BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil …repository.ump.ac.id/5815/5/PANDU YUNADI = BAB...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil …repository.ump.ac.id/5815/5/PANDU YUNADI = BAB...
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Pengaturan Praktik Transfer Pricing di Indonesia
a. Undang-undang 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Dalam Hukum Positif di Indonesia ketentuan Transfer Pricing
secara umum diatur dalam Pasal 18, Undang-undang Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPH). Dalam Undang-undang 36
Tahun 2008 Pasal 18 ayat (3) menyebutkan Direktur Jenderal Pajak
berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung
besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak
yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya‐plus,
atau metode lainnya.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011
tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan menyebutkan dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi
48
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
49
dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib
Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk
mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha.
c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 32/PJ/2011 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Antara Wajib
Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Seperti yang tersebut di atas bahwa Transfer Pricing diselenggarakan
oleh Wajib Pajak sebagai dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle/ALT). Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha berpedoman pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan
Kelaziman Usaha Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai
Hubungan Istimewa. Dalam Peraturan tersebut, pada Pasal 1 angka 6
dikatakan bahwa Harga Wajar atau laba Wajar adalah harga atau laba
yang terjadi dalam transaksi yang dilakukan pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi sebanding, atau harga
atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang memenuhi
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Untuk mengidentifikasi
penerapan Prinsip dan Kelaziman Usaha yang dilakukan Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan istimewa dilakukan dengan
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
50
sebuah analisis. Dalam Pasal 1 angka 7 disebutkan Analisis
Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan
melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis
transaksi dimaksud.
d. Peraturan Menteri Keuangan Nomor213/PMK.03/2016 tentang Jenis
Dokumen dan/atau Informasi Tambahan Yang Wajib Disimpan Oleh
Wajib Pajak Yang Melakukan Transaksi Dengan Pihak Yang
Mempunyai Hubungan Istimewa.
Atas dasar peraturan tersebut di atas, Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.03/2016, Pasal 3 ayat (3) mewajibkan semua pihak
baik domestik maupun luar negeri yang melakukan transaksi afiliasi
untuk menerapkan Arm’s Length Principle. Praktik Transfer Pricing erat
kaitanya dengan Hubungan Istimewa antar wajib pajak. Ketentuan
tersebut diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 213/PMK.03/2016 ,Pasal 1 angka 5 menyebutkan
bahwa Penentuan Harga Transfer adalah penentuan harga dalam
Transaksi Afiliasi, Transaksi Afiliasi tersebut dalam Pasal 1 angka 3
dijelaskan yaitu Transaksi yang dilakukan Wajib Pajak dengan Pihak
Afiliasi, dan Pihak Afiliasi dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan yaitu
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
51
sebagai pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan Wajib
Pajak. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Keuangan
tersebut menyatakan bahwa Dokumen Penentuan Harga Transfer adalah
dokumen yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak sebagai dasar
penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Penentuan
Harga Transfer yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
e. Peraturan dan Prinsip lainya terkait Transfer Pricing.
Pengaturan tentang Transfer Pricing di Indonesia tidak lepas dari
prinsip yang mendasari praktik pengaturan Transfer Pricing yang telah
menjadi kebiasaan umum untuk diterapkan di banyak negara. Prinsip
utama yang dianut dalam pengaturan Transfer Pricing adalah diacunya
konsep dalam kerangka teoritikal akuntansi yaitu prinsip Arm’s Length
Principle. OECD dalam pernyataan resminya yang dituangkan di Pasal 9
The OECD Model Tax Convention menyatakan sebagai berikut:
“[When] conditions are made or imposed between the two
[associated] enterprises in their commercial or financial relations which
differ from those which would be made between independent enterprises,
then any profits which would, but for those conditions, have accrued to
one of the enterprises, but, by reason of those conditions, have not so
accrued, may be included in the profits of that enterprise and taxed
accordingly.”
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
52
Pernyataan di paragraf 1 Pasal 9 dari Model OECD inilah yang
menjadi basis pola hubungan bilateral dalam konteks tax treaty antara
negara-negara anggota OECD dan beberapa negara non-OECD.
Argumentasi utama yang dibangun oleh OECD dalam penerapan
prinsip Arm’s Length ini adalah prinsip Arm’s Length memberikan
keseimbangan yang luas dalam perlakuan pajak untuk Multinational
Enterprises (MNEs) dan Independent Enterprises. Arm’s Length
Principle menempatkan Multinational Entreprises dan Independent
Enterprises pada keadaan yang lebih adil dalam penghitungan beban
untuk tujuan perpajakan, sehingga hal itu dapat menghindari upaya-
upaya terjadinya keuntungan pajak yang mengubah posisi relatif
kompetitif dari kedua jenis entitas tersebut. Sejalan dengan itu, meninjau
kembali posisi pajak-pajak dalam transaksi tersebut dari keputusan
ekonomi, prinsip Arm’s Length meningkatkan pertumbuhan perdagangan
internasional dan investasi.
Sekalipun pendekatan ini membawa kemajuan yang sangat berarti
dalam pengaturan transaksi yang melibatkan adanya hubungan istimewa,
namun dalam praktik pelaksanaannya ditemui beberapa kesulitan sebagai
berikut:
1) Perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa mungkin
melakukan transaksi-transaksi yang tidak terjadi di perusahaan-
perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa (non-affiliated
companies or enterprises). Terjadinya transaksi-transaksi model ini
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
53
tidak dimotivasi oleh kepentingan penghindaran pajak tetapi dalam
transaksional bisnis antar perusahaan affiliasi tersebut menghadapi
kondisi-kondisi bisnis atau komersial berbeda dengan yang dihadapi
oleh anggota suatu perusahaan non-affiliasi.
2) Penerapan prinsip ini mungkin akan menimbulkan beban administratif
baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus dalam mengevaluasi jumlah
yang signifikan dan tipe-tipe transaksi-transaksi cross-border.
Meskipun perusahaan affiliasi umumnya menetapkan syarat-syarat
bagi sebuah transaksi affiliasi pada saat transaksi terjadi, namun pada
titik tertentu perusahaan diminta menunjukkan bahwa perusahaan
affiliasi konsisten dengan prinsip Arm’s Length Transaction. Disisi
lain, fiskus akan berupaya melakukan verifikasi dalam beberapa tahun
ke depan setelah terjadinya transaksi-transaksi affiliasi tersebut.
Fiskus kemudian akan mencoba mengumpulkan informasi transaksi
sejenis, kondisi pasar pada saat transaksi affiliasi terjadi untuk sekian
banyak dan ragam transaksi. Aktivitas ini biasanya akan menjadi lebih
sulit seiring dengan berlalunya waktu.
3) Wajib Pajak dan fiskus sering kali mengalami kesulitan memperoleh
informasi yang memadai untuk menerapkan prinsip arm’s length. Hal
ini karena prinsip arm’s length mensyaratkan Wajib Pajak dan fiskus
untuk mengevaluasi transaksi-transaksi yang tidak dapat dikontrolnya,
termasuk juga aktivitas-aktivitas bisnis dari perusahaan non affiliasi
dan membandingkannya dengan transaksi-transaksi di perusahaan
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
54
affliliasi. Hal ini memunculkan permintaan akan sejumlah data yang
subtansial. Informasi yang dapat diakses kemungkinan tidak lengkap
dan sulit diinterpretasikan. Informasi lain, jika itu ada, mungkin akan
sangat sulit diperoleh dengan sejumlah alasan. Kebutuhan akan
informasi terkait transaksi perusahaan non affiliasi, dengan alasan
kerahasiaan maka tidak mudah memperolehnya. Pada titik ini harus
disadari bahwa Transfer Pricing bukan ilmu pasti tetapi membutuhkan
penggunaan pertimbangan pada setiap bagian di kedua belah pihak,
Wajib Pajak dan Fiskus (Roy Martfianto: 2011).
2. Usaha mengatasi Transfer Pricing untuk memaksimalkan Pajak Penghasilan
Perusahaan Multinasional
a. Melalui Rencana Aksi (Action Plan) BEPS
Untuk mengatasi penghindaran pajak yang dilakukan Perusahaan
Multinasional melalui skema Tax Planning yang didalamnya dapat
dilakukan praktik Transfer Pricing, negara-negara anggota G20
mendeklarasikan aksi bersama dengan Organizations Economics for Co-
orperations and Development dalam 15 Rencana Aksi atas isu Based
Erosion and Profit Shifting(BEPS). 15 Rencana Aksi tersebut didasarkan
pada prinsip utama yaitu koherensi, subtansi, dan transparansi serta
diharapkan perubahan strandar perpajakan Internasional. Adapun 15
Rencana Aksi tersebut berupaya untuk:
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
55
1) Membentuk koherensi internasional terhadap pajak penghasilan badan
usaha (Action Plan 2,3,4,5).
2) Memperbaiki standar perpajakan internasional dengan cara
menyelaraskan hak pemajakan dengan subtansi ekonomi (Action Plan
6,7,8,9,10).
3) Menjamin transparansi sekaligus meningkatkan kepastian dan
prediktabilitas (Action Plan 11,12,13,14) untuk membentuk instrument
multilateral dalam merespon isu BEPS dan memonitor Rencana Aksi
BEPS (Plan 15). Selain itu terdapat Rencana Aksi lainya yang membahas
perlakuan pajak atas ekonomi digital (Darussalam dan Ganda C. Tobing.
2014: 4).
Terkait kesiapan Indonesia untuk mengimplementasikan Rencana
Aksi tersebut, Pusat Kebijakan Penerimaaan Negara (PKPN), Badan
Kebijakan Fiskal menyatakan beberapa ketentuan perpajakan di Indonesia
telah sejalan dengan Rencana Aksi BEPS tersebut. Dari 15 Rencana Aksi
BEPS tersebut terdapat 6 Aksi yang fokus pada penanganan Transfer
Pricing, yaitu Rencana Aksi ke 8,9,10,12,13, dan 14 ( Ichda Rizqoh
Karomatunnisa. 2016: 316).
Hasil dari Rencana Aksi tersebut dapat berupa report, rekomendasi,
dan revisi atas OECD Model Convention atau Transfer Pricing
Guideliness. Dari 6 Rencana Aksi tersebut yang fokus pada penanganan
Transfer Pricing dapat dijabarkan sebagai berikut:
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
56
1) Rencana Aksi 8,9,10 : Assure that Transfer Pricing Outcomes are in the
with Value Creation.
Penghindaran pajak oleh Perusahaan Multinasional saat ini
menempatkan Transfer Pricing sebagai instrumen yang paling sering
paling digunakan untuk menggeser laba. Arm’s Length Principle yang
selama ini mencerminkan konsensus internasional dianggap memiliki
kelemahan. Kelemahan yang dimaksud tidak terlepas dari asumsi dasar
dalam Arm’s Length Principle bahwa semakin besar fungsi, asset, dan
resiko dari salah satu pihak bertransaksi, maka semakin besar pula
remunerasi diharapkan akan diperoleh pihak tersebut. Hal ini
mendorong Perusahaan Multinasional untuk memindahkan fungsi,
asset, resiko ke Yurisdiksi yang mengenakan pajak rendah. Dalam
Rencana Aksi ke 8, 9, 10 menempatkan isu asset tidak berwujud, resiko
dan modal, serta transaksi beresiko tinggi lainya.
Rencana Aksi ke Sembilan mengidentifikasi isu alokasi resiko oleh
OECD berdasarkan kontrak dibanding realitas ekonomi dari grup
perusahaan secara terintegrasi. Rencana Aksi ini mempertimbangkan
seberapa besar substansi ekonomi yang diperlukan dalam kaitanya
dengan alokasi resiko.
Rencana Aksi ke Sepuluh, pada dasarnya OECD Transfer Pricing
Guideliness mengakui bahwa transaksi afiliasi yang tidak atau jarang
yang dilakukan oleh pihak independen tidak dengan sendirinya
menunjukan bahwa transaksi afiliasi ini tidak wajar. Dalam hal ini
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
57
OECD berupaya mengklarifikasi kondisi yang memungkinkan
dilakukan rekarakterisasi suatu transaksi. Pada dasarnya, OECD
memperbolehkan otoritas pajak untuk melakukan rekarakterisasi
transaksi afiliasi dalam kasus-kasus tertentu.
2) Rencana Aksi ke 12 : Require Taxpayers to Disclose their Aggressive
Taxpalning Arrangements.
OECD Menekankan bahwa dasar dari tiap upaya untuk mengatasi
Aggressive Tax Planning adalah ketersediaan informasi. Dengan
ketersediaan informasi yang tepat sasaran, teapat waktu dan
komprehensif, maka otoritas pajak dapat melakukan deteksi awal atas
skema Aggressive Taxplanning. OECD mendefinisikan manfaat pajak
serta transaksi yang dikategorikan aggressive atau abusive terkait
dengan upaya OECD untuk memonitor skema Aggressive Taxplanning.
3) Rencana Aksi ke 13: Re-examine Transfer Pricing Documentation.
Sebagai bagian dari transparasi dan untuk menghindari informasi
asimetris antara wajib pajak dan otoritas pajak, OECD dalam Rencana
Aksi ke 13 ini menganggap perlu untuk melakukan revisi atas
persyaratan dokumentasi Transfer Pricing.
Terdapat dua hal yang penting dalam Rencana Aksi ke 13 ini.
Yang pertama adalah, standarisasi dokumen Transfer Pricing melalui
pendekatan dua tingkat, yaitu master file yang memuat informasi yang
relevan mengenai semua perusahaan dalam grup Perusahaan
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
58
Multinasional, dan local file yang memuat informasi secara spesifik
tentang transaksi afiliasi yang dilakukan oleh perusahaan.
4) Rencana Aksi ke 14: Make Dispute Resolution Mechanism more
Effective.
Data statistik dari negara-negara anggota OECD menunjukan
peningkatan yang cukup signifikan dalam proses penyelesaian sengketa
perpajakan internasional melalui MAP. Hal ini mengindikasikan adanya
keinginan kuat dari otoritas pajak di negara-negara anggota OECD
untuk menyelesaikan sengketa perpajakan internasional melalui MAP
(Mutual Agreement Procedure). Namun dalam hal ini bukan berarti
MAP tidak mempunyai kelemahan, MAP tidak memberi kepastian
karena tidak mewajibkan otoritas pajak untuk melakukan kesepakatan.
Dalam hal tersebut, Rencana Aksi ke 14 ini mengidentifikasi
kemungkinan penolakan oleh otoritas pajak untuk menginisiasi MAP
dan arbitrase sebagai penghalang dalam menyelesaikan sengketa
perpajakan internasional. Solusi atas penolakan dalam memberikan
akses ke MAP ini relevan dalam konteks BEPS karena beberapa negara
dapat menolak akses ke MAP jika transaksi yang disengketakan
dianggap abusive, misalnya transaksi yang berhubungan dengan
penyalahgunaan P3B (Darussalam dan Ganda C. Tobing. 2014: 14-20).
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
59
b. Melalui Pertukaran Sistem Informasi Otomatis (Automatic Exchange of
Information).
Guna mengimplementasikan keterbukaan informasi perpajakan atau
automatic exchange of information (AEoI) pemerintah melalui Kementrian
Keuangan telah meresmikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70
tahun 2017 sebagai aturan turunan dari Perppu No. 1 Tahun 2017. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses
Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Perppu ada untuk
mengakomodasi kesepakatan Sistem Pertukaran Informasi Otomatis
(Automatic Exchange of Information) yang akan mulai berjalan tahun 2018.
Automatic Exchange of Information (AEoI) adalah kerja sama di
antara 139 negara (per 17 Januari 2017) yang tergabung dalam Global
Forum untuk saling membuka data finansial di negara masing-masing.
Tujuan pelaksanaan AEoI adalah untuk mengurangi kemungkinan
penghindaran pajak. Ketika akses data terbuka, suatu negara dapat melacak
wajib pajaknya yang menaruh uang di luar negeri.
Secara teori, kehadiran AEoI menjadi penting karena dapat
meningkatkan probabilitas tertangkap dari pengemplang pajak. Wajib pajak
selalu dalam posisi untuk mengambil keputusan, apakah dia akan membayar
pajak atau tidak, dan jika membayar, berapa jumlah pendapatan (income)
yang akan dia laporkan. Berdasarkan model ekonomi yang dikembangkan
oleh Bayer, Oberhofer, Winner (2015), terdapat dua hal yang memengaruhi
seorang wajib pajak melaporkan jumlah hartanya.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
60
Pertama, beratnya hukuman apabila melanggar aturan (tidak
membayar pajak) dan besarnya peluang dia akan tertangkap. Hal ini menjadi
indikasi bahwa besarnya denda dari tidak membayar pajak, serta
kemampuan pemerintah untuk menegakkan hukum dan melakukan
pengawasan, menjadi pertimbangan individu dalam membayar pajak. Jika
hukuman ringan dan peluang tertangkapnya kecil, individu akan cenderung
melaporkan pendapatan yang lebih rendah (cenderung untuk mengemplang
pajak).
Kedua, detection shock. Model yang dikembangkan oleh Bayer,
Oberhofer, Winner menjadi menarik karena memasukkan variabel ini.
Detection shock adalah satu kejadian yang secara mendadak dapat
menyebabkan peluang pengemplang pajak tertangkap menjadi lebih besar.
Mereka mengambil contoh kebocoran data di Jerman. Mereka berargumen
bahwa ketika detection shock semakin besar, individu akan cenderung lebih
patuh dalam membayar pajak, mendeklarasikan pendapatan lebih besar di
periode pertama.
Pada konteks AEoI, 16 negara yang tergabung dalam AEoI melaporkan
terdapat kenaikan jumlah pelaporan harta di luar negeri sebesar 17 persen
pada periode 2011-2015.
Sebelum penerapan AEoI dilaksanakan secara serentak, sejumlah
negara sudah melakukan perjanjian pertukaran informasi (exchange of
information/EoI) antarnegara untuk memerangi penggelapan pajak.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
61
Contohnya, pada periode 2010-2014 Swedia membuat 396 permintaan
pertukaran informasi (EoI request) dengan jumlah total pendapatan pajak
yang bisa dipungut (tax effect) mencapai 330 juta euro. Australia juga
melaksanakan hal yang sama, mengajukan 400 EOI request pada 2013, dan
pajak yang berhasil diselamatkan (tax recovered) mencapai 326 juta euro
(OECD, 2015). Data tersebut menunjukkan, pertukaran informasi
antarnegara sangat efektif untuk mendongkrak penerimaan pajak negara.
Oleh sebab itu, keberadaan AEoI menjadi sangat penting.
AEoI membawa perubahan baru dalam dunia perpajakan. Guna
mendukung pelaksanaannya, pada tahun 2014 OECD menyusun apa yang
disebut sebagai Common Reporting Standard (CRS). Pada CSR diatur
sejumlah hal yang harus dipersiapkan oleh negara-negara yang berkomitmen
menjalankan AEoI.
Dari 101 negara yang berkomitmen melaksanakan AEOI pada periode
2017-2018, hanya 12 negara yang belum memenuhi persyaratan, salah
satunya Indonesia. Pada laporan terakhir yang diterbitkan, status Indonesia
masih partly comply karena peraturan yang ada di Indonesia masih belum
mendukung bagi pelaksanaan AEoI. Agar AEoI dapat berjalan di Indonesia,
sejumlah regulasi harus direvisi. Pada tingkatan undang-undang, setidaknya
terdapat empat Undang-undang yang perlu direvisi, yaitu Undang-undang
Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Perbankan, Undang-undang
Perbankan Syariah, dan Undang-undang Pasar Modal. Revisi pada keempat
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
62
Undang-undang tersebut dibutuhkan agar mekanisme pertukaran informasi
antara Direktorat Jenderal Pajak dan institusi keuangan dapat berjalan.
Setiap negara peserta AEoI diharuskan memenuhi tenggat 30 Juni 2017
untuk menyiapkan kerangka peraturannya, dan mustahil bagi Indonesia
melakukan revisi empat UU dalam tenggat sependek itu. Dari empat UU
tersebut, hanya UU KUP yang masuk prioritas legislasi pada tahun 2017.
Undang-undang Pasar Modal masuk longlist Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) 2014-2019, sedangkan Undang-undang Perbankan Syariah
bahkan tidak masuk longlist Prolegnas. Lebih lanjut, Undang-undang Pasar
Modal dan Undang-undang Perbankan Syariah, berdasarkan informasi yang
penulis dapatkan, belum ada draf revisinya.
Ketidakpatuhan Indonesia dalam memenuhi tenggat dapat berakibat
fatal ke depan. Forum global sudah menetapkan langkah-langkah defensif
(defensive measures) bagi negara-negara yang gagal memenuhi komitmen
waktunya.
Setidaknya terdapat dua implikasi dari keterlambatan mematuhi
komitmen tersebut. Pertama, peringkat (rating) Indonesia di forum global
akan menjadi buruk. Hal ini tentu tidak baik mengingat akan menghambat
perbaikan iklim investasi yang sedang dibangun. Sejumlah lembaga
keuangan global sudah memakai peringkat yang dikeluarkan oleh Global
Forum sebagai dasar untuk kebijakan investasi. Contohnya European
Investment Bank dan International Finance Corporation (OECD, 2016).
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
63
Kedua, opportunity loss atau potensi yang hilang dari terhambatnya
pelaksanaan AEoI di Indonesia. Berdasarkan data Bank Dunia, dana ilegal
(illicit fund) yang berasal dari warga negara Indonesia mencapai Rp 4.000
triliun. Kebijakan amnesti pajak terbukti belum berhasil membawa dana-
dana tersebut pulang sehingga keberadaan AEoI diharapkan dapat
membawa dana tersebut kembali (Muhammad Syarif Hidayatullah. 2017:
6).
Dalam aturan Peraturan Menteri Keuangan No 70 tahun 2017 ini,
pemerintah menentukan jenis lembaga keuangan yang menjadi subjek
pelapor dan pemberi informasi perpajakan, di antaranya adalah Lembaga
Jasa Keuangan (LJK) di sektor Perbankan, Pasar Modal dan Perasuransian
di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Jasa Keuangan
lainnya selain sektor perbankan, seperti pasar modal dan perasuransian di
bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut Suryo Utomo, Staff Ahli Menteri Keuangan Bidang
Kepatuhan Pajak, Tata cara penyampaian informasi juga telah diatur
lengkap di PMK ini, tercatat terdapat dua penyampaian informasi pajak
yang telah diatur, yakni secara otomatis dan penyampaian data sesuai
permintaan. Penyampaian secara Otomatis adalah informasi yang terekam
dalam satu periode waktu, misalnya setahun, dan ini baru mulai berlaku
untuk pelaksanaan tahun 2018 mendatang atas keadaan tahun 2017. Jadi
sifatnya otomatis tanpa permintaan bisa elektronik atau non-elektronik.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
64
Eleketronik yang dimaksud adalah melalui Otoritas Jasa Keuangan Online.
Data nasabah juga dapat diajukan berdasarkan permintaan, terutama terkait
kebutuhan akses informasi perpajakan, sistem “By request” ini bukanlah hal
baru.
Menurut ketentuan KUP (ketentuan umum perpajakan) saat ini dengan
permintaan maka Direktur Jendral Pajak bisa meminta informasi kepada
pemilik atau wajib pajak bersangkutan. Perbedaannya, kondisi sekarang
permintaan harus melalui Menteri Keuangan dan Ketua Otoritas Jasa
Keuangan, baru ke lembaga keuangan. Dalam Perppu ini permintaan tidak
lagi oleh Menteri Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan, namun langsung
Direktur Jendral Pajak ke lembaga keuangan pemilik rekening. Terkait
dengan elemen yang diminta, dalam aturan ini jelas terlihat yakni mengenai
data identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening, identitas
lembaga keuangan, saldo dari rekening, serta penghasilan terkait rekening
(Suheriadi. 2017).
B. Pembahasan
1 .Pengaturan Transfer Pricing di Indonesia
Praktik Transfer Pricing adalah hal yang wajar dan penting dilakukan
oleh Perusahaan Multinasional untuk mendata, menstransmisikan, dan
mengontrol kemampuan finansial suatu Perusahaan Multinasional secara
global. Praktik Transfer Pricing yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa ini harus mematuhi Arm’s Length Principle
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
65
(Prinsip Kewajaran dan Kelayakan Usaha), namun dengan berbagai celah
aturan dan perkembangan teknologi yang cepat memudahkan Perusahaan
Multinasional melakukan penghindaran pajak. Pengaruh globalisasi
menjadikan banyak perusahaan baru terutama yang bergerak di bidang
komunikasi dan informasi sangat mudah melakukan Profit Shifting melalui
praktik Transfer Prcing. Berikut adalah pembahasan mengenai perturan
Transfer Pricing,
a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Dalam peraturan perpajakan Indonesia, untuk mengatasi Trasnfer
Pricing pada penjelasan Pasal 18 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan, menyatakan bahwa Kesepakatan Harga
Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara
Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar
produk yang dihasilkannya kepada pihak‐pihak yang mempunyai
hubungan istimewa (related parties) dengannya.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya
praktik penyalahgunaan Transfer Pricing oleh Perusahaan Multinasional.
Persetujuan antara Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat
mencakup beberapa hal, antara lain harga jual produk yang dihasilkan, dan
jumlah royalti dan lain‐lain, tergantung pada kesepakatan. Keuntungan
dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan
penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual
dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
66
grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan
kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau
bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas
perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di
wilayah yurisdiksinya (Yudi Ardianto. 2009: 189).
b. Perbandingan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016 dan
Peraturan Direktur Pajak Nomor 32/PJ/2011 sebagai Perubahan Nomor
43/PJ/2010.
Menurut Taripar Dolly (Nusa Tax Consulting) perbandingan
ketentuan Transfer Pricing dalam peraturan ini (Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016) dengan peraturan sebelumnya
(Peraturan Direktur Pajak Nomor PER-32/PJ/2011) adalah sebagai
berikut:
1) Jenis Dokumen
Peraturan Sebelunya, Wajib Pajak hanya mempersiapkan dokumen lokal
(local file), adapun dokumen lokal tersebut berupa informasi :
a) Identitas dan kegiatan usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
b) Informasi transaksi afiliasi dan transaksi independen yang dilakukan
Wajib Pajak.
c) Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
d) Informasi keuangan.
e) Peristiwa/kejadian/fakta non keuangan yang mempengaruhi
pembentukan harga atau tingkat laba.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
67
Peraturan sekarang, Wajib Pajak wajib mempersiapkan dokumen lokal
(local file), dokumen induk (master file) dan Laporan per negara (country
by country report). Dokumen Induk tersebut berupa informasi :
a) Struktur dan bagan kepemilikan grup usaha serta negara atau
yurisdiksi masing-masing anggota grup usaha.
b) Kegiatan usaha yang dilakukan oleh grup usaha.
c) Harta tidak berwujud yang dimiliki grup usaha.
d) Aktivitas keuangan dan pembiayaan dalam grup usaha.
e) Laporan keuangan konsolidasi entitas induk dan informasi
perpajakan terkait transaksi afiliasi.
Untuk laporan per negara (country by country report) berisikan informasi
berupa:
a) Alokasi penghasilan, pajak yang dibayar, dan aktivitas usaha per
negara atau yurisdiksi dari seluruh anggota Grup Usaha baik di dalam
negeri maupun luar negeri, yang meliputi nama negara atau yurisdiksi,
peredaran bruto, laba (rugi) sebelum pajak, Pajak Penghasilan yang
telah dipotong/ dipungut/ dibayar sendiri, Pajak Penghasilan terutang,
modal, akumulasi laba ditahan, jumlah pegawai tetap, dan harta
berwujud selain kas dan setara kas.
b) Daftar anggota Grup Usaha dan kegiatan usaha utama per negara
atau yurisdiksi.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
68
2) Batasan Transaksi (Threshold Transaction)
Peraturan sebelumnya, batasan transaksi yang Wajib membuat Transfer
Pricing Document adalah transaksi hubungan istimewa minimal Rp.
10.000.000.000,- (sepuluh miliar) dalam 1 (satu) tahun pajak.
Peraturan sekarang, dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu pertama, yang
wajib membuat dokumen induk dan dokumen lokal kedua, yang wajib
membuat dokumen induk, dokumen lokal dan laporan per negara.Yang
wajib membuat dokumen induk dan dokumen lokal meliputi :
a) nilai peredaran bruto Tahun Pajak sebelumnya dalam satu Tahun
Pajak lebih dari Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) ;
b) nilai transaksi afiliasi tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun
pajak :
i) lebih dari Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk
transaksi barang berwujud; atau
ii) lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk
masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan
barang tidak berwujud, atau Transaksi Afiliasi lainnya; atau
c) Pihak Afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif
Pajak Penghasilan lebih rendah dari pada tarif Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.
Sementara yang wajib membuat dokumen induk, dokumen lokal dan
laporan per negara yaitu :
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
69
a) Wajib Pajak yang merupakan Entitas Induk dari suatu Grup Usaha
yang memiliki peredaran bruto konsolidasi pada Tahun Pajak
bersangkutan paling sedikit Rp 11.000.000.000.000,00 (sebelas
triliun rupiah)
b) Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri berkedudukan sebagai anggota
Grup Usaha dan entitas induk dari Grup Usaha merupakan subjek
pajak luar negeri, Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan
laporan per negara sepanjang negara atau yurisdiksi tempat Entitas
Induk berdomisili:
i) Tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara.
ii) Tidak memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia
mengenai perpajakan.
c) Memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai
pertukaran informasi perpajakan, namun laporan per negara tidak
dapat diperoleh pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi
tersebut.
3) Ikhtisar dan Kertas Kerja
Peraturan sebelumnya, tidak ada kewajiban membuat Ikhtisar dan
Kertas Kerja.Sekarang, salah satu kelengkapan Transfer Pricing
Document adalah adanya lampiran Ikhtisar (lampiran huruf B) dan Kertas
Kerja (lampiran huruf E) sebagaimana disebutkan dalam lampiran PMK
213 yaitu berupa pernyataan Wajib Pajak telah menyelenggarakan dan
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
70
menyediakan dokumen induk dan dokumen lokal sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
4) Cakupan Transaksi
Peraturan sebelumnya, transaksi mencakup lintas negara (cross
border) dan transaksi dalam negeri yang spesifik (specific domestic
transaction). Peraturan sekarang, transaksi mencakup lintas negara (cross
border) dan transaksi dalam negeri (domestic transaction).
5) Perspektif Waktu Analisa Penerapan Prinsip Kewajaran
Peraturan sebelumnya, keduanya baik ex-ante approach maupun ex-
post approach. Ex-ante approach adalah suatu pendekatan penetapan
harga dilakukan sebelum transaksi atau kontrak dilakukan. Ex-post adalah
suatu pendekatan penetapan harga setelah transaksi/kontrak dilakukan.
Peraturan sekarang, Ex-ante approach dilakukan bagi yang
menyelenggarakan dokumen induk dan lokal sementara ex-post bagi yang
menyelenggarakan laporan per negara.
6) Bahasa Transfer Pricing Document
Peraturan sebelumnya, tidak ada kewajiban penggunaan bahasa
Indonesia dalam menyelenggarakan dokumentasi penentuan harga
transfer, sehingga rata-rata dilakukan dengan bahasa negara pemilik induk
perusahaan.
Peraturan Sekarang, Wajib berbahasa Indonesia termasuk bagi Wajib
Pajak yang sudah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan dalam
bahasa asing dan mata uang selain rupiah.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
71
7) Surat Pernyataan Ketersediaan Dokumen
Sebelumnya, tidak ada kewajiban. Sekarang. Wajib membuat surat
pernyataan ketersediaan dokumen. Dalam pasal 4 ayat 3 PMK 213
disebutkan bahwa dokumen Penentuan Harga Transfer harus dilampiri
dengan surat pernyataan mengenai saat tersedianya dokumen Penentuan
Harga Transfer tersebut ditandatangani oleh pihak yang menyediakan
dokumen Penentuan Harga Transfer.
Di Indonesia, konsep Arm’s Length Principle yang diusung OECD
ini diadopsi di dalam Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor 32/PJ/2011
Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor PER-43/PJ/2010
tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam
Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa, untuk menjelaskan klausul kewajaran dan kelaziman usaha
yang disebutkan di Pasal 18 ayat 3 UU No. 36 Tahun 2008.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
213/PMK.03/2016 sebagai pengganti Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor 32/PJ/2011 terdapat beberapa perubahan dalam pengaturan
ketentuan praktik Transfer Pricing.
Didalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.32/PJ/2011 Pasal 18
terkait dengan Dokumen Transfer Pricing, dalam ayat (4) Wajib Pajak
dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan
dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
72
penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih,
termasuk laporan keuangan yang tersegmentasi. Selanjutnya dalam ayat
(5) menjelaskan Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang
harus disediakan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya mencakup:
1) Gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha,
struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional
kegiatan usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha.
2) Kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya.
3) Hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang
diperjualbelikan, hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-
ketentuan dalam kontrak/perjanjian, dan strategi usaha.
4) Pembanding yang terpilih.
5) Catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba
Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan penolakan metode
yang tidak dipilih.
Sementara dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 213/PMK.03/2016, pada Pasal 2 ayat (1) menyebutkan Dokumen
Harga Transfer terdiri atas:
1) Dokumen Induk.
2) Dokumen Lokal.
3) Laporan per negara.
Terkait dengan pengaturtan Transfer Pricing di Indonesia, Melalui
Peraturan terbaru Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
73
tentang Jenis Dokumen dan/atau Informasi Tambahan yang Wajib
Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan Para Pihak
yang Mempunyai Hubungan Istimewa, dan Tata Cara Pengelolaanya,
seperti yang telah tertulis dalam hasil penelitian, terdapat beberapa
perubahan maupun penambahan dengan peraturan sebelumnya (Peraturan
Direktur Jendral Pajak Nomor PER- 32/PJ/2011).
Menurut Detroit Tax Solutuions, dalam peraturan terbaru ini
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016) mengenalkan
pendekatan dokumentasi tiga tingkat yang sejalan dengan BEPS Action
Plan-13, penggunaan ambang batas (threshold) untuk pengelolaan
dokumen, dan mewajibkan dokumen dibuat dengan bahasa Indonesia.
Peraturan ini juga mengatur petunjuk pihak yang wajib menyelenggarakan
dokumen, hal yang harus tercangkup dalam dokumen, dan kapan dokumen
harus tersedia. Peraturan ini diterbitkan sehubungan dengan ketentuan atas
penentuan dokumen Harga Transfer, dan tidak menggantikan peraturan
yang berlaku sebelumnya yaitu Peraturan Direktur Jenderal pajak Nomor
PER-32/PJ/2011 tentang Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha antara
Wajib Pajak dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Dengan berlakunya aturan terkait Transfer Pricing Document maka
untuk dapat diakui sebagai Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, Wajib
Pajak tidak hanya menyelenggarakan dokumen lokal saja dalam penentuan
Harga Transfer sebagai dasar penerapan kewajaran dan kelaziman usaha
atas transaksinya dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
74
tetapi menyelenggarakan dan menyimpan 3(tiga) tingkat dokumen yang
berupa :
1. Dokumen induk.
2. Dokumen lokal.
3. Laporan per Negara (Deloitte Tax Solutuions. 2017:1)
Menurut Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jendral Pajak,
John Hutagaol (2017) Dokumen lokal berisikan data dan informasi
mengenai identitas Wajib Pajak dan kegiatan usahanya, transaksi ubungan
istimewa dan transaksi independen, prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha, informasi keuangan, dan kejadian non-keuangan yang berdampak
pada pembentukan harga.
Dokumen Induk berisikan data dan informasi mengenai struktur dan
organisasi grup usaha mencakup negara dan jurisdiksi dimana anggota-
anggota perusahaan grup berdomisili, kegiatan usaha, harta tidak berwujud
yang dimiliki, aktivitas keuangan dan pembiayaan, laporan keuangan
konsolidasi, dan informasi perpajakan terkait dengan transaksi Transfer
Pricing.
Country by Country Report berisikan daftar anggota perusahaan grup
usaha dan jenis usaha di masing-masing negara dan/atau jurisdiksi, alokasi
penghasilan bruto, pajak yang dibayar, aktivitas usaha dari masing-masing
anggota grup usaha di masing-masing negara dan/atau jurisdiksi.
Atas dasar tersebut di atas, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.03/2016 dapat mendorong keterbukaaan perpajakan
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
75
bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan transaksi Hubungan
Istimewa di antara anggota grup usaha. Penentuan kewajaran harga
transaksi tersebut merupakan hal penting bagi ketentuan perpajakan di
Indonesia khususnya Institusi Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dalam peraturan lama yaitu Peraturan Direktur Jendral Pajak Nomor
PER 43/PJ/2010, disebutkan dalam Pasal 18 ayat (4) bahwa Wajib Pajak
dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan
bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan
metode Penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih. Dengan
tidak ditentukan secara jelas jenis dokumen Transfer Pricing yang harus
dipenuhi Perusahaan Multinasional dalam menyiapkan dokumen Transfer
Pricing, hal tersebut menyebabkan pembuatan dokumen hanya terpacu
pada syarat yang disebutkan pada Pasal 18 ayat (3) PER 43/PJ/2010 yaitu,
gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha,
struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan
usaha, daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha,kebijakan
penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya, dan lain sebagainya
dimana dapat disimpulkan bahwa hal tersebut hanya memuat Dokumen
Lokal.
Keberadaan Dokumen Lokal memberikan informasi yang mermuat
data tentang Perusahaan Multinasional di yurisdiksi negara tersebut. Maka,
dari Dokumen Lokal hanya akan didapat harga yang dapat dibandingkan
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
76
dengan transaksi harga wajar di negara Perusahaan Multinasional tersebut
berada. Perusahaan Multinasioanl memiliki sifat dasar lintas negara,
dengan hanya menggunakan dokumen dengan cangkupan kualitas lokal
maka hal tersebut tidak akan menjadi halangan bagi suatu Perusahaan
Multinasional untuk melakukan Transfer Pricing dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa di wilayah yurisdiksi lain.
Dengan adanya Dokumen Induk yang memuat data tentang
Perusahaan yang berafiliasi dengan Perusahaan Multinasional di suatu
negara, maka pihak pemerikasa pajak akan mendapat informasi lebih
tentang struktur, intensitas kegiatan, harta tidak berwujud, maupun
pembiayaan keuangan suatu perusahaan secara global yang berhubungan
dengan Perusahaan Multinasional tersebut khususnya terkait Harga
Transfer yang ditetapkan dari suatu transaksi yang dilakukan.
CbCR (Country by Country Report) adalah jenis dokumen/laporan
yang sangat penting dalam mengedepankan transparansi. Dalam diokumen
ini akan didapat informasi lebih alokasi laba maupun aktivitas perpajakan
Perusahaan Multinasional di negara lain. Hal tersebut mendorong
keterbukaan informasi dan memudahkan pemerikasaan pajak terkait
dengan kewajaran Harga Transfer yang dilakukan dengan pihak lain yang
mempunyai Hubungan Istimewa di negara lain. Dengan Country by
Country Report dan Dokumen Induk masing-masing negara tempat
Perusahaan Multinasional dan afiliasinya berada, lebih mudah mengetahui
transaksi yang dilakukan Perusahaan Multinasional, terkait harga, maupun
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
77
keutungan perusahaan tersebut di berbagai negara melalui laporan aktivitas
pajaknya, sehingga dapat diminimalan praktik Transfer Pricing diluar dari
harga wajar.
Hal lain yang penting menjadi pembahasan perubahan ketentuan
Transfer Pricing adalah dalam peraturan lama (PER-43/PJ/2010),
transaksi mencakup lintas negara (cross border) dan transaksi dalam
negeri yang spesifik (specific domestic transaction). Sekarang, transaksi
mencakup lintas negara (cross border) dan transaksi dalam negeri
(domestic transaction). Dengan pengaturan transaksi dalam negeri untuk
semua transaksi maka seluruh keutungan yang diperoleh dari upaya
Perusahaan Multinasional di Indonesia dapat dipungut pajak maksimal.
Sebab, perkembangan teknologi dan informasi, menciptakan beberapa
transaksi menguntungkan yang bukan merupakan transaksi dalam negeri
spesifik yang dinyatakan dalam peraturan tersebut. Sebagai contoh adalah
E-Commerce maupun E-Bussiness dengan berbagai macam dan metode
transaksinya maka dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
312/PMK.03/2016 hal tersebut dapat dikenai pajak sebagaimana
Perusahaan Multinasional yang bergerak dalam bidang lainya yang telah
diatur dalam peraturan perpajakan Indonesia.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
78
C. Perbandingan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/MPK.03/2016
dengan Rencana Aksi Based Erosion and Profit Shifting ke 13.
Globalisasi adalah faktor pendorong Perusahaan Multinasional
berkembang dengan cepat di seluruh dunia. Peraturan penghindaran pajak
yang dilakukan oleh Perusahaan Multinasional mendorong negara-negara
yang tergabung dalam forum negara G-20 bersama dengan Organization
of Economics Co-operation and Development (OECD) untuk melakukan
Rencana Aksi untuk mengatasi penggerusan basis pajak yang disebabkan
praktik Transfer Pricing. Beberapa Rencana Aksi tersebut diadopsi ke
dalam peraturan perpajakan di masing-masing negara termasuk dalam
peraturan perpajakan dan keuangan di Indonesia.
Menurut M. Darmawan Saputra, Danny Darussalam Tax Center
Consulting, Selain Dokumen Harga Transfer ada beberapa hal dari PMK
Nomor 213/PMK.03/2016 yang merupakan penerapan dari rekomendasi
BEPS Action Plan khusus aksi BEPS-13 pada forum negara-negara G-20,
yaitu sebagai berikut: :
Tabel 3
Tabel Perbandingan PMK Nomor 213/PMK.03/2016 dan Aksi
BEPS-13
Hal yang
Diatur
Rekomendasi BEPS Action
Plan 13
Peraturan PMK
Nomor
213/PMK.03/2016
Jenis Dokumen
yang
digunakan
Menggunakan pendekatan 3
tingkat, yaitu Master File;
Local File; dan Country by
Country Reporting.
Menggunakan 3 jenis
dokumen, yaitu
Dokumen Induk
(Master File);
Dokumen Lokal
(Local File); dan
Laporan per Negara
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
79
(Country by Country
Reporting)
Pasal 2 ayat (1) PMK
2013
Jenis data dan
informasi yang
digunakan
Menganut prinsip
“Contemporaneous
Documentation”, atau
dengan kata lain
menggunakan data
pembanding yang tersedia
pada saat terjadinya transaksi
dengan tujuan wajib pajak
akan menetapkan harga
transfer menggunakan data
pembanding, sesuai dengan
arm’s length principle .
BEPS 13 juga
merekomendasikan bahwa
otoritas pajak juga harus
mempertimbangkan beban
kepatuhan wajib pajak.
Menggunakan data
dan informasi yang
tersedia pada saat
dilakukan transaksi
afiliasi untuk
Dokumen Induk dan
Dokumen Lokal dan
Menggunakan data
dan informasi yang
tersedia sampai
dengan akhir tahun
pajak untuk Laporan
Per Negara.
Wajib pajak dianggap
tidak menerapkan
prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha jika
tidak memenuhi
ketentuan di atas.
(Pasal 3 PMK 213)
Batas Waktu
Pelaporan
Paling lambat dilaporkan
saat batas waktu pelaporan
surat pemberitahuan (SPT)
pada tahun pajak yang
bersangkutan.
Khusus untuk laporan per
negara, paling lambat
dilaporkan satu tahun setelah
batas waktu pelaporan SPT
pada tahun yang
bersangkutan.
Wajib melampirkan
pada SPT Tahunan
Pajak Penghasilan
Badan berupa ikhtisar
atas Dokumen Induk
dan Dokumen Lokal
dan harus tersedia
paling lama 4 (empat)
bulan setelah akhir
tahun pajak.
Laporan per Negara
wajib dilampirkan
pada SPT Tahunan
Pajak Penghasilan
Badan pada tahun
pajak berikutnya dan
harus tersedia paling
lama 12 (dua belas)
bulan setelah akhir
tahun pajak.
(Pasal 4 dan Pasal 7
PMK 213)
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
80
Penggunaan
Bahasa
Tidak dijelaskan secara pasti,
namun menggunakan
terminologi “commonly used
language” atau bahasa yang
biasa digunakan agar tidak
mengurangi kegunaan atas
dokumen tersebut.
Jika dibutuhkan
penerjemahan lebih lanjut
atas suatu dokumen, otoritas
pajak harus secara spesifik
meminta bagian yang ingin
diterjemah dan menyediakan
waktu yang cukup untuk
wajib pajak.
Harus dibuat oleh
wajib pajak dalam
Bahasa Indonesia,
kecuali mendapat izin
untuk
menyelenggarakan
pembukuan dalam
bahasa asing dan mata
uang selain rupiah.
Jika menggunakan
bahasa asing, wajib
disertai dengan
terjemahannya dalam
Bahasa Indonesia.
(Pasal 11 PMK 213)
Ketidakpatuhan
dan Sanksi
BEPS ke 13 menjelaskan
mengenai peristiwa yang
dianggap sebagai
ketidakpatuhan oleh wajib
pajak, yaitu:
1) Tidak memenuhi
ketentuan dokumentasi
Transfer Pricing sesuai
dengan ketentuan yang
berlaku;
2) Tidak memberikan
dokumentasi sesuai
dengan jangka waktu
yang diberikan.
Atas ketidakpatuhan
tersebut,
direkomendasikan agar
wajib pajak dikenakan
sanksi sebagai berikut:
i) Sanksi administratif
berupa denda (dapat
menggunakan jumlah
tetap atau sesuai
proporsi).
ii) Sanksi non-moneter
seperti pengalihan
beban pembuktian.
PMK 213 tidak
mengatur ketentuan
mengenai sanksi.
Namun, ketentuan
mengenai sanksi
merujuk pada Undang
– Undang nomor 6
Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan
Sebagaimana Telah
diubah Terakhir
dengan Undang –
Undang Republik
Indonesia Nomor 16
Tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum
Cara Perpajakan)
Wajib pajak akan
dikenakan sanksi
apabila tidak
memenuhi kewajiban
sebagai berikut:
1) Tidak menggunakan
data dan informasi
sesuai dengan Pasal
3 ayat (1) dan (2)
pada PMK 213.
2) Tidak
menyampaikan
dokumen yang
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
81
diminta oleh otoritas
pajak atau
menyampaikan
dokumen melebihi
jangka waktu yang
ditetapkan sesuai
dengan Pasal 5 PMK
213.
3) Tidak memenuhi
ketentuan
sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 ayat
(1), (2), (3), dan (4)
pada PMK 213.
Kerahasiaan
Informasi
Otoritas pajak harus dapat
memastikan informasi yang
terdapat didalam seluruh
dokumen (Master File, Local
File, Country by Country
Reporting).
PMK 213 tidak
mengatur mengenai
kerahasiaan informasi,
tetapi tunduk pada
ketentuan umum
sebagaimana diatur
dalam Pasal 34 UU
KUP.
Sumber: (M. Saputra Darmawan. 2017)
2. Upaya untuk mengatasi Transfer Pricing
Dengan bergabungnya Indonesia pada forum G-20 dan komitmen
Indonesia menerapkan Action Plan BEPS Project, maka hal tersebut
berimplikasi pada peraturan perpajakan dan keuangan domestik.
Sebagaimana Peraturan Direktur Jendral Pajak PER 43/PJ/2010 jo PER
32/PJ/2011, maupun Peraturan Menteri keuangan Nomor 213/PMK.03/2017
yang berkaitan dengan Transfer Pricing ,yang merupakan implementasi dari
Rencana Aksi ke 13, hal tersebut merupakan kemajuan positif dan diharapkan
perubahan-perubahan peraturan tersebut dapat memenuhi kebutuhan akan
perubahan Global.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
82
Selain Rencana Aksi ke 13, upaya dalam Rencana Aksi lainya untuk
mengatasi Transfer Pricing adalah sebagai berikut:
a. Rencana Aksi ke 8,9, dan 10.
Terkait asset tidak berwujud, terdapat empat upaya yang
dikembangkan. Pertama, mengadopsi definisi secara luas dan jelas terkait
asset tidak berwujud terpiash dari pengertian dalam standar akutansi
maupun hukum atas properti. Yang kedua, memastikan laba yang timbul
dari penggunaan dan pengalihan aset tidak berwujud sesuai dengan value
creation. Ketiga, mengembangkan aturan Transfer Pricing atas
pengalihan asset tidak berwujud yang sulit diukur nilainya. Hal ini
mencerminkan suatu asset tidak berwujud yang belum bisa ditetapkan
seberapa besar nilai laba dan manfaatnya, sehinggga pada saat aset tidak
berwujud ini dialihkan terdapat perbedaan signifikan nilai laba yang
diharapkan dan nilai laba aktual yang diperoleh dari aset tidak berwujud.
Keempat, memperbarui aplikasi Cost Contribution Arrangements (CCA).
CCA dalam OECD Trasnfer Pricing Guideliness dapat diaplikasikan
dalam setiap pembagian biaya untuk memperoleh jasa maupun
mengembangkan aset berwujud meskipun pada umumnya CCA ini
digunakan pada pengembangan aset tidak berwujud.
b. Rencana Aksi ke 12.
Pada aksi ke 12 ini OECD mengidentifikasi atas transaksi-transaksi
apa saja yang dikategorikan sebagai Aggressive Taxplanning sehingga
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
83
dapat menghindari ketidakpastian ada atau tidaknya manfaat pajak dari
suatu transaksi.
c. Rencana Aksi ke 13.
Pada Aksi ke 13 ini yaitu terkait dengan keharusan dokumen induk
dan laporan pajak per negara yang diadopsi dalam Peraturan menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016. Tujuan dari master file
documentation ini adalah untuk memberikan gambaran yang lengkap
tentang bisnis perusahaan multinasional secara global, laporan keuangan,
struktur utang, beban pajak, dan alokasi penghasilan, aktivitas ekonomi
dan pembayaran pajak sehingga dapat membantu otoritas pajak
mengevaluasi resiko Transfer Pricing yang signifikan. Informasi yang
diperlukan dalam master file adalah blue print dari perusahaan
Multinasional dan memuat informasi yang dikelompokan ke dalam lima
kategori:
1) Struktur organisasi grup Perusahaan Multinasional
2) Deskripsi Perusahaan Multinasional
3) Aset tidak berwujud Perusahaan Multinasional.
4) Aktivitas pendanaan internal Perusahaan Multinasional.
5) Kondisi keuangan dan pajak.
Yang kedua adalah menyusun Country by Country Reporting
(CbCR). Country by Country Reporting adalah sebagai respon untuk
menuntut agar Perusahaan Multinasional semakin transparan dalam
laporan keuanganya sehingga permasalahan profit shifting dapat diatasi.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
84
Untuk tujuan perpajakan konsep CbCR didasarkan pada keterbukaan
informasi bisnis, seperti laba dan pajak yang dibayarkan di setiap negara
tempat Perusahaan Multinasional beroperasi. Informasi yang dimuat dalam
CbCR diantaranya adalah informasi yang berhubungan dengan alokasi
laba Perusahaan Multinasional secara global, jumlah pajak yang dibayar,
jumlah aset berwujud, jumlah pegawai dan total biaya remunerasi pegawai
di setiap negara tempat Perusahaan Multinasional beroperasi. OECD
menekankan bahwa informasi yang dimuat dalam CbCR ini merupakan
bukti bahwa Transfer Pricing yang dilakukan Perusahaan Multinasional
adalah wajar atau tidak wajar.
d. Rencana Aksi ke 14
Untuk melengkapi Rencana Aksi BEPS lainya maka OECD
meningkatkan efektivitas penyelesaian sengketa perpajakan internasional
sehingga dapat meningkatkan kepastian dan prediktabilitas bagi dunia
usaha. Untuk itu OECD memasukan upaya meningkatkan efektivitas
mekanisme penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure
(MAP) dan arbitrase sebagai salah satu aksi dalam proyek BEPS
(Darussalam dan Ganda C. Tobing. 2014: 14-20).
Secara formal Advance Pricing Agreement dalam peraturan perpajakan
sudah mengedepankan kerjasama antar negara, serta pemeriksaan informasi
yang intensif dengan Wajib Pajak. Namun, dalam implementasi sulit
membuktikan data dokumen Transfer Pricing yang sebenarnya karena
Advance Pricing Agreement tersebut mempunyai beberapa kelemahan
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
85
diantaranya adalah pemeriksaan dokumen terhadap Wajib Pajak yang diluar
ketentuan umum peraturan Pajak Penghasilan, biaya pelaksanaan yang mahal,
dan masing- masing negara harus melakukan kesepakatan dengan negara lain
terkait Advance Pricing Agreement. Menurut pandangan Penulis, bercermin
dari perjanjian Tax Treaty antara Indonesia dan Singapura tentang attraction
of rule yang tidak disepakati Singapura terkait keuntungan Perusahaan
Multinasional di Indonesia yang berpusat di Singapore, hal teresebut dapat
menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain.
Namun dengan adanya program Automatic Exchange of Information,
secara otomotis keterbukaan informasi antar negara yang melakukanya dapat
dilakukan untuk mendapatkan data dokumen Transfer Pricing suatu
Perusahaan Multinasional, ditambah dengan dokumen laporan per negara
(CbCR) dan master file. Penarikan pajak penghasilan Perusahan
Mutinasional dapat dilakukan dengan merubah Advance Pricing Agreement
dengan negara lain, sebagai contoh Singapura terkait dengan kasus Google
Asia Pasific Ltd. sesuai standar AEoI dan ketentuan Rencana Aksi BEPS.
Dengan ikut serta menerapkan Aautomatic Exchange of Information,
yang merupakan sebuah rencana dari negara G20 dan diinisiasi oleh
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
mengenai sistem yang mendukung adanya pertukaran informasi rekening
Wajib Pajak antarnegara. Dengan adanya sistem ini, wajib pajak yang telah
membuka rekening di negara lain akan bisa terlacak secara langsung oleh
otoritas pajak negara asalnya. AEoI adalah standar global baru yang nantinya
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
86
akan berguna untuk mengurangi peluang pengemplang pajak untuk
menghindari pembayaran pajak.
Menurut Kwik Kian Gie dalam Seminar Nasional berjudul “Automatic
Exchange of Information, The end Tax Evasion?” menyebutkan bahwa para
pemimpin negara-negara G-20 mengumumkan inisiatif untuk memberlakukan
AEoI. Maksudnya adalah untuk menggalang kesepakatan dalam menciptakan
aturan-aturannya, guna pertukaran data keuangan secara otomatis. Yang
dipertukarkan adalah harta yang disimpan di bank-bank di negara-negara
peserta AEOI.
Di samping AEOI juga ada kesepakatan yang dinamakan “Standard
for Exchange of Information on Request (EOIR). Negara-negara yang
bersepakat dalam bentuk EOIR memperoleh informasi atas permintaan.
Dikatakan bahwa EOIR merupakan complement (kelengkapan) dari AEOI.
Kewajiban bank-bank dari negara-negara peserta AEOI terdiri dari tiga
langkah, yaitu :
a. Pengumpulan data (Collection). Bank-bank harus melakukan
penelitian/audit mendalam (due diligence) tentang nasabahnya, dengan
maksud memperoleh data yang relevan dari account-nya yang harus
dilaporkan.
b. Pelaporan (Reporting). Setiap lembaga keuangan harus melaporkan
informasi yang bersangkutan kepada aparat pajak dari negaranya sendiri.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
87
c. Pertukaran (Exchange). Setiap aparat perpajakan harus melakukan
pertukaran informasi dengan partner AEOI.
Negara-negara peserta AEOI mengirimkan dan menerima informasi
setiap tahun tanpa melakukan permintaan. Maka disebut pertukaran datanya
secara otomatis (Kwik Kian Gie. 2017).
Menurut Direktur Jendral Pajak, Sigit Priadi Pramudito, sistem kerja
AEoI yaitu pertukaran data keuangan warga negara asing yang tinggal di
sebuah negara. Pertukaran data keuangan tersebut tidak dilakukan secara
sembarangan, melainkan dilakukan antar otoritas pajak yang berwenang di
setiap negara. Singkatnya, setiap negara yang telah bergabung dengan sistem
AEOI akan mengirimkan dan menerima informasi awal (pre-agreed
information), setiap tahunnya tanpa harus mengajukan permintaan khusus
(Rizki Abadi. 2017).
Direktorat Jenderal Pajak dapat melihat informasi keuangan setiap
warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA) yang berada
di dalam negeri. Misi utamanya, untuk mengungkap kepatuhan para wajib
pajak. Termasuk, mengintip dana para deposan yang disimpan di luar negeri.
Keterbukaan akses informasi keuangan ini juga semakin memudahkan
proses antisipasi sekaligus pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Seperti diketahui selama ini banyak orang yang menggunakan jasa perbankan
untuk melakukan TPPU guna mencuci hasil bisnis haramnya. Sesuai dengan
Perppu tersebut, lembaga jasa keuangan wajib melakukan prosedur
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
88
identifikasi rekening keuangan sesuai standar pertukaran informasi keuangan
berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Menurut Direktur Jendral Pajak Kementrian Keuangan, Ken
Dwijugeastiadi Beberapa manfaat yang akan diperoleh jika Indonesia
menerapkan AEoI adalah antara lain.
a. Melalui AEoI akan menjaga kredibilitas komitmen Indonesia untuk AEoI
dan menjadi bagian jaringan pertukaran informasi keuangan global.
b. Memperoleh informasi keuangan wajib pajak Indonesia di luar negeri
yang masif dan akurat.
c. Memperluas dan memperkuat database informasi wajib pajak Indonesia.
Keempat mencegah dan mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian
uang dan pendanaan terorisme.
d. Mencegah dan mendeteksi terjadinya praktik penghindaran dan
pengelakan pajak yang menggunakan offshore financial center.
e. Menegakkan Undang-undnag pengampunan pajak, dan memperoleh
informasi keuangan milik Wajib Pajak Indonesia yang belum ikut program
pengampunan pajak dan terakhir mendorong repatriasi dana milik wajib
pajak Indonesia dari luar negeri (Muhammad Iqbal. 2017).
Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2017 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03.2017 tentang
Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan
Perpajakan, ditujukan untuk menunjang terlaksanya AEoI di Indonesia.
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
89
Dari perubahan-perubahan peraturan di atas menunjukan peraturan
perpajakan dan keuangan global mengarah kepada keterbukaan. Hal terbsebut
harus mampu dimaksimalkan Indonesia dengan cara melandasi menggunakan
peraturan-peraturan domestik yang sesuai dengan perkembangan peraturan
Internasional.
Menurut Dikertur Global Tax Policy Center, Dr. Jeffrey Owens
berpendapat bahwa tantangannya adalah bagaimana otoritas pajak dapat
menjaga manfaat era globalisasi, namun di sisi lain harus
memastikan bahwa perusahaan- perusahaan multinasional membayar pajak
mereka dengan benar. Selain itu, otoritas pajak juga harus bekerja keras
untuk menutup peluang dari kelemahan globalisasi itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan globalisasi, otoritas pajak
seringkali tidak mampu menandingi kecepatan perkembangan pelaku usaha.
Menanggapi hal tersebut, Owens menyetujui bahwa seluruh otoritas pajak
akan selalu ketinggalan dibandingkan pelaku usaha karena pelaku usaha
akan terus menerus memicu perkembangan globalisasi melalui struktur
usahanya. Dengan demikian, otoritas pajak harus memiliki pemahaman
usaha (business understanding) yang baik, sehingga dengan adanya
pemahaman tersebut dapat terbangun dialog antara pelaku usaha dengan
pihak otoritas pajak. Forum-forum dialog ini akan mendorong terbangunnya
cooperative compliance, yang pada akhirnya membuat kedua belah
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017
90
pihak menjadi lebih transparan. Hal ini merupakan solusi terbaik bagi
Wajib Pajak maupun otoritas pajak (Ganda C. Tobing. 2014: 107).
KAJIAN HUKUM TRANSFER ...,PANDU YUNADI, ILMU HUKUM, UMP 2017