BAB IV PANDANGAN TOKOH AGAMA (MUI) TERHADAP …
Transcript of BAB IV PANDANGAN TOKOH AGAMA (MUI) TERHADAP …
57
BAB IV
PANDANGAN TOKOH AGAMA (MUI) TERHADAP TRADISI MINJAM
GADIS PRA NIKAH
A. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Tradisi Minjam Gadis Pra Nikah
Nilai-nilai ajaran Islam tidak terlepas dari prinsip penerapan yang dianutnya,
serta tujuan ajaran Islam itu sendiri. Dari prinsip-prinsip yang dianut dapat dilihat
bahwa Islam dalam prosesnya sangat memperhatikan adat (‘Urf).
Dalam hukum Islam tradisi dikenal dengan kata Urf yaitu secara etimologi
berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat, Al-Urf (adat
istiadat) yaitu sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau
perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima
oleh akal mereka.1 Oleh karena itu, dalam penerapan ajarannya terlihat dengan jelas
bahwa Islam sangat memperhatikan adat istiadat (Urf) dalam masyarakat, karena adat
istiadat sangat mempengaruhi kehidupan dan prilaku umat Islam itu sendiri.
Akan tetapi, tradisi yang ada di dalam masyarakat harus disesuaikan dengan
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh agama. Jika hal ini tidak dilakukan boleh
jadi sesuatu yang salah karena sudah membudaya di dalam masyarakat, maka akan
dianggap wajar dan akan diikuti oleh masyarakat, sebaliknya jika sesuatu yang baik
1 Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasryi, Jakarta, Grafindo Persada, 2009, hlm.90
58
tetapi tidak membudaya di dalam masyarakat maka dianggap asing dan tidak akan
diikuti oleh masyarakat setempat.
Begitu juga dengan tradisi minjam gadis pra nikah di desa Tanjung Bali jika
di dilihat dalam pandangan Islam, ada beberapa hal yang sangat bertentangan dengan
ajaran Islam, walaupun ada juga yang sesuai dengan ajaran Islam. Dibawah ini
penulis akan memaparkan pandangan tokoh agama terhadap tradisi minjam gadis pra
nikah yang terjadi pada masyarakat desa Tanjung Bali.
Pada tahapan pertama; pra minjam (meminang) yang terjadi dalam
masyarakat desa Tanjung Bali, ada yang sesuai dengan Islam misalnya pada acara
meminang. Dalam Islam dianjurkan untuk meminang (khitbah) sebelum pernikahan,
karena hal itu bertujuan untuk mengenalkan diantara kedua calon mempelai maupun
kepada keluarga pihak laki-laki dan perempuan. Sebagaimana Firman Allah Swt
dalam surah al-Baqarah:235
ضتم به من خطبة الن ساء أو أكننتم في أنفسكم ول جناح عليكم فيما عر
Artinya: “tidak ada dosa bagi kamu untuk meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati” (QS. al-Baqarah:235)
Kemudian dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Al-
Hakim, dari sahabat Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu’anhuma.
ذا فعل فلي نكاحها، إلى يدعوه ما إلى منها ينظر أن استطاع فإن المرأة، أحدكم خطب
Artinya: “Rasulullah Shallallaahu’alaihi wasallam bersabda; “Apabila seseorang di
antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat apa-apa yang
59
dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah” (HR. Ahmad dan Abu
Dawud)
Kemudian yang tidak sesuai dengan ajaran Islam ialah dalam acara meminang
ini bukan hanya sekedar mengenalkan kedua calon pengantin sebagaimana dalam
Islam. Namun sebagai ajang untuk gengsi dan menghamburkan uang untuk hal yang
tidak bermanfaat. Menurut Bapak Lepen, bagi orang yang tidak mampu secara
ekonomi maka mereka sampai menjual kebun untuk melaksanakan tradisi tersebut.2
Sedangkan dalam Islam, menghambur-hamburkan uang yang tidak
bermanfaat termasuk perbuatan syetan. Sebagaimana Firman Allah Swt dalam QS.
al-Isra’:26-27.
ر ول السبيل وابن والمسكين حقه القربى ذا وآت رين تبذيراإن تبذ الشياطين إخوان كانوا المبذ
كفورا لرب ه الشيطان وكان
Artinya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungghnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan. (QS. al-
Isra’:26-27)
Berdasarkan penjelasan ayat tersebut, dapat diketahui bahwa Allah
memerintahkan kepada kita utnuk memanfaatkan rizeki yang telah Allah berikan
kepada kita, salah satunya dengan makan dan minum serta semua yang telah Allah
halalkan untuk manusia tanpa berlebihan, dan maksud ayat tersebut melarang kita
untuk melakukan perbuatan yang melampaui batas.
2 Wawancara Bapak Lepen, tokoh agama, Desa Tanjung Bali, tanggal 18 Januari 2019.
60
Dari keterangan di atas sudah jelas bahwa menghamburkan uang yang bukan
tujuan kemaslahatan dan bukan tujuan untuk ketaatan kepada Allah, apalagi hanya
menunjukkan status sosial dan ajang untuk gengsi dilarang dalam Islam, karena
termasuk perbuatan syatan, apalagi perbuatan tersebut masih dalam proses lamaran
yang belum tentu sampai ke pernikahan.
Pada Tahapan Kedua yaitu Minjam yakni meminjam calon mempelai wanita
oleh calon mempelai laki-laki selama kurang lebih 7-16 hari tanpa ditemani
mahramnya, sedangkan pada waktu tertentu, seperti siang dan sore hari hanya kedua
calon pengantin yang berada di rumah. Perbuatan seperti ini bertentangan dengan
Islam, karena dalam Islam tidak diperkenankan laki-laki dan perempuan yang bukan
muhramnya berkhalwat.
حاجة خرجت امرأتي الله لرسو يا فقال رجل فقام محرم ذي مع إل بامرأة رجل يخلون ل
امرأتك مع فحج ارجع قال وكذا كذا غزوة في واكتتبت
Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah bercerita kepada kami
Sufyan dari ‘Amru dari Abu Ma’bad dari Ibnu ‘Abbas radiallahu ‘anhuma bahwa dia
mendengar Nabi Saw Bersabda: “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat
(berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita
bepergian kecuali bersama mahramnya”. Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit
seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikuti
61
suatu peperangan sedangkan isteriku pargi menunaikan haji”. Maka beliau bersabda:
“Tunaikanlah haji bersama isterimu”. (al-Bukhari, Sahih Bukhari)
Dilarangnya berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan tanpa ditemani
mahramnya, dikarenakan perbuatan tersebut mendekati zina. Sedangkan Allah Swt
sangat melarang setiap perbuatan yang mendekati zina. Sebagaimana dalam al-
Qur’an surah al-Isra:32)
نا إنه كان فاحشة وساء سبيل ول تقربوا الز
Artinya: “dan jangan lah kamu mendekati zina, zina itu sungguh suatu perbuatan
keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isra:32)
Dalam pengamatan sejumlah ulama al-Qur’an, ayat-ayat yang menggunakan
kata “jangan mendekati” seperti ayat di atas, biasanya merupakan mendekati sesuatu
yang dapat merangsang jiwa/nafsu untuk melakukannya. Dengan demikian larangan
mendekati mengandung makna larangan untuk tidak terjerumus dalam rayuan sesuatu
yang berpotensi mengantar kepada langkah melakukannya.3
Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa dalam tradisi minjam
di desa Tanjung Bali dilarang dalam Islam, karena mengarah kepada perbuatan zina.
Sedangkan zina itu perbuatan keji dan merusak martabat manusia.
Kemudian Tahapan yang ketiga yaitu pengembalian calon mempelai
perempuan yang dipinjam, tahapan ini juga jika dilihat dalam pandangan agama juga
3 M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, hlm.459
62
bertentangan, karena dalam prosesnya menurut Bapak Subroto bagi perempuan yang
tidak jadi menikah padahal ia sudah dipinjam, masyarakat setempat beranggapan
bahwa perempuan tersebut mempunyai kekurangan seperti tidak bisa memasak, dan
lain-lain.4
Dalam tradisi minjam gadis pra nikah ini, siapa pun yang memutuskan
hubungan terlebih dahulu maka disatu pihak lain harus dan diwajibkan membayar
dan mengembalikan barang-barang pemberian dua kali lipat dari sebelumnya, seperti
barang-barang karma matah, karma masak, serta hadiah-hadiah yang diberikan untuk
calon mempelai perempuan, dikembalikan dua kali lipat.5
Mengenai status pemberian harta hadiah dalam proses peminangan ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama, menurut kalangan Syafi’iyyah berpendapat
bahwa: “Bagi laki-laki pelamar boleh menarik ulang hadiahnya sebab hadiah tersebut
diberikan agar terjadi akad pernikahan, bila ikatannya gagal baginya berhak
menariknya kembali saat masih ada atau dengan barang pengganti bila telah rusak
sebagaimana dijelaskan oleh Syihab al-Romli, ia berpendapat dalam Bughyatul
Murtasyidin:
“Batalnya pertunangan mengakibatkan barang yang diberikan pada saat
pertunangan wajib dikembalikan dan jika barang tersebut telah rusak maka wajib
untuk mengganti”
4 Wawancara, Ibu Nur, warga masyarakat Desa Tanjung Bali, 19 Januari, 2019
5 Wawancara Ibu Ris, warga masyarakat Desa Tanjung Bali, 19 Januari, 2019
63
Namun ada ulama yang berpendapat bahwa hadiah tersebut tidak boleh
diminta kembali atau tidak harus dikembalikan. Menurut Ba’lawi dalam Bughyatul
Murtasyidin menjelaskan bahwa barang yang diberikan pada saat pertunangan, jika
terjadi pembatalan dalam pertunangan maka barang tersebut dair pihak perempuan
apakah dia akan mengembalikannya atau tidak, jika barang tersebut dikembalikan
maka dari pihak laki-laki menerimanya6
Berdasarkan pernyataan di atas sudah jelas bahwa pemberian dalam khitbah
ini tidak harus dikembalikan jika pihak laki-laki yang membatalkan pertunangan
pihak dari perempuan berhak memilih apakah hadiah tersebut dikembalikan atau
tidak, jika pihak perempuan mengembalikan hadiah tersebut maka pihak laki-laki
menerimanya. Jika pembatalan dari pihak perempuan, maka pihak laki-laki berhak
untuk meminta kembali hadiah tersebut.
Adapun hadiah yang pernah diberikan dianggap hibah, karena itu tidak perlu
diminta kembali sebab sudah menjadi milik perempuan yang dipinang dan ia sudah
boleh memanfaatkannya. Orang yang menuntut kembali pemberiannya berarti
mencabut milik orang lain tanpa kerelaannya, perbuatan ini bathil menurut syara’,
kecuali apabila peminang memberikan sesuatu minta ditukar dengan barang lainnya
kemudian yang diberi belum memberi ganti maka ia berhak meminta kembali
pemberiannya, karena pemberiannya itu dimaksudkan untuk menukar dan apabila
6 Bughyatul Mustarsyidin, hlm. 134
64
perkawinan tidak jadi berlangsugn mak ia berhak meminta kembali pemberiannya.7
Dalam hal ini kembali kepada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Ummar dan
Ibnu Abbas ra:
جل يحل ل ولده يعطي فيما الوالد إل فيها يرجع ثم عطية يعطي أن للر
Artinya: diriwayatkan dari Ibnu Ummar dan Ibnu Abbas ra, dari Nabi Saw
Bersabda: “Tidak halal bagi seseorang muslim memberi sesuatu kepada orang lain
kemudian memintanya kembali, kecuali pemberian ayah kepada anaknya”. (HR.
Ahmad al-Irba ‘ati wa Shohihu al-Tirmidzi wa Ibnu Hibban wa al-Hakim)
Dalam masalah ini hadiah yang pernah diberikan dianggap hibah karena itu
tidak perlu diminta kembali karena sudah menjadi milik perempuan yang dipinang
dan ia boleh memanfaatkannya.
Sementara dalam tradisi masyarakat desa Tanjung Bali, siapa pun yang
memutuskan hubungan terlebih dahulu maka disatu pihak lain harus dan diwajibkan
membayar dan mengembalikan barang-barang pemberian dua kali lipat dari
sebelumnya seperti barang-barang karma matah, karma masak, serta hadiah-hadiah
yang diberikan untuk calon mempelai perempuan, dikembalikan dua kali lipat. Hal
ini berlaku bagi siapa pun yang memutuskan hubungan terlebih dahulu baik pihak
laki-laki maupun pihak perempuan.
Menurut Bapak Lepen8, sebenarnya tradisi minjam gadis ini memang ada
salah satu proses tahapnnya bertentangan dengan ajaran Islam yakni seorang
7 Sa’id Thalib Al-Hamdani, Risalatun Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, Jakarta, 1989, hlm. 27-
28
65
perempuan yang dipinjam dirumah calon mempelai laki-laki selama kurang lebih 7-
16 harian, hal ini tentu sangat bertentangan dengan ajaran Islam, karena Islam tidak
mengajarkan untuk tinggal satu atap sebelum adanya ikatan pernikahan. Tetapi
kebanyakan masyarakat tidak ingin meninggalkan tradisi ini karena sudah mendarah
daging dan masyarakat berpendapat bahwa tradisi ini merupakan warisan leluhur
yang harus tetap dijaga dan dilestarikan. Untuk itu menurut Bapak Lepen agak sulit
untuk mengajak masyarakat meninggalkan tradisi ini, dan juga tradisi minjam ini
dibedakan menjadi dua:
1) Minjam sampai beberapa hari kemudian dipulangkan kerumah pihak
perempuan dan
2) Minjam Balek Ari maksudnya adalah bahwa calon mempelai perempuan
dipinjam kerumah pihak laki-laki tetapi tidak menginap hanya saja
dikembalikan ke rumahnya pada malam hari sekitar jam 10:00 WIB
Sedangkan menurut Bapak Maryadi dan Bapak Hasan mengenai tradisi
minjam gadis pra nikah ini sebenarnya boleh-boleh saja tidak masalah untuk
diadakan tradisi minjam gadis ini, karena pada awalnya tradisi ini berupaya untuk
memperkenalkan calon mempelai perempuan kepada keluarga pihak laki-laki, akan
tetapi seiring waktu tradisi ini dipersimpangkan oleh masyarakat setempat.9 Sama hal
nya dengan pendapat Bapak Lepen, mereka juga sependapat mengenai tradisi minjam
8 Wawancara Bapak Lepen, Tokoh Agama, Desa Tanjung Bali, tanggal 18 Januari 2019.
9 Wawancara Bapak Maryadi dan Bapak Hasan, Tokoh Agama, Desa Tanjung Bali, tanggal
18 Januari 2019.
66
ini bertentangan dengan ajaran Islam dan mereka tidak setuju akan adanya tradisi ini,
karena didalam nya terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam,
yakni tinggal serumah sebelum adanya akad pernikahan,
Bapak Maryadi mengatakan, kecuali minjam yang dilakukan oleh pihak
keluarga laki-laki itu minjam balek ari, maksudnya bahwa calon mempelai
perempuan dipinjam kerumah pihak laki-laki tetapi tidak menginap, hal ini
diperbolehkan karena hanya sebatas memperkenalkan dan sebagai proses keakraban
calon mempelai perempuan kepada keluarga pihak laki-laki.
Sedangkan Bapak Yahya mengatakan tradisi ini sudah sejak lama ada
sehingga untuk mengajak masyarakat meninggalkan tradisi ini sangatlah sulit, Bapak
Yahya juga mengatakan bahwa tradisi ini tidak lah baik apabila terus dilaksanakan
karena didalamnya terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan ajaran Islam,
seperti proses minjam didalamnya terdapat hal-hal yang mendekati zina10
. Begitu
juga yang dikatakan oleh Bapak Jali, pada dasarnya tradisi minjam ini sama seperti
daerah lainnya yang mengambil dari budaya Islam, namun banyak ditambahi adat
istiadat dan dilakukan oleh masyarakat Tanjung Bali secara terun-menurun dari nenek
moyang dulu dan sangat lekat dan harus sedikit demi sedikit untuk merubahnya tidak
bisa sekaligus.11
Sedangkan menurut fatwa majelis ulama Indonesia, mengenai tradisi minjam
gadis pra nikah tersebut menyalahi dan bertentangan dengan syari’at Islam, segala
10
Wawancara Bapak Yahya, tokoh agama, Desa Tanjung Bali, tanggal 20 Januari 2019 11
Wawancara Bapak Jali, tokoh agama, Desa Tanjung Bali, tanggal 22 Januari 2019
67
sesuatu yang tidak sesuai syar’i maka ia tertolak dan MUI melarang tradisi tersebut
dan juga tidak dibenarkan, adanya perbedaan antara minjam dan khitbah dalam Islam,
adapun jika ingin melamar seorang perempuan maka ia tidak perlu dipinjam, dan juga
jika tujuannya hanya untuk mendekatkan calon mempelai perempuan dengan pihak
keluarga laki-laki maka pihak keluarga cukup mencari tau dari orang terdekat pihak
calon mempelai perempuan tersebut, seperti saudari dan juga tetangganya.12
Untuk itu dalam hal ini majelis ulama Indonesia memberikan solusi terkait
tradisi ini, menurut Bapak Nurcholis sekalu anggota Mui memberikan solusi yaitu
untuk mengajak masyarakat meninggalkan tradisi ini tidaklah mudah, dalam hal ini
perlu melibatkan tokoh agama, tokoh adat, masyarakat dan juga aparat pemerintah.
Bapak Nurcholis dan Bapak Robi mengatakan perlu di lakukan beberapa pendekatan-
pendekatan untuk mengajak masyarakat meninggalkan tradisi ini tidak bisa secara
langsung (spontan), pertama dimulai dari keluarga sendiri agar tidak mengikuti tradisi
tersebut, kedua memberikan penjelasan dan pemahaman kepada masyarakat terkait
proses meminang dalam agama Islam itu seperti apa, hal-hal yang diperbolehkan
dalam meminang seperti apa dan juga memberikan penjelasan kepada masyarakat
terkait proses Khitbah (meminang), tata cara khitbah dalam Islam. Kedua, pada saat
proses minjam tersebut calon mempelai perempuan ditemani mahramnya baik itu
teman atau saudara kandungnya untuk tinggal dirumah calon mempelai laki-laki
12
Wawancara Bapak Nurcholis, Selaku anggota fatwa MUI Sumatera Selatan, tanggal 9
Agustus 2019
68
sehingga selama proses peminjaman itu berlangsung ada mahramnya atau ada
keluarganya yang mengawasi calon mempelai tersebut.13
Sedangkan menurut Bapak Dr. Muhammad Adil, MA selaku ketua Nahdatul
Ulama Sumatera Selatan, mengatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam adat ada
dua yaitu: ‘urf pasif dan ‘urf sholeh (baik), al-‘urf pasif ialah adat yang tidak sesuai
dan bertentangan dengan nash Al-Qur’an, sedangkan al-‘urf sholeh (baik) ialah adat
yang baik yang sesuai dengan syariat Islam, ketika adat tidak bertentangan dengan
syariat Islam boleh diteruskan. Dalam proses tradisi minjam ini Bapak Adil
mengatakan bahwa jika tradisi ini tidak bertentangan dengan Islam boleh saja
diteruskan, akan tetapi jika pada proses peminjaman calon mempelai perempuan
tinggal dirumah pihak keluarga laki-laki tanpa ditemani mahramnya itu bertentangan
dengan syariat Islam.
Sebaiknya ada mahram atau teman atau boleh jadi saudara dari calon
mempelai perempuan tersebut yang menemani calon mempelai perempuan untuk
tinggal dirumah pihak keluarga laki-laki sehingga ada yang mengawasi selama proses
peminjaman berlangsung, dan jika perlu calon mempelai laki-laki tinggal dirumah
keluarganya sehingga dijauhnya dari hal-hal yang tidak diinginkan.14
Sementara menurut Bapak Prof. Dr. H. Romli, SA, MA, selaku ketua PW
Muhammadiyah Sumatera Selatan, mengatakan bahwa Muhammadiyah dalam urusan
13
Wawancara Bapak Nurcholis dan Robi, Selaku anggota fatwa MUI Sumatera Selatan,
tanggal 9 Agustus 2019 14
Wawancara Bapak Dr. Muhammad Adil, MA selaku ketua Nahdatul Ulama Sumatera
Selatan, tanggal 19 Agustus 2019
69
mu’amalah (urusan kemasyarakatan) yang termasuk dalam ibadah ‘amma (bersifat
umum) dasarnya kemaslahatan. Muhammadiyah bisa melihat bisa mengakomodir
adat-adat yang baik, adat-adat yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam yang
sholeh dan jelas, jadi Muhammadiyah bisa menerima adat-adat yang baik selama itu
tidak bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan hadist yang sholeh dan jelas.
Dalam Islam mulai dari lamaran, proses akad nikah sampai menjalani rumah
tangga itu sudah tegas, jelas dan rinci tidak ada bertentangan dengan adat, adapun
jika bertentangan dengan adat berarti adat yang salah, dalam Islam dijelaskan
bagaimana cara meminang dan tidak boleh mengambil pinangan orang lain kecuali
orang lain tersebut yang melepaskan, jadi sangat jelas Islam telah mengatur segala hal
baik tentang tata cara khitbah dan lain sebagainya. Terkait mengenai tradisi minjam
gadis pra nikah ini Muhammadiyah mengatakan bahwa tidak boleh, tidak dibenarkan
seorang calon mempelai perempuan tinggal dirumah calon mempelai laki-laki tanpa
ditemani mahramnya, walaupun itu telah menjadi tradisi, siapa yang menjamin
walaupun terjadi sesuatu yang tidak di inginkan, jadi itu berkaitan dengan ini dalam
antisipasi hal terjadi dan Muhammadiyah berpendapat tradisi itu tidak boleh,
walaupun itu sudah menjadi tradisi, itu tradisi yang membuka peluang untuk kearah
hal-hal yang maksiat, walaupun tujuannya baik, tetap tidak diperbolehkan, jika ingin
mengetahui calon mempelai perempuan tadi cukup dengan meminang, mencari tahu
informasi mengenai calon mempelai dengan pihak keluarga nya saja.
Tradisi ini menurut Bapak Prof. Dr. H. Romli, SA, MA, selaku ketua PW
Muhammadiyah Sumatera Selatan, tradisi ini terlalu berlebihan calon mempelai
70
perempuan dan calon mempelai laki-laki itu tidak pantas baik secara akhlak dan tidak
sesuai dengan hukum syari’ah, hukum syari’ah itu bukan saja hukum yang nyata tapi
juga mengantisipasi hal-hal buruk yang bakal terjadi. Sementara itu solusi nya yaitu
memang tidak mudah untuk mengajak masyarakat meninggalkan tradisi ini terutama
ini memberikan pemahaman kepada masyarakat, dan yang dilibatkan tokoh adat,
tokoh agama dan aparat pemerintah untuk menghilangkan tradisi tersebut, atau pada
saat peminjaman itu pihak mempelai perempuan itu ditemani mahramnya baik teman
atau saudaranya dan juga kepada pemuda dan pemudi harus diberikan pemahaman
keagamaan, dan diberikan penjelesan terkait melamar dalam Islam, dan tata cara
lamaran dalam Islam. Terkait pola pikiran masyarakat desa Tanjung Bali juga harus
dirubah secara perlahan, diberikan pemahaman keagamaan terutama tentang Khitbah
dalam agama Islam.15
B. Pandangan Tokoh Adat Terhadap Tradisi Minjam Gadis Pra Nikah
Pada umumnya di Indonesia suatu perkawinan di dahului dengan lamaran
(ngelamar), dan ini merupakan awal pertemuan dua keluarga besar yang nantinya
diharapkan terjalin menjadi satu keluarga baru. Sebagai pertemuan pertama yang
diharapkan mempunyai kesan manis dan mendalam bagi kedua keluarga besar yang
akan saliing berbesanan, maka acara lamaran harus dirancang sedemikian rupa
sehingga bisa berlangsung dengan sukses. Lamaran merupakan prosesi untuk
15
Wawancara Bapak Romli Selaku Ketua PW Muhammadiyah, tanggal 22 Agustus 2019
71
menentukan waktu (jam, hari, tanggal, bulan dan tahun).16
Akibatnya lamaran ini
pada umumnya bukan perkawinan, akan tetapi pertunangan terlebih dahulu. Tujuan
perkawinan bagi masyarakat bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan
meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan, untuk kebahagiaan
rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan
kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tujuan perkawinan menurut tradisi
bukan hanya semata untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia yang
merupakan tujuan pribadi antara laki-laki dan akan tetapi untuk kebahagiaan dua
keluarga besar dan bahkan tetangga, perkawinan adat sangatlah kompleks karena
tidak hanya mengedepankan kebahagiaan saja, akan tetapi untuk mempertahankan
tradisi dalam keluarga.
Menurut Bapak Subroto, Tradisi minjam gadis pra nikah ini sudah lama ada
didesa ini sejak, adanya desa tradisi tersebut juga sudah ada, menurutnya dalam
proses lamaran pada masa itu masyarakat desa Tanjung Bali sering terjadi tumpang
tindih dalam melamar perempuan, maksudnya adalah perempuan yang sudah dilamar
oleh seorang pemuda kemudian dilamar lagi oleh pemuda lain sehingga terjadinya
keributan di kedua belah pihak. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka setelah
acara melamar selesai perempuan langsung (dibawa) dipinjam ke rumah mempelai
16
Artati Agoes, Kiat Sukses Menyelengarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, hlm.6
72
laki-laki yang melamarnya dan disaksikan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama dan
tokoh pemerintah setempat, walaupun diantara kedua calon mempelai dalam satu
rumah, tetapi mereka menjaga perasaan masing-masing karena mereka sangat malu
untuk bertemu. Kemudian pada saat calon mempelai perempuan dipinjam,
perempuan tersebut tidak sendirian tetapi ditemani adik perempuannya atau teman
akrabnya sampai acara pengembalian calon mempelai perempuan nanti. Menurut
Bapak Subroto sebenarnya sudah lama mengajak masyarakat meninggalkan tradisi
tersebut tetapi masyarakat tetap dan masih saja melestarikan tradisi ini. Sebenarnya
tidak masalah dalam tradisi ini tetapi yang menjadi masalah ialah adanya peminjaman
selama 4 harian lebih sehingga selama proses peminjaman itu takutnya terjadi sesuatu
hal yang tidak diinginkan.17
17
Wawancara Bapak Subroto, tokoh adat Desa Tanjung Bali, Tanggal 19 Januari, 2019