BAB IV GENEALOGI : PRAKTIK KUASA & BIOPOWER DALAM WACANA...
Transcript of BAB IV GENEALOGI : PRAKTIK KUASA & BIOPOWER DALAM WACANA...
159
BAB IV
GENEALOGI : PRAKTIK KUASA & BIOPOWER DALAM WACANA
MEN’S FITNESS & WOMEN’S FITNESS
Pada bab keempat ini peneliti akan menjabarkan analisis mengenai relasi
kuasa dalam wacana fitness ada pada situs fitness Reps ID bagi laki-laki dan
perempuan dengan menggunakan alat analisis genealogi dari Foucault terkait konsep
biopower. Genealogi adalah alat analisis penting dari Foucault yang diadaptasi dari
Nietzsche (Markula & Pringle, 2006 : 32). Secara singkat genealogi melihat
hubungan antara sejarah, wacana, tubuh dan kuasa dalam rangka memahami praktik
sosial atau objek ilmu pengetahuan yang ‘masih ada hingga saat ini dan terus
memberi nilai bagi kita’ (Foucault, 1991 : 146). Hal ini ditujukan untuk
mengidentifikasi dan memahami praktik sosial dan isu kontemporer.
Sebelum masuk dalam analisis genealogi dalam situs Reps ID, penting untuk
mengetahui bagaimana analisis genealogi bekerja. Analisis ini umumnya digunakan
untuk beberapa kepentingan. Misalnya, untuk menguji apakah pengetahuan yang
disajikan oleh teks merupakan taktik yang digunakan dalam praktik fitness individual
yang memiliki efek sentralisasi kuasa yang dikaitkan wacana ilmiah yang terorganisir
(Foucault dalam Markula & Pringle, 2006 : 59). Untuk menganalisis apakah kuasa
meningggalkan jejak dalam tubuh seseorang melalui efek dari wacana ilmiah, kita
akan melihat terlebih dahulu praktik diskursif yang ada, resep latihan yang
mendefiniskan fitness yang berkaitan dengan kesehatan. Gimlin (dalam Dworkin &
Wachs, 2009) mengatakan bahwa tubuh merupakan hal yang fundamental bagi diri
karena tubuh mengindikasikan seseorang secara internal, kebiasaan apa yang
160
dimilikinya, bahkan nilai sosial apa yang terkandung dalam individu tersebut.
Kemudian, pemikiran Foucauldian akan digunakan untuk mendemonstrasikan
bagaimana proses pengakuan ini berpusat pada fitness dan tubuh berhasil dalam
disempowerment atau mengeksklusi tubuh-tubuh tertentu melalui wacana yang ada.
Foucault berargumen bahwa tiada kebenaran yang ditemukan dengan metode
ilmiah, tetapi hanya melalui tipe-tipe pengetahuan yang berbeda, semua diciptakan
dengan relasi kuasa. Foucault mendemostrasikan bahwa salah satu cara efektif untuk
menggoreskan kuasa adalah dengan mendisiplinkan tubuh. Tubuh disini tidak hanya
berarti aspek biologis dari sebuah tubuh, tapi tubuh yang merupakan objek kontrol
dan manipulasi. Ia menamai jenis kuasa ini sebagai biopower, suatu teori mengenai
kuasa yang akan dibahas secara mendalam dalam bab ini. Adapun bahasan mendalam
akan difokuskan pada tahap tiga, yaitu konsep-konsep yang muncul dalam proses
arkeologi, mulai dari rangkaian, koeksistensi dan intervensi media pada teks.
4.1 Self Surveillance, Kebenaran dan Biopower
Konsep utama mengenai kuasa yang diangkat dalam wacana fitness oleh Reps
ID adalah self surveillance atau pengawasan diri. Reps ID mengkonstruksi
sistem pengawasan ini melalui beberapa aktivitas seperti makan dan diet, latihan,
serta kontrol berat badan. Dari teks yang dinarasikan kepada komunitas wacana
terdapat kuasa. Kuasa, dalam hal pendisiplinan tidak dipahami sebagai kuasa
atas sesuatu. Kuasa pendisiplinan sifatnya lebih kepada paksaan yang
konstruktif, meresap, sulit untuk dilawan dan mampu dinormalisasi. Normalisasi
adalah salah satu efek dari kuasa, dan di waktu yang sama latihan dari kuasa itu
161
juga dinormalisasi dan tersembunyi dan melekat pada wacana dan praktik sehari
hari (Foucault dalam Markula dan Pringle, 2006 : 70).
Tujuan dari kuasa pendisiplinan adalah untuk menciptakan normalisasi,
sebagaimana didefinisikan oleh wacana yang menghegemoni. Normalitas
dipertahankan sebagai sesuatu yang ideal. Tujuan dari teknik normalisasi adalah
untuk memproduksi individu yang telah menginternalisasi suatu disiplin, dan
kemudian dilihat atau dirasa menjadi sesuatu yang normal (Markula dan Pringle,
2006 : 71). Sebagian besar artikel Reps ID mempromosikan pengawasan
terhadap diri sendiri dari beragam aspek pendisiplinan, dimulai dari
menghadirkan para penutur wacana dengan tubuh yang dikategorikan sebagai
docile bodies, hingga melakukan repetisi teks yang menekankan pada kesadaran
diri untuk masuk ke dalam suatu aktivitas pendisiplinan seperti diet atau latihan.
Mekanisme tersebut akan dijabarkan dalam tabel di bawah ini, kemudian akan
dijabarkan perihal kaitannya dengan relasi kuasa.
Foucault (dalam Markula & Pringle, 2006 : 35) mendefinisikan relasi
kuasa sebagai suatu aksi dari seseorang untuk membantu mengarahkan orang
lain atau langsung melakukan suatu ‘aksi’, meskipun tidak melalui suatu proses
pemaksaan. Orang-orang yang diangkat dalam wacana fitness Reps ID
melakukan ‘aksi’ berupa latihan atau menjaga pola makannya untuk
mendisiplinkan tubuhnya atas inisiatifnya sendiri, atau dapat dikatakan bahwa
mereka telah tunduk di bawah pola kuasa. Dengan adanya terpaan melalui teks
secara terus-menerus, akhirnya wacana mengenai disiplin tubuh ini dianggap
sebagai suatu kebenaran dalam rezim fitness.
162
Kebenaran didefinisikan oleh pengetahuan yang kita tahu mengenai cara
yang baik dan benar untuk mencapai tubuh yang fit, yang kemudian didefiisikan
lagi oleh wacana dominan. Misalnya pengetahuan fitness umumnya berdasarkan
medis, psikologi dan riset fisiologi dan pengetahuan ini mendominasi praktik
yang beragam. Berdasarkan pengetahuan ini, fitness dibangun dan dalam skema
teoretikal Foucault, praktik disiplin tubuh untuk mencapai level ilmiah dari
fitness. Menurut Foucault, ini menjadi suatu permainan tanpa akhir yang tidak
bisa dimenangkan. Sebab tubuh tidak pernah cukup untuk didisiplinkan
seluruhnya untuk mencapai suatu tujuan (Bresler, 2013 : 62). Dengan
berpartisipasi dalam latihan dan praktik disiplin tubuh di kehidupan sehari-hari,
komunitas wacana telah masuk dalam permainan kebenaran, dalam kasus ini
adalah kebenaran mengenai tubuh yang fit. Kebenaran ini didefinisikan oleh
pengetahuan (yaitu berupa cara-cara terbaik yang diketahui untuk mendapatkan
tubuh yang fit), yang kemudian didefinisikan kembali oleh wacana dominan
(Bresler, 2013 : 62).
Ada beberapa elemen yang menjadi cara Reps ID untuk mendisiplinkan
tubuh. Makanan, merupakan salah satu elemen penting dalam mekanisme self
surveillance untuk mendisiplinkan tubuh yang dipromosikan oleh Reps ID.
Makanan, diet termasuk nutrisi apapun yang masuk dalam tubuh, dalam hal ini
pun menjadi satu hal yang diatur oleh kuasa. Artinya, apa yang masuk ke dalam
tubuh individu, tidak lagi murni merupakan otoritas dirinya, melainkan ada peran
kuasa yang dipromosikan melalui teks media melalui wacana ini untuk
mendapatkan tubuh tertentu. Poin ini diperkuat kembali oleh wacana kesehatan,
163
di mana apa yang dikonsumsi oleh individu menentukan kesehatannya. Di sini
biopower bekerja melalui isu obesitas, yang didukung pernyataan bahwa tubuh
dengan ketidak aktifan dalam bergerak akhirnya akan membuat tubuh
dikategorikan sebagai tidak sehat (Evans et.al, 2008 : 32). Di sisi lain, biopower
juga menjadi kekuatan utama dalam penyebaran consumer culture atau budaya
konsumen. Dengan adanya wacana pendisiplinan tubuh mengenai makanan,
akan menstimulasi komunitas wacana untuk memilih makanan atau nutrisi yang
akan dikonsumsi untuk tubuhnya. Ada narasi persuasif melalui teks tersebut
untuk melakukan pembelian atau konsumsi terhadap produk-produk tertentu
(Frye & Bruner, 2012 : 72) seperti makanan sehat, katering diet, suplemen
nutrisi, dan lain-lain.
Melalui wacana yang sama, ada konsepsi berbeda yang dipromosikan
oleh Reps ID dalam teksnya bagi perempuan dan laki-laki. Pada perempuan,
makanan dinarasikan sebagai instrumen yang memberikan rasa takut. Pertama,
apabila perempuan makan terlalu banyak, ada narasi takut gemuk yang
dipromosikan. Kemudian, apabila makan terlalu sedikit, ada narasi takut
terhadap gangguan makan seperti anoreksia yang diciptakan. Akhirnya, tubuh
perempuan mendapatkan pendisiplinan dan pembatasan berlebih dalam hal
makanan melalui wacana ini. Makanan membawa pesan dalam konstruksi
subjektifitas perempuan melalui budaya. Perempuan dalam hal ini menjadi
korban dari berbagai wacana patriarki yang mencoba mengurangi subjektifitas
perempuan dalam kaitannya antara tubuh dan makanan, yang merupakan
164
pembatasan perempuan terhadap peran-perannya di ruang domestik melalui
makanan (Tam & Yip, 2010 : 53).
Di sisi lain, bagi laki-laki makanan dalam wacana ini menjadi suatu alat
untuk menampilkan identitas tubuh maskulinnya sebagai tanda bahwa tubuhnya
memiliki kontrol diri dan keatraktifan fisik. Nutrisi menjadi hal yang penting
dalam pendisiplinan tubuh bagi laki-laki. Pilihan makanan, termasuk nutrisi yang
disarankan media (baik melalui suplemen atau makanan tertentu) dipromosikan
dengan janji untuk membentuk otot dan membuat laki-laki merasa dirinya lebih
baik (Lupton, 1998 : 139). Hal tersebutlah juga yang ditampilkan oleh Reps ID
mengenai makanan dalam wacana ini, yakni pemilihan telur sebagai nutrisi
untuk pembentukan otot guna mendapatkan hasil tubuh berotot dalam kontes
binaraga. Makanan dalam wacana ini menjadi suatu alat untuk mencapai
maskulinitas. Reps ID menempatkan narasi mengenai makanan sebagai salah
satu pola pendisiplinan yang memberikan mereka ruang untuk memilih dan
memaksimalkan potensi diri, termasuk menampilkan sisi maskulinitasnya.
Melalui konstruksi Reps ID ini, makanan menjadi salah satu sarana bagi laki-laki
untuk mencapai tujuannya yang berkaitan dengan tubuh dan pekerjaannya di
ruang publik (Monaghan & Atkinson, 2016 : 89).
Mekanisme teks berikutnya yang memberi ruang bagi komunitas
wacana untuk melakukan mewujudkan self-surveillance dalam dirinya adalah
dengan menghadirkan resep latihan dalam setiap kolomnya. Markula dan Pringle
(2006 : 60) menuliskan bahwa adanya resep latihan juga memberi ruang untuk
suatu pengawasan. Resep latihan juga merupakan bagian dari taktik mekanisme
165
teks media untuk menaturalisasi relasi kuasa. Jika diurai secara kuantitaif dan
kualitatif, resep latihan juga memiliki evaluasi, yang bisa dilakukan oleh
komunitas wacana secara mandiri. Ada rate of progression, serta ada jumlah
latihan atau repetisi untuk masing-masing latihan. Dari sini, tampak jelas bahwa
kuasa melalui resep latihan yang dihadirkan oleh teks media memberi ruang bagi
individu untuk melakukan pengawasan hingga evaluasi terhadap tubuhnya
sendiri dalam aktivitas fitness.
Latihan tubuh yang diintensifkan, beragam bentuk latihan dan
pengulangannya berkali-kali adalah tanda dari pendisiplinan tubuh. Pertama,
melalui teks yang ada, media mencoba untuk menampilkan standar tertentu
mengenai tubuh, kemudian mengoreksi tubuh-tubuh yang tidak sesuai dengan
standar docile tersebut. Kemudian, efek korektif dari tubuh yang tadinya
dianggap tidak fit, lama kelamaan secara perlahan meningkat level usahanya
melalui latihan fisik yang dilakukan. Setiap orang yang berlatih dalam fitness
seolah harus memiliki suatu efek dari training yang dilakukan, dan dengan
adanya latihan ini juga menormalisasi masing-masing tubuh dalam rezim general
yang berlaku (Markula & Pringle, 2006 : 60). Normalisasi inilah yang
menghubungkan tubuh seseorang kepada pengawasan dari relasi kuasa yang
tidak terlihat.
Latihan dalam wacana fitness yang dibangun di Reps ID sangat berbeda
antara laki-laki dan perempuan. Secara bagian tubuh, latihan pada laki-laki jauh
lebih ditekankan pada upper body dan otot, di mana hal ini merupakan bentuk
konstruksi tubuh menutur ideologi dominan. Narasi yang ditekankan pada
166
anjuran latihan ini adalah agar laki-laki merasa lebih percaya diri akan tubuh
maskulin tersebut, sebab hal itu menjadi simbol adanya kontrol diri dan
keatraktifan fisik (Lupton, 1998 : 139). Body image peraga latihan yang
ditampilkan melalui latihan-latihan ini juga menggambarkan laki-laki yang
maskulin dan kuat dalam representasi gender tradisional. Tubuh laki-laki,
melalui latihan yang ada dikonstruksi untuk menjadi kuat dan powerful, serta
menempati ruang dan mendominasi yang lain. Adapun latihan-latihan yang
dipromosikan juga mengandung anjuran untuk tidak menjadi lemah atau
memiliki sifat-sifat feminin dan rapuh (Henderson & Petersen, 2002 : 196), agar
semakin menekankan perbedaan antara tubuh laki-laki dengan perempuan.
Selanjutnya yaitu latihan pada tubuh perempuan. Ada relasi kuasa yang
terjadi dalam latihan-latihan yang diramu untuk komunitas wacana perempuan
dalam teks ini. Ada lebih banyak bagian tubuh yang mendapatkan latihan
pendisiplinan, sebab dalam ideologi patriarki tubuh perempuan perlu
mendapatkan suatu ‘perbaikan’ (Choi, 2000 : 67) untuk memenuhi public
pleasure dan keatraktifan seksual. Selain itu, media juga mengarahkan
perempuan untuk menjauhi latihan-latihan yang dapat membentuk otot. Ada rasa
takut kehilangan identitas femininitas dari tubuh-tubuh berotot yang diciptakan
dalam wacana fitness melalui artikel-artikel yang berkaitan dengan latihan tubuh
(Yiannakis & Melnick, 2001 : 242). Perilaku-perilaku tertentu dihubungkan
melalui wacana ini, di mana atlet perempuan sebagai penutur wacana untuk
latihan, mengarahkan komunitas wacana dalam rezim latihan yang tidak sehat
untuk mencapai tubuh yang dinaturalisasi wacana sebagai tubuh feminin. Dalam
167
struktur sosiokultural, tubuh perempuan yang diberikan latihan-latihan ini
diasumsikan sebagai kebenaran. Media mereproduksi pandangan terbatas dengan
narasi bahwa melakukan latihan yang sama dalam wacana ini menormalisasi
kebenaran melalui apa yang dikatakan dan dilakukan dalam konteks latihan ini
(Schinke & Hanrahan, 2009 : 66).
Resep latihan yang ditampilkan oleh Reps ID merupakan bentuk
kurikulum dalam rezim fitness. Adanya pendisiplinan tubuh yang dilakukan
semua memiliki porsi dan caranya yang telah dikonstruksi sedemikian rupa,
seperti bagian tubuh apa saja yang didisiplinkan, bagaimana cara melatih bagian
tubuh tertentu, ingin dibentuk seperti apa bagian tersebut, hingga frekuensi
latihan yang dianjurkan. Seluruhnya dianggap sebagai suatu kebenaran oleh
komunitas wacana sebab mereka telah memasuki ‘game of truth’. Tubuh yang fit
menjadi sesuatu yang harus dicapai melalui mekanisme latihan dalam rezim
pendisiplinan, dan ini dipercaya sebagai sebuah kebenaran. Dalam permainan
ini, tubuh didominasi melalui disiplin yang dibebankan pada tubuh dengan
adanya kebenaran ilmiah mengenai fitness (Bresler, 2013 : 63). Dengan
demikian, individu menjadi tidak mempertanyakan makna dan asal dari
pengetahuan fitness yang ada, tapi tetap akan menjadi pengikut patuh dari
wacana tersebut. Foucault menemukan kuasa diskursif ini cukup efektif untuk
mengontrol manusia, sebab kita terbiasa menganggapnya sebagai suatu
kebenaran, kita menerima itu begitu saja, sehingga kita tetap melakukan latihan
dan mengontrol kebiasaan latihan tanpa tahu, mengapa kontrol tersebut
diperlukan (Bresler, 2013 : 63).
168
Kuasa seringkali muncul dalam dan di luar tubuh. Dalam pemikiran
Foucauldian, biopower merupakan bentuk spesifik dari kuasa yang menargetkan
pada tubuh. Tubuh diatur melalui mekanisme biopower. Adapun dua teknologi
utama dalam biopower adalah kuasa pendisiplinan, yang bertujuan untuk
membentuk tubuh melalui pendisiplinan, serta kuasa regulatory yang terasosisasi
dengan kontrol populasi secara keseluruhan. Salah satu karakteristik dari
biopower ini selingkali muncul dalam bentuk kuasa yang dideskripsikan sebagai
paksaan yang dinormalisasi, yang terkait dengan kesehatan, kesejahteraan atau
gaya hidup (Markula dan Pringle, 2006 : 60). Hal yang terlihat menjadi
normalisasi dari kuasa pendisiplinan ini salah satunya adalah melalui resep
latihan yang diramu oleh Reps ID beserta instruksi dan ilustrasi peraga yang
ditampilkan.
Menurut Foucault, kuasa ada di mana-mana, dan segala sesuatu adalah
produk kuasa yang dioperasikan melalui wacana, pengetahuan, dan apapun yang
disebutnya sebagai ‘rezim kebenaran’. Melalui teks Reps ID, kuasa berupa resep
latihan dinaturalisasi sebagai suatu bentuk upaya menjaga kesehatan tubuh dalam
‘rezim kebenaran’. Sesungguhnya di balik itu, terdapat konstruksi kebenaran
serta kepentingan industri terhadap tubuh. Teks Reps ID melanggengkan fitness
sebagai suatu bentuk kuasa dan mekanisme panoptik untuk membuat pembaca
atau komunitas wacana menjadi merasa perlu mendisiplinkan tubuhnya melalui
cara-cara tertentu. Dalam pemikiran Foucault, kuasa dan pengetahuan dapat
tersambung selama kuasa dikonstitusi melalui pengetahuan seperti ilmu atau hal-
169
hal yang bersifat ilmiah, medis atau keagamaan (Foucault dalam Markula dan
Pringle, 2006 : 60).
Selanjutnya, yaitu mengenai kontrol terhadap berat badan. Melalui
wacana fitness, ada narasi ketakutan akan ekskusi terhadap tubuh-tubuh dengan
berat badan tertentu yang dipromosikan oleh Reps ID. Pada perempuan, narasi
tubuh gemuk, menjadi kekuatan untuk menakut-nakuti komunitas wacana agar
melakukan kontrol terhadap berat badannya. Kegemukan selama ini dikonstruksi
sebagai sesuatu yang tidak atraktif dan jelek (Tischner, 2013 : 107), sehingga
perempuan dituntut untuk mengejar kesempurnaan dalam tubuh feminin.
Wacana mengenai bentuk tubuh feminin yang ada berkaitan dengan pola hidup,
seperti makan. Perempuan selama ini kerap menjadi korban gangguan makan,
yang juga disebabkan karena perempuan dituntut untuk terus memonitor berat
badannya, agar tidak naik atau mengalami kegemukan (Wilkinson & Kitzinger,
1995 : 74). Perempuan tidak hanya dikonstruksi sebagai korban tekanan sosial
untuk menjadi kurus, namun juga agen dalam menjaga tekanan itu mengenai
ukuran tubuh. Sehingga, mereka melakukan tekanan dan kritik terhadap tubuh
mereka sendiri melalui self surveillance atau pengawasan diri terhadap berat
badannya. Adanya mekanisme panoptik terhadap perempuan melalui male gaze
juga mendukung komunitas wacana perempuan untuk menggunakan teknologi
diri untuk mencapai kesempurnaan diri, dan berusaha meregulasinya
sebagaimana ia meregulasi orang lain (Tischner, 2013 : 107).
Pada laki-laki, tubuh yang kelebihan berat badan pun menjadi suatu
aspek penting yang harus dihindari untuk tubuhnya. Tubuh sehat laki-laki
170
dinarasikan sebagai langsing (artinya tidak buncit) dan atraktif. Laki-laki, dalam
beberapa riset sebelumnya, menjadi semakin memiliki kesadaran tinggi terhadap
isu kenaikan berat badan. Kegemukan dalam wacana fitness dianggap sebagai
sesuatu yang memalukan, menjijikkan, dan berlawanan dengan dominasi tubuh
laki laki yang terkontrol. Stereotip tersebut akhirnya menantang laki-laki yang
memiliki kelebihan berat badan untuk melihat dirinya sebagai normal dan
maskulin (Monaghan dan Hardey dalam Lupton, 2012 : 27). Selain tidak
memenuhi kriteria secara estetik, pernyataan ini juga didukung oleh isu
kesehatan, yakni tubuh obesitas rentan terkena penyakit. Di samping tubuh yang
kelebihan berat badan, tubuh yang kekurangan berat badan pun menjadi sesuatu
yang harus dikontrol oleh laki-laki. Tubuh ‘kerempeng’, dinarasikan sebagai
sesuatu yang tidak atraktif, lemah, atau identik dengan femininitas sehingga laki-
laki akan dianggap jauh dari identitas maskulinnya ketika memiliki tubuh yang
kekurangan berat badan.
Dengan adanya pengawasan terhadap diri sendiri, komunitas wacana
fitness akan diarahkan kepada hal-hal apa yang harus dilakukan untuk
mendisiplinkan tubuh beserta mekanisme evaluasinya. Tubuh yang telah
dikonstruksi dan diklasifikasi oleh masyarakat, media dan industri menjadi
docile body dan body of condemned secara tidak sadar akan ikut memantau
sesuatu dari tubuh untuk dikoreksi. Sebagaimana dijelaskan pada bab
sebelumnya, konsep-konsep yang menjadi rangkaian pengawasan diri dari
wacana fitness di Reps ID mencakup pola makan dan diet, latihan tubuh, serta
kontrol terhadap berat badan. Dari sisi ekonomi pos industrial, kuasa dalam
171
biopower terhadap aktivitas rangkaian pengawasan diri tersebut sangat
berpengaruh di sini. Teks media dapat menyampaikan suatu pesan kepada
audiens yang menstimulasi kepada pembelian atau konsumsi produk (Dwarkin &
Wachs, 2009 : 10). Misalnya membeli produk kosmetik, konsumsi katering diet,
operasi plastik, berlangganan sebagai anggota gym, dan upaya-upaya lainnya
yang merujuk pada proses koreksi tubuh yang dilakukan dengan kesadaran
pribadi individu berdasarkan self-surveillance.
Sebagai suatu praktik kuasa, biopower membantu mengatur dan
mengklasifikasi tubuh-tubuh dalam teks media yang dikategorikan sebagai
docile dan condemned. Teks media dalam hal ini menjadi sarana dalam
menentukan standar serta memberi nilai tertentu pada tubuh. Melalui
pendisiplinan tubuh dalam wacana fitness ini, tubuh individu seolah
disamaratakan dari berbagai sisi. Realitanya semua orang memiliki bentuk,
ukuran serta kondisi tubuh yang berbeda-beda dan tidak bisa disamakan antara
yang satu dengan lainnya.
Tubuh akhirnya tidak lagi menjadi suatu otoritas bagi individu. Tubuh
yang semestinya bersifat personal dan privat, akhirnya dikontrol dan diregulasi
oleh mekanisme yang dibangun teks media melalui self-surveillance untuk
mendisiplinkan aktivitas, bentuk dan ukuran tubuh sedemikian rupa dalam
kehidupan sehari-hari para komunitas wacana. Sehingga, tubuh individu melalui
aktivitas pendisiplinan tersebut hanyalah angka-angka berupa berat badan,
linggar pinggul, lingkar lengan, dan ukuran-ukuran lainnya yang dinaturalisasi
dan dinormalisasi kontruksinya melalui media.
172
4.2 Konstruksi Tubuh dalam Wacana Fitness di Reps ID
Selanjutnya, merupakan konstruksi tubuh yang dimunculkan dalam wacana
fitness di Reps ID. Pada tahap ini, peneliti lebih menjabarkan perbedaan, fungsi,
serta makna-makna yang timbul dari serangkaian konsep dari koeksistensi
pendisiplinan tubuh yang ada di Reps ID. Bagaimana tubuh-tubuh tertentu
dibangun melalui suatu pemahaman di media, dan dikategorisasi berdasarkan
gender, serta kaitannya dengan biopower dan relasi kuasa. Dunia fitness dan
olahraga selama ini identik dengan bahasa laki-laki (O’ Reilly, 2007 : 160).
Fitness, dalam relasi kuasa rupanya mampu mengklasifikasi tubuh individu ke
dalam beberapa kategori berdasarkan gender. Ada tubuh yang dikategorikan
sebagai tubuh patuh atau docile bagi tubuh yang memenuhi standar kontruksi
ideologi dominan, serta tubuh yang terkutuk atau body of condemned, bagi tubuh
yang berada di luar lingkaran tersebut.
Docile body di media diciptakan melalui beberapa tahap (Hodapp,
2017 : 32). Pertama yaitu observasi hirarki, di mana setiap orang diposisikan di
bawah suatu pengawasan yang juga diinternalisasi. Artinya, ketika
mengkonsumsi teks media, komunitas wacana disuguhkan suatu standarisasi
mengenai tubuh yang membuat mereka melakukan pengawasan terhadap dirinya
atau tubuhnya sendiri. Kedua, yaitu normalisasi penghakiman, yang menjadi
fungsi evaluasi dari docile body di bawah pengawasan diri yang membangun
konsepsi dari sisi baik dan buruk, yang akhirnya menghasilkan koreksi. Dalam
tahap ini, teks media memberikan penghakiman dan klasifikasi, tubuh mana
yang termasuk dalam kategori patuh dan mana yang tidak patuh (body of
173
condemned) beserta sisi apa yang membuat tubuh tersebut tergolong dalam
kategori tidak patuh. Akhirnya, proses pengujianlah yang kemudian membawa
kuasa dan pengetahuan ke dalam konsep docile body ini dan membuat individu
yang berkutat di dalamnya menjadi subjek investigasi dan studi ilmiah (Hodapp,
2017 : 32).
Hal yang paling terlihat dari mekanisme pendisiplinan pada wacana
fitness di Reps ID adalah pembagian ukuran dan fungsi tubuh yang dianggap
patuh pada perempuan dan laki-laki. Pada laki-laki, latihan lebih banyak terfokus
pada otot dan ukuran tubuh yang menjadi preferensi menurut teks media adalah
besar, atletis dan tidak gemuk. Fungsi tubuh ini dalam hal pendisiplinan adalah
menunjang perannya di ruang publik. Sedangkan pada perempuan, tubuh harus
lebih kecil dan tidak mengambil banyak ruang. Selain itu, memiliki anggota
tubuh yang seksi, akan menjadi suatu nilai tambah baginya. Sedangkan secara
fungsi, tubuh melalui wacana fitness didisiplinkan guna memenuhi peran dan
identitas perempuan sebagai istri atau ibu di ruang domestik. Laki-laki hampir
tidak ditunjukkan sama sekali sisi domestik dari tubuhnya, meskipun pada
kenyataannya mereka memiliki kehidupan dan identitas yang berkaitan dengan
ruang domestik tersebut. Dengan demikian, melalui relasi kuasa yang ada, Reps
ID mempromosikan peran domestik dari perempuan dan mensupport perempuan
untuk mitra laki-lakinya dalam hal domestik yang merupakan pusat dari
konstruksi heteroseksual (Johnston & Valentine dalam Caudhwell & Browne,
2013). Realitanya, perempuan pun memiliki sisi kehidupan di luar area domestik,
dan secara fungsional ia dapat menggunakan tubuhnya serta membangun
174
identitasnya untuk aktivitas yang berkaitan dengan ruang publik. Namun teks
media, melalui relasi kuasa menempatkan perempuan dalam posisi demikian.
Melihat posisi subordinat perempuan dalam hirarki patriarki, pendisiplinan selalu
menjadi teknik yang digunakan untuk membuat energi dan tubuh perempuan
digunakan untuk mengejar suatu kegunaan yang bukan dari dan untuk mereka
sendiri (Singer, 1993 : 124).
Di sisi lain, dapat dilihat juga posisi subordinasi yang sama dalam
suatu relasi kuasa. Bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama didisiplinkan
melalui suatu konsep yang disebut pendisiplinan tubuh melalui media. Artinya,
baik perempuan maupun laki-laki, tubuhnya sama-sama ditundukkan melalui
relasi kuasa. Dengan adanya male gaze dalam wacana fitness pun, laki-laki
masih memiliki tuntutan untuk suatu aktivitas pendisiplinan dalam tubuhnya,
hanya saja cara dan standar pendisiplinannya yang mungkin berbeda dengan
perempuan.
Mengenai body image dan objektifikasi, dengan adanya praktik
biopower, lagi-lagi perempuan menjadi sasaran dari relasi kuasa. Media adalah
sumber dari cerita dan gambaran tentang kebiasaan latihan dan diet oleh para
perempuan yang kaya, terkenal, dan biasanya berkulit putih (Carlisle, Duncan,
dalam Kennedy dan Markula, 2011 : 97). Perempuan-perempuan yang memiliki
tubuh patuh pada rubrik Women’s Fitness digambarkan sebagai para perempuan
yang mampu untuk pergi ke gym, membeli makanan sehat, dan melakukan
latihan-latihan lainnya karena memiliki akses secara finansial terhadap produk-
produk tertentu. Tipe-tipe seperti inilah yang disajikan media, yang kemudian
175
dijadikan standar gambaran femininitas ideal. Margaret Duncan (dalam Coakley
& Dunning, 2000 : 125) menganalisis politik dalam body image perempuan
dengan dua edisi majalah Shape yaitu majalah fitness yang menargetkan
pembaca perempuan. Ia mengetengahkan secara eksplisit wacana mengenai
latihan di mana muncul keinginan dan tanggung jawab individu dalam latihan,
yaitu mendapat keestetikaan secara eksplisit, sebagai oposisi dari tujuan sehat,
dan manfaat dari latihan. Duncan menggambarkan bagaimana Shape beraksi
sebagai mekanisme panoptik dalam makna konsep Foucauldian yang
sesungguhnya. Ia mendemonstrasikan bagaimana sirkulasi dan wacana publik
berkenaan dengan bentuk tubuh yang diinginkan dari perempuan, terlibat dalam
membentuk pengalaman privat dari subordinasi perempuan. Tidak heran bahwa
strategi pendisiplinan perempuan seringkali berbentuk self denial sebagaimana
kasus praktik tubuh anorexia dan bullimia (Singer, 1993 : 124)
Penelitian terdahulu seringkali menandai adanya pembahasan
mengenai performa perempuan, diimbangi dengan adanya pembahasan
mengenai estetika dan standar kecantikan. Sebaliknya, subjek laki-laki seringkali
disambungkan dengan status, posisi sosial, atau kuasa, sementara penampilannya
tidak terlalu dipedulikan (Dworkin & Wachs, 2009 : 31). Dalam hal
objektifikasi, tubuh perempuan jauh lebih rentan untuk diobjektifikasi ketimbang
laki-laki. Narasi yang digunakan untuk menggambarkan sisi-sisi objek dari
seorang perempuan dalam teks pun sangat terasa. Contoh pada artikel yang
membahas Gal Gadot, Reps ID kerap mengelu-elukan tubuh aktris tersebut
karena memiliki lekuk tubuh dan wajah yang memenuhi standar media sebagai
176
kategori docile. Hal tersebut juga terjadi pada beberapa atlet binaraga yang
disebut sebagai ‘Hercules Cantik’.
Hal tersebut pula yang ditemukan dalam wacana fitness yang
dibangun oleh Reps ID. Sebagaimana yang kita lihat, konstruksi femininitas
ideal dalam wacana fitness banyak dikaitkan dengan kecantikan atau keseksian
tubuh bagi wanita, sebaliknya dalam mengkonstruksi maskulinitas, laki-laki
sering langsung disebutkan profesinya atau kedudukannya, ketimbang disebut
sebagai ‘tampan’. Bahkan, di antara semua artikel yang dimunculkan dalam
kolom Men’s Fitness, sangat sedikit sekali memunculkan kata-kata ‘tampan’
sebagai daya tarik maskulin dari tubuh pria.
Untuk laki-laki, tubuh patuh ditonjolkan dengan daya tarik yang
berfokus pada ‘kekuatannya’ (Dworkin & Wachs, 2009 : 31). Hubungan antara
daya tarik, status, dan tubuh ideal ini memang secara historis sangatlah rumit.
Maskulinitas laki-laki sendiri dalam teks Reps ID ditunjukkan dengan tokoh-
tokoh atau figur laki-laki yang setengah tidak berpakaian atau berpakaian tapi
menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu untuk menunjukkan power-nya atau
daya tarik kekuatannya. Image dari laki-laki telanjang atau setengah telanjang
telah lama dimuat secara luas sebelumnya dalam majalah-majalah pria di
Amerika Serikat, sebagaimana digambarkan Ibrahamson dan Prior-Miller.
Popularitas dari selebriti seperti The Rock, Arnold Schwarzenegger dan
Sylvester Stallone semakin menguatkan pertumbuhan popularitas maskulin ideal
(Ibrahamson & Prior-Miller, 2015 : 294) yang seringkali juga mengekspos
bagian atas atau upper body tubuh laki-laki. Laki-laki, secara tradisional tampak
177
lebih tahan tekanan daripada perempuan dalam hal memenuhi ekspektasi sosial
mengenai tampilan fisik. Namun, riset dalam beberapa dekade terakhir justru
menunjukkan bahwa laki-laki jadi lebih memiliki perhatian terhadap body image
mereka (Ibrahamson & Prior-Miller, 2015 : 294) karena tersebarnya konstruksi
maskulinitas ideal ini melalui media, dan salah satunya dalam wacana fitness.
Hal ini menandakan bahwa relasi kuasa bekerja terhadap body image dan
maskulinitas melalui wacana fitness di media.
Termasuk di antaranya isu mengenai tubuh kurus yang dikategorikan
sebagai tubuh terkutuk bagi laki-laki. Berbeda dengan perempuan yang mengelu-
elukan tubuh kurus dan langsing, laki-laki justru dinarasikan sebagai lemah dan
jauh dari identitas maskulin dengan tubuh tersebut. Tubuh laki-laki kurus
dianggap sebagai tubuh yang terkutuk atau tidak patuh, sebab pada beberapa
kajian sebelumnya tubuh pria kurus diidentikkan dengan orientasi seksual.
Misalnya pada Andersen (1990 : 48) yang menyebut bahwa tubuh laki-laki kurus
memiliki relasi yang negatif terhadap maskulinitas dan kepercayaan diri. Pada
kajian sebelumnya menyebutkan bahwa tubuh kurus berkaitan dengan orientasi
seksual di mana kerap dikaitkan dengan pria yang homoseksual. Sedangkan Reps
ID, sebagaimana media fitness pada umumnya, cenderung mempromosikan
maskulinitas dalam konteks laki-laki dengan orientasi heteroseksual.
Bagaimana teks membantu pembaca melihat tubuh, salah satunya
dapat dilihat dari aspek maskulinitas dan femininitas yang dibentuk di sini.
Umumnya, tubuh laki-laki dilihat relatif cukup fit untuk memulai fitness,
sehingga dikatakan bahwa laki-laki harus ‘menjaga’ kebugaran, tetapi kalau
178
untuk perempuan harus ‘mencapai’ kebugaran (Gremillion, 2003 : 57).
Signifikansi dalam hal ini adalah ‘bentuk tubuh’ bagi perempuan dikonstruksi
sebagai sesuatu yang baru, yang harus ditempa. Hal ini berkaitan pula dengan
bagaimana tubuh perempuan cenderung lebih banyak dipermasalahkan (Choi,
2000 : 67), sehingga ada lebih banyak aspek yang diberi perhatian dalam
mendisiplinkan tubuhnya demi memenuhi konstruksi tubuh feminin.
Hal yang sama mengenai kesenjangan representasi tubuh dalam
wacana fitness bagi laki-laki dan perempuan ditemukan pula pada proses
intervensi teks dengan menggunakan perumpamaan. Tubuh laki-laki yang masuk
dalam kategori docile diidentikkan atau diumpamakan dengan elemen alam,
seperti batu atau gunung. Perumpamaan ini menjadi simbol yang menandakan
kekuatan dan kuasa dalam tubuh laki-laki (Dworkin & Wachs, 2009 : 85).
Penekanan akan elemen alam ini menunjukkan proses linear dari pembentukan
tubuh melalui kerja keras, terkait dengan hubungan tubuh dengan teknologi
mutakhir di mana pengetahuan dapat memproduksi keadaan tubuh manusia.
Pada tubuh atlet laki-laki, ada afirmasi dari dominasi laki-laki berotot
sebagaimana laki-laki berusaha untuk medefinisikan diri mereka kembali dalam
relasi gender.
Sedangkan pada perempuan, perumpamaan tubuh tidak dikaitkan
dengan elemen alam, melainkan dengan perempuan lainnya yang dijadikan role
model untuk tubuh yang patuh, seperti atlet fitness perempuan, fitness influencer
perempuan atau miss fitness bikini. Mengenai kaitannya dengan teori biopower,
perempuan dianggap lebih mudah terpengaruh untuk melakukan upaya-upaya
179
pendisiplinan tubuh dengan adanya role model sebab hal ini membuat ekspektasi
mereka akan tubuh seolah-olah benar bisa terwujud dengan representasi
perempuan yang ada di media (Anderson, 2018 : 150). Penutur wacana atau
mereka yang dijadikan role model akan mengatakan dan melakukan sesuatu
untuk menguatkan pernyataan mengenai hal yang disebut sebagai tubuh
perempuan yang normal, yaitu dalam hal ukuran dan bentuk. Hal ini didukung
pula dengan praktik diskursif, sosial dan kultural mengenai pandangan tubuh
perempuan di bidang olahraga yang terkait dengan kuasa tertentu, yaitu industri
fitness, kapitalisme patriarki dan nilai-nilai heteronormatif (Schinke &
Hanrahan, 2009 : 66). Demikian pula dengan role model atau penutur wacana
yang mengalami disempowerment atau secara kultural tereksklusi dari nilai-nilai
femininitas karena tubuhnya terlalu berotot (Schinke & Hanrahan, 2009 : 66),
juga akan memengaruhi cara pandang perempuan terhadap tubuhnya, yaitu
adanya kecenderungan untuk menghindari tubuh dengan otot yang besar atau
terlalu kekar.
Olahraga -dalam hal ini adalah fitness- merupakan aktivitas yang
melibatkan sejumlah orang, di mana tubuh fit adalah suatu kunci kesuksesan
dalam hegemoni dari maskulinitas dan femininitas bagi laki-laki dan perempuan.
Tubuh, di sini merupakan elemen kunci dalam konstruksi sosial gender identitas
(Featherstone dalam Van Hoven, 2005 : 18). Tubuh laki-laki dan perempuan
adalah permukaan yang ditulis, didefinisikan dan didisplinkan melalui norma
sosial dan konvensi tentang penampilan dalam hal ukuran, bentuk atau berat, di
mana hal ini menjadi penting dalam pertumbuhan industri ekonomi. Performa
180
tubuh meliputi maskulinitas dan femininitas secara aktif dikonstruksi,
sebagaimana interaksi sosial manusia, akhirnya dipantau dalam ruang yang
berbeda-beda dalam kehidupan sehari-hari (Van Hoven, 2005 : 18) termasuk di
antaranya melalui wacana fitness di media.
Ketika laki-laki berotot menjadi primadona, maka hal yang sebaliknya
justru terjadi pada perempuan. Teks Reps ID juga memunculkan beberapa sosok
perempuan berotot, yang tubuhnya disebut sebagai ‘menyerupai laki-laki’ dan
aktivitas olahraganya disebut sebagai ‘identik dengan laki-laki’. Otot identik
dengan kekuatan dan maskulinitas. Dari sini, terdapat pertanda bahwa tubuh
feminin dibatasi dalam batas-batas tertentu, dan menjadi kuat atau berotot, atau
apapun yang terkesan ‘maskulin’ adalah suatu bentuk perlawanan bagi
konstruksi femininitas yang ada. Hal ini senada dengan gagasan Bartky (dalam
Boileau, 2000 : 40), bahwa dalam dunia fitness atau binaraga, perlawanan
muncul ketika perempuan membentuk kekuatan baru dan menjadi berotot, yang
kemudian menciptakan image baru tentang perempuan. Para perempuan yang
berjuang di bidang fitness dan binaraga, disebutnya melawan estetika feminin
tradisional, mengacaukan identitas tubuh feminin dan mengecewakan relasi
kuasa yang pernah ada sebelumnya.
Melalui kuasa biopower yang memihak dominasi laki-laki, timbul
ketakutan akan maskulinitas fisik perempuan. Hal tersebut muncul di sini dan
menjadi mudah dimengerti ketika melihat peran media terkait histori olahraga
yang kerap mereproduksi bentuk maskulinitas dominan (Kimmel dalam Dworkin
& Wachs, 2099 : 125). Dalam wacana fitness, teks yang digunakan memiliki
181
kecenderungan menggunakan bahasa maskulin. Misalnya perempuan berotot
yang menggeluti olahraga angkat beban akan disebut ‘Wanita Kuat’ dalam teks.
Atribusi kuat dan lemah bagi kedua gender ini sengaja dibuat berbeda, sehingga
apa yang menjadi kuat untuk perempuan, mungkin saja standarnya berbeda
dengan kuat versi laki-laki dalam teks yang dimaksud. Dunia olahraga
mewujudkan bahasa yang dipahami oleh laki laki. Lebih daripada itu, perempuan
juga dianggap mengerti tentang olahraga, namun secara historis perempuan
sangat terbatas (O Reilly, 2007 : 160). Dunia fitness dan bodybuilding dalam
konstruksi masyarakat dianggap sangat mencerminkan laki-laki. Sehingga para
wanita yang bisa melakukannya dianggap seperti laki-laki dan seolah tidak
berdiri sendiri di bawah identitasnya. Ketika wanita keluar dari zona femininitas
dan melakukan hal-hal tersebut, kemudian serta merta aktivitasnya dibahasakan
dengan cara laki-laki atau dari sudut pandang laki-laki.
Dalam analisis gender, subjektifitas dan objektifitas tubuh, hal ini
penting untuk dilihat kembali. Perempuan, selama ini dianggap sebagai objek,
dan tidak terlalu menonjolkan diri untuk menjadi subjek. Dalam posisi ini,
pengalaman diri perempuan didasarkan kepada kemampuannya untuk memenuhi
standar ideal kecantikan dari budaya. Perempuan diajak untuk mempunyai
pengalaman seolah-olah ada orang yang melihat ke mereka (sebagai sebuah
objek) dan mengevaluasi mereka berdasarkan penampilan dan keberhasilan
presentasi diri mereka sebagai sebuah objek (Bartky, Berger dan Young dalam
Dwarkin & Wachs, 2009 : 30). Hal ini dapat ditemukan pula pada ajakan Reps
ID kepada perempuan membentuk tubuh yang seksi dan kencang melalui fitness.
182
Ada suatu kesan di mana perempuan memang seolah selalu diperhatikan tubuh
dan gerak-geriknya. Tubuh perempuan seolah dipusatkan menjadi suatu daya
tarik.
Secara historis, olahraga dianggap sebagai domain maskulin, dan
lingkungan atletik menjadi salah satu yang didemonstrasikan oleh laki-laki
secara terus menerus (Roper, 2013 ; 14). Sehingga, penerimaan di masyarakat
segala sesuatu yang berkaitan dengan olahraga akan dikenakan label
maskulinitas. Kata-kata seperti ‘olahraga yang identik dengan laki-laki’,
‘hercules versi wanita’, atau ‘cantik, namun kontras dengan definisi tubuhnya’
dalam artikel-artikel mengenai otot perempuan menjadi mekanisme Reps ID
dalam membentuk ‘keidentikan’ terhadap masukilinitas dalam menggambarkan
wanita-wanita yang berkecimpung di dunia fitness dan bodybuilding melalui
teksnya.
Tubuh berotot sesungguhnya merupakan salah satu hal yang menjadi
pembeda, sekaligus yang membuat seorang laki-laki merasa lebih powerful
ketimbang laki-laki lain atau perempuan secara umum (Pope, 2000 : 50) yang
salah satunya dapat dibentuk melalui fitness. Seiring dengan perkembangan
zaman, pelan-pelan perempuan juga bisa melakukan fitness atau membentuk
ototnya. Dengan adanya persebaran kesetaraan gender ini, salah satu cara yang
dianggap dapat menumbuhkan perbedaan dari laki-laki adalah konstruksi sosial
mengenai skenario maskulinitas di tubuh mereka (Pope, 2000 : 50). Sehingga,
hal inilah yang menyebabkan tubuh wanita yang sporty (tampak kekar dan
berotot) atau melakukan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas fisik dianggap
183
identik dengan maskulin dan dikonstruksi sebagai suatu momok bagi wanita,
sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya. Molnar dan Kelly (2013 : 161)
menulis bahwa untuk memperkuat asumsi di mana perempuan dan laki-laki itu
dikatakan berbeda secara fundamental salah satunya adalah dengan
mengeksklusi tubuh perempuan dari dunia olahraga. Ada tiga aspek yang terkait
dalam proses eksklusi ini, yaitu secara estetika, biologi dan sosial.
Aspek estetika berargumen bahwa para perempuan yang mengambil
andil dalam dunia olahraga dan latihan yang tidak mencerminkan femininitas,
dianggap tidak enak dilihat. Selain itu, proses eksklusi ini meminta perempuan
untuk mengasumsikan dirinya berada di posisi maskulin, dalam hal binaraga
misalnya aspek estetik ini dipakai untuk ditujukan pada tampilan yang tidak
feminin dari bodybuilder perempuan, di mana mereka dilihat menentang atau
melanggar norma gender dan dianggap tidak dapat diterima (Molnar dan Kelly,
2013 : 161). Secara esensial, laki-laki tidak ingin ranah maskulinitas atau ruang
spesifik kelaki-lakiannya diambil oleh perempuan, karena itu bagian dari
identitas kelaki-lakian mereka. Aspek ini dipicu oleh insekuritas laki-laki dan
nilai-nilai hegemoni di mana laki-laki menginginkan para perempuan terlihat dan
berpakaian (berdandan atau mengenakan high heels) dan kesannya menjadi tidak
penting bagi mereka untuk melakukan latihan atau olahraga. Ini merupakan salah
satu bentuk kontrol dari laki-laki terhadap tampilan perempuan.
Aspek kedua yaitu biologis, di mana perempuan diklaim bahwa
mereka tidaklah didesain secara genetik dan biologis untuk melakukan aktivitas
fisik yang berat, dan perempuan itu secara fisik dan intelektual cenderung lebih
184
rendah daripada laki-laki (Molnar dan Kelly 2013 : 162). Perempuan selama ini
cenderung selalu diarahkan ke aktivitas dengan peran sosial yang terbatas seperti
mengurus anak, motherhood, serta pekerjaan domestik dan aktivitas lainnya yang
dilihat kurang menggunakan kekuatan fisik dan keterampilan intelektual.
Kemudian, secara sosial, olahraga seringkali dideskripsikan sebagai
pertahanan laki-laki, arena dimana nilai-nilai dan perilaku maskulin bisa
dipelajari, dikuatkan dan dimunculkan (Dunning dalam Molnar & Kelly, 2013 :
162). Dunia olahraga selalu dikaitkan dengan laki-laki sehingga keterlibatan atau
partisipasi perempuan selalu dinomorduakan. Hal ini merupakan kuasa dalam
rezim kebenaran yang dibentuk melalui wacana olahraga, khususnya fitness dan
bodybuilding kepada para perempuan. Untuk itulah dalam teks Reps ID,
mekanisme pendisiplinan tubuh dalam wacana fitness ini memberi penekanan
yang berbeda ketika para perempuan bodybuilders memiliki tubuh yang berotot
atau powerful.
4.3 Diskusi
Beragam bentuk pendisiplinan yang dipromosikan melalui wacana fitness
merupakan bagian dari suatu bentuk kuasa, misalnya pada makanan, latihan atau
kontrol terhadap berat badan. Artinya, apa yang masuk ke dalam tubuh individu
atau aktivitas yang dilakukan, tidak lagi murni merupakan otoritas dirinya,
melainkan ada peran kuasa yang dipromosikan melalui teks media melalui
wacana ini untuk mendapatkan tubuh tertentu. Tubuh akhirnya hanya menjadi
sesuatu yang ditundukkan pada rezim pengawasan yang berupa angka-angka;
berat badan, lingkar pinggang, dan sebagainya. Ditambah dengan wacana ilmiah
185
dari bidang kesehatan yang kerap dinarasikan melalui teks –seperti gizi atau
penyakit tertentu yang diasosiasikan dengan ketidakaktifan tubuh-, sehingga hal
ini menjadi sesuatu yang dapat membuat komunitas wacana percaya. Tubuh
didominasi melalui disiplin yang dibebankan pada tubuh dengan adanya
kebenaran ilmiah mengenai fitness. Individu akhirnya menjadi tidak
mempertanyakan makna dan asal dari pengetahuan fitness yang ada, tapi tetap
akan menjadi pengikut patuh dari wacana tersebut dengan melakukan hal-hal
yang diregulasi dalam wacana fitness. Fitness akhirnya tidak menjadi suatu
wacana yang murni mempromosikan aktivitas untuk kesehatan, melainkan
menjadi suatu sarana untuk mengontrol tubuh.
Wacana fitness di Reps ID sendiri masih menggunakan bahasa yang
cenderung maskulin dalam teks. Tubuh laki-laki, melalui latihan yang ada
dikonstruksi untuk menjadi kuat dan powerful, serta menempati ruang dan
bersifat dominan. Latihan-latihan yang dipromosikan juga mengandung anjuran
untuk tidak menjadi lemah atau memiliki sifat-sifat feminin dan rapuh
(Henderson & Petersen, 2002 : 196), agar semakin menekankan perbedaan
antara tubuh laki-laki dengan perempuan. Representasi tubuh seperti elemen
alam bagi laki-laki dan perumpamaan tubuh role model perempuan bagi
perempuan juga menandakan adanya kekuatan yang dialamatkan pada laki-laki,
dan menjual ekspektasi dengan representasi yang ada bagi perempuan.
Praktik biopower membuat baik perempuan maupun laki-laki menjadi
sasaran dari relasi kuasa. Tidak hanya perempuan, namun laki-laki juga
ditundukkan dengan mekanisme pendisiplinan yang ada untuk memiliki tubuh
186
tertentu. Di sisi lain, melalui kuasa biopower yang memihak dominasi laki-laki,
timbul ketakutan akan maskulinitas fisik perempuan. Penutur wacana yang
mengalami disempowerment atau secara kultural tereksklusi dari nilai-nilai
femininitas karena tubuhnya terlalu berotot (Schinke & Hanrahan, 2009 : 66).
Sehingga komunitas wacana perempuan mungkin juga akan melihat bentuk-
bentuk eksklusi semacam ini, dan ada kecenderungan untuk menghindari tubuh
dengan otot yang besar atau terlalu kekar. Sebab dunia fitness dan bodybuilding
dalam konstruksi masyarakat dianggap sangat mencerminkan laki-laki, sehingga
para wanita yang bisa melakukannya dianggap seperti laki-laki dan seolah tidak
berdiri sendiri di bawah identitasnya. Rasa takut dieksklusi dan semacamnya
inilah yang membantu biopower dalam beroperasi menegakkan praktik
pengawasan diri dan mempermudah klaim dalam teks menjadi sebuah
kebenaran.