BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR - IPB...
Transcript of BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR - IPB...
BAB IV
GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
4.1. Kondisi Wilayah
Kota Bogor (Kota Buitenzorg yang artinya “Kota tanpa kesibukan”)
terletak diantara 106 derajat 43’30”BT 106 derajat 51’00”BT dan 30’30”LS - 6
derajat 41’00”LS serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter,
maksimal 350 meter dengan jarak dari ibukota kurang lebih 60 kilometer, dengan
luas wilayah 11.850 ha, merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan
ketinggian yang bervariasi antara 0 sampai dengan > 350 m diatas permukaan laut
dengan kemiringan lereng berkisar 0-2 persen (datar) seluas 1.763,94 ha, 2-15
persen (landai) seluas 8.091,27 ha, 15-25 persen (agak curam) seluas 1.109,89 ha,
25-40 persen (curam) seluas 764,96 ha dan > 40 persen (sangat curam) seluas
119,94 ha.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 16 tahun1950 Kota Bogor ditetapkan
menjadi Kota Besar dan Kota Praja yang terbagi dalam 2 wilayah Kecamatan 22
kelurahan, 5 kecamatan dan 1 perwakilan kecamatan. Terakhir berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1992, perwakilan kecamatan Tanah
Sareal ditingkatkan statusnya menjadi kecamatan, kini terdapat 6 kecamatan dan
68 kelurahan. Lokasi Kota Bogor yang dekat dengan ibukota negara dan
kedudukannya diantara jalur tujuan Puncak-Cianjur merupakan potensi yang
strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Adanya Kebun
Raya yang di dalamnya terdapat Istana Bogor merupakan tujuan wisata yang
menarik.
4.2. Keadaan Penduduk
Tren jumlah penduduk Kota Bogor terus bertambah dari waktu ke waktu.
Tahun 1961, saat sensus pertama kali diselenggarakan, jumlah penduduk Kota
Bogor mencapai 154,1 ribu jiwa. Angka tersebut terus naik, dan sempat terjadi
lonjakan penduduk pada tahun 1990-2000 ketika wilayah Kota Bogor bertambah
46 kelurahan dari Kabupaten Bogor berdasarkan PP Nomor 2 Tahun 1995. Jumlah
penduduk Kota Bogor terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sehingga
menimbulkan tingkat kepadatan yang makin besar pula. Laju pertumbuhan
penduduk Kota Bogor selama 12 tahun (1995-2007) adalah sebesar 2,82 persen,
dengan laju pertumbuhan tertinggi terdapat di Kecamatan Bogor Utara yang
mencapai 4,30 persen. Sementara, di Kecamatan Bogor Tengah, terjadi
pertumbuhan terendah sebesar 0,39 persen. Dalam periode 1999-2006,
pertumbuhan penduduk Kota Bogor memperlihatkan fluktuasi dengan
pertumbuhan terendah sebesar 0,38 persen (1996-1997) dan pertumbuhan tertinggi
sebesar 6,38 persen (2000-2001).
Pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Bogor sekitar 760.329 jiwa,
kemudian pada tahun 2002, 2003, 2004, 2005 dan 2006 jumlah penduduk Kota
Bogor menjadi 789.423,820.707,831.751,855.184 dan 855.085 jiwa. Akan tetapi
secara persentase laju pertumbuhan penduduk Kota Bogor tidak begitu stabil.
Pertumbuhan penduduk Kota Bogor antara tahun 2000-2001 sebesar 1.83 persen,
akan tetapi perkembangan penduduk Kota Bogor pada tahun 2001-2002 menjadi
1.79 persen, selanjutnya pertumbuhan penduduk Kota Bogor pada tahun 2002-
2003 relatif sama dengan tahun sebelumnya yakni 1.76 persen dan kemudian
pertumbuhannya naik pada tahun 2003-2004 yakni menjadi 3.41 persen, tahun
2004-2005 1.71 persen dan perkembangan pada tahun 2005-2006 meningkat
kembali menjadi 2.02 persen, maka dapat disimpulkan bahwa perubahan
penduduk Kota Bogor tidaklah stabil nilainya. Perbedaan laju perkembangan
penduduk ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor alamiah (kelahiran dan
kematian) serta migrasi masuk dan keluar.
Tabel 10. Jumlah Penduduk Kota Bogor Per Kecamatan Menurut Jenis Kelamin
Tahun 2006
Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah
Bogor Selatan 77.254 73.881 151.135
Bogor Timur 38.307 38.958 77.265
Bogor Utara 64.148 61.710 125.858
Bogor Barat 86.496 84.148 170.644
Bogor Tengah 46.235 46.620 92.855
Tanah Sareal 67.006 65.487 132.493
Jumlah 379.446 370.804 750.250
Sumber : BPS Kota Bogor
Keberagaman menjadi salah satu khas penduduk Kota Bogor, baik dari sisi
budaya maupun potensi ekonomi. Kedekatan dengan Jakarta turut memberikan
warna kehidupan masyarakat Kota Bogor. Kepadatan penduduk per km2 sebesar
7.017 jiwa dan sex ratio penduduk Kota Bogor adalah 104 yang artinya 104
penduduk laki-laki berbanding dengan 100 penduduk perempuan. Kecamatan
Bogor Barat merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak yaitu
195.808 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Bogor
Timur yaitu 89.237 jiwa. Untuk Kecamatan Bogor Tengah merupakan kecamatan
terpadat dengan jumlah penduduk 13.047 jiwa/km2, hal ini disebabkan karena
pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi banyak berada di kecamatan
ini. Sedangkan kecamatan yang paling rendah kepadatannya adalah Bogor Barat
dan Bogor Selatan. Di dua kecamatan inilah yang masih berpotensi tinggi
terjadinya migrasi penduduk masuk ke Kota Bogor.
Sumber : BPS, 2006
Gambar 11. Perkembangan Jumlah Penduduk Kota Bogor
Tahun 2000 - 2006
Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2009 sebanyak 981.000 jiwa dan
di tahun 2010 diprediksi akan menjadi lebih dari satu juta jiwa dengan asumsi
rata-rata pertumbuhan dua persen per tahun. Hasil sensus penduduk 2010, jumlah
penduduk Kota Bogor mencapai 949.066 jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar
2,39 persen, diantaranya 484.648 laki-laki dan 464.418 perempuan dan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 2,8 persen, Kota Bogor memiliki sumberdaya
manusia yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu modal
pembangunan.
4.3. Kondisi Perekonomian
Untuk mengetahui perkembangan perekonomian di Kota Bogor, salah satu
indikatornya adalah diukur dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).
Pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dapat dikelompokkan menjadi tiga periode
yang berbeda, yaitu : 1993-1998, 2000-2004, 2002-2006. Hal ini mengingat
adanya perbedaan harga konstan dari data PDRB yang diperoleh.
• Pada periode 1993-1998, ekonomi Kota Bogor mengalami pertumbuhan
sebesar 6,42 persen yang didukung oleh sektor-sektor yang tumbuh tinggi
seperti industri pengolahan (18,38 persen) serta listrik, gas dan air bersih (9,19
persen)
• Dalam periode 2000-2004, pertumbuhan ekonomi Kota Bogor mencapai 5,91
persen. Pertumbuhan ini didukung sektor-sektor ekonomi yang mengalami
pertumbuhan tinggi seperti industri pengolahan (6,53 persen), listrik, gas dan
air bersih (6,94 persen), pengangkutan dan komunikasi (7,18 persen),
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (9,58 persen).
• Pada periode 2002-2006, perekonomian Kota Bogor tumbuh sebesar 6,08
persen. Pertumbuhan ekonomi pada periode ini ditopang oleh sektor-sektor
ekonomi yang tumbuh tinggi seperti industri pengolahan (6,38 persen), listrik,
gas dan air bersih (6,94 persen), pengangkutan dan komunikasi (6,99 persen),
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (9,91 persen)
Dalam kurun waktu 1993-2006, kontribusi sektor-sektor ekonomi dalam
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor atas dasar harga berlaku
yang memperlihatkan kecenderungan terus meningkat adalah sektor perdagangan,
hotel dan restoran per tahunnya mencapai kisaran 28,75-41,08 persen terhadap
PDRB. Sektor industri pengolahan menempati posisi kedua kontribusinya
terhadap PDRB Kota Bogor dengan rata-rata kontribusi per tahun 20,74-24,13
persen. Sektor pengangkutan dan komunikasi memperlihatkan kontribusi yang
stabil, sedangkan sektor lainnya cenderung menurun. Dalam kurun waktu tersebut,
kontribusi sektor industri meningkat dari 20,74 persen pada tahun 1993 menjadi
24,13 persen pada tahun 2006. Sedangkan kontribusi sektor perdagangan, hotel
dan restoran adalah sebesar 28,75 persen, pada tahun 1993 kemudian menjadi
41,08 persen.
Perkembangan perekonomian Kota Bogor tahun 2002 menunjukan
pertumbuhan sebesar 5,78 persen meningkat menjadi 6,07 persen tahun 2003.
Pertumbuhan yang cukup baik ini merupakan modal yang baik untuk pemulihan
ekonomi Kota Bogor. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor
tahun 2002 berdasarkan harga berlaku Rp.3,2 Trilyun pada tahun 2003 meningkat
menjadi Rp.3,6 Trilyun dengan pendapatan perkapita Rp.4.227.462,01 pada tahun
2002 menjadi Rp.4.605.734,59 pada tahun 2003. Pada tahun 2006 PDRB harga
konstan sebesar Rp.1.209.642,71, harga berlaku Rp.2.954.164,95. Tahun 2007
harga konstan sebesar Rp.1.279.881,96 harga berlaku sebesar Rp.3.282.218,41
meningkat 6,07 persen menjadi sebesar Rp.1.357.633,57 tahun 2003 berdasarkan
harga konstan, sedangkan harga berlaku sebesar Rp.3.645.650,79 meningkat 11,07
persen.
Dilihat dari perekonomiannya, laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor
seiring dengan laju pertumbuhan Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan, sektor
yang memberikan sumbangan terbesar bagi kenaikan kinerja perekonomian di
Kota Bogor, yaitu :
1. Perdagangan, Hotel & Restoran
2. Industri Pengolahan
3. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan
4. Pengangkutan & Komunikasi
5. Jasa-jasa
Sektor ekonomi yang kompetitif di Kota Bogor, adalah sektor :
1. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
2. Jasa-jasa
3. Pertambangan & Penggalian (khususnya sektor penggalian)
Struktur perekonomian Kota Bogor dalam kurun waktu 2007-2008
didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri
pengolahan, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor tersier
merupakan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap PDRB disusul sektor
sekunder dan sektor primer. Kegiatan perekonomian di Kota Bogor memberikan
indikator-indikator yang positif dan Kota Bogor dapat mengadakan spesialisasi
kegiatan perekonomiannya pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor
industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, yang
dapat meningkatkan pendapatan asli daerah.
4.4. Prioritas Pembangunan Daerah
Berdasarkan analisis lingkungan strategis, terdapat beberapa isu strategis
yang perlu mendapat prioritas untuk ditanggulangi dalam 5 (lima) tahun kedepan.
Isu-isu strategis ini berkaitan dengan permasalahan perkotaan meliputi masalah
transportasi dan kemacetan lalu lintas kota, Pedagang Kaki Lima
(PKL) kebersihan kota dan lingkungan hidup dan kemiskinan yang masih
melanda sebagian warga Kota Bogor.
4.4.1. Masalah Transportasi
Penanganan yang menjadi prioritas pertama untuk segera ditanggulangi
adalah permasalahan transportasi khususnya di dalam kemacetan lalu lintas.
Kemacetan lalu lintas di Kota Bogor terjadi kedalam beberapa permasalahan
antara lain : 1) Tingginya jumlah angkutan kota sebanyak 3.506 unit ditambah
angkutan kota dari Kabupaten sebanyak 6.895 unit dan angkutan antar kota/antar
propinsi sebanyak 900 unit; 2) Terkonsentrasinya kegiatan jasa, perdagangan,
terminal, obyek wisata dan lain-lain di pusat kota; 3) Terdapatnya sepuluh pintu
masuk yang menuju ke jantung kota; 4) Pola jaringan yang bersifat radial; 5) Pola
jaringan trayek yang tumpang tindih antara angkutan kota dan lintasan trayek
yang cukup pendek; 6) Keberadaan PKL yang memanfaatkan badan jalan; 7)
Kurang tegasnya penegakan hukum oleh aparatur, sehingga menyebabkan
kurangnya disiplin pengemudi dan pengguna jalan; 8) Adanya ruas-ruas jalan
yang bottle neck dan ruas-ruas jalan yang sulit dilebarkan; 9) Beroperasinya rel
ganda kereta api yang mengakibatkan tingginya (rata-rata 8 menit) frekuensi
kereta api, sehingga diperlukan jembatan layang; 10) Terbatasnya sarana dan
prasarana transportasi; 11) Aturan, mekanisme, dan prosedur pemberian izin
trayek tidak sesuai dengan kebutuhan; 12) Belum adanya keterpaduan sistem
manajemen transportasi regional (Bubulak, Laladon, Darmaga, Jalan Sholeh
Iskandar dan Simpang Pomad). Kesemua permasalahan tersebut mengakibatkan
kemacetan lalu lintas yang tersebar di 31 titik kemacetan di Kota Bogor dengan
titik kemacetan yang terparah di sekitar keliling luar Kebun Raya (Pertigaan eks
Pasar Ramayana, Pasar Bogor, Tugu Kujang, Depan Istana Bogor - semuanya
pertigaan), sekitar Terminal Baranangsiang, Pasar Gembrong (Sukasari), Kawasan
Jembatan Merah, Pasar Mawar dan Pasar Anyar, Merdeka-Salmun dan Jalan
Sholeh Iskandar. Penyebab kemacetan pada titik-titik terparah tersebut umumnya
karena pelanggaran aturan berlalu lintas oleh angkot dan PKL yang menggunakan
badan jalan.
4.4.2. Masalah Pedagang Kaki Lima (PKL)
Penanganan prioritas yang kedua adalah permasalahan Pedagang Kaki
Lima (PKL). Seperti di kota lainnya pertumbuhan sektor ini di kota Bogor
semakin mendapati momennya setelah terjadinya krisis ekonomi mulai
pertengahan tahun 1997. Hasil pendataan oleh pemerintah daerah, pada tahun
1996 tercatat pedagang kaki lima dititik-titik pusat keramaian berjumlah 2.140
pedagang, kemudian pada akhir tahun 1999 berdasarkan hasil survei pusat
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) Kota Bogor jumlahnya hampir tiga kali
lipat menjadi 6.340 pedagang. Pada akhir tahun 2002 berdasarkan hasil pendataan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor jumlah PKL meningkat lagi
menjadi 10.350 Pedagang, yang tersebar di 51 titik PKL, dimana 82 persen dari
para pedagang tersebut berasal dari luar Kota Bogor. Tahun 2004 terdapat 50
lokasi PKL dengan jumlah pedagang sekitar 12.000 PKL.
Pedagang Kaki Lima (PKL) disatu sisi sebagai sektor informal harus
diberi hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya namun di sisi lain
keberadaan PKL yang tersebar di pusat kota menjadi gangguan kepada kegiatan
lainnya dikarenakan pada umumnya menggunakan ruang publik (fasilitas
umum/hak publik seperti trotoar dan badan jalan). Disamping itu juga disebabkan
belum adanya ketentuan yang mengatur PKL, belum ada konsistensi dan
ketegasan dalam penertiban PKL oleh petugas, belum ada kajian tentang PKL,
belum adanya persepsi bahwa PKL merupakan masyarakat kecil Bogor yang
secara ekonomis potensial belum ada ruang untuk pedagang kecil dan PKL dan
belum ada keterpaduan antara pedagang besar dengan pedagang kecil atau PKL.
Disisi lain perkembangannya sulit dikendalikan sesuai dengan perencanaan dan
penataan kota. Kota terkesan menjadi semerawut dan kumuh serta keberadaan
mereka mengganggu kenyamanan masyarakat lainnya. Beragamnya latar
belakang pendidikan, kultur sosial dan budaya mereka serta ketidakpeduliannya
aturan dan pada saat petugas tata tertib beroperasi PKL menghilang dan pada saat
petugas tata tertib pergi PKL pun datang dan marak lagi. Pedagang Kaki Lima
(PKL) yang ada di Kota Bogor secara umum digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis,
yaitu PKL yang bersifat musiman, PKL perpanjangan tangan bandar atau
tergantung kiriman barang (order) dan PKL lama. PKL di sekitar pasar,
khususnya Pasar Anyar dan Pasar Bogor merupakan PKL “pasar tumpah“.
Model penanganan dengan penertiban PKL ini bagi pemerintah sendiri
sebenarnya sangat mahal harganya. Tetapi posisi Pemerintah Daerah memang
sangat dilematis. Di satu sisi Pemerintah Kota adalah regulator yang berfungsi
menegakkan peraturan daerah yang dibuat bersama DPRD (rakyat). Didalam
kasus ini, sesuai Perda No. 1 Tahun 1990 tentang Kebersihan, Keindahan dan
Ketertiban (K3) keberadaan PKL ternyata melanggar aturan itu, tetapi disisi lain
dalam penegakan peraturan daerah secara normatif pemerintah tidak dapat
mengesampingkan faktor sosiologi, seperti perilaku masyarakat dalam pemenuhan
kebutuhan dasar, artinya penegakan hukum yang dilaksanakan harus
memperhatikan segi sosiologis.
Secara umum aktivitas PKL ini memiliki sisi positif dan negatif. Sebagai
wadah kegiatan ekonomi yang digeluti oleh banyak orang, kegiatan pedagang kaki
lima merupakan salah satu potensi ekonomi rakyat yang memiliki fungsi positif
seperti sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja, memberi kontribusi
pendapatan bagi masyarakat yang pada akhirnya dapat memberikan kesejahteraan
dan ikut berkontribusi dalam mendorong pemerataan ekonomi lokal. Sisi positif
lainnya adalah memberikan harga lebih rendah kepada masyarakat kelas
menengah ke bawah dalam hal pengadaan barang dan jasa yang tidak terjangkau
atau terlayani oleh sektor ekonomi formal. Untuk itu diperlukan adanya peraturan
daerah tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan perlu ada revisi perda
lain yang berkaitan dengan PKL.
4.4.3. Masalah Kebersihan
Penanganan prioritas yang ketiga adalah permasalahan kebersihan yang
mengakibatkan terganggunya kebersihan dan keindahan kota. Permasalahan
sampah yang terjadi adalah akibat dari timbulan sampah yang belum sepenuhnya
dapat terangkut/ dimusnahkan di TPA (baru terangkut sekitar 68 persen dari
jumlah produksi sampah/hari atau sebanyak 1.457 m3/hari dari 2.124 m
3 timbunan
sampah perharinya). Hal ini disebabkan :
1. Ketersediaan armada angkutan baik dilihat dari kuantitas (52 dump truck, 17
amroll) dengan kondisi yang masih baik 52 persen, 46 persen kurang baik dan
2 persen rusak berat) serta keterbatasan kemampuan alat berat di TPA yang
hanya didukung oleh 2 unit buldozer (1 unit dalam kondisi baik dan 1 unit
rusak), 1 unit truck loader (kurang baik), 1 unit wheel loader (baik) dan 1 unit
excavator (baik), padahal untuk mengelola sampah sebanyak 1.457 m3/hari
idealnya 5 unit alat berat tersebut mempunyai kemampuan yang sama baiknya.
2. Keterbatasan tenaga operasional petugas kebersihan (pengumpul, penyapu,
petugas angkut dan TPA) hanya ada 578 orang bila dibandingkan dengan
kebutuhan 2 orang/penduduk.
3. Tidak adanya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya
dan membayar retribusi.
4. Keterbatasan dalam penyediaan sarana pewadahan (tong/bak sampah) dan
pengumpulan (gerobak) ke seluruh wilayah.
5. Belum memasyarakatnya budaya pengurangan sampah sejak dari sumbernya
dan pengelompokkan sampah organik dan anorganik.
6. Keberadaan TPA Galuga yang statusnya sangat tergantung kepada Pemerintah
Kabupaten Bogor setelah tahun 2005 nanti.
4.4.4. Masalah Kemiskinan
Penanganan prioritas yang keempat adalah permasalahan kemiskinan.
Kriteria miskin berdasarkan BKKBN meliputi 1) Tidak bisa makan 2 kali sehari
atau tidak mampu makan protein hewani satu kali dalam seminggu; 2) Tidak
mempunyai penghasilan tetap minimal sebesar Rp.150.000,00/kapita/bulan; 3)
Tidak mampu menyekolahkan anak usia 7-15 tahun; 4) Tidak mampu berobat dan
KB ke Puskesmas; dan 5) Kondisi rumah berlantai tanah 75 persen dari luas
rumah. Faktor penyebab kemiskinan adalah gabungan faktor internal dan
eksternal. Faktor eksternal diantaranya adalah kebijakan pembangunan yang
keliru dan juga adanya korupsi yang mengakibatkan berkurangnya alokasi
anggaran kegiatan pembangunan. Faktor internal penyebab kemiskinan antara lain
keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk dan etos
kerja yang rendah.
Akar masalah kemiskinan di Kota Bogor disebabkan oleh beberapa hal
antara lain orang miskin tidak mampu menjangkau pasar kerja (serapan tenaga
kerja yang rendah), terbatasnya lapangan kerja baru (rendahnya investasi padat
karya dan promosi investasi di Kota Bogor belum optimal), alokasi APBD untuk
penanganan tenaga kerja orang miskin belum optimal, kurang terampilnya
masyarakat dalam mengelola asset produktif, kurangnya pengembangan SDM
masyarakat miskin, biaya pendidikan yang terus meningkat, pelayanan kesehatan
masih terlalu mengandalkan dana pemerintah, belum efektifnya pengelolaan
Zakat, Infak, Shodaqoh (ZIS) dan krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Perkembangan jumlah keluarga miskin yang ada di Kota Bogor dan sebaran
kemiskinan per kecamatan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut :
Tabel 11. Perkembangan Jumlah KK Miskin di Kota Bogor
Tahun Jumlah KK Miskin Persentase Penurunan/Peningkatan
(%)
2000 31.657 19,50 - 0.83
2001 28.703 17,57 - 1.93
2002 20.956 12,37 - 5.20
2003 17.947 10,27 - 2.10
2004 21.914 14,83 4.56
2005 39.162 23,05 8.22
2006 41.398 21,30 - 1.75
Sumber : BPS Kota Bogor, 2006
4.4.5. Penanganan masalah mendasar
Selain isu-isu tersebut diatas yang menjadi prioritas pembangunan, juga
terdapat permasalahan yang perlu penanganan berkaitan dengan kewenanganan
wajib yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor, antara lain sebagai
berikut :
1. Belum meratanya informasi rencana tata ruang bagi masyarakat dalam
melakukan investasi dan pembangunan, sehingga tidak terkendalinya
perkembangan fisik baik dari segi tata ruang dan tata bangunan.
2. Cukup besarnya proporsi tanah yang belum memiliki sertifikat dikarenakan
biaya administrasi sertifikat tanah masih memberatkan sebagian besar
penduduk, juga prosedur persertifikatan masih menyulitkan masyarakat.
3. Masih rendahnya tekanan publik terhadap pemanfaatan sumber daya alam
sungai yang disebabkan tidak tegasnya penegakan hukum dan rendahnya
kesadaran masyarakat.
4. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup, yang mengakibatkan kerusakan sumber daya alam serta
beban pencemaran akibat limbah cair dan sampah rumah tangga.
5. Walaupun masyarakat telah menyelenggarakan sebagian jasa prasarana
lingkungan seperti pembangunan jalan, jembatan dan lainnya, namun masih
diperlukan peran pemerintah daerah dalam menyediakan prasarana khususnya
yang bersifat keperintisan guna mendorong berkembangnya perekonomian
dan membuka keterisolasian wilayah yang bersangkutan.
6. Permasalahan dibidang pendidikan masih banyak anak usia sekolah dasar
yang rawan putus sekolah dan belum tertanganinya anak putus sekolah. Pada
kelompok usia pendidikan SMP dan SMA faktor ekonomi keluarga
merupakan penyebab yang paling menonjol sehingga banyak diantaranya yang
memilih bekerja dibanding melanjutkan sekolah ke yang lebih tinggi.
Sedangkan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, guru memegang
peranan yang sangat menentukan. Oleh karena itu untuk meningkatkan
akademik dan profesionalisme guru perlu ditingkatkan.
7. Dibandingkan dengan sekolah umum, madrasah relatif tertinggal baik dari
segi mutu, manajemen maupun kelembagaan. Rendahnya kualitas pendidikan
di madrasah umumnya disebabkan oleh kurangnya sarana prasarana dan
minimnya fasilitas pendukung serta mutu tenaga kependidikan.
8. Di bidang kesehatan, walaupun persebaran sarana kesehatan khususnya
puskesmas sebagai pelayanan kesehatan dasar secara fisik telah dikatakan
merata, namun demikian belum sepenuhnya dengan peningkatan mutu
pelayanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat. Sedangkan
dalam upaya kesehatan masih kurang mengutamakan pendekatan
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit.
9. Di bidang kependudukan, yaitu kondisi kependudukan belum optimal antara
lain besarnya jumlah penduduk secara absolut dan tingkat kesejahteraan
keluarga relatif rendahnya produktivitas, sehingga keluarga sebagai wahana
pertama untuk meningkatkan kualitas penduduk akan berpengaruh pada
peningkatan kualitas penduduk.
10. Walaupun untuk menunda memiliki anak dan menjarangkan jumlah anak
cukup tinggi di kalangan masyarakat, namun hanya berkisar tentang alat dan
obat kontrasepsi belum kepada peningkatan kualitas kesehatan reproduksi.
11. Jumlah angkatan kerja yang sangat besar belum diimbangi dengan
peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Disisi lain terdapat
ketidakseimbangan antara angkatan kerja dengan pasar kerja, sehingga
jumlah pengangguran cukup tinggi. Disamping itu masih terdapatnya
hubungan antara pekerja dan pengusaha yang belum harmonis sehingga dapat
menimbulkan gejolak ketenagakerjaan.