BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Sejarah … · Tabel 4.1 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Sejarah … · Tabel 4.1 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun...
-
��
�
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.1 Sejarah SMAN 1 Dekai Berdirinya SMAN 1 Dekai tidak lepas dari ter-
bentuknya Kabupaten Yahukimo pada September
2003 sebagai hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya.
Artinya, jika tidak ada pemekaran wilayah, maka
daerah ini belum tersentuh pembangunan khususnya
di bidang pendidikan dalam hal ini pembangunan SMP
maupun SMA. Sedangkan SD Inpres Dekai telah
berjalan saat masih bergabung dengan Kabupaten
Jayawijaya.
SMA Negeri 1 Dekai terletak di ibukota Kabu-
paten Yahukimo yang didirikan pada tanggal 7 April
2005 atas perintah dari Penjabat Bupati Yahukimo
Drs. Robert Wanimbo melalui kepala Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Yahukimo, yang
kemudian ditindak lanjuti dengan menunjuk Andy
Rumbarar, S. Pd sebagai kepala SMA Negeri 1 Dekai.
Namun, kepala sekolah tersebut belum sempat melak-
sanakan tugas, karena diperintahkan oleh Drs. N.
Manuaron selaku Kepala Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan untuk membuka sekolah baru di tempat
lain yaitu SMAN 2 Kurima. Sedangkan jabatan kepala
SMAN 1 Dekai digantikan oleh Septinus Elopere, S. Pd
yang kemudian memimpin sekolah tersebut sejak April
-
2005 hingga Oktober 2010. Kemudian sejak November
2010 kepala SMAN 1 Dekai dipimpin oleh Musa Natu
Gane Rumbiak, S. Pd
Pada awal didirikan SMAN 1 Dekai, jumlah pen-
daftar pertama berjumlah 7 orang siswa. Pendaftar ini
kemudian diketahui usia kelahiran yang bervariasi
yakni tahun kelahiran 1979-1988. Jadi, pada saat
mendaftar usia berkisar 17-26 tahun. Adapun alasan
sekolah menerima siswa yang melebihi batas umur
adalah apabila sekolah tidak menerima siswa yang
mendaftar maka sekolah tidak dapat berjalan pada
tahun tersebut di mana jumlah pendaftar hanya
berjumlah 7 orang, sementara pihak pemerintah
daerah mendesak agar SMPN & SMAN Dekai segera
dibuka. Selain itu, dengan melihat semangat calon
siswa untuk sekolah cukup tinggi, maka sekolah tetap
menerima sekalipun batas usia yang dipersyaratkan
untuk jenjang sekolah menengah sudah tidak
memenuhi syarat. Sebagai gambaran bahwa daerah
ibukota Kabupaten Yahukimo dibangun di atas
kampung terpencil yang selama ini tidak tersentuh
pembangunan. Di mana kampung Dekai pada saat itu
hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga dari suku
Momuna, dengan aktivitas kesehariannya berburu di
hutan.
Gedung pertama SMAN 1 Dekai adalah gereja
darurat berbahasa daerah yang digunakan oleh suku
Momuna untuk beribadah, gereja ini kemudian dibagi
menjadi dua kelas karena disaat bersamaan SMPN
Dekai juga membuka pendaftaran siswa baru (PSB),
-
sementara bangunan sekolah untuk SMPN Dekai
masih dalam tahap pembangunan. Dengan dimulai-
nya penerimaan siswa baru pada bulan April 2005,
maka kenaikan kelas untuk bulan Juni 2005
ditiadakan. Sehingga siswa angkatan pertama
menempuh pendidikan kelas X selama 15 bulan. Pada
awal Agustus tahun 2005 SMAN 1 Dekai dan SMPN
Dekai di pindahkan dari gereja ke bangunan baru
yang merupakan bangunan milik SMPN Dekai.
Bangunan ini terdiri dari 3 ruang kelas dan 1 ruang
kantor masing-masing berdinding papan, dan ber-
lantai tanah sehingga jika musim hujan ruang kelas
sering tergenang air.
Pada penerimaan siswa baru (PSB) tahun
pelajaran 2006/2007, SMAN 1 Dekai dan SMPN Dekai
mengalami kekurangan ruang kelas, karena ruang
kelas yang tersedia hanya tiga ruang kelas, sementara
rombongan belajar ada empat yang masing-masing
terdiri dari SMAN 1 Dekai dua rombongan belajar
(kelas X & XI) dan SMPN Dekai dua rombongan
belajar (kelas VII & VIII). Untuk menyelesaikan per-
soalan kekurangan ruang kelas, pihak SMPN Dekai
selaku pemilik bangunan tersebut bersedia untuk
berbagi ruang kelas di mana salah satu ruang kelas
disekat menjadi dua ruang kelas yang digunakan
secara bersamaan, guru pun mengajar secara silang.
Pada awal tahun 2006 gedung SMAN 1 Dekai mulai
dibangun setelah ada bantuan dari pemerintah pusat
untuk SMAN 1 Dekai berupa pembangunan Unit
Sekolah Baru (USB) dari Dana Block Grant pemerintah
-
pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Yahukimo. Awalnya pembangunan sekolah
tersebut akan dibangun secara lengkap dan per-
manen. Namun, karena mahalnya bahan bangunan di
daerah tersebut sehingga banyak bangunan yang
“ditiadakan” seperti laboratorium MIPA, perpustakaan
lengkap dengan isinya. Akhirnya bangunan tersebut
hanya meliputi 1 kantor, 1 gedung perpustakaan, 3
ruang kelas, dan 4 toilet siswa.
Sejak tahun pelajaran 2007/2008 setelah PSB,
SMAN 1 Dekai secara resmi menempati bangunan
baru hingga saat ini. Walaupun jumlah siswa setiap
tahunnya terus bertambah tapi ruang kelasnya masih
tetap. Sehingga, ruang perpustakaan dialih fungsikan
menjadi ruang kelas dan secara otomatis perpus-
takaan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya
karena selain ruangannya digunakan sebagai ruang
belajar, fasilitas perpustakaan juga belum ada seperti
buku-buku pelajaran, rak buku/lemari buku, dan
fasilitas lain penunjang perpustakaan. Adapun
keadaan guru akan disajikan dalam Tabel 4.1, 4.2,
dan 4.3 :
-
Tabel 4.1 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun 2005-2006
Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011
No Nama Status Pendidikan Ket
1 Septinus Elepore, S. Pd PNS Pend. Ekonomi Aktif
2 Wolter Elopere, S. Pd PNS Pend. Sejarah Aktif 2 bln
3 Akso Balingga, S. Pd PNS Pend. Kimia Aktif 1 sms
4 Lodewick Pahabol, S. Pd PNS Penjaskes Aktif 1 sms
5 E.L.G. Manariship, S. Pd PNS Pend. B.Indo Krng Aktif
6 Dolfin Maalangen, S. Pd PNS Pend. T.Busana Tidak aktif
7 Arianto TS, S. Pd PNS Pend. B.Indo Tidak aktif
8 John Ronsumbre, S. Pd PNS Pend. B. Ingg Tidak aktif
9 Didimus Wandik, S. Pd PNS PLS Tdk aktif
10 Mulianto, S. Pd CPNS Pend. B.Indo Aktif
11 Yuliana Patiung, S. Pd CPNS Pend. B. Ingg Krng Aktif
12 Narpia, S. P CPNS Pertanian/AK IV Aktif
13 P. Paembonan, S. Pd CPNS PPKN Aktif
14 Hendrika Palobo, S. Pd CPNS Pend. Ekonomi Aktif
-
Tabel 4.2. Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun 2007-2009
Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011
No Nama Status Pendidikan Ket
1 Septinus Elepore, S. Pd PNS Pend. Ekonmi Aktif
2 E.L.G. Manariship, S. Pd PNS Pend. B.Indo Krng Aktif
3 Mulianto, S. Pd PNS Pend. B.Indo Aktif
4 Yuliana Patiung, S. Pd PNS Pend. B. Ingg KrngAktif
5 Narpia, S. P PNS Pertanian/AK IV Aktif
6 P. Paembonan, S. Pd PNS PPKN Aktif
7 Hendrika Palobo, S. Pd PNS Pend. Ekonmi Tdk aktif
8 M.N.G. Rumbiak, S. Pd CPNS Pend. Geogrf Aktif
9 Istin Yuliatin, S. Pd CPNS Pend. Mtmtk Aktif
10 David Esema, S. Th CPNS PAK Aktif
11 Tommy Balingga, S. Th CPNS Teologia Aktif
12 Natan Maling, S. SA CPNS Sos.Agama Aktif
13 Thinus Nelambo, S. Pd CPNS Penjaskes Aktif
14 Nining Suherning, S. Si CPNS Kim/Akta IV Td aktif/SL
15 Nurti, S. Pd GTT Pend. B. Ingg Aktif
16 WD. Ziada Masni, S. Pd GTT Pend. Sejarah Aktif
17 Matius Hugi, S. Pd GTT Pend. Biologi Aktif
18 Citra Dewi, S. Si GTT Bio/Akta IV Aktif
19 Muh. Jafar, S, Pd GTT Pend. Ekonmi Aktif
20 Martha M. Yotha, S. Th GK PAK Aktif
21 H. Danny Burdam, S. Si GTT Biologi Aktif
-
Tabel 4.3 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun 2010-2011
No Nama Status Pendidikan Ket
1 Septinus Elepore, S. Pd PNS Pend. Ekonmi Aktif
2 Paulina Paembonan PNS PPKN Aktif
3 Mulianto, S. Pd PNS Pend. B.Indo T.aktif/SL
4 M.N.G. Rumbiak, S. Pd PNS Pend. Geogrf Aktif
5 Istin Yuliatin, S. Pd PNS Pend. Mtmtk Aktif
6 David Esema, S. Th PNS PAK Td aktif/SL
7 Tommy Balingga, S. Th PNS Teologia TdAktif/SL
8 Natan Maling, S. SA PNS Sos. Agama Aktif
9 Thinus Nelambo, S. Pd PNS Penjaskes Aktif
10 Nining Suherning, S. Si PNS Kimia/Akta IV Aktif
11 Nurti, S. Pd CPNS Pend. B. Ingg Td Aktif
12 WD. Ziada Masni, S. Pd PNS Pend. Sejarah Aktif
13 Matius Hugi, S. Pd PNS Pend. Biologi Aktif
14 Citra Dewi, S. Si PNS Bio/Akta IV Aktif
15 Martha M. Yotha, S. Th PNS PAK Aktif
16 Marthen Rapa, S. Pd CPNS Pend. B. Ingg Aktif
17 Anita I. Bundah, S. Th CPNS PAK Aktif
18 B. Palembangan, S.E CPNS Ekon/Ak IV Aktif
19 S. Kenangalem, S. Pd CPNS Pend. Kimia Aktif
20 Leonardus Mangago, S.E CPNS Ekon/Ak IV Aktif
21 B.P. Sihombing, S. Si CPNS Kimia/Ak IV Aktif
22 Paulin, S. Th CPNS Teologia Aktif
23 Hermin Sinna, S.E CPNS Ekon/Ak IV Aktif
24 Syamriani, S. Pd CPNS PPKN Aktif
25 Budi Silak, S. Pd CPNS Pend. Sejrh Aktif/Nota
26 Elisabeth Cornelia, S. Pd CPNS Pend. B. Ingg Aktif
27 Yosep Hasugian, S. MG CPNS Sarj. M. Gereja Aktif
-
Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011
Data pada Tabel 4.1 - 4.3 menyajikan keadaan
guru SMAN 1 Dekai yang dimaksudkan untuk mem-
berikan informasi tentang kuantitas guru dan latar
belakang pendidikan serta keaktifannya dalam melak-
sanakan tugas. Pada tahun 2005-2006, jumlah guru
di SMAN 1 Dekai berjumlah 14 orang guru. Namun
yang aktif mengajar hanya 5 orang guru, sedangkan
yang lain kurang aktif (hanya sewaktu-waktu datang
ke sekolah), bahkan ada yang tidak aktif sama sekali
dan hanya aktif bekerja di kantor-kantor pemerintah
daerah. Padahal keaktifan guru dalam mengajar
sangat dibutuhkan karena dari gurulah siswa
mendapatkan informasi berupa pengetahuan yang
banyak tentang materi pelajaran, walaupun guru
bukan satu-satunya sumber belajar, namun kondisi
siswa dan sarana belajar yang tidak memungkinkan
maka ketergantungan siswa pada guru sebagai
sumber pengetahuan sangat tinggi. Sebagai solusi dari
ketidakaktifan guru mengajar di sekolah, maka pihak
sekolah mengatur dengan cara membagi jam mengajar
kepada guru-guru yang aktif mengajar tapi hasilnya
sudah tentu tidak maksimal karena guru yang
mengajar tidak sesuai dengan kompetensinya. Bahkan
ada guru yang terang-terangan mengakui kekurangan-
nya di depan siswa terhadap materi yang disajikan.
28 Muh. Jafar, S. Pd CPNS Pend. Ekonmi Aktif
29 Ni Nyoman Yuliari, S. Pd CPNS Pend. Tikom Aktif
30 T.Kurniawati, S.Si., M.Th GTT S1 Kim, S2 Th Aktif
31 H. Danny Burdam, S.Si GTT Biologi Aktif
-
Lalu pada tahun 2007-2011 jumlah guru di
SMAN 1 Dekai mengalami peningkatan yang cukup
banyak dari sisi kuantitas tetapi dari sisi kebutuhan
berdasarkan mata pelajaran masih kurang karena
penempatan guru oleh pemerintah daerah tidak
disesuaikan dengan kebutuhan sekolah per mata
pelajaran sehingga yang terjadi adalah penumpukan
guru-guru mata pelajaran tertentu seperti mata
pelajaran biologi 3 orang guru, pendidikan agama
Kristen 6 orang guru, dan pendidikan ekonomi 5 orang
guru, serta pendidikan kimia 3 orang guru. Padahal
rombongan belajar hanya 5 kelas tapi jumlah tenaga
pengajar cukup banyak sehingga menimbulkan rasa
ketidakadilan dalam pembagian tugas mengajar.
Sedangkan untuk jumlah siswa yang mendaftar
di SMAN 1 Dekai setiap tahunnya mengalami pening-
katan yang cukup banyak dibanding pada tahun-
tahun pertama penerimaan siswa baru (PSB) yang
hanya berjumlah 7 orang siswa itupun kebanyakan
telah berkeluarga. Umumnya siswa yang mendaftar
adalah anak yang berasal dari kampung-kampung di
pedalaman Kabupaten Yahukimo yang datang ke
ibukota untuk menempuh pendidikan baik SMP
maupun SMA. Saat ini SMAN 1 Dekai banyak diminati
karena pada tahun 2011 ini, sekolah tersebut
menyelenggarakan pendidikan yang membebaskan
pungutan seperti iuran SPP, iuran Komite Sekolah,
iuran OSIS, iuran pramuka bahkan uang foto pun
untuk kelas XII telah dibebaskan, dengan
pertimbangan latar belakang ekonomi siswa yang
-
memprihatinkan. Untuk mengetahui peningkatan
penerimaan siswa baru (PSB) setiap tahunnya akan
disaji-kan dalam Tabel 4.4 Tabel 4.4
Data Penerimaan Siswa Baru (PSB) Tahun Pelajaran 2005-2011
Tahun Pelajaran Pendaftar Diterima Mengundurkan Diri
2005/2006 7 Orang 7 Orang - 2006/2007 30 Orang 30 Orang - 2007/2008 60 Orang 40 Orang 20 Orang 2008/2009 84 Orang 40 Orang 44 Orang 2009/2010 80 Orang 54 Orang 26 Orang 2010/2011 93 Orang 86 Orang 7 Orang
Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011
Tabel 4.4 tentang data penerimaan siswa baru
(PSB) tahun 2005-2011 menyajikan perkembangan
siswa setiap tahunnya, dari jumlah pendaftar pada
tahun pelajaran 2007/2008 hingga 2010/2011 ter-
dapat pendaftar yang mengundurkan diri. Hal ini
disebabkan pada saat tes masuk calon, siswa tidak
dapat menunjukkan persyaratan administrasi pada
saat mendaftar. Selain itu, pada tahun pelajaran
2007/2008 SMKN Dekai resmi menerima siswa baru,
sehingga banyak siswa yang mendaftar dua tempat
yang pada akhirnya memilih untuk sekolah di SMKN
Dekai.
-
1.2 Faktor Eksternal Penyebab Kesulitan Belajar (Learning Difficulty) Siswa SMAN 1 Dekai
1.2.1 Faktor Keluarga 1.2.1.1 Pendidikan Orang Tua. Latar belakang pen-didikan orang tua merupakan salah satu faktor yang
ikut berperan dalam pendidikan anak, di mana
kesadaran anak untuk mengenyam pendidikan biasa-
nya melihat latar belakang pendidikan orang tua.
Dengan kata lain, pendidikan orang tua dapat menjadi
motivasi anak untuk belajar lebih giat lagi. Orang tua
yang memiliki pengalaman atau pendidikan yang
cukup memadai akan memberi perhatian yang cukup
pula terhadap pendidikan anaknya. Sehingga, orang
tua dapat memberikan bimbingan dan arahan kepada
anaknya untuk menempuh pendidikan sesuai dengan
kemampuannya serta cita-cita yang diinginkan. Arti-
nya, cara pandang atau wawasan berpikir akan
sangat berbeda antara orang tua yang pernah
mengenyam pendidikan dengan orang tua yang tidak
pernah sama sekali mengenyam pendidikan. Hal inilah
yang nampak pada sebagian besar siswa di SMAN 1
Dekai. Di mana mayoritas orang tua siswa yang
mengalami learning difficulty berasal dari keluarga
dengan latar belakang pendidikan yang minim.
Sehingga motivasi dari orang tua ataupun keluarga
nyaris tidak ada kecuali keinginan siswa itu sendiri
untuk bersekolah. Untuk mengetahui lebih jelas
pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 4.5
-
Tabel 4.5 Profil Pendidikan Orang Tua Siswa
Pendidikan Jumlah %
S1 1 0,44
SPG 6 2,63
SMA 5 2,19
SMP 8 3,51
SD 11 4,82
Pernah masuk SBH 28 12,28
Tidak pernah sekolah 169 74,12
Total 228 100
Sumber : SMAN 1 Dekai, 4 April 2011
Sajian Tabel 4.5 diketahui bahwa pendidikan
orang tua siswa SMAN 1 Dekai masih sangat rendah di
mana jenjang pendidikan tertinggi yakni sarjana (S1)
hanya terdapat 1 orang (0,44%), disusul lulusan SPG
yang menjadi guru SD di pedalaman sebanyak 6 orang
(2,63%). Lulusan SMA adalah penduduk nonlokal yang
berprofesi sebagai pedagang dengan jumlah 5 orang
(2,19%). Sedangkan lulusan SMP sebanyak 8 orang
(3,51%) yang terdiri dari penduduk “lokal” dan
“nonlokal”. Penduduk nonlokal berprofesi sebagai
pedagang. Sedangkan, penduduk lokal yang lain ber-
profesi sebagai tentara. Kemudian lulusan SD, dan
pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Buta Huruf
(SBH) masing-masing 11 & 28 orang dengan
prosentase (4,82% & 12,28%). Terakhir adalah
mayoritas orang tua siswa tidak pernah mengenyam
pendidikan baik formal maupun nonformal yakni
sebanyak 169 orang (74,12%) angka ini didominasi
-
oleh orang tua siswa lokal tetapi orang tua siswa
nonlokal juga ada pada angka ini di mana masih ada
orang tua siswa penduduk nonlokal yang tidak pernah
sama sekali menempuh pendidikan. Terutama
penduduk nonlokal yang telah lama mencari kayu
gaharu di pedalaman Papua. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan
bahwa orang tua informan tidak pernah mengenyam
pendidikan formal. Dari 13 informan yang diwawan-
carai, 11 informan (84,62%) menjawab bahwa orang
tua tidak pernah mengenyam pendidikan baik formal
maupun nonformal. Sedangkan 2 informan (15,38%)
menjawab orang tuanya pernah mengikuti sekolah
nonformal atau sekolah buta huruf (SBH) yang
didirikan oleh misionaris dari Belanda. Orientasi
sekolah buta huruf hanya mengajarkan literasi (baca-
tulis) agar dapat membaca Alkitab yang menjadi misi
utama sehingga dapat membantu untuk menyebarkan
ajaran agama. Karena latar belakang pendidikan orang
tua rendah maka orientasi pemikiran orang tua
terhadap anak tidak berorientasi pada pendidikan
tetapi berorientasi pada profesi turunan yakni petani
tradisional. Di mana orang tua mengajak anaknya
untuk mengikuti profesinya sebagai petani. Dengan
demikian, terlihat jelas bahwa orang tua siswa
cenderung tidak mendukung anaknya untuk sekolah,
orang tua menginginkan agar anaknya membantu
mencari nafkah di kebun atau di hutan ketika ber-
buru. Seperti yang dikemukakan oleh Agus Yelemaken “orang tua saya itu semasa hidupnya tidak menginginkan saya sekolah, Bapak ingin saya
-
kerja membantu dia di kebun tapi saya berkeras untuk tetap sekolah, akhirnya Bapak mengalah” (Wawancara 15 Juni 2011). Hal yang sama dikemukakan oleh Karmel Murib “waktu mama meninggal, saya diasuh oleh paman dari mama, jadi bapak ingin setelah besar saya harus kembali kepada Bapak dan membantunya untuk berkebun” (Wawancara tanggal 15 Juni 2011).
Berdasarkan data primer dan data sekunder
yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa orang
tua siswa yang mengalami kesulitan belajar mayoritas
berpendidikan rendah. Oleh karena itu, penulis
berkesimpulan bahwa pendidikan orang tua menjadi
salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar
siswa SMAN 1 Dekai. Penulis berpendapat ada
hubungan antara pendidikan orang tua dengan
kesulitan belajar anak di mana orang tua tidak
berperan secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses pendidikan anaknya, seperti membantu
mengerjakan tugas-tugas, mengarahkan cara belajar
yang baik dan lain-lain. Hal ini mendukung salah satu
hasil penelitian Kirk (Tanpa tahun dalam Cece Wijaya
2010), yang menyatakan bahwa siswa yang lambat
belajar diakibatkan oleh pendidikan orang tua yang
rendah.
1.2.1.2 Relasi Antaranggota Keluarga. Relasi antara anggota keluarga adalah hubungan yang terjalin
dalam lingkungan keluarga baik keluarga inti maupun
keluarga non inti. Keluarga inti adalah keluarga yang
terdiri ayah, ibu dan anak. Sedangkan keluarga non
inti adalah keluarga atau sanak family yang ada
-
kaitannya dengan keluarga inti seperti kakek, nenek,
keponakan, sepupu, dan lain-lain. Dalam kehidupan
keluarga inti sering terjadi masalah yang menyebab-
kan keluarga tidak harmonis.
Berdasarkan wawancara di lapangan, relasi
orang tua dengan anak menunjukkan suatu relasi
yang tidak terjalin dengan baik. Indikator pertama
yakni ada hubungan kasih sayang/orang tua pernah
mengunjungi selama sekolah di Dekai. Dari 13
informan yang diwawancarai, 8 informan (61,54%)
menjawab bahwa orang tua tidak pernah sama sekali
datang ke Dekai sebagaimana keterangan Warnus
Lokon “Bapak tidak pernah perhatikan kami; Bapak hanya kasih makan anak dan isteri barunya, selama kami di Dekai, Bapak tidak pernah turun lihat keadaan kami, lihat kebutuhan-kebutuhan kami itu tidak pernah, kami usaha sendiri baru bisa sekolah” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Sedangkan 5 informan (38,46%) menjawab orang
tua pernah datang ke Dekai hanya sekali, itupun tidak
membawa apa-apa oleh karena bekal seperti makanan
yang dibawa saat berangkat dari kampung telah habis
dikonsumsi di perjalanan karena lamanya perjananan
yang ditempuh. Orang tua siswa biasanya datang ke
Dekai dengan berjalan kaki dari pedalaman yang
menempuh perjalanan yang sangat melelahkan
dengan waktu tempuh mulai sehari hingga sebulan
untuk sampai ke Dekai, karena kondisi pegunungan
yang curam sehingga perjalanan harus ditempuh
melalui lereng-lereng gunung dan hutan rimba serta
melewati sungai. Selain itu, bila musim hujan sungai
-
sering banjir yang membuat perjalanan semakin
terhambat karena harus menunggu air sungai surut.
Belum lagi kalau ada rombongan yang sakit saat
perjalanan, membuat perjalanan semakin terhambat.
Tetapi motivasi ke Dekai selain karena ada anaknya
sekolah di Dekai, orang tua datang karena ada
kepentingan lain seperti yang dituturkan oleh Penihas
Malyo “selama saya sekolah disini (3 tahun) Bapak saya baru 1 kali turun ke Dekai, dan tidak membawa apa-apa untuk saya. Itupun bapak datang karena ada kakak yang panggil dengan urusan lain makanya dia turun kesini, kalau kakak tidak panggil mungkin sampai tamat juga bapak tidak akan turun ke Dekai” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).
Indikator kedua yakni orang tua memberi
penghargaan/apresiasi hanya terjawab oleh 1
informan (7,69%) sedangkan 12 informan (93,31%)
menjawab tidak pernah mendapat apresiasi atau
penghargaan dari orang tua kepada anaknya. Begitu
pula dengan indikator ketiga, orang tua memberi
hukuman yang konstruktif bila melakukan kesalahan
1 informan (7,69%) menjawab orang tua/keluarga
sering memberikan hukuman konstruktif bila melaku-
kan kesalahan. Sedangkan 12 informan (93,31%)
mengatakan tidak pernah mendapat hukuman dari
orang tua sekalipun berbuat salah; orang tua terkesan
membiarkan saja. Bahkan orang tua sering kali
mendukung/membela anaknya bila bermasalah
dengan orang lain, tanpa mencari tahu pokok
permasalahannya.
-
Berdasarkan prosentase jawaban informan
pada setiap indikator di atas dapat dikatakan bahwa
siswa yang mengalami kesulitan belajar (learning
difficulty) adalah siswa yang tidak mendapat
perhatian dari orang tua, dengan kata lain relasi
keluarga tidak terjalin dengan baik. Oleh karena itu,
penulis berkesimpulan relasi orang tua dan anak menjadi salah satu faktor eksternal penyebab
kesulitan belajar anak. Penulis berpendapat ada
hubungan antara orang tua dan anak dalam aktivitas
belajar anak. Anak yang mendapat kasih sayang,
apresiasi dan sanksi yang konstruktif dapat
meningkatkan aktivitas belajar anak.
Hasil wawancara mendalam di lapangan
diketahui bahwa informan yang tidak mendapat
perhatian atau tidak mempunyai relasi antara orang
tua dan anak adalah siswa yang telah berstatus yatim
dan piatu. Di mana dari 13 informan yang
diwawancarai, 3 informan (23,08%) menjawab orang
tuanya masih lengkap, 6 informan (46,15%)
menjawab salah satu orang tuanya telah meninggal
dunia dan 4 informan (40,77%) menjawab kedua
orang tuanya telah tiada.
1.2.1.3 Faktor Ekonomi Keluarga. Hal klasik yang selalu menjadi kendala kemajuan belajar siswa adalah
faktor ekonomi orang tua. Faktor ekonomi menjadi
salah satu faktor yang ikut berperan bagi keberhasilan
siswa dalam mengembangkan potensinya melalui
belajar karena sekalipun pemerintah mencanangkan
pendidikan gratis, tetapi alat-alat pelajaran dan
-
kebutuhan pendidikan lainnya tidak digratiskan. Bagi
orang tua yang mempunyai tingkat penghasilan yang
cukup maka alat-alat pelajaran dan sarana belajar
lainnya tidak menjadi masalah karena orang tua akan
memenuhi kebutuhan anaknya. Lain halnya dengan
orang tua dengan ekonomi lemah, Jangankan untuk
membeli alat-alat pelajaran dan sarana belajar
lainnya, makan sehari-hari saja masih susah.
Dari hasil wawancara di lapangan diketahui
bahwa siswa yang mengalami learning difficulty adalah
siswa yang berasal dari keluarga ekonomi lemah
dengan indikator kebutuhan makan terpenuhi
(3xsehari). Dari 13 informan yang diwawancarai 1
informan (7,69%) menjawab makan tiga kali sehari
dengan makanan yang sedikit bervariasi, sedangkan
12 informan (92,31%) mengatakan hanya makan dua
kali sehari. Yakni, makan siang dan makan sore
dengan jenis makanan yang tetap (ubi & pisang).
Bahkan lebih banyak makan sekali sehari. Itupun
kalau ada makanan, jika tidak ada makanan maka
informan akan menahan lapar sambil mencari makan.
Artinya, makanan tidak selalu tersedia karena pagi
hari harus ke sekolah. Pola makan harian seperti pagi
dan sore mempunyai alasan tersendiri karena kalau
pagi hari siswa masih bisa menahan lapar hingga
siang hari, dan sore hari dipilih karena malam hari
tidak ada lampu. Sebagaimana dikatakan Warnus
Lokon “dalam sehari itu saya makan satu kali saja, kadang bisa tahan lapar kadang juga tidak bisa; makanya di sekolah saya sering mengantuk dan
-
tidak perhatikan pelajaran” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Sabonius Wahla juga mengatakan demikian “saya makan dua kali sehari itu siang dengan sore tapi kalau tidak ada makanan kadang satu kali saja, lalu kalau malam tidak bisa tidur; perut bunyi-bunyi terus” (Wawancara 17 Juni 2011). Hal yang sama dituturkan oleh Silimius Doyela
yang mengemukakan alasan yang menyebabkan tidak belajar
“Saya tidak pernah belajar di rumah; kalau pulang sekolah, saya tidak langsung makan tapi harus ke kebun dulu mencari ubi atau pisang setelah itu pulang masak lalu makan” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Indikator kedua yakni kebutuhan sekolah & alat
pelajaran terpenuhi seperti seragam sekolah, buku
tulis dan buku penunjang pelajaran. Dari hasil
wawancara dengan 13 informan diketahui bahwa 2
informan (15,38%) menjawab seragam sekolah dan
buku tulis dibelikan oleh keluarga, sedangkan 11
informan (84,62%) menjawab membeli seragam dengan
usaha sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Agus
Yelemaken “pakaian yang saya gunakan ini saya beli sendiri. Waktu itu di kampung kepala desa bikin program jalan padat karya lalu saya ikut kerja bikin jalan padat karya; saya dapat Rp 600.000 lalu saya jalan kaki ke Wamena beli seragam sekolah” (Wawancara 15 Juni 2011). Hal yang sama dikemukakan oleh Yus Itlay
bahwa sejak kecil sudah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan sekolahnya dengan cara bercocok tanam.
“waktu SMP saya sudah bikin kebun di Kurima; tanam wortel, kol, hipere setelah panen lalu jalan
-
kaki jual ke Wamena. Jalan kaki sampai terminal sekitar 6 km lalu dapat mobil baru ke pasar Jibama Wamena; hasilnya saya kumpul-kumpul, untuk makan dan biaya sekolah, lainnya tabung untuk biaya masuk SMA disini. Tapi waktu turun tiket mahal, jadi uang 1,5 juta habis untuk tiket. Untungnya saya bawa pinang lalu saya jual. Hasilnya dapat Rp 300.000 uang itu saya beli seragam terus pakai daftar lagi” (Wawancara 23 Juni 2011). Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa
tak seorang pun informan yang memiliki buku-buku
penunjang pelajaran selain buku tulis. Bahkan
Sabonius Wahla mengungkapkan bukunya tidak
cukup untuk mencatat mata pelajaran yang ada
sedangkan sepatu biasa pinjam dari teman-teman. “buku catatan saya itu tidak sesuai dengan jumlah mata pelajaran, jadi biasa bagi dua; satu buku dibagi untuk dua mata pelajaran; caranya bagian tengah jadi pembatas antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain. Sedangkan sepatu itu saya pinjam dari teman-teman; teman-teman lihat saya tidak pakai sepatu baru teman-teman kasih” (Wawancara 17 Juni 2011). Indikator terakhir adalah tersedianya sarana
penunjang belajar seperti lampu, meja, dan kursi. Dari
hasil wawancara dengan 13 informan diperoleh
informasi bahwa 2 informan (15,38%) menjawab mem-
punyai sarana belajar yaitu lampu listrik dan meja-
kursi. Sedangkan 11 informan (84,62%) menjawab
tidak mempunyai sarana belajar seperti lampu, meja-
kursi. Seperti yang dikemukakan oleh Yanes Salyabo “Kami tidak ada lampu jadi susah juga untuk belajar; kalau malam kita hanya duduk-duduk saja, bicara begini tapi tidak baku lihat karena gelap, kalau sudah mengantuk tinggal alas karton
-
atau tikar baru tidur”. (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Ditambahkan pula oleh Efraim Bitibalyo “Kalau di rumah jarang sekali kami belajar malam karena tidak ada lampu; biasa kalau ada uang sedikit kami beli lilin, tapi kalau tidak ada kami cerita-cerita setelah itu kami tidur”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2011).
Hal lain yang menjadi keprihatinan penulis
adalah sarana untuk tidur yang tidak memadai,
bagaimanapun seorang manusia membutuhkan
tempat istrahat yang layak. Sabonius mengatakan
bahwa tempat tidur sangat jauh dari layak “kami di sini tidak punya tempat khusus untuk
tidur (ranjang) tapi langsung pakai lantai rumah.
Jadi, kalau tidur tidak pakai kasur atau tikar tapi
pakai papan saja (lantai rumah) lalu alas kepala
dengan kain yang dibuat bentuk bantal; kalau ada
sarung biasa bungkus badan tapi kalau tidak ada,
biarkan saja” Sabonius melanjutkan “kalau mandi
biasa tidak pakai sabun; kalau ada teman yang
beli sabun mandi baru saya minta, tapi kalau
tidak ada saya pakai tangan saja, gosok-gosok
badan lalu siram dengan air setelah itu saya lap
badan dengan baju saya; tidak ada handuk; sama
juga kalau mau mencuci pakaian biasa rendam,
lalu pukul-pukul di air setelah itu jemur; tidak
pakai sabun” (Wawancara 17 Juni 2011).
Berdasarkan uraian tentang kondisi ekonomi
keluarga dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi
keluarga informan tergolong ekonomi lemah. Dengan
melihat fakta di lapangan dan hasil wawancara, maka
penulis berkesimpulan bahwa ekonomi keluarga
-
menjadi faktor eksternal penyebab kesulitan belajar
siswa SMAN 1 Dekai. Penulis berpendapat bahwa ada
hubungan antara kondisi ekonomi keluarga dengan
kesulitan belajar siswa di mana siswa tidak dapat
memenuhi kebutuhan primer dan kebutuhan
sekundernya. Hal ini memperkuat penelitian Kirk
(Tanpa tahun dalam Cece Wijaya 2010) yang menemu-
kan bahwa terdapat lima kali lebih banyak siswa yang
lambat belajar yang berasal dari keluarga ekonomi
lemah dibandingkan dengan siswa lambat belajar yang
berasal dari keluarga ekonomi mapan. Bahkan Kirk
menyatakan bahwa siswa yang berasal dari ekonomi
lemah berkecenderungan banyak melakukan perilaku
menyimpang.
Penulis memberi kesan khusus dimana para
siswa dari pedalaman umumnya dan informan
khususnya sekalipun ada banyak kekurangan atau
keterbatasan tapi para informan tersebut tidak
menyerah begitu saja. Para informan tetap bercita-cita
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih
tinggi sekalipun dengan segala keterbatasan. Bahkan
ada informan yang bercita-cita melanjutkan ke
Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN)
agar bisa menjadi camat dan dapat melayani
masyarakat di pedalaman. Ada pula yang bercita-cita
untuk menjadi dokter agar dapat mengobati warga
pedalaman yang sakit. Para siswa sadar bahwa hanya
melalui pendidikan bisa mengangkat taraf hidup/
harkat dan martabat keluarga.
-
Pada umumnya orang tua siswa berprofesi
sebagai petani. Profesi ini dijalani secara turun
temurun yaitu bercocok tanam dengan cara ber-
pindah-pindah (nomaden). Cara nomaden ini dilaku-
kan dengan membuka lahan baru untuk pertanian,
setelah itu akan pindah ke tempat lain dan seterus-
nya. Lalu beberapa tahun kemudian masyarakat akan
kembali membuka lahan pertama yang telah ditinggal-
kan sebelumnya. Hal ini dimaksudkan sebagai salah
satu cara untuk menjaga kesuburan tanah.
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh di
lapangan diketahui bahwa profesi orang tua siswa
bervariasi seperti petani, pedagang/swasta, PNS/TNI
dan pendeta dengan prosentasi yang beragam. Profesi
petani menduduki posisi paling dominan dalam profesi
orang tua siswa yakni mencapai 196 orang (85,96%),
disusul profesi pedagang/swasta 18 orang (7,89%),
profesi PNS/TNI 13 orang (5,70%), dan pendeta 1
orang (0,44%. Dengan melihat penghasilan orang tua
siswa yang tidak tetap maka dapat dikatakan bahwa
ekonomi orang tua tergolong ekonomi lemah. Sebagai
gambaran bahwa profesi petani untuk luar Papua
adalah salah satu profesi yang menghasilkan uang
dengan aktivitas umumnya di kebun/sawah sehingga
tidak jarang ditemukan petani sukses. Petani dalam
konteks di pedalaman adalah profesi yang tidak
menghasilkan uang di mana hasil pertanian tidak
dapat dijual karena letak geografis yang cukup sulit
sehingga tidak memungkinkan untuk dibawah ke
kota, sedangkan di pedalaman belum ada pasar.
-
Sehingga petani memanfaatkan hasil pertanian hanya
untuk dikonsumsi setiap hari itupun kadang tidak
cukup kondisi seperti ini kemudian disiasati dengan
makan dua kali sehari yaitu siang & sore. Profesi
pedagang/swasta digeluti oleh penduduk “nonlokal”
yang datang dari berbagai daerah di luar Papua
dengan menjual aneka macam barang yang diimpor
dari Timika dan Jayapura melalui pesawat udara dan
kapal kecil melalui aliran sungai. Itupun tidak berjalan
mulus karena banyaknya pungutan liar di perjalanan
sehingga harga barang semakin mahal. Sedangkan
profesi PNS/TNI merupakan profesi orang tua siswa
baik penduduk lokal maupun nonlokal yang bertugas
di Kabupaten Yahukimo. Penghasilan PNS/TNI/Polri
masih di bawah standar dengan berpatokan pada
harga kebutuhan pokok yang berlaku di Dekai.
Walaupun ada anggapan dari luar Papua bahwa gaji
pegawai lebih tinggi tapi sebenarnya tidak demikian.
dan terakhir adalah pendeta dengan prosentasi yang
sangat kecil. Untuk lebih jelasnya mengenai profesi
orang tua siswa, akan disajikan dalam Tabel 4.6
Tabel 4.6 Profesi Orang Tua Siswa
Profesi Jumlah orang siswa %
Petani 196 85,96
Swasta/pedagang 18 7,89
PNS/TNI 13 5,70
Pendeta 1 0,44
TOTAL 228 100
Sumber : SMAN 1 Dekai, 4 April 2011
-
Menurut pengamatan penulis, petani di
pinggiran kota dengan petani di luar kota (di
pedalaman) dari sisi aktivitas dan jenis komoditi yang
ditanam tidak jauh berbeda tapi dari sisi pendapatan
yang membedakan. Petani di pinggiran kota sedikit
ada pendapatan karena hasil pertaniannya dapat
dijual setelah panen meskipun harus berjalan kaki
dalam waktu 2-3 jam, lain halnya dengan petani di
luar kota. Hasil pertanian hanya cukup untuk
dikonsumsi sehingga tidak ada penghasilan yang
tetap. Seperti yang dituturkan oleh Sabonius Wahla
“bapak saya menanam pisang, keladi, ubi,
singkong, tebu, nanas, buah merah tapi hasilnya
hanya untuk makan saja. Bapak tidak menjual
hasil kebun karena pasar tidak ada, kalau mau ke
kota harus berjalan kaki 2 hari 1 malam baru
sampai di kota”. (Wawancara tanggal 17 Juni
2011).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa para
orang tua di pedalaman (kampung) telah berusaha
untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya
dengan cara bercocok tanam, beternak babi/ayam.
Namun, karena pembangunan jalan darat yang belum
sampai ke kampung-kampung maka para petani
kesulitan untuk menjual hasil pertanian serta hasil
peternakannya.
Tidak berkembangnya sektor perekonomian di
pedalaman (kampung) juga berimbas pada sektor
pendidikan yang mana orang tua tidak mempunyai
penghasilan tetap sehingga belum mampu membiayai
-
kebutuhan ekonomi keluarga dan juga kebutuhan
pendidikan anaknya, sehingga ketika anaknya
menempuh pendidikan di kota, anak tersebut tidak
fokus untuk belajar sebagaimana idealnya seorang
siswa tapi pikiran masih terkonsentrasi untuk bekerja
keras guna memenuhi kebutuhan primernya (pangan,
sandang, papan) serta kebutuhan sekunder (sekolah).
Seperti yang dikemukakan oleh Efraim Bitibalyo
“saya disini bikin sendiri rumah lalu kami tinggal sama-sama dengan adik-adik yang datang dari kampung; waktu mau bikin rumah ini, saya kerja sawah di Moruku, terus dapat uang Rp 1, 7 juta. Lalu uang ini saya titip sama teman untuk belikan atap seng di Timika. Jadi rumah yang saya tempati bersama adik-adik dari kampung itu saya bikin rumah sendiri” (Wawancara tanggal 16 Juni 2011).
Walaupun tidak ada aturan yang melarang
bahwa anak sekolah tidak boleh bekerja. Namun, jika
dilihat dari sisi hak maupun kewajiban seorang siswa,
maka seyogyanya seorang siswa mempunyai hak
untuk mendapatkan waktu yang cukup banyak untuk
belajar guna mengembangkan potensinya tanpa
dibayang-bayangi oleh beban ekonomi. Dari sisi
kewajiban anak sekolah berkewajiban untuk menaati
tata tertib sekolah dan belajar dengan baik; materi
yang diberikan guru dipelajari kembali di rumah.
Sebab sepintar apapun manusia jika tidak pernah
belajar atau mengulang kembali pelajaran di rumah,
maka kepintarannya tidak akan bertahan lama karena
sifat otak manusia adalah merekam dan menampung
segala sesuatu yang dialami oleh panca indera ke
-
dalam memori dan bila tidak diasah lagi maka secara
perlahan-lahan rekaman tersebut akan menghilang.
1.2.1.4 Latar Belakang Pendidikan Siswa. Faktor ini dalam beberapa literatur belum dianggap sebagai
faktor yang turut mempengaruhi kemampuan belajar
siswa pada semua tingkatan, namun penulis
menganggap faktor ini sebagai salah satu faktor yang
turut mempengaruhi kemampuan siswa khususnya
pada sekolah menengah. Anggapan penulis ini didasari
oleh aliran Gestalt tentang sifat-sifat belajar yang
diantaranya, Insight tergantung dari kemampuan
dasar dan Insight tergantung dari pengalaman masa
lampau yang relevan. Jadi anak SD yang mempunyai
latar belakang pendidikan di TK akan mudah dalam
bersosialisasi dengan lingkungannya. Begitupun
dengan siswa SMP, jika siswa tersebut mempunyai
latar belakang pendidikan yang benar selama di SD,
maka siswa tersebut akan cepat dalam merespon
materi pelajaran dan seterusnya.
Dari hasil wawancara di lapangan dengan 13
informan, 2 informan (15,38%) menjawab mengikuti
pendidikan sesuai tingkatan kelas. 11 informan
(84,62%) mengatakan bahwa tidak mengikuti kenaikan
kelas sesuai dengan jenjang kelas tapi sering lompat
kelas. Seperti yang dikatakan oleh Sabonius Wahla “saya tidak mengikuti jenjang kenaikan kelas sesuai dengan tingkatan kelas, tapi sering lompat kelas. saya masuk kelas 2, naik ke kelas 3, langsung lompat kelas 5, kelas 6 baru ikut ujian” (Wawancara tanggal 17 Juni 2011).
-
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Agus
Yelemaken “pak guru lihat badan saya besar, jadi pak guru
suruh saya masuk langsung kelas 2 terus naik ke kelas 3, lompat ke kelas 5 dan ikut ujian di kelas 6” (Wawancara, tanggal 15 Juni 2011).
Untuk lebih jelasnya mengenai riwayat ke-
naikan kelas di SD, disajikan dalam Tabel 4.7 Tabel 4.7
Riwayat Kenaikan Kelas di SD
No Nama Informan Riwayat Kenaikan Kelas & Ujian
Kelas yang dilewati
1 X1 1-2-3-4-5 ujian 6 2 X2 1-2-3-6 ujian 4,5 4 X3 1-2-3 ujian 4,5,6 6 X4 1-2-3-4-5-6 ujian - 7 X5 4-5-6 ujian 1,2,3 8 X6 1-2-3-4-5-6 ujian - 9 X7 1-2-3 ujian 4,5,6 10 X8 1-3-5- ujian 2,4,6 11 X9 2-3-4-5 ujian 1,6 12 X10 2-3-5-6 ujian 1,4 13 X11 4-5-6 ujian 1,2,3 14 X12 1-3-5-6ujian 2,4 15 X13 2-3-4-5ujian 1,6 Sumber : wawancara dari para informan, Maret-Juni 2011
Dari data pada Tabel 4.7 tentang riwayat
kenaikan kelas di SD dapat diketahui bahwa siswa
tidak mengikuti jenjang kelas sesuai dengan tingkatan
dan kompetensi yang menjadi syarat untuk naik kelas.
Ketika penulis menanyakan alasan guru menaikan
kelas tanpa mengikuti prosedur, para informan men-
jelaskan bahwa umumnya informan sekolah di SD
Paralel (kelas jauh), sehingga guru yang mengajar
-
adalah guru sukarela, sedangkan guru pegawai negeri
(PNS) mengajar di SD induk, kalaupun ada guru
pegawai negeri (PNS) yang bertugas di SD Paralel, guru
tersebut tidak aktif melaksanakan tugas, dan hanya
datang saat ujian semester atau ujian sekolah/Ujian
Nasional. Adapun kualifikasi pendidikan guru suka-
rela adalah guru yang tidak tamat sekolah buta huruf,
tamat SD, SMP dan SMA. Guru-guru inilah yang
bertugas melaksanakan tugas disaat guru PNS tidak
melaksanakan tugas. Kernius Giban menjelaskan
bahwa guru PNS tidak aktif mengajar, lebih banyak
tinggal di kota. Sehingga guru sukarela yang mengajar
di sekolah. “guru-guru PNS sebenarnya tidak aktif mengajar, karena guru-guru tersebut lebih banyak tinggal di kota dari pada di tempat tugas; tapi ada 1 orang guru yang aktif di sekolah saya. Dulu dia sekolah buta huruf lalu menjadi guru sekolah buta huruf lagi yang ditugaskan oleh Misionaris, dan sekarang masih bertugas karena tidak ada guru” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).
Sama halnya dengan yang dikatakan oleh
Karmel Murib “kalau di tempat saya guru-guru tidak aktif, cuma satu orang saja yang aktif. Jadi guru ini merangkap/mengajar dari kelas 1-6 caranya guru membagi dua kelas; kelas 1-3 dia gabung menjadi satu kelas, 4-6 digabung juga menjadi satu kelas.jadi guru mengajar itu satu hari satu mata pelajaran saja” (Wawancara 15 Juni 2011). Dari penuturan Kernius Giban dan Karmel
Murib di atas dapat diketahui bahwa proses belajar
mengajar di pedalaman (kampung) tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Guru sukarela yang hanya
-
tahu baca tulis ataupun tamatan SD atau SMA
sekalipun belum bisa menjamin bahwa proses belajar
mengajar akan berhasil dengan baik. Bahkan guru
alumni PGSD sekalipun juga belum bisa menjamin
keberhasilan kegiatan belajar mengajar, manakala
guru yang bersangkutan tidak aktif melaksanakan
tugas.
Sesuai data primer dan data sekunder yang
diperoleh di lapangan, penulis berkesimpulan bahwa
faktor latar belakang pendidikan siswa menjadi salah
satu faktor eksternal penyebab utama dari kesulitan
belajar yang dialami oleh siswa di SMAN 1 Dekai, di
mana pada pendidikan sebelumnya seorang siswa
tidak memperoleh pendidikan yang cukup memadai.
Sehingga kompetensi dasar yang diharapkan tidak
tercapai/tuntas yang berdampak pada sulitnya siswa
untuk memahami materi pelajaran. Hal ini sejalan
dengan penelitian Muridan S. Widjojo, dkk. (2009),
yang menemukan bahwa pendidikan dasar di Papua
masih menjadi kendala utama dalam peningkatan
mutu pendidikan. Muridan menemukan bahwa proses
belajar mengajar khususnya SD yang berada di
kampung-kampung tidak berjalan dengan baik. Guru
lebih banyak tinggal di kota dan sesekali datang jika
ada Ujian Nasional (UN).
Bahkan Muridan merekomendasikan bahwa
prioritas utama pembenahan pendidikan di Papua
harus dimulai dari pendidikan dasar. Karena,
merupakan dasar untuk melanjutkan ke jenjang
berikutnya, maka proses belajar mengajar harus ber-
-
jalan dengan baik sehingga dalam proses kenaikan
kelas dan ujian nasional harus dilakukan secara benar
agar tidak menjadi beban selanjutnya pada kelas
berikutnya ataupun sekolah berikutnya. 1.2.1.5 Kondisi Tempat Tinggal. Lingkungan yang nyaman dapat mendorong siswa untuk belajar dengan
baik agar tercapai hasil belajar yang maksimal.
Sebaliknya, lingkungan yang tidak memberi ke-
nyamanan dapat membuat orang jenuh untuk
berlama-lama tinggal di dalam rumah. Hal ini dapat
disebabkan oleh kondisi rumah yang sempit tapi
dihuni oleh banyak orang, hingga menyebabkan
suasana rumah menjadi panas dan ribut/gaduh. Hal
inilah yang terjadi pada siswa dari pedalaman
(kampung/gunung) yang hidup secara mandiri.
Siswa yang berasal dari pedalaman (kampung)
datang ke kota baik secara individu maupun kelompok
dan membentuk suatu komunitas tersendiri sesuai
daerah asal masing-masing, di mana suku Kimyal
misalnya akan berkumpul dan membangun suatu
perkampungan atau semacam kompleks yang khusus
untuk orang-orang dari suku Kimyal. Begitupun
dengan suku-suku yang lain dengan demikian ling-
kungan menjadi ramai. Lingkungan yang ramai dapat
mengganggu aktivitas belajar anak/siswa yang tinggal
ditempat tersebut. Seperti yang dituturkan oleh
Silimius Doyela
“Di rumah kami tinggal bersama dengan teman-teman 15 orang dari satu kampung; mereka anak sekolah juga, ada siswa SMP, SMA dan siswa SMK.
-
Padahal rumah kami kecil. Pada hari-hari tertentu biasa berkumpul sampai 50 orang, mereka datang untuk sekedar main-main atau jika ada masalah pasti mereka datang” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Dari penuturan Silimius dapat diperoleh
gambaran bahwa betapa sulitnya untuk ber-
konsentrasi belajar dalam satu rumah yang dihuni 15-
50 orang, selain ribut akan sulit pula mengatur
tempat/ruangan khusus untuk belajar. Hal yang sama
juga dituturkan oleh Sabonius Wahla “Kalau habis makan sore/malam kami kunci pintu untuk belajar, tapi belum sempat belajar masyarakat sudah datang kami terpaksa buka pintu, lalu masyarakat mengajak cerita, konsentrasi belajar menjadi hilang”. (Wawancara tanggal 17 Juni 2011). Selain penghuni rumah yang banyak, kondisi
rumah yang sempit membuat suasana rumah menjadi
panas sehingga penghuninya sendiri tidak nyaman
untuk berlama-lama di dalam rumah. Begitu pula
dengan siswa yang menumpang di rumah keluarga
siswa akan berbaur dengan anggota keluarga itu
sendiri dan anggota keluarga lain yang kebetulan
datang ke kota Dekai. Begitupun siswa yang hidup
mandiri akan menjadi tempat berkumpul bagi teman-
teman siswa yang kebetulan sekampung. Mengingat
budaya hidup di daerah ini adalah budaya hidup
secara berkoloni. Sehingga orang yang telah lebih
dahulu bermukim atau tinggal di wilayah tersebut
mempunyai kewajiban untuk menampung bagi
keluarga, teman, atau orang lain yang sekampung.
-
Jika menolak, maka orang tersebut akan dicela atau
dicerita negatif pada orang lain.
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan
diketahui bahwa dari 13 informan yang diwawancarai
3 informan (23,08%) menjawab hidup menumpang di
salah satu rumah keluarganya. Sedangkan 10
informan (76,92%) menjawab hidup secara mandiri
yaitu dengan cara membuat sendiri gubuk dan
ditinggali secara bersama-sama. Namun hasil peng-
amatan penulis, kondisi tempat tinggal baik yang
tinggal secara mandiri maupun yang menumpang di
rumah keluarga mempunyai kesamaan yakni sama-
sama ramai. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa kondisi tempat tinggal turut menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar (learning
difficulty) siswa SMAN 1 Dekai. Di mana ada
hubungan antara kondisi atau lingkungan tempat
tinggal yang tenang, aman, bersih akan membuat
siswa nyaman untuk belajar. Sebaliknya, lingkungan
yang sering ribut/gaduh, kumuh akan menyebabkan
siswa sulit berkonsentrasi dalam belajar. Slameto
(2010) menyatakan bahwa lingkungan atau suasana
rumah yang ramai, gaduh/ribut dan semrawut akan
membuat siswa malas tinggal di rumah apalagi
belajar.
1.2.1.6 Pola Hidup. Pola hidup yang kuat dan telah mengakar secara turun temurun akan mengalami
kesulitan jika ada pola baru yang ingin diterapkan
pada masyarakat tersebut. Pola hidup berkaitan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung
-
lama dalam suatu kelompok masyarakat dan tetap
mempertahankan hingga saat ini. Bagi masyarakat
yang masih mempertahankan kebiasaan-kebiasaan
tersebut akan tetap nyaman sekalipun pada masyara-
kat modern menganggapnya sebagai sesuatu yang
ganjil. Dalam struktur kebudayaan suku-suku di
pegunungan tengah umumnya dan Yahukimo khusus-
nya secara singkat dapat dijelaskan bahwa masya-
rakat tinggal secara berkelompok di Honai yang terdiri
dari Honai laki-laki yang khusus dihuni oleh kaum
laki-laki dan Honai perempuan yang dihuni oleh kaum
perempuan. Adapun hubungan suami isteri yang telah
berkeluarga tidak dilakukan di dalam Honai tersebut
tapi di lakukan di luar Honai (tempat khusus). Ketika
anak lahir, jika ia seorang perempuan maka ia akan
diasuh oleh ibunya hingga dewasa dengan bahasa ibu
sebagai bahasa sehari-hari. Sedangkan jika yang lahir
adalah laki-laki maka anak tersebut akan tinggal
bersama ibunya dalam honai perempuan hingga anak
tersebut “lepas susu”. Setelah “lepas susu” anak
tersebut akan bergabung ke dalam Honai laki-laki dan
mulai diajarkan cara mempertahankan hidup seperti
cara membuat panah, kapak batu, berburu, berkebun
termasuk strategi berperang pun diajarkan. Bahkan
jika terjadi perang suku anak sering dijadikan sebagai
mata-mata atau umpan dengan asumsi bahwa pihak
musuh tidak akan berani membunuh anak kecil, jika
ada yang terpaksa membunuh maka pihak lawan
disebut sebagai “perempuan” atau pihak yang lemah.
-
Uraian di atas bermaksud menegaskan bahwa
pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga
dengan perantara bahasa ibu. Pendidikan tradisional
yang dimaksudkan untuk mempertahankan hidup.
Sedangkan pendidikan modern tidak didapatkan
dalam keluarga seperti pola hidup bersih, tata krama
berlaku, etika berbicara ataupun membaca, menulis
dan berhitung.
Hal yang nampak pada masyarakat ini, yakni
sekalipun tinggal di Honai yang sempit, berdinding
kulit kayu, beratap alang-alang dan beralaskan tanah,
namun kelompok masyarakat ini tidak mau dikatakan
sebagai orang miskin. Walaupun kekurangan bahan
makanan tetap saja tidak mau dianggap orang miskin.
Jika gagal panen masyarakat ini akan masuk hutan
mencari makanan seperti kelapa hutan, daun ganemo,
buah merah, kuskus dan umbi-umbian. Masyarakat
ini percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan makanan
di hutan sehingga tidak perlu kerja keras untuk
mendapatkan makanan. Dengan demikian, motivasi
yang dimiliki masyarakat ini adalah motivasi untuk
mempertahankan hidup, bukan motivasi menge-
mbangkan hidup. Kelompok masyarakat ini ber-
pandangan bahwa orang miskin adalah orang yang
selalu meminta-minta (pengemis) atau pengamen di
jalanan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan penulis
berkesimpulan bahwa pola hidup siswa menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa
di SMAN 1 Dekai. Ada hubungan antara pola hidup
-
dengan motivasi belajar siswa. Pola hidup siswa yang
terbuka dan semangat tingggi akan berdampak baik
pada aktivitas belajarnya. Sebaliknya, pola hidup
santai dan tertutup akan menghambat dalam melaku-
kan aktivitas kehidupan termasuk aktivitas belajar
sehingga hasil belajar juga rendah. Motivasi berusaha
atau motivasi belajar yang rendah, maka hasilnya pun
akan rendah. Dalam pengamatan penulis siswa tidak
memiliki motivasi berprestasi yang tinggi sehingga
aktivitasnya pun dilakukan secara santai tanpa beban
apapun.
1.2.2 Faktor Sekolah 1.2.2.1 Metode pembelajaran. Sebagaimana telah disebutkan pada bab pendahuluan bahwa peran guru
dan siswa merupakan faktor yang sangat menentukan
dalam proses pembelajaran di sekolah. Hakikat
pendidikan sebenarnya adalah menciptakan manusia
yang “cerdas di otak” dan “cerdas di hati”. Hal ini
sejalan dengan Driyarkara (dalam Hasbullah 2009)
yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses
pemanusiaan manusia, dimana siswa diberikan
kesempatan untuk mengembangkan potensinya
dengan caranya sendiri sedangkan guru hanya mem-
fasilitasi segala kebutuhan belajar siswa. Oleh karena
itu, guru sebagai salah satu pelaku pendidikan
khususnya dalam proses belajar mengajar maka
seyogyanya guru menguasai metode pembelajaran baik
yang konvensional maupun variasinya agar guru dapat
memfasilitasi kebutuhan siswa. Metode pembelajaran
-
guru mempunyai pengaruh besar atas keberhasilan
proses pembelajaran di kelas.
Pembelajaran guru di kelas merupakan rang-
kaian tugas guru dalam upaya mendorong dan
mengembangkan potensi siswa untuk mencapai hasil
belajar yang maksimal. Untuk mencapai hasil pem-
belajaran yang maksimal tersebut, maka salah satu
hal yang perlu dikuasai oleh guru adalah metode
pembelajaran. Metode pembelajaran yang tepat adalah
metode yang sesuai dengan materi pelajaran dan juga
disesuaikan dengan kondisi siswa baik kompetensinya
maupun suasana belajar. Siswa yang mengantuk
misalnya tidak tepat diberikan materi pelajaran
dengan metode ceramah tapi model lain seperti role
playing untuk mengaktifkan siswa. Jadi seorang guru
dituntut untuk menguasai variasi metode pem-
belajaran agar pembelajaran dapat berjalan secara
maksimal. Metode pembelajaran guru dipandang
sebagai salah satu faktor yang sangat menentukan
keberhasilan siswa dalam belajar. Penguasaan metode
yang cukup memadai akan membawa perubahan pada
capaian hasil belajar siswa. Seorang guru dituntut
untuk memberikan layanan belajar yang maksimal
lewat metode yang tepat untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa
pendekatan pembelajaran guru di SMAN 1 Dekai
masih dominan menggunakan “teacher centered
approach” atau pendekatan pembelajaran yang ber-
basis pada guru dengan metode ceramah, dan tanya
-
jawab dalam proses belajar mengajar. Para guru
beralasan, bahwa penggunaan metode tersebut lebih
disebabkan oleh kompetensi siswa yang masih kurang.
Sehingga apabila guru menerapkan metode resource-
based learning misalnya ada kecenderungan proses
pembelajaran tidak akan efektif dan efisien.
Sebagaimana yang dikatakan oleh beberapa guru di
SMAN 1 Dekai, Leonardus Mangago misalnya
menuturkan “Siswa sangat lambat dalam menerima materi
pelajaran; jika kita menggunakan diskusi
kelompok maka hanya beberapa orang saja yang
aktif; siswa lainnya tidak memperhatikan karena
lebih banyak siswa yang bermain daripada belajar
bahkan keluar masuk saat kegiatan belajar di
kelas, jadi hal yang sering kami lakukan adalah
mencatat dulu materi kemudian menerangkan”.
(Wawancara, tanggal 14 Maret 2011).
Dari keterangan guru tersebut, dan juga hasil
pengamatan di lapangan diketahui bahwa memang
proses pembelajaran di SMAN 1 Dekai masih meng-
gunakan pendekatan yang berpusat pada guru
“teacher centered approach” yang sebenarnya sudah
tidak boleh digunakan di zaman sekarang ini karena
guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan.
Seharusnya siswa yang aktif mencari sumber-sumber
pengetahuan melalui buku-buku pelajaran, ling-
kungan, tokoh, media masa ataupun sesama teman.
Namun, karena kondisi siswa yang tidak memungkin-
kan maka guru menggunakan pendekatan tersebut.
Guru masih dianggap sebagai pusat pengetahuan
-
sehingga apapun yang dikatakan guru, maka itu pula
yang dianggap benar. Dengan demikian, kemampuan
siswa berpikir kritis tidak berkembang sehingga proses
belajar mengajar menjadi pasif atau monoton.
Sesuain hasil pengamatan penulis, selain
kondisi siswa yang tidak memiliki kemampuan dasar,
kompetensi guru dalam mengajar juga masih kurang.
Sebagai mana telah disajikan pada Tabel 4.3, dimana
jumlah guru yang tidak sesuai kebutuhan sekolah
yakni adanya kelebihan guru pada mata pelajaran
tertentu dan sebaliknya terjadi kekurangan guru pada
mata pelajaran lain. Sehingga kebijakan sekolah
adalah memanfaatkan kelebihan guru tersebut untuk
mengajar pada mata pelajaran lain yang tidak sesuai
dengan kompetensinya. Hasilnya sudah dapat dipasti-
kan selain penerapan metode pembelajaran yang tidak
sesuai dengan materi pelajaran yang disajikan juga
penguasaan materi yang tidak maksimal.
Berdasarkan data primer dan data sekunder
yang dikumpulkan, maka penulis berkesimpulan faktor metode pembelajaran menjadi salah faktor
eksternal penyebab kesulitan belajar siswa SMAN 1
Dekai. Ada hubungan antara metode pembelajaran
dengan prestasi belajar siswa. Penggunaan metode
pembelajaran yang tepat dengan materi yang disajikan
akan menumbuhkan semangat belajar siswa dan
tingkat pemahaman akan semakin bertambah.
Sebaliknya, penggunaan metode pembelajaran yang
tidak sesuai dengan materi yang disajikan akan
-
melemahkan semangat belajar siswa sehingga
mempengaruhi hasil belajar yang tidak maksimal.
1.2.2.2 Kurikulum. Kurikulum menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses pendidikan di sekolah.
kurikulum umumnya mengatur semua aspek yang
berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan seperti visi,
misi dan tujuan. Selain itu, kurikulum juga mengatur
rambu-rambu pembelajaran agar KBM tetap berjalan
di atas rel yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Materi pelajaran diberikan sesuai dengan tahapan usia
siswa agar materi tersebut tidak memberatkan siswa.
Seiring dengan keluarnya Permendiknas Nomor
22 & 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar
Kompetensi, maka semua sekolah di seluruh NKRI
diberi kewenangan untuk menyusun kurikulum sesuai
dengan kondisi sekolah masing-masing tetapi yang
terjadi bukan pada masalah kurikulumnya tapi ada
pada Ujian Nasional (UN). Pemerintah pusat masih
terus memaksakan pelaksanaan UN yang berorientasi
bisnis dan melahirkan manusia-manusia yang tidak
jujur baik guru maupun siswa dan juga instansi
terkait. Materi pelajaran yang diajarkan di sekolah
atas dasar Permendiknas tersebut tidak lagi menjadi
acuan dalam menentukan kelulusan siswa melalui
sekolah. Walaupun sekolah di pedalaman Papua
mengalami serba kekurangan seperti kualitas tenaga
pendidik, fasilitas belajar, tapi pemerintah pusat tetap
melaksanakan UN dan menerapkan standar kelulusan
yang sama. Padahal, infrastruktur pendidikan di Jawa
sangat jauh berbeda dengan Papua umumnya dan
-
Yahukimo khususnya. Akibatnya, sekolah sering
“campur tangan” dalam membantu kelulusan siswa
baik dalam UN maupun kenaikan kelas. Sehingga,
kualitasnya pun pasti rendah. Sekolah mempunyai
alasan soal “campur tangan” guru dalam kelulusan
siswa “harus kami akui kekurangan bahwa siswa kami belum bisa/belum mampu untuk bersaing dengan siswa yang di luar Papua, tapi siswa punya kemauan untuk sekolah walaupun dengan segala keterbatasan sehingga kami perlu menghargai itu, jika siswa tidak dibantu maka siswa kami tidak akan ada yang lulus Ujian Nasional, lalu kapan orang Papua bisa memperoleh kesempatan untuk maju?” (Wawancara dengan Kepala SMAN 1 Dekai tanggal 4 April 2011).
Sebenarnya guru-guru di propinsi Papua tidak
menolak adanya pelaksanaan UN tapi konsistensi
pemerintah pusat yang tidak serius dalam melihat
pendidikan di Papua umumnya dan Yahukimo
khususnya. Pembangunan infrastruktur pendidikan di
pedalaman masih jauh tertinggal dari pulau Jawa.
Padahal, kurikulum yang baik adalah kurikulum
yang disusun dengan mempertimbangkan infrastruk-
tur sekolah (siswa, guru, alat pelajaran dan lain-lain).
Sebagaimana diketahui bahwa infrastruktur pen-
didikan di Yahukimo masih sangat tertinggal jauh
dengan daerah lain di Indonesia seperti kualitas guru,
kualitas siswa, alat pelajaran, bangunan sekolah,
sarana informasi (TV, radio, internet, surat kabar) dan
jarak tempat tinggal siswa dengan sekolah itu sendiri.
Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui
bahwa SMAN 1 Dekai belum memiliki kurikulum
-
sekolah yang permanen. Sebagaimana dikatakan oleh
Elisabeth Cornelia “kami mempunyai kendala dalam
mengajar karena belum memiliki silabus dan RPP
sehingga susah dalam menyajikan materi pelajaran”
(Wawancara 14 Maret 2011). Dengan demikian, guru-
guru mengajar berdasarkan standar kompetensi yang
tertera dalam buku pelajaran yang digunakan saat
mengajar. Standar kompetensi yang tertera dalam
buku tersebut merupakan imajinasi pengarang sesuai
kondisi sekolah dimana pengarang bertempat tinggal.
Artinya, kompetensi yang digunakan guru tidak sesuai
dengan kompetensi siswa. Oleh karena itu, penulis
berkesimpulan bahwa kurikulum menjadi salah satu
faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa di
SMAN 1 Dekai. Menurut penulis, ada hubungan
antara kurikulum dengan kemampuan belajar siswa.
Materi yang sesuai dengan kemampuan siswa akan
mendorong siswa untuk belajar. Sebaliknya, materi
yang tidak sesuai kemampuan siswa akan
menurunkan semangat belajarnya bahkan siswa akan
putus asa dalam belajarnya.
1.2.2.3 Relasi Guru dengan Siswa. Hubungan guru dengan siswa menjadi sangat penting dalam proses
belajar mengajar karena berhasil tidaknya proses
pendidikan melalui kegiatan belajar mengajar di
sekolah berada di tangan guru dan siswa. Jadi, guru
dan siswa wajib untuk membangun hubungan yang
harmonis agar tercipta proses belajar yang kondusif.
Untuk membangun hubungan tersebut seorang guru
tidak hanya cukup membangun relasi dengan
-
kompetensi profesional dan kompetensi paedagogik
tapi juga kompetensi sosial dan kompetensi ke-
pribadian. Hal ini sejalan dengan pendapat Abu
Ahmadi & Widodo Supriyono (2008) yang mengatakan
bahwa guru yang kasar, suka marah, suka mengejek,
tak pernah senyum, tak suka membantu anak, suka
membentak, dan lain-lain adalah ciri guru yang tidak
memiliki kompetensi sosial sehingga tipe guru seperti
ini, siswa akan cenderung tidak memperhatikan
pelajaran atau arahan dari guru yang bersangkutan.
Bahkan, akan memunculkan sikap antipati siswa
kepada guru. Selain itu, kompetensi kepribadian juga
mendukung terciptanya situasi belajar yang kondusif.
Guru yang cerewet misalnya akan cenderung di-
perolok-olok oleh siswa, atau guru datang ke sekolah
dalam keadaan mabuk juga akan menjadi bahan
ocehan siswa. Jadi, guru perlu menguasai empat
kompetensi sesuai amanat Undang-Undang Guru dan
Dosen dan menerapkan sesuai dengan konteksnya.
Sesuai hasil wawancara dengan 13 informan
diperoleh jawaban bervariasi yakni 4 informan
(30,77%) menjawab menjalin komunikasi yang baik
dengan guru tertentu baik di sekolah maupun di luar
sekolah. 3 informan (23,08) menjawab menjalin
komunikasi di sekolah sebagaimana guru dan siswa
dalam taraf normatif. Sedangkan 6 informan (46,15%)
menjawab komunikasi terjalin di sekolah/luar kelas
tapi di dalam kelas komunikasi tidak terjalin baik.
Menurut informan indikasi tidak terjalinnya komuni-
kasi ditandai dengan seringnya guru tidak menjawab
-
pertanyaan ketika siswa bertanya. Seperti yang di
katakan oleh Efraim Bitibalyo “sebenarnya ada guru yang baik; kalau kita bertanya guru itu terangkan berulang-ulang. Tapi ada guru yang tidak mau terangkan; kalau kita bertanya dia marah terus suruh kita cari sendiri atau belajar sendiri” (Wawancara 16 Juhi 2011). Hal yang sama dikemukakan oleh Karmel Murib “guru itu masuk lalu tulis di papan stelah itu dia terangkan begini-begini(cara mengerjakan). Baru selesai itu kita belum mengerti lalu kita bertanya lagi tapi guru bilang “akh tadi saya su terang-kan, kenapa tanya lagi?”; guru tidak dekati siswa saat mengerjakan tugas tapi hanya duduk di depan atau dia ke kantor. Dari kantor guru datang langsung kumpul pekerjaan, kita mau bertanya tapi tidak bisa karena guru setelah mengumpul-kan pekerjaan kami langsung ke kantor; kami kerja sesuai kemampuan kami saja” (Wawancara 15 Juni 2011). Hasil pengamatan penulis menemukan guru
yang tidak membina komunikasi yang baik dengan
siswa, walaupun yang lain telah berlaku demokratis
pada siswa. Menurut pengamatan penulis situasi
tersebut lebih disebabkan oleh paradigma lama yang
menganut sistem otoriter di mana siswa tidak boleh
dekat dengan guru dengan asumsi bahwa jika guru
tidak dekat dengan siswa, maka siswa akan takut
pada guru untuk nakal atau berbuat onar. Dengan
kata lain, jika siswa telah mengenal dekat gurunya,
maka siswa akan cenderung berbuat semaunya.
Dengan menerapkan sistem “jaga jarak” memang
terlihat efektif, di mana siswa tidak berani untuk
berbuat gaduh di kelas atau di luar kelas. tapi
berdampak luas bagi perkembangan kognitif siswa.
-
Berdasarkan hasil wawancara dan hasil peng-
amatan dapat diketahui bahwa komunikasi guru dan
siswa dalam arti luas belum berjalan dengan baik
khususnya di kelas. Dengan demikian, penulis
berkesimpulan bahwa relasi guru dan siswa menjadi
salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar
di SMAN 1 Dekai. Menurut penulis ada hubungan
antara komunikasi yang terjalin baik dengan kesulitan
belajar siswa. Di mana jika komunikasi terjalin baik
maka guru akan memberikan kesempatan seluas-
luasnya kepada siswa untuk bertanya atau meng-
ungkapkan permasalahan yang di hadapinya ber-
kaitan dengan kegiatan belajarnya. Sebaliknya,
komunikasi yang tidak terjalin dengan baik maka pada
saat proses belajar misalnya jika siswa tidak mengerti
maka siswa tersebut akan takut untuk bertanya
sehingga siswa lebih memilih untuk diam dan tidak
memperhatikan pelajaran yang disajikan.
1.2.2.4 Kedisiplinan. Kedisiplinan erat kaitannya dengan ketertiban, misalnya tertib administrasi, tertib
waktu, tertib belajar, tertib berpakaian. Masalah
kedisiplinan masih menjadi masalah utama dalam
setiap organisasi baik organisasi pemerintah maupun
organisasi swasta. Penerapan disiplin pada suatu
organisasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
salah satunya adalah leadership. Leadership yang baik
akan mendorong staf mengikuti aturan yang berlaku
dalam suatu organisasi dan berupaya untuk
menghasilkan suatu kinerja yang baik. Sebaliknya,
pemimpin yang kurang baik akan menghasilkan
-
kinerja yang kurang baik pula. Walaupun Susno
(2011), dalam penelitiannya menemukan bahwa
kedisiplinan tidak mempunyai hubungan dengan
kepemimpinan, namun penulis berpendapat sebalik-
nya bahwa kedisiplinan mempunyai hubungan dengan
kepemimpinan selain motivasi, karena kepemimpinan
yang demokratis tapi tegas dalam kebijakan dan
sanksi dapat menjadi patokan dalam mendisiplinkan
diri dan staf. Walaupun memang disiplin dengan
kesadaran sendiri (intrinsik) jauh lebih efektif dan
kekal dibanding dengan unsur dari luar (ekstrinsik.
Penelitian Lewin (1981 dalam Husaini Usman
2009) ditemukan tiga gaya kepemimpinan yaitu
otoriter, demokratis, dan laize faire. Lewin menjelas-
kan bahwa pemimpin otoriter bertindak sangat
direktif, selalu mengarahkan, dan tidak memberikan
kesempatan bertanya apalagi membantah. Pemimpin
demokratis mendorong kelompok untuk berdiskusi,
berpartisipasi, menghargai pendapat orang lain, siap
berbeda pendapat dan perbedaan tidak untuk
dipertentangkan tetapi untuk didapatkan hikmahnya.
Pemimpin laize faire memberikan kebebasan mutlak
kepada kelompoknya atau bawahan dalam bekerja.
Pemimpin model ini merasa bawahannya telah dapat
bekerja dengan baik sehingga tidak perlu diarahkan
atau dikontrol.
Sesuai dengan pengamatan di lapangan model
yang diterapkan oleh kepala sekolah adalah pemimpin
yang demokratis, di mana setiap guru diberikan
kesempatan untuk berbicara (memberi masukan) baik
-
resmi maupun tidak resmi. Dampak positif dari
pemimpin demokratis adalah guru dilibatkan dalam
pengelolaan sekolah sesuai tugas dan fungsi masing-
masing dengan tetap berkoordinasi satu sama lain
sehingga pengelolaan sekolah dapat berjalan secara
demokratis. Sedangkan dampak negatifnya adalah
guru-guru cenderung menerjemahkan sebagai laize
faire di mana guru-guru beranggapan telah diberi
kebebasan mutlak sehingga guru datang ke sekolah
sesuka hati; bila tidak ada jam mengajar guru-guru
enggan ke sekolah; guru yang tidak aktif/malas
mengerjakan tugas juga tidak diberikan sanksi baik
lisan maupun tertulis. Akibatnya kurikulum SMAN 1
Dekai hingga saat ini belum tersusun sesuai
Permendiknas Nomor 22 & 23 tentang Standar Isi dan
Standar Kompetensi.
Penerapan disiplin di SMAN 1 Dekai belum
menunjukkan hal yang berarti, terutama dalam hal
administrasi dan kehadiran. Administrasi belum
berjalan dengan baik karena sejak berdirinya SMAN 1
Dekai tahun 2005-2011 hingga sekarang ini belum
ada penempatan tenaga administrasi dari pemerintah
daerah yang khusus mengurus masalah administrasi,
sehingga guru-guru terkadang merangkap pekerjaan
selain tenaga pengajar juga sebagai tenaga
administrasi. Bahkan kepala sekolah sendiri sering
turun tangan menangani administrasi sekolah.
Indikator lain yang menunjukkan bahwa di SMAN 1
Dekai belum tertib administrasi adalah belum adanya
leger nilai yang terkumpul di bagian Kurikulum,
-
Kesiswaan ataupun di kepala sekolah. Sehingga
penulis kesulitan dalam mengumpulkan leger nilai
hasil semester siswa sehingga atas izin kepala sekolah
penulis meminta siswa untuk membawa buku
laporannya agar penulis dapat membuat leger nilai,
dan masih banyak indikator lain.
Sedangkan disiplin kehadiran belum terlaksana
dengan baik karena tidak adanya kesadaran untuk
mendisiplinkan diri serta tidak adanya sanksi tegas
terhadap guru atau siswa yang melanggar disiplin.
Selain itu, siswa yang dominan berasal dari kampung
masih terbiasa dengan pola pendidikan di kampung
yang tidak mengenal disiplin. Sebagaimana dikemu-
kakan oleh Bartolomeus Palembangan “…siswa tidak
disiplin karena terbiasa dari sekolah dasar yang tidak
disiplin”. Sehingga ketika masuk SMAN 1 Dekai masih
sulit untuk menyesuaikan dengan aturan yang
berlaku. Apalagi di rumah siswa kebanyakan belum
mempunyai jam dinding, sehingga siswa mengguna-
kan matahari sebagai patokan waktu. Seperti yang
dikemukakan oleh Warnus Lokon “kalau cuaca baik kita perhatikan matahari; kita kan tidak punya jam. Jadi kalau cuaca tidak baik, kita tunggu-tunggu begini kita pikir masih pagi, ternyata matahari su tinggi. Kalau ke sekolah biasa dapat hukum jadi lebih baik tidak ke sekolah kalau su terlambat” (Wawancara 21 Juni 2011). Berdasarkan hasil wawancara dengan informan
dan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa
kedisiplinan yang berkaitan dengan kehadiran di
sekolah serta ketertiban siswa dalam mengikuti
-
pembelajaran di kelas belum menunjukkan hasil yang
optimal. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa kedisiplinan menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa di SMAN 1 Dekai. Hal
ini diperkuat oleh hasil angket yang penulis bagikan
kepada guru-guru bahwa kedispilinan masih menjadi
masalah utama dalam pengelolaan sekolah umumnya
dan kegiatan pembelajaran khususnya. Sebanyak 20
responden (100%) menjawab bahwa kedisiplinan siswa
masih menjadi salah satu kendala yang dihadapi guru
dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian,
menurut penulis ada hubungan antara kedispilinan
belajar siswa dengan kesulitan belajar siswa. Jika
siswa disiplin dalam belajar maka hasil belajarnya
akan meningkat dan kesulitan belajarnyan akan
teratasi. Sebaliknya, jika siswa tidak disiplin dalam
belajar maka hasilnya dipastikan akan rendah dan
kesulitan belajar akan tetap “lestari”.
1.2.2.5 Alat Pelajaran. Faktor yang mendukung ter-capainya keberhasilan dalam proses belajar di sekolah
selain guru dan siswa adalah tersedianya sarana
belajar/alat pelajaran seperti peralatan laboratorium
MIPA, laboratorium computer, laboratorium bahasa
dan buku-buku pelajaran di perpustakaan.
Keberadaan alat pelajaran ini dapat membantu siswa
dan guru dalam mempraktekkan teori yang telah
dipelajari di kelas.
Hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan
bahwa alat pelajaran masih sangat kurang khususnya
buku-buku di perpustakaan dan laboratorium bahasa.
-
Sedangkan alat-alat laboratorium MIPA dan alat-alat
laboratorium komputer telah tersedia walaupun belum
lengkap. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan
hanya ±50 exemplar itupun didominasi oleh buku-
buku pelajaran MIPA dengan kondisi yang tidak
terawat baik. Sehingga siswa enggan untuk masuk
perpustakaan karena buku-buku yang ada tidak
relevan dengan kebutuhan belajar siswa. Seperti yang
dikemukakan oleh Karmel Murib “kami jarang masuk perpustakaan karena jarang buka, terus buku-buku yang dibutuhkan juga tidak ada disana; hanya buku-buku IPA yang banyak, padahal kami jurusan IPS itupun tidak sesuai dengan materi yang kami terima” (wawancara 15 Juni 2011). Untuk lebih jelasnya mengenai sarana belajar di
SMAN 1 Dekai akan disajikan dalam Tabel 4.8
Tabel 4.8 Keadaan Sarana & Prasarana Belajar SMAN 1 Dekai
tahun 2007-2011
No Uraian Jumlah
1 Gedung Kantor 1 Unit
2 Ruang Kelas/ruang belajar 3 Ruang
3 Ruang perpustakaan (dialihfungsikan menjadi
ruang belajar)
1 Unit
4 Buku-buku perpustakaan 50 eks
5 Toilet siswa 4 Pintu
6 Toilet guru 3 Pintu
7 TV 1 buah
8 Wireless/Tape 1 Unit
9 Infocus/Proyector 2 Unit
10 Komputer untuk praktek TIK 8 Unit
-
11 Komputer untuk TU 1 Unit
12 Alat-alat Olahraga Ada
13 Alat-alat laboratorium MIPA Ada
Gedung lab. MIPA & lab. Komputer masih status pinjam gedung milik SMPN Dekai Sumber : SMAN 1 Dekai 3 April 2011
Ketersediaan alat-alat pelajaran sangat penting
karena guru bukan satu-satunya sumber penge-
tahuan. Sehingga dengan adanya alat-alat pelajaran
khususnya buku-buku perpustakaan atau media
cetak, siswa dapat mencari bahan-bahan yang relevan
dengan materi pelajaran untuk didiskusikan baik
sesama teman maupun kepada guru. Dengan kata
lain, sebelum pelajaran dimulai siswa akan mencari
bahan di perpustakaan sehingga siswa mempunyai
bahan diskusi di kelas. Jika demikian, pengetahuan
siswa akan meningkat dan menambah tingkat
kekritisan siswa terutama pada saat proses belajar di
kelas; siswa akan lebih aktif dalam diskusi sehingga
pembelajaran multi arah dapat tercipta dengan baik.
Sebaliknya, apabila alat pelajaran di sekolah tidak
tersedia maka siswa akan kesulitan dalam mencari
bahan yang berhubungan dengan materi yang akan
dipelajari di kelas. Akibatnya siswa cenderung pasif
terhadap lingkungannya khususnya dalam proses
belajar di kelas.
Keberadaan laboratorium bahasa juga sangat
dibutuhkan, karena siswa yang berasal dari kampung
masih dipengaruhi oleh dialek bahasa ibu, sehingga
penyebutan suatu benda masih keliru seperti buku menjadi puku, aparat menjadi abarat, pesawat
-
menjadi pesawar, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu untuk disempurnakan penyebutannya agar tidak
keliru. Sebab jika dibiarkan maka penyebutan yang
salah akan terbawa hingga dewasa. Hal ini terbukti
banyak orang tua yang menyebut sesuatu diluar
struktur fonologi yang benar.
Berdasarkan data primer dan data sekuder yang
diperoleh penulis diketahui bahwa alat pelajaran
masih sangat kurang. Oleh karena itu, penulis
berkesimpulan bahwa alat pelajaran yang tidak cukup memadai menjadi salah satu faktor eksternal
penyebab kesulitan belajar di SMAN 1 Dekai. Dengan
demikian, menurut penulis ada hubungan antara
kesulitan belajar dengan alat pelajaran di mana jika
alat pelajaran cukup memadai maka guru tidak akan
kesulitan menggunakan alat peraga dalam proses
pembelajaran yang akan memudahkan siswa
memahami materi pelajaran. Begitupula dengan siswa
jika alat pelajaran memadai maka siswa dapat belajar
secara mandiri baik di perpustakaan maupun di
laboratorium
1.2.2.6 Keadaan Gedung. Keadaan gedung sekolah menjadi sangat penting karena hampir semua aktivitas
belajar dilakukan di kelas. Keadaan gedung sekolah
tidak hanya terkait dengan keadaan lingkungan
sekolah yang sehat dan jauh dari keramaian atau
kebisingan tetapi juga jumlah ruang kelas yang harus
memadai. Dengan adanya jumlah ruangan kelas yang
memadai, maka pihak sekolah dapat membagi siswa
dalam beberapa rombongan belajar, berdasarkan
-
tingkat kemampuan yang dapat dilihat pada hasil tes
masuk pada saat penerimaan siswa baru (PSB).
Pembagian siswa dalam beberapa rombongan belajar
dimaksudkan agar layanan yang diberikan dapat
optimal sesuai dengan kebutuhan siswa. Dan hal ini
penulis telah melakukannya pada Penerimaan Siswa
Baru (PSB) tahun pelajaran 2009/2010 dengan cara
membagi siswa dalam dua rombongan belajar dengan
mengacu pada nilai tes masuk. Kelas ini pula yang
kemudian menjadi cikal bakal lahirnya kelas IPA
pertama di sekolah ini pada kelas XI setelah
penjurusan. Sesuai dengan ketentuan Permendiknas Nomor
22 dan 23 tentang Standar Isi & Standar Kompetensi
yang tertuang dalam kurikulum 2006 (KTSP)
mengamanatkan bahwa satu rombongan belajar
idealnya hanya diisi oleh 24-32 orang siswa tujuannya
agar layanan belajar dapat diberikan secara maksimal.
Hasil pengamatan sekaligus pengalaman penulis
selama bertugas di SMAN 1 Dekai, jumlah siswa dalam
satu rombongan belajar melebihi kapasitas kelas di
mana jumlah siswa dalam satu rombongan belajar
mencapai 48-54 orang siswa. Sehingga kegiatan
pembelajaran belajar tidak efektif. Selain waktu yang
relatif singkat, jumlah siswa yang lambat belajar
cukup banyak, sehingga guru kesulitan untuk
menangani secara keseluruhan. Seperti yang di-
kemukakan oleh salah satu guru SMAN 1 Dekai Citra
Dewi “siswa yang lambat belajar sulit tertangani karena kurangnya ruangan kelas sehingga siswa
-
ditumpuk dalam satu ruangan dengan jumlah sangat banyak membuat kenyamanan dalam belajar kurang kondusif” (Wawancara 15 Maret 2011). Hal senada dikemukakan oleh guru lainnya
Barlee Pardomuan Sihombing yang menyatakan
bahwa ruang kelas masih menjadi masalah dalam
proses belajar mengajar “di dalam kelas siswa sering ribut karena ruangan kelas melebihi kapasitas; bangku dan meja terlalu berdempetan sehingga kalau siswa duduk tidak bisa menulis dengan baik karena tangannya menyenggol anggota tubuh temannya, akibatnya ribut lagi (Wawancara 15 Maret 2011). Kondisi kelas sebagai mana dikemukakan kedua
guru tersebut di atas jelas tidak membuat nyaman
siswa untuk proses pembelajaran. Oleh karena
banyaknya siswa dalam kelas membuat guru
cenderung memperhatikan siswa yang daya tangkap-
nya agak cepat sementara siswa yang lambat ter-
abaikan. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah siswa
dalam satu rombongan belajar akan disajikan dalam
Tabel 4.9Tabel 4.9 Keadaan Siswa Dalam Rombongan Belajar
Kelas Jumlah Siswa Dalam 1 Ruang
Xa 48 Orang Siswa
Xb 54 Orang Siswa
XIa (Ipa) 20 Orang Siswa
XIb (Ips) 53 Orang Siswa
XII 53 Orang Siswa
TOTAL SISWA 228 Orang Siswa
Sumber : SMAN 1 Dekai, 3 April 2011
-
Berdasarkan data primer dan data sekunder
yang dikumpulkan diketahui bahwa ruang kelas
secara kuantitas masih menjadi kendala dalam proses
pembelajaran. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan
bahwa kondisi sekolah khususnya ruang kelas yang
tidak memadai menjadi salah satu faktor eksternal
penyebab kesulitan belajar di SMAN 1 Dekai. Di mana
jika ruang kelas memadai maka siswa yang
“cepat/lambat” dapat dikelompokkan dan ditangani
secara komprehensif.
1.2.2.7 Metode Belajar. Salah satu faktor yang paling menentukan keberhasilan siswa dalam belajar adalah
siswa itu sendiri. Siswa yang memiliki tekad yang kuat
untuk keberhasilannya akan mengabaikan segala
kekurangan atau keterbatasan yang ada dan berusaha
keras untuk menaklukannya. Dengan kata lain, siswa
yang mempunyai tekad yang kuat untuk berhasil akan
menutupi kekurangan/keterbatasan dengan kelebihan
yang dimilikinya. Karena banyak orang sukses yang
berasal dari kalangan ekonomi lemah, perhatian orang
tua juga kurang, dan lain-lain. Namun, dengan tekad
yang kuat tersebut siswa akan mengatur waktu
dengan baik antara waktu kerja dengan waktu belajar-
nya guna mencapai cita-cita yang diinginkan, salah
satunya adalah dengan membuat jadwal kegiatan
setiap hari, agar waktu dapat dimanfaatkan secara
maksimal.
Berbeda dengan temuan di lapangan, siswa
belum mampu mengorganisasi waktu dengan baik.
Semua informan belum ada yang membuat konsep
-
belajar (cara belajar) dengan cara membuat jadwal
aktivitas sehari-hari sebelum ke sekolah (pagi) dan
setelah pulang sekolah (sore-malam). Dari 13 informan
(100%) yang diwawancarai, tak satupun informan yang
memiliki konsep diri dalam belajar. Semua informan
memiliki jawaban yang sama yakni alasan mencari
makan, tidak ada lampu, dan tidak ada buku-buku
pelajaran seperti yang telah dijelaskan pada faktor
ekonomi keluarga.
Pada pagi hari sebelum ke sekolah, aktivitas
yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan-
kegiatan rutin yang tidak ada hubungannya dengan
belajar seperti mandi, pakai seragam dan berangkat ke
sekolah; tidak pernah ada kegiatan belajar sebelum ke
sekolah. Seperti yang dituturkan oleh Warnus Lokon “saya biasa bangun pagi itu jam 5 pagi tapi tidak bikin apa-apa hanya baring-baring ditempat tidur mau bangun belajar tapi masih gelap; yang biasa saya lakukan kalau pagi itu setelah bangun itu berdoa, lalu pergi mandi, pakai seragam sekolah lalu pergi ke sekolah” (Wawancara tanggal 16 Juni 2011). Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh
Agus Yelemaken “saya kalau bangun pagi itu cepat biasa jam 4 atau jam 5 pagi. Kalau bangun jam 4 biasa hanya tinggal ditempat tidur saja, tunggu sampai terang baru keluar; lalu saya cuci piring, masak air untuk bikin kopi, setelah itu pergi mandi di kali Bonto terus pakai seragam lalu pergi ke sekolah” (Wawancara tanggal 22 Juni 2011).
Sedangkan aktivitas setelah pulang sekolah,
juga dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan lain di luar
-
kegiatan belajar. Misalnya Silimius Doyela menutur-
kan “saya tidak pernah belajar, alasannya karena tidak ada lampu kalau malam, terus kalau pulang sekolah tidak langsung makan tapi saya cari ubi dulu di kebun lalu pulang masak baru makan” (Wawancara, tanggal 17 Juni 2011). Begitu juga dengan Penihas Malyo yang tinggal
menumpang di rumah orang “kalau saya kan tinggal dengan orang, jadi kalau pulang sekolah itu saya bantu-bantu di rumah; begitu lepas seragam sekolah saya makan, cuci piring setelah itu istrahat. Dari sekolah kan capai juga, setelah istrahat baru saya kerja” (Wawancara tanggal 17 Juni 2011). Dari keterangan ketiga informan di atas dapat
diketahui bahwa siswa tersebut tidak pernah
membuka buku (belajar) saat bangun pagi atau
sebelum berangkat ke sekolah begitupun setelah
pulang sekolah baik sore maupun malam. Padahal
untuk menambah pemahaman terhadap materi
pelajaran yang telah dipelajari di sekolah perlu
pengulangan di rumah. Oleh karena itu, penulis
berkesimpulan bahwa metode belajar siswa menjadi
salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar
di SMAN 1 Dekai. Siswa yang mempunyai konsep
untuk berhasil menerapkan metode belajar dengan
caranya sendiri. Dengan demikian, penulis ber-
kesimpulan bahwa ada hubungan antara metode
belajar dengan kesulitan belajar. Di mana jika siswa
membuat metode belajar dan belajar terus menerus
niscaya kesulitan bel