BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Sejarah … · Tabel 4.1 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun...

64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Sejarah SMAN 1 Dekai Berdirinya SMAN 1 Dekai tidak lepas dari ter- bentuknya Kabupaten Yahukimo pada September 2003 sebagai hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya. Artinya, jika tidak ada pemekaran wilayah, maka daerah ini belum tersentuh pembangunan khususnya di bidang pendidikan dalam hal ini pembangunan SMP maupun SMA. Sedangkan SD Inpres Dekai telah berjalan saat masih bergabung dengan Kabupaten Jayawijaya. SMA Negeri 1 Dekai terletak di ibukota Kabu- paten Yahukimo yang didirikan pada tanggal 7 April 2005 atas perintah dari Penjabat Bupati Yahukimo Drs. Robert Wanimbo melalui kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Yahukimo, yang kemudian ditindak lanjuti dengan menunjuk Andy Rumbarar, S. Pd sebagai kepala SMA Negeri 1 Dekai. Namun, kepala sekolah tersebut belum sempat melak- sanakan tugas, karena diperintahkan oleh Drs. N. Manuaron selaku Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuka sekolah baru di tempat lain yaitu SMAN 2 Kurima. Sedangkan jabatan kepala SMAN 1 Dekai digantikan oleh Septinus Elopere, S. Pd yang kemudian memimpin sekolah tersebut sejak April

Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Sejarah … · Tabel 4.1 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun...

  • ��

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    1.1 Sejarah SMAN 1 Dekai Berdirinya SMAN 1 Dekai tidak lepas dari ter-

    bentuknya Kabupaten Yahukimo pada September

    2003 sebagai hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya.

    Artinya, jika tidak ada pemekaran wilayah, maka

    daerah ini belum tersentuh pembangunan khususnya

    di bidang pendidikan dalam hal ini pembangunan SMP

    maupun SMA. Sedangkan SD Inpres Dekai telah

    berjalan saat masih bergabung dengan Kabupaten

    Jayawijaya.

    SMA Negeri 1 Dekai terletak di ibukota Kabu-

    paten Yahukimo yang didirikan pada tanggal 7 April

    2005 atas perintah dari Penjabat Bupati Yahukimo

    Drs. Robert Wanimbo melalui kepala Dinas Pendidikan

    dan Kebudayaan Kabupaten Yahukimo, yang

    kemudian ditindak lanjuti dengan menunjuk Andy

    Rumbarar, S. Pd sebagai kepala SMA Negeri 1 Dekai.

    Namun, kepala sekolah tersebut belum sempat melak-

    sanakan tugas, karena diperintahkan oleh Drs. N.

    Manuaron selaku Kepala Dinas Pendidikan dan

    Kebudayaan untuk membuka sekolah baru di tempat

    lain yaitu SMAN 2 Kurima. Sedangkan jabatan kepala

    SMAN 1 Dekai digantikan oleh Septinus Elopere, S. Pd

    yang kemudian memimpin sekolah tersebut sejak April

  • 2005 hingga Oktober 2010. Kemudian sejak November

    2010 kepala SMAN 1 Dekai dipimpin oleh Musa Natu

    Gane Rumbiak, S. Pd

    Pada awal didirikan SMAN 1 Dekai, jumlah pen-

    daftar pertama berjumlah 7 orang siswa. Pendaftar ini

    kemudian diketahui usia kelahiran yang bervariasi

    yakni tahun kelahiran 1979-1988. Jadi, pada saat

    mendaftar usia berkisar 17-26 tahun. Adapun alasan

    sekolah menerima siswa yang melebihi batas umur

    adalah apabila sekolah tidak menerima siswa yang

    mendaftar maka sekolah tidak dapat berjalan pada

    tahun tersebut di mana jumlah pendaftar hanya

    berjumlah 7 orang, sementara pihak pemerintah

    daerah mendesak agar SMPN & SMAN Dekai segera

    dibuka. Selain itu, dengan melihat semangat calon

    siswa untuk sekolah cukup tinggi, maka sekolah tetap

    menerima sekalipun batas usia yang dipersyaratkan

    untuk jenjang sekolah menengah sudah tidak

    memenuhi syarat. Sebagai gambaran bahwa daerah

    ibukota Kabupaten Yahukimo dibangun di atas

    kampung terpencil yang selama ini tidak tersentuh

    pembangunan. Di mana kampung Dekai pada saat itu

    hanya dihuni oleh beberapa kepala keluarga dari suku

    Momuna, dengan aktivitas kesehariannya berburu di

    hutan.

    Gedung pertama SMAN 1 Dekai adalah gereja

    darurat berbahasa daerah yang digunakan oleh suku

    Momuna untuk beribadah, gereja ini kemudian dibagi

    menjadi dua kelas karena disaat bersamaan SMPN

    Dekai juga membuka pendaftaran siswa baru (PSB),

  • sementara bangunan sekolah untuk SMPN Dekai

    masih dalam tahap pembangunan. Dengan dimulai-

    nya penerimaan siswa baru pada bulan April 2005,

    maka kenaikan kelas untuk bulan Juni 2005

    ditiadakan. Sehingga siswa angkatan pertama

    menempuh pendidikan kelas X selama 15 bulan. Pada

    awal Agustus tahun 2005 SMAN 1 Dekai dan SMPN

    Dekai di pindahkan dari gereja ke bangunan baru

    yang merupakan bangunan milik SMPN Dekai.

    Bangunan ini terdiri dari 3 ruang kelas dan 1 ruang

    kantor masing-masing berdinding papan, dan ber-

    lantai tanah sehingga jika musim hujan ruang kelas

    sering tergenang air.

    Pada penerimaan siswa baru (PSB) tahun

    pelajaran 2006/2007, SMAN 1 Dekai dan SMPN Dekai

    mengalami kekurangan ruang kelas, karena ruang

    kelas yang tersedia hanya tiga ruang kelas, sementara

    rombongan belajar ada empat yang masing-masing

    terdiri dari SMAN 1 Dekai dua rombongan belajar

    (kelas X & XI) dan SMPN Dekai dua rombongan

    belajar (kelas VII & VIII). Untuk menyelesaikan per-

    soalan kekurangan ruang kelas, pihak SMPN Dekai

    selaku pemilik bangunan tersebut bersedia untuk

    berbagi ruang kelas di mana salah satu ruang kelas

    disekat menjadi dua ruang kelas yang digunakan

    secara bersamaan, guru pun mengajar secara silang.

    Pada awal tahun 2006 gedung SMAN 1 Dekai mulai

    dibangun setelah ada bantuan dari pemerintah pusat

    untuk SMAN 1 Dekai berupa pembangunan Unit

    Sekolah Baru (USB) dari Dana Block Grant pemerintah

  • pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah

    Kabupaten Yahukimo. Awalnya pembangunan sekolah

    tersebut akan dibangun secara lengkap dan per-

    manen. Namun, karena mahalnya bahan bangunan di

    daerah tersebut sehingga banyak bangunan yang

    “ditiadakan” seperti laboratorium MIPA, perpustakaan

    lengkap dengan isinya. Akhirnya bangunan tersebut

    hanya meliputi 1 kantor, 1 gedung perpustakaan, 3

    ruang kelas, dan 4 toilet siswa.

    Sejak tahun pelajaran 2007/2008 setelah PSB,

    SMAN 1 Dekai secara resmi menempati bangunan

    baru hingga saat ini. Walaupun jumlah siswa setiap

    tahunnya terus bertambah tapi ruang kelasnya masih

    tetap. Sehingga, ruang perpustakaan dialih fungsikan

    menjadi ruang kelas dan secara otomatis perpus-

    takaan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya

    karena selain ruangannya digunakan sebagai ruang

    belajar, fasilitas perpustakaan juga belum ada seperti

    buku-buku pelajaran, rak buku/lemari buku, dan

    fasilitas lain penunjang perpustakaan. Adapun

    keadaan guru akan disajikan dalam Tabel 4.1, 4.2,

    dan 4.3 :

  • Tabel 4.1 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun 2005-2006

    Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011

    No Nama Status Pendidikan Ket

    1 Septinus Elepore, S. Pd PNS Pend. Ekonomi Aktif

    2 Wolter Elopere, S. Pd PNS Pend. Sejarah Aktif 2 bln

    3 Akso Balingga, S. Pd PNS Pend. Kimia Aktif 1 sms

    4 Lodewick Pahabol, S. Pd PNS Penjaskes Aktif 1 sms

    5 E.L.G. Manariship, S. Pd PNS Pend. B.Indo Krng Aktif

    6 Dolfin Maalangen, S. Pd PNS Pend. T.Busana Tidak aktif

    7 Arianto TS, S. Pd PNS Pend. B.Indo Tidak aktif

    8 John Ronsumbre, S. Pd PNS Pend. B. Ingg Tidak aktif

    9 Didimus Wandik, S. Pd PNS PLS Tdk aktif

    10 Mulianto, S. Pd CPNS Pend. B.Indo Aktif

    11 Yuliana Patiung, S. Pd CPNS Pend. B. Ingg Krng Aktif

    12 Narpia, S. P CPNS Pertanian/AK IV Aktif

    13 P. Paembonan, S. Pd CPNS PPKN Aktif

    14 Hendrika Palobo, S. Pd CPNS Pend. Ekonomi Aktif

  • Tabel 4.2. Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun 2007-2009

    Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011

    No Nama Status Pendidikan Ket

    1 Septinus Elepore, S. Pd PNS Pend. Ekonmi Aktif

    2 E.L.G. Manariship, S. Pd PNS Pend. B.Indo Krng Aktif

    3 Mulianto, S. Pd PNS Pend. B.Indo Aktif

    4 Yuliana Patiung, S. Pd PNS Pend. B. Ingg KrngAktif

    5 Narpia, S. P PNS Pertanian/AK IV Aktif

    6 P. Paembonan, S. Pd PNS PPKN Aktif

    7 Hendrika Palobo, S. Pd PNS Pend. Ekonmi Tdk aktif

    8 M.N.G. Rumbiak, S. Pd CPNS Pend. Geogrf Aktif

    9 Istin Yuliatin, S. Pd CPNS Pend. Mtmtk Aktif

    10 David Esema, S. Th CPNS PAK Aktif

    11 Tommy Balingga, S. Th CPNS Teologia Aktif

    12 Natan Maling, S. SA CPNS Sos.Agama Aktif

    13 Thinus Nelambo, S. Pd CPNS Penjaskes Aktif

    14 Nining Suherning, S. Si CPNS Kim/Akta IV Td aktif/SL

    15 Nurti, S. Pd GTT Pend. B. Ingg Aktif

    16 WD. Ziada Masni, S. Pd GTT Pend. Sejarah Aktif

    17 Matius Hugi, S. Pd GTT Pend. Biologi Aktif

    18 Citra Dewi, S. Si GTT Bio/Akta IV Aktif

    19 Muh. Jafar, S, Pd GTT Pend. Ekonmi Aktif

    20 Martha M. Yotha, S. Th GK PAK Aktif

    21 H. Danny Burdam, S. Si GTT Biologi Aktif

  • Tabel 4.3 Keadaan Guru SMAN 1 Dekai Tahun 2010-2011

    No Nama Status Pendidikan Ket

    1 Septinus Elepore, S. Pd PNS Pend. Ekonmi Aktif

    2 Paulina Paembonan PNS PPKN Aktif

    3 Mulianto, S. Pd PNS Pend. B.Indo T.aktif/SL

    4 M.N.G. Rumbiak, S. Pd PNS Pend. Geogrf Aktif

    5 Istin Yuliatin, S. Pd PNS Pend. Mtmtk Aktif

    6 David Esema, S. Th PNS PAK Td aktif/SL

    7 Tommy Balingga, S. Th PNS Teologia TdAktif/SL

    8 Natan Maling, S. SA PNS Sos. Agama Aktif

    9 Thinus Nelambo, S. Pd PNS Penjaskes Aktif

    10 Nining Suherning, S. Si PNS Kimia/Akta IV Aktif

    11 Nurti, S. Pd CPNS Pend. B. Ingg Td Aktif

    12 WD. Ziada Masni, S. Pd PNS Pend. Sejarah Aktif

    13 Matius Hugi, S. Pd PNS Pend. Biologi Aktif

    14 Citra Dewi, S. Si PNS Bio/Akta IV Aktif

    15 Martha M. Yotha, S. Th PNS PAK Aktif

    16 Marthen Rapa, S. Pd CPNS Pend. B. Ingg Aktif

    17 Anita I. Bundah, S. Th CPNS PAK Aktif

    18 B. Palembangan, S.E CPNS Ekon/Ak IV Aktif

    19 S. Kenangalem, S. Pd CPNS Pend. Kimia Aktif

    20 Leonardus Mangago, S.E CPNS Ekon/Ak IV Aktif

    21 B.P. Sihombing, S. Si CPNS Kimia/Ak IV Aktif

    22 Paulin, S. Th CPNS Teologia Aktif

    23 Hermin Sinna, S.E CPNS Ekon/Ak IV Aktif

    24 Syamriani, S. Pd CPNS PPKN Aktif

    25 Budi Silak, S. Pd CPNS Pend. Sejrh Aktif/Nota

    26 Elisabeth Cornelia, S. Pd CPNS Pend. B. Ingg Aktif

    27 Yosep Hasugian, S. MG CPNS Sarj. M. Gereja Aktif

  • Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011

    Data pada Tabel 4.1 - 4.3 menyajikan keadaan

    guru SMAN 1 Dekai yang dimaksudkan untuk mem-

    berikan informasi tentang kuantitas guru dan latar

    belakang pendidikan serta keaktifannya dalam melak-

    sanakan tugas. Pada tahun 2005-2006, jumlah guru

    di SMAN 1 Dekai berjumlah 14 orang guru. Namun

    yang aktif mengajar hanya 5 orang guru, sedangkan

    yang lain kurang aktif (hanya sewaktu-waktu datang

    ke sekolah), bahkan ada yang tidak aktif sama sekali

    dan hanya aktif bekerja di kantor-kantor pemerintah

    daerah. Padahal keaktifan guru dalam mengajar

    sangat dibutuhkan karena dari gurulah siswa

    mendapatkan informasi berupa pengetahuan yang

    banyak tentang materi pelajaran, walaupun guru

    bukan satu-satunya sumber belajar, namun kondisi

    siswa dan sarana belajar yang tidak memungkinkan

    maka ketergantungan siswa pada guru sebagai

    sumber pengetahuan sangat tinggi. Sebagai solusi dari

    ketidakaktifan guru mengajar di sekolah, maka pihak

    sekolah mengatur dengan cara membagi jam mengajar

    kepada guru-guru yang aktif mengajar tapi hasilnya

    sudah tentu tidak maksimal karena guru yang

    mengajar tidak sesuai dengan kompetensinya. Bahkan

    ada guru yang terang-terangan mengakui kekurangan-

    nya di depan siswa terhadap materi yang disajikan.

    28 Muh. Jafar, S. Pd CPNS Pend. Ekonmi Aktif

    29 Ni Nyoman Yuliari, S. Pd CPNS Pend. Tikom Aktif

    30 T.Kurniawati, S.Si., M.Th GTT S1 Kim, S2 Th Aktif

    31 H. Danny Burdam, S.Si GTT Biologi Aktif

  • Lalu pada tahun 2007-2011 jumlah guru di

    SMAN 1 Dekai mengalami peningkatan yang cukup

    banyak dari sisi kuantitas tetapi dari sisi kebutuhan

    berdasarkan mata pelajaran masih kurang karena

    penempatan guru oleh pemerintah daerah tidak

    disesuaikan dengan kebutuhan sekolah per mata

    pelajaran sehingga yang terjadi adalah penumpukan

    guru-guru mata pelajaran tertentu seperti mata

    pelajaran biologi 3 orang guru, pendidikan agama

    Kristen 6 orang guru, dan pendidikan ekonomi 5 orang

    guru, serta pendidikan kimia 3 orang guru. Padahal

    rombongan belajar hanya 5 kelas tapi jumlah tenaga

    pengajar cukup banyak sehingga menimbulkan rasa

    ketidakadilan dalam pembagian tugas mengajar.

    Sedangkan untuk jumlah siswa yang mendaftar

    di SMAN 1 Dekai setiap tahunnya mengalami pening-

    katan yang cukup banyak dibanding pada tahun-

    tahun pertama penerimaan siswa baru (PSB) yang

    hanya berjumlah 7 orang siswa itupun kebanyakan

    telah berkeluarga. Umumnya siswa yang mendaftar

    adalah anak yang berasal dari kampung-kampung di

    pedalaman Kabupaten Yahukimo yang datang ke

    ibukota untuk menempuh pendidikan baik SMP

    maupun SMA. Saat ini SMAN 1 Dekai banyak diminati

    karena pada tahun 2011 ini, sekolah tersebut

    menyelenggarakan pendidikan yang membebaskan

    pungutan seperti iuran SPP, iuran Komite Sekolah,

    iuran OSIS, iuran pramuka bahkan uang foto pun

    untuk kelas XII telah dibebaskan, dengan

    pertimbangan latar belakang ekonomi siswa yang

  • memprihatinkan. Untuk mengetahui peningkatan

    penerimaan siswa baru (PSB) setiap tahunnya akan

    disaji-kan dalam Tabel 4.4 Tabel 4.4

    Data Penerimaan Siswa Baru (PSB) Tahun Pelajaran 2005-2011

    Tahun Pelajaran Pendaftar Diterima Mengundurkan Diri

    2005/2006 7 Orang 7 Orang - 2006/2007 30 Orang 30 Orang - 2007/2008 60 Orang 40 Orang 20 Orang 2008/2009 84 Orang 40 Orang 44 Orang 2009/2010 80 Orang 54 Orang 26 Orang 2010/2011 93 Orang 86 Orang 7 Orang

    Sumber : SMAN 1 Dekai 4 April 2011

    Tabel 4.4 tentang data penerimaan siswa baru

    (PSB) tahun 2005-2011 menyajikan perkembangan

    siswa setiap tahunnya, dari jumlah pendaftar pada

    tahun pelajaran 2007/2008 hingga 2010/2011 ter-

    dapat pendaftar yang mengundurkan diri. Hal ini

    disebabkan pada saat tes masuk calon, siswa tidak

    dapat menunjukkan persyaratan administrasi pada

    saat mendaftar. Selain itu, pada tahun pelajaran

    2007/2008 SMKN Dekai resmi menerima siswa baru,

    sehingga banyak siswa yang mendaftar dua tempat

    yang pada akhirnya memilih untuk sekolah di SMKN

    Dekai.

  • 1.2 Faktor Eksternal Penyebab Kesulitan Belajar (Learning Difficulty) Siswa SMAN 1 Dekai

    1.2.1 Faktor Keluarga 1.2.1.1 Pendidikan Orang Tua. Latar belakang pen-didikan orang tua merupakan salah satu faktor yang

    ikut berperan dalam pendidikan anak, di mana

    kesadaran anak untuk mengenyam pendidikan biasa-

    nya melihat latar belakang pendidikan orang tua.

    Dengan kata lain, pendidikan orang tua dapat menjadi

    motivasi anak untuk belajar lebih giat lagi. Orang tua

    yang memiliki pengalaman atau pendidikan yang

    cukup memadai akan memberi perhatian yang cukup

    pula terhadap pendidikan anaknya. Sehingga, orang

    tua dapat memberikan bimbingan dan arahan kepada

    anaknya untuk menempuh pendidikan sesuai dengan

    kemampuannya serta cita-cita yang diinginkan. Arti-

    nya, cara pandang atau wawasan berpikir akan

    sangat berbeda antara orang tua yang pernah

    mengenyam pendidikan dengan orang tua yang tidak

    pernah sama sekali mengenyam pendidikan. Hal inilah

    yang nampak pada sebagian besar siswa di SMAN 1

    Dekai. Di mana mayoritas orang tua siswa yang

    mengalami learning difficulty berasal dari keluarga

    dengan latar belakang pendidikan yang minim.

    Sehingga motivasi dari orang tua ataupun keluarga

    nyaris tidak ada kecuali keinginan siswa itu sendiri

    untuk bersekolah. Untuk mengetahui lebih jelas

    pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 4.5

  • Tabel 4.5 Profil Pendidikan Orang Tua Siswa

    Pendidikan Jumlah %

    S1 1 0,44

    SPG 6 2,63

    SMA 5 2,19

    SMP 8 3,51

    SD 11 4,82

    Pernah masuk SBH 28 12,28

    Tidak pernah sekolah 169 74,12

    Total 228 100

    Sumber : SMAN 1 Dekai, 4 April 2011

    Sajian Tabel 4.5 diketahui bahwa pendidikan

    orang tua siswa SMAN 1 Dekai masih sangat rendah di

    mana jenjang pendidikan tertinggi yakni sarjana (S1)

    hanya terdapat 1 orang (0,44%), disusul lulusan SPG

    yang menjadi guru SD di pedalaman sebanyak 6 orang

    (2,63%). Lulusan SMA adalah penduduk nonlokal yang

    berprofesi sebagai pedagang dengan jumlah 5 orang

    (2,19%). Sedangkan lulusan SMP sebanyak 8 orang

    (3,51%) yang terdiri dari penduduk “lokal” dan

    “nonlokal”. Penduduk nonlokal berprofesi sebagai

    pedagang. Sedangkan, penduduk lokal yang lain ber-

    profesi sebagai tentara. Kemudian lulusan SD, dan

    pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Buta Huruf

    (SBH) masing-masing 11 & 28 orang dengan

    prosentase (4,82% & 12,28%). Terakhir adalah

    mayoritas orang tua siswa tidak pernah mengenyam

    pendidikan baik formal maupun nonformal yakni

    sebanyak 169 orang (74,12%) angka ini didominasi

  • oleh orang tua siswa lokal tetapi orang tua siswa

    nonlokal juga ada pada angka ini di mana masih ada

    orang tua siswa penduduk nonlokal yang tidak pernah

    sama sekali menempuh pendidikan. Terutama

    penduduk nonlokal yang telah lama mencari kayu

    gaharu di pedalaman Papua. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan

    bahwa orang tua informan tidak pernah mengenyam

    pendidikan formal. Dari 13 informan yang diwawan-

    carai, 11 informan (84,62%) menjawab bahwa orang

    tua tidak pernah mengenyam pendidikan baik formal

    maupun nonformal. Sedangkan 2 informan (15,38%)

    menjawab orang tuanya pernah mengikuti sekolah

    nonformal atau sekolah buta huruf (SBH) yang

    didirikan oleh misionaris dari Belanda. Orientasi

    sekolah buta huruf hanya mengajarkan literasi (baca-

    tulis) agar dapat membaca Alkitab yang menjadi misi

    utama sehingga dapat membantu untuk menyebarkan

    ajaran agama. Karena latar belakang pendidikan orang

    tua rendah maka orientasi pemikiran orang tua

    terhadap anak tidak berorientasi pada pendidikan

    tetapi berorientasi pada profesi turunan yakni petani

    tradisional. Di mana orang tua mengajak anaknya

    untuk mengikuti profesinya sebagai petani. Dengan

    demikian, terlihat jelas bahwa orang tua siswa

    cenderung tidak mendukung anaknya untuk sekolah,

    orang tua menginginkan agar anaknya membantu

    mencari nafkah di kebun atau di hutan ketika ber-

    buru. Seperti yang dikemukakan oleh Agus Yelemaken “orang tua saya itu semasa hidupnya tidak menginginkan saya sekolah, Bapak ingin saya

  • kerja membantu dia di kebun tapi saya berkeras untuk tetap sekolah, akhirnya Bapak mengalah” (Wawancara 15 Juni 2011). Hal yang sama dikemukakan oleh Karmel Murib “waktu mama meninggal, saya diasuh oleh paman dari mama, jadi bapak ingin setelah besar saya harus kembali kepada Bapak dan membantunya untuk berkebun” (Wawancara tanggal 15 Juni 2011).

    Berdasarkan data primer dan data sekunder

    yang diperoleh di lapangan diketahui bahwa orang

    tua siswa yang mengalami kesulitan belajar mayoritas

    berpendidikan rendah. Oleh karena itu, penulis

    berkesimpulan bahwa pendidikan orang tua menjadi

    salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar

    siswa SMAN 1 Dekai. Penulis berpendapat ada

    hubungan antara pendidikan orang tua dengan

    kesulitan belajar anak di mana orang tua tidak

    berperan secara langsung maupun tidak langsung

    dalam proses pendidikan anaknya, seperti membantu

    mengerjakan tugas-tugas, mengarahkan cara belajar

    yang baik dan lain-lain. Hal ini mendukung salah satu

    hasil penelitian Kirk (Tanpa tahun dalam Cece Wijaya

    2010), yang menyatakan bahwa siswa yang lambat

    belajar diakibatkan oleh pendidikan orang tua yang

    rendah.

    1.2.1.2 Relasi Antaranggota Keluarga. Relasi antara anggota keluarga adalah hubungan yang terjalin

    dalam lingkungan keluarga baik keluarga inti maupun

    keluarga non inti. Keluarga inti adalah keluarga yang

    terdiri ayah, ibu dan anak. Sedangkan keluarga non

    inti adalah keluarga atau sanak family yang ada

  • kaitannya dengan keluarga inti seperti kakek, nenek,

    keponakan, sepupu, dan lain-lain. Dalam kehidupan

    keluarga inti sering terjadi masalah yang menyebab-

    kan keluarga tidak harmonis.

    Berdasarkan wawancara di lapangan, relasi

    orang tua dengan anak menunjukkan suatu relasi

    yang tidak terjalin dengan baik. Indikator pertama

    yakni ada hubungan kasih sayang/orang tua pernah

    mengunjungi selama sekolah di Dekai. Dari 13

    informan yang diwawancarai, 8 informan (61,54%)

    menjawab bahwa orang tua tidak pernah sama sekali

    datang ke Dekai sebagaimana keterangan Warnus

    Lokon “Bapak tidak pernah perhatikan kami; Bapak hanya kasih makan anak dan isteri barunya, selama kami di Dekai, Bapak tidak pernah turun lihat keadaan kami, lihat kebutuhan-kebutuhan kami itu tidak pernah, kami usaha sendiri baru bisa sekolah” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Sedangkan 5 informan (38,46%) menjawab orang

    tua pernah datang ke Dekai hanya sekali, itupun tidak

    membawa apa-apa oleh karena bekal seperti makanan

    yang dibawa saat berangkat dari kampung telah habis

    dikonsumsi di perjalanan karena lamanya perjananan

    yang ditempuh. Orang tua siswa biasanya datang ke

    Dekai dengan berjalan kaki dari pedalaman yang

    menempuh perjalanan yang sangat melelahkan

    dengan waktu tempuh mulai sehari hingga sebulan

    untuk sampai ke Dekai, karena kondisi pegunungan

    yang curam sehingga perjalanan harus ditempuh

    melalui lereng-lereng gunung dan hutan rimba serta

    melewati sungai. Selain itu, bila musim hujan sungai

  • sering banjir yang membuat perjalanan semakin

    terhambat karena harus menunggu air sungai surut.

    Belum lagi kalau ada rombongan yang sakit saat

    perjalanan, membuat perjalanan semakin terhambat.

    Tetapi motivasi ke Dekai selain karena ada anaknya

    sekolah di Dekai, orang tua datang karena ada

    kepentingan lain seperti yang dituturkan oleh Penihas

    Malyo “selama saya sekolah disini (3 tahun) Bapak saya baru 1 kali turun ke Dekai, dan tidak membawa apa-apa untuk saya. Itupun bapak datang karena ada kakak yang panggil dengan urusan lain makanya dia turun kesini, kalau kakak tidak panggil mungkin sampai tamat juga bapak tidak akan turun ke Dekai” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).

    Indikator kedua yakni orang tua memberi

    penghargaan/apresiasi hanya terjawab oleh 1

    informan (7,69%) sedangkan 12 informan (93,31%)

    menjawab tidak pernah mendapat apresiasi atau

    penghargaan dari orang tua kepada anaknya. Begitu

    pula dengan indikator ketiga, orang tua memberi

    hukuman yang konstruktif bila melakukan kesalahan

    1 informan (7,69%) menjawab orang tua/keluarga

    sering memberikan hukuman konstruktif bila melaku-

    kan kesalahan. Sedangkan 12 informan (93,31%)

    mengatakan tidak pernah mendapat hukuman dari

    orang tua sekalipun berbuat salah; orang tua terkesan

    membiarkan saja. Bahkan orang tua sering kali

    mendukung/membela anaknya bila bermasalah

    dengan orang lain, tanpa mencari tahu pokok

    permasalahannya.

  • Berdasarkan prosentase jawaban informan

    pada setiap indikator di atas dapat dikatakan bahwa

    siswa yang mengalami kesulitan belajar (learning

    difficulty) adalah siswa yang tidak mendapat

    perhatian dari orang tua, dengan kata lain relasi

    keluarga tidak terjalin dengan baik. Oleh karena itu,

    penulis berkesimpulan relasi orang tua dan anak menjadi salah satu faktor eksternal penyebab

    kesulitan belajar anak. Penulis berpendapat ada

    hubungan antara orang tua dan anak dalam aktivitas

    belajar anak. Anak yang mendapat kasih sayang,

    apresiasi dan sanksi yang konstruktif dapat

    meningkatkan aktivitas belajar anak.

    Hasil wawancara mendalam di lapangan

    diketahui bahwa informan yang tidak mendapat

    perhatian atau tidak mempunyai relasi antara orang

    tua dan anak adalah siswa yang telah berstatus yatim

    dan piatu. Di mana dari 13 informan yang

    diwawancarai, 3 informan (23,08%) menjawab orang

    tuanya masih lengkap, 6 informan (46,15%)

    menjawab salah satu orang tuanya telah meninggal

    dunia dan 4 informan (40,77%) menjawab kedua

    orang tuanya telah tiada.

    1.2.1.3 Faktor Ekonomi Keluarga. Hal klasik yang selalu menjadi kendala kemajuan belajar siswa adalah

    faktor ekonomi orang tua. Faktor ekonomi menjadi

    salah satu faktor yang ikut berperan bagi keberhasilan

    siswa dalam mengembangkan potensinya melalui

    belajar karena sekalipun pemerintah mencanangkan

    pendidikan gratis, tetapi alat-alat pelajaran dan

  • kebutuhan pendidikan lainnya tidak digratiskan. Bagi

    orang tua yang mempunyai tingkat penghasilan yang

    cukup maka alat-alat pelajaran dan sarana belajar

    lainnya tidak menjadi masalah karena orang tua akan

    memenuhi kebutuhan anaknya. Lain halnya dengan

    orang tua dengan ekonomi lemah, Jangankan untuk

    membeli alat-alat pelajaran dan sarana belajar

    lainnya, makan sehari-hari saja masih susah.

    Dari hasil wawancara di lapangan diketahui

    bahwa siswa yang mengalami learning difficulty adalah

    siswa yang berasal dari keluarga ekonomi lemah

    dengan indikator kebutuhan makan terpenuhi

    (3xsehari). Dari 13 informan yang diwawancarai 1

    informan (7,69%) menjawab makan tiga kali sehari

    dengan makanan yang sedikit bervariasi, sedangkan

    12 informan (92,31%) mengatakan hanya makan dua

    kali sehari. Yakni, makan siang dan makan sore

    dengan jenis makanan yang tetap (ubi & pisang).

    Bahkan lebih banyak makan sekali sehari. Itupun

    kalau ada makanan, jika tidak ada makanan maka

    informan akan menahan lapar sambil mencari makan.

    Artinya, makanan tidak selalu tersedia karena pagi

    hari harus ke sekolah. Pola makan harian seperti pagi

    dan sore mempunyai alasan tersendiri karena kalau

    pagi hari siswa masih bisa menahan lapar hingga

    siang hari, dan sore hari dipilih karena malam hari

    tidak ada lampu. Sebagaimana dikatakan Warnus

    Lokon “dalam sehari itu saya makan satu kali saja, kadang bisa tahan lapar kadang juga tidak bisa; makanya di sekolah saya sering mengantuk dan

  • tidak perhatikan pelajaran” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Sabonius Wahla juga mengatakan demikian “saya makan dua kali sehari itu siang dengan sore tapi kalau tidak ada makanan kadang satu kali saja, lalu kalau malam tidak bisa tidur; perut bunyi-bunyi terus” (Wawancara 17 Juni 2011). Hal yang sama dituturkan oleh Silimius Doyela

    yang mengemukakan alasan yang menyebabkan tidak belajar

    “Saya tidak pernah belajar di rumah; kalau pulang sekolah, saya tidak langsung makan tapi harus ke kebun dulu mencari ubi atau pisang setelah itu pulang masak lalu makan” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Indikator kedua yakni kebutuhan sekolah & alat

    pelajaran terpenuhi seperti seragam sekolah, buku

    tulis dan buku penunjang pelajaran. Dari hasil

    wawancara dengan 13 informan diketahui bahwa 2

    informan (15,38%) menjawab seragam sekolah dan

    buku tulis dibelikan oleh keluarga, sedangkan 11

    informan (84,62%) menjawab membeli seragam dengan

    usaha sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Agus

    Yelemaken “pakaian yang saya gunakan ini saya beli sendiri. Waktu itu di kampung kepala desa bikin program jalan padat karya lalu saya ikut kerja bikin jalan padat karya; saya dapat Rp 600.000 lalu saya jalan kaki ke Wamena beli seragam sekolah” (Wawancara 15 Juni 2011). Hal yang sama dikemukakan oleh Yus Itlay

    bahwa sejak kecil sudah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan sekolahnya dengan cara bercocok tanam.

    “waktu SMP saya sudah bikin kebun di Kurima; tanam wortel, kol, hipere setelah panen lalu jalan

  • kaki jual ke Wamena. Jalan kaki sampai terminal sekitar 6 km lalu dapat mobil baru ke pasar Jibama Wamena; hasilnya saya kumpul-kumpul, untuk makan dan biaya sekolah, lainnya tabung untuk biaya masuk SMA disini. Tapi waktu turun tiket mahal, jadi uang 1,5 juta habis untuk tiket. Untungnya saya bawa pinang lalu saya jual. Hasilnya dapat Rp 300.000 uang itu saya beli seragam terus pakai daftar lagi” (Wawancara 23 Juni 2011). Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa

    tak seorang pun informan yang memiliki buku-buku

    penunjang pelajaran selain buku tulis. Bahkan

    Sabonius Wahla mengungkapkan bukunya tidak

    cukup untuk mencatat mata pelajaran yang ada

    sedangkan sepatu biasa pinjam dari teman-teman. “buku catatan saya itu tidak sesuai dengan jumlah mata pelajaran, jadi biasa bagi dua; satu buku dibagi untuk dua mata pelajaran; caranya bagian tengah jadi pembatas antara pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain. Sedangkan sepatu itu saya pinjam dari teman-teman; teman-teman lihat saya tidak pakai sepatu baru teman-teman kasih” (Wawancara 17 Juni 2011). Indikator terakhir adalah tersedianya sarana

    penunjang belajar seperti lampu, meja, dan kursi. Dari

    hasil wawancara dengan 13 informan diperoleh

    informasi bahwa 2 informan (15,38%) menjawab mem-

    punyai sarana belajar yaitu lampu listrik dan meja-

    kursi. Sedangkan 11 informan (84,62%) menjawab

    tidak mempunyai sarana belajar seperti lampu, meja-

    kursi. Seperti yang dikemukakan oleh Yanes Salyabo “Kami tidak ada lampu jadi susah juga untuk belajar; kalau malam kita hanya duduk-duduk saja, bicara begini tapi tidak baku lihat karena gelap, kalau sudah mengantuk tinggal alas karton

  • atau tikar baru tidur”. (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Ditambahkan pula oleh Efraim Bitibalyo “Kalau di rumah jarang sekali kami belajar malam karena tidak ada lampu; biasa kalau ada uang sedikit kami beli lilin, tapi kalau tidak ada kami cerita-cerita setelah itu kami tidur”. (Wawancara tanggal 16 Juni 2011).

    Hal lain yang menjadi keprihatinan penulis

    adalah sarana untuk tidur yang tidak memadai,

    bagaimanapun seorang manusia membutuhkan

    tempat istrahat yang layak. Sabonius mengatakan

    bahwa tempat tidur sangat jauh dari layak “kami di sini tidak punya tempat khusus untuk

    tidur (ranjang) tapi langsung pakai lantai rumah.

    Jadi, kalau tidur tidak pakai kasur atau tikar tapi

    pakai papan saja (lantai rumah) lalu alas kepala

    dengan kain yang dibuat bentuk bantal; kalau ada

    sarung biasa bungkus badan tapi kalau tidak ada,

    biarkan saja” Sabonius melanjutkan “kalau mandi

    biasa tidak pakai sabun; kalau ada teman yang

    beli sabun mandi baru saya minta, tapi kalau

    tidak ada saya pakai tangan saja, gosok-gosok

    badan lalu siram dengan air setelah itu saya lap

    badan dengan baju saya; tidak ada handuk; sama

    juga kalau mau mencuci pakaian biasa rendam,

    lalu pukul-pukul di air setelah itu jemur; tidak

    pakai sabun” (Wawancara 17 Juni 2011).

    Berdasarkan uraian tentang kondisi ekonomi

    keluarga dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi

    keluarga informan tergolong ekonomi lemah. Dengan

    melihat fakta di lapangan dan hasil wawancara, maka

    penulis berkesimpulan bahwa ekonomi keluarga

  • menjadi faktor eksternal penyebab kesulitan belajar

    siswa SMAN 1 Dekai. Penulis berpendapat bahwa ada

    hubungan antara kondisi ekonomi keluarga dengan

    kesulitan belajar siswa di mana siswa tidak dapat

    memenuhi kebutuhan primer dan kebutuhan

    sekundernya. Hal ini memperkuat penelitian Kirk

    (Tanpa tahun dalam Cece Wijaya 2010) yang menemu-

    kan bahwa terdapat lima kali lebih banyak siswa yang

    lambat belajar yang berasal dari keluarga ekonomi

    lemah dibandingkan dengan siswa lambat belajar yang

    berasal dari keluarga ekonomi mapan. Bahkan Kirk

    menyatakan bahwa siswa yang berasal dari ekonomi

    lemah berkecenderungan banyak melakukan perilaku

    menyimpang.

    Penulis memberi kesan khusus dimana para

    siswa dari pedalaman umumnya dan informan

    khususnya sekalipun ada banyak kekurangan atau

    keterbatasan tapi para informan tersebut tidak

    menyerah begitu saja. Para informan tetap bercita-cita

    melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih

    tinggi sekalipun dengan segala keterbatasan. Bahkan

    ada informan yang bercita-cita melanjutkan ke

    Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN)

    agar bisa menjadi camat dan dapat melayani

    masyarakat di pedalaman. Ada pula yang bercita-cita

    untuk menjadi dokter agar dapat mengobati warga

    pedalaman yang sakit. Para siswa sadar bahwa hanya

    melalui pendidikan bisa mengangkat taraf hidup/

    harkat dan martabat keluarga.

  • Pada umumnya orang tua siswa berprofesi

    sebagai petani. Profesi ini dijalani secara turun

    temurun yaitu bercocok tanam dengan cara ber-

    pindah-pindah (nomaden). Cara nomaden ini dilaku-

    kan dengan membuka lahan baru untuk pertanian,

    setelah itu akan pindah ke tempat lain dan seterus-

    nya. Lalu beberapa tahun kemudian masyarakat akan

    kembali membuka lahan pertama yang telah ditinggal-

    kan sebelumnya. Hal ini dimaksudkan sebagai salah

    satu cara untuk menjaga kesuburan tanah.

    Berdasarkan data sekunder yang diperoleh di

    lapangan diketahui bahwa profesi orang tua siswa

    bervariasi seperti petani, pedagang/swasta, PNS/TNI

    dan pendeta dengan prosentasi yang beragam. Profesi

    petani menduduki posisi paling dominan dalam profesi

    orang tua siswa yakni mencapai 196 orang (85,96%),

    disusul profesi pedagang/swasta 18 orang (7,89%),

    profesi PNS/TNI 13 orang (5,70%), dan pendeta 1

    orang (0,44%. Dengan melihat penghasilan orang tua

    siswa yang tidak tetap maka dapat dikatakan bahwa

    ekonomi orang tua tergolong ekonomi lemah. Sebagai

    gambaran bahwa profesi petani untuk luar Papua

    adalah salah satu profesi yang menghasilkan uang

    dengan aktivitas umumnya di kebun/sawah sehingga

    tidak jarang ditemukan petani sukses. Petani dalam

    konteks di pedalaman adalah profesi yang tidak

    menghasilkan uang di mana hasil pertanian tidak

    dapat dijual karena letak geografis yang cukup sulit

    sehingga tidak memungkinkan untuk dibawah ke

    kota, sedangkan di pedalaman belum ada pasar.

  • Sehingga petani memanfaatkan hasil pertanian hanya

    untuk dikonsumsi setiap hari itupun kadang tidak

    cukup kondisi seperti ini kemudian disiasati dengan

    makan dua kali sehari yaitu siang & sore. Profesi

    pedagang/swasta digeluti oleh penduduk “nonlokal”

    yang datang dari berbagai daerah di luar Papua

    dengan menjual aneka macam barang yang diimpor

    dari Timika dan Jayapura melalui pesawat udara dan

    kapal kecil melalui aliran sungai. Itupun tidak berjalan

    mulus karena banyaknya pungutan liar di perjalanan

    sehingga harga barang semakin mahal. Sedangkan

    profesi PNS/TNI merupakan profesi orang tua siswa

    baik penduduk lokal maupun nonlokal yang bertugas

    di Kabupaten Yahukimo. Penghasilan PNS/TNI/Polri

    masih di bawah standar dengan berpatokan pada

    harga kebutuhan pokok yang berlaku di Dekai.

    Walaupun ada anggapan dari luar Papua bahwa gaji

    pegawai lebih tinggi tapi sebenarnya tidak demikian.

    dan terakhir adalah pendeta dengan prosentasi yang

    sangat kecil. Untuk lebih jelasnya mengenai profesi

    orang tua siswa, akan disajikan dalam Tabel 4.6

    Tabel 4.6 Profesi Orang Tua Siswa

    Profesi Jumlah orang siswa %

    Petani 196 85,96

    Swasta/pedagang 18 7,89

    PNS/TNI 13 5,70

    Pendeta 1 0,44

    TOTAL 228 100

    Sumber : SMAN 1 Dekai, 4 April 2011

  • Menurut pengamatan penulis, petani di

    pinggiran kota dengan petani di luar kota (di

    pedalaman) dari sisi aktivitas dan jenis komoditi yang

    ditanam tidak jauh berbeda tapi dari sisi pendapatan

    yang membedakan. Petani di pinggiran kota sedikit

    ada pendapatan karena hasil pertaniannya dapat

    dijual setelah panen meskipun harus berjalan kaki

    dalam waktu 2-3 jam, lain halnya dengan petani di

    luar kota. Hasil pertanian hanya cukup untuk

    dikonsumsi sehingga tidak ada penghasilan yang

    tetap. Seperti yang dituturkan oleh Sabonius Wahla

    “bapak saya menanam pisang, keladi, ubi,

    singkong, tebu, nanas, buah merah tapi hasilnya

    hanya untuk makan saja. Bapak tidak menjual

    hasil kebun karena pasar tidak ada, kalau mau ke

    kota harus berjalan kaki 2 hari 1 malam baru

    sampai di kota”. (Wawancara tanggal 17 Juni

    2011).

    Dengan demikian dapat diketahui bahwa para

    orang tua di pedalaman (kampung) telah berusaha

    untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya

    dengan cara bercocok tanam, beternak babi/ayam.

    Namun, karena pembangunan jalan darat yang belum

    sampai ke kampung-kampung maka para petani

    kesulitan untuk menjual hasil pertanian serta hasil

    peternakannya.

    Tidak berkembangnya sektor perekonomian di

    pedalaman (kampung) juga berimbas pada sektor

    pendidikan yang mana orang tua tidak mempunyai

    penghasilan tetap sehingga belum mampu membiayai

  • kebutuhan ekonomi keluarga dan juga kebutuhan

    pendidikan anaknya, sehingga ketika anaknya

    menempuh pendidikan di kota, anak tersebut tidak

    fokus untuk belajar sebagaimana idealnya seorang

    siswa tapi pikiran masih terkonsentrasi untuk bekerja

    keras guna memenuhi kebutuhan primernya (pangan,

    sandang, papan) serta kebutuhan sekunder (sekolah).

    Seperti yang dikemukakan oleh Efraim Bitibalyo

    “saya disini bikin sendiri rumah lalu kami tinggal sama-sama dengan adik-adik yang datang dari kampung; waktu mau bikin rumah ini, saya kerja sawah di Moruku, terus dapat uang Rp 1, 7 juta. Lalu uang ini saya titip sama teman untuk belikan atap seng di Timika. Jadi rumah yang saya tempati bersama adik-adik dari kampung itu saya bikin rumah sendiri” (Wawancara tanggal 16 Juni 2011).

    Walaupun tidak ada aturan yang melarang

    bahwa anak sekolah tidak boleh bekerja. Namun, jika

    dilihat dari sisi hak maupun kewajiban seorang siswa,

    maka seyogyanya seorang siswa mempunyai hak

    untuk mendapatkan waktu yang cukup banyak untuk

    belajar guna mengembangkan potensinya tanpa

    dibayang-bayangi oleh beban ekonomi. Dari sisi

    kewajiban anak sekolah berkewajiban untuk menaati

    tata tertib sekolah dan belajar dengan baik; materi

    yang diberikan guru dipelajari kembali di rumah.

    Sebab sepintar apapun manusia jika tidak pernah

    belajar atau mengulang kembali pelajaran di rumah,

    maka kepintarannya tidak akan bertahan lama karena

    sifat otak manusia adalah merekam dan menampung

    segala sesuatu yang dialami oleh panca indera ke

  • dalam memori dan bila tidak diasah lagi maka secara

    perlahan-lahan rekaman tersebut akan menghilang.

    1.2.1.4 Latar Belakang Pendidikan Siswa. Faktor ini dalam beberapa literatur belum dianggap sebagai

    faktor yang turut mempengaruhi kemampuan belajar

    siswa pada semua tingkatan, namun penulis

    menganggap faktor ini sebagai salah satu faktor yang

    turut mempengaruhi kemampuan siswa khususnya

    pada sekolah menengah. Anggapan penulis ini didasari

    oleh aliran Gestalt tentang sifat-sifat belajar yang

    diantaranya, Insight tergantung dari kemampuan

    dasar dan Insight tergantung dari pengalaman masa

    lampau yang relevan. Jadi anak SD yang mempunyai

    latar belakang pendidikan di TK akan mudah dalam

    bersosialisasi dengan lingkungannya. Begitupun

    dengan siswa SMP, jika siswa tersebut mempunyai

    latar belakang pendidikan yang benar selama di SD,

    maka siswa tersebut akan cepat dalam merespon

    materi pelajaran dan seterusnya.

    Dari hasil wawancara di lapangan dengan 13

    informan, 2 informan (15,38%) menjawab mengikuti

    pendidikan sesuai tingkatan kelas. 11 informan

    (84,62%) mengatakan bahwa tidak mengikuti kenaikan

    kelas sesuai dengan jenjang kelas tapi sering lompat

    kelas. Seperti yang dikatakan oleh Sabonius Wahla “saya tidak mengikuti jenjang kenaikan kelas sesuai dengan tingkatan kelas, tapi sering lompat kelas. saya masuk kelas 2, naik ke kelas 3, langsung lompat kelas 5, kelas 6 baru ikut ujian” (Wawancara tanggal 17 Juni 2011).

  • Hal yang sama juga dikemukakan oleh Agus

    Yelemaken “pak guru lihat badan saya besar, jadi pak guru

    suruh saya masuk langsung kelas 2 terus naik ke kelas 3, lompat ke kelas 5 dan ikut ujian di kelas 6” (Wawancara, tanggal 15 Juni 2011).

    Untuk lebih jelasnya mengenai riwayat ke-

    naikan kelas di SD, disajikan dalam Tabel 4.7 Tabel 4.7

    Riwayat Kenaikan Kelas di SD

    No Nama Informan Riwayat Kenaikan Kelas & Ujian

    Kelas yang dilewati

    1 X1 1-2-3-4-5 ujian 6 2 X2 1-2-3-6 ujian 4,5 4 X3 1-2-3 ujian 4,5,6 6 X4 1-2-3-4-5-6 ujian - 7 X5 4-5-6 ujian 1,2,3 8 X6 1-2-3-4-5-6 ujian - 9 X7 1-2-3 ujian 4,5,6 10 X8 1-3-5- ujian 2,4,6 11 X9 2-3-4-5 ujian 1,6 12 X10 2-3-5-6 ujian 1,4 13 X11 4-5-6 ujian 1,2,3 14 X12 1-3-5-6ujian 2,4 15 X13 2-3-4-5ujian 1,6 Sumber : wawancara dari para informan, Maret-Juni 2011

    Dari data pada Tabel 4.7 tentang riwayat

    kenaikan kelas di SD dapat diketahui bahwa siswa

    tidak mengikuti jenjang kelas sesuai dengan tingkatan

    dan kompetensi yang menjadi syarat untuk naik kelas.

    Ketika penulis menanyakan alasan guru menaikan

    kelas tanpa mengikuti prosedur, para informan men-

    jelaskan bahwa umumnya informan sekolah di SD

    Paralel (kelas jauh), sehingga guru yang mengajar

  • adalah guru sukarela, sedangkan guru pegawai negeri

    (PNS) mengajar di SD induk, kalaupun ada guru

    pegawai negeri (PNS) yang bertugas di SD Paralel, guru

    tersebut tidak aktif melaksanakan tugas, dan hanya

    datang saat ujian semester atau ujian sekolah/Ujian

    Nasional. Adapun kualifikasi pendidikan guru suka-

    rela adalah guru yang tidak tamat sekolah buta huruf,

    tamat SD, SMP dan SMA. Guru-guru inilah yang

    bertugas melaksanakan tugas disaat guru PNS tidak

    melaksanakan tugas. Kernius Giban menjelaskan

    bahwa guru PNS tidak aktif mengajar, lebih banyak

    tinggal di kota. Sehingga guru sukarela yang mengajar

    di sekolah. “guru-guru PNS sebenarnya tidak aktif mengajar, karena guru-guru tersebut lebih banyak tinggal di kota dari pada di tempat tugas; tapi ada 1 orang guru yang aktif di sekolah saya. Dulu dia sekolah buta huruf lalu menjadi guru sekolah buta huruf lagi yang ditugaskan oleh Misionaris, dan sekarang masih bertugas karena tidak ada guru” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011).

    Sama halnya dengan yang dikatakan oleh

    Karmel Murib “kalau di tempat saya guru-guru tidak aktif, cuma satu orang saja yang aktif. Jadi guru ini merangkap/mengajar dari kelas 1-6 caranya guru membagi dua kelas; kelas 1-3 dia gabung menjadi satu kelas, 4-6 digabung juga menjadi satu kelas.jadi guru mengajar itu satu hari satu mata pelajaran saja” (Wawancara 15 Juni 2011). Dari penuturan Kernius Giban dan Karmel

    Murib di atas dapat diketahui bahwa proses belajar

    mengajar di pedalaman (kampung) tidak berjalan

    sebagaimana mestinya. Guru sukarela yang hanya

  • tahu baca tulis ataupun tamatan SD atau SMA

    sekalipun belum bisa menjamin bahwa proses belajar

    mengajar akan berhasil dengan baik. Bahkan guru

    alumni PGSD sekalipun juga belum bisa menjamin

    keberhasilan kegiatan belajar mengajar, manakala

    guru yang bersangkutan tidak aktif melaksanakan

    tugas.

    Sesuai data primer dan data sekunder yang

    diperoleh di lapangan, penulis berkesimpulan bahwa

    faktor latar belakang pendidikan siswa menjadi salah

    satu faktor eksternal penyebab utama dari kesulitan

    belajar yang dialami oleh siswa di SMAN 1 Dekai, di

    mana pada pendidikan sebelumnya seorang siswa

    tidak memperoleh pendidikan yang cukup memadai.

    Sehingga kompetensi dasar yang diharapkan tidak

    tercapai/tuntas yang berdampak pada sulitnya siswa

    untuk memahami materi pelajaran. Hal ini sejalan

    dengan penelitian Muridan S. Widjojo, dkk. (2009),

    yang menemukan bahwa pendidikan dasar di Papua

    masih menjadi kendala utama dalam peningkatan

    mutu pendidikan. Muridan menemukan bahwa proses

    belajar mengajar khususnya SD yang berada di

    kampung-kampung tidak berjalan dengan baik. Guru

    lebih banyak tinggal di kota dan sesekali datang jika

    ada Ujian Nasional (UN).

    Bahkan Muridan merekomendasikan bahwa

    prioritas utama pembenahan pendidikan di Papua

    harus dimulai dari pendidikan dasar. Karena,

    merupakan dasar untuk melanjutkan ke jenjang

    berikutnya, maka proses belajar mengajar harus ber-

  • jalan dengan baik sehingga dalam proses kenaikan

    kelas dan ujian nasional harus dilakukan secara benar

    agar tidak menjadi beban selanjutnya pada kelas

    berikutnya ataupun sekolah berikutnya. 1.2.1.5 Kondisi Tempat Tinggal. Lingkungan yang nyaman dapat mendorong siswa untuk belajar dengan

    baik agar tercapai hasil belajar yang maksimal.

    Sebaliknya, lingkungan yang tidak memberi ke-

    nyamanan dapat membuat orang jenuh untuk

    berlama-lama tinggal di dalam rumah. Hal ini dapat

    disebabkan oleh kondisi rumah yang sempit tapi

    dihuni oleh banyak orang, hingga menyebabkan

    suasana rumah menjadi panas dan ribut/gaduh. Hal

    inilah yang terjadi pada siswa dari pedalaman

    (kampung/gunung) yang hidup secara mandiri.

    Siswa yang berasal dari pedalaman (kampung)

    datang ke kota baik secara individu maupun kelompok

    dan membentuk suatu komunitas tersendiri sesuai

    daerah asal masing-masing, di mana suku Kimyal

    misalnya akan berkumpul dan membangun suatu

    perkampungan atau semacam kompleks yang khusus

    untuk orang-orang dari suku Kimyal. Begitupun

    dengan suku-suku yang lain dengan demikian ling-

    kungan menjadi ramai. Lingkungan yang ramai dapat

    mengganggu aktivitas belajar anak/siswa yang tinggal

    ditempat tersebut. Seperti yang dituturkan oleh

    Silimius Doyela

    “Di rumah kami tinggal bersama dengan teman-teman 15 orang dari satu kampung; mereka anak sekolah juga, ada siswa SMP, SMA dan siswa SMK.

  • Padahal rumah kami kecil. Pada hari-hari tertentu biasa berkumpul sampai 50 orang, mereka datang untuk sekedar main-main atau jika ada masalah pasti mereka datang” (Wawancara tanggal 21 Juni 2011). Dari penuturan Silimius dapat diperoleh

    gambaran bahwa betapa sulitnya untuk ber-

    konsentrasi belajar dalam satu rumah yang dihuni 15-

    50 orang, selain ribut akan sulit pula mengatur

    tempat/ruangan khusus untuk belajar. Hal yang sama

    juga dituturkan oleh Sabonius Wahla “Kalau habis makan sore/malam kami kunci pintu untuk belajar, tapi belum sempat belajar masyarakat sudah datang kami terpaksa buka pintu, lalu masyarakat mengajak cerita, konsentrasi belajar menjadi hilang”. (Wawancara tanggal 17 Juni 2011). Selain penghuni rumah yang banyak, kondisi

    rumah yang sempit membuat suasana rumah menjadi

    panas sehingga penghuninya sendiri tidak nyaman

    untuk berlama-lama di dalam rumah. Begitu pula

    dengan siswa yang menumpang di rumah keluarga

    siswa akan berbaur dengan anggota keluarga itu

    sendiri dan anggota keluarga lain yang kebetulan

    datang ke kota Dekai. Begitupun siswa yang hidup

    mandiri akan menjadi tempat berkumpul bagi teman-

    teman siswa yang kebetulan sekampung. Mengingat

    budaya hidup di daerah ini adalah budaya hidup

    secara berkoloni. Sehingga orang yang telah lebih

    dahulu bermukim atau tinggal di wilayah tersebut

    mempunyai kewajiban untuk menampung bagi

    keluarga, teman, atau orang lain yang sekampung.

  • Jika menolak, maka orang tersebut akan dicela atau

    dicerita negatif pada orang lain.

    Berdasarkan hasil wawancara di lapangan

    diketahui bahwa dari 13 informan yang diwawancarai

    3 informan (23,08%) menjawab hidup menumpang di

    salah satu rumah keluarganya. Sedangkan 10

    informan (76,92%) menjawab hidup secara mandiri

    yaitu dengan cara membuat sendiri gubuk dan

    ditinggali secara bersama-sama. Namun hasil peng-

    amatan penulis, kondisi tempat tinggal baik yang

    tinggal secara mandiri maupun yang menumpang di

    rumah keluarga mempunyai kesamaan yakni sama-

    sama ramai. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa kondisi tempat tinggal turut menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar (learning

    difficulty) siswa SMAN 1 Dekai. Di mana ada

    hubungan antara kondisi atau lingkungan tempat

    tinggal yang tenang, aman, bersih akan membuat

    siswa nyaman untuk belajar. Sebaliknya, lingkungan

    yang sering ribut/gaduh, kumuh akan menyebabkan

    siswa sulit berkonsentrasi dalam belajar. Slameto

    (2010) menyatakan bahwa lingkungan atau suasana

    rumah yang ramai, gaduh/ribut dan semrawut akan

    membuat siswa malas tinggal di rumah apalagi

    belajar.

    1.2.1.6 Pola Hidup. Pola hidup yang kuat dan telah mengakar secara turun temurun akan mengalami

    kesulitan jika ada pola baru yang ingin diterapkan

    pada masyarakat tersebut. Pola hidup berkaitan

    dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung

  • lama dalam suatu kelompok masyarakat dan tetap

    mempertahankan hingga saat ini. Bagi masyarakat

    yang masih mempertahankan kebiasaan-kebiasaan

    tersebut akan tetap nyaman sekalipun pada masyara-

    kat modern menganggapnya sebagai sesuatu yang

    ganjil. Dalam struktur kebudayaan suku-suku di

    pegunungan tengah umumnya dan Yahukimo khusus-

    nya secara singkat dapat dijelaskan bahwa masya-

    rakat tinggal secara berkelompok di Honai yang terdiri

    dari Honai laki-laki yang khusus dihuni oleh kaum

    laki-laki dan Honai perempuan yang dihuni oleh kaum

    perempuan. Adapun hubungan suami isteri yang telah

    berkeluarga tidak dilakukan di dalam Honai tersebut

    tapi di lakukan di luar Honai (tempat khusus). Ketika

    anak lahir, jika ia seorang perempuan maka ia akan

    diasuh oleh ibunya hingga dewasa dengan bahasa ibu

    sebagai bahasa sehari-hari. Sedangkan jika yang lahir

    adalah laki-laki maka anak tersebut akan tinggal

    bersama ibunya dalam honai perempuan hingga anak

    tersebut “lepas susu”. Setelah “lepas susu” anak

    tersebut akan bergabung ke dalam Honai laki-laki dan

    mulai diajarkan cara mempertahankan hidup seperti

    cara membuat panah, kapak batu, berburu, berkebun

    termasuk strategi berperang pun diajarkan. Bahkan

    jika terjadi perang suku anak sering dijadikan sebagai

    mata-mata atau umpan dengan asumsi bahwa pihak

    musuh tidak akan berani membunuh anak kecil, jika

    ada yang terpaksa membunuh maka pihak lawan

    disebut sebagai “perempuan” atau pihak yang lemah.

  • Uraian di atas bermaksud menegaskan bahwa

    pendidikan yang diperoleh anak dalam keluarga

    dengan perantara bahasa ibu. Pendidikan tradisional

    yang dimaksudkan untuk mempertahankan hidup.

    Sedangkan pendidikan modern tidak didapatkan

    dalam keluarga seperti pola hidup bersih, tata krama

    berlaku, etika berbicara ataupun membaca, menulis

    dan berhitung.

    Hal yang nampak pada masyarakat ini, yakni

    sekalipun tinggal di Honai yang sempit, berdinding

    kulit kayu, beratap alang-alang dan beralaskan tanah,

    namun kelompok masyarakat ini tidak mau dikatakan

    sebagai orang miskin. Walaupun kekurangan bahan

    makanan tetap saja tidak mau dianggap orang miskin.

    Jika gagal panen masyarakat ini akan masuk hutan

    mencari makanan seperti kelapa hutan, daun ganemo,

    buah merah, kuskus dan umbi-umbian. Masyarakat

    ini percaya bahwa Tuhan telah menyiapkan makanan

    di hutan sehingga tidak perlu kerja keras untuk

    mendapatkan makanan. Dengan demikian, motivasi

    yang dimiliki masyarakat ini adalah motivasi untuk

    mempertahankan hidup, bukan motivasi menge-

    mbangkan hidup. Kelompok masyarakat ini ber-

    pandangan bahwa orang miskin adalah orang yang

    selalu meminta-minta (pengemis) atau pengamen di

    jalanan.

    Berdasarkan pengamatan di lapangan penulis

    berkesimpulan bahwa pola hidup siswa menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa

    di SMAN 1 Dekai. Ada hubungan antara pola hidup

  • dengan motivasi belajar siswa. Pola hidup siswa yang

    terbuka dan semangat tingggi akan berdampak baik

    pada aktivitas belajarnya. Sebaliknya, pola hidup

    santai dan tertutup akan menghambat dalam melaku-

    kan aktivitas kehidupan termasuk aktivitas belajar

    sehingga hasil belajar juga rendah. Motivasi berusaha

    atau motivasi belajar yang rendah, maka hasilnya pun

    akan rendah. Dalam pengamatan penulis siswa tidak

    memiliki motivasi berprestasi yang tinggi sehingga

    aktivitasnya pun dilakukan secara santai tanpa beban

    apapun.

    1.2.2 Faktor Sekolah 1.2.2.1 Metode pembelajaran. Sebagaimana telah disebutkan pada bab pendahuluan bahwa peran guru

    dan siswa merupakan faktor yang sangat menentukan

    dalam proses pembelajaran di sekolah. Hakikat

    pendidikan sebenarnya adalah menciptakan manusia

    yang “cerdas di otak” dan “cerdas di hati”. Hal ini

    sejalan dengan Driyarkara (dalam Hasbullah 2009)

    yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses

    pemanusiaan manusia, dimana siswa diberikan

    kesempatan untuk mengembangkan potensinya

    dengan caranya sendiri sedangkan guru hanya mem-

    fasilitasi segala kebutuhan belajar siswa. Oleh karena

    itu, guru sebagai salah satu pelaku pendidikan

    khususnya dalam proses belajar mengajar maka

    seyogyanya guru menguasai metode pembelajaran baik

    yang konvensional maupun variasinya agar guru dapat

    memfasilitasi kebutuhan siswa. Metode pembelajaran

  • guru mempunyai pengaruh besar atas keberhasilan

    proses pembelajaran di kelas.

    Pembelajaran guru di kelas merupakan rang-

    kaian tugas guru dalam upaya mendorong dan

    mengembangkan potensi siswa untuk mencapai hasil

    belajar yang maksimal. Untuk mencapai hasil pem-

    belajaran yang maksimal tersebut, maka salah satu

    hal yang perlu dikuasai oleh guru adalah metode

    pembelajaran. Metode pembelajaran yang tepat adalah

    metode yang sesuai dengan materi pelajaran dan juga

    disesuaikan dengan kondisi siswa baik kompetensinya

    maupun suasana belajar. Siswa yang mengantuk

    misalnya tidak tepat diberikan materi pelajaran

    dengan metode ceramah tapi model lain seperti role

    playing untuk mengaktifkan siswa. Jadi seorang guru

    dituntut untuk menguasai variasi metode pem-

    belajaran agar pembelajaran dapat berjalan secara

    maksimal. Metode pembelajaran guru dipandang

    sebagai salah satu faktor yang sangat menentukan

    keberhasilan siswa dalam belajar. Penguasaan metode

    yang cukup memadai akan membawa perubahan pada

    capaian hasil belajar siswa. Seorang guru dituntut

    untuk memberikan layanan belajar yang maksimal

    lewat metode yang tepat untuk mencapai tujuan

    pembelajaran.

    Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa

    pendekatan pembelajaran guru di SMAN 1 Dekai

    masih dominan menggunakan “teacher centered

    approach” atau pendekatan pembelajaran yang ber-

    basis pada guru dengan metode ceramah, dan tanya

  • jawab dalam proses belajar mengajar. Para guru

    beralasan, bahwa penggunaan metode tersebut lebih

    disebabkan oleh kompetensi siswa yang masih kurang.

    Sehingga apabila guru menerapkan metode resource-

    based learning misalnya ada kecenderungan proses

    pembelajaran tidak akan efektif dan efisien.

    Sebagaimana yang dikatakan oleh beberapa guru di

    SMAN 1 Dekai, Leonardus Mangago misalnya

    menuturkan “Siswa sangat lambat dalam menerima materi

    pelajaran; jika kita menggunakan diskusi

    kelompok maka hanya beberapa orang saja yang

    aktif; siswa lainnya tidak memperhatikan karena

    lebih banyak siswa yang bermain daripada belajar

    bahkan keluar masuk saat kegiatan belajar di

    kelas, jadi hal yang sering kami lakukan adalah

    mencatat dulu materi kemudian menerangkan”.

    (Wawancara, tanggal 14 Maret 2011).

    Dari keterangan guru tersebut, dan juga hasil

    pengamatan di lapangan diketahui bahwa memang

    proses pembelajaran di SMAN 1 Dekai masih meng-

    gunakan pendekatan yang berpusat pada guru

    “teacher centered approach” yang sebenarnya sudah

    tidak boleh digunakan di zaman sekarang ini karena

    guru bukan satu-satunya sumber pengetahuan.

    Seharusnya siswa yang aktif mencari sumber-sumber

    pengetahuan melalui buku-buku pelajaran, ling-

    kungan, tokoh, media masa ataupun sesama teman.

    Namun, karena kondisi siswa yang tidak memungkin-

    kan maka guru menggunakan pendekatan tersebut.

    Guru masih dianggap sebagai pusat pengetahuan

  • sehingga apapun yang dikatakan guru, maka itu pula

    yang dianggap benar. Dengan demikian, kemampuan

    siswa berpikir kritis tidak berkembang sehingga proses

    belajar mengajar menjadi pasif atau monoton.

    Sesuain hasil pengamatan penulis, selain

    kondisi siswa yang tidak memiliki kemampuan dasar,

    kompetensi guru dalam mengajar juga masih kurang.

    Sebagai mana telah disajikan pada Tabel 4.3, dimana

    jumlah guru yang tidak sesuai kebutuhan sekolah

    yakni adanya kelebihan guru pada mata pelajaran

    tertentu dan sebaliknya terjadi kekurangan guru pada

    mata pelajaran lain. Sehingga kebijakan sekolah

    adalah memanfaatkan kelebihan guru tersebut untuk

    mengajar pada mata pelajaran lain yang tidak sesuai

    dengan kompetensinya. Hasilnya sudah dapat dipasti-

    kan selain penerapan metode pembelajaran yang tidak

    sesuai dengan materi pelajaran yang disajikan juga

    penguasaan materi yang tidak maksimal.

    Berdasarkan data primer dan data sekunder

    yang dikumpulkan, maka penulis berkesimpulan faktor metode pembelajaran menjadi salah faktor

    eksternal penyebab kesulitan belajar siswa SMAN 1

    Dekai. Ada hubungan antara metode pembelajaran

    dengan prestasi belajar siswa. Penggunaan metode

    pembelajaran yang tepat dengan materi yang disajikan

    akan menumbuhkan semangat belajar siswa dan

    tingkat pemahaman akan semakin bertambah.

    Sebaliknya, penggunaan metode pembelajaran yang

    tidak sesuai dengan materi yang disajikan akan

  • melemahkan semangat belajar siswa sehingga

    mempengaruhi hasil belajar yang tidak maksimal.

    1.2.2.2 Kurikulum. Kurikulum menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam proses pendidikan di sekolah.

    kurikulum umumnya mengatur semua aspek yang

    berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan seperti visi,

    misi dan tujuan. Selain itu, kurikulum juga mengatur

    rambu-rambu pembelajaran agar KBM tetap berjalan

    di atas rel yang telah ditetapkan dalam kurikulum.

    Materi pelajaran diberikan sesuai dengan tahapan usia

    siswa agar materi tersebut tidak memberatkan siswa.

    Seiring dengan keluarnya Permendiknas Nomor

    22 & 23 Tahun 2006 tentang Standar Isi dan Standar

    Kompetensi, maka semua sekolah di seluruh NKRI

    diberi kewenangan untuk menyusun kurikulum sesuai

    dengan kondisi sekolah masing-masing tetapi yang

    terjadi bukan pada masalah kurikulumnya tapi ada

    pada Ujian Nasional (UN). Pemerintah pusat masih

    terus memaksakan pelaksanaan UN yang berorientasi

    bisnis dan melahirkan manusia-manusia yang tidak

    jujur baik guru maupun siswa dan juga instansi

    terkait. Materi pelajaran yang diajarkan di sekolah

    atas dasar Permendiknas tersebut tidak lagi menjadi

    acuan dalam menentukan kelulusan siswa melalui

    sekolah. Walaupun sekolah di pedalaman Papua

    mengalami serba kekurangan seperti kualitas tenaga

    pendidik, fasilitas belajar, tapi pemerintah pusat tetap

    melaksanakan UN dan menerapkan standar kelulusan

    yang sama. Padahal, infrastruktur pendidikan di Jawa

    sangat jauh berbeda dengan Papua umumnya dan

  • Yahukimo khususnya. Akibatnya, sekolah sering

    “campur tangan” dalam membantu kelulusan siswa

    baik dalam UN maupun kenaikan kelas. Sehingga,

    kualitasnya pun pasti rendah. Sekolah mempunyai

    alasan soal “campur tangan” guru dalam kelulusan

    siswa “harus kami akui kekurangan bahwa siswa kami belum bisa/belum mampu untuk bersaing dengan siswa yang di luar Papua, tapi siswa punya kemauan untuk sekolah walaupun dengan segala keterbatasan sehingga kami perlu menghargai itu, jika siswa tidak dibantu maka siswa kami tidak akan ada yang lulus Ujian Nasional, lalu kapan orang Papua bisa memperoleh kesempatan untuk maju?” (Wawancara dengan Kepala SMAN 1 Dekai tanggal 4 April 2011).

    Sebenarnya guru-guru di propinsi Papua tidak

    menolak adanya pelaksanaan UN tapi konsistensi

    pemerintah pusat yang tidak serius dalam melihat

    pendidikan di Papua umumnya dan Yahukimo

    khususnya. Pembangunan infrastruktur pendidikan di

    pedalaman masih jauh tertinggal dari pulau Jawa.

    Padahal, kurikulum yang baik adalah kurikulum

    yang disusun dengan mempertimbangkan infrastruk-

    tur sekolah (siswa, guru, alat pelajaran dan lain-lain).

    Sebagaimana diketahui bahwa infrastruktur pen-

    didikan di Yahukimo masih sangat tertinggal jauh

    dengan daerah lain di Indonesia seperti kualitas guru,

    kualitas siswa, alat pelajaran, bangunan sekolah,

    sarana informasi (TV, radio, internet, surat kabar) dan

    jarak tempat tinggal siswa dengan sekolah itu sendiri.

    Berdasarkan pengamatan di lapangan diketahui

    bahwa SMAN 1 Dekai belum memiliki kurikulum

  • sekolah yang permanen. Sebagaimana dikatakan oleh

    Elisabeth Cornelia “kami mempunyai kendala dalam

    mengajar karena belum memiliki silabus dan RPP

    sehingga susah dalam menyajikan materi pelajaran”

    (Wawancara 14 Maret 2011). Dengan demikian, guru-

    guru mengajar berdasarkan standar kompetensi yang

    tertera dalam buku pelajaran yang digunakan saat

    mengajar. Standar kompetensi yang tertera dalam

    buku tersebut merupakan imajinasi pengarang sesuai

    kondisi sekolah dimana pengarang bertempat tinggal.

    Artinya, kompetensi yang digunakan guru tidak sesuai

    dengan kompetensi siswa. Oleh karena itu, penulis

    berkesimpulan bahwa kurikulum menjadi salah satu

    faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa di

    SMAN 1 Dekai. Menurut penulis, ada hubungan

    antara kurikulum dengan kemampuan belajar siswa.

    Materi yang sesuai dengan kemampuan siswa akan

    mendorong siswa untuk belajar. Sebaliknya, materi

    yang tidak sesuai kemampuan siswa akan

    menurunkan semangat belajarnya bahkan siswa akan

    putus asa dalam belajarnya.

    1.2.2.3 Relasi Guru dengan Siswa. Hubungan guru dengan siswa menjadi sangat penting dalam proses

    belajar mengajar karena berhasil tidaknya proses

    pendidikan melalui kegiatan belajar mengajar di

    sekolah berada di tangan guru dan siswa. Jadi, guru

    dan siswa wajib untuk membangun hubungan yang

    harmonis agar tercipta proses belajar yang kondusif.

    Untuk membangun hubungan tersebut seorang guru

    tidak hanya cukup membangun relasi dengan

  • kompetensi profesional dan kompetensi paedagogik

    tapi juga kompetensi sosial dan kompetensi ke-

    pribadian. Hal ini sejalan dengan pendapat Abu

    Ahmadi & Widodo Supriyono (2008) yang mengatakan

    bahwa guru yang kasar, suka marah, suka mengejek,

    tak pernah senyum, tak suka membantu anak, suka

    membentak, dan lain-lain adalah ciri guru yang tidak

    memiliki kompetensi sosial sehingga tipe guru seperti

    ini, siswa akan cenderung tidak memperhatikan

    pelajaran atau arahan dari guru yang bersangkutan.

    Bahkan, akan memunculkan sikap antipati siswa

    kepada guru. Selain itu, kompetensi kepribadian juga

    mendukung terciptanya situasi belajar yang kondusif.

    Guru yang cerewet misalnya akan cenderung di-

    perolok-olok oleh siswa, atau guru datang ke sekolah

    dalam keadaan mabuk juga akan menjadi bahan

    ocehan siswa. Jadi, guru perlu menguasai empat

    kompetensi sesuai amanat Undang-Undang Guru dan

    Dosen dan menerapkan sesuai dengan konteksnya.

    Sesuai hasil wawancara dengan 13 informan

    diperoleh jawaban bervariasi yakni 4 informan

    (30,77%) menjawab menjalin komunikasi yang baik

    dengan guru tertentu baik di sekolah maupun di luar

    sekolah. 3 informan (23,08) menjawab menjalin

    komunikasi di sekolah sebagaimana guru dan siswa

    dalam taraf normatif. Sedangkan 6 informan (46,15%)

    menjawab komunikasi terjalin di sekolah/luar kelas

    tapi di dalam kelas komunikasi tidak terjalin baik.

    Menurut informan indikasi tidak terjalinnya komuni-

    kasi ditandai dengan seringnya guru tidak menjawab

  • pertanyaan ketika siswa bertanya. Seperti yang di

    katakan oleh Efraim Bitibalyo “sebenarnya ada guru yang baik; kalau kita bertanya guru itu terangkan berulang-ulang. Tapi ada guru yang tidak mau terangkan; kalau kita bertanya dia marah terus suruh kita cari sendiri atau belajar sendiri” (Wawancara 16 Juhi 2011). Hal yang sama dikemukakan oleh Karmel Murib “guru itu masuk lalu tulis di papan stelah itu dia terangkan begini-begini(cara mengerjakan). Baru selesai itu kita belum mengerti lalu kita bertanya lagi tapi guru bilang “akh tadi saya su terang-kan, kenapa tanya lagi?”; guru tidak dekati siswa saat mengerjakan tugas tapi hanya duduk di depan atau dia ke kantor. Dari kantor guru datang langsung kumpul pekerjaan, kita mau bertanya tapi tidak bisa karena guru setelah mengumpul-kan pekerjaan kami langsung ke kantor; kami kerja sesuai kemampuan kami saja” (Wawancara 15 Juni 2011). Hasil pengamatan penulis menemukan guru

    yang tidak membina komunikasi yang baik dengan

    siswa, walaupun yang lain telah berlaku demokratis

    pada siswa. Menurut pengamatan penulis situasi

    tersebut lebih disebabkan oleh paradigma lama yang

    menganut sistem otoriter di mana siswa tidak boleh

    dekat dengan guru dengan asumsi bahwa jika guru

    tidak dekat dengan siswa, maka siswa akan takut

    pada guru untuk nakal atau berbuat onar. Dengan

    kata lain, jika siswa telah mengenal dekat gurunya,

    maka siswa akan cenderung berbuat semaunya.

    Dengan menerapkan sistem “jaga jarak” memang

    terlihat efektif, di mana siswa tidak berani untuk

    berbuat gaduh di kelas atau di luar kelas. tapi

    berdampak luas bagi perkembangan kognitif siswa.

  • Berdasarkan hasil wawancara dan hasil peng-

    amatan dapat diketahui bahwa komunikasi guru dan

    siswa dalam arti luas belum berjalan dengan baik

    khususnya di kelas. Dengan demikian, penulis

    berkesimpulan bahwa relasi guru dan siswa menjadi

    salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar

    di SMAN 1 Dekai. Menurut penulis ada hubungan

    antara komunikasi yang terjalin baik dengan kesulitan

    belajar siswa. Di mana jika komunikasi terjalin baik

    maka guru akan memberikan kesempatan seluas-

    luasnya kepada siswa untuk bertanya atau meng-

    ungkapkan permasalahan yang di hadapinya ber-

    kaitan dengan kegiatan belajarnya. Sebaliknya,

    komunikasi yang tidak terjalin dengan baik maka pada

    saat proses belajar misalnya jika siswa tidak mengerti

    maka siswa tersebut akan takut untuk bertanya

    sehingga siswa lebih memilih untuk diam dan tidak

    memperhatikan pelajaran yang disajikan.

    1.2.2.4 Kedisiplinan. Kedisiplinan erat kaitannya dengan ketertiban, misalnya tertib administrasi, tertib

    waktu, tertib belajar, tertib berpakaian. Masalah

    kedisiplinan masih menjadi masalah utama dalam

    setiap organisasi baik organisasi pemerintah maupun

    organisasi swasta. Penerapan disiplin pada suatu

    organisasi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

    salah satunya adalah leadership. Leadership yang baik

    akan mendorong staf mengikuti aturan yang berlaku

    dalam suatu organisasi dan berupaya untuk

    menghasilkan suatu kinerja yang baik. Sebaliknya,

    pemimpin yang kurang baik akan menghasilkan

  • kinerja yang kurang baik pula. Walaupun Susno

    (2011), dalam penelitiannya menemukan bahwa

    kedisiplinan tidak mempunyai hubungan dengan

    kepemimpinan, namun penulis berpendapat sebalik-

    nya bahwa kedisiplinan mempunyai hubungan dengan

    kepemimpinan selain motivasi, karena kepemimpinan

    yang demokratis tapi tegas dalam kebijakan dan

    sanksi dapat menjadi patokan dalam mendisiplinkan

    diri dan staf. Walaupun memang disiplin dengan

    kesadaran sendiri (intrinsik) jauh lebih efektif dan

    kekal dibanding dengan unsur dari luar (ekstrinsik.

    Penelitian Lewin (1981 dalam Husaini Usman

    2009) ditemukan tiga gaya kepemimpinan yaitu

    otoriter, demokratis, dan laize faire. Lewin menjelas-

    kan bahwa pemimpin otoriter bertindak sangat

    direktif, selalu mengarahkan, dan tidak memberikan

    kesempatan bertanya apalagi membantah. Pemimpin

    demokratis mendorong kelompok untuk berdiskusi,

    berpartisipasi, menghargai pendapat orang lain, siap

    berbeda pendapat dan perbedaan tidak untuk

    dipertentangkan tetapi untuk didapatkan hikmahnya.

    Pemimpin laize faire memberikan kebebasan mutlak

    kepada kelompoknya atau bawahan dalam bekerja.

    Pemimpin model ini merasa bawahannya telah dapat

    bekerja dengan baik sehingga tidak perlu diarahkan

    atau dikontrol.

    Sesuai dengan pengamatan di lapangan model

    yang diterapkan oleh kepala sekolah adalah pemimpin

    yang demokratis, di mana setiap guru diberikan

    kesempatan untuk berbicara (memberi masukan) baik

  • resmi maupun tidak resmi. Dampak positif dari

    pemimpin demokratis adalah guru dilibatkan dalam

    pengelolaan sekolah sesuai tugas dan fungsi masing-

    masing dengan tetap berkoordinasi satu sama lain

    sehingga pengelolaan sekolah dapat berjalan secara

    demokratis. Sedangkan dampak negatifnya adalah

    guru-guru cenderung menerjemahkan sebagai laize

    faire di mana guru-guru beranggapan telah diberi

    kebebasan mutlak sehingga guru datang ke sekolah

    sesuka hati; bila tidak ada jam mengajar guru-guru

    enggan ke sekolah; guru yang tidak aktif/malas

    mengerjakan tugas juga tidak diberikan sanksi baik

    lisan maupun tertulis. Akibatnya kurikulum SMAN 1

    Dekai hingga saat ini belum tersusun sesuai

    Permendiknas Nomor 22 & 23 tentang Standar Isi dan

    Standar Kompetensi.

    Penerapan disiplin di SMAN 1 Dekai belum

    menunjukkan hal yang berarti, terutama dalam hal

    administrasi dan kehadiran. Administrasi belum

    berjalan dengan baik karena sejak berdirinya SMAN 1

    Dekai tahun 2005-2011 hingga sekarang ini belum

    ada penempatan tenaga administrasi dari pemerintah

    daerah yang khusus mengurus masalah administrasi,

    sehingga guru-guru terkadang merangkap pekerjaan

    selain tenaga pengajar juga sebagai tenaga

    administrasi. Bahkan kepala sekolah sendiri sering

    turun tangan menangani administrasi sekolah.

    Indikator lain yang menunjukkan bahwa di SMAN 1

    Dekai belum tertib administrasi adalah belum adanya

    leger nilai yang terkumpul di bagian Kurikulum,

  • Kesiswaan ataupun di kepala sekolah. Sehingga

    penulis kesulitan dalam mengumpulkan leger nilai

    hasil semester siswa sehingga atas izin kepala sekolah

    penulis meminta siswa untuk membawa buku

    laporannya agar penulis dapat membuat leger nilai,

    dan masih banyak indikator lain.

    Sedangkan disiplin kehadiran belum terlaksana

    dengan baik karena tidak adanya kesadaran untuk

    mendisiplinkan diri serta tidak adanya sanksi tegas

    terhadap guru atau siswa yang melanggar disiplin.

    Selain itu, siswa yang dominan berasal dari kampung

    masih terbiasa dengan pola pendidikan di kampung

    yang tidak mengenal disiplin. Sebagaimana dikemu-

    kakan oleh Bartolomeus Palembangan “…siswa tidak

    disiplin karena terbiasa dari sekolah dasar yang tidak

    disiplin”. Sehingga ketika masuk SMAN 1 Dekai masih

    sulit untuk menyesuaikan dengan aturan yang

    berlaku. Apalagi di rumah siswa kebanyakan belum

    mempunyai jam dinding, sehingga siswa mengguna-

    kan matahari sebagai patokan waktu. Seperti yang

    dikemukakan oleh Warnus Lokon “kalau cuaca baik kita perhatikan matahari; kita kan tidak punya jam. Jadi kalau cuaca tidak baik, kita tunggu-tunggu begini kita pikir masih pagi, ternyata matahari su tinggi. Kalau ke sekolah biasa dapat hukum jadi lebih baik tidak ke sekolah kalau su terlambat” (Wawancara 21 Juni 2011). Berdasarkan hasil wawancara dengan informan

    dan hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa

    kedisiplinan yang berkaitan dengan kehadiran di

    sekolah serta ketertiban siswa dalam mengikuti

  • pembelajaran di kelas belum menunjukkan hasil yang

    optimal. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan bahwa kedisiplinan menjadi salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar siswa di SMAN 1 Dekai. Hal

    ini diperkuat oleh hasil angket yang penulis bagikan

    kepada guru-guru bahwa kedispilinan masih menjadi

    masalah utama dalam pengelolaan sekolah umumnya

    dan kegiatan pembelajaran khususnya. Sebanyak 20

    responden (100%) menjawab bahwa kedisiplinan siswa

    masih menjadi salah satu kendala yang dihadapi guru

    dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian,

    menurut penulis ada hubungan antara kedispilinan

    belajar siswa dengan kesulitan belajar siswa. Jika

    siswa disiplin dalam belajar maka hasil belajarnya

    akan meningkat dan kesulitan belajarnyan akan

    teratasi. Sebaliknya, jika siswa tidak disiplin dalam

    belajar maka hasilnya dipastikan akan rendah dan

    kesulitan belajar akan tetap “lestari”.

    1.2.2.5 Alat Pelajaran. Faktor yang mendukung ter-capainya keberhasilan dalam proses belajar di sekolah

    selain guru dan siswa adalah tersedianya sarana

    belajar/alat pelajaran seperti peralatan laboratorium

    MIPA, laboratorium computer, laboratorium bahasa

    dan buku-buku pelajaran di perpustakaan.

    Keberadaan alat pelajaran ini dapat membantu siswa

    dan guru dalam mempraktekkan teori yang telah

    dipelajari di kelas.

    Hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan

    bahwa alat pelajaran masih sangat kurang khususnya

    buku-buku di perpustakaan dan laboratorium bahasa.

  • Sedangkan alat-alat laboratorium MIPA dan alat-alat

    laboratorium komputer telah tersedia walaupun belum

    lengkap. Buku-buku yang tersedia di perpustakaan

    hanya ±50 exemplar itupun didominasi oleh buku-

    buku pelajaran MIPA dengan kondisi yang tidak

    terawat baik. Sehingga siswa enggan untuk masuk

    perpustakaan karena buku-buku yang ada tidak

    relevan dengan kebutuhan belajar siswa. Seperti yang

    dikemukakan oleh Karmel Murib “kami jarang masuk perpustakaan karena jarang buka, terus buku-buku yang dibutuhkan juga tidak ada disana; hanya buku-buku IPA yang banyak, padahal kami jurusan IPS itupun tidak sesuai dengan materi yang kami terima” (wawancara 15 Juni 2011). Untuk lebih jelasnya mengenai sarana belajar di

    SMAN 1 Dekai akan disajikan dalam Tabel 4.8

    Tabel 4.8 Keadaan Sarana & Prasarana Belajar SMAN 1 Dekai

    tahun 2007-2011

    No Uraian Jumlah

    1 Gedung Kantor 1 Unit

    2 Ruang Kelas/ruang belajar 3 Ruang

    3 Ruang perpustakaan (dialihfungsikan menjadi

    ruang belajar)

    1 Unit

    4 Buku-buku perpustakaan 50 eks

    5 Toilet siswa 4 Pintu

    6 Toilet guru 3 Pintu

    7 TV 1 buah

    8 Wireless/Tape 1 Unit

    9 Infocus/Proyector 2 Unit

    10 Komputer untuk praktek TIK 8 Unit

  • 11 Komputer untuk TU 1 Unit

    12 Alat-alat Olahraga Ada

    13 Alat-alat laboratorium MIPA Ada

    Gedung lab. MIPA & lab. Komputer masih status pinjam gedung milik SMPN Dekai Sumber : SMAN 1 Dekai 3 April 2011

    Ketersediaan alat-alat pelajaran sangat penting

    karena guru bukan satu-satunya sumber penge-

    tahuan. Sehingga dengan adanya alat-alat pelajaran

    khususnya buku-buku perpustakaan atau media

    cetak, siswa dapat mencari bahan-bahan yang relevan

    dengan materi pelajaran untuk didiskusikan baik

    sesama teman maupun kepada guru. Dengan kata

    lain, sebelum pelajaran dimulai siswa akan mencari

    bahan di perpustakaan sehingga siswa mempunyai

    bahan diskusi di kelas. Jika demikian, pengetahuan

    siswa akan meningkat dan menambah tingkat

    kekritisan siswa terutama pada saat proses belajar di

    kelas; siswa akan lebih aktif dalam diskusi sehingga

    pembelajaran multi arah dapat tercipta dengan baik.

    Sebaliknya, apabila alat pelajaran di sekolah tidak

    tersedia maka siswa akan kesulitan dalam mencari

    bahan yang berhubungan dengan materi yang akan

    dipelajari di kelas. Akibatnya siswa cenderung pasif

    terhadap lingkungannya khususnya dalam proses

    belajar di kelas.

    Keberadaan laboratorium bahasa juga sangat

    dibutuhkan, karena siswa yang berasal dari kampung

    masih dipengaruhi oleh dialek bahasa ibu, sehingga

    penyebutan suatu benda masih keliru seperti buku menjadi puku, aparat menjadi abarat, pesawat

  • menjadi pesawar, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu untuk disempurnakan penyebutannya agar tidak

    keliru. Sebab jika dibiarkan maka penyebutan yang

    salah akan terbawa hingga dewasa. Hal ini terbukti

    banyak orang tua yang menyebut sesuatu diluar

    struktur fonologi yang benar.

    Berdasarkan data primer dan data sekuder yang

    diperoleh penulis diketahui bahwa alat pelajaran

    masih sangat kurang. Oleh karena itu, penulis

    berkesimpulan bahwa alat pelajaran yang tidak cukup memadai menjadi salah satu faktor eksternal

    penyebab kesulitan belajar di SMAN 1 Dekai. Dengan

    demikian, menurut penulis ada hubungan antara

    kesulitan belajar dengan alat pelajaran di mana jika

    alat pelajaran cukup memadai maka guru tidak akan

    kesulitan menggunakan alat peraga dalam proses

    pembelajaran yang akan memudahkan siswa

    memahami materi pelajaran. Begitupula dengan siswa

    jika alat pelajaran memadai maka siswa dapat belajar

    secara mandiri baik di perpustakaan maupun di

    laboratorium

    1.2.2.6 Keadaan Gedung. Keadaan gedung sekolah menjadi sangat penting karena hampir semua aktivitas

    belajar dilakukan di kelas. Keadaan gedung sekolah

    tidak hanya terkait dengan keadaan lingkungan

    sekolah yang sehat dan jauh dari keramaian atau

    kebisingan tetapi juga jumlah ruang kelas yang harus

    memadai. Dengan adanya jumlah ruangan kelas yang

    memadai, maka pihak sekolah dapat membagi siswa

    dalam beberapa rombongan belajar, berdasarkan

  • tingkat kemampuan yang dapat dilihat pada hasil tes

    masuk pada saat penerimaan siswa baru (PSB).

    Pembagian siswa dalam beberapa rombongan belajar

    dimaksudkan agar layanan yang diberikan dapat

    optimal sesuai dengan kebutuhan siswa. Dan hal ini

    penulis telah melakukannya pada Penerimaan Siswa

    Baru (PSB) tahun pelajaran 2009/2010 dengan cara

    membagi siswa dalam dua rombongan belajar dengan

    mengacu pada nilai tes masuk. Kelas ini pula yang

    kemudian menjadi cikal bakal lahirnya kelas IPA

    pertama di sekolah ini pada kelas XI setelah

    penjurusan. Sesuai dengan ketentuan Permendiknas Nomor

    22 dan 23 tentang Standar Isi & Standar Kompetensi

    yang tertuang dalam kurikulum 2006 (KTSP)

    mengamanatkan bahwa satu rombongan belajar

    idealnya hanya diisi oleh 24-32 orang siswa tujuannya

    agar layanan belajar dapat diberikan secara maksimal.

    Hasil pengamatan sekaligus pengalaman penulis

    selama bertugas di SMAN 1 Dekai, jumlah siswa dalam

    satu rombongan belajar melebihi kapasitas kelas di

    mana jumlah siswa dalam satu rombongan belajar

    mencapai 48-54 orang siswa. Sehingga kegiatan

    pembelajaran belajar tidak efektif. Selain waktu yang

    relatif singkat, jumlah siswa yang lambat belajar

    cukup banyak, sehingga guru kesulitan untuk

    menangani secara keseluruhan. Seperti yang di-

    kemukakan oleh salah satu guru SMAN 1 Dekai Citra

    Dewi “siswa yang lambat belajar sulit tertangani karena kurangnya ruangan kelas sehingga siswa

  • ditumpuk dalam satu ruangan dengan jumlah sangat banyak membuat kenyamanan dalam belajar kurang kondusif” (Wawancara 15 Maret 2011). Hal senada dikemukakan oleh guru lainnya

    Barlee Pardomuan Sihombing yang menyatakan

    bahwa ruang kelas masih menjadi masalah dalam

    proses belajar mengajar “di dalam kelas siswa sering ribut karena ruangan kelas melebihi kapasitas; bangku dan meja terlalu berdempetan sehingga kalau siswa duduk tidak bisa menulis dengan baik karena tangannya menyenggol anggota tubuh temannya, akibatnya ribut lagi (Wawancara 15 Maret 2011). Kondisi kelas sebagai mana dikemukakan kedua

    guru tersebut di atas jelas tidak membuat nyaman

    siswa untuk proses pembelajaran. Oleh karena

    banyaknya siswa dalam kelas membuat guru

    cenderung memperhatikan siswa yang daya tangkap-

    nya agak cepat sementara siswa yang lambat ter-

    abaikan. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah siswa

    dalam satu rombongan belajar akan disajikan dalam

    Tabel 4.9Tabel 4.9 Keadaan Siswa Dalam Rombongan Belajar

    Kelas Jumlah Siswa Dalam 1 Ruang

    Xa 48 Orang Siswa

    Xb 54 Orang Siswa

    XIa (Ipa) 20 Orang Siswa

    XIb (Ips) 53 Orang Siswa

    XII 53 Orang Siswa

    TOTAL SISWA 228 Orang Siswa

    Sumber : SMAN 1 Dekai, 3 April 2011

  • Berdasarkan data primer dan data sekunder

    yang dikumpulkan diketahui bahwa ruang kelas

    secara kuantitas masih menjadi kendala dalam proses

    pembelajaran. Oleh karena itu, penulis berkesimpulan

    bahwa kondisi sekolah khususnya ruang kelas yang

    tidak memadai menjadi salah satu faktor eksternal

    penyebab kesulitan belajar di SMAN 1 Dekai. Di mana

    jika ruang kelas memadai maka siswa yang

    “cepat/lambat” dapat dikelompokkan dan ditangani

    secara komprehensif.

    1.2.2.7 Metode Belajar. Salah satu faktor yang paling menentukan keberhasilan siswa dalam belajar adalah

    siswa itu sendiri. Siswa yang memiliki tekad yang kuat

    untuk keberhasilannya akan mengabaikan segala

    kekurangan atau keterbatasan yang ada dan berusaha

    keras untuk menaklukannya. Dengan kata lain, siswa

    yang mempunyai tekad yang kuat untuk berhasil akan

    menutupi kekurangan/keterbatasan dengan kelebihan

    yang dimilikinya. Karena banyak orang sukses yang

    berasal dari kalangan ekonomi lemah, perhatian orang

    tua juga kurang, dan lain-lain. Namun, dengan tekad

    yang kuat tersebut siswa akan mengatur waktu

    dengan baik antara waktu kerja dengan waktu belajar-

    nya guna mencapai cita-cita yang diinginkan, salah

    satunya adalah dengan membuat jadwal kegiatan

    setiap hari, agar waktu dapat dimanfaatkan secara

    maksimal.

    Berbeda dengan temuan di lapangan, siswa

    belum mampu mengorganisasi waktu dengan baik.

    Semua informan belum ada yang membuat konsep

  • belajar (cara belajar) dengan cara membuat jadwal

    aktivitas sehari-hari sebelum ke sekolah (pagi) dan

    setelah pulang sekolah (sore-malam). Dari 13 informan

    (100%) yang diwawancarai, tak satupun informan yang

    memiliki konsep diri dalam belajar. Semua informan

    memiliki jawaban yang sama yakni alasan mencari

    makan, tidak ada lampu, dan tidak ada buku-buku

    pelajaran seperti yang telah dijelaskan pada faktor

    ekonomi keluarga.

    Pada pagi hari sebelum ke sekolah, aktivitas

    yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan-

    kegiatan rutin yang tidak ada hubungannya dengan

    belajar seperti mandi, pakai seragam dan berangkat ke

    sekolah; tidak pernah ada kegiatan belajar sebelum ke

    sekolah. Seperti yang dituturkan oleh Warnus Lokon “saya biasa bangun pagi itu jam 5 pagi tapi tidak bikin apa-apa hanya baring-baring ditempat tidur mau bangun belajar tapi masih gelap; yang biasa saya lakukan kalau pagi itu setelah bangun itu berdoa, lalu pergi mandi, pakai seragam sekolah lalu pergi ke sekolah” (Wawancara tanggal 16 Juni 2011). Sama halnya dengan yang dikemukakan oleh

    Agus Yelemaken “saya kalau bangun pagi itu cepat biasa jam 4 atau jam 5 pagi. Kalau bangun jam 4 biasa hanya tinggal ditempat tidur saja, tunggu sampai terang baru keluar; lalu saya cuci piring, masak air untuk bikin kopi, setelah itu pergi mandi di kali Bonto terus pakai seragam lalu pergi ke sekolah” (Wawancara tanggal 22 Juni 2011).

    Sedangkan aktivitas setelah pulang sekolah,

    juga dihabiskan untuk kegiatan-kegiatan lain di luar

  • kegiatan belajar. Misalnya Silimius Doyela menutur-

    kan “saya tidak pernah belajar, alasannya karena tidak ada lampu kalau malam, terus kalau pulang sekolah tidak langsung makan tapi saya cari ubi dulu di kebun lalu pulang masak baru makan” (Wawancara, tanggal 17 Juni 2011). Begitu juga dengan Penihas Malyo yang tinggal

    menumpang di rumah orang “kalau saya kan tinggal dengan orang, jadi kalau pulang sekolah itu saya bantu-bantu di rumah; begitu lepas seragam sekolah saya makan, cuci piring setelah itu istrahat. Dari sekolah kan capai juga, setelah istrahat baru saya kerja” (Wawancara tanggal 17 Juni 2011). Dari keterangan ketiga informan di atas dapat

    diketahui bahwa siswa tersebut tidak pernah

    membuka buku (belajar) saat bangun pagi atau

    sebelum berangkat ke sekolah begitupun setelah

    pulang sekolah baik sore maupun malam. Padahal

    untuk menambah pemahaman terhadap materi

    pelajaran yang telah dipelajari di sekolah perlu

    pengulangan di rumah. Oleh karena itu, penulis

    berkesimpulan bahwa metode belajar siswa menjadi

    salah satu faktor eksternal penyebab kesulitan belajar

    di SMAN 1 Dekai. Siswa yang mempunyai konsep

    untuk berhasil menerapkan metode belajar dengan

    caranya sendiri. Dengan demikian, penulis ber-

    kesimpulan bahwa ada hubungan antara metode

    belajar dengan kesulitan belajar. Di mana jika siswa

    membuat metode belajar dan belajar terus menerus

    niscaya kesulitan bel