BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA...
Transcript of BAB III KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA...
36
BAB III
KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA
BAGI MASYARAKAT ETNIK TIONGHOA DI KOTA SEMARANG
3.1. Sejarah Kedatangan Etnik Tionghoa di Kota Semarang
Menurut J.R. van Berkum dan Muhammad Husayn, bahwa jauh sebelum
rombongan Cheng Ho datang ke Semarang telah ada pemukiman orang-orang
Tionghoa di sekitar pelabuhan Gedung Batu (Simongan) cukup beralasan karena
berdasarkan barang-barang kuno yang berhasil ditemukan misalnya: tembikar,
guci, dan sejenisnya di beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat,
Lampung, Batanghari (Riau), dan Kalimantan Barat. Benda lain yang ikut
memberikan kemungkinan tersebut, ditemukannya sejumlah genderang perunggu
berukuran besar di Sumatera Selatan. yang mempunyai kesamaan dengan
gcnderang perunggu Tiongkok pada masa Dinasti Han. Termasuk dalam budaya
Dongson atau Heger Type I yang diproduksi di desa Dongson, sebuah desa kecil
di propinsi Thanh Hoa, Teluk Tonkin (sebelah utara Vietnam) pada tahun 600 SM
sampai abad 3 M1 (Setiono, 2002:17).
Bermula dari dugaan-dugaan tersebut dapat ditarik kesimpulan, hubungan
lalu lintas antara orang-orang Cina dari daratan Cina dengan Nusantara telah
berlangsung lama. Berdasarkan kronik (catatan berbagai peristiwa yang disusun
berdasarkan urutan waktu) dan cerita dalam Dinasti Han maka pada masa
1 Setiono, Benny G. 2002. Cina Dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa. Hlm. 17.
37
pemerintahan Kaisar Wang Ming atau Wang Mang (1-6 SM), ternyata Tiongkok
telah mengenal Nusantara yang disebut Huang-Tse.
Perjalanan pulang pergi dari Tiongkok ke Nusantara memerlukan waktu
satu tahun karena pengaruh musim, sehingga banyak pengembara (pedagang) dari
daratan Cina yang harus tinggal selama enam bulan dan akhirnya jatuh cinta
dengan negeri yang kaya ini. Apalagi kalau dibandingkan dengan negeri tempat
mereka berasal, yang tandus dan banyak terjadi bencana alam dan peperangan
yang berkepanjangan.
Pada masa kerajaan Airlangga terdapat koloni-koloni Cina yang menetap
antara lain di Tuban, Gresik, Jepara, Lasem, dan Banten. Satu hal yang penting
adalah orang-orang Cina mau dan dapat memepertahankan kependudukannya.
Karena mereka diterima oleh penduduk pribumi setempat untuk membaur dan
hidup berdampingan dengan damai2.
Menurut catatan yang ada, orang-orang Cina mulai berdatangan ke
Indonesia pada abad IX yaitu pada masa pemerintahan Dinasti Tang untuk
berdagang dan mencari kehidupan baru. Ketika Laksamana Cheng Ho
mcngunjungi Jawa, Cheng Ho menjumpai berbagai pemukiman yang luas dari
para pedagang Cina yang tiba pada akhir abad XIV. Sekalipun pada masa itu,
kaisar Zhu Yuanzhang dengan tegas melarang orang Cina melakukan
perdagangan dan perjalanan ke luar negeri sendiri-sendiri. Dalam sejarah
diketahui pada zaman Mataram kuno kira - kira abad VII, Semarang sudah
merupakan pelabuhan penting. Sekarang letaknya disekitar Pasar Bulu di kaki 2 Toer, Pramoedya Ananta. 1998. Hoakkiau di Indonesia. Jakarta: Garba Budaya. Hlm.
206-211.
38
bukit Bergota yang terdiri dari beberapa bukit kecil, seperti Bukit Brintik (kini
masih bisa dilihat di perbukitan belakang Gereja Kathedral) dan Bukit Mugas
(sekarang terdapat gedung PTP dan Universitas Stikubank di belakang pom
bensin) hingga daerah Tlogo Bayem. Di sebelah selatan dan barat Bukit Bergota
terdapat antara lain bukit Candi dan Bukit Simongan yaitu daerah sekitar Gedung
Batu sekarang. Waktu itu pendatang-pendatang dari daratan Tiongkok sudah
banyak yang bermukim di sana.
Tidak diketahui secara pasti, siapakah orang Cina yang pertama kali
bermukim di sekitar pelabuhan Gedung Batu. Meski dalam arsip Kongkoan atau
Chineese Road yaitu institusi resmi orang Cina yang terdiri dari Mayor, Kapten,
dan Letnan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda untuk mengurusi masalah-
masalah ringan dalam kelompok mereka seperti pencatatan perkawinan yang
terdapat di setiap kota besar di Indonesia, disebutkan bahwa Sam Poo Tay Djien
atau Cheng Ho adalah yang pertama kali menginjakkan kakinya di tanah
Semarang. Cheng Ho, Zheng He, The Hoo, Sam Poo adalah satu nama yang
dibelakang hari menjadi semacam “tokoh mitologi” yang sangat dikeramatkan
dikalangan etnik Tionghoa bahkan sampai sebagai dewa diberbagai kelenteng
dengan sebutan “Sam Po Kong” oleh para penganut Konfusianis. Sebuah
anakhronisme, Maestro Cheng Ho pun di kemudian hari dikenal dengan banyak
sebutan, diantaranya adalah Sam Po Tay Djien, Sam Poo Tay Kam, Sam Poo Toa
Lang3. Cheng Ho adalah utusan dari Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming untuk
3 Hidayatullah, A.F. 2005. Kelenteng Sam Po Kong (Ekspresi Kebudayaan Cina Jawa
Islam di Kota Semarang. Semarang. Skripsi Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo.
Hlm. 35.
39
mengadakan pelayaran ke daerah-daerah di Lautan Selatan dari tahun 1405
sampai tahun 1433 dan mungkin telah mengunjungi Semarang pada tahun 14064
(Kasmadi dan Wiyono, 1985:77). Yang jelas, mereka menganggap leluhurnya
untuk pertama kali datang di Indonesia adalah mendarat di Bantam (Banten).
Kemudian berpencar ke daerah lain seperti Jepara, Lasem, Rembang, Demak,
Tanjung, Buyaran, dan akhirnya sampai ke Semarang.
Wang Jinghong (Ong King Hong), sang jurumudi dan sepuluh awak kapal
lainnya yang ditinggal di Semarang oleh rombongan besar Laksamana Cheng Ho
ketika hendak meneruskan perjalanannya ke Tuban, karena Wang Jinghong sakit
keras dan setelah sembuh dengan dibantu oleh awak kapal yang ikut ditinggal,
mereka membuka pemukiman baru di sekitar pelabuhan Gedung Batu
(Simongan). Tidak jauh dari tempat mereka tinggal memang telah ada pemukiman
penduduk yang dihuni oleh penduduk asli dan warga etnik Cina yang lebih
dahulu datang ke Semarang.
Belakangan orang-orang etnik Cina yang merantau ke Semarang memilih
bertempat tinggal di sekitar Kelenteng Sam Po Kong karena Gedung Batu
memiliki Hong-sui (Geomancy) yang bagus dibandingkan dengan daerah lain di
Semarang yang waktu itu masih berupa tegalan dengan beberapa rumah penduduk
yang letaknya berdampingan dengan rawa-rawa ataupun comberan, disamping
untuk "ngalap berkah" dari Sam Po Kong.
4 Kasmadi, Hartono. dan Wiyono. 1985. Sejarah Sosial Kota Semarang (1900-1950).
Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi
dan Dokumentasi Sejarah Nasional. Hlm. 77.
40
Tidak jauh dari pemukiman Gedung Batu tinggallah seorang etnik
Tionghoa benama Souw Pan Djiang yang jago silat dan di rumahnya sering
diadakan semacam diskusi dengan warga etnik Tionghoa yang lain tentang kiat-
kiat berdagang di Semarang. Sekarang daerah tersebut dikenal dengan nama
Panjangan, dulu disebut sebagai desa Sepanjang, yang berasal dari kata Pan-
Djiang yang merupakan dua kata terakhir dari nama Souw Pan Djiang5 (Liem
Thian Joe, 1933). Kebanyakan orang-orang Cina yang merantau ke Semarang
ataupun daerah lain mayoritas adalah pedagang berbagai jenis barang khas daratan
Tiongkok seperti tembikar, porselen, kain sutera dan lain sebagainya. Kebiasaan
dari mereka (pedagang Cina) adalah membawa uang tangci sebagai alat
pembayaran yang sah. Lantaran bentuknya yang persegi dan berlubang
ditengahnya, dan ketika mereka hendak bepergian selalu merenceng (merangkai)
uang tersebut dan melilitkannya di pinggang. Saat itu, penduduk Semarang
menyebutnya uang Kentang, sedangkan penduduk di wilayah Kedu seperti
Magelang, Temanggung, Kebumen, dan Purworejo menyebutnya dengan uang
Gobok.
Sebelum kedatangan orang Belanda, penduduk etnik Tionghoa di
Semarang atau daerah lain di Indonesia hidup damai dengan penduduk setempat.
Mereka hidup membaur dan berkulturasi dengan budaya masing-masing.
Disamping berdagang. orang etnik Tionghoa juga bermata pencaharian sebagai
petani dan tukang. Umumnya mereka tidak membawa serta istri dari Tiongkok
5 Joe, Liem Thian. 1933. Riwayat Semarang: Dari Djamanja Sam Po Sampe
Terhapoesnja Kongkoan. Tjitakan Pertama. Semarang-Batavia: Boekhandel-Ho
Kim Yoe.
41
dan menikah dengan perempuan local sehingga lahirlah keturunan campuran yang
biasa disebut peranakan dan telah merasa menjadi orang Indonesia. Meski
demikian, orang Indonesia pada umumnya memandang orang etnik Tionghoa
terbagi kedalam dua golongan, yaitu Peranakan dan Totok.
Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan faktor kelahiran saja,
artinya orang Peranakan itu tidak hanya yang lahir di Indonesia, hasil perkawinan
silang antara orang etnik Tionghoa dan orang Indonesia. Sedangkan orang Totok
bukan hanya orang etnik Tionghoa yang asli kelahiran Cina. Akan tetapi
penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian dan akulturasi
dari para perantau etnik Tionghoaterhadap kebudayaan Indonesia yang ada di
sekitarnya. Sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi
para perantau itu telah berada di Indonesia dan kepada intensitet perkawinan
campuran yang telah terjadi di antara para perantau itu dengan orang Indonesia.
Penggolongan diatas jelas bermuatan politis, sebagaimana sentimen anti-Cina
yang dihembuskan oleh pemerintah Belanda ketika menjajah Indonesia, kemudian
diperburuk lagi oleh pemerintahan pada masa Presiden Soeharto6. Orang-orang
Cina seperti yang tinggal di kota-kota lain, dibedakan antara peranakan dan totok.
Peranakan adalah yang sudah lama tinggal di Indonesia, sudah berbaur dengan
masyarakat pribumi, berbahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat, dan
6 Vasanty, Puspa. 2002. Kebudayaan Orang-Orang Cina di Indonesia. dalam
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan ke-19. Jakarta:
Djambatan. Hlm. 353-357.
42
berperilaku seperti pribumi. Adapun totok, adalah orang-orang Cina pendatang
baru, yang datang baru sekitar satu0dua generasi, dan berbahasa Cina7
Major William Thorn dalam buku laporannya selaku Deputy Quarter-
Master General to the Forces Serving in Java, menyatakan orang-orang Cina
tidak membawa istri dari Tiongkok karena memang ada larangan untuk membawa
atau mengirim perempuan keluar dari Tiongkok. Mereka pada umumnya
mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan
gundik atau istri. Tidak kurang dari 5.000 orang etnik Tionghoa yang segera
datang ke Batavia kemudian menyebar ke seantero Jawa begitu mendengar kabar
bahwa Inggris telah merebut Pulau Jawa8.
Migrasi wanita etnik Cina ke Asia tenggara baru di mulai pada abad ke-l9
dan awal abad ke-20. Sebelumnya imigran etnik Tionghoa hanya terdiri laki-laki
saja. Migrasi wanita etnik Tionghoa ini bertalian dengan fasilitas penggunaan
kapal api dan murahnya tarif angkutan. Sejak itu migrasi orang etnik Tionghoa
baik laki-laki maupun perempuan meningkat tajam.
Menyinggung soal kemurnian penduduk Indonesia, Dr.Josef Glinko
(2000), pakar antropolog Universitas Airlangga menyatakan, khusus untuk
masyarakat Cina sebagai mereka yang telah ratusan tahun meninggalkan tanah
airnya, memang hanya pria. Dengan demikian, mau tk mau mereka lantas kawin
dengan para wanita disini, jadilah keturunannya anak beranak ikut menghuni
Indonesia. “Lha, mana yang tetap non pribumi kalau begini? Hanya orang bodoh
yang mempersoalkanya........”.
7 Rustopo. 2007. Menjadi Jawa.Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hlm. 62-68.
8 Setiono, Op.cit. 53-54.
43
Kota Semarang telah diciptakan sebagai sebuah kota oleh van Bamellen di
tahun 1659 merupakan pelabuhan penting di jalur pantai utara Jawa. Yang mana
keadaannya sangat menarik perhatian berbagai pedagang yang datang dari Arab,
India, Persia, Cina, dan tak ketinggalan pula orang-orang Eropa. Orang Eropa
yang pertama kali datang ke Semarang adalah orang Portugis, menetap di sekitar
“kota lama” (Heerenstraat), yaitu sekitar Gereja Blenduk. Sedangkan Belanda
masuk Semarang mulai awal abad ke-17.
Pada masa itu, Semarang merupakan sebuah Kadipaten dibawah
kekuasaan Kerajaan Demak yang kemudian jatuh dalam kekuasaan Mataram
dibawah pimpinan Amangkurat I. Sewaktu terjadi peperangan antara Pangeran
Trunojoyo melawan pihak Mataram dibawah pimpinan Raja Amangkurat II,
Souw Pan Djiang bersama warga etnik Tionghoa lainnya yang menguasai ilmu
silat, berada di pihak Trunojoyo.
Pihak Mataram terdesak sampai di Kartasura. Penguasa Kartasura
meminta bantuan kepada Mataram. Hingga Amangkurat II mengambil keputusan
untuk meminta bantuan kepada VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie),
yaitu kongsi dagang Belanda yang mempunyai tugas mengatur (memonopoli)
perniagaan di negeri jajahan Pemerintahan Belanda. Orang Jawa menyebutnya
Kumpeni, dan orang etnik Cina menyebutnya Kong Pan Ge9.
VOC tersebut bertugas menumpas para pemberontak Trunojoyo. VOC
atau Kompeni berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Informasi tentang
tahun terjadinya peristiwa pemberontakan tersebut berbeda-beda, misalnya dalam
9 Hidayatullah. Op.cit. 53.
44
Arsip Kongkoan disebutkan terjadi pada tahun 1628, padahal menurut A.J.
Eijkman dalam bukunya Geschiedenis van Nederland Oost-Indie disebutkan
bahwa Kartasura baru didirikan oleh Amangkurat II pada tahun 1678, sedangkan
menurut Raffles dalam bukunya Raffles History of Java disebutkan bahwa
pemberontakan tersebut terjadi pada tahun 173110
.
Sebagai imbalannya, pihak Mataram menyerahkan daerah Semarang
kepada Kompeni. Semarang resmi dibawah kekuasaan Kompeni sejak tanggal 15
Januari 1678. Dalam Arsip Kongkoan karya dari Liem Thian Joe, peristiwa itu
terjadi pada 15 Januari 1724. Namun pada tahun 1799 VOC mengalami bangkrut
sehingga Semarang diambil alih oleh pemerintah Belanda yang secara otomatis
diterapkan pemerintahan kolonial Belanda.
Perpindahan pemukiman orang-orang etnik Tionghoa yang lazim disebut
pecinan, dari Gedung Batu ke tempat sekarang yang merupakan wilayah
Kelurahan Kranggan, adalah bermula dari perlawanan orang-orang etnik
Tionghoa di Batavia (Jakarta) pada tahun 1740 yang mengakibatkan terbunuhnya
10.000 orang etnik Cina. Pada tahun 1743 pemberontakan tersebut dapat
ditumpas oleh Belanda.
Untuk mengantisipasi peristiwa serupa, pemerintah Belanda di Semarang
memaksa pindah orang-orang etnik Tionghoa di Gedung Batu untuk bermukim di
Semarang yaitu di daerah Kali Semarang agar mudah diawasi. Daerah-daerah itu
meliputi daerah sekitar Beteng, Wotgandul, Cap Kau King, Gang Pinggir, dan
Kali Koping. Untuk pengawasan dibangunlah sebuah gedung sebagai tangsi
10
Ibid. Hlm.52
45
militer di ujung Bojong tepatnya di jalan Djurnatan. Gedung tersebut di namakan
“De Werttensbergse Kazerne”. Namun sekarang gedung itu telah dimusnahkan,
menjadi kawasan pertokoan Semarang Plaza.
Alasan Belanda memindahkan orang-orang etnik Tionghoa yaitu agar
mudah diawasi dan untuk menghambat kontak hubungan dengan warga etnik
Tionghoa di daerah lain. Oleh karena itu Belanda memperkenankan warga etnik
Tionghoa untuk mendirikan tempat tinggalnya dimana saja asal masih dalam
wilayah yang ditetapkan oleh penguasa.
Untuk sebelah utara, selatan dan timur yaitu berbatasan dengan kali
Semarang. Kali Semarang itu mengalir dan memutar diantara Cap Kauw King,
Gang Pinggir, dan Pekojan yang pada waktu itu merupakan akses terpenting
sebagai jalur perdagangan dari pelabuhan menuju ke daerah-daerah pedalaman.
Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan sebuah tegalan yang dinamakan
Beteng11
. Akibatnya orang-orang etnik Tionghoa lalu mendirikan bangunannya
sekenanya saja, sampai sekarang masih bisa kita lihat bekas-bekasnya, misalnya,
jalan di Gang Baru sebelah selatan sedikit lebar, sedangkan yang disebelah utara
sangat sempit.
Selanjutnya, kota Semarang semakin maju perdagangannya. Orang-orang
etnik Tionghoa ramai mengembangkan kebiasaan dari negeri moyangnya yaitu
judi. Pusat perjudian terkonsentrasi di daerah Gang. Pinggir, tepatnya di ujung
Gang Tjilik. Dampak dari ramainya perjudian di kawasan baru tersebut adalah
berdiri pula tempat-tempat pegadaian. Dimana para penjudi yang tidak hanya
11
Joe.Op.cit. Hlm. 6.
46
orang etnik Tionghoa, pendatang dari India, Arab, Persia, Belanda dan juga orang
Jawa sendiri pun ikut serta agar mudah mendapatkan uang. Pihak Belanda pun
memungut pajak judi. Dan pada tahun 1724 pemerintah Belanda mengeluarkan
uang resmi. Meski di Semarang waktu itu telah beredar pula uang Gobok (Tangci)
dan Real. Uang resmi yang dikeluarkan Belanda disebut dengan Hollandsche
Duitten. Sementara uang Gobok berlaku hingga tahun 1855, kemudian diganti
dengan uang Cent12
(Tio,tth:21).
Perlu untuk diketahui, saat itu kali Semarang masih jernih dan dalam,
sehingga kapal-kapal berukuran sedang bisa masuk dan bersandar di Kali Koping
Gang Pinggir yang kemudian membawa kemajuan pesat bagi daerah Pecinan
sampai ke arah timur yang sekarang dikenal dengan nama Petudungan.
Pembauran antara warga etnik Tionghoa dengan penduduk asli maupun dari suku-
suku lain yang mayoritas beragama Islam dengan ditunjang adanya sebuah
Pesantren, membawa Petudungan berkembang pesat hingga hutan-hutan dibuka
untuk pemukiman baru dan jalan sebagai akses menuju Demak terutama melewati
jalan Ambengan.
Setelah peristiwa pembantaian orang etnik Tionghoa pada bulan Oktober
1740 oleh Kompeni Belanda, terjadilah pengungsian besar-besaran dari Jakarta ke
daerah Jawa Tengah. Maka terbentuklah konsentrasi pemukiman etnik Tionghoa
di Semarang, dan di sana berdirilah kelenteng-kelenteng seperti Kwee Lak Kwa
(TITD Sinar Samudera), Tay Kak Sie, dan lain sebagainya.
Kemudian pada tahun 1797, pihak Belanda membuka hutan-hutan di
12
Tio. Op.cit. Hlm.21.
47
daerah Pekojan yang pada saat itu dikenal sebagai tempat bermukimnya orang
Koja, yaitu warga keturunan India yang menikah dengan penduduk asli setempat.
Pembukaan hutan tersebut untuk kenyamanan warga Belanda. Akibatnya
pekuburan etnik Tionghoa dipindahkan di kaki bukit Candi, yaitu disekitar jalan
Sriwijaya, jalan Gergaji, dan jalan Diponegoro atau jalan Siranda. Untuk
keperluan acara pemindahan kuburan tersebut, warga etnik Tionghoa mengadakan
upacara besar-besaran untuk menolak bala. Untuk mengenangnya dibuatlah
inskripsi yang bertuliskan "Lam Boe 0 Mie Too Hoet Kian An", yang dipahatkan
di ujung jalan Petolongan yang tembusannya sampai jalan Pekojan13
.
Dalam perkembangannya, daerah Pekojan masuk ke dalam wilayah
Pecinan. Seiring bertambahnya pendatang yang bermukim, menyebabkan
pelebaran daerah Pekojan. Sampai-sampai bekas penjara di pojok perempatan
Djurnatan pun diubah menjadi pusat pertokoan.
Untuk keamanan daerah Pecinan, warga etnik Tionghoa mengajukan izin
kepada pemerintah Belanda selaku penguasa agar diperbolehkan membangun
pintu gerhang di empat penjuru daerah Pecinan. Pertama, di jalan Sebandaran
yang menikung ke arah jalan Jagalan. Kedua, di sudut jalan Cap Kau King
berbatasan dengan jalan Benteng. Ketiga, di jalan Gang Warung. Dan keempat, di
seberang jembatan Pekojan. Akhirnya pada tahun 1811, Semarang jatuh ke tangan
Inggris. Ketika itu Gubernur Jenderal Hindia-Belanda adalah Jenderal Jannssens.
Penyerahan kekuasaan dilakukan di Benteng Ungaran yang sekarang menjadi
sebuah asrama.
13
Ibid. Hlm. 21
48
Setelah perjanjian Dwi Kewarganegaraan RI-RRC yang berlaku mulai 15
Desember 1960, orang-orang Etnik Tionghoa yang semula berstatus warga negara
asing (WNA), ada yang memilih menjadi WNI, tetapi ada pula yang menolak atau
ditolak sebagai WNI. Status hukum WNI berdasarkan perjanjian Dwi
Kewarganegaraan RI-RRC itu dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Inpres
Nomor 2 Tahun 1980 dan Kepres Nomor 13 Tahun 1980. Orang-orang Etnik
Tionghoa WNI kemudian menerima SBKRI dari Camat setempat atas nama Ketua
Pengadilan Negeri.
3.2. Sejarah Masuknya Agama Tao di Kota Semarang
Agama Tao berasal dari negeri Tiongkok (China) sejak 7000 tahun yang
lalu, umumnya agama Tao diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Huang Di) karena
beliau yang pertama kali memperkenalkan nilai-nilai Tao dalam menjalankan
pemerintahannya. Dikembangkan oleh Lao Tzu dengan Kitab Suci Tao De Jing
yang ditulisnya, kemudian oleh Zhang Tao Ling mengkodifikasikan ritus-ritus
keagamaan Tao seperti tentang bagaimana cara memuja (sembahyang) pada Dewa
dengan baik dsb, sehingga ajaran-ajaran Tao menjadi sebuah institusi keagamaan
yang well organized.
Diyakini bahwa agama Tao masuk dan berkembang di Indonesia sejak
abad 6 SM seiring dengan masuknya etnik Tionghoa pada wilayah Nusantara
yang dapat dibuktikan dengan kronik bangsa Han yang saat itu berada dibawah
kepemimpinan Kaisar Wang Ming, para pendatang dari daratan China ini masuk
membawa agama-agama yang berkembang di negeri Tiongkok sambil melakukan
49
kegiatan perdagangan. Agama-agama yang berkembang di Tiongkok selain agama
Tao, adalah Khonghucu dan Buddha, para pendatang ini mengaplikasikan nilai-
nilai kegamaan dalam ajaran Tao dengan membangun sejumlah kelenteng sebagai
tempat ibadah.
Dan pada masa-masa pelayaran Laksamana Cheng Hoo antara tahun
1405-1433 telah menemukan akulturasi budaya antara Tiongkok-Nusantara
dengan adanya sejumlah kelenteng yang tersebar di seluruh wilayahnya, dan
diantara sejumlah kelenteng itu adalah Jin De Yuan yang dilukiskan oleh seniman
Belanda F.Velentjin pada tahun 1726 tapi sayangnya kelenteng ini kemudian
terbakar habis saat terjadi peristiwa berdarah bagi etnik Tionghoa di Batavia tahun
1740 14
.
Kedatangan agama Tao di Kota Semarang tidak dapat diketahui dengan
pasti, akan tetapi banyak tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh agama di
daerah ini yang mengaitkan dengan datangnya etnik Cina di Kota Semarang
khususnya, dan di Jawa pada umumnya. Hal ini ditandai dengan jatuhnya dinasti
Ming pada tahun 1683 yang mengakibatkan timbulnya gelombang imigran besar-
besaran bangsa Cina ke berbagai bangsa di Asia tenggara, salah satunya
Indonesia. Orang Cina yang datang ke Indonesia sebagian besar berasal dari dua
propinsi, yakni Propinsi Fujien (Fukien) dan Guangdong (Kwan Fu)15
.
Adanya gelombang imigran tersebut berkaitan dengan iklim politik yang
kurang menguntungkan di negeri Tiongkok, karenna pada dinasti Qing tidak
14
Setiono. Op.cit. Hlm.26. 15
Dewi. Shinta, ISR., 2005, Boen Bio, Benteng Terakhir Umat Khonghucu, Surabaya :
Penerbit JB. Books. Hlm. 2.
50
memberi keleluasaan atau kebebasan kepada orang Cina. Selain itu, keadaan alam
yang kurang subur juga turut mendoorong terjadinya migrasi tersebut. Oleh
karena itu, orang-orang Cina tersebar kemana-mana, terutama suku Hokkian dan
suku Kwong Fu (Kanton). Orang-orang Hokkian lebih banyak berdiam di Jawa
dan menjalankan profesinya sebagai pedagang, sedangkan orang Kwan Fu lebih
banyak berdiam di Sumattera dan kalimantan Barat, serta menjalankan profesinya
sebagai pekerja di perkebunan dan pertambangan.
Kedatangan orang-orang Cina tersebut telah membawa tradisi-tradisi
leluhurnya dan atau budaya-budaya leluhurnya yang sudah lama berkembang di
daerah asalnya, seperti: agama dan kepercayaan tradisonal. Hal ini sebagaimana
yang dikemukakan oleh Tan I Ming (Wawancara, 21 Mei 2014), bahwa banyak,
kalau bukan sebagian besar masyarakat dari daratan Cina yang mengenal dan
memeluk agama, seperti Kong Hu Cu dan Tao. Bahkan, pada abad ke 17 sudah
ada bangunan-bangunan tua di Kota Semarang yang bernama klenteng, seperti
Klenteng Siu Hok Bio di Wotgandul Timur. Konon, klenteng ini didirikan pada
tahun 1753 oleh komunitas etnik Tionghoa yang dikenal sebagai klenteng tertua
di Kota Semarang. Di klenteng ini, dewa utama adalah Hok Teng Tjeng, yang
merupakan dewa utama dalam ajaran Taoisme.
Selain itu, di Kota Semarang juga terdapat bangunan klenteng tua yang
disebut “Klenteng Tay Kak Sie”. Klenteng ini dibangun sekitar tahun 1746,
sebagaimana tertulis pada pintu masuk klenteng Tay Kak Sie itu. Pada awalnya,
Klenteng Tay Kak Sie ini digunakan untuk memuja Yang Mulia Dewi Welas Asih
Koan Sie Im Po Sat. Dalam perkembangannya, klenteng tersebut digunakan
51
sebagai tempat pemujaan berbagai Dewa Dewi dari aliran Tao maupun
Konfusianisme. Hal ini ditandai dengan adanya ornamen-ornamen dan atau
simbol-simbol yang berhubungan dengan kepercayaan Tao, dan Konfusianisme,
seperti: atap klenteng yang berhiaskan sepasang naga sedang memperebutkan
matahari. Naga dalam mitologi Cina merupakan binatang yang melambangkan
keadilan, kekuatan, dan penjaga barang-barang suci. Naga atau Liong mempunyai
makna sebagai lambang kejayaaan atau kemakmuran karena persatuan dari
berbagai unsur yang ada. Selain itu, di atas klenteng terdapat simbol singa atau
qillin sebagai lambang panjang umur, kemegahan, kebahagiaan, kebajikan, dan
kebijaksanaan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa agama Tao sudah masuk di tanah Jawa,
khususnya Kota Semarang. Bahkan, jauh sebelum itu agama Tao telah masuk di
tanah Jawa sekitar abad ke 15. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh
Hariyono16
bahwa pada abad ke 15 telah ada orang Cina di Jawa yang beragama
Tao. Hal ini dapat dilihat ketika Raden Patah ingin menegakan Islam di tanah
Jawa, dimana seluruh pantai utara dikuasainya. Namun, ketika sampai di
Semarang (di sekitar Sam Po Kong), pasukan tidak menaklukkan orang yang tidak
beragama Islam, karena penduduk disitu memiliki kemahiran membuat kapal
yang akan berguna untuk melebarkan kekuasaan Demak. Bahkan, Pengrajin kapal
ini ikut membantu menyelesaikan masjid Demak.
16
Rahmadani, Arnis, 2007, Religi Etnis Cina di Jawa, Semarang: Balai Litbang Agama
Semarang. Hlm. 62.
52
Bagi umat Tao, ritual keagamaan berada di tempat-tempat peribadatan
Tridharma (TITD) yang dikenal dengan sebutan klenteng, sedangkan klenteng
pada hakikatnya merupakan tempat ibadat bersama bagi umat Tridharma. Sebagai
ciri umat Tridharma adalah terbiasa untuk menghargai dan merasa ikut memiliki
kedua ajaran yang lain, meskipun biasanya setiap orang condong pada satu ajaran
saja17
.
Di Tiongkok, konsep semacam ini dikenal dengan “Sam Kauw” dalam
dialek Hokkian berarti tiga (sam) agama/ajaran (kauw), yang dimaksud adalah tiga
ajaran yang meliputi Taoisme, Budhisme, dan Konfusianisme. Di Indonesia,
konsep “sam kauw” dikenal dengan istilah “Tridharma” yang didirikan oleh Kwee
Tek Hoay pada tahun 1934.
Etnik Tionghoa sangat menghargai nilai-nilai kemuliaan keluarga
berdasarkan ajaran-ajaran baik dari agama Tao, Khonghucu dan juga agama
Buddha, ketiga agama ini telah tersinkretasi menjadi suatu pranata nilai yang ajeg
dalam budaya Thionghoa. Medio tahun 1930-an para tokoh dari kalangan etnik
Thionghoa merasa bahwa semakin banyak anggotanya yang melupakan nilai-nilai
luhur tersebut, dimulai dengan adanya Thiong Hwa Hwee Kwan (THHK) yang
merupakan organisasi yang berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Khonghucu hadir
untuk mengembalikan masyarakat Thionghoa untuk kembali menegakkan prinsip-
prinsip luhur budaya timur yang telah terkikis oleh kapitalisme barat. Kehadiran
THHK membawa semangat baru bagi Kwee Tek Hoay untuk mendirikan Sam
Kauw Hwee (San Jiao Hui, yakni Masyarakat Tiga Agama), tujuan organisasi ini 17
Herman Jaya, David. 2013, Bahan Penataran Dharmaduta Tridharma Jawa Tengah,
Semarang : PTITD se-Indonesia. Hlm. 7.
53
adalah mempersatukan, menyebarluaskan ajaran tiga agama (Tao, Khonghucu,
dan Buddha).
Tapi pada dasarnya organisasi ini lebih bersifat kekeluargaan bagi intern
etnik Tionghoa, dan tidak bermaksud untuk memfusikan ketiga agama menajdi
satu agama tunggal sebagaimana yang diungkapkan oleh D.E.Willmott, sebagai
berikut:
“Ajaran tumimbal lahir tidak diselaraskan dengan ajaran leluhur, dan cara-
cara hidupyang agak berbeda yang disiratkan dalam Kesalehan
Khonghucuisme, Peninggalan Keduniawian Budhisme, dan Kepasifan
Taoisme, dianjurkan secara terpisah atau bersama. Banyak anggota dan
penceramah terutama merupakan penganut dari salah satu dari ketiga
agama itu, sementara meminjam gagasan-gagasan yang sesuai dari dua
yang lain” (Suryadinata, 2002:180).
Organisasi Sam Kauw Hwee inilah yang kemudian beralih nama menjadi
Tri Dharma pada masa-masa setelah G 30S PKI yang menstigmaisasi Tionghoa
baik secara kultural, politik, dan ini berdampak dengan enggannya pemerintah
mengakui kedua agama Tiongkok (Tao dan Khonghucu) sebagai sebuah agama,
lain halnya dengan agama Budha yang lebih dikenal di Indonesia (karena agama
Budha sebelumnya telah menjadi suatu agama mayoritas saat era nusantara).
Di tempat ibadat Tridharma ini, kegiatan yang dilakukan hanya sebatas
sembahyang bersama (pemujaan dewa/dewi atau altar sam kauw) sehingga
terpelihara ikatan kebersamaan antar sesama orang Tionghoa. Namun, secara
keyakinan umat Tridharma percaya kepada “Trinabi” (sam kauw Seng Jin/San
Jiao Seng Ren) secara seimbang, yakni nabi Kong Cu, nabi Lao Tse, dan Budha.
Pendirian tempat ibadat Tridharma ini dimaksudkan untuk membendung arus
54
kristenisasi yang dilakukan oleh para penginjil barat pada orang-orang Cina.
Dengan kesatuan umat “tiga agama”, maka dianggap cukup kuat dalam
membendung kritenisasi itu. Setelah Indonesia merdeka 1945, maka Tridharma
sudah bernaung di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Bali
yang kemudian berubah menjadi Dirjen Bimas Hindu dan Buddha. Kini,
Tridharma bernaung di bawah Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama
Republik Indonesia.
3.3. Perkembangan Agama Tao di Kota Semarang
Di Indonesia, ketika negara hadir dengan melabeli agama Tao hanya
sebagai salah satu nilai filsafat kebudayaan yang berasal dari hasil pemikiran
masyarakat etnik Tionghoa yang berasal dari daratan Cina, pendapat negara
menjadi begitu dangkal tanpa memikirkan lebih bijak bahwa agama erat kaitannya
dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap kekuatan sang Pencipta bagi setiap
penganutnya. Keyakinan para umat terhadap keberadaan Tuhan didasari dengan
dogma-dogma teologi kanonik.
Agama Tao dianggap hanya sebagai suatu nilai filsafat karena adanya
prasangka-prasangka etnik terhadap etnik Tionghoa, dan sayangnya nilai-nilai
dalam agama Tao berbeda jamaknya agama yang diakui oleh negara seperti Islam,
Katolik, Kristen Protestan, Hindhu dan Budha sehingga dengan mudahnya label
itu melekat pada agama Tao. Nilai-nilai moral pada agama Tao bersumber pada
Kitab Suci Tao De Jing yang kurang dikenal masyarakat secara umum, imbasnya
55
prasangka-prasangka terhadap etnik Tionghoa menguat pada umat Tao yang
dianggap “tidak beragama” namun hanya “percaya pada Tuhan Yang Maha Esa”.
Pengakuan Negara terhadap agama tertentu yang dianggap memiliki
jumlah penganut dihitung secara kuantitas patut menjadi kajian di masa
mendatang karena persoalan utama adalah apakah kriteria utama untuk bisa
menentukan sebuah agama bisa diakui secara resmi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia ? Apakah agama dengan penganut yang sedikit tidak bisa mendapatkan
tempat di rumah sendiri di tanah air Indonesia ? Apakah yang menjadi konsep
pengakuan agama oleh pemerintah adalah agama tersebut harus berasal dari
Timur Tengah sehingga agama asli yang lahir dan berkembang di tanah air hingga
kini belum bisa memperoleh pengakuan secara legal dari pemerintah. Ini sangat
kontradiksi ketika agama Baha’i yang juga menjadi salah satu agama import
sudah memperoleh pengakuan dan pelayanan oleh Negara. Tentu hal ini akan
menjadi kecemburuan bagi pemeluk agama lainnya yang masih belum diakui oleh
negera. Meskipun penganut sedikit, agama-agama yang berkembang di Indonesia
sudah lama dipeluk oleh masyarakat/suku/etnik yang mendiami bumi nusantara
sehingga eksistensi mereka tidak bisa dipandang sebelah mata. Maka konsep
untuk melihat agama bisa diterima atau tidak oleh pemerintah tentunya juga harus
dilihat secara sosiologis dan cultural. Peneliti memandang bahwa melalui
perumusan teori 4Cs yang dikembangkan oleh Swidler dan Mojzes tentang agama
dapat dijadikan pedoman oleh pemerintah dalam mengakui sebuah agama yang
sudah lahir, berkembang, dan dipeluk secara turun temurun oleh rakyat Indonesia.
Memang konsekuensinya, akan ada banyak agama di tanah air bila setiap agama
56
yang memenuhi kriteria 4 Cs di kemudian hari menjadi agama resmi di Indonesia.
Bila sudah diakui, tentu saja diperlukan aturan untuk mewujudkan kerukunan
antarumat beragama. Kearifan lokal di setiap daerah memungkinkan pemeluk
agama tersebut bisa hidup berdampingan dan menjalin hubungan satu sama
lainnya. Tentu saja kehadiran Negara masih diperlukan untuk melakukan
pembinaan kehidupan keagamaan sehingga toleransi antarumat beragama tetap
terjaga di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konsepsi agama akan sangat berbeda bagi setiap agama dan umat dari
agama itu sendiri, jika kita melihat konsepsi agama dalam Islam dan Katolik
tentunya sangat berbeda, begitu pula antara Hindhu dan Kristen Protestan pun
akan terjadi hal yang sama. Lantas bagaimana dengan agama Tao?
Selama ini agama Tao dalam pandangan awam seringkali dikaitkan
dengan agama Buddha karena beberapa kemiripan dalam ritus peribadatannya,
misalnya penilaian awam ini muncul karena masyarakat melihat bahwa umat
Budha melakukan ritus keagamaan dengan menggunakan salah satu sarana seperti
hio (dupa) yang juga dapat ditemui dalam ritus keagamaan Tao. Jadi sebenarnya
apa yang dapat dikatakan sebagai “agama”? Konsepsi tentang agama akan
menjadi sangat debatable dari perspektif setiap individu yang meyakininya. Oleh
sebab itu agama dalam keanekaragamannya itu hanya memerlukan deskripsi
(penggambaran) untuk memahaminya, bukan definisi (batasan).
Di Semarang, banyak umat Tao yang mengunjungi Kelenteng Tay Kak Sie
untuk melaksanakan ritual keagamaan. Hal ini disebabkan oleh nuansa klenteng
tua yang memiliki arsitektur bagus, baik dari segi ornamen maupun hiasan-
57
hiasannya. Bahkan, kebanyakan dewa/dewi dalam Kelenteng Tay Kak Sie ini
adalah dewa/dewi agama Tao. Sementara itu, kelenteng ini kurang memiliki
fasilitas ritual keagamaan bagi umat Tao yang memadai, seperti: ruang atau
tempat pemujaaan dewa/dewi agama Tao. Karena itu, ada beberapa tokoh umat
Tao yang tergabung dalam Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) untuk
memikirkan tentang pendirian kelenteng di tempat lain yang lebih representatif.
Perlu diketahui bahwa PUTI adalah sebuah organisasi yang berbentuk
paguyuban dan bersifat kekeluargaan serta bebas dijadikan wadah bagi seluruh
umat Tao di Indonesia. Organisasi ini bersifat sosial (bukan politik) dan tidak
mencampuri urusan para anggotanya dalam permasalahan ibadahnya. Karena itu,
PUTI hanya berusaha menjadi sebuah wadah tempat bernaung dan bersatunya
umat Tao di Indonesia. Di Kota Semarang ini PUTI terbentuk pada tanggal 3
Januari 2001, yang diketuai oleh Edhy Prasetyo Hartono. Organisasi PUTI ini
memiliki kegiatan sosial, seperti: bakti sosial untuk musibah gempa dan gunung
meletus, pemberian bantuan alat-alat tulis bagi anak-anak sekolah kurang mampu,
dan pemberian sembako bagi orang-orang miskin, donor darah, dan sebagainya.
Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) ialah suatu organisasi yang
bergerak dibidang sosial yang memiliki kegiatan antara lain donor darah,
kunjungan ke panti jompo dan yatim piatu, serta berpartisipasi dalam membantu
korban bencana alam. Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) memiliki visi dan
misi sebagai berikut:
1) Visi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI):
Menggalang persaudaraan antar umat Tao di seluruh Indonesia untuk
58
menciptakan sinergi dengan memperhatikan keselarasan dan
keharmonisan hubungan antar umat beragama di Indonesia, untuk
mengisi pembangunan bangsa dan negara Indonesia secara proaktif dan
positif.
2) Misi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI):
Mengkordinasi dan merangkum aspirasi umat Tao Indonesia demi
tegaknya persatuan dan persaudaraan diantara penganut Tao dari
berbagai macam aliran dan persaudaran demi terciptanya komunikasi,
saling pengertian dan keselarasan gerak dalam kegiatan keagamaan
maupun kegiatan sosial untuk turut mewujudkan pembangunan manusia
Indonesia yang ber-Ketuhanan dan berkepribadian luhur seutuhnya.
Melalui paguyuban inilah, mereka umat Tao membahas pendirian tempat
ibadah agama Tao dan akhirnya mereka dapat membangun rumah ibadah klenteng
yang dikenal dengan “Sinar Tao” di Jl. Madukoro Blok AA/BB Semarang.
Lembaga keagamaan ini telah terdaftar di Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu
dan Budha Departemen Agama Republik Indonesia tertanggal 15 Desember 2003.
Kemudian kelenteng ini diresmikan oleh Drs I Wayan Sanjaya, M. Si (Dirjen
Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha) pada tanggal 18 Januari 2004.
Meskipun klenteng ini secara administratif dibawah naungan TITD yang terdata
di Kementerian Agama Wilayah Jawa Tengah, tetapi pembinaan agama Tao
dilakukan melalui Majlis Tri Dharma Indonesia (MTI) yang berpusat di Lampung.
Hal ini dikarenakan hanya majelis inilah yang dianggap bisa memberikan
pembinaan agama Tao kepada umat di Kelenteng “Sinar Tao” di Semarang.
59
Jadi, kelenteng bukan saja merupakan tempat ibadat yang mampu
memenuhi kebutuhan spiritual umatnya, namun ia juga sekaligus merupakan pusat
kebudayaan Cina, serta pusat kegiatan dan interaksi sosial para warga etnik
Tionghoa, yang secara psikologis merasa berada di rumah sendiri. Bagi warga
etnik Tionghoa, melestarikan kelenteng adalah ibarat mempertahankan rumahnya
sendiri18
.
Umat Tao di Semarang beribadah di Wan Fu Gong Dao Guan atau sering
disebut sebagai Tempat Ibadah Sinar Tao. Tempat Ibadah Sinar Tao didirikan
pada tahun 2002 dan diresmikan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat
Hindu & Budha, Bapak Drs. I Wayan Suarjaya, M.Sc. pada tanggal 18 Januari
2004.
Wan Fu Gong merupakan kelenteng Tao di Semarang, meski demikian
umatnya juga berasal dari kota-kota di Jawa Tengah. Dao Guan Dao Jia (tempat
ibadah agama Tao) didominasi warna merah dan kuning. Ditinjau dari bentuk dan
bahan strukturnya cukup modern yakni menggunakan pipa besi sebagai konstruksi
atapnya, sehingga bisa dikatakan bahwa tempat ibadah ini mempertimbangkan
“ramah lingkungan”19
.
Kategori untuk tempat ibadah ini ialah Dao Guan, yang bernama Wan Fu
Gong. Dimana sesuai dengan kategori Dao Guan, seperti halnya di negara yang
lainnya, yaitu merupakan sebuah tempat beribadah dan penyelenggaraan upacara
18
Tjan K. 2007. Pengetahuan Umum Tentang Tri Dharma. Semarang: Benih
Bersemi. Hlm. 10-11. 19
Seputar Semarang, 2007, Sinar Tao: Peringatan Kebesaran Tai Shang Lao Jun,
Semarang, Edisi 196 Tahun IV. Hlm. 11.
60
ritual agama Tao, disamping itu juga memberikan bimbingan kerohanian berupa
penjabaran ajaran agama Tao pada umatnya serta memberikan pelayanan-
pelayanan lainnya pada umatnya seperti upacara pengangkatan anak (Kwe-pang
anak), upacara bersyukur, upacara pemberkatan pernikahan, dan upacara
kematian. Wan Fu Gong Dao Guan dapat dikatakan merupakan yang pertama dan
satu-satunya Dao Guan yang didirikan di Jawa Tengah, dimana sebagai tuan
rumahnya adalah Maha Dewa Tai Shang Lao Jun.
Tempat Ibadah Sinar Tao merupakan sebuah tempat ibadah bagi umat Tao
di Semarang dan sekitarnya dan memiliki ciri khas yaitu kesemua sosok Dewa
dan Dewi nya merupakan Dewa Dewi yang dipuja oleh umat Tao. Kegiatan dan
pengelolaan dari tempat ibadah ini dilakukan oleh Yayasan Sinar Tao Semarang
dan juga didukung oleh Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI) DPC Semarang
dan mendapat bimbingan kerohanian dari Majelis Tri Dharma Indonesia yang
berpusat di Jakarta.
Organisasi keagamaan bagi umat Tao awalnya memang menjadi satu
dengan MATRISIA (Majelis Tri Dharma Indonesia) bersama dengan agama
Khonghucu dan Buddha. karena agama Tao dan Khonghucu tidak dianggap
sebagai agama maka pelaksanaan pembinaannya berada di bawah Perwalian Umat
Budha Indonesia (Walubi).
Walubi tediri dari berbagai macam organisasi Budha Dharma/Shangha-
Shangha, diantaranya adalah MATRISIA, MAPANBUMI (Majelis Pandita Budha
Dharma Indonesia), MAJABUMI (Majelis Agama Budha Mahayana Indonesia),
61
Majelis Agama Budha Dharma Kasogatan Indonesia, Majelis Agama Budha
Maitreya Indonesia (MABUMI).
Diawali dengan Resolusi MPRS No. III/Res/MPRS/1966 tentang
Pembinaan Kesatuan Bangsa yang memberikan perhatian penuh terhadap suatu
kondisi keagamaan yang ada di negara Indonesia, yang diungkap dalam Pasal 1
sebagai berikut:
(1) Mengintensifkan pendidikan Agama sebagai unsur mutlak untuk nation
dan character building di semua sekolah dan lembaga pendidikan,
dengan memberikan kesempatan yang seimbang;
(2) Melarang usaha penambahan dan pengembangan doktrin-doktrin yang
bertentangan dengan Pancasila, antara lain Marxisme- Leninisme
(Komunisme).
Resolusi ini memberikan gambaran bahwa pendidikan keagamaan sangat
penting dalam menjaga stabilitas pertahanan keamanan nasional Indonesia yang
sempat terganggu oleh insiden G 30 S PKI, PKI sebagai partai yang memiliki
kecenderungan ideologi politik kiri (komunis) dianggap lekat dengan budaya
China karena komunisme saat itu berjaya di RRC (Republik Rakyat China).
Imbasnya segala hal yang berbau China menjadi seolah-olah adalah komunis,
inilah yang menjadikan agama Tao direduksi maknanya hanya menjadi sebuah
aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Berlakunya Inpres No.14
Tahun 1967 tentang Adat Istidat tentang Agama Kepercayaan dan Adat Istiadat
Cina mengharuskan pelaksanaan kegiatan ibadat “agama Cina” terbatas dalam
62
lingkungan keluarga dan perseorangan, dengan adanya ketentuan ini maka umat
Tao (dan Khonghucu) dibatasi laku peribadatannya.
Pemerintah yang saat itu menjustifikasi Negara Cina memiliki pengaruh
yang besar terhadap hadirnya komunisme di Indoensia, menginginkan stabilitas
nasional sesuai dengan karakter budaya lokal dan disertai kondisi spiritual
keagamaan yang masif dalam setiap kegiatan pemerintahan demi terwujudnya
cita-cita bangsa.
Melalui TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila, ditegaskan bahwa bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha dan oleh karenanya
manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab sesuai TAP MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghyatan dan Pengamalan Pancasila alinea 4.
TAP MPR No.II/MPR/1978 kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri
Agama dengan memberikan interpretasi subyektif yang menyatakan bahwa aliran
kepercayaan adalah bukan agama dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun
1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan, Instruksi
Menag ini menjadi landasan pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam yang
merasa perlu dikeluarkannya petunjuk pengisian kolom “Agama” pada lampiran
formulir Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221a Tahun 1975 Tentang
Pencatatan Perkawinan dan Perceraian Pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan
63
Dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan Serta Peraturan
Pelaksanaannya.
Hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978
No.K-212/Set.Neg/10/1978 itu ditindak lanjuti oleh Menteri Dalam Negeri
dengan dikeluarkannya surat edaran pada semua Gubernur dan Bupati di seluruh
wilayah Indonesia, disinilah masalah mulai timbul SE Mendagri No.477/74054
tanggal 18 November 1978 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama” pada
Lampiran SK.Mendagri No.221a Tahun 1975, memberikan interpretasi yuridis
bahwa yang dimaksud dengan agama terbatas hanya pada lima agama saja yakni
Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindhu, dan Budha. Surat edaran inilah yang
kemudian menjadi dasar pengakuan oleh negara terhadap lima agama,
implikasinya diluar kelima-nya tersebut dapat dikatakan hanya sebagai sebuah
“aliran kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dan saat itu agama
Khonghucu dan agama Tao adalah yang termasuk kedalam kategori ini
Oleh karena itu, Kelenteng “Sinar Tao” ini tetap di bawah naungan TITD
sehingga menggnakan altar “Tri Nabi” yakni nabi Kong Cu, Nabi Lao Tse, dan
Budha Sakyamuni/Gautama. Hanya saja, pembinaan agama (Tao) nya dilakukan
melalui Majelis Tridharma Indonesia (MTI) yang berpusat di lampung, bukan
Majelis Tao Indonesia (MTI) yang berpusat di Medan. Perlu diketahui bahwa
kelenteng di Jawa Tengah yang mendapat pembinaan MTI Pusat Lampung
hanyalah kelenteng “Sinar Tao” di Jl Madukoro Semarang dan kelenteng “Sinar
Kasih Tao” di Jl. Sriwijaya, Magelang. Di dalam kelenteng ini, patung-patung
atau arca-arca yang lebih dominan adalah patung atau arca dewa/dewi yang
64
disembah oleh umat Agama Tao. Hal ini terlihat pada kelenteng “Sinar Tao” yang
memiliki 13 patung, yakni: Maha Dewa Dai Sang Lauw Cin, Dewa Erl Lang
Shen, Dewa Jay Shen Ya, Dewa Fuk Tek Cen Shen, Dewa Shien Thien Sang Tie,
Dewa Pau Shen Ta Tie, Dewa Zhen Huang Lauw Yek, Dewa Kwan Shen Tie Cin,
Dewa Kwang Tek Cuen Huang, Dewi Ciu Thien Sien Nie, Dewi Thien Sang Shen
Muk, Dewa/Dewi Hek Hek Erl Sien, dan Dewa Yek Shia Lau Ren.
Jika dilihat ornamennya, maka Kelenteng Sinar Tao dan Kelenteng Sinar
Kasih Tao tersebut berbeda dengan kelenteng-kelenteng lainnya yang lebih mistis,
patung-patungnya kecil, dan suasana di dalamnya terkesan gelap dan angker.
Berbeda dengan kelenteng “Sinar Tao” atau kelenteng “Sinar Kasih Tao” yang
memiliki arsitektur modern dan elegan, sehingga seluruh ruang terkesan terang,
terbuka, dan bercahaya. Kemudian ornamen-oranamen yang mencolok hanya
pada pintu gerbang depan yang terdapat dua naga (kanan dan kiri), dan depan
pintu masuk yang terdapat patung singa atau killin, dan dua tiang besar di depan
pintu masuk terukir ornamen naga juga. Sedangkan di atas atap rumah hanya
berbentuk genteng biasa, tidak seperti kelenteng-kelenteng lainnya yang terdapat
ornamen patung naga dan atau killin. Meski patung-patung didominasi oleh
dewa/dewi agama Tao, tetapi tidak menutup kemungkinan agama lain (Konghucu
dan Budha) melakukan pemujaan/ sembahyang di kelenteng ini.
Di dalam klenteng ini terdapat simbol ajaran Tao yang sangat dogmatis,
yakni simbol Tao (Tai Ji, artinya keagungan yang tak terbatas) yang berbentuk
lingkaran di bagi menjadi dua bagian secara simetris, yakni satu bagian yang
terang dan bagian lainnya yang gelap. Bagian yang gelap melambangkan “Yin” (-
65
) dan bagian yang terang melambangkan “Yang” (+). Yin melambangkan malam,
gelap, bumi, air, dingin, batin, feminin, dan sebagainya. Sedangkan “Yang”
melambangkan siang, terang, langit, panas, keras, fisik, maskulin, dan sebagainya.
Keberadaan “Yin” dan “Yang” adalah saling berlawanan tetapi juga saling
membutuhkan, sehingga bersatunya “Yin” dan “Yang” dalam satu lingkaran
sebagai lambang harmoni, yang disebut kesempurnaan dalam Tao (Tai Ting).
Dalam pandangan Huston Smith20
, asas Yinyang menunjukkan segala
pertentangan yang mendasar dalam hidup ini, seperti: baik-jahat, aktif-pasif,
positif-negatif, terang-gelap, musim panas-musim dingin, pria-wanita, dan
seterusnya. Akan tetapi, asas ini merupakan dualisme yang berlawanan tetapi
tidak bertentangan secara mutlak. Karena itu, asas Yinyang ini pada hakikatnya
menolak segala dikhotomi yang tajam, sebab asas-asas ini mengandung makna
saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya.
Pada saat ini, umat Tao di Kota Semarang mengalami perkembangan yang
lebih banyak didominasi oleh orang-orang dari daratan Cina. Menurut Tan I Ming
(Wawancara, tanggal 20 Mei 2014), bahwa jumlah umat Tao di Kota Semarang
berkisar antara 500 orang sampai 600 orang. Hal ini terlihat pada saat perayaan
hari kebesaran Kelenteng Sinar Tao, yang banyak dihadiri umat Tao dari berbagai
daerah, seperti: Yogjakarta, Magelang, Temanggung, Solo, Ambarawa, Salatiga,
Temanggung, Kudus, dan Jepara. Akan tetapi, umat Tao yang aktif mengikuti
kegiatan dan sembahyang di kelenteng Sinar Tao ini hanya sekitar 100 s/d 150
orang. Jumlah umat sebanyak ini dapat dilihat ketika terjadi upacara sembahyang 20
Smith, Huston. 1999. Agama-Agama Manusia (Terj.). Saafroedin Bahar. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 247.
66
atau pemujaan dewa/dewi pada setiap tanggal 1 dan atau tanggal 15 bulan Imlek.
Namun, jika dilihat pada upacara sembahyang atau pemujaan dewa/dewi pada hari
minggu maka umat Tao hanyab berkisar antara 40-50 orang
3.4. Ajaran Agama Tao
Agama, secara umum dapat di definisikan sebagai seperangkat aturan dan
peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya
dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan
mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Bagi penganutnya, agama
bersisikan ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi
manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan akherat. Karena
itu, Parsudi Suparlan21
mengatakan bahwa agama merupakan sistem keyakinan
dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan diwujudkan dalam tindakan-
tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadah) yang sifatnya individual
ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat.
Dalam hal ini, ajaran agama Tao secara umum dapat dijelaskan melalui
definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan. Definisi agama itu
adalah definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes.
Definisi itu dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed,
code, cult, dan community yang akan diuraikan sebagai berikut:
21
Suparlan, Parsudi. Loc cit. hlm.v.
67
“Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything that
goes into the ”explanation: of the ultimate meaning of life; Code of behavior or
ethics includes all the rules and customs of action that somehow follow from one
aspect or another of the Creed; Cult means all the ritual activities that relate the
follower to one aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly.
Prayer is an example of the former, and certain formal behavior toward
representatives of the transcendent, such as priests, is an example of the latter;
Community-structure refers to the relationship among the followers. This can
vary widely, from a very egalitarian relationship, as among quakers, through
a”republican” structure as Presbyterians have, to a monarchical structure, as
with some Hasidic Jews vis-a-vis their Rebbe”.
3.4.1. Tao Ditinjau dari Definisi Kepercayaan (Creed)
1) Kepercayaan kepada Tuhan
Creed merupakan kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak
dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa
atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk yang bukan itu, seperti
misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya.
Creed adalah pengakuan yang diyakini bahwa ada sesuatu yang disebut
Yang Mutlak itu yang berpengaruh atas kehidupan manusia. Karena misterisunya
Yang Mutlak itu sehingga dapat dibedakan antara yang disebut Theos dan yang
disebut Non-Theos. Theos dari bahasa Yunani menunjuk kepada suatu illah, dewa,
68
yang disebut Tuhan, atau Allah, atau siapa saja. Sedangkan yang Non-Theos, bisa
berarti bukan illah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau apa saja.
Tao meyakini adanya Tuhan, akan tetapi konsep Tuhan tidak mudah
difahami dengan akal-budi manusia. Untuk menjelaskannya, perlu difahami
konsep “Tao” atau “Dao” dalam metafisika Taoisme. Konsep Tao atau Dao dapat
diartikan sebagai “kebenaran sejati” atau “kebenaran yang paling hakiki”. Tao
juga dapat diartikan sebagai “keberadaan” atau “jalan kehidupan” (way of life),
sehingga siapa saja yang bisa menyelaraskan dengan Tao maka berbahagialah
hidupnya. Selain itu, Tao juga bisa diartikan sebagai sumber atau asal usul alam
semesta.
Dalam kitab Tao Te Tjing disebutkan bahwa Tao adalah sumber segala
sesuatu. Dan segala sesuatu muncul dari satu sumber yang sama. Langit yang luas,
bumi yang kukuh, alam yang indah, lembah yang subur, semuanya berasal dari
yang satu itu. Menurut Tjan K22
bahwa kebenaran sejati dan atau sumber segala
sesuatu adalah hakikat Tuhan Yang Maha Esa.
Tao menggunakan lambang Ba Kua Dai Chi sebagai lambang keagamaan.
Ba Kua melambangkan segala sesuatu yang ada di alam semesta dan juga
melambangkan segala arah yang berarti 4 penjuru dan 8 arah (Ba). Dai Chi
merepresentasikan hakikat substansi Tao dimana lambang Yin menunjukan kesan
“tiada”, lambang Yin menunjukkan sifat Tao yang tidak berwujud, tidak bernama,
Maha Agung, dan tiada berbatas. Sedangkan lambang Yang menunjukkan “ada”,
22
Tjan K., 2013, Ajaran Dao Secara Ringkas, dalam bahan Penataran Dharmaduta
Tridharma, Semarang : PITD se- Indonesia. Hlm. 15.
69
lambang ini mendeskripsikan fungsi dan karya dari Tao yang merupakan awal
dari segala yang ada di alam semesta, dengan kata lain lambang ini
mereprsentasikan sifat Maha Pencipta dan Maha Kuasa.
Tuhan, dalam agama Tao bukan sosok dan bukan sebuah nama, melainkan
keberadaan yang absolut (The Existence and The Absolute). Dia adalah satu-
satunya yang ada, tak ada lainnya dan tak ada saingannya, Dia dinamakan “Taiji”
yang melambangkan dao sebagai ke-ada-an, ke-satu-an, dan atau ke-esa-an
mutlak. Dari Yang Esa (The One) ini melahirkan “Yang Dua”, yakni “Yang” dan
“Yin”. Tjan K mengatakan bahwa Yin Yang adalah sifat dualisme segala ciptaan,
yakni aspek positif (yang) dan aspek negatif (yin). Kedua sifat ini bisa bersifat
saling melengkapi, saling bergantian, saling berlawanan, dan saling menandingi,
seperti: ada-tiada, pria-wanita, siang-malam, tinggi-rendah, baik-jelek, dan
sebagainya23
Dari Yang Dua tersebut akan melahirkan Yang Ketiga (Shan Chai), yakni
bumi, langit, dan manusia, dan dari Yang Ketiga melahirkan semua makhluk
(kesatuan alam semesta). Karena itu, konsep Tuhan dalam agama Tao sebenarnya
tidak mengenal istilah penciptaan, melainkan melahirkan, yakni Yang Satu (Tao)
melahirkan Yang Dua (Yang dan Yin), dan yang Dua melahirkan Yang Tiga
(Kesatuan Yang dan Yin atau kesatuan alam semesta dan manusia). Hal ini
sebagaimana yang dikemukakan oleh Yang Liping (2005:96): Tao creates one,
One creates two, Two creates three, And three creates everything in the world
23
Tjan K & Kwa Tong Hay, 2010, Berkenalan dengan Adat dan Ajaran Tionghoa,
Yogjakarta : Penerbit Kanisius Hlm. 38.
70
(Tao melahirkan yang satu, Yang satu melahirkan yang dua, yang dua melahirkan
yang tiga, dan yang tiga melahirkan segala sesuatu yang ada di dunia).
Tuhan, atau sebut nama apa saja yang diberikan kepada-Nya tidak pernah
mengharapkan sesuatu, dan tidak pernah menuntut sesuatu dari manusia. Akan
tetapi, manusia terkadang memiliki keterbatasan-keterbatasan sehingga mencari
perlindungan kepada “Sang Penguasa Alam”. Karena itu, mulailah manusia
berusaha mengadakan hubungan yang lebih pribadi dengan menjalankan
pemujaan-pemujaan dan atau persembahyangan untuk memohon perlindungan.
Tuhan, dalam agama Tao biasanya disebut sebagai “Tian Gong” atau “Thian
Kong” dalam dialek Hokkian). Bagi umat Tao, Thian adalah penguasa tertinggi
alam semesta ini, sebab itu kedudukanNya berada di tempat yang paling agung.
Dengan demikian, Tao atau Dao merupakan realitas tertinggi yang
dibayangkan sebagai lambang Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Lika24
(2012:88),
Tao atau Dao adalah Dzat Yang Maha Agung, Yang Mahabesar, absolut, kekal,
dan abadi. Dia menciptakan dan atau mengatur seluruh isi alam semesta.Dia tidak
berawal dan tiada berakhir. Dia maha adil dan maha pengasih tanpa pandang bulu,
sehingga semua manusia di hadapan Tao atau Dao adalah sama, tidak ada yang
lebih tinggi antara yang satu dengan lainnya. Batasan yang membedakannya
adalah apakah manusia mampu mengamalkan ajaran Dao (Xiu Dao) sampai
mendapatkan Dao dan bersatu dengan-Nya.
24
Lika, ID., 2012, Dao De Jing, Kitab Suci Utama Agama Tao, Jakarta : Penerbit
Kompas Gramedia. Hlm. 88.
71
Sebagaimana yang terjadi di Indonesia ketika negara memberikan
penilaian terhadap agama-agama tertentu dengan perspektif yang berbeda dari
keyakinan umat, tolok ukur yang digunakan adalah nilai-nilai moral yang ada
pada agama tersebut memiliki perbedaan yang mungkin jamak ditemui pada
agama yang “dikehendaki” oleh negara (Islam, Katolik, Kristen Protestan,
Hindhu, dan Budha) yang memunculkan stigma bahwa “keyakinan umat” tidak
dapat disebut sebagai “agama” namun hanya sebagai falsafah terhadap Tuhan atau
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Jika ditilik lebih lanjut sebenarnya makna kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa adalah memang suatu pemikiran filosofis tentang keberadaan
Tuhan dan ini merupakan esensi dari semua agama yang ada di dunia, lantas
keengganan negara untuk mengakui agama Tao adalah suatu pandangan subyektif
yang muncul karena alasan-alasan berlatar-belakang prasangka etnik yang telah
mengakar di Indonesia sejak lama.
Negara sebagai pengayom bagi setiap warga negaranya memberikan
perlindungan, jaminan dan pengakuan terhadap agama atau keyakinan mereka.
Agama menjadi salah satu hak paling asasi bagi manusia, dimana karena sifat
agama itu sendiri yang sakral dan sangat bergantung pada keyakinan dan
kepercayaan dari setiap individu yang begitu personal.
2) Kepercayaan terhadap Nabi dan Dewa/Dewi
Agama Tao mempercayai adanya dzat yang Maha Agung, Maha Esa,
Maha Sempurna yang disebut dengan Tian atau Dhian (Tuhan), namun agama
72
Tao juga meyakini akan adanya dewa-dewi. Agama Tao percaya bahwa sosok
mortal manusia dapat menjadi dewa karena sanggup berbuat jasa yang besar bagi
masyarakat ataupun orang lain, kategori perbuatan-perbuatan baik tersebut,
sebagai berikut:
a. Bisa memberikan keteladanan yang luar biasa dalam perilaku kebijaksanaan
untuk umat manusia;
b. Berjasa besar dalam membangun/memperjuangkan kedamaian bagi negara dan
masyarakatnya;
c. Bisa mencegah/menanggulangi bencana yang membahayakan umat manusia;
d. Sanggup menyumbangkan nyawanya demi membela keyakinan tentang
kebenaran sejati.
Di dalam Agama Tao juga terdapat kepercayaan terhadap nabi, yakni Nabi
Lao Zi. Ia dikenal sebagai perintis ajaran Taoisme dan sekaligus penulis kitab
terbesar agama tao, yakni kitab “Tao Te Ching”. Masyarakat pada saat itu sangat
menghormati Nabi Lao Zi karena banyaknya ilmu pengetahuan yang dikuasainya
sehingga banyak orang yang meminta nasehat kepadanya. Karena itu, nama Lao
Zi dikenang oleh masyarakat sepanjang masa, baik sebagai seorang filosuf yang
dihormati dan sebagai seorang suci atau dewa yang sangat dimuliakan.
Dia dilahirkan di negeri Cina sekitar tahun 640 SM, yang konon berusia
sekitar 150 – 200 tahun. Usia yang sepanjang ini diyakini dapat dicapai oleh
umatnya karena ia hidup di jalan Tao sebagai prinsip dasar hidupnya. Namanya
sendiri adalah Erh, sedangkan nama keluarganya adalah Li, sehingga nama Lao Zi
seringkali disebut Li Erh. Bahkan, nama Lao Zi seringkali disebut sebagai “putra
73
tua”, “sahabat tua”, dan atau “sang guru tua”. Hal ini dimaksudkan sebagai gelar
penghormatan dan kecintaan kepada Lao Zi yang mengembangkan ajaran Tao
untuk menuju kesatuan dan keselarasan dengan alam.
Semasa mudanya, Lao Tzi pernah bertugas sebagai seorang pegawai
kerajaan pada masa Dinasti Chou (111-255 SM). Di kerajaan ini, ia diberi tugas
untuk mengelola dokumen-dokumen dan surat-surat kuno yang bersejarah, serta
buku-buku suci dan rahasia. Dengan pengalamannya ini, Lao Zi dapat
mempelajari sejarah dan data-data peninggalan sejarah serta memperhatikan
kejadian-kejadian di sekelilingnya, termasuk memperhatikan keadaan sosial dan
politik kerajaan itu. Dalam masa kerjanya, ia menekankan dan sekaligus
mempraktekkan sebuah kehidupan yang jauh dari keinginan diri atau hasrat
semata, yaitu suatu kehidupan yang murni dan bersih. Keadaan yang demikian ini
sangat membantu Lao Zi untuk membentuk sebuah teori atau ajaran, yang dikenal
sebagai aliran Taoisme.
Dalam agama Tao, ada tiga tokoh yang dimuliakan sebagai leluhur agama
Tao, yakni Kaisar Kuning (Huang Di), Lao Zi, dan Zhang Ling. Kaisar kuning
diakui sebagai cikal bakal orang Cina dan sekaligus diakui sebagai cikal bakal
Taoisme. Lao Zi adalah penerus dan pengembang ajaran Tao yang dirintis oleh
Huang Di, sehingga ia dikenal sebagai penggubah Taoisme. Kemudian ia dikenal
sebagai Nabi Lao Zi yang mengajarkan kitab kepada para pengikut-pengikutnya,
yakni “Tao Te Ching”. Kemudian Zhang Ling dikenal sebagai Zhang Dao Ling
(guru langit) sebagai pendiri sekte ortodoks Tao. Sekte ini mengajarkan umatnya
74
untuk melakukan amal secara luas dan menjadikan Tao sebagai agama orang
Cina.
Sebagai ciri umum agama Tao adalah memuja arwah di alam semesta,
seperti langit, bumi, binatang, gunung, sungai, angin, orang suci, leluhur, dan
sebagainya. Bahkan, pemujaan terhadap arwah yang menghuni tubuh manusia,
seperti roh jantung, roh paru-paru, roh hati, dan roh ginjal. Pemujaan yang
termulia adalah Tao, tetapi Tao sendiri di luar jangkauan akal manusia. Karena
itu, agama Tao memanusiakan Tao menjadi tiga maha roh (Trisuci) yang bernama
“San Qing (Tiga Mahasuci), yakni Yuan Shi, Ling-bao, dan Dao-de. Mereka
itulah dikenal sebagai dewa tertinggi dalam agama Tao, yakni Yu Qing, Shang
Qing, dan Thai Qing. San Qing ini sebagai sumber segalanya, tetapi mereka tidak
menguasai alam semesta, sebab yang menguasainya adalah Shang Di, yakni Thian
Gong, yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tjan K, 2010:50-51).
Itulah sebabnya agama Tao dapat dikatakan sebagai suatu agama
polytheisme yang menyembah dewa-dewa. Hal ini sebagaimana terlihat di
Kelenteng Sinar Tao Semarang, dewa/dewi yang dipuja oleh umat Tao meliputi:
dewa langit yang divisualisasikan sebagai Thian Kung, Dewa Thai Shang Lao
Yun sebagai sang Maha Dewa, Dewa Cheng Huang Lao Ye, Dewa Xuan Tian
Shang Di, Dewa Bao Sheng Da Di, Dewa Fu De Zheng Shen, Dewa Guang Ze
Zun Wang, Dewa Er Lang Sen, Dewa Jiu Tian Yuan Nu, Dewa Tian Shang Sheng
Mu, Dewa Cai Shen Lao Ye, Dewa Guan Sheng Di Jun, Dewa Yue Yia Lao Ren,
dan Dewa He He Er Xian. Dewa-dewa tersebut, biasanya dipuja oleh umat Tao
75
pada setiap tanggal 1 dan tanggal 15 bulan Imlek (Lunar) dan pada hari-hari
kebesaran dewa/dewi.
3.4.2. Tao Ditinjau dari Definisi Tindakan/Perilaku (Code)
Code merupakan pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat
adanya kepercayaan (creed). Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan
pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori
tindakan etis. Code yaitu seperangkat tindakan yang bersumber pada keyakinan
dalam Creed tadi seperti harus berbuat kebajikan dan sebagainya.
Agama Tao memiliki ajaran moralitas yang sangat tinggi, yang tercermin
dalam prinsip dasar Tao, yakni “Kesetiaan” dan “Bakti”. Agama Tao mengajarkan
umatnya untuk menghormati langit dan bumi, menghormati leluhur, mengasihi
sesama, dan berdamai dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, agama Tao
mengajarkan prinsip keadilan, kesetaraan, dan damai. Karena itu, pengembangan
diri bagi umat Tao meliputi dua aspek, yakni aspek ke dalam dan aspek keluar.
Dalam aspek keluar, agama Tao mengajarkan bahwa seseorang harus setia,
berbakti, berbuat kebajikan dan cermat. Dalam aspek ke dalam, agama Tao
mengajarkan bahwa seseorang harus jujur, teguh memegang prinsip yang baik dan
benar. Hal ini dimaksudkan untuk memajukan diri sendiri, membantu orang lain
tanpa ada batasan apapun.
Berbuat baik sangat ditekankan dalam agama Tao, sebagaimana yang
dikatakan oleh Taw Taubing (Wawancara, tanggal 23 Mei 2014), sebagai berikut:
76
“Dalam teks Tai Shang Gan Yin Pian disebutan bahwa bila seseorang telah
mencapai Tao, maka ia akan menjadi yang terdepan dalam berbuat
kebaikan, welas asih pada orang lain, berdedikasi tinggi pada tugasnya,
membantu orang yang patut dibantu dengan tanpa pamrih, hormat pada
orang tua, memberi perhatian yang besar kepada yang muda, tidak
merusak leingkungan termasuk tanah, tumbuh-tumbuhan dan serangga,
berempati dan berusaha membantu kepada orang yang membutuhkannya,
berempati dan berusaha menyelamatkan kepada orang-orang yang sedang
dirundung kemalangan, memandang keberuntungan orang lain sebagai
keberuntungannya sendiri, dan sebaliknya memandang kemalangan orang
lain sebagai kesusahan dirinya sendiri”.
Ajaran etika tersebut dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga
terwujud sikap dan perilaku yang baik ketika berhubungan dengan sesama umat
Tao ataupun masyarakat pada umumnya. Dengan etika semacam ini, maka akan
tercipta hubungan yang harmonis dan teratur ntara sesama umat beragama. Dalam
kehidupan sehari-hari, etika semacam ini terlihat pada cara-cara berpakaian,
berbicara, berjalan, bahkan makan dan tidur. Semua aspek kehidupan ini tidak
hanya dilakukan oleh Taois (umat Tao), melainkan juga pendeta Tao. Hal ini
disebabkan oleh tanggung jawab seorang pendeta Tao yang harus memiliki moral
dan mental yang baik dibandingkan umat biasa.
Oleh karena itu, seorang pendeta Tao harus memenuhi aturan atau
ketentuan etika agama Tao agar mencapai tingkat religiusitas yang lebih tinggi.
Hal ini dimaksudkan agar seorang pendeta Tao tidak melakukan perbuatan yang
tidak baik, perkataan dan perilaku yang membahayakan moral. Keberadaan
aturan ini pada hakikatnya bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan
kemurnian dan integritas umat ataupun pendeta agar selalu menuju di jalan Tao.
Etika semacam ini sebenarnya bersumber pada ajaran “Yin Yang” yang
menyebutkan bahwa segala sesuatu di dunia ini mengandung dua unsur yang
77
saling berlawanan, dan setiap unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung
satu sama lain. Ajaran ini kan dapat menciptakan kehidupan masyarakat yang
harmonis dan damai.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan hal agama menjadi menarik
untuk disimak dimana kita tahu bahwa berbicara tentang agama tidak akan
terlepas dari hal-hal yang bersifat spiritual, dimana sesuatu yang sacred (suci),
ghaib, ataupun mungkin mistis ada di dalamnya. Namun semua ini takkan lepas
dari apa yang disebut sebagai “umat”, golongan yang mendukung dan meyakini
akan keberadaan agama sebagai sarana pendekatkan diri pada sang Causa Prima
(biasa disebut dengan Tuhan, Dewa, Allah) yang bersifat transedental dan
tentunya berlawanan dengan keprofanan manusia.
Keyakinan umat akan keberadaan Tuhan dimanifestasikan kedalam ritus
peribadatan yang telah dinisbatkan dalam Kitab Suci yang bersumber dari wahyu-
Nya, ritus-ritus ini dapat bersifat individual maupun komunal. Agama menjadi
suatu pranata nilai yang memberikan pedoman bagi manusia (umatnya) dalam
menjalani kehidupan dunia dan pencapaian kesempurnaan di akhirat, karenanya
pelaksanaan nilai-nilai keagamaan ini disertai pula dengan sanksi yang bersifat
transeden berupa dosa dari Tuhan.
Bagi manusia peran agama sebagai pedoman dalam mempertanyakan
keberadaan dirinya sendiri serta alam semesta tidak dapat dipisahkan dari
pandangan hidup yang diwarnai oleh perasaan sakral (suci) sehingga sulit bagi
orang lain diluar lingkungan agama tersebut melihat bagaimana agama
mempengaruhi perilaku manusia, dimana pemeluk agama diliputi oleh keyakinan,
78
kesetiaan, dan kekaguman terhadap nilai-nilai moral dalam agama (Nothingham,
2002:4). Akan sangat bijaksana bagi kita untuk tidak menilai agama dari
perspektif personal kita yang tentunya akan sangat berbeda dengan para
penganutnya, dimana tolok ukur agama berada pada religusitas umat dari agama
itu sendiri.
Sumber-sumber kebajikan bagi umat Tao tertuang dalam kitab suci yang
menjadi pegangan hidup bagi umat Tao. Agama Tao juga mempercayai adanya
kitab suci yang bernama “Tao Te Ching”. Kitab ini merupakan pemikiran Nabi
Lao Zi yang dijadikan sebagai pedoman moral dan etika bagi umat manusia yang
ditulis pada abad ke 6 SM. Penulisan kitab ini terdiri atas 5.000 kata, dan tersusun
dalam 81 bab, yang terdiri atas dua bagian, yakni: 1). bagian pertama terdiri atas
37 bab yang menerangkan tentang Tao, yang diyakini ada dimana-mana dan asal
mula dari segala sesuatu yang di alam ini; 2). bagian kedua terdiri atas 44 bab
yang menerangkan tentang Te (kebajikan), yakni daya dan atau kekuatan yang
diperoleh dengan mengikuti Tao. Karena itu, isi kitab ini pada prinsipnya adalah
mengembangkan jalan Tao agar selaras dengan kehidupan alam.
Selain kitab Tao Te Ching tersebut, agama Tao juga mengenal kitab lain,
yakni Kitab Chuangzi dan Kitab Liezi. Kitab Chuangzi merupakan kumpulan 33
bab essai yang terdiri atas tiga bagian, yakni bab dalam, bab luar, dan bab lain-
lain. Kitab ini lebih banyak diperuntukkan untuk rakyat jelata sebagai pedoman
hidup mereka dibandingkan dengan para penguasa. Kitab Liezi merupakan
kumpulan cerita-cerita dan hiburan-hiburan dalam filsafat. Kitab ini juga berisikan
bahan-bahan yang ditulis selama 600 tahun, terutama yang berkaitan dengan
79
ajaran-ajaran untuk memahami agama Tao. Secara umum ajaran dari agama Tao
bersumber dari Kitab Suci Tao De Jing (Kitab tentang Kebijakan dan Kebajikan),
namun agama Tao juga memiliki sejumlah kitab suci lainnya yang harus diyakini
oleh umatnya, antara lain:
a. Dai Sang Lao Jun Zhen Jing (Kitab Suci Maha Dewa Dai Sang Lao Jin);
b. Er Lang Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Er Lang Shen);
c. Fu Tek Zhen Shen Zhen Jing (Kitab Suci Dewa Fu Tek Zhen Shen);
d. Wang Di Zhi Jing (Empat Kitab Kaisar Kuning(Huang Di);
e. Dai Bing Jing (Kitab Dai Bing atau Kitab Aman Sentosa);
f. Qing Jing Jing (Kitab Hening Tanpa Pamrih);
g. Shen Tian De Tao Zhen Jing (Kitab Suci demi Mendapat Tao dan Naik Ke
Langit).
Kitab-kitab tersebut pada hakikatnya adalah tiga kitab klasik Tao yang
saling melengkapi antara satu dengan lainnya. Hal ini terlihat pada pembukaan
kitab Tao Te Ching yang menyebutkan:
“Tao yang dapat dijabarkan bukanlah Tao yang sejati; nama yang dapat
diberikan pada Nya, bukanlah arti yang sesungguhnya. Dia adalah tak
bernama, dan tak berwujud, serta tak terjangkau oleh pemikiran normal.
Tao adalah sumber dari semua kehidupan, sesuatu yang bukan pribadi
tetapi bukan Dewa/Roh. Tao adalah sesuatu yang tak bernama tetapi
berada di belakang layar alam semesta ini. Kehidupan ini sinonim dengan
Keberadaan, dengan Tuhan, dengan Allah” (Anand Krisna, 1998: xv)”.
Selama ini banyak hal-hal negatif yang berhembus tentang agama Tao di
Indonesia, selain karena pengaruh stigma yang diterima etnik Cina juga adanya
kesesatan informasi tentang keberadaan agama Tao. Agama Tao sering pula
80
dianggap sebagai ajaran mistis, misterius, dan seolah-olah enggan bersentuhan
dengan dunia luar, semua ini lebih karena minimya pemahaman masyarakat
tentang bagaimana sebenarnya agama Tao. Orang cenderung menjustifikasi
agama Tao hanya sebagai nilai-nilai filsafat karena tidak mampu menangkap
essensi ajaran Tao yang tertuang pada Kitab Suci Tao De Jing, kitab suci ini berisi
5000 kata bijak dari Lao Tzu yang sederhana namun memiliki makna yang dalam
sehingga banyak orang menilai dengan subyektifitasnya sendiri
(multiinterpretable) dan terkadang menimbulkan kesesatan pemahaman.
3.4.3. Tao Ditinjau dari Definisi Peribadatan (Cult)
Cult yaitu ritus dan upacara yang dilakukan dalam hubungan dengan Creed
sebagai cara upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai
tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-Nya atau memperbaiki
kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi.
Setiap agama memiliki sistim upacara yang bertujuan untuk mencari
hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk
halus yang mendiami alam gaib. Sistim upacara ini terdiri atas beraneka-ragam
upacara dengan berbagai macam unsurnya, seperti berdoa, bersaji, bersujud,
berkorban, makan bersama, dan sebagainya25
Dalam agama Tao, sistim upacara
yang dilakukan oleh penganutnya berbentuk pemujaan atau sembahyang.
Setiap tanggal 1 dan 15 bulan (Imlek), umat agama Tao senantiasa
melaksanakan ritual keagamaan di kelenteng Sinar Tao. Pada tanggal-tanggal
25
Koentjaraningrat, Op.cit.138-139.
81
tersebut umat Tao berdatangan menuju ke Kelenteng Sinar Tao di jl. Madukoro
Blok AA/BB Semarang. Sebagian diantara mereka datang secara individual
(perorangan), dan sebagian diantara mereka datang dengan keluarganya, seperti
anak dan isterinya. Ketika datang, mereka langsung masuk ke dalam klenteng
untuk mengambil “hio” atau dupa yang telah disediakan oleh pengurus kelenteng.
Kemudian mereka langsung melakukan pemujaan/sembahyang ke dewa/dewi
agama Tao. Perlu diketahui bahwa pelaksanaan pemujaan/sembahyang ini
adakalana dilakukan secara perorangan, dan adakalanya dilakukan secara
bersama/berkelompok.
Pertama-tama, pemujaan/sembahyang dilakukan di hadapan Dewa Langit,
sebagai manifestasi Tian Kong, Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian pemujaan/
sembahyang di hadapan Maha Dewa Lao Zi, lalu secara berturut-turut melakukan
pemujaan/sembahyang di hadapan dewa/dewi agama Tao, sebagai-mana tersebut
di atas. Setelah itu, mereka berkumpul di tempat yang telah disediakan untuk
saling bertegur sapa, bercerita, berdiskusi, dan sebagainya. Pada saat inilah
pengurus yayasan atau tokoh-tokoh agama tao memberikan informasi-informasi
penting kepada umat, baik menyangkut masalah keagamaan ataupun masalah-
masalah lainnya, seperti: tata cara ibadah, bakti sosial, dan sebagainya. Kemudian
pertemuan diakhiri dengan pemujaan/sembahyang bersama yang dipimpin oleh
tokoh-tokoh agama Tao.
Selain itu, pemujaan/sembahyang dewa/dewi juga dilakukan pada hari-hari
kebesaran agama Tao, seperti perayaan hari kebesaran Sang Maha Dewa Lao Zi.
Di kelenteng Sinar Tao, perayaan hari kebesaran dilakukan pada tanggal 15 bulan
82
5 Imlek. Pada saat ini diselenggarakan upacara pemujaan/sembahyang bersama,
sebagaimana pada tanggal 1 dan 15 bulan Imlek. Hanya saja, masyarakat Tao
yang mengikutinya berjumlah lebih banyak. Jika pada pemujaan/sembahyang
tanggal 1 dan 15 bulan Imlek hanya diikuti sekitar 100 – 150 orang, maka pada
kebesaran ini diikuti oleh umat Tao sekitar 500 – 600 orang. Hal ini disebabkan
peserta ritual keagamaan tidak hanya berasal darai kota Semarang, melainkan dari
umat Tao di luar kota Semarang, seperti; Solo, Jepara, Kudus, Woonosobo,
Magelang, dan Temanggung.
Agama Tao dalam menghitung hari menggunakan penanggalan “Imlek”
yang merupakan hasil karya dari Khuang Cheng Zi sejak ±2703 tahun yang lalu.
Penanggalan Imlek ini menggunakan perhitungan berdasarkan peredaran bulan.
Penanggalan ini selain digunakan dalam kehidupan sehari-hari juga dalam
menentukan hari-hari besar kegamaan dalam agama Tao, hari-hari besar yang
dirayakan oleh umat Tao sebagai berikut:
83
Tabel 1:
Hari-Hari Besar Agama Tao Yang Diperingati Oleh Umat Tao
Tanggal Bulan (Imlek) Keterangan Nama Dewa-Dewi
15 5 Imlek Maha Dewa Tao Thay Shang Lao Jun
19 2 Imlek Kelahiran Dewi Gwan
Yin
Gwan Yin (Welas Asih)
19 6 Imlek Naik Ke Surga
19 9 Imlek Wafatnya Dewi Gwan
Yin
9 9 Imlek Pelindung Anak Li Na Zha
24 6 Imlek Dewa Kesetiaan Gwan Gong
3 3 Imlek Penjaga Langit Xuan Thian Zhang Di
2 2 Imlek Penjaga Bumi Fu De Zheng Shen
22 4 Imlek Dewa Kekayaan Chai Shen Ye
22 2 Imlek Dewa Petani Gong De Jun Ong
23 3 Imlek Dewi Penjaga Laut Thien Shang Shen Mu
28 8 Imlek Dewa Pelindung Er Lang Zhen
9 9 Imlek Pelindung Wanita Ciu Thian Xian Nie
19 7 Imlek Penguasa Waktu Tai Su Ye
15 3 Imlek Dewa Pengobatan Bao Sheng Da Di
3 2 Imlek Dewa Pendidikan Wan Chang Tee Cin
84
Dalam menjalankan pemujaan/sembahyang kepada dewa/dewi, umat Tao
harus melaksanakan “San Li Jiu Kou”, yakni membungkuk tiga kali dan bersujud
tiga kali hingga menyentuhkan jidadnya ke matras atau lantai. Bersujud dan
membungkuk merupakan tradisi Cina untuk menunjukkan penghormatan yang
paling tinggi. Penghormatan dilakukan dengan cara melipat dua tangan di depan
perut dan menurunkannya selagi membungkukkan badan ke depan. Pada
umumnya, saat menghormati para dewa hendaknya dilakukan dengan membakar
dan memasang dupa atau hio, karena hal ini memiliki makna bahwa asap dupa
merupakan sarana untuk menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para
dewa/dewi.
86
3.4.4. Tao Ditinjau dari Definisi Komunitas (Community)
Antara Khonghucu dengan Tao sama-sama tergabung dalam Tridharma
sebagai satu organ kesatuan hanya ada di Indonesia. Tridharma tidak pernah
mempunyai hubungan ke negara lain. Tridharma lahir karena dahsyatnya misi-
misi Agama Nasrani yang berorientasi menyedot Umat Buddha keturunan
Tionghoa pada akhir abad 19. Kwee Tek Hoay mendirikan Sam Kauw Hwee
setelah Tiong Hoa Hwee Koan gagal memelihara dan mengembangkan ajaran
Khong Hu Cu dan Beliau menganggap Khong Kauw Hwee yang didirikan di Solo
pada tahun 1918 dan di kota-kota lain kurang memasyarakat atau kurang
memberikan harapan.
Ong Kie Tjay membentuk Tempat Ibadat Tri Dharma karena klenteng-
klenteng di Jawa Timur terancam punah sebagai akibat dari persepsi yang kurang
lengkap dari Penguasa Perang Daerah terhadap klenteng yang dianggapnya
sebagai Lembaga Kecinaan yang non agama pasca G30S/PKI tahun 1965. Tahun
1954 lahir di Bogor Persatuan Pemuda Pemudi Sam Kauw Indonesia (P3SKI)
yang kini menjadi Pemuda Tridharma Indonesia. Salah satu pendirinya adalah
Souw Tjiang Poh atau lebih dikenal dengan nama Yogamurti bermukim di
Bandung.
Istilah Tridharma (3 agama) adalah nama baru dari Sam Kauw (dari bhs.
Hokkian: Sam = tiga, Kauw = agama, maklum nama yang berbau Cina harus ganti
nama). Sam Kauw Hwee didirikan pada Mei 1934 oleh Kwee Tek Hoay, dengan
tujuan untuk membendung Kristenisasi pada orang-orang Tionghoa. Karena
perubahan agama (menjadi Kristen) dianggap sebagai penolakan unsur
87
kebudayaan Tionghoa oleh orang Tionghoa sendiri. Dalam pandangan Sam Kauw
Hwee, tiga agama ini dapat disebut sebagai agama Tionghoa.
“itoe Sam Kauw aken mendjadi satoe philosofie agama jang paling
lengkep dan memberi faedah besar bagi manoesia, teroetama bangsa Tionghoa
jang leloehoernja soedah kenal itoe tiga peladjaran sadari riboean taon laloe”.
(tulisan Kwee Tek Hoay di Sam Kauw Gwat Po edisi Feb 1939).
Konsep Tridharma/SamKauw/Sanjiao/Tiga Agama bukan hanya ada di
Indonesia, tetapi sudah berakar mulai abad ke-12 di Tiongkok. Ditambah dengan
sifat bangsa Tionghoa yang suka mencampur adukkan ajaran agama (sinkretisme)
yang ada. Banyak bagian kebudayaan Tionghoa yang sudah tercampur-baur
dengan unsur dari ketiga agama ini.
Tridharma (Hanzi: hanyu pinyin: sanjiao) adalah sebuah kepercayaan yang
tidak dapat digolongkan ke dalam agama apapun. Tridharma disebut Samkau
dalam dialek Hokkian, berarti harfiah tiga ajaran. Tiga ajaran yang dimaksud
adalah Taoisme, Buddhisme dan Konfusianisme.
Tridharma lebih tepat disebut sebagai salah satu bentuk kepercayaan
tradisional masyarakat Tionghoa sebagai hasil dari sinkretisme ketiga filsafat yang
mempengaruhi kebudayaan Tionghoa dan sejarah Tiongkok sejak 2500 tahun lalu.
Tridharma adalah Sam Kauw / San Jiao.
Sam Kauw / San Jiao adalah Tiga Agama/Ajaran yang merupakan keimanan yang
dianut secara merata umum oleh orang Tionghoa yang oleh orang orang Barat
dikatakan sebagai Chinese Religion atau Agama Tionghoa. Bila sampai saat ini
banyak orang di luar mengatakan bahwa Tridharma itu bagian dari Buddha maka
88
secara organisatoris memang benar bahwa organisasi Tridharma berada di bawah
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Kementerian Agama RI.
Lao Tze mengajarkan bahwa Tao adalah sumber misteri, kedalaman dasar
dari ada. Konsep Tao tersebut mempunyai makna metafisik sebagai kebenaran
absolut, realitas terakhir, dasar yang kekal dari ada. Dalam Konfusianisme konsep
Tao mempunyai makna etis. Konfusianisme, Taoisme dan Buddhisme, ketiga
agama tersebut hidup berdampingan saling melengkapi dan isi mengisi, disamping
memang sejalan dengan praktek kesalehan Cina. Seorang penganut
Konfusianisme, misalnya, akan meminta seorang pendeta agama Buddha untuk
membacakan doa bagi orang yang mati karena Buddha memberikan perspektif
yang menarik tentang orang mati. Selain itu ia juga akan mempraktekan ajaran-
ajaran Tao untuk menentukan tempat penguburan yang baik. Konfusianisme
mengajarkan bagaimana belajar menjadi manusia yang sebenarnya. Dalam dunia
filsafat, inilah yang merupakan inti dari ajaran etika.
Community yakni umat yang bersama-sama memiliki Creed, Code, dan
Cult yang sama. Adanya kenyataan suatu umat (komunitas) yang terkait dalam
kepercayaan itu. Secara organisatoris, umat Tao di Kota Semarang dipimpin oleh
pengurus yayasan Sinar Tao yang sudah mengalami beberapa kali perubahan
kepengurusan. Pada awal berdirinya, yayasan Sinar Tao ini diajukan oleh
beberapa orang tokoh agama Tao ke Kantor Notaris Roekiyanto, SH tertanggal 3
Desember 2001. Tokoh Umat Tao tersebut adalah Amen Wahyudi Tairas, Dede
Leota, Lie Ka Moh, Tan I Ming, dan Andi Sandjojo Tairas. Keenam orang tokoh
tersebut tinggal di Kota Semarang, yang kemudian disebut sebagai dewan pendiri
89
Yayasan Sinar Tao yang berkedudukan di Kota Semarang. Dewan pendiri tersebut
mengangkat beberapa orang pengurus yang terdiri atas ketua yaitu Thomas
Susanto, wakil ketua yaitu Hardjo Subagyo Suprapto, sekretaris yaitu Slamet
Sugiyo, wakil sekretaris yaitu Robert Athur Wijaya, bendahara yaitu Adhitama
Nugraha S, wakil bendahara yaitu Handrijana Hardha, humas yaitu Harry
Kristianto dan wakil humas yaitu Sugiyanto Nitisastro. Semua pengurus tersebut
beretnik Tionghoa dan bertempat tinggal di Kota Semarang.
Kemudian pengurus Yayasan Sinar Tao melakukan perubahan
kepengurusan baru yang ditetapkan oleh akte notaris tertanggal 01 April 2010,
sebagai berikut:
Penasehat : Pimpin Lika
Ketua Umum : Hadi Sugiyono
Sekretaris I : Hardjo Subagio Suprapto
Bbendahara I : Nyonya Debbie Wijaya
Bendahara II : Nyonya Titik Sianiwati
Kemudian pada tahun 2013 diadakan pergantian kepengurusan baru yang
dipimpin oleh Oey Taw Ping (Hadi Sugiyono). Dalam menjalankan
kepemimpinan nya, ia dibantu oleh seorang wakil ketua bernama Liem Cheik
Tiong dan dua orang sekretaris bernama Paw Ping Gwan dan Tao Hok Nguan.
Sebagai bendahara adalah Song Mei Juan dan Jessica Movin Hadi. Mereka
disebut sebagai pengurus harian dalam kepengurusan ini. Kemudian mereka
dibantu oleh pengurus-pengurus lainnya, yakni: seksi rumah tangga adalah Siaw
Sin Chen dan Oei Gwan Tjing; Pembantu muda adalah Tan I Ming, Hoo Ming
90
Mei, dan Ong Sioe Gwat; Seksi konsumsi adalah Kho Lioe Hwa dan Law Jen
Sion; seksi keamanan adalah Teng Paw Kwok; seksi upacara dan ritual adalah
Khow Tjuan Hok dan Go Sow They; seksi kerohanian/litbang adalah They Kien
Tjong dan Tan I Ming.
Secara kelembagaan, kelenteng Sinar Tao ini dibina oleh dua majelis,
yang keduanya di bawah naungan Bimas Budha Kementerian Agama RI. Sebagai
tempat ibadat Tridharma (TITD), Kelenteng Sinar Tao ini terdaftar sebagai
lembaga keagamaan Buddha sehingga mendapat pembinaan langsung dari Bimas
Buddha Kementerian Agama Kota Semarang. Di sisi lain, Kelenteng Sinar Tao ini
mendapat pembinaan keagamaan, secara khusus agama Tao dari Majelis
Tridharma Indonesia (MTI) yang berpusat di Lampung. Perlu diketahui bahwa
MTI ini berbeda dengan organisasi keagamaan Tao yang dibentuk oleh “Taosu
Kusumo” pada tahun 1974 di Medan, Sumatera Utara. Organisasi ini
dideklarasikan oleh simpatisan Tao pada tahun 1992 di Jakarta, dengan nama
Majelis Tao Indonesia (MTI).
Di Jawa Tengah, telah terbentuk sebuah lembaga keagamaan Dewan
Pimpinan Wilayah Majelis Tridharma Indonesia Daerah Tingkat I Propinsi Jawa
Tengah, dengan susunan pengurus sebagai berikut:
Ketua : Adi Sandjoyo Tairas
Wakil Ketua : Thomas Susanto
Sekretaris : Harjo Subagyo Suprapto
Bendahara : Handrijana Hardha
Wakil Bendahara : Kuswanto Soeharsono
91
Humas : Slamet Sugiyo
Semua pengurus tersebut adalah umat agama Tao yang aktif di kelenteng
“Sinar Tao” Semarang. Pada umumnya, mereka adalah orang-orang keturunan
etnik Tionghoa yang sibuk dengan urusan bisnis. Meskipun demikian, mereka
biasanya dapat berkumpul di kelenteng pada hari pemujaan/sembahyang tanggal 1
dan 15 bulan Imlek dan atau pada hari-hari kebesaran, seperti Hari Kebesaran
Maha Dewa Lao Zi. Dilihat dari personilnya, sebagian diantara mereka memiliki
rangkap jabatan dalam organisasi di lingkungan kelenteng Sinar Tao. Hal ini
terlihat pada beberapa orang yang duduk di organisasi Yayasan Sinar Tao, namun
sebagian ada yang duduk di organisasi Paguyuban Umat Tao Indonesia (PUTI),
dan sebagian ada yang duduk di organisasi Majelis Tridharma Indonesia (MTI).
Berdirinya Paguyuban Umat Tao Indonesia, banyak mendapatkan respon
terutama dari kalangan Taoyu. Banyak timbul pertanyaan mengenai keberadaan
PUTI ini merupakan sebagai sebuah ekspresi sikap untuk mengetahui lebih
banyak dan dalam mengenai PUTI. Dalam kesempatan ini, sekretariat PUTI
PUSAT berusaha menginformasikan hal-hal mengenai PUTI ini terutama untuk
kalangan Taoyu. PUTI didirikan dengan latar belakang inisiatif beberapa aktifis
Taoyu yang merasakan perlunya sebuah badan (organisasi) Tao untuk
mengantisipasi perkembangan Tao kita yang semakin besar dan memerlukan
sebuah wadah resmi untuk menampung semua aspirasi gerak serta menjadi
perwakilan dalam berhubungan keluar, baik dalam aspek sosial maupun dalam
aspek hukumnya. PUTI adalah sebuah organisasi yang berbentuk Paguyuban,
sehingga bersifat sangat kekeluargaan dan bebas dalam menjadi wadah bagi
92
seluruh umat Tao di Indonesia. Oleh karena itu secara otomatis semua umat Tao
dapat menjadi anggotanya. PUTI adalah organisasi yang bersifat sosial (bukan
politik) selain itu PUTI tidak mencampuri urusan para anggotanya dalam
permasalahan ibadah (siutao)nya. PUTI hanya berusaha menjadi sebuah wadah
tempat bernaung serta bersatunya umat Tao di Indonesia. Berdirinya PUTI dengan
kepengurusan Pusatnya di Jakarta ini, sampai saat ini telah disukung para Taoyu
di berbagai daerah dengan berdirinya PUTI Daerah, antara lain:
1. PUTI Daerah Jakarta, tanggal 10 Oktober 2000
2. PUTI DaerahLampung, tanggal 28 Oktober 2000
3. PUTI Daerah Mojokerto, tanggal 14 November 2000
4. PUTI Daerah Jombang, tanggal 8 Desember 2000
5. PUTI Daerah Surabaya, tanggal 21 Desember 2000
6. PUTI Daerah Jambi, tanggal 24 Desember 2000
7. PUTI Daerah Bali, tanggal 11 Januari 2001
8. PUTI Daerah Kediri, tanggal 21 Januari 2001
9. PUTI Daerah Semarang, tanggal 3 Februari 2001
10. PUTI Daerah Kedu, tanggal 4 Februari 2001
Secara umum, organisasi keagamaan Tao di Semarang ini memiliki
kegiatan-kegiatan, antara lain:
a. Bidang Pendidikan
Dalam pendidikan, umat agama Tao di kelenteng “Sinar Tao”
memiliki kajian keagamaan. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada setiap
93
hari minggu dan diikuti sekitar 20 – 25 orang. Peserta kajian kebanyakan
diikuti oleh para remaja agama Tao, namun ada sebagian umat yang berusia
tua. Sedangkan orang yang mengajar kajian ini (pembina) adalah tokoh-tokoh
agama Tao, seperti: Iwan Budiwiyono, Adhi Sandjojo, dan Amen Wijaya.
Adapun materi yang dikaji adalah hal-hal yang berkenaan moralitas dan budi
pekerti, seperti berbakti kepada kedua orang tua, setia kepeda negara, mawas
diri, dan sebagainya.
b. Bidang Sosial
Dalam bidang sosial, umat agama tao seringkali mengadakan kegiatan
sosial kepada masyarakat sekitar. Kegiatan ini berbentuk bakti sosial dan
donor darah. Kegiatan bakti sosial dilakukan sebanyak 2 – 3 kali dalam
setahun. Dalam kegiatan ini, sasarannya adalah panti asuhan dan anak yatim,
panti jompo, panti wreda, fakir miskin, dan anak-anak sekolah, bahkan korban
bencana alam. Khusus kegiatan bakti sosial yang diberikan kepada masyarakat
sekitar, biasanya dilakukan pada saat menjelang hari Raya Lebaran.
Adakalanya, kegiatan ini diberikan dalam bentuk santunan sosial, bantuan
pendidikan, dan bazar atau pasar murah. Sementara itu, kegiatan donor darah
dilakukan dengan mengundang PMI ke kelenteng Sinar Tao, yang biasanya
dilakukan menjelang peringatan Hari Kebesaran Mahadewa di Kelenteng
Sinar Tao. Seluruh rangkaian kegiatan ini, dikoordinir oleh Tan I Ming,
seorang ketua organisasi Paguuban Umat Tao Indonesia (PUTI) Cabang Kota
Semarang.
94
c. Hubungan Umat Beragama
Dalam hal ini, hubungan umat beragama yang dimaksud adalah
hubungan intern dan antar umat beragama. Dalam hubungan intern umat
beragama terlihat pada peringatan hari Kebesaran di lingkungan kelenteng-
kelenteng di Kota semarang. Biasanya, setiap kelenteng saling memberi
undangan selaku anggota Perkumpulan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD)
ketika sedang mengadakan perayaan hari kebesaran. Pada saat ini, para ketua
TITD berkumpul dan saling berinteraksi antara satu sama lain. Diantara
pimpinan kelenteng di Semarang yang saling mengundang, antara lain:
Kelenteng Tay Kak Sie Gang Lombok, Kelenteng Xuan Tian Shang Grajen,
Kelenteng Sinar Samodra di Jalan Gang Pinggir, Kelenteng Siu Hok Bio di
Jalan Wotgandul, dan Kelenteng See Hoo Kiong di jalan Sebandaran, dan
Kelenteng Tri Setia Bakti di Jalan Tanggul Raya.
Dalam hubungan antar umat beragama, umat agama Tao seringkali
mendapat undangan sembahyang arwah yang diselenggarakan oleh yayasan
Perkumpulan Sosial “Boen Hian Tong” Rasa Dharma, yang terletak di jalan
Gang Pinggir 31 Semarang. Yayasan ini merupakan perkumpulan warga etnik
Tionghoa yang diyakini tertua di Semarang, sebab perkumpulan ini berdiri
sejak tahun 1876. Dengan perkumpulan ini, sesama warga etnik Tionghoa
merasakan suasana keakraban karena seringnya berkumpul bagi warga etnik
Tiongghoa di Yayasan Rasa Dharma ini.
95
Keakaraban etnik Tionghoa dengan etnik Jawa juga tercermin pada
kegiatan Barongsai. Pentas seni Barongsai biasanya diselenggarakan pada hari
raya Imlek. Pemain Barongsai tidak hanya etnik Tionghoa namun etnik Jawa
juga ikut memainkan Liong. Gerakan meliuk-meliuk di atas kayu sebagai
tempat pijakan untuk melompat dengan iringan bunyi-bunyian gendering khas
Tionghoa. Dengan sambutan ini, etnik Tionghoa yang beragama apapun,
termasuk agama Tao dapat merayakan Imlek kembali secara terbuka.
Dari uraian tersebut, aktivitas sosial yang melibatkan umat beragama
yang berbeda-beda adalah sembahyang arwah. Dalam pelaksanaannya,
kegiatan ini diikuti oleh tujuh umat beragama, seperti Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, Khonghucu dan Tao. Perlu diketahui bahwa ketujuh umat
beragama ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni enam umat beragama telah
diakui sebagai agama yang sah kepemelukannya (Islam, Kristen, Katholik,
Hindu, dan Budha), sedangkan sebuah agama (Tao) yang belum diakui sebagai
agama yang sah kepemelukannya. Masing-masing umat beragama tersebut
berkumpul dan mendoakan para arwah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing. Hal ini dapat dilakukan oleh masing-masing
umat beragama karena dilandasi dengan semangat dalam membangun
kerukunan antar umat beragama di daerah ini.
3.5. Pencantuman Agama Tao Dalam KTP Terkait Status Kewarganegaraan
Mengingat anasir yang jamak ditemui sebagai prasyarat ketika suatu
negara berdiri, yaitu adanya warga negara, wilayah dan sebuah pemerintahan yang
96
berdaulat yang saling terkait dan bersifat kumulatif. Sebagai sebuah wadah politik
masyarakat (a state of political society) dimana peran anggota yang bergabung di
dalamnya menjadi sebuah elemen yang sangat penting, dengan kata lain sebagai
sebuah organisasi negara dikuatkan oleh rakyat (warga negara) sebagai
anggotanya (Raz, 1978:6).
Meski elemen warga negara sebagai anggota negara menjadi begitu
penting, tetapi kita tidak dapat menafikkan kedua syarat lainnya sebagai suatu
kesatuan yang membangun sebuah negara. Adanya warga negara tidak akan
memiliki arti apabila wilayah sebagai tempat bernaung tidak dimiliki, dan ketika
keduanya telah dipenuhi tanpa suatu pemerintahan yang berdaulat maka negara
tersebut belum dapat dikatakan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Dipengaruhi oleh sejarah perkembangan negara maka definisi tentang
warga negara menjadi begitu beragam, definisi tersebut berkaitan dengan kondisi
yang menentukan kelayakan seseorang disebut sebagai “warga negara”
berdasarkan klasifikasi tertentu yang sesuai dengan zaman ketika sebuah negara
berdiri.
Pada saat zaman Yunani kuno penggolongan warga negara tentunya
berbeda dengan apa yang terjadi di masa kini, seperti apa yang diungkapkan oleh
Plato dalam karyanya yang berjudul “Republic”.
Plato mendeskripsikan penggolongan warga negara menjadi tiga bagian
(kelas) yaitu; pertama, golongan pemimpin yang berasal dari para filsuf umumnya
disebut sophia karena kebijaksanaannya. Kedua, golongan yang memiliki
keberanian dan keteguhan hati untuk berkorban demi negara dengan menjaga
97
keamanan negara. Kaum andreia ini bersama golongan pertama seluruhnya
melayani negara, dan karenanya mereka tidak hidup berkeluarga dan tidak
memilki kekayaan. Kelas ketiga terdiri dari orang-orang yang memiliki
keutamaan lain, yakni pengendalian diri (soophrosune). Yaitu para petani dan
tukang, dimana mereka tidak memiliki peranan dalam negara26
.
Konsepsi ini didasarkan pada pemikiran Plato tentang keadilan, diyakini
oleh Plato bahwa umumnya setiap manusia lebih bisa melihat hal-hal yang besar
daripada yang bersifat lebih kecil. Sehingga untuk terciptanya suatu negara yang
adil maka diperlukan unsur yang sangat penting untuk membangunya, yakni
individu yang adil sebagai seorang warga negara. Keadilan akan tercipta ketika
warga negara yang terbagi ke dalam kelas-kelas tersebut bertindak sesuai dengan
tempatnya dan tugas yang telah menjadi konsekuensinya.
Lain halnya dengan Aristoteles berpendapat bahwa negara itu merupakan
suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu, yang terbentuk karena adanya
penggabungan manusia dimulai dari organisasi terkecil berupa keluarga. Dengan
kata lain manusia (individu) tidak dapat dipisahkan dari masyarakat atau negara,
terdapat korelasi erat yang terjalin diantara keduanya. Sehingga yang dimaksud
dengan warga negara adalah manusia-manusia yang hidup di dalam polis sebagai
satu kesatuan, karena pada hakekatnya manusia adalah seorang “mahluk polis”
atau (zoon politikoon)27
.
26
Huijbers, Theo. 1988. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Cetakan Ke-empat.
Yogyakarta: Kanisius. Hlm. 23. 27
Soehino. 2000. Ilmu Negara. Cetakan Ke-tiga. Yogyakarta: Liberty. Hlm. 25.
98
Dewasa ini di ranah hukum tata negara orang-orang yang berdiam di
dalam wilayah suatu negara biasa disebut penduduk dan terbagi menjadi dua,
yaitu warga negara dan orang asing. Menurut John Alder dalam “Constitusional
and Administrative Law”, bahwa perbedaan kedudukan antara warganegara dan
orang asing adalah;
“In this general sense citizenship means full membership of a state.
Citizenship can be distinguished from other relationships in that
citizenship involves rights againts and duties to the whole community as
opposed to those who concerning only people we know personally such as
friends and family or right arising by agreement. In the civic republican
tradition (Chapter1), citizenship is particularly associated with active
participation entitlements of individuals againts the state. The unpleasant
side of citizenship is that it entails ‘exclusion’ in the sense of an
unwelcoming attitude to those regarded as non-citizens, who in UK law
are labelled ‘aliens’.
Yang dimaksud dengan warganegara adalah anggota dari suatu negara
dimana hubungan diantara keduanya diatur secara yuridis, dengan disertai
konsekuensi berupa privileges dan immunities. Selain menerima privileges dan
immunities tersebut mereka harus membuktikan loyalitasnya kepada negara
dengan dibebani sejumlah kewajiban (duty). Orang asing atau aliens adalah
penduduk diluar warganegara yang berdiam di wilayah suatu negara dengan suatu
kondisi permission, dan hubungan yang terjalin diantara orang asing-negara
hanya berlangsung saat dia menempati wilayah negara tersebut.
Status kewarganegaraan sejak seseorang dilahirkan sampai maut
menjemputnya dirasakan sangat penting, hal ini merupakan langkah awal untuk
menentukan seseorang tunduk pada yurisdiksi suatu negara. Karena status
kewarganegaraan terkait dengan pemenuhan dan perlakuan yang harus dipenuhi
dalam wilayah hukum perdata maupun hukum pidana, namun yang paling utama
99
adalah di wilayah hukum publik dimana relasi yang terjalin antara negara-
warganegara lebih nyata28
.
Ketika seseorang telah dengan jelas mengakui dirinya sebagai seorang
warganegara, dan mau tunduk kedalam yurisdiksi negara tersebut sebagai bentuk
loyalitasnya maka ikatan antara negara dan warganegara tersebut umumnya
dinyatakan dalam bentuk surat-surat, baik keterangan maupun keputusan yang
digunakan sebagai bukti adanya keanggotaan tersebut. Di awal-awal masa
kemerdekaan pengaturan tentang bukti identitas kependudukan erat kaitannya
dengan usaha pemerintah dalam mengawasi orang asing yang hadir di wilayah
negara, patut dipahami tindakan pemerintah tersebut karena saat itu stabilitas
pertahanan dan keamanan negara dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Salah satu bentuk bukti identitas diri kependukan berupa KTP atau biasa
disebut Kartu Tanda Penduduk yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 angka
(14) Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Sebelum kehadiran Undang-Undang No.23 Tahun 2006 pengaturan KTP
diatur dalam Kepres No.52 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Penduduk,
pengaturan pendaftaran penduduk diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri
melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No.8 tahun 1977 tentang Pelaksanaan
Pendaftaran Penduduk dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 tahun 1982
tentang Pelaksanaan Administrasi Penduduk di Desa dan Kelurahan.
28
Sartono, Romlah. Upaya Hukum Mengatasi Apatride (Stateless). Yuridika No.2
Tahun XI,Maret-April 1996.
100
Perkembangan agama Tao di Semarang sudah sejak cukup lama, sejalan
dengan datangnya etnik Tionghoa di Indonesia. Akan tetapi, perkembangannya
hingga kini tergolong sangat lamban, karena agama ini tidak mengenal missi
melainkan hanya warisan leluhurnya. Selain itu, perkembangan agama ini juga
mengalami keterpurukan selama 30 tahun lebih karena kebijakan pemerintah yang
kurang menguntungkan, terutama di masa Orde Baru. Hal ini terlihat pada
kebijakan pemerintah yang berupa Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang
Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Implikasi dari adanya peraturan ini
adalah agama ataupun adat istiadat yang berasal dari daratan Cina, seperti agama
Tao terlarang di Indonesia. Hal ini berimplikasi juga pada pencatuman agama
dalam administrasi kependudukan, terutama KTP.
Di era reformasi, perkembangan agama ini mulai terbuka, yang ditandai
dengan dicabutnya Inpres No 14/1967 dan diterbitkannya Keppres No 6/2000.
Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Republik Indonesia,
beliau mengeluarkan kebijakan berupa Keppres No.6 Tahun 2000 tentang
Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat
Istiadat China yang melarang agama dan adat istiadat China beredar di Indonesia
secara terang-terangan. Keppres No.6 Tahun 2000 ini melegalkan segala aktivitas
kegamaan dan adat istiadat Cina yang sempat dilarang, dan kemudian Presiden
Megawati menyikapinya dengan menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari besar
keagamaan, yakni sebagai hari libur nasional.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun
memberikan angin segar terhadap perkembangan aktivitas keagamaan dan adat
101
istiadat Cina. Hal ini terlihat pada sambutannya pada peringatan Imlek di bulan
Februari tahun 2006, yaitu:
“... Kita tidak ingin lagi bersikap diskriminatif, kita telah berubah.
Walaupun saya masih sering mendengar adanya keluhan, biasanya berkaitan
dengan pelayanan administrasi kependudukan, keimigrasian, menjalankan ibadah
agama, dan mencatatkan perkawinan”.
Oleh karena itu, pelayanan dan bimbingan hak-hak sipil bagi umat
beragama Tao selama ini dirasakan lebih baik dibandingkan dengan era-era
pemerintahan sebelumnya. Pada era pemerintahan terdahulu, umat Tao seolah
dipaksakan untuk masuk agama lain, karena umat agama Tao harus memilih salah
satu agama yang diakui kepemelukannya oleh pemerintah, yakni Islam, Katolik,
Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Dalam hal ini, umat agama Tao memilih
agama Buddha untuk dicantumkan dalam KTP, karena sebagai aliran/sekte
“Tridharma”. Meskipun demikian, umat agama Tao dalam kehidupan sehari-hari
diberikan kebebasan untuk menjalankan ritual keagamaan sesuai dengan
keyakinannya. Bagi umat agama Tao, mencantumkan agama apapun di dalam
KTP bukan masalah, karena essensi beragama tidak berada di KTP, melainkan
berada dalam kehidupan sehari-hari atau dalam kehidupan bermasyarakat.
3.6. Legitimasi Hak Warga Negara Melalui Kartu Tanda Penduduk
Status kewarganegaraan membedakan antara warga negara dan orang
asing, tentunya perbedaan ini membawa konsekuensi yang tidak sama bagi
keduanya. Tidak dapat diingkari kondisi riil suatu negara dimana wilayahnya
didiami oleh tidak hanya penduduk yang notabene warga negaranya sendiri,
102
melainkan juga orang asing yang datang walaupun mungkin hanya bersifat
sementara. Kehadiran orang asing ini tidak akan mudah diawasi apabila tidak
diakomodir oleh suatu mekanisme yang terorganisir dengan baik, untuk itu
dibutuhkan suatu sistem administrasi pendaftaran penduduk.
Sistem administrasi pendaftaran penduduk ini akan membantu negara
untuk memperoleh data yang pasti tentang siapa saja yang termasuk kedalam
kategori warga negara atau orang asing, karena data-data kependudukan tersebut
akan mempengaruhi kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam
mewujudkan cita-cita bangsa melalui pembangunan.
Sesuai dengan Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No.28 Tahun
2005 Tentang Petunjuk Teknis Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk
Dan Pencatatan Sipil Di Daerah bahwa pada dasarnya sistem administarasi
kependudukan merupakan bagian sistem administrasi negara, yang mempunyai
peran penting dalam pemerintahan dan pembangunan dimana sistem administrasi
kependudukan ini diarahkan pada:
a Pemenuhan hak asasi setiap orang di bidang pelayanan administrasi
kependudukan;
b Peningkatan kesadaran penduduk akan kewajibannya untuk berperan serta
dalam pelaksanaan kependudukan;
c Pemenuhan data statistik kependudukan dan statistik peristiwa kependudukan;
d Dukungan terhadap perencanaan pembangunan kependudukan secara nasional,
regional dan lokal;
103
e Dukungan terhadap pembangunan sistem administrasi kependudukan guna
meningkatkan pemberian pelayanan publik tanpa diskriminasi.
Sayangnya selama ini kegiatan administrasi kependudukan mengalami
banyak kendala dan ruwet, tidak heran karena terlalu banyak aturan tentang
masalah administrasi kependudukan yang tumpang tindih. Sesuai dengan
Penjelasan Umum Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan bahwa aturan-aturan administrasi kependudukan sebelumnya
masih mengacu pada ketentuan yang ada pada produk hukum kolonial sehingga
benyak ditemui perlakuan diskriminatif di dalamnya yang membeda-bedakan
suku, keturunan, dan agama.
Dijelaskan bahwa selain adanya diskriminasi tersebut, kegiatan
administrasi kependudukan tidak didukung oleh kemampuan pemerintah dalam
mengelola informasi kependudukan dalam suatu database yang akuntabel,
seringkali karena kelemahan ini seseorang mampu memiliki KTP ganda
(http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Berita&op=detail_berita&id=1157)
Kehadiran Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Adminstrasi
Kependudukan diharapkan mampu menjadi problem solving bagi kegiatan
administrasi kependudukan, dalam Undang-Undang ini terdapat pengaturan
tentang NIK (Nomor Induk Kependudukan) yakni nomor yang secara khusus
diberikan sebagai bukti diri penduduk yang bersifat unik, khas, tunggal dan
melekat pada seseorang sepanjang masa. Sesuai dengan Pasal 13 ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3), sebagai berikut:
(1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK
104
(2) NIK sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) berlaku seumur
hidup dan selamanya, yang diberikan oleh pemerintah dan
diterbitkan oleh Instansi Pelaksana kepada setiap Penduduk setelah
dilakukan pencatatan biodata.
(3) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam setiap
Dokumen Kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan paspor,
surat izin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis asuransi,
sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya.
Sesuai dengan Penjelasan Umum Undang-Undang No.23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan bahwa hal penting dari pengaturan
mengenai penggunaan nomor induk kependudukan (NIK) merupakan identitas
penduduk Indonesia dan kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi jati
diri seseorang guna mendukung pelayanan publik di bidang administrasi
kependudukan. Sebagai kunci akses dalam pelayanan kependudukan NIK
dikembangkan kearah identifikasi tunggal bagi setiap penduduk. Untuk penerbitan
NIK, setiap penduduk wajib mencatatkan biodata Penduduk yang diawali dengan
pengisian formulir biodata Penduduk di desa/kelurahan secara benar. NIK wajib
dicantumkan dalam setiap Dokumen Kependudukan, baik dalam pelayanan
Pendaftaran Penduduk maupun Pencatatan Sipil, serta sebagai dasar penerbitan
berbagai dokumen yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan.
Langkah awal untuk mendapatkan NIK adalah melaksanakan kewajiban
melaporkan peristiwa kependudukan yang terjadi kepada Instansi Pelaksana
105
sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No.23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi:
“Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan
Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan
memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil.”
Ketentuan diatas mewajibkan setiap penduduk untuk melaporkan peristiwa
kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya, mekanismenya secara
umum diawali dengan melakukan pencatatan peristiwa kependudukan dan
peristiwa penting yang dialami oleh penduduk kepada instansi pelaksana.
Pengaturan tentang pencatatan tersebut diatur oleh suatu peraturan petunjuk teknis
pelaksanaan tentang penyelenggaraan pendaftaran penduduk, karena Undang-
Undang No.23 Tahun 2006 ini baru diundangkan pada tanggal 29 Desember 2006
maka peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan masih belum terbentuk sehingga
masih mengggunakan peraturan pelaksana yang berlaku sebelumnya sesuai
dengan Pasal 102 dari Undang-Undang ini yang berbunyi sebagai berikut:
“Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, semua Peraturan
Pelaksanaan yang berkaitan dengan Administrasi Kependudukan
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”
Maka mekanisme pencatatan pendaftaran penduduk ini masih
menggunakan peraturan lama yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri No.28
Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil di Daerah, mekanisme pencatatan biodata penduduk disebutkan
didalam Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28 Tahun 2005 Tentang
106
Petunjuk Teknis Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil di Daerah, sebagai berikut:
1. Untuk WNI
Dalam Pencatatan Biodata Penduduk, Petugas melakukan tugasnya
sebagai berikut:
a Memeriksa status penduduk dan kebenaran surat bukti keterangan yang
dimiliki, seperti:
(1) Surat Pengantar dari RT/RW atau Dusun/Lingkungan;
(2) Dokumen Penduduk yang dimiliki, antara lain Kartu Tanda Penduduk
atau Akta Kelahiran;
(3) Surat Keterangan Pendaftaran Kedatangan dari Luar Negeri (Khusus
NIK WNI yang baru datang dari Luar negeri).
b Melakukan verifikasi dan validasi isian formulir biodata penduduk dan
kelengkapan berkas pendaftaran biodata penduduk;
c Mengirimkan formulir ke Tempat Perekaman Data Kependudukan (TPDK)
dan mengarsipkan biodata.
2. Untuk Penduduk Orang Asing
Khusus untuk penduduk Orang Asing, pelaporan diri untuk pencatatan
biodata penduduk dilakukan oleh unit kerja yang mengelola pendaftaran
penduduk dan pencatatan sipil di kabupaten/kota, sebagai berikut:
a Memeriksa status penduduk dan kebenaran surat bukti keterangan yang
dimiliki, seperti:
(1) Surat Pengantar dari RT/RW/dusun/lingkungan;
107
(2) Izin Tinggal Terbatas atau Izin Tinggal Tetap;
b Menerima dan meneliti isian formulir biodata penduduk dan kelengkapan
berkas pendaftaran biodata penduduk;
c Mengirimkan formulir ke Tempat Perekaman Data Kependudukan (TPDK)
dan mengarsipkan berkas biodata.
Output dari kegiatan pencatatan biodata penduduk tersebut adalah
diterbitkannya Dokumen Kependudukan yang meliputi:
a Biodata Penduduk: adalah keterangan yang berisi elemen data tentang jati diri,
informasi dasar serta riwayat perkembangan dan perubahan keadaan yang
dialami oleh Penduduk sejak saat kelahiran;
b KK (Kartu Keluarga): adalah kartu identitas keluarga yang memuat data
tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota
keluarga;
c KTP (Kartu Tanda Penduduk): adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti
diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seleuruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d Surat Keterangan Kependudukan: adalah surat keterangan yang paling sedikit
memuat keterangan tentang nama lengkap, NIK, jenis kelamin, tempat tanggal
lahir, agama, alamat, Peristiwa Penting dan Peristiwa Kependudukan
seseorang, yang meliputi; Surat Keterangan Pindah; Surat Keterangan Pindah
Datang; Surat Keterangan Pindah ke Luar Negeri; Surat Keterangan Datang
dari Luar Negeri; Surat Keterangan Tempat Tinggal; Surat Keterangan
Kelahiran; Surat Keterangan Lahir Mati; Surat Keterangan Pembatalan
108
Perkawinan; Surat Keterangan Pembatalan Perceraian; Surat Keterangan
Kematian; Surat Keterangan Pengangkatan Anak; Surat Keterangan Pelepasan
Kewarganegaraan Indonesia; Surat Keterangan Pengganti Tanda Identitas;
Surat Keterangan Pencatatan Sipil.; dan
e Akta Pencatatan Sipil: adalah dokumen yang dihasilkan dari kegiatan
Pencatatan Sipil yang terdiri atas:
1. Register Akta Pencatatan Sipil, memuat antara lain:
a Jenis peristiwa penting;
b NIK dan ststus kewarganegaraan;
c Nama orang yang mengalami Peristiwa Penting;
d Nama dan identitas pelapor;
e Tempat dan tanggal peristiwa;
f Nama dan identitas saksi;
g Tempat dan tanggal dikeluarkannya akta;
h Nama dan tanda tangan Pejabat yang berwenang.
2. Kutipan Akta Pencatatan Sipil, terdiri atas kutipan akta:
a Kelahiran;
b Kematian;
c Perkawinan;
d Perceraian; dan
e Pengakuan anak
109
Dari kelima dokumen kependudukan yang ada tersebut, hanya KTP –lah
yang menjadi suatu bukti diri identitas seorang penduduk yang bersifat personal
yang bersentuhan langsung dengan kehidupan bermasyarakat. KTP menjadi bukti
diri yang pertama kali akan dipertanyakan kepada seorang penduduk ketika
melaksanakan aktivitas yang mensyaratkan identitas diri, contohnya ketika
seseorang hendak berurusan dengan bank maka KTP-lah yang diminta sedari awal
untuk legitimasi statusnya, bahkan KTP erat sekali kaitannya dengan masalah
pemilu atau pilkada dimana data kependudukan yang tercantum dalam KTP
menjadi dasar menentukan seseorang berhak mengikuti pemilu atau tidak. KTP
berkaitan erat dengan hak-hak keperdataan maupun hak-hak kenegaraan29
.
Oleh karenanya setiap penduduk wajib memiliki KTP dan wajib dibawa
kemanapun mereka pergi sebagaimana yang diatur ketentuan Pasal 63 ayat (1) jo
Pasal 63 ayat (5) Undang-Undang No.23 Tahun 2006, yang berbunyi:
(1) “Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki
Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah
kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP”
(5) “Penduduk yang telah memiliki KTP wajib membawa pada saat
bepergian”.
KTP (Kartu Tanda Penduduk) mencantumkan gambar lambang Garuda
Pancasila dan peta wilayah negara Republik Indonesia, memuat keterangan
tentang NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status
perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa
29
Media Praja. Saatnya Menertibkan Admintrasi Kependudukan. Media Praja Edisi 1-15
November 2006.
110
berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, tandatangan pemegang KTP, serta
memuat nama dan nomor induk pegawai pejabat yang menandatanganinya.
Masalah mulai timbul ketika KTP bergesekan dengan suatu komunitas
penduduk yang memiliki perbedaan kondisi dengan apa disyaratkan oleh
pemerintah, ketika seorang penduduk hendak mengajukan haknya untuk
memperoleh bukti diri status kependudukannya berupa KTP terganjal pada
masalah religi yang diyakininya. Masalah ini dialami oleh sejumlah penduduk
yang memiliki keyakinan berbeda dengan keyakinan yang diakui oleh pemerintah,
dalam hal ini umat Tao adalah salah satu entitas penduduk yang mengalami
perlakuan diskriminatif ketika menuntut haknya memperoleh KTP sebagai bukti
diri yang dilegitimasi.
Umat Tao mengalami hambatan karena keyakinan mereka tidak dapat
dicantumkan di kolom agama dalam format KTP tersebut, keyakinan yang dianut
oleh mereka (agama Tao) dianggap bukanlah “agama” atau lebih tepatnya
bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah. Lantas “agama” yang
bagaimanakah yang dapat diterima oleh pemerintah sehingga layak untuk
dicantumkan dalam KTP sebagai bagian dari identitas seorang penduduk ?.
Ketentuan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang No.23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukzn yang berbunyi:
“Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat
kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
kependudukan”
111
Sedangkan dari Penjelasan Pasal 64 ayat (2) Undang-Undang ini juga
tidak memberikan gambaran yang berarti tentang apa yang dimaksud dengan
istilah “agama yang belum diakui” dan “pengahayat kepercayaan”, karena yang
ada hanya keterangan “cukup jelas”. Padahal belumlah jelas dengan apa yang
dimaksud oleh ketentuan tersebut terhadap konsepsi “agama yang belum diakui”
dan “penghayat kepercayaan”.
Di dalam Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juga
tidak memberikan penjelasan yang berarti tentang konsepsi “agama yang belum
diakui”, namun di dalam peraturan pelaksana ini dijelaskan tentang apa yang
dimaksud dengan “penghayat kepercayaan”. Pasal 1 angka (19) PP No.37 Tahun
2007 menyatakan bahwa:
“Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya
disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan
meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa”.
Tentunya para penghayat kepercayaan ini akan “mempercayai” sesuatu hal
yang dapat dikategorikan sebagai suatu sistem kepercayaan, Pasal 1 angka (18)
dari Peraturan ini menjelaskan bahwa:
“Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan
pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan
keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang
ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia”.
Bila kita mengikuti definisi tentang aliran kepercayaan dari ketentuan PP
No.37 Tahun 2007 bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
merupakan keyakinan personal yang diimplementasikan pada ritus habitual wujud
112
ketaqwaan terhadap Tuhan. Namun janggalnya adalah ritus ibadat itu bersumber
dari pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa
Indonesia, apakah lantas “aliran kepercayaan” seperti Tao dapat dikategorikan
sebagai kepercayaan terhadap Tuhan yang nilai-nilainya bersumber dari kearifan
lokal bangsa Indonesia?
Dan jawaban yang kita dapatkan adalah bahwa Tao tidak merupakan
agama lokal bangsa Indonesia, karena nilai-nilai ajaran kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dalam kedua agama ini tidaklah bersumber dari kearifan
lokal bangsa Indonesia melainkan kearifan budaya Tiongkok (China). Bila aturan
dari PP No.37 Tahun 2007 menjadi suatu alas hukum untuk melarang umat Tao
menuliskan identitas keagamaannya pada kolom agama di KTP karena bukanlah
“agama” melainkan “aliran kepercayaan” tidak dapat dibenarkan, secara logika
kita dapat mengatakan bahwa agama Tao adalah agama lokal Tiongkok dan bukan
agama lokal bangsa Indonesia laiknya ajaran Sapta Dharma dan Subud.
Dari beberapa ketentuan diatas tidak memberikan gambaran kepada kita
mengapa masalah kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa
dapat mengahambat seseorang untuk memperoleh KTP, dimana kartu tersebut
merupakan hak penduduk untuk dilegitimasi statusnya sebagai bagian dari entitas
penduduk di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ternyata
permasalahan ini bersumber dari keruwetan yang terjadi selama beberapa dekade
yang lampau dalam sejarah bangsa Indonesia, berujung dari problematika
kewarganegaraan yang dialami oleh etnik Tionghoa secara general yang terjadi
113
jauh sebelum Indonesia medeka namun diperparah oleh kondisi pasca G 30 S PKI
yang menimbulkan prasangka kultural terhadapnya.
Agama Tao adalah agama yang berasal dari negeri Tiongkok (China)
sebagai negeri asal etnik Tionghoa, jadi penganut Tao umumnya berasal dari etnik
tersebut. Segala yang berbau China atau Cina dianggap buruk dan lekat dengan
aliran kiri (komunis: PKI) sehingga pemegang otoritas saat itu mengambil
kebijakan berupa Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Implikasi dari adanya peraturan ini adalah
baik agama maupun adat istiadat yang berasal dari China terlarang di Indonesia,
sehingga “agama” seperti Tao pun dilarang keberadaannya. Tak pelak di bidang
administrasi kependudukan agama-agama itu pun tidak dapat dicantumkan dalam
dokumen kependudukan, terutama KTP. Polemik ini diperparah dengan
munculnya SE Mendagri No.477/74054 tentang Petunjuk Pengisian kolom
Agama pada tanggal 18 Nopember 1978, yaitu:
“....Berdasarkan Ketetapan MPR NO.IV/MPR/1978, tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara, dan sesuai dengan Instruksi Menteri Agama No.4
Tahun 1978 jelas dinyatakan bahwa aliran kepercayaan adalah bukan
Agama. Agama yang diakui oleh Pemerintah ialah: Islam, Katolik, Kristen
Protestan, Hindu dan Budha. Dan memperhatikan juga hasil Sidang
Kabinet Terbatas Bidang Polkam tanggal 27 September 1978No.K-
212/Set Neg/10/78 maka perlu dikeluarkan petunjuk pengisian kolom
“Agama” pada lampiran formulir Keputusan Menteri Dalam Negeri
No.221a Tahun 1975”.
Untuk itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
“Terhadap formulir Model 1 sampai dengan Model 7 dan formulir Model
A dan B tentang izin Perkawinan apabila tercantum kolom Agama maka
bagi yang tidak menganut salah satu dari kelima Agama yang resmi diakui
oleh Pemerintah seperti antara lain penganut kepercayaan Terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan lain-lain maka pada kolom Agama pada fomulir
dimaksud cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-).”
114
Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa KTP merupakan
legitimasi status penduduk, sehingga dengan adanya bukti idetitas diri itu mereka
dapat mengajukan claim akan haknya maupun mengakses semua lini kehidupan
bermasyarakat. Realita yang terjadi di masyarakat ketika para penganut agama
Khonghucu maupun Tao hendak mengurus KTP mereka kembali dihadang oleh
masalah teknis karena sedari awal mereka telah dikategorikan sebagai “agama
setrip” – karena sesuai petunjuk pengisian kolom agama yang mengharuskan
agama mereka cukup diisi dengan tanda garis pendek mendatar (-) atau setrip,
sehingga istilah agama setrip melekat padanya – seharusnya kolom agama di KTP
mereka pun diisi dengan tanda (-) namun yang terjadi mereka diharuskan
berafiliasi dengan “agama resmi” – dengan kata lain mereka diharuskan
kompromi dengan menafikkan keyakinan yang dianutnya dengan mencantumkan
keenam agama yang diakui pada KTP.
Dalam perkembangannya karena KTP begitu crucial tidak sedikit para
penganut agama Tao, sehingga penganut agama Tao tersebut terpaksa
mengingkari ajaran agamanya berafiliasi dengan agama resmi, mereka menuliskan
kolom agama yang ada dalam KTP tersebut dengan mencantumkan “agama
resmi” yang diakui Pemerintah Indonesia saat ini tapi seringkali mereka
cenderung memilih agama Budha sebagai identitas keagamaannya.
Diskriminasi di bidang pelayanan KTP ternyata tidak berpengaruh pada
pelayanan perkawinan bagi umat Tao yang sudah dilayani oleh Pemerintah
Indonesia. Sejak Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan berlaku, maka pengaturan tentang pencatatan sipil tunduk pada
115
Undang-Undang No.23 Tahun 2006 karena kegiatan pencatatan sipil masuk ke
dalam kegiatan Administrasi Kependudukan.
Sebelumnya Pemerintah Indonesia dalam hal pelayanan perkawinan
memakai Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang diundangkan pada tanggal 2
Januari 1974 mengharuskan setiap perkawinan dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaan dari para penduduk dan dicatatkan, seperti yang
dijelaskan oleh Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yaitu:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu;
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pelaksanaannya diatur dalam PP No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ditindak lanjuti dengan
Surat Menteri Dalam Negeri No.221 a Tahun 1975 Tentang Ketentuan Pencatatan
Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan
Berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya.
Menegok masa lalu ketika dimulai berlakunya Inpers No 14 Tahun 1967
Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa yang membatasi
tentang keberadaan Tao yang dianggap hasil kebudayaan China membuat
perkawinan dan pencatatan perkawinan yang dilaksanakan umat ini memiliki
pengaturan yang berbeda dengan agama-agama lain yang diakui oleh pemerintah.
Hal ini membuat perkawinan yang dilaksanakan dengan hukum agama Tao tidak
dapat diakui oleh pemerintah, yang ditegaskan oleh Surat Edaran Menteri Dalam
116
Negeri No.477/74054 tanggal 11 Novemeber 1978 Tentang Petunjuk Pengisian
Kolom “Agama” pada lampiran SK.Mendagri No.221 a Tahun 1975 Tentang
Ketentuan Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan Sipil
Sehubungan dengan Berlakunya Undang-Undang Perkawinan serta Peraturan
Pelaksanaannya, sebagai berikut:
… Sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.221 a
Tahun 1975 Tentang Ketentuan Pencatatan Perkawinan dan Perceraian
pada Kantor Catatan Sipil Sehubungan dengan Berlakunya Undang-
Undang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya perlu dijelaskan
bahwa:
Berdasarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978, tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara, dan sesuai dengan Instruksi Menteri Agama No.4 Tahun
1978 jelas dinyatakan bahwa aliran kepercayaan adalah bukan Agama.
Agama yang diakui oleh Pemerintah ialah: Islam, Katolik,
Kristen/Protestan, Hindu dan Budha.
Dan memperhatikan juga hasil Sidang Kabinet Terbatas Bidang Polkan
tanggal 27 September 1978 No.K-212/Set Neg/10/78 maka perlu
dikeluarkan petunjuk pengisian kolom “Agama” pada lampiran
SK.Menteri Dalam Negeri No.221 a Tahun 1975.
Untuk itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Terhadap formulir Model 1 sampai dengan Model 7 dan formulir Model A
dan B tentang izin Perkawinan apabila tercantum kolom Agama maka bagi
yang tidak menganut agama resmi diakui oleh Pemerintah seperti antara
lain penganut keprcayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lain-lain
maka pada kolom Agama pada formulir dimaksud cukup diisi dengan
tanda garis pendek mendatar (-)”.
Sehubungan dengan sikap pemerintah terhadap agama-agama diluar
agama resmi (biasa disebut aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa)
dan pelaksanaan perkawinan, pencatatan perkawinan dan perceraian, terdapat
beberapa surat edaran dari menteri-menteri (dimungkinkan bisa menimbulkan
masalah bagi jaminan hak beragama di Indoensia, karena seharusnya muatan surat
edaran tidaklah mengikat secara hukum) terkait yang memberikan baik petunjuk
pengisian kolom agama maupun tata cara perkawinan bagi mereka, yaitu:
117
1. Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 17 Mei 1977 No.Pem.18/2/45 Perihal
Pengangkatan Pimpinan Tuntunan Kerohanian Sapta Darma Jawa Timur
sebagai Pembantu Catatan Sipil;
2. Surat Menteri Agama tanggal 3 Juni 1978 Perihal Masalah Menyangkut
Aliran Kepercayaan;
3. SK.Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep.089/J.A/9/78 Tentang Larangan
Pengedaran/Penggunaan Surat Kawin yang dikeluarkan oleh Yayasan Pusat
Srati Darma Yogyakarta;
4. Surat Edaran Menteri Agama tanggal 18 Oktober 1978 No.B.VI/11215/78
Tentang Masalah penyebutan Agama, perkawinan, sumpah dan penguburan
jenazah bagi umat beragama yang dihubungkan dengan Aliran Kepercayaan;
5. Surat Menteri Agama tanggal 28 Desember 1979 No.MA/650/1979 Tentang
Pencatatan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
6. Surat Edaran Mendagri tanggal 12 Januari 1980 No.477/286/S.J Tentang
Pencatatan Perkawinan bagi para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa;
7. Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia (bersifat rahasia) tanggal 18 Mei
1981 No.R-651/D.1/1981 Tentang Petunjuk Presiden R.I. tentang perkawinan
pria dan wanita penganut Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
8. Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia(bersifat rahasia) tanggal 29
September 1984 No.R-1274/D.3/9/1984 Tentang PerkawinanMenurut Tata
Cara Kepercayaan;
118
9. Surat Menteri Dalam Negeri (bersifat rahasia) tanggal 15 November 1984
No.X.474.2/4000/PUOD Tentang Perkawinan Menurut Tata Cara
Kepercayaan;
10. Surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia (bersifat rahasia)tanggal15 April
1985 No.R-625/D.4/4/1985 Tentang Pengiriman Surat Depdagri
No.X.474.2/4000/PUOD Tentang Perkawinan Menurut Tata Cara
Kepercayaan tanggal 15 Nopember 1984.
Hal-hal pokok yang menyangkut tentang pencatatan sipil bagi umat Tao
tunduk pada peraturan tentang pencatatan sipil secara umum sesuai Kepres No.12
Tahun 1983 tentang Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan
Catatan Sipil, hanya saja jika terdapat kolom agama yang harus diisikan dalam
formulir harus diisikan sesuai petunjuk Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
No.477/74054 Tentang Petunjuk Pengisian Kolom “Agama”, yakni dengan tanda
garis pendek mendatar (-).
Umat Tao berbeda dengan umat Khonghucu yang kini agamanya sudah
resmi diakui oleh Pemerintah Indonesia. Pada masa umat Khonghucu belum
dilayani Pemerintah Indonesia pada pelayanan perkawinan bisa dilihat pada kasus
perkawinan yang dimulai pada tahun 1995 ketika khalayak dikejutkan oleh
perlawanan dari pasangan Budy Wijaya dan Lanny Guito yang ditolak untuk
mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Surabaya karena keduanya
dianggap melakukan perkawinan tidak sesuai dengan agama resmi tetapi sesuai
“ajaran” Khonghucu, sehingga pasangan ini memutuskan untuk menggugat KCS
Surabaya pada PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara).
119
Akibatnya perkawinan keduanya dianggap tidak pernah ada dan hal ini
membuat anak hasil dari perkawinan itu yang bernama Fuji tidak dapat
dikeluarkan akte kelahiran, reaksi keras bermunculan dari banyak kalangan seperti
Dede Oetomo, Eko Soegitario, Sri Soemantri, bahkan Gus Dur seorang
cendekiawan muslim yang concern terhadap hak-hak beragama. Dibandingkan
dengan Khonghucu yang melakukan perlawanan secara represif terhadap
pemerintah, umat Tao cenderung untuk bersikap dialogis dan melakukan
pendekatan persuasif, keyakinan yang bersumber dari ajaran agama Tao membuat
mereka lebih kompromistis sehingga muncul penilaian awam bahwa mereka lunak
atau mungkin berada dalam kondisi hypocrisy sebagaimana yang dicetuskan oleh
Djohan Effendy. Umat Tao selama ini ketika bergesekan dengan kegiatan yang
mensyaratkan keyakinannya dituliskan dalam sebuah dokumen memilih untuk
menuruti kehendak umum dengan menuliskan agama Budha sebagai agamanya.
Umat Tao selama ini ketika bergesekan dengan kegiatan yang
mensyaratkan keyakinannya dituliskan dalam sebuah dokumen kependudukan
memilih untuk menuruti kehendak umum dengan menuliskan agama Budha
sebagai agamanya. Sikap umat Tao itu tidak lepas dari azas dasar yang dianut oleh
umat Tao yang bersumber pada Kitab Suci Tao De’ Jing yang berati “Aturan
mengenai Jalan dan Kebajikan” mengajarkan bahwa:
“Water is like the highest good
Because it flows to the lowest place
While people strive to move upward
Water goes freely downward
And on its effortless course
Nourishes everything in its path
Such is the way of the Tao.(The qualities of Tao, Tao De Jing 8)
120
....It means that Tao is like water, flexible, yielding, but relentless.
Mysteriously its essences is fluid, like water. And like astream of water, if
an obstacle impedes Tao’s progress, it goes around it. Wheter we conceive
of Tao in terms of event, people, nature, action or nonaction, Tao
continues to flow unceasingly, coursing like a river toward an unknown
destiny” 30
Perjuangan ini membuahkan hasil di era Gus Dur sebagai Presiden
Republik Indonesia, beliau mengeluarkan kebijakan berupa Keppres No.6 Tahun
2000 tentang Pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan
dan Adat Istiadat China yang melarang agama dan adat istiadat China beredar di
Indonesia secara terang-terangan. Walaupun kehadiran dari Keppres ini adalah
sebagai reaksi dari peristiwa Budy Wijaya-Lanny Guito yang notabene merupakan
umat Khonghucu, namun korelasi yang terjalin dengan agama Tao adalah dimana
keduanya adalah agama yang berasal dari China dan banyak dianut oleh etnik
Cina.
Keppres No.6 Tahun 2000 ini melegalkan segala aktivitas kegamaan dan
adat istiadat China yang sempat dilarang, selepas era pemerintahan Abdurahman
Wahid penggantinya yakni Megawati menyikapi masalah Khonghucu dengan
menetapkan Hari Raya Imlek sebagai hari besar keagaamaan dan sebagai hari
libur nasional. Saat pemerintahan Presiden SBY, juga memberikan angin segar
terhadap perkembangan agama Khonghucu, dimulai dari statement yang
dikeluarkan oleh Presiden sendiri ketika menghadiri peringatan Imlek pada bulan
Februari tahun 2006 yang lalu, yaitu:
30
Simpkins, Alexander. 2002. Tao in Ten. Boston: Tutle Publishing Boston. Hlm.
12.
121
“Kita tidak ingin lagi bersikap diskriminatif, kita telah berubah. Walaupun
saya masih sering mendengar adanya keluhan, biasanya berkaitan dengan
pelayanan administrasi kependudukan, keimigrasian, menjalankan ibadah
agama, dan mencatatkan perkawinan”31
Tindak lanjut dari pernyataan Presiden itu adalah langkah yang diambil
oleh Mendagri Moh. Ma’ruf melalui SE.Mendagri No.470/336/SJ yang
memerintahkan agar gubernur, bupati, dan wali kota se Indonesia memberikan
pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut Khonghucu dengan
menambah keterangan agama Khonghucu pada dokumen kependudukan yang ada
selama ini. Logika yang timbul kemudian adalah jika serangkaian tindakan yang
diambil oleh para penguasa tersebut merupakan kebijakan untuk menyelesaikan
perlakuan diskriminatif yang diterima oleh etnik Thionghoa secara umum dan
khususnya penganut agama Khonghucu. Maka selayaknya kebijakan tersebut
berlaku pula pada agama Tao dan penganutnya, karena kedua agama itu
bersumber dari negara yang sama yakni China.
Jika pemerintah konsisten dengan hierarki norma peraturan perundang-
undangan maka SE.Mendagri No.470/336/SJ yang memerintahkan setiap
gubernur, bupati/walikota di setiap daerah di wilayah Indonesia untuk
mempermudah umat Khonghucu dalam mencatatkan agama Khonghucu dalam
setiap dokumen kependudukan tidak perlu dikeluarkan oleh Mendagri, dengan
alasan yaitu:
31
Taufik, Ahmad. Penantian Panjang Penganut Khonghucu. Tempo. 27 Maret-2
April 2006. Hlm. 67.
122
a. Adanya Sila Pertama Pancasila yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa” membawa
gambaran bahwa bangsa Indonesia meyakini akan adanya Tuhan Yang Maha
Esa, dan menunjukkan bahwa Indonesia adalah religious nation state.
b. Sila Pertama Pancasila mendasari pikiran yang terkandung dalam Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal ini tidak memberikan batasan (limitasi)
terhadap agama-agama apa saja yang dapat berkembang di Indonesia, dan/atau
agama-agama apa saja yang diberikan pengakuan oleh negara..
c. Adanya Undang-Undang No.1/Pn.Ps/1965 Tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang memberikan perlindungan
tehadap agama-agama yang ada di Indonesia tidak memberikan batasan
terhadap agama-agama tertentu untuk dapat berkembang dan diakui oleh
negara, selain itu penyebutan keenam agama dalam Pasal 1 Undang-Undang
ini hanya merupakan deskripsi agama-agama yang banyak dianut oleh
penduduk Indonesia.
d. Dikeluarkanya Kepres No.6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Inpres No.14
Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina dengan
sendirinya telah memberikan legitimasi atas keberadaan “agama-agama lokal
China” yang semula teralienasi oleh Inpres No.14 Tahun 1967 dan aturan-
aturan pelaksanaanya.
e. Materi muatan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tidak seharusnya memiliki
muatan produk hukum setingkat undang-undang, dimana materi muatan
SE.Mendagri No.470/336/SJ bersifat regelling yang mengikat untuk umum
123
seharusnya hanya ada pada undang-undang yang merupakan produk hukum
yang dikeluarkan oleh wilayah kekuasaan legislatif bersama Presiden.
Menilik ruwetnya masalah pengisian kolom agama pada KTP
menimbulkan kondisi pro-kontra terhadap dicantumkannya agama sebagai bagian
dari format KTP, tanggapan yang timbul tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
a Setuju akan dicantumkannya kolom agama sebagai bagian dari format KTP,
dan negara memberi penegasan agama apa saja yang diakui
b Setuju dicantumkannya kolom agama pada KTP, dan jenis agama yang dapat
dituliskan diserahkan kepada individu masing-masing untuk menentukannya.
Atau dengan kata lain tidak ada limitasi terhadap agama-agama untuk diakui
oleh negara.
c Tidak perlu adanya kolom agama, karena agama tidak ada kaitannya dengan
hak publik yang dapat dinikmati oleh individu.
Sebagaimana yang diungkap oleh Franz Magnis-Suseno bahwa:
“kebenaran agama kita bukan milik kita orang beragama, melainkan rahmat
Tuhan....Tidak usahlah kita menjadi hakim atas keyakinan orang lain”32
.
3.7. Pelayanan Hak-Hak Sipil Bagi Umat Tao Oleh Pemerintah Saat Ini
Jaminan konstitusi terhadap kemerdekaan beragama sebagaimana dalam
UUD 1945 pasal 29 tidak saja berlaku pada enam agama besar yang dipeluk
hampir oleh seluruh penduduk Indonesia, tetapi juga pemeluk agama-agama dan
32
Suseno, Franz Magnis. 1998. Agama-agama, Kerukunan, dan Kerendahan Hati, dalam
Franz Magnis Suseno. Mencari Makna Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius. Hlm.
11.
124
kepercayaan lainnya yang ada di Indonesia. Umat agama-agama dan penganut
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai warga negara berhak untuk
mendapatkan pelayanan negara tanpa diskriminasi. Salah satu prinsip pelayanan
publik menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63
tahun 2004 adalah prinsip kesamaan hak, di mana pelayanan publik tidak
diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender,
status ekonomi.
Enam agama besar, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu,Budha, dan
Khonghucu telah mendapatkan pelayanan dalam struktur organisasi Kementerian
Agama. Aliran kepercayaan juga telah diakomodir kepentingannya oleh
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian yang membidangi kebudayaan.
Namun agama lainnya, di luar 6 agama di atas mengalami persoalan dalam
mendapatkan pelayanan dari negara yang disebabkan karena identitas keagamaan
mereka. Hak anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama dan oleh guru yang seagama juga tidak terpenuhi. Pendidikan
agama dalam regulasi yang ada hanya merujuk pada pendidikan agama untuk
enam agama besar saja.
Persoalan krusial dalam konteks di atas adalah Negara memiliki kesulitan-
kesulitan untuk melakukan pelayanan terhadap kepentingan semua agama yang
ada di Indonesia. Sementara pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan
pelayanan negara terhadap semua umat beragama di Indonesia sebagaimana
pernyataan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin, bahwa beliau adalah
menterinya semua agama. Oleh karena itu dibutuhkan definisi dan kriteria agama
125
yang tepat untuk konteks pelayanan negara.
Tao bisa menjadi fenomena kebangkitan agama di negara modern yang
lebih menunjukkan pertumbuhan religius movement yang beriringan dengan
munculnya sejenis religiousitas yang tersembunyi (invisible religion),
perkembangan kehidupan keagamaan di Indonesia juga diwarnai berbagai
kecenderungan pemikiran dan gerakan. Hubungan antara etnik Cina dan
agama Tao telah melahirkan apa yang disebut elective affiliation. Konsep
elective affiliation yaitu suatu kedekatan agama tertentu dengan nilai-nilai,
struktur sosial, kelas sosial, kelompok sosial, atau etnik tertentu33
.
Analisis Peneliti terhadap keberadaan agama Tao bahwa agama Tao
merupakan model ethno-religius di Indonesia yang tampak dalam fenomena
agama yang menjadi identitas komunitas tertentu, dalam hal ini komunitas
tersebut adalah komunitas Tionghoa, maka peneliti memberikan istilah bagi
agama Tao sebagai “Agama Marginal” di Indonesia. Dengan istilah
“Marginalized Religion”, maka posisi kelompok keagamaan itu dipahami
sebagai konstruksi dari dinamika internal kelompok itu dan relasinya secara
sosial dan politis dengan kelompok lain. Menurut peneliti, “Marginalized
Religion” itu sebenarnya adalah model dari “Pencarian Spiritualitas (Seeking
Spirituality)”. “Pencarian” ini dapat diartikan sebagai upaya untuk pengukuhan
kembali konsep manusia sempurna (whole person), termasuk rasa memiliki
secara emosional dan intuitif. Karakter “pencarian” yang seringkali menembus
batas-batas agama formal dan mapan inilah yang meletakkan religiusitas gaya 33
Kurtz, Lester. 1995. God in The Global Village. California: Pine Forge Press. Hlm. 13-
14.
126
baru ini sebagai “agama marginal”.
Di dalam meneliti perkembangan Tao, peneliti berpendapat bahwa Tao
sebagai gerakan agama baru (new religious movement) di era modern ini atau
yang biasa dikenal dengan sebutan “new age”, meskipun selama ini Tao
merupakan termasuk salah satu ajaran Tri Dharma. Sebutan “New Age”
merupakan nama gerakan spiritual yang concern pada perdamaian dan
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh setiap agama. Agama
Tao merupakan salah satu bentuk penting dalam fenomena kebangkitan agama
di Indonesia. Peneliti juga memberikan suatu analisa bahwa agama Tao
merupakan suatu gerakan spiritual lintas iman (multi faith spiritual movement),
karena didalam ajaran agama Tao, selain kepercayaan terhadap ajaran Tao juga
lebih dekat dengan akar praktek agama Buddha.
Kebangkitan spiritualisme semacam ini dapat menumbuhkan persoalan
baru mengenai kebebasan, pluralisme, dan hak-hak minoritas di Indonesia.
Kalangan etnik tertentu dianggap “belum beragama” sejauh mereka belum
memeluk satu diantara “agama resmi” yang diakui di Indonesia, mereka
dianggap hanya memiliki “religi” atau “kepercayaan”.
Bahkan Koentjaraningrat menyarankan, bahwa ketiga istilah baik
agama, religi, maupun kepercayaan memiliki definisi sendiri-sendiri. Agama
merupakan yang diakui secara resmi dalam negara kita, religi merupakan
sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, dan kepercayaan
merupakan komponen kedua dalam tiap agama dan religi.
Meskipun kata “kepercayaan” dicantumkan dalam UUD 1945 bukan
127
berarti hidup mereka terjamin. Dalam interpretasi-interpretasi selanjutnya kata
“kepercayaan” terus mengalami tarik menarik. Hal ini yang pada akhirnya
membuat aliran kepercayaan dan agama-agama suku di bawah pengawasan dan
pembinaan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan yang berdiri pada
tahun 197834
.
Menurut pemahaman peneliti bahwa dalam pandangan penguasa negara
(pemerintah) dan penguasa “agama universal”, maka bila ada komunitas
keagamaan yang dianggap menyimpang dari “agama mainstream” yang dianut
negara, maka komunitas keagamaan tersebut harus “dibersihkan” atau
“ditundukkan” ke dalam wadah agama yang sudah ditentukan penguasa dengan
sejumlah syarat, diantaranya adalah “agama lokal” harus merubah sistem
ajarannya dan disesuaikan dengan ajaran atau pandangan doctrinal “agama
mainstream” yang berlaku. Apabila menolak, maka negara tidak akan
mengakui mereka sebagai “agama” dan hanya sebatas sebagai “aliran
kepercayaan”. Menurut peneliti, istilah “aliran kepercayaan” adalah sebuah
istilah yang “diskriminatif” karena bagi umat yang mengakui agama Tao pasti
mereka akan tetap menganggap Tao sebagai agama.
Menurut pemahaman peneliti, bahwa Konstitusi, Perundangan, dan
Peraturan Pemerintah Indonesia sejauh ini memang belum memberi perlakuan
yang sama terhadap “agama universal” dan “agama lokal”, apalagi “agama
baru”. Penafsiran dan pemaknaan dari Pasal 29 UUD 1945 terutama ayat 2
masih menempatkan “agama universal” dan “agama lokal” pada dua kutub
34
Saidi, Anas. (Ed.). 2004. Menekuk Agama, Membangun Tahta. Jakarta:
Desantara. Hlm. 34.
128
yang “diametral” dan “kontradiktif”. “Agama universal” ditempatkan sebagai
“agama resmi” yang diakui negara, sementara “agama lokal” dianggap “bukan
agama” tetapi hanya “aliran kepercayaan”.
Berdasarkan TAP MPR No.4 Tahun 1978, maka “agama universal”
yang diakui Pemerintah Indonesia yaitu Islam, Katholik, Protestan, Hindu,
Buddha. Dan Khonghucu TAP MPR No.4 Tahun 1978 sering dijadikan sebagai
acuan yuridis-formal mengenai legitimasi keagamaan di Indonesia. Ketegasan
tentang 5 agama resmi selanjutnya termuat dalam Surat Edaran Menteri Dalam
Negeri No.477/74054 tanggal 18 Desember 1978 sehingga menghapus
ketentuan lama yang termaktub dalam Penetapan Presiden Republik Indonesia
No.1 Tahun 1965 sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara No.2736
Tahun 1965, dan juga UU No.5 Tahun 1965 yang mengakui Konghucu sebagai
bagian dari “agama mainstream” yang diakui Pemerintah Indonesia. Penetapan
Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1965 ini tidak hanya dicantumkan
Konghucu tetapi juga Yahudi, Zaratrustra, Shinto, dan Taoisme. Tapi
pencantuman inipun sebetulnya hanya bersifat konstatasi tentang agama-agama
yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia, bukan bersifat
pembatasan bahwa hanya agama-agama itulah yang diakui dan berhak hidup di
Indonesia, tetapi dalam prakteknya tidak demikian. Konghucu kembali menjadi
agama yang diakui Pemerintah Indonesia pada masa Pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid, sedangkan terhadap “agama-agama baru” tampaknya
Pemerintah Indonesia belum bisa memberikan jaminan.
TAP MPR No.4 Tahun 1978 tidak hanya memuat peraturan mengenai
129
“agama resmi” yang diakui Pemerintah Indonesia tetapi juga telah menarik
garis yang tegas antara “agama” dan “aliran kepercayaan”. “Agama” sebagai
sesuatu yang luhur dan “aliran kepercayaan” hanya menduduki posisi “kelas
dua” dibawah “agama”. Ketetapan ini ditindaklanjuti Pemerintah Republik
Indonesia melalui Kemnetrian Agama dalam sebuah Instruksi Menteri Agama
No.4 Tahun 1978 yang menolak “kelompok aliran kepercayaan” sebagai
“agama” dan melepaskannya dari pembinaan oleh Kementerian Agama.
Adanya sejumlah peraturan dan perundangan yang “diskriminatif”
berdampak pada pandangan yang sinis dan tidak empatik dari masyarakat
mayoritas terhadap komunitas keagamaan lokal. Adanya perlakuan
diskriminatif tersebut dapat mengakibatkan “agama lokal” kurang dihargai dan
akhirnya mengalami diskriminasi, terpinggirkan, terpuruk, terhegemoni, dan
kehilangan haknya untuk dihargai sebagai bagian dari kemajemukan agama.
Menurut peneliti, sebutan istilah “agama marginal” sangatlah tepat diberikan
untuk keberadaan agama Tao di Indonesia.
Sejak Undang-Undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan berlaku, maka pengaturan tentang pencatatan sipil tunduk pada
Undang-Undang No.23 Tahun 2006 karena kegiatan pencatatan sipil masuk ke
dalam kegiatan Administrasi Kependudukan. Meskipun keberadaan agama Tao
di Indonesia sebagai “agama marginal” namun pada kenyataannya kehidupan
beragama umat Tao berjalan secara alamiah tanpa adanya hambatan. Setelah
sekian lama mengalami berbagai macam diskriminasi, namun umat Tao
cenderung untuk bersikap dialogis dan melakukan pendekatan persuasif. Saat ini,
130
dalam hal perkawinan, umat agama Tao tidak mengalami hambatan dalam
pencatatannya. Ketika terjadi perkawinan, maka terlebih dahulu tokoh agama Tao
menguruskan persyaratan administrasi atau surat-surat berkenaan dengan syarat-
syarat perkawinan. Melalui Majlis Tridharma Indonesia (MTI), surat-surat
tersebut diserahkan ke Kantor Catatan Sipil. Setelah ditentukan hari
perkawinannya, maka perkawinan dilaksanakan di kelenteng “Sinar Tao” di Jl.
Madukoro AA/BB Semarang. Sebelum upacara perkawinan dimulai, mereka
melakukan sembahyang di kelenteng “Sinar Tao, tepatnya di depan altar Maha
Dewa Lao Zi. Upacara perkawinan dipimpin oleh ruhaniwan/pendeta agama Tao,
yakni Adhi Sandjojo Tairas. Di tempat inilah seluruh keluarga calon penganten
laki-laki dan perempuan untuk mengikuti upacara ritual perkawinan dan sekaligus
menyaksikan pencatan perkawinan oleh seorang utusan Kantor Catatan Sipil Kota
Semarang.
Prosesi perkawinan umat Tao nampak ketika diatas altar Maha DewaTao,
diletakkan 5 macam buah sebagai lambang dari U Fuk (Lima kebahagiaan). Di
kanan-kiri hiolo terdapat 9 pasang lilin merah yang diatur dari yang pendek ke
yang tinggi. Sebagai pemanis, diletakkan rangkaian bunga. Ada pula yang
memasang kain merah untuk semakin memeriahkan ruangan.
Begitu tiba, pengantin dijemput oleh sepasang Huang Ie yang bertugas
sebagai penjemput pengantin. Mereka dibawa ke ruang upacara dengan diiringi
lagu Kwe Ming Li.
Upacara pun segera dimulai. Pemimpin upacara yang berjumlah 3 orang
memimpin para Fu Fak untuk sembahyang. Setelah para Fu Fak berdiri di kanan-
131
kiri tempat upacara, barulah pengantin dan orang tua mereka diantar ke depan
altar untuk sembahyang, diiringi lagu Kung Huo. Pengantin beserta orang tua
sembahyang dengan menggunakan 1 hio besar dipimpin oleh salah seorang
pemimpin upacara.
Seusai sembahyang, orang tua pengantin dipersilahkan duduk di tempat
yang telah disediakan. Orang tua mempelai pria di sebelah kanan dan orang tua
mempelai wanita di sebelah kiri.
Acara Cing Ciu (Mempersembahkan arak) dimulai. Dengan diiringi lagu
Syiek Suang Jing atau terima kasih, kedua mempelai Kui (bersujud)
mempersembahkan arak sebagai lambang hormat serta terima kasih mereka
kepada orang tua yang telah membesarkan, mendidik serta memberikan kasih
sayang sehingga dewasa dan dapat mulai menempuh sebuah kehidupan sendiri
yang mandiri.
Acara dilanjutkan dengan suatu Tanya jawab antara pemimpin upacara
dengan pengantin. Para pemimpin upacara berhak menilai apakah kedua
mempelai memang cukup layak secara mental untuk membangun sebuah rumah
tangga sendiri.
Selanjutnya adalah Acara Tukar Cincin. Dengan diiringi lagu Se Yen
(Kuucap Janji), mempelai berdua saling mengikatkan diri. Para pemimpin
upacarapun memberikan beberapa nasehat yang berguna dalam kehidupan
pernikahan mereka kelak. Puncaknya pernikahan disahkan dengan memberikan
simbol berupa kalungan hati kepada masing-masing pengantin, yang kemudian
disatukan dengan sebuah kalungan besar berbentuk hati juga, sebagai tanda
132
bersatunya dua hati. Hadirin serentak memberikan tepuk tangan sambil
menyanyikan lagu Cu Fuk, yang berarti selamat berbahagia.
Upacara diakhiri dengan ucapan selamat dari para pemimpin upacara
beserta Fu Fak yang lalu diikuti oleh keluarga dan hadirin. Sebelum meninggalkan
Taokwan, kedua mempelai sembahyang mengucapkan terima kasih. Lagu
Gembira Ria dan Tao Ciao Ti Ce (Umat Tao) mengantar kepergian mereka.
Demikianlah, dua buah hati telah menjadi satu, bahu membahu menempuh sebuah
kehidupan yang baru.
Begitu juga dalam ritual kematian, umat agama Tao memberikan
pelayanan bagi umat yang meningggal dunia. Ritual kematian yang dimaksudkan
adalah serangkaian kegiatan untuk mengurus jenazah sampai ke pemakaman.
Dalam hal ini, pengurus kelenteng “Sinar tao” terlebih dahulu mengadakan ritual
kematian, yang dinamakan “Jao Tu”. Upacara ini dimaksudkan untuk
menghantarkan arwah ke alam keabadian, yang diikuti oleh keluarga yang
berduka. Biasanya, upacara Jao Tu dilakukan oleh 12 orang ruhaniwan, dan salah
satunya berlaku sebagai pemimpin upacara yang membacakan doa-doa atau
mantra-mantra agar almarhum memperoleh kehidupan yang damai, dan
memberikan rasa aman dan ketenteraman bagi keturunan yang ditinggalkannya.
Ritual kematian tersebut dilakukan di rumah duka, tempat almarhum
disemayamkan, seperti di Rumah Duka Iwan dan Rumah Duka Pantiwilasa. Di
tempat inilah, mereka melakukan ritual kematian dengan pembakaran dupa.
Diantara mereka ada seorang yang bertugas membawa Siang Fen (bubuk
133
cendana) yang akan dibakar di anglo kecil di bawah peti jenazah agar harumnya
tembus ke langit tingkat sembilan.
Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa pelayanan hak-hak sipil
oleh pemeritah dirasakan jauh lebih baik oleh umat agama Tao, karena pemerintah
telah memberikan kelonggaran-kelonggaran sebagai warga negara Indonesia,
seperti: hak menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, hak mendapatkan
pelayanan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, dan sebagainya. Bagi umat agama
Tao, perlakuan diskriminatif selama ini tidak direspon secara frontal, melainkan
cenderung untuk bersikap persuasif dan dialogis. Hal ini terlihat ketika umat Tao
disyaratkan agar mencantumkan agama Budha dalam sebuah dokumen
kependudukan, dan mereka memilih untuk menurutinya.
Sikap umat Tao semacam ini tidak lepas dari azas dasar yang dianut oleh
umat Tao yang bersumber pada Kitab Suci “Tao Te Ching”, yang berarti “Aturan
mengenai Jalan dan Kebajikan”. Karena itu, umat agama Tao tidak banyak
tuntutan kepada pemerintah, utamanya berkenaan dengan pengakuan terhadap
agama Tao. Sebab hal ini membawa konsekwensi yang lebih berat kepada
eksistensi agama Tao sendiri, seperti: penyiapan SDM, penyiapan sarana dan
prasarana, bahkan penyiapan struktur kelembagaan.
Sejak era pemerintahan Gus Dur, etnik Tionghoa Indonesia telah
merasakan “kemerdekaan” untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya,
Pelayanan bagi Tao Yuan (umat Tao) kini pun sudah tersebar di sejumlah
Taokuan (tempat ibadah umat Tao ) yang tersebar di Indonesia yaitu Thay Ping
Gong Sinar Suci Jakarta; Wan Fu Gong Sinar Mulia Bandung; Zheng Dao Gong
134
Dewa Agung Jambi; Qing Jing Gong Suci Mulia Bandar Lampung; Zi Xiao Gong
Sinar Bakti Bangka; Xuan Guang Gong Sinar Agung Tao Palembang; Ci Ai Dao
Guan Cinta Kasih Mojokerto; Qing Ping Gong Sinar Damai Makassar; Jing Hua
Gong Sinar Murni Medan; Zheng Shan Gong Sinar Sejati Binjai; Wan Fu Gong
Sinar Tao Semarang; Thay Qing Gong Maha Suci Surabaya; dan Tao Kwan Sinar
Cerah Pontianak (http://taoindonesia.info/2011/10/20/taokuan-tempat-ibadah-
umat-tao-di-indonesia/ Diunduh 17 Agustus 2013 – 11.59 WIB)