BAB III PEMBAHASAN & ANALISA PENGATURAN PERKAWINAN...
Transcript of BAB III PEMBAHASAN & ANALISA PENGATURAN PERKAWINAN...
BAB III
PEMBAHASAN & ANALISA
PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA
A. Hasil Penelitian
1. Periode sebelum Kemerdekaan. ( Sejarah Undang – Undang Perkawinan
sebelum Masa Kemerdekaan)
Periode sebelum kemerdekaan, Indonesia merupakan daerah jajahan
kolonial Belanda, sebagai wilayah kolonial tidak dapat disebut negara, dan tidak
memiliki warga negara, dan tidak memiliki warga negara, maka politik hukum
kolonial belanda mengaturnya dalam bentuk golongan penduduk. Berdasarkan
pembagian golongan penduduk, maka di Indonesia terdapat beberapa golongan
penduduk, antara lain: Golongan Penduduk Eropa, Golongan Penduduk Timur
Asing dan Golongan Penduduk Bumi Putra yang pada akhirnya memunculkan
pengertian tentang perkawinan Campuran yang disebut Regeling op de
Gemendgde Huwelijken, berdasarkan Koninlkijk Besluit van 29 Desember 1896
No., 23, Stb. 1898 No. 158. Pada intinya, apabila terjadi perkawinan antara
golongan penduduk yang berbeda, maka berlakulah regulasi ini dengan
menekankan pada pemberlakuan hukum dari status golongan penduduk pihak
suami. Produk perundang-undangan ini hanya memandang dari sisi perdatanya
saja, dengan sahnya perkawinan bukan berdasarkan sahnya perkawinan yang
ditentukan oleh agama, maka pencatatan perkawinan menjadi dokumen utama
yang me-legitimasi perkawinan. Bentuk Undang- undang Perkawinan buatan
kolonial Belanda disebut Perkawinan Campuran menurut Gemengde Huwelijiken
Regeling yang dikenal dengan singkatan GHR.
30
Di atas telah disinggung bahwa sebelum berlakunya undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, di Indonesia masih belum ada keseragaman
dalam melangsungkan perkawinan campuran khususnya Perkawinan beda agama.
Pelaksanaannya berdasarkan hukum dan golongan masing-masing. Karena itu
perkawinan campuran merupakan perkawinan antara sistem hukum. Sehingga
untuk mengatur perkawinan harus diberlakukan beberapa landasan hukum dan
ketentuan -ketentuan perundang-undangan yang berbeda , antara lain:
Keanekaragaman masyarakat di Indonesia, akhirnya melahirkan pula
keanekaragaman
1. Bagi orang- orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku
hukum agama yang telah dilebur dengan hukum adat;
2. Bagi orang- orang Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat.
3. Bagi orang- orang Indonesia asli yang beragama kristen
berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (HOCI) Stb.
1933 No. 74;
4. Bagi orang- orang Timur Asing China dan Warga Negara
Indonesia keturunan China berlaku ketentuan- ketentuan KUH
Perdata dengan sedikit Perubahan;
5. Bagi orang orang-orang Timur Asing lainya dan Warga Negara
Indonesia Keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku
hukum adat merdeka; dan
6. Bagi orang – orang Eropa dan warga negara Indonesia
keturunan Eropa dan yang di samakan dengan mereka berlaku
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
31
Keanekaragaman masyarakat di Indonesia, akhirnya melahirkan pula
keanekaragaman hukum anggota masyarakat kecil, menyatu dalam pergaulan
hidup bersama yang menyatu dan saling mengikat satu dengan lainnya, sebagai
salah satu ikatan dalam suatu perkawinan. Karena perkawinan antara penduduk
yang masih tunduk pada sistem hukum yang berbeda, maka tumbuh pula kaedah-
kaedah hukum yang majemuk dan untuk itu diperlukan kaedah-kaedah hukum
yang dapat menampung hubungan dan akibat hukum dari perbuatan antar hukum
sesama. Kaedah hukum antar sistem hukum perkawinan antar hukum, telah
tertuang dalam bentuk perundang-undangan Perkawinan Campuran, Gemengde
Huwelijken Regeling (GHR). Perkawinan beda gama dimasukkan dalam golong
Perkawinan Campuran, karena Perkawinan itu terjadi dari perbuatan hukum
orang- orang yang masing-masing tunduk pada sistem hukum yang berlainan.
Definisi Perkawinan Campuran Pasal 1 Gemengde Huwelijiken Regeling (GHR)
perkawinan antara orang- orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, disebut Perkawinan Campuran “ Huwelijken tusschen personen, die in
Indinesie aan een verschollend rech onderworpen zijn, worden gemengde
huwelijiken genoemd. Orang yang berbeda agama harus diberi jalan ke luar secara
yuridis legal, meskipun religius tidak legal, karena urusan religius merupakan
urusan orang yang bersangkutan itu sendiri, biarlah dipertanggungjawabkan
sendiri oleh pemeluknya yang tidak setia itu, kelak setelah meninggal dunia.
Untuk itu Gemengde Huwelijiken Regeling ( GHR) merumuskan ketentuan yang
menjamin tidak ada rintangan bagi orang yang akan melakukan perkawinan beda
agama. Pasal 7 ayat (2) merumuskan bahwa perbedaan agama, suku maupun tidak
dapat menjadi penghalang untuk berlakunya perkawinan.
32
Prosedur perkawinan beda agama yang diatur dalam Pasal 7 ayat (!)
Gemengde Huwelijken Regeling (GHR), bahwa untuk menyelenggarakan suatu
perkawinan Campuran, sebelumnya harus sudah terbukti si calon istri telah
memenuhi syarat untuk dapat kawin yang persyaratannya ditentukan bagi calon
istri Kristen umur yang cukup untuk kawin dan izin kawin kalau belum cukup
umur, sedangkan bagi wanita islam yang akan melangsungkan Perkawinan
Campuran harus dipenuhi dengan adanya wali dan saksi.
b) Periode kemerdekaan Sampai dengan Sebelum Lahirnya Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 sampai Dengan sebelum lahirnya Undang- undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, Indonesia masih belum memiliki Undang-undang
perkawinan sendiri dan pengaturan Perkawinan di Indonesia masih menggunakan
Undang-undang Perkawinan buatan Belanda.
16 Perundang-undangan atau pengaturan perkawinan buatan Belanda secara
yuridis harus memiliki legitimasi yang kuat, yakni konstitusi negara. Karena
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah berdasarkan 3 (tiga) konstitusi,
maka perlu dikemukakan dasar berlakunya perundang-undangan buatan Belanda,
dalam hal ini termasuk perundang-undangan perkawinan berdasarkan ketiga
konstitusi yang pernah berlaku, UUD 1945,17 UUD RIS 194918, UUD Sementara
16 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang
Perkawinan,Yogyakarta:Liberty,Cet.Ke-4, 1999, hlm. 2-3.
17 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945: Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama sebelum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
18 Pasal 192 ayat (1) UUD RIS Tahun 1949: Peraturan – peraturan undang-undang dan ketentuan
tata usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak
berubah sebagai peraturan -peraturan dan ketentuan- ketentuan Republik Indonesia Serikat
33
1950,19 serta Dekrit Presiden 1959 ,20. Pemberlakuan Perundang-undangan
Perkawinan buatan kolonial Belanda yang memperoleh legitimasi secara
konstitusional tersebut pada dasarnya hanya bersifat sementara agar tidak terjadi
kekosongan hukum dalam bidang hukum perkawinan. Berdasarkan dasar
pemberlakuan tersebut untuk selanjutnya akan dikemukakan perundang-undangan
perkawinan buatan Belanda yang berlaku di Indonesia Hingga 1974. Dengan
berpedoman pada pasal 66 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu:
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya
undang-undang ini ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen,
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijiken Stb. 1898
No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Maka peraturan- peraturan tentang perkawinan yang berlaku sebelum
adanya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan
tidak berlaku sepanjang telah diatur dalam Undang-undang ini. Timbul
suatu permasalahan, ketika Pasal 66 Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan
selama dan sekedar peraturan dan ketentuan - ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah
oleh undang- undang dan ketentuan- ketentuan tata usaha atas kausa konstitusi ini.
19 Pasal 142 UUDS 1950: Masih tetap berlaku peraturan-peraturan undang-undang yang sudah
ada pada tanggal 17 Agustus 1950, selama dan sekedar peraturan-peraturan itu tidak dicabut,
ditambah atau diubah oleh undang-undang atas kuasa Undang-undang Dasar Sementara ini.
20 Kembali ke Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
34
Nomor 1 Tahun 1974, di mana pasal 57 menegaskan bahwa,” yang
dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak ber
-kewarganegaraan Indonesia”
Dengan melihat kenyataan yang ada dalam masyarakat , bahwa
perkawinan beda agama dapat dilaksanakan dan kantor catatan sipil
ternyata memberikan wadah bagi pencatatan perkawinan beda agama,
maka anggapan masyarakat tentang perkawinan beda agama sudah sah ,
menurut hukum negara dan pelaksanaan perkawinan menurut hukum
agamanya masing-masing diserahkan kepada kehendak para pihak yang
bersangkutan
Untuk melakukan perkawinan, diperlukan syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh
para pihak yang akan melaksanakan perkawinan begitu juga dengan perkawinan
beda agama. Dalam Perkawinan beda agama, syarat- syarat yang harus dipenuhi
oleh pihak -pihak yang akan melaksanakan perkawinan tanpa adanya perbedaan
agama dari masing-masing pihak. Setelah terpenuhi syarat-syarat dari perkawinan
tersebut, maka kantor catatan sipil kan melakukan proses pencatatan akta
perkawinannya.
Pelaksanaan Perkawinan beda agama di Indonesia masih
berpedoman pada ketentuan Pasal 1 ayat (!) Undang- undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 JO Pasal 10 ayat (2) dan (3) Peraturan Pemerintah
35
Nomor 9 Tahun 1975. Sedangkan Peraturan yang lama masih ordonansi
perkawinan Campuran Stb. 1898 No. 158 masih terjadi silang pendapat,
boleh atau tidaknya dijadikan dasar untuk pelaksanaan perkawinan beda
agama. Mengenai adanya silang pendapat tentang boleh atau tidaknya bagi
pelaksanaan perkawinan beda agama, apabila ditelusuri Peraturan
Perkawinan Campuran yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda ini,
yang memiliki tujuan untuk mengatasi masalah perkawinan yang timbul
antara seseorang dengan yang lainnya , akibat adanya pengelompokan
golongan penduduk yang diciptakan pemerintah zaman Kolonial Hindia
Belanda dahulu. Pengelompokan tersebut diasarkan pada Pasal 163 IS
(Inische Staatsregeling). Menurut Pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda
terjadi menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : (1) golongan Eropa, (2) golongan
Bumi Putra, (3) Golongan Timur Asing. Di samping itu, diberlakukannya
GHR oleh pemerintah Hindia Belanda tidak terlepas dari keanekaragaman
hukum perkawinan yang dicipatakan nya.
Untuk menyesuaikan diri dengan dengan keanekaragaman hukum
perkawinan yang ada, GHR tersebut mengalami beberapa perubahan dan
tambahan melalui berbagai peraturan yang dimuat dalam beberapa
Staatsblad (Penetapan raja pada tanggal 29 Desember 1896 No. 23=Stn.
1901/343, 1902/311, 1907/205, 1918/30, 159, 160 dan 161, 1919/81 dan
816, 1931/168 jo. 423).
Dengan adanya Peraturan Perkawinan Campuran itu pemerintah
Hindia Belanda berharap perkawinan antara orang yang tunduk kepada
hukum yang berbeda dapat teratasi, dan ternyata peraturan ini untuk
36
sementara memang sangat sesuai dengan keadaan masyarakat saat itu. Di
mana dunia perdagangan sangat pesat dan menyebabkan terjadinya proses
asimilasi masyarakat dalam bidang hukum perkawinan misalnya terjadi
perkawinan antara orang Bumi putra dengan orang Arab, antara orang
Bumi Putra dengan Orang Tionghoa, antara orang Bumi Putra dengan
Orang Eropa dan lain- lain sebagainya. Sesuai dengan tujuan pembuatan
Peraturan Perkawinan Campuran maka bunyi Pasal 1 GHR tersebut,
ternyata membawa akibat dengan timbulnya dua pendapat atau aliran yang
saling bertolak belakang yaitu (1) aliran yang setuju dimasukkan nya
perkawinan beda agama ke dalam perkawinan campuran, (2) aliran yang
tidak setuju di masukanya perkawinan beda agama ke dalam perkawinan
campuran.
Para sarjana, Seperti Nederburgh, Lemaire, Kollewijn, Gow Giok
Siong, Wirjono Prodjodikoro, dan Sunaryati Hartono berpendapat bahwa
perkawinan beda agama termasuk ke dalam perkawinan campuran.
Pendapat mereka didasarkan pada penfasiran secara luas bunyi Pasal 1
GHR. Selain itu, mereka juga mendasari pendapat tersebut berdasarkan
Yurisprudensi Indonesia mengenai Perkawinan Campuran, di mana
menurut Yurisprudensi Indonesia itu, Perkawinan beda agama termasuk
dalam perkawinan campuran. Yurisprudensi tersebut dapat dilihat pada
Putusan MA RI No. 245 K/ 1953 tanggal 16 Februari 1953 yang
menyatakan sebagai berikut
“ Dalam hal seorang perempuan beragama Islam akan menikah dengan
seorang laki-laki Beragama Kristen berlakulah Peraturan Tentang
37
Perkawinan Campuran Stb. 1898-158 yang dalam Pasal 7 ayat (3)
menentukan bahwa dalam hal ini harus ada keterangan dari kepala Kantor
Urusan Agama di tempat, bahwa tidak ada halangan untuk perkawinan itu
perkawinan itu Keterangan Kepala Kantor Urusan Agama ini dapat
dianggap selaku pengganti pada wali Mujbir yang termasuk di atas,
sedangkan menurut Pasal 7 ayat (2) pemberian keterangan ini tidak boleh
ditolak berdasarkan atas perbedaan agama, kebangsaan ataupun
keturunan”.21
Berdasarkan Yurisprudensi tersebut, para sarjana kelompok
pertama ini menyetujui bahwa perkawinan beda agama termasuk ke dalam
Perkawinan Campuran. Menurut mereka, Perlakuan Hukum ( Perkawinan
beda Agama terhadap masing-masing golongan penduduk terdapat
perbedaan yang bagi golongan Bumi Putera dan Timur Asing Bukan
Tionghoa, agama dan tempat tinggal merupakan faktor penentu dalam
melaksanakan perkawinan tersebut. Sedangkan, bagi golongan Eropa dan
Tionghoa , agama dan tempat tinggal bukanlah merupakan Faktor penentu
bagi dilangsungkannya perkawinan beda agama.
Perkawinan Campuran di Indonesia, selain diatur dalam GHR di
atas juga diatur dalam Ordonansi Perkawinan Indonesia Nasrani (Kristen)
Jawa, Minahasa, dan Ambonia atau lebih dikenal dengan atau sering
disebut dengan HOCI Stb. No. 74 Tahun 1993. Dalam Pasal 75 HOCI di
21 Peraturan Tentang Perkawinan Campuran Stb. 1898-158 yang dalam Pasal 7 ayat (3)
38
nyatakan sebagai berikut : “Perkawinan antara seseorang Pria bukan
Kristen dengan seorang wanita Kristen atas Permintaan kedua belah Pihak
suami istri tersebut dapat diteguhkan dengan melakukan segala aturan
ordonansi ini, sehingga perkawinan itu seluruhnya takluk pada ordonansi
ini”22. Dari ketentuan Pasal 75 di atas , kiranya HOCI tersebut telah
memberikan peluang bagi diadakannya perkawinan beda agama, sekaligus
juga memberikan peluang bagi si Istri untuk tidak mutlak mengikuti status
hukum suaminya.
2. Periode Setelah Berlakunya Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974. ( Sejarah Undang – Undang Perkawinan setelah Berlakunya Undang –
Undang Perkawinan)
Kalau sebelum berlakunya Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974, Perkawinan beda agama dimungkinkan adanya melalui Perkawinan
Campuran (GHR) maupun HOCI yaitu dengan cara memberikan pengertian
secara luas, maka dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
pengertian campuran tidak mungkin lagi diperluas pengertiannya dengan
memasukkan perkawinan beda agama. Pengertian Perkawinan Campuran dalam
Pasal 57 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah dipersempit
sedemikian rupa, sehingga yang dimaksud Perkawinan Campuran yaitu hanya
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia Tunduk kepada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak ber-
kewarganegaraan Indonesia.
22 HOCI Stb. No. 74 Tahun 1993. Dalam Pasal 75
39
Berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang- Undang Perkawinan dan Pasal 1
GHR di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Campuran menurut Undang-
Undang Perkawinan lebih sempit dari pada pengertian Campuran menurut GHR.
Sedangkan Pengertian Perkawinan Campuran menurut Undang- Undang
Perkawinan lebih sempit dari pada pengertian Campuran menurut Undang-
Undang Perkawinan adalah “Perkawinan Campuran yang disebabkan oleh
Perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan Indonesia”
sedangkan Perkawinan Campuran menurut ketentuan GHR adalah “ perkawinan
antara orang- orang yang di Indonesia tunduk pada hukum – hukum yang
berlainan”, dengan tidak ada pembatasan dipertegas dalam Pasal 7 ayat (2)
GHR. Dengan demikian, Perkawinan Campuran yang dimaksud dalam Pasal 1
GHR bukanlah termasuk Perkawinan Campuran yang dimaksudkan oleh Pasal 57
Undang-undang Perkawinan. Lebih tegasnya, Pasal 57 Tersebut, baik secara
tertulis ( tersurat) maupun secara tersurat maupun implisit ( tersirat) sama sekali
tidak mengatur perkawinan beda agama.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan Campuran atau
perkawinan beda agama belum diatur dalam Undang- Undang secara tuntas dan
tegas. Oleh karenanya, ada Dinas kependudukan dan Catatan Sipil yang tidak
mau mencatatakan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut
bertentangan dengan Pasal 2 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Ada pula Dinas pendudukan dan Catatan Sipil yang mau mencatatkan
berdasarkan menurut hukum suami, sehingga istri mengikuti status hukum suami.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang- Undang Perkawinan
mengenai Perkawinan Beda agama dalam Pasal 2 adalah pernyataan “ menurut
40
hukum masing-masing agama atau kepercayaannya artinya, jika perkawinan
kedua suami istri adalah sama , tidak ada kesulitan. Tetapi, jika hukum agama
atau kepercayaannya berbeda maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum
agama atau kepercayaannya itu harus dipenuhi semua, berarti satu kali lagi
menurut hukum agama atau kepercayaannya calon dan satu kali lagi menurut
hukum agama atau kepercayaannya dari calon lainnya.
Dalam Praktiknya di Indonesia, Perkawinan beda agama dapat
dilaksanakan dengan menganut salah satu pihak cara baik dari hukum agama atau
kepercayaannya si suami atau calon istri. Artinya salah satu calon yang lain
mengikuti atau menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau hukum
agama atau kepercayaan pasangannya. Hal ini sejalan dengan Undang- Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 yang menyatakan bahwa segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, 23tercakup di dalamnya
kesamaan hak asai untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan
agama dan selama undang- undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama
merupakan larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa
Pasal 29 Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tentang
dijaminnya Oleh Negara Kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk
agama masing-masing24. Di samping kekosongan hukum, dalam kenyataan hidup
di Indonesia masyarakat yang bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit terjadi
perkawinan beda Agama.
23 Pasal 27 UUD NRI
24 Ibid. Pasal 28.
41
Berdasarkan Pasal 56 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama Warga
Negara Indonesia, dan perkawinan antar pasangan yang berbeda agama tersebut
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum yang berlaku di mana perkawinan
itu Berlangsung. Di sisi lain, Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
sama sekali tidak memberikan larangan mengenai perkawinan yang dilakukan
oleh pasangan yang berbeda agama. Bila memang perkawinan beda agama tidak
diperbolehkan, maka seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam undang-
undang hukum agama tetap saja merupakan kaedah agama yang termasuk hukum
positif nasional. Oleh sebab itu kaedah- kaedah agama tidak dapat diberlakukan
secara tidak langsung dalam undang-undang karena menyangkut masyarakat
umum.
Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia
sendiri tidak memberikan kepastian mengenai prinsip dasar perkawinan beda
agama tersebut Pasal 10 Undang – Undang Hak Asasi Manusia tersebut
menyatakan:
1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak
bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan .
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) di atas, perkawinan itu akan tetap melalui
prosedur yang sah. Jadi tidak boleh sembarangan melakukan perkawinan. Justru
itulah, perkawinan harus di akui oleh negara. Negara harus mengakui
42
Perkawinan setiap warga negaranya dengan tujuan ada perlindungan nantinya
bagi mereka yang melakukan perkawinan itu. Selain dari jiwa Pasal 27 Undang –
Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ semua warga negara bersamaan
dengan kedudukan dalam hukum “. Di sini warga negara, sekalipun berlainan
agamanya. Namun, bukan negara yang menentukan cara perkawinan tersebut.
Negara Hanya memberikan Pengakuan.
Perkawinan merupakan lanjutan dari hak hidup yang paling terpenting dan
tidak terlepas dari hak hidup yang paling terpenting dan tidak terlepas dari hak
untuk bebas menentukan pilihan sesuai dengan Pasal 3 Undang- undang HAK
ASASI MANUSIA: “Setiap orang yang dilahirkan bebas dengan harkat dan
martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani
untuk hidup bermasyarakat , berbangsa , dan bernegara dalam semangat
persaudaraan. Jadi, apabila negara malah menentukan cara- cara perkawinan yang
sah, maka sama saja negara tidak memberikan kebebasan memilih pasangan tadi
dan otomatis kondisi ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Sudah menjadi
kewajiban negara Untuk melindungi dan mengakomodir tuntutan – tuntutan
tersebut tidak merugikan atau mengganggu hak orang lain. Walaupun demikian,
dalam praktiknya tetap saja muncul hambatan dalam melakukan pendaftaran
perkawinan beda agama. Hal ini disebabkan adanya penafsiran bahwa ini
disebabkan adanya penafsiran bahwa Undang – Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 melarang terjadinya perkawinan beda agama. Penafsiran seperti
inilah pada prinsipnya sangat tidak tepat karena banyak perkawinan beda agama
yang diterima dalam masyarakat , dalam kasus ini , terutama untuk pasangan
yang terdiri dari atas calon suami yang beragama Islam dan Calon Istri yang
43
beragama Kristen. Dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, penerimaan
perkawinan yang berdasarkan atas agama tertentu pada prinsipnya sudah
melanggar asas- asas Hak Asasi Manusia. Dan apabila dibiarkan, bukan tidak
mungkin akan memberikan dampak sosial baru.
Indonesia merupakan negara yang berdasarkan pada hukum. Penafsiran
negara berdasarkan hukum tidak boleh sempit. Hukum harus responsif terhadap
cita- cita negara hukum. Salah satu tujuan fundamental dari pembangunan hukum
adalah menjamin terwujudnya sebuah negara hukum. Di sini Menurut saya
negara harus benar – benar secara serius menjamin hak- hak dasar warga negara.
Dan demikian Juga dengan Hak untuk melangsungkan perkawinan walaupun
pasangan yang berbeda agama. Negara harus mengakuinya perkawinan ini antara
lain harus sebagai bentuk harmonisasi ketentuan- ketentuan yang diatur dalam
Undang- Undang Hak Asasi Manusia terhadap peraturan perundang-undangan
lainya . Negara bertugas dan berwenang mengatur dan memberikan pelayanan
kenegaraan kepada seluruh warga negara yang berkeyakinan agama apa pun.
Termasuk menyelenggarakan perkawinan beda agama.
Secara Yuridis , Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tidak
melarang adanya perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama.
Bahkan. Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 secara tidak
langsung memberikan ruang bagi terjadinya Perkawinan beda agama. Secara
Filosofis Hak- hak yang terkait dengan agama merupakan hak yang sangat
mendasar dan tidak dapat dikurangi, diskriminasi dalam perkawinan beda Agama
merupakan pelanggaran terhadap asas- asas dasar dari Hak Asasi Manusia itu
sendiri. Negara tidak diskriminasi dalam pelayanan Kenegaraan (termasuk
44
hukum), karena perbedaan agama adalah sifat dan ciri khas dari negara
berdasarkan hukum dan Pancasila. Tidak ada pengaturan mengenai perkawinan
beda agama di dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dapat
dipahami dan merupakan cerminan bangsa Negara Kita betapa alotnya
pembicaraan untuk memutuskan Pasal 2 ayat (1) tersebut.
Pasal 10 ayat (1). Undang – Undang Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa yang di maksud dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Artinya,
bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan ketentuan
dalam Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan
yang sah dari aspek agama dan aspek administrasi.
B. Analisis
1 Legalitas Perkawinan Menurut Undang – Undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974
45
Terdapat dua ( dua) catatan Penting berkaitan dengan Legalitas
Perkawinan diatur dalam UU No. 1. Tahun 1974 pertama, berkaitan dengan sah
nya perkawinan yang dilakukan di Indonesia, dan Kedua adalah sahnya
Perkawinan yang dilakukan di Luar Indonesia. Kedua cara ini sama-sama
memiliki kekuatan hukum yang sama atas sahnya suatu Perkawinan , meskipun
memiliki dasar yang berbeda dan tentunya pula membawa konsekuensi yang
berbeda pula.
1) Perkawinan di Indonesia
Pasal 2 ayat 1
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu
Pasal 2 ayat 2
Tiap-tiap perkawinan di catat menurut perundang-undangan yang
berlaku.
2) Perkawinan di Luar Indonesia
Pasal 56 ayat 1
Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara
warganegara Indonesia atau seseorang warganegara Indonesia dengan
warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warganegara Indonesia tidak melanggar Undang- Undang ini.
Pasal 56 ayat 2
46
Dalam waktu 1 ( satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor
Pencatatan Perkawinan Tempat Tinggal Mereka.
Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) dan Pasal 56 ayat (1) dan (2),
secara tegas dikatakan bahwa sahnya Perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan
Agama. Sedangkan Pencatatan merupakan aspek administratif demi ketertiban
sebagai warga negara. Pada sisi lain, perkawinan di luar Indonesia yang hanya
memperhatikan aspek keperdataannya saja, maka artinya sahnya Perkawinan
hanya semata-mata berdasarkan kesepakatan dan seterusnya dicatat secara
administratif.
2. Keabsahan Perkawinan di Indonesia
Pengaruh agamawi lebih terasa lagi kalau mempelajari Pasal 2 UU
Perkawinan yang secara redaksional menyatakan :
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Beranjak dari eksistensi ketentuan di atas, di mana unsur agamawi
sedemikian dominan, karena syarat keabsahan perkawinan ditentukan oleh unsur
agama, makan akan terjadilah degradasi capaian tujuan unifikasi UU Perkawinan
yang semula dibayangkan pasti mengarah pada keseragaman pelangsungan
perkawinan bagi setiap warga negara Indonesia. Ini tidak lain terjadi karena
masing-masing agama di Indonesia sudah barang tentu memiliki cara sendiri-
sendiri untuk melangsungkan perkawinan sesuai syariatnya. Pemeluk agama yang
47
satu kalau melangsungkan perkawinan, pasti akan berbeda dengan pemeluk
agama lain, sehingga keanekaragaman tata cara melangsungkan perkawinan tak
terhindarkan lagi. Berangkat dari tata cara melangsungkan perkawinan bagi
masing-masing warga negara, karena memiliki keyakinan agama yang tidak sama,
keseragaman itu menjadi langka. Ujung-Ujungnya , tujuan Unifikasi UU
Perkawinan ternyata hanya sebatas Pada kulitnya saja, sedang substansi
perkawinan tetap beragam. Aura Pasal 2 UU Perkawinan yang sarat dengan Unsur
agamawi ini, menyiratkan banyak problematika, sampai-sampai memancing debat
berkepanjangan dan tidak menghasilkan satunya kata bulat dalam solusi.
Tambahan Model pelangsungan kawin sesuai aturan ayat dalam pasal tersebut,
tidak lain adalah pola pelangsungan kawin orang Islam yang sejak dulu mula
selalu mengawali acaranya dengan ijab qobul lalu setelah usai, dicatat oleh
petugasnya. Konsekuensinya setelah model tersebut dituang dalam aturan hukum
nasional, maka segenap warga negara Indonesia, tanpa melihat agamanya , proses
pelangsungan kawin wajib mengikuti apa yang tergaris seperti urutan kedua ayat
Pasal 2 UU Perkawinan tersebut.
Kehadiran ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan di atas memberikan bukti
bahwa agama dijadikan patokan untuk menentukan suatu perkawinan itu sah
apakah tidak. Tolak ukur agama dijadikan penentu keabsahan suatu perbuatan
hukum kawin, dan sudah pasti tiap agama yang dipeluk warga negara Indonesia
mengajarkan prosedur yang tidak sama. Tak urung, prosedur setiap pelangsungan
perkawinan yang dilaksanakan oleh warga negara Indonesia yang tidak seragam,
Tujuan UU Perkawinan menciptakan Unifikasi secara Utuh, menjadi kandas, ini
memang tak terhindarkan. Unifikasi sebagai salah satu tujuan UU Perkawinan
48
hanya tercapai pada kulitnya saja, yakni berupa bahwa setiap orang yang
menyandang atribut warga negara Indonesia kalau kawin harus tunduk pada
Undang- Undang yang sama. Sebatas ini saja unifikasi tersebut dapat
direalisasikan, sedang substansi perkawinan tidak mungkin diseragamkan,
khususnya menyangkut prosedur seperti yang ditetapkan Pasal 2 ayat 1 UU
Perkawinan di Atas. Penggaris bawahan substansi keabsahan perkawinan adalah
lebih penting dari keseragaman prosedur. Ini merupakan salah satu konsekuensi
kentalnya unsur agamawi dan Struktur UU Perkawinan. Hal ini pula yang menjadi
salah satu penyebab tidak utuhnya capaian UU Perkawinan guna salah satu
penyebab tidak utuhnya capaian UU Perkawinan guna mewujudkan unifikasi.
Memang sangat sulit untuk menghadirkan UU mewujudkan unifikasi. Memang
sangat sulit untuk menghadirkan UU Perkawinan yang benar – benar capaian
unifikasinya utuh dalam substansi, dan ini merupakan akibat dari sifat
kompromistis, sebagai ajang menampung aspirasi banyak kepentingan.
Ketidakseragaman nampak pula kalau menyimpak Pasal 2 ayat 2 UU
Perkawinan yang menegaskan bahwa tiap- tiap perkawinan dicatat sesuai
peraturan perundangan. Kejelasan tidak seragamnya pencatatan ini akan nampak
mana kala membaca Pasal 2 PP No. 9/1975 yang menetapkan
1. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai
Pencatat yang sebagaimana dimaksud dalam Undang Tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
2. Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
49
agama Islam , dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada
kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan- ketentuan yang khusus
berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai
peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9
Peraturan Pemerintah Ini
Menyangkut pencatatan perkawinan, diperlukan kajian lebih mendalam
dengan terbitnya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Adminsitrasi Kependudukan, beserta perubahannya sebagaimana
tercantum dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013
( selanjutnya disebut UU Administrasi kependudukan ). Pencatatan perkawinan
pun bagi tiap- tiap warga negara Indonesia juga tidak seragam, dan sekali lagi tata
caranya bergantung pada agama yang bersangkutan, di mana bagi yang beragama
Islam dan Bukan beragama Islam ditangani oleh Institusi yang berbeda yang tentu
saja keluaran akta perkawinan yang dihasilkan tidak sama. Akta Perkawinan
sebagai alat bukti adanya hubungan yang bersangkutan sebagai suami istri,
memang sangat diperlukan dalam tatanan hidup bermasyarakat . Oleh sebab itu,
kendati ada perbedaan bentuk ataupun ujud akta perkawinan bagi warga negara
Indonesia, itu tidaklah mengganggu rotasi kehidupan. Perihal pencatatan
Perkawinan yang tentu saja ditangani oleh aparatur negara, memberikan pertanda
bahwa peristiwa kawin, meski itu urusan privat, adalah penting untuk
didokumentasikan secara resmi oleh pemerintah. Lewat cara ini , pemerintah perlu
50
tahu bagaimana kedudukan hukum setiap warganya, selain pencatatan tersebut
juga perlu bagi yang berangkutan yang mana salinanya diperlukan sebagai alat
bukti diri pribadi. Dengan adanya pencatatan setiap perkawinan ke dalam register
umum, pihak yang kawin, yaitu suami dan istri , akan memperoleh salinanya yang
dapat difungsikan selaku alat bukti fakta hukum menyangkut kedudukannya
dalam tatanan sosial.
Ilustrasi keseluruhan Pasal 2 UU Perkawinan, baik ayat dan ayat 2,
ukuran agama dijadikan patokan, oleh karena itu terjelaskan secara bahwa dalam
UU Perkawinan unsur agamawi benar- benar sangat kental. Peranan agama yang
dominan, mengesankan secara mendalam bahwa hukum perkawinan di Indonesia
memiliki karakter yang jauh berbeda, kalai misalnya dibanding dengan aturan
perkawinan dalam BW pada waktu masih berlaku. Salah satu konsekuensi aturan
kawin dalam BW yang lebih menonjolkan aspek keperdataannya saja, bukan
agama, juga tercermin dalam Pasal 81 BW, yang intinya menegaskan bahwa
upacara gama tidak sekali- sekali boleh dilangsungkan sebelum ada bukti
pencatatan perkawinan. Penekanan Urgensi urusan pencatatan Perkawinan oleh
pasal 81 BW, tidak lain merupakan salah satu konsekuensi kehadiran Pasal 26
BW yang hanya memandang perkawinan dari segi perdatanya saja. Untuk urusan
upacara agama, dianggap sebagai persoalan pribadi mempelai yang tidak perlu
dicampuri oleh hukum secara intens. Ini penentuan pilihan yang ditetapkan oleh
pembentuk BW sesuai dasar struktur masyarakatnya , dan ini memang berbanding
terbalik dengan landasan falsafah hidup bangsa Indonesia. Akibat selanjutnya,
solusi terhadap permasalahan yang timbul juga mengalami gradasi yang tidak
sama. Ketidaksamaan itu wajar, karena aspek perkawinan akan dipengaruhi oleh
51
struktur masyarakat yang bersangkutan, juga agama yang dipeluk oleh rakyatnya.
Asas- Asas yang mendasari baik UU perkawinan maupun BW, sudah barang tentu
juga berbeda, kendati ada beberapa prinsip yang mungkin sama. Maklum manusia
di mana pun dan sampai kapan pun , akan memiliki ciri- ciri yang secara universal
diakui secara simetris oleh setiap bangsa yang mengakibatkan citranya sebagai
umat tetap sama. Falsafah Pancasila sebagai landasan hidup bangsa, oleh
karenanya akan selalu dipergunakan sebagai sumber hukum tertinggi, maka
sewaktu membuat hukum perkawinan, pemerintahan Indonesia konsisten pada
falsafi yang dimiliki dengan konsekuensi UU Perkawinan yang diterbitkan dengan
unsur agamawi. Sebagaimana umum memahami bahwa UU Perkawinan jelas
merupakan salah satu penjabaran lanjut dari konstitusi. Kendati agama yang
ada dan dipeluk anak Bangsa beraneka ragam, terbukti pemerintah berhasil
menciptakan aturan perkawinan yang sifatnya kompromistis tanpa menafikan
bobot martabat hidup berkelompok ini suatu pilihan yang tentu saja wajib,
dipertanggung jawabkan dengan segala konsekuensi oleh segenap pihak.
Memang harus diakui bahwa Pasal 2 UU Perkawinan menjadi sumber
banyak persoalan antara lain dalam menyikapi keberadaan kawin siri yang sering
terjadi dalam masyarakat menyangkut keabsahannya. Tidak kalah seru debat
pelbagai pihak yang berkepanjangan saat membahas suatu perkawinan yang akan
dilangsungkan oleh sepasang yang berbeda agama, di mana masing-masing
bersikeras mempertahankan keyakinannya, namun tetap ingin melangsungkan
perkawinan. Entah sampai kapan persoalan ini bergulir, sementara ada beberapa
pasangan berbeda agama, lalu mengambil sikap pergi ke luar negeri untuk
melangsungkan perkawinan yang di inginkan. Pasangan yang sudah menjadi
52
suami istri berdasarkan hukum negara asing di mana perkawinan itu
dilangsungkan , saat kembali ke tanah air, ditanggapi oleh beberapa kalangan
pendapat yang berbeda- beda menyangkut keabsahannya. Begitulah Konsekuensi
yang bermunculan sehubungan dengan hadirnya Pasal 2 UU Perkawinan tanpa
dapat dicegah. Sampai kapan Persoalan ini mendapatkan solusi yang dapat
diterima seluruh masyarakat , sulit untuk diprediksi. Harus diakui bahwa UU
Perkawinan tidak memiliki ketentuan yang khusus untuk mengatur suatu
perkawinan yang pihaknya berbeda agama. Menatap Pasal 2 UU Perkawinan,
ternyata banyak mengunggah masalah yang tak kunjung usai telaahnya, meski
sudah bermacam kiat diajukan untuk memberikan solusi. Tak banyak beda, baik
di bagian Hulu maupun hilir Pasal 2 UU Perkawinan ini, persoalan terus
mengular panjang tanpa kejelasan sampai kapan mendapatkan pemecahan yuridis
yang diajukan, setiap kali tidak dapat diterima kalau disorot dari segi agama,
demikian juga sebaliknya. Wacana Pasal 2 UU Perkawinan dengan segala
konsekuensi yang ditimbulkan, tak jarang mengguncang ruang- ruang seminar
ataupun semiloka. Adu berbagai pendapat kian seru sekali gaungnya tanpa dapat
dicegah, namun tetap saja tidak ditemukan satu pun kata untuk disepakat.
Kendala Perkawinan yang para pihaknya berbeda agama sebagian anggota
masyarakat mengatasinya dengan cara pergi ke luar negeri untuk melangsungkan
perkawinannya itu.. Tak kurang kerasnya tanggapan yang dilontarkan beberapa
piak dalam menyikapi pelangsungan perkawinan beda agama warga negara
Indonesia di luar negeri tersebut dengan mempersoalkan keabsahannya . Dan ini
sangat wajar, namun harus disikapi dengan arif mengingat perkawinan warga
negara Indonesia yang diselenggarakan di luar negeri, juga mempunyai Batu Ukur
53
sendiri untuk menakar soal keabsahannya , Batu Ukur dalam Pasal 2 UU
Perkawinan sudah barang tertentu tidak tepat kalau dikenakan pada jenis
perkawinan warga Indonesia yang di langsungkan di luar negeri, akibat adanya
unsur asing yang tersemat di dalamnya .
3. Hukum Perkawinan Pasangan Beda Agama di Indonesia Dan
Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Pada dasarnya, Hukum Perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara
khusus mengenai perkawinan beda agama. Perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya25. Namun yang
menjadi permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak
tersebut memperbolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama . Akan
tetapi , pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda
Agama Di Indonesia. Guru besar Hukum Perdata Universitas Indonesia, Prof
Wahyono Dharmabrata , menjelaskan ada 4 cara untuk melangsungkan
perkawinan beda agama di Indonesia.
1. Meminta Penetapan Pengadilan
2. Perkawinan dilakukan oleh masing- masing agama
3. Penundukan terhadap salah satu hukum agama
4. Melangsungkan Perkawinan di Luar negeri .
Kita Perlu mengetahui bahwa ada Yurisprudensi Mahkamah Agung ( MA)
yaitu MA, yaitu putusan MA No. 1400 K/ Pdt/ 1986. Putusan MA tersebut
menyatakan bahwa Kantor catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan
Perkawinan Beda Agama. Selain adanya Yurisprudensi tersebut sekarang
pencatatan Perkawinan beda Agama juga sudah diatur Pasal 35 huruf A Jo Pasal
25 Pasal 2 Undang- Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974
54
34 Undang- Undang 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang
mengatakan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan juga dilakukan
Pencatatan ( Pada kantor catatan Sipil). Perkawinan yang ditetapkan oleh
Pengadilan Perkawinan yang dilakukan oleh antar umat yang berbeda agama26
Pengaturan Pencatatan Perkawinan Beda Agama di Indonesia Juga di bahas di
Pasal 35 Huruf A Jo Pasal 34 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan
Pasal 34 Undang- Undang Administrasi Penduduk
1. Perkawinan yang Sah Berdasarkan Ketentuan
Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh
penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat
terjadinya paling lambat 60 hari sejak tanggal
perkawinan
2. Berdasarkan Laporan sebagaimana di maksud dalam
ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register
Akta Perkawinan dengan Menerbitkan Kutipan Akta
Perkawinan
3. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami
dan istri
4. Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh Penduduk yang Beragama Islam kepada
KUA Kecamatan
26 Penjelasan Pasal 35 huruf A, Undang- Undang Administrasi kependudukan
55
5. Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat 2 wajib
disampaikan kepada KUA Kecamatan kepada Instansi
Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 hari
6. Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat
5 tidak memerlukan penerbitan Kutipan akta pencatatan
sipil
7. Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap UPTD Instansi
Pelaksana
Pasal 35 Undang- Undang Administrasi Penduduk
1. Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 berlaku pula bagi
2. Perkawinan yang ditetapkan Oleh Pengadilan
3. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di
Indonesia atas permintaan warga asing yang
bersangkutan
Penjelasan Pasal 35 huruf a Undang- Undang Administrasi Penduduk yang
dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah
perkawinan yang dilakukan antar umat beragama yang berbeda agama.
Penjelasan35 huruf a tersebut menyatakan bahwa pencatatan perkawinan yang
diatur dalam Pasal 34 Undang- Undang Administrasi kependudukan berlaku juga
bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Sedangkan yang dimaksud
dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan dapat dilihat dalam
56
penjelasan Pasal 35 a Undang-undang Administrasi kependudukan yaitu
perkawinan yang dilakukan antar umat berbeda agama. Mengenai ke mana
perkawinan beda agama harus di catatkan? Apakah dicatatkan ke KUA? Atau
KCS ( Kantor Catatan Sipil)? Karena tidak dijelaskan secara tegas dan spesifik
Jika Perkawinan beda agama antara Pasangan agama Non Islam dan Non Islam
jelas pencatatannya di KCS. Akan tetapi bagaimana perkawinan salah satu
mempelainya yang satu beragama Islam dan yang satunya beragama Islam,
Apakah Perkawinan beda Agama seperti itu dapat di catatkan ke KUA
Kecamatan? Untuk Itu kita dapat merujuk pada pengaturan yang terdapat pada
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksaan Undang- Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ( PP No. 9 /1975).
Dalam Pasal 2 ayat (1) PP No. 9/1975 dikatakan bahwa pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam
dilakukan Pegawai Pencatat. Melihat dari Pasal tersebut, dapat dilangsungkan
bahwa hanya perkawinan yang di langsungkan menurut agama Islam yang
dicatatkan pada KUA. Ini berarti perkawinan beda agama, jika dilakukan dengan
penetapan pengadilan, dicatatkan di kantor catatan sipil. Namun demikian,
perkawinan yang dapat dicatatkan adalah perkawinan yang sesuai hukum agama
dan kepercayaannya itu Sebagaimana diketahui bahwa masalah perkawinan bukan
sekedar merupakan masalah pribadi dari mereka yang hendak melangsungkan
perkawinan itu saja, tetapi juga merupakan masalah yang berkaitan dengan
keagamaan yang erat sekali hubungan dengan kerohanian seseorang. Sebagai
Masalah keagamaan, karena setiap agama mempunyai aturan sendiri- sendiri
57
tentang Perkawinan, maka pada prinsip Perkawinan diatur dan tunduk pada
ketentuan- ketentuan dari ajaran agama yang dianut.
Di samping sebagai perbuatan keagamaan, karena perkawinan ini juga
menyangkut hubungan antar manusia, maka perkawinan dapat dianggap juga
sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam kenyataannya di mana pun juga pengaruh
agama yang paling dominan terhadap peraturan- peraturan hukum adalah dibidang
hukum perkawinan27. Dalam abad kemajuan teknologi komunikasi modern
dewasa ini, pergaulan manusia tidak dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan
masyarakat yang lingkupnya kecil dan sempit, seperti pembatasan golongan , suku
, ras dan agama. Namun, hubungan antar manusia telah berkembang begitu
pesatnya, sehingga menembus dinding- dinding yang sebelumnya menjadi
pemisah bagi kelangsungan hubungan mereka. Adakalanya apa yang terjadi di
lingkungan masyarakat belum sepenuhnya diatur secara tegas oleh perangkat
peraturan- peraturan yang sudah ada, dalam kaitannya dengan masalah
perkawinan dapat diambil sebagai contoh masalah perkawinan beda agama.
Keanekaragaman (Pluralitas) masyarakat di Indonesia yang menyatu
dalam pergaulan hidup bersama serta ditunjang dengan kemajuan teknologi yang
semakin berkembang, yang menyebabkan terkikisnya jurang pemisah dalam
interaksi antar manusia dengan manusia yang lain. Semakin luas dan terbukanya
hubungan antar manusia tersebut mempunyai dampak yang sangat besar bagi
kehidupan manusia, Dalam pergaulan hidup masyarakat tersebut sering kali
27 Riduan Syahrani dan Abdurrahman, Masalah- Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,
Bandung: Alumni, 1978,hlm. 18. Dikutip dari buku hukum perkawinan beda agama Karangan
Sirnaman Dahwal
58
mereka mengadakan perbuatan hukum, antara lain saling mengingatkan diri dalam
suatu perkawinan, tidak terkecuali perkawinan beda agama yang sampai saat ini di
Indonesia, masih tetap berlangsung, terutama pada masyarakat kota yang
heterogen. Namun, dalam kenyataannya ternyata perkawinan beda agama sejak
dahulu hingga sekarang masih menimbulkan persoalan baik di bidang sosial,
agama maupun di bidang hukum, meskipun dalam perkembangan dewasa ini
terdapat peraturan yang mengaturnya secara tegas dam jelas. Walaupun demikian,
bagi mereka yang sudah tidak terbendung cintanya yang sudah terlalu mendalam,
mereka ini berupaya mencari cara untuk melangsungkan perkawinannya baik
dengan cara penundukan hukum ke dalam salah satu agama pasangannya , atau
tetap mempertahankannya agamanya masing-masing ataupun mereka melakukan
perkawinan beda agama dengan tata cara kedua hukum agama pasangan mereka
masing-masing, serta ada pula yang melangsung perkawinannya di luar
negeri.Mudiarti Trisnaningsih dalam bukunya Relavansi kepastian hukum dalam
mengatur perkawinan beda Agama di Indonesia, membagi perkawinan beda
agama dalam praktiknya terdapat beberapa bentuk tahu model kasus. Berdasarkan
hasil wawancara secara terbatas terhadap beberapa pasangan suami istri yang
memilih tetap berpegang pada agama masing-masing maka ditemukan beberapa
cara yang mereka lakukan beserta alasan atau motivasi yang secara singkat dapat
digambarkan sebagai berikut28 : Dalam kenyataannya di masyarakat kita dapat
dibuktikan secara empiris memang demikian halnya, bahwa dalam praktiknya
perkawinan beda agama dilakukan berdasarkan Otoritas agama, catatan sipil dan
yang disahkan di luar negeri.
28 Mudiarti Trisnaningsih, Relavansi Kepastian Hukum Dalam Mengatur Perkawinan Beda Agamadi Indonesia,Bandung: CV.Utomo, 2007, hlm.58
59
1. Berdasarkan Otoritas Agama
A. Pihak laki- laki beragama Islam dan pihak perempuan
beragama Katolik yang melangsungkan perkawinan
secara Katolik, Alasan Pihak laki- laki bahwa Tuhan
Allah tidak mungkin menghukum umatnya yang
berkehendak baik dan berbuat baik.
B. Pihak laki- laki yang beragama Katolik dan pihak
perempuan ber-agama Islam yang melangsungkan
perkawinan secara Katolik Alasan Jika Pihak
perempuan bahwa agama Katolik tidak
memperkenankan Poligami dan Perceraian
C. Pihak Laki- Laki beragama Islam dan Pihak perempuan
beragama Katolik yang melangsungkan perkawinan
secara Islam. Alasan Pihak Perempuan adalah bahwa
perempuan harus turut suami.
D. Pihak laki- laki yang beragama Katolik dan pihak
perempuan beragama Islam yang melangsungkan
perkawinan secara Islam. Alasan Pihak laki- laki demi
praktisnya saja agar disetujui oleh kedua orang tua dari
Pihak perempuan.
2. Berdasarkan Catatan Sipil
A. Pihak Laki- laki beragama Islam dan Pihak perempuan
beragama Kristen yang melangsungkan perkawinan di
60
catatan sipil , Alasan mereka karena ingin
mempertahankan agama masing-masing dan tetap
melangsungkan perkawinan
B. Pihak laki- Laki beragama Katolik dan pihak
perempuan beragama Islam yang melangsungkan
perkawinan di Catatan Sipil, Alasan mereka karena
masing-masing orang tua melarang untuk menikah
dengan tata cara agama salah satu pihak
3. Berdasarkan Pencatatan Perkawinan di Luar Negeri
A. Pihak laki- laki beragama Islam dan pihak perempuan
beragama Kristen yang akan melangsungkan
perkawinan di luar wilayah Indonesia. Alasan mereka
karena ingin mempertahankan agama masing-masing
dan tetap melangsungkan perkawinan
B. Pihak laki- laki- beragama Kristen dan pihak
perempuan beragama Islam yang melangsungkan
perkawinan di luar wilayah Indonesia, Alasan mereka
karena ingin mempertahankan agama masing-masing
dan tetap melangsungkan perkawinannya
Tetapi sebagian warga masyarakat yang aspirasinya kurang mendapat
respons yang memadai dari Pembuat Undang- undang atau dengan kata lain, hak
warga negara Untuk menentukan Pilihan hidup dalam perkawinan khususnya
yang beda agama, belum mendapatkan kepastian Hukum. Karena Undang-
61
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan hukum Positif yang
berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia ternyata menampilkan sifat ganda.
Pertama, adanya pengaturan bahwa sahnya perkawinan berdasarkan agama
dan kepercayaan yang dimaksud dengan perkawinan campuran, karena adanya
perbedaan kewarganegaraan- nya hal ini menyebabkan sulit untuk
menyelenggarakan perkawinan beda agama. Kedua adanya anggapan bahwa
sahnya perkawinan dapat didasarkan hukum negara lain, meskipun tidak
berdasarkan agama, hal ini menyebabkan dimungkinkannya terselenggaranya
tersebut kemudian memunculkan praktik pura- pura pindah gana untuk
memudahkan proses perkawinan di dalam negeri dan praktik perkawinan di luar
negeri bagi warga negara yang mampu secara finansial
Banyak persoalan- persoalan yang akan timbul dalam perkawinan beda
agama, sehingga masyarakat mempunyai cara- cara tersendiri untuk mengatasi
persoalan perkawinan beda agama. Bagi mereka yang tidak mampu melaksanakan
perkawinan di luar Indonesia dengan cara pindah agama pada salah satu pihak
dapat ke agama calon suaminya atau sebaliknya ke agama calon istrinya agar
perkawinan menjadi mudah dan sah untuk memperoleh pengakuan pemerintah
maupun masyarakat, meskipun setelah itu mereka kembali ke agamanya masing-
masing atau tetap menganut agama yang baru dianutnya. Selain pindah agama,
bagi mereka dapat juga melakukan perkawinan melalui catatan sipil setelah
memperoleh izin kawin dari Kantor Urusan Agama bagi pemeluk agama Islam,
dan izin dari kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam, sedangkan
bagi mereka yang mampu akan melaksanakan perkawinannya di luar Indonesia,
62
dan setelah melaksanakan perkawinan, mencatatkan perkawinannya di Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggalnya.
Perkawinan beda agama di Luar Indonesia tidak akan menimbulkan
masalah bagi mereka yang mampu Finansialnya tetapi berbeda dengan pasangan
perkawinan beda agama, akan menimbulkan masalah bagi yang kurang mampu
finansialnya maka secara tidak langsung, Pasal 56 ayat (1) Undang- Undang
perkawinan melakukan diskriminasi antara sih kaya dan sih Miskin bagi Pasangan
Perkawinan beda Agama. Adanya penolakan terhadap perkawinan beda agama di
Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai
dengan prinsip- Prinsip HAM itu sendiri. Tidak mengakui sebuah perkawinan
yang disebabkan oleh perbedaan agama dari masing-masing mempelai merupakan
sebuah tindakan pembatasan yang didasarkan atas perbedaan agama. Masalah
agama merupakan salah satu Komponen HAM yang di jamin oleh UUD NRI
sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat (1)
dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI dengan tegas menjamin adanya kebebasan
menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang, kebebasan
agama ini pada dasarnya juga berarti bahwa negara tidak turut campur dalam
masalah- masalah agama.
Seacara filosofis , pengaturan seperti ini tidaklah sesuai dengan cita- cita
penegakan HAM di Indonesia. Pengaturan mengenai hak- hak dasar dalam bidang
perkawinan tidak diselaraskan dengan peraturan perundangan-lainya. Pasal 10
ayat (2) Undang- Undang HAM secara tegas menyatakan bahwa perkawinan yang
sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua Pihak. Dalam hal ini
prinsip atau asas utama dilakukannya perkawinan yang sah adalah kehendak
63
bebas dari kedua pihak. Dalam hal ini prinsip atau asas utama yang dilakukannya
perkawinan yang sah adalah kehendak bebas adalah kehendak yang lahir dari niat
suci tanpa paksaan, penipuan, tekanan apa-pun dan dari siapa-pun terhadap calon
suami dan atau calon istri, Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan
menurut undang – Undang HAM hanya dipandang dari aspek perdatanya saja. Di
sini , tidak ada unsur agama yang dikedepankan dalam sebuah perkawinan.
Sementara perkawinan yang diatur oleh Undang- Undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974 yang berlaku saat ini memiliki konsepsi yang berbeda, bahwa
perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-masing
pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan tersebut artinya , antara pria
dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan perkawinan berdasarkan
hukum positif Indonesia. Padahal Pasal 3 ayat (3) Undang- Undang HAM
menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
dijamin undang- undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, pihak untuk
berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak boleh dikurangi
atau direduksi Oleh faktor agama. Pembatasan inilah yang perlu disesuaikan
dengan keadaan masyarakat saat ini.
Penolakan terhadap pencatatan yang dilakukan oleh pasangan beda agama
merupakan sebuah tindakan diskriminasi berdasarkan agama. Di sisi lain,
Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sama sekali tidak
memberikan secara tegas larangan mengenai perkawinan beda agama tidak
diperbolehkan maka seharusnya hal tersebut harus ditegaskan dalam undang-
undang Hukum agama tetap saja merupakan kaedah agama yang tidak termasuk
dalam hukum positif nasional. Oleh sebab itu, kaedah-kaedah agama tidak dapat
64
diberlakukan secara tidak langsung dalam Undang- Undang karena menyangkut
masyarakat secara umum.
Sayangnya Undang- Undang HAM sendiri tidak memberikan kepastian
mengenai prinsip dasar perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 10 ayat (1)
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan . Artinya bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai
dengan ketentuan dalam Undang- Undang Perkawinan , yaitu sah dari aspek
agama dan sah dari aspek administrasi. Sebagai sebuah ikatan lahir batin yang
suci, perkawinan tidaklah dapat dibatasi atas dasar perbedaan agama. Bila tidak,
negara dapat dikatakan turut campur mengatur masalah- masalah pribadi
seseorang. Saat ini telah berkembang pendapat di dalam masyarakat agar negara
tidak mengintervensikan kehidupan beragama di Indonesia. Dalam hal ini negara
hanya mencatatkan setiap perkawinan yang didaftarkan.
Sementara, Perkawinan yang diatur oleh Undang- Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku saat ini memiliki konsepsi yang berbeda.
Bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan menurut aturan agama masing-
masing pihak dan kewajiban untuk mencatatkan perkawinan tersebut. Yang
artinya antara pria dan wanita yang berbeda agama tidak boleh dilakukan
perkawinan berdasarkan hukum positif Indonesia. Padahal Pasal 3 ayat 3 Undang-
Undang HAM menyatakan bahwa perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar manusia dijamin undang-undang tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, pihak
untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan tidak boleh
direduksi oleh faktor agama.
65
Dari pernyataan- pernyataan tersebut terlihat ada perbedaan antara
konsepsi perkawinan berdasarkan Undang- Undang HAM dan pengaturan
perkawinan berdasarkan Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Di
sisi lain, Undang- Undang HAM hanya mensyaratkan faktor kehendak bebas
calon suami/istri, sementara di sisi lain Undang- Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 hanya menetapkan persyaratan yang tidak hanya sekedar kehendak
bebas calon suami/istri perkawinan yang dilakukan oleh para pihak yang memiliki
keyakinan berbeda sudah seharusnya diakui negara sebagai salah satu hak dari
setiap warga negara. Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sendiri
sudah menyatakan bahwa perkawinan sudah merupakan ikatan lahir batin. Oleh
sebab itu, negara tidak boleh ikut campur dalam hal batin warga negaranya karena
merupakan lingkup hak asasi warga negara.
4. Perkawinan Beda Agama Masih Terdapat Kekosongan Hukum
( Rechtsvacuum)
Apakah dalam memecahkan keabsahan perkawinan beda Agama di
Indonesia ,Masih terdapat suatu kekosongan hukum? Harus diakui bahwa hukum
positif yang berlaku di negara Indonesia Masih dipengaruhi atau , masih
berlandaskan hukum peninggalan kolonial Belanda. Salah satu di antaranya
adalah ketentuan Pasal 66 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
beserta penjelasannya dan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975. Ketentuan Pasal 66 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 menyatakan bahwa peraturan -peraturan lain tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang- Undang ini tidak berlaku
66
Selanjutnya, penjelasan Umum Nomor 5 Undang- Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa apabila mengenai suatu hal Undang-
Undang ini tidak ada mengaturnya dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.
Sementara Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengemukakan
bahwa dengan berlakunya ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam peraturan
pemerintah ini dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena Undang- Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 belum mengatur perkawinan beda gama secara
jelas dan terinci jalan keluarnya harus bersandar pada ketentuan pasal 66 Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 47 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 , yaitu ketentuan peraturan perkawinan campuran yang
diatur dalam GHR, yang juga mengatur keabsahan perkawinan beda Agama di
Indonesia. Ketentuan tersebut itu yang menjadi pegangan para hakim di
pengadilan untuk mengabulkan pemohon agar dapat melangsungkan perkawinan
beda agama dalam penetapannya . Hal itu telah dikemukakan di muka , yaitu
masih adanya pilihan hukum ( choice of law) bagi pasangan perkawinan beda
agama.
5. Perkawinan Beda Agama di Indonesia yang dilangsungkan oleh
Warga Negara Indonesia di Luar Negeri dan Akibat Hukumnya
Untuk cara yang terakhir yaitu perkawinan dilaksanakan di luar negeri,
Undang- Undang Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sarana
untuk melegalkan Perkawinan beda Agama. Di dalam Pasal 56 Undang- Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang
67
dilangsungkan di luar negeri Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia
atau seorang warga Negara Indonesia atau seorang warga Negara Indonesia
dengan warga negara Asing sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku
di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara
Indonesia tidak Melanggar Undang- Undang Perkawinan Kita.
Selanjutnya, setelah suami- istri kembali ke Indonesia, bahwa dalam waktu
1 Tahun setelah suami – istri tersebut kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti
perkawinan mereka harus didaftarkan di kantor Pencatatan Perkawinan tempat
tinggal mereka. Namun secara Tegas Undang- Undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974 hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak , rujuk yang berarti
hanya acara bukan misteri hukum. Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri
oleh pasangan Warga Negara Indonesia beda agama tetap dikatakan perbuatan
mereka perbuatan penyelundupan hukum, , karena kedua pasangan berusaha
menghindar dari hukum nasional. Perkawinan tersebut memang sah menurut
hukum negara setempat, dilangsungkannya perkawinan tersebut, tetapi tidak
sesuai dengan ketentuan Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
yang berlaku di Indonesia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang
melakukan perkawinan beda agama di luar negeri, yaitu antara lain, karena negara
Indonesia tidak memiliki aturan khusus terkait pengaturan norma perkawinan
beda agama. Pasal 56 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1. Tahun 1974
mengatur perkawinan di luar negeri baik yang dilakukan oleh sesama Warga
Negara Indonesia di luar negeri atau salah satu pihaknya warga negara Indonesia
sedang yang lain adalah Warga Negara Asing, Adalah Sah bila dilangsungkan
68
menurut hukum yang berlaku di mana perkawinan itu berlangsung dan bagi
Warga Negara Indonesia Tidak melanggar Undang- Undang ini.
Mengenai tata cara perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri,
yaitu merujuk pada Pasal 56 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974. Pasal ini menyatakan bahwa Perkawinan yang dilangsungkan di luar
Indonesia Adalah Sah apabila :
1. Perkawinan dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara
perkawinan itu dilangsungkan
2. Bagi Warga negara Indonesia Tidak melanggar ketentuan Undang –
undang Perkawinan . Pasal 56 ayat (2) Undang – Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 hanya menjelaskan didaftarkan di Kantor
Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil hanya menerima laporan perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri. Bahwa di dalam surat Pelaporan
Perkawinan Bukan Merupakan Akta Perkawinan.
Dengan adanya Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan memungkinkan Pasangan Berbeda Agama di
catatkan Perkawinannya asal melalui Penetapan Pengadilan. Pengesahan Undang
– Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan menganut
beberapa ketentuan tentang perkawinan beda Agama. Undang- Undang ini
menempatkan pencatatan peristiwa kependudukan seperti perkawinan sebagai
HAK. Berdasarkan Undang- Undang Ini, Perkawinan Warga Negara Indonesia
yang dilangsungkan di luar negeri wajib di catatkan pada instansi yang berwenang
di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia. Jika di
69
negara tersebut tidak dikenal pencatatan perkawinan bagi orang Asing, maka
pencatatan dilakukan Perwakilan Republik Indonesia. Oleh Perwakilan Republik
Indonesia, perkawinan itu dicatatkan dalam Register Akta Perkawinan, lalu
terbitlah Kutipan Akta Perkawinan. Kalau Pasangan tadi sudah kembali ke
Indonesia suami Istri yang sudah menikah harus melapor ke dinas kependudukan
dan Catatan Sipil Paling Lambat 30 hari setelah Tiba di Indonesia
6. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Kehidupan Beragama
Akumulasi dari berbagai pemikiran dan perkembangan pemikiran HAM
dalam Kurun waktu lama tersebut, sekurangnya tercatat 3 (tiga) hak dasar yang
seyogyanya mendapat Perlindungan secara sungguh, yaitu29:
1. Hak kebebasan
Adalah Hak yang bersifat melindungi kebebasan dan
kedamaian manusia dalam kehidupan pribadi. Termasuk di
antara lain hak atas hidup , kebebasan dalam memilih
jodoh, kebebasan dalam memilih pasangan , kebebasan
beragama
2. Hak Demokrasi.
Adalah Hak berdasarkan keyakinan atas kedaulatan rakyat.
Termasuk di dalamnya antara lain: Kebebasan untuk
memilih wakil rakyat, hak untuk menentukan pemimpin
agama, kebebasan pers, dan hak berkumpul dan berserikat.
29 Frans Magnis Suseno, Kees Bertens, E. Sumaryono, l. Bambang Sugiharto, Frans Solanus Teti, LM Sugiharto, dan Rafel R. Riantoby, Etika Sosial, Jakarta: PT Gramedia, 1989, hlm. 100-101. Dalam Paham HAM, maka hak- hak itu tidak dapat dihilangkan oleh dinyatakan tidak berlaku oleh Masyarakat atau negara. Meskipun Negara tidak mengakui namun hak-hak tetap dimiliki manusia dan seharusnya diakui.
70
3. Hak Sosial
Adalah hak berdasarkan kesadaran bahwa masyarakat dan
negara berkewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan
pihak- pihak dalam masyarakat.
Sedangkan pada waktu bersamaan, HAM sebagai landasan dari kebebasan,
keadilan dan kedamaian yang – yang dibutuhkan oleh Manusia dalam konteks
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, telah menjadikan HAM tidak steril di
dalam konstelasi Politik. Oleh karena perlu dirumuskan secara jelas konsepsi
HAM yang dapat menampilkan karakateristik sebagai berikut.
1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli, atau diwarisi. HAM
adalah sesuatu yang dimiliki karena kemanusiaan, sehingga
otomatis manusia mempunyai hak asasi.
2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis
kelamin, ras agama, etnis, pandangan politik atau asal – usul
Sosial
3. HAM tidak dapat dilanggar , sehingga tidak seorang pun
mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang
lain. Orang tetap mempunyai HAM meskipun negara tetap
membuat hukum yang tidak melindungi.
Sesuai dengan fokus tema legalitas Perkawinan beda agama
yaitu keterjalinan antara HAM dan Agama.
71
72