BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAKrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/4/T2_762011001_BAB...
Transcript of BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAKrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/4/T2_762011001_BAB...
59
BAB IV
MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK1
Dalam pengumpulan data kultural, saya berhadapan dengan
dua fakta lapangan, yakni sangat minimnya dokumen-dokumen
kultural karena sebagian besar telah dimusnakan pada masa
konflik internal komunitas Minahasa awal.2 Kedua, di masa
kekristenan masuk di tanah Minahasa, cap kafir terhadap
budaya dan agama Minahasa melegitimasi tindakan
pemusnahan terhadap dokumen-dokumen kultural yang masih
tersimpan pada beberapa Tona’as3. Umumnya, Tona’as-Tona’as
yang kemudian menjadi kristen bertindak memusnakan
dokumen-dokumen kultural sebagai komitmen, bahwa dia
mewakili komunitasnya sudah melepaskan keterikatan dengan
agama Minahasa. Karenanya, pengumpulan data kultural yang
saya kerjakan hanya mengacu pada cerita-cerita dan ucapan-
ucapan tua yang telah menjadi tradisi lisan di tanah Minahasa
kini, simbol-simbol/gambar kultural di waruga-waruga dan
batu-batu pendirian kampung yang masih tersisa, syair dalam
ritual yang dituturkan pemimpin ritual agama Minahasa (kini),
serta data tertulis dari tulisan-tulisan para Zending, penulis
1 Kata taranak sengaja saya gunakan dalam tema ini untuk menegaskan tentang
pemaknaan lokal Minahasa yang dikandung oleh kata tersebut. Kata ini menunjuk
keluarga batih atau kumpulan beberapa keluarga dalam satu rumah dan memiliki
ikatan darah. Bandingkan juga dengan penjelasan Bert Supit, Minahasa Dari
Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Agape
Press, 1986),47. Supit menjelaskan bahwa dalam konteks Minahasa taranak adalah
sebutan untuk kumpulan beberapa awu/keluarga batih. Mereka hidup dalam satu
rumah besar atau dalam bangsal-bangsal yang saling berdekatan pada satu
kompleks luas.
2 Mengenai konflik internal yang berakhir dengan pemusnahan para wali’an dan
dokumen kultural yang mereka miliki akan dibahasa khusus dalam bab V.
3 Tona’as adalah seorang pemimpin ritual. Posisi sebagai imam menjadi
tanggung-jawab Tona’as setelah kalangan wali’an (imam) dibunuh dan melarikan
diri dalam peristiwa mahawetik (pembahasan tentang peristiwa Mahawetik akan
dilakukan pada bagian selanjutnya.
60 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Barat, pejabat pemerintah kolonial Belanda, dan juga peneliti-
peneliti lokal. Itu artinya, saya harus memilah dengan cermat
data kultural dari data interpretasi bahkan reinterpretasi yang
dikemukakan para informan dan juga para penulis tentang
Minahasa. Di sisi lain, data kultural yang telah diinterpretasi dan
direinterpretasi oleh para informan dan penulis tentang
Minahasa adalah juga bagian penting dari upaya rekonstruksi
Tou yang saya lakukan dalam penelitian dan penulisan disertasi
ini. Pemilahan dan akomodasi demikian akan terbaca jelas
dalam paparan data di bagian ini dan bagian-bagian lain di bab-
bab selanjutnya.
1. Asal-usul nama Minahasa
Minahasa awalnya dikenal dengan nama Malesung. Nama
yang dipakai untuk menunjuk kumpulan taranak yang ada di
tanah malesung. Kata malesung juga sering diartikan sebagai
satu keturunan. Terkait dengan arti kata malesung yang
menunjuk pada satu keturunan, ada syair ritual, yakni kita waya
katuuk ya reregesan ke karu ni tuwo tuman tu wutul. Syair
tersebut menunjuk pada manusia di tanah malesung sebagai
satu wadah dari kehidupan yang diberikan.4
Penyebutan malesung juga mengacu pada topografi
tanah Minahasa yang terdeskripsi seperti lesung atau tempat
menumbuk padi karena terdiri dari lembah-lembah dan gunung-
gunung. Pemaknaan simbolis kata malesung antara lain dapat
dilihat pada lesung-lesung berukuran besar —baik yang
terbentuk oleh alam maupun dibuat sengaja—yang masih dapat
ditemukan di tempat awal pendirian kampung. Dalam
pemaknaan selanjutnya, kata malesung secara kultural juga
menunjuk pada tanah bersama yang menjadi tempat hidup
keturunan Lumimuut-Toar.
4 Wawancara dengan Fredy Wowor, 2015.
Minahasa: Negeri Para Taranak 61
Kata Minahasa itu sendiri, digunakan secara formal pada
tanggal 8 Otober 1789 oleh J.D. Schierstein, Residen Manado,5
dalam laporannya kepada gubernur Maluku. Laporan mengenai
keberhasilan Schierstein menyelesaikan konflik antar kumpulan
taranak, yakni antara kumpulan taranak Bantik dan Tateli; juga
antara Pasan-Ratahan-Ponosokan dengan Langowan-Tompaso.
Schierstein juga melaporkan bahwa dia telah berhasil
mengumpulkan semua ukung6 untuk mengadakan musyawarah
atau Minhasa atau Landraad/Vergadering der dorpshoofden,
(Musyawarah para Ukung). Singkatnya, kata Minahasa awalnya
hanya digunakan dalam konteks formal Residen Belanda di
Manado, yakni untuk menunjuk para ukung sebagai kumpulan
elit di tanah Minahasa saat itu yang berkumpul melakukan
musyawarah.
Dalam tataran kultural Minahasa, musyawarah telah
lama dipraktekkan jauh sebelum Schierstein. Istilah yang
hampir mirip dengan yang digunakan Schierstein, yakni Mahasa
merupakan istilah yang digunakan ketika taranak/kumpulan
taranak berkumpul menjadi satu dan bermusyawarah dalam
rangka menyelesaikan persoalan internal taranak dan antar
kumpulan taranak. Realitas sosio-historis kumpulan taranak
5 Supit, Minahasa dari amanat…, 141,142. Data yang sama juga dipaparkan
Bertha Pantouw dalam Bertha Pantow, Beberapa Perubahan Kebudayaan Di
Minahasa Tengah Tahun 1829-1858, disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 1994,
hlm 39.
6 Ukung adalah pemimpin roong atau wanua (wilayah pemukiman) atau walak
yang berarti sama dengan kepala atau pemimpin satu pemukiman yang terdiri dari
keluarga-keluarga yang memiliki hubungan darah. Ukung dan umumnya pemimpin
di Minahasa awal dipilih oleh masyarakat, tetapi juga bisa dihentikan dan dilakukan
pemilihan pemimpin yang baru oleh masyarakat jika si pemimpin dinilai tidak
memimpin sesuai ketentuan yang disepakati. Mengenai bagaimana kepemimpinan
di Minahasa, bandingkan dengan penjelasan Y. Van Parsen mengenai praktek
kepemimpinan yang dilihatnya di Minahasa. Parsen menjelaskan bahwa
kepemimpinan di Minahasa dilakukan secara bersama, karena itu meskipun ada
orang tertentu yang mereka pilih sebagai pemimpin, tetapi jika pemimpin tersebut
tidak mentaati aturan yang telah disepakati, maka rakyat dapat menolak keputusan
tersebut dan memilih pemimpin/ukung yang baru. Y. Van Parsen, Blas Palomino,
O.F.M dan Lorenzo Garralda O.F.M. Dua Miisionaris dan Martir di Minahasa
1622 dan 1644 (Manado: Lotta: 2003) 20.
62 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
yang beragam dan memiliki kekhasannya masing-masing, pun
klaim-klaim wilayah atau batas tanah yang terjadi di antara
mereka menjadi salah satu pencetus penggunaan dan
pemaknaan kata Mahasa7 dalam penyelesaian masalah.
Prinsipnya, setiap kali berhadapan dengan persoalan
penting, seluruh pimpinan taranak melakukan mahasa. Mahasa
yang berulang-ulang dilakukan tidak dimaksudkan oleh para
pemimpin untuk menjadi lembaga resmi yang mewadahi
seluruh taranak dan kumpulan taranak saat itu. kata Mahasa
pun tidak menunjuk pada komunitas atau lokasi tertentu, tetapi
pada cara menyelesaikan masalah dalam taranak dan antar
kumpulan taranak.
Beberapa peneliti tentang Minahasa sepemahaman
bahwa, sejak awal mahasa tidak dimaksudkan sebagai lembaga
resmi semua taranak. Dua alasan utama yang menjadi dasar
pemahaman mereka, yakni mahasa telah dilakukan berulang
setiap kali ada persoalan yang hendak diselesaikan bersama.
Kedua, setelah mahasa dan kesepakatan bersama telah diambil,
pakasa’an-pakasa’an kembali ke komunitas mereka dan
mengurus urusan masing-masing. Dengan kata lain, mereka
tidak hidup dalam gagasan penyatuan semua pakasa’an,
melainkan hidup dan mengembangkan pakasa’an dengan
kepentingannya masing-masing. Sistim Mahasa demikian
merupakan manifestasi dari pemaknaan Tou dalam pakasa’an-
pakasa’an terutama terkait dengan independensi pakasa’an,
7 Bandingkan dengan penjelasan N. Graafland bahwa saat dia berada di tanah
Minahasa, persoalan batas-batas tanah menurutnya sudah diselesaikan oleh para
pemimpin wilayah di tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, di masa Graafland
berada di Minahasa, ia melihat bahwa pemetaan wilayah Kewedanaan (istilah yang
dipakai oleh Graaflad untuk menyebut pakasa’an) telah dilakukan. Meskipun
demikian, kecurangan masih juga terjadi terutama dilakukan oleh kewedanan yang
tidak puas dengan pembagian wilayah yang dilakukan para leluhur. Ketika terjadi
kecurangan, tindakan-tindakan tersebut langsung direspons dengan penolakan dan
pengajuan bukti oleh kewedanan yang wilayahnya hendak dicurangi. Demikian cara
kewedanan menyelesaikan masalah batas tanah. N. Graafland. Minahasa Negeri,
Rakyat, dan Budayanya. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), 156-157.
Minahasa: Negeri Para Taranak 63
penghargaan terhadap indepensi tersebut dan kesetaraan antar
pakasa’an.8 Karenanya, pertemuan ukung-ukung yang dilakukan
oleh Schirstein itulah cikal bakal pembentukan Minahasa
sebagai wadah resmi yang merangkum semua taranak. Alasan
mendasar yang dikemukakan adalah, karena Schirstein dan
kolonial Belanda memang bertujuan untuk menetapkan
persatuan para ukung yang mereka prakarsai sebagai presentasi
penyatuan semua kumpulan taranak. Penyatuan tersebut
memang dimaksudkan agar kolonial Belanda dapat
mengotimalkan kontrol mereka tehadap para ukung. 9
Kekuasaan Belanda semakin meluas di tanah Minahasa,
disertai dengan pengukuhan wilayah-wilayah yang didiami
seluruh taranak sebagai Minahasa. Perkembangan penting
bersamaan dengan nama Minahasa, yakni penataan wilayah
Minahasa oleh pemerintah Belanda. Belanda kemudian
memasukan Ponosokan, Tonsawang, Bantenan, dan Bantik yang
awalnya merupakan wilayah kekuasaan Bolang-Mongondow,
8 Kesimpulan yang saya ambil dalam FGD dengan Mawale Movement, 18
Februari 2015, di Manado.
9 Supit, Minahasa…, Ibid, bandingkan juga dengan F.S. Watuseke, Sedjarah
Minahasa (Manado, 1968), 24,25. Watuseke menyimpulkan bahwa kontrol dan
penguasaan kolonial terhadap para ukung telah dimulai sejak kontrak yang mereka
lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak
tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein-- untuk
menyelesaikan konfilik diantara wilayah-wilayah yang mereka pimpin lebih
mempertegas kekuasaan Belanda terhadap para pemimpin Minahasa saat itu. Mieke
Schouten, Minahasan Metamorphoses Leadhership and social mobility in a
Southeast Asian Society, c.1680-1983. Disertasi (Universitas Vritje Amsterdam,
1993), 48,49, mencatat bahwa efek dari kekuasaan Belanda di tanah Minahasa
semakin kuat era 1780-an dan 1790-an. Era tersebut merupakan era yang tidak
stabil karena konflik-konflik yang terjadi antar kumpulan taranak dalam walak
(kampung). Bersamaan dengan itu, Schouten juga mencatat, bahwa era itu adalah
juga era perjumpaan yang kuat antara pemimpin-pemimpin walak dengan VOC dan
juga Inggris. Lalu secara khusus beliau juga mencatat bahwa di era-era itu,
kekuasaan belanda semakin menguat di Manado. Dan meskipun dalam perjalanan
selanjutnya, Belanda mulai berhadapan dengan penolakan walak Tondano dan
beberapa walak yang bergabung, tetapi Belanda memang mulai memperkuat
kekuasaannya di tanah Minahasa saat itu.
64 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
menjadi pakasaan baru sekaligus bagian dari Minahasa.10 Paul R
Renwarin, seorang peneliti tentang Minahasa, menilai bahwa
nama Minahasa itu sendiri telah menegaskan tentang intervensi
luar terhadap penyatuan tersebut. Sisipan “in” pada kata
Minahasa (awalnya Mahasa) atau pada Minaesa menunjuk pada
sikap ketertundukan yang lebih pasif terhadap pengaturan dari
luar untuk mencapai unifikasi. Kata Minahasa, menurut
Renwarin, menunjukkan bahwa kompetisi dan rivalitas masih
sangat kuat di kalangan taranak sehingga membutuhkan campur
tangan luar dalam rangka penyatuan.11
Perjalanan selanjutnya, tanah keturunan Lumimuut-Toar
dikenal juga dengan nyiur melambai pada tahun 1960-an dan
digunakan dalam hymne regional yang menunjuk pada produk-
produk yang ada di Minahasa, yakni kelapa, padi, cengkih dan
pala. Nama lainnya, yakni tanah Toar-Lumimuut yang mulai
digunakan 1990-an sebagai upaya pengingat dan penguatan
identitas diri orang Minahasa dengan memakai nama leluhur
utama.12 Minahasa, khususnya penduduk yang bermukim di
tanah Minahasa, dikenal juga dengan sebutan Kawanua. Karena-
nya, Kawanua tidak hanya menunjuk orang-orang yang memiliki
darah Minahasa, tetapi juga semua orang yang terikat dengan
tanah Minahasa.13 Meskipun terdapat beragam nama yang
dipakai untuk menunjuk tanah dan masyarakat, nama Minahasa
tetap menjadi nama resmi dan popular sampai saat ini.
10 Paul Richard Renwarin, Matuari Wo Tona’as Dinamika Budaya Tombulu di
Minahasa (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007), 60.
11 Ibid, 58.
12
Ibid.
13
Kawanua adalah juga sebutan yang dipakai untuk menyebut orang-orang luar
Minahasa yang telah kawin-mawin dengan orang Minahasa, para pendatang yang
telah menjadi warga tanah Minahasa, dan para pendatang plus. Bahkan suku-suku
lain yang ada di tanah Minahasa, ketika berada di luar tanah Minahasa juga disebut
dan menyebut diri sebagai warga Kawanua.
Minahasa: Negeri Para Taranak 65
2. Taranak sebagai komunitas awal Minahasa
Ada banyak versi lisan dan tulisan tentang cerita taranak
awal Minahasa. Banyaknya versi lisan, karena setiap kumpulan
taranak memiliki cerita asal-usul masing-masing yang diawali
dengan Lumimut dan Toar sebagai taranak awal dan berakhir
dengan nama masing-masing kumpulan taranak.14 Tonaas Rinto
Taroreh menuturkan, bahwa cerita asal-usul atau silsilah di
masa Minahasa awal memang menjadi penanda dari masing-
masing taranak, selanjutnya Taroreh menuturkan:
Cerita asal usul atau cerita silsilah bagi orang Minahasa sebenarnya bukan sebagaimana dimengerti orang sekarang ini. Cerita tentang silsilah yang orang Minahasa maksudkan berasal dari bahasa kita, yakni se silen. Se silen itu berarti cerita yang dipilih, mana yang cocok untuk taranak ini dan mana yang cocok untuk taranak yang lain. Dalam silsilah orang tua dulu bercerita bukan hanya mengenai siapa memperanak siapa, tetapi lebih luas, termasuk tentang tata cara hidup dan sejarah yang kemudian berkembang menjadi tradisi lisan.15
Di sisi lain, menurut saya munculnya berbagai versi lisan
tersebut terjadi karena taranak tidak lagi hidup sendiri-sendiri
tetapi mulai berkelompok menjadi taranak dalam wale, walak
dan pakasaan. Selain itu, menurut saya cerita asal-usul
komunitas awal Minahasa mulai dituturkan diantara mereka
sebagai imbas dari perjumpaan dan perkawinan dengan
kumpulan taranak lainnya dan dengan pendatang. Perjumpaan
dan perkawinan tersebut rupanya menyebabkan pembauran
dan mengancam identitas taranak/kumpulan taranak.
Karenanya, penceritaan riwayat asal-usul taranak dapat juga
14 Kelompok budaya Mawale Movement, menemukan 43 versi tentang taranak
awal Minahasa.
15
Wawancara dengan Tona’as Rinto Taroreh, 14 Oktober 2014, di Manado.
66 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
dimengerti sebagai upaya mengklaim kembali batas antar
taranak dan untuk menegaskan identitas taranak.16
Dari berbagai versi asal-usul tersebut, ada tiga versi
cerita yang popular di kalangan orang Minahasa hingga kini.
Versi pertama adalah cerita asal usul yang ditulis oleh para
penulis Barat, zending dan wakil pemerintah kolonial Belanda.17
Versi ini menceritakan bahwa leluhur Minahasa adalah seorang
perempuan yang berasal dari Indo-mongoloide atau Cina-
selatan. Mengenai siapa perempuan tersebut, ada yang
menceritakan bahwa dia adalah seorang putri raja dari Cina
yang dibuang karena melanggar aturan raja dan terdampar di
tanah Minahasa. Versi-versi tersebut yang umumnya tidak
hanya menceritakan tentang Lumimuut, tetapi juga tentang
perempuan tua yang kemudian dikenal dengan nama Karema.
Dua perempuan tersebut-- Lumimuut dan Karema-- menjadi
tokoh sentral cerita asal usul orang Minahasa.
Selanjutnya diceritakan dalam versi pertama, sebagai
berikut:
Setelah lama hidup hanya berdua di pulau, Karema kemudian melihat pentingnya keturunan bagi Lumimuut. Karema kemudian meminta Lumimuut untuk menghadap ke utara kepada dewa Amian lalu ia memohon kiranya dapat mengaruniakan
16 Bandingkan juga dengan Renwarin, matuari wo…, 54-55. Beliau menjelaskan
bahwa penyatuan Minahasa hanya terjadi dalam rangka penyelesaian masalah batas-
batas tanah. Setelah itu seluruh kumpulan taranak kembali ke tempatnya masing-
masing, mengembangkan komunitasnya dan tidak lagi peduli pada penyatuan
tersebut. 17 Dalam disertasi Bertha Pantow, beliau mengutip dari J.AT. Schwarz versi
cerita yang juga mendeskripsikan asal-usul orang Minahasa sebagai hasil
perkawinan ibu dan anak yang difasilitasi oleh Karema (imam Tertinggi yang
adalah seorang perempuan). J.A.T. Schwarz adalah seorang penginjil yang
bergabung dengan Nederlandsch Zendelinggenooschap (NZG). Swharz datang ke
Minahasa dan melakukan penginjilan yang intensif di Minahasa Tengah pada awal
abad 19. Bertha Pantow. Beberapa Perubahan…, 61-61. Bandingkan juga dengan
N. Graafland, Minahasa Negeri…, 85-86, meskipun bagian awal versi cerita yang
dipaparkan Graafland sedikit berbeda tetapi pada intinya sama, yakni taranak awal
Minahasa atau leluhur orang Minahasa adalah ibu dan anak.
Minahasa: Negeri Para Taranak 67
seorang putra kepada Lumimuut. Karena tidak berhasil, Karema kemudian meminta Lumimuut menghadap ke Timur kepada dewa Timu tetapi belum juga berhasil. Akhirnya Lumimuut diminta menghadap ke Barat kepada dewa Awahat, dan dewa membuat Lumimuut hamil. Selanjutnya Lumimuut melahirkan anak laki-laki dan Karema menamai dia To’ar yang artinya dewa ari.
Setelah To’ar dewasa dan Lumimuut masih tetap terlihat muda, Karema merasa perlu mencarikan jodoh bagi mereka berdua. Karenanya, Karema meminta keduanya untuk melakukan perjalanan mengelilingi gunung. Karema memberikan tongkat yang terbuat dari batang tawaang18 kepada Lumimuut dan To’ar diberikan tongkat yang terbuat dari batang tu’is. Lalu ia berpesan jika dalam perjalanan mengelilingi gunung mereka akhirnya bertemu, maka mereka harus saling menyamakan tongkat yang ada. Jika salah satu tongkat lebih panjang dari yang lain, maka itu artinya diantara mereka tidak terdapat pertalian keluarga sehingga dapat menjadi suami-istri. Lumimuut dan Toar kemudian mulai melakukan perjalanan, Toar mengambil jalan ke utara sedangkan Lumimuut menuju ke selatan. Setelah lama mengembara keduanya bertemu kemudian saling mencocokkan panjang tongkat yang ada pada mereka. Tongkat To’ar ternyata lebih panjang dari tongkat Lumimuut. Mereka selanjutnya kembali kepada Karema, lalu Karema menikahkan mereka. Selang beberapa waktu, Lumimuut dan Toar memiliki keturunan.
18 Tawaang adalah tumbuhan yang jika di tanam hanya akan bertumbuh panjang
ke bawah. Jika tidak di tanam ia tidak berubah sedikitpun. Sedangkan tu’is adalah
tumbuhan pelopor yang mudah bertumbuh (menjadi panjang) meskipun di tanam
ataupun dibiarkan tergeletak di mana saja. Marhaeni Mawuntu, Tou Minahasa:
Aku, Dia, Kamu, Mereka dan Itu, dalam Ruth K Wangkay, Dkk (ed.). Melangkah
Bersama Menuju Pembebasan & Transformasi. Bunga Rampai Pergulatan Teologi
Feminis-Kritis di Indonesia Dalam Rangka 20 tahun PERUATI (Pineleng-Manado:
Percikan hati 2015), 228.
68 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Kelahiran pertama dan kedua kembar sembilan yang kemudian diberi nama se makaru siyow (2x9). Mereka kemudian digolongkan sebagai kelompok imam yang bertugas sebagai pengatur dan pelaksana ibadah; merekalah yang kemudian disebut sebagai Tonaas dan Walian. Kelahiran ketiga, keempat dan kelima kembar tujuh sehingga diberi nama se makatelu Pitu (3x7). Anak-anak ini kemudian digolongkan sebagai pemerintah atau penjaga kampung, dan selanjutnya disebut Patu’an atau Pa’ endon tua. Penjaga desa disebut Waraney atau prajurit. Kelahiran ke enam dan ketujuh kembar tiga yang kemudian dinamai se Pa’siyowan telu (3x9). Anak-anak dari kelahiran terakhir ini digolongkan sebagai kalangan rakyat jelata (petani dan pemburu). Lumimuut-Toar menjadi leluhur utama orang Minahasa dan Karema dihormati sebagai wali’an (imam) pertama di tanah Minahasa. Keturunan Lumimuut-Toar semakin berkembang dan membentuk taranak-taranak yang kemudian dikenal sebagai orang Minahasa.19
Versi pertama ini paling populer dari semua mitologi
asal-usul orang Minahasa. Salah seorang penulis tentang
Minahasa, yakni Bert Supit mengemukakan dua faktor penyebab
popularitas mitologi versi tersebut. Pertama, karena mitologi
versi pertama disebarkan menggunakan fasilitas sekolah-
sekolah Zending. Mitologi tersebut diajarkan oleh guru-guru
kepada para murid. Kedua, menurut Supit, mitologi ini sangat
mudah diterima dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat
Minahasa di masa itu karena yang menyebarkan kisah tersebut
adalah para pemuka agama.20 Supit memang tidak mengkaji
lebih lajut bagaimana teknis penyebaran mitologi tersebut,
tetapi saya menduga kuat bahwa cerita Lumimuut-Toar
diceritakan juga dalam pertemuan-pertemuan formal
keagamaan secara sistimatis oleh para zending. Selain itu, saya
19 Bertha Pantow. Beberapa Perubahan…, Ibid.
20 Supit, Minahasa…, 15.
Minahasa: Negeri Para Taranak 69
menduga kuat para zending juga memanfaatkan fasilitas kultural
Minahasa, yakni para pemimpin lokal yang telah menjadi kristen
untuk mensosialisasikan cerita asal-usul versi tersebut. Para
pemimpin lokal dengan kapasitas sebagai pemimpin taranak
memanfaatkan fasilitas kultural yang sangat kuat pengaruhnya,
yakni “ruang bercerita.”21 Pada malam hari sesudah mereka
selesai dengan semua kegiatan, biasanya karena mereka tidak
dizinkan lagi untuk keluar rumah—kecuali para
waraney/kesatria yang bertugas menjaga keamanan kampung--
para taranak Minahasa awal berkumpul di bagian tengah
rumah.22 Pada saat seperti itu selain bercerita satu sama lain,
kesempatan tersebut juga sering dipakai oleh pemimpin taranak
untuk membina taranaknya. Dugaan saya, pada saat seperti itu
cerita asal-usul taranak—khususnya cerita tentang Lumimuut-
Toar versi zending juga disampaikan oleh pemimpin taranak
yang telah menjadi kristen kepada seluruh anggota taranak dari
anak kecil sampai orang dewasa. Karenanya dengan mudah
mitologi versi para zending menjadi lebih popular dibandingkan
versi lain yang sebenarnya telah lebih dahulu diturun-
temurunkan kepada mereka sebelum para zending (utusan
badan-badan misi protestan) datang di tanah Minahasa.23 Hal
senada disampaikan Pdt. W.A. Roeroe—seorang Pendeta senior
dan mantan ketua Sinode GMIM, juga salah satu Pimpinan
21 Ruang bercerita taranak yang saya maksudkan adalah waktu menjelang malam
saat para taranak telah menyelesaikan kegiatan mereka sepanjang hari, mereka akan
berkumpul di ruang tengah untuk bercerita satu sama lain atau mendengar cerita dan
arahan dari para tua-tua (pemimpin mereka).
22 Di tanah Minahasa kini masih bisa dilihat rumah-rumah tradisional yang
meskipun ruangan dalam sudah di modifikasi sesuai kebutuhan keluarga kini, tetapi
pola bangunannya masih sebagian besar mengacu pada model rumah tradisional.
Rumah tradisional Minahasa terdiri dari ruang-ruang tidur sesuai jumlah anggota
taranak dan ruang tengah yang menjadi pusat pertemuan taranak. Di ruang tengah
ini banyak kegiatan umum taranak dilakukan, antara lain menjadi tepat berkumpul
dan mendengar pengajaran, arahan atau membahas satu persoalan di pimpin oleh
pemimpin taranak. Paul Richard Renwarin, Matuari Wo Tona’as Dinamika Budaya
Tombulu di Minahasa (Jakarta: Cahaya Pineleng), 2007,104-109.
23Analisis ini sudah pernah saya uraikan dalam tulisan saya. Marhaeni Mawuntu,
Tou Minahasa: Aku, Dia…, 22
70 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Majelis Adat Minahasa—bahwa sejak kecil dia sudah mendengar
cerita bahwa Lumimuut leluhur Minahasa adalah seorang putri
raja dari Cina yang dibuang dan terdampar di tanah Minahasa.
Dalam pembuangannya, Lumimuut didampingi oleh seorang
perempuan tua bernama Karema. Cerita demikian menurut
Roeroe tertanam kuat dalam pikirannya, karena selain
diceritakan di rumah oleh orang tua dan orang-orang tua dalam
keluarga besarnya, juga diceritakan di sekolah. Selain itu
menurut Roeroe, ada juga yang menceritakan bahwa Lumimuut
adalah salah seorang dari rombongan budak-budak Cina yang
melarikan diri dan terdampar di Tanah Minahasa. Selanjutnya
Roeroe menjelaskan, bahwa seingat dia, cerita lumimuut sebagai
putri raja Cina lebih popoler dibandingkan dengan versi cerita
Lumimuut sebagai salah seorang budak dari Cina.24
Versi mitologi kedua, saya dapatkan dari Fredy Wowor
seorang akademisi, pelaku sekaligus pengkaji Budaya—
khususnya berperan sebagai mananombol/pendamping Tona’as
sekaligus penterjemah syair dalam ritual yang dilaksanakan
Tona’as.25 Menurut Wowor, versi mitologi ini memang tidak
terlalu popular dibandingkan versi cerita pertama, tetapi di
beberapa daerah khususnya di wilayah Sonder dan sekitarnya
versi ini diceritakan secara turun-temurun. Versi cerita ini
mendeskripsikan Lumimuut, Karema dan Toar sebagai cara
orang Minahasa menemukan kebijaksanaan. Dalam versi ini,
Karema diartikan sebagai yang mula-mula. Karema menunjuk
pada yang sejak awal sudah ada bersama alam semesta. Karema
adalah penunjuk jalan atau yang menjadi pembuka jalan atau 24 Wawancara dengan Pdt.Prof.Dr. W.A. Roeoe, 19 Desember 2014, Manado.
Terkait dengan cerita tentang budak-budak Cina yang melarikan diri dan terdampar
di Thailand, Filipina dan tanah Minahasa, beliau juga menceritakan pengalamannya
ketika berkunjung ke salah satu desa di Thailand dan juga di Filipina, dia
menemukan banyak lagu ritual yang mirip dengan lagu-lagu tradisional Minahasa.
Selain itu, menurut beliau, prototipe orang Tailand dan Filipina juga mirip dengan
orang-orang Minahasa.
25 Wawancara dengan Fredy Wowor, akademisi, pelaku dan pengkaji Budaya
Minahasa—berperan sebagai mananombol/pendamping Tona’as sekaligus sebagai
penterjemah syair ritual yang dilakukan Tona’as, 29 Januari 2015, Manado.
Minahasa: Negeri Para Taranak 71
perintis jalan. Karena itu, para pelaku budaya sering juga
menterjemahkan Karema sebagai jalan kebijaksanaan. Saya
menangkap adanya pengaruh kekristenan dalam versi cerita ini,
yakni kisah penciptaan dalam kitab kejadian, “pada mulanya
adalah Firman.” Ketika hal tersebut saya konfirmasikan kepada
nara sumber, dijelaskan bahwa cerita demikian telah lama
menjadi tradisi lisan jauh sebelum kekristenan masuk di tanah
Minahasa. 26 Selanjutnya, untuk memperkuat argumennya
Wowor merujuk Alkitab yang diterjemahkan dalam bahasa tua
Tountemboan oleh Zending. Menurut Wowor, ketika Alkitab
diterjemahkan ke Bahasa Tountemboan, masyarakat tidak
menemukan perbedaan ajaran dalam Alkitab dengan ajaran tua
para leluhur yang diturun-temurunkan pada mereka. Dengan
kata lain, menurut Wowor, apa yang ditulis dalam Alkitab
dengan menggunakan bahasa lokal adalah ajaran-ajaran yang
sudah lama dikenal melalui ajaran para leluhur. Bagi saya, jika
tafsir kultural Wowor dipakai sebagai rujukan, maka minimal
ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, versi
kedua tersebut memang murni versi lokal yang sudah lama
dikenal oleh masyarakat sebelum kekristenan datang. Lalu
ketika Alkitab hendak diterjemahkan ke dalam bahasa lokal,
para zending sengaja menggunakan sastra lokal—tradisi lisan
mengenai ajaran-ajaran moral dari para leluhur dan juga cerita
asal-usul orang Minahasa—untuk memperjelas pengajaran
Alkitab. Kedua, bisa juga “dicurigai” bahwa versi ini mungkin
saja mengalami perubahan dalam perkembangan kemudian
sebagai imbas dari perjumpaan dengan hal-hal baru, termasuk
dengan kekristenan. Pemahaman ini saya dasarkan pada tradisi
lisan mengenai pengkristenan orang-orang di Tanah Minahasa,
antara lain yang direkam Richard Siwu dari masyarakat di
Amurang (salah satu wilayah Tountemboan). Siwu menuturkan
bahwa melalui studi yang dia lakukan, dia menemukan tradisi
lisan mengenai pembaptisan para ukung atau para pemimpin
26 Ibid.
72 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
taranak yang diikuti dengan pembaptisan masal kepada seluruh
anggota taranak. Bahkan menurut Siwu, berdasar pada tradisi
lisan yang ada, pembaptisan para ukung adalah juga simbolisasi
dari turut dikristenkannya budaya Minahasa.27 Bagi saya inilah
salah satu penyebab mengapa sulit untuk menegaskan bahwa
versi cerita ini tidak terpengaruh oleh perjumpaan yang
demikian solid dengan kekristenan. Apalagi jika dalam
perkembangan selanjutnya, masyarakat di tanah Minahasa
mengklaim kekristenan sebagai Minahasa begitupun sebaliknya,
sebagaimana penuturan Siwu,
Di kampung-kampung di Minahasa orang-orang tua mengklaim Minahasa adalah kristen dan kristen adalah Minahasa. Sehingga jika ada orang luar yang kawin dengan orang Minahasa dan memilih menjadi kristen mengikuti agama istri atau suami, orang tersebut dengan sendirinya menjadi orang Minahasa. Sebaliknya, jika ada orang luar yang kawin dengan orang Minahasa dan tidak menjadi Kristen/tidak mengikuti agama istri atau suaminya meskipun dia telah hidup dan menetap di tanah Minahasa, akan tetap dianggap sebagai orang luar yang tahu menyesuaikan diri.28
Sejajar dengan Siwu, Rinto Taroreh menjelaskan
pengalaman yang sama yang dialaminya di awal-awal dia
menjadi Tona’as. Taroreh menjelaskan, kuatnya pemahaman
Minahasa adalah kristen dan kristen adalah Minahasa dalam
masyarakat, juga dialaminya ketika mempersiapkan diri untuk
melakukan ritual agama Minahasa. Rinto yang berlatar-belakang
Katolik selalu mengawali ritualnya dengan berdoa secara katolik
dan menggunakan Alkitab dalam pelaksanaan ritualnya. Setelah
ia memahami secara mendalam keberadaan agama Minahasa,
dia kemudian menyimpulkan bahwa kekristenan itu adalah
27 Wawancara dengan Richard A.D. Siwu, akademisi, agamawan, pemerhati
budaya Minahasa, dan anggota Majelis Adat Minahasa, 11 Desember 2014, di
Manado.
28 Ibid.
Minahasa: Negeri Para Taranak 73
pendatang di tanah Minahasa jauh setelah orang-orang di tanah
ini mengenal tentang Opo Empung atau Yang Maha Kuasa,
Pencipta Alam Semesta dalam keagamaan lokal Minahasa.29
Coba kita lihat silsilah keluarga kita masing-masing, silsilah itu tidak hanya menjelaskan nama marga Minahasa, tetapi juga tata cara hidup kita menurut ajaran-ajaran Opo Empung. Waruga-waruga menjadi tempat makam orang-orang tua Minahasa adalah juga tanda dari masih kuatnya adat-istiadat Minahasa dilaksanakan. Nanti setelah orang-orang tua tidak lagi di makamkan di Waruga, dan mulai mengikuti model penguburan para zending, lalu adat-istiadat menjadi semakin pudar. Berpatokan di situ, saya kemudian tidak lagi menggunakan Alkitab ketika menyiapkan diri untuk melakukan ritual agama Minahasa. Dan berdasar pemahaman itu pula, kelompok kawarasan (tarian perang) saya terbuka terhadap siapa saja dari suku dan latar belakang agama yang lain.30
Dalam observasi yang saya lakukan terhadap
pelaksanaan ritual oleh para pelaku budaya Minahasa (Tona’as),
saya menemukan hal yang sejajar sebagaimana yang
dikemukakan oleh Siwu dan Rinto. Data observasi pertama,
yakni yang saya lihat di altar kecil di rumah Tona’as Dede—
beliau menganut kepercayaan pada agama lokal Minahasa,
Kristen dan Tao. Di atas meja tempat melaksanakan ritual ada
salib dan Alkitab diletakkan bersamaan dengan alat-alat
kelengkapan ritual dan simbol dari Tao dan agama Miahasa.
Selain itu, dalam wawancara dengannya, beliau juga
membenarkan bahwa dalam pelaksanaan ritual dia juga
menggunakan Alkitab. Demikian Tonaas Dede menjelaskan:
Ayat-ayat Alkitab saya gunakan untuk memberi penerangan terhadap maksud saya melakukan
29 Wawancara, Rinto Taroreh, 2014.
30 Ibid.
74 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
ritual. Bagi saya hal menggunakan Alkitab atau tidak dalam ritual adalah bagian dari metode. Jadi tergantung metode setiap Tona’as. Tetapi menggunakan Alkitab bukan dengan cara makomba (seperti berjudi/untung-untungan), melainkan menggunakan itu sebagai referensi perbandingan. Misalnya, jika ada yang datang dengan permasalahan tertentu dan meminta saya untuk melakukan ritual kampetan untuk bertanya pada Empung Wailan Wangko (Sapaan dalam agama lokal Minahasa terhadap Yang Kudus pencipta alam semesta) …. Saya biasanya dalam mempersiapkan ritual akan mencari bagian Alkitab yang bisa memberi penerangan sesuai masalah yang dihadapi, agar orang tersebut sudah memiliki refrensi acuan sebelum ritual dilakukan…31
Data lain, saya dapatkan pada saat melakukan observasi
pelaksanaan ritual di batu Pinabetengan yang dilakukan oleh
Tona’as kelompok budaya Waraney Waha. Ritual tersebut
dilakukan atas permintaan pasangan muda yang berencana
menikah dan hendak meminta petunjuk leluhur mengenai hari
yang tepat untuk pernikahan mereka dan persiapan “rohani”
bagaimana yang harus mereka lakukan. Ritual dimulai dengan
Tona’as melakukan penyembahan, selanjutnya pendamping
Tona’as (seorang perempuan dan laki-laki yang juga
menggunakan pakaian adat) membaca bagian Alkitab. Sesudah
itu Tona’as mengalami kerasukan arwah leluhur dan berbicara
dengan bahasa tua Minahasa. Ucapan-ucapan Tona’as
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia/Manado oleh
pendamping Tona’as (seorang perempuan). Ucapan-ucapan
tersebut mempertegas apa yang dibaca dari Alkitab. Setelah itu
Tona’as menuju ke batu besar (disebut batu Pinabetengan) yang
menjadi altar bagi ritual tersebut dan melanjutkan ritual dengan
31 Wawancara dengan Tona’as Dede Katopo, Ketua Kelompok Budaya Manguni
Esa Keter, Manado, 27 April 2015.
Minahasa: Negeri Para Taranak 75
menggunakan alat-alat ritual yang sudah disiapkan. Alat-alat
ritual yang diletakkan di atas batu Pinabetengan sebagai altar,
yakni kain merah-kuning sebagai alas di atas batu, Alkitab,
batang dan daun tawaang, patung batu kecil burung manguni
yang diletakkan di bagian atas urut-urutan alat-alat ritual,
pedang panjang, beberapa batu kecil yang licin dan pipih, kain
merah dengan simbol salib berwarna putih, dan simbol-simbol
lainnya.32 Pada saat melaksanakan ritual di depan altar batu,
Tona’as kembali mengalami kerasukan roh leluhur yang
memberi petunjuk pada pasangan muda tersebut. Sesudah itu,
Tonaas kembali sadar dan melanjutkan doa-doa kepada leluhur.
Dalam observasi tersebut, saya mencatat bahwa bagian Alkitab
yang dibaca di pra ritual hanya digunakan saat itu dan tidak
pernah dikaitkan dengan ritual yang Tona’as lakukan di depan
batu Pinabetengan. Karena pada saat ritual di depan batu,
seluruh gerak-gerik, suara dan nasihat-nasihat kepada calon
pengantin tersebut sepenuhnya berasal dari ucapan-ucapan
Tona’as yang mengalami kerasukan roh leluhur.
Dalam ritual Taratak Foso (ritual atur kampung/wilayah
kota Bitung) yang dihadiri oleh kelompok-kelompok budaya
yang ada di tanah Minahasa kini, terlihat jelas pengaruh
kekristenan dalam pelaksanaan ritual tersebut. Acara ritual
Taratak bertujuan untuk mengatur kembali batas-batas wilayah
Bitung. Pengaturan tersebut dibarengi harapan, bahwa Opo
Empung akan menjaga keutuhan kehidupan semua yang hidup
di wilayah Bitung; agar segala bentuk bahaya dihindarkan dari
kota Bitung. Acara ini dihadiri oleh dua puluh lima perutusan
kelompok adat dan organisasi masyarakat budaya, yang
sebelumnya diawali dengan ritual persiapan oleh masing-
masing kelompok adat satu hari sebelum kegiatan inti Foso
Taratak. Hal menarik dalam pelaksanaan Foso Taratak, yakni
acara ini dibuka dengan doa pembukaan oleh seorang pendeta,
32 Observasi pelaksanaan ritual lokal yang dilaksankan oleh kelompok budaya
Waraney Waha di batu Pinabetengan, 5 Mei 2016
76 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
lalu dilanjutkan dengan sambutan ketua Panitia dan sambutan
wakil pemerintah (wakil walikota Bitung). Kemudian,
dilanjutkan dengan pembacaan deklarasi Minahasa Bersatu yang
diakhiri dengan berkat dan doa dipimpin oleh seorang Pendeta.
Di saat pendeta tersebut menyampaikan doa dan berkat, semua
pimpinan kelompok budaya (Tona’as dan waraney) berlutut di
depan pendeta. Ritual Taratak dilaksankan diakhir acara yang
diawali dengan doa kepada Opo Empung oleh seorang Tona’as
yang bertugas sebagai pemimpin ritual. Ritual kemudan
dilanjutkan di tiga titik yang menjadi batas-batas wilayah kota
Bitung oleh Tona’as-Tona’as sesuai pembagian tugas yang telah
dia atur.
Pelaksanaan ritual yang diawali dengan ibadah singkat
secara Kristen juga terungkap dalam wawancara yang saya
lakukan dengan Tona’as muda Erwin Tangka. Beliau
menuturkan bahwa dalam setiap ritual yang dilakukannya atau
yang diikutinya (yang dipimpin oleh Tona’as yang lebih
tua/lebih lama menjadi Tona’as) selalu diawali dengan ibadah
singkat (menyanyi dan berdoa) secara Kristen. Selain itu, Alkitab
juga menjadi salah satu perlengkapan ritual. Tona’as Tangka
menjelaskan lebih lanjut, bahwa ketika leluhur mulai memasuki
raganya yang pertama dilihat oleh leluhur adalah Alkitab dan
meminta salah seorang peserta ritual untuk membacakan bagian
Alkitab yang dibuka oleh Tona’as yang tengah mengalami
kesurupan arwah leluhur. Lalu leluhur mengingatkan para
peserta ritual untuk mentaati apa yang ditulis dalam bagian
Alkitab yang telah dibacakan. Setelah itu ritual akan berlangsung
sebagaimana ritual agama Minahasa di masa para leluhur. 33
Empat data tersebut, mempertegas realita mengenai
bagaimana posisi ajaran leluhur dan ritual kultural dalam
konteks Minahasa kini. Walaupun ada sebagian Tona’as yang
memilih untuk tidak lagi menggunakan Alkitab dan simbol-
33 Wawancara dengan Tonaas Erwin Tangka, Tandeki-Bitung, 6 Oktober 2016.
Minahasa: Negeri Para Taranak 77
simbol kristen lainnya dalam ritual lokal, tetapi sebagian besar
Tona’as masih mengaitkan ritual agama Minahasa dengan
kekristenan mereka. Di sisi lain, meskipun pelaksanaan ritual
mengakomodir ibadah dan simbol kristen, tidak semua orang di
tanah Minahasa kini memahami dan menerima secara positif
pelaksanaan ritual Minahasa. Sebagian orang di tanah Minahasa
kini, baik yang menyebut diri orang Minahasa asli atau
keturunan Minahasa melihat ritual yang dilakukan oleh para
pelaku budaya sebagai penyembahan terhadap roh-roh leluhur
dan bertentangan dengan ajaran Kristen.
Di era 80-an menurut penuturan Tona’as Rinto dan Dede
terjadi pengejaran dan penganiayaan terhadap para pelaksana
ritual agama Minahasa oleh aparat pemerintah dan masyarakat
yang telah terprovokasi. Para pelaksana ritual dituduh sebagai
dukun hitam (mariara) dan mereka dikejar serta dianiaya.
Penjelasan kedua Tona’as ini melahirkan dugaan, mengenai
beberapa kemungkinan yang menjadi maksud dari penggunaan
Alkitab dan simbol-simbol kristen lainnya dalam ritual lokal kini.
Apakah penggunaan simbol-simbol kristen semata-mata karena
perjumpaan nilai-nilai kultural dan kekristenan di tanah
Minahasa ataukah hal demikian dimaksudkan sebagai strategi
perlindungan diri? Para Tona’as yang menggunakan Alkitab
dalam ritual, sengaja melakukan agar tidak lagi dicurigai sebagai
dukun hitam.34 Di sisi lain, penghargaan dan perlindungan
terhadap keagamaan lokal yang masih jauh dari yang
diharapkan para pelaku budaya, akan mempersulit mereka jika
praktek-praktek ritual mereka dicurigai sebagai agama baru.
Dua fakta tersebut dapat saja menjadi dasar kajian mengenai
mengapa simbol-simbol Kristen digunakan dalam praktek
agama leluhur sampai kini.
34 Penggunaan simbol-simbol kekristenan dalam ritual agama Minahasa di tanah
Minahasa kini juga menjadi salah satu topik yang didiskusikan dalam FGD dengan
Kelompok Budaya Mawale Movement, 2015, di Manado.
78 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Kembali ke versi cerita kedua, Lumimuut dimaknakan
sebagai keringat tanah atau embun pagi. Keringat tanah yang
keluar dari batu ketika terkena matahari pagi. Lumimuut adalah
juga pembuka pagi atau awal dari hari. Sedangkan Toar
dipahami sebagai tiang penyangga. Dalam rumah-rumah
panggung tradisional Minahasa, dikenal adanya tiang penyangga
utama; Toar diumpamakan sebagai tiang penyangga utama.
Karenanya, sering juga Toar diartikan sebagai kekuatan pikiran
dan fisik. Masih dalam versi cerita ini, penggambaran tentang
Lumimuut, Karema dan Toar yang berlatar alamiah demikian,
juga melahirkan pemahaman bahwa asal-usul manusia
Minahasa berawal dari menyatunya unsur-unsur alam;
menyatunya siang-malam matahari-bulan, seperti perkawinan
alam. Perkawinan alam ini kemudian melahirkan keringat pada
batu yang kemudian disebut Lumimuut yang artinya keringat
yang keluar dari batu. Dari batu yang berkeringat, kemudian
keluarlah tunas-tunas pertama yang disebut sebagai Toar
(artinya bertumbuh dari batu).35 Wowor selanjutnya
menegaskan, menghidupkan kembali cerita versi kedua ini
mengandung maksud agar mitologi asal usul Minahasa dipahami
secara proporsional sesuai tradisi lisan yang diwariskan.
Selanjutnya Wowor menegaskan, bahwa munculnya
versi cerita pertama yang ditulis oleh para zending atau penulis-
penulis Barat karena mereka salah menterjemahkan syair yang
memuat cerita tersebut. Syair itu seharusnya dipahami dalam
konteks ritualnya, karena ketika dilepaskan dari konteks
tersebut yang terjadi adalah pemahaman keliru terhadap syair
mengenai perkawinan Lumimuut dan Toar. Semakin kelirunya
pemahaman zending dan penulis Barat lainnya terhadap syair
mengenai leluhur orang Minahasa terutama karena syair yang
menekankan pada sifat diterjemahkan sebagai figurisasi.
Imbasnya, Lumimuut dipahami sebagai perempuan yang
35 Wawancara, Fredy Wowor, 2015.
Minahasa: Negeri Para Taranak 79
melahirkan Toar dan yang juga menikahi Toar atas perintah
Karema.36
Intinya menurut Wowor, dalam versi kedua ini,
penggambaran tentang Lumimuut, Karema dan Toar yang
demikian dimaksudkan untuk menggambarkan mengenai yang
inti dan yang menyatu dalam diri manusia Minahasa, yakni
kebaikan hidup yang membuat manusia Minahasa menjalankan
hidup secara bijaksana; menghargai dirinya dengan cara hidup
sebagaimana layaknya manusia.37
Cerita versi kedua ini menurut saya dapat berimplikasi
pada kesimpulan bahwa awalnya taranak di tanah Minahasa
tidak memiliki figur leluhur, karena penekan versi ini ada pada
upaya menjelaskan identitas orang Minahasa dari karakter yang
dimiliki. Berdasar data lapangan, saya memahami bahwa
kesadaran mengenai pentingnya figur leluhur menguat setelah
orang-orang di tanah Minahasa bertemu dengan kumpulan
taranak yang lain dan juga para pendatang yang datang
kemudian di tanah Minahasa. Apalagi ada data kultural tentang
leluhur Minahasa yang diduga kuat berasal dari luar dan dari
tempat berbeda-beda.38 Misalnya, di pakasa’an Tonsea
(Minahasa utara sekarang) masih terpelihara tradisi lisan
mengenai Opo Roti dan waruga tempat dia dimakamkan.
Ditemukan tiga waruga yang diidentifikasi oleh warga sebagai
makam opo Roti di derah Likupang sampai Kema.
Kemungkinan lain, Karema, Lumimuut dan Toar adalah
tokoh-tokoh yang pernah ada dan menjadi leluhur dari salah
satu kumpulan taranak. Peran dari ketiga tokoh tersebut sangat
signifikan dalam kumpulan taranaknya, sehingga kemudian
36 Ibid.
37
Ibid.
38
Graafland, misionaris yang menyebarkan agama protestan di tanah Minahasa
juga mengutip tradisi lisan mengenai leluhur Minahasa yang datang secara bertahap
dari tempat berbeda. N Graafland, Minahasa Negeri, Rakyat, dan budaya, (Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1991), 7-9.
80 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
kisah kepemimpinan mereka memberi inspirasi bagi semua
taranak. Karenanya ketika orang-orang di tanah Minahasa
membutuhkan tokoh leluhur utama, maka ketiga tokoh tersebut
kemudian diceritakan seolah-olah adalah juga leluhur seluruh
taranak. Dugaan ini sejajar dengan versi ketiga yang
menceritakan bahwa Karema, Lumimuut dan Toar bukan orang
pertama di tanah Minahasa, mereka adalah orang-orang yang
selamat dari banjir besar yang melanda tanah Minahasa.
Versi lainnya, yakni versi cerita asal-usul orang
Minahasa yang saya rekam dari pelaku budaya sekaligus salah
satu pemimpin ritual budaya Minahasa, Tonaas Rinto Taroreh.
Taroreh menulis demikian (selanjutnya tulisan Taroreh saya
terjemahkan dalam bahasa Indonesia):
Abis banjer basar ta dampar kasana tu satu orang perempuan gagah… Dia da ta anyor dari jao ta bawa deng banjer. Waktu ni perempuan gaga masih bingo-bingo di pinggir pante, dia Karengan tulung kong bawa dia ka pinggir. Serta dia sosadar butul-butul Karengan bilang “ngana kita da kase slamat, sapa ngana pe nama? dari mana so ngana?” manyao kamari tu perampuan mar masih rupa bingo “torang pe tampa kwa ada dapa banjer basar banya orang da ta anyor, kita nentau dorang da slamat atouw nyandak,” bicara kasana tu Karengan “kong na pe nama dang?” so lebe bingo tu parampuang ini “sapa kang? Sapa kang kita?” kong manangis dia nentau kote dia so lupa depe nama. Bicara tu Karengan “ooh kasiang ee, bagini jo der ngana so lupa tu nama, kita mo kase nama baru pa ngana, anggap jo buang soe-soe.” brenti sadiki tu Karengan da bicara, abis itu dia bicara ulang “bagini jo, ngana kita mo pangge-pangge Limu’ut artinya basuar, sama deng kita dapa pertama pa ngana, ngana katu da berjuang mo hidop kong slamat sampe di tana ini.” Mulai itu dia Karengan kurang ja pangge Limu’ut atouw Lumimu’ut.
Minahasa: Negeri Para Taranak 81
So brapa hari Karengan lia-lia ni Limuut, abis itu dia bicara dalang hati “ohh katu’ee tu limu’ut bagus katu da tamang manusia nemboleh katu dia sandiri.” Amper siang Karengan ba sombayang pa EMPUNG, dia babuju baminta supaya Limu’ut dapa tamang, terserah laki-laki atow perempuan. Siang kamari dia batunggu, akhirnya sore-sore dia dapa dengar ada suara orang. Babalari dia pigi cari der mana tu suara, nentau kote dari pinggir pante, akhirnya dia dapa lia kong dia tulung. Bicara tu Karengan “Trima kase kasiang EMPUNG, Na so kase akang tamang tu Limuut.” Dia ba pangge deng hati sanang pa Lumimu’ut “ohoo hoii, eeh Limuut napa ngana so dapa tamang.” Ini orang lei da tabawa deng banjer basar.
Karengan lia ni Lumimu’ut rupa so bakusuka deng ni Laki-laki. Bicara tu Karengan “der ngoni dua dapa lia so bakusuka, ngoni dua kita somo se sama-sama jo mar mominta berkat dulu pa EMPUNG yang da beking ni dunia. Sebelum dia bicara pa EMPUNG dia bicara dulu pa itu laki-laki, dia bilang “der ngana laki-laki lebe kuat dari Lumimu’ut perempuan, ngana tu mo jadi pokok Tu’ur, tu mo bajaga pa limuut deng ngana tu utama mo cari makang. Kong abis itu Karengan ambe tu tumbuhan ba warna mo beking Na’weng, dia angka ka atas deng dua tangan, kong dia bicara “ooh EMPUNG yang da beking ni dunia, lia-lia akang pa torang yang babaminta, kase-kase akang kamari umur panjang deng berkat patorang di dunia, kase-kase akang berkat kamari pa dua orang ini, jaga-jaga akang pa dorang kong antar-antar akang pa dorang di jalang yang memang butul-butul, ooh EMPUNG ja bajaga deng ja ba baantar patorang. Abis itu tu Na’weng yang dia da angka ka atas dia tanang ka tana kong bicara “sobagimana tadi ini Na’weng da angka kaatas kong ngoni dapa lia deng samua da iko dapa lia, sobagitu ngoni musti inga-inga ni bicara der ada ja babalia. Sobagimana tadi da kase tanang ka tana,
82 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
sobagitu ini mo jadi panjaga pa ngoni mo tatanang pa ngoni.”
Abis itu Karengan suruh tu Lumimu’ut deng Toar bajalang ka tampa kaluar matahari, tampa kaluar hidop baru, hari baru for dorang der so jadi satu. Abis itu Karengan yang salalu ba batamang nentau da kamana, Cuma ta ilang bagitu. kalu dorang perlu skali baru dia mo kaluar.
Bajalang tu Tu’ur deng Limu’ut arah matahari kaluar ka sendangan. Dorang da lewat akang tu gunung so nda dapa reken. Sampe dorang di tampa babatu-batu basar kong rupa da bekas-bekas potong Mahwatu Ni E Takkan. Dorang ba lia kablakang tu gunung-gunung dorang da lewat akang rupa da se ator, kong dorang ja bilang itu Wulur Ma’atus. Toar deng Lumimu’ut akhirnya menetap di situ, tinggal di goa batu Wale Watu.
Lumimu’ut akhirnya hamil kong dapa anak banya. Dorang pe anak kuat-kuat kong dengar-dengaran, depe bilangan 2x9 Makarua siouw, Brikut no kong Walian-Walian ja bilang dorang pe hubungan deng Toar-Lumimu’ut lebe dekat, hubungan selaku anak. 9 itu sebenarnya bukang Cuma angka mar 9 itu tentang simbol kesempurnaan, kagenapan, paling kuat, angka paling besar orang minahasa. Makarua siouw itu kakuatan nda dapa ukur selaku anak deri Toar-Lumimu’ut, anak yang dengar-dengaran deng ja ba bajalang di butul RONDOR.39
Terjemahan:
Setelah banjir besar, seorang perempuan cantik hanyut terbawa banjir. Waktu perempuan itu masih kebingungan di pinggir pantai, Karema datang dan menolong membawanya ke tepi.
39 Dokumen tertulis milik Tonaas Rinto Taroreh. Dokumen ini bersumber pada
ritual kampetan atau ritual pemanggilan arwah leluhur untuk ditanyai hal-hal
khusus.
Minahasa: Negeri Para Taranak 83
Setelah perempuan itu sudah sadar betul, Opo Karema berkata padanya: “Aku yang telah menolong kamu,” Siapa namamu? Kamu berasal dari mana? Dalam keadaan bingung perempuan itu menjawab;” tempat kami dilanda banjir besar, banyak yang hanyut, saya tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak. Kemudian karema berkata, “siapa namamu? Perempuan itu bingung dan berkata siapa ya? siapa ya saya? Lalu dia menangis karena dia tidak ingat lagi siapa namanya. Opo karema berkata, “ooh kasian. Begini saja, karena kamu telah lupa siapa namamu, saya akan memberi nama baru padamu. Anggap saja buang sial. Lalu Karema melanjutkan, begini saja, kamu akan saya panggil Lumimuut yang artinya berkeringat sama seperti saat kita bertemu kamu berkeringat karena berjuang hidup dari banjir.
Sudah beberapa hari Karema memperhatikan Lumimuut, dan dia berbicara dalam hati “oh kasihan Lumimuut, baiknya ia memiliki teman mansuia, tidak boleh sendiri saja. Pada waktu subuh Karema berdoa pada Empung, dia memohon kiranya Lumimuut diberi teman—terserah teman laki-laki atau perempuan. Saat hari mulai terang dia menunggu, lalu sore-sore Karema mendengar ada suara orang. Berlari-lari dia pergi mencari sumber suara, tidak taunya dari pinggir pantai. Akhirnya dia melihat dan menolong orang itu. Karema kemudian bicara, “terima kasih Empung, Kau sudah memberi teman pada Lumimuut.”, lalu dengan gembira ia memanggil Lumimuut ohooo hoi eh Lumimuut ini kamu sudah dapat teman. Orang ini juga terbawa oleh banjir besar.
Karema melihat bahwa Lumimuut dan laki-laki tersebut saling suka, Karema berbicara pada mereka: karena kalian kelihatannya sudah saling suka, kamu berdua akan saya satukan, tetapi kita
84 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
meminta berkat terlebih dahulu pada EMPUNG yang menciptakan dunia ini. Sebelum Karema berbicara pada EMPUNG, terlebih dahulu dia berbicara pada laki-laki itu. Dia berkata demikian, “karena kamu laki-laki lebih kuat dari Lumimuut perempuan, kamu yang akan menjadi yang utama, yang akan menjaga Lumimuut dan kamu juga yang utama mencari makan. Setelah itu Karema mengambil tumbuhan berwarna Na’weng lalu dia angkat ke atas dengan kedua tangannya, lalu dia berkata “ooo EMPUNG yang menciptakan dunia ini, tolong lihat kami yang meminta, beri kami umur panjang dan berkat. Beri kedua orang ini berkat, tolong jaga dan sertai mereka. Setelah itu ia mengangkat tumbuhan berwarna Na’weng ke atas sambil berkata “sebagaimana tadi tumbuhan ini saya angkat ke atas, dan kalian berdua melihat, begitu juga kalian harus saling melihat. Sebagaimana tumbuhan ini saya tanam ke tanah begitu juga yang akan menjaga kalian akan seperti ini
Setelah itu Karema memerintahkan Lumimuut dan Toar berjalan ke arah tempat keluar matahari, tempat keluar hidup baru, hari baru untuk mereka karena sudah menjadi satu.
Berjalan ke arah matahari ke luar ke Timur. Mereka melewati gunung yang sudah tidak terhitung banyaknya. Mereka tiba di tempat berbatu batu besar dan seperti ada bekas-bekas potongan pohon Mahwatu Ni E Takan. Lalu ketika mereka melihat ke belakang ke gunung-gunung yang telah mereka lewati, gunung-gunung itu seperti di atur, karenanya mereka menyebut tempat itu “wulur Ma’atus. Mereka kemudian menetap di situ, tinggal di goa batu Wale batu.
Akhirnya Lumimuut hamil lalu melahirkan banyak anak. Anak-anak mereka kuat-kuat dan taat pada orang tua. Jumlah mereka 2x9 Makarua siow (kelompok imam). Karena itu para walian (para
Minahasa: Negeri Para Taranak 85
imam/pemimpin ritual) menyebut diri mereka sebagai yang memiliki hubungan dekat dengan Lumimuut dan Toar, hubungan selaku anak. Angka 9 itu sebenarnya bukan hanya sekedar angka tetapi merupakan symbol kesempurnaan, paling kuat, angka paling besar orang Minahasa. Makarua siow selaku anak Lumimuut dan Toar kekuatannya tidak terukur, anak yang taat dan berjalan pada jalan yang benar.40
Versi cerita ini menurut Taroreh bersumber dari
penuturan leluhur yang merasuki dirinya pada saat
melaksanakan ritual pemanggilan arwah leluhur atau ritual
kampetan.41 Dalam studi sosio-kultural yang menggunakan
grounded theory method, mendengar penuturan informan
mengenai pemahaman mereka tentang diri, masyarakat dan
dunia mereka adalah bagian penting dari kerja penelitian.42 Saya
mengkaji penuturan Taroreh dalam tataran penghargaan
demikian dan memahami bahwa apa yang disampaikannya
adalah juga kristalisasi dari pemahamannya tentang dunia,
leluhur dan ajaran leluhur. Di sisi lain, saya menemukan
persamaan mendasar tentang isi cerita tersebut dengan versi
cerita kedua yang menegaskan bahwa leluhur Minahasa bukan
ibu dan anak sebagaimana yang diceritakan dalam versi
pertama. Bahkan saya menduga kuat, bahwa cerita versi
Taroreh adalah cerita yang bersumber sama dengan versi kedua.
Yang membedakannya dengan versi kedua, yakni bahasa syair
dalam versi kedua telah diterjemahkan dalam bahasa figurisasi
pada versi ketiga; sudah ada figur-figur yang digambarkan
40 Ibid.
41
Ritual Kampetan dilaksanakan karena sesudah perisiwa mahawetik (peristiwa
konflik antara taranak Minahasa awal) banyak ajaran leluhur tidak lagi diketahui.
Para wali’an yang menyimpan ingatan mengenai ajaran leluhur ada yang telah
dibunuh dan banyak juga yang melarikan diri. Karenanya, ritual kampetan
dilakukan untuk bertanya pada leluhur.
42Erin Horvat, et al, The beginner’s guide to doing qualitative research: how to
get into the fild, collect data, and write up your (New Yor & London: Teacher
College Press Colombia University, 2013), 73
86 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
sebagai Karema, Lumimuut dan Toar. Perbedaan tersebut
menarik dan melahirkan pertanyaan kapan versi ini mulai
dikenal oleh para taranak Minahasa? Taroreh menjelaskan
bahwa versi ini lebih tua dari versi pertama atau versi zending,
tetapi penceritaan dengan menunjuk pada Karema, Lumimuut
dan Toar melahirkan “kecurigaan” mengenai perubahan dalam
cerita karena perjumpaan dengan bangsa-bangsa asing yang
datang ke tanah Minahasa. Dengan kata lain, versi ketiga
dikonstruksi sedemikian untuk memenuhi kebutuhan mengenai
figur leluhur setelah bertemu nilai-nilai lain—termasuk cerita-
cerita leluhur dari para pendatang.
Kajian demikian terhadap versi ketiga didukung oleh
tradisi lisan mengenai kedatangan leluhur dan ditemukannya
waruga-waruga leluhur setempat di beberapa daerah di tanah
Minahasa. Misalnya tradisi lisan mengenai kedatangan Opo Roti-
- salah satu leluhur Tonsea—yang diceritakan datang dari luar
tanah Minahasa dan mendarat/ masuk melalui Likupang dan
selanjutnya menjadi salah satu leluhur penting dari taranak
Tonsea. Selain itu, ada tradisi lisan mengenai Wurik Muda yang
diceritakan merupakan keturunan campuran Portugis-Minahasa
dan memiliki wajah dan postur seperti orang Portugis (telah
dipaparkan dalam Bab Pendahuluan). Tradisi lisan tersebut
sekaligus mengindikasikan bahwa sangat sulit untuk mengklaim
taranak Minahasa sebagai taranak-taranak yang memiliki satu
leluhur yang sama.
3. Pengelompokkan taranak dalam Wale dan Walak
Keturunan Lumimuut-Toar semakin berkembang, dan
kehidupan mereka tidak lagi sendiri-sendiri melainkan mulai
hidup berkelompok. Kumpulan awal taranak dapat dilihat dari
pengelompokkan dalam wale/rumah tradisional Minahasa. Wale
secara hurufiah dapat diterjemahkan sebagai rumah atau tempat
tinggal. Dalam pemaknaan kultural penyebutan wale juga
Minahasa: Negeri Para Taranak 87
menunjuk pada pembagian ruangan dalam rumah. Biasanya
ruangan dalam wale akan bertambah jika ada anggota keluarga
yang menikah dan tetap tinggal di situ. Pertambahan keluarga
batih dalam wale terkait dengan pertambahan ruangan,
terutama terkait dengan awu atau dapur. Setiap keluarga batih
dalam wale memiliki awu sendiri, dan itulah juga yang melatar-
belakangi sebutan Minahasa untuk keluarga batih yakni sebagai
awu. Dalam satu wale bisa saja berisi 5-9 keluarga batih,
sehingga pembagian ruanganpun disesuaikan dengan jumlah
awu. Tetapi ada juga wale yang hanya ditempati oleh satu
keluarga. Biasanya wale yang hanya ditempati oleh satu
keluarga bentuknya jauh lebih kecil dan dibangun di halaman
yang sama dengan beberapa wale kecil lainnya.43 Sama seperti
keluarga-keluarga yang tinggal bersama dalam satu wale, maka
keluarga-keluarga yang tinggal di beberapa wale kecil dalam
satu halaman memiliki satu garis keturunan. Setiap wale yang
dihuni oleh beberapa keluarga dipimpin oleh seorang yang
dituakan yang disebut pa’ endon tua. Terkait dengan keberadaan
Pa’ endon Tua, maka wale juga menunjuk pada otoritas taranak
yang mewadahi seluruh taranak di situ. Sekaligus menegaskan
mengenai otoritas pa’endon tua sebagai pelindung dari semua
taranak yang hidup bersama dalam wale. Pa’endon Tua yang
dipilih oleh kumpulan taranak dalam wale tidak menunjuk pada
orang tertua dalam wale. Dalam tradisi lisan di kampung-
kampung di tanah Minahasa, Pa’endon Tua dipilih berdasarkan
kualitas diri yang dimiliki, seperti kemampuannya memimpin,
karisma yang bisa mempengaruhi wale, keberanian serta
ketegasan dalam mengambil keputusan penting bagi wale.
Karenanya, pemimpin wale tidak selalu seseorang yang berusia
tua, tetapi juga orang muda yang dituakan. Inilah juga
penampakan nilai kultural Tou dalam relasi antar taranak di
wale.
43 Bandingkan juga dengan pemaparan Renwarin tentang wale dalam Paul
Richard Renwarin. Matuari…103-109.
88 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Mengenai besar-kecil wale, ada perbedaan dibeberapa
tempat di tanah Minahasa. Di kampung-kampung di Tombulu
masih dapat ditemukan wale dengan banyak ruangan atau
dihuni oleh 5-9 keluarga. Lain lagi di Tountemboan yang tidak
mengenal wale dengan jumlah ruang yang banyak. Model wale
yang masih ada tersebut merupakan model yang diwarisi sejak
Minahasa awal. Dengan kata lain, sejak awal di Tountemboan
hanya mengenal wale-wale kecil yang dibangun dalam satu
halaman. Sebaliknya, di Tombulu wale besar—dengan jumlah
kamar sesuai jumlah awu—telah lama dikenal.
Selanjutnya, pengelompokkan taranak yang lebih luas
bisa juga dilihat dalam walak. Walak adalah istilah yang
kemudian digunakan secara formal oleh perwakilan kolonial
Belanda untuk menunjuk kesatuan hukum di tanah Minahasa
yang terdiri dari kumpulan keluarga yang memiliki persamaan
garis keturunan, dan menempati satu wilayah tertentu.
Pengelompokkan tersebut didasarkan pada satu pemukiman
yang terdiri dari beberapa wale/kumpulan keluarga. Karenanya,
walak sering disamakan dengan desa/satu pemukiman/wanua,
misalnya walak Kali, Kakaskasen, dan lain-lain. Jelas, bahwa
walak menunjuk pada kesatuan kelompok orang dan wilayah.
Karenanya, walak juga menunjuk pada batas-batas tanah yang
bisa didiami oleh taranak yang tergabung dalam walak tersebut.
Dalam FGD beberapa pengurus kelompok budaya Barisan
Pemuda Adat Nusantara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara,
dan kelompok budaya Makatanak Minahasa, seorang peserta
dari Kelompok Budaya Barisan Pemuda Adat Nusantara
menceritakan tentang hukum adat yang mengatur pengelolaan
tanah kosong di kampungnya. Hukum adat tersebut merupakan
warisan dari hukum walak yang masih digunakan sampai
sekarang. Tanah di kampungnya diolah oleh taranak-taranak
yang merupakan warga kampung tersebut, dan juga terbuka
juga terhadap orang-orang yang bukan bagian dari kampung.
Orang lain atau pendatang dapat mengelolah tanah kosong di
Minahasa: Negeri Para Taranak 89
wilayah walak dengan izin pemimpin kampung dan ketaatan
terhadap aturan yang ada. Selanjutnya peserta FGD menuturkan,
Biasanya kalo ada orang dari luar kampung datang dan ingin mengolah tanah kosong, mereka harus menemui Hukum Tua (kepala kampung yang dipilih oleh masyarakat) untuk meminta izin. Setelah mendapat izin, biasanya Hukum Tua akan mengumumkan kepada masyarakat bahwa status tanah tersebut dikelola pendatang tetapi seizin Hukum Tua. Selanjutnya, hukum tua akan menjelaskan batas-batas tanah tersebut; tanah mana saja yang bisa ia kelola dan mana yang tidak. Jika pendatang melakukan pelangaran terhadap batas yang telah ditentukan, dia akan menerima sangsi atau diusir. Pengaturan demikian telah dilakukan oleh pemimpin walak dan sampai saat ini tetap ditaati oleh semua orang di kampung tersebut.44
Di zaman kolonial, makna sosio-kultural walak direduksi
menjadi makna politis, yakni bahwa walak menunjuk pada
orang-orang distrik yang ditunjuk sebagai pemasok balok untuk
pembangunan benteng dan perumahan kompeni di manado.
Tetapi reduksi tersebut kemudian diluruskan antara lain oleh
J.G. Riedel, N. Graafland dan J.A.T. Schwars yang menjelaskan
melalui tulisan mereka, bahwa kata walak berasal dari Bahasa
asli Tontemboan yang berarti stam atau volks-stam atau suku.
Seorang peneliti Minahasa, N. Adriani juga menemukan data
sejajar yang menjelaskan bahwa walak berasal dari bahasa
Minahasa Toe’oer im balak yang berarti kepala suku atau kepala
Taranak/keluarga besar. Ketika Belanda resmi menguasai tanah
Minahasa, kata Toe’oer im balak diadaptasikan ke Bahasa Melayu
menjadi kepala balak. Jadi menurut Andriani, pemasukan balak
ke kompeni tidak terkait sedikitpun dengan kata walak.45
44 FGD dengan pengurus kelompok-kelompok Budaya dari kalangan muda,
Manado, 2015
45 Supit, Minahasa…52
90 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
4. Pengelompokkan taranak dalam Pakasa’an
Pengelompokkan Taranak dalam Paksa’an merupakan
reaksi terhadap konflik antar walak yang disebabkan oleh klaim
wilayah. Para Ukung bertemu di batu Pinabetengan dan
bermusyawarah serta menata kembali pembagian wilayah
diantara keturunan Luimuut-Toar. Saat itu wilayah Minahasa
dibagi menjadi empat, yakni Pakasa’an Tombulu, Tonsea, Tolour
dan Tountemboan46 Musyawarah di batu Pinawetengan rupanya
juga mengikutsertakan kesepakatan sebagai pakasa’an di tanah
yang Mahasa/menyatu mengenai bagaimana memelihara
keamanan dan keutuhan Pakasa’an masing-masing. Indikasi itu
antara lain terlihat pada peristiwa penyerangan yang dilakukan
kerajaan Bolaang-Mongondow terhadap Pakasa’an Tonsea
dalam rangka ekspansi kekuasaannya. Menghadapi serangan
tersebut pakasa’an Tonsea dibantu oleh Pakasa’an Tondano dan
Tombulu.47 Data yang sama dikemukakan oleh Kelompok
Budaya Mawale Movement,” bahwa pertemuan para pemimpin
taranak—dalam walak--di batu Pinabetengan yang
menghasilkan kesepakatan membentuk Pakasa’an. Pakasa’an-
Pakasa’an tersebut memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengembangkan Pakasa’an masing-masing, tetapi ketika satu
Pakasa’an diintervensi atau diganggu oleh komunitas lain, maka
Pakasa’an lain berkepentingan untuk membantu mempertahan-
kan integritas sosial di situ. Peristiwa yang sama dialami juga
oleh Pakasa’an Tolour (Tondano). Ketika Pakasa’an ini harus
menghadapi serangan Belanda, Pakasa’an Toumbulu dan
Tountemboan turut membantu secara sistimatis. Cerita
penyerangan Belanda ke Pakasa’an Tolour menjadi cerita turun
temurun mengenai keberanian para leluhur menentang Belanda.
46 Taulu. Bunga Rampai…7-8.
47 Ibid, 14; bandingkan dengan Supit, Minahasa…74, memaparkan data yang
sama, bahwa tindakan ekspansif dari kerajaan Bolaang Mongondow terhadap
wilayah-wilayah di Minahasa saat itu, khususnya terhadap wilayah Tonsea berhasil
digagalkan dengan dibantu oleh wilayah Tondano dan Tombulu.
Minahasa: Negeri Para Taranak 91
Demikian dituturkan kembali oleh Rikson Karundeng, anggota
kelompok budaya Mawale Movement:
Perang Tondano adalah juga gambar mengenai bagaimana tua-tua bersepakat. Sesuai catatan sejarah, Dewan Pakasaan (terdiri dari pemimpin-pemimpin Pakasaan) bertemu di Toliang oki, kemudian mereka sepakat bahwa dari pada nanti mati di tempat lain, lebih baik berjuang mati-matian di sini. Kalau menang syukur, tapi kalau mati toh sama saja kan dikemudian hari manusia memang akan mati. Akhirnya mereka bersepakat dan memilih wilayah Mina wanua Tondano sebagai benteng pertahanan. Katanya kan menurut sumber-sumber lisan—sumber-sumber Barat tidak menyebut siapa saja yang terlibat perang-- tapi dari data-data lisan, mayoritas yang disebut di situ orang Tolour dan Tombulu terlibat di situ. Orang Tountemboan punya perang penting dalam perang Tondano yaitu mensuplai makanan. Selain terlibat mereka juga melakukan suplai. Yang lain kan sudah berdiam di benteng tidak tahu mau ambil makanan dari mana. Jalan tomohon-Tondano sekarang, itu bukan jalan utama dulu. Jalan Tomohon dari tombariri, jalan lurus itu sampai Tondano memang jalan tua…ada banyak jalan-jalan demikian/jalan tikus yang digunakan para waraney Tountemboan utk mensuplai makanan secara rutin ke Minawanua (maksudnya, pusat pertahanan Pakasaan Tolour/ Tondano).48
Deskripsi pembetukan relasi dan kerjasama diantara
Pakasa’an di Minahasa awal tersebut menjelaskan, bahwa
Pakasa’an-pakasa’an yang kemudian berkembang menjadi
Minahasa berasal dari wilayah-wilayah, dialek bahasa dan ritual
yang berbeda. Karena meskipun keempat pakasa’an awal
dipahami berasal dari keturunan Lumimu’ut-To’ar, tetapi
48 Wawancara dengan Rikson Karundeng, anggota kelompok budaya Mawale
Movement, 8 Maret 2015, di Manado.
92 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
mereka merupakan kumpulan taranak yang berbeda satu sama
lain yang disatukan dalam pakasa’an. Pakasa’an-pakasa’an
tersebut awalnya adalah orang-orang asing satu terhadap yang
lain, sebagaimana arti dari orang asing, yakni yang datang dari
luar negeri, daerah, atau lingkungan. 49 Selain itu, keasingan
antar pakasa’an, karena mereka berasal dari komunitas yang
memiliki bahasa, dialek dan ritual berbeda. Bahkan dalam
perkembangan kemudian, ketika semakin meluas kekuasaan
Belanda di tanah Minahasa, dilakukan penataan ulang wilayah
Minahasa oleh pemerintah Belanda. Belanda kemudian
memasukan Ponosokan, Tonsawang, Bantenan, dan Bantik, yang
awalnya merupakan wilayah kekuasaan Bolang-Mongondow,
menjadi pakasaan baru sekaligus bagian dari Minahasa.
Berdasar penataan wilayah demikian, Minahasa selanjutnya
dikenal sebagai wilayah yang memiliki delapan pakasaan.
Gambar 4.1 Peta Pakasa’an50
Realitas Minahasa awal demikian, juga menegaskan
bahwa perjumpaan dan relasi yang mendalam dengan orang
asing/pendatang51 adalah juga bagian dari proses menjadi
49 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Cetakan ketiga (Jakarta: Gramedia, 1991),61.
50
Mieke Schouten, Minahasan…14.
51
Yang saya maksudkan dengan tanah Minahasa dalam bagian ini, yakni daerah-
daerah yang menjadi wilayah Minahasa awal dan kemudian meluas di zaman
Minahasa: Negeri Para Taranak 93
Mahasa/Minaesa atau selanjutnya dikenal dengan sebutan
Minahasa. Proses menjadi tersebut juga mendeskripsikan bahwa
kebersamaan diantara pakasa’an-pakasa’an yang berkumpul
dalam semangat mahasa telah melahirkan realitas berbeda bagi
semua pakasa’an. Realitas tersebut adalah realitas baru yang
mau tidak mau mendorong semua pakasa’an memahami
keberadaan mereka dalam pemaknaan baru. Tentu saja, upaya
memahami secara baru tersebut juga berlangsung dalam
pemaknaan diri mereka sesuai walak dan pakasa’an masing-
masing. Pada posisi demikian saya memahami, bahwa dalam
proses pemaknaan diri secara baru terjadi tarik-menarik antara
identitas pakasaan – dengan kepentingannya masing-masing—
dengan identitas Minahasa yang berbeda tersebut. Merosotnya
semangat penyatuan setelah tujuan dan kepentingan pakasa’an
tercapaimerupakansalahsatu contoh dari tarik menarik dua
identitas tersebut.52 Di sisi lain, proses tarik-menarik demikian
menegaskan bahwa sejak awal Minahasa bukanlah realitas yang
homogen; sebaliknya adalah realitas yang plural dan kolektif.
Minahasa adalah kumpulan taranak yang berkumpul dan
menyatu ketika menghadapi masalah, tetapi kemudian kembali
menjadi taranak yang independen satu terhadap yang lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, independensi pakasa’an
terdeskripsi juga dalam ucapan kultural, yakni sa kita esa
sumerar kita, sa kita sumerar esa kita (jika kita satu, baiklah kita
menyebar. Jika kita menyebar, tetapi kita adalah satu). Ucapan
kultural yang mendeskripsikan bagaimana makna dari ikatan
yang dibangun diantara pakasaan yang selanjutnya menjadi
dasar idependensi dalam relasi diantara mereka.
Sistim idependensi demikian, menurut para pelaku
budaya didasarkan pada ikrar diantara mereka. Ikrar yang
penjajahan Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan Minahasa
keseluruhan (sekarang terbagi menjadi Minahasa induk, Minahasa Utara, Minahasa
Tenggara dan Minahasa Selatan), ditambah dengan kota Manado yang di masa
Minahasa awal menjadi pintu masuk menuju ke pemukiman Minahasa. 52 Paul Richard Renwarin, Matuari Wo…50-51.
94 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
disyairkan sebagai Esa cita waya, tou peleng masu’at. Cawana si
parukuan cawana si pakuruan, pute waya tou maesa cita (satu
kita semua. Tidak boleh disembah atau menyembah sesama.
Semua manusia itu sama).53Ikrar ini menggambarkan juga
mengenai bagaimana nilai-nilai Tou terkonstruksi bersamaan
dengan tantangan dan kebutuhan yang dihadapi kumpulan-
kumpulan taranak Minahasa awal.
5. Perjumpaan dan pembauran Taranak dengan pendatang
Orang Minahasa umumnya tinggal di pegunungan,
karena daerah pesisir pantai hanya dihuni oleh para Tona’as
penjaga batas dan turunannya (taranaknya). Karenanya,
sebelum orang asing/pendatang masuk ke daerah pedalaman
(pegunungan) yang menjadi daerah hunian orang Minahasa,
mereka harus melewati pos-pos penjagaan yang dijaga oleh para
Tona’as penjaga batas. Tona’as-tona’as inilah yang kemudian
memutuskan apakah orang asing tersebut dapat masuk ke tanah
Minahasa atau tidak.
Posisi tempat tinggal orang Minahasa awal tersebut
menyebabkan mereka memandang dari bukit/dataran tinggi
terhadap orang asing yang datang dari arah pantai. Karenanya
ada tiga sebutan yang umum mereka gunakan bagi orang asing,
yakni pasekotan (yang datang dari air/ orang pelayaran) dan
tasikela (yang datang dari laut), dan mangindano (yang datang
dari air).
Dalam wawancara dan FGD, saya menyimpulkan bahwa
tradisi lisan mengenai orang asing/pendatang, terutama
berkaitan dengan cerita bagaimana relasi yang terbangun di
awal kedatangan mereka. Relasi tersebut terkait dengan
penerimaan dan penolakkan terhadap kehadiran pendatang
53 Wawancara dengan Taroreh, Oktober 2014, di Manado, Wowor, Januari 2015,
di Manado, Kelompok Mawale Movemment, Februari 2015, di Manado.
Minahasa: Negeri Para Taranak 95
asing. Karenanya, bentuk dari relasi pendatang dengan leluhur
(dalam pakasa’an-pakasa’an) juga terjadi dalam bentuk berbeda,
yakni ada pakasa’an yang menjalin persahabatan dan kemitraan.
Di sisi lain, ada pakasa’an yang terlibat konflik, terutama karena
pelanggaran yang dilakukan pendatang terhadap kesepakatan
tiwa Lumimuut Toar.
Perjumpaan komunitas Minahasa awal dengan
pendatang asing, dimulai dengan kedatangan bangsa-bangsa
tersebut ke tanah Minahasa. Dokumen sejarah yang menjadi
acuan para peneliti Minahasa, menjelaskan bahwa bangsa asing
yang pertama berkunjung ke tanah Minahasa adalah Portugis
dan Spanyol.
Portugis diperkirakan datang ke Minahasa pada tahun
1512, tetapi penetapan tahun tersebut tidak didukung oleh data
yang kuat. Satu-satunya acuan yang dipakai adalah peta yang
dibuat sekitar tahun 1512 oleh seorang Juru mudi Portugis. Juru
mudi tersebut mencatat, bahwa Minahasa adalah pulau damar
yang menghasilkan kayu cendana.54 Dokumen yang lebih jelas
mengenai kedatangan Portugis, yakni laporan mengenai
kedatangan paderi Diogo de Magelhaes sekitar abad XVI yang
kemudian mengkristekan 1500 orang termasuk raja Manado.
Persoalan lain yang muncul bertolak dari data tersebut, yakni
bahwa Manado (yang terletak dipulau Sulawesi, yakni daerah
pesisir pantai yang menjadi salah satu pintu masuk ke
pedalaman Minahasa) nanti dikenal dengan nama Manado
sekitar tahun 1680 setelah benteng kayu VOC Belanda didirikan
di muara sungai Wenang (yang kemudian dinamakan
Manado).55 Sementara itu, satu-satunya kerajaan yang dikenal
juga sebagai kerajaan Manado yang ada di perairan lepas pantai
Sulawesi, yakni kerajaan Babontehu/ Manado Tua (Manado Tua
54 Watuseke, Sedjarah Minahasa. (Manado: Tanpa Penerbit, 1968),17.
55
H.M. Taulu, Bunga Rampai Sejarah dan Antropologi. BudayaMinahasa
(Manado: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi
Sulawesi Utara, 1981),15.
96 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
adalah satu pulau yang terletak dilepas pantai pulau Sulawesi
berhadapan dengan pesisir pantai kota Manado). Karena itu,
banyak peneliti Minahasa sepakat bahwa kunjungan paderi
Diogo de Magelhaes dan pengkristenan 1500 orang dilakukan di
kerajaan Manado tua, bukan di Manado (pulau Sulawesi).
Catatan lain mengenai kedatangan Portugis di Minahasa
ditemukan juga dalam laporan mengenai kunjungan paderi
Mascarenhas pada tahun 1568. Meskipun demikian tidak ada
keterangan jelas mengenai bagaimana pengaruh kedatangan
Mascarenhas di Minahasa, selain catatan bahwa beliau
menerima utusan orang-orang Minahasa di pedalaman yang
meminta dibaptiskan tetapi tidak dipenuhi olehnya.56 Itu
artinya, Mascarenhas hanya mengunjungi pesisir pantai Manado
dan belum masuk ke pedalaman Minahasa.
Kunjungan orang-orang Minahasa pedalaman yang
meminta untuk dibaptispun melahirkan pertanyaan penting.
Apakah permintaan tersebut lahir dari kesadaran akan
kebutuhan untuk menjadi Katolik atau lebih tepat diinterpretasi
sebagai bagian dari upaya mencari sekutu? Karena dari laporan
para misionaris proses pengkristenan orang-orang Minahasa di
pedalaman bukan hal mudah dilakukan. Kesulitan tersebut jelas
dalam laporan Pastor Spanyol Bas Palamino mengenai misi
pengkristenan yang ditolak oleh masyakat Minahasa pedalaman
(penjelasan mengenai pastor Palomino akan dijelaskan di bagian
selanjutnya). Karenanya, sulit memahami permintaan tersebut
sebagai murni kebutuhan dan kesadaran untuk menjadi Katolik.
Di sisi lain, konflik antar walak yang terjadi mendorong
walak-walak kecil/lemah sangat mebutuhkan sekutu untuk
mengamankan mereka dari tekanan walak-walak lain.
Karenanya, permohonan untuk dibaptis lebih bisa diterima
sebagai upaya orang pedalaman Minahasa untuk mendapatkan
sekutu.
56 Watuseke, Sedjarah …, 17.
Minahasa: Negeri Para Taranak 97
Kurang kuatnya data mengenai Portugis sebagai bangsa
asing pertama yang datang di Minahasa pada tahun 1512,
menempatkan Spanyol sebagai pendatang pertama di tanah
Minahasa. Ada beberapa perkiraan terkait dengan tahun ke
datangan Spanyol di Minahasa. Taulu menyimpulkan bahwa
Spanyol diperkirakan masuk tanah Minahasa pada tahun 1524
melalui kehadiran para tawanan Portugis di Ternate yang
melarikan diri ke Minahasa. Para tahan Portugis tersebut adalah
para bekas awak kapal Trinidad dari armada Ferdinan
Magelhaes. Mereka melarikan diri ke Minahasa di bantu oleh
Raja Manado Tua.57 Tidak ada penjelasan lain mengenai
bagaimana relasi yang terbangun antara para pendatang
Spanyol dengan masyarakat di tanah Minahasa. Taulu hanya
menjelaskan bahwa para pendatang Spanyol tersebut mendarat
di Amurang kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke
Pontak, Tulau, Toumuhung dan ke Kali (daerah-daerah yang
menjadi pemukiman Minahasa awal). 58 Penyebutan mengenai
daerah-daerah yang dijajaki oleh para pendatang Spanyol
tersebutpun tidak disertai dengan penjelasan mengenai
bagaimana pengaruh kedatangan mereka di daerah-daerah
tersebut.
Data lain yang lebih signifikan menunjuk kegiatan para
pendatang Spanyol, yakni laporan kunjungan paderi Scialamonte
dan Cosma Pintto pada tahun 1617. Dalam laporan tersebut
dijelaskan, bahwa kedua pederi tersebut tinggal selama dua
tahun di Manado. Mereka juga melaksanakan perayaan besar
serta mendirikan Salib yang tinggi di tepi pantai Wenang-
Manado. Meskipun demikian, Scialaminte dan Cosma Pintto
belum sempat masuk ke pedalaman tanah Minahasa yang
menjadi daerah pemukiman komunitas awal Minahasa.59
57 Taulu, Bunga…, 14.
58
Ibid.
59 Jessy Wenas, Sejarah Dan Kebudayaan Minahasa (Jakarta: Institut Seni
Budaya Sulawei Utara, 2007), 43.
98 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Misionaris Spanyol pertama yang berhasil masuk dan
berelasi dengan komunitas Minahasa di pedalaman, yakni Pastor
Blas Palomino pada akhir bulan April 1619. Palomino masuk ke
Minahasa melalui Kali (salah satu desa di Minahasa) dan juga
mengunjungi Kakaskasen, Sarongsong, Tombariri, dan
Tondano.60 Di Kali dia bertemu dan berbicara dengan pemimpin
masyarakat (ukung) bernama Wongkar. Mereka membicarakan
maksud kedatangannya di Kali, yakni untuk mengajarkan ajaran
Katolik dan melakukan pembaptisan. Dalam catatan hariannya,
Das Palomino menceritakan bagaimana suasana perjumpaan
dengan pemimpin dan masyarakat Kali, sebagai berikut:
Di mana-mana penduduk menerima kami sebagai sahabat,…. Waktu itu rakyat sedang sibuk dengan panen padi. Pada satu ketika, mereka akhirnya mengatakan bahwa imam-imam tidak boleh bermalam di sana karena mereka harus merayakan persembahan pesta panen dan mempersembahkan korban kepada dewa-dewanya. Jadi, selama itu pastor tidak boleh tinggal di daerahnya dan mereka minta agar kami berangkat saja dari sana. Namun mereka berjanji akan mengadakan lagi rapat nanti. Kami pulang dengan harapan kecil saja dan menunggu saat kunjungan yang nanti mereka akan tentukan waktunya. Memang, kami tidak dapat memaksa mereka melihat mereka belum masuk kedalam kuasa Raja Spanyol sehingga mereka bukan bawahan kami.61
Pastor Puga, biograf dari Blas Palomino menambahkan
dalam catatannya mengenai perjumpaan Palomino dan
rombongan dengan pemimpin dan masyakat Kali.
Mereka berkata bahwa sesuai dengan apa yang telah ditetapkan, mereka tidak dapat menerima
60 Watuseke, Sedjarah…, 19
61
Blas Palomino, Laporan tentang Kegiatan Misi di Sulawesi Utara, terjemahan
H B. Palar dan J. Van Paasen dalam Y Van Paasen, Blas Plamino, 20,21.
Minahasa: Negeri Para Taranak 99
seorangpun pastor dan tidak akan mengijinkannya tinggal di kampung mereka. Dengan alasannya: bagi seorang pastor tidak ada kemungkinan lain baginya selain akan mengkristenkan orang-orang, karna untuk itulah ia datang dan begitulah kewajibannya. Selanjutnya, pastor itu akan berusaha memisahkannya dari upacara nenek moyang (foso-foso) serta membuat mereka lupa akan dewa-dewa. Seorang akan terpengaruh dan yang lain tidak. Dengan begitu perpecahan akan timbul diantara taranak-taranak (anggota keluarga), antara bapa dan anak akan timbul pertentangan dan seluruh negeri akan terbagi. Oleh karena itu mereka tidak mengijinkan pastor ke situ.62
Pastor Blas Palomino akhirnya meninggalkan Kali dan
berangkat ke Makasar untuk melaporkan mengenai
pekerjaannya yang belum mencapai hasil maksimal. Selanjutnya
dari Makasar Pastor Blas Palomino hendak kembali ke Ternate.
Dalam perjalanan ke Ternate karena angin sakal menerpa kapal
dan karena persediaan makan mulai menipis, mereka mendarat
di Kemah (sekitar 33 km dari Manado, terletak di wilah Tonsea).
Pastor Blas berbicara dan berunding dengan beberapa
penduduk setempat tentang bagaimana jalan kembali ke
manado dan mengatur barter untuk mendapatkan bahan
makanan dari penduduk. Keesokan harinya sesuai perjanjian
barter yang disepakati, Pastor Blas Palomino kembali bertemu
dengan penduduk Kemah, tetapi ternyata mereka telah bersiap
menjebak Pastor. Pastor Pedro de la Concepeion mencatat,
bahwa rombongan mereka diserang dengan tombak oleh
penduduk dan Pastor Blas Palomino terbunuh dalam insiden
tersebut.63
62 Ibid, 26.
63
Pedro de la Concepeion, Hidup dan Kematian pastor Blas Palomino Misionaris
di Minahasa tahun 1619-1622, dalam Y Van, Ibid, 27-30.
100 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Sangat minimnya deskripsi mengenai bagaimana relasi
singkat dengan masyarakat Kemah pada saat Pastor Blas
Palomino dan rombongan berkunjung ke sana, turut
mengaburkan penyebab perubahan sikap masyarakat. Kemah di
masa Minahasa awal adalah daerah pesisir pantai yang menjadi
salah satu pintu masuk pendatang ke daerah pemukiman
Minahasa. Artinya, menerima kunjungan pendatang bukan
sesuatu yang asing, sebagaimana yang digambarkan Palomino
mengenai pertemuan mereka pada hari pertama.64 Palomino
mencatat bahwa pada hari pertama pertemuan dengan
beberapa masyarakat Kemah berlangsung baik. Beberapa
masyarakat yang sempat naik ke kapal dilayani dengan baik oleh
pastor Palomino dan rombongan.65 Karenanya, tidak ada
kesulitan untuk melakukan perjanjian barter yang sedianya
direalisasikan pada keesokan harinya. Pada hari ke dua, suasana
berubah drastis dan Pastor Blas Palamino terbunuh dalam
serangan yang telah direncanakan oleh masyarakat setempat.
Kisah tragis yang dialami pastor Blas Palamino menjadi catatan
penting mengenai relasi singkat yang berakhir tragis antara
masyarakat/walak di Kemah dengan pendatang.
Tahun 1580, pengaruh Spanyol yang sistimatis di
Minahasa semakin menguat. Amurang dan Manado menjadi
pusat penjelajahan Spanyol ke pedalaman Minahasa. Dalam
wawancara dengan Fredy Wowor (pelaku budaya, khususnya
sebagai penterjemah ucapan-ucapan tua pada saat Tona’as
mengalami kerasukan roh leluhur), beliau menuturkan tradisi
kultural mengenai kedatangan orang Spanyol dan pendirian
benteng di Manado, sebagai berikut:
Orang Spanyol minta izin pada para pemimpin Minahasa untuk mendirikan Benteng dagang. Mereka kemudian mengambil kulit sapi besar dan menjelaskan bahwa benteng dan areal yang
64 Palamino, Laporan…, 26.
65
Ibid.
Minahasa: Negeri Para Taranak 101
mereka butuhkan hanya sebesar kulit sapi. Mereka mengundang ukung-ukung untuk makan bersama dan dalam makan bersama itu mereka melakukan percakapan dan meminta izin untuk mendirikan pos dagang di tanah Minahasa (Belakang Ex bioskop Benteng Manado). Para ukung menyetujui karena area yang dibayangkan untuk didirikan pos dagang hanya sebesar kulit sapi, tetapi ternyata orang Spanyol mengunting kulit sapi itu menjadi tali dan selanjutnya memakai itu sebagai ukuran dari area benteng yang akan mereka dirikan. Para ukung yang merasa ditipu akhirnya merelakan tanah sebesar itu kepada Spanyol, tetapi lama-kelamaan mulai terjadi yang tidak sesuai dengan perjanjian.66
Kehadiran Spanyol di Minahasa era tersebut
terdeskripsikan melakukan tindak semena-mena dan tidak
menghargai masyarakat lokal. Perampasan hasil bumi dan
binatang peliharaan penduduk menjadi sasaran Spanyol. Mereka
juga melakukan tindakan pemerkosaan terhadap perempuan-
perempuan di Minahasa-- terutama di wilayah Pakasa’an
Tombulu. Akibatnya terjadi perlawanan terhadap Spanyol.67
Spanyol diusir, dikejar dan terjadi pembunuhan tanpa pandang
bulu, karena para misionarispun menjadi sasaran. Banyak orang
Spanyol yang terbunuh, tetapi ada juga yang berhasil melarikan
diri dan ada juga yang disembunyikan oleh orang Tombulu yang
telah bersahabat dekat atau kawin mawin dengan mereka.68
66 Fredy Wowor, 2015.
67
Supit, Minahasa, 82.
68
Bandingkan juga dengan informasi yang disampaikan Taulu mengenai sepak
terjang Spanyol di Pakasa’an Tombulu. Taulu memaparkan bahwa kebrutalan dan
ketidaksopanan Spanyol terhadap masyarakat Tombulu akhirnya disikapi dengan
keras oleh opo Lumi salah seorang ukung Tombulu. Beliau mengumumkan
pembunuhan total kepada seluruh orang Spanyol yang berada di Tombulu. Taulu
mengutip catatan pastor Juan Yranzo yang menulis bahwa malam pertama setelah
pengumuman perang oleh Lumi, orang Spanyol ditangkap dan 19 orang langsung
dipancung kepala. Dalam pergolakan tersebut ada 44 orang Spanyol yang
dipancung. Pastor Juan Yranzo sendiri berhasil menyelamatkan diri karena ditolong
102 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Data-data tersebut memaparkan bahwa relasi antara
Spanyol dan masyarakat Minahasa sangat buruk tersebut,
terutama terjadi di wilayah Pakasa’an Tombulu. Ada tradisi lisan
yang masih terpelihara di Kali-Lotta (salah satu wilayah
Pakasa’an Tombulu) sampai saat ini, sebagaimana yang
dituturkan Tona’as Rinto Taroreh dan Mananombol
(pendamping Tona’as sekaligus penerjemah syair ritual) Fredy
Wowor:
Orang-orang Spanyol merampok hasil pertanian petani atau membayar dengan harga yang sangat murah, melakukan pelecehan seks dan pekosaan pada perempuan-perempuan Minahasa. Ada cerita lisan di Lota-kali, yang menceritakan bahwa pemutusan hubungan dengan Spanyol ditandai dengan peristiwa ritus pengejaran dan pemotongan kepala orang-orang Spanyol, yang didahului dengan pengejaran kepala imam Spanyol untuk di potong karena dia dianggap bertanggung-jawab terhadap perbuatan tidak benar orang-orang Spanyol. Dan itu dilakukan dengan ritual, jadi tidak sembarang memotong kepala imam dan orang Spanyol lainnya. Pemotongan kepala itu adalah ritual kunci untuk semua konflik yang terjadi dengan Spanyol. Tapi ketika cerita itu ditulis terlepas dari konteks cerita, sehingga terkesan seolah-olah tindakan bar-bar.69
Cerita kebrutalan Spanyol di pakasa’aan Tombulu
rupanya telah terdengar juga oleh para pemimpin pakasa’an
Tolour/ Tondano, karena itu ketika Spanyol datang di wilayah
Tondano mereka mendapat perlawanan. Pakasa’an Tondano
menolak dan melarang dengan keras Spanyol memasuki wilayah
Tondano. Karenanya, Spanyol merubah pendekatan terhadap
oleh seorang kenalan dan bersembunyi di jurang kali selama tiga tahun. Taulu,
Bunga Rampai,… 15,16.
69 Wowor, Manado, 2015 dan Taroreh, Manado 2014.
Minahasa: Negeri Para Taranak 103
ukung-ukung Tondano. Spanyol menawarkan persahabatan dan
hubungan dagang berdasar persamaan derajat. 70
Perubahan sikap Spanyol tersebut pada akhirnya dapat
mengambil hati walak Tondono, mereka diterima dengan baik
sebagai tamu. Menurut Supit, penerimaan persahabatan dan
relasi dagang Spanyol oleh para walak Tondano juga
dimungkinkan oleh kebutuhan walak Tondano untuk
memperoleh kawan yang dapat menjadi sekutu berhadapan
dengan tekanan walak-walak lain. Selain itu, Supit menilai
bahwa persahabatan dengan Spanyol memberi dampak positif
bagi walak Tondano. Walak Tondano belajar banyak hal positif,
antara lain mengenai cara membuat benteng yang kukuh di atas
air, strategi dan taktik perang, membangun rumah yang baik dan
kuat, pandai besi, dan meningkatkan pertanian padi.71
Selain kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam
kehidupan walak Tondano, relasi dengan Spanyolpun
memudahkan para misionaris Katolik untuk masuk dan
menyebarkan ajaran. Pada tahun 1640 di masa pastor Iranzo,
misionaris Katolik telah mengirim sekitar 15 orang kepala
kampung untuk belajar agama Katolik di Ternate selama satu
tahun.72 Demikian positif relasi yang terbangun antara Spanyol
dan Pakasa’an Tondano, karenanya ketika Belanda—sesuai
permintaan dan undangan beberapa ukung—datang ke
Minahasa untuk membantu mengusir Spanyol, para ukung
Tondano tetap menaruh simpati pada Spanyol.73
Belanda—VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)-- di
Ternate datang ke Minahasa atas undangan beberapa ukung
yang berharap dapat berkoalisi untuk mengusir Spanyol.
Undangan tersebut awalnya tidak direspon oleh Belanda, nanti
sekitar tahun 1655 Gubernur Simon Cos dan pasukan datang ke
70 Supit, Minahasa.., Ibid
71
Ibid.
72
Ibid, 83.
73
Watuseke, Minahasa…, 22.
104 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Manado. Cos mendirikan benteng sederhana di pesisir pantai
Manado dan menetapkan Paulus Andriessen sebagai residen
Belanda yang pertama di Minahasa.74
Pendirian benteng oleh Belanda tidak dengan sendirinya
menjadikan Belanda sebagai bangsa asing satu-satunya di tanah
Minahasa. Hal tersebut terukur dari pasokan beras masyarakat
lokal untuk Belanda yang hanya sekitar satu ton, padahal
Minahasa dinilai sebagai penghasil beras oleh Belanda. Ternyata
minimnya pasokan beras masyarakat Minahasa untuk Belanda
disebabkan oleh masih berlangsungnya perdagangan beras
antara Spanyol dan Pakasa’an Tondano, dan antara kerajaan
Makasar dan Spanyol di Amurang.75
Untuk mengoptimalnya pasokan beras dari pakasa’an-
pakasa’an dan terutama karena masih ada beberapa pakasaan
yang menolak untuk bekerjasama dengan Belanda, Gubernur
Simon Cos melakukan penaklukkan. Imbasnya, terjadi perang
antara Belanda dan Paksa’an Tondano. Demikian juga dengan
pakasa’an-pakasa’an di wilayah Amurang, yang akhirnya
bersedia bekerjsama dengan Belanda menyediakan pasokan
beras yang dibutuhkan. Tahun 1665, Belanda—melalui VOC—
berhasil mendapatkan beras sebanyak 135 ton dari Amurang
dan juga hasil-hasil lain seperti kulit penyu dan kulit kayu
lahendong (bahan pembuatan baju).76
Relasi antara Belanda dan Pakasa’an-pakasa’an semakin
signifikan pada tahun-tahun kemudian, terutama pada tahun
1677 dibawah pimpinan Padtbrugge. Padtbruge melakukan
ekspedisi di seluruh tanah Minahasa saat itu, dan memaksa
pakasa’an-paksa’an yang belum bekerja sama dengan Belanda
untuk bekerja sama. Relasi kerjasama VOC Belanda dan
Pakasa’an-pakasa’an pada tahun 1679 ditetapkan dalam
dokumen perjanjian yang dikenal sebagai Verbon 10 Januari
74 Ibid. Bandingkan juga dengan penjelasan Taulu, Bunga.., 16 dan Supit, Ibid, 88.
75
Watuseke, Minahasa…, 23.
76 Ibid.
Minahasa: Negeri Para Taranak 105
1679. Dokumen perjanjian tersebut dimaksudkan sebagai
dokumen yang mengatur kemitraan antara Belanda dan
Pakasa’an-pakasa’an di Minahasa.
Watuseke mencatat, bahwa perjanjian tersebut adalah
akhir dari kebebasan atau kemerdekaan orang-orang Minahasa
berhadapan dengan Belanda. Karena menurut Watuseke,
perjanjian kerjasama tersebut lebih mencerminkan penaklukan
Belanda dari pada kemitraan dengan Pakasa’an-pakasa’an
Minahasa. Demikian Watuseke menyimpulkan isi Verbon 10
januari 1679, sebagai berikut:
Minahasa berdjandji:
1. mengakui kekuasaan V.O.C
2. membantu V.O.C
3. memasukkan padi dan beras pada V.O.C
4. Menjelenggarakan benteng Amsterdam di Manado
V.O.C. berdjandji:
1. melindungi semua kepala-kepala walak
2. membebaskan Minahasa dari padjak
3. tidak menuntut alat2 kaju untuk diekspor
4. kontrak ini berlaku djuga untuk suku-suku Bantik,
Tonsawang, Ponosokan dan Ratahan (dahulu mereka
adalah daerah taklukkan Bolaang)77
Penilaian berbeda dikemukakan oleh Supit yang
menyimpulkan, bahwa Verbon 1679 tidak dapat dimengerti
sebagai tanda hilangnya kemerdekaan masyarakat Minahasa.
Karena, para ukung dengan sadar memposisikan diri sebagai
mitra. Karena itu, ketika relasi “kerjasama” tersebut kemudian
dihentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, para ukung
mendesak agar tetap dilanjutkan. Jika sejak awal relasi tersebut
77 Ibid, 25.
106 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
adalah relasi kekuasaan/penaklukkan pastilah mereka tidak
akan menuntut agar relasi tersebut tetap dijalankan.78
Supit selanjutnya mengkaji, bahwa telah terjadi
kecurangan dan manipulasi yang dilakukan pemerintah kolonial
Belanda terhadap para ukung melalui dokumen penjanjian
tersebut. Supit menduga ada perbedaan antara yang ditulis
pemerintah Kolonial Belanda dalam dokumen perjanjian dengan
perjanjian lisan antara mereka dengan para ukung. Dalam
dokumen, pemerintah kolonial Belanda merumuskan bentuk
relasi tersebut sebagai penakluk dan yang ditaklukan.
Sebaliknya, dalam penjelasan kepada para ukung diduga kuat
pemerintah kolonial belanda menggambarkan bentuk relasi
tersebut adalah persahabatan; relasi yang sejajar dan saling
menguntungkan. Penilaian demikian didukung oleh tradisi lisan
yang menggambarkan orang-orang Minahasa (dalam Pakasa’an)
sebagai orang-orang merdeka dan tidak mau tunduk pada orang
asing atau pimpinan yang tidak mereka pilih.79
Keberadaan VOC di Indonesia berakhir pada tahun 1731,
selanjutnya pemerintahan di Indonesia beralih pada pemerintah
kolonial Belanda. Khusus di Minahasa, pemerintahan kolonial
Belanda sempat terinterupsi dengan kehadiran Inggris yang
kemudian secara resmi menduduki Minahasa sejak tahun 1801.
Selama pemerintahan Inggris di Minahasa, Tondano didirikan
kembali (1812) dan orang-orang Tondano yang tersebar akibat
perang Tondano melawan Belanda dikumpulkan kembali.
Tahun 1817 Inggris meninggalkan Minahasa dan
pemerintahan diserahkan kembali kepada Belanda.
Pemerintahan Belanda di Minahasa secara resmi dimulai sejak
tahun 1817-1942. Di masa pemerintahan yang panjang tersebut,
78 Wowor, 2015, Taroreh, 2014 dan FGD dengan para pimpinan Badan
Kerjasama Antar Umat Beragama Sulut (BKSAUA), Januari 2015, di Manado.
79 lihat juga dalam Y. Van Parsen, Blas Palomino…20. Van Parsen juga
mencatat ketidakseganan orang Minahasa untuk mengganti pemimpin yang tidak
lagi menjalankan kesepakatan bersama.
Minahasa: Negeri Para Taranak 107
kekuasaan Belanda semakin kuat dan posisi orang Minahasa
bergeser dari mitra menjadi masyarakat jajahan.
Minahasa sebagai masyarakat jajahan tentu saja
mengalami kooptasi dan tidak memiliki kebebasan
menyelenggarakan kepemimpinan dalam walak dan pakasa’an.
Sistim kepemimpinan di Minahasa mengalami perubahan, yang
sebenarnya telah dimulai sejak zaman VOC dan semakin
sistimatis di masa pemerintahan wakil pemerintah Belanda di
Minahasa.
Perubahan-perubahan tersebut antara lain, Minahasa
mulai mengenal jabatan Residen, yakni perwakilan pemerintah
Belanda di Manado. Jabatan Hukum Mayoor Minahasa, yang
sudah dimulai sejak masa VOC, semakin menemukan bentuknya
di Masa kolonial Belanda. Pakasa’an diganti menjadi distrik,
sedangkan walak menjadi distrik bawahan. Kepala walak
disebut Hukum Besar dan wakilnya disebut Hukum Kedua,
sedangkan kepala desa disebut Hukum Tua. Di samping itu,
dalam walak-walak yang memiliki serdadu dikenal juga jabatan
Kapitein, yakni koordinator serdadu.80
Jabatan-jabatan tersebut di atas, tidak melalui proses
pemilihan oleh rakyat sebagaimana sistim pemilihan pemimpin
di Minahasa saat itu. Sebaliknya, para pemimipin tersebut dipilih
dan ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Tentu saja penetapan
demikian tidak begitu saja diterima oleh para pemimpin
Minahasa. Keberatan anak-anak Lontoh dan Paat terkait dengan
pengangkatan Tololiu Supit sebagai Hukum Mayoor Minahasa
(yang terdiri dari Tombariri, Tomohon, dan Tonsarongsong),
adalah salah satu contoh penolakan terhadap penataan sistim
pemerintahan demikian.81
80 Jessy Wenas, Sejarah Dan Kebudayaan Minahasa, (Manado: Institut Seni
Budaya Sulawesi Utara, 2007), 47,51.
81 Ibid.
108 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Belanda juga melakukan pengaturan ulang pakasa’an-
pakasa’an. Contoh yang paling kuat mengenai pengaturan ulang
tersebut, yakni penyatuan yang dilakukan kolonial Belanda
terhadap Tonsawang, Pasan, Ratahan, Panosokan dan Bantik
yang awalnya adalah wilayah kerajaan Bolaang-mongondow
menjadi pakasa’an baru di tanah Minahasa.82
Sisi lain dari bercokolnya Belanda di tanah Minahasa,
yakni perubahan-perubahan di bidang pendidikan dan
kesehatan. Dua bidang ini terutama dikerjakan oleh pada
Zending yang mendapatkan akses dari pemerintah Belanda. Di
lingkungan Protestan Minahasa, misionaris J.G. Schwarz, J.F.
Riedel, dan C.T. Herman merupakan tenaga-tenagan Misi yang
tidak hanya mementingkan usaha-usaha pengkristenan, tetapi
juga pendidikan dan kesehatan masyarakat Minahasa. Kemajuan
kehidupan Masayarakat Minahasa di bawah pemerintahan
kolonial Belanda, terutama karena kerja keras para misionaris
tersebut. 83
Kemajuan di bidang pendidikan tersebut, ditandai juga
dengan pendirian sekolah-sekolah, kesempatan bersekolah bagi
semua anak negeri di Minahasa. Tahun 1872 dibuka sekolah
Pamongpraja/ Hoofdenschool (sekolah anak-anak kepala) yang
merupakan satu-satunya sekolah demikian di Indonesia. Tahun
1881 dibuka sekolah khusus untuk para perempuan Minahasa
yang disebut Meisjesschool/sekolah nona. Selanjutnya, pada
tahun 1901 dbuka sekolah kelas VII Manadosche School, yakni
sekolah khusus yang kemudian berubah menjadi HIS. Sekolah-
sekolah setingkatan juga di buka di Tondano, Tomohon dan
Amurang, bahkan sekolah-sekolah lanjutan. 84
82 Supit, Minahasa, 97.
83
Penjelasan lebih mendalam mengenai siapa dan bagaimana J.G. Schwars, J.F.
Riedel dan C.T. Herman serta bagaimana kerja mereka dibidang pendidikan dan
kesehatan masyarakat, dapat dibaca dalam kajian Bertha Pantouw, Perubahan…
84
Watuseke, Minahasa…, 45,48.
Minahasa: Negeri Para Taranak 109
Perkembangan di bidang pendidikan yang terjadi di
Minahasa pada zaman kolonial Belanda memang unik.
Masyarakat Minahasa sebagai jajahan mendapat kesempatan
untuk mengembangkan kualitas diri mereka melalui pendidikan
yang disediakan kolonial Belanda. Bahkan, beberapa pemuda
berprestasi diberi kesempatan oleh Belanda untuk melanjutkan
studi di luar negeri. Salah satu pemuda yang studi di luar negeri,
yakni DR. G.S.S.J. Ratu Langie; Beliau adalah doktor ilmu pasti
lulusan Swis (1919). 85
Ketika Ratu Langie kembali ke tanah Minahasa, dia
kemudian terpilih sebagai sekretaris Minahasa Raad (Dewan
Minahasa di Manado. Tahun 1928-1937 Ratu Langie menjadi
anggota Volskraad mewakili Persatuan Minahasa. Beliau
selanjutnya berkiprah bersama para pemikir dan pejuang
Nasional, seperti Soekarno dan Hatta.86
Tahun 1942 Belanda mengakhiri pemerintahannya di
Indonesia, bersamaan dengan itu Jepang menjadi penguasa
tunggal di Indonesia. Masuknya Jepang di Minahasa, disertai
dengan pembasmian tentara KNIL orang Minahasa. Selanjutnya
Jepang membentuk pemerintahan Militer yang disebut
Sjutjosjotjo,87 serta memberi hak campur tangan dalam
pemerintahan kepada Indonesia. Di Tanah Minahasa dibentuk
Sjukai (Dewan keresidenan) dan untuk kota Manado dibentuk
Sikai (Dewan Kota).88
Di masa pendudukan Jepang, sekolah-sekolah, gereja dan
perkantoran kembali digiatkan. Di bidang pertanian, Jepang
menganjurkan semua penduduk untuk menanam yang
pelaksanaannya diawasi langsung oleh para perwira Jepang
dengan disiplin yang ketat. Di sisi lain, tindakan kekerasan
terhadap masyarakat dengan alasan tidak disiplin juga menjadi
85 Ibid, 53.
86
Ibid.
87
Jessy, Sejarah…, 56.
88 Watuseke, Minahasa…, 57.
110 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
pengalaman hidup yang tidak ringan bagi orang Minahasa.
Bahkan tidak terhindarkan tindak kekerasan seksual terhadap
perempuan-perempuan Minahasa, yang dikemudian hari
menjadi subyek permohonan maaf pemerintah Jepang.
Perjumpaan dan relasi dengan orang-orang asing/
pendatang sebagaimana yang dialami taranak dalam wale dan
Pakasa’an—baik ataupun tidak baik relasi yang terjadi—pastilah
telah turut memberi pengaruh pada proses pembentukan
Minahasa awal. Tidak berlebihan, jika saya mengatakan bahwa
proses pembentukan Minahasa awal berada dalam suasana tarik
menarik antara sikap terbuka yang telah mengakar kuat dalam
diri mereka karena pemahaman mengenai Tou yang mengkristal
dalam Tiwa Lumimuut-Toar dengan keberadaan sebagai
masyarakat yang mengalami kooptasi dan penguasaan oleh
orang-orang asing.
Uniknya, dalam konteks masyarakat Minahasa awal
relasi buruk dengan beberapa bangsa asing yang datang tidak
membuat mereka menjadi tertutup terhadap orang asing
lainnya. Relasi dagang yang mereka bangun dan pembauran
melalui perkawinan dengan orang-orang Cina yang kemudian
membangun perkampungan Cina di tanah Minahasa,89
merupakan salah satu contoh bagaimana orang Minahasa
memilih untuk membentuk identitas sesuai yang mereka
inginkan. Contoh lain, yakni penerimaan orang Minahasa
terhadap kelompok orang yang berasal dari suku Jawa dan
Sumatera90 yang datang ke Minahasa. Dua diantaranya, yakni
89 Dalam Fokus Group Discussion (FGD) dengan tokoh-tokoh BKSUA (Badan
Kerjasama Antar Umat Beragama) Propinsi Sulut, dituturkan oleh tokoh yang
mewakili Budha bahwa Cina mengenal kota Manado melalui kopi yang dipasarkan
Spanyol ke daratan Cina—karena kopi tersebut merupakan hasil tanah yang
ditanam Spanyol di tanah Minahasa. Para pedagang Cina merintis pengembangan
gudang kopi (kini seputar Pasar 45—nama tempat yang berada di pusat kota
Manado) yang kemudian menjadi daerah Pecinan. FGD dengan tokoh-tokoh
BKSUA Propinsi Sulut, 9 Januari 2015.
90
Tahun 1830-an, orang-orang buangan kolonial Belanda, yakni Imam Bonjol
dan pengikutnya dibuang ke Minahasa dan kemudian bermukim di Pineleng (salah
Minahasa: Negeri Para Taranak 111
Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya yang menjadi tahanan
politik Belanda dan di buang ke tanah Minahasa pada tahun
1929. Imam Bonjol dan seorang pengawalnya yang bernama
Apolos Minggu. Imam Bonjol meninggal di Lotta, Minahasa pada
tanggal 6 November 1864. Para pengikut Kyai Mojo dan
pengawal Tuanku Imam Bonjol tersebut tinggal di tanah
Minahasa, menikah dengan perempuan Minahasa (pengikut Kyai
Mojo menikah dengan anak-anak para ukung) bahkan diberikan
tanah untuk tempat tinggal dan lahan pertanian oleh para
pemimpin lokal.91
Dalam perkembangan selanjutnya, perjumpaan dengan
para pendatang lainnya yang datang ke tanah Minahasa semakin
tidak terhindarkan. Bersamaan dengan itu, batas-batas
pakasa’an menjadi semakin kabur. Terkait dengan hal tersebut,
menarik menggarisbawahi pemikiran Fredrik Barth tentang
penyebab kabur dan hilangnya batas antar etnis. Barth
menjelaskan bahwa meskipun awalnya setiap etnis membuat
dengan sengaja batas-batasnya berhadapan dengan etnis lain
demi menjaga kesinambungan etnisnya, lama kelamaan batas-
batas tersebut tidak lagi menjadi penghalang. Sebaliknya,
proses interaksi yang terjadi antar etnis akan mewujud dalam
satu tempat di Minahasa). Demikian juga Kyai Modjo dan pengikutnya yang
dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda dan selanjutnya membangun pemukiman
di Tondano di tanah yang diberikan pemimpin pakasa’an. Para pengikut Kyai
Mojo yang menikah dengan anak-anak pemimpin walak di Tolour tinggal di tanah
yang diberikan kepada mereka. Sekarang anak-cucu mereka tetap mendiami wilyah
tersebut yang kini dikenal dengan nama Kampung Jawa Tondano (Jaton). Anak-
cucu pengikut Kyai Mojo memiliki saudara dari garis ibunya yang tersebar di
kampong-kampung lainnya di Tondano, bahkan di kampung-kampung lainnya di
tanah Minahasa kini. Wawancara dengan Tokoh-tokoh agama dan Masyarakat
Kampung Jawa – para turunan pengikut Kyai Mojo, Tondano, 2015
91
Wawancara dengan keturunan pengikut Kyai Mojo, 25 Juni 2015, di Tondano;
wawancara dengan keturunan Apolos Minggu, 4 Mei 2015, di Lota Pineleng.
bandingkan juga dengan tulisan Djafar, Sukirman. H, Himpunan Pergerakan Perang
Di Panagara melalui Tiga Serangkai dalam Sambutan Para Walak Minahasa di
Tempat Pengasingan Jaton, (Jakarta: Timpari, 2008).
112 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
potensi interaksi yang selanjutnya mendorong terjadinya
transformasi etnis.92
Dalam konteks relasi dalam walak dan antar pakasa’an
di tanah Minahasa, teori Barth bisa dipakai sebagai acuan untuk
memahami peleburan dari wale menjadi walak, walak menjadi
pakasa’an dan pakasa’an menjadi Minahasa sebagai hasil
konstruksi dari interaksi yang kuat yang berlangsung diantara
mereka. Bahkan dapat juga dipakai untuk memahami peleburan
atau proses asimilasi yang terjadi melalui perkawinan yang
kemudian membuka ruang bagi orang asing untuk menjadi
bagian dari Pakasa’an dan selanjutnya menjadi bagian dari
Minahasa.
Di masa kini proses pembauran karena perkawinan
tidak hanya menyebabkan batas-batas pakasa’an sebagaimana
yang ditetapkan leluhur menjadi kabur, tetapi juga sangat sulit
bagi orang Minahasa kini untuk mengklaim diri sebagai orang
asli Minahasa. Dengan nada positif, Denny Pinontoan, anggota
Mawale Movement menyimpulkan realitas tersebut sebagai
proses menjadi Minahasa yang telah dimulai sejak zaman para
leluhur.
Sebagaimana makna Tou Tumou yang bertumbuh kembang artinya kan dia berkreasi. Salah satu jalan yang dipilih leluhur sejak zaman lampau adalah membuka diri; dari 3 sub etnis, menjadi 4 lalu kemudian menjadi 9. Bahkan sekarang jadi lebih banyak karena ada juga yang disebut Minahasa plus. Karena dalam rangka kehidupan berlanjut, sehingga keterbukaan terhadap orang lain tidak dianggap sebagai ancaman. Karena Minahasa/malesung adalah itu. Karena Lumimuut-Toar itu kan dari luar. Saya kira cerita tentang Lumimuut-Toar yang berputar mengelilingi gunung dan kemudian bertemu, itu adalah
92 Frederich Barth, Ethnic Group and Boundries; The Social Organitation of
Culture Difference. (Oslo: Pensumtjeneste), 1994, 14,15.
Minahasa: Negeri Para Taranak 113
simbolisasi terhadap perjumpaan-perjumpaan. Cerita Lumimuut-toar sekarang ini yang ditemukan ada 50-an, lisan dan tulisan. Bahkan masing-masing komunitas mengembangkan. Nah, apa artinya itu? Menurut saya, Minahasa itu multi interpretatif, menjadi persoalan jika ditunggalkan karena karakter keterbukanya. Justru karena keterbukaan tersebut Minahasa mau berdialog dengan pendidikan modern Eropa; dia mau menerima kekristenan. Pada saat-saat tertentu sebagaimana dibuktikan dengan perang-perang (maksudnya dengan bangsa asing), bahwa ternyata orang Minahasa punya prinsip juga, yakni tentang kesetaraan.93
Di sisi lain, tidak semua orang Minahasa kini—termasuk
kelompok budaya—yang melihat keberadaan para pendatang
(kini) secara positif. Kecenderungan sebagian pendatang kini
yang hanya datang untuk mencari nafkah dan tidak peduli
dengan tanah dan nilai yang dikandung oleh tanah Minahasa,
menjadi penyebab ketersinggungan dan ketidaksenangan
masyarakat lokal. Pendatang-pendatang demikian hanya
mengejar kepentingan mereka, bisnis mereka, bahkan mulai
masuk ke ranah politik untuk mempengaruhi kebijkan-
kebijakan pemerintah (khususnya pemerintah kota Manado).94
Karenanya, menurut Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat
Nasional meskipun keliru jika menggeneralisasi pendatang,
tetapi perlu juga untuk bersikap hati-hati. Selanjutnya Gosal
menuturkan:
Kami di Mawale (salah satu kelompok adat di mana beliau juga menjadi bagian) sudah merumuskan satu rumusan tentang siapa Tou Minahasa.95 Tou Minahasa menurut kami adalah
93 Wawancara dengan Deny Pinontoan, salah satu anggota kelompok Mawale
Movement, 18 Februari 2015, di Manado.
94 Wawancara dengan Welem Kumaunang, 2015, di Manado.
95
Tou Minahasa yang mereka maksudkan dalam rumusa tersebut, hanya
menunjuk pada manusia-manusia yang hidup bersama di tanah Minahasa.
114 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
siapapun yang menjadikan tanah Minahasa sebagai ruang hidup dan berkomitmen menjaga keberlangsungan tanah Minahasa dan segala yang ada di tanah ini berarti dia Tou Minahasa. Jadi tidak melihat dari darahnya, warna kulit, suku. Saya sebagai pribadi melihat ada yang kemudian merusak hal tersebut--bukan hanya pendatang tapi juga masyarakat lokal Minahasa. Sikap saya sebagai pribadi terhadap pendatang, yakni hati-hati. Tetapi Ada klasifikasi lagi, yakni pendatang yang memang jujur memaknai diri sebagai bagian dari tanah Minahasa, karena telah mendapatkan hidup dari tanah ini. Sementara itu ada juga pendatang yang memang hanya menjadikan tanah ini sebagai tempat mencari kebutuhan hidupnya dan tidak ada tanggung-jawabnya untuk menghargai kehidupan di tanah ini; bahkan tidak jarang mereka mempunyai agenda-agenda khusus. Memang karena kelompok-kelompok yang memiliki agenda-agenda khusus demikian, kemudian membuat masyarakat lokal terjebak untuk menganggap pendatang dengan agama tertentu semuanya sama, yakni memiliki agenda khusus. Tapi memang harus tetap berhati-hati terhadap pendatang agar kita tidak kecolongan oleh para pendatang yang memiliki agenda khusus.... Selain itu, kita harus mengerti betul, bahwa jangan mencurigai pendatang hanya karena mereka lebih sukses dari kita. Karena mereka mungkin lebih giat atau lebih bekerja keras.96
Kekuatiran lain yang juga mengemuka terhadap
pendatang, yakni terhadap penguasaan sektor ekonomi oleh
para pendatang di tanah Minahasa kini. Dalam wawancara
dengan pengurus Kelompok Budaya Makatanak, mereka
menyampaikan kegelisahannya sebagai berikut,
96Wawancara dengan Rivo Gosal, Ketua Aman, Manado, 2015.
Minahasa: Negeri Para Taranak 115
Kami juga berpikir, bahwa yang salah itu sebenarnya masyarakat lokal Minahasa. Kelebihan kita, yakni terbuka tetapi karena terlalu terbuka sehingga jati diripun hilang. Kita lihat misalnya, di boulevard ini sentra ekonomi telah dikuasai oleh pendatang. Kami terus bergerak, tetapi bukan anti. Karena sejak awal leluhur kita telah membangun kepercayaan dengan para pendatang. Lihat misalnya adanya kampung Islam dibeberapa tempat di tanah Minahasa. Bahkan di kampung Jawa-Tondano, para leluhur (khususnya para walak) mengawinkan anak-anak perempuan mereka dengan pengikut-pengikut Kyai Modjo. Hanya, dalam realita perkembangan sekarang ini, para pendatang sudah mulai menguasai. Dalam Artian kita yang tuan tanah mulai tersingkir.97
Sebaliknya ketika pertanyaan tentang keberadaan
pendatang dikemukakan juga para pendatang yang telah hidup
lama di tanah Minahasa, saya merekam hal berbeda. Mereka
memahami, bahwa keterbukaan dan penerimaan yang
bersahabat yang dilakukan oleh leluhur Minahasa membuat
mereka (yang di mulai dari para leluhur mereka) dalam proses
waktu tidak lagi merasa sebagai orang asing atau pendatang
sebaliknya menjadi bagian dari Minahasa. Hal demikian bukan
hanya disebabkan karena perkawinan dengan orang Minahasa
(yang sudah di mulai sejak Minahasa awal), tetapi juga karena
interaksi dan keterlibatan konkrit dalam kegiatan bersama di
kampung. Kontribusi konkrit yang telah para pendatang lakukan
melalui beragam ketrampilan mereka, sangat mempermudah
proses penerimaan tersebut.98 Dalam FGD BKSUA pemimpin
agama Islam menuturkan kembali cerita leluhurnya mengenai
keterbukaan orang dan sikap menghargai mereka terhadap para
pendatang.
97 Wawancara dengan pengurus kelompok budaya Makatanak, Maret 2015, di
Manado.
98 Wawancara dengan turunan-turunan pengikut Kyai Modjo, 25 Juni 2015, di
Tondano.
116 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou
Tanah Minahasa inikan sejak abad IX menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dianggap memberontak terhadap Belanda. Tetapi orang Minahasa menerima mereka, berbaur bahkan kawin-mawin dengan mereka. Penerimaan dan keterbukaan tersebut juga dialami oleh suku-suku lain yang beragama Islam, termasuk suku Bugis yang datang kemudian di tanah Minahasa. Situasi demikian masih berlangsung sampai saat ini, karena itu umat Islam yang ada di kampung Jawa Tondano tetap hidup damai bahkan menjadi bagian suku Minahasa. Semuanya itu disebabkan karena suku Minahasa membuka diri terhadap mereka. Karena itu pula, kampung-kampung Islam menyebar dengan berbagai nama; kampung Islam, kampung Arab, kampung Bugis, kampung Ternate di tanah Minahasa.99
Cerita sejajar dikemukakan juga oleh salah seorang
peserta FGD kelompok BKSUA Sulut—pemimpin agama
Budha—menjelaskan bagaimana cerita turun temurun
mengenai keberadaan mereka di tanah Minahasa dan juga
pengalaman terlibat konflik dengan suku Gorontalo (salah satu
suku pendatang di tanah Minahasa yang mendominasi pasar dan
kaki lima di kota Manado).
Menurut cerita orang-orang tua kami, para leluhur kami yang datang di tanah Minahasa untuk berdagang diterima baik oleh para pemimpin Minahasa. Bahkan ketika kami kemudian berdiam di wilayah pemukiman kami sekarang (kampung Cina di pusat kota Manado sekarang), kami tidak pernah diganggu. Kami juga kemudian menikah dengan orang-orang Minahasa. Memang tanggal 14 Maret 2005, pernah terjadi konflik di pasar 45, tetapi bukan dengan orang Minahasa melainkan dengan pedagang-pedagang kaki lima di situ yang berasal dari Gorontalo. Tapi tidak semua pedagang
99 FGD BKSUA, 2015.
Minahasa: Negeri Para Taranak 117
asal Gorontalo berkonflik dengan kami, ada juga para pedagang yang menjadi langganan kami yang membantu kami dengan cara mengantar makan ke ruko-ruko kami ketika kami terjebak dalam ruko selama beberapa hari karena konflik yang memanas. Konflik itu akhirnya bisa diselesaikan, karena semua pihak terutama orang-orang Minahasa—yang dimaksud orang-orang Minahasa dari daerah pegunungan yang turun gunung menyelesaikan konflik di kota Manado-- membantu mengumpulkan kami dan bermusya-warah menyelesaikan konflik tersebut.100
Signifikansi dari pemaparan data wawancara di atas,
yakni terdapat perbedaan penilaian antara informan
representasi masyarakat lokal dan informan masyarakat
pendatang. Perbedaan tersebut melahirkan pertanyaan, siapa
pendatang yang oleh kelompok masyarakat lokal dinilai tidak
menghargai nilai-nilai Tou? Siapa pendatang yang oleh
masyarakat lokal dinilai hanya beroreintasi penguasaan
ekonomi masyarakat di tanah Minahasa? Dari data observasi
dan wawancara saya menyimpulkan bahwa gesekan-gesekan
sosial yang terjadi berlangsung atara masyarakat lokal dengan
oknum pendatang kini. Para oknum pendatang kini yang tidak
mengerti sejarah kultural terbentuknya tanah Minahasa; yang
tidak mengerti relasi masyarakat lokal dan pendatang di masa
lalu; para oknum pendatang yang berorientasi pada kepentingan
bisnis dan kekuasaan. Dari deskripsi tentang para pedatang
yang demikian, meskipun dengan beberapa catatan kritis yang
akan dikemukakan dalam bab VI, tetapi reduksi Tou yang
menajam pada klaim orang Minahasa asli bisa dimengerti.
100 FGD dengan BKSUA, 2015.