BAB III PERKEMBANGAN MODE BERBUSANA DI KOTA … · Sedangkan manusia purba yang hidup di daerah...

30
43 BAB III PERKEMBANGAN MODE BERBUSANA DI KOTA MAGELANG AWAL ABAD XX Pada masa awal kehadirannya di Nusantara, peradaban Kolonial mendominasi kebudayaan di Indonesia. Namun dikarenakan kepribadian bangsa Jawa yang tinggi (local genius), sehingga dalam percampurannya budaya Jawa tidak lenyap begitu saja. Peran kepribadian bangsa Jawa ikut menentukan dalam memberi warna kebudayaan Indis. Unsur-unsur kebudayaan Belanda itu mula- mula dibawa oleh para pedagang dan pejabat VOC, kemudian rohaniawan Protestan dan Katolik juga mengikutinya. Peran para cendekiawan dalam mengembangkan kebudayaan Indis sangat besar dalam bidang pendidikan, teknologi pertanian, dan transportasi. Dalam tahap berikutnya, kaum terpelajar Indonesia mendapat pendidikan di Belanda, menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka juga sangat berperan dalam mengembangkan kebudayaan Indis di Indonesia. 1 Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial di Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu, bangsa Indonesia menerima nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri sebagai aparat penguasa jajahan atau kolonial. Hasil perpaduan menunjukkan bahwa ciri-ciri Barat (Eropa) tampak lebih jelas dan dominan. Oleh Rob Nieuwenhuys, jalinan yang erat semacam ini digambarkan seolah-olah terdapat osmose dan pertukaran mental diantara orang Jawa dan Belanda, yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan 1 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, Dari Jaman Kompeni sampai Revolusi. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011) hlm. 19.

Transcript of BAB III PERKEMBANGAN MODE BERBUSANA DI KOTA … · Sedangkan manusia purba yang hidup di daerah...

43

BAB III

PERKEMBANGAN MODE BERBUSANA DI KOTA MAGELANG

AWAL ABAD XX

Pada masa awal kehadirannya di Nusantara, peradaban Kolonial

mendominasi kebudayaan di Indonesia. Namun dikarenakan kepribadian bangsa

Jawa yang tinggi (local genius), sehingga dalam percampurannya budaya Jawa

tidak lenyap begitu saja. Peran kepribadian bangsa Jawa ikut menentukan dalam

memberi warna kebudayaan Indis. Unsur-unsur kebudayaan Belanda itu mula-

mula dibawa oleh para pedagang dan pejabat VOC, kemudian rohaniawan

Protestan dan Katolik juga mengikutinya. Peran para cendekiawan dalam

mengembangkan kebudayaan Indis sangat besar dalam bidang pendidikan,

teknologi pertanian, dan transportasi. Dalam tahap berikutnya, kaum terpelajar

Indonesia mendapat pendidikan di Belanda, menuntut berbagai bidang ilmu

pengetahuan. Mereka juga sangat berperan dalam mengembangkan kebudayaan

Indis di Indonesia.1

Dalam proses akulturasi dua kebudayaan tersebut, peran penguasa kolonial

di Hindia Belanda sangat menentukan. Sementara itu, bangsa Indonesia menerima

nasib sebagai bangsa terjajah serta menyesuaikan diri sebagai aparat penguasa

jajahan atau kolonial. Hasil perpaduan menunjukkan bahwa ciri-ciri Barat (Eropa)

tampak lebih jelas dan dominan. Oleh Rob Nieuwenhuys, jalinan yang erat

semacam ini digambarkan seolah-olah terdapat osmose dan pertukaran mental

diantara orang Jawa dan Belanda, yaitu manusia Jawa memasuki lingkungan

1

Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, Dari Jaman Kompeni sampai

Revolusi. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2011) hlm. 19.

44

budaya Eropa dsn sebaliknya.2 Kesejahteraan dan peningkatan status seseorang

menuntut perubahan gaya hidup, tampak dalam hal penggunaan bahasa, cara

berpakaian, cara makan, kelengkapan alat perabot rumah tangga, mata

pencaharian hidup, kesenian, kepercayaan/agama, dan sikap lebih menghargai

waktu.

Kebudayaan dan gaya hidup Indis merupakan suatu fenomena historis,

yaitu sebagai bukti hasil kreativitas kelompok atau golongan masyarakat pada

masa kekuasaan Hindia Belanda. Pembuktian terjadinya proses perubahan budaya

dalam kasus ini adalah modernisasi masyarakat yang terjadi di Kota Magelang,

dibuktikan melalui informasi perkembangan dan perubahan mode berbusana.

Sebagai salah satu bukti bahwa pakaian mempunyai kredibilitas sebagai alat

perekam dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

A. Pakaian Elite Jawa Sebelum Masuknya Kebudayaan Barat

Pakaian adalah kebutuhan primer manusia selain makanan dan tempat

berteduh (rumah), manusia membutuhkan pakaian untuk melindungi dan

menutupi dirinya, namun dengan perkembangan zaman kehidupan manusia,

Pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan, ataupun kedudukan

seseorang yang memakainya.

Pada zaman pra-sejarah manusia belum mengenal busana seperti sekarang,

pada zaman terdahulu manusia memakai kulit binatang, tumbuh-tumbuhan untuk

menutupi tubuh mereka. Manusia purba yang hidup di daerah dingin, menutupi

2

Rob Nieuwenhuys, Oost Indische Spiegel, (EmQuirido’s, Uitg.

B.v.Amsterdam)(ditulis kembali oleh Dick Hartoko, Bianglala Sastra, 1978)

45

tubuhnya dengan kulit binatang, misalnya kulit domba yang berbulu tebal.

Sedangkan manusia purba yang hidup di daerah panas melindungi tubuh mereka

dengan memanfaatkan kulit pepohonan yang di rendam terlebih dahulu lalu di

pukul-pukul lalu di keringkan. Selain itu mereka juga menggunakan dedaunan dan

rumput untuk menutupi tubuh mereka.

Berdasarkan bukti arkeologis, di daerah Sulawesi, Kalimantan, Seram,

Halmahera, Nias dan pantai Barat Irian Jaya telah ditemukan sisa-sisa kehidupan

zaman pra sejarah yang diantaranya terdapat pakaian dari kulit kayu yang

dinamakan fuya atau tapa.3

Gambar 1. Macam-macam bentuk fuya

(Sumber: kichiworld.wordpress.com)

Pengetahuan suku bangsa di Indonesia tentang tata cara berpakaian atau

berbusana semakin berkembang ketika agama Hindu dan Budha masuk ke

Indonesia. Kenyataan bahwa kebudayaan Hindu dan Budha berpengaruh besar

3 Sartono Kartodirdjo, dkk, Sejarah Nasional Indonesia 1 (Jakarta: Balai

Pustaka, 1977), hlm. 276.

46

terhadap model pakaian Indonesia tampak pada relief-relief bangunan candi.

Relief-relief di dinding candi Borobudur misalnya adalah contoh konkrit dan

lengkap yang menggambarkan keanekaragaman pakaian dan perhiasan pada

zamannya. Pada relief-relief tersebut jelas ditampilkan busana yang dipakai

manusia ketika pada masa itu dengan latar belakang peristiwa yang tengah

berlangsung. Dalam berbagai kegiatan seperti mengolah sawah, membangun

rumah, bermain musik atau tari digambarkan dengan pakaian yang berbeda.

Perbedaan juga tampak pada pakaian yang dipakai oleh para pembesar, raja, ratu,

tokoh agama serta rakyat kebanyakan. Bersamaan dengan pakaian tampil pula

kelengkapannya atau perhiasan yang dikenakan. Perhiasan yang dikenakan pun

sangat kompleks, meliputi hiasan kepala sebagai lambang kebesaran pemakainya,

hiasan telinga, leher, pergelangan kaki bahkan perhiasan dibagian pinggang dan

pangkal lengan. Tradisi berpakaian indah dan mengenakan perhiasan dari macam-

macam benda tidaklah mati karena terus berubah.

Gambar 2. Relief di Candi Pawon

(Sumber : Google.co.id)

47

Pengaruh Hindu dan Budha dalam hal berpakaian tampak dalam

penggunaan kain terusan tanpa dijahit atau yang biasa disebut sebagai kain

panjang yang menutupi tubuh para wanita ataupun pinggang para pria. Hal ini

berkaitan dengan ideologi bahwa kain panjang yang tidak dipotong merupakan

sebuah hal yang melambangkan kesucian dan bagi masyarakat Jawa hal tersebut

merupakan lambang kesakralan.4 Masyarakat Jawa lebih menyukai kain yang

diwiru daripada kain yang dijahit.

Gambar 3. Relief di Candi Sukuh

(Sumber : Google.co.id)

Penelitian relief pada kaki candi Hindu-Jawa, termasuk berbagai relief

candi zaman Majapahit, cukup membuktikan bahwa kedua jenis manusia pada

zaman itu hanya mengenal kain kain lipat (selubung). Pemunculan pakaian yang

menutupi tubuh secara lebih baik, terutama pantalon untuk lelaki dan kebaya

4 Jean German Taylor, Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-

1940, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances: Trend, Identitas,

Kepentingan, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 131.

48

untuk perempuan, terjadi secara lambat laun sejak abad ke-15 sampai abad ke-16,

di mana kebudayaan Islam memiliki pengaruh kuat di dalam memperbaiki

perilaku berbusana masyarakat.5

Keberadaan busana pada zaman sebelum

kedatangan Islam sebenarnya juga telah diketahui lewat adanya prasasti pada abad

ke-9 Masehi yang menyebut istilah untuk pakaian seperti: kulambi (bahasa Jawa:

klambi atau baju), sarwul (sekarang dimaknai sebagai sruwal yang memiliki arti

celana), ken (berarti kain).6

Sehingga orang Jawa sering dianggap telanjang

walaupun mereka telah berpakaian.7

Namun demikian, keberadaannya

dimungkinkan belum merupakan busana yang mampu menutupi tubuh secara

lebih baik.

Ketika islam datang, model pakaian di Jawa mengalami perubahan yang

cukup signifikan. Pakaian yang pada awalnya terbuka pada bagian dada,

kemudian disempurnakan sesuai norma-norma keislaman. Dari bentuk pakaian

terbuka menjadi bentuk pakaian menutup aurat badan. Sarung dan kain panjang

yang sebelumnya dililitkan disekitar pinggang kemudian diangkat lebih tinggi

untuk menutupi dada.

Selain dengan cara di atas, kaum perempuan Jawa juga menambahkan satu

pakaian lagi yang dililitkan secara ketat di sekitar dada.8 Satu keunikan tersendiri

bahwa kerajaan-kerajaan Jawa dimana pengaruh budaya Islam telah masuk seperti

5 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Volume 2, cetakan ketiga

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 318. Periksa Biranul Anas, dkk.,

Indonesia Indah: Busana Tradisional (Jakarta: Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII,

1998), 10. 6

Timbul Haryono, Busana dan Kelengkapannya: Aspek Teknomik,

Sosioteknik, dan Ideoteknik, Seminar Busana (Yogyakarta: Hastanata, 2008), 2 7 Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jilid 1:

Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: YOI, 1992), hal. 99. 8 Ibid., hal. 100

49

pada upacara adat, pandangan hidup, seni bangunan, namun ternyata dalam etika

berpakaian tidaklah banyak membawa perubahan. Dari beragam komposisi

pakaian, perhiasan sampai kepada makna simbolik yang ingin ditampilkan

pengaruh Hindu masih memegang dominasi yang kuat dalam lingkungan istana.9

Di Indonesia kontak dengan bagian dunia Islam lebih tua dibandingkan

dengan benua Eropa. Kontak dengan Islam mulai tampil sebelum Belanda dan

orang-orang Eropa lainnya muncul di wilayah ini. Karenanya pilihan antara

pemakaian busana didasarkan pada bidang Islam atau pribumi sudah sangat lama

ini dilukiskan dalam satu gambaran Barat tentang Indonesia.

Gambar 4. Susuhunan Pakubuwana IX berpakaian Haji sebagai pengaruh

Islam dengan turban di kepala tahun 1866.

(Sumber: http://www.kitlv.nl.).

9 Dwi ratna Nurhajarini, Perkembangan Gaya Pakaian Perempuan Jawa

Di Kota Yogyakarta Pada Awal Sampai Pertengahan Abad XX, Tesis S-2,

(Yogyakarta: Program Pasca Sarjana UGM, 2003), hal. 73.

50

Gambar di atas menunjukkan bagaimana pengaruh Islam berpengaruh

hingga dalam berbusana. Pakaian Raja-Raja Jawa mengadopsi pakaian Islam

dengan memakai celana panjang, pakaian dan turban gaya Turki.

Pembakuan dalam pakaian merupakan tanda lahir dari perubahan dalam

berbagai bidang. Menurut Taylor10

perubahan penting dalam pakaian untuk semua

kelompok laki-laki dan perempuan Jawa adalah mencakup betis ke atas.

Kecenderungan menutup tubuh bagian atas pertama tampak di kota-kota

pelabuhan Jawa pada abad XVI. Tubuh yang kurang tertutup oleh pakaian

menjadi penanda bagi golongan non-muslim, orang miskin, budak dan anak-anak.

B. Pakaian Elite Jawa Setelah Masuknya Kebudayaan Barat

Dengan kedatangan bangsa Eropa, perkembangan “mode” menjadi lebih

beragam. Pada masa VOC pakaian Belanda merupakan penanda yang jelas

tentang kebudayaan dan agama para tuan tanah asing. Pada awalnya Belanda

ingin mempertahankan pakaian Eropa untuk diri mereka sendiri. Orang-orang

Indonesia yang diperbolehkan memakai pakaian gaya Eropa di daerah-daerah

yang dikendalikan oleh VOC adalah penganut Kristiani.11

Meskipun ada aturan

ketat yang diterapkan oleh VOC mengenai cara berpakaian berbagai bangsa,

peminjaman dan saling meniru unsur-unsur pakaian tetap nampak.

VOC bisa menerapkan aturannya di Batavia dan kota-kota lain tempat

mereka memiliki kontrol ketat, namun di luar daerah ini jauh lebih sulit,

10

Jean German Taylor, “Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun

1800-1940”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearances: Trend,

Identitas, Kepentingan, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 121. 11

Kees van Dijk, “Sarung, Jubah dan Celana: Penampilan Sebagai Sarana

Pembedaan dan Diskriminasi”, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Ibid., hal. 66.

51

khususnya menyangkut elit Indonesia yang sering bekerjasama dengan para

pejabat VOC. Salah satu orang pertama yang memakai pakaian Eropa adalah

Mangkurat II (1677-1703).12

Pada pertengahan abad XVII ketika Rickloff van

Goens, sebagai wakil VOC, mengunjungi istana Mataram, menyaksikan salah satu

penampilan publik biasa raja Mataram, Susuhunan Mangkurat I (1646-1677). Van

Goens mendeskripsikan bagaimana “sekitar empat, lima, enam, tujuh, sampai 800

bangsawan berkuda berkumpul di alun-alun” dan “dengan sangat tekun”

mengamati dandanan kepala sang raja, apakah memakai tutup kepala Jawa atau

turban gaya Turki. Jika raja mengenakan turban, semua orang menanggalkan

tutup kepala mereka dan mengambil tutup kepala yang lain dari pelayan mereka

agar sama dengan sang raja.13

Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Islam sangat

besar terhadap kerajaan dan penggunaan tutup kepala Jawa menunjukkan

perjuangan bagi hegemoni kultural yang dimulai sejak kedatangan Islam dan

restorasi nilai-nilai Jawa di dalam latar Islam.

Peran Barat sebelum tahun 1850 diungkapkan dengan mengimpor ke Jawa

bahan kain dari India dan menampilkan tubuh yang berbaju sebagai simbol

penguasa. Sejak pertengahan abad XIX, peran Barat dalam perubahan kostum di

Jawa ditunjukkan dalam penerimaan unsur-unsur khusus dari pakaian Barat bagi

pria. Beberapa tahun kemudian kaum perempuan mulai menerima pengaruh Barat

pada gaya pakaian yang mereka kenakan.

Perubahan paling jelas dalam pakaian adalah penerimaan batik sebagai

bahan pakaian bagi semua orang. Batik telah lama menjadi bahan pakaian bagi

12

Ibid., hal. 69 13

Ibid., hal. 71

52

laki-laki dan perempuan bangsawan di Jawa. Menurut Taylor, batik bukan

merupakan bahan busana bagi kaum perempuan di luar kelompok bangsawan

sampai pertengahan kedua abad XIX. Hal itu dikarenakan batik merupakan buatan

tangan yang memerlukan waktu cukup lama untuk dapat menghasilkan sepotong

kain. Produk batik dihasilkan oleh keluarga bangsawan dengan desain yang halus

dan rumit yang dilakukan oleh para perempuan. Batik tidak diproduksi untuk

dijual namun untuk dipakai para anggota keluarga. Oleh sebab itu batik tidak

dipakai oleh orang biasa karena pola dan warna tertentu pada batik ditetapkan

oleh raja dan yang berhak memakai hanya orang-orang tertentu.14

Dengan ditemukannya cat sintetis dan teknik pembuatan batik dengan cara

cap berpengaruh besar terhadap aspek ekonomi dan perdagangan. Pengusaha batik

yang semula terdapat di lingkungan keraton kemudian meluas dan menyebar

sampai ke daerah-daerah.

Tidak semua orang memiliki demikian banyak pilihan gaya. Bagi banyak

penduduk biasa di Hindia, sebelum tahun 1900 lingkup ini dibatasi oleh aturan-

aturan khusus yang dikeluarkan pertama-tama, pada masa awal kehadiran Belanda,

oleh VOC dan kemudian oleh pemerintah Kolonial. Aturan-aturan ini berkaitan

dengan pakaian-pakaian apa yang boleh dan apa yang tidak boleh oleh

sekelompok orang tertentu. VOC menerapkan larangan-larangan pemakaian

busana yang sama bagi setiap penduduk dengan maksud sebagai kontrol sosial

VOC terhadap masyarakat jajahan. Kostum Jawa sendiri pada masa VOC berupa

kain persegi panjang tidak dipotong yang menutupi tubuh bagian bawah, beragam

kain lilit penutup dada dan pinggul, serta kain penutup bahu. Kostum itu dipakai

14

Taylor, hlm 126

53

oleh pria dan wanita, dan pada dasarnya sama untuk semua kelas. Status sosial

seseorang ditunjukkan melalui kualitas kain yang dipakai, desain-desain dan

perhiasan.

Pakaian Barat ditabukan oleh banyak orang . jika ada pengecualian maka

ini berlaku bagi orang-orang yang dekat dengan Belanda. Di daerah-daerah di

bawah kendali Belanda, hanya anggota ningrat setempat dan Protestan pribumi

yang diperbolehkan meniru aspek-aspek gaya hidup Barat, termasuk pakaian.

Ketentuan ini berubah sekitar masa pergantian abad, ketika aturan

berpakaian yang dibuat oleh pemerintah Kolonial tidak lagi ketat dan ideal

tentang “kemajuan” memiliki daya tarik kuat bagi banyak pelopor gerakan

nasionalis. Oleh karena itu rakyat Indonesia dalam jumlah yang terus bertambah

mulai memakai pakaian “modern”. Hal yang sama dapat dikatakan tentang

penduduk Cina yang mulai terpengaruh dengan kebudayaan ini, sehingga mereka

memotong kuncir dan memakai pakaian Barat.

C. Pakaian di Magelang Pada Awal Abad XX

Awal abad XIX Magelang merupakan sebuah kota yang menuju pada

modernisasi. Pembangunan yang dilakukan dalam kota tidak hanya meliputi

pembangunan fisik saja melainkan juga pembangunan dalam bidang seni dan

budaya yang tercermin dalam gaya busana yang ada di Kota Magelang awal

jaman tersebut.

Perkembangan gaya berpakaian di kalangan masyarakat Kota Magelang

pada masa kolonial Belanda menimbulkan pengaruh yang cukup besar bagi

kehidupan masyarakat kota Magelang. Tidak hanya golongan priyayi tetapi juga

54

bagi kaum elit baru yang menginginkan perubahan dan persamaan hak dalam

berbagai hal kehidupan terutama kehidupan bergaya Eropa yang bebas dan tanpa

aturan tradisional dalam melakukan aktivitasnya.

Masyarakat Eropa dianggap mempunyai derajat sosial yang tinggi dalam

masyarakat. Suatu bentuk eksplorasi yang sengaja dijalankan pada saat berada di

puncak kekuasaannya yaitu pemberian pengaruh pada tata busana lokal yang

sudah dianut oleh masyarakat Jawa. Budaya Barat sengaja dimasukkan pada

kegiatan-kegiatan masyarakat yang selanjutnya akan memberi efek domino pada

masyarakat lokal itu sendiri.

Perkembangan fashion pada awal abad XX yang didukung oleh

modernisasi dalam industri pakaian membawa perubahan-perubahan dalam hal

jenis pakaian yang akan dipakai baik dalam dimensi tempat maupun waktu.

Pengaruh ini dibawa oleh bangsa barat dengan memasukkan unsur-unsur

pemakaian pakaian dengan mode dan waktu tertentu. Setiap waktu dan acara-

acara resmi, masyarakat Magelang mulai mengganti mode pakaian disesuaikan

dengan aturan-aturan barat. Dari berbagai sumber terutama rekaman foto, pakaian

yang dikenakan oleh masyarakat di Magelang pada awal abad ke-20 tampil dalam

dua model yaitu jenis pakaian tradisional dan pakaian modern. Pakaian modern

adalah pakaian yang mengacu pada gaya pakaian Barat yang dianggap lebih maju

dari segi teknologi. Pakaian jenis ini mempunyai ciri-ciri dan syarat-syarat

pakaian untuk berbagai kesempatan, yakni pakaian rumah atau harian, pakaian

kerja (termasuk pakaian sekolah), dan pakaian resmi atau pesta. Berikut ini akan

dipaparkan macam-macam pakaian modern yang dipakai masyarakat di Magelang.

55

1. Pakaian Harian

Pakaian harian yang dimaksud disini merupakan seperangkat pakaian yang

dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Untuk pakaian sehari-hari kalangan laki-laki

biasanya menggunakan baju batik atau lurik yang dipadukan dengan jarik, celana

panjang atau menggunakan kain sarung. Golongan terpelajar biasanya

menggunakan celana sebatas lutut dan pakaian dengan kancing didepan dan

terkadang menggunakan topi. Untuk kalangan perempuan biasanya menggunakan

baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen15

, alas kaki

dankelengakapan atas berupa hiasan rambut yang berbentuk konde atau sanggul.

Gaya pakaian tersebut dibuat dari kain batik ataupun kain lurik.

Gambar dibawah ini menunjukkan pakaian harian laki-laki Jawa di

Magelang dengan menggunakan kain sarung dan pakaian atas berkancing depan.

Sedangkan gambar selanjutnya menunjukkan para perempuan dan laki-laki duduk

berdampingan. Para perempuan menggunakan pakaian kebaya dipadukan dengan

bawahan kain jarik berbagai motif dengan rambut disanggul. Sedangkan pakaian

laki-laki berpakaian berupa atasan baju berkancing dengan bawahan celana

panjang.

15

Stagen adalah sepotong kain yang panjang, terbuat dari kain katun yang

kuat. Panjang kain untuk stagen mencapai 12 meter dengan lebar kira-kira 12,5

sentimeter. Fungsinya sebagai peengikat kain atau sarung pada pinggang.

56

Gambar 5.

Para lai-laki dalam pakaian sehari-hari di tahun 1910

(sumber: www.kitlv.nl).

Gambar 6.

Para perempuan dan laki-laki di Magelang menggunakan pakaian sehari-hari

tahun 1927

(sumber: www.kitlv.nl).

57

Selain itu pakaian harian yang lazim digunakan adalah rok Barat. Biasanya

dipakai saat sekolah dengan kelengkapan berupa alas kaki. Rambut diberi riasan

pelengkap berupa penjepit atau pita baik potongan rambut panjang atau pendek.

Namun pemakaian kebaya lambat laun sudah mulai tidak digunakan

terutama untuk golongan priyayi. Mereka cenderung berpakaian ala Barat dengan

baju-baju model Eropa yang sering digunakan oleh para noni-noni. Baju yang

dipakai biasanya berupa rok, blus, dan sepatu.

Gambar 7.

Dua anak kecil Jawa memakai pakaian dengan model Barat tahun 1920

(sumber: www.kitlv.nl)

Selain pakaian yang telah mengalami pengaruh gaya Barat seperti diatas,

masih dijumpai juga masyarakat yang masih menggunakan pakaian berupa kain

panjang yang ditarik hingga ke dada. Biasanya mereka adalah masyarakat yang

tinggal di desa dan jauh dari perkotaan.

58

Gambar 8.

Seorang Ibu dengan pakaian kain panjang yang ditarik sampai dada bersama

kedua anaknya tahun 1910

2. Pakaian Sekolah

Kebijakan politik etis mulai diberlakukan di beberapa wilayah Indonesia,

terutama di Jawa. Hal ini karena Jawa merupakan pusat dari wilayah kekuasaan

pemerintah Hindia Belanda, terutama di kawasan ibu kota kerajaan dan sekitarnya.

Pengembangan pendidikan itu juga tidak bisa dilepaskan dari peran serta dari para

kaum cendekia yang masih peduli dengan nasib pendidikan di Indonesia. Mereka

membuka sekolah-sekolah rakyat untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia.16

Perkembangan pendidikan dan pengajaran sampai akhir abad ke-19 menunjukkan

16

Sutedjo Bradjanagara, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jogjakarta : Kongres

Pendidikan Indonesia, 1956), hlm. 65.

59

kecenderungan yang dipengaruhi oleh politik pendidikan pada khususnya dan

politik kebudayaan pada umumnya.17

Pada saat itu, secara perlahan masyarakat Indonesia mulai mengenal dan

mengenyam bangku pendidikan. Walaupun begitu, tidak semua masyarakat

Indonesia memiliki nasib yang cukup beruntung. Hanya kaum elite (kaum yang

berada dan merupakan keturunan ningrat) saja yang bisa mendapatkan pendidikan.

Hal ini dikarenakan biaya sekolah yang masih tinggi sehingga tidak semua

kalangan masyarakat bisa menjangkaunya.18

Perkembangan pada dunia pendidikan juga terjadi di Kota Magelang.

Apabila sebelum tahun 1906 hanya terdapat beberapa sekolah maka pada tahun

1936 di kota Magelang telah terdapat sebanyak 40 buah sekolah dari berbagai

jenis baik umum maupun khusus. Sekolah-sekolah tersebut antara lain sebuah

Sekolah Dasar khusus Eropa, 2 sekolah MULO, sebuah kursus pengembangan

umum bagi gadis, Sekolah Keputrian, sebuah kursus pertukangan, HIS dan

asramanya, HCS, Frobelschool, Standardschool dan sebagainya. Terdapat juga

sebuah MOSVIA dan sebuah sekolah Ambon.19

Pada jaman kerajaan awal kedatangan VOC, di pulau Jawa pendidikan

hanya dapat dirasakan oleh anak-anak raja. Pendidikan yang diberikan berupa

17

Politik Pendidikan dan Politik Kebudayaan merupakan suatu kebijakan

politik yang dikeluarkan pemerintah yang mempengaruhi bidang pendidikan dan

kebudayaan masyarakat. Seperti mulai bermunculan sekolah yang didirikan

pemerintah dengan sistm Barat dan banyaknya masyarakat yang kebudayaannya

mulai terpengaruh dengan kebudayaan yang kebarat-baratan, (Suryosubroto,

Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 1982.),

hlm. 39). 18

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan di Indonesia, (Jakarta : INIS,

2004), hlm.30. 19

kotatoeamagelang.wordpress.com

60

bahasa jawa. Pada saat tersebut tidak terdapat gaya berpakaian tertentu pada

bidang pendidikan. Semua anak-anak raja yang belajar tetap mengenakan pakaian

yang biasa mereka pakai sehari-hari. Beranjak akhir abad ke-19, sejalan dengan

semakin terbukanya kesempatan pendidikan pada kalangan tertentu, masyarakat

pulau Jawa mulai mengadopsi gaya berpakaian orang Belanda. Mereka mulai

terbiasa mengenakan setelan jas dengan bawahan kain batik lengkap dengan selop

dan blangkon di kepala. Para kaum terpelajar dari golongan atas tersebut semakin

lama semakin membiasakan diri dengan gaya berpakaian orang-orang Belanda di

sekitarnya. Tidak hanya untuk belajar, mereka lambat laun menggunakan setelan

jas dalam gaya berpakaian sehari-hari. Pada tingkat pendidikan rakyat bawah,

tidak ada suatu bentuk gaya berpakaian yang khusus. Mereka hanya mengenakan

baju atasan dan celana kain untuk bersekolah.

Pakaian sekolah pada masa Kolonial Belanda memang terbagi menjadi

dua yaitu pakaian sekolah rakyat kebanyakan dan pakaian sekolah Eropa. Pakaian

sekolah rakyat kebanyakan murid-murid perempuan menggunakan kebaya dan

jarik, sedangkan bagi murid laki-laki memakai baju dan jarik biasanya disertai

pemakaian penutup kepala berupa ikat kepala. Seperti gambar-gambar dibawah

ini,

61

Gambar 09.

Para siswi dari sekolah Hindia Belanda di Mendut Magelang tahun 1915

(sumber: www.kitlv.nl).

Gambar 10.

Para siswa MULO Magelang sedang berfoto bersama tahun 1910

(sumber: www.kitlv.nl).

62

Pakaian sekolah bagi anak-anak priyayi yang bersekolah di sekolah-

sekolah milik pemerintah Kolonial biasanya memakai pakaian gaya Eropa, rok

dan blus bagi perempuan serta kemeja, jas dan dasi dipadukan dengan celana

pendek atau panjang maupun jarik bagi kaum laki-laki.

Gambar 11.

Johanna Gerarda sedang berfoto bersama siswa dari MULO Magelang tahun 1927

(sumber: www.kitlv.nl).

Dari gambar diatas bisa dilihat adanya keberagaman dalam pakaian

sekolah anak-anak tersebut. Ada yang memakai pakaian sekolah yang masih

mencerminkan adat istiadat berupa atasan kemeja, bawahan jarik dan ikat kepala.

Ada juga yang memakai pakaian gaya Eropa dengan memakai jas, dasi dan celana

sebatas lutut atau panjang. Namun yang menarik dari gambar tersebut ada yang

memakai gabungan diantara kedua kebudayaan tersebut yaitu pemakaian jas, dasi

namun bawahan masih menggunakan jarik. Hal ini menunjukkan identitas mereka

63

sebagai orang-orang yang dekat dengan Kolonial sehingga tercermin dari gaya

pakaiannya yang telah terpengaruh oleh gaya Barat.

3. Pakaian Kerja

Di Kota Magelang selain Residen dan Asisten Residen, pejabat pemerintah

yang lain adalah seorang Sekretaris, dua Komisaris, Kepala Pergudangan, dua

Pengawas Tanaman Teh, seorang Pengawas Tanaman Nila, seorang Dokter Lokal

dan seorang Perwira Kesehatan.20

Gambar dibawah ini memperlihatkan anggota paramedis di Rumah Sakit

Militer di Magelang tahun 1910. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa para

mantri lokal tetap memakai baju sesuai adat istiadat berbeda dengan para mantri

dari Belanda. Mereka masih memakai baju atasan kemeja dengan jarik sebagai

bawahan, tanpa alas kaki dan memakai penutup kepala.

Gambar 12.

Tim Paramedis dari Rumah Sakit Militer Magelang tahun 1910

(sumber: www.kitlv.nl).

20

Aardrijkskundig en Statistich; Wordenboek van Nederlansch-Indie

Bewerk naar de Jongste en Beste. Amsterdam:P.N. van Kampen, 1869. Hal 405.

64

Gambar 13.

Para Guru pengajar di OSVIA Magelang tahun 1918

(sumber: www.kitlv.nl).

Perbedaan pakaian kerja dapat ditemukan pada sebuah iklan yang

dikeluarkan oleh toko pakaian Sidho Madjoe. Iklan pakaian dalam bentuk bulletin

yang dikeluarkan oleh toko Sidho Madjoe ini menggambarkan bentuk pakaian dan

harga pakaian serta aksesoris yang digunakan sebagai pelengkap pakaian tersebut.

Pakaian yang ditawarkan oleh toko Sidho Madjoe merupakan pakaian yang

diperuntukkan bagi priyayi-priyayi (Groot-Ambtscostuums) buat Inlandsche

Ambtenaren tanah Jawa dan Madura.21

Pakaian-pakaian tersebut terdiri dari jas,

pantalon dengan warna putih dan hitam, dengan harga yang berbeda-beda sesuai

dengan pangkat dan kedudukan dalam pemerintahan. Gambar berikut

21

Prijscourant Tahoen 1940-1941, Toko Sidho Madjoe Solo Jawa Tengah,

hal. 1.

65

menunjukkan perbedaan pakaian dari pangkat yang tinggi hingga terendah bagi

pejabat Hindia Belanda.

Gambar 14. Merupakan pakaian dinas bagi pemerintah kolonial Belanda dari

kanan ke kiri Pakaian Gubernur, Residen atau Asisten Residen van Billiton,

Asisten Residen, Gewestelijk Secretaris, dan Controleur B.B.

(Sumber: Prijscourant Tahoen 1940-1941, Toko Sidho Madjoe Solo Jawa Tengah).

Gambar di atas dapat diketahui perbedaan pakaian seragam dinas yang

digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pakaian Gubernur dengan jas putih

bergaris hitam dibagian kancing jas depan dan memiliki hiasan berupa bunga di

ujung lengannya serta memakai pantalon putih bergaris hitam di bagian sisinya

dilengkapi aksesoris pedang. Pakaian Residen atau Asisten van Billiton hampir

sama dengan pakaian Gubernur hanya tidak menggunakan aksesoris pedang.

Pakaian Asisten Residen hingga controleur B.B. hanya dibedakan oleh jas yang

tidak memiliki garis hitam di bagian kancing serta ujung lengan yang motifnya

semakin sedikit.

Pakaian yang diperuntukkan bagi Inl. Gouv. Ambtenaren juga memiliki

perbedaan sesuai dengan tinggi rendahnya pangkat. Seseorang yang menjabat

66

sebagai pejabat pemerintah Hindia Belanda harus memakai seragam dinas sesuai

dengan pangkatnya begitu pula dengan aksesoris yang menyertainya. Perbedaan

yang nyata dari pakaian dinas ambtenar Hindia Belanda adalah pada bagian jas

kancing depan yang bermotif, bagian pundak belakang, ujung lengan baju, dan

bagian bawah jas. Semakin tinggi pangkatnya maka semakin banyak hiasan yang

menyelimuti pakaian tersebut. Kancing pakaian juga memiliki perbedaan baik dari

bentuk maupun bahan yang digunakan, semua hal tersebut disesuaikan dengan

hirarki kepangkatan dalam tubuh pemerintahan Hindia Belanda.22

Berikut ini

adalah gambar pakaian bagi Inl. Gouv. Ambtenaren di tanah Jawa dan Madura.

Gambar 15. Dari atas kanan ke kiri bawah merupakan pakaian bagi Boepati-

Pangeran, Boepati-Adipati GS, Boepati-Adipati, dan Boepati-Toemenggoeng

(Sumber: Prijscourant Tahoen 1940-1941, Toko Sidho Madjoe Solo Jawa Tengah).

22

Ibid.

67

Perbedaan pakaian-pakaian tersebut juga diikuti dengan perbedaan harga

secara kualitas bahan yang digunakan. Di bawah merupakan tabel harga pakaian-

pakaian dari para ambtenar Hindia Belanda di Jawa dan Madura.

Tabel 1. Daftar Harga Pakaian Groot-Ambtscostuums oentoek Inl. Gouv.

Ambtenaren di Tanah Jawa dan Madoera.23

Untuk masyarakat biasa yang bukan merupakan golongan menengah

keatas, tidak ada batasan bagi mereka untuk memakai pakaian kerja. Mereka tidak

23

Ibid.

68

terikat harus memakai seragam dalam aktivitasnya. Berikut adalah gambar

seorang pembatik yang sedang melakukan pekerjaanya.

Gambar 16. Dua wanita pembatik di Kedoe tahun 1910

(sumber: www.kitlv.nl).

4. Pakaian Resmi

Pada masa Kolonial Belanda untuk acara-acara resmi seperti perjamuan

makan, pernikahan, maupun penyambutan pejabat pemerintah Kolonial, pakaian

yang digunakan biasanya pakaian yang telah ditetapkan oleh aturan-aturan yang

jelas. Kaum perempuan pribumi biasanya mengenakan kebaya sedangkan gaun

terusan ataupun blus dan rok dengan model yang modern biasanya dipakai oleh

para perempuan Eropa. Pakaian pria biasanya menggunakan seragam sesuai

dengan pangkat dan jabatannya, sedangkan pria-pria Eropa mengenakan jas

dilengkapi dasi yang bermacam-macam dan celana panjang. Gambar dibawah ini

memperlihatkan seorang pribumi dalam perjamuan bagi pejabat Kolonial Belanda.

69

Gambar 17.

Bupati Magelang Raden Adipati Ario Danoesoegondo yang memakai beskap di

dalam acara pesta tahun 1935

(sumber: www.kitlv.nl).

Terlihat Bupati Magelang pada waktu itu yaitu Raden Adipati Ario

Danoesoegondo bersama sang istri (di dekat pilar) mengenakan pakaian Jawa

diantara kerumunan orang Eropa dengan pakaian ala Baratnya. Raden Adipati

Ario memakai Langenharja berdasi kupu-kupu dengan bawahan kain jarik yang

diwiru dan memakai blangkon serta memakai alas kaki berupa selop.

70

Gambar 19. Langenharja

(Sumber: http://matiusbudayasolo.blogspot.co.id/)

Sang istri juga terlihat modis dengan atasan kebaya, bawahan jarik yang

diwiru serta rambut yang disanggul rapi. Kebiasaan memakai pakaian lengkap24

pada waktu menghadiri acara yang bersifat resmi ditunjukan untuk menghormati

yang mengundang. Selendang dan tas menjadi bagian dari penampilan dan tak

lupa pemakain make up bagi para wanita.

24

Pakaian yang lengkap adalah pemakaian kain kebaya yang bagus dan

berbeda dengan yang dipakai harian, juga dilengkapi dengan perhiasan seperti

anting, subang, kalung, gelang, cincin.

71

Gambar 19.

Acara perjamuan makan di kantor Residen Magelang tahun 1935

(sumber: www.kitlv.nl).

Kehadiran orang-orang Belanda di pulau Jawa semenjak awal abad ke-17

sampai dengan abad ke-19 memiliki andil yang besar terhadap kemajuan gaya

hidup dan gaya berpakaian masyarakat pulau Jawa sendiri. Berkat perkawinan

campuran antara pribumi dan orang Belanda menghasilkan akulturasi budaya

pada gaya hidup masyarakat pulau Jawa. Serangkaian perpaduan budaya tersebut

memiliki dampak terhadap gaya berpakaian masyarakat pulau Jawa, terutama bagi

kalangan atas. Mereka jadi lebih mengenal gaya berpakaian terlepas dari sekedar

fungsi pakaian semata. Para perempuan mulai menggunakan kebaya dan dress

sebagai pakaian sehari-hari. Masyarakat Magelang juga mulai mengenal renda,

sepatu, kerudung kepala, pakaian pesta, pakaian tidur yang pada awal abad ke-17

tidak mereka kenakan. Para pria mulai terbiasa menggunakan setelan jas pada

acara-acara formal, pesta, saat bekerja di pemerintahan VOC maupun saat sedang

72

mengenyam pendidikan. Secara umum semenjak VOC datang dan berkembang di

pulau Jawa, kehidupan masyarakat pulau Jawa pun berangsur-angsur menuju

modernisasi begitupula terhadap gaya berpakaian masyarakat di Magelang.

Perkembangan gaya berbusana kalangan Elite Jawa (Priyayi) di Magelang

pada masa Kolonial tidak terlepas dari adanya pengaruh dari kebudayaan Barat.

Kemajuan yang terjadi di Magelang pada awal abad 20 dan juga berkembangnya

sistem pendidikan Barat membuat semakin terbukanya pikiran masyarakat

mengenai dunia Baru. Keinginan untuk terlihat berbeda dan diakui kedudukannya

membuat para priyayi di Magelang menunjukkan identitasnya melalui pakaian.

Dengan menjadi ala Barat membuat mereka tampil menjadi masyarakat yang

hampir sederajat dengan para golongan Eropa. Pengaruh dari perkembangan

fashion pakaian di Magelang masa Kolonial juga berpengaruh terhadap gaya

hidup dan sosio kultural masyarakat.