BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

50
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1. Dasar Teori 2.1.1. Morbus Hansen 2.1.1.1. Definisi Morbus Hansen Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen. Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf- saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda

description

penelitian

Transcript of BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Page 1: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1. Dasar Teori

2.1.1. Morbus Hansen

2.1.1.1. Definisi Morbus Hansen

Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-

gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama

yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga

penyakit ini disebut Morbus Hansen.

Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit

granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit

adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,

menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos

yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu

mudah.

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ

tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita

tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat

infektivitasnya rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya

kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak. Tanda-tanda seseorang

menderita penyakit kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh

tidak berkeringat, rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa

karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya

waspada jika ada anggota keluarga yang menderita luka tak kunjung sembuh dalam jangka

waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan jari tidak terasa sakit.

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik

dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih,

asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat

menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.

Page 2: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Kusta tipe Pausi Bacillary  atau disebut juga kusta kering adalah bilamana ada

bercak keputihan seperti panu dan mati rasa atau kurang merasa, permukaan bercak kering

dan kasar serta tidak berkeringat, tidak tumbuh rambut/bulu, bercak pada kulit antara 1-5),

Tipe kusta ini tidak menular.Sedangkan Kusta tipe Multi Bacillary atau disebut juga kusta

basah adalah bilamana bercak putih kemerahan yang tersebar satu-satu atau merata diseluruh

kulit badan, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak pada kulit lebih dari 5

tempat, kerusakan banyak saraf tepi dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif (+). Tipe

seperti ini sangat mudah menular.3

2.1.1.3 Epidemiologi Morbus Hansen

Epidemiologi Secara Global

Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus terdapat di

daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka penyakit ini

bisa menyerang di mana saja. Menurut laporan resmi yang diterima pada 103 negara dan

wilayah, berdasarkan WHO pada pertengahan tahun 2014 terdapat 180.464 kasus, dimana

pada jumlah kasus baru yang terdeteksi pada tahun 2013 sejumlah 215.557 kasus ( meliputi

sejumlah kasus pada bagian eropa).

Hampir sejumlah negara yang sebelumnya mengalami endemik akan penyakit ini

telah mencapai pada tahap eliminasi setingkat nasional. Pada tahun 2007 , Republik

Demokrat Kongo dan mozambik mencapai eliminasi pada tahap nasional, lalu diikuti oleh

Timor-Leste pada akhir tahun 2011. Walaupun begitu, masih terdapat fokus endemik pada

beberapa negara yakni : Angola, Brazil, Republik afrika sentral, India, Madagascar, Nepal.4,5

Epidemiologi Kusta di Indonesia

Sampai saat ini, penyakit kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia

terutama di negara berkembang, seperti indonesia. Prevalensi kusta dunia adalah sebesar 0,2

per 10.000 jiwa pada tahun 2006. Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 0,91

dari 10 000 penduduk Indonesia menderita kusta pada 2008.

Lalu berdasarkan Data Epidemiologi: jumlah kasus baru pada penyakit kusta Tahun

2012, sebanyak : 17.980 orang, angka ini turun dari 2011 yang 20.023 orang. Sedangkan

prevalensi 2012 : 23.252 orang (0,96/10.000), dengan kriteria eliminasi adalah < 1/ 10.000

Page 3: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

penduduk, karena itu indonesia sudah masuk dalam kriteria negara yang eliminasi kusta.

Untuk cacat tingkat 2 ( cacat yang terlihat ) tahun 2012 sebesar : 0,85 / 100.000 penduduk. 5-7

2.1.1.4 Etiologi Morbus Hansen

Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang berbentuk pleomorf

lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran 3-8 Um x 0,5 Um.Basil

ini berbentuk batang gram positif dan bersifat tahan asam, tidak mudah diwarnai namun jika

diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu

dinamakan sebagai basil tahan asam, tidak bergerak dan tidak berspora, dan dapat tersebar

atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk masa irreguler besar yang disebut

globi. Micobakterium ini termasuk kuman aerob. Kuman Mycobacterium leprae menular

kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan,

kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi rata-rata 2-5

tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul

antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh

hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.4,6 Menurut Marwali Harahap (2000),

Mycobacterium lepraemempunyai 5 sifat, yakni : 1. Mycobacterium leprae merupakan parasit

intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan. 2. Sifat tahan asam

Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin. 3.Mycobacterium leprae merupakan

satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).

Mycobacterium lepraeadalah satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan

bertumbuh dalam saraf perifer. Ekstrak terlarut dan preparatMycobacterium leprae

mengandung komponen antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji

kulit positif pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.1,8

2.1.1.5. Patofisiologi Morbus Hansen

Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab

penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih

berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat

penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya

reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh

karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.

Page 4: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah

dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan mulut

terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak langsung melalui kulit utuh,

meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.

Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi rata-

rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa.

Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit, selaput

lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis. Daerah-daerah

tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan tergantung pada sejauh

mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya penyebaran bacillary dan

perkalian, penampilan yang merusak jaringan komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan

pengembangan kerusakan saraf dan gejala sisa.

M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil dengan

afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya, mengikat

mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di saraf perifer)

dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya merangsang

respon kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan kronis.

Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan

kematian aksonal.

Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu penemuan

penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme,

mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri.

Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M dan tuan diperantarai sel

respon imun, sementara juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag.

Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit ini.

Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil respon yang

lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan terdefinisi dengan baik saraf yang

terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10),

tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan

lesi luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu,

spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam

bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu,

kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan tingkat

keparahan penyakit.

Page 5: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis

kusta . M leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel

Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang

dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin bertanggung

jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan, akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf

ditemukan pada orang dengan penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam

lamina basal sel Schwann juga merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel,

sedangkan aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi

sebagai mediator dari demielinasi pada kusta .

Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam

respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian sel

yang terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi

sel dendritik. [5] Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan

mukosa hidung, sel-sel endotel juga berpikir untuk berkontribusi pada patogenesis kusta.

Jalur lain dimanfaatkan oleh M leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan

menyebabkan apoptosis sel kekebalan tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10

sekresi.

Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab untuk tipe

I reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan pengendapan kompleks

imun pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari aktivasi komplemen pada organ.

Satu studi menemukan bahwa siklooksigenase 2 diungkapkan di microvessels, berkas saraf,

dan serat saraf terisolasi dalam dermis dan subcutis selama reaksi reversal.

Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai

dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada system imunitas seluler

(SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS

rendah memberikan gambaran lepromatosa.1,8

2.1.1.6. Klasifikasi

Pembagian Kusta atau Morbus Hansen dibagi menjadi dua jenis menurut WHO yaitu tipe

pausibasiler dan multibasiler.

Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO.1

Page 6: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)

Lesi kulit (makula yang

datar, papul yang

meninggi, infiltrate,

plak eritem, nocus)

1-5 lesi

Hipopigmentasi/eritema

Distribusi tidak simetris

>5 lesi

Distribusi lebih

simetris

Kerusakan saraf

(menyebabkan

hilangnya

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

saraf yang terkena

Hilangnya sensasi yang

jelas

Hanya satu cabang saraf

Hilangnya sensasi

kurang jelas

Banyak cabang saraf

BTA Negatif Positif

Tipe Indeterminate (I),

Tuberkuloid (T),

Borderline tuberkuloid

(BT)

Lepromatosa (LL),

Borderline lepromatous

(BL), Mid borderline

(BB)

Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi menjadi :1

a. Indeterminate leprosy(I) : makula hipopigmentasi, terkadang makula eritema.

Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita mengalami kesembuhan

spontan, sedangkan pada yang lainnya akan tetap pada bentuk ini sampai ketika

imunitas menurun, maka akan berubah menjadi bentuk yang lain (Lewis, 2010).

b. Tuberculoid leprosy(TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa satu plak eritem

dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada wajah, ekstremitas, intertriginosa,

dan kepala. Lesi kering, skuama, hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi

pada kulit sudah mengalami anestesi.

c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe tuberculoid, namun lesi

lebih kecil dan banyak. Berupa makula anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di

pinggirnya. Gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf

tidak terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia dibandingkan tipe

Page 7: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

tuberculoid.Bentuk ini biasanya bertahan/tetap, namun dapat kembali pada tipe

tuberkuloid atau progresif menuju bentuk lepromatosa.

d. Borderline borderline leprosy(BB) : tipe yang paling tidak stabil, disebut juga

dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah, berupa plak ireguler. Lesi

sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi

punched outyaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi

menyerupai bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati regional

(Lewis, 2010).

e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas makula, papula, plak

dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular. Anestesi tidak terjadi (Lewis, 2010).

f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat. Makula kecil, difus

dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini, saraf tidak menebal, dan hidrotik.

Hilangnya rangsang saraf lambat dan progresif.

Tabel 3. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta PB.1

Karakteristik Tuberkuloid (TT) Borderline

Tuberkuloid (BT)

Indeterminate (I)

Lesi

Bentuk Makula atau

makula dibatasi

infiltrat

Makula dibatasi

infiltrat; infiltrat

saja

Hanya infiltrat

Jumlah Satu atau Satu dengan lesi Satu atau

Page 8: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

beberapa satelit beberapa

Distribusi Terlokasi dan

asimetris

asimetris Bervariasi

Permukaan Kering,skuama Kering,skuama Halus agak

berkilat

Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai

tidak jelas

Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau

tidak jelas

BTA

Pada lesi kulit Negatif Negatif, atau 1+ Biasanya negatif

Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif

lemah atau

negatif

Tabel 4. Gambaran klinis, Bakteriologis, dan Imunologik Kusta MB.1

Karakteristik Lepromatosa

(LL)

Borderline

Lepromatosa

(BL)

Mid-borderline

(BB)

Lesi

Bentuk Makula, infiltrat Makula, plak, Plak, lesi bentuk

Page 9: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

difus, papul,

nodus

papul kubah, lesi punched

out

Jumlah Banyak distribusi

luas, praktis tidak

ada kulit sehat

Banyak tapi kulit

sehat masih ada

Beberapa, kulit

sehat (+)

Distribusi Simetris Cenderung

simetris

Asimetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit berkilap,

beberapa lesi kering

Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas

Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas

BTA

Pada lesi

kulit

Banyak Banyak Agak banyak

Sekret

hidung

Banyak Biasanya tidak

ada

Tidak ada

Tes

Lepromin

Negatif Negatif Biasanya negatif

2.1.1.7 Gejala klinis

Masa inkubasinya yang terjadi pada kusta sebenarnya sulit diukur dikarenakan

sulitnya alat pengukuran serta faktor imunologi seseorang yang berbeda. Masa inkubasi

minimum terjadi sekitar beberapa minggu sampai 30 tahun, dari beberapa pengamatan pada

beberapa daerah endemik. Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama

kali mengenai system saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren

tanpa terlihat adanya gejala klinis.

Page 10: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang bersifat

sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik

yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.

Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke

kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa baal,

hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya,

sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi

kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitasyang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang

dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung,

daun telinga, dan lutut.8

\ Gejala klinis pada kusta sekarang terdapat tiga tanda kardinal untuk mendiagnosis

secara pasti, yakni sebagai berikut :9

a. Lesi kulit hipopigmentasi dengan anestesia

b. Penebalan saraf tepi, dengan adanya gangguan fungsi pada sensadisi di setiap

persarafan yang terkena.

c. Terdapat Basil Tahan Asam pada sediaan kerokan kulit.

2.1.1.8. Reaksi kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang

sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular

response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum

pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis

terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang

memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang

memegang peranan adalah imunitas humoral.3

a. Reaksi tipe 1

Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction

yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya

reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking

down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular

yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara

imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi

upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh

karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,

Page 11: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan

umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.

Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang

subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang lain sehingga

disebut reaksi borderline.

Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang

telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya

lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula

menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak

perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup 4.

b. Reaksi tipe II

Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi hipersnsitivitas

tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi

lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut

sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus,

mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil,

terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan

paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang

berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi

dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga

memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe. 3

2.1.1.9. Derajat Cacat Morbus Hansen

a. WHO ( 1995 ) dan djuanda, A, 1997 membagi cacat kusta menjadi 3 tingkat ke

cacatan, yaitu:

Cacat pada tangan dan kaki

tingkat 0 : tidak ada anestesi, dan kelainan anatomis

tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis

tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis

b. Cacat pada mata

tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata ( termasuk visus )

tingkat 1 : ada kelianan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang

Page 12: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

tingkat 2 : ada lagoptalmus dan visus sangat terganggu ( visus 6/60, dapat

menghitung jari pada jarak 6m ).1

2.1.1.10 Pemeriksaan Penunjang

2.1.1.10.1 Pemeriksaaan bakterioskopik,

Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan

dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan

pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan

berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama – tama harus ditentukan

lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan

jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya

minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling

aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa

menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya

didapati banyak M. leprae1.1,

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan

dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila

tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP

5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid

dan non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+

tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000

sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

2.1.1.10.2. Pemeriksaan histopatologi,

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang

mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya tinggu,

Page 13: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman

disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya

berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi

sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia

Langhans.

Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut

tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan

SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada

didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau

sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1

Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang

lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim

sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah

epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil.

Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.

2.1.1.10.3. Pemeriksaan serologik:

Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.

Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu antibodi anti

phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi

yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan

oleh kuman M.tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang

meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik adalah

MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-

Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick). 1

2.1.1.10.4. Tes lepromin

adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk

diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1

ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian

dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi

Page 14: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita

bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)

pada tuberkolosis.

2.1.1.11. Penatalaksanaan

Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan untuk

menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita,

mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang

dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan

DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang

semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan

untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil

sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat

antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.

Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah

kemungkinan resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.10

2.1.1.11.1. Regimen Kombinasi Menurut WHO 10

Regimen kombinasi ini merupakan regimen untuk penanganan morbus hansen tipe

pausibasiler selama 6 bulan.

Dapson Rifampisin

Dewasa

50-70 kg

100 mg

Setiap hari

600 mg

Sebulan sekali di bawah

pengawasan

Anak 50 mg 450 mg

Page 15: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali di bawah

pengawasan

* Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg setiap

hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan

Lalu regimen selanjutnya merupakan regimen untuk pengobatan morbus hansen multibasiler :

Dapsone Rifampisin Clofazimin

Dewasa

50-70 kg

100 mg

Setiap Hari

600 mg

Sebulan sekali

di bawah

pengawasan

50 mg

Setiap hari

DAN 300 mg

Sebulan sekali di

bawah

pengawasan

Anak

10-14 tahun *

50 mg

Setiap hari

450 mg

Sebulan sekali

di bawah

pengawasan

50 mg

Setiap hari

DAN 150 mg

Sebulan sekali di

bawah

pengawasan

*Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg sehari,

rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50 mg

diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di bawah

pengawasan

Page 16: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Tipe PB10

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang

diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (released

from treatment)

Anak Dewasa

Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps

(300mg+150mg) + DDS 1

tab (50mg)

Rifampisin 2caps

(2x300mg) + DDS 1 tab

(100mg)

Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)

*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Tipe MB10

Mengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang diselesaikan

dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT

meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.

Anak Dewasa

Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps

(300mg+150mg) +

Klofazimin 3caps

(3x50mg) + DDS 1 tab

(50mg)

Rifampisin 2caps

(2x300mg) +

klofazimin 3caps

(3x100) + DDS 1 tab

(100mg)

Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab (50mg)

+ DDS 1 tab (50mg)

Klofasimin 1cap

(100mg) + DDS 1 tab

(100mg)

* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Page 17: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

2.1.2. Stigma dan Diskriminasi terhadap Penyakit Kusta

Stigma menurut Erving Goffman (1968) adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial

yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari penerimaan

seseorang.Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia stigma adalah ciri negatif yang

menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.14

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005, penyakit kusta

menimbulkan masalah yang sangat kompleks, masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi

medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, psikologis, budaya, keamanan dan

ketahanan nasional. Sedangkan secara psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit

penderita membentuk paras yang menakutkan. Kecacatannya juga memberikan gambaran

yang menakutkan menyebabkan penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan menyendiri

bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita

kusta berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk keadaan.

Selain itu menurut penelitian oleh Munir pada tahun 2001, kecacatan yang berlanjut

dan tidak mendapatkan perhatian serta penanganan yang tidak baik akan menimbulkan

ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang normal serta kehilangan status sosial

secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan teman temannya. Disamping itu

masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut hal ini disebabkan karena kurangnya

pengetahuan atau pengertian juga kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta.

Masyarakat masih banyak beranggapan bahwa kusta disebabkan oleh kutukan, guna guna,

dosa, makanan ataupun keturunan.

Diera modern ini muncul istilah “stigmatisasi” yang lebih mencerminkan “kelas”

daripada fisik. Salah satu misi Depertemen Kesehatan dalam pemberantasan penyakit kusta

adalah menghilangkan stigma sosial (ciri negatip yang menempel pada pribadi seseorang

karena pengaruh lingkungannya) dengan mengubah persepsi masyarakat terhadap penyakit

Page 18: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

kusta melalui pembelajaran secara intensif tentangpenyakit kusta. Menurunkan stigma dan

mengurangi diskriminasi mendorong perilaku masyarakat dalam menerima penderita kusta.

Hal ini sangat penting untuk meningkatkan percaya diri penderita dan keluarga dalam

kehidupan sehari – hari.

Menurut penelititan dari Universitas Airlangga Surabaya tahun 2013 menunjukkan

masyarakat di desa Sidomukti, Jawa Timur tergolong memiliki derajat pengetahuan yang

rendah tentang penyakit kusta dengan persentase sebesar 51%. Rendahnya derajat

pengetahuan masyarakat tentang penyakit kusta tersebut dapat dilihat dari banyaknya

masyarakat yang tidak mengetahui bagaimana cara-cara penularan penyakit kusta. Dengan

mengetahui penularan penyakit kusta, masyarakat seharusnya tidak lagi takut dengan

penyakit kusta yang selama ini dianggap sebagai penyakit yang menyeramkan. Berdasarkan

penelitian yang sama, masyarakat masih menolak kehadiran mantan penderita kusta di

lingkungan mereka yang dibuktikan dengan masih rendahnya penerimaan sosial pada mantan

penderita dengan persentase sebesar 65%. Penolakan dari masyarakat tersebut terlihat karena

sebagian besar masyarakat merasakan dirinya tidak nyaman dengan kehadiran mantan

penderita kusta di lingkungan mereka.17

Diskriminasi pada umumnya terjadi jika ada stigma. Stigma muncul terkait dengan

tingkat pengetahuan. Tidak adanya pengetahuan dasar tentang penyakit kusta menyebabkan

muunculnya beragam tindakan diskriminasi. Beberapa bentuk stigma external dan

diskriminasi terhadap penderita penyakit kusta antara lain :

1. memberikan pembedaan terhadap piring dan gelas yang diberikan terhadap

mantan penderita kusta apabila mantan penderita kusta tersebut hadir dalam acara

atau hajatan di rumah anggota masyarakat. piring dan gelas yang dibedakan

tersebut, pada umumnya akan dibuang agar tidak menularkan penyakit kusta

terhadap dirinya.

2. tidak mengundang mantan penderita kusta dalam acara hajatan.

3. sebagian besar masyarakat tidak mau menghadiri acara hajatan yang dilakukan di

rumah mantan penderita penyakit kusta, jika hadir dalam acara tersebut, pada

umumnya masyarakat tidak akan bersedia makan dan minum suguhan yang

diberikan

4. masyarakat cenderung enggan untuk duduk di dekat mantan penderita penyakit

kusta

5. anggota masyarakat yang tidak mau membantu mantan penderita kusta dalam

acara kerja bakti

Page 19: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

6. masyarakat menolak untuk bekerja sama dengan mantan penderita kusta dalamb

pekerjaan yang dilakukannya

7. masyarakat juga tidak menginginkan untuk memiliki pekerja yang merupakan

mantan penderita penyakit kusta17

Tindakan diskriminasi dan stigmatisasi membuat orang enggan untuk melakukan

pemeriksaan kusta, enggan mengetahui hasil pemeriksaan mereka, dan tidak berusaha untuk

memperoleh perawatan yang semestinya serta cenderung menyembunyikan status

penyakitnya. Hal ini semakin memperburuk keadaan, membuat penyakit yang tadinya dapat

dikendalikan menjadi semacam “hukuman mati” bagi para pengidapnya dan membuat

penyakit ini makin meluas penyebarannya secara terselubung.  Diskriminasi yang dialami

penderita kusta baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan keluarga

maupun di masyarakat umum harus menjadi prioritas upaya penanggulangan penyakit

kusta.17

2.1.3.Pengetahuan

2.1.3.1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan

terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh

melalui mata dan telinga.13

Proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka

perilaku tersebut akan bersikap langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari

oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. 13

2.1.3.2. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut:14,15

1) Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap

suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima.Oleh sebab itu tahu adalah tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja

Page 20: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan,

menguraikan, mendefinisikan, menyatakan.

2) Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan benar tentang objek yang diketahui,

dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham

terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,

menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari, misalnya

dapat menjelaskan mengapa harus datang ke Posyandu.

3) Analisis (analysis)

Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi, dan

masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari

penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,

memisahkan, mengelompokkan.

4) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari

pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau

penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip.

5) Sintesis (synthesis).

Sintesis menunujuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-bagian di dalam

suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan

untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat

menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan terhadap

suatu teori atau rumusan yang telah ada.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian

terhadap suatu materi atau objek.Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu kriteria yang

ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang ada.

2.1.3.3.Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan

Page 21: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003) adalah: 14,15

1) Umur

Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitian-penelitian

epidemiologi yang merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pengetahuan.Umur

adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan.Umur

mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah umur akan

semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang

diperoleh semakin banyak.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari

struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural.

3) Pendidikan

Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku

manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam pendidikan perlu dipertimbangkan umur

(proses perkembangan klien) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan

juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih

mudah menerima ide-ide dan teknologi.Pendidikan meliputi peranan penting dalam

menentukan kualitas manusia. Dengan pendidikan manusia dianggap akan memperoleh

pengetahuan implikasinya. Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin

berkualitas karena pendidikan yang tinggi akan membuahkan pengetahuan yang baik

yang menjadikan hidup yang berkualitas.

4) Paparan media massa

Melalui berbagai media massa baik cetak maupun elektronik maka berbagai informasi

dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar media

massa akan memperoleh informasi yang lebih banyak dan dapat mempengaruhi tingkat

pengetahuan yang dimiliki.Remaja mempunyai rasa ingin tahu yang besar, namun remaja

justru kurang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan

yang cukup berkaitan dengan kesehatan reproduksi.Media memegang peran penting

dalam penyebar luasan informasi tentang Kesehatan Reproduksi Remaja.

Page 22: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

5) Sosial ekonomi (pendapatan)

Dalam memenuhi kebutuhan primer, maupun sekunder keluarga, status ekonomi yang

baik akanlebih mudah tercukupi dibanding orang dengan status ekonomi rendah,

semakin tinggi status sosial ekonomi seseorang semakin mudah dalam mendapatkan

pengetahuan, sehingga menjadikan hidup lebih berkualitas.

6) Pengalaman

Pengalaman adalah suatu sumber pengetahuan atau suatu cara untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman

yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

Pengalaman seseorang individu tentang berbagai hal biasanya diperoleh dari lingkungan

kehidupan dalam proses pengembangan misalnya sering mengikuti organisasi.

7) Kepatuhan Terhadap Agama

Agama mempunyai peranan dalam membentuk konsep seseorang tentang sehat dan sakit.

Konsep ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan tentang peran Tuhan dalam menentukan

nasib seseorang, termasuk didalamnya adalah dalam hal sehat dan sakit. Peran agama

dalam semua aspek kehidupan manusia sudah ada sejak berabad-abad yang lalu.

Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan dan para pemimpin agama

mempunyai peran dalam pencegahan dan pengurangan penularan penyakit morbus

hansen..

2.1.4. Sikap

2.1.4.1. Definisi Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulasi

atau objek. Manisfestasi sikap tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat ditafsrirkan. Sikap

merupakan kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan

pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut

(Koentjaraningrat, 1983). Menurut Sarwono (1997), sikap merupakan kecenderungan

merespons (secara positif atau negatif) orang, situasi atau objek tertentu. Sikap mengandung

suatu penilaian emosional atau afektif (senang, benci, dan sedih), kognitif (pengetahuan

tentang suatu objek), dan konatif (kecenderungan bertindak).

Page 23: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2003), sikap merupakan kesiapan atau

ketersediaan untuk bertindak, yang menjadi presdisposisi tindakan suatu perilaku, bukan

pelaksanaan motif tertentu. Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi terhadap objek di

lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

Dengan sikap secara minimal, masyarakat memiliki pola berpikir tertentu dan pola

berpikir diharapkan dapat berubah dengan diperolehnya pengalaman, pendidikan, dan

pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat

Sarwono (1997) bahwa sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan

informasi tentang objek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya.15

2.1.4.2. Komponen Pokok Sikap

Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003), komponen pokok sikap meliputi

hal-hal berikut: 15

1. Kepercayaan, ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan bertindak (tend to behave)

Ketiga komponen tersebut, secara bersama-sama membentuk total attitude. Dalam hal

ini, determinan sikap adalah pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi. Menurut Azwa

(1995), sikap memiliki tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu kognitif, afektif,

dan konatif. Komponen kognitif berisi kepercayan yang berhubungan dengan persepsi

individu terhadap objek sikap dengan apa yang dilihat, dan diketahui. Komponen afektif

menunjukkan dimensi emosional subjektif individu terhadap objek sikap, baik yang bersifat

positif ataupun negatif. Komponen konatif kecenderungan bertindak terhadap objek sikap

yang dihadapinya.

Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman

dan latihan sepanjang perkembangan individu. Menurut Azwar (1995), pembentukan sikap

dipengaruhi beberapa faktor, yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang

dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan

faktor emosi dalam diri individu. Sementara itu, menurut Krech dkk. (1962), pembentukan

dan perubahan sikap dapat disebabkan oleh situasi interaksi kelompok dan situasi

komonukasi media. Semua kejadian tersebut mendapatkan pengalaman dan pada akhirnya

akan membentuk keyakinan, perasaan serta kecenderungan berperilaku. Menurut Sarwono

(2000), terdapat beberapa cara untuk membentuk atau mengubah sikap individu:

Page 24: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Adopsi. Suatu cara pembentukan dan perubahan sikap melalui kegiatan yang berulang

dan terus-menerus sehingga lama-kelamaaan secara bertahap akan diserap oleh individu

Diferensiasi. Terbentuk dan berubahnya sikap karena individu telah memiliki

pengetahuan, pengalaman, intelegensi dan bertambahnya umur. Hal yang pada awalnya

dipandang sejenis, sekarang dipandang tersendiri dan lepas dari jenisnya sehingga

membentuk sikap tersendiri.

Integrasi. Sikap terbentuk secara bertahap. Diawali dari pengetahuan dan pengalaman

terhadap objek sikap tertentu.

Trauma. Pembentukan dan perubahan sikap terjadi melalui kejadian yang tiba-tiba dan

mengejutkan sehingga menimbulkan kesan mendalam.

Generalisasi. Sikap terbentuk dan berubah karena pengalaman traumatik pada individu

terhadap hal tertentu dapat menimbulkan sikap tertentu (positif atau negatif) terdahap

semua hal.

2.1.5. Perilaku

2.1.5.1. Definisi Perilaku

Dari sudut biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang

bersangkutan, yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung.Perilaku manusia

adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri.Secara operasional, perilaku dapat diartikan suatu

respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar subjek tersebut.

Ensiklopedi Amerika mengartikan perilaku sebagai suatu aksi-reaksi organisme

terhadap lingkungannya.Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang diperlukan untuk

menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan. Berarti rangsangan tertentu akan

meghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.16

2.1.5.2. Proses Pembentukan Perilaku

Page 25: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Perilaku manusia terbentuk karena adanya kebutuhan. Menurut Abraham Harold

Maslow, manusia memiliki lima kebutuhan dasar, yaitu (a) kebutuhan fisiologis/biologis

yang merupakan kebutuhan pokok utama, (b) kebutuhan rasa aman, (c) kebutuhan mencintai

dan dicintai, (d) kebutuhan harga diri, dan (e) kebutuhan aktualisasi diri. Tingkat dan jenis

kebutuhan tersebut satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu kesatuan

atau rangkaian walaupun pada hakeketanya kebutuhan fisiologis merupakan faktor yang

dominan untuk kelangsungan hidup manusia. 16

2.1.5.3. Faktor yang memengaruhi Perilaku

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dikelompokkan menjadi: 16

1. Faktor genetik atau faktor endogen

Faktor genetik atau keturunan merupakan konsepsi dasar atau modal untuk kelanjutan

perkembangan perilaku mahluk hidup itu. Faktor genetik berasal dari dalam diri individu

(endogen), antara lain jenis ras, jenis kelamin, sifat fisik, sifat kepribadian, bakat

pembawaan, intelegensi

2. Faktor eksogen atau faktor dari luar individu

Faktor eksogen atau faktor yang berasal dari luar individu yang dapat mempengaruhi

perilaku seseorang diantaranya adalah faktor lingkungan, pendidikan, agama, sosial

ekonomi, dan kebudayaan.

Faktor-faktor lain yang juga turut serta dalam mempengaruhi perilaku seseorang

diantaranya adalah persepsi, merupakan proses diterimanya rangsang melalui pancaindra,

yang didahului oleh perhatian (attention) sehingga individu sadar tentang sesuatu yang

ada di dalam maupun di luar dirinya; dan emosi, Maramis (1999) menyebutkan bahwa

emosi adalah “manifestasi perasaan atau afek keluar disertai banyak komponen

fisiologik, dan biasanya berlangsung tidak lama”. Perilaku individu dapat dipengaruhi

emosi.Aspek psikologis yang memengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan

jasmani.Perilaku individu yang sedang marah, kelihatan mukanya merah.

2.1.5.4. Bentuk Perilaku

Page 26: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Perilaku dapat diberi batasan sebagai suatu tanggapan individu terhadap rangsangan

yang berasal dari dalam maupun luar diri individu tersebut. Secara garis besar bentuk

perilaku ada dua macam, yaitu (a) perilaku pasif (respons internal), perilaku yang sifatnya

masih tertutup, terjadi dalam diri individu dan tidak dapat diamati secara langsung.Perilaku

ini sebatas sikap belum ada tindakan yang nyata, (b) perilaku aktif (respons eksternal),

perilaku yang sifatnya terbuka.Perilaku aktif adalah perilaku yang dapat diamati langsung,

berupa tindakan yang nyata. 16

2.1.5.5. Pengaruh Sikap dan Kepercayaan

Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku baik sikap positif dan negatif. Contoh: 16

Sikap ibu terhadap pentingnya imunisasi bagi bayi (sikap positif) atau sebaliknya (sikap

negatif)

Sikap seseorang yang benci dan iri terhadap keberhasilan orang lain (sikap negative)

Hal lain yang mempengaruhi perilaku adalah kepercayaan yang dimiliki seseorang.

Contoh:

Kepercayaan seseorang bahwa perbuatan yang baik akan memperoleh pahala di kemudian

hari (sikap positif).

Kepercayaan pasien terhadap seorang dokter yang merawatnya, akan menimbulkan sikap

yang positif terhadap dokter tersebut, dengan memperhatikan apa nasehatnya atau

sebalikanya.

2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Mengenai

Penyakit Kusta

2.2.1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Pengetahuan mengenai Orang dengan Kusta

Pada penelitian di desa Sidomukti, Jawa Timur tahun 2013 mengenai hubungan antara

tingkat pengetahuan tentang penyakit kusta dengan sikap terhadap mantan penderita penyakit

kusta didapatkan bahawa sebagian besar penduduk desa Sidomukti memiliki pengetahuan

yang rendah (51%) mengenai cara penularan penyakit kusta. Berikut adalah factor-faktor

yang mempengaruhi pengetahuan tentang penyakit kusta.17

Page 27: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

1. Umur

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Singapura oleh P. Subramaniam pada tahun 2005

menunjukkan adanya perbedaan antara kesadaran tentang penyakit kusta berdasarkan umur.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan dengan meningkatnya umur responden, pengetahuan

mengenai penyakit kusta yang disebabkan oleh bakteri dan gejala klinis juga semakin

meningkat.18

2. Pendidikan

Menurut penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2005 mengenai hubungan antara

pengetahuan tentang penyakit kusta pada satu perkampungan di Uttar Pradesh, India, 16.8%

dari responden non-kusta yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah mengatakan

penyakit kusta merupakan kutukan Tuhan, 16.8% tidak mengetahui penyebab kusta, 15.4%

mengatakan kusta disebabkan oleh makanan dan factor herediter, 49.3% mengatakan

penyakit kusta disebabkan oleh guna guna. Hal ini dengan jelas menunjukkan adanya

hubungan antara tingkat pendidikan dan pemahaman tentang penyakit kusta.19

3. Sumber informasi

Menurut penelitian yang dilakukan di Guyana oleh Anita dan Emmeline pada tahun 2003

berjudul Penilaian Pengetahuan dan Sikap Tentang Lepra Pada Petugas Kesehatan

menyatakan bahawa pekerja kesehatan non medis mempunyai pengetahuan yang lebih rendah

mengenai penyakit lepra berbanding dengan pekerja kesehatan medis seperti dokter dan

perawat yang mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi mengenai penyakit kusta. Penelitian

ini juga turut menyatakan bahawa pekerja kesehatan medis juga mempunyai pemahaman

yang lebih tentang tingkat kesembuhan dari penyakit kusta. 20

Hal yang lebih penting, bagaimana seorang guru mendorong dan menerima otonomi siswa,

investigasi bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukan hanya buku teks),

menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai pengarah pembelajaran.

Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan”suatu proses

yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru disajikan dalam

laporan atau kuis dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih

diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi, membentuk kembali, atau

mentransformasi informasi baru.24

Page 28: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Dampak yang ditimbulkan dengan pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran yaitu:

Merubah anak untuk menjadi lebih kritis dan kreatif tidak hanya berpegang pada materi

pelajaran yang ada di buku teks; Proses pembelajaran di kelas menjadi hidup; Guru sekarang

tidak harus banyak berbicara tetapi guru hanyalah seorang yang membangkitkan dan

menggali kemampuan siswa; Penggunaan komputer dan internet dapat mengurangi beban

tugas guru dan siswa.25

4. Jenis kelamin

Berdasarkan penelitian yang dijalankan oleh P. Subramaniam di Singapura pada tahun 2005

menyatakan adanya hubungan statistic yang bermakna diantara jenis kelamin dan

pemahaman dan penerimaan responden terhadap penderita dengan penyakit kusta. Penelitian

tersebut menyatakan lebih banyak responden laki-laki berbanding wanita (P<0.05) yang

mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi mengenai penyakit kusta.18

2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap mengenai Penyakit Kusta.

Menurut penelitian yang dilakukan di Guyana oleh Anita dan Emmeline pada tahun 2003

berjudul Penilaian Pengetahuan dan Sikap Tentang Lepra Pada Petugas Kesehatan

menyatakan bahawa pekerja kesehatan non medis mempunyai pengetahuan yang lebih rendah

mengenai penyakit lepra berbanding dengan pekerja kesehatan medis seperti dokter dan

perawat yang mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi mengenai penyakit kusta. Penelitian

ini juga turut menyatakan bahawa pekerja kesehatan medis juga mempunyai pemahaman

yang lebih tentang tingkat kesembuhan dari penyakit kusta. 20

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh P. Subramaniam di Singapura pada tahun

2005 menunjukkan adanya pengaruh diantara pengetahuan dengan sikap pada responden

terhadap orang dengan kusta. Hasil dari analisis regresi multiple menunjukkan hubungan

antara sikap terhadap penderita lepra menunjukkan terdapat 4 variabel yang berhubungan

dengan sikap. Sikap berstigma terhadap penderita lepra secara bermakna berhubungan

dengan kepercayaan masyarakat bahawa lepra bias ditularkan dengan cara bersalam tangan,

berbagi barang dengan penderita lepra, pengetahuan menyeluruh tentang lepra dan tingkat

penghasilan responden. Namun, 4 variable ini hanya menjelaskan 13% dari variasi yyang

diperhhatikan , menunjukkan mungkin adanya factor yang tidak diteliti yang mempengaruhii

sikap responden terhadap lepra. 18

Page 29: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

Berdasarkan penelitian tersebut tingkat penghasilan responden merupakan satu satunya

variable sosiodemografis yang menunukkan korelasi negative yang bermakna terhadap sikap

responden terhadap lepr. Karena lepra dilaporkan terjadi lebih banyak pada kelompok dengan

socioekonomi rendah, tingkat toleransi dan penerimaan terhadap pasien lepra lebih tinggi

pada responden dengan tingkat socioekonomi rendah yang pernah mempunyai kontak dengan

orang yang menghidapi lepra.

Kepercayaan benar bahawa lepra tidak bias ditransmisi dengan cara berjabat tangan

denagn pasien lepra merupakan factor sikap paling pennting terhadap penderita lepra. Selain

itu, sikap positif yang terdapat pada orang yang percaya bahawa lepra tidak bias ditularkan

dengan cara berbagii barang dengan pasien lepra. Hasil menunjukkan tingkat pengetahuan

yang lebih tinggi mempunyai korelasi positif terhadap sikap responden terhadap pasien

dengan lepra. Ketdakpedulian terhadap transmisi menyebabkan stigma pada masyarakat

dengan cara menghindari pasien dengan kusta.

Pada pertanyaan langsung, penelitian yang dilakukan oleh P. Subramaniam pada tahun 2005

di Singapura ini juga menemukan bahwa dari 33,8% responden yang mengatakan bahwa

mereka akan menghindari pasien kusta, 88,1% menyatakan keyakinan bahwa mendekati

orang kusta akan menginfeksi mereka. Takut akan kecacatan yang terkait kusta juga dikutip

sebagai alasan lain yang umum (66,7%) untuk menghindari. Sebaliknya, hanya 22,5%

responden yang mengatakan mereka tidak akan menghindari seseorang dengan kusta yang

berpendapat bahwa kusta adalah infektif. Penelitian ini juga mengidentifikasi kemungkinan

perbedaan dalam sikap responden terhadap orang yang tidak dikenal atau teman atau kolega

dari responden atau anggota keluarga responden sendiri yang menderita kusta. Meskipun

65,5% responden bersedia menerima anggota keluarga dengan kusta, hanya 34,3% dan

19,8%, masing-masing dari responden mengatakan bahwa mereka akan menerima teman atau

kolega atau orang yang tidak dikenal sama yang menghidapi penyakit kusta.18

Umur juga dikaitkan dengan sikap penerimaan responden terhadap teman atau kolega

yang terkena kusta. Peningkatan penerimaan ini terlihat dengan meningkatnya usia

responden. Penelitian ini juga menemukan bahwa responden dari ras Cina secara signifikan

kurang bersedia menerima pasien kusta, sementara responden beragama Islam lebih bersedia

untuk menerima orang yang tidak dikenal dengan kusta. Studi yang dilakukan di Nigeria

Utara oleh Awofeso pada tahun 1995 juga menemukan bahwa responden Muslim lebih

toleran terhadap penderita kusta dari responden dari agama lain. Penelitian ini melaporkan

bahwa agama memainkan peran penting dalam menentukan sikap masyarakat terhadap

Page 30: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

penyakit kusta dengan sikap negatif menjadi lebih umum dalam masyarakat di mana penyakit

ini dijelaskan sebagai pelanggaran terhadap keilahian.

2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengenai Penyakit kusta

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Caroline et al di Universitas Indonesia pada

tahun 2005 yang berjudul Stigma Towards Leprosy Among Medical Students, didapatkan

bahawa tingkat pengetahuan dikaitkan dengan rasa takut dan kemauan untuk berinteraksi

dengan penderita kusta. Analisis korelatif dari penelitian tersebut menunjukkan adanya

hubungan negatif lemah (r = -0,267 dan p=0,019) antara tingkat pengetahuan dengan hasil

nilai dari Attribute Quesioner Short Form (AQ-SF) yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat

pengetahuan, semakin rendah nilai AQ-SF yang mencerminkan sikap, perasaan dan perilaku

yang berhubungan dengan stigma terhadap pasien lepra lebih baik.21 Pada tahun 1976, Feist

menunjukkan bahwa stigma terhadap penderita kusta itu kuat karena masyarakat takut akan

sifat penyakit lepra yang menular. Di Nepal, Salib dan Choudhary menunjukkan bahwa

Program Eliminasi Stigma melalui pendidikan kesehatan di desa-desa bisa menurunkan

diskriminasi terhadap penderita kusta.22

Penelitian lain menunjukkan bahwa pengetahuan tidak selalu menyebabkan perilaku positif

terhadap penderita kusta. Sebuah studi di Guyana menunjukkan bahwa meskipun pemerintah

telah mengadakan pendidikan kesehatan untuk pasien dan keluarga pasien, pengetahuan

bahwa kulit dan saraf yang terkena kuman dari penyakit kusta yang menyebabkan deformitas

pada peaderita kusta tidak membantu menghilangkan stigma. Bahkan sebagian petugas

kesehatan masih memiliki prasangka dan kesalahpahaman tentang kusta.20

Sebuah studi oleh Raju dan Kopparty menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan yang tinggi

tidak selalu menghasilkan sikap positif meskipun dilakukan program kesehatan olrh Progam

Pemberantasan Kusta Nasional (NLEP) di India. Ditemukan sikap negative bahkan dengan

tingkat pengetahuan yang tinggi pada 35-50% responden. Hal ini menunjukkan bahwa

pengetahuan adalah satu-satunya faktor penentu sikap dan perilaku penerimaan masyarakat

terhadap penderita lepra.23

Page 31: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

2.3. Kerangka Teori

Jenis kelamin

Usia

Pekerjaan

Bidang/jurusan sekolah

Tingkat pendidikan

Sosial ekonomi

Tokoh panutan

Emosi dalam individu

Kepatuhan beragama

Kepercayaan

Sumber informasi

Budaya

Sikap

Pengetahuan

Perilaku

Page 32: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson

2.4. Kerangka Konsep

Faktor-faktor yang mempengerauhi:

Jenis kelamin

Usia

Tingkat pendidikan

Sosial Ekonomi

Sumber informasi

Sikap

Pengetahuan

Perilaku

Page 33: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson
Page 34: BAB II Tinpus Ud Dtmbh2 Jesson