BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …
Transcript of BAB IV PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI …
21
BAB IV
PERAN ASEAN SOCIAL CULTURAL COMMUNITY MELALUI ASEAN
AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (AATHP)
DALAM MENGATASI PERMASALAHAN POLUSI KABUT ASAP DI
KALIMANTAN TENGAH 2015-2019
4.1 Polusi Kabut Asap di Indonesia Pada Tahun 2015-2019
Terdapat banyak permasalahan yang mengebabkan adanya polusi kabut asap
dan terdapat banyak permasalahan yang diakibatkan dari permasalahan polusi kabut
asap. Terkait hal ini, dimana tidak terlepas dari permasalahan kebakaran hutan dan
lahan. Hutan dan lahan sendiri melalui Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2001
menyatakan bahwa “hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dan lahan
adalah suatu hamparan ekosistem daratan yang peruntukannya untuk usaha dan atau
kegiatan ladang dan atau kebun bagi masyarakat”. Artinya bahwa hutan dan lahan
adalah sumber daya alam yang berfungsi untuk menopang kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya, baik dibidang ekologi, ekonomi, dan sosial maupun
budaya. Dan kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan
maupun pencemacaran lingkungan hidup, baik dalam lokasi usaha maupun diluar
lokasi usaha.
Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai iklim tropis karena
terletak di garis khatulistiwa, yang mana musim kemarau dan musim hujan
merupakan ciri khas negara beriklim tropis. Hal ini kemudian cuaca ekstrim
seringkali terjadi di Indonesia hampir setiap tahunnya seperti bencana banjir yang
terjadi pada musim hujan dan bencana kebakaran yang terjadi pada musim kemarau
(menlhk, 2019). Indonesia juga merupakan negara dengan jumlah penduduk
terbanyak urutan keempat di dunia, dengan jumlah pekerja di sektor pertanian,
peternakan, dan kelautan mencapai 40 persen dari total pekerja di Indonesia secara
keseluruhan (detikfinance, 2014), kemudian jumlah luas lahan berhutan sekitar 94,1
juta hektar atau 50,1 persen dari total luas daratan (menlhk, 2020), dan luas lahan
gambut sekitar 15,4 juta hektar yang berada di provinsi Riau, Jambi, Sumatera
22
Selatan, Papua, Papua Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah (lihat gambar 2). Luas lahan gambut di Indonesia merupakan
luas lahan gambut terluas di kawasan ASEAN maupun secara global dengan
presentase 45 persen, dan diikuti oleh Malaysia, Brunei, Vietnam, Filipina, Papua
New Guinea, Thailand, Afrika, Karibia, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan
(Fahmuddin Agus.dkk, 2016).
Gambar 2
Sebaran Lahan Gambut di Indonesia. Sumber: Pantaugambut.id, 2018
Gambut di Indonesia secara umum terbentuk karena adanya penimbunan
bahan organik tumbuhan yang kemudian membentuk lapisan gambut yang tebal.
Terkait hal ini kemudian sebagai tempat untuk tergenangnya air hujan, dimana
secara alami gambut dapat menampung air mencapai 90 persen dari volumenya
sehingga berfungsi sebagai kawasan penyangga hidrologi. Selain itu terdapat
ekosistem gambut yang terdiri dari sungai dan laut atau Kesatuan Hidrologi Gambut
(KHG) yang terdiri dari rawa maupun dua sungai. Terdapat dua fungsi ekosistem
gambut ataupun KHG yaitu fungsi hidrologi maupun fungsi ekologi. Terkait hal
ini, untuk mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan mencegah intrusi air
laut, serta menyuplai air pada musim kemarau. Selain itu, sebagai penyangga
pelestarian habitat orang utan maupun satwa endemik lainnya, sumber pangan
perikanan bagi masyarakat lokal, dan penyeimbang iklim di bumi. Ekosistem
gambut maupun KHG merupakan lahan yang marjinal dan sangat rentan
mengalami kerusakan atau degradasi, serta sulit untuk di pulihkan kembali, yang
mana lahan gambut yang terdegradasi berpotensi sebagai bahan bakar untuk proses
kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau (DLH Kalteng, 2020). Dengan
23
karakteristik dari lahan gambut tersebut, kemudian dapat menyimpan bara api
sampai pada kedalaman tertentu dan bara api tersebut dapat menjalar pada gambut
kering di sekitarnya yang suatu saat dapat naik di permukaan (Azwar Maas, 2020).
Hal ini artinya bahwa kebakaran yang terjadi pada lahan gambut berbeda dengan
kebakaran yang terjadi pada lahan mineral, dimana kebakaran pada lahan gambut
tidak hanya terjadi di permukaan tanah tetapi kebakaran juga terjadi di dalam tanah
dengan kedalaman tertentu.
Terkait hal diatas artinya bahwa permasalahan polusi kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan seringkali terjadi di Indonesia. Dimana permasalahan
polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar terjadi di
Indonesia sejak tahun 1982/1983,1987,1991,1994,1997/1998, 2002, 2006, 2015,
dan 2019. Secara umum terdapat dua faktor penyebab polusi kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yaitu kebakaran yang tidak disengaja atau
akibat adanya cuaca ekstrim dan kebakaran yang disengaja atau akibat aktivitas
manusia sebagai penyebab terbesar kebakaran hutan dan lahan. Terkait hal ini,
dimana menurut Saharjo.dkk (2005) mengatakan bahwa 99,9 persen kebakaran
hutan dan lahan disebabkan oleh manusia dan 0,1 persen disebabkan oleh faktor
alam atau cuaca ekstrim. Selain itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) juga mengatakan bahwa 99 persen kebakaran hutan dan lahan
disebabkan oleh manusia, yang dikarenakan kebiasaan pembukaan lahan untuk
pemukiman dan pertanian maupun perkebunan dengan cara membakar karena lebih
cepat, mudah dan murah, dimana jumlah biayah untuk pembukaan lahan dengan
cara membakar sekitar Rp 600.000 hingga Rp 800.000 per hektar, sedangkan
dengan cara tanpa membakar lebih sulit dan mahal, dimana jumlah biayah untuk
pembukaan lahan dengan tanpa membakar sekitar Rp 3.400.000 bahkan hingga Rp
50 juta per hektar (bnpb, 2015). Sekitar 80 persen tanah bekas kebakaran hutan dan
lahan dijadikan pemukiman dan pertanian maupun perkebunan (Lusia
Arumingtyas, 2019).
Selain itu, menurut Rasyid (2014) mengatakan bahwa adanya kebakaran
hutan dan lahan di tanah gambut yang kering disebabkan oleh kondisi bahan bakar,
cuaca, dan sosial budaya masyarakat. Dan Yulianti (2018) juga mengatakan terkait
segitiga api yaitu terdapat tiga elemen utama penyebab kebakaran hutan dan lahan
24
seperti ketersediaan bahan bakar, oksigen, dan energi panas. Bahan bakar dapat
berbentuk padat, cair, dan gas. Kemudian konsentrasi oksigen yang dibutuhkan
untuk proses pembakaran biasanya sekitar 21 persen. Dan energi panas dapat
berupa hasil reaksi kimia, proses mekanik, proses fisika (gesekan), dekomposisi
bahan organik, radiasi matahari dan listrik (Nina Yulianti, 2018). Ketiga elemen ini
sangat berperan penting dalam mendukung pembentukan pembakaran lengkap,
dimana ketika terjadi kebakaran pada satu titik hutan dan lahan, maka dengan
adanya angin kencang akan mempercepat kecepatan api untuk merambat ke area
yang lebih luas dan kering.
Pada tahun 2015 hingga 2019 permasalahan polusi kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan seringkali terjadi di Indonesia. Dimana total luas
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia, khususnya
pada tahun 2015 hingga 2019 telah mencapai sekitar 5 juta hektar (lihat tabel 1).
Dimana dari tahun 2015 hingga tahun 2019, luas kebakaran hutan dan lahan
terbesar terjadi pada tahun 2015, yaitu seluas 2.611.411,44 hektar, diantaranya
seluas 1.741.657 hektar atau sekitar 67 persen terjadi di tanah mineral dan seluas
869.754 hektar atau sekitar 33 persen terjadi di tanah gambut (Raja H Napitupulu,
2021). Dan pada tahun 2019, yaitu seluas 1.649.258,00 hektar, diantaranya seluas
1.154.807 hektar atau sekitar 70 persen terjadi di tanah mineral dan seluas 494.450
hektar atau sekitar 30 persen terjadi di tanah gambut (menlhk, 2019). Terkait hal
ini, dikarenakan pada tahun 2015 terdapat fenomena El Nino dan pada tahun 2019
terdapat fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) berada dalam fase positif, kedua hal
ini menciptakan cuaca kekeringan yang panjang atau musim kemarau yang panjang
daripada biasanya. Hal ini kemudian menghasilkan jumlah hotspot atau titik api
yang banyak, dimana pada tahun 2015, jumlah titik api dari bulan Juni hingga bulan
Oktober mencapai sekitar 120 ribu titik api (CNN Indonesia, 2019) dan pada tahun
2019 dari bulan Juni hingga bulan Oktober jumlah titik api mencapai sekitar 25 ribu
titik api (SiPongi.menlhk).
Tabel 1
No Tahun Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (ha)
25
1. 2015 2.611.411,44
2. 2016 438.363,19
3. 2017 165.483,92
4. 2018 529.266,64
5. 2019 1.649.258,00
Total 5.393.783,19
Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Pada Tahun 2015-2019. Sumber:
SiPongi.menlhk, 2020 (diolah oleh penulis)
Terkait kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 dan 2019
tersebut kemudian menghasilkan polusi kabut asap di Indonesia. Polusi kabut asap
mengandung beberapa gas dan partikel kimia seperti sulfur dioksida (SO2), karbon
monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen, nitrogen oksida (NO2), dan ozon
(O3), hal ini kemudian dapat menggangu kesehatan manusia seperti Infeksi Saluran
Pernafasan (ISPA), asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit jantung, dan
iritasi. Pada tahun 2015, jumlah korban yang meninggal hingga pada bulan
November lebih dari 10 orang dan sekitar ratusan ribu warga menderita penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), dimana penderita ISPA terbanyak berada
di Jambi yang mencapai 150 ribu jiwa, kemudian di Sumatera Selatan mencapai
115 ribu jiwa dan menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi
dan Hubungan Masyarakat BNPB menyatakan bahwa jumlah masyarakat yang
terpapar asap di pulau Sumatera dan Kalimantan sekitar lebih dari 43 juta orang.
Jumlah penderita ISPA berbeda-beda di setiap daerah karena tergantung pada
tingkat dampak kebakaran hutan dan lahan, serta kabut asap yang terjadi (bnpb,
2015). Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa terdapat
ribuan sekolah diliburkan, diantaranya 200 sekolah untuk jenjang PAUD dan SD,
serta 300 sekolah untuk jenjang SMP dan SMA. Kemudian hingga pada bulan
Oktober 2015 terdapat 24.773 sekolah ditutup dan 4,7 juta siswa maupun siswi
diliburkan (Trinirmalaningrum.dkk, 2015).
Selain itu, terdapat pembatalan terhadap ribuan penerbangan di beberapa
tempat seperti di daerah Jambi, Pekanbaru, dan Palembang. Dan terdapat kerusakan
pada taman nasional Gunung Palung, Danau Sentarum, Tanjung Puting, dan Bukit
Baka Bukit Raya yang berada di pulau Kalimantan dan tanam nasional Sembilang,
26
Way Kambas, Bukit Tiga Puluh, dan Berbak yang berada di pulau Sumatera, hal
ini kemudian mengakibatkan beberapa jenis spesies yang belum terindentifikasi
maupun yang sudah teridentifikasi terancam mati, seperti orang utan di Kalimantan,
harimau di Sumatera, dan sebagainya (bnpb, 2015). Dan kerugian ekonomi
Indonesia mencapai sekitar 16,1 miliar USD atau sekitar Rp 221 triliun, artinya
sekitar 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Kerugian ini
mencakup sektor pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri,
pariwisata, dan sektor-sektor lainya, serta biaya untuk mengatasi polusi kabut asap
akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 (World Bank, 2015). Dan pada
tahun 2019 menurut data World Bank, Indonesia mengalami kerugian ekonomi
mencapai US$5,2 miliar atau sekitar Rp 72,95 triliun, artinya sekitar 0,5 persen dari
Produk Domestik Bruto Indonesia. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan
Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Agus Wibowo
menyatakan bahwa hingga pada bulan September terdapat 919.516 orang menderita
gangguan pernapasan (Falahi Mubarok, 2019) dan 12 bandar udara nasional
berhenti beroperasi, serta ratusan sekolah di Indonesia berhenti melaksanakan
kegiatan belajar mengajar (Lusia Arumingtyas, 2019).
4.1.1 Polusi Kabut Asap di Kalimantan Tengah Pada Tahun 2015-2019
Pada awalnya, permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan
lahan di Kalimantan Tengah terjadi sejak adanya Proyek Lahan Gambut (PLG)
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1995 dengan membuka 1
juta hektar lahan hutan rawa gambut menjadi sawah di Kalimantan Tengah untuk
mengatasi permasalahan kekurangan pangan di Indonesia (Nina Yulianti, 2018).
Terkait hal ini dimana sesuai hasil wawancara bersama ibu Merty menyatakan
bahwa asal muasal kebakaran hutan dan lahan itu terjadi di tanah gambut.
Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berada di
pulau Kalimantan, dengan luas wilayah sekitar 15,4 juta hektar, jumlah
penduduk sekitar 2,5 juta orang, luas kawasan hutan sekitar 12,7 juta hektar, dan
luas lahan gambut sekitar 2,7 juta hektar (incas.menlhk, 2015).
Sesuai Peraturan Presiden No 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi
Gambut, terdapat tujuh provinsi sebagai prioritas Indonesia dalam mengatasi
27
permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di tanah gambut,
yaitu provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Papua, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Hal ini dikarenakan permasalahan
kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah, khususnya
di tanah gambut disebabkan oleh manusia yang dipengaruhi oleh permasalahan
sosial dan ekonomi mereka. Berdasarkan hasil wawancara bersama ibu Merty
menyatakan bahwa perilaku masyarakat di Kalimantan Tengah kalau mau
membuka lahan dilakukan dengan cara membakar. Kebakaran hutan dan lahan
juga dapat terjadi akibat adanya masyarakat yang meninggalkan bekas api
unggun dan membuang puntung rokok di hutan (pktl.menlhk, 2021).
Terkait hal diatas, khususnya pada dan sekitar kawasan Kesatuan
Hidrologi Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah terdapat tiga kelompok
masyarakat yaitu kelompok masyarakat asli Kalimantan Tengah yang terdiri dari
etnis Dayak, Ngaju, Ot Danum, Ma’anyan, dan sebagainya. Kemudian
kelompok masyarakat pendatang transmigran yang terdiri dari etnis Jawa,
Melayu, Bugis, Sunda, dan sebagainya. Serta kelompok masyarakat pendatang
non transmigran yang bertujuan khusus yaitu untuk membuka kebun, menjadi
pekerja, berdagang dan sebagainya. Masyarakat yang berada di sekitar dan pada
KHG mempunyai beragam jenis kegiatan usaha atau pekerjaan yang dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan hidup, dimana selain bertani di saat tertentu
masyarakat juga bekerja sebagai pekerja serabutan (lihat gambar 3). Terkait
dengan hal ini, dapat diindikasikan dari keberadaan penutupan lahan atau
pemanfaatan lahan pada kawasan KHG, baik yang masih dimanfaatkan ataupun
yang tidak lagi dimanfaatkan (lahan terlantar). Artinya bahwa adanya potensi
sumberdaya alam yang terdapat pada dan sekitar KHG di Provinsi Kalimantan
Tengah yang terindikasi dari adanya kegiatan dengan membuka kawasan hutan
menjadi kawasan budidaya. Dimana untuk penggunaan di sektor perkebunan
seluas 493.314 hektar atau 10,54%, di sektor pertanian lahan kering seluas
352.041 hektar atau 7,52%, di sektor sawah seluas 8.133 hektar atau 1,84%, dan
sektor semak belukar rawa seluas 1.625.305 hektar atau 34,71% (DLH Kalteng,
2020).
28
Gambar 3
Jenis Kegiatan atau Pekerjaan Masyarakat Sekitar dan Pada Kawasan KHG di Kalimantan
Tengah. Sumber: Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Provinsi Kalimantan Tengah Tahun
2020-2050
Terdapat 40 KHG di Kalimantan Tengah yang berada di 11 kabupaten
maupun kota, lintas kabupaten maupun kota, dan lintas provinsi. KHG di
Kalimantan Tengah seluas 4.682.542 hektar yang terdiri dari luas KHG Fungsi
Budidaya seluas 2.125.567 hektar dan KHG Fungsi Lindung 2.556.975 hektar.
Selain itu, KHG di Kalimantan Tengah seluas 4.682.542 hektar juga terdiri dari
luas kawasan hutan seluas 3.663.633 hektar atau sekitar 78,24 persen dan luas
non kawasan hutan seluas 1.018.909 hektar atau 21,76 persen (DLH Kalteng,
2020). Perubahan tutupan hutan sejak tahun 1990 hingga 2017 semakin
berkurang yaitu dari seluas 3.741.456 hektar atau sekitar 69,22 persen menjadi
1.496.635 hektar atau sekitar 31,96 persen (DLH Kalteng, 2020). Artinya bahwa
perubahan tutupan hutan selama 27 tahun seluas -1.800.370 hektar, yang
meliputi KHG dalam kabupaten maupun kota mengalami penurunan sekitar
278.375 hektar atau 36,24 persen dari 60,52 persen sehingga menjadi 24,27
persen, kemudian KHG lintas kabupaten maupun kota mengalami penurunan
sekitar 1.412.814 hektar atau 36,95 persen dari 70,78 persen sehingga menjadi
33,82 persen, dan KHG lintas provinsi mengalami penurunan sekitar 53,650
hektar atau 58,78 persen dari 77,52 persen sehingga menjadi 18,74 persen (lihat
gambar 4).
29
Gambar 4
Perubahan Penutupan Hutan di KHG Pada Tahun 1990-2017. Sumber: Rancangan
Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2020-2050
Terkait dengan penggunaan lahan yang sebagian besar berada di Fungsi
Lindung Ekosistem Gambut dan adanya perubahan penutupan hutan di KHG
yang mengalami penurunan sejak tahun 1990 hingga 2017, kemudian memicu
terjadinya kebakaran hutan dan lahan di dalam KHG maupun di luar KHG
sepanjang tahun 2015-2019 di Kalimantan Tengah. Total luas kebakaran hutan
dan lahan didalam KHG maupun diluar KHG pada tahun 2015 hingga tahun
2019 di Kalimantan Tengah sekitar 906.990 hektar, yang terdiri dari luas
kebakaran yang terjadi di luar KHG sekitar 201.532 hektar atau 22,22% dan luas
kebakaran yang terjadi di dalam KHG sekitar 705.458 hektar atau 77,78%.
Terkait dengan luas kebakaran yang terjadi di dalam KHG sendiri terdiri dari
luas kebakaran sekitar 330.539 hektar yang terjadi di Fungsi Budidaya
Ekosistem Gambut dan luas kebakaran sekitar 374.919 hektar yang terjadi di
Fungsi Lindung Ekosistem Gambut (lihat tabel 2). Selain itu berdasarkan hasil
wawancara bersama ibu Merty menyatakan bahwa banyaknya kebakaran hutan
dan lahan terjadi di region Kalimantan pada tahun 2015 hingga 2019, 50
persenya berada di provinsi Kalimantan Tengah, dimana dalam KHG atau di
tanah gambut sekitar 43,80 persen dan di luar KHG atau di tanah mineral sekitar
6,69 persen.
Tabel 2
Luas di Dalam KHG (ha) TOTAL
30
Fungsi
Budidaya
Fungsi Lindung Luas di Luar KHG
(ha)
330.539 374.919 201.532 906.990
705.458
Luas Kebakaran di Dalam dan di Luar Kawasan KHG di Kalimantan Tengah Pada Tahun
2015-2019. Sumber: Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Provinsi Kalimantan Tengah Tahun
2020-2050 (diolah oleh penulis)
Terkait dengan permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan
di Kalimantan Tengah juga disebabkan dengan adanya hotspot atau titik api di
setiap wilayah kabupaten atapun kota. Total jumlah titik api pada tahun 2015
hingga 2019 sebanyak 651,45 titik api, yang mana jumlah titik api terbanyak
terdapat di wilayah Pulang Pisau yaitu sebanyak 150,27 titik api, kemudian
diikuti oleh wilayah Kapuas yaitu sebanyak 97,53 titik api dan wilayah
Kotawaringin Timur yaitu sebanyak 87,49 titik api. Titik api terendah terdapat
di wilayah Gunung Mas yaitu sebanyak 10,46 titik api. Dari tahun 2015 hingga
2019 jumlah titik api terbanyak terjadi pada tahun 2015 yaitu sebanyak 398,19
titik api dan pada tahun 2019 yaitu sebanyak 195,55 titik api (lihat tabel 3).
Terkait hal ini dikarenakan pada tahun 2015 dan terdapat fenomena El Nino dan
pada tahun 2019 terdapat fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) berada dalam
fase positif, yang mana kedua hal ini menciptakan cuaca kekeringan yang
panjang atau musim kemarau yang panjang daripada biasanya akibat curah hujan
menurun, sedangkan pada tahun 2016 hingga 2018 terdapat fenomena El Nina,
dimana curah hujan meningkat sehingga jumlah hotspot pada tahun 2016 hingga
2018 tidak terlalu banyak (kalteng.bps.go.id).
Tabel 3
Kab/ Kota 2015 2016 2017 2018 2019 Total
Barito Selatan 15,16 0,36 0,33 1,50 4,80 22,15
Barito Timur 9,20 0,25 0,17 0,44 2,00 12,06
Barito Utara 7,51 0,57 0,61 1,16 1,13 10,98
Gunung Mas 5,68 0,28 0,34 0,86 3,30 10,46
Kapuas 58,04 0,82 0,66 6,37 31,64 97,53
Katingan 37,62 1,64 0,69 2,73 18,02 60,70
KotawaringinBarat 29,40 0,57 0,20 1,91 11,28 43,36
31
Kotawaringin
Timur
50,21 1,20 0,48 7,27 28,33 87,49
Lamandau 9,94 1,28 0,42 0,71 1,33 13,68
Murung Raya 6,49 0,71 0,50 2,01 2,67 12,38
Palangka Raya 13,89 0,15 0,11 0,82 16,21 31,18
Pulang Pisau 91,35 0,49 0,66 11,54 46,23 150,27
Seruyan 45,61 1,03 0,31 2,38 20,73 70,06
Sukamara 18,09 0,32 0,19 2,67 7,88 29,15
Total 398,19 9,67 5,67 42,37 195,55 651,45 Jumlah Hotspot Kalimantan Tengah Pada Tahun 2015-2019 Per Kabupaten/Kota. Sumber:
SiPongi.menlhk, 2015-2019 (diolah oleh penulis)
Terkait hal diatas, kemudian terdapat luas kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi di seluruh wilayah Kalimantan Tengah pada tahun 2015 hingga 2019
mencapai 956.907,25 hektar, yang mana dengan luas kebakaran hutan dan lahan
terbesar terjadi pada tahun 2015, yaitu seluas 583.833,44 hektar, diantaranya
luas kebakaran pada tanah gambut seluas 310.275,00 hektar
(Trinirmalaningrum.dkk, 2015) dan luas kebakaran di tanah mineral seluas
273.558,44 hektar. Dan pada tahun 2019, yaitu seluas 317.749,00 hektar,
diantaranya luas kebakaran pada tanah gambut seluas 76.000,00 hektar (Puput
Ady Sukarno, 2019) dan luas kebakaran pada tanah mineral seluas 241.749,00
hektar (lihat tabel 4).
Tabel 4
No Tahun Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (ha)
1. 2015 583.833,44
2. 2016 6.148,42
3. 2017 1.743,82
4. 2018 47.432,57
5. 2019 317.749,00
Total 956.907,25
Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah Pada Tahun 2015-2019. Sumber:
SiPongi.menlhk, 2020 (diolah oleh penulis)
Akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar pada tahun
2015 dan 2019 kemudian menghasilkan keadaan darurat polusi kabut asap di
Kalimantan Tengah. Salah satu indikator dalam melihat keadaan darurat polusi
kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan adalah ketika kategori Indeks
32
Standar Pencemar Udara (ISPU) telah mencapai tingkat berbahaya (Nina
Yulianti, 2018).
Pada bulan September 2015, menurut Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) mengatakan bahwa terdapat enam provinsi di Indonesia yaitu
provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
dan Kalimantan Tengah dikategorikan sebagai wilayah yang telah mengalami
keadaan darurat polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (Nina
Yulianti, 2018). Provinsi Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan nilai
ISPU tertinggi dari lima provinsi lainnya, dimana nilai ISPU Kalimantan Tengah
pada bulan September mencapai 1.987 dan pada bulan Oktober mencapai 2.230.
Kemudian diikuti oleh provinsi Riau dengan nilai ISPU pada bulan September
mencapai 1.074 dan pada bulan Oktober mencapai 602. Dan nilai ISPU terendah
diperoleh oleh provinsi Kalimantan Selatan dengan nilai ISPU pada bulan
September mencapai 303 dan pada bulan Oktober mencapai 132 (lihat gambar
5). Polusi udara di kota Palangka Raya pada bulan September hingga bulan
Oktober 2015 berada pada tingkat yang berbahaya, yang mana konsentrasi
PM10 lebih dari 500 µg m-3. Terkait hal ini, artinya bahwa terdapat kabut asap
yang sangat pekat di kota Palangka Raya, yang kemudian mengakibatkan jarak
pandang yang terbatas sekitar 200 hingga 900 meter (Nina Yulianti, 2018). Jarak
pandang yang terbatas tersebut kemudian terdapat dua Bandar Udara di
Kalimantan Tengah mengalami kendala dalam penerbangan yaitu Bandar Udara
H Asan di Sampit dengan jarak pandang 800 meter dan Bandar Udara Tjilik
Riwut di Palangka Raya dengan jarak pandang 500 meter (Maulandy Rizky
Bayu Kencana, 2019).
Gambar 5
33
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Pada Enam Provinsi Sebagai Kategori Darurat
Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan 2015. Sumber: Pusdatin Kemenkes RI,
2015
Terkait kualitas udara yang berbahaya tersebut kemudian menurut data
dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan bahwa jumlah
penderita ISPA meningkat secara cepat dengan rata-rata peningkatan per
minggunya mencapai 11 persen, dimana hingga pada minggu keempat bulan
September 2015 jumlah penderita ISPA sekitar 15.528 orang. Dan data dari
bulan Juli hingga pada tanggal 3 Oktober 2015 terdapat 21.085 orang menderita
ISPA dan 6.835 orang menderita diare. Terkait hal ini sebagian besar penderita
merupakan balita dengan usia (0-5 tahun) dan lansia (Trinirmalaningrum.dkk,
2015).
Selain itu, permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di
Kalimantan Tengah tersebut berdampak buruk terhadap perekonomian pada
beberapa sektor, dimana pada sektor kesehatan terdapat kerugian sebesar 230
miliar, pada sektor pertanian sebesar 17.051 miliar, pada sektor kehutanan
sebesar 1.260 miliar, sektor pendidikan sebesar 72 miliar, pada sektor
perhubungan sebesar 1.522 miliar, pada sektor pariwisata sebesar 571 miliar,
pada sektor perdagangan sebesar 1.804 miliar, serta pada sektor manufaktur dan
pertambangan sebesar 196 miliar (Trinirmalaningrum.,dkk, 2015). Terkait hal
ini, kemudian Kalimantan Tengah mengalami perlambatan ekonomi dari 7%
menjadi 6,7% dengan total kerugian ekonomi di Kalimantan Tengah pada
periode Juni-Oktober 2015 sebesar Rp 33,8 triliun (Naskah Akademik, 2016:
BAB I- 1).
Dan pada tahun 2019, provinsi Kalimantan Tengah juga merupakan
provinsi dengan nilai ISPU tertinggi di Indonesia, dimana kualitas udara dengan
tingkat berbahaya pada sepuluh kabupaten maupun kota di Indonesia, enam
diantaranya berada di provinsi Kalimantan Tengah. Kota Palangka Raya
merupakan kota dengan kategori kualitas udara berbahaya, yang mana nilai
ISPU mencapai 599, kemudian diikuti oleh kota Ketapang dan kota
Petakbehandang dengan kategori kualitas udara sangat tidak sehat, dimana nilai
ISPU masing-masing mencapai 224 dan 202, dan tujuh kota lainnya termasuk
34
dalam kategori kualitas udara tidak sehat, dengan nilai ISPU mencapai 173-195
(lihat gambar 6).
Gambar 6
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) Terburuk Pada Sepuluh Kabupaten/Kota di
Indonesia Pada Tahun 2019. Sumber: Katadata.co.id, 2019
Terkait hal diatas kemudian menurut data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Daerah Kalimantan Tengah, pada tahun 2019 terdapat
sebanyak 2.637 jiwa menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di
Kalimantan Tengah. Terkait hal ini, diantarannya sebanyak 829 jiwa di Kota
Palangka Raya, 513 jiwa di Kotawaringin Timur, 394 jiwa di Murung Raya, 227
jiwa di Barito Utara, 161 jiwa di Kapuas, 147 jiwa di Kotawaringin Barat, dan
terdapat kurang dari 100 jiwa berada di masing-masing wilayah lainnya seperti
Barito Selatan, Barito Timur, Katingan, Gunung Mas, Pulang Pisau, Lamandau,
serta Sukamara (bnpb, 2019).
Dari penjabaran diatas, dapat dikatakan bahwa baik secara nasional maupun
daerah permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan terjadi
berdasarkan dua faktor utama yang saling berkaitan seperti faktor cuaca ekstrim
dan faktor kegiatan manusia. Selain itu permasalahan polusi kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan menyebabkan dampak buruk terhadap sektor kesehatan,
sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dimana meningkatnya penderita penyakit infeksi
saluran pernapasan (ISPA), serta menghambat sistem transportasi, dan merugikan
perekonomian nasional maupun daerah. Terkait hal ini artinya bahwa kebakaran
35
hutan dan lahan termasuk dalam kategori bencana karena dampaknya berupa polusi
kabut asap yang mengancam sektor sosial, ekonomi, dan kesehatan masyarakat,
serta lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati. Sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulanggan Bencana,
menyatakan bahwa “bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Berdasarkan Undang-Undang
tersebut juga terdapat perbedaan antara bencana alam dan bencana non alam,
dimana “bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angina topan, dan tanah longsor. Dan
bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi,
epidemi, dan wabah penyakit”. Artinya bahwa kebakaran hutan dan lahan
dikategorikan sebagai bencana alam apabila disebabkan oleh faktor alam, dan
kebakaran hutan dan lahan dikategorikan sebagai bencana non alam apabila
disebabkan oleh faktor non alam.
4.2 Kebijakan Indonesia Dalam Mengatasi Permasalahan Polusi Kabut Asap
Dasar hukum nasional Indonesia mengenai permasalahan kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup
Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. Peraturan Pemerintah ini
juga merupakan salah satu komitmen Indonesia dalam Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change) yang telah disahkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1994. Melalui PP No 4 Tahun 2001, pada dasarnya sesuai pasal 11
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 menyatakan bahwa “setiap orang
dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan”. Hal yang sama
diatur juga dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang
Perkebunan yang mengatakan bahwa “setiap pelaku usaha perkebunan dilarang
36
membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar”, dan pasal 8 Peraturan
Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 05/Permentan//KB.410/1/2018
Tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar
yang menyatakan bahwa “pelaku usaha perkebunan dalam kegiatan pembukaan
dan/atau pengolahan lahan perkebunan wajib dilakukan dengan tanpa membakar”.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 terdapat beberapa
langkah yang diatur dalam mengatasi permasalahan kabut asap akibat kebakaran
hutan dan lahan, seperti pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Terkait
pencegahan diatur dalam pasal 12 hingga pasal 16 yang mengatakan bahwa setiap
orang berkewajiban dan bertanggung jawab dalam mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan lahan dalam lokasi
usahanya dengan melakukan pemantauan menggunakan sarana dan prasarana
seperti sistem deteksi dini, prosedur operasi standar, perangkat organisasi, dan
pelatihan dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, dan melaporkan
hasil pemantauan sekurang-kurangnya enam bulan sekali kepada
Gubernur/Bupati/Walikota. Selain itu, pemberian ijin melakukan usaha harus
mempertimbangkan pengelolahan hutan dan lahan sebagai pendayagunaan sumber
daya alam, tata ruang daerah, pendapat masyarakat maupun kepala adat dan pejabat
yang berwewenang.
Kemudian terkait penanggulangan diatur dalam pasal 17 hingga pasal 19 yang
mengatakan bahwa setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan
lahan di lokasi kegiatannya, dimana pedoman umum penanggulangan kebakaran
hutan dan lahan selanjutnya ditetapkan melalui Keputusan Menteri yang terkait dan
pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan lahan ditetapkan melalui
Peraturan Daerah masing-masing. Dan terkait dengan pemulihan termuat dalam
pasal 20 hingga pasal 22 yang mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan
terjadinya kebakaran hutan dan lahan di lokasi usahanya berkewajiban untuk
melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup, yang mana pedoman umum
pemulihan dampak lingkungan hidup selanjutnya ditetapkan oleh kepala instansi
terkait dan pedoman teknis pemulihan dampak lingkungan hidup ditatapkan melalui
peraturan daerah masing-masing.
37
Termuat juga pengawasan pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi,
dan pemerintah pusat untuk mencegah kerusakan dan pencemaran lingkungan
hidup, serta menanggulangi dampak dan pemulihan lingkungan hidup akibat
kebakaran hutan dan lahan. Terkait hal ini diatur dalam pasal 34 yang mengatakan
bahwa bupati/walikota melakukan pengawasan di daerahnya, kemudian gubernur
melakukan pengawasan di lintas kabupaten/kota, dan menteri atau kepala instansi
yang bertanggung jawab melakukan pengawasan di lintas provinsi dan lintas batas
negara terkait pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup akibat
kebakaran hutan dan lahan.
Terdapat juga peran masyarakat dalam mengatasi permasalahan polusi kabut
asap akibat kebakaran hutan dan lahan sebagaimana diatur dalam pasal 42 yang
menyatakan bahwa “peningkatan kesadaran masyarakat untuk mencegah
kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan mengembangkan nilai-nilai dan
kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang
mendukung perlindungan hutan dan lahan”. Terkait dengan peran masyarakat
selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 Tent
ang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, dan Peraturan Direktur Jenderal
Pengendalian Perubahan Iklim Nomor P.3/PPI/SET/KUM.I/I/2018 Tentang
Pembentukan dan Pembinaan Masyarakat Peduli Api. Berdasarkan peraturan
tersebut peran masyarakat terkait kebakaran hutan dan lahan melalui kelompok
Masyarakat Peduli Api (MPA) yaitu masyarakat yang secara sukarela membantu
kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. MPA diberikan pelatihan,
pembelajaran, pembekalan dan pengembangan inovasi dalam melakukan
pencegahan, pemadaman awal, melakukan penyuluhan, dan memberikan informasi
terkait permasalahan kebakaran hutan dan lahan. MPA bertanggung jawab kepada
kepala desa atau lurah, Kepala Unit Pelaksana Teknis, dan Kesatuan Pengelolaan
Hutan atau pemegang ijin. Terkait pembentukan dan pembinaan MPA dibiayai oleh
Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dan sumber dana lain yang tidak mengikat.
Adapun Kelompok Tani Peduli Api (KTPA), yang diatur dalam Peraturan
Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 05/Permentan/KB.410/1/2018
Tentang Pembukaan dan atau Pengolahan Perkebunan Tanpa Membakar, yang
38
mengatakan bahwa “KTPA merupakan kumpulan pekebun yang telah dilatih untuk
pemadaman kebakaran lahan perkebunan”, hal ini artinya bahwa KTPA juga
merupakan bagian dari sistem, sarana, prasarana pengendalian kebakaran lahan
perkebunan. Pembentukan KTPA dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota dengan tugas “membantu melakukan sosialisasi pembukaan dan
atau pengolahan lahan perkebunan tanpa membakar, melakukan pemantauan ke
lokasi terindikasi adanya titik panas dan kebakaran, melakukan pemadaman
kebakaran lahan perkebunan secara dini, melakukan koordinasi dengan instansi lain
terkait dengan pengendalian kebakaran lahan perkebunan”.
Sanksi yang didapatkan oleh pelaku polusi kabut asap akibat kebakaran hutan
dan lahan masih diatur melalui pasal 41, pasal 42, pasal 43, pasal 44, pasal 45, pasal
46, dan pasal 47 Undang-Undang No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang mana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun pidana dan dengan denda paling sedikit Rp 100.000.000,-(serarus
juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).
Artinya bahwa waktu pidana dan jumlah denda sesuai dengan jenis pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku.
4.2.1 Kebijakan Provinsi Kalimantan Tengah
Dasar hukum daerah provinsi Kalimantan Tengah mengenai permasalahan
kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan termuat dalam Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Dimana terdapat beberapa pertimbangan bagi
pemerintah provinsi Kalimantan Tengah dalam mengesahkan peraturan daerah
ini yaitu bahwa kebakaran hutan dan lahan yang berasal dari lokasi usaha
maupun di luar lokasi usaha merupakan salah satu penyebab kerusakan dan
pencemaran lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi,
sosial dan budaya. Dan pemerintah Kalimantan Tengah berupaya untuk
mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5
Tahun 2003 terdapat beberapa upaya yang dilakukan dalam mengatasi polusi
kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, seperti perizinan, pencegahan,
39
penanggulangan, dan pemulihan. Terkait dengan perizinan diatur dalam pasal 2
yang mengatakan bahwa “setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran
hutan dan atau lahan. Untuk hal-hal tertentu yang bersifat khusus pembakaran
hutan dan atau lahan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan ijin
dari pejabat yang berwewenang seperti bupati/walikota, camat, lurah/kepala
desa, dan ketua RT”.
Dan terkait dengan perijinan selanjutnya diatur oleh pemerintah kabupate
n/kota, namun pada akhirnya diatur dalam Peraturan Gubernur Kalimantan
Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan
Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan Tengah dan Peraturan Gubernur
Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan Tengah, yang
mengatakan bahwa pemberian izin oleh bupati/walikota dengan luas lahan diatas
5 hektar. Sedangkan pemberian izin pembukaan lahan dengan luas lahan
dibawah 5 hektar dilimpahkan kepada camat untuk luas lahan diatas 2 hektar
hingga 5 hektar, kemudian kepada lurah/kepala desa untuk luas lahan diatas 1
hektar sampai 2 hektar, dan kepada ketua RT untuk luas lahan maksimal 1
hektar. Dalam pemberian izin pejabat yang berwewenang harus memperhatikan
data dari Dinas Lingkungan Hidup kabupaten/kota terkait Indeks resiko
kebakaran atau hotspot, Indeks Peringkat Nimerik Cuaca Kebakaran atau Fire
Weather Index (FWI), Indeks Peringkat Numerik Potensi Kekeringan dan Asap
atau Drought Code (DC), dan jarak pandang pada wilayahnya. Perizinan tidak
berlaku ketika Gubernur mengumumkan status darurat pencemaran udara
mencapai tingkat “berbahaya” berdasarkan indikator Indeks Kebakaran dan
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Namun karena masih terjadi kebakaran hutan dan lahan yang
menimbulkan kabut asap tebal di wilayah Kalimantan Tengah berdampak buruk
bagi masyarakat luas, kemudian Peraturan Gubernur tersebut telah dicabut atau
dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan
Tengah Nomor 49 Tahun 2015 Tentang Pencabutan Atas Peraturan Gubernur
Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan
40
Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan Tengah dan Peraturan
Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat Kalimantan
Tengah. Terkait hal ini, artinya bahwa pemerintah Kalimantan Tengah maupun
pemerintah kabupaten/kota harus menerbitkan peraturan baru terkait ijin
pembukaan lahan dengan cara membakar agar tidak terjadi kebakran hutan dan
lahan di Kalimantan Tengah.
Kemudian terkait dengan pencegahan diatur dalam pasal 3 hingga pasal 6
yang mengatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha wajib mempunyai
sarana-prasarana untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di lokasi
usahanya dan melaporkan hasilnya secara berkala setiap enam bulan sekali
kepada gubenur dan bupati/walikota. Selain itu terkait dengan penanggulangan
diatur dalam pasal 7 hingga pasal 9 yang mengatakan bahwa setiap penanggung
jawab usaha wajib segera melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan
lahan di lokasi usahanya. Dan terkait dengan pemulihan diatur dalam pasal 10
hingga pasal 12 yang menyatakan bahwa setiap penanggung jawab usaha wajib
melakukan pemulihan dampak lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan
lahan di lokasi usahanya. Adapun peran masyarakat dalam mengatasi
permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang diatur
dalam pasal 23 yang mengatakan bahwa “meningkatkan kesadaran masyarakat
untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan
mengembangkan nilai-nilai dan kelembagaan adat serta kebiasaan-kebiasaan
masyarakat tradisional yang mendukung perlindungan hutan dan lahan”.
Berangkat dari ulasan diatas, dapat diketahui bahwa terdapat diskresi antara
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003, hal ini dapat dilihat bunyi pasal 11
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 dan bunyi pasal 2 Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003, dimana dalam pasal 11
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 jelas mengatakan bahwa tindakan
kebakaran hutan dan lahan di larang, sedangkan dalam pasal 2 Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 mengatakan bahwa tindakan
41
kebakaran hutan dan lahan dilarang, tetapi untuk hal-hal yang bersifat khusus
tindakan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan harus terlebih dahulu
mendapatkan ijin dari pejabat yang berwewenang. Walaupun demikian pada
dasarnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 melarang setiap orang maupun
setiap penanggung jawab usaha untuk melakukan kegiatan pembakaran hutan dan
lahan yang kemudian dapat menimbulkan polusi kabut asap. Selain itu, dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 terdapat ketentuan-ketentuan sebagai
upaya setiap orang maupun setiap penanggung jawab usaha dalam mengatasi
permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan dengan wajib
melakukan tindakan pencegahan, penanggulangan, perizinan dan pemulihan
dampak lingkungan terkait permasalahan kebakaran hutan dan lahan. Adapun
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi,
dan pemerintah pusat sesuai kapasitas yang telah ditentukan dalam upaya mencegah
pencemaran lingkungan hidup akibat kebakaran hutan dan lahan. Serta terdapat
peran masyarakat dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan yaitu
melalui kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) dan Kelompok Tani Peduli Api
(KTPA). Dan sanksi yang diberikan terhadap para pelaku pembakaran hutan dan
lahan.
Terkait dengan peran masyarakat dalam mengatasi permasalahan polusi
kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, di Kalimantan Tengah sendiri dimana
berdasarkan hasil wawancara bersama bapak Fatkhurohman menyatakan bahwa
peran masyarakat dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah melalui Masyarakat Peduli Api
(MPA) dan Kelompok Tani Peduli Api (KTPA). Selain itu berdasarkan hasil
wawancara melalui via whatsapp bersama bapak Jaime Dacosta Barreto
mengatakan bahwa di Kalimantan Tengah sendiri MPA hadir pada tahun 2019
untuk membantu mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan, dimana
anggota MPA merupakan sukarelawan sehingga tidak diberikan gaji bulanan hanya
berupa uang makan. MPA mendapatkan bantuan dari DLH dan KPHP/KPHL
sebagai unit pelaksanaan teknis Dinas Kehutanan provinsi yang berada di
42
kabupaten atau kota berupa sarana pendukung dalam mengatasi kebakaran hutan
dan lahan seperti mesin pemadam, selang, dan lainnya. Terdapat sembilan tugas
MPA yaitu:
1. Mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
2. Pemadaman awal dan mendukung pemadaman yang dilakukan oleh Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) atau pihak lain.
3. Meningkatkan kepedulian masyarakat terkait permasalahan kebakaran hutan
dan lahan.
4. Melakukan identifikasi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
5. Mengusulkan calon lokasi Program Kampung Iklim. Dalam hal ini desa
rawan kebakaran hutan dan lahan.
6. Memberikan informasi kejadian kebakaran hutan dan lahan.
7. Menyebarluaskan informasi peringatan bahaya kebakaran hutan dan lahan
melalui Fire Dangering Rating System (FDRS).
8. Penyuluhan mandiri bersama-sama dengan pihak lain.
9. Pertemuan secara berkala dalam rangka penguatan kelembagaan.
Adapun tantangan yang dihadapi oleh MPA dalam melaksanakan tugas yaitu:
1. Kelembagaan MPA belum kuat karena hanya mendapatkan perhatian dari
pemerintah desa.
2. Keberadaan MPA belum sepenuhnya mendapatkan tempat yang layak dari
pemerintah desa.
3. Belum adanya sekretariat MPA secara permanen.
4. Peralatan dukungan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang dimiliki
MPA belum memadai.
5. Kelengkapan personil MPA termasuk seragam MPA belum memadai sesuai
standar.
6. Kurangnya pelatihan-pelatihan yang diberikan kepada personil MPA,
sehingga kapasitas personil MPA belum memadai.
7. Belum adanya mekanisme insentif kepada anggota MPA seperti melalui
kegiatan integrated farming untuk mengembangkan ekonomi masyarakat,
sehingga anggota MPA masih bersifat sukarelawan.
43
8. Belum adanya dukungan pendanaan untuk operasional kegiatan MPA.
9. Pendataan anggota MPA belum terupdate sesuai dengan perkembangan dan
kondisi actual, dimana dari pembentukan 30 orang biasanya yang aktif hanya
20 orang.
Terkait hal diatas dikarenakan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001
dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2003 belum
mengadopsi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah,
yang artinya masih menempatkan masyarakat sebagai obyek bukan sebagai subyek
pengendalian kabakaran hutan dan lahan. Dimana melalui Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah terdapat pembedaan kewenangan
dalam penanggulangan bencana dan pengendalian kebakaran, dimana
penanggulangan bencana merupakan kewenangan semua tingkat pemerintah secara
proporsional, sedangkan kewenangan pengendalian kebakaran merupakan
kewenangan di tingkat kabupaten/kota dan desa. Terkait hal ini artinya bahwa
kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan harus mendapatkan dukungan
dengan penataan kelembagaan di kabupaten/kota dan desa, serta menempatkan
masyarakat sebagai subyek utama pengendalian kebakaran, bukan menempatkan
masyarakat sebagai obyek.
Keterlibatan tingkat provinsi dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan
dan lahan diatur dalam pasal 72 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa, dimana melalui bantuan keuangan dari provinsi berdasarkan Dana Desa yang
telah di dapatkan dari pemerintah pusat melalui APBN dan Alokasi Dana Desa dari
APBD, yang mana pemberian bantuan keuangan dari provinsi dilakukan dengan
skema insentif dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan. Terkait
hal diatas, seperti terdapat Anggaran Satuan Perangkat Daerah, Dinas Lingkungan
Hidup Kalimantan Tengah dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan
lahan. Dimana terdapat beragam program dan kegiatan yang dilakukan dalam
mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 sampai 2019,
dengan jumlah anggaran yang dianggarkan semakin berkurang setiap tahunnya.
Dimana pada tahun 2015, program dan kegiatan lebih berfokus pada mitigasi,
adaptasi dan dampak perubahan iklim, dengan jumlah anggaran yang dianggarkan
44
sebanyak Rp 605.800.470. Pada tahun 2016, program dan kegiatan tidak hanya
berfokus pada mitigasi dan adaptasi perubahan iiklim, tetapi juga pada penanganan
kebakaran lahan gambut, hutan dan pekarangan, dengan jumlah anggaran yang
dianggarkan sebanyak Rp Rp 250.000.000. Pada tahun 2017 hingga 2019 program
dan kegiatan yang dilakukan lebih berfokus pada pengendalian kebakaran hutan
dan lahan melalui koordinasi dan sosialisasi terkait kebijakan dalam mengatasi
permasalahan kebakaran hutan dan lahan. Anggaran yang dianggarkan pada tahun
2017 sebanyak Rp 225.000.000, pada tahun 2018 sebanyak Rp 200.000.000, dan
pada tahun 2019 sebanyak Rp 75.000.000 (lihat gambar 7). Selain itu berdasarkan
hasil wawancara bersama bapak Fatkhurohman menyatakan bahwa bantuan
keuangan yang diberikan ke desa di Kalimantan Tengah paling banyak di desa
Pematang Panjang, kabupaten Seruyan dengan jumlah sekitar Rp 3 miliar dan
bantuan paling sedikit di desa Gudang Seng, kabupaten Barito Timur dengan
jumlah sekitar Rp 700 ribu.
Gambar 7
Anggaran Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan Pada Tahun 2015-2019. Sumber:
Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA SKPD) Dinas
Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015-2019 (diolah oleh penulis)
Dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan
lahan di Kalimantan Tengah, pemerintah provinsi Kalimantan Tengah baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terus berupaya untuk memperbaiki lahan
gambut yang rusak. Terkait hal ini kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 71 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 yang
menyatakan bahwa pemulihan ekosistem gambut rusak atau terdegredasi dilakukan
melalui rehabilitasi ekosistem gambut dengan teknik paludikultur, yang mana
dengan menutup saluran-saluran drainase untuk memulihkan kondisi gambut
45
menjadi basah lagi dan tetap memperhatikan aspek sosial ekonomi masyarakat
sekitar. Serta berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Badan Restorasi Gambut dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidupdan K
ehutanan No.P.6/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2019 Tentang Penugasan Sebagai
Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Untuk Kegiatan
Restorasi Gambut Tahun Anggaran 2019 Kepada Gubernur Riau, Gubernur Jambi,
Gubernur Sumatera Selatan, Gubernur Kalimantan Barat, Gubernur Kalimantan
Tengah, Gubernur Kalimantan Selatan, dan Gubernur Papua, terdapat upaya
pengendalian ekosistem gambut pada KHG yang dilakukan oleh Direktoral
Pengendalian Kerusakan Gambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
ataupun dinas/instansi di tingkat provinsi dan kabupaten, yaitu:
1) Pemulihan fungsi hidrologis ekososistem gambut lewat pembangunan sekat
kanal.
2) Peningkatan kemandirian masyarakat untuk pemulihan ekosistem gambut.
3) Peningkatan kinerja pemulihan ekosistem gambut bagi perusahan atau
konsesi.
4) Inventarisasi dan penetapan peta fungsi ekosistem gambut skala 1:50.000.
5) Peningkatan kapasitas dalam penyusunan rencana perlindungan dan
pengelolahan ekosistem gambut.
6) Pengembangan sistem informasi perlindungan dan pengelolaan ekosistem
gambut.
7) Kegiatan pengendalian kerusakan ekosistem gambut khsusnya pemulihan
yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui pembangunan
infrastruktur pembasahan berupa sumur bor, sekat kanal, dan embung.
Kemudian melakukan revegetasi, dan revitalisasi ekonomi masyarakat sekitar
lahan gambut.
Dari beberapa poin diatas, upaya yang dilakukan oleh Provinsi Kalimantan
Tengah melalui Badan Restorasi Gambut yang berada di Dinas Lingkungan Hidup
Provinsi Kalimantan Tengah dalam mengatasi kerusakan ekosistem gambut adalah
dengan membangun infrastruktur pembasahan berupa sumur bor dan sekat kanal.
Terkait hal ini, yang mana Badan Restorasi Gambut di Kalimantan Tengah telah
46
melakukan pembangunan insfrastruktur pembahasan gambut seperti sumur bor
sebanyak 4.152 dan sekat kanal sebanyak 3.121 pada tahun 2018 hingga 2020.
Dimana pada tahun 2018 total sumur bor yang dibangun sebanyak 3.223 sumur bor,
diantaranya yang sudah valid sebanyak 2.179 sumur bor dan yang belum valid
sebanyak 1.044 sumur bor. Kemudian pada tahun 2019 terdapat total sumur bor
yang dibangun sebanyak 929 sumur bor, diantaranya yang sudah valid sebanyak
879 sumur bor dan yang belum valid sebanyak 50 sumur bor. Dan pada tahun 2020
tidak ada pembangunan sumur bor. Selain itu, pada tahun 2018 total sekat kanal
yang dibangun sebanyak 2.358 sekat kanal, diantaranya sekat kanal kontrak
sebanyak 1.250 sekat kanan dan sekat kanal berdasarkan server sebanyak 1.108
sekat kanal. Kemudian pada tahun 2019 terdapat total sekat kanal yang dibangun
sebanyak 668 sekat kanal, diantaranya sekat kanal kontrak sebanyak 341 sekat
kanal dan sekat kanal berdasarkan server sebanyak 327 sekat kanal. Dan pada tahun
2020 total sekat kanal yang dibangun sebanyak 95 sekat kanal, diantaranya sekat
kanal kontrak sebanyak 46 sekat kanal dan sekat kanal berdasarkan server sebanyak
49 sekat kanal (lihat tabel 5). Terkait hal ini sesuai dengan hasil wawancara bersama
bapak Wuryanto mengatakan bahwa dalam mengatasi polusi kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan terdapat dua aspek yaitu aspek pencegahan dan
penanggulangan, dalam hal ini kegiatan yang dilakukan seperti pembangunan subur
bor, sekat kanal dan kolam penampungan air yang di manfaatkan untuk mengatasi
kebakaran hutan dan lahan serta dimanfaatkan untuk pertanian.
Tabel 5
Pembangunan Insfrastruktur
Pembasahan Gambut Tahun
Total 2018 2019 2020
Total Sumur Bor 3.223 929
4.152 Sumur Bor Sudah SISFO (Valid) 2.179 879
Sumur Bor Belum SISFO (Valid) 1.044 50
Total Sekat Kanal 2.358 668 95
3.121 Sekat Kanal Kontrak 1.250 341 46
Sekat Kanal Berdasarkan Server 1.108 327 49
Indikator Kinerja Badan Restorasi Gambut Kalimantan Tengah Pada Tahun 2018-2020.
Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, 2020
47
Kemudian berdasarkan data dari Badan Restorasi Gambut, hingga pada bulan
desember 2019, di Kalimantan Tengah sendiri terdapat sebanyak 399.657 hektar
lahan gambut terestorasi, dimana secara nasional terdapat sebanyak 778.181 hektar
lahan gambut terrestorasi (BRG, 2020). Dalam pelaksanaan restorasi gambut di
Kalimantan Tengah melibatkan 11 perusahaan, diantaranya 1 perusahan Hutan
Tanaman Industri (HTI) dan 10 perusahaan sawit (lihat gambar 8).
Gambar 8
Keterlibatan Perusahaan Dalam Pelaksanaan Restorasi Gambut di Kalimantan Tengah.
Sumber: Badan Restorasi Gambut, 2018
Selain itu terdapat upaya perencanaan ekosistem gambut yang dilakukan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 dan Keputusan Presiden
Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Terkait hal ini,
merupakan upaya untuk melestarikan dan mencegah terjadinya kerusakan pada
ekosistem gambut, yang mana Provinsi Kalimantan Tengah dan semua wilayah
daerah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan Peraturan
Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk mengatasi kerusakan
pada ekosistem gambut (lihat gambar 9). Walaupun demikian, terdapat beberapa
peraturan yang telah melewati masa berlaku selama lima tahun, artinya peraturan
tersebut harus segerah diperbaharui untuk mengoptimalkan upayah dalam
mengatasi kerusakan pada ekosistem gambut yang kemudian dapat mencegah
terjadinya kebakaran hutan dan lahan di kawasan gambut.
Gambar 9
48
Daftar Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Provinsi
Kalimantan Tengah. Sumber: Rancangan Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Provinsi Kalimantan Tengah
Tahun 2020-2050.
Adapaun peta dan luas kawasan lindung dan kawasan budidaya berdasarkan
Perda Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan
Tengah 2015-2035, dimana total luas kawasan lindung seluas 3.599.561,00 hektar
yang terdiri dari luas 12 status kawasan lindung dan total luas kawasan budidaya
seluas 12.120.330,00 hektar yang terdiri dari luas 4 status kawasan budidaya (lihat
gambar 10). Hal ini merupakan langkah pemerintah Kalimantan Tengah dalam
mengelolah tanah gambut yang berkelanjutan melalui konsep Kawasan Hidrologi
Gambut (KHG) dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran
hutan dan lahan dengan membagi kawasan gambut menjadi kawasan Fungsi
Lindung Ekosistem Gambut (FLEG) dan kawasan Fungsi Budidaya Ekosistem
Gambut (FBEG). Terkait hal ini menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim (P3SEKPI) menyatakan bahwa
pembagian lahan gambut berdasarkan fungsi lindung dan fungsi budidaya tersebut
telah sangat ideal, yang mana mempertimbangkan kepentingan ekologis dan
ekonomis bagi masyarakat dan pemerintah daerah, oleh karena itu yang harus
diperhatikan lebih lanjut yaitu terkait upaya perlindungan gambut dan
pemanfaatanya secara ekonomi harus berjalan seimbang (DLH Kalteng, 2019).
Gambar 10
49
Peta Kawasan Lindung
Peta Kawasan Budidaya
Luas Kawasan Lindung
Luas Kawasan Budidaya
Peta dan Luas Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Berdasarkan RTRW Provinsi
Kalimantan Tengah Pada Tahun 2015-2035. Sumber: Dinas Lingkungan Hidup Provinsi
Hidup Kalimantan Tengah, 2020
Berpanduan pada RTRW, pemerintah Kalimantan Tengah menerbitkan
Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Perkebunan
Berkelanjutan, kemudian turunannya diterbitkan Peraturan Gubernur Nomor 41
Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi Dalam
Usaha Perkebunan di Provinsi Kalimantan Tengah, yang mengatakan bahwa
perusahan besar swasta harus mengalokasikan kawasan kohesinya untuk kawasan
bernilai konservasi tinggi dan melaksanakan pengelolaan kawasan secara
berkelanjutan. Terkait hal ini telah diimplementasikan oleh 45 dari 181 perusahan
besar kelapa sawit yang berada di Kalimaantan Tengah, yang tersebar di 7 wilayah
kabupaten/kota (lihat gambar 11).
Gambar 11
50
Sebaran Perusahan Besar Kelapa Sawit yang Memperoleh Sertifikat ISPO Sebagai Indikasi
Pelaksanaan Konservasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi di Kalimantan Tengah. Sumber:
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Hidup Kalimantan Tengah, 2020
Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa terdapat masing-masing satu
perusahan di Barito Timur dan Gunung Mas, kemudian terdapat empat perusahan
di Lamandau, selanjutnya terdapat sebelas perusahan di Seruyan, selain itu terdapat
tujuh perusahan di Sukamara, serta terdapat enam perusahan di Kotawaringin
Timur, dan terdapat lima belas perusahan di Kotawaringin Barat.
Gambar 12
Alur Penanggulangan Polusi Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan. Sumber: Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2013
51
4.3 Peran ASEAN Social Cultural Community Melalui ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution Dalam Mengatasi Permasalahan Polusi Kabut
Asap di Kalimantan Tengah 2015-2019
Awal pembentukan ASEAN di kawasan Asia Tenggara berfokus pada kerja
sama dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, teknik, penelitian dan keilmuan
untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang sejahtera dan damai. Terkait hal
ini artinya bahwa para pendiri ASEAN berusaha untuk terhindar dari situasi dimana
adanya aliansi kawan dan lawan yang dapat berpotensi menciptakan ketegangan
dan mengganggu keamanan nasional masing-masing, keamanan kawasan, dan
kemanan internasional, sebagaimana didasarkan pada misi ASEAN yang termuat
dalam Deklarasi Bangkok 1967, yang menyatakan bahwa untuk menciptakan rasa
persahabatan, perdamaian, dan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Adapun
prinsip-prinsip utama ASEAN yang termuat dalam Piagam ASEAN, diantaranya:
1. Saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas
wilayah, dan indentitas nasional antar sesama negara anggota ASEAN.
2. Berkomitmen dan bertangjung jawab bersama dalam meningkatkan
perdamaian, keamanan, dan kemakmuran di kawasan.
3. Menentang agresi dan ancaman atau penggunaan kekuatan atau tindakan-
tindakan lainnya dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan hukum
internasional.
4. Mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai.
5. Tidak mengintervensi urusan dalam negeri dari negara-negara anggota
ASEAN.
6. Menghormati hak setiap negara anggota untuk menjaga eksistensi
nasionalnya bebas dari intervensi negara bukan anggota ASEAN, subversi,
dan paksaan.
7. Meningkatkan konsultasi tentang hak-hal yang secara serius berpengaruh
terhadap kepentingan bersama ASEAN.
8. Berpegang teguh pada aturan hukum, tata pemerintahan yang baik, prinsip-
prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional.
9. Menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia, dan pemajuan keadilan sosial.
52
10. Menjunjung tinggi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum
internasional, termasuk hukum humaniter internasional, yang disetujui oleh
negara-negara anggota ASEAN.
11. Tidak ikut serta dalam kebijakan atau kegiatan apa pun, termasuk
penggunaan wilayahnya, yang dilakukan oleh negara anggota ASEAN atau
negara non-ASEAN atau subjek non-negara mana pun, yang mengancam
kedaulatan, integritas wilayah atau stabilitas politik dan ekonomi negara-
negara anggota ASEAN.
12. Menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama yang dianut oleh rakyat
ASEAN, dengan menekankan nilai-nilai bersama dalam semangat persatuan
dalam keanekaragaman.
13. Sentralitas ASEAN dalam hubungan eksternal di bidang politik, ekonomi,
sosial dan budaya, dengan tetap berperan aktif, berpandangan ke luar, inklusif
dan non-diskriminatif.
14. Berpegang teguh pada aturan-aturan perdagangan multilateral dan rejim-
rejim yang didasarkan pada aturan ASEAN untuk melaksanakan komitmen-
komitmen ekonomi secara efektif dan mengurangi secara progresif ke arah
penghapusan semua jenis hambatan menuju integrasi ekonomi kawasan,
dalam ekonomi yang digerakkan oleh pasar.
Berangkat dari ulasan diatas, teori liberalisme institusional menurut Robert
Jackson dann Georg Sorense (2013) merupakan dasar pemikiran Woodrow Wilson
tentang kegunaan suatu institusi internasional adalah membuat dunia yang teratur,
damai dan aman bagi demokrasi, serta institusi mempunyai dua sifat yaitu institusi
bersifat global seperti PBB dan institusi bersifat regional seperti Uni Eropa dan
ASEAN. Dalam hal ini ASEAN yang merupakan institusi bersifat regional
menciptakan kawasan Asia Tenggara yang sejahtera dan damai sesuai dengan misi
ASEAN yang termuat dalam Deklarasi Bangkok 1967 yang menyatakan bahwa
untuk menciptakan rasa persahabatan, perdamaian, dan kesejahteraan di kawasan
Asia Tenggara, serta yang tercermin dalam prinsip-prinsip utama ASEAN yang
termuat dalam Piagam ASEAN.
53
Teori liberalisme institusional meyakini bahwa kehadiran sebuah institusi
internasional membantu untuk meningkatkan kerja sama diantara negara-negara,
dalam hal ini ASEAN merangkum berbagai bidang kerjasamanya untuk
membentuk kawasan ASEAN yang terintegrasi dengan melakukan perbaikan di
semua bidang melalui pembentukan masyarakat kawasan ASEAN didasarkan pada
3 (tiga) pilar yaitu Pilar Masyarakat Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-
Security Community), pilar Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community), dan pilar Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural
Community). Terkait dengan pilar Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN
Socio-Cultural Community) sendiri bertujuan dalam mewujudkan komunitas
ASEAN yang berorientasi kepada rakyat untuk mencapai solidaritas, persatuan, dan
identitas bersama. Adapun karakteristik dari Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN
(ASEAN Socio-Cultural Community) yaitu:
1. Pembangunan manusia (human development)
2. Perlindungan dan kesejahteraan sosial (social welfare and protection).
3. Hak-ak dan keadilan sosial (social justice and rights).
4. Pelestarian lingkungan hidup (ensuring environmental sustainability).
5. Membangun identitas ASEAN (building the ASEAN identity).
6. Memperkecil kesenjangan pembangunan (narrowing the development gap)
(kemlu.go.id).
Terdapat 147 action line dalam cetak biru Komunitas Sosial Budaya ASEAN
yang harus dilakukan dalam penerapan Masyarakat ASEAN 2015. Dalam cetak
biru ini, membahas beberapa hal terkait isu lingkungan, dimana salah satunya
tentang mencegah pencemaran lingkungan lintas batas, dalam hal ini termasuk
permasalahan transboundary haze pollution. ASEAN mewujudkan komitmennya
dalam mengatasi permasalahan transboundary haze pollution dengan
meningkatkan kerja sama secara regional. Terkait hal ini, dimana terdapat beberapa
organisasi dibentuk seperti ASEAN Ministerial Meeting on Disaster Management
(AMMDM), Conference of the Paties to the ASEAN Agreement on Disaster
Management and Emergency Response (COP to AADMER), ASEAN Ministerial
54
Meeting on Environment (AMME), dan Conference of the Parties to the ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution (COP to AATHP) (asean.org).
Teori liberalisme institusional juga percaya bahwa organisasi internasional
merupakan seperangkat aturan yang mengatur tindakan negara dalam bidang
tertentu, terkait hal ini telah terdapat peraturan maupun kesepakatan antara negara-
negara anggota ASEAN yang terus mengalami perkembangan dalam mengatasi
permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Kesepakatan
pertama pada tahun 1985 yaitu Agreement on the Conservation of Nature and
Natural Resources (ACNNR) yang secara umum merupakan kerangka kerja sama
dalam sektor konservasi alam dan sumber daya alam, tetapi kesepatan ini juga
mewajibkan negara anggota ASEAN untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan
(Mokado, 2017). Kesepakatan kedua pada tanggal 19 Juni 1990 yaitu Kuala
Lumpur Accord on Environment and Development yang di sepakati oleh para
menteri lingkungan hidup negara-negara anggota ASEAN melalui ASEAN
Ministerial Meeting on Environment (AMME) di Kuala Lumpur, Malaysia, yang
bertujuan untuk mengatasi persoalan pembangunan dan lingkungan termasuk
persoalan polusi kabut asap lintas batas. Kesepakatan ketiga pada tanggal 27-28
Januari 1992 yaitu Singapore Resolution on Environmental and Development
melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-4 di Singapura, yang
bertujuan untuk mengatasi permasalahan pembangunan dan lingkungan termasuk
polusi kabut asap lintas batas, bencana alam kebakaran hutan, dan kampanye anti
kayu tropis (Rahmi Deslianti Afni, 2014). Kesepakatan keempat pada Juli 1995
yaitu ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution (ACPTP) melalui
pertemuan ASEAN Meeting on the Management of Transboundary Polution di
Kuala Lumpur, Malaysia, yang merupakan rancangan kerjasama untuk membuat
suatu kebijakan di tingkat regional dalam mengatasi polusi kabut asap lintas batas
dengan saling bertukar informasi dan pengalihan teknologi dalam mengurangi
potensi kebakaran hutan dan lahan. Kesepakatan kelima pada Desember 1997 yaitu
Regional Haze Action Plan (RHAP) yang diterbitkan melalui ASEAN Ministerial
Meeting on Haze (AMMH) di Singapura yang bertujuan untuk mencegah
kebakaran hutan dan lahan lewat perbaikan kebijakan pengelolaan sumber daya
alam, menetapkan mekanisme operasional dalam melakukan pemantauan,
55
memperkuat kapabilitas pemadaman secara regional, penegakan hukum yang
berkaitan, serta upaya mitigasi lainnya yang diperlukan (Mokado, 2017).
Kesepakatan keenam pada tahun 1998 yaitu Hanoi Plan of Action melalui KTT
ASEAN di Vietnam yang bertujuan untuk mengatakan bahwa perlu adanya
tindakan lanjutan dari RHAP dengan membuat kesepakatan regional baru yang
mengikat secara hukum. Dan kesepakatan ketujuh pada tahun 2002 yaitu ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang di sepakati oleh para
menteri lingkungan hidup negara-negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur,
Malaysia, dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan polusi kabut asap maupun
polusi kabut asap lintas batas melalui upaya nasional maupun regional, yang
berlaku sejak tanggal 25 November 2003 hingga sekarang (Rahmi Deslianti Afni,
2014).
Teori liberalisme institusional juga beranggapan bahwa negara adalah aktor
utama dalam hubungan internasional, tetapi tidak hanya negara yang merupakan
aktor sangat berpengaruh. Negara adalah aktor rasional serta terus berupaya agar
mendapatkan kepentingan nasional dalam bidang apapun. Dan di tengah
perselisihan, negara menyerahkan sumber dayanya kepada institusi jikalau dapat
menguntungkan satu sama lain serta dapat memenuhi kepentingan nasional. Terkait
hal ini kepentingan Indonesia dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution, yang mana sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2014 Tentang
Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution mennyatakan
bahwa “Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari anggota negara-negara
ASEAN memegang teguh dan konsisten terhadap komitmen solidaritas untuk
bekerja sama di bidang pengendalian kebakaran lahan dan/atau hutan serta
penyebaran asap lintas batas negara dengan memperhatikan prinsip-prinsip
perjanjian internasional yang telah disepakati dan kepentingan nasional sesuai
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dan bahwa asap yang berasal dari kebakaran lahan dan/atau hutan dapat
menyebar sampai lintas batas negara dan berkecendrungan kuat mengakibatkan
pencemaran lingkungan, merusak ekosistem, serta merugikan kesehatan manusia,
maka diperlukan kerja sama antarnegara Asia Tenggara dalam mengendalikan
penyebaran asap lintas batas negara. Serta bahwa Pemerintah Republik Indonesia
56
telah menandatangani ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution pada
tanggal 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia”.
Selain itu adanya desakan dari masyarakat Indonesia dan LSM seperti
WALHI dan WWF melalui aksi unjuk rasa untuk mendorong pemerintah Indonesia
bertanggungjawab atas permasalahan tersebut dengan menegakan hukum secara
tegas terhadap para pembakar hutan baik perseorangan maupun suatu perusahan
tententu, selain itu untuk memperbaiki citra Indonesia di mata negara lain terutama
negara-negara anggota ASEAN terkait isu kabut asap lintas batas negara, (Shofi
Aliyah Rahmi, 2017), serta Indonesia menyadari bahwa permasalahan kebakaran
hutan dan lahan yang belum dapat diselesaikan sampai sekarang, sehingga
dibutuhkan bantuan dari negara lain untuk penyelesaian permasalahan kabut asap
lintas batas akibat kebakaran hutan dan lahan (Rahmi Deslianti Afni, 2015), dan
merefleksikan kepentingan Indonesia untuk melindungi hak warga negara
Indonesia dalam bidang kesehatan, pendidikan dan lingkungan (Akbar Gemilang
Suzli, 2017) melalui bantuan ekonomi serta kerjasama teknis dari ASEAN dalam
mengatasi permasalahan kabut asap lintas batas negara (Shofi Aliyah Rahmi, 2017).
Terkait dengan transboundary haze pollution sendiri, menurut article 1 dari
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution menyatakan bahwa
transboundary haze pollution means haze pollution whose physical origin is
situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one
Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of
another Member State. Artinya bahwa polusi kabut asap lintas batas merupakan
pencemaran kabut asap yang berasal dari yuridiksi satu negara anggota ASEAN,
yang kemudian kabut asap tersebut menyebar atau terdapat didalam yuridiksi
negera anggota ASEAN lainnya. Dan dalam article 1 dari ASEAN Agreement on
Tranboundary Haze Pollution juga menyatakan bahwa haze pollution means smoke
resulting from land and/or forest fire which causes deleterious effects of such a
nature as to endanger human health, harm living resources and ecosystems and
material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses
of the environment. Artinya bahwa pencemaran kabut asap itu sendiri merupakan
asap yang berasal dari kebakaran hutan atau lahan, yang kemudian berdampak
57
buruk terhadap alam, kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, ekosistem, serta
menggangu fasilitas dan sebagainya (haze.asean.org).
4.3.1 Transboundary Haze Pollution di Kawasan ASEAN
Kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang hampir setiap tahun
mengalami permasalahan transboundary haze pollution, yang disebabkan oleh
adanya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, termasuk di wilayah Kalimantan
Tengah. Dimana pada tahun 2015 hingga 2019, kebakaran hutan dan lahan
dalam skala besar terjadi di Indonesia terutama di pulau Sumatera dan
Kalimantan pada tahun 2015 dan 2019 yang kemudian menghasilkan
transboundary haze pollution di kawasan ASEAN (lihat gambar 13).
Permasalahan polusi kabut asap lintas batas 90 persen disebabkan oleh
kebakaran hutan dan lahan pada tanah gambut (Mokado, 2017).
Gambar 13
Penyeberan Polusi Kabut Asap di Kawasan ASEAN Pada Tahun 2015 dan 2019. Sumber:
ASEAN Specialised Meteorological Centre, 2015 dan 2019
Pada bulan September 2015 terdapat enomena El Nino di kawasan
ASEAN bagian selatan, yang mana cuaca kering di kawasan ASEAN bagian
selatan akibat curah hujan di kawasan ASEAN bagian selatan tercatat dibawah
rata-rata. Hal ini kemudian terdapat transboundary haze pollution, dimana
kawasan ASEAN bagian selatan diselimuti oleh kabut asap, yang kemudian
negara-negara yang terdampak yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura,
Thailand bagian selatan, dan Filipina bagian selatan. Terkait hal ini, sejak pada
tanggal 9 hingga 28 September kualitas udara pada beberapa kota di Malaysia
58
seperti Kuching, Samarahan, dan Sri Aman berkisar pada titik 68 hingga 205
atau dalam kategori tidak sehat hingga dalam kategori sangat tidak sehat.
Kemudian khususnya pada tanggal 27 September 2015 terdapat kualitas udara
pada beberapa kota di Malaysia seperti Port Klang, Shah Alam, dan Batu Muda
berada pada titik 224 hingga 243 atau dalam kategori sangat tidak sehat. Terkait
hal ini kemudian pada tanggal 10 September jarak pandang di Bandara Udara
Internasional Kuching memburuk hingga dibawah 800meter sehingga terdapat
gangguan operasi jadwal penerbangan. Selain itu pada tanggal 26 September
2015 jarak pandang di Bandara Subang, Malaysia memburuk hingga berada
dibawah 500meter sehingga bandara ditutup selama beberapa jam. Dan pada
tanggal 25 September 2015, kualitas udarah di Singapura mencapai titik tertinggi
322 atau dalam kategori berbahaya (asmc.asean.org, 2015). Menurut Menteri
Sumber Daya Air dan Lingkungan Singapura mengatakan bahwa Singapura
mengalami kerugian ekonomi sekitar US$700 juta atau Rp9,2 triliun dari
masalah kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia (Hanna
Azarya Samosir, 2016).
Dan pada tahun 2019 kembali terjadi transboundary haze pollution akibat
kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar di Indonesia yang dipengaruhi oleh
fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) berada dalam fase positif sejak
pertengahan tahun 2019 sehingga beberapa daerah di kawasan ASEAN bagian
selatan mengalami cuaca secara signifikan lebih kering dari biasanya
(asmc.asean.org). Hal ini kemudian terdapat kualitas udara yang buruk di
beberapa negara di kawasan bagian selatan ASEAN, seperti Brunei Darussalam,
Malaysia Singapura dan Thailand bagian selatan. Terkait hal ini, Malaysia
sangat merakan dampak dari transboundary haze pollution tersebut, yang mana
Indeks Polusi Udara di Kuala Lumpur mencapai 138, artinya kualitas udara di
Malaysia berada pada tingkat tidak sehat, sehingga pemerintah Malaysia harus
mendistribusikan setengah juta masker wajah kepada 409 sekolah. Selain itu,
kualitas udarah di Singapura juga mengalami keburukan, tetapi masih dalam
kisaran moderat. Kemudian di Thailand bagian selatan, adanya peningkatan
partikel debu kurang dari 2,5 mikron atau PM2.5, artinya bahwa dapat
59
berdampak terhadap kesehatan masyarakat seperti batuk, sesak napas, dan iritasi
mata (Hans Nicholas Jong, 2019).
4.3.2 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution merupakan aturan
maupun kesepakatan yang mengatur tindakan setiap negara anggota ASEAN
dalam mengatasi permasalahan transboundary haze pollution di kawasan
ASEAN maupun haze pollution di suatu negara yang diakibatkan dari kebakaran
hutan lahan. Kesepakatan ini disetujui di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal
10 Juni 2002, dan kesepatan ini juga telah diratifikasi oleh semua negara anggota
ASEAN, dimana Indonesia merupakan negara terakhir meratifikasi kesepakatan
tersebut pada tahun 2014. ASEAN melalui AATHP berperan untuk mendorong
semua negara anggota ASEAN dalam mengatasi permasalahan transboundary
haze pollution yang diakibatkan dari kebakaran hutan lahan, dan AATHP juga
mempunyai peran sebagai bentuk kerjasama antar negara-negara anggota
ASEAN untuk mengatasi permasalahan transboundary haze pollution yang
diakibatkan dari kebakaran hutan dan lahan. Dalam AATHP terdapat 32 pasal
yang memuat tentang ketentuan-ketentuan, gambaran kerjasama, dan tindakan
dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan
lahan.
AATHP bertujuan untuk mendorong setiap negara anggota ASEAN dalam
mengatasi permasalahan transboundary haze pollution yang diakibatkan dari
kebakaran hutan dan lahan melalui upaya nasional maupun kerjasama regional.
Prinsip dari AATHP juga selaras dengan prinsip pada piagam PBB dan hukum
internasional terkait dengan hal berdaulat, sehingga AATHP memberikan
kewenangan dan tanggung jawab kepada setiap negara anggota ASEAN untuk
memastikan bahwa tidak adanya kerusakan lingkungan hidup didalam yurisdiksi
nasional suatu negara yang kemudian berdampak buruk terhadap yurisdiksi
nasional negara lain. Oleh karena itu, setiap negara anggota ASEAN harus
mengelolah dan menggunakan Sumber Daya Alam (SDA) termasuk sumber
daya hutan dan lahan dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Terkait dengan permasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran
60
hutan dan lahan, setiap negara anggota ASEAN dalam mengambil langkah
pencegahan, harus melibatkan para pemangku kepentingan termasuk masyarakat
lokal, NGO, petani, dan perusahan swasta.
Melalui perjanjian ini, ASEAN kemudian membentuk ASEAN Co-
ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control atau ASEAN
Centre yang bertujuan untuk menjembatani kerja sama ataupun koordinasi
antara setiap negara dalam mengatasi dampak transboundary haze pollution
akibat kebakaran hutan dan lahan, seperti ketika terdapat situasi darurat atau
suatu negara anggota secara kapasitas nasional tidak dapat memadamkan api,
maka dapat meminta bantuan kepada ASEAN Centre untuk melakukan
pemadaman api yang diawasi oleh komite atau perwakilan nasional negara yang
dibantu. Dan ASEAN Centre juga merupakan sumber pertukaran informasi
terkait permasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan dan
lahan yang diberikan oleh focal poin atau entitas yang memiliki
wewenang untuk menerima dan mengirimkan informasi ataupun data terkait pe
rmasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan dan lahan di
setiap negara.
Didalam perjanjian ini juga menawarkan ketentuan-ketentuan dalam
mengatasi permasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan
dan lahan, seperti monitoring, pencegahan, dan pengendalian. Terkait beberapa
hal ini, dimana setiap negara anggota melalui National Monitoring Centres atau
Pusat Pemantauan Nasional harus melakukan pemantauan terhadap semua
daerah rawan kebakaran hutan dan lahan, dan pencemaran kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dilakukan berdasarkan prosedur nasional
yang berlaku dan harus berkomunikasi dengan ASEAN Centre secara langsung
maupun melalui focal poin terkait data yang diperoleh dari beberapa hal tersebut,
yang kemudian dianalisis dan dikomunikasikan kembali melalui National
Monitoring Centres ataupun focal poin terkait resiko terhadap kesehatan
manusia dan lingkungan yang diakibatkan oleh permasalahan transboundary
haze pollution akibat kebakaran hutan dan lahan. Kemudian setiap negara
anggota juga melakukan pencegahan dan pengendalian dalam mengatasi
permasalahan transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan dan lahan
61
dengan memastikan bahwa langkah-langkah legislatif maupun administrasi,
mengembangkan program-program, mempromosikan kebijakan tanpa
pembakaran, meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk tidak
membuka lahan dengan cara membakar.
Dalam perjanjian ini juga menyatakan bahwa dalam situasi tanggap
darurat nasional, setiap negara memastikan bahwa telah melakukan langkah-
langkah legislatif, administratif dan keuangan untuk mengatasi dampak
transboundary haze pollution akibat kebakaran hutan dan lahan, dan wajib
melaporkan upaya tersebut kepada ASEAN Centre. Dan apabila suatu negara
tidak dapat mengatasi permasalahan transboundary haze pollution akibat
kebakaran hutan dan lahan secara pribadi, maka dapat meminta bantuan secara
langssung ataupun melalui ASEAN Centre kepada negara lain maupun organisasi
internasional dengan tetap mengawasi dan memastikan bantuan tersebut dapat
dilakukan dengan tepat dan efektif. Artinya bahwa bantuan dapat diberikan
apabila ada permintaan, dan apabila ada penawaran bantuan harus mendapat
persetujuan dari penerima bantuan.
Berdasarkan AATHP, kemudian dibentuk Conference of The Parties to
The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (CoP-AATHP) pada
tahun 2003 yang merupakan sebuah pertemuan tingkat menteri yang dilakukan
setiap tahun untuk saling berbagai informasi, negosiasi, dan evaluasi
implementasi AATHP melalui upaya setiap negara anggota baik secara
nasional maupun kerjasama regional dalam penilaian, pencegahan, dan mitigasi
untuk mengatasipermasalahantransboundary haze pollution di kawasan
ASEAN akibat kebakaran hutan dan lahan. Hingga pada tahun 2019, para
anggota CoP-AATHP telah melaksanakan pertemuan sebanyak 15 kali (lihat
tabel 14).
Gambar 14
62
Pertemuan Conference of The Parties to The ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution (CoP-AATHP). Sumber: asean.org, 2004-2019 (diolah oleh penulis)
Pada tahun 2015 hingga 2019 terdapat beberapa pertemuan yang diakan
oleh para menteri lingkungan hidup negara-negara anggota ASEAN melalui
Conference of The Parties to The ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution dalam membahas terkait permasalahan polusi kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan, yaitu:
• Pertemuan ke-11 CoP-AATHP
Dalam pertemuan ke-11 CoP-AATHP para menteri meninjau kembali
kerja sama regional berdasarkan AATHP dan membahas inisiatif baru untuk
mempromosikan kerja sama regional dalam mengatasi permasalahan polusi
kabut asap. Hal ini dikarenakan pada tahun 2015 terdapat kebakaran hutan dan
lahan dalam skala besar terjadi di Indonesia yang kemudian menghasilkan polusi
kabut asap di kawasan ASEAN. Para menteri setuju untuk terus dilakukan
pertukaran informasi dan bantuan internasional oleh negara-negara anggota
ASEAN dengan tunduk pada hukum maupun kebijakan nasional setiap negara.
Terkait hal ini dimana mayoritas negara anggota ASEAN telah memberikan
kontribusi berupa dana awal sebesar US$ 500.000 melalui ASEAN
Transboundary Haze Pollution Control Fund, dan terdapat informasi yang
dibagikan oleh ASEAN Specialised Meteorological Centre’s (ASMC’s) bahwa
kondisi El Nino akan terus berlangsung hingga awal tahun 2016, dan di kawasan
ASEAN bagian selatan akan ada peningkaran aktivitas hujan di bulan Desember
2015 yang kemudian dapat membantu memadamkan api maupun meredam titik
panas. Para menteri berkomitmen untuk mengembangkan ASEAN Haze-Free
63
Roadmap sebagai kerangka kerja untuk mencapai visi Haze-Free ASEAN by
2020. Dalam pertemuan ini juga para menteri mengesahakan ASEAN Guidelines
on Peatland Fire Management sebagai panduan negara anggota ASEAN untuk
menerapkan pendekatan holistik Integrated Fire Management (IFM) dan
Community-Based Fire Management (CBFiM) dalam pengelolaan kebakaran
lahan gambut, dalam hal ini seperti melakukan pencegahan, kesiapsiagaan,
respon dan pemulihan. Dan para menteri mengapresiasi adanya kemajuan terkait
ASEAN Programme on Sustainable Management of Peatland Ecosystems
(APSMPE) by 2014-2020 melalui upaya tingkat nasional maupun daerah dan
kemitraan bersama multi-pemangku kepentingan. Dan para menteri
mengapresiasi inisiatif dari Sub-Regional Ministerial Streering Committee on
Transboundary Haze Pollution (MSC) dalam mengembangkan ASEAN Sub-
Regional Haze Monitoring System (HMS) untuk berbagi informasi terkait area
titik api yang dapat polusi kabut asap berbasis Government-to-Government.
• Pertemuan ke-12 CoP-AATHP
Dalam pertemuan ke-12 CoP-AATHP para menteri kembali berkomitmen
untuk secara efektif menerapkan AATHP dalam mengatasi polusi kabut asap
melalui upaya nasional dan kerja sama regional. Dan terdapat kemajuan dalam
pelaksanaan program ASEAN Coordinating Center for Transboundary Haze
Pollution Control (ACCTHPC) di Indonesia melalui dukungan dari para
menteri. Para menteri juga mengadopsi Roadmap on ASEAN Cooperation
towards Transboundary Haze Pollution Control with Means of Implementation
sebagai kerangka kerja kolaboratif dalam pengendalian polusi kabut asap di
kawasan ASEAN demi mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020. Adapun
menurut perkiraan ASMC's dalam beberapa bulan kedepan terdapat kondisi
cuaca yang netral terkait El Nino maupun La Nina, dimana curah hujan normal,
namun ASMC’s akan selalu memantau kemungkinan kondisi cuaca yang lebih
kering di kawasan ASEAN bagian selatan dalam beberapa bulan kedepan untuk
mencegah polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Selain itu
mayoritas negara anggota ASEAN telah memberikan kontribusi berupa dana
awal sebesar US$ 500.000 melalui ASEAN Transboundary Haze Pollution
Control Fund. Serta adanya kemajuan substantif dari ASEAN Programme on
64
Sustainable Management of Peatland Ecosystems (APSMPE) by 2014-2020
melalui mekanisme ASEAN dengan meningkatkan upaya nasional dan
kemitraan multi-pemangku kepentingan, serta para menteri mengapresiasi
inisiatif dari Sub-Regional Ministerial Streering Committee on Transboundary
Haze Pollution (MSC) yang selalu melakukan pemantauan melalui ASEAN Sub-
Regional Haze Monitoring System (HMS) dan berbagi informasi terkait area titik
api yang dapat menimbulkan polusi kabut asap.
• Pertemuan ke-13 CoP-AATHP
Dalam pertemuan ke-13 CoP-AATHP para menteri meninjau kembali
kerja sama regional terkait beberapa masalah lingkungan, khususnya tindakan
yang diambil sesuai Cetak Biru Komunitas Sosial-Budaya ASEAN untuk
kelestarian lingkungan dan membahas inisiatif baru untuk mempromosikan kerja
sama pada bidang lingkungan di kawasan ASEAN. Menurut perkiraan ASMC's
situasi netral terkait El Nino maupun La Nina akan bertahan hingga akhir tahun
2017, dimana terdapat curah hujan yang normal. Walaupun demikian ASMC’s
akan terus melakukan pemantauan untuk mencegah terjadinya polusi kabut asap
akibat kebakaran hutan dan lahan karena kemungkinan pada bulan September
hingga awal Oktober 2017 akan terjadi cuaca yang lebih kering di kawasan
ASEAN bagian selatan. Para menteri terus berkomitmen melalui upaya nasional
dan kerja sama regional untuk memitigasi resiko polusi kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan terhadap kesehatan manusia dan kerusakan
lingkungan, serta melaksanakan AATHP dan Roadmap on ASEAN Cooperation
towards Transboundary Haze Pollution Control with Means of Implementation
untuk mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020. Para menteri terus menyatakan
dukungan kepada Indonesia sebagai tuan rumah ASEAN Coordinating Center
for Transboundary Haze Pollution Control (ACCTHPC) yang telah menuju
finalisasi, serta dapat diimplementasikan lebih cepat secara efektif. Dan terdapat
perkembangan Measurable Action for Haze-Free Sustainable Land
Management in Southeast Asia (MAHFSA) yang didukung oleh International
Fund for Agricultural Development (IFAD). Serta para menteri menghargai
dukungan oleh mitra eksternal terhadap pelaksanaan program berdasarkan
65
ASEAN Programme on Sustainable Management of Peatland Ecosystems
(APSMPE) by 2014-2020.
• Pertemuan ke-14 CoP-AATHP
Dalam pertemuan ke-14 CoP-AATHP para menteri mengapresiasi upaya
secara nasional maupun kerjasama regional dalam mengatasi kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan. Hal ini seperti upaya Sub-Regional Ministerial
Streering Committee on Transboundary Haze Pollution antara para perwakilan
dari negara Brunei Darusalam, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, serta
Sekertariat Umum ASEAN yang saling berkolaborasi, kerjasama, dan
koordinasi untuk memitigasi kebakaran hutan dan lahan seperti bantuan pada
situasi tanggap darurat berupa sumber daya teknis untuk pemadaman kebakaran
hutan dan lahan apabila diminta, dan saling berbagi informasi terkait kualitas
udara maupun hotspot diantara negara-negara Sub-Regional Ministerial
Streering Committee on Transboundary Haze Pollution selama musim kemarau
di bagian selatan kawasan ASEAN. Dimana melalui pemantauan yang dilakukan
oleh MSC, pada tahun 2017 jumlah hotspot yang terdapat di wilayah negara-
negara MSC kurang dari 30.000. Adapun pembagian informasi dari ASEAN
Specialized Meteorological Centre's (ASMC's) bahwa menjelang akhir tahun
2018 diperkirakan 70% kondisi El- Nino akan terjadi, yang ditandai dengan akan
adanya peningkatan hotspot di bagian utara kawasan ASEAN pada saat
peralihan ke musim kemarau dan di bagian selatan ASEAN dalam beberapa
minggu mendatang selama musim kemarau. Terkait hal ini, ASMC's akan terus
memantau dan meningkatkan upaya pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan selama musim
kemarau. Selain itu, terdapat kemajuan dalam kesepakatan terkait ASEAN
Coordinating Centre for Transboundary Haze Pollution (ACC THPC) di
Indonesia. Dan para menteri juga berkomitmen akan terus melaksanakan arahan
para pemimpin ASEAN dalam KTT ASEAN ke-31 yang dilaksanakan pada
tanggal 13 November 2017 di Manila, Filipina dan dalam KTT ASEAN ke-32
yang dilaksanakan pada tanggal 28 April 2018 di Singapura, terkait pentingnya
kerjasama regional dalam mengatasi transboundary haze pollution akibat
66
kebakaran hutan dan lahan dengan meningkatkan upaya penyelesaian melalui
negosiasi.
• Pertemuan ke-15 CoP-AATHP
Pada pertemuan ke-15 CoP-AATHP para menteri mengakui adanya
kemunduran percapaian upaya secara nasional maupun kerjasama regional,
terutama terkait tindakan ataupun inisiatif prioritas yang diambil untuk
kelestarian lingkungan, dalam hal ini permasalahan polusi kabut asap yang
terjadi lagi di kawasan ASEAN bagian selatan akibat kebakaran hutan dan lahan.
Terkait hal ini, menurut tinjauan ASEAN Specialized Meteorological Centre's
(ASMC's) dikarenakan Indian Ocean Dipole (IOD)1 berada dalam fase positif
sejak pertengahan tahun 2019 sehingga beberapa daerah di kawasan ASEAN
bagian selatan mengalami cuaca secara signifikan lebih kering dari biasanya.
Dan terkait fase positif IOD akan menurun pada bulan Desember 2019. Selain
itu ASMC’s juga memperkirakan pada bulan November hinga Desember 2019
terdapat kondisi netral terkait fenomena El Nino maupun El Nina, walaupun
demikian ASMC’s juga memperkirakan akan terjadi kondisi lebih kering dari
biasanya di beberapa wilayah ASEAN terutama di bagian selatan kawasan
ASEAN. Berdasarkan penilaian dari ASMC’s ini, kemudian negara-negara
anggota ASEAN berjanji akan terus waspada, memantau, dan meningkatkan
upaya pencegahan kabut asap dalam wilayah domestik masing-masing untuk
menimalisir kemungkinan terjadinya transboundary haze pollution di kawasan
ASEAN selama periode cuaca yang lebih kering dari biasanya. Kemudian, para
menteri juga mengapresiasi kerjasama Sub-Regional Ministerial Streering
Committee on Transboundary Haze Pollution yang terus berkomitmen untuk
meningkatkan upaya pertukaran praktik terbaik dan memberikan bantuan
apabila diminta terkait permasalahan transboundary haze pollution akibat
kebakaran hutan dan lahan, demi menargetkan jumlah hotspot dibawah 50.000
pada tahun 2020. Dan para menteri juga akan terus menindaklanjuti arahan para
1 Perbedaan suhu permukaan laut antara dua wilayah, yaitu di Laut Arab (Samudera Hindia
bagian barat) dan Samudera Hindia bagian timur di selatan Indonesia (BMKG, 2021). Pada
fase negatif, maka akan terjadi peningkatan curah hujan pada wilayah Indonesia, dan pada
fase positif, maka akan terjadi penurunan curah hujan pada wilayah Indonesia sehingga
terjadi kekeringan (Bang Day, 2020).
67
pemimpin ASEAN dalam KTT ASEAN ke-33 pada tanggal 13 November 2018
di Singapura dan KTT ASEAN ke-34 pada tanggal 23 Juni 2019 di Bangkok,
Thailand, yang mana mereka menantikan pembentukan dan operasionalisasi
ASEAN Coordinating Center for Transboundary Haze Pollution Control (ACC
THPC) di Indonesia. Terkait hal ini, para menteri menyatakan telah masuk ke
tahap finalisasi.
Dalam teori liberalisme institusional menurut Keohane (1989) terdapat tiga
peran institusi, terkait hal ini dapat dilihat berdasarkan peran yang telah dilakukan
oleh ASCC melalui AATHP dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap dan
upaya-upaya yang telah dilakukan Indonesia termasuk dalam hal ini upaya-upaya
yang telah dilakukan oleh provinsi Kalimantan Tengah dalam mengatasi
permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan:
• Menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi.
ASCC melalui AATHP sebagai suatu kesepakatan yang telah diratifikasi oleh
negara-negara anggota ASEAN menyediakan aliran informasi dan kesempatan
bernegosiasi dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap. Terkait hal ini
dapat di lihat melalui Conference of The Parties to The ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution yang dilakukan oleh semua perwakilan negara
anggota ASEAN, dimana dalam pertemuan ke-11 pada tahun 2015 hingga
pertemuan ke-15 pada tahun 2019 para menteri terus melakukan pertukaran
informasi terkait kemungkinan terjadinya cuaca ekstim seperti kondisi El Nino
maupun Indian Ocean Dipole (IOD) melalui tinjauan ASEAN Specialised
Meteorological Centre’s (ASMC’s) untuk mencegah terjadinya polusi kabut
asap. Kemudian terdapat beberapa kerangka kerja yang di bahas dalam setiap
pertemuan seperti ASEAN Haze-Free Roadmap sebagai kerangka kerja untuk
mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020, ASEAN Guidelines on Peatland Fire
Management sebagai panduan negara anggota ASEAN untuk menerapkan
pendekatan holistik Integrated Fire Management (IFM) dan Community-Based
Fire Management (CBFiM) dalam pengelolaan kebakaran lahan gambut, dalam
hal ini seperti melakukan pencegahan, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan,
ASEAN Programme on Sustainable Management of Peatland Ecosystems
68
(APSMPE) by 2014-2020 melalui upaya tingkat nasional maupun daerah dan
kemitraan bersama multi-pemangku kepentingan, Roadmap on ASEAN
Cooperation towards Transboundary Haze Pollution Control with Means of
Implementation sebagai kerangka kerja kolaboratif dalam pengendalian polusi
kabut asap di kawasan ASEAN demi mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020,
Measurable Action for Haze-Free Sustainable Land Management in Southeast
Asia (MAHFSA) yang didukung oleh International Fund for Agricultural
Development (IFAD), dan ASEAN Coordinating Center for Transboundary
Haze Pollution Control (ACCTHPC) yang telah masuk tahap finalisasi. Adapun
Sub-Regional Ministerial Streering Committee on Transboundary Haze
Pollution yang dilakukan oleh perwakilan dari negara Brunei, Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand, serta Secretariat umum ASEAN yang biasanya
saling berkolaborasi dan berkoordinasi dalam memitigasi terjadinya polusi kabut
asap akibat kebakaran hutan dan lahan melalui pemberian bantuan ketika situasi
tanggap darurat berupa sumber daya teknis untuk pemadaman kebakaaran hutan
dan lahan apabila diminta, dan saling berbagi informasi terkait kualitas udara
maupun titik panas selama musim kemarau melalui tinjauan ASEAN Sub-
Regional Haze Monitoring System (HMS).
• Meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memonitor kekuatan lain dan
mengimplementasikan komitmennya sendiri sehingga kemampuannya dalam
membuat komitmen yang dapat di percaya menjadi hal utama.
ASCC melalui AATHP berkomitmen untuk mengatasi permasalahan polusi
kabut asap, berhasil mendorong pemerintah Indonesia untuk mengembangkan
kebijakan nasional maupun kebijakan daerah provinsi dalam hal ini provinsi
Kalimantan Tengah, terkait hal ini dimana walaupun Indonesia sendiri hingga
pada tahun 2019 belum mengadopsi AATHP ke dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor
5 Tahun 2003, serta pemerintah tingkat daerah dalam hal ini pemerintah provinsi
Kalimantan Tengah belum mengetahui terkait AATHP, dimana berdasarkan
hasil diskusi maupun wawancara yang dilakukan oleh peneliti bersama beberapa
pihak di Kalimantan Tengah seperti Dinas Lingkungan Hidup, BAPPEDA,
Dinas Kehutanan, dan pemerhati lingkungan Kalimantan Tengah, para pihak
69
tersebut belum mengetahui mengenai AATHP dan belum adanya bantuan
maupun kerjasama yang dilakukan antara pemerintah Kalimantan Tengah
dengan pihak ASEAN ataupun negara anggota ASEAN lainnya dalam
mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan,
tetapi Indonesia telah menerbitkan beberapa peraturan baru paska Indonesia
meratifikasi AATHP pada tahun 2015 seperti Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.
1/3/2016 dan Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Nomor
P.3/PPI/SET/KUM.I/I/2018, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia
Nomor 05/Permentan/KB.410/1/2018, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2016, Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, dan Peraturan Menteri Lingku
ngan Hidup dan Kehutanan No.P.6/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2019. Melal
ui beberapa peraturan tersebut kemudian tidak hanya pemerintah, tetapi adapun
keterlibatan masyarakat seperti MPA dan KTPA, serta adanya keterlibatan
perusahan dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran
hutan dan lahan dengan melakukan pembangunan infrastruktur pembasahan
berupa sumur bor dan sekat kanal, dimana pada tahun 2018 hingga 2020 telah
dibangun 4.152 subur bor dan 3.121 sekat kanal di Kalimantan Tengah, dan
terdapat 45 dari 181 perusahan besar kelapa sawit yang tersebar di 7 wilayah
kabupaten/kota provinsi Kalimantan Tengah telah mengalokasikan kawasan
kohesinya untuk kawasan bernilai konservasi tinggi dan melaksanakan
pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. Selain itu, Indonesia juga akan
menjadi negara tuan rumah ASEAN Coordinating Center for Transboundary
Haze Pollution Control (ACC THPC) yang telah masuk dalam tahap finalisasi.
• Memperkuat harapan yang muncul mengenai kesolidan dari kesepakatan
internasional.
Dengan adanya ASCC melalu AATHP negara anggota akan memiliki hubungan
yang baik antara satu sama lain dan terus berkomitmen untuk secara baik
menerapkan AATHP melalui upaya-upaya secara nasional maupun regional
dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap. Terkait hal ini, ASCC melalui
AATHP berhasil mendorong setiap negara dalam pertemuan Conference of The
Parties to The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, yang mana
70
dalam pertemuan ke-11 hingga ke-15 Conference of The Parties to The ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution para menteri berhasil mengadopsi
dan melaksanakan Roadmap on ASEAN Cooperation towards Transboundary
Haze Pollution Control with Means of Implementation sebagai kerangka kerja
kolaboratif dalam pengendalian polusi kabut asap di kawasan ASEAN demi
mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020. Kemudian para menteri juga berhasil
mengesahakan ASEAN Guidelines on Peatland Fire Management sebagai
panduan negara anggota ASEAN untuk menerapkan pendekatan holistik
Integrated Fire Management (IFM) dan Community-Based Fire Management
(CBFiM) dalam pengelolaan kebakaran lahan gambut, dalam hal ini seperti
melakukan pencegahan, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan. Selain itu adapun
ASEAN Coordinating Center for Transboundary Haze Pollution Control (ACC
THPC) yang telah masuk ke tahap finalisasi, dimana Indonesia sebagai negara
tuan rumah. Dan negara anggota ASEAN terus memberikan kontribusi berupa
dana awal sebesar US$ 500.000 melalui ASEAN Transboundary Haze Pollution
Control Fund.
Melalui teori liberalisme institusional peran ASCC melalui AATHP telah
menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi bagi negara anggota
melalui Conference of The Parties to The ASEAN Agreement on Transboundary
Haze PollutionI maupun Sub-Regional Ministerial Streering Committee on
Transboundary Haze Pollution, meningkatkan kemampuan pemerintah dalam
memonitoring kekuatan lain dan mengimplementasikan komitmen sendiri sehingga
kemampuannya membuat komitmen yang dapat di percaya menjadi hal utama
melalui peraturan nasional maupun peraturan tingkat daerah, memperkuat harapan
yang muncul mengenai kesolidan dari kesepakatan internasional dalam mengatasi
permasalahan polusi kabut asap, yang ditandai dengan terdapat beberapa kerangka
kerja yang telah dilaksanakan dan disahkan maupun masih dalam proses finalisasi
untuk mencapai visi Haze-Free ASEAN by 2020. Peran ASCC melalui AATHP
telah membantu Indonesia dalam melakukan penilaian, monitoring, pencegahan
dan pengendalian melalui pertukaran informasi terkait kemungkinan terjadinya
cuaca ekstrim yang dapat menimbulkan adanya titik panas, serta bantuan seperti
alat ataupun keuangan yang diberikan oleh negara-negara anggota ASEAN lainnya
71
dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu, peran ASCC melalui AATHP secara langsung di tingkat daerah, dalam
hal ini daerah provinsi Kalimantan Tengah masih belum terlihat, dimana di
Kalimantan Tengah sendiri berdasarkan hasil diskusi maupun wawancara yang
dilakukan oleh peneliti bersama beberapa pihak di Kalimantan Tengah seperti
Dinas Lingkungan Hidup, BAPPEDA, Dinas Kehutanan, dan pemerhati
lingkungan Kalimantan Tengah, mereka belum mengetahui mengenai AATHP dan
belum adanya bantuan maupun kerjasama sama yang dilakukan antar pemerintah
Kalimantan Tengah dengan pihak ASEAN ataupun negara-negera anggota ASEAN
dalam mengatasi permasalahan polusi kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.