BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika...
-
Upload
nguyenkiet -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika...
24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Parameter Fisika Perairan
4.1.1 Suhu
Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap
perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Oleh
karena itu suhu merupakan salah satu faktor fisika perairan yang sangat penting bagi
kehidupan organisme atau biota perairan. Secara umum suhu berpengaruh langsung
terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme dan tidak
berpengaruh langsung terhadap struktur dan disperse hewan air (Nontji 1984). Data
rata-rata suhu di perairan PLTU Suralaya yang diambil dipetakan menggunakan
Surfer 10.0 (Gambar 4).
Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun
25
Berikut tabel rata-rata suhu di perairan PLTU Suralaya Cilegon Banten (Tabel 3).
Tabel 3. Perbandingan Rata-Rata Suhu Perairan Dengan Baku Mutu Air
Laut Untuk Biota Laut
Stasiun Suhu Perairan (°C) Baku Mutu Suhu (°C)
St.1 29,75 30
St.2 38 30
St.3 36,5 30
St.4 33,75 30
St.5 33 30
St.6 31 30
Sumber : Kep.51/MENKLH/2004
Pada tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa nilai rata-rata suhu tertinggi 38ºC
pada Stasiun 2 yaitu outlet dari limbah bahang. Lokasi ini merupakan tempat pertama
dari keluarnya limbah bahang tersebut yang membuat suhu perairan panas, selain itu
juga merupakan tempat yang tertutup yang bisa menjadi penyebab tingginya suhu
ditempat ini. Nilai rata-rata suhu terendah berada pada Stasiun 1 yang merupakan
inlet. Pada stasiun ini merupakan air laut pertama kali masuk dan belum mendapat
pengaruh yang besar dari lingkungan sekitarnya. Kisaran suhu yang baik bagi
kehidupan organisme perairan antara 18-30°C. Berdasarkan nilai rata-rata suhu secara
keseluruhan dengan pengukuran selama 4 kali sampling, suhu pada Stasiun 1 masih
sesuai dengan Kep.51/MENKLH/2004 yaitu tentang baku mutu air laut untuk biota
laut yang menyatakan suhu yang baik berkisar antara 28-30°C. Pada Stasiun 2 dan 3
suhu perairan termasuk kedalam kategori tinggi, karena sudah melewati batas suhu
toleransi plankton, yaitu 35°C (Nybbaken 1988).
Untuk Stasiun 4 dan 5 walaupun suhu perairan masih tergolong tinggi tetapi
suhu tersebut masih dalam batas suhu toleransi untuk plankton, dan masih sesuai
dengan baku mutu tentang kegiatan pembangkit listrik tenaga termal sebagai sumber
proses utama yang sudah ditetapkan oleh Kep.08/MENKLH/2009 yaitu sebesar
26
40ºC. Suhu pada Stasiun 6 masih cukup baik dalam mendukung kehidupan plankton
karena sesuai dengan penyataan (Reynold 1990) bahwa suhu yang baik bagi
pertumbuhan plankton adalah 25-31°C. Semakin jauh titik lokasi pengambilan
sampel dari lokasi muara kanal bahang, maka suhu akan semakin rendah (Lampiran
5) dan itu akan mempengaruhi kelimpahan plankton.
4.1.2 Kecepatan Arus
Data nilai rata-rata kecepatan arus di perairan PLTU Suralaya yang diambil
digambarkan menggunakan histogram (Gambar 5).
Gambar 5. Nilai Rata-Rata Kecepatan Arus Pada Setiap Stasiun
Berdasarkan data hasil penelitian didapat bahwa rata-rata kecepatan arus
tertinggi berada pada Stasiun 3 dan kecepatan arus terendah berada pada Stasiun 1
dan Stasiun 4. Pada Stasiun 2 tidak ada pengukuran kecepatan arus, karena pada
stasiun ini terdapat arus balik dan kondisi tempat yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan pengukuran. Faktor yang mempengaruhi tingginya kecepatan arus pada
Stasiun 3 ini diantaranya adalah tekanan air yang berasal dari Stasiun 2. Bishop
(1984) menyatakan bahwa, gaya utama yang berperan dalam sirkulasi massa air
adalah gaya gradien tekanan, gaya coriolis, gaya gravitasi, gaya gesekan, dan gaya
sentrifugal, ini diperkirakan pada Stasiun 3 terjadi gaya gradien tekanan dan gaya
gesekan yang lebih besar dibandingan dengan stasiun yang lainnya. Untuk faktor
0.2
0.8
0.2
0.3 0.3
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Stasiun 1 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
Kec
epa
tan
Aru
s (m
/s)
27
angin menurut (Supangat 2003) bahwa, semakin cepat kecepatan angin, semakin
besar gaya gesekan yang bekerja pada permukaan laut, dan semakin besar arus
permukaan. Dalam proses gesekan antara angin dengan permukaan laut dapat
menghasilkan gerakan air yaitu pergerakan air laminar dan pergerakan air turbulen.
Kecepatan arus yang semakin besar akan sangat mempengaruhi keberadaan dan juga
jumlah kelimpahan plankton, pada Stasiun 3 jumlah kelimpahan plankton adalah
yang terkecil jika dibandingkan dengan jumlah kelimpahan palankton pada stasiun
yang lainnya (Lampiran 2).
4.1.3 Transparansi
Data nilai rata-rata transparansi di perairan PLTU Suralaya yang diambil
digambarkan menggunakan histogram (Gambar 6).
Gambar 6. Nilai Rata-Rata Transparansi Pada Setiap Stasiun
Berdasarkan data hasil penelitian didapat bahwa rata-rata transparansi
tertinggi berada pada Stasiun 6 dan transparansi terendah berada pada Stasiun 2.
Perbedaan nilai rata-rata transparansi ini karena adanya sedimentasi yang berupa sisa-
sisa pembakaran dari batubara dan lokasi Stasiun 2 sedikit mendapat pengaruh dari
sinar matahari karena lokasinya yang berada didalam komplek PLTU Suralaya,
sedangkan pada Stasiun 6 karena lokasinya berada dilaut mendapat pengaruh
0.97
0.7
0.92
1.25 1.22
1.57
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
Tra
nsp
ara
nsi
( m
)
28
langsung dari sinar matahari dan pengaruh sedimentasi rendah. American Public
Health Association (1992) menyatakan bahwa nilai kecerahan yang dinyatakan dalam
satuan meter sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan partikel tersuspensi, partikel
koloid, kekeruhan, warna perairan, jasad renik, detritus, plankton, keadaan cuaca,
waktu pengukuran dan ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
4.2 Parameter Kimiawi Perairan
4.2.1 Salinitas
Data nilai rata-rata salinitas di perairan PLTU Suralaya yang diambil
digambarkan menggunakan histogram (Gambar 7).
Gambar 7. Nilai Rata-Rata Salinitas Pada Setiap Stasiun
Berdasarkan data hasil penelitian didapat bahwa rata-rata salinitas tertinggi
berada pada Stasiun 6 dan salinitas terendah berada pada Stasiun 2. Rendahnya
salinitas pada Stasiun 2 diperkirakan bahwa pada Stasiun 2 adanya air limbah
domestik yang berasal dari komplek PLTU Suralaya. Pada Stasiun 1, Stasiun 4 dan
Stasiun 6 salinitasnya cukup untuk pertumbuhan plankton hal ini didukung oleh
pernyataan (Nybakken 1992) bahwa salinitas yang baik untuk pertumbuhan plankton
di laut adalah 30-35‰. Menurut (Sachlan 1972) pada kisaran salinitas diatas 20‰,
fitoplankton kelas Bacillariophyceae akan mendominasi perairan (Gambar 14).
30
25.75
28
30.25
27.75
30.5
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
Sa
lin
ita
s (
‰ )
29
4.2.2 pH
Data nilai rata-rata pH di perairan PLTU Suralaya yang diambil digambarkan
menggunakan histogram (Gambar 8).
Gambar 8. Nilai Rata-Rata pH Pada Setiap Stasiun
Berdasarkan data hasil penelitian didapat bahwa nilai rata-rata pH tertinggi
berada pada Stasiun 5 dan nilai pH terendah berada pada Stasiun 2. Nilai rata-rata pH
pada setiap stasiun masih sesuai dengan Kep.08/MENKLH/2009 tentang baku mutu
air limbah bagi kegiatan pembangkit tenaga termal sebagai sumber proses utama
bahwa kadar pH perairan yang baik berkisar antara 6-9, tetapi dalam
Kep.51/MENKLH/2004 baku mutu air laut untuk biota laut nilai pH pada Stasiun 2
dan Stasiun 5 tidak memenuhi baku mutu, karena yang telah ditetapkan sebesar 7-8,5.
Banerjea dalam Lamury (1990) mengkategorikan tingkat kesuburan perairan
berdasarkan kisaran pH yaitu, pH 5,5-6,5 tidak produktif, pH 6,5-7,5 produktif, pH
7,5-8,5 sangat produktif. Sehingga berdasarkan hasil pengukuran tersebut diperoleh
bahwa nilai pH diperairan ini masih dalam kategori sangat produktif, sedangkan pada
Stasiun 2 yang berada pada outlet limbah bahang masuk dalam kategori tidak
produktif, ini diperkirakan karena adanya limbah domestik yang berasal dari komplek
PLTU Suralaya, hal ini juga berpengaruh terhadap kelimpahan plankton yang
7.6
6.3
7.9
8.8 9
8.1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
pH
30
termasuk kedalam kategori rendah bila di bandingkan dengan stasiun yang lainnya
(Lampiran 2). Akrimil dan Subroto (2002) dalam Johan dan Ediwarman (2011)
menyatakan bahwa derajat keasaman (pH) air merupakan salah satu sifat kimia air
yang mempengaruhi pertumbuhan tumbuh-tumbuhan dan hewan air sehingga sering
digunakan sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu lingkungan air
sebagai lingkungan hidup. Derajat keasaman perairan juga mempengaruhi daya tahan
organisme, pH yang rendah akan menyebabkan penyerapan oksigen oleh organisme
laut akan terganggu.
4.2.3 Oksigen Terlarut ( DO )
Data nilai rata-rata oksigen terlarut di perairan PLTU Suralaya yang diambil
digambarkan menggunakan histogram (Gambar 9).
Gambar 9. Nilai Rata-Rata DO Pada Setiap Stasiun
Rata-rata nilai DO setiap stasiun yang diperoleh dari hasil pengukuran
berkisar antara 4,7 mg/L sampai dengan 6,7 mg/L. Kadar DO tertinggi ditunjukkan
pada Stasiun 6 dan kadar DO terendah ditunjukkan pada stasiun 1. Perbedaan DO di
setiap stasiun diakibatkan oleh perbedaan suhu pada setiap stasiun, semakin tinggi
suhu maka DO akan semakin rendah. Didalam Kep.51/MENKLH/2004 tentang baku
4.75.2 5
6.15.6
6.7
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
DO
( m
g/L
)
31
mutu air laut untuk biota laut bahwa DO yang baik lebih dari 5 mg/L, tetapi jika nilai
DO kurang dari 3 mg/L akan menyebabkan kematian biota organisme. Dari data hasil
pengukuran selama dilapangan mengindikasikan bahwa perairan komplek PLTU
Suralaya berada dalam kondisi DO yang baik, karena seluruh stasiun kecuali pada
stasiun 1 mempunyai nilai rata-rata DO lebih dari 5 mg/L.
4.2.4 Silikat ( Si )
Data nilai rata-rata kandungan silikat di perairan PLTU Suralaya yang diambil
digambarkan menggunakan histogram (Gambar 10).
Gambar 10. Nilai Rata-Rata Kandungan Silikat (Si) Setiap Stasiun
Kadar silikat tertinggi ditunjukkan pada Stasiun 1 dan kadar silikat terendah
ditunjukkan pada Stasiun 2 dan Stasiun 6 . Konsentrasi kadar silikat tertinggi pada
Stasiun 1 diperkirakan bahwa faktor lingkungan perairan yang masih baik, hal ini
dibuktikan dengan kelimpahan plankton yang tinggi (Lampiran 2). Kadar silikat pada
Stasiun 2 yang rendah diperkirakan bahwa pada stasiun ini kondisi perairan yang
kurang baik karena pada stasiun ini merupakan outlet dari limbah bahang, ini
dibuktikan dengan kelimpahan plankton yang rendah (Lampiran 2).
1.1
0.4
0.80.7
0.5
0.4
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
Sil
ika
t (
mg
/L )
32
Kemudian kadar silikat pada Stasiun 6 nilainya juga rendah, akan tetapi
kelimpahannya tinggi. Hal ini diperkirakan karena titik lokasi pada Stasiun 6 cukup
jauh dari titik lokasi Stasiun 2 yang memungkinkan kelimpahannya tinggi karena
kadar silikat yang rendah tidak menjadi faktor utama terhadap kelimpahan plankton
(Lampiran 2). Hal ini didukung oleh (Millero 1996) bahwa, konsentrasi silikat
terlarut di lapisan permukaan perairan laut umumnya lebih rendah jika dibandingkan
dengan di dasar perairan, kecuali didaerah yang mengalami upwelling. Effendi (2003)
menyatakan bahwa rendahnya konsentrasi silikat di lapisan permukaan disebabkan
lebih banyak organisme-organisme yang memanfaatkan silikat di lapisan ini, seperti
diatom yang banyak membutuhkan silikat untuk membentuk dinding selnya.
4.2.5 Nitrat
Data nilai rata-rata kandungan nitrat di perairan PLTU Suralaya yang diambil
digambarkan menggunakan histogram (Gambar 11).
Gambar 11. Nilai Rata-Rata Kandungan Nitrat Setiap Stasiun
Hasil pengukuran kadar nitrat dengan menggunakan metode analisis SNI 06-
2480 1991 didapat kadar nitrat tertinggi berada pada Stasiun 1 dan terendah Stasiun
4. Risamasu dan Prayitno (2011) menyatakan, senyawa nitrat secara alamiah berasal
dari perairan itu sendiri melalui proses-proses penguraian pelapukan ataupun
0.37
0.15
0.070.05
0.3
0.19
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
Nit
rat
(mg
/L)
33
dekomposisi tumbuh-tumbuhan, sisa-sisa organisme mati dan buangan limbah baik
limbah daratan seperti domestik, industri, dan pertanian. Dalam keputusan MENLH
No.51 Tahun 2004 disebutkan bahwa baku mutu konsentrasi nitrat air laut yang layak
untuk kehidupan biota laut adalah 0,008 mg/L. Konsentrasi nitrat pada penelitian
untuk Stasiun 1, Stasiun 2, dan Stasiun 6 lebih tinggi dibanding dengan baku mutu.
Data ini mengindikasikan bahwa perairan di komplek PLTU Suralaya tengah
mengalami tekanan berupa pengkayaan nitrat. Untuk stasiun yang kadar nitratnya
rendah yaitu dibawah 0,008 mg/L diduga dipengaruhi oleh sedimen. Hal ini didukung
oleh pernyataan (Seitzinger 1988) yang menyatakan bahwa di dalam sedimen, nitrat
diproduksi dari biodegradasi bahan-bahan organik menjadi ammonia yang
selanjutnya dioksidasi menjadi nitrat.
4.2.6 Fosfat ( PO4 )
Data nilai rata-rata kandungan fosfat di perairan PLTU Suralaya yang diambil
digambarkan menggunakan histogram (Gambar 12).
Gambar 12. Nilai Rata-Rata Kandungan Fosfat (PO4) Setiap Stasiun
Hasil pengukuran kadar fosfat dengan menggunakan metode analisis
SMEWW-4500-P-D, didapat kadar fosfat tertinggi berada pada Stasiun 3,4,5 sebesar
0,006 mg/L dan kadar fosfat terendah berada pada Stasiun 1,2, dan 6 yaitu sebesar
0,005 mg/L. Berdasarkan Kep.51/MENKLH/2004 tentang baku mutu air laut untuk
0.005 0.005
0.006 0.006 0.006
0.005
0.0044
0.0046
0.0048
0.005
0.0052
0.0054
0.0056
0.0058
0.006
0.0062
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
Fo
sfa
t (
mg
/L )
34
biota laut bahwa kadar kandungan fosfat maksimal 0,015 mg/L. Data penelitian
menunjukkan bahwa Stasiun 1 sampai dengan Stasiun 6 kadar fosfat lebih rendah dari
baku mutu 0,015 mg/L yang sudah ditentukan oleh Kep.51/MENKLH/2004.
Rendahnya kandungan fosfat diperairan PLTU Suralaya karena dasar perairan
umumnya rendah akan zat hara, baik yang berasal dari dekomposisi sedimen maupun
senyawa-senyawa organik yang berasal dari jasad flora dan fauna yang mati.
Kemudian faktor lain yang mempengaruhi kadar fosfat adalah perbedaan suhu pada
setiap stasiun, sehingga aktifitas plankton yang memanfaatkan fosfat juga tidak
seragam (Ulqodry dkk 2010).
5.1 Distribusi Spasial Plankton Di Perairan Komplek PLTU Suralaya
5.1.1 Kelimpahan Plankton
Selama hidup suhu tubuh organisme perairan sangat tergantung pada suhu air
laut tempat hidupnya. Oleh karena itu adanya perubahan suhu air akan membawa
akibat yang kurang menguntungkan bagi organisme perairan yang bisa menyangkut
kematian, menghambat proses pertumbuhan, mengganggu proses respirasi dan lain-
lain. Selain suhu yang tinggi arus juga mempengaruhi keberadaan dari organisme
plankton yang berenang bebas mengikuti arus dan sangat lemah kemampuan
berenangnya. Karena plankton mempunyai daya berenang yang sangat lemah,
organisme ini sangat dikuasai sekali oleh gerakan-gerakan air (Levinton 1982). Hasil
penelitian di perairan Komplek PLTU Suralaya pada tahun 2013, diperoleh data
fitoplankton yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Cyanophyceae
dan zooplankton terdiri dari Crustacea dan Tintinnidae. Kelas Bacillariophyceae
merupakan yang paling dominan di perairan Komplek PLTU Suralaya. Data plankton
yang diambil selama 4 kali sampling di perairan PLTU Suralaya, sebaran kelimpahan
plankton dipetakan menggunakan Surfer 10.0 (Gambar 13).
36
Gambar 13 menjelaskan bahwa nilai kelimpahan plankton pada setiap stasiun
berbeda. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kelimpahan dari plankton pada
setiap stasiunnya diantaranya faktor fisika dan kimiawi perairan, tetapi ada 2 faktor
yang sangat mempengaruhi kelimpahan dari plankton tersebut, yaitu suhu dan
kecepatan arus . Pada minggu 1 sampai dengan minggu 4 jika dilihat dari faktor fisika
perairan yaitu rata-rata suhu pada Stasiun 1 (inlet) masih termasuk kedalam suhu
normal perairan laut pada umumnya (Lampiran 5) dan masih termasuk kedalam
Kep.51/MENKLH/2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Rata-rata suhu
pada Stasiun 2 (outlet) termasuk kedalam kategori lethal (Lampiran 5). Hal ini
merupakan pengaruh yang cukup besar terhadap perbedaan kelimpahan plankton
untuk Stasiun 1 dan Stasiun 2 karena suhu toleransi plankton sampai dengan 35°C
(Nybakken 1988).
Rata-rata kecepatan arus pada Stasiun 1 tergolong rendah yaitu 0,2 m/s
(Lampiran 5) ini membuktikan bahwa kelimpahan plankton pada Stasiun 1 lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kelimpahan plankton pada Stasiun 2 dan untuk
Stasiun 2 tidak ada pengukuran kecepatan arus karena terdapat arus balik dan titik
lokasi sampling yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pengukuran. Rata-rata
salinitas pada Stasiun 1 dan 2 nilainya cukup baik yaitu diatas 20‰ (Lampiran 5).
Hal ini didukung oleh pernyataan (Sachlan 1982) yang menyatakan bahwa salinitas
yang sesuai bagi fitoplankton adalah lebih besar dari 20‰ yang memungkinkan
fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan
fotosintesis, kemudian (Nontji 1984) juga menyatakan bahwa pada umumnya kisaran
salinitas yang baik bagi kehidupan fitoplankton adalah 11-40‰, meskipun salinitas
mempengaruhi produktifitas individu fitoplankton namun peranannya tidak begitu
besar, tetapi di perairan pantai peranan salinitas mungkin lebih menentukan terjadinya
suksesi jenis pada prodktifitas secara keseluruhan. Menurut (Pescod 1973) pH yang
ideal bagi kehidupan fitoplankton pada umumnya berkisar antara 6,5-8 dan nilai rata-
rata pH pada Stasiun 1 termasuk kedalam kategori ideal, tetapi tidak untuk Stasiun 2
karena menurut Banerjea dalam Lamury (1990) nilai pH untuk Stasiun 2 termasuk ke
37
dalam kategori tidak produktif, walaupun didalam Kep.08/MENKLH/2009 nilai pH
pada Stasiun 2 masih termasuk kedalam kategori baik. Pada Stasiun 3 dan 4
kelimpahan plankton juga berbeda, faktor utama yang menyebabkan perbedaan
kelimpahan yaitu suhu dan kecepatan arus. Rata-rata suhu pada Stasiun 3 sudah
melewati batas toleransi suhu untuk plankton (Lampiran 5) dan suhu Stasiun 4 masih
masuk kedalam batas suhu toleransi plankton (Lampiran 5). Kelimpahan plankton
pada Stasiun 4 lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelimpahan plankton pada
Stasiun 3 karena suhu perairan pada Stasiun 4 lebih rendah daripada suhu perairan
pada Stasiun 2, selain itu juga rata-rata kecepatan arus pada Stasiun 3 sangat tinggi
bila dibandingkan dengan Stasiun 4 (Lampiran 5). Untuk salinitas rata-rata pada
Stasiun 3 dan 4 nilainya juga cukup baik yaitu di atas 20‰ (Lampiran 5). Menurut
(Pescod 1973) untuk pH pada Stasiun 3 masih termasuk kedalam kategori ideal
menurut dan menurut Kep.08/MENKLH/2009 nilai pH untuk Stasiun 4 masih
termasuk kedalam kategori baik.
Pada Stasiun 5 dan 6 kelimpahan plankton juga mengalami perbedaan. Faktor
yang menyebabkan perbedaan kelimpahan tersebut sama halnya dengan yang ada
pada Stasiun 1 sampai dengan Stasiun 4 yaitu suhu dan kecepatan arus, hanya saja
nilai kelimpahan pada Stasiun 6 sudah mendekati nilai kelimpahan pada stasiun 1,
karena suhu dan kecepatan arus pada Stasiun 6 tidak berbeda jauh dengan yang ada
pada Stasiun 1 (Lampiran 5). Untuk kecepatan arus rata-rata pada Stasiun 5 dan 6
tergolong rendah, hal ini memungkinkan adanya kelimpahan plankton yang tinggi
bila dibandingkan dengan Stasiun 1 sampai dengan Stasiun 4, karena dilihat dari 2
faktor utama yaitu suhu dan kecepatan arus pada Stasiun 5 dan 6 cukup baik untuk
perkembangan dan keberadaan plankton. Pada dasarnya keberadaan dari plankton
sangat bergantung kepada suhu dan kecepatan arus dan untuk faktor fisika kimiawi
perairan yang lain bisa sebagai faktor pendukung dari keberadaan serta kelimpahan
plankton tersebut.
38
Tabel 4. Tabel Hasil Pengamatan Plankton Selama 4 Kali Sampling (Sel/m3)
Stasiun
No. Taksa Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6
Fitoplankton
1. Pleurotarenium 400 100 600 1.200 1.200 1300
2. Hemiaulus 400 400 500 600 900 700
3. Cerataulina 1200 400 - - - -
4. Biddulphia 100 - - - - -
5. Nodularia 400 400 - - 400 700
6. Nitzschia - - 500 - - -
7. Rhizosolenia - - - 500 500 700
8. Pleorosygma - - - 400 - -
Zooplankton
9. Copepoda 400 - - - - -
10. Euntintinnus 300 - 400 400 - 500
Jumlah 3.200 1.300 2.000 3.100 3.000 3.900
Komposisi jumlah kelas fitoplankton yang didapat di perairan PLTU Suralaya
terdapat 3 kelas (Gambar 14).
Gambar 14. Presentasi Kelas Fitoplankton
Bacillariophyceae
54%
Cyanophyceae
13%
Chlorophyceae
33%
39
Presentasi kelas Bacillariophyceae merupakan yang terbesar ini di duga
bahwa kelas Bacillariophyceae merupakan fitoplankton yang bisa bertahan pada suhu
di atas suhu normal kemudian menurut (Sachlan 1972) kisaran salinitas di atas 20‰
fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae akan mendominasi perairan hal ini di
dukung oleh data dilapangan bahwa salinitas pada Stasiun 1 sampai dengan Stasiun 6
menunjukan nilai salinitas di atas 20‰ (Lampiran 5), dan untuk kelas Chlorophyceae
yang termasuk ke dalam filum Cholophyta ini diduga karena kelas ini juga yang
paling dominan dalam perairan hal ini didukung oleh pernyataan Sumich dalam
Asriyana dan Yuliana (2012) yang menyatakan bahwa ada lima filum dari kelompok
besar fitoplankton yang hidup diperairan, yaitu Cyanophyta (alga biru), Cholophyta
(alga hijau), Chrysophyta (alga kuning), Pyrophyta dan Euglenophyta, dan untuk
kelas Cyanophyceae ini juga di duga hanya fitoplankton jenis Nodularia yang mampu
bertahan pada suhu perairan yang tinggi. Komposisi jumlah kelas zooplankton yang
didapat di perairan PLTU Suralaya terdapat 2 kelas (Gambar 15).
Gambar 15. Presentasi Kelas Zooplankton
Copepoda
20%
Euntintinnus
80%
40
Presentasi kelas zooplankton untuk perairan sekitar PLTU Suralaya
menunjukan kelas Euntintinus yang paling dominan ini di duga zooplankton jenis
Euntintinus yang mampu bertahan pada suhu tinggi dan untuk kelas copepoda
menurut (Nontji 2008) termasuk ke dalam kelompok yang paling umum ditemui pada
perairan pantai maupun estuaria di depan muara sampai ke perairan di tengah
samudera, dari perairan tropis hingga perairan kutub, hal ini di dukung oleh data saat
di lapangan yang mendapatkan zooplankton jenis copepoda pada Stasiun 1 (inlet).
41
5.1.2 Indeks Dominansi
Data plankton yang diambil di perairan PLTU Suralaya, indeks dominansinya
digambarkan dengan menggunkan Surfer 10.0 (Gambar 15).
Gambar 16. Peta Indeks Dominansi Plankton
42
Gambar 16 menjelaskan indeks dominansi plankton pada perairan PLTU
Suralaya yang digambarkan dengan menggunkan Surfer 10.0. Indeks dominansi
merupakan indeks yang digunakan untuk menilai kestabilan komunitas organisme
perairan khususnya plankton, terutama dalam hubungannya dengan kondisi suatu
perairan. Dari data yang diperoleh didapat bahwa :
Minggu 1, pada stasiun 1 termasuk kedalam kategori indeks dominansi
rendah, stasiun 2 indeks dominansi sedang, stasiun 3 indeks dominansi
sedang, stasiun 4 indeks dominansi rendah, stasiun 5 indeks dominansi
sedang, stasiun 6 indeks dominansi rendah (Lampiran 2).
Minggu 2, pada stasiun 1 termasuk kedalam kategori dominansi rendah,
stasiun 2 dominansi rendah, stasiun 3 dominansi rendah, stasiun 4 indeks
dominansi rendah, stasiun 5 indeks dominansi rendah, dan stasiun 6 indeks
dominansi rendah (Lampiran 2).
Minggu 3, pada stasiun 1 termasuk kedalam kategori indeks dominansi
rendah, stasiun 2 indeks dominansi sedang, stasiun 3 indeks dominansi
rendah, stasiun 4 indeks dominansi rendah, stasiun 5 indeks dominansi
rendah, stasiun 6 indeks dominansi rendah (Lampiran 2).
Minggu 4, pada stasiun 1 termasuk kedalam kategori indeks dominansi
rendah, stasiun 2 indeks dominansi sedang, stasiun 3 indeks dominansi
rendah, stasiun 4 indeks dominansi rendah, stasiun 5 indeks dominansi
rendah, stasiun 6 indeks dominansi rendah (Lampiran 2).
Indeks dominansi tersebut sesuai dengan pernyataan dari (Magurran 1988) yang
telah mengkategorikan nilai indeks dominansi yaitu, 0,00 < C ≤ 0,30 dominansi
rendah, 0,30 < C ≤ 0,60 dominansi sedang, dan 0,60 < C ≤ 1,00 dominansi tinggi.
43
5.1.3 Indeks Keanekaragaman
Data plankton yang diambil di perairan PLTU Suralaya, indeks
keanekaragamannya digambarkan dengan menggunkan Surfer 10.0 (Gambar 17).
Gambar 17. Peta Indeks Keanekaragaman Plankton
44
Gambar 17 menjelaskan indeks keanekaragaman plankton pada perairan
PLTU Suralaya yang digambarkan dengan menggunkan Surfer 10.0. Indeks
keanekaragaman jenis dapat di identifikasikan sebagai suatu ukuran dari suatu
komposisi spesies dalam suatu ekosistem, yang dinyatakan dengan jumlah dan
kelimpahan relatif dari jenis tersebut (Odum 1971). Berdasarkan rumus Indeks
Simpson dalam Magurran (1988) diperoleh nilai yang relatif sama untuk semua
stasiun, yaitu :
Indeks keanekaragaman pada minggu 1 berkisar antara 0,62 sampai dengan
0,82.
Indeks keanekaragaman pada minggu 2 berkisar antara 0,74 sampai dengan
0,79.
Indeks keanekaragaman pada minggu 3 berkisar antara 0,67 sampai dengan
0,79.
Indeks keanekaragaman pada minggu 4 berkisar antara 0,67 sampai dengan
0,75.
Dari 6 stasiun mulai dari minggu 1 sampai dengan minggu 4 termasuk kedalam
kategori sebaran individu tidak merata dan kestabilan ekosistem tidak baik (Lampiran
2). Indeks Keanekaragaman Simpson menjelaskan bahwa, apabila nilai indeks
keanekaragaman mendekati 1 sebaran individu merata, dan apabila nilai indeks
keanekaragaman Simpson bernilai 0,6-0,8 itu artinya kestabilan ekosistem tidak baik
(Magurran 1988).