BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan...

23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang dijadikan sampel pada penelitian ini berasal dari 4 (empat) unit pengolahan ikan di Provinsi Gorontalo yaitu Tilango, Pilohayanga, Gentuma dan Jalan Palma. Metode pengasapan dalam penelitian ada yang menggunakan asap cair dan ada pula dengan cara pengasapan panas. pengolahan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap di unit pengolahan ikan (UPI) asap di Pilohayanga menggunakan bahan bakar kayu lamtoro, di UPI Tilango menggunakan bahan bakar sabut kelapa, di UPI Palma menggunakan asap cair, dan di UPI Gentuma menggunakan bahan bakar tempurung kelapa. Bahan baku ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang digunakan sebagai sampel merupakan produk ikan asap yang masih baru dan lama penyimpanannya belum sampai 24 jam. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dari keempat lokasi ini kemudian diuji di LPPMHP (Laboratorium Pembinaan Dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan) Provinsi Gorontalo. Uji mutu yang dilakukan meliputi analisis kimia (kadar air dan histamin), uji organoleptik, dan mikrobiologi (TPC dan E. coli). Pengujian untuk setiap parameter baik itu analisis kimia, uji organoleptik, maupun mikrobiologi dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Hasil uji secara laboratorium yang dilakukan merupakan uji untuk mengetahui standar mutu dari jenis produk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang dijadikan contoh dalam kajian penelitian yaitu merupakan produk ikan asap yang dikonsumsi oleh masyarakat. 4.2 Analisis Organoleptik Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap Analisis organoleptik dilakukan oleh panelis semi terlatih minimal 15 orang. Penilaian pada analisis organoleptik ini berdasarkan uji hedonik dengan parameter pengujian organoleptik meliputi kenampakan, bau, rasa, dan tekstur. Data hasil uji organoleptik

Transcript of BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan...

Page 1: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Asal Bahan Baku

Bahan baku ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang dijadikan sampel pada

penelitian ini berasal dari 4 (empat) unit pengolahan ikan di Provinsi Gorontalo yaitu

Tilango, Pilohayanga, Gentuma dan Jalan Palma. Metode pengasapan dalam penelitian ada

yang menggunakan asap cair dan ada pula dengan cara pengasapan panas. pengolahan ikan

cakalang (Katsuwonus pelamis) asap di unit pengolahan ikan (UPI) asap di Pilohayanga

menggunakan bahan bakar kayu lamtoro, di UPI Tilango menggunakan bahan bakar sabut

kelapa, di UPI Palma menggunakan asap cair, dan di UPI Gentuma menggunakan bahan

bakar tempurung kelapa.

Bahan baku ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang digunakan sebagai

sampel merupakan produk ikan asap yang masih baru dan lama penyimpanannya belum

sampai 24 jam. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) dari keempat lokasi ini kemudian diuji

di LPPMHP (Laboratorium Pembinaan Dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan) Provinsi

Gorontalo. Uji mutu yang dilakukan meliputi analisis kimia (kadar air dan histamin), uji

organoleptik, dan mikrobiologi (TPC dan E. coli). Pengujian untuk setiap parameter baik itu

analisis kimia, uji organoleptik, maupun mikrobiologi dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

Hasil uji secara laboratorium yang dilakukan merupakan uji untuk mengetahui standar

mutu dari jenis produk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang dijadikan contoh

dalam kajian penelitian yaitu merupakan produk ikan asap yang dikonsumsi oleh

masyarakat.

4.2 Analisis Organoleptik Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap

Analisis organoleptik dilakukan oleh panelis semi terlatih minimal 15 orang. Penilaian

pada analisis organoleptik ini berdasarkan uji hedonik dengan parameter pengujian

organoleptik meliputi kenampakan, bau, rasa, dan tekstur. Data hasil uji organoleptik

Page 2: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

keempat sampel ikan cakalang asap untuk setiap parameter pengujian dapat dilihat pada

Lampiran 2.

4.2.1 Kenampakan

Histogram hasil pengujian organoleptik ikan asap untuk parameter kenampakan dapat

dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Histogram hasil pengujian organoleptik untuk parameter kenampakan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap Keterangan:

= Nilai organoleptik Kenampakan ikan asap UPI Tilango

= Nilai organoleptik Kenampakan ikan asap UPI Pilohayanga

= Nilai organoleptik Kenampakan ikan asap UPI Gentuma

= Nilai organoleptik Kenampakan ikan asap UPI Palma

Berdasarkan histogram organoleptik untuk parameter penampakan ikan cakalang asap

dari keempat sampel yang diuji dapat dijelaskan bahwa nilai organoleptik untuk parameter

kenampakan nilai rata-rata tertinggi berada pada ikan cakalang asap A yaitu 8,80, sedangkan

nilai rata-rata terendah berada pada ikan cakalang asap yang berasal dari tempat pengolah D

yaitu 6,13. Hasil uji organoleptik kenampakan ikan cakalang asap memiliki nilai yang

bervariasi untuk setiap tempat pengolah. Pada UPI Tilango nilai rata-rata yang tertinggi,

menggunakan bahan bakar kayu lamoro, waktu pengasapan selama 4-5 jam pada suhu 80ºC-

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

A B C D

8,678,00 7,40

6,33

Nila

i Org

anol

eptik

Histogram Kenampakan

Page 3: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

90ºC. Hal ini diduga dikarenakan asap yang diserap oleh tubuh ikan sangat bervariasi

(tergantung dari jenis bahan bakar yang digunakan) sehingga memungkinkan warna pada

permukaan ikan yang berbeda. Selain itu jumlah kadar air juga dapat mempengaruhi nilai

kenampakan tersebut, dimana semakin tinggi kadar airnya maka nilai kenampakannya

semakin rendah.

Kayu keras (hard wood) banyak mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa,

contohnya tempurung kelapa, kayu turi, kayu mahoni, jati dan bengkirai. Jenis kayu tersebut

sebagian memang cukup mahal dan banyak digunakan untuk pembuatan industri mebel,

tetapi dalam pengolahan ikan asap dapat digunakan limbah dari jenis kayu tersebut sehingga

harga dapat ditekan. Jenis kayu yang banyak mengandung selulosa adalah yang terbaik

karena menghasilkan mutu asap yang baik dan akan mempengaruhi mutu produknya juga

(BI, 2009).

Pada UPI Palma nilai rata-rata yang terendah, menggunakan asap cair dan bahan bakar

sabut kelapa, waktu pengasapan selama 3 jam pada suhu 70ºC-80ºC. Hal ini disebabkan

karena perendaman asap cair selama 15 menit dan bahan air yang digunakan tidak diganti

sehingga asap kurang meresap ke daging dengan tingkat keaktifan asap cair berkurang. Asap

cair mengandung berbagai senyawa yang terbentuk karena terjadinya pirolisis tiga komponen

kayu yaitu: selulosa, hemiselulosa, ignin, dan fenol. Lebih dari 400 senyawa kimia dalam

asap telah berhasil diidentifikasikan (Sulistijowati dkk, 2011). Lebih lanjut Moejiharto dkk

(2000) menjelaskan bahwa besarnya kadar fenol berhubungan dengan semakin besarnya

konsentrasi perendaman. Hal ini dapat dijelaskan bahwa difusi asap cair (fenol) dari

permukaan ke pusat sampel berjalan sesuai dengan besarnya konsentrasi yang diberikan.

Proses pengasapan mempengaruhi atribut inderawi dari produk pengasapan karena

terjadinya perubahan-perubahan protein akibat proses penggaraman atau pemanasan.

Pengasapan juga memberikan warna dan citarasa yang menarik terhadap ikan asap. Warna

Page 4: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

dari ikan asap tidak hanya tergantung pada perubahan warna pigmen kulit tetapi juga

dipengaruhi oleh jumlah dan komposisi komponen asap yang terserap serta interaksinya

dengan produk selain itu jenis kayu yang digunakan sebagai sumber asap juga akan

mempengaruhi warna dari produk pengasapan. Komponen fenol yang terkandung dalam asap

merupakan hal yang paling penting dalam pembentukan citarasa asap dari produk pengasapan

(Sikorski & Sun Pan 1994).

Menurut Afrianto dan Liviawati (1989), zat-zat kimia yang dihasilkan dari

pembakaran bahan bakar dalam proses pengasapan dapat memberikan warna kuning

keemasan dan dapat memberikan daya tarik pada konsumen. Lebih lanjut dikatakan

Moeljanto (1992), warna yang dikehendaki oleh konsumen sebagai warna ideal dari ikan

hasil proses pengasapan adalah warana kuning emas kecoklatan. Menurut Soesono (1985),

pengasapan bertujuan untuk memberikan warna serta rasa yang khas pada ikan, sehingga

dapat dinyatakan bahwa semakin lama ikan diasapi maka semakin banyak jumlah zat-zat

dalam asap yang diterima sesuai dengan produk akhir yang diinginkan.

Perubahan warna produk yang diasapi pada umumnya terjadi akibat senyawa-

senyawa yang terdapat pada ikan mengalami oksidasi. Terjadinya peristiwa oksidasi ini tidak

terlepas dari peran oksigen sehingga membuat kontak yang bebas dengan udara (Hadiwiyoto,

1993). Sehingga perbedaan nilai organoleptik tersebut mempengaruhi tekstur yang tidak

kompak, kenampakan, bau dan rasa yang berbeda, namun secara umum penerimaan

organoleptik menunjukkan bahwa pada semua perlakuan dapat diterima oleh panelis. pada

umumnya tergantung pada warna, karena warna tampil terlebih dahulu (Winarno, 2004).

Potensi pembentukan warna coklat Menurut Ruiter (1979) dalam Prananta (2005),

karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya pembentukan warna coklat pada produk

asapan. Jenis komponen karbonil yang paling berperan adalah aldehid glioksal dan metal

glioksal sedangkan formaldehid dan hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol

Page 5: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna coklat pada produk yang diasap

meskipun intensitasnya tidak sebesar karbonil.

Warna merupakan komponen yang sangat penting untuk menentukan kualitas atau

derajat penerimaan suatu bahan pangan. Suatu bahan pangan meskipun dinilai enak dan

teksturnya sangat baik, tetapi memiliki warna yang kurang sedap dipandang atau memberikan

kesan menyimpang dari warna yang seharusnya, maka tidak layak dikonsumsi. Penentuan

mutu suatu bahan pangan pada umumnya tergantung pada warna, karena warna tampil

terlebih dahulu (Winarno, 2004).

4.2.2 Bau

Hasil uji organoleptik terhadap bau ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap yang

diperolah dari 4 UPI yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Histogram hasil pengujian organoleptik untuk parameter bau ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap Keterangan:

= Nilai organoleptik bau ikan asap UPI Tilango

= Nilai organoleptik bau ikan asap UPI Pilohayanga

= Nilai organoleptik bau ikan asap UPI Gentuma

= Nilai organoleptik bau ikan asap UPI Palma

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

A B C D

8,808,00

7,136,13

Nila

i Org

anol

eptik

Histogram Bau

Page 6: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

Berdasarkan histogram organoleptik untuk parameter bau ikan cakalang asap dari

keempat sampel yang diuji dapat dijelaskan bahwa nilai organoleptik sampel ikan asap UPI

Tilango nilai rata-ratanya 8,80, sampel ikan asap UPI Pilohayanga nilai rata-ratanya 8,00,

sampel ikan asap UPI Gentuma nilai rata-ratanya 7,13, dan sampel ikan asap UPI Palma nilai

rata-ratanya 6,13.

Nilai rata-rata organoleptik untuk parameter bau tertinggi berada pada ikan cakalang

asap A yaitu 8,80, sedangkan nilai rata-rata terendah berada pada ikan cakalang asap yang

berasal dari tempat pengolah D yaitu 6,13. Histogram tersebut memperlihatkan bahwa ikan

cakalang asap memiliki nilai yang bervariasi untuk setiap tempat pengolah. Hal ini

kemungkinan dikarenakan asap yang dihasilkan dari bahan bakar dan lama proses

pengasapan sangat bervariasi sehinga memungkinkan bau pada ikan juga berbeda. Selain itu

jumlah kadar air mempangaruhi nilai organoleptik tersebut. Semakin tinggi kadar airnya

maka nilai organoleptiknya semakin rendah.

Pengasapan yang di lakukan pada UPI Tilango merupakan pangasapan panas yang

langsung menggunakan suhu tinggi sehingga waktu pengasapan selama 4-5 jam pada suhu

80ºC-90ºC. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Wibowo (1996) bahwa sebaiknya tidak

mengasap ikan secara langsung pada suhu tinggi sebab daging ikan akan cepat matang, tetapi

teksturnya masih lunak. Akibatnya, pengeringan berjalan lambat dan ikan mudah patah.

Pengasapan dihentikan setelah ikan berwarna. Coklat keemasan, bau yang khas asap dan

cairan yang ada pada ikan tidak terlalu banyak. Produk yang dihasilkan pada unit pengasapan

ini hanya bisa bertahan 2-3 hari.

Pada UPI Palma proses pengasapan menggunakn asap cair. Perendaman asap cair yang

begitu lama selama 15 menit dan bahan asap cairannya tidak diganti sehingga asap kurang

meresap kedaging kemudian tingkat keaktifannya berkurang. Menurut Sulistijowati dkk,

2011, dalam proses pengasapan cair aroma asap yang dihasilkan pada proses pengasapan

Page 7: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

didapat tanpa melalui proses pengasapan, melainkan melalui penambahan cairan bahan

pengasap ke dalam produk. Bahan baku ikan direndam dalam asap cair, yang didapat dari

hasil ekstrak penguapan kering unsur kayu atau dari hasil ekstrak yang ditambahi pewangi

kayu, yang hampir sama dengan aroma pengasapan, setelah itu ikan dikeringkan dan menjadi

produk akhir. Metode penambahan bahan pengasap ke dalam ikan, dapat dilakukan melalui

penuangan langsung, pengasapan, pengolesan atau penyemprotan. Melalui proses ini tidak

diperlukan lagi ruang tempat pengasapan atau alat pengasapan yang menjadi keuntungan dari

proses ini, namun aroma produk yang dihasilkan jauh dibawah dari aroma produk yang

dilakukan dengan proses pengasapan sesungguhnya.

Menurut Randal dan Bratzler (1970) dalam Kapoh (1995), zat-zat yang mendominasi

pembentukan bau adalah komponen-komponen asap yang melekat pada produk seperti

fenol. Wibowo (2000) menyatakan bahwa kriteria mutu bau untuk ikan asap adalah bau asap

yang lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, tanpa bau asing,

tanpa bau asam dan tanpa bau apek.

Aroma Menurut Kartika, dkk (1988) menyatakan bahwa aroma dapat didefinisikan

sebagai hasil dari respon indera pencium yang diakibatkan oleh menguapnya zat-zat sedikit

larut dalam lemak pada suatu produk makanan ke udara sehingga dapat direspon oleh indera

pencium, yaitu hidung, dan kemudian dikenali oleh sistem tubuh sebagai aroma tertentu. Di

dalam industri pangan, pengujian terhadap bau atau aroma dianggap penting karena dengan

cepat dapat memberikan hasil penilaian terhadap produk tentang diterima atau tidaknya

produk tersebut. Selain itu, aroma juga dapat digunakan sebagai indikator terjadinya

kerusakan pada produk.

Nilai kesukaan terendah terhadap aroma terdapat pada asap cair. Hal ini disebabkan

karena bau asap makin menyengat sehingga kurang disukai panelis semakin pekatnya asap

cair yang digunakan sebagai perendam, maka komponen asap yang menempel atau meresap

Page 8: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

ke dalam ikan cakalang asap semakin banyak. Bau khas tersebut adalah fenol yaitu senyawa

utama pembentuk aroma asap (Dwiyitno dkk, 2006; Soeparno, 2005). Lebih lanjut

Moejiharto dkk (2000) menjelaskan bahwa besarnya kadar fenol berhubungan dengan

semakin besarnya konsentrasi perendaman. Aroma adalah rasa dan bau yang sangat subyektif

serta sulit diukur, karena setiap orang mempunyai sensitifitas dan kesukaan yang berbeda.

Meskipun mereka dapat mendeteksi, tetapi setiap individu memiliki kesukaan yang berlainan.

Timbulnya aroma makanan disebabkan oleh terbentuknya senyawa yang mudah menguap.

4.2.3 Rasa

Rasa merupakan tanggapan atas adanya rangsangan kimiawi yang sampai di indera

pengecap lidah, khususnya jenis rasa dasar yaitu manis, asin, asam, dan pahit (Meilgaard et

al. 2000). Histogram hasil pengujian organoleptik ikan asap untuk parameter rasa dapat

dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Histogram hasil pengujian organoleptik untuk parameter rasa ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap Keterangan:

= Nilai organoleptik rasa ikan asap UPI Tilango

= Nilai organoleptik rasa ikan asap UPI Pilohayanga

= Nilai organoleptik rasa ikan asap UPI Gentuma

= Nilai organoleptik rasa ikan asap UPI Palma

4,004,505,005,506,006,507,00

A B C D

7,00 7,00 7,00

6,13

Nila

i Org

anol

eptik

Histogram Rasa

Page 9: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

Berdasarkan histogram organoleptik untuk parameter rasa ikan cakalang asap dari

keempat sampel yang diuji dapat dijelaskan bahwa nilai organoleptik sampel ikan asap UPI

Tilango nilai rata-ratanya 7,00, sampel ikan asap UPI Pilohayanga nilai rata-ratanya 7,00,

sampel ikan asap UPI Gentuma nilai rata-ratanya 7,00, dan sampel ikan asap UPI Palma nilai

rata-ratanya 6,13.

Hasil pengujian organoleptik rasa ikan cakalang asap memiliki nilai yang bervariasi

untuk setiap tempat pengolah. Hal ini kemungkinan dikarenakan asap yang diserap oleh

tubuh ikan sangat bervariasi sehingga memungkinkan rasa pada permukaan ikan juga

berbeda. Selain itu jumlah kadar air mempengaruhi nilai rasa tersebut, dimana semakin tinggi

kadar airnya maka nilai rasa semakin rendah. Hal ini kemungkinan karena semakin rendah

kadar air maka kandungan asap dalam produk semakin terkonsentrasi.

Kayu yang digunakan pada proses pengasapan berasal dari berbagai jenis kayu.

Menurut Sullivan (2009) kombinasi kayu yang berbeda dapat dilakukan untuk menciptakan

aroma asap yang khas. Sabut kelapa memiliki bau dan flavor yang baik. Pencampuran jenis

kayu dapat mengoptimalkan atribut-atribut inderawi dari produk ikan asap yang dihasilkan.

Menurut Maga (1987), pada beberapa makanan asap tertentu, akan terbentuk suatu kombinasi

kompleks dari beberapa atribut inderawi akibat dari pencampuran beberapa jenis kayu

sebagai sumber asap.

4.2.4 Tekstur

Histogram hasil pengujian organoleptik ikan asap untuk parameter tekstur dapat

dilihat pada Gambar 7.

Page 10: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

Gambar 7. Histogram hasil pengujian organoleptik untuk parameter tekstur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap

Keterangan:

= Nilai organoleptik tekstur ikan asap UPI Tilango

= Nilai organoleptik tekstur ikan asap UPI Pilohayanga

= Nilai organoleptik tekstur ikan asap UPI Gentuma

= Nilai organoleptik tekstur ikan asap UPI Palma

Berdasarkan histogram organoleptik untuk parameter tekstur ikan cakalang asap dari

keempat sampel yang diuji dapat dijelaskan bahwa nilai organoleptik untuk parameter tekstur

sampel ikan asap UPI Tilango nilai rata-ratanya 8,80, sampel ikan asap UPI Pilohayanga nilai

rata-ratanya 8,00, sampel ikan asap UPI Gentuma nilai rata-ratanya 7,13, dan sampel ikan

asap UPI Palma nilai rata-ratanya 6,13.

Hasil pengujian organoleptik tekstur ikan asap dari keempat unit pengolahan ikan asap

diperoleh hasil yang berbeda-beda. Perbedaan nilai untuk setiap tempat pengolah sangat

berkaitan erat dengan jumlah kadar air dari bahan/produk tersebut. Nilai tekstur berbanding

terbalik dengan nilai kadar air, artinya bahwa jika jumlah kadar air dari ikan cakalang asap

menurun maka nilai teksturnya akan semakin meningkat. Demikian juga sebaliknya jika

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

A B C D

8,808,00

7,136,13

Nila

i Org

anol

eptik

Histogram Tekstur

Page 11: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

jumlah kadar air meningkat maka nilai teksturnya akan semakin menurun. Dari hasil

penelitian Enampato (2011) menyatakan bahwa semakin rendah jumlah kadar air dari ikan

asap maka nilai teksturnya semakin tinggi. Hal ini dikarenakan daging ikan semakin padat

atau keras seiring menurunnya kadar air dari tubuh ikan.

Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan menggunakan mulut

(pada waktu digigit, dikunyah dan ditelan), ataupun dengan perabaan dengan jari (Kartika

dkk, 1988). Untuk dapat merasakan tekstur suatu produk digunakan indera peraba. Indera

peraba yang biasa digunakan untuk makanan biasanya di dalam mulut dengan menggunakan

lidah dan bagian-bagian di dalam mulut, dapat juga dengan menggunakan tangan sehingga

dapat merasakan tekstur suatu produk makanan. Tekstur juga menjadi salah satu faktor

penentu kualitas yang perlu diperhatikan.

Kataren (1986), menambahkan bahwa mikroba dapat merusak bahan pangan dan

menghasilkan cita rasa yang tidak enak disamping menimbulkan perubahan warna dan

tekstur. Hal ini didukung oleh pendapat Fardiaz (1992), yang menyatakan bahwa

mikroorganisme mempunyai berbagai enzim yang dapat memecah komponen makanan

menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana yang dapat menyebabkan perubahan pada

warna, tekstur, bau dan rasa.

4.3 Analisis Kadar Air Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap

Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi

tekstur, penampakan, dan citarasa makanan. Kandungan air dalam bahan pangan juga ikut

menentukkan daya terima, kesegaran dan daya tahan produk. Kadar air mempunyai peran

yang penting dalam menentukkan daya awet dari bahan pangan karena dapat mempengaruhi

sifat fisik, perubahan-perubahan kimia, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis

(Buckle et al, 1987).

Page 12: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

Hasil pengujian kadar air ikan cakalang asap (Katsuwonus pelamis) dari keempat lokasi

pengolahan ikan berbeda dan perbandingannya dapat digambarkan dalam bentuk histogram.

Adapun histogram hasil uji kadar air ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap dapat dilihat

pada Gambar 8.

Gambar 8. Histogram hasil pengujian kadar air ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap

Keterangan:

= Kadar air ikan asap UPI Tilango

= Kadar air ikan asap UPI Pilohayanga

= Kadar air ikan asap UPI Gentuma

= Kadar air ikan asap UPI Palma

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa masing-masing tempat pengolahan ikan

cakalang asap memiliki nilai kadar air yang berbeda-beda. Hal ini kemungkinan dipengaruhi

oleh suhu dan lamanya waktu pengasapan. Kadar air tertinggi terdapat pada jenis UPI

Pilohayanga karena bahan bakar yang digunakan yaitu kayu lamtoro, dengan suhu

pengasapan yang dihasilkan 80ºC-90 ºC. Taib (1987) menyebutkan bahwa semakin besar

perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan yang dikeringkan, semakin besar pula

kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan, sehingga penguapan air dari bahan akan

lebih banyak dan cepat. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi proses pengasapan ikan

cakalang asap dapat menghasilkan produk dengan kadar air yang lebih rendah, dibandingkan

0

20

40

60

80

A B C D

43,52

73,65 72,51 64,15

Kad

ar a

ir (%

)

Histogram Kadar Air

Page 13: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

dengan penggunaan satu proses pengawetan. Perubahan kadar air pada proses pengasapan

diakibatkan karena panas dan penarikan air dari jaringan tubuh ikan oleh penyerapan

berbagai senyawa kimia dari asap (Wibowo, 2000). Harikedua (1992) menyatakan bahwa

suhu dan lama pengasapan mempengaruhi nilai kadar air. Hal ini dikarenakan selama proses

pengasapan berlangsung terjadi penguapan molekul-molekul air dari produk yang diasapi.

Lebih lanjut Morintoh (2004) menyatakan bahwa semakin lama waktu pengasapan yang

dilakukan maka akan semakin rendah kandungan air dalam produk tersebut.

Menurut Ninoek et al. (1991) menerangkan bahwa bahan pangan yang berkadar air

tinggi akan lebih mudah rusak, sedangkan yang berkadar air rendah akan lebih awet. Hal ini

terjadi karena dalam proses enzimatis dan kimiawi serta pertumbuhan bakteri diperlukan

sejumlah air. Turunnya kadar air pada bahan akibat penguapan yang menyebabkan

berkurangnya penyediaan air yang merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan kehidupan

semua mikroorganisme.

Menurut Adawyah (2007), pengasapan yang terlalu lama akan menghilangkan

kelezatan ikan karena terlalu banyak air yang hilang. Demikian pula, pemakaian asap yang

terlalu panas. Suhu yang digunakan untuk pengasapan panas cukup tinggi sehingga daging

ikan menjadi matang. Moeljanto (1992) menyatakan bahwa batas kadar air yang diperlukan

setelah proses pengeringan kira-kira sebesar 30% atau setidak-tidaknya 40%, supaya

perkembangan jasad-jasad pembusuk dapat terhenti atau terhambat.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi besarnya pemakaian bahan bakar untuk

pengasapan antara lain adalah: lamanya pengasapan, kapasitas ruang pengasapan atau jumlah

dan ukuran ikan yang diasap, serta kadar air akhir ikan asap yang dikehendaki. Dengan

demikian, pemanfaatan asap dan panas yang dihasilkan oleh setiap satuan bahan bakar

menjadi lebih efisien bila digunakan untuk pengasapan.

Page 14: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

Kadar air yang cukup tinggi pada produk ikan asap menyebabkan produk ikan asap

tidak tahan lama untuk disimpan. Selain itu, Sanitasi alat dan tempat pengasapan yang

tidak baik akan mengakibatkan kontaminasi pada produk ikan asap yang dihasilkan.

Semua masalah ini dapat rnenyebabkan industri pengolahan tradisional ikan cakalang asap

kurang berkembang sehingga perlu adanya jerobosan untuk proses pengolahan yang lebih

baik. Selain itu, faktor yang memengaruhi ikan asap di antaranya berkurang kadar air sampai

di bawah 40% adanya senyawa-senyawa di dalam asap kayu yang dapat menghambat

pertumbuhan bakteri pembusuk, dan terjadi koagulasi protein pada permukaan ikan yang

mengakibatakn jaringan pengikat menjadi lebih kuat dan kompak sehingga tahan terhadap

serangan bakteri (Saparinto 2010). Proses pengasapan menyebabkan turunnya kadar air

tertinggalnya bahan-bahan pembentuk asap pada permukaan ikan, sementera asap yang

mudah menguap menurunkan pH pada permukaan ikan dan memperlambat pertumbuhan

bakteri. Suhu tinggi selama pengasapan juga bersifat antibakteri. Hal ini yang mempengaruhi

jumlah pertumbuhan bakteri dalam proses pengasapan ikan (Marassebesy, 2011).

Perbedaan kadar air keempat unit diduga karena perbedaan suhu dan lamanya proses

pengasapan. Menurut Wibowo (2000), dijelaskan bahwa pada bahan pangan yang

dipanaskan, total air/cairan yang keluar dari produk, akan semakin meningkat, dengan

semakin meningkatnya temperatur dan lama proses pengasapan. Peningkatan kehilangan

cairan akan semakin besar pada suhu pemanasan di atas 80-900C dan peningkatan waktu

lebih dari 3 jam. Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada perlakuan pada semua perlakuan

dengan lama pengasapan yang berbeda. Semakin tinggi waktu pengasapan maka kadar air

yang terkandung dalam daging ikan semakin berkurang.

Nilai kadar air ini dipengaruhi oleh faktor-faktor selama proses pengasapan, seperti

suhu pengasapan, kelembaban udara, jenis dan kondisi bahan bakar, jumlah asap, ketebalan

asap serta kecepatan aliran asap di dalam alat pengasapan. Faktor-faktor tersebut

Page 15: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

mempengaruhi banyaknya asap yang kontak dengan ikan sehingga berpengaruh pula terhadap

panas yang diberikan dan banyaknya air yang hilang dari produk Afrianto dan

Liviawaty(1989) dalam Himawati (2010).

Perbedaan nilai kadar air terjadi karena diduga akibat proses pengolahan antara tiap

produsen ikan asap berbeda-beda. Perbedaan tersebut diantaranya adalah lama waktu

pengasapan, banyaknya bahan pengasap yang digunakan serta ruang pengasapan. Semakin

lama waktu pengasapan dan makin banyak jumlah bahan pengasap yang digunakan diduga

akan meningkatkan suhu ruang pengasapan. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada

pengurangan kadar air produk akibat panas yang ditimbulkan. Berkurangnya kadar air produk

dapat menyebabkan komponen protein, lemak dan abu menjadi meningkat, hal ini diduga

karena komponen tersebut masih terikat dalam air (Ahmed et al, 2010)

Pengasapan dilakukan dengan cara pengasapan panas dan dapat pula dilakukan

dengan menggunakan asap cair. Penggunaan asap cair dapat menyebabkan terjadinya

kehilangan air pada produk (Leroi & Joffraud, 2000; Rorvik, 2000 dalam Zuraida, 2008).

Gomez-Guillen et al. (2003) dalam Zuraida (2008) menyatakan bahwa tingkat keasaman asap

cair dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging, sehingga berakibat pada keluarnya air

dari daging ikan. Berdasarkan pernyataan ini dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya kadar

air pada ikan asap dapat dipengaruhi oleh tingkat keasaman asap cair yang digunakan. Untuk

itu, penggunaan konsentrasi asap cair perlu untuk diperhatikan karena sangat menentukan

jumlah kadar air pada produk ikan asap.

Menurut Buckle et al. (1987) bahwa pengaruh kadar air sangat penting sekali dalam

menentukan daya awet suatu bahan pangan karena kadar air mempengaruhi sifat–sifat fisik

(organoleptik), sifat kimia, dan kebusukan oleh mikroorganisme.

4.4 Analisis Kadar Histamin Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap

Page 16: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

Hasil pengujian kadar histamin pada setiap sampel berbeda dan perbedaannya dapat

digambarkan dalam bentuk histogram Gambar 9.

Gambar 9. Histogram hasil pengujian kadar histamin ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap Keterangan:

= Kadar histamin ikan asap UPI Tilango

= Kadar histamin ikan asap UPI Pilohayanga

= Kadar histamin ikan asap UPI Gentuma

= Kadar histamin ikan asap UPI Palma

Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap, kadar histamin maksimal yang

terkandung dalam produk ikan asap untuk SNI 2360-10:2009 adalah sebesar 100 mg/kg atau

sebesar 100 µg/g. Sesuai dengan SNI kadar histamin untuk ikan asap, maka keempat sampel

ikan asap (UPI Tilango, UPI Pilohayanga, UPI Gentuma, dan UPI Palma) masih memenuhi

syarat dan aman untuk dikonsumsi karena hasil pengujian kadar histaminnya masih dibawah

100 µg/g. Kadar histamin pada unit pengolahan ikan memiliki nilai yang bervariasi untuk

setiap tempat pengolah. Hal ini diduga karena penanganan sebelum melakukan proses

pengolahan ikan cakalang dengan menggunakan media pendingin es yang disimpan dalam

box. Menurut Junianto (2003) penanganan ikan segar harus menggunakan suhu rendah

(dingin/beku) sehingga proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang

mengarah kepada kemunduran mutu ikan menjadi lebih lambat, selain itu pada suhu rendah

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

A B C D

47,48

72,3789,76

59,88

Kad

ar H

istam

in (µ

g/g)

Histogram Kadar Histamin

Page 17: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat diperlambat sehingga kesegaran

ikan akan semakin lama dipertahankan.

Histamin merupakan indikator utama keracunan scombrotoxin. Scombrotoxin adalah

toksin yang dihasilkan terutama oleh ikan-ikan famili Scombroidae seperti tuna, cakalang,

tongkol, marlin, mackerel, dan sejenisnya (Lehane dan Olley 2000). Ikan-ikan golongan

scombroid biasanya memiliki kandungan histidin dengan level tinggi yang akan diubah

menjadi histamin oleh bakteri pembentuk histamin yang memiliki enzim histidin

dekarboksilase jika kondisi penyimpanan tidak dapat mengontrol pertumbuhan bakteri

(McLauchlin et al. 2005).

Pembentukan histamin dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh kandungan histidin dalam

daging ikan yang secara alami terdapat di dalam jaringan ikan yang akan didekarboksilasi

oleh bakteri penghasil enzim histidin dekarboksilase menjadi histamin. Aktivitas bakteri

penghasil enzim histidin dekarboksilase dapat meningkat jika penanganan ikan kurang baik,

misalnya kurang efektifnya penerapan rantai dingin serta kurang diperhatikannya aspek

sanitasi dan higiene. Menurut Sims (1992), ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu

histidin bebas dan histidin terikat dalam protein. Namun demikian, hanya histidin bebas yang

dapat mengalami dekarboksilasi menjadi histamin. Dalam hal ini yang memegang peranan

penting dalam pembentukan histidin bebas dari jaringan protein menjadi histamin adalah

aktivitas bakteri dan proteolisis selama proses autolisis. Faktor-faktor yang mempengaruhi

perombakan histidin menjadi histamin adalah faktor waktu, temperatur, jenis dan banyaknya

mikroflora bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan.

Kecepatan penguraian zat-zat dalam tubuh ikan tergantung dari sifat daging ikan. Ikan

yang banyak mengandung histidin akan cenderung lebih cepat rusak dibandingkan ikan yang

tidak banyak mengandung histidin (Zaitsev et al. 1969). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa

histidin merupakan senyawa yang dibutuhkan oleh tubuh, namun keberadaan senyawa

Page 18: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

tersebut juga dapat berdampak pada timbulnya histamin terutama pada bahan pangan yang

mengandung protein seperti ikan. Permasalahan lainnya adalah histamin tahan terhadap

pemanasan. Sehingga, proses pengasapan ikan dengan suhu panas yang tinggi tidak dapat

menghilangkan atau menurunkan kadar histamin pada ikan. Untuk itu, kualitas ikan mentah

yang digunakan sebagai bahan baku ikan asap sangat penting untuk diperhatikan terutama

ditinjau dari kadar histaminnya.

Faktor pemanasan dapat berpengaruh pada kandungan histidin yang terukur pada ikan

cakalang karena reaksi proteolisis saat pemanasan dapat meningkatkan kandungan asam

amino bebas (Liu et al. 2009). Keempat UPI ini memiliki bahan baku yang sama tetapi bahan

bakar dan waktu pengasapan yang berbeda. Histidin dapat berkurang kandungannya karena

oksidasi lemak (Bligh et al. 1988) sedangkan asap memiliki aktivitas antioksidan yang

tinggi (Doe 1998).

4.5 Analisis Escherichia Coli Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap

Data hasil analisis Escherichia coli sampel ikan cakalang asap dapat dilihat pada Tabel

8.

Tabel 8. Data Hasil Pengujian Coliform Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap

Kode

Sampel Ulangan Ke Jumlah Coliform (Apm/g)

A 1 < 3 2 < 3

B 1 < 3 2 < 3

C 1 < 3 2 < 3

D 1 < 3 2 < 3

Berdasarkan data hasil uji Escherichia Coli ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap

dapat dijelaskan bahwa hasil uji mikrobiologi baik sampel UPI Pilohayanga, UPI Tilango,

UPI Palma dan UPI Gentuma, jumlah cemaran mikroba Escherichia Coli pada ulangan

Page 19: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

pertama dan ulangan kedua adalah tidak ditemukan adanya bakteri Escherichia Coli.

Kehadiran bakteri E.coli sebagai parameter ada tidaknya bakteri ditandai dengan adanya

kekeruhan dan gelembung gas yang terdapat dalam tabung durham. Setelah ikan cakalang

asap di inkubasi selama 48 jam pada suhu 35ºC tidak terlihat adanya gas atau kekeruhan pada

tabung LTB. Lauryl Tryptose Broth fungsinya adalah untuk mendeteksi adanya Coliform,

jadi tidak di lanjutkan kepengujia E.coli karena pada tabung LTB tidak terlihat adanya gas.

Hal ini dikarenakan pada saat proses pengasapan E.coli sudah tidak ada dan setelah

pengasapan tidak terjadi kontaminasi. Hasil penelitian ini jika dikaitkan dengan persyaratan

mutu dan keamanan pangan ikan asap (SNI 01-2332.2006), jumlah cemaran mikroba

Escherichia Coli pada produk ikan asap adalah maksimal < 3 (Apm/g) sedangkan hasil

penelitian tidak ditemukan adanya bakteri E.coli. Sehingga semua sampel ikan cakalang asap

yang diuji masih memenuhi syarat dan aman untuk dikonsumsi.

Menurut Wahjuningsih (2001), bahwa uji pendugaan ini memperkirakan ada/tidaknya

bakteri E.coli di dalam sampel. Suatu seri pengenceran sampel ditumbuhkan dalam media

Lactosa Broth (Lauryl Tryptose Broth) pada suhu 35°C. Uji dinyatakan positif bila terbentuk

gas hasil hidrolisa laktosa oleh enzim bakteri dari kelompok E.coli. Menurut Lukman dan

Purnawarman (2008), E.coli merupakan mikroorganisme yang lebih disukai untuk digunakan

sebagai indikator sanitasi. Mikroorganisme yang digunakan sebagai indikator sanitasi dalam

pengolahan makanan adalah mikroorganisme yang umum terdapat dalam saluran pencernaan

manusia maupun hewan.

Hasil pengamatan pada tabung pengenceran (3 tabung seri) tidak menunjukkan

adanya kekeruhan dan pembentukan gas dalam tabung durham sehingga uji penegasan E.

coli tidak dapat dilanjutkan. Kemungkinan lain E. coli tidak dapat tumbuh bisa diduga bahwa

air pencucian dan peralatan yang digunakan selama penanganan dan pengolahan ikan bersih

dan tidak tercemari oleh E. coli. Menurut Moehyi (1992), E. coli dapat tumbuh di dalam

Page 20: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

bahan baku, peralatan yang digunakan, air pencuci maupun pekerja selama pengolahan yang

tidak bersih dan sehat. Peralatan dapur harus segera dibersihkan dan diberi disinfektan untuk

mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada tahap persiapan, pengolahan,

penyimpanan, karena peralatan dapur seperti alat pemotong, talenan dan alat saji merupakan

sumber kontaminan potensial bagi makanan (Purnawijayanti 2001).

Bakteri coliform adalah golongan bakteri intestinal, yaitu hidup dalam

saluran pencernaan manusia. Bakteri coliform merupakan bakteri indikator keberadaan

bakteri patogenik dan masuk dalam golongan mikroorganisme yang lazim digunakan

sebagai indikator, di mana bakteri ini dapat menjadi sinyal untuk menentukan suatu sumber

air telah terkontaminasi oleh patogen atau tidak. Bakteri coliform ini menghasilkan zat

etionin yang dapat menyebabkan kanker. Selain itu bakteri pembusuk ini juga

memproduksi bermacam-macam racun seperti indol dan skatol yang dapat menimbulkan

penyakit bila jumlahnya berlebih didalam tubuh. Bakteri coliform dapat digunakan

sebagai indikator karena densitasnya berbanding lurus dengan tingkat pencemaran air.

4.6 Analisis Angka Lempeng Total (ALT) Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Asap

Adapun histogram hasil pengujian Angka Lempeng Total (ALT) ikan cakalang

(Katsuwonus pelamis) asap dapat dilihat pada Gambar 10.

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

A B C D

3,55 3,79 3,49

9,18

Log

Sel (

Kol

oni/g

)

Histogram Log Sel

Page 21: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

Gambar 10. Histogram hasil pengujian Angka Lempeng Total (ALT) ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) asap

Keterangan:

= Nilai Log Sel ikan asap UPI Tilango

= Nilai Log Sel ikan asap UPI Pilohayanga

= Nilai Log Sel ikan asap UPI Gentuma

= Nilai Log Sel ikan asap UPI Palma

Berdasarkan Gambar 10 terlihat hasil uji ALT produk ikan cakalang asap hasil

penelitian pada perlakuan A, B dan C diperoleh jumlah nilai ALT masih berada di bawah

jumlah standar (1 x 105 koloni/g), namun pada perlakuan D mempunyai nilai ALT yang

lebih besar dari standar ikan asap. Menurut Buckle et al. (1987), nilai TPC dipengaruhi oleh

faktor ekstrinsik yaitu kondisi lingkungan dan cara penanganan dan penyimpanan produk.

Intensitas bakteri tergantung pada jumlah bakteri mula–mula, ketika tindakan sanitasi dan

higiene yang dilakukan selama penanganan dan penyimpanan. Cara penanganan, pengolahan,

dan penyimpanan yang tidak higiene terhadap bahan mentah maupun produk olahan, dapat

menyebabkan kontaminasi bahan mentah/produk olahan dengan mikroba yang berasal dari

lingkungan pengolahan dan penyimpanan (Moeljanto, 1992).

Analisis kandungan mikroba pada bahan pangan penting dilakukan untuk mengetahui

mutu bahan pangan dan menghitung proses pengawetan yang akan diterapkan pada bahan

pangan tersebut. Jumlah dan jenis jasad renik pada makanan yang telah diolah selain

dipengaruhi oleh sifat bahan pangan juga dipengaruhi oleh ketahanan mikroorganisme

terhadap proses pengolahan yang diterapkan terhadap makanan tersebut (Fardiaz 1992).

Tingginya jumlah bakteri pada ikan asap kemungkinan disebabkan telah terjadi

kontaminasi dari; lingkungan, pekerja, peralatan dan wadah yang digunakan selama proses

penanganan ikan sebelum pengasapan dan sesudah pengolahan ikan asap. Meskipun

demikian setelah proses pengasapan, asap yang terkandung pada daging ikan asap dapat

menekan pertumbuhan jumlah bakteri TPC. Hal ini disebabkan karena kandungan yang ada

Page 22: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

pada asap yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Menurut Pszczola (1995),

kombinasi antara komponen fungsional fenol dan kandungan asam organik yang cukup tinggi

bekerja secara sinergis mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikroba. Kandungan kadar

asam yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikrobia karena mikrobia hanya bisa

tumbuh pada kadar asam yang rendah.

Girrard (1992) bahwa potensi asap dapat memperpanjang masa simpan produk dengan

mencegah kerusakan akibat aktivitas bakteri pembusuk dan patogen. Senyawa yang

mendukung sifat antibakteri dalam destilat asap cair adalah senyawa fenol dan asam.

Berdasarkan kedua pernyataan yang dikemukakan, dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya

komponen fungsional fenol dan kandungan asam organik pada asap dapat jumlah bakteri

TPC pada produk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap ini sangat bergantung pada

proses pengasapan. Jumlah tersebut masih dalam batas yang aman sesuai SNI TPC.

Penurunan jumlah tersebut kemungkinan karena waktu pengasapan. Suhu asap dari proses

pengasapan seperti pada keempat UPI di Propinsi Gorontalo dapat mencapai 80-90°C.

Persyaratan mutu dan keamanan pangan ikan asap (SNI 01-2332.3-2006 untuk ALT ikan

asap), jumlah ALT pada produk adalah maksimal 1,0 x 105 koloni/g yang apabila diubah

dalam bentuk bilangan logaritma menjadi 5 koloni/g.

Faktor lain yang sangat penting dalam mernpengaruhi terjadinya kontaminasi bakteri

ke dalam ikan asap adalah praktek higiene produsen dan penjual. Praktek higiene yang buruk

seperti pemakaian alat-alat yang tidak bersih, tangan yang tidak dicuci, kuku yang kotor dan

tidak dipotong atau membiarkan makanan terlalu lama dipengaruhi lingkungan dapat

menjadi media yang sangat efektif' dalam penyebaran kuman. Keadaan lingkungan sekitar

yang kotor juga dapat rnemungkinkan adanya kontaminasi oleh kuman yang terbawa oleh

partikel-partikel udara yang kotor. Jumlah bakteri bertambah seiring dengan waktu

penyimpanan. Kebersihan lingkungan seperti menumpuknya sampah di sekitar tempat

Page 23: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Bakueprints.ung.ac.id/717/10/2013-2-54244-632408050-bab4-10012014104101.pdfBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Asal Bahan Baku Bahan baku ikan

produksi dan tempat penjualan dapat menyebabkan kontaminasi mikroba, karena sampah

adalah media yang sangat baik bagi perkembangan kehidupan lalat, serangga, tikus dan

dapat menimbulkan bau.

Berdasarkan hasil observasi di masing-masing UPI sanitasinya baik dan proses

penanganannya memperhatikan aspek higienitas seperti penggunaan air bersih, adanya

fasilitas pencucian bahan baku, jarak dengan toilet cukup jauh, adanya tempat cuci tangan,

adanya saluran pembuangan air, tempat pembuangan sampah yang tertutup dan sering

dibersihkan, suasana ruang kerja yang bersih, penanganan limbah dengan menggunakan

wadah khusus dan tertutup.