BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa...

33
36 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian tentang hasil penelitian yang penulis peroleh disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn telah dibuat. Hasil penilitan ini dan anaslisis tersebut disusun mengacu pada konsep- konsep yang telah dituangkan pada BAB II. Data Bab III ini diperoleh dari beberapa sumber-sumber dari hasil wawancara dengan pasangan yang melakukan kawin lari dan dianalisis berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang berlaku di daerah setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang penulisan skripsi ini, A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Daerah Penelitian a. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian Secara umum, sesuai dengan hasil penelitian penulis, keadaan geografis lokasi penelitian (Desa Buru Kaghu), terdiri dari daerah pegunungan rendah yaitu ketinggiannya berada antara 0-200 meter diatas permukaan laut. Meskipun desa ini terdiri dari bukit-bukit, tapi diantara bukit-bukit tersebut terdapat lembah-lembah datar yang dapat dijadikanpersawahan. Seperti halnya dengan daerah-daearah lain didaerah Sumba Barat Daya, khususnya di Wewewa Selatan, daerah ini juga berada pada daerah iklim tropis dan dipengaruhi oleh dua musim yang saling bergantian. Kedua musim itu adalah musim penghujan dan musim kemarau. Pada bulan april sampai september bertiup angin timur yang bersifat kering. Angin kering

Transcript of BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa...

Page 1: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

36

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian tentang hasil penelitian

yang penulis peroleh disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn

telah dibuat. Hasil penilitan ini dan anaslisis tersebut disusun mengacu pada konsep-

konsep yang telah dituangkan pada BAB II. Data Bab III ini diperoleh dari beberapa

sumber-sumber dari hasil wawancara dengan pasangan yang melakukan kawin lari

dan dianalisis berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang

berlaku di daerah setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta

artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang penulisan skripsi ini,

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

a. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian

Secara umum, sesuai dengan hasil penelitian penulis, keadaan geografis

lokasi penelitian (Desa Buru Kaghu), terdiri dari daerah pegunungan

rendah yaitu ketinggiannya berada antara 0-200 meter diatas permukaan

laut. Meskipun desa ini terdiri dari bukit-bukit, tapi diantara bukit-bukit

tersebut terdapat lembah-lembah datar yang dapat dijadikanpersawahan.

Seperti halnya dengan daerah-daearah lain didaerah Sumba Barat Daya,

khususnya di Wewewa Selatan, daerah ini juga berada pada daerah iklim

tropis dan dipengaruhi oleh dua musim yang saling bergantian. Kedua

musim itu adalah musim penghujan dan musim kemarau. Pada bulan april

sampai september bertiup angin timur yang bersifat kering. Angin kering

Page 2: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

37

dikarenakan angin bertiup dari daratan Australia yang luas dan kering dan

baru sedikit yang melalui lautsehingga upa air yang dibawanya tidak

banyak. Pada bulan oktober sampai dengan bulan maret bertiup angin

barat yang sifatnya basah. Angin basah ini dikarenakan angin ini berasal

dari daratan Asia dan sudah banyak melalui laut sehingga uap air yang

banyak sehingga turun hujan yang banyak pula.

b. Asal Usul Suku Wewewa

Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memperkenalkan lebih awal

tentang sejarah singkat tentang asal usul terbentuknya adat suku wewewa,

karena penulis merasa hal ini sangat penting untuk suatu tinjauan dan

analisis baik asal usul maupun sosial budaya.

Sejarah asal usul Suku Wewewa tidak terlepas dari sejarah asal usul

orang Sumba. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Adat

yang sekaligus Kepala Desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo,

mengatakan bahwa arti kata Wewewa itu sendiri adalah “mencari – cari”.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa orang yang masuk ke pulau Sumba ini,

yang sekarang sudah menjadi orang Sumba, berasal dari Malaka

(semenanjung Malaysia sekarang), dan India. Mereka masuk ke pulau

Sumba melalaui Tanjung Sasar. Ia mengatakan bahwa berdasarkan cerita

yang sudah diturunkan secara turun temurun bahwa dulu di Tanjung Sasar

ada jembatan batu yang menghubungkan Sumba dengan Flores, dan

Sumbawa1. Cerita turun temurun ini diperkuat oleh Umbu Pura Woha

(2008 : 24) yang mengatakan bahwa pada waktu itu daratan pulau Sumba

1 Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013

Page 3: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

38

masih bergandengan dengan daratan pulau Flores dan Sumbawa. Melalui

jembatan inilah mereka masuk ke pulau Sumba.2

Suku Wewewa yang sekarang ini merupakan bagian integral dari

gelombang migrasi ini yang masuk ke pulau Sumba. Dalam gelombang

migrasi ini masing-masing kelompok tersebar untuk mencari tempat

menetap. Salah satu dari gelombang migrasi ini dalam mencari tempat

untuk menetap menemukan tempat untuk menetap di wilayah Wewewa

sekarang ini. Itulah sebabnya mereka menamakan dirinya sebagai suku

Wewewa.

Dari segi bahasa, desa Buru Kaghu termasuk dalam kelompok bahasa

suku Wewewa. Namun dari segi adat istiadat desa Buru Kaghu dalam

kesehariannya memiliki perbedaan, tetapi secara umum sama.3

c. Keadaan Sosial Budaya

Keadaan sosial budaya yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah

tentang kepercayaan dan pendidikan.

1. Kepercayaan

Kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang (Marapu).

Kehidupan beragama di desa Buru Kaghu dapat dikatakan cukup

rukun antar warga desa. Hal ini dapat terjadi karena adanya saling

toleransi terutama di dalam menjalankan kewajiban agama dan

kepercayaannya masing-masing.

Adapun mengenai keadaan penduduk menurut agama dan aliran

kepercayaan yang dianut dapat dilihat pada tabel berikut:

2 Umbu Pura Woha, 2008. Sejarah, Musyawarah & Adat Istiadat Sumba Timur, Cipta Sarana Jaya, hal.24

3 Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.

Page 4: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

39

Tabel 1

Keadaan Penduduk Menurut Agama dan Aliran Kepercayaan di

Desa Buru Kaghu (tahun 2010)

No Agama / Aliran kepercayaan Jumlah Prosentase %

1 Kristen Protestan 9.975 50,93

2 Kristen Katholik 2.202 14,79

3 Islam 20 11,73

4 Hindu - -

5 Budha - -

6 Aliran Kepercayaan (Marapu) 5.835 22,49

Jumlah 18.032 100

Sumber data : Wawancara Kepala Desa Buru Kaghu

Dari sajian data diatas, maka dapat diketahui bahwa

penganut/pemeluk agama yang dominan adalah Kristen Protestan,

selanjutnya Katholik, dan Islam. Sedangkan Aliran kepercayaan

(Marapu) adalah memiliki jumlah penganut nomor dua setelah

agama Kristen Protestan. Dengan masih cukup banyaknya

penganut aliran kepercayaan Marapu di desa Buru Kaghu maka

sudah dapat dipastikan bahwa adat istiadat dan kebiasaan adat

yang telah turun terumurun ada akan tetap dilakukan oleh

masyarakat di desa Buru Kaghu, seperti kebiasaan kawin lari

Page 5: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

40

(pakondona) yang merupakan bagian dari adat di desa Buru

Kaghu.

2. Pendidikan

Pendidikan pada kenyataannya merupakan suatu kebutuhan

masyarakat pada saat sekarang. Dikatakan demikian oleh karena

denganpengembangan pendidikan yang lebih baik maka orang

akan memahami, mengetahui, menemukan, dan menyelesaikan

permasalahan hidupnya. Dengan pendidikan juga merupakan salah

satu syarat bagi upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat

sejalan dengan apa yang diharapkan bagi pelaksanaan

pembangunan nasional.

Untuk lebih jelasnya mengenai keaaan saran dan prasarana

pendidikan yang tersedia di desa Buru Kaghu dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

Tabel 2

Keadaan Penduduk menurut Pendidikan di Desa Buru Kaghu

(tahun 2010)

No Jenis Sekolah Jumlah Jumlah Murid Jumlah Guru

1 TK - - -

2 SD 2 103 12

3 SMP 1 281 7

4 SMA - - -

Page 6: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

41

Jumlah 3 180 19

Sumber data: Wawancara Kepala Desa Buru Kaghu4

Dengan melihat data diatas masalah prasarana dan pemerataan

pembangunan juga dirasakan di desa Buru Kaghu ini, khususnya

dalam bidang pendidikan. Dimana hanya terdapat dua Sekolah

Dasar di desa Buru Kaghu dan satu Sekolah Menengah Pertama,

sedangkan untuk SMA/SMK belum ada sehingga banyak warga

desa yang hanya merasakan bangku pendidikan Sekolah Dasar dan

Sekolah Menengah Petama saja, kalaupun ada warga desa yang

ingin melanjutkan sekolah ke SMA/SMK maka mereka harus pergi

ke kota kecamatan. Dengan masih banyaknya anak-anak di desa

Buru Kaghu yang tidak bisa merasakan bangku sekolah, khususnya

Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas secara

tidak langsung berdampak pada kebiasaan melakukan kawin lari

(pakondona). Apabila warga masyarakat memiliki tingkat

pendidikan yang layak maka dengan sendirinya warga masyarakat

akan memiliki tingkat kehidupan yang lebih layak sehingga faktor

ekonomi yang menjadi salah satu penyebab kawin lari

(pakondona) bisa dihindari.

d. Hukum Perkawinan Adat di desa Buru Kaghu

Tujuan Perkawinan

4 Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.

Page 7: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

42

Tujuan perkawinan menurut hukum adat yang bersifat

kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan

garis kebapakan atau keibuan atau keibuan/kebapakan, untuk

kebahagiaanrumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh bilai-

nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan

kewarisan.

Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974

yang menjadi tujuan dari suatu perkawinan adalah untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Bentuk Perkawinan Adat yang biasa dikenal di desa Buru Kaghu

Ada 3 jenis bentuk perkawinan adat yang biasa dikenal oleh

masyarakat adat di desa Buru Kaghu adalah sebagai berikut:

1. Kawin Paksa : Perjodohan sejak kecil sebagai salah satu bentuk perkawinan

paksa dilakukan atas kesepakatan kedua rumpun keluarga, terutama kedua

orang tua dari masing-masing pihak. Prosedur itu dilakukan ketika anak-anak

itu sudah cukup umur untuk melakukan perkawinan.

2. Kawin Bawa Lari : hal ini terjadi mana kala seorang pria mengajukan

lamaran ternyata ternyata ditolak/tidak diterima oleh pihak keluarga wanita

dengan berbagai alasan, salah satu alasan karena adanya perbedaan status

sosial di antara kedua keluarga, maka untuk mencapai keinginannya sang pria

membawa lari atau menculik wanita tersebut. Konsekuensi dari perkawinan

tersebut adalah pihak pria harus berani mempertanggungjawabkan

perbuatannya itu berdasarkan prosedur dan tata cara adat yang berlaku yakni

ditandai dengan pembayaran sejumlah belis atau mas kawin berupa kerbau,

kuda, sapi, kepingan emas (mamuli) dan lainnya, pembayarannya diatur

5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 1.

Page 8: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

43

berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Seturut dengan itu, oleh Teer Haar

dikatakan bahwa Kawin paksa adalah suatu bentuk perkawinan, dimana si

wanita bertentangan dengan kehendaknya dipaksa kawin dan dibawa lari oleh

si pria yang memaksakan kehendaknya.

3. “Kawin Lari” (Pakondona) : Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang

sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

secara bersama-sama tanpa ada unsur paksaan dari pihak pria6.

Adapun proses terjadinya Kawin Lari (Pakondona) sebagai berikut:

Karena hubungan kedua pihak (pria dan wanita) tidak mendapat

restu dari kedua orang tua mereka dan biasanya tidak direstui oleh

orang tua dari pihak wanita dikarenakan adanya perbedaan status sosial

diantara keduannya, mereka bersepakat untuk meninggalkan kedua

orang tua mereka dan tinggal pada salah satu kerabat mereka (keluarga

si pria atau wanita). Pada saat mereka melarikan diri si pria akan

meninggalkan barang sebagai petunjuk bahwa mereka telah melarikan

diri dalam bentuk sebilah parang atau seekor kuda, tergantung pada

kemampuan si pria. Sistem ini mirip dengan yang terjadi de daerah

Lampung yaitu mereka meninggalkan surat atau suatu barang, kadang-

kadang sejumlah uang di rumah si wanita, pelarian ini merupakan awal

dari perkawinan mereka7.

Konsekuensi logis dari bentuk atau cara memperoleh jodoh

dengan cara kawin lari (pakondona) diatas adalah pihak keluarga laki-

laki harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya yakni

dengan ditandai pembayaran sejumlah belis (kerbau, kuda, sapi,

kepingan emas atau mamuli) dan lainnya dan pembayaranya diatur

berdasarkan tahapan-tahapan tertentu.

6 Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013

7 Soerojo Wignjodipoero, 1990. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji Masagung, Jakarta. Hal. 126.

Page 9: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

44

Menurut Kepala Desa Buru Kaghu Herman Ndapatondo8,

apabila seorang pria yang sudah melakukan kawin lari (pakondona)

harus berani untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Sedangkan menurut tokoh adat Kornelis Tanggu Solo kawin lari masih

terjadi sampai sekarang karena pada masyarakat adat di desa Buru

Kaghu tidak ada aturan adat yang melarang untuk melakukan kawin

lari (pakondona), dan dari segi agama juga tidak ada masalah karena

yang paling penting adalah si pemuda mempertanggungjawabkan

perbuatannya dan gereja akan ikut memperbaiki rumah tangga

pasangan kawin lari (pakondona) secara rohani9.

Mas kawin Dalam Perkawinan

Mas kawin adalah barang-barang yang diserahkan oleh pihak

pengambil isteri (laki-laki) kepada pihak perempuan yang dapat berupa

hewan, emas (mamuli), parang dan lain-lain, tergantung dari hasil

persetujuan ke dua belah pihak yang diwakilkan oleh juru bicara kedua

belah pihak.10

Sedangkan menurut Imam Sudiyat dalam Hukum Adat

Sketsa Asas mas kawin merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh

keluarga pihak laki-laki dalam proses pelaksanaan perkawinan adat.

Mas kawin ini biasanya akan jatuh ke tangan kelompok kerabat, orang

tua wanita atau calon isteri itu sendiri11

.

2. Status Wanita Dalam masyarakat Adat di desa Buru Kaghu

Pengertian status dapat disamakan dengan posisi atau kedudukan.

Secara harfiah kata kedudukan (status) merupakan kata benda abstrak dari kata

8 Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.

9 Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.

10 Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.

11 Iman Sudiyat, SH, 1978. Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta. Hal.126.

Page 10: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

45

kerja “duduk”. Jadi status atau kedudukan menunjuk pada posisi hierarki atau

tempat didalam tingkatan kedudukan vertical.

Status wanita, berarti adanya tingkatan kedudukan antara pria dan

wanita dalam masyarakat. Rupanya perbedaan tingkat masyarakat adat suku

Wewewa di desa Buru Kaghu disebabkan oleh alasan biologis: fisik kuat atau

lemah, tetapi sebagian juga melihat dari segi perbedaan sosial dan budaya

lingkungan. Perbedaan sosial dan budaya ini menunjuk pada siapa yang

mengurus anak, mencari nafkah hidup, dan siapa yang menjadi pemimpin

dalam suatu keluarga.12

Masyarakat adat di desa Buru Kaghu memandang wanita sebagai

mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai peran penting dalam keluarga dan

juga masyarakat. Artinya ada perbedaan status tetapi perbedaan itu terletak

pada alasan biologis. Dari persepsi ini maka wanita mendapat tempat tersendiri

yaitu dihormati dan dihargai.

Penghormatan itu nyata dalam kehidupan masyarakat di desa Buru

Kaghu dimana seorang wanita dalam masyarakat dianggap sebagai mas kawin

keluarga. Ada semboyan bahwa mas kawin adalah harga seorang wanita.

Penghargaan yang tinggi terhadap wanita dapat dilihat dengan banyaknya mas

kawin (belis) yang di berikan oleh pihak laki-laki sebagai penghormatan

kepada pihak wanita dan keluargaanya. Bagi masyarakat di desa Buru Kaghu

peran wanita juga dalam urusan rumah tangga jauh lebih besar disbanding

laki-laki. Pada masyarakat adat yang mengenal kebudayaan bercocok tanam

(sawah) peran wanita justru lebih besar dari peran laki-laki.13

12

Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013. 13

Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.

Page 11: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

46

3. Perkawinan Lari (Pakondona) di Daerah Penelitian

a. Identitas Responden

TABEL 1

Kawin Lari Oleh 10 Pasangan Responden

No

Nama Pasangan Kawin

Lari

Umur Pasangan Saat

Kawin Lari (pakondona)

Tahun

Terjadinya

Kawin Lari

Status Sosial

Laki-Laki Perempuan

1 A.R. Mone & Koni Wali 33 29 1956 Orang tua Koni

Wali adalah

sebagai raja kecil

& orang tua R.

Mone Cuma

masyarakat biasa.

2 Bora Ndoboka & Ina Wini 39 40 1961 Orang tua Ina

Wini memiliki

jabatan adat di

suku waijewa

sementara orang

tua Bora Ndoboka

cuma masyarakat

biasa.

3 Marthen Ndapa Ngara & 21 26 1975 Kedua keluarga

Page 12: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

47

Maryam Malo berasal dari

masyarakat biasa.

4 Mere Nono & Rahel Koni

Wali

23 19 1982 Kedua keluarga

berasal dari

masyarakat biasa.

5 Herman Ndoko & Meriana

Linda

23 20 2001 Status sosial

keluarga dari

Merina Linda

dilingkungan

Adat lebih tinggi

dari keluarga

Herman Ndoko.

6 Yusuf Mbulu & Margareta

Malo

33 30 1940 Keluarga

Margareta Malo

memiliki

kedudukan yang

penting di

masyarakat adat

Weijewa,

sedangkan

keluarga Yusuf

Malo Cuma

masyarakat biasa.

Page 13: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

48

7 Oktavianus Ngongo & Ester

Ndama Nuna

19 21 1997 Kedua keluarga

dari kalangan

masyarakat biasa.

8 Mete Nono & Wini Ndoe 26 25 1945 Kedua keluarga

juga dari

kalangan

masyarakat biasa.

9 Origanes Bulu & Bali Ngara 20 20 2008 Kedua keluarga

berasal dari

kalangan

masyarakat biasa.

10 Herman U. Doko & Dama

Eti

48 23 2010 Sama-sama

berasal dari

kalangan

masyarakat biasa.

Sumber data Primer yang diolah

Penjelasan untuk tabel diatas:

a. Raja kecil adalah orang yang mengepalai dan memerintah wilayah

desa Buru Kaghu dan beberapa desa disekitarnya sebelum adanya

pemekaran desa. Setelah pemekaran desa keturunan dari raja kecil

ini tetap memiliki status sosial yang tinggi dan dihormati dalam

masyarakat adat sekalipun mereka sudah tidak punya kekuasaan.

b. Selain raja kecil keluarga yang memiliki kedudukan penting dan

status sosial yang tinggi dalam masyarakat adat adalah tokoh adat.

Page 14: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

49

c. Masyarakat biasa adalah mereka yang diluar dari keluarga raja

kecil dan tokoh adat.

Dari penjelasan diatas dapat di mengerti bahwa:

Responden yang memiliki status sosial tinggi seperti raja kecil dan tokoh

adat dalam masyarakat adat di desa Buru Kaghu ada 4 responden, yaitu:

Koni Wali, Ina Wini, Meriana Linda, dan Margareta Malo. Sedangkan

sisanya berasal dari kalangan masyarakat biasa.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Kawin Lari di Desa

Buru Kaghu dan Cara Penyelesaiannya

Perkawinan merupakan sifat kodrati manusia yang telah diberikan oleh

Tuhan sejak manusia itu diciptakan. Pernyataan ini secara hukum telah diakui

pula oleh manusia dalam hal ini masyarakat Indonesia dalam peraturan dan

undang-undang. Peraturan dan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk

mengatur pelaksaanaan perkawinanan itu. Meskipun perkawinaan itu merupakan

sifat kodrati manusia, namun pada setiap negara, suku bangsa, dan kelompok

masyarakat, memiliki aturan dan undang-undang pelaksanaan perkawinan yang

berbeda-beda baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya

dengan penelitian tulisan ini, penulis akan menjelaskan alasan-alasan terjadinya

kawin lari di Desa Buru Kaghu.

Alasan yang umum seperti status sosial, keyakinan apalagi jika perbedaan

itu didukung oleh kekayaan yang melimpah. Demikian pula halnya dengan di

Desa Buru Kaghu Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya

Nusa Tenggara Timur.

Tabel 2

Page 15: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

50

Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Kawin Lari (pakondona)

No Nama Pasangan Kawin

Lari (pakondona)

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

kawin lari (pakondona) di desa Buru Kaghu

1 A. R. Mone & Koni Wali 1. Orang tua dan keluarga perempuan tidak

setuju, karena laki-laki berstatus duda

sehingga mempunyai tanggung jawab

keluarga yang besar.

2. Status orang tua perempuan adalah sebagai

raja kecil, dan juga keluarga perempuan

telah menjodohkan anak perempuan

mereka dengan laki-laki lain14

.

2 Bora Ndoboka & Ina

Wini

1. Orang tua si gadis tidak setuju dengan

hubungan mereka karena adanya perbedaan

status sosial dimana keluarga si gadis

memiliki jabatan adat di suku Waijewa

sementara keluarga laki-laki dari kalangan

masayarakat biasa.

2. Si gadis telah dijodohkan dengan seorang

pemuda lain dan bahkan sudah dilamar.15

3 Marthen Ndapa Ngara &

Maryam Malo

1. Perempuan sudah dijodohkan dengan orang

lain

2. Kalaupun disetujui perkawinan adat akan

memakan waktu lama, sedangkan kawin

14

Wawancara dengan Koni Wali tanggal 23 mei 2013 15

Wawancara dengan Bora Ndoboka tanggal 3 juni 2013

Page 16: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

51

lari proses penyelesainnya cepat.16

4 Mere Nono & Rahel

Kono Mali

1. Keluarga si perempuan tidak setuju

dengan pilihan anak perempuanya,

2. Orang tua si perempuan telah

menjodohkan dengan pemuda lain

sementara si perempuan tidak

mencintai laki-laki pilihan orang

tuanya.17

5 Herman Ndoko &

Meriana Linda

1. Orang tua perempuan tidak merestui karena

perbedaan keyakinan

2. Status Sosial dilingkungan Adat kelurga si

perempuan lebih tinggi dari pada keluarg si

laki-laki.18

6 Yusuf Mbulu Malo &

Margareta Malo

1. Perbedaan status sosial dimana keluarga

pihak si gadis mempunyai kedudukan

penting di masyarakat adat Waijewa

sehingga orang tua si gadis tidak setuju

dengan hubungan mereka berdua.

2. Orang tua si gadis langsung menjodohkan

dengan pemuda lain yaitu Lellu Matuku.

Kuatir si gadis akan dikawinkan Yusuf

sepakat dengan si gadis untuk melakukan

kawin lari.19

16

Wawancara dengan Marthen Ndapa Ngara tanggal 25 mei 2013 17

Wawancara dengan Mere Nono tanggal 5 juni 2013. 18

Wawancara dengan Herman Ndoko tanggal 21 mei 2013. 19

Wawancara dengan Margareta Malo tanggal 6 juni 2013.

Page 17: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

52

7 Oktavianus Ngongo &

Ester Ndama Nuna

1. Orang tua si perempuan tidak merestui

hubungan dengan Oktavianus dan karena

ada pemuda lain yang lebih dahulu

menyatakan keinginan untuk

mengambilnya menjadi istri. Ini artinya

belum ada urusan adatnya dan pemuda

tersebut belum masuk minta pada orang tua

gadis.

2. Agar proses perkawinan mereka lebih

cepat20

8 Mete Nono & Wini Ndoe

Dikarenakan takut si gadis dikawinikan dengan

pemuda lain. Hal ini disebabkan berita si gadis

terebut dijodohkan dengan pemuda lain. Takut hal

ini benar-benar terjadi, maka keduanya sepakat

untuk kawin lari.21

9 Origanes Bulu & Bali

Ngara

Orang tua perempuan beralasan mereka baru

berusia 21 tahun sehingga terlalu muda untuk

melakukan perkawinan. Namun itu hanya alasan

saja karena sebenarnya dari awal orang tua si gadis

tidak menyukai Origenes, dan itu yang

menyebabkan Origenes memilih kawin lari hasil

kesepakatanya dengan gadis pasangannya.22

20

Wawancara dengan Oktavianus Ngongo tanggal 4 juni 2013. 21

Wawancara dengan Mete Nono tanggal 27 mei 2013. 22

Wawancara dengan Origenes Bulu tanggal 27 mei 2013.

Page 18: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

53

10 Herman U. Doko &

Dama Eti

Orang tua si gadis tidak setuju dengan pilihan si

gadis dan tidak akan mau mengawinkan si gadis

dengan herman karena perbedaan usia yang hampir

25 tahun diantara keduanya.23

Sumber Data Primer yang diolah

Dari tabel diatas dapat diketahui faktor-faktor dan alasan apa saja yang

menyebabkan terjadinya kawin lari (pakondona) di desa buru kaghu, yakni :

1. Faktor Status Sosial: adanya perbedaan status sosial (4 pasangan

responden) yaitu: R. Mone dan Koni Wali, Bora Ndoboka dan Ina

Wini, Herman Ndoko dan Meriana Linda, Yusuf Mbulu dan Margareta

Malo.

2. Faktor Perjodohan: karena si gadis sudah dijodohkan (5 pasangan

responden) yaitu: Bora Ndoboka dan Ina Wini, Marthen Ndapa dan

Maryam Malo, Mere Nono dan Rahel Kono Wali, Yusuf Mbulu Malo

dan Margareta Malo, Mete Nono dan Wini Ndoe.

3. Faktor Ekonomi: agar penyelesaian adat lebih cepat dan tidak

membutuhkan biaya besar (2 pasangan responden) yaitu: Marthen

Ndapa Ngara dan Maryam Malo, Oktavianus Ngongo dan Ester Ndama

Nuna.

4. Faktor Usia: karena perbedaan usia antara kedua mempelai (1 pasangan

responden) yaitu: Herman U. Doko dan Dama Eti.

23

Wawancara dengan Dama Eti tanggal 1 Juni 2013.

Page 19: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

54

c. Tahapan Penyelesaian

Pada kasus kawin lari (pakondona) di desa Buru Kaghu hukum adat telah

menyediakan tahapan-tahapan adat yang harus dilalui oleh tiap pasangan

kawin lari (pakondona) untuk bisa kembali diterima dalam komunitas

masyarakat adat. Tahapan-tahapan adat itu sendiri terdiri dari 5 tahapan

yaitu:

Perbedaan antara pasangan kawin lari (pakondona) yang satu dengan yang

lain dalam menjalankan tahapan-tahapan tersebut terletak pada jumlah

hewan yang dibawa pada saat Tange Welli Ya (tutup malu) dan jumlah

hewan atau emas (mamuli) yang diberikan pada saat Tau Welli/Ya Welli

Page 20: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

55

(pembayaran belis). Berikut adalah tahapan-tahapan yang dilalui oleh para

responden kawin lari (pakondona) dalam bentuk tabel:

Tabel 3

Tahapan-tahapan penyelesaian kawin lari (pakondona)

No

Nama

Pasangan

Kawin Lari

(pakondona)

Tahapan 1

Namata

(pencarian)

Tahapan 2

Tange Weli

Na (tutup

malu)

Tahapan 3

Tikar Adat

Tahapan 4

Tau

Welli/Ya

Welli

(pembayaran

Belis)

Tahapan 5

Palu

Bengga

1 A. R. Mone

& Koni Wali

Tahapan

dimana

pihak

keluarga si

gadis

mencari

anak gadis

yang telah

pergi atau

melakukan

kawin lari

(pakondona)

5 ekor kuda Tahapan

dimana pihak

keluarga si

gadis & pihak

keluarga laki-

laki bertemu

untuk

membicarakan

&

menentukan

jumlah

belis/mas

kawin, bisa

diwakilkan

oleh keluarga,

pemuka adat

& juru bicara

yang masing-

masing

ditunjuk oleh

tiap keluarga.

15 ekor

kerbau &

emas

(mamuli)

Tahapan

dimana

sudah

selesai/lunas

pembayaran

belis dari

pihak

keluarga

laki-laki ke

keluarga

pihak

perempuan.

2 Bora

Ndoboka &

Ina Wini

3 ekor kuda 20 ekor

kerbau & 5

ekor kuda

3 Marthen

Ndapa

Ngara &

Maryam

Malo

Emas

(mamuli) &

1 ekor kuda

10 ekor

kerbau & 10

ekor kuda

4 Mere Nono

& Rahel

Kono Mali

5 ekor

kerbau

10 ekor

kerbau

5 Herman

Ndoko &

Meriana

3 ekor kuda 25 ekor

kerbau &

emas

Page 21: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

56

Linda

Tahapan

dimana

Tahapan

dimana

pihak

keluarga si

gadis

mencari

anak gadis

yang telah

pergi atau

melakukan

kawin lari

(pakondona)

Tahapan

dimana pihak

keluarga si

gadis & pihak

keluarga laki-

laki bertemu

untuk

membicarakan

&

menentukan

jumlah

belis/mas

kawin, bisa

diwakilkan

oleh keluarga,

pemuka adat

& juru bicara

yang masing-

masing

ditunjuk oleh

tiap keluarga.

(mamuli)

Tahapan

dimana

sudah

selesai/lunas

pembayaran

belis dari

pihak

keluarga

laki-laki ke

keluarga

pihak

perempuan.

6 Yusuf

Mbulu Malo

& Margareta

Malo

Emas

(mamuli)

30 ekor

kerbau

7 Oktavianus

Ngongo &

Ester Ndama

Nuna

Emas

(mamuli)

10 ekor

kerbau & 5

ekor kuda

8 Mete Nono

& Wini

Ndoe

3 ekor kuda Emas

(mamuli) &

10 ekor

kerbau

9 Origanes

Bulu & Bali

Ngara

5 ekor kuda 10 ekor

kerbau & 5

ekor kuda

10 Herman U

Doko &

Dama Eti

5 ekor

kerbau

10 ekor

kerbau &

emas

(mamuli)

Sumber Data Primer yang diolah

Penjelasan untuk tabel diatas:

Page 22: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

57

1. Tahapan Namata (pencarian) adalah tahapan dimana keluarga si gadis

mencari anak gadis yang telah pergi atau melakukan kawin lari

(pakondona)

2. Tahapan Tange Weli Na (tutup malu) adalah tahapan dimana keluarga

laki-laki akan datang memberitahukan keluarga si gadis perihal anak

gadis mereka yang berada di salah satu kerabat keluarga laki-laki

dengan membawa beberapa ekor hewan dan emas (mamuli) sebagai

tanda tutup malu.

3. Tahapan Tikar adat adalah tahapan dimana pihak keluarga si gadis dan

pihak keluarga laki-laki akan bertemu untuk membicarakan dan

menentukan jumlah belis atau mas kawin, biasanya diwakilkan oleh

seorang juru bicara yang ditunjuk oleh masing-masing tiap keluarga.

4. Tahapan Tau Welli/Ya Welli adalah tahapan dimana pihak keluarga

laki-laki akan datang untuk menyerahkan belis atau mas kawin yang

telah disepakati bersama dalam tahapan tikar adat.

5. Tahapan Palu Bengga adalah tahapan dimana telah selesai atau telah

lunas pembayaran belis dari pihak keluarga laki-laki ke keluarga pihak

perempuan.

6. Emas (Mamuli) adalah sebuah aksesoris atau perhiasan khas adat

perempuan sumba yang digantung pada telinga dan terbuat dari emas.

Satu mamuli biasanya seharga satu ekor kerbau.24

7. Hewan yang diberikan dalam tahap Tange Welli Na dan tahap Tau

Welli/Ya Welli berupa kerbau atau kuda memiliki alasan sendiri,

karena bagi masyarakat sumba pada umumnya dan masyarakat adat di

24

Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.

Page 23: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

58

desa Buru Kaghu pada khususnya kerbau dan kuda memiliki nilai lebih

dalam kebudayaan, karena sejak dahulu kerbau dan kudan sudah

menjadi salah satu mas kawin atau belis dan juga sering menjadi

korban persembahan dalam upacara-upacara adat.25

8. Peranan kepala adat dan tokoh adat dalam tahapan penyelesaian kawin

lari (pakondona) adalah mengawasi jalannya tahapan penyelesaian adat

tapi juga bisa dimintai nasihat dan solusi untuk masalah kawin lari

(pakondona), juga bisa menjadi juru bicara salah satu pihak tentunya

apabila diminta oleh salah satu pihak keluarga secara adat. 26

B. Analisis

1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kawin Lari

Dari beberapa kasus yang sudah penulis paparkan diatas dapat dilihat

bahwa kasus kawin lari diselesaikan oleh peraturan adat dengan ketentuan-

ketentuan adat yang berlaku atau dalam hal ini sangat jelas bahwa adat yang

mengambil alih penyelesaian kasus kawin lari tersebut. Setelah penulis

melakukan penelitian dapat diketahui bahwa dalam peraturan masyarakat adat di

desa Buru Kaghu tidak dianjurkan untuk melakukan kawin lari akan tetapi hukum

adat di desa Buru Kaghu juga tidak melarang, dapat dilihat hukum adat di desa

25

Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013. 26

Wawancara dengankepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.

Page 24: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

59

Buru Kaghu sudah mengatur bagaimana tahapan-tahapan proses penyelesaian

kasus kawin lari apabila terjadi sehingga walaupun kawin lari menimbulkan

masalah tetapi dapat diterima oleh masyarakat setelah melalui tahapan adat

(sanksi adat)27

.

Fenomena kawin lari cukup menarik bila ditarik pada ruang dimensi dan

pergulatan tradisi di dalamnya. Sebagai entitas local indegenious yang

berkearifan tradisional, secara ideal muatan masif yang harus ada penunjang

idealitas sebuah adat adalah insigh dari nilai adat istiadat itu sendiri. Kaitannya

dengan budaya kawin lari, sebagian masyarakat penganut system perkawinan ini

meyakini dengan menjelaskan bahwa pada umumnya secara cultural dapat

dianggap sebagai cara yang disetujui laki-laki untuk membuktikan kelaki-lakian

mereka sebagai respon terhadap dominasi politik dan ekonomi oleh kekuatan-

kekuatan eksternal. Argument seperti ini lebih pada pilihan katarsis bagi

masyarakat suku Waijewa karena kungkungan imperilisasi, infiltrasi dan aneksasi

dari kekuatan eksternal.

Budaya kawin lari merupakan salah satu dari entitas kultur tradisional bagi

suku bangsa Waijewa dari hasil asimilasi dan dialektika kebudayaan. Penjelasan

yang mungkin diberikan dan penunjang popularitas tradisi ini adalah berkaitan

dengan kenyataan bahwa raja-raja di Sumba pasca aneksasi dan orang-orang lain

yang sangat berkuasa sering mengambil perempuan-perempuan Sumba sebagai

gundik. Dengan melihat fenomena waktu itu, antisipasi keluarga-keluarga

Waijewa sering mendorong anak wanitanya untuk lari bersama (melarikan)

dengan laki-laki Waijewa yang dicintainya. Secara psikologis gerak antisipatif

masyarakat Waijewa waktu itu tidak jauh dari upaya mempertahankan relasi

27

Wawancara kepala desa Herman Ndapa Tondo tanggal 25 mei 2013.

Page 25: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

60

endogamis ketimbang menjadi alat pemuas kekuasaan bagi perempuan Waijewa

waktu itu.

Pemangku adat atau masyarakat Waijewa umumnya menyatakan bahwa

praktik budaya kawin lari merupakan hasil budaya yang terjadi turun temurun di

masyarakat Sumba. Pada masyarakat Waijewa, pada prosesi melarikan gadis

secara otomatis menjadikan mereka keluarga baru pada pasangan kawin lari

tersebut.

Popularitas kawin lari dengan pelarian-pelarian terkesan menjadi sebentuk

simflikasi pilihan dalam sikap yang menggunakan legalitas adat sebagai

instrument pencapaian keingina. Karena pilihan yang lain seperti perkawinan

dengan meminang terkadang cukup memberatkan dan membutuhkan modal dan

kesiapan psikologis yang harus ditanggung oleh calon mempelai pria.

Kemungkinan lamaran ditolak dan ntidak disetujui oleh pihak perempuan,

perbedaan status social, syarat-syarat persetujuan dan lainnya yang harus

dipenuhi oleh pelamar tidak kalah sering terasa memberatkan pihak laki-laki,

maka lari bersama menjadi pilihan tepat bagi satu pasangan.

Fenomena kawin lari diasumsikan sebagai puncak etis wujud kearifan lokal

bagi masyarakat suku Waijewa secara ekskusif. Muatan immanen dari sisi ini

adalah keterlibatan keyakinan akan kebenarannya. Namun di samping kesan-

kesan positif di dalamnya tidak jarang praktek perkawinan lari ini menyisakan

persoalan-persoalan yang mengancam keutuhan keluarga baik secara sosiologis

maupun psikologis. Salah satu persoalan yang muncul adalah konflik yang terjadi

pada rumah tangga yang pada ahkirnya memunculkan tindakan kekerasan dan

perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan di dalam rumah tangga.

Page 26: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

61

Jika dalam kasus kawin lari terjadi kekerasan terhadap perempuan, maka

hukum adat tidak dapat mengjangkau persoalan tersebut karena memang hukum

adat tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah

tangga yang dialami oleh perempuan, misalnya yang berkaitan dengan

penyelesaian kasus kekerasan atau sampai pada tahapan pemberian sanksi-sanksi

adat. Artinya bahwa ketika ada kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan

maka tidak akan pernah ada penyelesaian yang dilakukan melalui hukum adat dan

biasanya kasus-kasus seperti ini cenderung dibiarkan oleh keluarga pihak

perempuan sehingga tidak ada tindak lanjut.

2. Tahapan-Tahapan Penyelesaian Adat Kawin Lari di Desa Buru Kaghu

Masyarakat suku Waijewa di Desa Buru Kaghu mengenal kawin lari

sebagai tradisi yang mengawali perkawinan, bukannya melamar seorang gadis

melalui orang tuanya. Kawin lari melibatkan pertemuan antara si pria dengan si

gadis untuk bersepakat melakukan pelarian dengan kemauan bersama dan tanpa

adanya paksaan menuju suatu tempat persembunyian. Pelarian ini dianggap sudah

berhasil bila mempelai wanita dan pria telah sampai dan menyembunyikan diri di

suatu tempat rahasia (penyebuan), biasanya di rumah salah seorang kerabat

patrilateral calon mempelai pria.

Page 27: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

62

Menyadari bahwa anak gadis mereka tidak pulang hingga larut malam

(menurut sebagian adat sekitar dari jam 22-esok harinya), orang tua gadis tersebut

mengirim keluarga untuk mencari dan melaporkan kasus tersebut pada kepala

desa dan kepala adat , mereka yang akan mengumumkan kasus ini lebih lanjut ke

seluruh penjuru desa, kepala desa juga meminta penduduk untuk memberi tahu

dirinya atau orang tua si gadis jika mereka mengetahui di mana si gadis

bersembunyi, ini adalah tahap pencarian (Namata). Hari berikutnya keluarga

yang mewakili mempelai pria mengirim pesan atau untuk memberitahukan

pelarian itu kepada kepala desa dan atau kepala adat, mereka yang akan

meneruskan informasi itu ke orang tua si gadis. Keluarga disertai oleh kerabat

laki-laki mempelai pria, bersama-sama mendatangi orang tua mempelai wanita

dan memberitahukan mereka bahwa anaknya telah melakukan pelarian dan

barada di tempat yang aman, keluarga dari pihak pria datang dengan membawa

beberapa ekor hewan (biasanya kerbau dan atau kuda), mamuli (emas) yang akan

diserahakan ke keluarga wanita sebagai tanda tutup malu (Tange Weli Na).

Setelah keluarga perempuan menerima tanda tutup malu (Tange Weli Na) maka

akan dilanjutkan dengan tahapan tikar adat, tahapan ini adalah tahapan dimana

kedua belah pihak keluarga akan duduk bersama dalam sebuah pertemuan untuk

membicarakan tentang penentuan jumlah belis (mas kawin). Setelah kedua pihak

keluarga mendapat kesepahaman tentang penentuan jumlah belis (mas kawin)

dalam tahapan tikar adat maka selanjutnya berturut-turut tahapan yang harus

dilalui oleh pihak keluarga laki-laki adalah Tau Welli/Ya Welli dan Palu Bengga,

seperti yang telah dijelaskan penulis pada halaman 55-57.

Sesuai dengan hasil penelitian melalui pembagian angket kepada responden

dan wawancara kepada narasumber penulis akan menganalisis perkawinan adat

Page 28: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

63

suku Waijewa di dedesa Buru Kaghu Kabupaten Sumba Barat Daya. Analisis ini

didasarkan pada rumusan masalah yaitu mengapa masyarakat adat suku Waijewa

masih mempertahankan budaya hukum perkawinan adat.

Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dianalisis bahwa budaya hukum

yang terjadi suku Waijewa Kabupaten Sumba Barat dapat dianalisis berdasarkan

3 komponen menurut Lawrence M Freidman yakni :

a. Komponen Struktur : berdasarkan Struktural Kelembagaan Adat

didalam suku waijewa ada dewan adat yakni Kepala Adat, Kepala

Suku, dan Pesuruh Adat yang tersturktur sebagai lembaga yang

menentukan layak tidak seorang itu melangsungkan perkawinanan

atau bagaimana cara-cara pasangan itu dapat layak melangsungkan

perkawinan dengan syarat-sayarat tertentu.

b. Komponen Substansi : Aturan-aturan adat atau keputusan-

keputusan dewan adat suku waijewa yang berlaku mengikat bagi

masyarakat adat dan apabila tidak melakukanya maka akan

mendapatkan ancaman keluar dari anggota masyarakat adat yang

berlaku turun temurun. Dalam hal masalah perkawinan adat dewan

adat banyak menentukan suatu perkawinan itu dapat berlangsung

atau tidak mengingat kemungkianan strata atau status sosial

dimasyarakat suku waijewa sehingga perlu adanya pennetuan nilai

belis atau mas kawin untuk menyetarakan strata atau status sosial

yang berbeda khususnya status dari pihak keluarga laki-laki.

c. Komponen Hukum yang bersifat kultural :

Internal Legal Culture : Dalam Suku Waijewa kita bisa melihat

adanya budaya hukum yang berupa putusan-putusan yang terlahir

Page 29: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

64

dari internal dalam dewan adat suku waijewa, sedangkan Eksternal

Legal Culture adalah budaya hukum yang terlahir dari luar wilayah

wewenang hukum adat yakni kawin lari walaupun dalam

perkembanganya dewan adat ikut ambil bagian dalam proses

penyelesaian kawin lari dan mengembalikan pasangan kedalam

lingkungan masyarakat adat kembali dengan cara syarat-sayarat

yang nantinya akan ditentukan.

Menurut Lawrence M Freidman komponen ketiga akan menentukan apakah

pengadilan umum akan didaya gunakan atau tidak? Karena nilai-nilai dalam

masyarakat itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa orang

menggunakan, atau tidak menggunakan, atau menyalahgunakan, proses hukum

serta sistem hukum. Semua komponen yang ada terdapat dalam struktur budaya

hukum nasional juga terdapat pada hukum pada masyarakat adat suku waijewa.

No Komponen Budaya Hukum Nasional Budaya Hukum Masyarakat Suku

Waijewa

1 Komponen Struktur Ada Lembaga Pembentuk

Undang-Undang seperti

Badan Legislatif dan

Eksekutif dan ada lembaga

penegak hukum atau yang

melaksanakan Undang-

Undang yakni Kepolisian,

dan badan yudikatif

Dewan Adat yakni : Kepala Adat,

Kepala Suku dan Pesuruh Adat

Page 30: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

65

2 Komponen Subtansi Sumber-sumber hukumnya

adalah : KUHP,

KUHPerdata, Undang-

Undang, dan Yurisprudensi

Aturan-Aturan adat yang sifat pada

umumnya tidak tertulis, namun

mengikat masyarakat suku waijewa

3 Komponen Kultural Internal legal culture :

adalah putusan-putusan

berasal dari lembaga-

lembaga dalam budaya

hukum nasional, dan

eksternal legal culture :

berasal dari luar lembaga-

lembaga tersebut.

Internal Legal Culture : berkaitan

dengan putusan-putusan dewan adat

yang seharusnya dilaksanakan,

sedangkan ekternal legal culture adalah

hal –hal yang lain yang mempengaruhi

dan menjadi pembeda dan dewan adat

harus ikut memutuskan. Contohnya

kawin lari.

Di dalam 3 komponen budaya hukum, dalam hal komponen substansi yang

berkaitan dengan perlindungan hak-hak perempuan di dalam proses penyelesaian

kawin lari, perlindungan terhadap hak-hak perempuan terjadi pada tahapan yang

disebut Namata (tutup malu). Pada tahapan ini pihak laki-laki membawa harta

diluar Tau Welli/Ya welli (Pembayaran Belis) sebagai bentuk

pertanggungjawaban moral dan itikad baik dari pihak laki-laki. Setelah pihak

laki-laki menyelesaikan tahapan-tahapan adat sebagai bentuk

pertanggungjawaban terhapat hak-hak perempuan maka selanjutnya pihak

keluarga perempuan harus patuh pada hukum adat yang berlaku yakni menerima

tahapan adat. Dalam kasus-kasus seperti ini, biasanya pihak keluarga perempuan

menerima serta patuh terhadap tahapan tahapan adat akan tetapi belum tentu

Page 31: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

66

pihak keluarga perempuan rela untuk menerima laki-laki yang menjadi pilihan

anak perempuan mereka.

Semua komponen diatas saling berkaitan satu sama lain yang disebut

dengan sistem hukum. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-

nilai yang ada dilingkungan yang sarat dengan faktor-faktor non-hukum lainya.

Miasalnya ketika penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan

tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para

pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Jadi jika hukum

dipahami sebagai suatu sistem , maka seluruh tata aturan yang berbeda

didalamnya tidak boleh saling bertentangan.

Ini bisa dilihat apabila kawin lari yang terjadi di suku waijewa maka banyak

aturan-aturan adat yang harus diselesaikan untuk mengembalikan pasangan kawin

lari tersebut kembali kedalam masyarakat adat apabila tidak menyelesaikanya

maka mereka akan dianggap sebagai orang buangan. Namun pasangan kawin lari

dari suku waijewa juga menghindar karena banyak aturan-aturan adat yang cukup

memberatkan dan memakan waktu lama didalam suku waijewa dan mereka lebih

memilih untuk menikah secara sipil dan agama mereka masing-masing. Menjadi

persoalan apabila kawin lari ini melibatkan pasangan yang belum cakap hukum

atau salah satunya belum cakap hukum khususnya pada seorang gadis. Maka

dewasa ini atau apabila terjadi dalam waktu sekarang maka akan bertentangan

dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Apabila

pasangan kawin lari tersebut tidak secepatnya melakukan perkawinan maka

mereka akan bertentnangan dengan pasal perzinahan dalam KUHP.

Nilai-nilai yang telah mapan dalam masyarakat adat suku waijewa pada

dasarnya terbentuk melalui pola perilaku dan sikap dari masyarakat suku

Page 32: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

67

Waijewa. Misalnya ketika nilai-nilai adat dianggap menjadi sesuatu yang penting

bagi kehidupan mereka maka segala sesuatu yang berhubungan dengan

kehidupan mereka pasti tidak terlepas dari nilai-nilai adat itu sendiri.

Adat dalam suku waijewa dilakukan dan dipatuhi oleh masyarakatnya

karena telah memberikan rasa aman dan sejahtera bagi mereka dalam

kehidupannya. Hal ini tidak lepas dari namanya “kekuasaan supranatural”,

masyarakat adat percaya bahwa didalam adat istiadat yang dipatuhi olehnya ada

kekuasaan yang besar dan mampu memberikan kebahagian bagi mereka.

Dalam kultur hukum terbagi atas Internal Legal Culture dan Eksternal

Legal Culture. Yang termasuk dalam Internal Legal Culture dalam adat adalah

(Kepala Adat), (Kepala Suku), dan (Pesuruh Adat). Karena mereka inilah yang

bertanggung jawab dalam suatu rangkaian upacara adat yang dilakukan. Baik itu

upacara adat yang akan dilakukan. Baik itu upcara perkawinan, pembayaran mas

kawin ataupun penyelesaian masalah-masalah perkawinan adat dalam hal ini

yang berkaitan dengan kawin lari.

Kawin lari adalah perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan

dikawininya dengan persetujuan sang gadis itu menghindari dari tata cara adat

yang dianggap rumit dan memakan biaya terlalu mahal. Fenomena kawin lari ini

sering terjadi karna terpaksa untuk menghindari persyaratan adat dalam

melakukan perkawinan.

Berdasarkan definisi kawin lari penulis mencoba menyimpulkan bahwa

kawin lari merupakan perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan

dikawini dengan persetujuan si gadis untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang

dianggap menghambat perkawinan, seperti tata cara atau persyaratan adat yang

Page 33: BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...3. “Kawin Lari” (Pakondona): Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian

68

memakan waktu dan biaya banyak. Menurut Hadikusuma (1977), latar belakang

terjadinya kawin lari yaitu disebabkan oleh faktor-faktor yaitu :

1. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan, dan upacara perkawinan yang

diminta pihak gadis tidak dipenui pihak bujang

2. Gadis belum diizinkan orang tua nya untuk bersuami, sehingga si

gadis memutuskan untuk bertindak sendiri

3. Orang tua atau keluarga si gadis untuk menolak lamaran pihak bujang

4. Si bujang dan si gadis telah melakukan hal yang bertentangan dengan

hukum adat dan hukum agama.

5. Perekonomian si bujang tidak berkecukupan

6. Posisi gadis yang ingin berumah tangga tapi memiliki kakak yang

belum menikah

7. Kedudukan si bujang dalam tingkatan atau derajat atau strata adat

tidak seimbang dengan kedudukan si gadis

8. Gadis masih sangat muda untuk menikah.