BAB III PEMAHAMAN HADIS POLA HIDUP SEDERHANA: ANTARA ... III.pdf · 40 8. Meningkatkan kualitas...
Transcript of BAB III PEMAHAMAN HADIS POLA HIDUP SEDERHANA: ANTARA ... III.pdf · 40 8. Meningkatkan kualitas...
38
BAB III
PEMAHAMAN HADIS POLA HIDUP SEDERHANA:
ANTARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
A. Redaksi Hadis-hadis Pola Hidup Sederhana
Sebelum memaparkan redaksional hadis-hadis tentang pola hidup
sederhana, penting kiranya disampaikan tentang kegiatan awal dalam penelitian
hadis ialah takhrîj al-hadîts (mengeluarkan hadis untuk dikaji) dari sudut
bahasa, berarti berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu persoalan.
Kata takhrîj juga memiliki beberapa arti, antara lain yaitu: al-istinbât atau
mengeluarkan dari sumbernya; at-tadrîb atau latihan; at-tawjîh atau pengarahan,
menjelaskan duduk persoalan.1 Secara terminologi, menurut para ulama hadis,
takhrîj al-hadîts sangat banyak pengertiannya, antara lain:
1. Mengungkap atau mengeluarkan hadis kepada orang lain dengan
menyebutkan para perawinya yang berada dalam rangkaian.
2. Mengeluarkan sejumlah hadis dari kandungan kitab-kitabnya dan
meriwayatkannya sendiri.
3. Petunjuk yang menjelaskan kepada sumber-sumber asal hadis, di sini
dijelaskan siapa yang menjadi perawi dan mudawwin yang menyusun
hadis tersebut dalam satu kitab.
1Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 111-112.
39
4. Menunjukkan letak atau tempat hadis pada sumber aslinya yang
diriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya, kemudian menjelaskan
martabat atau kedudukannya.2
Takhrîj al-hadîts menjadi sangat penting bagi penelitian hadis, karena
dengan kegiatan ini dapat diketahui sumber asli hadis dan keadaan hadis.
Sedangkan manfaat yang bisa diambil dari kegiatan men-takhrîj al-hadîts adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui sanad hadis dan silsilah berapapun jumlahnya, apakah sanad-
sanadnya itu bersambung atau tidak.
2. Mengetahui bagaimana pandangan ulama terhadap keshahihan hadis.
3. Mengetahui keadaan hadis berkaitan dengan maqbûl dan mardûd-nya hadis.
4. Membedakan mana perawi yang ditinggalkan atau yang tidak dipakai.
5. Memastikan identitas para perawi, baik berkaitan dengan kunyah
(julukan), laqab (gelar) atau nasab (keturunan) dengan nama yang jelas.
6. Menetapkan muttasil kepada yang diriwayatkan dengan menggunakan al-
tahammul wal adâʻ (kata yang dipakai dalam penerimaan dan periwayatan
hadis) dengan ’an’ anah (kata-kata “dari”).
7. Menetapkan suatu hadis yang dipandang mubham menjadi tidak mubham
karena ditemukan beberapa jalan sanad atau sebaliknya.
2Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, h. 112-113.
40
8. Meningkatkan kualitas hadis tersebut dari dha’îf menjadi hasan karena
mungkin ditemukan syâhid atau mutâbi’-nya.
Takhrîj al-hadîts bisa dilakukan dengan dua macam cara, Pertama,
takhrîj al-hadîts fi alfazh yaitu upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis
dengan cara menelusuri yang bersangkutan berdasarkan lafal-lafal dari hadis
yang dicari. Kedua, takhrîj al-hadîts bi al-mawdhû’, yaitu upaya pencarian hadis
pada kitab-kitab hadis berdasarkan topik masalah yang dibahas oleh sejumlah
matn hadis.3
Sedangkan penelitian ini menggunakan takhrîj al-hadîts bi al-fazh
dengan menggunakan kata sarafa dan makhillah. Dari hasil penelusuran tersebut
diperoleh empat (4) hadis dalam tiga (3) kitab, yaitu sebagai
1. Hadis Riwayat Imam Ibnu Mâjah
ث نا يزيد بن هارون أن بأنا هام عن ق تادة عن ث نا أب و بكر بن أب شيبة حد حد قال قال ر ول ا ا ع ي و : ع رو بن ش ي عن أبي عن د
ة ق و و اب و اا اال ر ا أو ي و و شرب و و د
3M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 17.
4Abû ʻAbdullâh Muhammad ibn Yazîd ibn Mâjah ar-Rubay‟iy, Sunan Ibnu Mâjah
(Beirût: Dâr al-Firk, t.th.), Vol. h.
41
2. Hadis Riwayat Imam an-Nasâ’iy
هام عن ق تادة عن ع رو بن نا أ د بن ي ان قال ث نا يزيد قال أن بأ ناأن بأ قال قال ر ول ا ا ع ي و و : ش ي عن أبي عن د
ة ق و و اب و ر ا و ي و د
3. Hadis Riwayat Imam Ahmad bin Hanbal
ث نا عبد ا حدثن أب ث نا ب هز ث نا هام عن ق تادة عن ع رو بن ش ي عن حد ق و : ن ر ول ا ا ع ي و قال أ أبي عن د و و شرب و و د
ة و را ن ا ب ن ر ن ت ع عبد و اب و ي
ث نا عبد ا حدثن أب ث نا يزيد بن هارون نا هام عن ق تادة عن ع رو بن حد و : ن ر ول ا ا ع ي و قال أ ش ي عن أبي عن د
ة و را وقال يزيد رة ر ا ق و و اب و ي و شرب و و د ة و ي
B. Al-I’tibar Sanad
Sebelum melangkah pada tahapan selanjutnya, yaitu melakukan kritik
terhadap sanad hadis, maka akan lebih baik apabila penelitian ini dilengkapi
dengan al-i’tibâr serta pembuatan skema sanadnya, sebagai hasil dari langkah
5Ahmad ibn Syu‟aib ibn „Aliy ibn Sinân ibn Bahr ibn Dinâ an-Nasâʻiy, Sunan an-Nasâʻiy
(Beirût: Dâr al-Fikr, 1997), Vol. 3, h. 397.
6Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal (t.tp.: Dâr al-Fikr, t.th.) Vol. 5, h. 470.
7Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 5, h. 489.
42
takhrîj al-hadîts di atas. Dalam ilmu hadis, istilah al-iʼtibâr berarti menyertakan
sanad-sanad lain untuk satu hadis tertentu yang pada bagian sanadnya tampak
hanya terdapat seorang periwayat saja. Dengan menyertakan sanad-sanad yang
lain dapat diketahui ada atau tidaknya periwayat yang berstatus mutâbi’ dan
syâhid dari sanad yang sedang diteliti. Melalui i’tibâr ini akan terlihat dengan
jelas seluruh jalur sanad dari hadis yang menjadi objek penelitian, nama-nama
seluruh periwayat dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing
periwayat.8
Selain Ahmad ibn Hanbal, hadis tentang pola hidup sederhana juga
diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah dan an-Nasâ‟iy. Namun demikian pada penelitian
ini akan difokuskan pada salah satu jalur sanad Ahmad ibn Hanbal.
C. Kritik Sanad
Kritik eksternal atau kritik sanad (an-naqd al-khârijiy) adalah telaah atas
prosedur periwayatan (sanad) dari jumlah rawi yang secara runtut menyampaikan
matn hingga rawi terakhir. Dalam metodologinya, keabsahan atau otentisitas suatu
sanad diukur dengan lima kaidah:
Pertama, sanad-nya harus bersambung (muttasil), cara yang ditempuh
untuk mengetahui persambungan sanad itu dilakukan melalui: a) mencatat semua
rawi dalam sanad tersebut, b) mempelajari biografi dan aktivitas keilmuan setiap
perawi, c) meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dengan rawi
terdekat dalam sanad seperti kata haddatsanâ, akhbaranâ, anba’anâ dan lain-lain.
8M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h.
51.
43
Sedangkan keterputusan sanad disebabkan oleh gugurnya perawi, baik pada
tingkat tabi‟in (mu‛alaq), tingkat sahabat (mursal), gugurnya dua rawi secara
berurutan (mu‛addal) ataupun yang tidak berurutan (munqathi‛), serta tidak
adanya bukti yang menjelaskan bahwa rawi yang menerima hadis tidak pernah
berkunjung atau bertemu ke tempat orang yang menyampaikan hadis itu
kepadanya.9
Kedua, rawinya harus bersifat adil, keadilan seorang perawi ditetapkan
dengan: a) Popularitas keutamaan dan kemuliaannya di kalangan ulama hadis, b)
penilaian dari para kritikus hadis yang mengandung pengungkapan kelebihan dan
kekurangan perawi, c) penerapan kaidah jarh wa ta‛dîl tidak disepakati dalam
menilai seorang perawi.10
Ketiga, rawinya dhâbith, ke-dhâbith-an seseorang dapat diketahui dengan:
a) kesaksian ulama, b) berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang
disampaikan oleh rawi lain yang sudah dikenal dengan ke-dhâbith-annya, di
samping itu hafal dengan baik hadis yang diriwayatkan dan mampu
menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.11
Keempat, terhindar dari syâdz. Keadaan syâdz atau tidak suatu isnâd dapat
diketahui dengan cara: a) semua sanad hadis yang mempunyai pokok masalah
yang sama harus dibandingkan, b) para perawi dari seluruh sanad harus diteliti, c)
9M. Husein Yusuf, Kriteria Hadis Sahih: Kritik Sanad dan Matn, dalam Yunahar Ilyas
dan M. Mas‟udi (ed), Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta: LPPI-UMY,
1996.), h. 30-31
10M. Husein Yusuf, Kriteria Hadis Sahih, h. 32
11M. Husein Yusuf, Kriteria Hadis Sahih , h. 32
44
apabila ada satu yang menyalahi dari seluruh sanad yang rawinya dinyatakan
tsiqah, maka sanad tersebut adalah syâdz.12
Kelima, terhindar dari ‛illah. Sanad hadis dianggap cacat terjadi
percampuran hadis dengan hadis lain, kesalahan dalam penyebutan rawi yang
mempunyai kemiripan. Adapun cacatnya suatu hadis dapat diketahui dari
kecerdasan seseorang, intuisi, hafalan hadis dan kedalaman pengetahuannya
tentang berbagai ke-dhâbith-an serta mengetahui tentang sanad dan matn.13
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin menyajikan kritik sanad terhadap
hadis tentang pola hidup sederhana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal.
Penelitian terhadap hadis dapat dimulai dari sahabat (periwayat utama)
atau mukharrij (periwayat terakhir), sedangkan penelitian ini dimulai dari
periwayat pertama. Selanjutnya dikemukakan hasil penelitian sanad dari hadis-
hadis tentang pola hidup sederhana. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dan
ditunjukkan melalui skema pada al-i’tibâr, bahwa sanad yang dipilih untuk diteliti
adalah jalur sanad dengan mukharrij Ahmad ibn Hanbal adalah sebagai berikut:
1. ʼAbdullâh ibn Amar
Nama lengkapnya adalah ʼAbdullâh ibn Amar ibn al-„Âsh ibn Wâʻil ibn
Hasyîm ibn Saʼîd ibn Saʼad ibn Sahm ibn Amar ibn Hushaish ibn Kaʼab ibn Lu‟y
ibn Ghîlib al-Qurasyi. Kunyahnya adalah Abû Ahmad, bisa juga Abû ʼAbd ar-
12
M. Husein Yusuf, Kriteria Hadis Sahih, h. 33.
13M. Husein Yusuf, Kriteria Hadis Sahih, h. 33; Bandingkan M. Syuhudi Ismail “Kriteria
Hadis Sahih: Kritik Sanad dan Matn, dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas‟udi (ed), Pengembangan
Pemikiran Terhadap Hadis (Yogyakarta: LPPI-UMY, 1996.), h. 7-8.
45
Rahmân atau Abû Nushair. Diantara guru-gurunya adalah Nabi saw., Abû Bakar,
ʼUmar, ʼAbd ar-Rahmân ibn „Awf dan lain-lain. Di antara murid-muridnya adalah
Anas ibn Mâlik, cucunya Syu’aib ibn Muhammad ibn ʼAbdullâh, Abû
Umâmah ibn Sahl bn Hanîf, ʼAbdullâh ibn al-Hârits ibn Nawfal dan lain-lain.14
2. Syu‟aib ibn Muhammad ibn ʼAbdullâh
Nama lengkapnya adalah Syu‟aib ibn Muhammad ibn ʼAbdullâh ibn Amar
ibn al-„Âsh al-Hijaziy as-Sahmiy. Guru-gurunya adalah kakeknya (ʼAbdullâh
ibn Amar ibn al-’Âsh), Ibnu ʼAbbâs, Ibnu ʼUmar, Mu‟âwiyah, Ubâdah ibn ash-
Shamît, ayahnya Muhammad ibn ʼAbdullâh. Murid-muridnya adalah dua orang
anaknya ʼUmar dan ʼAmar, Tsâbit al-Banâniy, Abû Sahabah Ziyâd ibn Amar,
Salmah ibn Abî al-Hassâm, dan ʼUstmân ibn al-Hâkim ibn „Athâ al-Khurasaniy.
Ibnu Hibbân berkata bahwa Syu‟aib menurutnya bukan merupakan orang sahih,
dan perkataannya ditolak.15
3. ʼAmar ibn Syu‟aib
Nama lengkapnya adalah ʼAmar ibn Syu‟aib ibn Muhammad ibn
ʼAbdullâh ibn ʼAmar ibn al-„Âsh al-Qurasyiy as-Sahmiy. Kunyahnya adalah Abû
Ibrâhîm, dikatakan Abû ʼAbdullâh al-Madaniy. Guru-gurunya adalah ayahnya
sendiri Syu’aib ibn Muhammad ibn ʼAbdullâh, Mujâhid, az-Zuhriy, Saʼîd al-
Maqburiy, Thâwus dan lain sebagainya. Di antara murid-muridnya adalah ʼAmar
ibn Dinâr, Yahyâ ibn Sa‟îd, Hisyâm ibn Urwah, Qatâdah, Yahyâ ibn Abi Katsîr
14
Syihâb ad-Dîn Abî al-Fadhl Ahmad ibn „Aliy ibn Muhammad ibn Hajar al-Asqalâniy
(selanjutnya disebut al-Asqalâniy), Tahdzîb at-Tahzîb fî Rijâl al-Hadîts (Beirût-Libnan: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, t.th.), Vol. 3, h. 586-587.
15al-Asqalâniy, Tahdzîb at-Tahzîb, Vol. 3, h. 179.
46
dan lain-lain. Berkata al-ʼIzliy dan an-Nasâ‟iy, Amar ibn Syu‟aib termasuk tsiqah,
berkata al-Dawriy dan Mu‟âwiyah ibn Shaleh dari Ma‟în: tsiqah.16
4. Qatâdah
Nama lengkapnya adalah Qatâdah ibn Di‟âmah ibn Qatâdah ibn Azîz ibn
Amar ibn Rabî‟ah ibn ʼAmar ibn al-Harits ibn Sadûs. Kunyahnya adalah Abû al-
Khaththâb as-Sadûsiy al-Bashriy. Guru-gurunya di antaranya adalah Anas ibn
Mâlik, Abû Sa‟îd al-Khudriy, Ikrimah dan lain-lain. Sedangkan murid-muridnya
di antaranya adalah Ayyûb as-Sakhtaniy, Sulaymân at-Taymiy, Jarîr ibn Hâzim,
Syu‟bah, Hammâm ibn Yahyâ, ʼUmar ibn Ibrâhîm al-Abdiy dan lain-lain.
Penilian ulama terhadap Qatâdah adalah sebagaimana dikemukan oleh Ibnu Sîrîn,
Qatâdah adalah ahfazh an-Nâs, Ishâq ibn Manshûr dari Yahyâ ibn Ma‟în tsiqah.17
5. Hammâm
Nama lengkapnya adalah Hammâm bin Yahyâ bin Dinâr al-Azadiy al-
„Awdziy al-Mahlamiy, kunyahnya adalah Abû Bakar al-Bashriy. Guru-gurunya
antara lain adalah Ishâq bin Abî Thalhah, Zayd bin Aslam, Abî Jamrah al-
Dhaba‟iy, Qatâdah, Muhammad bin Jahâdah dan lainnya. Sedangkan murid-
muridnya antara lain adalah ʼAbd ash-Shamad bin ʼAbd al-Wârits, Abû Saʼîd
Maula Bani Hasyim, Ahmad ibn Ishâq al-Hadhramiy, Hibbân bin Hilal, Yazîd bin
Harûn, Abû ʼAmir al-Aqdiy dan lain-lain. Berkata Abû Bakar al-Bardijiy
16
al-Asqalâniy, Tahdzîb at-Tahzîb, Vol. 5, h. 43-44.
17al-Asqalâniy, Tahdzîb at-Tahzîb, Vol. 5, h. 327.
47
Hammad shadûq, al-ʼIjliy Bashri berkata tsiqah, al-Hâkim berkata tsiqah hafiz,
dan berkata as-Sajiy shadûq.18
6. Bahzun
Nama lengkapnya adalah Bahzun bin Asad. Nama kunyahnya adalah
Abû al-Aswad, sedang laqabnya adalah al-Bashari al-‟Ammi. Beliau
meninggal sesudah tahun 200 H. Guru-gurunya antara lain: Syu‟bah, Sâlim bin
Hibbân, Harûn bin Mûsâ, Sulaimân bin Mughirah dan lainnya. Sedangkan murid-
muridnya antara lain; Muhammad ibn Hatim as-Samin, ʼAbdullâh bin Hâsyim
at-Tûsiy, ‟Abdurrahman bin Basyar, Ahmad ibn Hanbal dan lain-lain. Abû
Hatim berkata: beliau suduk tsiqah, ‟Abd ar-Rahmân bin Basyar berkata:
tidak aku lihat laki-laki yang lebih baik dari Bahzun. Ibnu Sa‟îd menilai
Bahzun tsiqah, banyak hadisnya sebagai hujjah.19
7. Ahmad ibn Hanbal
Nama lengkapnya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilâl ibn
Asad az-Zahiliy al-Maruziy asy-Syaibaniy al-Baghdadiy. Sedangkan nama
kunyahnya adalah Abû ‟Abdullâh. Ahmad ibn Hanbal lahir pada tahun 164 H dan
bertempat tinggal di Baghdad. Guru-gurunya antara lain; Bisyr ibn al-Mufaddal,
Ismâʼîl ibn ‟Ulayyah, Jarîr ibn ‟Abd al-Hamîd, dan Bahzun yang terlibat
langsung dalam sanad yang penulis teliti ini. Sedangkan murid-muridnya antara
lain; al-Bukhâriy, Yahyâ ibn Ma‟în, Abû Dâwud, ‟Abdullâh (putranya sendiri),
dan lain-lain. Al-‟Abbâs berkata: dia hujjah, ‟Abd ar-Razzâq berkata: dia lebih
18
al-Asqalâniy, Tahdzîb at-Tahzîb, Vol. 6, h. 666.
19al-Asqalâniy, Tahdzîb at-Tahzîb, Vol. 3, h. 179.
48
faqîh dan wara’, al-‟Ajaliy berkata: dia tsiqah, tsâbit dan faqîh, ‟Abdullâh
(putranya) berkata: ayah shalat 300 raka‟at dalam sehari semalam.20
Dari semua penjelasan di atas, nampak ada satu orang yang dianggap tidak
mempunyai integritas yang baik yaitu Syu‟aib ibn Muhammad ibn ʼAbdullâh,
sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa dari segi integritas periwayat tidak
memenuhi syarat hadis sahih. Sedangkan ditinjau dari segi bersambung tidaknya
sanad, hadis tersebut jelas bersambung sanadnya dari awal sampai akhir. Bisa
dibuktikan melalui bertemunya setiap murid dengan gurunya. Berdasarkan
pertimbangan dan logika di atas dari segi sanad, hadis ini dapat dikatakan sebagai
hadis ahad. Tepatnya hadis ahad yang gharîb21
pada awal sanad, dan masyûr22
pada akhirnya, dikarenakan sebagian tingkat dari sanadnya memiliki tiga orang
periwayat, sedang sebagian lagi tidak banyak. Dengan demikian ditilik dari
kualitas sanadnya termasuk hadis dhaif,23
karena salah satu periwayat mempunyai
cacat dari segi integritas sehingga mengurangi nilai hadis yang dapat diterima
sebagai sebuah hujjah. Menurut Syu‟aib al-Arnawuth menyatakan bahwa sanad
hadis ini adalah hasan.
20
al-Asqalâniy, Tahdzîb at-Tahzîb, Vol. 1, h. 98.
21Hadis Gharîb adalah hadis yang rawinya menyendiri dengannya, baik menyendiri
karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati hadisnya karena jauh dari rawi lain yang
bukan imam sekalipun. Lihat Nûr ad-Dîn ʼItr, Manhaj Naqd Fî ʼUlûm al-Hadîts, diterjemahkah
oleh Mujiyo dengan judul “Ulumul Hadis” (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h. 419
22Hadis Masyhûr adalah hadis yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua. Lihat.
Nûr ad-Dîn ʼItr, Manhaj Naqd, h. 434.
23Hadis dhaif adalah hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis makbul
(yang dapat diterima. Lihat. Nûr ad-Dîn ʼItr, Manhaj Naqd, h. 291.
49
D. Kritik Matn dan Pemahaman Hadis Secara Tekstual
Kritik matn (naqd al-matn, kritik internal) adalah kajian dan pengujian
atas keabsahan suatu matn hadis. Adapun kaidahnya adalah, yaitu terhindar dari
syâdz dan ‘illah.24
Persoalan pemahaman makna hadis tidak dapat dipisahkan dari
penelitian matn. Penelitian matn dilakukan dengan mengadakan analisa matn
dengan beberapa pendekatan. Pemahaman hadis dengan beberapa pendekatan
memang diperlukan dengan maksud agar studi hadis tidak salah arah dan
sasaran. Pendekatan yang dimaksud adalah suatu acuan yang dapat dijadikan
pegangan untuk melihat, meneliti dan menangkap sesuatu yang berkaitan
dengan hadis. Salah satu contoh adalah pendekatan bahasa, yaitu dilakukan
dengan cara melihat bentuk-bentuk kebahasaan dalam matn hadis. Selain itu,
pendekatan historis, sosiologi, antropologi dan psikologi dapat dijadikan
acuan dalam studi matn atau memahami matn.25
Dalam memahami sebuah teks, ada tiga subyek yang berperan. Pihak
yang menuangkan ide dalam teks, teks itu sendiri, dan pembaca teks. Boleh jadi
apa yang dituangkan dalam teks tidak mewakili seluruh ide yang
dituangkan. Dengan kata lain, apa yang dimaksud oleh penggagas tidak
selalu sama dengan teks. Artinya, yang dipikirkan tidak sama dengan apa yang
24
Muhammad al-Ghazâliy, as-Sunnah an-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts
(al-Qâhirah: Dâr asy-Syurûq, 1989), cet. ke-6, h. 9.
25Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: CESaD YPI
ar-Rahmah, 2001), h. 15.
50
ditulis. Boleh jadi lagi, apa yang tertulis tidak sama dengan pemahaman
pembaca.26
Setelah mengamati redaksi hadis-hadis tentang pola hidup sederhana serta
menganalisa sand-sanadnya, maka langkah selanjutnya adalah meneliti atau
memahami makna hadis secara tepat, sekaligus memberikan penilaian kualitas
matn. Langkah ini membuka jalan bagi proses pemahaman yang memuat tiga
langkah utama, yaitu: analisa matn, analisa asbâb al-wurûd dan analisa
generalisasi. Inilah prosedur yang dianggap ideal guna memahami makna teks
hadis sebagai sebuah usaha untuk merefleksikan bagaimana eksistensi hadis
dapat bermakna bahkan bermanfaat dalam kehidupan kekinian.
1. Analisis Matn
Dalam rangka pemaknaan hadis dengan cara menganalisa isi atau
matn, dilakukan kajian linguistik yang berkaitan dengan penggunaan lafal-
lafal dalam hadis. Selain itu juga dilakukan kajian tematik komprehensif,
yaitu mempertimbangkan teks-teks hadis untuk mendapatkan pemahaman
yang komprehensif. Di akhir analisis isi juga dilakukan konfirmasi makna
yang diperoleh dengan petunjuk Alquran.
a. Kajian Kebahasaan
Kajian kebahasaan dalam upaya memahami hadis tertuju pada beberapa
objek. Pertama, struktur bahasa artinya apakah susunan kata dalam matn hadis
yang menjadi objek penelitian sesuai dengan kaidah bahasa Arab atau
26
Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta:
LESFI, 2003), h. 54.
51
tidak? Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matn hadis, apakah menggunakan
kata-kata yang lumrah dipergunakan dalam bahasa arab pada masa nabi
Muhammad saw. atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan
dipergunakan dalam literatur arab modern? Ketiga, matn hadis tersebut
menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata tersebut
ketika diucapkan oleh Nabi saw. sama makna yang dipahami oleh pembaca atau
peneliti.27
Jika dilihat matn hadis-hadis tentang pola hidup sederhana, maka dapat
ditemukan kata kunci yang mempengaruhi pemaknaan hadis, kata kunci
tersebut adalah Isrâf. Ar-Raghîf al-Asfahaniy medefinsikan kata saraf adalah
melampaui batas pada tiap-tiap pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, termasuk
dalam berinfak. Bernafkah bukan karena ketaatan kepada Allah juga merupakan
perbuatan isrâf.28
Salah satu bentuk isrâf adalah memakan makan yang tidak hal,
dan mengabaikan hak-hak Allah.29
b. Kajian Tematik
1) Lafal yang sama
Dengan memperhatikan matn-matn hadis yang telah dipaparkan pada
takhrîj al-hadîts dapat diketahui bahwa terjadi periwayatan secara makna
dalam meriwayatkan hadis ini. Pada riwayat Imam an-Nasâ‟iy tercantum lafal
27
M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer
(Potret Konstruksi Metodologi Syarah Hadis) (Yogyakarta: Suka Press, 2012), cet. ke-1. h. 123.
28Ar-Raghîf al-Asfahaniy, Mu’jam Mufrâdât alfâzh al-Qu’rân (Lebanon-Beirût: Dâr al-
Fikr, t.th.), h. 236.
29Abû al-Fadhl Jamâl ad-Dîn Muhammad ibn Mahram, Lisân al-‘Arabiy (Beirût: Dâr al-
Fikr, 1990), 148.
52
wasyrabu sebagaimana yang juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal
dalam riwayat yang berbeda dan kata tambahan ma la yukhalithhu tanpa
menggunakan kata ghair. Sedangkan riwayat Ahmad ibn Hanbal menggunakan
kata saraf bukan israf. Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal juga mendahulukan
lafal makhillah kemudian lafal saraf atau isrâf.
Walaupun lafal-lafal yang dikemukakan masing-masing periwayat tampak
ada perbedaan, tetapi tidak mempengaruhi maksud dan maknanya, yaitu
penjelasan pentingnya hidup sederhana dengan tidak berlebih-lebihan dalam hal
makan, minum, berpakaian dan bersedekah dan juga tidak disertai dengan
kesombongan.
2) Kandungan matn
Matn hadis tentang sabar terhadap cobaan Allah berikut maknanya
dari riwayat Ahmad ibn Hanbal, yaitu:
ث نا عبد ا حدثن أب ث نا ب هز ث نا هام عن ق تادة عن ع رو بن ش ي عن حد ق و : ن ر ول ا ا ع ي و قال أ أبي عن د و و شرب و و د
ة و را و اب و ي
Hadis ini berisi larangan untuk makan, minum, berpakaian dan bersedekah
secara berlebih-lebihan dan disertai dengan kesombongan. Sama dengan hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Mâjah, akan tetapi ada penambahan kata ma
30
Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. h.
53
lam yukhalithhu dan sama juga dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-
Nasâ‟iy.
ث نا يزيد بن هارون أن بأنا هام عن ق تادة عن ث نا أب و بكر بن أب شيبة حد حد قال قال ر ول ا ا ع ي و : ع رو بن ش ي عن أبي عن د
ة ق و و اب و اا اال ر ا أو ي و و شرب و و د
Dan riwayat Imam an-Nasâ‟iy
هام عن ق تادة عن ع رو بن نا أ د بن ي ان قال ث نا يزيد قال أن بأ ناأن بأ قال قال ر ول ا ا ع ي و و : ش ي عن أبي عن د
ة ق و و اب و ر ا و ي و د
Hadis ini sebenarnya menganjurkan manusia untuk makan, minum,
berpakaian dan bersedekah sekehendaknya, akan tetapi harus dihindari sikap
berlebih-lebihan dan sombong.33
Di samping menghindari sikap sombong dan
berlebih-lebihan, dalam hadis tersebut juga adanya semangat proporsional dalam
hal kebutuhan papan, yaitu makan, minum dan berpakaian, dalam arti sesuai
dengan kebutuhan pemakan, tidak berlebih, dan tidak berkurang, dan maksud
31
Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Vol. , h. .
32An-Nasâʻiy, Sunan an-Nasâʻiy, Vo. , h.
33Ahmad Mushthafâ al-Marâgiy, Terjemah Tafsir al-Marâghiy (Semarang: CV Toha
Putra, 1993), cet. ke-2, h. 236-237.
54
“melampaui batas” berarti melebihkan dari yang wajar.34
Semangat demikian
sesuai dengan hadis Rasulullah saw.
ث نا ويد بن ن ر أخب رنا عبد ا بن ا بارك أخب رنا س يل بن عياش حدثن ة ل ي و حبي بن ااح عن ي بن ابر الائي عن قد م حد
س ت ر ول ا ا ع ي و ي قول ا ل : بن د ر قال آد ي شر ن بلن ب بن آدم أ الت يق ن ب فإن ان مااة
ف ال ا وث ان
Sebenarnya ada hal yang menarik dari kesederhanaan itu, bahwa
kesederhanaan itu merupakan cabang dari iman, dan itu diulang nabi sebanyak
dua kali, sebagaimana hadis yang diriwayatkan imam Abu Dâwud sebagai
berikut:
ث نا م د بن ة عن م د بن حاق عن عبد ا بن أب ث نا ان ب ي ب حد حدأ ا ة عن عبد ا بن بن ااك عن أب أ ا ة قال ذ ر أ حا ر ول
ن يا ف قال ر ول ا - ا ع ي و - ا ا ع ي -ي و ا عند ادبأ ون أ ون ن ابذ ذة ن إلميان ن ابذ ذة ن إلميان » - و
.قال أبو د ود هو أبو أ ا ة بن ث بة ان ار ب . ي ات قحبل . «
34
M. Quraish Shihah, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persolan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), cet. ke-6, h. 146-147.
35Abû ‛Isâ Muhammad ibn ‛Isâ ibn Sarwah at-Tirmidziy, Sunan at-Tirmidziy (Beirût: Dâr
al-Fikr, 1994), Vol. , h.
36Abû Dâwûd Sulaymân ibn al-As‛asy as-Sijistâniy, Sunan Abû Dâwud (Beirût: Dâr al-
Fikr, 1998), h. Vol. , h.
55
Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa ada korelasi atau hubungan
antara hadis yang satu dengan lain. Di mana hubungan itu menjelaskan adanya
larangan berlebih-lebihan dalam makan, minum, berpakaian dan bersedekah. Ini
artinya anjuran pola hidup sederhana dan proporsional serta hidup yang wajar
sesuai dengan kebutuhan. Karena kesederhanaan merupakan bagian dari iman.
Akan tetapi kesederhanaan yang dimaksud di sini adalah meninggalkan
kemewahan dan kegemerlapan dalam berpakaian, hal ini dilakukan dengan tujuan
karena tawaduk, bukan untuk memperlihatkan kefakiran dan kekikiran.37
c. Kajian konfirmasi
Untuk memahami hadis-hadis Nabi dengan pemahaman yang mendekati
-kebenaran-kebenaran milik Allah swt. – yang jauh dari penyimpangan,
pemalsuan, dan penafsiran buruk, maka proses pemahaman haruslah sesuai
petunjuk Alquran, yaitu dalam kerangka bimbingan Ilahi yang pasti kebenarannya
bahwa Alquran tidak diragukan lagi keadilannya.38
Sebagaimana telah diketahui, bahwa Alquran adalah konstitusi dasar yang
pertama dan utama, sedang hadis Nabi adalah penjelasan terperinci tentang
konstitusi tersebut. Baik hal-hal yang bersifat teoritis maupun penerapannya yang
praktis. Ini berarti hadis Nabi harus dipahami dalam kerangka petunjuk Alquran,
oleh sebab itu, suatu penjelasan tidak mungkin bertentangan dengan apa yang
hendak dijelaskan. Maka penjelasan yang bersumber dari Nabi selaku penyampai
37
Ibnu Hamzah al-Husainiy an-Nahafiy ad-Dimsyaqiy, Asbabul Wurud: Latar Belakang
Historis Timbulnya Hadis-hadis Rasul, terj. (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), cet. ke-3, Jilid. 2, h.
267.
38Yusûf al-Qarâdhâwiy, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW., Terj. M. Al-Baqir
(Bandung: Karisma, 1995), h. 92.
56
Alquran hendaknya senantiasa berkisar seputar Alquran dan tidak mungkin akan
dilanggar.39
Oleh karenanya, tidak mungkin satu hadis sahih yang kandungannya
berlawanan dengan ayat-ayat Alquran yang muhkamât, berisi keterangan pasti dan
jelas. Kalaupun diperkirakan adanya pertentangan, maka terdapat tiga
kemungkinan penyebabnya, Pertama, hadis yang bersangkutan tidak sahih;
Kedua, pemahaman terhadap hadis kurang tepat; Ketiga, pertentangan tersebut
hanyalah bersifat semu dan bukan hakiki.40
Hadis tentang pola hidup sederhana ketika dikonfirmasikan, pengertian
lahiriah (tekstual)nya tidak bertentangan dengan Alquran. Dalam hal ini terdapat
pada Surat al-A‟râf (7): 31.
Dalam Tafsir al-Misbah M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini
mengajak manusia berpakaian yang indah dalam bentuk menutup aurat karena
membukanya merupakan sebuah keburukan, dan ini dilakukan di setiap memasuki
dan berada di masjid, baik masjid dalam artian khusus maupun dalam pengertian
yang luas, yakni persada bumi ini.
Selanjutnya M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menganjurkan
untuk memakan makanan yang halal, enak bermanfaat dan bergizi serta
39
Yusûf al-Qarâdhâwiy, Bagaimana Memahami Hadis, h. 93.
40Yusûf al-Qarâdhâwiy, Bagaimana Memahami Hadis, h. 93.
57
berdampak baik, serta minumlah apa saja yang kamu sukai selama tidak
memabukkan, tidak juga mengganggu kesehatan.
Penggalan akhir ayat ini merupakan salah satu prinsip yang diletakkan
agama menyangkut kesehatan dan diakui pola oleh para ilmuwan terlepas apa pun
pandangan hidup atau agama mereka. Sedangkan perintah makan dan minum,
tidak lagi berlebih lebihkan, yakni tidak melampaui batas, merupakan tuntunan
yang harus disesuaikan dengan kondisi setiap orang. Ini karena kadar tertentu
yang dinilai cukup untuk seseorang, boleh jadi telah dinilai melampaui batas atau
belum cukup buat orang lain. Atas dasar itu, kita dapat berkata bahwa penggalan
ayat tersebut mengajarkan sikap proporsional dalam makan dan minum.41
Berkenaan dengan makna berlebih-lebihan al-Marâghiy dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa garis-garis batasnya antara lain adalah:
Pertama, batasan tabi’i atau kebiasaan, naluri. Seperti lapar, kenyang, haus
dan hilangnya dahaga. Maka, jika seseorang makan ketika dia lapar dan berhenti
makan ketika telah merasa kenyang sekalipun masih enak rasanya untuk
menambah makanannya, atau minum ketika merasa haus dan cukup dengan
minuman yang dapat menghilangkan kehausan itu, dan tidak lebih dari itu, maka
hal itu tidak dapat dikatakan sebagai bentuk berlebih-lebihan dalam makan dan
minuman sehingga makanan dan minumannya akan berguna baginya;
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2011), Vol. IV, h. 87;
58
Kedua, batasan ekonomis, ialah membelanjakan harta sesuai dengan
ukuran tertentu dari pemasukannya, seperti ukuran yang tidak menghabiskan
seluruh hasil usahanya;
Ketiga, batasan syara‟. Dalam hukum syara‟ ada batasan larangan makan
dan minuman serta pakaian yang diharamkan. Makanan yang diharamkan
misalnya adalah bangkai, darah, daging babi dan sembelihan yang disandarkan
kepada selain Allah. Sedangkan minuman yang diharamkan adalah sejenis khamar
atau yang memabukkan. Adapun jenis pakaian yang diharamkan misalnya adalah
sutera murni atau pakaian yang sebagian besar terdiri dari sutera bagi laki-laki,
sedangkan bagi wanita tidak diharamkan. Diharamkan pula makan dan minum
pada bejana-bejana yang dibuat dari emas dan perak, dan hal-hal itu dianggap
berlebih-lebihan yang terlarang. Hal-hal ini semua tidak diizinkan
menggunakannya, kecuali karena suatu alasan darurat yang bisa diukur menurut
ukurannya masing-masing.42
Selanjutnya dalam surat al-Furqân ayat 67 dijelaskan tentang anjuran
keseimbangan dalam membelanjakan harta sebagaimana firman Allah:
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kata saraf ini bermakna melampaui batas
kewajaran sesuai dengan kondisi yang bernafkah dan yang diberikan nafkah. Di
42
Ahmad Mushthafâ al-Marâgiy, Terjemah Tafsir al-Marâghiy, h. 237.
59
sini dijelaskan bahwa dianggap berlebihan jika memberikan anak kecil melebihi
kebutuhannya, dan akan lebih tercela lagi jika memberikan orang dewasa yang
butuh lagi dapat bekerja sebanyak pemberian kepada anak kecil. Dalam ayat ini
Quraish Shihab menegaskan bahwa yang dimaksud dengan nafkah di sini adalah
nafkah sunnah, bukan nafkah wajib, sedangkan memberikan nafkah wajib
berlebihan tidaklah terlarang ataupun tercela.43
Dalam ayat ini juga ditegaskan bahwa kita dianjurkan untuk bersikap
moderat, yaitu sikap tidak memboroskan sehingga habis, di sini lain tidak juga
menahannya sama sekali sehingga mengorbankan kepentingan pribadi, keluarga
ataupun siapa yang membutuhkan. Moderasi di sini adalah sikap pertengahan
dalam kondisi normal dan umum, akan tetapi bila situasi menghendaki
penafkahan seluruh harta, moderasi dimaksud tidak berlaku, dan hal ini yang
dilakukan oleh Abu Bakar r.a yang menafkahkan seluruh hartanya dan Umar bin
Khaththab yang menafkahkan setengah dari hartanya untuk kepentingan persiapan
perang.44
Setelah diteliti makna dan pesan yang terkandung dari ayat di atas,
ternyata tidak ada pertentangan dengan hadis-hadis Nabi tentang pola hidup
sederhana. Pada ayat ini dianjurkan kepada setiap orang untuk tidak berlebih-
lebihan dalam makan, minum, berpakaian dan bersedekah. Dengan demikian
dapat diambil kesimpulan bahwa hadis-hadis tersebut adalah penjelasan atau
penguatan dari ayat Alquran di atas.
43
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. IX, h. 151-152.
44M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. IX, h. 151-152.
60
Oleh karenanya, apabila hadis-hadis tentang pola hidup sederhana
dikonfirmasikan dengan petunjuk Alquran maka tidak terjadi pertentangan.
Sehingga bisa dikatakan hadis-hadis ini bernilai sahih dan layak dijadikan hujjah.
2. Analisis Asbâb al-Wurûd
Setelah memahami tentang pola hidup sederhana melalui tinjauan sanad
dan matn dari sudut pandang kebahasaan dan keterkaitan dengan ayat
Alquran, maka selanjutnya dilakukan upaya pemahaman hadis melalui tinjauan
asbâb al-wurûd. Maksud tinjauan ini adalah untuk memahami dan mengkaji
situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latar belakang munculnya
hadis tersebut. Jika hanya memahami hadis secara tekstual saja, tanpa asumsi
sosialnya, maka sangat mungkin akan terjadi penyimpangan informasi atau
bahkan kesalahpahaman.
Maksud dari kajian asbâb al-wurûd adalah suatu upaya memahami hadis
Nabi saw. dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat
hadis tersebut disampaikan Nabi saw. Dengan kata lain pendekatan asbâb al-
wurûd adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide
atau gagasan yang terdapat dalam hadis dengan determinasi-determinasi sosial
dan situasi historis kultural yang mengitarinya.45
Pendekatan ini ingin melihat sebab-sebab Nabi saw. Menyampaikan hadis,
dan melihat kondisi sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu
45
Agil Husain al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Atas
Hadis Nabi, Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), cet. ke-
1, h. 26.
61
serta mengamati proses terjadinya.46
Kajian seperti ini sudah ada sejak masa para
ulama terdahulu yang dikenal dengan istilah asbâb al-wurûd yang menuturkan
sebab-sebab mengapa nabi menuturkan sabdanya, dan masa-masa Nabi
menuturkannya. Secara ringkas, memahami hadis nabi saw. dengan pendekatan
asbâb al-wurûd mencakup, waktu, tempat, latar belakang, pelaku dan objek hadis
tersebut.
Setelah diadakan penelusuran dalam kitab-kitab yang membahas tentang
asbâb al-wurûd al-hadîts dan kitab-kitab syarh hadis, penulis tidak menemukan
sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi munculnya hadis tentang pola hidup
sederhana yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setidaknya dengan
melihat kultural bangsa Arab ketika hadis itu muncul sehingga dapat membantu
memberikan pemahaman mengenai hadis-hadis tersebut.
Bangsa Arab sebelum Islam datang hidup dalam masa Jahiliyah, salah satu
pola hidup bangsa arab pada waktu itu adalah ketika mereka mengerjakan haji
hanya memakan makanan yang mengenyangkan saja, tidak mengutamakan
makanan yang dapat menambah gizi dan vitamin yang diperlukan oleh badan.
Islam datang dengan membawa ajaran-ajaran dan norma-norma sama sekali
berbeda dengan kultur Arab masa itu. Islam menetapkan tuntutan-tuntutan dan
tuntunan moral-spiritual yang revolusioner.
Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. yang berbeda dengan
kebiasaan bangsa arab pada waktu itu mengajarkan hidup sederhana tanpa
46
Agil Husain al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, h. 27.
62
bermewah-mewahan dan melampaui batas ketentuan yang tidak wajar, bahkan
dalam hal melaksanakan agama secara berlebih-lebihan itu tidak dianjurkan.47
Dari pemahaman di atas, dapat kiranya dipahami bahwa pola hidup
sederhana sangat dianjurkan dalam hal makan, minum, berpakaian dan bersedekah
bahkan dalam melaksanakan agama pun juga dianjurkan untuk tidak berlebih-
lebihan.
3. Analisis Generalisasi
Setelah menganalisa matn dan realitas historis hadis-hadis tentang
pola hidup sederhana, maka selanjutnya makna-makna yang telah ditemukan
dimaknai secara general dengan cara merangkap makna universal yang tercakup
dalam hadis. Pemaknaan generalisasi pada tahapan ini, membuka jalan bagi
pemaknaan hadis secara global. Pemaknaan hadis Nabi yang tepat, dapat
dijadikan sebagai sebuah usaha merefleksikan teks hadis, hingga berfungsi
sebagai wahana perekam kejadian masa lalu yang mungkin dapat dipahami dalam
memaknai situasi kekinian.
Dengan melihat pemaknaan tekstual dan kondisi sosio-historis munculnya
hadis-hadis tentang pola hidup sederhana dapat ditarik sebuah pesan inti, bahwa
hendaknya setiap manusia untuk berperilaku hidup sederhana seperti makan,
minum, berpakaian dan bersedekah, tidak berlebih-lebihan dan tidak sombong.
Akan tetapi di sisi lain hidup sederhana ini harus juga memperhatikan kebutuhan
gizi dan vitamin dalam rangka menunjang kesehatan. Di samping itu dalam
47
Ibnu Hamzah al-Husainiy an-Nahafiy ad-Dimsyaqiy, Asbabul Wurud, h. 101.
63
berpakaian harus memperhatikan fungsi pakaian tersebut sebagai menutup aurat,
perhiasan, dan perlindungan.
Pada pembahasan sebelumnya bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi
oleh suatu matn sahih ada dua macam, yakni terhindar dari syudzûdz
(kejanggalan) dan terhindar dari ’illat (cacat). Akan tetapi para ulama tidak
serta merta melakukan langkah itu (meneliti syudzûdz dan ’illat) untuk menilai
matn, karena akan timbul beberapa kesulitan. Ada tolok ukur penelitian matn
(ma’âsyir naqd al-matn) yang dipergunakan ulama hadis dalam meneliti matn,
tentunya dalam rangka mengetahui ada tidaknya syudzûdz dan ’illat pada
matn. Para ulama tidak seragam dalam mengajukan tolok ukur ini, melainkan
beragam, disesuaikan dengan masalah yang terdapat pada matn tersebut.48
Adapun tolok ukur yang ditawarkan oleh jumhur ulama untuk
memberikan penilaian terhadap matn hadis, antara lain:
1. Susunannya tidak rancu, sesuai dengan kaidah dan gaya bahasa (Arab);
2. Kandungannya tidak bertentangan dengan akal sehat;
3. Kandungannya tidak bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam;
4. Kandungannya tidak bertentangan dengan sunnatullah (hukum Allah);
5. Kandungannya tidak bertentangan dengan fakta sejarah;
6. Kandungannya tidak bertentangan dengan petunjuk Alquran ataupun hadis
Nabi (mutâwatir);
7. Kandungannya tidak di luar kewajaran, apabila diukur dari petunjuk umum
ajaran Islam.
48
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 25-28.
64
Dengan mengacu pada tolok ukur di atas, maka matn hadis dari
riwayat Ahmad ibn Hanbal tersebut disimpulkan sebagai berikut: susunan
matn-nya beraturan (tidak rancu) dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab,
bahkan sesuai dengan gaya bahasa Arab; jika dilihat isi kandungannya, maka
dapat dengan mudah dipahami; kandungannya juga sesuai atau sejalan dengan
ajaran Islam (Alquran); dan masih dalam batas kewajaran berkenaan dengan
petunjuk umum ajaran Islam.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa matn hadis riwayat Ahmad ibn
Hanbal ini shahîh dan sedangkan kualitas sanadnya lemah (dhaʼîf). Sehingga
natîjah yang diberikan pada hadis ini adalah dhaʼîf pada sanad dan shahîh pada
matn.
E. Pola Hidup Sederhana di Era Modern: Fiqh al-Hadîts dari Tekstual Ke
Kontekstual
1. Pola Hidup Sederhana dan Etos Kerja
Salah satu dari ajaran Islam adalah perintah bekerja. Islam sangat
menganjurkan untuk bekerja, karena tujuan hidup adalah bekerja dengan baik,49
memelihara pemberian Allah swt. dengan sungguh-sungguh,50
dan menciptakan
kekuatan kedalam jiwa manusia.
Kerja adalah sebuah simbol dari kontribusi seorang muslim yang
tidak kenal berhenti. Setiap muslim harus selalu produktif dan memberikan
sesuatu dalam hidup ini hingga akhir hayatnya. Tidak satupun agama,
49
Q.S. adz-Dzariyât (51): 56.
50Q.S. Hûd (11): 61.
65
mazhab, dan sistem lain yang memuliakan amal usaha lebih besar seperti
agama Islam ini.51
Dalam Alquran Allah swt. menekankan pentingnya bekerja mencari
anugerah Tuhan di muka bumi setelah menunaikan ibadah kepada Allah swt.
sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Jumu‟ah ayat 10:
Dari sini dapat dipahami bahwa Anjuran Islam untuk hidup sederhana
bukan berarti melarang seorang muslim untuk kerja keras dan menjadi kaya.
Sebaliknya, Allah justru memuji kekayaan sebagai sesuatu yang terpuji dan secara
implisit dinyatakan bahwa kaya itu lebih baik daripada miskin.52
Dalam ayat yang
lain dengan gamblang ditegaskan bahwa Allah memperbanyak harta seorang
muslim sebagai “pahala dunia”.53
Akan tetapi yang perlu dipahami di sini adalah
sikap sederhana muncul jika seseorang lebih menghargai kualitas hidup yang
lebih dalam, bukan pada gaya hidup yang menampakkan kulit luarnya saja. Hidup
sederhana bukan berarti hidup secara miskin, pelit, dan menyiksa diri sehingga
51
Yusûf al-Qarâdhâwiy, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam (Jakarta:
Rabbani Press, 1997), h. 160.
52Q.S. adh-Dhuhâ 93: 8.
53Q.S. Nûh 71:12.
66
menyebabkan malas bekerja atau mempunyai etos kerja rendah. Sebab malas
bekerja dan rendahnya etos kerja inilah salah satu penyebab kemiskinan.54
Dengan demikian, sikap sederhana ini muncul dari pribadi yang kaya hati,
kuat mengendalikan diri serta peduli terhadap sesama. Juga, hidup sederhana
bukan berarti para pejabat tidak boleh kaya. Namun, akan menjadi lebih baik jika
selama melaksanakan tugasnya terkait dengan publik dapat menunjukkan perilaku
positif dan berempati pada masyarakat yang mengalami kekurangan.
2. Pola Hidup Sederhana dan Pemberantasan Korupsi
Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan
pemerintah Indonesia pada saat ini adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan
semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi
bahkan permasalahan korupsi di Indonesia dapat dikatakan sudah dalam taraf
yang membahayakan. Korupsi terjadi hampir di seluruh lapisan, baik di lembaga
pemerintah seperti Kementerian, perwakilan rakyat (DPR), peradilan, pengusaha
maupun masyarakat. Korupsi di Indonesia sudah bersifat sistemik, artinya tindak
pidana itu dilakukan di semua lembaga negara dari tingkat paling rendah sampai
yang paling tinggi. Selain itu, korupsi juga terjadi di lembaga penegak hukum
yang seharusnya menegakkan hukum seperti kasus di Mahkamah Konstitusi (MK)
yang menyebabkan diberhentikannya Ketua MK M. Aqil Mukhtar.
Menurut Fockema Andreae, istilah korupsi berasal dari bahasa Latin
corruption atau corruptus. Corruption berasal dari kata corrumpere, kata Latin
54
Imas Rosyanti, Esensi al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 180
67
yang lebih tua. Dari bahasa Latin tersebut turun ke banyak bahasa Eropa,
seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan
Belanda, yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda kata itu turun ke
bahasa Indonesia, yaitu korupsi.55
Dalam bahasa Arab dikenal istilah riswah,
artinya penggelapan, kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan
kebenaran. Suatu tindakan dapat digolongkan sebagai perbuatan korupsi
kalau tindakan itu menyalahgunakan sumber daya publik, yang tujuannya
untuk memenuhi kepentingan pribadi atau kelompok.
Istilah korupsi yang terdapat di Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan,
dan uang sogokan. H.A. Brasz mendefinisikan korupsi sebagai suatu yang
berhubungan dengan pengkhianatan terhadap kekuasaan. Korupsi merupakan
penggunaan secara diam-diam kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain, dengan menyalahgunakan wewenang yang dimiliki.56
Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, di antaranya
adalah faktor politik, ekonomi, budaya. Dari aspek politik, kekuasaan politik
merupakan aspek paling dominan bagi tumbuh suburnya perbuatan korupsi.
Kemudian dari aspek ekonomi adalah karena kondisi ekonomi yang carut-marut,
keadilan yang tidak merata menyebabkan korupsi bisa tumbuh dengan suburnya
dari tingkat yang paling rendah sampai dengan paling tinggi kedudukan dan
55
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 4
56Mochtar Lubis dan James Scott, Bunga Rampai Korupsi (Jakarta: LP3ES, 1985),
h. 4.
68
jabatannya. Terlebih lagi gaya hidup yang hedonisme dan konsumtif semakin
meluas sehingga membuat kebutuhan hidup semakin tinggi. Ketika kebutuhan
hidup semakin tinggi sedangkan uang yang dimiliki tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, maka di sini lah munculnya peluang keinginan
untuk melakukan korupsi.57
Di samping faktor politik dan ekonomi sebagaimana dikemukakan di atas,
dalam kehidupan modern ini sifat yang dapat memicu munculnya perilaku korupsi
adalah antara lain sifat tama, yaitu sifat loba dan sifat al-hirs, yaitu sifat keinginan
yang berlebih-lebihan terhadap materi.58
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk melakukan
pemberantasan korupsi sehingga berhasil mencegah timbulnya niat seseorang
untuk melakukan korupsi dan menghilangkan kesempatan bagi seseorang untuk
tidak berbuat korupsi. Ahmad Baidowi menawarkan tiga alternatif pendekatan
yang bisa dilakukan, yaitu pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi
terjadi, pendekatan pada saat korupsi terjadi dan pendekatan setelah korupsi
terjadi. Salah satu langkahnya adalah menjadikan Nabi saw. sebagai seorang
teladan.59
Dan salah satu teladan yang patut untuk dicontoh adalah kehidupan
beliau yang sangat sederhana meskipun beliau seorang Nabi, pemimpin umat,
pejabat pemerintahan, kepala negara. Meski beliau memiliki kedudukan
terpandang di masyarakat, beliau tidak terobsesi dan berkeinginan untuk
57
Ahmad Baidowi, “Pemberantasan Korupsi dalam Perspektif Islam” dalam Jurnal
Esensia, Vol. 10 No. 2, Juli 2009, h. 145.,
58M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. ke-
2, h. 181.
59Ahmad Baidowi, “Pemberantasan Korupsi, h. 148.
69
memamerkan kedudukannya. Rumah beliau sangat sederhana, alas tidur pun
hanya pelepah daun kurma yang membekas di pipi beliau setiap kali bangun tidur.
Sikap hidup sederhana ini pulalah yang dibudayakan oleh para khalifah
sepeninggal Nabi Muhammad saw.
Untuk itulah seorang muslim yang mampu meneladani sifat-sifat
Rasulullah dalam melaksanakan amanat sebagai seorang pemimpin, pejabat,
dengan menerapkan pola hidup sederhana, maka peluang untuk melakukan tindak
korupsi akan dapat dihindari. Prinsip sederhana ini adalah meninggalkan hal-hal
yang berlebih-lebihan, menunjukkan sifat hemat, hidup sederhana, meninggal
kehidupan kemewahan yang tidak wajar.
Di samping itu sederhana juga dapat menumbuhkan sikap berwawasan
hidup moderat, tidak terjerat oleh hawa nafsu rendah yang menyebabkan pada
lupa diri dan Tuhannya, hidup sederhana juga bertujuan untuk mewujudkan tata
pemerintahan yang lebih baik dan bersih dari korupsi di lingkungan pejabat.
Sehingga akan tercapai kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.