BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...76 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian...
Transcript of BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...76 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Hasil Penelitian...
-
76
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Petikan Putusan Nomor 1361 K/Pid.Sus/2012
Berdasarkan pemeriksaan perkara pidana khusus
dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung telah
memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa :
H. Untung Sarono Wiyono Sukarno, SH. Bahwa
terdakwa berada di luar tahanan dan pernah ditahan sejak
tanggal 12 Juli 2011 sampai dengan tanggal 30 Maret
2012 ;
Dalam hal ini berdasarkan petikan putusan diatas
bahwa Mahkamah Agung telah membacakan putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Nomor
78/Pid.sus/2011/PN-TIPIKOR-Smg., tanggal 21 Maret
2012, membaca akta permohonan kasasi yang diajukan
oleh Jaksa/ Penuntut Umum Nomor:
06/Kasasi/Akta.Pid.Sus/2012/PN.Tipikor.Smg.,
-
77
Jo. Nomor : 78/Pid.Sus/2011/PN.Tipikor.Smg., tanggal
29 Maret 2012 dan Membaca surat-surat yang
bersangkutan
Berdasarkan Putusan tersebut yaitu dengan
memperhatikan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Undang-Undang
Nomor 14 Tahun, Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
serta peraturan perundang-undangan lain yang
bersangkutan.
Bahwa dengan memperhatikan Pasal diatas maka
Mahkamah agung mengabulkan permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi : Jaksa/ Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Sregan tersebut dan membatalkan
putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang
Nomor : 78/Pid.sus/2011/PN-TIPIKOR-Smg., tanggal 21
Maret 2012.
-
78
Dengan demikia Hakim menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa yaitu sebagai berikut:
1. Menyatakan bahwa Terdakwa H. Untung
Sarono Wiyono Sukarno, Sh telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “Korupsi secara bersama-sama” ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 7
(tujuh) tahun dan denda sebesar Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar,
maka diganti dengan pidana kurungan selama 6
(enam) bulan ;
3. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa untuk
membayar uang pengganti sebesar Rp
10.50.445.352,- (sepuluh milyar lima ratus satu
juta empat ratus empat puluh lima ribu tiga ratus
lima puluh dua rupiah) dengan ketentuan apabila
Terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam
-
79
waktu 1 (satu) bulan sejak putusan Pengadilan
berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut, dan dalam hal
Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti,
maka Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4
(empat) tahun ;
4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani
oleh Terdakwa sebelum putusan ini mempunyai
kekuatan hukum tetap akan dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;
2. Tuntutan Sanksi Uang Pengganti oleh JPU
Berkaitan dengan uang pengganti kerugian negara
dalam perkara korupsi dapat merujuk pada Pasal 18
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.1 Berdasarkan
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
1 Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi.Jakarta:
Solusi Publishing.Hlm.22.
-
80
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu
sebagai berikut: 2
1. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak
yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula dari barang-barang yang menggantikan
barang-barang tersebut;
2. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi;
3. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun;
4. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
Ramelan mengungkapkan bahwa pembayaran uang
pengganti dalam rangka penyelesaian keuangan Negara
mengalami kendala, kendala tersebut yaitu.3
1. Kasus korupsi dapat diungkapkan setelah berjalan dalam kurun waktu yang lama sehingga
sulit untuk menelusuri uang atau harta kekayaan
yang diperoleh dari korupsi.
2. Dengan berbagai upaya pelaku korupsi telah menghabiskan uang hasil korupsi atau
2Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta:Sinar Grafika.2010.hlm.148.
3 Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi.Jakarta: Solusi Publishing Op.cit. Hlm 15
-
81
mempergunakan / mengalihkan dalam bentuk
lain termasuk mengatasnamakan nama orang lain
yang sulit terjangkau hukum.
3. Dalam pembayaran pidana uang pengganti, si terpidana banyak yang tidak sanggup membayar.
4. Adanya pihak ketiga yang menggugat pemerintah atas barang bukti yang disita dalam rangka
pemenuhan pembayaran uang pengganti.
Berdasarkan Petikan Putusan Nomor
1361/K/Pid.Sus/2012, terpidana H.Untung Sarono Sukarno,
SH di pidana membayar uang pengganti. Setelah Putusan
mempunyai kekuatan hukum tetap maka JPU melakukan
eksekusi.
Pasal 18 ayat (2) yaitu “jika terpidana tidak membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b paling lama dalam 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan di lelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut”.
Dalam Pasal 18 ayat (2) terdapat hambatan dalam
pembayaran uang pengganti yaitu terdapat batas waktu
dalam pembayaran uang pengganti yaitu paling lama 1 (satu)
bulan. Jaksa Penuntut umum selaku eksekutor atau pelaksana
-
82
dari putusan pengadilan berdasarkan Pasal 270 KUHAP
tidak memiliki kewenangan untuk memperpanjang batas
waktu tersebut.4
Dengan adanya batas waktu tersebut terpidana ternyata
tidak melaksanakan pembayaran uang pengganti, maka Jaksa
Penuntut Umum dapat menyita dan melelang harta benda
terpidana. Penyitaan harta benda kepunyaan terdakwa atau
terpidana tindak pidana korupsi dilakukan Jaksa Penuntut
Umum tanpa harus meminta izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat.5
Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) harta benda terpidana H.
Untung Sarono Wiyono Sukarno, SH tidak mencukupi untuk
membayar uang pengganti. Dalam hal ini bahwa berdasarkan
alinea ke-8 penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 disebutkan: “Selain itu, Undang-undang ini memuat
juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana Korupsi yang
4 Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: sinar Grafika.
Hlm152. 5 Ermansjah Djaja. Ibid.Hlm.153.
-
83
tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang
pengganti kerugian negara.”6
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa secara implisit
berkaitan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat
(3) Undang-undang 31 Tahun 1999 merupakan lanjutan dari
ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999.
Dalam Pasal 18 ayat (3) bahwa apabila batas waktu 1
(satu) bulan sesudah keputusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap maka dipidana penjara yang tidak
melebihi ancaman pidana pokok. Berdasarkan Pasal 18 ayat
(3) bahwa terpidana H.Untung Sarono Wiyono Sukarno, SH
setelah harta bendanya disita dan dilelang, ternyata harta
bendanya masih belum mencukupi untuk membayar uang
pengganti, maka dipidana penjara.
Dalam hal ini bahwa pidana penjara yang dijatuhkan
kepada terpidana karena tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti. Dalam hal ini
6 Himpunan Peraturan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Jakarta: CV Eko
Jaya.Hlm.149.
-
84
bahwa pidana penjara tersebut tidak boleh melebihi ancaman
maksimum pidana penjara dari ketentuan tentang tindak
pidana korupsi yang telah dilakukan oleh terpidana.7
Pembayaran uang pengganti selain diatur dalam
Undang-undang Tipikor juga diatur dalam Surat Edaran
Jaksa Agung yang mana telah dibahas dalam Bab II. Dalam
hal ini bahwa terjadi delematika tersendiri dalam Surat
Edaran Jaksa Agung tersebut. Surat Edaran Nomor 4 Tahun
1988 dikeluarkan berdasarkan Undang-undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 pada dasarnya tidak
digunakan instrumen perdata untuk menggembalikan
kerugian keuangan negara. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa
Agung tersebut bahwa eksekusi dalam pidana pembayaran
uang pengganti yaitu apabila harta benda terpidana sudah
7 Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: sinar Grafika.
Hlm155.
-
85
tidak mencukupi lagi, sisanya dapat ditagih oleh kejaksaan
pada lain kesempatan. 8
Berdasarkan Penelitian yang diperoleh Penulis bahwa
dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Korupsi mengungkapkan bahwa dalam Pasal
32, Pasal 33, dan Pasal 34 dan Pasal 38 C Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 dengan tegas menyatakan
menngunakan instrumen perdata.9
Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, belum
mampu mengupayakan pembayaran uang pengganti, maka
dikeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A/04/2009 tentang tata cara penyelesaian denda dan
uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi.
Berdasarkan Surat Edaran Agung Nomor B-
020/A/J.A/04/2009 dalam penyelesaian uang pengganti poin
1 (satu) tersebut menyebutkan bahwa pembayaran uang
8Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi.Jakarta:
Solusi Publishing. Hlm .44. 9 Efi Laila Kholis.Ibid. Hlm. 44.
-
86
pengganti tidak bisa dialihkan ke datun dan tidak bisa
diangsur. Dalam hal in terpidana H.Untung Sarono Wiyono
Sukarno, SH tidak bisa membayar uang pengganti , maka
pembayaran uang pengganti tidak bisa dialihkan ke datun
atau tidak bisa di angsur.
Penyelesaiaan uang pengganti poin 2 (dua)
mengungkapkan bahwa apabila terpidana akan membayar
uang pengganti sebelum hukuman pokok selesai
dilaksanakan, maka dapat diterima selanjutnya berita acara
pelaksanaan pidana penjara subsidair uang pengganti
dibatalkan. Berdasarkan poin 2 tersebut perlu adanya peran
serta JPU dalam melakukan pendekatan terhadap terpidana.
Namun dalam Surat Edara jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A/04/2009 nomor 6 (enam) menyatakan bahwa
dapat dilakukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365
KUHP perdata. Meskipun mempunyai kelemahan yaitu jaksa
pengacara negara dalam gugatan perdata memerlukan surat
kuasa khusus, namun pihak yang dirugikan tidak
-
87
memberikan surat kuasa khusus. Oleh karena itu jaksa
pengacara negara tidak dapat melakukan gugatan.
Dengan demikian Jaksa Agung mengeluarkan Surat
Edaran Nomor B-1113/F/Fd.1/05/2010, tanggal 18 mei 2010
juga mengungkapkan bahwa .10
“Penanganan perkara tindak
pidana korupsi diprioritaskan pada pengungkapan perkara
yang bersifat big fish (berskala besar, dilihat dari pelaku dan/
atau nilai kerugian keuangan negara) dan still going on
(tindak pidana korupsi yang dilakukan terus menerus atau
berkelanjutan),11
agar dalam penegakan hukum
mengedepankan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi
masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan
kerugian keuangan negara (restoratif justice), terutama
terkait perkara tindak pidana korupsi yang nilai kerugian
keuangan negara relatif kecil perlu dipertimbangkan untuk
tidak ditindaklanjuti, kecuali yang bersifat still going on.”
10
Kejaksaan Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI. Himpunan Tata Naskah dan Petunjuk Teknis Penyelesaiaan Perkara Tindak Pidana Khusus. 2010.Hlm.120-123.
11 sesuai penjelasan Jaksa Agung RI saat RAKER dengan Komisi III DPR RI tanggal 5
Mei 2010 dan pengarahan Presiden RI pada pembukaan Rakor MAHKUMJAPOL di Istana Negara tanggal 4 Mei 2010.
-
88
B. Analisis
1. Kebijakan Formulasi Dalam Ketentuan Undang-undang Tipikor
Berdasarkan dari hasil penelitian di atas yaitu
kebijakan hukum dalam pengembalian kerugian keuangan
negara berupa pembayaran uang pengganti oleh terpidana
korupsi, maka penulis mengemukakan analisis sebagai
berikut:
Tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.12
Dalam hal ini bahwa akibat tindak pidana korupsi yang
terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan
12
Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: sinar Grafika. Hlm.98-99.
-
89
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut
efiensi tinggi.
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, bahwa kerugian keuangan negara belum
bisa maksimal dilakukan. Dalam hal ini bahwa
pengembalian kerugian negara dapat dilakukan melalui
dua instrumen hukum yaitu instrumen pidana dan
instrumen perdata.13
Pengembalian kerugian negara melalui instrumen
hukum pidana dapat merujuk pada Pasal 18 ayat (1), (2),
dan (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
pengembalian kerugian keuangan negara diupayakan
melalui pidana tambahan. Dalam pidana tambahan
tersebut menyebutkan adanya pembayaran uang pengganti
yaitu terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat
13
Efi Laila Kholis. Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi.Jakarta: Solusi Publishing.Hlm .44.
-
90
(3). Namun upaya tersebut belum mampu dalam
mengupayakan pengembalian kerugian keuangan negara.
Pengembalian kerugian keuangan negara melalui
instrumen hukum perdata dapat merujuk pada Pasal 32
ayat (2), Pasal 33, Pasal 34 Undang-undang Nomor 31
tahun 1999 dan Pasal 38 C Undang-undang Nomor 20
tahun 2001.14
Dalam instrumen perdata tersebut jaksa
melakukan gugatan perdata terhadap terpidana. Namun
jaksa hanya bisa melakukan gugatan perdata tersebut yaitu
berkenaan dengan:
1. putusan bebas15; 2. tersangka meninggal dunia pada saat
dilakukan penyidikan16
;
3. terdakwa meninggal dunia pada saat dilakuakan pemeriksaan di sidang
pengadilan17
4. setelah putusan diketahui diduga dan patut diduga mempunyai harta benda.
18
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa gugatan
perdata hanya bisa dilakukan sesuai dengan ketentuan
14
Efi Laila Kholis. Ibid. 44. 15
Lihat Pasal 32 ayat (2) Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 16
Lihat Pasal 33 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 17
Lihat Pasal 34 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 18
Lihat Pasal 38 C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
-
91
diatas , selain ketentuan di atas gugatan perdata tidak bisa
dilakukan. Oleh karena berdasarkan instrumen hukum
pidana pengembalian kerugian keuangan negara berupa
pembayaran uang pengangganti tidak bisa dilakukan
secara maksimal.
Berdasarkan hasil penelitian di Kejaksaan Negeri
Sragen oleh Penulis antara lain: kasus korupsi terpidana
H. Untung Sarono Wiyono Sukarno, SH. 19
Dalam hal ini berdasarkan Putusan Nomor1361
K/Pid.Sus/2012 menjatuhkan pidana terhadap H. Untung
Sarono Wiyono Sukarno, SH dengan pidana penjara
selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan.
Hakim juga menjatuhkan untuk membayar uang
pengganti sebesar Rp 10.50.445.352,- (sepuluh milyar
lima ratus satu juta empat ratus empat puluh lima ribu tiga
ratus lima puluh dua rupiah) dan apabila terdakwa tidak
19
Penelitan di Kejaksaan Negeri Sragen
-
92
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti, maka Terdakwa dijatuhi pidana penjara
selama 4 (empat) tahun .
Maka berdasarkan Pasal 18 ayat (2) bahwa “jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu
1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti”. Namun berdasarkan Putusan diatas bahwa
terpidana tidak membayar uang pengganti.
Dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tersebut mempunyai hambatan yaitu jaksa
selaku eksekutor hanya mempunyai waktu 1 (satu) bulan
dalam mengupayakan pembayaran uang pengganti. Dalam
waktu yang terlalu singkat tersebut jaksa kesulitan dalam
mencari harta benda terpidana mengingat bahwa jaksa
tidak melakukan penyitaan diawal penyidikan.
-
93
Maka JPU harus memanggil terpidana (formulir D1)
untuk menanyakan apakah terpidana bersedia membayar
uang atau akan menjalani pidana penjara dengan membuat
surat pernyataan (D2).
Dalam Pasal 18 ayat (3) juga menjadi penghambat
pengembalian kerugian keuangan negara. Berdasarkan
Pasal tersebut bahwa terpidana dapat memilih yaitu
menjalani pidana penjara atau membayar uang pengganti.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis
bahwa dalam kasus H. Untung Sarono Wiyono Sukarno,
SH memilih untuk menjalani pidana penjara dari pada
membayar uang pengganti.
Perlu diketahui bahwa pengembalian kerugian
keuangan negara kurang sesuai dengan jiwa Undang-
undang Tipikor yaitu tindak pidana korupsi sangat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus
-
94
diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur. 20
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A/04/2009 tentang tata cara penyelesaian denda
dan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi
nomor 2 (dua) poin 1 (satu), bahwa pembayan uang
pengganti tidak bisa diahkan ke DATUN dan tidak dapat
diangsur. Dengan adanya surat edaran tersebut dapat
dipahami bahwa apabila terpidana tidak mampu
membayar secara otomatis terdakwa akan menjalani
pidana penjara. Dalam hal ini diungkapkan juga dalam
Surat Edara Jaksa Agung Nomor B-28/A/Ft.1/05/2009
tanggal 11 Mei 2009.
”untuk memberikan rasa keadilan kepada terpidana
yang membayar uang pengganti tetapi hanya sebagian
(tidak penuh) dari pidana dalam putusan, maka didalam
amar tuntutan supaya ditambah klausul: “apabila
terdakwa/ terpidana membayar uang pengganti, maka
jumlah uang pengganti yang dibayarkan tersebut akan
diperhitungkan dengan lamanya pidana tambahan berupa
20
Ermansjah Djaja. Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta: sinar Grafika. Hlm100.
-
95
pidana penjara sebagai ganti dari kewajiban membayar
uang pengganti”.
Namun dalam hal ini bahwa berdasarkan Surat Edaran
Jaksa Agung Nomor 020/A/J.A/04/2009 tentang tata cara
penyelesaian denda dan uang pengganti dalam perkara
tindak pidana korupsi nomor 2 (dua) poin 2(dua), bahwa
apabila terpidana akan membayar uang pengganti sebelum
hukuman pokok selesai dilaksanakan, maka dapat
diterima selanjutnya berita acara pelaksanaan pidana
penjara subsidair uang pengganti dibatalkan.
Maka berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung
020/A/J.A/04/2009 tentang tata cara penyelesaian denda
dan uang pengganti dalam perkara tindak pidana korupsi
lebih maju dari pada Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Namun dalam hal ini bahwa Surat Edara Jaksa Agung
Nomor B-020/A/J.A/04/2009 tidak sesuai dengan nomor 6
yaitu” apabila uang pengganti tidak dibayar, maka pihak
yang dirugikan baik instansi Pemerintah, BUMN, BUMD
maupun Badan Hukum lain yang mengelola keuangan
-
96
negara masih berhak untuk memiliki harta kekayaan
dengan dasar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, yang menyebutkan:
“tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.” Dalam
pelaksanaannya dapat memberi Surat kuasa khusus
kepada kejaksaan Selaku Jaksa pengacara negara.
Dalam hal ini bahwa pada saat Jaksa penuntut Umum
melakukan eksekusi pembayaran uang pengganti terhadap
terpidana kasus H. Untung Sarono Wiyono Sukarno, SH,
mengalami kendala. Kendala yang dialami Jaksa
Penuntut, yaitu sebagai berikut.21
1. Terpidana sudah tidak memiliki harta benda
ketika eksekusi dilakukan oleh JPU;
2. Pada saat menyitaan harta benda yang belum
diketahui keberadaannya (berdasarkan Pasal 18
ayat (2)), karena pada saat penyidikan tidak
21
Wawancara JPU kejaksaan Negeri Sragen 1 Januari 2014
-
97
dilakukan pencarian aset dan penyitaan
terhadap harta benda.
3. Apabila dilakukan gugatan perdata sesuai Surat
Edara Jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A/04/2009, Jaksa pengacara negara
kesulitan dalam memperoleh surat kuasa khusus
dari pihak yang dirugikan.
Namun dengan kendala diatas bahwa Jaksa
melakukan pendekatan terhadap terpidana. Dalam hal ini
bahwa setelah 6 (enam) tahun sebelum masa berakhirnya
pidana pokok ternyata JPU menemukan aset terpidana.
Dalam hal ini bahwa aset tersebut di duga hasil tindak
pidana korupsi.
Namun berdasarkan nomor 2 (dua) poin 2 (dua)
dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A/04/2009 bahwa Apabila terpidana akan
membayar uang pengganti sebelum hukuman pokok
selesai dilaksanakan, maka dapat diterima selanjutnya
-
98
berita acara pelaksanaan pidana penjara subsidair uang
pengganti dibatalkan.
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Agung
Nomor B-020/A/J.A/04/2009 nomor 6 (enam) dapat
dilakukan gugatan perdata sesuai dengan Pasal 1365
KUHP Perdata. Maka dengan adanya Surat Edaran Jaksa
Agung Nomor B-020/A/J.A/04/2009 tersebut mempunyai
peluang adanya pengembalian kerugian keuangan negara
oleh terpidana kasus korupsi.
Namun dalam hal ini berdasarkan Pasal 18 ayat (1),
Pasal (2), dan Pasal (3) Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi dan
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-020/A/J.A/04/2009
belum cukup dalam mengupayakan pengembalian
kerugian keuangan negara. Berdasarkan penjelasan diatas
Jaksa Penuntut Umum mengalami kendala. Dalam hal ini
bahwa kendala yang dihadapi oleh penegak hukum yaitu
sebagai berikut.
1. Terpidana sudah tidak memiliki harta bendanya.
-
99
2. Waktu yang diberikan Undang-undang tidak
cukup dalam pencarian harta benda terpidana,
mengingat penyitaan harta benda tidak
dilakukan pada saat penyidikan.
3. Adanya pidana penjara apabila tidak bisa
membayar uang pengganti, memberikan celah
kepada terpidana untuk tidak membayar uang
pengganti, sebagai salah satu upaya
pengembalian kerugian keuangan negara.
4. Jaksa pengacara negara mengalami kesulitan
memperoleh surat kuasa khusus dari pihak yang
dirugikan untuk melakukan gugatan perdata.
2. Ide Dasar Pembaharuan Hukum Pidana Mengenai Kebijakan Hukum Dalam Sanksi Uang Pengganti
Berdasarkan analisis diatas bahwa dengan adanya
tahap formulasi maka pencegahan dan penanggulangan
kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak/ penerap
-
100
hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum.22
Kesalahan / kelemahan kebijakan legislatif merupakan
kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap
aplikasi dan eksekusi.
Pengembalian kerugian keuangan negara oleh
terpidana kasus korupsi, yaitu dalam Pasal 18 Ayat (1),
ayat (2) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 dan Surat edaran Jaksa Agung Nomor B-
020/J.A/04/2009 belum cukup dalam mengupayakan
pengembalian kerugian keuangan negara berupa
pembayaran uang pengganti. Berdasarkan Undang-undang
Tipikor yaitu sebagai berikut:
1. Dalam Pasal 18 ayat (2) bahwa permasalahan
yang dihadapi yaitu jaksa tidak mempunyai
cukup waktu dalam pencarian harta benda
terpidana, mengingat bahwa jaksa tidak
melakukan penyitaan dalam penyidikan.
22
Barda nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Hlm.79.
-
101
2. Dalam Pasal 18 ayat (3) mengalami hambatan
dalam pengembalian kerugian keuangan
negara yaitu dalam Pasal ini memungkinkan
terpidana tidak membayar uang pengganti
melainkan menjalani pidana subsideir.
Dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A/2009 juga mengupayakan pengembalian
kerugian keuangan negara, namum dalam pembayaran
uang pengganti juga mempunyai hambatan tersendiri.
Hambatan yang dihadapi dalam pembayaran uang tidak
dapat di alihkan ke datun apabila lewat dari waktu yang di
tentukan Undang-undang Tipikor. Namun dalam hal ini
bahwa apabila terpidana akan membayar uang pengganti
sebelum hukuman pokok selesai dilaksanakan, maka
dapat diterima selanjutnya berita acara pelaksanaan pidana
penjara subsidair uang pengganti dibatalkan23
.
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A/04/2009 diatas bahwa perlu adanya kesadaran
23
Surat Edaran jaksa Agung. Hlm.68.
-
102
terpidana dalam pengembalian kerugian keuangan negara
dan perlu adanya peran serta Jaksa dalam pencarian aset.
Surat Edaan jaksa agung Nomor B-
020/A/J.A/04/2009 diatas dalam penyelesaiaan uang
pengganti poin 1 (satu) tidak sesui dengan nomor 6.
Dalam hal ini bahwa berdasarkan Surat Edaan Jaksa
Agung Nomor B-020/A/J.A/04/2009 yaitu dalam nomor)
poin 1 (satu) “ pembayaran uang pengganti tidak bisa
dialihkan ke DATUN dan tidak bisa diangsur”.
Sedangkan Surat Edaan Jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A//04/2009 yaitu dalam nomor 6 (enam) bahwa
“apabila uang pengganti tidak dibayar, maka pihak yang
dirugikan baik instansi Pemerintah, BUMN, BUMD
maupun Badan Hukum lain yang mengelola keuangan
negara masih berhak untuk memiliki harta kekayaan
dengan dasar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, yang menyebutkan”:
“tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan
-
103
orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”
Berdasarkan Surat Edaan Jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A/2009 yaitu dalam nomor 6 (enam) memberikan
peluang baru dalam pengembalian kerugian keuangan
negara berupa pembayaran uang pengganti yang timbul
dari perbuatan korupsi. Namun dalam prakteknya
mengalami kendala yaitu pihak yang dirugian baik
instansi pemerintah, BUMN, BUMD jarang sekali
memberikan surat kuasa khusus kepada kejaksaan selaku
Jaksa Pengacara Negara yang mendasarkan pada Pasal
1365 KUH Perdata. Oleh karena itu jaksa jarang
melakuakn gugatan perdata.
Selain itu kendala yang dihapi yaitu dalam proses
perdata membutuhkan biaya yang tidak sedikit mulai
proses pendaftaran gugatan di Pengadilan Negeri sampai
persidangan dan biasanya perkara perdata terus melalui
upaya banding, kasasi sampai dengan peninjauan
-
104
kembali.24
Setelah perkara inkracht pun untuk
mengajukan permohonan eksekusi juga membutuhkan
biaya.
Dalam hal ini bahwa gugatan perdata yang bisa
dilakukan sesui dengan Pasal 32 ayat (2), Pasal 33
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 34 dan
Pasal 38 C Undang-undang Nomor 20 Tahun 200125
selaindalam Pasal tersebut tidak bisa dilakukan gugatan
perdata.
Dalam Pasal 32 ayat (2) yaitu Putusan bebas dalam
perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak
untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara”.
Dalam Pasal 33 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 yaitu apabila terpidana meninggal dunia pada saat
dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada
kerugian keuangan negara, maka penyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada
24
Efi Laila Kholis.Ibid. Hlm. 49. 25
Efi Laila Kholis.Ibid. Hlm. 44.
-
105
instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli warisnya”.
Berdasarkan dalam Pasal 34 Undang-undang Nomor
31 tahun 1999 “dalam hal terdakwa meninggal dunia pada
saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan
berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang
dirugi kan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya”.
Berdasarkan Pasal 38 C Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 yaitu “ apabila setelah putusan pengadilan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih
terdapat harta benta milik terpidana yang diduga atau
patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang
belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat
-
106
melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan/atau
ahli warisnya.
Dengan demikian pada tanggal 18 mei 2010
dikeluarkan lagi Surat Edara Jaksa Agung Nomor B-
1113/F/Fd.1/05/2010 tentang prioritas dan pencapaian
dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, yang
justru menjadi tidak jelas dalam penanganan korupsi yaitu
pengembalian kerugian keuangan negara. Dalam Surat
edara tersebut mengungkapkan bahwa diutamakan korupsi
yang nilai kerugian keuangan negara besar. Oleh karena
itu pengembalian kerugian negara menjadi tidak jelas.
Dalam ketidak jelasan tersebut terletak dalam kata
nilai kerugian keuangan negara yang relatif kecil. Kata
nilai kerugian keuangan negara yang relatif kecil tersebut
menjelaskan tidak adanya batasan nilai yang pasti dalam
kerugian keuangan negara yang di anggap besar.
Bertolak dari kajian tersebut maka Surat Edaran jaksa
Agung Nomor B-020/A/J.A/04/2009 mempunyai celah
dalam pengembalian kerugian keuangan negara berupa
-
107
pembayaran uang pengganti. Berdasarkan analisis diatas
bahwa perlu adanya terobosan dalam pengembalian
kerugian keuangan negara sesuai dengan jiwa
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian
perlu adanya pembaharuan hukum pidana dalam
pembayaran uang pengganti mengingat tidak sesuai
dengan semangat dalam pengembalian kerugian negaran
dan memiskinkan para koruptor.
Mengingat bahwa menurut tokoh ulitarian, Jeremy
bentham pemidanaan harus bersifat spesifik untuk tiap
kejahatan, dan besarnya pidana tidak boleh melebihi
jumlah yang diperlukan untuk mencegah dilukannya
penyerangan-penyeragan tertentu. Pemidanaan hanya
dibenarkan jika dapat mencegah terjadinya tindak pidana
yang lebih besar. Berdasarkan teori keadilan sosial,
pengembalian keuangan negara pada hakekatnya adalah
kewajiban moral yang merupakan salah satu kebijakan
untuk bertindak dalam rangka mencapai kepentingan
umum .
-
108
Dengan demian perlu dilakukan pembaharuan yaitu
dalam tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Tahap ini
merupakan tahap akhir dari tahap penuntutan pidana.
Dalam tahap ini ditentukan tentang kepastian hukum.26
Dalam hal ini bahwa keberhasilan proses pengadilan dari
penyidikan sampai dengan putusan pengadilan menjadi
tidak berarti jika putusan tersebut tidak dilaksanakan.
Eksekusi uang pengganti sangat penting dalam upaya
pengembalian kerugian keuangan negara.
Berdasarkan penelitian diatas Surat Edaran jaksa
Agung Nomor B-020/A/J.A/04/2009 mempunyai peluang
dalam pengembalian kerugian keuangan negara.
Bersarkan Surat Edaran jaksa Agung Nomor B-
020/A/J.A/04/2009 menjadi terobosan baru dalam
pembaharuan hukum pidana korupsi. Oleh karena itu
kerugian keuangan negara dapat dilaksanakan.
26
Efi Laila Kholis.Ibid. Hlm.43.