BAB IV ILMU LADUNNI MENURUT AL-GHAZALIdigilib.uinsby.ac.id/13991/53/Bab 4.pdf · dari mengetahui...
Transcript of BAB IV ILMU LADUNNI MENURUT AL-GHAZALIdigilib.uinsby.ac.id/13991/53/Bab 4.pdf · dari mengetahui...
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
BAB IV
ILMU LADUNNI MENURUT AL-GHAZALI
A. Pengetahuan Diri
Al-Ghazali meyakini langkah pertama yang wajib dilakukan oleh setiap
insan sebelum sebelum mengetahui yang lain adalah mengetahui dirinya.
Pengetahuan diri dimaksudkan mengetahui hakikat manusia. Bagimana
manusia diciptakan? Unsur apa saja yang ada dalam manusia? Apa hakikat
manusia? Dan apa tujuan akhir manusia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
adalah pertanyaan fundamental yang dapat menghantarkan manusia untuk
mengatahui hakikat diri.
Dalam lintasan sejarah, urgensi mengetahui diri ini sudah ditekankan oleh
Socrates melalui ungkapannya yang sangat terkenal “Gnoli se auton” (kenali
dirimu sendiri), melalui kalimat singkat yang menjadi dasar dari seluruh
pemikiran filsafat ini, Socrates menghimbau manusia untuk mengenali hakikat
dirinya terlebih dahulu sebelum berusaha mengetahui faktual-etis yang lain.
Slogan ini demikian populer sehingga orang-orang Yunani menuliskannya di
kuil dewa-dewi mereka.1
Dalam dunia Islam, masalah pengetahuan diri juga menduduki posisi
agung karena diyakini sebagai pilar utama untuk mengetahui Tuhan. Maksud
dari mengetahui Tuhan yang dimaksudkan di sini bukanlah mengetahui esensi
Tuhan,2 pengetahuan tentang Tuhan di sini dimaknai sebagai kedekatan diri
1 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, cet Ke-3, (Jakarta, Gramedia:2002), 281. 2 Luqman Junaidi, Ilmu Hudhuri: Konsep Ilmu Pengetahuan dan Filsafat Iluminasi Suhrawardi, (Depok, Tesis:2009), 97.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
dengan Tuhan. Pengetahuan yang demikian pula dapat menghantarkan
manusia pada kedudukan spiritual tertinggi, serta mampu menghadirkan
kedamaian dan ketenangan dalam jiwanya.
من عرف نفسه عرف ربه. أعرفكم بنفسه أعرفكم بربه
“Orang yang mengetahui dirinya, pasti mengetahui Tuhannya. Orang yang paling mengetahui dirinya diantara kalian, adalah orang yang paling mengetahui Tuhannya”.3
Uniknya, walaupun istilah pengetahuan diri ini sangat akrab bagi kalangan
sufi, namun tak satupun dari kaum sufi yang mampu memaparkan
pengetahuan ini secara subtil setelah mengalaminya. Yang bisa dilakukan
hanyalah menguraikan sejumlah langkah yang bisa ditempuh untuk bisa
mencapai pengetahuan ini.
Al-Ghazali adalah salah satu sufi yang melakukan hal tersebut dalam
rangka mengetahui hakikat manusia. Hal tersebut sangat jelas dalam
ungkapannya ketika ia meng-counter pendapat orang-orang yang tidak
meyakini adanya ilmu ladunni.
م م المظل دهما: الجس ين: أح يئين مختلفت ن ش ان م ق اإلنس الى خل م أن هللا تع اعل
تم ذي ال ي ى ال ف التراب ب المؤل اد المرك ون والفس ت الك داخل تح ف ال الكثي
ل درك الفاع ر الم رد المني وهري المف نفس الج و ال ر: ه ره، واآلخ ره إال بغي أم
المحرك المتمم لآلالت واألجسام.
“Ketahuilah, bahwa Allah swt. menciptakan manusia terdiri dari dua unsur yang berbeda. Salah satunya adalah jisim yang gelap dan berat, ia terdapat di bawah alam jagad raya ini, tersusun dari unsur tanah yang kejadiannya tidak akan sempurna dibantu oleh unsur-unsur yang lain. Yang kedua adalah jiwa yang sangat substantif dan menerangi, mengenal,
3 Rifa’ie (Al), Burha>n al-Mu’ayyad, cet Ke-1, (Beirut, Dar al-Kutub:1408), 48.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
berfungsi sebagai subjek dan penggerak, yang dapat menyempurnakan bagian-bagian dari jisim.”4
Dari ungkapan di atas, tentunya akan menimbulkan pertanyaan baru, jika
ada ungkapan “aku” maka yang lebih dominan dari keduanya yang mana?
Rene Descartes (1596-1650) melalui ungkapan “cogito ergo sum” (aku
berpikir maka aku ada), ingin menunjukkan bahwa rasionalitas representatif
sang subjek terlebih dahulu daripada relitas eksistensi. Menurutnya, kesadaran
bahwa “aku ada” muncul belakangan setelah “aku sadar bahwa aku berpikir”.
Berbeda dengan kesadaran yang ditawarkan oleh Suhrawardi, konsep
kesadaran diri Suhrawardi tidak memiliki representasi dirinya. Dalam Hikmah
al-Isyraq ia menuliskan:
يس ة ل ال األناني ال ومث ان بمث ه إن ك ه علم ال لذات ه بمث م ذات ه ال يعل إن لذات
ون زم أن يك ذ. فيل ال حينئ و المث درك ه و. والم ا ه بة إليه و بالنس ي. فه ه
ه إدراك ا بعين ون إدراك ذاته و، وأن يك و ه ا ه ه م و بعين ة ه إدارك األناني
.غيرها، وهو محال
“Sesuatu yang eksis dalam dan sadar akan dirinya sendiri tidak mengetahui dirinya melalui representasi atas dirinya yang tampak oleh dirinya. Sebab, jika seseorang harus membuat representasi dirinya untuk mengetahui dirinya, representasi itu adalah “dia” dalam kaitannya dengan diriku, dan bukan “aku”. Ini karena representasi keakuan tidak pernah menjadi realitas diri “keakuan” tersebut. Dengan demikian, hal yang muncul dalam kesadaran adalah representasi itu. Jadi, dapat dikatakan bahwa kesadaran akan “keakuan” akan mejadi kesadaran akan “kediaan”, dan bahwa kesadaran akan realitas keakuan karenanya akan menjadi kesadaran akan apa yang bukan “keakuan”. Dan ini absurd.”5
Dari pernyataan Suhrawardi di atas, dapat dipahami bahwa konsep
Suhrawardi tentang pengetahuan diri bersifat performatif dan swaobjektif.
4 Ghazali (al), Majmu>’at al-Rasa>’il, vol. III, (Beirut, Dar al-Kutub:1994), 224. 5 Suhrawardi, Majmu>'at al-Mus}annafah Syaykh al-Isyra>q I, cet. Ke-I, (Teheran, Institut d'Etudes et des Recherehes Culture, 1993), 111.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
Performatif karena “aku” yang ingin diketahui adalah “aku” yang subjektif,
bukan produk. Swaobjektif karena pengetahuan ini bersifat mandiri tanpa
representasi. Pada giliran konsep pengetahuan diri inilah yang kemudian
membuat ilmu hudhuri sebagai ilmu swaobjektif.
Lebih lanjut al-Ghazali memberikan banyak istilah dan nama-nama dari
beberapa unsur yang ada di dalam manusia. Tetapi al-Ghazali menambahkan,
hakikat dari nama-nama tersebut adalah sama yaitu ruh.
د وهر عن ذا الج ي ه ة أعن نفس الناطق اء ولل اص، فالحكم م خ وم اس ل ق ك
روح ة وال نفس المطمئن ميه ال رآن تس ة، والق نفس الناطق وهر ال ذا الج مون ه يس
د ال ى واح امي والمعن ي األس الف ف ب، والخ ميه القل وفة تس ري، والمتص األم
خالف فيه.
“Jiwa an-Na>thiqah, -dan yang dimaksudkan substansinya menurut kalangan tertentu memiliki nama yang khusus- para ahli hikmah menyebut substansi ini dengan an-nafs an-na>thiqah (jiwa pemikir). Al-Qur’an menyebutnya dengan an-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang) dan ar-ru>h al-amriy (ruh urusan Allah). Sementara kalangan kaum sufi menyebutnya dengan al-qalb (hati). Perbedaan-perbedaan tersebut hanya menyangkut istilah, sementara maknanya adalah sama, tidak ada perbedaan di kalangan mereka.”6
Dalam istilah sufi, terdapat istilah ar-ru>h al-hayawa>ni, yang disamakan
dengan jiwa. Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan istilah tersebut adalah
kekuatan syahwat dan amarah, karena keduanya memang tumbuh dari hati
yang berada “di sisimu”. Maka sebenarnya para pembahas persoalan jiwa
mengungkapkan substansi jiwa dengan istilah yang berbeda-beda. Namun
kejelasan tentang ar-ru>h al-hayawa>ni menurut al-Ghazali adalah jisim
halus.
6 Ghazali (al), Majmu>’at al-Rasa>’il, vol. III, (Beirut, Dar al-Kutub:1994), 225.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
واني الروح الحي رد، ف وهر الف رض والج م والع ة: الجس ام ثالث م أن األقس واعل
جسم لطيف.
“Ketahuilah bahwa sesuatu itu dibagi dalam tiga bagian, yaitu: al-jism (jisim), al-‘ardh (sesuatu yang dapat menerima perubahan), dan al-jauhar al-fard (substansi tunggal). Sedangkan ar-ru>h al-hayawa>ni adalah jisim halus.”7
Menariknya lagi, hakikat dari itu semua memiliki representasi, ia adalah
substansi tunggal yang tidak menerima pecahan, sempurna dan berdiri sendiri.
Namun, ia mampu mengenali segala sesuatu.
ادر نفس ق إن ال ا ف انا كم رى إنس ر أن ت ن غي انية م ة اإلنس م حقيق ى أن تعل ة عل
أنها علمت المالئكة والشياطين، وما احتاجت إلى رؤية أشخاصها.
“Ketahuilah bahwa jiwa dapat mengenal manusia, tanpa harus berhadapan dengan manusia dalam bentuk fisik, sebagaimana ia juga mengenal malaikat dan setan, tanpa harus melihatnya secara fisik.”8
Dari pengetahuan diri inilah muncul istilah ilmu ladunni. Jiwa (selanjutnya
dibaca: ruh) memiliki kecenderungan untuk selalu menuntut ilmu. Karena
ilmu adalah hiasan akhirat.
ذا ا دة ه ي م تغل ف الروح ال يش ه ف ون حليت م يك م ألن العل ب العل فر إال بطل لس
في دار اآلخرة.
“Sedangkan ruh manusia tidak dapat beraktivitas sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan kehidupan ini, kecuali dalam menuntut ilmu, sebab baginya menuntut ilmu merupakan hiasan nanti di alam akhirat.”9
Konsep pengetahuan diri yang ditawarkan oleh al-Ghazali adalah manusia
secara utuh yang tidak lagi terpisah dengan unsur-unsur pembentuknya, tetapi
lebih fokus kepada esensinya. Dalam istilah al-Ghazali adalah jiwa/ruh. Jiwa
atau ruh inilah yang menghantarkan manusia untuk mengenal segala sesuatu 7 Ibid, 225. 8 Ibid, 226. 9 Ibid, 227.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
dan dapat melihat sangat jelas melebihi pandangan mata fisik. Dari sitilah ruh
atau jiwa inilah yang akhirnya menghantarkan pada ilmu ladunni.
B. Konsep Ilmu
1. Hakikat Ilmu
Sangat naif kiranya jika membahas kemuliaan ilmu, namun tidak
mengetahui apa hakikat (definisi) ilmu itu sendiri. Al-Ghazali
mendefiniksan ilmu adalah persepsi (tas}awwur).
ورها ياء وص ائق األش ة حق ة المطمئن نفس الناطق ور ال م تص م أن العل اعل
ة.المجردة عن المواد بأعيانها وكيفياتها وجواهرها وذواتها إن كانت مفرد
“Ketahuilah bahwa yang dikatakan ilmu adalah tas}awwur (persepsi) dari jiwa yang berpikir dan tenang tentang hakikat segala sesuatu yang akan dipersepsikannya, abstraksi suatu benda, tentang kuantitas, kualitas dan substansinya.”10
Persepsi (perception) dalam John M. Echols didefiniskan tanggapan
daya memahami.11 Al-Ghazali mendefinisikan ilmu adalah persepsi
(tas}awwur). Persepsi dalam definisi al-Ghazali memiliki dua indikator.
Indikator pertama adalah berasal dari subjek yang memiliki persepsi,
hendaknya ia berpikir dengan tenang tentang hakikat segala sesuatu yang
akan dipersepsikan. Indikator kedua dari objek yang akan dipersepsikan.
Al-Ghazali tidak memberi penekanan bahwa setiap objek yang hendak
dipersepsi harus konkrit. Ia hanya menyinggung bahwa objek tersebut
meliputi: abstraksi, kuantitas dan kualitas. Abstrak umumnya memiliki
antonim konkrit, namun al-Ghazali menambahkan bahwa objek yang dapat
atau hendak dipersepsi memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan 10 Ibid, 224. 11 John M. Echols, an English-Indonesian Dictionary, (Jakarta, Gramedia:1996), 424.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
kualitas dan kuantitas dari objek tersebut. Kemudian al-Ghazali
melanjutkan bahwa kedudukan ilmu tertinggi adalah ilmu tauhid (tentang
Allah swt).
ة ب رتب ون بحس الم تك ة الع ه، ورتب رف معلوم در ش ى ق م عل رف العل وش
و هللا ا ه رفها وأجله ا وأش ات وأعاله ل المعلوم ك أن أفض م. وال ش العل
ا وم وأجله ل العل د أفض م التوحي و عل ه ه د، فعلم ق الواح دع الح انع المب الص
وأكماها.
“Kemuliaan suatu ilmu tergantung pada kadar kemuliaan objek yang akan diketahuinya. Tidak diragukan lagi bahwa objek dari ilmu pengetahuan yang sangat mulia, sangat tinggi nilainya dan sangat terhormat adalah tentang Allah swt.”
Walaupun ilmu tentang Allah adalah ilmu termulia, tetapi bukan
berarti ilmu-ilmu lain tidak mulia, bahkan ilmu yang lain adalah sebagai
pendahuluan (muqaddimah) bagi ilmu tentang Allah.
ل ال وم ب ائر العل ى س ه ال ينف امال نفس ه ك ي ذات ريفا ف ان ش م وإن ك ذا العل وه
ل تى مث وم ش ن عل تظم إال م دمات ال تن ك المق رة، وتل دمات كثي ل إال بمق يحص
علم السموات واألفالك وعلم جميع المصنوعات.
“Sekalipun dikatakan sebagai ilmu termulia diantara ilmu-ilmu yang lain, sebaliknya ilmu-ilmu yang lain merupakan muqaddimah baginya. Muqaddimah tersebut dari ilmu-ilmu lain, misalnya; ilmu langit, ilmu falak dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ciptaan-Nya.”12
Jadi semua ilmu adalah mulia, karena hakikat ilmu adalah mulia. Yang
disebut hina adalah bodoh. Adapun bodoh adalah lawan dari ilmu.
ز ن حي ة م ة، والظلم وازم الظلم ن ل ل م ل، والجه د الجه م ض ك أن العل وذل
م، ذا القس ي ه اللة ف ل والض ع الباط دم، ويق ن الع ب م كون قري كون، والس الس
12 Ibid, 224.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
ن ر م ود خي ود، والوج م الوج ه حك م حكم دم، والعل م الع ه حك ل حكم إذاً الجه ف
العدم.
“Mengingat yang dikatakan ilmu (tahu) adalah lawan dari bodoh. Sedangkan kebodohan merupakan kegelapan, dan kegelapan termasuk kategori statis, sedangkan statis hampis sama dengan kehampaan. Adapun kebatilan dan kesesatan terletak pada bagian ini. Oleh karena itu, hukun dari kebodohan adalah ketiadaan, sementara hukum dari ilmu adalah keberadaan (eksistensi). Ada adalah lebih baik dari pada tidak ada.”13
Jadi semua ilmu adalah mulia, karena hakikat ilmu adalah mulia. Yang
disebut hina adalah bodoh. Dan bodoh adalah lawan dari ilmu.
2. Pembagian Ilmu
Sebagaimana pembagian yang telah dikemukakan oleh al-Ghazali
bahwa ilmu terbagi dua, yaitu ilmu syar’i dan ‘aqli. Pada sub ini akan
dibahas lebih spesifik tentang fungi dan tujuan dari masing-masing ilmu
tersebut serta keterkaitan antara ilmu syar’ie dan ilmu ‘aqli.
Adapun ilmu syar’i terbagi menjadi dua, yaitu: Ushul dan Furu’.
Ilmu Ushul adalah ilmu Tauhid.
ي دهما ف وعين: أح ى ن م إل رعي، فينقس م الش و عل م األول وه ا القس أم
األصول وهو علم التوحيد.
“Ilmu Syar’i terbagi menjadi dua, yang pertama yaitu ilmu ushul atau ilmu tauhid.”14
Cakupan dari ilmu ushul (tauhid) antara lain: tentang Ilahiyah.
Yang meliputi; dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya.
ة، فاته الفعلي ة، وص فاته القديم الى وص ي ذات هللا تع ر ف م ينظ ذا العل وه
وصفاته الذاتية المتعددة باألسامي على الوجه المذكور.
13 Ibid, 224. 14 Ibid, 227.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
“Ilmu ini membicarakan tentang dzat Allah, sifat-sifat-Nya yang qodim, sifat-sifat-Nya yang terkait dengan nama-nama (asma>), seperti yang terdapat dalam asma> al-husna>.”15
Selain ilahiyah juga tentang para nabi, sahabat, dan para imam
sesudahnya.
وينظر أيضا في أحوال األنبياء واألئمة من بعدهم والصحابة.
“Ilmu ushul juga membicarakan persoalan para nabi, para sahabat dan para imam setelah mereka.”16
Yang termasuk ilmu ushul (tauhid) juga mengenai kehidupan
setelah mati.
ر ث والحش ة والبع وال القيام ي أح اة وف وت والحي وال الم ي أح ر ف وينظ
والحساب، ورؤية هللا تعالى.
“Disamping itu, ilmu ushul juga membicarakan tentang mati dan kehidupan setelah hari kiamat, kebangkitan, perhitungan amal, serta persoalan melihat Allah swt.”17
Syarat mutlak menjadi seorang yang memperdalam dan ingin
menguasai ilmu ushul harus berpegang teguh kepada al-Qur’an, al-Hadits,
serta menguasai dalil-dali akal dan bukti-bukti qiyas (analogi).
م رآن، ث ن الق الى م ات هللا تع كون أوال بآي م يتمس ذا العل ي ه ر ف ل النظ وأه
بأخبار الرسول ص.م.، ثم بالدالئل العقلية والبراهين القياسية.
“Para ulama yang mendalami ilmu ushul, pertama kali harus berpegang teguh kepada ayat-ayat al-Qur’an, kemudian hadis-hadis Rasulullah saw. Setelah itu berpegang dengan dalil-dalil akal dan bukti-bukti qiyas (analogis).”18
15 Ibid, 227. 16 Ibid, 227. 17 Ibid, 227. 18 Ibid, 227.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
Ilmu Tafsir dan ilmu akhbar (hadi>th) termasuk di dalam ilmu
ushul. Karena ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi objek ilmu tafsir adalah
ilmu yang paling tinggi dan paling agung. Di dalamnya banyak persoalan
yang tidak dapat terjangkau oleh akal manusia, kecuali yang diberi
keistimewaan oleh Allah swt.
ا ا وأجله ياء وأبينه م األش ن أعظ رآن م إن الق ير، ف ول التفس م األص ن عل وم
اه ن أعط ل إال م ل عق ا ك يط به ا ال يح رة م كالت الكثي ن المش ه م ا. وفي وأعزه
هللا تعالى فهما في كتابه.
“Termasuk dalam kategori ilmu ushul adalah ilmu tafsir, karena al-Qur’an memuat ilmu yang paling tinggi dan paling agung. Di dalamnya banyak persoalan yang tidak dapat terjangkau oleh akal manusia, kecuali mereka yang diberi keistimewaan oleh Allah swt. Untuk mengerti kitab-Nya.”19
Ilmu akhbar (hadi>th) adalah pengetahuan yang langsung Allah
swt. berikan kepada Nabi Muhammad saw. Rasulullah sendiri adalah
sosok manusia yang menguasai alam tinggi (al-‘ulwiyya>t) dan alam
rendah (as-sufliyya>t). Tentunya setiap kalimat dan kata yang beliau
sampaikan mengandung samudera rahasia dan khazanah rumus (kode).
رب ح الع ي ص.م. أفص إن النب ار. ف م األخب ا عل ول أيض م األص ن عل وم
ا ه محيط ان عقل الى. وك ل هللا تع ن قب ه م وحى إلي ا ي ان معلم م، وك والعج
د ه يوج ن ألفاظ ه م ل لفظ ه ب ن كلمات ة م ل كلم فليات. فك ات والس ع العلوي بجمي
ر ه أم ة أحاديث اره ومعرف م أخب وز. فعل وز الرم رار وكن ار األس ا بح تحته
عظيم، وخطب جليل.
“Termasuk ilmu ushul adalah ilmu akhbar (ilmu hadis). Rasulullah saw. telah memberikan pengetahuan, baik kepada orang Arab maupun non-Arab (‘Ajam), dan beliau diutus sebagai guru yang menerima wahyu dari Allah swt. Pengetahuan Rasulullah saw. menguasai alam tinggi (al-
19 Ibid, 227-228.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
uluwiyyat) dan alam rendah (as-sufliyyat). Setiap kata, bahkan setiap kalimat yang dilontarkan Rasulullah saw. Mengandung rahasia-rahasia, bagaikan samudera rahasia dan khazanah rumus (kode). Oleh karena itu, ilmu tentang berita (hadis) merupakan persolan yang besar dan agung.”20
Ilmu furu’ (praktis) meliputi tiga macam hak, yaitu: Hak Allah
swt., Hak hamba, dan hak jiwa.
ى، و العمل روع ه م الف روع. وعل م الف و عل رعي ه م الش ن العل انى م وع الث الن
ادات. ان العب و أرك الى وه ق هللا تع ا، ح وق: أوله ة حق ى ثالث تمل عل يش
م و عل نفس وه ق ال ا، ح ادات. وثالثه واب الع و أب اد وه ق العب ا، ح وثانيه
األخالق.
“Kedua, ilmu syar’i, yaitu ilmu furu’ (ilmu tentang hukum cabang). Ilmu furu’ bersifat praktis. Ilmu yang bersifat praktis ini meliputi tiga macam hak, yaitu: Pertama, hak Allah swt, yang meliputi dasar-dasar ibadah. Kedua, hak hamba, yang meliputi interaksi sosial. Ketiga, hak jiwa, yang menyentuh ilmu akhlak.”21
Namun disadari atau tidak, bahwa pemahaman kebanyakan kaum
muslimin bahwa ilmu syar’ie hanya terfokus pada ilmu furu’ dan
mengabaikan ilmu ushul. Mengapa demikian? Karena ilmu ushul tidak
dapat diindera dan dianalogi. Metode ilmu modern tidak dapat meng-cover
terhadap ilmu ushul ini. Sehingga tidak heran, jika kebanyakan mereka
mengingkari ilmu ushul ini. Sedangkan yang banyak dibahas adalah ilmu
furu’. Karena ilmu furu’ lebih realistis dan dapat dianalogikan. Alasan ini
pulalah yang menjadi penyebab skeptis yang dialami al-Ghazali sehingga
ia memilih hijrah pada dunia tasawuf.
Bagian kedua dari pembagian ilmu adalah ilmu Aqli. Ilmu aqli
adalah ilmu yang terkait dengan benar dan salah. Ilmu aqli terbagi menjadi
20 Ibid, 228. 21 Ibid, 229.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
tiga tingkatan; Tingkat pertama, matematika dan logika. Tingkat kedua,
fisika. Tingkat ketiga (tertinggi), melihat sesuatu yang ada (terbagi dua;
wajib ada dan mungkin ada).
ه ع في كل يق ل مش م معض و عل ي وه م العقل و العل م فه ن العل انى م م الث ا القس وأم
ى، ة األول ب: المرتب الث مرات ي ث وع ف و موض واب. وه أ وص و أول خط وه
م طها العل و أوس ة، وه ة الثاني ي. المرتب ي والمنطق م الرياض ب العل المرات
يمه م تقس ود، ث ي الموج ر ف ي النظ ا. ه و العلي ة، وه ة الثالث ي. المرتب الطبيع
إلى الواجب والممكن.
“Bagian kedua dari ilmu adalah ilmu aqli, yaitu ilmu yang terkait dengan persoalan benar dan salah. Ilmu ini dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni: Tingkatan pertama, ilmu matematika dan logika. Tingkatan kedua,tingkatan menengah yaitu fisika. Dan tingkatan ketiga, merupakan tingkatan tertinggi, merupakan tingkatan tertinggi di dalam melihat sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada dibagi menjadi wajib adanya dan mungkin adanya.”22
Untuk dua ilmu pembagian dari ilmu ‘aqli, hampir tidak ada
perselisihan baik dari kalangan teolog ataupun filosof. Karena dua ilmu
pertama (matematika dan fisika), dapat dibuktikan dengan demonstrasi dan
empiris. Namun untuk ilmu ‘aqli yang ketiga. Sangat mungkin terjadi
perbedaan pendapat. Sehingga timbul banyak konsep diawali dengan
konsep wajib al-mawjud-mumkin al-mawjud, filsafat peripatetik, dan
filsafat iluminatif. Kenapa hal tersebut terjadi? Karena pancaran ilmu
Allah sangat universal. Ungkapan universal dan parsial setidaknya dapat
memberikan keterangan bahwa tidaklah sama. Sebagaimana diungkapkan
oleh al-Ghazali bahwa akal universal lebih tinggi dari jiwa universal, dan
jiwa universal lebih baik dari akal parsial.
22 Ibid, 229.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
د ة يتول نفس الكلي راق ال ن إش ام وم د اإلله ي يتول ل الكل افة العق ن إض فم
اإللهام.
“Dari pelimpahan akal universal dihasilkan ilham, dan dari pancaran jiwa universal pun dihasilkan ilham.”23
Tingkatan tertinggi dalam ilmu aqli yaitu melihat sesuatu yang ada.
Termasuk di dalam pembahasannya adalah melihat sang pencipta.
ب ى الواج يمه إل م تقس ود، ث ي الموج ر ف ي النظ ا، ه ي العلي ة: وه ة الثالث المرتب
ه ره وحكم ه وأم فاته وأفعال ع ص ه وجمي انع وذات ي الص ر ف م النظ ن. ث والممك
ور الموجودات عنه.وقضائه وترتب ظه
“Tingkatan ketiga, merupakan tertinggi di dalam melihat sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada dibagi menjadi; wajib adanya dan mungkin adanya. Setelah itu melihat sang Pencipta dan dzat-Nya, mempelajari sifat-sifat-Nya, hikmah-Nya, ketentuan-Nya (tentang urutan kejadian dari segala yang ada dari ciptaan-Nya).”24
Setelah melihat sang pencipta, kemudian melihat wujud alam
tertinggi (wuju>d al-uluwiyya>t).
وس ة والنف ول المفارق ردة والعق واهر المف ات والج ي العلوي ر ف م النظ ث
الكاملة.
“Setelah itu baru melihat wujud al-‘uluwiyya>t (wujud di alam yang tinggi), substansi dari tiap sesuatu, akal-akal yang berbeda dan jiwa-jiwa yang sempurna.”25
Kemudian melihat alam malakut, dan terakhir melihat alam
nubuwat. Termasuk di dalam alam nubuwat yaitu melihat persoalan jiwa-
jiwa suci, keadaan tidur dan sadar.
23 Ibid, 232. 24 Ibid, 229-230. 25 Ibid, 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
ر وات وأم م النب ى عل ى إل ياطين، وينته ة والش وال المالئك ي أح ر ف م النظ ث
ال ة وح وس المقدس وال النف ي أح ر ف ات، والنظ وال الكرام زات وأح المعج
النوم واليقظة ومقامات الرؤيا.
“Selanjutnya mempelajari tentang alam malaikat dan setan. Dan ilmu ini berakhir pada pembahasan tentang kenabian, mukjizat dan karomah. Termasuk dalam pembahasan ilmu tingkatan ketiga ini adalah persoalan jiwa-jiwa yang suci, keadaan tidur dan sadar serta tingkatan-tingkatan mimpi.”26
Berkaitan dengan keadaan tidur dan sadar, Suhrawardi
menyatakanan bahwa metode pengetahuan yang demikian adalah ilmiah
dan dapat dipertanggung jawabkan. Ia memberikan alasan dengan konsep
iluminasinya. Hakikat pengetahuan tidak bisa berjalan satu arah, hanya
dari persepsi subjek, atau hanya perolehan data dari objek, tetapi keduanya
baik antara subjek dan objek, keduanya harus dalam keadaan aktif, barulah
dapat diperoleh pengetahuan atau ilmu yang sempurna. Yang selanjutnya
metode ini dikenal dengan istilah ilmu hudhuri.
3. Cara Perolehan Ilmu
Dilihat dari perolehan ilmu, cara memperoleh ilmu ada dua;
pengajaran antara manusia dan pengajaran dari Tuhan.
اني. يم اإلنس دهما، التعل ريقين: أح ن ط ل م اني يحص م اإلنس م أن العل اعل
والثانى، التعليم الرباني
“Ketahuilah, bahwa ilmu manusia diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pengajaran diantara manusia dan pengajaran dari Tuhan.”27
Pengajaran manusia umumnya sistematis dengan metode dan
terindera.
26 Ibid, 230. 27 Ibid, 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
أما الطريق األول فطريق معهود، ومسلك محسوس، يقر جميع العقالء.
“Adapaun pengajaran manusia, merupakan cara yang diketahui, tersistematisir dengan metode tertentu dan terindera.”28
Pengajaran dari Tuhan memiliki dua cara, yaitu; cara dari luar dan
cara dari dalam.
يل و التحص ارج وه ن خ دهما، م ين: أح ى وجه ون عل اني فيك يم الرب ا التعل وأم
بالتعلم، واألخر، من داخل وهو االشتغال بالتفكر.
“Adapun pengajaran Tuhan melalui dua cara, yaitu: dari luar yang diperoleh melalui belajar, dan dari dalam yang diperoleh melalui aktivitas berpikir.”29
Dilihat dari cakupan keduanya, ilmu dari dalam lebih besar
cakupannya dibandingkan ilmu yang berasal dari luar.
نفس تفادة ال ر اس ي. والتفك خص الجزئ ن الش خص م تفادة الش تعلم اس إن ال ف
من النفس الكلي.
“Maka sesungguhnya belajar adalah pengambilan manfaat oleh individu secara parsial, sedangkan berpikir adalah pengambilan manfaat oleh jiwa secara universal.”30
Oleh karena itu universal lebih luas cakupannya dibandingkan
parsial.
من جميع العلماء والعقالء. والنفس الكلي أشد تأثيرا وأقوى تعليما
“Jiwa universal lebih besar pengaruhnya dan lebih kuat pengajarannya daripada semua ulama dan orang-orang berakal.”31
Dalam pengajaran sesama manusia, tidak akan terlepas dari proses
belajar dan pengajaran. Proses belajar dan pengajaran memiliki tujuan
28 Ibid, 230. 29 Ibid, 230. 30 Ibid, 230. 31 Ibid, 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
yang sama yaitu mengeluarkan sesuatu dari potensi menjadi kekuatan atau
tindakan.
و يم ه ل. والتعل ى الفع وة إل ن الق يء م ك الش روج ذل ب خ و طل تعلم ه وال
إخراجه من القوة إلى الفعل.
“Belajar adalah usaha mengeluarkan sesuatu itu dari potensi menjadi kekuatan atau tindakan. Sementara pengajaran adalah mengeluarkannya dari potensi menjadi tindakan.”32
Dalam proses pengajaran, guru (pengajar) ibarat petani, murid
ibarat tanah, dan ilmu ibarat benih. Jika tanah (murid) memiliki kualitas
yang baik, maka benih tersebut dapat tumbuh baik dan berbuah dengan
bagus.
ن ارج م الجوهر الخ رة أو ك جرة المثم ون كالش تعلم تك س الم ت نف إذا كمل ف
قعر البحر.
“Apabila jiwa murid itu sempurna, ia akan menjadi seperti pohon yang berbuah, atau ibarat mutiara yang keluar dari dasar laut.”33
Jiwa yang sempurna ialah jiwa yang lebih dominan daripada jasad.
ول تعلم وط ادة ال ى زي تعلم إل اج الم نفس يحت ى ال ة عل وى البدني ت الق وإذا غلب
ى ل عل ور العق ب ن دة. وإذا غل ب الفائ ب وطل قة والتع ل المش دة، وتحم الم
س إن نف تعلم، ف رة ال ن كث ر ع ل التفك ب بقلي تغنى الطال س يس اف الح أوص
س الجامد بتعلم سنة.القابل تجد من الفوائد بتفكر ساعة ما ال تجد نف
“Apabila kekuatan-kekuatan badan menguasai jiwa, murid memerlukan tambahan belajar dan masa yang panjang, menanggung penderitaan dan keletihan dalam pencarian faedah. Apabila cahaya akal mendominasi sifat-sifat rasa, dengan sedikit berpikir, pencari ilmu tidak memerlukan banyak belajar. Sebab jiwa yang siap menerima, akan mendapat faedah dengan berpikir sesaat tanpa banyak belajar.”34
32 Ibid, 230. 33 Ibid, 230. 34 Ibid, 231.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
Berpikir itu pulalah yang sering digunakan oleh para ilmuan untuk
menganalogikan prinsip-prinsip universal pada urusan-urusan parsial.
ه اج إلي ا يحت ع م تعلم جمي دس ال ي ى أن المهن تعلم حت ل ي ره، ب ول عم ي ط ف
ه وموضوعاته، ثم بعد ذلك يستخرج ويقيس.كليات علم
“Sehingga, seorang insinyur tidak mempelajari semua yang diperlukannya sepanjang hidupnya, melainkan hanya mempelajari ilmu dan prinsip-prinsipnya yang universal. Kemudian setelah itu ia keluarkan dan dianalogikan.”35
Kedua, pengajaran Tuhan. Pengajaran ini ada dua macam;
penyampaian wahyu dan melalui ilham.
وحي. اء ال ين: األول، إلق ى وجه اني عل يم الرب و التعل اني: وه ق الث الطري
م.الوجه الثانى، هو اإللها
“Kedua, pengajaran Tuhan. Pengajaran ini ada dua macam, yaitu; penyampaian wahyu dan melalui ilham.”36
Kiranya telah jelas bahwa wahyu hanya diberikan kepada para
Nabi. Alasan kenapa wahyu hanya diberikan kepada Nabi, karena nabi
memiliki kualitas jiwa yang sempurna. Tidak ada kotoran dalam jiwanya,
wajahnya hanya dihadapkan kepada penciptanya, ia hanya bersandar pada-
Nya. Sehingga Allah swt. menerima jiwa itu dengan penerimaan universal.
Dia memandangnya dengan pandangan ketuhanan dan mengambil
lembaran darinya, mengambil pena dari jiwa universal, dilukiskan padanya
semua ilmu-Nya.
ومن النفس الكلي قلما وينقش فيها جميع علومه.
“Dari jiwa yang sempurna diambillah sebuah pena, kemudian dilukiskanlah padanya seluruh ilmu Tuhan.”37
35 Ibid, 231. 36 Ibid, 231.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
Ilham adalah kelanjutan dari wahyu. Dan ilham hanya diterima
oleh jiwa yang bersih dan memiliki kesiapan untuk menerima.
ة نفس الجزئي ة لل نفس الكلي ه ال ام تنبي ام، واإلله و اإلله اني: ه ه الث الوج
اإلنسانية على قدر صفائها وقبولها وقوة استعدادها.
“Bagian kedua dari pengajaran Tuhan adalah ilham, ilham adalah peringatan jiwa universal kepada jiwa parsial manusiawi berdasarkan kadar kejernihan, penerimaan, dan kekuatan kesiapannya.”38
Secara fungsi, wahyu menjelaskan perkara gaib, sedangkan ilham
berfungsi merinci perkara gaib tersebut.
فإن الوحي هو تصريح األمر الغيبي واإللهام هو تعريضه.
“Sesungguhnya wahyu menjelaskan perkara gaib, sementara ilham merinicinya.”39
Dari sisi penamaannya, ilmu yang berasal dari wahyu disebut ilmu
kenabian dan ilmu yang berasal dari ilham disebut ilmu ladunni.
ن ل ع ذي يحص ا، وال ا نبوي ا علم مى علم وحي يس ن ال ل ع م الحاص والعل
اإللهام يسمى علما لدنيا.
“Ilmu yang diperoleh dari wahyu disebut ilmu kenabian, sedangkan ilmu yang diperoleh dari pengilhaman dinamakan ilmu ladunni.”40
4. Tingkatan Jiwa dalam Menggapai Ilmu
Ilmu adalah fitrah jiwa manusia. Namun, ia hilang (luput) dari jiwa
manusia karena datangnya sesuatu baru dari luar (dunia).
37 Ibid, 231. 38 Ibid, 232. 39 Ibid, 232. 40 Ibid, 232.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
ع ة لجمي ا قابل انية وكله وس اإلنس ع النف ي جمي وزة ف وم مرك م أن العل اعل
ارض ارئ وع بب ط ه بس ا من وس حظه ن النف ا م وت نفس ا يف وم وإنم العل
يطرأ عليها من خارج.
“Ilmu-ilmu itu dapat dimiliki oleh setiap jiwa manusia. Setiap jiwa dapat menerima semua ilmu. Ilmu itu luput dari suatu jiwa semata-mata karena sesuatu yang asing dan baru datang dari luar kepadanya.”41
Hilangnya ilmu dari jiwa adalah merupakan penyakit, dan penyakit
tersebut hanya dapat diobati dengan proses pembelajaran. Bukanlah proses
pembelajaran yang tidak berorientasi pada pengembalian jiwa pada
substansinya.
ى ميرها إل ي ض ا ف راج م ا وإخ ى جوهره نفس إل وع ال تعلم إال رج يس ال ول
الفعل طلبا لتكميل ذاتها ونيل سعادتها.
“Tidak termasuk ke dalam proses pembelajaran, kecuali dengan upaya mengembalikan jiwa itu kepada substansinya dan mengeluarkan apa-apa yang ada di dalam batinnya menjadi tindakan dalam rangka mendapatkan kesempurnaan esensi dan memperoleh kebahagiaan.”42
Karena ilmu adalah fitrah jiwa manusia. Akan berfungsi jika jiwa
dalam keadaan sehat. Ketika jiwa dalam keadaan sakit, maka ilmu tersebut
akan tertutupi. Namun, ilmu itu tidak hilang.
وم، وش والرس اء النق و فن إن المح اس ف يان بالن و والنس ين المح رق ب وف
مس ور الش اتر لن حاب الس ام أو الس ون كالغم وش فيك اس النق يان التب والنس
وق األرض ن ف مس م ال الش و انتق ذي ه الغروب ال اظرين ال ك ار الن ن أبص ع
إلى أسفل.
“Perbedaan antara “lenyap” dan “lupa” pada manusia adalah bahwa lenyap itu berarti hilangnya sesuatu yang tersimpan di dalam jiwa, sementara lupa ialah kerancuan dari ilmu yang tersimpan di dalam jiwa. Lupa adalah seperti awan yang menutupi matahari dari pandangan mata,
41 Ibid, 233. 42 Ibid, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
bukan seperti terbenam, yaitu berpindahnya matahari dari atas ke bawah bumi.”43
Pengobatan terhadap jiwa yang sakit tergantung pada tingkat parah
dan ringan penyakit. Semakin berat penyakit, maka semakin lama proses
pengobatan. Sebaliknya semakin ringan penyakit maka semakin cepat
penyembuhan.
ا ا وغمامه رها دقيق عيفة وش ا ض ون علته ها وتك ف مرض ى يخ نفس الت ا ال فأم
ا ل يكفيه ب ب ول تع م وط ادة تعل ى زي اج إل ال تحت حيحا، ف ا ص ا ومزاجه رقيق
أدنى نظر وتفكر ألنها ترجع إلى أصلها.
“Adapun jiwa yang ringan sakitnya, lemah penyakitnya, sedikit kejahatannya, lembut awannya, dan benar kombinasinya, ia tidak memerlukan banyak belajar dan kelelahan. Cukup melalui penalaran dan pemikiran yang paling rendah, karena ia telah kembali pada keadaan aslinya.”44
Jiwa yang sakit di dunia ini menempati beberapa tingkatan;
Tingkat pertama, jiwa yang memberi pengaruh untuk menghilangkan
penyakitnya dengan pendidikan.
واطرهم ي خ يان ف ام النس عيفا. ودق غم أثر ض زل ت رض المن أثر بم هم ت بعض
فيشتغلون بالتعلم. ويطلبون الصحة األصلية فيزول مرضهم بأدنى معالجة.
“Sebagian jiwa yang memberi pengaruh terhadap rasa sakit yang datang dengan pengaruh terhadap yang lemah dan menghalau kelalaian dalam pikiran mereka, sehingga jiwa-jiwa tersebut memerluakan pendidikan dan pengajaran. Mereka mencari kesehatan yang asli, sehingga hilanglah sakit mereka dengan pengobatan yang sederhana.”45
43 Ibid, 234. 44 Ibid, 234. 45 Ibid, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
Tingkat kedua, adalah mereka yang jiwa dan akalnya telah rusak,
sehingga walaupun belajar seumur hidup mereka tidak mendapatkan
pemahaman.
ع حيح جمي يل والتص تغلون بالتحص رهم ويش ول عم ون ط هم يتعلم وبعض
ل د ال يقب زاج إذا فس زجتهم، ألن الم اد أم يئا لفس ون ش امهم، وال يفهم أي
العالج.
“Sebagian lagi belajar seumur hidup mereka dan menyibukkan diri dengan pengajaran. Tetapi mereka tidak mendapatkan pemahaman sedikitpun, karena jiwa dan akal rusak. Sebab, apabila jiwa rusak, ia tidak dapat menerima pengobatan.”46
Tingkat ketiga, mereka yang terkadang lupa dan kadang ingat.
Dalam kondisi ini mereka sedikit menerima cahaya ilahi, bahkan mungkin
tidak sama sekali.
يال ورا قل دون ن هم ويج ذلون أنفس ون وي ون ويرتاض ذكرون وينس هم يت وبعض
وإشراقا ضعيفا.
“Sebagian yang lain dari mereka ada yang ingat, lupa, merendahkan, dan menghina diri mereka sendiri. Dalam kondisi ini ia sedikit sekali menerima cahaya, jika tidak sama sekali.”47
Perbedaan tingkatan jiwa tersebut tergantung kadar penerimaan
jiwa terhadap dunia.
ب تغراقها بحس دنيا واس ى ال وس عل ال النف ن إقب ر م ا ظه اوت إنم ذه التف وه
قوتها وضعفها كالصحيح إذا مرض، والمريض إذا صح.
“Perbedaan ini semata-mata muncul dari penerimaan jiwa terhadap dunia dan ketenggelamannya sesuai dengan kadar kuat dan lemahnya jiwa itu, seperti halnya orang sehat apabila dia sakit dan orang sakit apabila ia sehat.”48
46 Ibid, 234. 47 Ibid, 234. 48 Ibid, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
Fitrah dari jiwa adalah berilmu, tanpa harus mencari penciptaan
ilmu yang ditiadakan dan tidak pula kreasi akal yang dihilangkan.
ت ا كان م أنه دني، وتعل م الل ود العل وس بوج ر النف ت تق دة إذا انحل ذه العق وه
عالمة في أول الفطرة وصافية في ابتداء االختراع.
“Apabila persoalan ini dapat dipecahkan, jiwa akan tetap pada keberadaan ilmu ladunni. Jiwa akan mengetahui bahwa ia berilmu pada awal fitrahnya dan jernih pada permulaan penciptaannya.”49
ل ود، ب ل المفق داع العق دوم. وال إب م المع اد العل التعلم إيج ب ب ا ال تطل وإنه
ة ى زين ا عل رض بإقباله ان الم ة طري زي وإزال لي الغري م األص ا العل إعادته
الجسد وتمهيد قاعدته ونظام أساسه.
“Sesungguhnya jiwa tidak mencari penciptaan ilmu yang ditiadakan dan tidak pula kreasi akal yang dihilangkan. Melainkan dikembalikan kepada jiwa tersebut ilmu asli naluri dan dihilangkan penyakit melalui penerimaan terhadap perhiasan, bentangan kaidah dan susunan landasan jasad.”50
Tingkatan tertinggi dalam ilmu aqli yaitu melihat sesuatu yang ada.
Termasuk di dalam pembahasannya adalah melihat sang pencipta.
C. Landasan Historis Ilmu Ladunni
1. Teori Penyaksian
Teori penyaksian ini menurut Suhrawardi adalah cara terbaik dan
tervalid untuk mengetahui sesuatu. Dalam teori penyaksian terjadi
penggabungan dua pendekatan secara integral, yaitu pendekatan mental
dan visi langsung terhadap objek yang diketahui. Dengan cara demikian,
suatu objek benar-benar dapat dirasakan, sehingga tidak membutuhkan
49 Ibid, 234. 50 Ibid, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
definisi dan representasi.51 Lebih lanjut Suhrawardi menyatakan bahwa
yang demikian itu adalah pengetahuan murni tanpa membutuhkan
predikatif, atau dapat dilambangkan “X adalah” (ini adalah pengetahuan
murni), sedangkan pengetahuan yang menggunakan predikatif
dilambangkan “X adalah Y”.52
Labih lanjut yang dimaksud dengan penyaksian (al-Muka>syafah)
bukanlah penyaksian objek oleh mata yang berasal dari pancaran cahaya
kepada objek, tetapi karena mata yang sehat menangkap cahaya yang
dipancarkan oleh objek itu sendiri. Sehingga hasil dari penangkapan objek
tersebut menghilangkan berbagai tirai antara subjek dan objek.
إن اإلنصار ليس بانطباع صورة المرئي في العين، وليس بخروج شيء من
البصر، فليس إال بمقابلة المستنير للعين السليمة الجر. وحاصل المقابلة
يرجع إلى عدم الحجاب بين الباصر والمبصر.
Pandangan bukan karena terciptanya ilustrasi objek pada mata, juga bukan karena keluarnya sesuatu dari mata, akan tetapi karena penerimaan mata yang sehat terhadap objek yang bercahaya, tidak lebih. Penerimaan ini menghasilkan tidak adanya penghalang antara yang melihat dengan yang terlihat.53
Sekilas, pandangan Suhrawardi ini sama dengan hukum fisika
modern yang menyatakan bahwa, kita bisa melihat benda karena benda itu
memancarkan cahaya kepada mata, bukan mata kita yang memancarkan
51 Luqman Junaidi, Ilmu Hudhuri: Konsep Ilmu Pengetahuan dalam Filsafat Iluminasi Suhrawardi, (Depok, Tesis:2009), 82. 52 Hossein Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Iluminasi, terj. Afif Muhammad, cet. Ke-I (Bandung, Zaman Wacana Ilmu:1998), 131. 53 Suhrawardi, Majmu>’at al-Mus}annafah Syaykh al-Isyra>q I, cet. Ke-I, (Teheran, Institut d’Etudes et des Recherehes Culture, 1993), 134.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
cahaya kepada benda itu. Dalam teori ini, subjek yang melihat seolah
pasif, sementara objek yang terlihat terkesan aktif. Mata sebagai instrumen
yang dimiliki subjek untuk mengetahui berada pada posisi menerima data,
sedangkan benda yang terindera berfungsi sebagai pemberi data.
Pada titik inilah, kita menemukan perbedaan antara teori
penyaksian Suhrawardi dan Mukasyafah kaum sufi dengan hukum fisika
modern. Dalam konsep mukasyafah dan penyaksian, kedua belah pihak,
baik subjek harus sama-sama aktif dan tidak ada yang bersifat pasif.
Suhrawardi memperjelas dengan mensyaratkan keharusan adanya dua
cahaya yang bertemu dalam proses penyaksian, yaitu cahaya dari subjek
dan cahaya dari objek. Dari pertemuan dua cahaya inilah yang
menghasilkan penangkapan esensial yang bermuara pada pengetahuan
sejati tentang objek yang terlihat tersebut.
Apabila salah satu pihak bersikap pasif, yang memungkinkan
berbuat pasif adalah subjek. Misalnya subjek memejamkan mata lalu
berinisiatif menghayal, tentunya hal tersebut tidak akan menghasilkan
pengetahuan karena proses penyaksiannya tidak berlangsung sempurna.
Mata yang terpejam bukan hanya tidak menerima cahaya yang
dipancarkan objek, tetapi hakikatnya subjek tidak memancarkan cahaya
untuk memindai objek tersebut. Jadi, pada tataran ini, epistemologi
kehadiran (present) dapat berlangsung sempurna saat subjek dalam
keadaan benar-benar sadar. Pada saat yang sama, menggugurkan anggapan
yang menyatakan bahwa penyaksian terjadi karena imajinasi dan hayalan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua, yaitu Syar’i dan ‘Aqli.
Syar’i lebih cenderung pada dogma agama (kebenaran mutlak), sedangkan
‘aqli lebih kepada proses berpikir. Konsep penyaksian yang ditawarkan
oleh al-Ghazali ternyata bukan pada ranah ilmu syar’i, tetapi pada ilmu
‘aqli. Bagimana hal tersebut terjadi?
ب ى الواج يمه إل م تقس ود، ث ي الموج ر ف ي النظ ا. ه و العلي ة، وه ة الثالث المرتب
والممكن.
“Dan tingkatan ketiga, merupakan tingkatan tertinggi, merupakan tingkatan tertinggi di dalam melihat sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada dibagi menjadi wajib adanya dan mungkin adanya.”54
Tingkatan tertinggi dalam ilmu aqli yaitu melihat sesuatu yang ada.
Termasuk di dalam pembahasannya adalah melihat sang pencipta.
ب ى الواج يمه إل م تقس ود، ث ي الموج ر ف ي النظ ا، ه ي العلي ة: وه ة الثالث المرتب
ه ره وحكم ه وأم فاته وأفعال ع ص ه وجمي انع وذات ي الص ر ف م النظ ن. ث والممك
وقضائه وترتب ظهور الموجودات عنه.
“Tingkatan ketiga, merupakan tertinggi di dalam melihat sesuatu yang ada. Sesuatu yang ada dibagi menjadi; wajib adanya dan mungkin adanya. Setelah itu melihat sang Pencipta dan dzat-Nya, mempelajari sifat-sifat-Nya, hikmah-Nya, ketentuan-Nya (tentang urutan kejadian dari segala yang ada dari ciptaan-Nya).”55
Setelah melihat sang pencipta, kemudian melihat wujud alam
tertinggi (wuju>d al-uluwiyya>t).
وس ة والنف ول المفارق ردة والعق واهر المف ات والج ي العلوي ر ف م النظ ث
الكاملة.
54 Ibid, 229. 55 Ibid, 229-230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
“Setelah itu baru melihat wujud al-‘uluwiyya>t (wujud di alam yang tinggi), substansi dari tiap sesuatu, akal-akal yang berbeda dab jiwa-jiwa yang sempurna.”56
Kemudian melihat alam malakut, dan terakhir melihat alam
nubuwat. Termasuk di dalam alam nubuwat yaitu melihat persoalan jiwa-
jiwa suci, keadaan tidur dan sadar.
ر وات وأم م النب ى عل ى إل ياطين، وينته ة والش وال المالئك ي أح ر ف م النظ ث
وس ال وال النف ي أح ر ف ات، والنظ وال الكرام زات وأح ال المعج ة وح مقدس
النوم واليقظة ومقامات الرؤيا.
“Selanjutnya mempelajari tentang alam malaikat dan setan. Dan ilmu ini berakhir pada pembahasan tentang kenabian, mukjizat dan karomah. Termasuk dalam pembahasan ilmu tingkatan ketiga ini adalah persoalan jiwa-jiwa yang suci, keadaan tidur dan sadar serta tingkatan-tingkatan mimpi.”57
Al-Yaqdhah dalam istilah sufi adalah maqa>m (level) dimana
seseorang berhasil menemukan kebenaran sejati. Dari pembahasan yang
disampaikan oleh Suhrawardi kemudian pemaparan dari data yang
disampaikan oleh al-Ghazali maka kesimpulannya adalah al-Ghazali
meyakini bahwa penyaksian adalah jalan menuju ilmu sejati.
2. Teori Cahaya
Bagi orang yang sudah akrab dengan mistisme Islam, penggunaan
terminologi cahaya dalam ranah ilmu pengetahuan sebenarnya bukanlah
sesuatu yang asing. Terminologi ini telah disinggung oleh Syaikh Waqi’
(guru Imam Syafi’i). Dalam kisah yang sangat popular, diceritakan bahwa
Imam Syafi’i mengadukan kesulitannya dalam menghafal kapada gurunya.
56 Ibid, 230. 57 Ibid, 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
Kemudian gurunya memberikan petunjuk bahwa ilmu adalah cahaya, dan
hanya akan diberikan kepada hamba yang hatinya bersih.
فأرشدني إلى ترك # يع سوء حفظيكشكوت إلى و
المعاصى
ونور هللا ال يهدى للعاصي # وأخبرني بأن العلم نور
Kuadukan kepada waqi’ tentang kesulitanku dalam menghafal, Ia menasihatiku untuk meninggalkan maksiat, ia mengatakan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang durjana.58
Mungkin sekilas yang terbayang dalam benak kita, cahaya adalah
apa yang sering kita temui dalam realitas empiris. Ternyata, kenyataannya
tidak demikian. Suhrawardi dengan konsep cahayanya memberikan
penegasan bahwa cahaya adalah sesuatu yang sudah jelas dan terang
dengan dirinya sendiri sehingga tidak memerlukan definisi lagi.59 Ia
menyatakan bahwa cahaya bukan hanya realitas yang paling terang, tetapi
juga bisa menerangi yang selainnya. Atas dasar itulah tidak ada pengertian
apapun yang bisa melukiskan cahaya, sebab tujuan pengertian adalah
membuat sesuatu yang awalnya kabur menjadi benar-benar dipahami.
Karena tidak ada yang lebih bisa dipahami dari cahaya, maka secara ipso
facto tak ada definisi yang dibutuhkan untuk menerangkan tentang cahaya.
Kesimpulannya adalah, istilah cahaya yang dielaborasi Suhrawardi
bukanlah mengacu kepada cahaya yang kita temui secara empiris, tetapi
dalam konteks yang lebih luas, istilah cahaya mengacu kepada segala
58 Abu Bakar ad-Dimyathi, ‘Ina>yat at-Tha>libi>n, cet. Ke-1 (Beirut, Dar al-Fikr: tt), 167. 59 Suhrawardi, Opcit, 106.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
sesuatu yang begitu jelas dan cemerlang sehingga tidak diperlukan
penyelidikan praktis apapun untuk menjelaskannya.
Setelah menguraikan hakikat tentang cahaya, Suhrawardi
meneruskan uraiannya dengan mempertentangkan antara cahaya dan
kegelapan. Masing-masing dari keduanya terbagi menjadi dua. Cahaya
terbagi dua, yaitu cahaya murni (an-Nu>r al-Mahd}i) dan cahaya temaram
(an-Nu>r al-Arid}). Cahaya murni bersifat mandiri dalam zatnya dan tidak
bercampur dengan sesuatu yang lain. Berbeda dengan cahaya temaram, ia
tidak mandiri dan terkandung dalam sesuatu yang lain.60
Sebagaimana cahaya yang terbagi dua, kegelapan pun terbagi
menjadi dua, yaitu substansi kabur (al-Jawhar al-Jisma>n al-Gha>siq)
dan substansi gelap (al-Hai’at al-Dzulma>niyyah). Substansi kabur
memiliki sifat mandiri, sedangkan substansi gelap bersifat tidak mandiri.61
Selain cahaya dan gelap ada sesuatu yang tidak diantara keduanya, dalam
istilah Suhrawardi disebut dengan Barzakh.62
Lebih lanjut Suhrawardi menyebut setiap orang yang mengetahui
dirinya sendiri sebagai cahaya murni (an-Nu>r al-Mahd}i).
كل من كان له ذات ال يغفل عنها فهو غير غاسق لظهور ذاته عنده، وليس
هيئة ظلمانية في الغير. إذ الهيئة النورية أيضا ليست نورا لذاته فضال عن
الظلمانية، فهو نور محض مجرد.
60 Suhrawardi, Opcit, 108. 61 Suhrawardi, Opcit, 109. 62 Suhrawardi, Opcit, 108.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
Setiap diri yang tidak lalai akan esensinya bukanlah substansi kabur karena penampakan esensinya pada dirinya. Ia juga bentuk kegelapan bagi esensi lain, bahkan bentuk cahaya itu sendiri bukanlah cahaya bagi dirinya. Ia adalah cahaya murni.63
Pada dasarnya Suhrawardi ingin menegaskan bahwa setiap orang
memiliki potensi untuk menjadi cahaya murni yang bukan hanya mampu
menerangi dirinya sendiri, tapi juga mampu menerangi alam sekitarnya.
Jika ditarik dalam lapangan praktis, setiap individu adalah entitas unik
yang memiliki “bekal” sama dan setara untuk memiliki ilmu pengetahuan
yang berguna bagi dirinya sendiri dan orang lain. Sayangnya, tidak semua
individu menginsafi potensi yang sudah tertanam dalam dirinya sehingga
dapat dieksplorasi sedemikian rupa. Akibatnya, potensi tersebut statis dan
tidak mewujud menjadi aktus yang bisa dimanfaatkan, walaupun tidak
hilang sama sekali.
Al-Ghazali mengisitilahkan cahaya dengan pengajaran dari Tuhan.
Pengajaran tersebut memiliki dua cara, yaitu; cara dari luar dan cara dari
dalam.
يل و التحص ارج وه ن خ دهما، م ين: أح ى وجه ون عل اني فيك يم الرب ا التعل وأم
بالتعلم، واألخر، من داخل وهو االشتغال بالتفكر.
“Adapun pengajaran Tuhan melalui dua cara, yaitu: dari luar yang diperoleh melalui belajar, dan dari dalam yang diperoleh melalui aktivitas berpikir.”64
Dilihat dari cakupan keduanya, ilmu dari dalam lebih besar
cakupannya dibandingkan ilmu yang berasal dari luar.
63 Suhrawardi, Opcit, 110-111. 64 Ibid, 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
نفس تفادة ال ر اس ي. والتفك خص الجزئ ن الش خص م تفادة الش تعلم اس إن ال ف
من النفس الكلي.
“Maka sesungguhnya belajar adalah pengambilan manfaat oleh individu secara parsial, sedangkan berpikir adalah pengambilan manfaat oleh jiwa secara universal.”65
Oleh karena itu universal lebih luas cakupannya dibandingkan
parsial.
والنفس الكلي أشد تأثيرا وأقوى تعليما من جميع العلماء والعقالء.
“Jiwa universal lebih besar pengaruhnya dan lebih kuat pengajarannya daripada semua ulama dan orang-orang berakal.”66
Dengan pernyataan tersebut seolah pemikiran kita digiring kepada
pemahaman di awal tentang pengetahuan diri. Kemudian baru ditegaskan
bahwa pancaran ilmu Allah tergantung sejauh apa manusia mengenali
dirinya sendiri. Setelah sempurna pengenalan diri tersebut maka
sempurnalah pancaran Allah terhadap hamba tersebut. Dalam istilah sufi
disebut dengan kontemplasi. Dalam istilah al-Ghazali jiwa yang bersih,
dan dalam istilah Suhrawardi adalah jiwa yang tidak lalai.
3. Teori Pengajaran
Al-Ta’li>m atau pengajaran mensyaratkan adanya murid dan
adanya guru. Ketiadaan salah satu dari keduanya maka membatalkan
terjadinya pengajaran. Ilmu ladunni mensyaratkan adanya pengajaran,
secara otomatis mengharuskan keberadaan murid dan guru. Allah SWT
berfirman:
65 Ibid, 230. 66 Ibid, 230.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
“Kami akan membacakan (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad)
maka kamu tidak akan lupa.” (QS. al-A’la; 6)
Ayat tersebut dengan jelas menerangkan tentang pengajaran. Nabi
Muhammad SAW sebagai murid yang menginginkan pengetahuan sejati,
kemudian Allah SWT mengajarkan kepada beliau dengan perantaraan
Jibril atau tanpa perantaraan Jibril.
Secara eksplisit kisah tentang ilmu ladunni dapat direkam di dalam
Al-Qur’an surat Al-Kahfi, dari ayat 60 sampai ayat 82. Muhammad Luthfi
Ghozali dalam bukunya Sejarah Ilmu Ladunni menjelaskan bahwa
perolehan ilmu ladunni (ilmu di luar nalar) tanpa adanya guru hakikatnya
adalah ilmu yang berasal dari jin atau setan yang berfungsi sebagai
istidro>j (kemanjaan sementara), dan ketika masa tangguhnya habis
istidro>j itu berangsur-angsur hilang dan berganti dengan kehancuran.67
Fungi guru dalam pencarian ilmu ladunni, seumpama sebuah
pengalaman. Guru adalah sosok yang telah mencapai pengalaman tersebut.
Maka seorang murid yang ingin mencapai pengalaman tersebut hendaknya
menjalankan tahapan-tahapan sesuai arahan guru yang telah pernah samapi
pada pengalaman tersebut. Ketiadaan guru dapat dipastikan pengalaman
yang diraihpun berbeda, bahkan kemungkinan tersesatpun sangat besar
karena banyak tipuan di dalamnya.68
Kedua, pengajaran Tuhan. Pengajaran ini ada dua macam;
penyampaian wahyu dan melalui ilham.
67 Muhammad Luthfi Ghozali, Sejarah ilmu ladunni, (Semarang, Abshor:2008), 8 68 Ibid, 9-10.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
وحي. اء ال ين: األول، إلق ى وجه اني عل يم الرب و التعل اني: وه ق الث الطري
الوجه الثانى، هو اإللهام.
“Kedua, pengajaran Tuhan. Pengajaran ini ada dua macam, yaitu; penyampaian wahyu dan melalui ilham.”69
Kiranya telah jelas bahwa wahyu hanya diberikan kepada para
Nabi. Alasan kenapa wahyu hanya diberikan kepada Nabi, karena nabi
memiliki kualitas jiwa yang sempurna. Tidak ada kotoran dalam jiwanya,
wajahnya hanya dihadapkan kepada penciptanya, ia hanya bersandar pada-
Nya. Sehingga Allah swt. menerima jiwa itu dengan penerimaan universal.
Dia memandangnya dengan pandangan ketuhanan dan mengambil
lembaran darinya, mengambil pena dari jiwa universal, dilukiskan padanya
semua ilmu-Nya.
ومن النفس الكلي قلما وينقش فيها جميع علومه.
“Dari jiwa yang sempurna diambillah sebuah pena, kemudian dilukiskanlah padanya seluruh ilmu Tuhan.”70
Ilham adalah kelanjutan dari wahyu. Dan ilham hanya diterima
oleh jiwa yang bersih dan memiliki kesiapan untuk menerima.
ة نفس الجزئي ة لل نفس الكلي ه ال ام تنبي ام، واإلله و اإلله اني: ه ه الث الوج
اإلنسانية على قدر صفائها وقبولها وقوة استعدادها.
“Bagian kedua dari pengajaran Tuhan adalah ilham, ilham adalah peringatan jiwa universal kepada jiwa parsial manusiawi berdasarkan kadar kejernihan, penerimaan, dan kekuatan kesiapannya.”71
69 Ibid, 231. 70 Ibid, 231. 71 Ibid, 232.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
Secara fungsi, wahyu menjelaskan perkara gaib, sedangkan ilham
berfungsi merinci perkara gaib tersebut.
الغيبي واإللهام هو تعريضه. فإن الوحي هو تصريح األمر
“Sesungguhnya wahyu menjelaskan perkara gaib, sementara ilham merinicinya.”72
Dari sisi penamaannya, ilmu yang berasal dari wahyu disebut ilmu
kenabian dan ilmu yang berasal dari ilham disebut ilmu ladunni.
و ن ال ل ع م الحاص ن والعل ل ع ذي يحص ا، وال ا نبوي ا علم مى علم حي يس
اإللهام يسمى علما لدنيا.
“Ilmu yang diperoleh dari wahyu disebut ilmu kenabian, sedangkan ilmu yang diperoleh dari pengilhaman dinamakan ilmu ladunni.”73
Dalam perolehan ilmu ladunni (ilham) tanpa ada perantara antara
jiwa dan pencipta.
اري، ين الب نفس وب ين ال وله ب ي حص طة ف ذى ال واس و ال ديى ه م الل والعل
وإنما هو كالضوء من سراج الغيب يقع على قلب صاففارغ لطيف.
“Ilmu ladunni ialah ilmu yang dalam perolehannya tidak ada perantara yang menghubungkan antara jiwa dan pencipta. Ia semata-mata seperti pancaran kalbu yang jernih, kosong, dan lembut.”74
Telah diketahui bahwa akal universal lebih mulia, lebih sempurna,
lebih kuat, dan lebih dekat dengan pencipta yang maha tinggi daripada
jiwa universal. Namun demikian, jiwa universal lebih agung, lebih lembut,
dan lebih mulia daripada akal makhluk-makhluk lain. Dari pelimpahan dua
hal tersebut (akal universal dan jiwa universal) dihasilkan ilham.
72 Ibid, 232. 73 Ibid, 232. 74 Ibid, 232.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
د ة يتول نفس الكلي راق ال ن إش ام وم د اإلله ي يتول ل الكل افة العق ن إض فم
اإللهام.
“Dari pelimpahan akal universal dihasilkan ilham, dan dari pancaran jiwa universal pun dihasilkan ilham.”75
Wahyu hanya diberikan kepada para rasul, untuk disampaikan
sebagai risalah kerasulan.
ى ان آلدم وموس ا ك يهم كم وف عل ل موق اص بالرس وحي فخ م ال ا عل فأم
هيم ومحمد صلى هللا عليهما وسلم وغيرهم من الرسل.عليهما السالم وإبرا
“Ilmu wahyu khusus untuk para rasul, bergantung pada mereka. Seperti nabi Adam, nabi Musa, nabi Ibrahim, nabi Muhammad dan para rasul-rasul yang lain.”76
Sedangkan ilham (ilmu ladunni) diberikan kepada para nabi yang
tidak ada kewajiban menyampaikan. Dan ilmu ladunni juga diberikan
kepada para wali.
والعلم اللدني يكون األهل النبوة والوالية.
“Ilmu ladunni diberikan kepada pemilik kenabian dan kewalian.”77
Ilmu ladunni adalah ilmu yang mutlak untuk dikuasai bagi
seseorang yang ingin menjadi ahli hikmah.
ة ال ذه المرتب ان ه غ اإلنس م يبل ن ل دني، وم م الل ن العل ال م ة تن ة الحكم وحقيق
يكون حكيما.
“Hakikat hikmah adalah diperoleh dari ilmu ladunni. Selama manusia belum sampai pada martabat ini, dia tidak akan menjadi seorang ahli hikmah (hakim).”78
75 Ibid, 232. 76 Ibid, 232. 77 Ibid, 232. 78 Ibid, 233.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
Untuk mendapatkan ilmu ladunni diperlukan banyak belajar.
Adapun kemudahan memahami dengan sedikit belajar adalah konsekuensi
sesudahnya.
يل رة التحص ن كث تغنون ع دني مس م الل ة العل ى مرتب لين إل ك ألن الواص وذل
يال ون قل تعلم فيتعلم ب ال تريحون وتع يرا ويس ون يس را ويتعب ون كثي ويعلم
طويال.
“Hal ini disebabkan karena orang-orang yang sampai pada martabat ilmu ladunni memerlukan banyak belajar. Maka mereka memperoleh ilmu yang tidak diperoleh manusia pada umumnya.”79
Bukanlah termasuk hikmah, bertambahnya faedah dari selain yang
dibutuhkan. Karena itu pintu wahyu telah terputus dan pintu risalah telah
tertutup. Karena telah terbukti kebenaran hujjah dan kesempurnaan agama.
Tetapi pintu ilham dan pena cahaya jiwa universal tidak terputus karena
kepentingan jiwa dan keperluannya untuk penegasan, pembaharuan dan
pengingatan.
رورة دوام ض ع ل ة الينقط نفس الكلي ور ال دد ن ذ، وم ال ينس ام ف اب اإلله ا ب فأم
النفس وحاجتها إلى تأكيد وتجديد وتذكير.
“Adapun pintu ilham tidaklah tertutup dan pena cahaya jiwa universal tidaklah terputus karena berlanjutnya kepentingan jiwa dan keperluannya terhadap penegasan, pembaharuan dan pengingatan.”80
Dalam hal perolehan ilmu ladunni Allah swt. menentukan
tingkatan bagi siapa saja yang dikehendaki.
79 Ibid, 233. 80 Ibid, 233.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
ة ا و آي وحي وه اب ال ق ب الى أغل اهلل تع أ ف ة وهي ام رحم اب اإلله تح ب اد وف لعب
ر اء بغي ن يش رزق م اده ي ف بعب وا أن هللا لطي ب ليعلم ب المرات ور. ورت األم
حساب.
“Maka Allah menutup pintu wahyu kepada hamba-Nya, dan membuka pintu ilham bagi hamba-Nya sebagai rahmat dan persiapan berbagai hal. Lalu dibuatlah tingkatan-tingkatan agar mereka mengetahui bahwa Allah maha lembut kepada hamba-hamba-Nya, serta menganugerahkan rizki kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”81
Walaupun wahyu telah tidak diturunkan lagi yang maksudnya tidak
ada lagi nabi yang akan diutus, tetapi pintu ilham tetap terbuka. Dan ilham
inilah yang disebut dengan ilmu ladunni. Ilmu ladunni Allah ajarkan
kepada siapa saja yang dikehendaki. Kemudian maksud dari pengajaran
ilmu ladunni tanpa melaui perantara, bukan berarti mutlak tidak ada guru
yang mengajarakan ilmu kepada penerima ilmu ladunni. Tetapi fungsi
guru yaitu mempersiapkan agar jiwa tersebut benar-benar siap untuk
menerima pancaran cahaya Tuhan dan dapat menyaksiakan Tuhan.
D. Tahapan Memperoleh Ilmu Ladunni
Tentunya telah jelas konsep ilmu ladunni menurut al-Ghazali, yaitu
pengajaran Tuhan tanpa perantara. Karena mulia dan agungnya pengajaran
tersebut, maka dibutuhkan tahapan-tahapan untuk memperolehnya. Namun
yang perlu dipertegas di sini sebelum melangkah pada tahapan-tahapan
memeproleh ilmu ladunni, syarat-syarat ilmu ladunni harus dipenuhi, yaitu
kesucian jiwa. Jiwa yang masih kotor tidak akan pernah mendapatkan ilmu
81 Ibid, 233.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
ladunni walaupun memaksakan diri untuk menjalani tahapan-tahapan
memperoleh ilmu ladunni.
Tahapan pertama, yaitu perolehan seluruh ilmu dan pengambilan
bagian paling sempurna dari yang ada. Sebagaimana prinsip pancaran dan
penyaksian yang telah dijelaskan di atas, jiwa yang bersih atau telah kembali
pada fitrahnya ia akan mampu menyerap sebanyak mungkin cahaya yang
dipancarkan oleh Allah. Karena banyaknya penyaksian yang ia saksikan dan
banyaknya pancaran yang ia serap, tentunya tidak semua penyaksian dan
cahaya yang ia serap kemudia ia sikapi seluruhnya. Ia harus mampu memilah
dan memilih perkara mana yang harus didahulukan dan perkara mana yang
dapat diakhirkan.
Tahapan kedua, yaitu hendaknya selalu memperbanyak latihan yang
benar dan introspeksi yang benar pula. Ilmu ladunni bukanlah akhir, namun
sebaliknya ilmu ladunni adalah awal dan akan selalu berproses. Semakin
tinggi derajat seseorang maka semakin besar beban yang harus ditanggung.
Ilmu ladunni adalah ilmu lanjutan dari ilmu yang diberikan kepada para Nabi,
sedang Nabi tidak pernah berhenti untuk selalu melatih diri dan introspeksi
diri. Maka selayaknya pula bagi seseorang yang memperoleh ilmu ladunni
harus selalu melatih diri dengan benar dan introspeksi diri dengan benar.
Cara yang kedua ini didasarkan pada hadis Nabi:
من عمل بما علم أورثه هللا علم ما لم يعلم
“Barang siapa beramal dengan apa yang diketahuinya, Allah akan mewariskan kepadanya apa yang belum diketahuinya.”82
82 Ha>ris al-Muha>sibiy, Risa>lat al-Mustarsyidi>n, cet ke-5, (Kairo, Da>ru as-Sala>m:1983), 100.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
Tahapan ketiga, yaitu melalui tafakkur. Sebab, apabila jiwa itu belajar
dan mengolah ilmu, kemudian ia memikirkan data-data ilmunya dengan
syarat-syarat berpikir, akan dibukakan baginya pintu kegaiban. Seperti halnya
pedagang yang mengelola hartanya dengan syarat perdagangan, maka akan
dibukakan baginya laba. Sebaliknya, apabila dia menempuh jalan yang salah,
niscaya ia akan jatuh ke dalam lembah kerugian. Karena itu, orang yang
menempuh cara berpikir yang benar, ia termasuk orang yang berakal,
kemudian akan terbuka baginya celah dari alam gaib dalam kalbunya. Dia
menjadi orang yang alim, sempurna ilmu, serta mendapatkan ilham.
Rasulullah bersabda: “Berpikir sesaat adalah lebih baik daripada
ibadah enam puluh tahu.”83
E. Kegunaan Ilmu Ladunni
Setelah mengetahui tentang konsep ilmu ladunni, kemudian tahapan-
tahapan untuk memperolehnya. Tiba saatnya untuk mengetahui kegunaan dari
ilmu ladunni. Dalam memahami kegunaan ilmu ladunni ini tidak dapat
dipungkiri banyak anggapan-anggapan yang keliru. Ilmu ladunni diidentikkan
hanya tervisualisasi terhadap sesuatu yang aneh atau di luar kebiasaan. Namun
jika ditela’ah lebih lanjut anggapan yang demikian jelaslah sebuah kekeliruan.
Ilmu adalah fitrah jiwa manusia. Namun, ia hilang (luput) dari jiwa
manusia karena datangnya sesuatu daru dari luar (dunia).
83 Al-Ghazali, Menuju Labuhan Akhirat, terj. Masyhur Abadi dan Husain Aziz, (Surabaya, Pustaka Progressif:2002) 187
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
ع ة لجمي ا قابل انية وكله وس اإلنس ع النف ي جمي وزة ف وم مرك م أن العل اعل
ارض ارئ وع بب ط ه بس ا من وس حظه ن النف ا م وت نفس ا يف وم وإنم العل
يطرأ عليها من خارج.
“Ilmu-ilmu itu dapat dimiliki oleh setiap jiwa manusia. Setiap jiwa dapat menerima semua ilmu. Ilmu itu luput dari suatu jiwa semata-mata karena sesuatu yang asing dan baru datang dari luar kepadanya.”84
Hilangnya ilmu dari jiwa adalah merupakan penyakit, dan penyakit
tersebut hanya dapat diobati dengan proses pembelajaran. Bukanlah proses
pembelajaran yang tidak berorientasi pada pengembalian jiwa pada
substansinya.
ى ميرها إل ي ض ا ف راج م ا وإخ ى جوهره نفس إل وع ال تعلم إال رج يس ال ول
الفعل طلبا لتكميل ذاتها ونيل سعادتها.
“Tidak termasuk ke dalam proses pembelajaran, kecuali dengan upaya mengembalikan jiwa itu kepada substansinya dan mengeluarkan apa-apa yang ada di dalam batinnya menjadi tindakan dalam rangka mendapatkan kesempurnaan esensi dan memperoleh kebahagiaan.”85
Karena ilmu adalah fitrah jiwa manusia. Akan berfungsi jika jiwa
dalam keadaan sehat. Ketika jiwa dalam keadaan sakit, maka ilmu tersebut
akan tertutupi. Namun, ilmu itu tidak hilang.
وم، وش والرس اء النق و فن إن المح اس ف يان بالن و والنس ين المح رق ب وف
وش في اس النق يان التب مس والنس ور الش اتر لن حاب الس ام أو الس ون كالغم ك
وق األرض ن ف مس م ال الش و انتق ذي ه الغروب ال اظرين ال ك ار الن ن أبص ع
إلى أسفل.
“Perbedaan antara “lenyap” dan “lupa” pada manusia adalah bahwa lenyap itu berarti hilangnya sesuatu yang tersimpan di dalam jiwa, sementara lupa ialah kerancuan dari ilmu yang tersimpan di dalam jiwa.
84 Ibid, 233. 85 Ibid, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
Lupa adalah seperti awan yang menutupi matahari dari pandangan mata, bukan seperti terbenam, yaitu berpindahnya matahari dari atas ke bawah bumi.”86
Al-Ghazali dalam pembahasannya tidak pernah menyebut bahwa ilmu
ladunni adalah ilmu yang tervisualisasikan dengan sesuatu yang aneh atau
diluar kebiasaan. Atau dalam istilah laih disebut dengan ajaib. Tetapi yang
jelas-jelas diungkapkan oleh al-Ghazali adalah terbukanya tabir-tabir tentang
alam gaib. Kembali lagi kepada konsep awal, ketidak-tahuan menjadikan
manusia mengingkarinya. Begitu juga ketidak-tahuan menjadikan anggapan
bahwa hal tersebut adalah aneh (ajaib).
Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu adalah fitrah jiwa manusia.
Namun, ia hilang (luput) dari jiwa manusia karena datangnya sesuatu yang
baru dari luar (dunia). Ungkapan tersebut memberi penjelasan bahwa hakikat
jiwa adalah berilmu. Sedangkan hakikat ilmu adalah ilmu ladunni, yaitu ilmu
yang diajarkan langsung oleh sang pencipta jiwa.
Hilangnya ilmu dari jiwa adalah merupakan penyakit, dan penyakit
tersebut hanya dapat diobati dengan proses pembelajaran. Bukanlah proses
pembelajaran yang tidak berorientasi pada pengembalian jiwa pada
substansinya.
Pengobatan terhadap jiwa yang sakit tergantung pada tingkat parah dan
ringan penyakit. Semakin berat penyakit, maka semakin lama proses
pengobatan. Sebaliknya semakin ringan penyakit maka semakin cepat
penyembuhan.
86 Ibid, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
91
ا ا وغمامه رها دقيق عيفة وش ا ض ون علته ها وتك ف مرض ى يخ نفس الت ا ال فأم
ال حيحا، ف ا ص ا ومزاجه ا رقيق ل يكفيه ب ب ول تع م وط ادة تعل ى زي اج إل تحت
أدنى نظر وتفكر ألنها ترجع إلى أصلها.
“Adapun jiwa yang ringan sakitnya, lemah penyakitnya, sedikit kejahatannya, lembut awannya, dan benar kombinasinya, ia tidak memerlukan banyak belajar dan kelelahan. Cukup melalui penalaran dan pemikiran yang paling rendah, karena ia telah kembali pada keadaan aslinya.”87
Karena ilmu adalah fitrah jiwa manusia. Akan berfungsi jika jiwa
dalam keadaan sehat. Ketika jiwa dalam keadaan sakit, maka ilmu tersebut
akan tertutupi. Namun, ilmu itu tidak hilang.
Pengobatan terhadap jiwa yang sakit tergantung pada tingkat parah dan
ringan penyakit. Semakin berat penyakit, maka semakin lama proses
pengobatan. Sebaliknya semakin ringan penyakit maka semakin cepat
penyembuhannya.
Jiwa yang sakit di dunia ini menempati beberapa tingkatan; Tingkat
pertama, yaitu penyakit ringan. Jiwa yang memiliki penyakit ringan lebih
mudah penyembuhannya, yaitu cukup dengan pendidikan. Maka, jiwa akan
kembali kepada fitrahnya dan selanjutnya memperoleh pengajaran dari Tuhan.
واطرهم ي خ يان ف ام النس عيفا. ودق غم أثر ض زل ت رض المن أثر بم هم ت بعض
فيشتغلون بالتعلم. ويطلبون الصحة األصلية فيزول مرضهم بأدنى معالجة.
“Sebagian jiwa yang memberi pengaruh terhadap rasa sakit yang datang dengan pengaruh terhadap yang lemah dan menghalau kelalaian dalam pikiran mereka, sehingga jiwa-jiwa tersebut memerluakan pendidikan dan pengajaran. Mereka mencari kesehatan yang asli, sehingga hilanglah sakit mereka dengan pengobatan yang sederhana.”88
87 Ibid, 234. 88 Ibid, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
92
Tingkat kedua, penyakit berat. Penyakit berat ini ditandai dengan jiwa
dan akal yang telah rusak, sehingga walaupun belajar seumur hidup mereka
tidak mendapatkan pemahaman sama sekali.
ع حيح جمي يل والتص تغلون بالتحص رهم ويش ول عم ون ط هم يتعلم وبعض
د زاج إذا فس زجتهم، ألن الم اد أم يئا لفس ون ش امهم، وال يفهم ل أي ال يقب
العالج.
“Sebagian lagi belajar seumur hidup mereka dan menyibukkan diri dengan pengajaran. Tetapi mereka tidak mendapatkan pemahaman sedikitpun, karena jiwa dan akal rusak. Sebab, apabila jiwa rusak, ia tidak dapat menerima pengobatan.”89
Tingkat ketiga, penyakit lalai. Jiwa yang terjangkiti penyakit ini
terkadang lupa dan terkadang ingat. Ada kemungkinan jiwa mereka menerima
cahaya ilahi. Namun, yang dapat diserap sedikit sekali. Jika jiwa yang
memiliki kondisi dengan diagnosa penyakit seperti ini tidak segera
memperbaiki diri dan mengembalikan jiwa mereka pada fitrahnya, besar
kemungkinan ia akan terjangkiti penyakit yang berat. Yaitu selamanya tidak
mendapatkan pancaran cahaya ilahi.
يال ورا قل دون ن هم ويج ذلون أنفس ون وي ون ويرتاض ذكرون وينس هم يت وبعض
وإشراقا ضعيفا.
“Sebagian yang lain dari mereka ada yang ingat, lupa, merendahkan, dan menghina diri mereka sendiri. Dalam kondisi ini ia sedikit sekali menerima cahaya, jika tidak sama sekali.”90
Perbedaan tingkatan jiwa tersebut tergantung kadar penerimaan jiwa
terhadap dunia.
89 Ibid, 234. 90 Ibid, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
93
ب تغراقها بحس دنيا واس ى ال وس عل ال النف ن إقب ر م ا ظه اوت إنم ذه التف وه
قوتها وضعفها كالصحيح إذا مرض، والمريض إذا صح.
“Perbedaan ini semata-mata muncul dari penerimaan jiwa terhadap dunia dan ketenggelamannya sesuai dengan kadar kuat dan lemahnya jiwa itu, seperti halnya orang sehat apabila dia sakit dan orang sakit apabila ia sehat.”91
Fitrah dari jiwa adalah berilmu, tanpa harus mencari penciptaan ilmu
yang ditiadakan dan tidak pula kreasi akal yang dihilangkan.
ت ت دة إذا انحل ذه العق ت وه ا كان م أنه دني، وتعل م الل ود العل وس بوج ر النف ق
عالمة في أول الفطرة وصافية في ابتداء االختراع.
“Apabila persoalan ini dapat dipecahkan, jiwa akan tetap pada keberadaan ilmu ladunni. Jiwa akan mengetahui bahwa ia berilmu pada awal fitrahnya dan jernih pada permulaan penciptaannya.”92
ل ود، ب ل المفق داع العق دوم. وال إب م المع اد العل التعلم إيج ب ب ا ال تطل وإنه
ة ى زين ا عل رض بإقباله ان الم ة طري زي وإزال لي الغري م األص ا العل إعادته
الجسد وتمهيد قاعدته ونظام أساسه.
“Sesungguhnya jiwa tidak mencari penciptaan ilmu yang ditiadakan dan tidak pula kreasi akal yang dihilangkan. Melainkan dikembalikan kepada jiwa tersebut ilmu asli naluri dan dihilangkan penyakit melalui penerimaan terhadap perhiasan, bentangan kaidah dan susunan landasan jasad.”93
Kesimpulan dari kegunaan ilmu ladunni bukan seperti pendapat atau
argumen yang banyak terdengar. Hakikat kegunaan ilmu ladunni adalah
mengembalikan fitrah jiwa manusia yang berilmu. Sedangkan sejatinya ilmu
yaitu ilmu ladunni (pengajaran Tuhan). Sedangkan ilmu gaib tidak seharusnya
didefinisikan sesuatu yang aneh atau ajaib. Definisi yang demikian tidak dapat
91 Ibid, 234. 92 Ibid, 234. 93 Ibid, 234.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
94
diterima, karena hakikat dari definisi yang demikian kecenderungannya karena
ketidak-tahuan. Sehingga segala sesuatu yang tidak diketahui dianggap
sesuatu yang aneh, sebagaimana sesuatu yang tidak diketahui diingkari
keberadaannya.