
kerja sawah dan kebun dengan kondisi alam yang kering, memerlukan ketetapan-
38 Durkheim, Bentuk-bentuk Dasar Kehidupan Keagamaan : Sejarah Bentuk-bentuk
Agama Yang Paling Dasar, 252.
82
ketetapan khusus untuk kerja sama teknis dan memperkuat kebersamaan dan
kohesivitas kelompok. Dalam konteks inilah ritual mangejing telah menjadi
instrument religious, dalam gaya yang sama sebagai pola perayaan bersama, dan
berperan memperkuat kembali rasa kebersamaan. Pelaksanaan ritual mangejing
dengan mengacu pada nilai-nilai, aturan-aturan, mekanisme, dan sejumlah kriteria
pelaksanaannya, merupakan ekspresi pelaksanaan dan penerapan hukum serta
keteladanan (nuku hara-hori pangerangu) yang menjadi dasar pokok hukum adat
istiadat masyarakat Sumba dan harus diberlakukan dalam seluruh kehidupan
warganya.
Penanggalan musim yang menjadi acuan masyarakat Kampung
Waiwunga dalam berinteraksi dan mengelola alam, menggambarkan adanya
kebutuhan yang besar bagi masyarakat Waiwunga untuk mengetahui posisi
mereka secara ruang dan waktu. Mereka membuat garis-garis waktu dalam
ingatan dan ruang kehidupannya, sebagai upaya menempatkan posisi mereka
dalam ruang dan waktu kehidupannya, dan dalam garis-garis waktu itulah mereka
menjalankan kehidupan dalam hubungannya dengan Yang Ilahi, alam, dan sesama
manusia.39 Dalam pandangan Clifford Geertz penanggalan musim adalah sebagai
mesin kultural yang memotong-motong waktu menjadi unit-unit terbatas, bukan
supaya dapat menghitung atau menjumlahkan, melainkan untuk menjelaskan dan
mencirikan, untuk merumuskan makna sosial, intelektual dan religius yang
berbeda dari unit-unit waktu itu.40 Durkheim menyebutkan bahwa kategori waktu
adalah framework abstrak yang tidak hanya berisikan eksistensi individual tapi
39 Lihat Bab III
40 Geertz, Tafsir Kebudayaan, 182.
83
juga humanitas. Pengorganisasian waktu bersifat kolektif dan karena itu
merupakan ekspresi ritme aktivitas kolektif yang berpatokan pada keteraturan
tersebut.41
Dapat dikatakan bahwa ritual mangejing merupakan panggung pentas
tenunan makna integrasi sosial bermakna logis bagi masyarakat Kampung
Waiwunga. Dengan memahami ritual mangejing, menjadi jelas bahwa integrasi
sosial bermakna logis yang terbentuk dalam kehidupan masyarakat Waiwunga
adalah perpaduan dan pembauran sejumlah pandangan hidup, etos, nilai dan
norma, sifat, watak, batasan-batasan, benda-benda, peristiwa dalam ruang dan
proses, serta kualitas kehidupan dan sikap mendasar terhadap diri sendiri dan
dunia diluar dirinya, yang diekspresikan dan direfleksikan dalam kehidupan nyata.
Sebagai sesuatu yang khas kebudayaan, integrasi sosial bermakna logis bagi
masyarakat Kampung Waiwunga adalah seperangkat makna yang secara umum
diterima dan dirasakan artinya, dan karenanya dimiliki bersama oleh masyarakat
tersebut. Makna tersebut terekspresikan dalam berbagai bentuk simbol dan sistim
social yang didalamnya berlangsung perilaku sosial, bentuk-bentuk kelompok dan
lapisan masyarakat. Kondisi ini ang pada gilirannya membentuk sistim arti dan
rasa atau menjadi sistim keberartian.42
4.3. Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Fungsional Kausal
Integrasi sosial fungsional-kausal (causal-function integration) adalah
integrasi yang khas bagi sistim sosial, yaitu jenis integrasi yang ditemukan dalam
41 Durkheim, Bentuk-bentuk Dasar Kehidupan Keagamaan : Sejarah Bentuk-bentuk
Agama Yang Paling Dasar, 31 42 Bruce J. Malina, Asal Usul Kekristenan & Antropologi Budaya, (Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2011), 18-19.
84
suatu organisme, dimana seluruh bagiannya terpadu dalam suatu jaringan kausal.43
Dalam upaya memahami substansi integrasi sosial fungsional kausal dalam
masyarakat Kampung Waiwunga berdasarkan konsep ini, cara pandang terhadap
masyarakat Kampung Waiwunga haruslah dilihat sebagai suatu kesatuan sistim
sosial yang dibentuk oleh struktur sosial yang didalamnya berlangsungnya
interaksi dan pola perilaku sosial-religius. Sejumlah unsur yang menjadi sumber
terbentuknya integrasi sosial fungsional kausal adalah struktur sosial yang di
dalamnya terdapat perilaku sosial-religius sebagai ekspresi konkrit akan tatanan
makna kehidupan mendasar sebagaimana yang sudah dibahas pada bagian
sebelumnya. Demikian pula dalam sistim sosial terdapat kelompok sosial, lapisan
social, maupun institusi sosial.
Perspektif fungsionalisme menekankan bahwa perilaku seseorang dalam
bidang kebudayaan, menampilkan dunia-dalamnya. Kebudayaan terbentuk oleh
perilaku manusia mengekpresikan dirinya dan mencari relasi-relasi tepat terhadap
dunia sekitarnya.44 Pandangan ini dapat menjelaskan bahwa perilaku sosial dan
religius masyarakat Kampung Waiwunga merupakan cerminan dari unsur-unsur
makna yang terdapat dan dianutnya sebagi bagian dari spirit kehidupan suatu
masyarakat religi dan berbudaya. Menjadi jelas bahwa sekalipun terdapat
pembedaan antara integrasi sosial yang bermakna logis dan integrasi sosial
fungsional kausal, namun keduanya tetap saling terikat dan mempengaruhi. Hal
ini nampak dalam sistim sosial-religius masyarakat Kampung Waiwunga yang
merupakan cerminan pandangan hidupnya tentang kesatuan manusia dengan alam
43 Geertz, Tafsir Kebudayaan, 74. 44 C.A.Van Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 105
85
dan Yang Ilahi, serta sikap, watak, motivasi, dan penilaiannya terhadap
lingkungan alam dan sosialnya.
4.3.1. Menyikapi Kondisi Alam
Kondisi alam seperti topografi, geografi, serta iklim memiliki peranan
penting dalam proses terbentuk dan berlangsungnya integrasi sosial fungsional
kausal dalam kehidupan masyarakat Kampung Waiwunga. Alam yang kering dan
curah hujan yang sedikit, menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat
Waiwunga. Kondisi alam ini memberikan pilihan sikap dan kesempatan bagi
masyarakat Kampung Waiwunga untuk mengembangkan pola sikap dan
perilakunya terhadap lingkungan alam maupun sosialnya.
Dalam menghadapi dan menyikapi kondisi alam yang demikian,
masyarakat Waiwunga memiliki prinsip bahwa kebersamaan atau kolektivitas
dalam bekerja bercocok tanam dengan mengelola sawah maupun berkebun,
menjadi sebuah keharusan. Kolektivitas menjadi modal sosial yang membentuk
mental dan sistim perilakunya untuk mengatasi segala kesulitan hidup baik yang
dihadapi dalam lingkungan alam maupun sosial. Prinsip yang dianutnya adalah
bahwa dengan bersama-sama sebagai suatu kelompok baik kabihu maupun antar
kabihu, mereka mampu menanggulangi berbagai tantangan alam serta masalah-
masalah kehidupan lainnya. Itulah sebabnya dalam melakukan kegiatan pertanian
atau aktivitas adat istiadat lainnya seperti kematian dan perkawinan, selalu
dilakukan dalam kebersamaan sebagai suatu kolektif. Pola pengambilan
keputusan melalui kesepakatan forum bersama (pahamang), serta kerja gotong
86
royong untuk saling membantu (pandulang-panjulur), menjadi mekanisme
tersendiri yang mengatur kebersamaan itu dalam tuntutan kolektivitas.45
Prinsip dasar ini telah membentuk kohesi sosial dan solidaritas kelompok
yang kuat bagi masyarakat Kampung Waiwunga dalam memandang dan
berperilaku pada semua aspek kehidupannya. Artinya bahwa kebersamaan atau
prinsip kolektifitas yang diterapkan tidak terbatas dalam hal bekerja di sawah atau
kebun saja, namun juga dalam hal memperlakukan alam secara bertanggungjawab
sebagai bagian daripada usaha menjaga keharmonisan hubungan dengan Yang
Ilahi dan alam semesta, serta dalam hal bersikap terhadap sesama manusia dalam
kehidupan sosial. Pelanggaran yang dilakukan seorang individu seumpama
merusak alam atau berbuat kejahatan menjadi tanggungjawab bersama pula
karena akan berdampak buruk bagi kelompok secara kabihu maupun yang lebih
luas yaitu kampung. Oleh karena itu perilaku individu senantiasa ada dalam
kontrol sosial yang ketat dari kelompok.
Ritual mangejing secara jelas menggambarkan bahwa prinsip-prinsip
kolektivitas, solidaritas kelompok, kohesi sosial, dan kontrol sosial, telah
melembaga dalam kehidupan masyarakat Kampung Waiwunga. Unsur kolektif itu
nampak dalam pelaksanaan ritual mangejing yang dilakukan dalam kebersamaan
kabihu baik intra-kabihu maupun bersama kabihu-kabihu lain dalam kampung
Waiwunga. Solidaritas kelompok yang dimiliki sangat mempengaruhi kelancaran
pelaksanaan ritual mangejing, karena terdapat peran yang harus dilakukan sesuai
45 Diki Takanjanji (Kabihu Leba Karuku) dan Manggal Malahina (Kabihu Hudu),
Wawancara dalam FGD Waiwunga, 24 September 2016.
87
dengan pembagian kerja yang telah ada,46 dan membutuhkan keterlibatan nyata
untuk saling melengkapi secara material guna memenuhi berbagai kebutuhan
selama penyelenggaraan ritual.
Dalam prinsip kolektivitas dan solidaritas diatas, ritual mangejing juga
menjadi instrument mekanisme kontrol sosial dengan melakukan koreksi sosial
dalam upaya penyelesaian persoalan-persoalan sosial yang dialami oleh warga
kabihu atau kabihu-kabihu pelaksana ritual. Peran dan fungsi kontrol sosial ini
menjadi daya pengikat dan pembentuk kohesi sosial yang kuat bagi masyarakat
Kampung Waiwunga. Koreksi dan rekonsiliasi yang dilakukan melalui tahapan-
tahapan khusus ritual, semakin memperkokoh dan menegaskan kembali identitas
sosial kabihu maupun keseluruhan kehidupan Kampung Waiwunga. Masyarakat
Waiwunga meyakini bahwa dengan kolektivitas dan solidaritas kelompok yang
selalu terjaga, serta perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari baik terhadap
manusia juga alam semesta, merupakan syarat mutlak dalam menjaga hubungan
yang harmonis dengan Yang Ilahi atau para leluhur. Situasi baik ini pada
gilirannya akan mendatangkan kebaikan dan kecukupan dalam hidup kabihu dan
keseluruhan Kampung Waiwunga.
Berdasarkan hal-hal di atas, menjadi jelas bahwa terdapat dialektika yang
dinamis dan terus menerus antara makna dan simbol di satu sisi, serta sistim sosial
disisi lain. Pandangan tentang Yang Ilahi, alam dan manusia, telah membentuk
konsepsi dan pola berperilaku terhadap alam maupun lingkungan sosial.
46 Pembagian kerja yang dimaksud adalah tugas umum warga kabihu untuk
mempersiapkan tempat penyelenggaraan ritual mangejing baik kesiapan konsumsi maupun
akomodasi bagi semua yang menghadiri, maupun tugas-tugas khusus pelaksana ritual seperti Rato,
Wunang dan Mahamayang. Lebih jelasnya lihat bagian pelaksana ritual mangejing pada Bab III.
88
Keseluruhan prinsip dan proses tersebut yang secara utuh diyakini dan diterima
bersama dan menjadi rujukan pola beperilaku, telah membentuk konfigurasi
integrasi fungsional kausal bagi masyarakat Kampung Waiwunga.
Namun patut dipahami bahwa uraian dan pandangan ini, tidak berada
dalam perspektif determinasi geografis yang menekankan pengaruh alam sebagai
faktor yang menentukan kebudayaan manusia. Determinasi geografis tidak dapat
dibenarkan secara teoritis maupun historis oleh karena manusia memiliki budi dan
kemauan untuk mengatasi daya-buta alam. Manusia dapat mengubah dan
menguasai, memilih dan menghindari daya-daya alam menurut perencanaannya.47
4.3.2. Dalam Hubungan dengan Struktur Sosial
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa sistim makna dan simbol menjadi
bingkai terjadinya interaksi sosial, dan menjadi kerangka kerja kepercayaan-
kepercayaan, simbol-simbol ekspresif, dan nilai-nilai. Dengan kerangka ini
individu atau masyarakat kolektif mendefinisikan dunia mereka, mengungkapkan
perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian-penilaian mereka. Pada sisi
lain, terdapat proses terus menerus dari tingkah laku interaktif. Bentuk tetap
tingkah laku interaktif ini disebut struktur sosial. Struktur sosial adalah bentuk
yang diambil oleh tindakan itu, jaringan relasi-relasi sosial yang nyata.48 Struktur
sosial merupakan bangunan (jaringan) sosial yang mencakup hubungan sosial
antara individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis
dari suatu sistem sosial. Sebagai suatu bangunan sosial, struktur sosial dibentuk
47 J.W.M. Bakker.S.J, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Yogyakarta:Kanisius; Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 65.
48 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta:Kanisius, 1992), 74
89
oleh sejumlah unsur yaitu kelompok-kelompok sosial, lapisan-lapisan sosial atau
stratifikasi sosial, dengan mengacu pada kaidah-kaidah atau norma-norma sosial.
Ritual mangejing yang dilaksanakan masyarakat Kampung Waiwunga,
adalah ekspresi tindakan sosial religius masyarakat kampung Waiwunga sebagai
komunitas masyarakat yang dibentuk oleh keberadaan klan-klan (kabihu-kabihu).
Hal ini memperlihatkan bahwa kelompok-kelompok kekerabatan sosial yang ada
yaitu klan, menjadi basis pelaksanaan kegiatan sosial religius seperti adat istiadat
kematian, kawin mawin, maupun pertanian. Kabihu-kabihu memainkan peranan
penting sebagai pelaksana sekaligus penopang segala aspek bagi terselenggaranya
kegiatan-kegiatan social-religius. Dengan kata lain bahwa berbagai ritual dan
aktivitas sosial-religi yang dilaksanakan menjadi tanggungjawab kabihu.
Kolektivitas kabihu sangat menentukan kontinuitas kehidupan sosial dan religius
bersama masyarakat tersebut.
Peran serta keterlibatan kabihu-kabihu sebagai suatu kolektivitas,
ditentukan pula oleh peran dan tindakan para tokoh masyarakat atau pimpinan
adat yang terdapat dalam kabihu-kabihu tersebut. Dalam kabihu terdapat
stratifikasi sosial dalam bentuk kepemimpinan kabihu yaitu seorang yang
dipercayakan menjadi pimpinan atau tokoh kabihu dan menjadi figur sentral
dalam keseluruhan kehidupan anggota kabihu. Legitimisasi kepemimpinan kabihu
diberikan dengan sejumlah syarat kualifikasi hidup terutama integritas dan
pemahaman sosial-religiusnya. Melalui ritual mangejing, nampak bahwa seorang
pemimpin dalam kabihu harus memainkan peran kepemimpinan dengan
pengetahuan dan pemahamannya untuk menyampaikan waktu yang tepat guna
90
melaksanakan ritual mangejing, memimpin pertemuan bersama untuk persiapan
pelaksanaan ritual, melakukan koordinasi dalam rangka penyampaian rencana dan
kebutuhan-kebutuhan mendasar pelaksanaan ritual mangejing kepada setiap
anggota kabihu, mengkoordinir pelaksanaan ritual-ritual awal, serta mampu
menyelesaikan masalah-masalah teknis dalam persiapan dan pelaksanaan ritual
tersebut. Fungsi kepemimpinan ini sangat mempengaruhi keterlibatan dan
kebersamaan anggota kabihu serta kelancaran pelaksanaan ritual.
Mendukung aspek kepemimpinan kabihu diatas, terdapat pula pembagian
kerja yang jelas dalam pelaksanaan ritual mangejing yang juga menjadi elemen
penting dalam pelaksanaan ritual mangejing. Seorang Rato (imam) merupakan
pengendali dan perumus pokok-pokok doa dalam ritual serta membaca tanda-
tanda khusus kejadian hidup dan kehendak Marapu melalui organ-organ dalam
hewan persembahan seperti ayam dan babi (hati dan empedal). Seorang Wunang
(jubir), disamping mendampingi Rato, memiliki tugas menyampaikan rumusan
pokok-pokok doa tersebut dalam bentuk kalimat-kalimat syair. Sedangkan
seorang MaHamayang (pendoa), menjadi pelaksana khusus yang melantunkan
pokok-pokok doa tersebut dalam prosesi sembahyang. Pembagian kerja seperti ini
merupakan sesuatu yang telah melembaga dan bersifat tetap dalam ritme
pelaksanaan ritual mangejing.
Menjadi jelas bahwa dalam perspektif struktur sosial, ritual mangejing
merupakan gabungan unsur dan peran kabihu, kepemimpinan, dan pembagian
kerja yang pelaksanaannya terjadi dalam bingkai kolektivitas dengan sejumlah
tata aturan berdasarkan nilai dan norma yang dianut masyarakat Waiwunga. Tata
91
aturan yang ada merupakan hukum adat yang relatif stabil dan tetap sebagai
pedoman pelaksanaan ritual seperti ketepatan waktu, tahap-tahap pelaksanaan,
pola proses ritual, pokok-pokok utama dalam pelaksanaan ritual, tempat
pelaksanaan, hingga bahan-bahan penyembahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistim sosial yang terdapat
dalam ritual mangejing, merupakan perpaduan sejumlah unsur perilaku soSial,
eksistensi kelompok dan lembaga sosial, susunan lapisan-lapisan sosial yang
saling berinteraksi, yang terjadi dalam ritme waktu serta tradisi yang stabil dan
tetap, dalam hal mana semua bagian terpadu di dalam satu jaringan kausal. Inilah
substansi integrasi sosial fungsional kausal oleh karena masing-masing bagian
merupakan sebuah uur di dalam lingkaran sebab akibat yang berulang dan
menjaga kelangsungan sistem.
Skema 4: Ritual Mangejing dan Pembentukan Integrasi Sosial di Waiwunga
4.4. Mengintip Perubahan Perilaku
Transfigurasi hubungan antara makna dan simbol pada satu sisi, dan
perilaku masyarakat dengan individu anggota masyarakat pada sisi lain
sebagaimana yang digambarkan di atas, menggambarkan terjadinya arus
92
pengaruh dan efek terus menerus yang lewat dari dan diantara ketiganya di dalam
sistem budaya agama.49 Victor Turner menyebutnya sebagai proses yaitu bahwa
ritus ataupun integrasi sosial mengiringi setiap perubahan yang terjadi dalam
masyarakat baik secara sosial yang nampak, maupun aspek moral dan
bathiniahnya. Disamping mengukuhkan dan menegaskan identitas suatu
masyarakat, integrasi sosial juga menjadi modal bagi proses perubahan suatu
masyarakat yang terus berproses.50 Hal ini berarti bahwa kebudayaan suatu
masyarakat dan bahkan masyarakat itu sendiri akan mengalami perubahan.
Kebudayaan pasti berubah dengan atau tanpa penetrasi unsur budaya asing
sekalipun, karena dalam setiap kebudayaan terdapat kebebasan tertentu dalam
menyerap dan memperkenalkan variasi-variasi baru.51 Perubahan berasal dari
pengalaman baru, pengetahuan baru, teknologi baru, dan akibatnya dalam
penyesuaian cara hidup dan kebiasaan kepada situasi baru. Sikap mental dan nilai
budaya turut dikembangkan guna keseimbangan dan integrasi yang baru.52
Prinsip di atas menghantar pada pemahaman bahwa ritual mangejing
dalam masyarakat Waiwunga merupakan ritual yang mengiringi setiap perubahan
yang terjadi dalam masyarakat tersebut baik secara sosial yang nampak maupun
secara bathiniah dan moralnya. Integrasi sosial yang terdapat dalam masyarakat
Waiwunga adalah modal sosial bagi proses perubahan masyarakat tersebut dalam
berproses. Sebagai masyarakat yang hidup dalam heterogenitas negara bangsa
49 Geertz, Religion as a Cultural Sistem, 114-117. 50 Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor
Turner, 68. 51 T.O.Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2016), 41 52 J.W.M. Bakker.S.J, Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar (Yogyakarta:Kanisius;
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 113
93
Indonesia, serta berada dalam jaman keterbukaan informasi dan komunikasi,
masyarakat Kampung Waiwunga juga mengalami kompleksitas dinamika
kehidupan yang mau atau tidak menuntunnya dalam perubahan pula. Perubahan
seperti apa yang sedang terjadi? Apakah penyebab itu berasal dari luar atau dalam
masyarakat itu sendiri? Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya
perubahan? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang membutuhkan jawaban.
4.4.1. Indikator-indikator Perubahan Perilaku
Beberapa indikator perubahan yang disampaikan berikut ini tidak dapat
dikatakan sebagai representasi semua kondisi perubahan yang terjadi. Indikator-
indikator ini lebih bersifat empirik sesuai pengamatan terhadap fenomena yang
ditemukan dan analisa terhadap fenomena serta interaksi yang terjadi dalam
proses pengumpulan data.
4.4.1.1. Perubahan Musim Mempengaruhi Perilaku Perilaku
Menegaskan kembali bahwa kondisi alam yang kering dan curah hujan
yang sedikit, semakin diperparah oleh ketidakpastian musim penghujan dan
kemarau yang terjadi. Kondisi ini mempengaruhi pola sikap dan tindakan
masyarakat Kampung Waiwunga terutama dalam hal mengelola alam khususnya
kegiatan pertanian. Seringkali mereka terjebak dalam tindakan spekulatif untuk
memulai kegiatan menanam tanpa berpatokan pada kalender musim. Hal ini
dilakukan untuk memanfaatkan curah hujan yang sedikit dengan harapan
mendapatkan hasil yang memadai bagi kelangsungan hidup sehari-hari. Kondisi
ini dapat dipahami karena kalender musim yang menjadi acuan selama ini, sangat
tergantung pada ketepatan siklus musim yang dialami. Kenyataannya adalah
94
bahwa kondisi musim yang demikian telah mengakibatkan sejumlah perubahan
dan memberi dampak bagi masyarakat Kampung Waiwunga, baik secara
ekonomi, sosial, maupun kehidupan religiusnya. Kegagalan panen sebagai akibat
kondisi ini, mengakibatkan banyak generasi muda yang beralih pola mencari
nafkahnya yang semula sebagai petani, kepada sektor jasa dengan bekerja di
proyek-proyek pembangunan fisik di luar kampung atau sebagai tenaga kerja di
sejumlah pertokoan lokal.
4.4.1.2. Berkurangnya Intensitas Pelaksanaan Ritual
Dampak langsung dari kondisi diatas juga terlihat pada intensitas
pelaksanaan ritual-ritual pertanian. Ritual mangejing terakhir dilaksanakan pada
tahun 2014.53 Sedangkan pada tahun 2016 masyarakat Waiwunga hanya
melaksanakan ritual meminta air hujan (Hamayang Karai Wai Urang) sebagai
respon terhadap kekeringan akibat tidak adanya curah hujan yang berpotensi pada
kekeringan dan dagal panen. Dibalik kegagalan pelaksanan ritual mangejing,
tercatat sejumlah hal sebagai hambatannya yaitu: kekurangan bahan-bahan
material konsumsi serta bahan persembahan dalam ritual, kesiapan rumah adat
tempat penyelenggaraan sebagai tempat berkumpul bersama yang belum selesai
dikerjakan, serta kesulitan koordinasi kepada banyak anggota kabihu yang berada
di luar kampung dalam rangkah mencari penghasilan ekonomi.
4.4.1.3. Perubahan Fisik
Berbagai keterbatasan sumber daya alam, berdampak pada perubahan
penggunaan bahan-bahan dasar rumah-rumah adat dan kuburan. Kebanyakan
53 Catatan akhir Bab III memberitahukan bahwa masyarakat Kampung Waiwunga
melaksanakan ritual mangejing terakhir pada tahun 2014.
95
rumah adat telah menggunakan seng karena kekurangan ilalang. Demikian juga
kuburan, banyak menggunakan bahan semen dan beton sebagai pengganti
lempengan batu asli. Hal ini dilkukan karena selain tidak mudah mendapatkannya
ditempat terdekat, juga memiliki biaya sosial dan finansial yang besar.
4.4.2. Faktor-faktor penyebab perubahan
Faktor-faktor penyebab perubahan yang dialami masyarakat Waiwunga,
dapat bersumber dari internal masyarakat tersebut atau yang datang dari luar
sebagai faktor eksternal. Beberapa perubahan berkesan sumbernya adalah internal
masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh sedikitnya anggota kabihu yang memiliki
kemampuan memahami konsepsi ritual mangejing maupun ritual-ritual lain,
mengakibatkan terjadi keterbatasan anggota kabihu yang berperan sebagai Rato
atau Wunang dan memimpin pelaksanaan ritual-ritual.54 Namun jikalau dicermati
lebih dalam, kondisi ini tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor eksternal yang
dihadapi masyarakat Waiwunga ditengah perubahan global, dan faktor eksternal
tersebut justru lebih dominan mempengaruhi segala sendi kehidupan masyarakat.
4.4.2.1. Kekristenan Sebagai Nilai Eksternal
Kekristenan sebagai kelompok sosial keagamaan terbesar di Pulau
Sumba, memiliki peran terhadap perubahan yang dialami orang Sumba penganut
Marapu. Perjumpaan Kekristenan dengan Marapu (Kebudayaan Sumba) yang
dimulai pada penghujung abad ke 19 atau awal abad ke 20, ditandai oleh
kolaborasi kekuatan politik militer pemerintah Hindia Belanda dengan program
54 Kondisi ini terjadi pada empat kabihu dalam masyarakat Waiwunga yaitu hanya
memiliki seorang Rato (Imam) yaitu Bapak Pura Tanya dari kabihu Katina. Manakala kabihu lain
melaksanakan ritual, maka Bapak Pura Tanya menjadi satu-satunya pilihan untuk berperan sebagai
Rato (Imam)
96
pacifikasinya (1906-1912). Penaklukan kekuasaan politik raja-raja lokal diikuti
pelaksanaan Pekabaran Injil Gereja oleh Gereja dengan dukungan pelayanan
pendidikan serta pelayanan kesehatan, menjadi titik baru peradaban Sumba yang
lebih terbuka. Gereja secara tegas melakukan penolakan praktek-praktek adat-
budaya Sumba terutama yang berkenaan dengan ritual atau yang dianggap
merugikan dan tidak sesuai dengan Firman Allah dan Pengakuan Gereja Kristen
Sumba. Sekalipun sikap ini tidak serta merta menjadi sikap “anti budaya”.55
Namun berbagai doktrin serta peraturan gerejawi yang diterapkan, telah
menciptakan ketegangan-ketegangan sosial-religius dengan tatanan nilai dan
keyakinan Agama Marapu. Dalam batas tertentu sikap penolakan tersebut masih
mewarnai sikap gereja terhadap budaya maupun religiusitas masyarakat Sumba.
Hal ini dapat dipahami karena teologi awal yang dianut dalam masa-masa awal
Pekabaran Injil yang cenderung mereduksi segala keberadaan kelompok dan
ajaran lain di luar gereja, masih cukup mempengaruhi paradigma bergereja dan
bertelogi masa kekinian. Salah seorang Zending di Pulau Sumba, H. Dijkstra
(1902) dalam suratnya yang berjudul Den Duivelen Offeren atau
mempersembahkan kurban pada setan, menulis:
Sungguh tidak perlu disangsikan bahwa penyembahan berhala oleh kaum
kafir sungguh beraneka ragam. Bila anda datang ke Pulau Sumba, misalnya,
Anda akan menemukan penyembahan berhala yang langsung ditujukan
kepada roh-roh jahat. Orang Sumba sesungguhnya mengetahui Allah Yang
Esa, Yang Agung dan Baik, Yang tak berkarya, dan karena itu tidak
disembahnya; dan dia tahu pula tentang arwah dari almarhum leluhurnya,
yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Arwah itu
dibedakan ke dalam dua golongan yaitu yang baik dan yang jahat; yang baik
55 Sesungguhnya GKS cukup memberi perhatian pada kebudayaan Sumba. Kehadiran
Prof.Dr. L.Onvlee yang berupaya menyelidiki bahasa Sumba dan dipakai sebagai wahana PI,
merupakan hal yang tidak ternilai harganya; A.A.Yewangoe, Injil dan Kebudayaan: Skema
Niebuhr dalam Perspektif Orang Sumba (Jakarta: Persetia, 1995), 206
97
menghendaki kesejahteraan turunan mereka dan hanya berbuat kebajikan
bagi turunannya, sedangkan yang jahat menghendaki kehancuran bagi kaum
manusia. Arwah jahat itu membalas dendam atas nasib buruk yang
dialaminya sewaktu hidup di dunia, serta atas kealpaan dalam
mengenangkan arwahnya. Lalu arwah yang jahat itu hendak dipuaskan
hatinya oleh orang Sumba dengan mempersembahkan kurban. Maka
penyembahan berhalanya itu langsung merupakan pemujaan setan-setan56.
Interaksi keKristenan dan kebudayaan Sumba dalam perjalanan waktu
yang panjang telah menciptakan ketegangan-ketegangan bahkan konflik tertentu
yang mereduksi banyak hal dalam aspek kebuayaan Sumba. Agama Marapu
diposisikan sebagai budaya “kafir” yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
agama Kristen. Konsekuensinya adalah bahwa sistem nilai religi dan budaya
masyarakat Sumba tergeser dan terancam punah dari konteks Sumba. Pada saat
yang sama gereja sendiri telah menjadi unsur kebudayaan yang diterima begitu
saja, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kebudayaan.57
Perubahan ini pula yang sedang terjadi dalam konteks kehidupan
masyarakat Waiwunga dalam hubungannya dengan kekristenan. Masyarakat
Waiwunga sedang berada dalam tahapan reinterpretasi dan penyelarasan unsur-
unsur konseptual kebudayaannya dalam hubungan dengan kekristenan.
Penerimaan mereka terhadap kekristenan nampak dengan memberikan ijin kepada
anak-anaknya untuk mengikuti sekolah minggu atau kebaktian di Gereja.
Demikian juga sejumlah orang dewasa yang telah masuk gereja, selalu memberi
persembahan hasil buminya pada Gereja dari hasil panen pertama yang
didapatnya. Sikap ini merupakan bentuk penyelarasan konsep uhu kawungang
56 Th. Van den End, Sumber-Sumber Zending Tentang Sejarah Gereja Kristen Sumba,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 165-166. 57 A.A.Yewangoe, Injil dan Kebudayaan: Skema Niebuhr dalam Perspektif Orang Sumba
(Jakarta: Persetia, 1995), 207.
98
(padi awal)58 dengan konsep Gereja tentang hulu hasil. Polarisasi kelompok
sosial juga bertambah. Semula terdiri dari kabihu-kabihu, kini terbentuk pula
kelompok sosial baru berdasarkan keanggotaannya dalam Gereja.
4.4.2.2. Kebijakan Politik Ekonomi dan Pembangunan
Kehadiran pembangunan dan industrialisasi bukan sekedar kehadiran
barang, jasa, teknologi, dan informasi, namun juga disertai dengan kehadiran
nilai-nilai dan budaya baru. Paradigma pembangunan positivistik rasional yang
dikembangkan di kebanyakan negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
menempatkan negara sebagai lembaga yang mendominasi segala konsepsi
pengetahuan dan pembangunan. Pada kondisi ini, tidak terdapat ruang bagi
terjadinya relasi-relasi sosial dan kemajemukan. Dampaknya adalah kebudayaan
lokal dinegasikan, masyarakat adat dipinggirkan, dan demi stabilitas serta
pencapaian kesejahteraan ekonomi, negara memiliki legalitas memformat segala
kebijakan makro maupun mikro dalam menjalankan pembangunan.59 Penerapan
Undang undang Desa pada tahun 1979 yang menggantikan tradisi musyawarah
desa dan menggantikan dengan lembaga desa yang dikontrol oleh pemerintah
merupakan bentuk dominasi negara dan penerapan ideologi pembangunan dengan
mekanisme kontrol ideologi, sosial dan politik yang ketat.60 Perubahan format
politik di Indonesia pasca reformasi yang menerapkan sistim multi partai dengan
prinsip demokrasi satu orang satu suara (one man, one vote), juga berdampak
58 Lihat penjelasan tentag ritual mangejing dalam Bab III tentang uhu kawungang. 59 Saiful Arif, Menolak Pembangunanisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 137-146 60 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), 204-208
99
langsung pada pola-pola demokrasi lokal yang dianut masyarakat komunal
dengan prinsip satu komunitas, satu suara (one community, one vote).
Berbagai problematik di atas adalah konteks kehidupan pembangunan
sosial, politik dan ekonomi yang sedang dihadapi oleh masyarakat Kampung
Waiwunga sebagai bagian yang integral dari kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia. Konteks ini merupakan penetrasi eksternal yang tidak dapat
dihindari dan menuntun mereka pada sebuah perubahan. Otoritas pemimpin
kabihu, berhadapan dengan legalitas kepemimpinan desa dan dusun sebagai hasil
demokrasi politik formal. Kelompok sosial kabihu-kabihu yang telah terbagi
dalam komunitas keagamaan lain seperti kekristenan, juga harus rela melebur dan
terbagi lagi dalam kelompok-kelompok tani serta usaha ekonomi bentukan
pemerintah desa. Sistim politik multi partai dan pemilihan langsung, berdampak
pada terbentuknya friksi politik dalam komunitas masyarakat karena perbedaan
afiliasi politik. Demikian pula orientasi pembangunan pada pertumbuhan
ekonomi, merubah orientasi aktivitas bercocok tanam sebagai “ibadah” menjadi
aktivitas yang berorientasi keuntungan ekonomis.
4.4.2.3. Persebaran Uang : Pasar
Mekanisme pasar yang ditandai dengan persebaran mata uang sebagai
alat transaksi, dan ukuran kesejahteraan ekonomi serta menentukan status sosial,
berperan besar bagi terjadinya perubahan pemahaman dan berpikir masyarakat
Kampung Waiwunga. Secara perlahan uang menjadi orientasi untuk memenuhi
berbagai kebutuhan hidup mendasar. Kegagalan panen dalam kegiatan bercocok
tanam akibat ketidakjelasan dan ketidaktepatan iklim, mendorong banyak warga
100
masyarakat Waiwunga untuk beralih pola mencari nafkah ke sektor jasa dan
mendapatkan uang guna dalam memenuhi kebutuhan dasar sandang dan
pangannya. Hasil pertanian maupun peternakan yang semula berorientasi
“penyembahan kepada Marapu”, perlahan mengalami pergeseran orientasi
menjadi komoditas ekonomi yang menentukan untung atau ruginya suatu
aktivitas. Demikian pula banyak sedikitnya pengeluaran material dalam
pelaksanaan ritual, akan diukur pula secara keuntungan dan kerugian material
ekonomis, dan bukan lagi untuk kemanfaatannya bagi solidaritas dan kohesivitas
kelompok (kabihu). Kehadiran fisik dalam ritual sebagai bentuk kebersamaan dan
solidaritas kolektif, dapat digantikan dengan keterwakilan “uang” yang diberikan
sebagai sumbangan untuk kebutuhan pelaksanaan ritual. Perubahan pola pikir dan
tindak seperti ini sedang terjadi dalam kehidupan masyarakat Kampung
Waiwunga sebagai suatu komunitas sosial-religius.61
4.5. Perubahan Perilaku dan Bukan Makna
Masyarakat Kampung Waiwunga sebagai bagian dari peradaban dan
keberagaman, berada dalam konteks perubahan yang sedang dan terus terjadi
dalam interaksinya dengan lingkungan hidup dan alam disekitarnya. Integrasi
sosial yang menjadi inti pembahasan dan kajian dalam karya ini, menjadi
perspektif telaah terhadap keberadaan masyarakat Kampung Waiwunga sebagai
suatu realitas sosial dan religius. Integrasi sosial bermakna logis maupun integrasi
sosial fungsional kausal merupakan transfigurasi hubungan antara makna dan
simbol pada satu sisi, dan perilaku masyarakat dengan individu anggota
61 Lihat Alasan-alasan kegagalan pelaksanaan ritual mangejing tahun 2016 pada bagian
akhir Bab III
101
masyarakat pada sisi lain dalam lingkungan alam serta sosialnya, dan secara
dialektis-dinamis telah jalin menjalin membentuk identitas sosial-religius bagi
masyarakat Kampung Waiwunga. Integrasi sosial tersebut terbentuk dalam proses,
dan melalui konsensus masyarakat Waiwunga, baik karena homogenitas pikiran,
perasaan, dan tanggungjawab kolektifnya, maupun juga karena sejumlah
ketegangan dan konflik nilai-norma, dalam interaksi dengan berbagai unsur
eksternal sebagaimana telah disebutkan diatas.
Ritual mangejing menjadi wujud pancaran faktualitas tranfigurasi unsur-
unsur integrasi sosial masyarakat Kampung Waiwunga. Berdasarkan prinsip ini
pula, ketika masyarakat Waiwunga sedang berada dalam tantangan perubahan
yang signifikan pada berbagai aspek kehidupan sosial religiusnya, Ritual
mangejing memiliki peran integratif dan menjadi bagian dari mekanisme sosial
yang dapat memulihkan keseimbangan serta solidaritas kelompok.
Dalam keberartian ritual mangejing tersebut, dapat disimpulkan bahwa
perubahan yang terjadi pada kehidupan masyarakat Kampung Waiwunga,
terutama terjadi dimensi perilaku sebagai salah satu unsur pembentuk inetegrasi
sosial fungsional kausal. Sedangkan integrasi sosial bermakna logis masih
menjadi kekuatan perekat masyarakat Waiwunga pada masa kini sebagai suatu
komunitas masyarakat Sumba yang masih mempertahankan tradisi-tradisi
kebudayaannya. Sebagai satu komunitas religius-soaial, sikap keterbukaan
masyarakat Waiwunga untuk menerima dan berinteraksi dengan banyak pengaruh
eksternal, tidak membuatnya melebur dalam gejala perubahan menyeluruh yang
sedang terjadi pada kebanyakan komunitas-komunitas lokal di Sumba. Dimensi
102
makna merupakan modal sosialnya dalam beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Ketegangan-ketegangan atau konflik yang dialaminya dalam lingkungan hidup
yang kompleks, dapat menjadi peluang bagi masyarakat Kampung Waiwunga
menguatkan dan menegaskan identitasnya. Belajar dari pengalaman masyarakat
Ndembu dalam penelitian Turner, ritual mangejing dapat menjadi mekanisme
penyelesaian konflik, sekaligus menguatkan identitas masyarakat Waiwunga
sebagai sebuah integrasi. Sekalipun banyak perselisihan atau konflik, namun
struktur sosial masyarakat Ndembu tetap utuh. Keutuhan ini terjadi oleh karena
ritual-ritual yang dilaksanakan masyarakat Ndembu telah berperan
mengintegrasikan masyarakat tersebut.62
62 Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-Teori Agama Kontemporer
(Jogyakarta: AK Group, 2003), 295
103