Bab II Tinjauan Umum - · PDF fileBatuan Ultrabasa serta Batuan Beku Intermediate yang...
Transcript of Bab II Tinjauan Umum - · PDF fileBatuan Ultrabasa serta Batuan Beku Intermediate yang...
Bab II – Tinjauan Umum
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Keadaan Umum
2.1.1 Lokasi dan Ketersampaian Daerah
Lokasi dari daerah penambangan nikel laterit di daerah Tanjung Buli Epa
secara administratif terletak di daerah Kecamatan Maba Selatan,
kabupaten Halmahera Timur, provinsi Maluku Utara ( Lihat Gambar 2.1 ).
Secara Geografis PT. Yudhistira Bumi Bhakti terletak antara 128º 15’ -
128º 21’ Bujur Timur (BT) sampai dengan 00o 45’ - 01o 00’ Lintang Utara
(LU).
Untuk mencapai lokasi penambangan tersebut dapat ditempuh melalui rute
sebagai berikut :
1. Jakarta – Makasar – Manado – Ternate
Perjalanan pada rute ini menggunakan pesawat udara dengan waktu
tempuh kurang lebih 4-5 jam dengan waktu transit 12 jam.
2. Ternate – Buli
Perjalanan pada rute ini dapat ditempuh dengan 3 cara. Rute darat
dengan menyeberang melalui pelabuhan Ternate sampai ke pelabuhan
Sofifi. Dilanjutkan dengan jalan darat selama 7 jam dikarenakan
kondisi jalan yang masih sangat buruk. Rute perairan dengan waktu
tempuh 24 jam menempuh lingkar utara Maluku Utara. Serta lewat
udara dengan waktu tempuh kurang lebih 45 menit menggunakan
pesawat udara sampai ke Bandara Buli.
3. Buli – Tanjung Buli
9
Bab II – Tinjauan Umum
Perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan jalur darat dengan waktu
tempuh kurang lebih 45 menit, bergantung akan infrastruktur jalan yang
saat ini sudah teraspal dengan baik.
2.1.2 Iklim dan Curah Hujan
Seperti daerah di Indonesia pada umumnya daerah Tanjung Buli beriklim
tropis, sehingga mengalami dua musim yaitu musim kemarau dan musim
hujan. Berdasarkan data curah hujan dari tahun 2002 -2007 curah hujan
rata-rata tertinggi pada bulan Juni yaitu 275.9 mm sedangkan rata-rata
curah hujan terendah yaitu pada bulan Agustus yaitu 102.23 mm
Sedangkan berdasarkan data hari hujan tertinggi rata-rata pada bulan Juli
yaitu 18 hari dan jumlah hari hujan terendah rata-rata pada bulan Oktober
yaitu 10,2 hari
Temperatur udara berkisar antara 22 – 34 oC dengan kelembaban udara
75 – 90 %, kecepatan angin perjam maksimal 17 knot dengan tinggi
gelombang laut maksimal 2 meter. Hal ini terjadi pada waktu angin bertiup
dari arah barat kearah timur.
10
11
PT Yudhistira Bumi
Sumber : Microsoft Encarta
Gambar 2.1 Peta Lokasi Daerah Penelitian
Bab II – Tinjauan Umum
Bab II – Tinjauan Umum
12
PETA TOPOGRAFI TG.BULI
Skl 1 ; 40.000
2.2 Geografi Daerah Penelitian
Sumber : PT Antam tbk Unit Geomin
Gambar 2.2 Peta Topografi Daerah Penelitian
417000 418000 419000 420000 421000 422000 423000
90300
91100
91900
92700
93500
94300j a b c d e f
1
10
9
8
7
IV
III
B C
KETERANGAN
Pantai
Sungai
TIM EKSPLORASI NIKEL BULI
Bab II – Tinjauan Umum
2.2.1 Topografi
Ciri khas yang menonjol pada daerah Tanjung Buli adalah topografi yang
landai ditandai dengan kemiringan lereng yang tidak terlalu curam.
Hutannya sangat lebat dan di pinggir pantai ditumbuhi pohon bakau dan
sebagian ditanami pohon kelapa sebagai mata pencaharian masyarakat
sekitar lokasi penambangan. Dan pada bagian bukit, hutannya tidak lebat
sebagai ciri khas endapan nikel laterit pada umumnya.
Daerah perbukitan merupakan daerah penambangan dengan ketinggian
sekitar 300 – 600 m. Pada tiap daerah perbukitan terlihat adanya punggung
utama yang kemudian bercabang antara bukit tersebut dibatasi oleh
lembah dan lereng dengan kedalaman yang bervariasi.
Seperti yang terlihat pada peta diatas, topografi landai yang berada di
tengah-tengah Tanjung Buli semakin curam ke arah pantai, yang
merupakan singkapan dari batuan ultrabasa yang ada di Halmahera Timur.
Daerah perbukitan di daerah Tanjung Buli sendiri merupakan daerah
lateritisasi yang baik, terakumulasi pada lereng-lereng dekat pantai dengan
batuan yang terlapukkan secara bervariasi dari kuat sampai terlapukkan
lemah.
2.2.2 Vegetasi
Kondisi tempat vegetasi tumbuh pada daerah penelitian sangat
mempengaruhi komunitas dari vegetasi. Kondisi tanah yang berasal dari
batuan seperti ultrabasa dan endapan sangat mempengaruhi tipe komunitas
vegetasi. Ditambah lagi daerah penelitian Tanjung Buli termasuk daerah di
Indonesia yang beriklim tropis dengan curah hujan dan kelembaban tinggi
sehingga menyebabkan vegetasi yang lebat dan beragam.
Berdasarkan tempat tumbuh tersebut maka terdapat beberapa tipe
komunitas vegetasi antara lain komunitas hutan daratan dengan kondisi
13
Bab II – Tinjauan Umum
kandungan mineral logam seperti Al dan Ni, komunitas hutan mangrove
(bakau) dengan tempat tumbuh berupa endapan lumpur dan pasir, serta
komunitas hutan pantai. Pembagian tipe komunitas ini juga didasarkan
oleh perbedaan elevasi tempat tumbuh tiap komunitas vegetasi.
Komunitas vegetasi daerah mangrove terdiri dari tumbuhan bakau jenis
Rhizopora stylosa, Rhizopora mucranata, Bruguiera sp, dan Xylocarpus
granatum. Sementara vegetasi hutan pantai menempati hampir seluruh
garis pantai Tanjung Buli. Vegetasi yang ada merupakan asosiasi yang
terdiri dari jenis Terminalia catappa, pandan (Pandanus sp.), kelapa
(Coconus nucifera), dan pohon nyamplung. Pohon kelapa cukup dominan
di kawasan ini, hanya pada tempat-tempat tertentu yang tidak
memungkinkan dibudidayakan tanaman kelapa, ditumbuhi tanaman
ketapang dan nyamplung.
Vegetasi hutan pegunungan disusun oleh sebagian vegetasi yang ada di
Pulau Halmahera dan sekitarnya. Pada bagian punggungan gunung,
vegetasi yang ada merupakan asosiasi jenis tumbuh-tumbuhan berdaun
jarum seperti gaharu, linggua, kayu cina, bintang samudra, kenari hutan,
kayubesi, cemara, pinus Irian, bintagor, dan sebagian kecil tumbuhan yang
berdaun lebar. Pada vegetasi ini juga terdapat tumbuhan bawah yang
terdiri dari tanaman pandan, rumput-rumputan, alang-alang, dan sejenis
liana daun lebar.
Tumbuhan bawah merupakan tumbuhan tidak berkayu, sebagai salah satu
tumbuhan penyusun vegetasi kawasan ini yang dibedakan menjadi dua
bagian. Pada daerah punggungan gunung, tumbuhan bawah yang hidup
adalah jenis pakis, pinang, kantong semar, anggrek, dan bunga delima.
Sedangkan pada daerah yang lembab, tumbuhan bawah yang hidup adalah
rotan, pandan hutan, jenis anggrek pinang, dan sebagian jenis rumput-
rumputan.
Indeks keanekaragaman vegetasi Tanjung Buli yang diukur menggunakan
indeks Shannon-weiner termasuk tinggi jika dibandingkan dengan daerah
di sekitarnya. Pada lokasi ini terdapat 41 jenis vegetasi yang teridentifikasi
14
Bab II – Tinjauan Umum
(Laporan Analisis Dampak Lingkungan Kegiatan Penambangan dan
Rencana Pengembangan Bijih Nikel pada Kuasa Pertambangan PT.
ANTAM Tbk, Kab. Halmahera Timur).
2.3 Geologi Daerah Penelitian
2.3.1 Geologi Regional
Sumber : PT. Antam tbk. Unit Geomin
Gambar 2.3 Mendala Fisiografi Daerah Halmahera
Halmahera dan pulau-pulau sekitar Indonesia bagian timur merupakan
suatu konfigurasi busur kepulauan sebagai hasil dari pertumbukan
lempeng di bagian barat Pasifik. Pulau ini dicirikan oleh ”double arc
system”, dibuktikan oleh vulkanik di lengan barat dan non vulkanik di
bagian timur.
Berdasarkan kondisi Geologi dan Tektonik, Halmahera terbentuk akibat
pertemuan tiga lempeng yaitu : Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Di
bagian selatan pulau ini terdapat zona sesar Sorong yang merupakan
15
Bab II – Tinjauan Umum
”strike-slip fault” ( JA Katili, 1974 ). Sepanjang zona sesar ini Halmahera
bergerak ke arah barat bersamaan dengan lempeng Indo-Australia
( Hamilton, 1979 ). Daerah Halmahera sendiri terdiri dari Mendala
Geologi Halmahera Timur, Mendala Geologi Halmahera Barat dan Busur
Kepulauan gunung api kuarter. Mendala Geologi tersebut berbeda dalam
batuan dan tektoniknya.
Mendala Geologi Halmahera Timur, batuan tertua terbentuk oleh Satuan
Batuan Ultrabasa dan Satuan Batuan Beku Basa yang mengintrusi Satuan
Batuan Ultrabasa serta Batuan Beku Intermediate yang mengintrusi kedua
satuan batuan sebelumnya.
Satuan Batuan Ultrabasa terdiri dari Serpentinit, Piroksenit, dan
Dunit umumnya berwarna hitam atau hitam kehijauan, getas,
terbreksikan, mengandung asbes dan Garnierit. Pada satuan ini
teramati batuan metasedimen dan rijang, posisinya terjepit di
antara sesar di dalam batuan ultrabasa. Satuan batuan ini oleh
Bessho, 1994 dinamakan Formasi Watileo dan hubungannya
dengan satuan batuan yang lebih muda berupa bidang
ketidakselarasan atau bidang sesar naik.
Satuan Batuan Beku Basa, terdiri dari Gabro piroksin, Gabro
hornblend, dan Gabro olivin, tersingkap di dalam komplek satuan
batuan ultrabasa dan ini dinamakan seri Wato – wato ( Bessho,
1994 ).
Satuan Batuan Intermediate, terdiri dari batuan Diorit kuarsa dan
Diorit hornblend, tersingkap juga dalam komplek batuan ultrabasa.
Selain itu teramati sejumlah retas Andesit dan Diorit yang tidak
terpetakan, berhubungan dengan barik Kuarsa dan Pirit di daerah
formasi Bacan.
Secara tidak selaras, batuan tertua ini tertutupi oleh Formasi Dodaga yang
berumur Kapur, tersusun oleh serpih berselingan dengan batugamping
coklat muda dan sisipan rijang. Selain itu, ditutupi pula oleh batuan yang
16
Bab II – Tinjauan Umum
berumur Paleosen – Eosen, yaitu formasi Dorosagu, Satuan Konglomerat,
dan Satuan Batugamping.
Satuan Batugamping, berumur Paleosen – Eosen dan dipisahkan
dengan batuan yang lebih tua (ultrabasa) oleh ketidakselarasan dan
dengan batuan yang lebih muda oleh sesar, tebal kurang lebih
400m.
Formasi Dorosagu, terdiri dari batu pasir berselingan dengan serpih
merah dan batugamping. Formasi ini berumur Paleosen – Eosen.
Hubungan dengan batuan yang lebih tua ( ultrabasa ) berupa
ketidakselarasan dan sesar naik, tebal kurang lebih 250 m. Formasi
ini identik dengan Saolat Series ( Bessho 1994 ).
Satuan Konglomerat, tersusun oleh batuan konglomerat dengan
sisipan batupasir, batulempung, dan batubara. Satuan ini berumur
Kapur Atas dan tebalnya > 500 m. Hubungannya dengan batuan
yang lebih tua dan batuan yang lebih muda ( Formasi Tingteng )
adalah ketidakselarasan sedangkan dengan satuan Batugamping
hubungannya menjemari.
Setelah rumpang pengendapan sejak Eosen Akhir – Oligosen Awal, baru
terjadi aktivitas gunung api selama Oligosen Atas – Miosen Bawah,
membentuk rempah-rempah yang disatukan sebagai Formasi Bacan.
Formasi Bacan, tersusun oleh batuan gunung api berupa lava,
breksi dan tufa dengan sisipan konglomerat dan batupasir. Adanya
sisipan batupasir dapat diketahui dengan umur formasi Bacan yaitu
Oligosen-Miosen Bawah. Dengan batuan yang lebih tua ( Formasi
Dorosagu ) dibatasi oleh bidang sesar sedangkan dengan batuan
yang lebih muda ( Formasi Weda ) dengan bidang
ketidakselarasan. Formasi Bacan identik dengan Tegitegi Series
(Bessho,1994 ). Sebaran batuan gunung api formasi Bacan ini
terhampar luas baik di Mendala Halmahera Timur maupun
Mendala Halmahera Barat. Bersamaan dengan pengendapan
17
Bab II – Tinjauan Umum
Formasi Bacan, diendapkan pula batugamping Formasi Tutuli.
Formasi ini berumur Oligosen-Miosen Bawah, kontak dengan
Formasi Weda berupa sesar, dan identik dengan formasi Parepara
Series ( Bessho, 1994 ).
Setelah rumpang pengendapan Miosen Bawah Bagian Atas, terbentuk
cekungan luas yang berkembang sejak Miosen Atas – Pliosen. Pada
cekungan tersebut diendapkan Formasi Weda, Satuan Konglomerat, dan
Formasi Tingteng.
Formasi Weda, terdiri dari batu pasir berselingan dengan napal,
tufa, konglomerat, dan batugamping, berumur Miosen Tengah –
Awal Pliosen, bersentuhan secara tidak selaras dengan Formasi
Kayasa yang berumur lebih muda dan hubungannya secara
menjemari dengan Formasi Tingteng. Formasi ini identik dengan
Weda Series ( Bessho,1994 ).
Satuan Konglomerat, berkomponen batuan ultrabasa, basal, rijang,
diorit, dan batusabak tebal 100m, menutupi satuan batuan ultrabasa
secara tidak selaras, diduga berumur Miosen Tengah-Awal Pliosen.
Apabila dilihat letak stratigrafinya batuan ini kemungkinan
merupakan anggota Formasi Weda.
Formasi Tingteng, tersusun oleh batugamping hablur dan
batugamping pasiran dengan sisipan napal dan batupasir berumur
Akhir Miosen-Awal Pliosen, tebal 600m.
Setelah pengendapan Formasi Tingteng terjadi pengangkatan pada
Kuarter, sebagaimana ditunjukkan oleh batugamping terumbu, di pantai di
daerah lengan timur Halmahera. Batuan tertua di daerah Mendala Geologi
Halmahera Barat berupa batuan gunung api Oligo – Miosen Formasi
Bacan. Batuan sedimen dan Karbonat berumur Miosen – Pliosen tersebar
luas di Mendala ini, yang kebanyakan bersifat tufaan.
Selain itu di bagian utara ditemukan batuan gunung api kuarter yaitu
Formasi Kayasa dan Satuan Tufa.
18
Bab II – Tinjauan Umum
Formasi Kayasa, berupa batuan gunung api terdiri dari Breksi, lava
dan tufa diduga berumur Pliosen, identik dengan basal kayasa
( Bessho, 1994 ).
Satuan Tufa, utamanya adalah tufa batuapung berwarna putih dan
kuning.
Deretan pulau yang membentuk busur kepulauan gunung api di Barat
Halmahera, sebagian besar tertutup oleh rempah-rempah gunung api
Holosen, hanya di P. Kayoa Selatan tersingkap batuan gunung api Oligo-
Miosen, formasi Bacan dan tertindih batugamping terumbu terdiri dari
batu gamping koral dan breksi batugamping.
(Sumber : PT ANTAM Tbk Unit Geomin)
Gambar 2.4 Peta Geologi Regional Daerah Halmahera
19
Bab II – Tinjauan Umum
2.3.2 Geologi Lokal Daerah Penelitian
Secara garis besar struktur geologi daerah penambangan endapan bijih
nikel laterit Tanjung Buli terletak dalam “Circum Pacivic Orogenic Belt”
dimana batuan dasar dari lingkungan jalur ini terdiri dari batuan pratersier
(strata uppermesozoic sampai dengan lower tersier).
Secara keseluruhan daerah penelitian Tanjung Buli ditempati oleh satuan
batuan ultrabasa dengan susunan : Mineral Serpentin, Olivin, dan Piroksen
berbutir sedang sampai kasar, pada susunan mineral tersebut diperkirakan
terkandung unsur nikel, silikat besi, dan magnesium. Akibat adanya
dekomposisi mekanik maupun kimia pada batuan ultrabsa tersebut terjadi
pelapukan dan membentuk lapisan laterit yang mengandung nikel. Lapisan
laterit yang terdapat di Tanjung Buli dan P.Pakal mempunyai ketebalan
yang bervariasi. Lereng yang relatif terjal cenderung mempunyai lapisan
laterit yang menipis.
Di Pulau Pakal dan Tanjung Buli ini terdapat singkapan batuan segar
ultrabasa, regholit yang terdiri dari bongkahan-bongkahan batuan ultrabasa
dan lapisan laterit yang dapat diamati pada peta litologi.
Mengenai adanya endapan nikel secara geologi dapat disebutkan bahwa
pelapukan batuan ultrabasa membentuk lapisan laterit yang menghasilkan
residual serta pengkayaan nikel yang tidak mudah larut dan membentuk
endapan nikel dan magnesium (MgO) dalam bentuk mineral Garnierit
(Ni,Mg)3Si2O5(OH)4 pada lapisan saprolit terbentuk pula mineral Hematit
(Fe2O3) pada lapisan limonit. Singkapan batuan ultrabasa umumnya telah
mengalami pelapukan berwarna kuning kecokelatan berbentuk hitam atau
abu-abu putih dengan warna kehijauan pada bagian tepi atau pinggir.
Tampak pula batuan ultrabasa pada daerah penelitian ini telah mengalami
proses serpentinisasi yang cukup kuat. Selain oleh keadaan morfologi,
pembentukan endapan bijih nikel laterit breccia sangat banyak pula
terpengaruh oleh tektonik setempat. Pelapukan batuan pada hakekatnya
dipermudah karena adanya bagian yang lemah seperti rekahan, retakan,
sesar dan sebagainya. Pada pengamatan di lapangan terlihat bahwa banyak
20
Bab II – Tinjauan Umum
rekahan-rekahan kecil yang umumnya telah terisi oleh mineral-mineral
sekunder (Silika dan Magnetit).
2.3.3 Tektonik
Mendala Geologi Halmahera Timur dicirikan oleh batuan ultrabasa,
sedangkan Halmahera Barat oleh batuan gunung api. Zona perbatasan
antara dua mendala tersebut terisi oleh batuan Formasi Weda yang sangat
terlipat dan tersesarkan.
Struktur Lipatan berupa Sinklin dan Antiklin terlihat pada formasi Weda,
sumbu lipatan berarah Utara-Selatan, Timur Laut-Barat Daya, dan Barat
Laut-Tenggara.
Struktur sesar normal dan sesar naik umumnya berarah Utara-Selatan dan
Barat-Tenggara.
Kegiatan Tektonik Kemungkinan dimulai pada zaman Kapur Akhir dan
Awal tersier ditandai dengan adanya batu lempung berumur Kapur dan
batuan ultrabasa pada konglomerat formasi Dorosagu. Ketidakselarasan
antara batuan berumur Paleosen-Eosen yaitu formasi Dorosagu dengan
batuan lebih muda terjadi kira-kira pada Eosen Akhir sampai Oligosen
Awal, mencerminkan kegiatan tektonik yang diikuti kegiatan gunung api
terbentuk Formasi Bacan.
Pensesaran naik mungkin terjadi pada peristiwa tektonik Eosen-Oligosen.
Struktur pada peta terbentuk pada peristiwa tektonik berikutnya terutama
yang terjadi pada Akhir Piosen dan Awal Pleistosen. Hal ini tampak dari
sesaran batuan yang lebih tua ke atas Formasi Weda, yang berumur Mio-
Pliosen. Peristiwa tektonik terakhir ( Holosen ) berupa pengangkatan
seperti yang ditunjukkan oleh terumbu terangkat dan sesar normal yang
memotong batugamping terumbu.
21
Bab II – Tinjauan Umum
(Sumber : PT ANTAM Tbk Unit Geomin)
Gambar 2.5 Gambaran Tektonik Indonesia Timur
2.4 Genesa Endapan Nikel Laterit
2.4.1 Genesa
Endapan bijih nikel yang terdapat di daerah penelitian termasuk jenis nikel
laterit, yang terdiri dari hasil pelapukan batuan ultrabasa. Pembentukan
nikel laterit umumnya langsung mengalami proses serpentinisasi oleh
larutan hydrothermal atau larutan residual. Menurut Bolt (1979),
kandungan yang terdapat pada batuan Peridotit adalah seperti pada tabel
berikut ini :
22
Bab II – Tinjauan Umum
Tabel 2.1
Batuan Asal Bijih Nikel dengan Kandungan Unsur Masing - Masing
Batuan Ni
(%)
Besi Oksida +
Magnesium (%)
Aluminium +
Silika + (%)
Peridotit
Gabro
Diorit
0,2000
0,0160
0,0040
0,0020
43,5
16,6
11,7
4,4
45,9
66,1
33,4
78,7
Granit
Sumber : Bolt ( 1979 )
Proses terbentuknya endapan nikel ini dimulai dari Peridotit sebagai
batuan induk yang mengandung nikel primer 0,20%. Batuan ini terdiri dari
Olivin yang mengandung unsur-unsur Mg, Fe, Ni dan Silika. Batuan induk
ini akan berubah menjadi Serpentin karena pengaruh larutan hydrothermal
pada proses serpentinisasi dan akan merubah batuan Peridotit menjadi
batuan Serpentinit atau batuan Serpentinit Peridotit.
Selanjutnya terjadi proses pelapukan dan laterit yang menghasilkan
Serpentin dan Peridotit lapuk. Adanya proses kimia dan fisika dari udara,
air, serta perbedaan temperatur yang drastik dan kontinu, akan
menyebabkan disintegrasi dan dekomposisi pada batuan induk. Batuan
asal yang mengandung unsur-unsur Ca, Mg, Si, Cr, Mn, Ni dan Co akan
mengalami dekomposisi.
Air tanah yang kaya Co2 dari udara dan hasil pembusukan tumbuh-
tumbuhan merupakan pelarut yang baik. Air tanah ini meresap ke bawah
sampai ke permukaan air tanah sambil melindikan mineral primer yang
tidak stabil seperti Olivin, Serpentin, dan Piroksen.
Yang pertama-tama terlarut dalam unsur Ca dan Mg adalah Alkalin yang
disusul dengan penghancuran senyawa-senyawa silika sebagai koloid
sehingga memungkinkan terbentuknya mineral baru melalui pengendapan
23
Bab II – Tinjauan Umum
kembali unsur-unsur tersebut. Semua hasil penghancuran ini terbawa oleh
larutan yang turun ke bagian bawah mengisi celah-celah dan pori-pori
batuan.
Bahan-bahan yang sukar atau tidak mudah larut akan tinggal pada
tempatnya dan sebagian turun ke bawah bersama larutan sebagai larutan
koloid. Bahan-bahan ini membentuk konsentrasi residu dan konsentrasi
celah, konsentrasi residu seperti Fe, Ni, Co dan Si pada zona yang disebut
dengan zona saprolit.
Batuan asal ultramafik pada zone ini selanjutnya diimpregnasi oleh Ni
melalui larutan yang mengandung Ni, sehingga kadar Ni dapat naik hingga
mencapai 7 %-berat. Dalam hal ini, Ni dapat mensubstitusi Mg dalam
Serpentin atau juga mengendap pada rekahan bersama dengan larutan
yang mengandung Mg dan Si sebagai Garnierit dan Krisopras.
Sementara Fe di dalam larutan akan teroksidasi dan mengendap sebagai
Ferri-Hidroksida, membentuk mineral-mineral seperti Goethit, Limonit,
dan Hematit yang dekat permukaan. Bersama mineral-mineral ini selalu
ikut serta unsur Co dalam jumlah kecil. Semakin ke bawah, menuju bed
rock maka Fe dan Co akan mengalami penurunan kadar. Pada zona
saprolit Ni akan terakumulasi di dalam mineral Garnierit. Akumulasi Ni
ini terjadi akibat sifat Ni yang berupa larutan pada kondisi oksidasi dan
berupa padatan pada kondisi silika.
Berdasarkan tingkat penyebarannya maka saprolit terbagi atas dua bagian
yaitu : Saprolit oksidasi yang penyebarannya tidak nampak mineral
saprolit dan saprolit garnerite yang penyebarannya sangat didominasi dan
selalu bersama-sama dengan silika. Sedangkan berdasarkan tingkat
kekerasannya maka saprolit dapat dibedakan atas empat bagian yaitu:
24
Bab II – Tinjauan Umum
1. Saprolite Ore (So) Ni ≥2.0. Fe ≤25
2. Low Grade Saprolite Ore (LGSO) Ni ≥1,7 -2,0. Fe ≤25
3. Limonite 1,4 ≤ Ni ≤ 1,7 Fe ≥25 Co ≥ 0,1
4. Waste/OB/BR Ni≤1,2 Fe ≤25
Setelah konsentrasi-konsentrasi tadi, maka larutan sisa akan kaya dengan
Ca dan Mg karbonat. Karbonat-karbonat ini merupakan konsentrasi celah
sebagai akar dari pelapukan dan merupakan batas antara zona pelapukan
dengan zona batuan segar (Roof of weathering).
Semakin kebawah dari profil maka Fe akan mengalami penurunan sesuai
dengan kedalaman sampai ke bed rock. Sedangkan Co akan terakumulasi
pada zona limonit dan akan turun terus menuju ke bed rock. Pada zona
saprolit Ni akan terakumulasi berupa mineral Garnierit Peridotite zone.
Akumulasi Ni ini terjadi akibat sifat Ni yang akan berupa larutan pada
kondisi oksidasi dan akan berupa padatan pada kondisi silika (lihat gambar
2.6).
Endapan laterit biasanya terbentuk melalui proses pelapukan kimia yang
intensif, yaitu di daerah dengan iklim tropis-subtropis. Proses pelindian
batuan lapuk merupakan proses yang terjadi pada pembentukan endapan
laterit, dimana proses ini memiliki penyebaran unsur-unsur yang tidak
merata dan menghasilkan konsentrasi bijih yang sangat bergantung pada
migrasi air tanah.
25
Bab II – Tinjauan Umum
BAHAN - BAHAN TERBAW A BERSAMA LARUTAN
BAHAN - BAHAN TERTINGGAL Fe, Al, C r, Mn, Co
SERPENTIN PERIDOTIT LAPUK
PROSES PELAPUKAN DAN LATERISASI
TERLARUT SEBAGAIPARTIKEL KOLOIDAL
KONSENTRASI RESIDU
- MAGNESIT MgCo3- DOLOMIT(Ca2Mg)Co3
Fe, N i, CoSAPROLIT
N i, SiO2, Mg
Fe - OksidaAl - H idroksida
Ni - Co
KONSENTRASI CELAH
KONSENTRASI RESIDU
TERLARUT SEBAGAI LARUTAN Ca - Mg
Karbonat
- SOFT BROW N ORE - URAT - URAT GARNERIT- HARD BROW N ORE - URAT - URAT KRISOPRAS
ZONE TENGAH( I I )
ZONE ATAS( I )
ZONE BAW AH( I I I )
SEBAGAI " ROOF OFW EATHERING "
KONSENTRASI CELAH DARI SENYAW A -
SENYAW A KARBONAT
URAT - URAT
PERIDOTITSERPENTIN IT
Sumber : PT Antam tbk. Unit Geomin
Gambar 2.6 Bagan proses pembentukan endapan nikel
Proses pembentukan endapan nikel laterit juga dikontrol oleh beberapa faktor.
Secara lengkap faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
1. Batuan asal, adalah kelompok batuan ultramafik yang tersusun dari
beberapa jenis batuan, akan memberikan perbedaan komposisi, rasio
Olivin dan Piroksen, tekstur dan gejala deformasi sebelumnya akan
berakibat pada kecepatan jalannya proses lateritisasi. Batuan asal ini hanya
sebagai salah satu faktor untuk keterdapatan endapan nikel laterit, bukan
merupakan penentu akan didapatkannya endapan nikel laterit yang baik.
Suatu daerah dengan sebaran batuan ultramafik, rasio Olivin yang cukup
26
Bab II – Tinjauan Umum
besar, namun intensitas pelapukannya kecil, nikel yang dihasilkan juga
akan kecil.
Akibat pelapukan pada mineral Piroksen dan Olivin akan dihasilkan Fe,
Mg, dan Ni yang larut serta silika cenderung membentuk suspensi koloid.
Fe akan teroksidasi mengendap sebagai mineral Goethit, Limonit, dan
Hematit. Larutan yang mengandung Mg, Ni, dan Si akan meresap ke
bawah, selama larutan bersifat asam hingga netral ada kecenderungan
membentuk endapan hidrosilikat dan Ni akan mengendap pada celah atau
rekahan yang dikenal sebagai urat Garnierit atau Krisopras. Sedangkan
larutan residunya akan membentuk endapan menjadi saprolit.
2. Iklim, dimana iklim yang sesuai dengan pembentukan endapan nikel laterit
adalah iklim tropis dan subtropis. Curah hujan dan sinar matahari dalam
hal ini akan berperan penting dalam proses pelapukan dan pelarutan unsur-
unsur yang terdapat pada batuan asal.
Adanya pergantian musim kemarau dan penghujan yang mengakibatkan
terjadinya penaikan dan penurunan muka air tanah menyebabkan
terjadinya proses pemisahan dan akumulasi unsur. Sedangkan perbedaan
temperatur membantu terjadinya pelapukan mekanis seperti terjadinya
pengembangan sewaktu panas dan pengkerutan sewaktu dingin. Juga
adanya perbedaan daya serap yang berbeda pada masing-masing
permukaan mineral menyebabkan timbulnya rekahan atau rekahan yang
ada akan melebar. Hal ini mempermudah reaksi kimia terjadi terutama
pada dekomposisi batuan.
3. Reagen-reagen kimia dan vegetasi, dimana faktor yang berpengaruh
adalah sisa-sisa tumbuhan akan membentuk asam humus ( asam organik ).
Asam humus ini akan bereaksi dengan permukaan batuan asal yang
bersifat basah, sehingga terurai dan menyebabkan proses dekompoisi pada
batuan tersebut sampai menjadi lapuk. Reagen kimia seperti CO2 yang
terlarut bersama air hujan dan asam humus juga menyebabkan
dekomposisi batuan dan merubah pH larutan. Akumulasi air hujan akan
27
Bab II – Tinjauan Umum
lebih banyak pada humus yang tebal, sebagai petunjuk lingkungan yang
baik untuk endapan bijih nikel. Selain itu, vegetasi dapat berfungsi untuk
menjaga hasil pelapukan terhadap erosi mekanis.
4. Struktur, adalah struktur geologi yang penting dalam pembentukan
endapan bijih nikel laterit seperti rekahan dan patahan ( fault ). Seperti
diketahui bahwa batuan beku dengan porositas dan permeabilitas kecil
menyebabkan penetrasi air akan sulit. Dengan banyaknya rekahan tersebut
akan lebih mudah bagi masuknya air dan pelapukan akan semakin intensif.
5. Morfologi/Topografi, adapun dalam proses lateritisasi air memegang
peranan penting dan diperlukan suatu kondisi yang memungkinkan
terjadinya sirkulasi dan perkolasi air serta reagen-reagennya sebagai
proses pelarutan, oksidasi, pemisahan dan pengendapan berjalan dengan
intensif. Hal tersebut erat kaitannya dengan morfologi setempat.
Untuk daerah landai, air bergerak perlahan-lahan sehingga mempunyai
kesempatan untuk berpenetrasi melalui rekahan dan pori-pori batuan.
Dengan demikian, akumulasi endapan umumnya terdapat pada daerah
landai sampai dengan sedang. Secara teoritis, daerah yang baik untuk
tempat pengendapan bijih nikel adalah punggung-punggung bukit yang
landai dengan kemiringan antara 10° – 30°.
6. Waktu, proses pelapukan, transportasi dan konsentrasi suatu endapan
memerlukan waktu yang lama sampai terbentuknya akumulasi laterit nikel
yang baik.
2.4.2 Profil Endapan Nikel Laterit Daerah Penelitian
Batuan induk sebagai batuan penyusun daerah Tanjung Buli merupakan
batuan Peridotit dan Dunit serta sebagian lainnya merupakan laterit hasil
pelapukan batuan ultrabasa tersebut. Ada juga sebagian daerah yang sudah
ditutupi Serpentinit hasil ubahan batuan asal (Gambar 2.7) di barat laut
tanjung. Hal inilah yang menjadikan daerah Tanjung Buli kaya akan laterit
28
Bab II – Tinjauan Umum
29
hasil pelapukan ultrabasa dan selanjutnya kaya akan mineral-mineral yang
mengandung nikel.
Secara morfologi, daerah Tanjung Buli mempunyai bentuk lahan
perbukitan struktural terdenudasi. Satuan bentuk lahan tersebut ditempati
oleh kompleks Ophiolite (batuan kerak samudera) yang berupa batuan
ultramafik seperti Dunit dan Peridotit serta alterasinya berupa Serpentinit
dan setempat - setempat Rijang.
Batuan daerah penelitian juga tersusun atas endapan melange ( batuan
campur aduk ) yang merupakan tektonik aktif saat pembentukannya.
Dengan sendirinya batuan daerah Buli ini umumnya diikuti dengan
fracture yang rapat dan diikuti pula oleh breksiasi yang akan mempercepat
proses laterisasi.
Singkapan batuan ultrabasa tersebut umumnya telah mengalami pelapukan
berwarna kuning kecokelatan, sedikit warna hitam atau abu-abu putih
dengan warna kehijauan pada bagian tepi atau pinggir. Pelapukan batuan
ultrabasa membentuk endapan laterit yang menghasilkan residual serta
pengkayaan nikel yang tidak mudah larut dan membentuk endapan nikel
dan magnesium dalam bentuk mineral Garnerit (Ni,Mg)6Si4O10(OH)8 pada
zona saprolit, terbentuk pula mineral Hematit (Fe2O3) pada zona limonit.
Secara umum lapisan paling atas dari profil laterite ini kaya akan unsur Fe
dengan kandungan Ni < 1,2 %. Unsur Ni pada lapisan atas mempunyai
prosentase yang rendah dan akan mengalami peningkatan sesuai dengan
kedalaman sampai pada zona saprolit kemudian turun sampai mencapai
bedrock.
Bab II – Tinjauan Umum
30
Peta GeologiTanjung Buli
Halmahera Timur
Keterangan :
Peridotit
Serpentinit
Laterit
Basalt
Aluvial
Gambar 2.7 Peta Geologi Lokal Tanjung Buli
Sumber : PT Antam tbk. Unit Geomin
Bab II – Tinjauan Umum
31
Pada tabel 2.2 akan memperlihatkan kelimpahan unsur kimia dari setiap zona
dalam profil endapan laterit di Tanjung Buli. Umumnya Fe terakumulasi pada
bagian atas (over burden) sebagai Fe oksida. Pengkayaan unsur Fe ini diakibatkan
karena berat jenis unsur Fe yang besar dan mempunyai mobilitas yang rendah.
Semakin ke bawah dari profil, Fe akan mengalami penurunan sesuai dengan
kedalaman sampai ke bed rock. Sedangkan Co akan terakumulasi pada zona
limonit dan akan turun kemudian menuju ke bed rock. Pada zona saprolite Ni
akan terakumulasi di dalam mineral Garnierit. Akumulasi Ni ini terjadi akibat
sifat Ni yang akan berupa larutan pada kondisi oksidasi dan akan berupa padatan
pada kondisi silika.
Tabel 2.2
Diagram Kelimpahan Unsur Kimia pada Profil Endapan Nikel Laterit
di Tanjung Buli
( Sumber : PT Yudhistira Bumi Bhakti )
Ni Co FeO MnO
SiO2 & MgO
Bed Rock
Blue Zone
MGL
Saprolit
Limonit
OB
Bab II – Tinjauan Umum
32
Untuk profil laterit daerah penelitian, secara umum endapan nikel laterit
ini berada pada punggungan dan lereng-lereng bukit dengan kemiringan
yang landai sampai dengan sedang ( 10° – 30° ), tetapi umumnya endapan
terkaya terdapat pada punggung bukit dengan kemiringan tidak terlau
landai dan tidak terlalu curam, kurang lebih 15°. Profil endapan nikel
laterit buli maupun tempat lainnya umumnya tidak teratur baik bentuk,
sebaran horizontal dan vertikal, maupun sifat-sifat fisis dan komposisi
kimianya.
Dari data titik bor dan karakteristik umum profil endapan nikel laterit ke
arah vertikal dan lateral adalah sebagai berikut :
1. Lapisan Tanah penutup ( Top Soil )
Menempati bagian permukaan yang cukup landai atau cekungan
dengan memperlihatkan tanah penutup yang cukup tebal, sedangkan
pada lereng sedang tanah penutup relatif tipis. Untuk daerah lereng
yang terjal tidak dijumpai adanya tanah penutup.
Karakteristik tanah penutup : berwarna coklat tua-kehitaman, besar
butir halus-sedang, kekerasan lunak-sedang, pada bagian atas biasanya
gembur mengandung lapisan humus organik, mengandung fragmen
material lepas berupa pisolit Fe, konkresi Fe, fragmen silika dan
fragmen batuan asal. Biasa disebut dengan iron capping.
Tidak terlihat adanya indikasi mineralisasi, gradasi ke arah
bawah/limonit ditunjukkan dengan berkurangnya fragmen dan
perubahan warna menjadi coklat kekuningan-coklat kemerahan dan
munculnya mineralisasi tertentu seperti MnOx, FeOx, dan AlOx. Dari
analisis tanah penutup mempunyai kadar Ni ≤ 1.2% dan Fe ≥25%.
2. Limonit
Umumnya berwarna coklat kemerahan-kekuningan, berbutir halus-
kasar, kekerasan lunak-sedang, terlihat adanya mineralisasi dan
Bab II – Tinjauan Umum
33
cenderung homogen. Tingkat elasitisitas lebih tinggi dibandingkan
zona lainnya. Sering dijumpai fragmen batuan asal atau silika. Mineral
utama berupa Goethit dan mineral lempung serta mineral oksida
MnOx, AlOx, Magnetit, dan Kromit. Gradasi kearah zona saprolit
dapat terlihat dari perubahan warna menjadi coklat kekuningan-coklat
kehijauan dan hijau.
Bijih nikel limonit mempunyai parameter kandungan unsur Ni ≥ 1.2 %
dan Fe ≥ 25%. Penyebaran ke arah vertical maupun lateral kadang-
kadang terselingi adanya “waste” limonit dimana kadar Ni ≥1.2 %
tetapi Fe ≤ 25%.
3. Saprolit
Lapisan paling bawah laterit adalah zona saprolit berwarna coklat
kekuningan, berbutir sedang-kasar, kekerasan sedang-cukup keras,
umumnya masih terlihat relic mineral batuan asal, atau fragmen silika
cenderung homogen. Semakin ke arah bawah terlihat adanya gradasi
ukuran butir menjadi lebih kasar, perselingan dengan boulder sering
dijumpai pada zona ini. Ke arah bawah kondisi fracture semakin
intensif dan biasanya terisi oleh mineral silikat berupa Garnierit,
Krisopras, atau Serpentin. Laterit pada zona ini biasanya disusun oleh
mineral lepas dan terkadang terurai. Mineral utama berupa mineral
silikat : Garnierit, Krisopras, dan Serpentin, sedangkan mineral
tambahan berupa : lempung, mineral oksida berupa : Goethit, MnOx,
Magnetit, Kromit, Krisotil, dan Asbestos yang umumnya bercampur
dalam bijih saprolit sebagai pengotor.
Bijih saprolit mempunyai parameter Ni ≥ 2.0% dan Fe ≤25%,
kontinuitas ke arah vertikal sangat fluktuatif kadang-kadang terselingi
oleh saprolit “waste” yaitu Ni ≥2.0% dan Fe ≥25%, demikian juga ke
arah lateral, lapisan saprolit terkadang tidak menerus terselingi oleh
limonit atau saprolit “waste”. Kontinuitas ketebalan saprolit secara
lateral agak sulit ditentukan karena sangat dipengaruhi oleh morfologi
Bab II – Tinjauan Umum
34
setempat. Apabila berupa punggungan terpotong oleh lembah sungai,
otomatis ketebalannya akan menurun atau terputus. Sedangkan
kontinuitas ke arah vertikal dipengaruhi oleh kerapatan struktur yang
berbeda. Zona ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
• Soft Saprolit, mengandung fragmen-fragmen berukuran boulder
kurang dari 25%.
• Hard Saprolit, mengandung fragmen-fragmen berukuran boulder
lebih dari 50%.
Gradasi ke arah bedrock diindikasikan oleh munculnya fragmen batuan
asal berukuran couble-boulder dengan tingkat pelapukan yang semakin
berkurang ke arah bedrock
4. Blue Zone
Merupakan zona di bawah zona saprolit, berupa batuan asal (batuan
beku ultra basa) yang mengalami pengkekaran yang sangat intensif.
Tekstur batuan telah sama dengan tekstur batuan asal dan kekar-kekar
umumnya terisi oleh urat Garnierit dan Silika.
5. Bedrock
Lapisan ini merupakan batuan asal ( batuan beku ultrabasa ), pada
umumnya batuan ini berupa bongkahan-bongkahan masif, berwarna
kuning pucat sampai abu-abu kehijauan. Tekstur batuan telah sama
dengan tekstur batuan asal dan kekar-kekar umumnya terisi oleh urat
Garnierit dan Silika. Ketebalan dari masing-masing lapisan tidak
merata, mempunyai kadar Ni rata – rata ≤ 1,7 %, dan Fe ≤ 10 %.
Bab II – Tinjauan Umum
35
Gambar 2.8 Profil endapan nikel laterit Tanjung Buli
2.5 Sistem Penambangan di Lokasi Penelitian
Metode penambangan yang diterapkan oleh PT. Yudhistira Bumi Bhakti
yaitu sistem penambangan “Back Filling Bottom To Up” dengan metode
“selective mining “. Tahapan-tahapan sistem penambangan yang dilakukan,
diantaranya sebagai berikut (lihat gambar 2.9) :
Persiapan Penambangan
Untuk memulai suatu kegiatan penambangan maka terlebih dahulu diketahui
peta tambangnya yaitu peta geologi, peta topografi, peta penyebaran titik bor
yang dilengkapi dengan data eksplorasi dan keterangan endapan serta peta
rencana penambangan.
Pembersihan Lahan ( Land Clearing ) dan Pengupasan ( Stripping )
Kegiatan ini dimaksudkan untuk membersihkan semak belukar dan
pepohonan yang tumbuh di lokasi yang akan di tambang kemudian
1-3 m, Ni<1,2%, Fe 40,9 – 49%
Top soil
1-3 m, Ni 1,3 – 1,48%, Fe 32,5 –
Over Burden
50,20%Limonit,
Soft Saprolit
5-8 m, Ni 2,16 –3,2%,
Hard Saprolit
Blue Zone
Bed Rock
Ni 0,23 – 0,30 %, Fe
Ni < 1.7% dan Fe <
Bab II – Tinjauan Umum
36
dilakukan pengupasan tanah penutup (overburden). Tanah yang telah
dikupas ditempatkan pada tempat penimbunan overburden (dumping area)
yang akan ditempatkan pada lahan bekas tambang nanti (disposal area) atau
pada waste dump.
Penggalian Bijih Nikel
Penggalian bijih nikel di Tanjung Buli dapat dilakukan dengan cara selective
mining atau memilih titik bor yang diketahui kadarnya, sehingga pada saat
pengupasan tanah penutup (overburden) disesuaikan dengan rencana
penambangan pertitik bor tersebut. Biasanya ketebalan (tinggi) blok
penggalian ditetapkan 2 m. Sistem penggaliannya diarahkan untuk menggali
sesuai dengan bench atau elevasi yang diinginkan serta rata (flat). Hal ini
dikarenakan sangat penting untuk menjaga lantai penggalian tetap rata agar
alat angkut lebih produktif dan lebih aman (safety). Pada umumnya,
penggalian dilakukan pada kedalaman 2 m dengan kemiringan jenjang
(bench) 70° dengan tinggi jenjang 6 m dengan “catch berm” 2 m.
Pemuatan ( Loading )
Setelah kegiatan penggalian selesai maka dilanjutkan dengan kegiatan
pemuatan. Kegiatan ini bertujuan untuk memuat ore maupun waste/OB yang
telah digali ke dalam ADT.
Pengangkutan ( Hauling )
Pengangkutan bijih nikel hasil penambangan dapat dilakukan dengan ADT,
yang diangkut ke stock yard ETO ( Exportable Transit Ore ) yang jaraknya
dekat dengan lokasi penambangan. Sedangkan DT ( dump truck ) dan ADT
dapat digunakan untuk pengangkutan dari stock yard ETO ke Grizzly untuk
memisahkan material yang berukuran +20 cm ( boulder ) dan -20cm ( ore ).
Apabila masih didapatkan material yang berukuran +20 cm maka akan
diangkut ke crusher dan kemudian akan diangkut ke stock yard EFO
( Exportable Fine Ore ). Untuk material yang berukuran –20 cm kemudian
Bab II – Tinjauan Umum
37
diangkut ke stock yard EFO. Dari stock yard EFO kemudian dilakukan
pengangkutan ke dermaga curah untuk dilakukan pengapalan.
Sampling
Sampling material tambang dilakukan baik itu di front tambang, stockyard
ETO, setelah melewati Grizzly, stockyard EFO, dan di dermaga curah
sebelum pengapalan (shipping). Pengambilan sampel bijih dilakukan
beberapa kali untuk menjaga kualitas bijih nikel dan untuk penghitungan
kadar produksi setiap hari. Pada tambang nikel site Tanjung Buli, proses
sampling yang diterapkan mengacu standar JIS (Japanese Industrial
Standard).
Sumber : PT Yudhistira Bumi Bhakti
Gambar 2.9. Skema Penambangan PT. Yudhistira Bumi Bhakti
Bab II – Tinjauan Umum
38