BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN...
Transcript of BAB IV PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN...
BAB IV
PANCASILA, AGAMA SIPIL DAN LAPISAN BUDAYA
Menelisik aspek agama sipil dalam formasi negara merupakan kajian arus
utama tentang agama sipil. Penelaahan terhadap formasi negara itu biasanya
dimulai dari dasar negara, simbol-simbol negara seperti bendera kebangsaan,
hingga ritus-ritus kenegaraan yang menjadi ”sumber integrasi” bagi seluruh
komponen warga negara.
Dengan kata lain, kajian agama sipil yang ”top-down” adalah suatu
penggambaran terhadap faktor yang dapat memberikan payung bagi keragaman
warga negara yang sudah pasti memiliki ragam identitas itu. Payung itu yang
disebut oleh Rousseau sebagai general will. Cerminan dari kehendak bersama
sebuah masyarakat yang dalam diskursus sosiologi agama dikenal sebagai civil
religion.
Ekspresi dari agama sipil, tidak selalu berwujud teks tertulis. Ada kalanya
”rasa keberagamaan” itu hanya ada dalam satu konsensus tak tertulis, seperti
halnya rasa, yang merupakan pengertian bersama yang ada dalam alam pikir
orang Jawa.1 Meski demikian, ekspresi demikian tidak akan dibahas dalam
bagian ini.
Bagian ini merupakan upaya penulis untuk melihat dimensi religius dari
Pancasila. Asumsinya, Pancasila tidak hanya memiliki fungsi sebagai dasar
negara, tetapi didalamnya mengandung seperangkat keyakinan dan nilai.
Dengan kata lain, tesis yang hendak menjadi pintu masuk pembahasan dalam
bab ini adalah Pancasila sebagai agama sipil. Ada dua elemen dari agama sipil
yang akan dibahas, yakni tentang identitas Tuhan bangsa Indonesia dan
Pancasila itu sendiri kaitannya dengan upaya untuk mencari jalan keluar atas
1 Paul Stange, “The Logic of Rasa in Java”, Indonesia, No. 38 (Oktober), 1968, 113-134. Paul Stange, Politik Perhatian: Rasa Dalam Kebudayaan Jawa (Yogyakarta: LKiS, 2008).
keragaman agama, budaya, suku, etnis dan ras bangsa Indonesia. Identitas
Tuhan yang akan dideskripsikan dalam bab ini seperti yang tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 alinea 3.
Setelah melihat Pancasila dengan menggunakan pendekatan agama sipil,
bahasan berikutnya adalah menganalisisnya dengan dua cara. Yang pertama
adalah analisis sosial dan politik. Kedua, menganalisis Pancasila sebagai
momentum integrasi yang disarikan dari dua sudut, eksternal (nasionalisme)
dan internal (teori tiga lapis budaya Soekarno).
Yang Maha Kuasa di Alinea Tiga:
Kajian Terhadap Pembukaan UUD 1945
Kajian tentang identitas agama dalam bab ini akan diulas dengan
menjadikan UUD 1945 sebagai rujukan. UUD 1945 yang menjadi rujukan adalah
pembukaan UUD 1945 serta batang tubuhnya. Meski menjadikan UUD 1945
sebagai rujukan, bahasan dalam sub bab ini juga akan menyinggung perubahan
dasar negara yang juga sempat menggunakan UUD Sementara Republik
Indonesia (RI) 1950 dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).
17 Agustus 1945 memberikan dua hal yang pokok dalam sejarah
kehidupan bangsa Indonesia.2 Pertama, pernyataan di depan penjajah bahwa
umat manusia Indonesia, atas berkat rahmat Tuhan, menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Kedua, kepada penjajah pulalah pada tanggal itu mereka
memberitahukan bahwa sebagai negara yang baru merdeka ini dinamakan
Republik Indonesia.
2 Anhar Gonggong, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia (Jogjakarta: Ombak dan Media Presindo, 2002), 4.
PROKLAMASI
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan secara
saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Atas nama Bangsa Indonesia
Soekarno-Hatta
Semangat yang tercermin dalam proklamasi adalah pernyataan bahwa hari
itu semua bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Teks
proklamasi merupakan pernyataan mengenai dekolonisasi Indonesia.3 Soekarno
dan Hatta didaulat mewakili bangsa Indonesia untuk menyatakan kemerdekaan
Indonesia. Proklamasi kemerdekaan itu menggambarkan bahwa Soekarno dan
Hatta mewakili bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang kemerdekaannya
diproklamirkan itu tentu saja mereka yang tidak berasal dari satu identitas
agama dan suku saja. Indonesia merupakan negara plural yang masyarakatnya
terdiri dari berbagai latar belakang agama. Kemerdekaan yang diproklamirkan
itu adalah kemerdekaan bangsa Indonesia dengan segala kemajemukan agama
yang dianut oleh penduduknya.
Tentang kedudukan proklamasi kemerdekaan, Soekarno menjelaskan
bahwa ia tidak sekadar declaration of independence. Proklamasi adalah
proclamation of independence yang didalamnya mengandung declaration of
independence.4 Proklamasi merupakan sumber kekuatan dan tekad perjuangan
bangsa Indonesia. Sementara declaration of independencenya ada dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang memberikan pedoman-pedoman
3 Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrounwet: Tafsir Postkolonial atas Gagasan-gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 48. 4 Soekarno, Amanat Proklamasi: Pidato Pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jilid IV (Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno, 1986), 4.
tertentu untuk mengisi kemerdekaan, melaksanakan kenegaraan, mengetahui
tujuan dalam memperkembangkan kebangsaaan, untuk setia kepada suara batin
yang hidup dalam rakyat kita. Proklamasi tanpa deklarasi berarti bahwa
kemerdekaan tidak memiliki falsafah. Sementara deklarasi tanpa proklamasi,
tidak memiliki arti.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18
Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang yang
membuat beberapa keputusan. Salah satunya mengesahkan Undang-undang
Dasar 1945.
Sebagai sebuah teks, pembukaan UUD 1945 baru terumuskan pada tanggal
18 Agustus 1945. Tapi, teks ini tentu saja bukanlah suatu yang begitu saja
muncul. Ia hadir dari sebuah rangkaian proses dalam perdebatan sidang
BPUPKI. Setidaknya hal itu bisa kita tangkap sejak Soekarno mengucapkan
pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni 1945. Pidato itulah yang kemudian
memantik BPUPKI membentuk sebuah tim kecil yang terdiri dari sembilan
orang untuk mengembangkan berbagai hal yang berkaitan dengan kemerdekaan
Indonesia.
Panitia kecil itulah yang kemudian berhasil membuat naskah pembukaan,
preambule yang kemudian dianggap sebagai gentlemen agreement antara paham
nasionalisme dan pendukung Islam. Muhammad Yamin kemudian mengusulkan
agar kesepakatan yang dibuat oleh tim kecil itu sebagai Piagam Jakarta (Jakarta
Charter). Naskah ini yang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
memancing perdebatan, terutama yang berkaitan dengan tujuh kata di alinea
empat.
Dari naskah yang sederhana itu, kemudian tersusunlah naskah baru yang
diberi nama Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM). PIM merupakan perluasan
dari Piagam Jakarta. Tiga alinea pertama dari Piagam Jakarta dikembangkan
dalam PIM menjadi delapan alinea. Alinea keempat dari Piagam Jakarta yang
kemudian disiapkan menjadi pembukaan dari UUD 1945. Jadi, kalau proklamasi
kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan PIM, maka Pembukaan UUD 1945
yang kita miliki hanyalah alinea keempat saja dari Piagam Jakarta.
Dalam perjalanannya, BPUPKI yang telah mempersiapkan baik PIM
maupun UUD 1945, ternyata tidak dapat melaksanakan rencananya sesuai
dengan yang diharapkan. Ini disebabkan karena sejak tanggal 15 Agustus 1945,
teks proklamasi yang digunakan tidak menggunakan PIM akan tetapi suatu teks
yang disusun kemudian oleh Soekarno-Hatta dengan para pemuda tanggal 17
Agustus 1945 jam 03.00 pagi hari dalam bentuk dua kalimat yang sederhana.
Sesudah proklamasi dibacakan, PPKI bersidang untuk kali yang pertama.
Karena proklamasi sudah dilakukan dengan teks yang pendek, maka seluruh
naskah yang bernama Piagam Jakarta itu kemudian hendak dijadikan
Pembukaan UUD 1945, dan bukan hanya alinea keempat dari Piagam Jakarta.
Dalam proses itulah, muncul keberatan dari para wakil Protestan dan Katolik
yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang (Kaigun) di Indonesia Timur terhadap
tujuh kata dari naskah tersebut.
Keberatan dari wakil Indonesia Timur itu kemudian dapat diusahakan
penyelesaiannya oleh Bung Hatta dengan wakil pemimpin Islam sebelum sidang
PPKI, dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945. Perubahan yang dilakukan
terjadi pada alinea ketiga dan keempat. Perubahan dalam alinea keempat terjadi
dengan dihapuskannya tujuh kata dari “…berdasar kepada keTuhanan, dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” dan
dirumuskan kembali menjadi “…berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,…”.
Perubahan alinea ketiga dilakukan dengan kata Allah dengan kata Tuhan.5
5 John A. Titaley, Nilai-nilai Dasar yang terkandung dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 1999), 2-8.
Setelah melihat perjalanan historisnya, kita mengamati nilai yang
tercermin dalam pembukaan UUD 1945 tersebut.6 Alinea pertama memuat
kalimat Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Konsep kunci dalam alinea pertama
adalah kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan dan penjajahan. Jika diamati
secara mendalam, nilai ini hanya akan terlaksana kalau tidak ada penjajahan.
Segala bentuk penjajahan akan menghilangkan perikemanusiaan dan keadilan.
Hanya kemerdekaan sajalah yang dapat memulihkan harga diri kemanusiaan.
Dalam alinea kedua, kita akan menemukan konsep kunci yakni perjuangan
kemerdekaan, pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur. Merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
adalah konsep yang berkaitan dengan alinea pertama. Yang perlu diperhatikan
adalah perjuangan kemerdekaan dan pintu gerbang kemerdekaan. Perjuangan
ini menunjuk kepada upaya mencapai kemerdekaan oleh bangsa Indonesia.
Kemerdekaan itu bukanlah hadiah Belanda atau Jepang atau siapa-siapa,
melainkan perjuangan. Pintu gerbang kemerdekaan Indonesia itu bukanlah
negara Indonesia, karena negara Indonesia saat itu belum memiliki aturan
hukum. Karenanya nilai yang ditekankan dalam alinea kedua ini adalah karya
nyata manusia Indonesia yang punya kesadaran tinggi terhadap berlakunya
hukum.
Alinea ketiga, Atas Berkat Rakhmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan
didorongkan oleh Keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang
bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Konsep
kunci dalam alinea ini adalah pernyataan pengakuan bahwa adanya rakhmat
dan pengakuan kemerdekaan. Jika alinea pertama dan kedua menekankan pada
6 Kajian ini telah ditulis dengan baik dalam, Ibid., 9-24. Penjabaran tentang nilai-nilai dasar dalam pembukaan UUD 1945 dalam karya ini didasarkan pada karya tersebut.
kerja manusia, alinea ketiga ini adalah pengakuan bangsa Indonesia akan adanya
campur tangan Yang Maha Kuasa dalam kemerdekaan Indonesia.
Sementara dalam alinea keempat kita melihat gagasan-gagasan
implementasi kemerdekaan itu. Konsep-konsep kunci yang terkandung di
dalamnya adalah pemerintah negara, UUD, negara yang berkedaulatan rakyat
dan Pancasila. Pemerintah negara ini bertugas untuk melindungi segenap
bangsa seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum bukan pribadi,
keluarga atau kelompok tertentu; mencerdaskan kehidupan bangsa dan
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. UUD menjadi konsep yang penting bagi suatu negara
modern yang demokratis.
Karena itu, nilai-nilai yang dimiliki dalam pembukaan UUD 1945 adalah
kemerdekaan, perikemanusiaan, keadilan, kerja keras, intervensi Tuhan, yang
seluruhnya bersumber dari kesederajatan kemanusiaan sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Nilai-nilai itulah yang seharusnya dapat merubah (transform)
perilaku bangsa Indonesia dari kecenderungan untuk berperilaku primordialnya
kepada perilaku nasionalnya.
Dalam sidang PPKI yang berlangsung 18 Agustus 1945, terjadi perdebatan
di alenia ketiga tentang nama Yang Maha Kuasa yang memberkati kemerdekaan
Indonesia. Sesaat menjelang berakhirnya pembahasan pembukaan UUD 1945,
Soekarno selaku pimpinan sidang menawarkan apakah ada perubahan pada
redaksi pembukaan UUD 1945. I Gusti Ketut Pudja, salah satu anggota PPKI yang
kelak menjadi Gubernur Sunda Kecil itu kemudian mengusulkan agar kata Allah
dirubah dengan Tuhan. Kata Pudja, ”Ayat 3 ”Atas berkat Rahmat Allah” diganti
Tuhan saja, ”Tuhan Yang Maha Kuasa””.7 Usul Pudja ditangkap Soekarno yang
kemudian mengulang apa yang disampaikan Pudja. Soekarno mengatakan
7 Saafroedin Bahar dan Nani Hudawati, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998), 537
”Diusulkan, supaya perkataan Allah Yang Esa diganti dengan Tuhan Yang Maha
Esa. Tuan-tuan semua mufakat kalau perkataan Allah diganti dengan atas berkat
Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada lagi, tuan-tuan? Kalau tidak ada lagi, saya
baca seluruhnya, maka kemudian saya sahkan”.8 Setelah itu, Soekarno kemudian
membacakan keseluruhan teks pembukaan UUD 1945.
Akan tetapi, kesepakatan yang dibuat soal kata ”Tuhan” pada sidang 18
Agustus 1945 itu tidak muncul dalam Berita Republik Indonesia tahun II no. 7
yang diterbitkan pada 15 Februari 1946. Di berita itu, kalimat masih tertulis
”Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Editor buku ”Risalah Sidang
BPUPKI” mengatakan bahwa kemungkinan besar hal ini merupakan kesalahan
teknis belaka dalam suasana revolusi saat itu.9
Selain Berita Republik Indonesia tahun II no. 7 yang terbit 15 Februari
1946, ada dua dokumen negara lainnya yang mengabadikan hasil Risalah Sidang
BPUPKI, terutama yang menyangkut Pembukaan UUD 1945. Ada perbedaan soal
kata pemuatan kata Allah dan Tuhan dalam dokumen itu. Di Lembaran Negara
no. 75 tahun 1959 halaman 3, alinea ketiga tertulis ”Atas Berkat Rahmat Allah
Yang Maha Kuasa”. Ini berarti susunan kalimatnya sama dengan yang tertulis
dalam Berita Republik Indonesia. Arsip lainnya adalah Dokumentasi Kementrian
Penerangan Republik Indonesia no. 1 tahun 1945. Dalam dokumen tersebut
bunyi alinea tiga sama dengan apa yang terekam dalam Sidang PPKI yakni, ”Atas
Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa”.10
Menelisik tentang identitas Yang Maha Kuasa yang telah memberkati
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita bisa juga mencermati dalam
beberapa produk lain, seperti Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM), Piagam
Jakarta dan dua Undang-undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia, yakni
8 Ibid. 9 Ibid., 538. 10 Moh. Tolchah Mansoer, Teks Resmi dan Beberapa Soal tentang UUD 1945 (Bandung: Alumni, 1977), 111-113.
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950 serta UUD Sementara RI
1950.
Dalam PIM berkat terhadap perjuangan rakyat Indonesia itu diberikan oleh
”Allah Yang Maha Kuasa”. Hal yang sama juga ditemukan dalam Piagam Jakarta.
Sementara dalam Konstitusi RIS dan UUD Sementara RI 1950, alinea ketiga itu
sama-sama memunculkan kata ”Tuhan”. Dalam Konstitusi RIS, kalimat
lengkapnya berbunyi ”Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai
kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”. Dalam UUD Sementara,
kalimat di alinea berbunyi ”Dengan berkat dan rahmat Tuhan, tercapailah
tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”.11
Dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 yang kemudian menghasilkan
Pembukaan UUD 1945, kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada
perdebatan hebat ihwal kata Allah dan Tuhan. Usulan I Gusti Ketut Pudja agar
kata Allah diganti dengan Tuhan tidak mendapatkan sanggahan atau bantahan
dari peserta sidang lainnya. Dalam Risalah Sidang BPUPKI-PPKI, Pudja tidak
menyebutkan alasan mengapa ia mengusulkan untuk mengganti Allah dengan
Tuhan. Tetapi jika dilihat dari latar belakang primordialnya, Pudja tentu
menghendaki agar UUD 1945 bisa menaungi seluruh kelompok agama yang ada
di Indonesia.12 Ia ingin menyelamatkan UUD 1945 agar tidak menjadi warna
untuk kelompok tertentu saja.
Sebutan Allah sebagai identitas Yang Maha Kuasa, sangat khas dengan tiga
kelompok agama, Islam, Kristen dan Katolik. Memasukan Allah dalam
pembukaan UUD 1945, seolah-olah hanya ingin menunjukan bahwa perjuangan
kemerdekaan itu hanya dilakukan oleh tiga kelompok itu saja. Padahal
11 Kutipan Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar Sementara diambil dari ____, 3 Undang-undang Dasar Republik Indonesia (Pustaka Mahardika, tt), 43 dan 104. 12 Putu Setia, “Refleksi Agama-agama atas 50 tahun Kemerdekaan: Perspektif Hindu,” dalam Tim Balitbang PGI (ed), Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia: Theologia Religionum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 225-234.
hakikatnya kemerdekaan ini adalah karya bersama dari semua rakyat Indonesia
yang ingin terbebas dari belenggu penjajahan.
I Gusti Ketut Pudja datang sebagai wakil dari wilayah Sunda Kecil (Bali)
yang beragama Hindu-Bali. Dalam tradisi Hindu-Bali, Allah itu sesuatu yang
tidak dikenal. Dalam kepercayaan masyarakat Bali, ”tradisi” tidak secara jelas
dibedakan dari agama.13 Tradisi yang dalam beberapa bagian kehidupan
masyarakat Bali menjadi religious worldview, merujuk pada tatanan kosmis yang
ilahi dan aturan kemasyarakatan seperti yang diajarkan oleh para leluhur.14
Tidak seperti halnya agama-agama dunia yang memiliki dasar kepercayaan
serta simbol yang memberikan makna bagi orang dari berbagai latar belakang
kebudayaan, agama Bali benar-benar bersifat lokal seperti yang terwujud dalam
upacara yang dikhususkan bagi kelompok tertentu, leluhurnya dan
wilayahnya.15 Bagi mereka, tujuan utama bukanlah pada kebenaran dogma
(orthodoxy) tetapi kebenaran perilaku (orthopraxy). 16
Karena agama yang diekspresikan masyarakat Bali sangatlah lokal, maka
penyebutan terhadap identitas Yang Maha Kuasa pun berbeda-beda. Dalam kitab
suci Weda sendiri Yang Maha Esa ini disebut dengan banyak nama antara lain,
Agni, Indra, Vayu, Surya, Mitra, Varuna, Prajapati, Amsa, Daksa, Parjanya,
Vivasvat, Visvakarma, Savitri dan lain-lain. 17 Kalau di Bali sendiri penamaan
terhadap Yang Maha Kuasa itu tidak tunggal. Tuhan itu satu, hanya orang
bijaksana yang menyebutnya dengan banyak nama. Ada yang menyebutnya
sebagai Sinaring Jagad (Penyinar Bumi), juga Sang Hyang Widhi Wasa.
13 Michael Picard, “What’s in A Name?: Agama Hindu Bali in the Making”, dalam Martin Ramstedt (ed), Hinduism in Modern Indonesia: A Minority Religion Between Local, National, and Global Interests (New York: RoutledgeCurzon, 2004), 62. 14 Ibid. 15 Ibid. Wawancara Ari Dwipayana, 10 September 2012, I Ketut Sumartha, 7 November 2012. 16 Ibid. Wawancara I Putu Gelgel, 8 November 2012. 17 Made Titib, “Tuhan Yang Maha Esa”, dalam Ketut Wiana, Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan (Jakarta: Manikgeni, 2004), 2.
Penamaan Widhi Wasa itu sendiri dipopulerkan oleh para zending (penyebar
Kristen) di Bali. Ketika Kristen masuk Bali, ada pendekatan kultural terhadap
masyarakat, penerjemahan Alkitab dan mereka mempopulerkan nama yang
sudah ada dalam tradisi masyarakat Bali itu. 18
Penyebutan nama Tuhan itu penting untuk masyarakat tertentu, tapi bagi
yang lain tentu tidak. Sebutan itu jelas menjadi identitas sebuah komunitas.
Ketika bersepakat untuk membentuk satu negara, mencari formula yang lebih
umum tentang siapa itu Yang Maha Kuasa, jauh lebih penting. Usulan Pudja itu
strategis untuk negara, bukan kepentingan Hindu-Bali semata. Itu sebagai
identitas keindonesiaan yang disepakati untuk mengatasi sekian penamaan.19
Alinea ketiga dalam Pembukaan UUD 45 adalah sebentuk ekspresi dari
agama sipil dalam konteks ketuhanan. Tuhan tidak digambarkan sebagai Allah
Swt, Allah Tritunggal, Yahweh atau lainnya. Ia dinarasikan dalam nama ”Tuhan”.
Konstitusi kita tidak mengacu kepada agama khusus apapun, meski Islam adalah
mayoritas. Konsep Tuhan, sekali lagi pada akhirnya adalah sesuatu yang dapat
diterima oleh semua agama dan pemeluknya.
Meski Indonesia tidak didasarkan atas agama, tetapi pemisahan antara
agama dan negara itu tidak mengingkari dimensi keagamaan dalam bidang
politik. Meski agama adalah urusan pribadi, tetapi dalam batas-batas tertentu,
ada orientasi keagamaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh bangsa
Indonesia.
Pilihan kata Tuhan, penulis menganggap sebagai salah satu dimensi
keagamaan publik yang diekspresikan dan bolehlah disebut sebagai simbol
agama sipil Indonesia. Dan dengan demikian, Pancasila dan UUD 45 adalah
konstitusi demokratis yang memberikan peluang kepada semua agama untuk
18 Wawancara I Ketut Sumartha, 7 November 2012, John Titaley, 31 Oktober 2012.
19 Wawancara I Ketut Sumartha, 7 November 2012.
menerimanya sebagai agama sipil. Karena, sepintas kilas ia menghadirkan
klaim-klaim agama publik, bukan agama konfesional.
Secara teoritis, John Hick mengatakan bahwa Tuhan adalah ”The Eternal
One”.20 Penggambaran ini dibedakan dalam dua bentuk asosiasi. Pada satu sisi
menyatakan satu dari tradisi mistis, dimana itu bisa merupakan satu dari tradisi
Plotinus atau satu tanpa yang kedua dari Upanishad, dan di sisi lain adalah Yang
Suci dari pengalaman teistik, dimana itu bisa merupakan Yang Suci bangsa Israel
atau pemujaan teistik India.21
”The Eternal One”, bagi Hick, menjadi dasar bersama dari semua tradisi
agama besar.22 Realitas Tuhan ini tidak terhingga dan melampaui batas
pemikiran manusia, bahasa dan pengalaman. Kenyataan ini kemudian direspon,
dikonseptualisasi, dan diekspresikan secara beragam karena keterbatasan jalan
yang dimungkinkan karena dasar manusia yang terbatas pula.
Kepercayaan terhadap adanya “the Eternal One”, sudah berkembang pada
agama-agama primitif. Cuma, penggambaran terhadap “the Eternal One” itu
berbeda dengan yang diajarkan Yesaya, Yesus, Gautama, Muhammad, Kabir atau
Nanak. Tuhan, dalam kepercayaan mereka lebih ditekankan pada pengertian
kekuatan gaib yang ada di sekeliling untuk ditakuti atau wujud yang tak dapat
diduga.23
Catatan penting dari Hick adalah bahwa tuntutan kesadaran primitif
tentang Tuhan yang dibuat atas kehidupan manusia adalah untuk memelihara
dan memajukan manusia dari kelompok kecil ke negara besar. Tuhan itu sendiri
sebenarnya dikonsepsikan berbeda antara agama Teistik dan non Teistik.
Agama Teistik lebih menekankan konsep tentang Tuhan dalam artian personal.
20 John Hick, God Has Many Names (Philadelphia: The Westminster Press, 1982), 42 21 Ibid. 22 Ibid. 23 Ibid., 43-44.
Sementara di sisi lain, agama non-Teistik, trans-Teistik dan a-Teistik
menggambarkan Tuhan sebagai non-personal.
Dengan meminjam kerangka Immanuel Kant, Hick membedakan antara
nomena (noumenon) dan fenomena (phenomena).24 Nomena merupakan Tuhan
yang dalam kediriannya melampau lingkup bahasa dan pikiran manusia.
Fenomena sifatnya pluralistik, karena ia merupakan respon manusia terhadap
realitas mutlak itu. Pluralitas fenomena terdiri dari personae Tuhan dalam
agama-agama Teistik dan konkretisasi konsep Yang Mutlak dalam agama-agama
non Teistik.25
Wajar jika kemudian Hick mengatakan bahwa ”God Has Many Names”. Atau
dalam bahasanya mistikus muslim, Sayyed Hussein Nasr, “The One in The
Many”.26 Noumena ditanggapi oleh fenomena yang plural. Apa yang absolut itu
dipahami secara berbeda, sehingga dibahasakan secara plural pula dalam aspek
budaya manusia yang berlainan.
Seperti dikutip oleh Joy Mills dalam “The One and The Many”, Nasr
mengatakan, “The doctrine of oneness is unique. There cannot be two Absolutes.
There is only the One within a particular sacred universe”.27 Lalu Nasr
menambahkan “We thirst for the Absolute, that reality which constitutes deep
down the essence of human nature. Human beings cannot live with pure relativity,
which is why, when they are cut off from the real Absolute, they absolutize the
relative”.28
24 Ibid., 52-53.
25 Hick mencontohkan bahwa kesadaran tentang Tuhan dari Agama Teistik itu biasa disebut Yahweh, Allah, dan Allah dan Bapa Yesus Kristus, Krishna, Shiva dan lainnya. Sementara dalam agama non-Teistik misalnya tentang kesadaran non personal tentang Tuhan dalam Brahman dari Hindu Advaitik, Nirvana dari Budha Theravada dan Sunyata dari Buddha Mahayana. Ibid., 53. 26 Seyyed Hossein Nasr, “The One in The Many”, Artikel dipresentasikan pada Parliament of the World’s Religions di Chicago, 2 September 1993 dikutip Joy Mills, “The One and The Many”, Makalah dipresentasikan pada European Congress, Bosön Sport Center, Sweden, July 1995. 27 Joy Mills, “The One and The Many”. . .
28 Ibid.
Apakah kemudian Tuhan bangsa Indonesia seperti yang tertulis dalam
alinea tiga pembukaan UUD 1945 itu teis ataukah non-teis? Penganut agama-
Agama Abrahamik tentu akan menafsirkannya dengan model teistik. Tetapi
penganut Buddha atau Hindu lebih cenderung menafsirkannya secara non-
teistik. Sehingga, Tuhan yang dimaksud dalam alinea tiga tidak semata-mata
merujuk pada salah satu dari teistik atau non-teistik.
Pancasila Sebagai Agama Sipil:
Integrasi, Legitimasi dan Suara Kenabian
Beberapa karya tentang agama sipil di Indonesia, pada umumnya
menyimpulkan Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Ini bisa dilihat
misalnya dalam tulisan Matti Justus. Schindehütte,29 Susan Selden Purdy,30 atau
Karel A. Steenbrink.31 Beberapa penulis di Indonesia juga kurang lebih
mengungkapkan kesimpulan yang sama.32 Dengan menggunakan pendekatan
Jose Casanova, Benjamin Fleming Intan melihat Pancasila ini dalam kapasitasnya
sebagai public religion.33 Dengan begitu maka penemuan Pancasila sebagai
agama sipil sebenarnya sudah banyak diulas oleh beberapa penulis. Dengan
begitu, maka tulisan ini hanyalah menuliskan kembali posisi Pancasila sebagai
agama sipil itu seperti yang telah dikemukakan penulis sebelumnya.
29 Matti Justus. Schindehütte, “Zivilreligion als Verantwortung der Gesellschaft : Religion
als politischer Faktor innerhalb der Entwicklung der Pancasila Indonesiens”, Thesis (Ph.D, Hamburg University, 2005).
30 Susan Selden Purdy, “Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State: Pancasila and civil religion in Indonesia”, Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984).
31 Karel A. Steenbrink, “The Pancasila Ideology and an Indonesian Muslim Theology of Religion” dalam Jacques Waardenburg (ed), Muslim Perceptions of Other Religions: A Historical Survey (New York: Oxford University Press, 1999).
32 Elma Haryani, ”Gagasan Agama Sipil di Indonesia: Mencari Format Demokratisasi Agama”, Tesis Universitas Gajah Mada, 2005, Nafisul Atha, ”Pancasila dan Agama Sipil”, Tesis UIN Jogjakarta, 2005.
33 Benyamin Fleming Intan, ““Public Religion” and the Pancasila-based State of Indonesia: A Normative Argument within a Christian-Muslim Dialogue (1945-1998)”, (Ph.D Disertasi, Boston College Department of Theology, 2004).
Diskursus mengenai agama sipil di Indonesia, dalam pengertian Bellah,
salah satunya tergaris dari dasar negara Pancasila. Pancasila sendiri tidak dapat
dipisahkan dari UUD 1945. Lima pilar yang menjadi dasar negara Indonesia, bisa
ditemukan dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4.
Seperti yang tergambar dari komposisi yang menjadi kerangkanya,
Pancasila tidaklah merefleksikan satu arus semata. Meski ada aspek keagamaan
dalam Pancasila, tetapi agama apa yang menjadi dasar dari Pancasila tidaklah
dirumuskan secara spesifik. Itu artinya, setiap pemeluk keyakinan keagamaan
bisa mengambil sudut pandang imannya atau theologizing dalam menghayati
Pancasila.
Pembahasan ini akan melihat posisi Pancasila dari dua sudut pandang. Jika
mengikuti alur sejarah yang telah berjasa melahirkan Pancasila, maka penulis
melihat bahwa ada dua asas mendasar yang menjadi tiang penyangganya.
Pertama, landasan politik. Kedua, prinsip etika.34 Secara politik Pancasila bisa
digambarkan sebagai landasan kehidupan bernegara yang memayungi berbagai
kepentingan ideologi dan politik yang berbeda. Sementara prinsip etika berarti
Pancasila adalah sumber moralitas bahwa yang menunjukkan bahwa kehidupan
bangsa Indonesia tidaklah merupakan sebuah proyeksi berbangsa dan
bernegara yang lepas dari moralitas.
Secara politik, peran Pancasila sebagai civil religion dikarenakan ia telah
berhasil menjadi solusi atas persoalan relasi agama dan negara yang sangat
rumit di Indonesia. Sementara secara etika, Pancasila menjadi landasan bahwa
bangsa Indonesia memiliki fundamen yang kuat berakar dalam tradisi dan
budaya bangsa yang kemudian menjadi Indonesia.
Penulis mencoba mencari benang merah dengan mengaitkan fenomena
agama sipil ini dalam konteks keindonesiaan. Hipotesa awal yang hendak
34 Penulis kemudian menemukan paparan serupa tentang hal ini dalam Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 29.
dibangun dalam sub bab ini bahwa Pancasila itu adalah agama sipil. Dalam
kajian agama sipil (terutama yang disinggung Bellah) agama sipil adalah sejenis
elemen pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial.
Pancasila menjadi pemersatu dari elemen-elemen agama maupun non agama.
Penjelasan tentang posisi Pancasila sebagai agama sipil bisa dilihat
pertama-tama dari statusnya sebagai dasar negara dan ideologi. Sebagai
ideologi, Pancasila tentu saja tidak merepresentasikan kelompok primordial
tertentu. Ia memayungi semua kelompok primordial tersebut. Hubungan
konstitusional antara agama dan negara di Indonesia sebenarnya jelas, dimana
agama dan negara berada di ruang yang berbeda tapi tidak terpisah. Anasir-
anasir mengenai agama, jelas termaktub dalam konstitusi Indonesia. Tetapi,
meski memuat anasir-anasir tersebut, konstitusi tidak menjadikan agama
tertentu sebagai dasar negara. Ruang antara agama dan negara itu, selain
membangun konsensus juga menyisakan perdebatan serta tarik menarik tafsir
atas hubungan agama dan negara di Indonesia.
Secara umum, gagasan agama sipil muncul untuk menjalankan tiga
fungsinya; alat integrasi, legitimasi dan memunculkan suara kenabian.35
Klaim integratif dari agama sipil seperti yang digambarkan Bellah pada
kasus Amerika merupakan fungsi yang sangat mendasar. Integrasi menghendaki
hadirnya harmoni dan ketertiban. Agama sipil menjadi “lem perekat” kelompok
masyarakat yang berbeda kepentingan. Gagasan Durkheim menjadi sangat
relevan untuk menakar Pancasila sebagai agama sipil. Mereka yang berbeda
keyakinan, suku dan klannya ini memiliki kesadaran bersama, yang itu
kemudian menjadi otoritas moral.
Dalam skema Durkhemian ini, Pancasila membutuhkan pra kondisi
struktural bagi sebuah bentuk integrasi yang efektif; tingkat perbedaan yang
35 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power and Authority in a Pluralistic State: Pancasila and Civil Religion in Indonesia, Thesis (Ph. D. Columbia University, 1984), 14.
berdampak pada kebutuhan kerjasama dalam masyarakat yang lebih luas.36
Tapi, lanjut Purdy, memahami apa yang digagas oleh Durkheim tidak hanya pada
soal integrasinya semata, tapi komponen moral yang ada di dalamnya.37
Perspektif Durkheimian ini digunakan Bellah saat mencermati Agama Tokugawa
di Jepang. Kata Bellah, masyarakat Jepang dicirikan oleh kesetiaan kelompok di
satu sisi dan pencapaian individual serta kolektif di sisi lain.38 Keseragaman
budaya dan keyakinan akan kesetaraan yang merupakan prasyarat bagi sebuah
negara modern, sudah disiapkan oleh Jepang di era Tokugawa.39
Dalam kasus Pancasila, fungsi integrasi ini diperankan untuk mengatasi
perbedaan etnis, etos kebudayaan dan pluralitas agama. Perbedaan-perbedaan
itu disatukan dalam wadah negara-bangsa di bawah satu kode moral bersama.
Mencari dasar filosofis bersama itu tentu tidak mudah karena Indonesia harus
memulainya dengan melewati berbagai tantangan seperti perang kemerdekaan,
tarikan ideologi dan lainnya.
Melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila mendapatkan klaim
sebagai integrasionis. Pancasila mengakui adanya keragaman. Namun,
bersamaan dengan pengakuan terhadap adanya keragaman, Pancasila menilai
bahwa kemajemukan itu ada dalam bingkai yang satu.
Pancasila, jika kita mengaitkan dengan ide Durkheim (juga Rousseau)
merupakan solusi untuk memecahan masalah ketertiban.40 Khusus untuk
Durkheim problem tentang ketertiban itu kemudian dihubungkan dengan
moralitas. Bagi Durkheim, sebagaimana dikutip Cristi, sebuah negara demokratis
merupakan kendaraan utama dimana nilai-nilai individualisme moral
36 Ibid., 16. 37 Ibid. 38 Robert N. Bellah, Tokugawa Religion: The Values of Pre-industrial Japan, terj. Wardah Hafidz dan Wiladi Budiharga, “Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang”, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), xxi. 39 Ibid.
40 Marcela Cristi, From Civil to Political Religion: The Intersection of Culture, Religion and Politics (Wilfrid Laurier University Press, 2001), 41.
diimplementasikan.41 Durkheim menggambarkan negara sebagai “organ
pemikiran sosial”, “ego” kesadaran bersama.42 Pancasila hadir untuk
pengembangan moral dari anggota-anggota individualnya. Sebagai agen moral,
Pancasila berperan untuk menjamin dan memajukan hak-hak yang menyatu
dalam moral individu.43
Selain sebagai alat integrasi, fungsi Pancasila sebagai agama sipil terlihat
dari perannya sebagai legitimator. Weber menunjukan bahwa hubungan positif
antara pemimpin dan yang dipimpin, menempati posisi penting bagi kinerja
efektif sebuah sistem sosial.44
Legitimasi sebuah aturan dapat dijamin dalam dua prinsip. Pertama,
jaminan bisa bersifat subjektif murni, baik itu bersifat afektual, value-rational
ataupun bersifat keagamaan. Kedua, legitimasi sebuah aturan juga bisa dijamin
oleh harapan dampak eksternal yang spesifik, atau oleh situasi kepentingan.45
Dasar dari legitimasi itu sendiri bisa muncul dari tradisi, afektual (khususnya
emosi), iman, nilai-rasional, dan hukum.
Weber berargumen, validitas klaim legitimasi didasarkan pada salah satu
atu kombinasi lebih dari satu dari tiga model “ideal types” otoritas legitimasi.
Dalam tipologinya itu, Weber membagi otoritas dalam 3 jenis klasifikasi analitis:
Pertama, otoritas rasional-legal yang dilegitimasi oleh “suatu
kepercayaan pada legalitas peraturan-peraturan yang diundangkan dan pada
hak orang-orang yang diberi otoritas memimpin di bawah peraturan-peraturan
tersebut untuk mengeluarkan perintah-perintah”;
Kedua, otoritas tradisional dengan legitimasinya diperoleh dari “suatu
kepercayaan mapan pada kesucian tradisi-tradisi yang sudah sangat lama ada
41 Ibid. 42 Dikutip Ibid. 43 Ibid. 44 Susan Selden Purdy, Legitimation of Power . . . 22.
45 Max Weber, Economy and Society, edited by Gunther Roth and Claus Wittich; trans. Ephraim Fischoff et.al (Berkeley: University of California, 1978), 212.
dan pada legitimasi dari orang-orang yang mempraktekkan otoritas
kepemimpinan yang dilandaskan pada tradisi-tradisi itu”;
Ketiga, otoritas karismatik dengan legitimasinya terletak pada “ketaatan
dan kesetiaan terhadap seorang individu yang dipandang memiliki karakter
yang patut diteladani, heroik dan memiliki kesucian luar biasa, yang juga
terdapat pada pola-pola atau tatanan normatif yang disingkapkan atau
ditahbiskan olehnya”. Menurut Weber, karisma dan otoritas karismatik
menunjuk pada “suatu sifat tertentu dari seorang individu pribadi, yang karena
sifatnya ini dia dipandang luar biasa dan diperlakukan sebagai seorang yang
dikarunia kemampuan-kemampuan adikodrati dan adi-insani, atau setidaknya
dikaruniai kuasa atau sifat yang khas dan luar biasa. Kuasa dan sifat ini sangat
luar biasa sehingga tidak dapat diperoleh orang biasa, tetapi dipandang sebagai
teladan yang berasal dari Yang Ilahi, dan berdasarkan kuasa dan sifat ini pribadi
yang bersangkutan diperlakukan sebagai seorang ‘pemimpin.’”46
Dalam sebuah negara yang mengalami krisis akibat perang dan
pertarungan ideologi, maka diperlukan satu alat legitimasi. Agama sipil
diperlukan untuk mengisi ruang dimana legitimasi diperlukan untuk
membangun kepercayaan masyarakat. Pancasila dihadirkan dalam kapasitasnya
untuk menempati posisi demikian.
Dimensi terakhir dari agama sipil adalah profetis. Bellah menyatakan
agama sipil adalah dimensi keagamaan publik yang terekspresikan dalam
seperangkat keyakinan, simbol dan ritual.47 Dimensi keagamaan itu ada dalam
kehidupan setiap masyarakat, melalui interpretasinya terhadap pengalaman
sejarahnya dalam terang realitas transenden.48
46 Ibid. 47 Robert N. Bellah, Beyond Belief: Essay on Religion in a Post-Traditional World (University of California Press, 1980), 171. 48 Robert N Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (University of Chicago Press, 1992), 3
Gambaran Bellah tentang agama sipil memang selalu dikaitkan dengan
agama dalam pengertian konvensional. Jika dalam Broken Covenant, Bellah
mengintrodusir prinsip Protestan, sementara dalam dalam The Good Society
Bellah mengekspresikan kebaikan bersama, sebuah nilai yang barangkali lebih
dekat dengan prinsip Katolik. Dalam Habits of the Heart dan The Good Society,
Bellah berbicara mengenai “public church”, term yang dia pinjam dari Martin
Marty. Dalam Broken Covenant misalnya Bellah membahas mengenai asal-usul
mitos bangsa Amerika, Amerika sebagai bangsa pilihan, keselamatan dan
kesuksesan di Amerika, Tabu Bangsa Amerika terhadap Sosialisme, dan
Kelahiran mitos baru bangsa Amerika.
Kalau kita melihat kembali gagasan utama dari agama sipil, maka
nomenklatur agama menempati posisi yang utama. Mengutip Marty, Bellah
menuturkan kalau agama sipil dalam budaya politik Amerika mempunyai fungsi-
fungsi kependetaan maupun profetik. Fungsi kependetaan membuat kebijakan
Amerika bermandikan rahmat Ilahi dan memobilisasi loyalitas rakyat melalui
tujuan-tujuan transenden. Fungsi profetik menugaskan para pemimpin dan
kebijakan-kebijakan yang gagal untuk berjalan sesuai dengan suatu tujuan
ilahiah bagi bangsa Amerika. Peter L. Berger menyebut agama menunjukan
perannya sebagai “world-maintaining” dan “world-shaking” force.49
Dalam situasi ini, Pancasila terbangun dari banyak elemen yang salah
satunya adalah agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan salah satu
“prophetic dimension” dari Pancasila. Pancasila adalah kalimatun sawa (titik
temu) warga Indonesia yang berbeda asal-usul suku bangsa dan agamanya.
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan eksplisit menyebut bahwa
kemerdekaan bangsa Indonesia ini tak hanya karena kekuatan fisik, tapi juga
49 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of A Sociological Theory of Religion, (Doubleday, 1967), 18.
Atas Berkat Rahmat Tuhan. Ada kuasa transenden yang turut campur dalam
kemerdekaan dan kehidupan bangsa Indonesia.
Sebagai agama sipil, tentu saja penting untuk melihat isi dari Pancasila
tersebut. Elemen apa saja yang terkandung dalam Pancasila. Dan apakah posisi
Pancasila sebagai common denominator di Indonesia selaras dengan pengertian
Bellah tentang agama sipil di Amerika.
Percakapan pertama tentang dasar negara muncul saat berlangsungnya
sidang BPUPKI. Dalam perbincangan mengenai apa yang menjadi dasar bersama
bangsa Indonesia, Soekarno menawarkan lima pilar dalam pidato 1 Juni 1945,
yang kemudian dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Tetapi, jauh sebelumnya,
hemat penulis, penelusuran terhadap akar ideologi Pancasila ini mengantar kita
pada masa di mana Soekarno melontarkan ide tentang Nasionalisme, Islamisme
dan Marxisme.50
Soekarno mula-mula memperkenalkan ketiga akar ideologis yang
membentuk Pancasila (Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme), pada tahun
1926 yang ia tulis di “Suluh Indonesia Muda” dengan judul yang sama. Soekarno
mengatakan bahwa sebagai negara jajahan, negara Indonesia memiliki tiga sifat,
Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis.51
Mempelajari, mencari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan,
bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak berguna jika berseteru satu
dengan yang lainnya.52 Ketiga gelombang ini bisa bekerjasama menjadi satu
gelombang yang maha besar dan maha kuat, satu ombak taufan yang tak dapat
ditahan terjangnya. Dan itulah kewajiban yang mesti dipikul oleh bangsa
Indonesia.
Berhasil atau tidaknya bangsa Indonesia menjalankan kewajiban yang
berat itu bukanlah sebuah tujuan. Tetapi itu bukan berarti bahwa bangsa ini
50 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 2005). 51 Ibid., 2.
52 Ibid.
harus putus asa, melainkan harus terus berupaya menyatukan tiga gelombang
tadi. Sebab persatuanlah yang kelak akan mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Dari tiga ideologi itu, Soekarno kemudian mengembangkannya menjadi
lima dasar (Pancasila) yang ia kenalkan saat Sidang BPUPKI 1Juni 1945. Pada
sidang itu, Soekarno memberikan pidato tentang dasar negara Indonesia. Dalam
kesempatan itu, Soekarno memperluas spektrum ideologi yang ia tulis pada
1926, meski sokogurunya tetap pada tiga fondasi awal. Lima prinsip dasar itu
adalah Kebangsaan Indonesia (nasionalisme), Internasionalisme, Mufakat,
Kesejahteraan dan Ketuhanan.53
Soekarno kemudian menjelaskan masing-masing dari dasar negara itu.
Kebangsaan Indonesia, menurut Soekarno bukanlah satu golongan yang hidup
dengan perasaan bersama dan ingin bersatu di atas tanah kecil Minangkabau,
Madura, Jogja atau Sunda saja. “Tetapi Kebangsaan Indonesia adalah seluruh
manusia dari ujung Utara Sumatera hingga Irian. “Karena antara manusia
70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble” sudah terjadi
“Charaktergemeinschaft”! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, umat Indonesia
orangnya adalah 70.000.000 tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu,
sekali lagi satu”.
Dasar kedua yang ditawarkan Soekarno adalah internasionalisme. Tapi,
kata Soekarno, internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar
dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur bersama-
sama dengan internasionalisme. Jadi prinsip yang pertama (nasionalisme) dan
kedua (internasionalisme) ini saling berkait erat.
Prinsip ketiga yang disinggung oleh Soekarno adalah mufakat, perwakilan
dan permusyawaratan. Indonesia, kata Soekarno bukanlah negara untuk satu
orang saja. Negara Indonesia bukan untuk satu orang, bukan satu negara untuk
53 Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, Risalah Sidang . . ., 92-102.
satu golongan, walaupun golongan kaya. “Tetapi kita mendirikan negara semua
buat semua, satu buat semua, semua buat satu,” terang Soekarno.
Dasar yang keempat adalah kesejahteraan. Soekarno memimpikan tidak
ada kemiskinan di negara Indonesia merdeka. Soekarno mengatakan bahwa di
Barat kaum Kapitalis begitu merajalela. Meski ada demokrasi disitu, tetapi tidak
ada keadilan sosial, tidak ada demokrasi ekonomi sama sekali.
Yang terakhir, Soekarno menyinggung tentang ide Ketuhanan. Bagi
Soekarno bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang
Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. “Hendaknya negara Indonesia
adalah negara yang setiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara
yang leluasa. Segenap rakyatnya hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan,
yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia Negara
yang bertuhan,” kata Soekarno.54
Dengan menanggalkan egoisme itu, maka Soekarno menekankan
pentingnya dikembangkan kultur toleransi atau berkeadaban, dimana hormat
menghormati satu sama lain adalah fondasi dalam berhubungan satu dengan
yang lainnya.
Soekarno memberikan ciri dari apa yang ia sebut sebagai dasar negara
yang ber-Ketuhanan itu. Ketuhanan yang dikembangkan, haruslah Ketuhanan
yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan
yang hormat-menghormati satu sama lain.55 Dengan menggunakan azas itulah
segenap agama yang ada di Indonesia akan mendapat tempat sebaik-baiknya.56
54 Ibid., 101. 55 Ibid. 56 Ibid., 102. Setelah menawarkan kelima dasar itu, Soekarno kemudian menawarkan kepada peserta sidang untuk memilih apakah lima prinsip itu yang akan dipakai sebagai dasar negara. Soekarno juga memberikan pilihan dengan memerasnya kembali dan hanya menjadi trisila atau tiga sila yakni Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi dan Ketuhanan. Bahkan kemudian ia menyaringnya, hingga pada satu prinsip, ekasila yaitu Gotong Royong.
Dengan menggunakan kata Ketuhanan dan tidak merujuk pada agama
tertentu, Soekarno bermaksud untuk menjadikan Pancasila (terutama
Ketuhanan) sebagai payung bersama bagi semua warga negara Indonesia tanpa
membedakan identitas agamanya. Jadi Ketuhanan menjadi semacam prinsip
moral-etis dimana kehidupan bersama yang dilandaskan atas semangat
kekeluargaan adalah merupakan pengeJawantahan dari prinsip pengabdian
kepada Tuhan.
Soekarno menggunakan kata Tuhan dengan maksud memberikan
keleluasaan kepada siapapun untuk menafsirkan kata ini. Bisa jadi ia adalah
Tuhan yang telah menurunkan prinsip-prinsip moral dan etika dalam keyakinan
umat Islam, Kristen, Buddha, Hindu dan sebagainya. Ia adalah sumber dari
segala kebaikan.
Istilah Ketuhanan yang diungkapkan Soekarno, secara prinsipil bukanlah
konsep Ketuhanan yang rumit, melainkan konsep yang sangat sederhana dan
berusaha untuk dijaga jaraknya dari anasir-anasir monotheistik itu. Soekarno
menyadari bahwa beragama (atau percaya pada Tuhan) dengan bentuk yang
berbeda-beda adalah bagian terpenting dalam kehidupan masyarakatnya. Itulah
makna terdalam dari apa yang diungkapkan Soekarno sebagai ”...hendaknya ber-
Tuhan. Tuhannya sendiri”.57 Hemat penulis, rumusan Pancasila dengan melihat
penggambarannya terhadap ide Ketuhanan tersebut menjadi salah satu ide
dasar yang ditransformasikan dalam religiusitas sipil.
Setelah Soekarno mengusulkan Ketuhanan sebagai salah satu pilar negara,
tim kecil yang berjumlah sembilan orang kemudian merumuskan menjabarkan
Ketuhanan itu dengan menambahkan tujuh kata setelahnya. Sehingga sila
tersebut berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluknya”.
57 Ibid.,, 101.
Penambahan tujuh kata itu menimbulkan polemik. Pada tanggal 17 Agustus
1945 malam, Hatta menerima kunjungan seorang perwira Angkatan Laut
Kekaisaran Jepang yang menyampaikan keberatan dari penduduk Indonesia
Timur. Mereka tidak bisa menerima dimuatnya Piagam Jakarta pada
Mukaddimah Undang-undang Dasar. Jika tidak dirubah, mereka siap untuk tidak
bergabung dengan Republik yang baru berumur sehari itu.
Tanggal 18 Agustus, Hatta kemudian memanggil empat anggota PPKI yang
dianggap mewakili Islam; Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, Teuku
Mohammad Hasan dan Wahid Hasyim.58 Hatta menyampaikan keberatan dari
masyarakat di Indonesia Timur tentang idiom Islam dalam Mukaddimah
Undang-undang Dasar. Wahid Hasyim kemudian mengusulkan agar rumusan
tujuah kata itu diganti dengan Yang Maha Esa. Sehingga sila pertama itu menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lima prinsip yang disampaikan Soekarno sempat ditawarkan untuk
menjadi tiga, sosio-nasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan
internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, sosio-demokrasi dan
Ketuhanan. Kata Soekarno ia menginginkan konsep demokrasi yang bukan
demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-
democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan
yang kemudian dinamakannya sebagai sosio-demokrasi.
Penjelasan sederhananya bisa dilihat di bawah ini.59
58 Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LKiS, 1999), 34. B. J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971), 35. 59 Dikutip dari John A. Titaley, Pola Pemikiran Sosial dan Politik Aliran di Indonesia, (Salatiga: PPs Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, tt).
1926 1945
Islamisme
Nasionalisme
Ketuhanan
Kesejahteraan
Demokrasi
Internasionalisme
Nasionalisme
Ketuhanan
Sosio-Demokrasi
Sosio-Nasionalisme
Pancasila Trisila
Marxisme
Ekasila
Gotong -Royong
Sebagai agama sipil, Pancasila berbeda dengan uraian agama sipil di
Amerika yang dikaji Bellah. Kita melihat bahwa unsur yang ada di dalamnya
begitu kaya. Pancasila tidak hanya berbicara tentang masalah agama semata.
Seperti yang kita cermati dari usulan Soekarno, agama menjadi salah satu unsur
pembentuk saja. Ada faksi lain seperti ideologi Marxisme dan nasionalisme.
Elemen-elemen Sosio-Nasionalisme, Sosio-Demokrasi dan agama inilah
yang membentuk Pancasila sebagai agama sipil bangsa Indonesia. Dalam pidato
1 Juni 1945, Soekarno menekankan tentang pentingnya pertautan antara satu
dengan lainnya.
Konseptualisasi ide tentang Pancasila berpokok pada moralitas dan haluan
kebangsaan yang bisa dijelaskan melalui lima penegasan.60
Pertama, religiositas sebagai sumber etika dan spiritualitas begitu penting
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Ia tak pernah lepas dari kenyataan hidup.
Bangsa Indonesia selalu berusaha mendefinisikan perilakunya dengan takaran
agama dan keyakinannya. Disini konsep pemisahan secara ketat antara agama
60 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 42-46.
dan negara tidak berlaku. Dalam konstitusi, negara didaulat untuk menjamin hak
tiap penduduk untuk melaksanakan ajaran agamanya.
Penegasan kedua adalah bahwa kemanusiaan universal bersumber dari
hukum Tuhan, hukum alam dan sifat-sifat sosial manusia menjadi elan bagi etika
politik kehidupan bangsa dalam membangun hubungan dunia. Dua tujuan
ditempuh melalui dasar ini. Ke luar, bangsa Indonesia dituntut untuk
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial. Sementara ke dalam, bangsa Indonesia mengakui dan
memuliakan hak-hak dasar warga dan penduduk negeri. Etika yang jadi
prasyaratnya adalah “adil” dan “beradab.”
Ketiga, aktualisasi nilai Pancasila itu didasarkan atas semangat kebangsaan
yang kuat. Di sini, Indonesia dipahami sebagai negara persatuan kebangsaan
yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Penghargaan terhadap
pluralisme atau keragaman agama, budaya dan bahasa menjadi landasan pokok
dari negara persatuan ini. Tetapi dalam keragamannya itu, Indonesia berupaya
mencari titik temu yang termanifestasi dalam Pancasila.
Keempat, dalam kosmologi Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan,
dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam kenyataaannya harus menjunjung
tinggi semangat kedaulatan dalam permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan. Visi ini hendak menunjukan bahwa demokrasi Indonesia tidak
merupakan sebentuk mayoritarianisme, tetapi kerangka etika politik yang
dibingkai oleh hikmat/kebijaksanaan. Ia tidak hanya sekadar demokrasi, tetapi
sosial-demokrasi.
Kelima, dalam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, kemanusiaan,
kebangsaan serta permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan sejauh dapat
mewujudkan keadilan sosial. Keadilan sosial ini tereJawantah dalam
keseimbangan antara jasmani dan rohani, peran manusia sebagai makhluk
individu dan sosial, dan juga kesimbangan antara hak sipil, politik, ekonomi,
sosial dan budaya. Gagasan ini ada dalam diskusus sosial-demokrasi di Eropa
dan mengakar dalam tradisi sosialisme desa dan sosialisme religius masyarakat
Indonesia. Prinsip keadilan dalam Pancasila seperti menjadi jalan ketiga dalam
membangun keadilan sosial.61 Jika dua aliran utama dalam keadilan adalah
liberal-individualisme dan egalitarian-sosialisme, maka sila kelima Pancasila
mendamaikan dua teori besar tersebut. Keadilan Pancasila menjadikan
kesejahteraan warga masyarakat sebagai titik pijak sekaligus tujuannya. Tetapi
ia berbeda dengan egalitarian-sosialisme yang mengekang kebebasan individual.
Kesederajatan (egalitarian-sosialisme) diperlakukan seimbang dengan
kebebasan (liberal-individualisme).
Dengan menegaskan tentang elemen pembentuk Pancasila, kita bisa
melihat bahwa dalam beberapa titik, agama sipil di Indonesia memiliki
kesamaan dengan ide Bellah. Ia berfungsi sebagai alat integrasi dari pluralitas
agama budaya, suku dan bahasa serta nilai-nilai lokal yang telah diwariskan
secara turun temurun. Pancasila juga ada dalam posisi sebagai alat legitimasi.
Dalam kapasitasnya sebagai dasar negara, Pancasila menjadi sumber dari segala
sumber hukum. Segala produk perundang-undangan yang dibuat, tidak boleh
bertentangan dengan payungnya, Pancasila. Di sisi lain Pancasila juga memiliki
dimensi profetiknya. Pancasila diyakini tidak hanya berdimensi kemanusiaan,
tetapi di dalamnya mengandung semangat transendensi yang luhur. Ada nilai
Ketuhanan yang menjadi fondasi etika bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai agama sipil agak sedikit berbeda dengan gagasan agama
sipil Bellah di Amerika. Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya,62
konteks ide Bellah berkaitan dengan konteks kesejarahan Amerika yang menjadi
tempat dimana kolektifitasnya bersumber dari agama, lebih spesifik lagi
Kekristenan. Agama sipil tumbuh dari agama sebagai sumber moralitasnya.
61 Thobias A. Messakh. Konsep Keadilan dalam Pancasila, (Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana Program Studi Pascasarjana Sosiologi Agama, 2007), 220-221. 62 Lihat kembali Bab II.
Tidak ada pasokan lain untuk moralitas selain agama. Relatif homogen, karena
meskipun banyak varian, tetapi tetap dalam satu Kekristenan. Kebebasan
beragama menjadi impian para imigran yang datang ke Amerika. Mereka
membutuhkan satu dasar bersama. Meski kemudian dirumuskan satu agama
sipil, tetapi fondasinya adalah agama, lebih khusus lagi Kekristenan.
Ide tentang Tuhan seperti yang diucapkan oleh Kennedy pada dasarnya
memang bukan suatu yang eksklusif. Tuhan disana tidak merujuk pada
denominasi tertentu. Namun, betapapun inklusifnya diskursus tentang “Tuhan”
seperti yang diungkapkan oleh Bellah, jelas ia masih merujuk pada pola teistik.
Situasi ini berbeda dengan Pancasila sebagai agama sipil Indonesia. Shank
misalnya dengan baik menunjukan bahwa agama sipil itu merupakan ikatan
solidaritas yang melampaui pembedaan antara orang beriman dan tidak
beriman, teis dan ateis. Di sini, pengertian Shank tentang agama sipil lebih dekat
dengan Pancasila. Ini relevan dengan Mc.Guire yang menyebut agama sipil
sebagai non-official religion atau Kurtz menyebut agama sipil ini sebagai quasi-
religion.
Penjelasan mengenai Pancasila sebagai agama sipil (sebagai hasil kontrak
sosial) juga berada dalam kerangka kontrak sosial yang berbeda dengan
pengertian Rousseau. Dalam garis kesejarahan, posisi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) bukanlah sesuatu yang bersifat hipotesis, melainkan historis.
Kontrak sosial yang dibuat dengan Pancasila sebagai dasarnya, adalah kontrak
dari mereka yang mengalami penindasan dan perjuangan menuju
kemerdekaan.63
Indonesia berbeda dengan konsepsi kontrak sosial seperti ujarannya
Rousseau. Kontrak sosial Rousseau didasari oleh munculnya kesenjangan antara
mereka yang kaya dan miskin yang merupakan mayoritas. Kondisi ini membuat
hidup menjadi tidak nyaman. Yang kaya terus menerus melindungi hartanya dan
63 Thobias A. Messakh. Konsep Keadilan dalam Pancasila . . . 174.
yang miskin berusaha merongrongnya. Dalam situasi ini tak ada kebebasan dan
kesamaan.64 Kontrak sosial muncul dalam situasi seperti ini. Kondisi ini berbeda
dengan Indonesia dimana kontrak terjadi antara mereka yang bersama-sama
menginginkan kemerdekaan.
Yang menyamakannya adalah tujuan akhir. Baik Rousseau maupun kontrak
sosial bangsa Indonesia sama-sama menghendaki kebebasan, kesederajatan,
saling peduli dan persatuan. Kesamaan yang lain adalah keduanya bersepakat
tentang kehendak bersama (general will) yang mendorong masyarakatnya
menciptakan kebaikan bersama (common good).65
Pancasila dalam Analisis Budaya
Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno, Georg Mc T. Kahin dan
Bernard Dahm mengemukakan hal yang sama. Menurut mereka, Soekarno
adalah seorang penganut sintesa. Kahin mengatakan bahwa tidak ada penjelasan
prinsip lain dimana disana ditemukan penjelasan yang memadai tentang
gagasan demokrasi barat, Islam modernis, Marxis dan ide demokratis dan
komunalistik desa asli, yang merupakan dasar umum pemikiran sosial dari
bagian yang besar dari elit politik Indonesia setelah perang.66 Sementara Dahm
menilai kalau pidato tersebut merupakan ikhtisar klasik dari gagasan-gagasan
politik yang telah dikembangkannya hingga tahun 1945. Harry J. Benda
mentikberatkan analisis kalau pidato Soekarno itu lebih sebagai usaha untuk
merangkul kekuatan Islam Politik yang mulai menguat pada hingga tahun 1944-
1945.67 Soekarno memberikan perhatiannya kepada kekuatan Islam agar
mereka tidak menuntut negara Islam untuk Indonesia. Usaha Soekarno untuk
64 Ibid. 65 Ibid., 176. 66 George Mc Turnar Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), 155. 67 Hary J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945 (The Hague: Institute of Pacific Relations, 1958).
merangkul kekuatan Islam dengan maksud menjelaskan tentang “semua buat
semua”, sudah ia lakukan sebelum sidang BPUPKI.
Terhadap apa yang disampaikan oleh Soekarno ini penulis akan membaca
dengan analisis budaya. Dahm, ketika menganalisis lima sila dari Soekarno ini, ia
mengaitkannya dengan konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Tidak dapat
disangkal bahwasanya lima prinsip yang termuat dalam Pancasila itu sudah
hidup dan menjadi tulang punggung dalam pergerakan nasional Indonesia. Ide
tentang nasionalisme ada dalam beberapa partai politik dan juga Budi Utomo,
perhimpunan-perhimpunan di daerah; internasionalisme yang
berperikemanusiaan bisa ditemukan dalam Islam dan komunis; gagasan
demokrasi dalam pengertian mufakat, yang mewakili semua golongan, terutama
minoritas, harapan akan keadilan sosial ada dalam benak kaum Marxis serta
kepercayaan akan Tuhan ada dalam golongan-golongan agama dan mereka yang
“memerlukan” Tuhan.68
Meski ada sekian gagasan, menurut Dahm hanya ada satu saluran saja yang
dilalui oleh berbagai aliran itu. Dahm mengatakan
Tetapi hanya ada satu saluran saja yang dilalui oleh berbagai aliran itu, di mana aliran-aliran itu diuraikan seperti oleh sebuah prisma dan kemudian digabungkan kembali secara harmonis untuk membentuk satu pola baru dan saluran itu adalah Soekarno sendiri.69
Konsepsi ini yang sesungguhnya mengakar dalam konsep kekuasaan
masyarakat Jawa. Benedict Anderson menggambarkan setidaknya empat
karakter yang mendasari konsep kekuasaan itu, yaitu kekuasaan yang bersifat
konkret, homogen, konstan dalam kuantitas yang total, serta tak perlu
68 Bernard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta: LP3ES, 1987), 418. 69 Ibid.
pengabsahan.70 Kekuasaan itu konkret dalam pengertian bahwa bagi orang Jawa
kekuasaan itu bukan sesuatu yang bersifat teoritis, tetapi realitas yang benar-
benar ada. Kekuasaan adalah daya yang tidak bisa diraba bersifat ilahi, ada
dalam setiap aspek dunia alami, batu, kayu, awan dan api. Kekuasaan juga
bersifat homogen, sama jenisnya sama sumbernya. Kekuasaan di tangan satu
individu atau satu kelompok adalah identik dengan kekuasaan yang ada di
tangan individu atau kelompok lain. Dalam pandangan orang Jawa alam semesta
tidak bertambah luas dan tidak juga bertambah sempit. Karena kekuassaan yang
terdapat di dalamnya selalu tetap. Dan yang terakhir, dalam pandangan Jawa,
karena kekuasaan berasal dari sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan
itu sendiri lebih dahulu ada daripada hadirnya konsekuensi perbuatan; baik dan
buruk.71
Konsepsi ini yang membedakannya dengan ide kekuasaan Barat. Dalam
Habits of the Heart, Bellah menunjukan konstruksi kekuasaan yang multijalur itu
dalam masyarakat Amerika. Menurut Bellah
Cultures are dramatic conversations about thing that matter to their participants, and American culture is no exception. From its early days, some Americans have seen the purpose and goal of the nation as the effort to realize the ancient biblical hope of a just and compassionate society. Others have struggled to shape the spirit of their lives and the laws of the nation in accord with the ideals of republican citizenship and participation. Yet others have promoted dreams of manifest destiny and national glory. And always there have been the proponents, often passionate, of the notion that liberty means the spirit of enterprise and the right to amass wealth and power for one-self.72
70 Bennedict Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Cornell University Press, 1990), 22-23. Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern (Jakarta: Gramedia, 1986). 71 Bennedict Anderson, Language and Power . . . Fachri Ali, Refleksi Paham Kekuasaan Jawa. . . 24-25 72 Robert N. Bellah, Habits of the Heart: Individualism and Commitment in American Life (Harper and Rows Publishers, 1986), 28.
Bellah melanjutkan bahwa tema-tema tentang kesuksesan, kebebasan dan
keadilan semuanya ditemukan dalam tiga sokoguru budaya bangsa Amerika,
Biblikal, Republikan dan Individualis modern yang satu dengan lainnya saling
bertukar makna dan melakukan percakapan sekarang.73 Model kekuasaan
seperti ini kontras dengan pemikiran orang Jawa.
Pernyataan Anderson tentang konsepsi kekuasaan dalam masyarakat Jawa
yang homogen itu, kata R. William Liddle, hanya memfokuskan pikiran kita pada
sebuah kepercayaan yang berkaitan dengan konsepsi kebatinan Jawa yang
menyisakan pertanyaan tentang kegunaannya pada masa sekarang.74 Ide
kekuasaan seperti itu berusaha untuk menjelaskan bahwa hanya ada satu jalur
dari sekian banyak jalur di dalam struktur budaya politik Indonesia.75
Dengan menggunakan pendekatan analisa budaya, Eka Darmaputera
menunjukan bahwa Pancasila tidak bisa dipahami kecuali dalam kerangka
keIndonesiaan, tidak dalam perspektif barat misalnya. Menurut Darmaputera,
Pancasila merupakan rumusan teoritis dan abstrak dari satu warisan budaya
yang dalam.76 Kebudayaan Indonesia yang berjasa melahirkan Pancasila itu, jika
kemudian dicarikan sentrumnya, maka kita akan bertemu dengan Jawa. Kata
Niels Mulder, Jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia dan kampung
halaman kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated di antara
penduduk Indonesia yang amat beraneka.77
Dalam masyarakat Jawa, etika kekuasaan disarikan dari prinsip hidup
mereka yang sangat menekankan pada tiga konsep dasar; keserasian, cocok dan
rasa. Keserasian menekankan agar konflik bisa dihindari dengan menekankan
keseimbangan yang bersifat status-quo. Sementara “cocok” menekankan
73 Ibid, 28. 74 R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), 4. 75 Ibid., 5. 76 Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: BPK, 1988), 129. 77 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984), 1.
pemeliharaan akan ketertiban78 yang kemudian membagi tindakan manusia
menjadi pantes dan ora pantes. Sementara konsep rasa menekankan pada aspek
terdalam kehidupan manusia.79 Tiga konsepsi dasar itu yang menjadi faktor
integratif masyarakat Jawa yang sesungguhnya plural jika dilihat dari kategori
struktur sosialnya Clifford Geertz.
Geertz membagi masyarakat Jawa ke dalam tiga tipe; abangan, santri dan
priyayi.80 Abangan merupakan kelompok sinkretik yang menjaga secara
seimbang unsur animisme, Hindu dan Islam dengan menjadikan desa sebagai
inti struktur sosialnya. Sementara santri adalah kelompok yang berusaha
mengurangi unsur animisme itu dan kebanyakan dari mereka adalah pedagang
juga petani yang lebih kaya. Elemen yang ketiga adalah priyayi yang akar-
akarnya terletak pada kraton Hindu Jawa dan masih mengembangkan etiket
kraton itu.81 Geertz tidak menafikan bahwa kerap terjadi konflik dalam tiga
lapisan masyarakat ini. Ketegangan yang cukup kuat terjadi antara kaum santri
dan dua kelompok lainnya.82 Kebencian juga dikobarkan oleh petani terhadap
kaum aristokrasi yang eksploitatif serta kelompok pedagang santri. Berbeda
halnya dengan model konflik santri dan dua kelompok lain yang relatif terbuka,
pertentangan ideologi antara abangan dan priyayi cenderung lebih tertutup.
Para priyayi biasanya lebih menjaga jarak dari kelompok abangan meski mereka
menganggap praktek mistik abangan itu “hanya takhayul” dan menilai mereka
terlalu cepat mudah percaya. Sebaliknya, abangan menganggap bahwa teori
mistik kalangan priyayi itu sesuatu yang di luar pemahaman abangan. Respek
78 Tentang harmoni sosial di kampong Jawa bisa disimak dalam Patrick Guinnes, Harmony and Hierarchy in a Javanese Kampung (Oxford University Press, 1986). 79 Eka Darmaputera, Pancasila . . . 92 80 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya), 1981. 81 Ibid., 6-8. 82 Ibid., 477.
ditunjukan oleh abangan terhadap kepercayaan kelompok priyayi, tapi tidak
dengan gaya hidupnya.
Yang terlihat jelas dalam hubungan abangan-priyayi adalah konflik kelas.
Priyayi menuduh orang desa tak tahu tempatnya dan berpotensi mengganggu
keseimbangan organis masyarakat. Dalam situasi ini, pandangan abangan soal
kelas hampir sama dengan santri. Mereka menentang priyayi atas hak
istimewanya. Abangan melihat priyayi tidak pada jarak yang jauh dengan
kekuasaan yang tinggi. Begitu juga sebaliknya. Priyayi tidak melihat abangan
sebagai masa terdiferensiasi yang animistis dan dapat diatur oleh wakil-wakil
mereka.
Terlepas dari perbedaan di level struktur sosial, ada hal yang
memersatukan elemen-elemen sosial dalam masyarakat Jawa ini. Menurut
Geertz itu ada dalam rasa satu kebudayaan.83 Kata Geertz hal itu dilihat dari dua
kacamata.84 Pertama, perasaan bahwa masa sekarang mengalami kemerosotan
jika dilihat dari masa lalu, khususnya jika dilihat dari ukuran tradisional, praktek
yang dipakai oleh orang tua mereka dahulu. Kedua, rasa kebangsaan yang
sedang tumbuh dan memainkan sentimen harga diri bangsa dan menjadi
penghadang bagi disintegrasi sosial. Alasan inilah yang pada gilirannya menjadi
faktor integratif.
Geertz mengatakan
Semua orang Jawa, santri, priyayi, abangan, menganggap bahwa beberapa kebenaran umum tertentu sudah terbukti dengan sendirinya seperti halnya di balik pembagian atas Katolik, Protestan dan Yahudi, orang Amerika semuanya berpegang pada nilai-nilai tertentu yang mencakup semua yang dalam banyak hal misalnya, membuat seorang Katolik Amerika pandangan dunianya lebih mirip dengan seorang Protestan Amerika, daripada dengan, katakanlah seorang Katolik Spanyol. Perhatian yang tinggi terhadap formalitas status;
83 Ibid., 488. 84 Ibid.
penitikberatan pada kesopanan yang kaku dan penyembunyian perasaan serta penghindaran diri dari rangsangan luar yang kuat; pementingan batin; pandangan mengenai agama sebagai “ilmu” fenomenologis dan puasa sebagai “ilmu terapan”, idea bahwa kekuatan dan ketetapan kemauan merupakan salah satu unsur yang paling penting untuk hidup secara efektif; keyakinan bahwa orang (khususnya kalau mereka itu bertetangga) harus rukun, yaitu bekerjasama dan tolong menolong (hampir tak seorang pun yang sama sekali menghindarkan diri dari mengadakan selametan), bahwa kepercayaan agama orang lain hendaknya dipandang secara relativis, sebagai sesuatu yang cocok untuk mereka jika tidak untuk semua orang kesemuanya ini merupakan kepercayaan dan nilai-nilai yang tampak di seluruh masyarakat Jawa, bahkan juga di kalangan santri, yang perbedaannya dari yang lain paling menonjol.
Kecenderungan santri yang kuat condong pada rasa kebudayaan Jawa
sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Keunikan Islam Jawa, kata Mark
Woodward, tidak hanya pada aspek kebudayaan pra Islam yang mereka
pertahankan, melainkan karena konsep-konsep Sufi mengenai kewalian, jalan
mistik, dan kesempurnaan manusia diterapkan dalam formulasi kultus kraton
(imperial cult).85 Geertz menambahkan hal yang membuat Islam Jawa terasa lain
adalah karena ada banyak ideologi santri yang dibungkus dengan istilah Jawa:
titik berat pada fenomenologi perasaan, pada slamet sebagai tujuan, relativisme
yang didasarkan atas bermacam-macam perasaan untuk bermacam-macam
orang, konsep-konsep seperti “alus” dan “hati” (ati) dan sebagainya.86 “Islam
“hampir-hampir” menjadi “ilmu Kejawen” yang lain” tambah Geertz.87
Dalam studinya Geertz, ada dua momentum yang membuat kolektifitas
masyarakat Jawa terjaga, yakni peringatan hari raya kemerdekaan dan Riyaya,
lebaran atau hari raya setelah puasa. Hari raya kemerdekaan 17 Agustus
85 Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan (Yogyakarta: LKiS, 2004), 364. 86 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi . . . 494. 87 Ibid.
diperingati dengan menggunakan lambang yang sebagian besar bukanlah Islam
atau abangan, dan bukan pula mistik, tetapi lambang nasionalisme modern,
lambang inteligensia.88
Namun, pada prakteknya peringatan hari kemerdekaan itu, tidak
mendapatkan dukungan secara massif dan menjadi faktor integratif yang kuat.
Salah satu pasalnya adalah karena setiap peristiwa yang menggabungkan
kelompok yang antagonistik, tidak hanya menekankan kemauan mereka untuk
bekerjasama tetapi juga perbedaannya. Inilah yang terjadi pada perayaan hari
kemerdekaan seperti yang diamati Geertz. Hal yang sama juga sesungguhnya
terjadi pada perayaan Riyaya.
Riyaya, merupakan peringatan hari raya umat Islam setelah menjalankan
puasa. Meski umat Islam yang menjalankan puasa, tetapi saat riyaya baik
golongan abangan maupun priyayi ikut serta memeringatinya. Model toleransi
seperti inilah yang menjadi kekhasan masyarakat Jawa, karakter yang
fundamental, meski mereka berasal dari berbagai latar belakang ideologi. Inti
dari riyaya adalah permintaan maaf yang biasanya dibedakan atas dasar
statusnya. Anak meminta maaf pada orang tua, buruh pada majikan, bekas
murid pondok pada kiainya, murid mistik pada gurunya dan seterusnya. Tapi,
seperti halnya hari raya kemerdekaan, usaha untuk menyatukan kelompok-
kelompok yang antagonistik itu juga tak lepas dari konflik. Misalnya dalam kasus
penanggalan atau cara menghitung hari. Santri modernis dan santri tradisionalis
sering berbeda pandangan tentang hal ini. Santri modernis menggunakan model
perhitungan (hisab) sementara santri tradisional lebih percaya dengan model
penglihatan langsung (rukyah). Di luar itu ada kelompok lain yang menggunakan
perhitungan dengan model yang berbeda dari santri modernis ataupun
tradisionalis. Meski ada disharmoni di dalamnya, tetapi Riyaya adalah ritus yang
paling bisa membangun suasana integrasi lebih dalam.
88 Ibid., 504
Pancasila, Nasionalisme dan Tiga Lapis Budaya
Salah satu momentum integrasi yang disinggung oleh Geertz adalah rasa
nasionalisme yang muncul dalam masyarakat Jawa melalui perayaan hari
kemerdekaan. Dalam kerangka yang lebih luas, kemerdekaan Indonesia ada
dalam rentang masa dimana gairah nasionalisme merupakan gejala yang
tumbuh subur terutama di negara-negara bekas jajahan. Pada bagian ini akan
dijabarkan mengenai formasi nasionalisme yang dihubungkan dengan integrasi
sosial. Setelah membahas dua tema tersebut, penulis kemudian menjabarkan
tentang teori lapisan budaya yang ditulis Soekarno untuk menjangkarkan
Pancasila, khususnya sila pertama. Jika nasionalisme lebih merupakan faktor
eksternal yang membuat Pancasila itu memiliki fungsi integrasi, teori lapisan
budaya yang disampaikan oleh Soekarno menjadi faktor internalnya.
Diskursus nasionalisme atau kebangsaan yang berkembang pada era
menjelang kemerdekaan, memang tidak dapat dilepaskan dari peran kelompok
elit, yang terutama, mendapatkan pendidikan kesarjanaan di Barat.89 Mereka
inilah yang pada perkembangannya menggelorakan semangat kebangsaan.
Pembahasan dalam bab ini akan dimulai dengan memantapkan pengertian
mengenai nasionalisme, dengan tujuan agar ekspresi dari semangat kebangsaan
seperti yang ditata pada masa awal pergerakan kebangsaan, tidak kehilangan
fondasi teoritiknya. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan menelaah
maksud dari nasionalisme itu sesuai dengan apa yang dikobarkan oleh aktivis
pergerakan kebangsaan pada masa tersebut.
Secara teoritik, nasionalisme sebagai konsep politik dimaksudkan untuk
merujuk pada satu prinsip dimana unit politik dan kebangsaan haruslah
89 Akira Nagazumi, The Dawn of Indonesian Nationalism: The Early Years of the Budi Utomo, 1908-1918, terj. “Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918” (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), 26-39.
sebangun.90 Inilah pengertian nasionalisme yang paling baik, jika ditempatkan
dalam konteks gerakan. Meski demikian, jika kita bandingkan dengan konsep
negara, maka pengertian kebangsaan atau nasionalisme sebenarnya tidak terlalu
mementingkan dimensi politiknya.91 Dalam definisi etimologinya, nation yang
berasal dari kata nasci berarti kelompok etnis-suku yaitu orang-orang yang lahir
pada tempat dan teritori yang sama.92 Menurut Max Webber, tak hanya dimensi
politik yang tidak terlalu penting dalam konteks itu, tetapi juga dimensi ekonomi
kurang begitu mendapatkan tempat.93 Bagi Weber apa yang disebut bangsa lebih
sebagai sentimen prestise yang seringkali mengakar ke bawah hingga
menyentuh masa borjuis kecil suatu struktur politik yang mencapai sukses besar
dalam pencapaian historis berbagai posisi politik.94 Disini bangsa terkait dengan
budaya spesifik yang hanya bisa dijalankan oleh mereka yang memiliki
hubungannya dengan budaya tersebut. Dengan begitu, prestise telanjang
kekuasaan tidak bisa langsung ditransformasikan ke dalam bentuk-bentuk
khusus prestise yang lain terutama pada konsep tentang bangsa.95
Weber menambahkan bahwa manifestasi dari ide itu, dalam
perkembangan awalnya dan yang paling bersemangat mengkampanyekan
diskursus tersebut, mengaitkannya dengan legenda sebuah misi ”yang sudah
ditakdirkan”.96 Elemen lain dari ide itu juga berkait dengan pemahaman bahwa
misi itu hanya difasilitasi melalui pemeliharaan keunikan kelompok yang
dibentuk menjadi sebuah bangsa.
90 Ernest Gellner, Nation and Nationalism (Cornell University Press, 1983), 1. 91 T.K. Oommen, Citizenship, Nationality and Ethnicity: Reconciling Competing Identities, terj. Munabari Fahlesa, “Kewarganegaraan, Kebangsaan dan Etnisitas” (Bantul: Kreasi Wacana, 2009), 44. 92 Ibid. 93 Max Weber, From Max Weber: Essays in Sociology, Gerth and Mills (eds) (New York: Oxford University Press, 1975), 171.
94 Ibid, 171-172. 95 Ibid, 172, 176. 96 Ibid., 176.
Kebangkitan bangsa sebagai bagian dari warga negara atau sebagai entitas
politik merupakan produk Revolusi Prancis. Nasionalisme menjadi loyalitas dan
kepatuhan yang populer pada abad modern yang diikat dengan kekuasaan
politik baik yang diinstitusionalisasikan atau yang dibangun untuk melawan
negara tersebut. Anthony Marx menyebut nasionalisme ini sebagai the collective
soul envisioned as inhabiting and enlivening the political body, linking individuals
en masse to the center.97 Marx kemudian menelusuri apa yang ia sebut sebagai
exclusionary dalam teori nasionalisme. Mengutip Lewis Namier, ide tentang
agama pada abad 16 merupakan kata bagi nasionalisme atau agama menjadi
semen bagi nasionalisme.98 Ikatan sosial dari agama dapat membangun kohesi
nasional. Namun, agama tidak dapat didamaikan dengan ide nasionalisme awal,
karena identitas iman tidak bisa didamaikan dengan batas-batas negara sekuler.
Sebelum reformasi, Katolik relatif universal, menggambarkan ikatan-ikatan yang
melintasi batas-batas dan jauh dari penguasa negara menuju Roma.99 Ini yang
dimaksud oleh Marx sebagai ide eksklusi itu.
Sementara, Benedict Anderson dengan spirit antropologi, melihat bangsa
sebagai komunitas politik yang dibayangkan dan dibayangkan secara inheren
terbatas dan kedaulatan.100 Dikatakan dibayangkan karena anggota terkecil dari
suatu komunitas sekalipun tidak pernah tahu anggotanya, berjumpa dengannya,
mendengar darinya apa yang ada dalam pikiran mereka, bayangan tentang
kehidupan mereka.101
Castell menganggap bahwa keterputusan antara beberapa teori sosial dan
kenyataan masa kini datang dari sebuah fakta bahwa nasionalisme dan bangsa,
97 Anthony W. Marx, Faith in Nation: Exclusionary Origins of Nationalism (Oxford University Press, 2003), 6. 98 Ibid, 24. 99 Ibid., 25. 100 Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (New York: Verso, 1991), 5-6. 101 Ibid, 6.
memiliki kehidupannya sendiri, independen dari negara bagian, meski
dilekatkan dalam konstruksi budaya dan proyek politik.102 Etnisitas, agama,
bahasa, teritori, per se, tidak cukup untuk membangun bangsa dan
mempengaruhi nasionalisme.103 Pengalaman bersama Jepang dan Amerika
Serikat menunjukkan bahwa mereka adalah negara dengan identitas
kebangsaan yang kuat dan kebanyakan dari mereka merasakan serta
mengekspresikan perasaan patriotik yang kuat. 104
Jepang merupakan salah satu bangsa yang secara etnis, paling homogen
dan Amerika merupakan bangsa yang heterogen. Tapi dalam kasus keduanya,
mereka memiliki sejarah dan proyek bersama kala membangun narasi sejarah
diatas sebuah pengalaman, yang secara sosial, etnis, teritori dan gender
terdiversifikasi, tetapi menjadi rakyat di masing-masing negara.
Ada empat poin analisis utama yang harus ditekankan ketika
mendiskusikan nasionalisme kontemporer dengan menggunakan teori sosial
tentang nasionalisme.105 Pertama, nasionalisme kini diarahkan pada konstruksi
negara-bangsa (nation-state) yang berdaulat. Sehingga, secara historis bangsa
adalah entitas yang independen dari negara. Kedua, konsepsi bangsa dan
negara-bangsa tidak dibatasi oleh negara-bangsa modern sebagaimana yang
dikonstitusikan di Eropa yang pada dua ratus tahun kemudian diikuti oleh
Revolusi Perancis. Pengalaman politik saat ini menolak ide bahwa nasionalisme
secara eksklusif dikaitkan dengan masa pembentukan negara-bangsa modern,
yang mencapai klimaksnya pada abad 19, direplikasi pada proses dekolonisasi
pertengahan abad 20 melalui impor yang dilakukan oleh negara-bangsa barat ke
dunia ketiga. Ketiga, nasionalisme itu bukan hanya fenomena kaum elite,
melainkan juga reaksi terhadap elite global. Ini tercermin dalam semua gerakan
102 Manuel Castells, The Power of Identity, (Blackwell Publishing Ltd, 2010), 31. 103 Ibid., 32. 104 Ibid. 105 Ibid., 32-33.
sosial, dimana kepemimpinan cenderung untuk lebih terdidik dan terpelajar
daripada pengarahan masa untuk kepentingan kelompok nasionalis. Keempat,
karena nasionalisme kontemporer lebih reaktif daripada pro-aktif, maka
nasionalisme cenderung bersifat kultural daripada politis. Sehingga,
orientasinya lebih pada mempertahankan kultur yang sudah ada dan
terlembagakan daripada membentuk atau mempertahankan sebuah negara.
Dengan demikian, nasionalisme dibentuk oleh aksi dan reaksi sosial
melalui elit dan masa, yang oleh Hobsbawn digunakan sebagai counter terhadap
penekanan Gellner terhadap high culture, dan kemudian disebut sebagai asal-
usul eksklusif dari nasionalisme.106 Kritik terhadap Gellner oleh Hobsbawm
ditunjukkan karena nasionalisme tidak hanya fenomena atas seperti yang
diekspresikan oleh pemerintah, para juru bicara, dan aktivis gerakan nasionalis.
Ekspresi itu juga bisa dilihat dari kebanyakan orang yang menjadi objek dari
aksi dan propaganda mereka. Namun, para sejarawan sosial telah mempelajari
bagaimana mencari sejarah ide, opini dan perasaan pada tingkat sub-literari.
106 E.J. Hobsbawm, Nations and Nationalism Since 1780: Programme, Myth, Reality, Second Edition (Cambridge Uiversity Press, 1992), 10-11. Hobsbawm memiliki empat pandangan terhadap nasionalisme. Pertama, mengikuti Gellner, Hobsbawm mengartikan nasionalisme sebagai suatu prinsip yang beranggapan bahwa unit politik dan nasional hendak selaras. Kedua, bangsa bukanlah suatu kesatuan sosial yang primer dan tidak mengalami perubahan. Bangsa secara eksklusif miliki suatu masa tertentu yang secara historis masih baru. Bangsa hanya merupakan suatu kesatuan sosial belaka sejauh ini berkaitan dengan negara teritorial modern tertentu, negara-bangsa, dan tak ada gunanya mendiskusikan bangsa dan nasionalitas kecuali sejarah keduanya berkaitan dengan negara-bangsa. Bagi Hobsbawm, nasionalisme hadir sebelum bangsa. Bangsa tidak menciptakan negara dan nasionalisme justru sebaliknya. Ketiga, masalah kebangsaan, sebagaimana kaum Marxis lama menyebutnya, merupakan pertemuan antara politik, teknologi dan transformasi sosial. Bangsa eksis tidak hanya sebagai fungsi dari negara teritorial tertentu atau aspirasi untuk memapankan suatu negara teritorial tetapi juga dalam konteks tahapan tertentu dari teknologi dan perkembangan ekonomi. Keempat, bangsa-bangsa adalah fenomena ganda, yang secara esensial dibangun dari atas, tetapi juga tidak dapat dipahami bila tidak dianalisa dari bawah yakni dalam istilah-istilah mengenai asumsi-asumsi, harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, serta kepentingan rakyat, yang tidak perlu nasional dan lebih kurang nasionalis. Kelima, perkembangan bangsa-bangsa dan nasionalisme di negara-negara yang telah lama mapan seperti Inggris dan Perancis, bagi Hobsbawm tidak terlalu menarik untuk dibahas.
Dengan begitu, maka ada tiga hal yang sudah cukup jelas bagi
Hobsbawm.107 Pertama, ideologi-ideologi resmi negara dan gerakan-gerakan
tidak mengarah pada apa yang ada dalam pikiran sebagian besar warga yang
setia atau pun para pendukungnya. Kedua, kita tidak dapat mengasumsikan
bahwa bagi sebagian besar orang, identifikasi nasional tidak meliputi atau
senantiasa atau pernah superior dan terhadap sisa perangkat identifikasi yang
membentuk makhluk sosial. Kenyataannya, ini selalu terkait dengan identifikasi
jenis lain, bahkan ketika dirasa menjadi superior dari yang lainnya. Ketiga,
identifikasi nasional dan apa yang diyakini termasuk dapat berubah dan
berganti sewaktu-waktu bahkan pada masa yang singkat.
Tetapi Castells mengkritik pandangan Hobsbawn dan Bennedict Anderson,
dan mengatakan bahwa nasionalisme merupakan sumber identitas yang tidak
dapat direduksi menjadi periode sejarah partikular dan negara-bangsa
modern.108 Mereduksi nasionalisme ke dalam proses konstruksi negara-bangsa
tidak memungkinkan untuk menjelaskan perkembangan yang simultan dari
nasionalisme postmodern dan kemunduran negara modern.
Rubert de Ventos, seperti dikutip Castells, mengusulkan teori yang lebih
kompleks untuk memahami kemunculan identitas nasional melalui interaksi
historis dari empat faktor.109 Pertama faktor utama yang didalamnya adalah
berbicara tentang etnisitas, teritori, bahasa, agama. Kedua, faktor generatif yakni
perkembangan komunikasi dan teknologi, formasi kota, kemunculan angkatan
perang modern dan kerajaan yang tersentralisasi. Ketiga, induced factors, antara
lain kodifikasi bahasa ke dalam tata bahasa yang baku, pertumbuhan birokrasi
dan sistem pendidikan yang mapan. Keempat faktor reaktif, yakni pertahanan
identitas sebagai yang tertekan dan ditundukan oleh kelompok sosial dan
107 Ibid., 11. 108 Manuel Castells, The Power of Identity . . . 34. 109 Ibid.
apparatus institusional dominan, memicu pencarian terhadap identitas
alternatif dalam memori kolektif masyarakat.
Dalam relasi antara bangsa dan negara, Castell mengeksplorasi dua kasus
berbeda yakni kasus Uni Soviet dan Catalunya, Spanyol. Menurut Castell, kasus
yang dihadapi Uni Soviet itu menunjukan bangsa yang melawan negara (nations
against state). Sementara kasus kedua, dihadapi oleh Catalunya yang
diidentifikasi sebagai bangsa tanpa negara (nations without state).110
Mengutip Enric Prat de la Riba, Castell menganjurkan agar perlu
membedakan antara negara dengan bangsa. Negara adalah organisasi politik
yang secara eksternal merupakan kekuatan independen, dan secara internal
adalah kekuasaan tertinggi, dengan kekuatan utama ada di rakyat dan uang
untuk menjagai independensi dan otoritasnya.111 Pengalaman Catalunya
mengajak kita untuk merefleksikan kondisi dimana sebuah bangsa eksis dan
merekonstruksi dirinya, bukan sebagai sebuah negara-bangsa, dan tanpa
bermaksud mendirikan salah satu diantaranya. Pimpinan tertinggi Catalunya,
Jordi Pujol menuturkan kalau Catalunya merupakan bangsa tanpa negara.112
Kasus Catalunya itu cukup rumit, karena mereka memiliki bahasa dan
budayanya sendiri. Tetapi negara mereka adalah Spanyol.
Berdasarkan penggambaran kasus di Uni Soviet serta Catalunya, Castells
menuturkan kalau ia menggarisbawahi bangsa sebagai cultural communes
constructed in people’s minds and collective memory by the sharing of history and
political projects.113 Dua kasus kembali mengambarkan karakteristik dari
periode sejarah saat ini. Pertama, disintegrasi negara dengan banyak bangsa
yang mencoba untuk tetap berdaulat secara penuh atau menolak pluralitas
konstituen bangsanya. Kasus ini menimpa Uni Soviet awal, Yugoslavia, Ethiopia,
110 Ibid., 35-54. 111 Ibid., 45. 112 Ibid., 46. 113 Ibid., 54.
Cekoslovakia, dan mungkin pada masa akan datang akan melanda Sri Lanka,
India, Indonesia, Nigeria dan negara lainnya. Disintegrasi ini menghasilkan apa
yang disebut sebagai quasi-nation-states.114 Kedua, kita mengamati
perkembangan negara yang hanya menjadi negara bagian, tetapi memaksa
pemerintahan pusat untuk menyesuaikan dan mengakui kedaulatan seperti
dalam kasus Catalunya, Negara Basque, Flanders, Wallonie, Scotland, Quebec,
Kashmir, Punjab dan Timor Timur.115
Setelah membahas tentang kebangkitan bangsa-bangsa yang
terintegrasikan oleh paham nasionalisme, Soekarno memberikan kerangka
historis dan sosiologis Pancasila dari lapisan budaya bangsa Indonesia. Pidato
tentang hal tersebut kemudian diterbitkan pada peringatan Lahirnya Pancasila 1
Juni 1964.
Seperti yang sering dikatakan Soekarno ia merasa bukan orang yang
menemukan Pancasila. Pancasila itu sendiri lahir dari rahim bangsa Indonesia.
Soekarno hanyalah menggali dan meramu isi atau kandungan itu. Pancasila, oleh
Soekarno diartikan sebagai pemerasan kesatuan jiwa Indonesia, manifestasi
persatuan bangsa dan wilayah Indonesia dan weltanschauung bangsa Indonesia
dalam penghidupan nasional dan internasional.116
Dalam paparannya itu, Soekarno menyatakan bahwa pemaknaan terhadap
Pancasila harus terlebih dahulu diawali dengan memahami: meja statis, Leitstar
(bintang pimpinan) dinamis.117 Bagi Soekarno, jika bangsa Indonesia hendak
mencari satu dasar yang statis yang dapat mengumpulkan semua, serta mencari
Leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan, bangsa Indonesia harus
menggali sedalam-dalamnya dalam jiwa masyarakat itu sendiri. Dasar yang
114 Ibid., 55.
115 Ibid. 116 Soekarno, Tjamkan Pantja Sila!: Pantja Sila Dasar Falsafah Negara, Panitia Nasional
Peringatan Lahirnja Pantja Sila, 1 Djuni 1945-1 Djuni 1964, 3. 117 Ibid., 73.
statis itu harus terdiri dari elemen yang terdapat dalam jiwa bangsa Indonesia.
Tanpa itu, tidak mungkin dijadikan dasar bersama.
Sementara untuk menjadi Leitstar diperlukan tiga syarat.118 Pertama,
pemimpin harus bisa menggambarkan, mengiming-imingi, melukiskan cita-cita
yang dimiliki rakyat. Pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa memancing
rakyat (bahasa Soekarno mengiming-imingi) agar memiliki tekad untuk
mencapai cita-citanya. Kedua, harus bisa memberi kepada rakyat. Ketiga,
menanamkan kemampuan yang sebenar-benarnya, tidak hanya keyakinan atau
rasa mampu.
Soekarno kemudian menyinggung lapisan budaya bangsa Indonesia yang ia
gali sehingga menjadi sumber Pancasila. Lapisan sebelum Hindu, bagi Soekarno
tidak kalah religiusnya dibanding pada masa Hindu. Masyarakat saat itu sudah
memiliki budaya, juga agama. Meski agama yang dianut oleh masyarakat pada
waktu itu berbeda dengan sekarang. Masyarakat pada zaman ini sudah mahir
dalam bercocok tanam dan budaya wayang.
Pada lapisan Hinduisme, Soekarno menemukan sisi politik berupa
kerajaan-kerajaan, seperti Negara Taruma, Negara Kalingga, Negara Mataram
kesatu, Negara Sriwijaya, dan lain-lain. Lapisan atau saf Islam yang dalam bidang
kenegaraan bisa dilihat pada Kerajaan Demak, Pajang, Mataram kedua dan
lainnya. Berikutnya adalah lapisan imperialism ketika bangsa Indonesia
melakukan kontak dengan Eropa. Inilah masa yang oleh Soekarno dinilai sebagai
titik terendah kehidupan perekonomian bangsa Indonesia.
Dari aspek pekerjaan, Soekarno menggambarkan evolusi pekerjaan
bangsa Indonesia. Pertama, bangsa Indonesia hidup di gua dengan pekerjaan
memburu dan mencari ikan. Kedua, beternak. Pekerjaan ini membuat manusia
terikat pada tempat. Ketiga, bercocok tanam. Keempat, kerajinan. Masyarakat
118 Ibid.,75-77.
yang bekerja pada aspek ini membuat gerobak, cangkul, pedang dan lain-
lainnya. Hasilnya ditukarkan dengan hasil pertanian. Kelima, industrialisme.119
Sementara dari sisi keyakinan, Soekarno memetakan tentang keyakinan
manusia kepada apa yang ia yakini sebagai Tuhan. Pertama, Tuhan manusia,
yang dilekatkan pada alam. Misalnya manusia pada masa tertentu menganggap
Tuhan itu Guntur. Atau ada juga manusia yang menyembah gunung, matahari,
bulan dan sebagainya.
Kedua, keyakinan yang timbul karena manusia hidup dari peternakan. Di
saat keseharian mereka bergumul, dengan binatang ternaknya, maka ada
ketergantungan terhadap binantang-binatang itu. Binatang itu yang memberikan
susu, daging, kulit kepada manusia. Ia memiliki Tuhan dalam bentuk binatang
itu.
Ketiga, ekspresi Tuhan dari manusia yang hidup dari pertanian. Sama
halnya dengan masyarakat yang awalnya menggantungkan hidup dari
peternakan dan kemudian mensakralkan hewan-hewan itu, masyarakat di dunia
pertanian juga menggambarkan Tuhan kepada sebagai sesuatu yang menguasai
pertanian. Munculah Dewi Laksmi, Dewi Sri dan lainnya.
Keempat, Tuhan di taraf yang keempat ini ada dalam akal pikiran manusia.
Bagi manusia yang berada dalam fase ini, Tuhan ada dalam alam gaib. Ia tidak
kelihatan. Mata tidak bisa melihatnya. Juga tidak bisa diraba, dilihat. Karena itu,
akalah yang menjadi penentu kehidupan manusia. Kelima adalah fase
industrialisasi. Fase ini yang menyebabkan timbulnya kepercayaan bahwa
Tuhan itu tidak ada.120
Bagi Soekarno, bangsa Indonesia adalah bangsa yang mempercayai adanya
zat yang baik, yakni Tuhan. Bangsa Indonesia merupakan kumpulan masyarakat
yang memiliki kepercayaan. Tingkat masyarakat Indonesia, terutama adalah
119 Ibid., 86. 120 Ibid., 88-91.
masyarakat agraris. Bahwa ada yang hidup di alam industrialisasi, jumlahnya
sedikit, kata Soekarno. Kemudian Soekarno mengatakan bahwa Ketuhanan ia
jadikan sebagai alat pengikat salah satu elemen dari meja statis dan Leitstar
dinamis itu.
Keyakinan terhadap Tuhan itu hidup dalam jiwa bangsa Indonesia. Ia tidak
pernah mati. Bahwa kemudian manusia mengkonseptualisasikannya secara
berbeda, tapi Tuhannya tetap. “Pengiraan manusia yang berubah. Tuhannya
tetap”, kata Soekarno.121 Tuhan, bagi Soekarno adalah reel iets.
Usaha Soekarno untuk menggali akar kultural Pancasila sesungguhnya
harus dipahami bahwa ia membutuhkan legitimasi. Pancasila dengan demikian
memiliki legitimasi yang mengkombinasikan dua faktor, endogen (lapisan
budaya) dan eksogen (nasionalisme).
121 Ibid., 92.