BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN … II.pdf · Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas...

23
16 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH 2.1 Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari beberapa daerah, yang kesemua daerah tersebut merupakan sebuah daerah otonom yang mendapat pengakuan oleh Negara, hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas beberapa daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-undang. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indnesia Tahun 1945. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terrwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN … II.pdf · Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas...

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH,

KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH

2.1 Pemerintahan Daerah

Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari

beberapa daerah, yang kesemua daerah tersebut merupakan sebuah daerah otonom

yang mendapat pengakuan oleh Negara, hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 18

ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, bahwa Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas beberapa daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap provinsi, kabupaten

dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dalam Undang-undang.

Menurut Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indnesia Tahun 1945.

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan

amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka

pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk

mempercepat terrwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

17

pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya

saing daerah dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan,

keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pemerintah daerah

menyelenggarakan pemerintahannya dengan asas-asas sebagai berikut :

1. Asas desentralisasi, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah pusat kepada daerah otonom.15

Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum

keperdataan, yakni penyerahan sebagian hak dari pemilik hak kepada

penerima sebagian hak dengan obyek tertentu. Pemilik hak pemerintahan

adalah ditangan pemerintah, dan hak pemerintahan tersebut diberikan

diberikan kepada pemerintah daerah, dengan objek hak berupa kewenangan

pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, namun masih

tetap dalam kerangka NKRI.

2. Asas dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi

vertical di wilayah tertentu.

3. Asas tugas pembantuan, adalah penguasaan dari pemerintah kepada daerah

kota dan atau desa; dari pemerintahan provinsi kepada pemerintah kabupaten

atau kota dan atau desa; serta dari pemerintah kabupaten atau kota kepada

desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

15 HAW. Widjaja, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h.25

18

2.1.1 Tindak Pemerintah

Tindakan pemerintah (bestuurshandeling) yang dimaksud, adalah setiap

tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintahan

(bestuursorgaan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuursfunctie).16

Menurut Van Vollenhoven yang dimaksud dengan ‘tindakan

pemerintahan’ (Bestuurshandeling) adalah pemeliharaan kepentingan Negara dan

rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendahan.17

Menurut Komisi Van Poelje yang dimaksudkan dengan ‘publiek

rechtelijke handeling’ atau tindakan dalam hukum public adalah tindakan-

tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam menjalankan fungsi

pemerintahan.18

Romeijn mengemukakkan bahwa tindak pemerintahan adalah tiap-tiap

tindakan atau perbuatan dari satu alat administrasi Negara (bestuurs organ) yang

mencakup juga perbuatan atau hal-hal yang berada di luar lapangan hukum tata

pemerintahan, seperti keamanan, peradilan dan lain-lain dengan maksud

menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi.19

Ada 2 (dua) bentuk tindakan pemerintah yakni:20

1. Tindakan pemerintah berdasarkan hukum (rechtshandeling) dapat dimaknai

sebagai tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum

tertentu untuk menciptakan suatu hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir

16 Sadjijono, 2007, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang

Press Indo, Yogyakarta, h.79 17 Ibid 18 Sadjijono, Op.cit, h.82 19 SF. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

Liberty, Yogyakarta, h.70 20 Sadjijono, Op.cit, h.90

19

sebagai konsekuensi logis dalam kedudukannya pemerintah sebagai subjek

hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan menimbulkan akibat

hukum.

2. Tindakan pemerintah berdasarkan fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan

pada hukum (feitelijke handeling) adalah tindakan yang tidak ada hubungan

langsung dengan kewenangannya dan tidak menimbulkan akibat hukum.

Akibat hukum yang timbul tersebut dapat berupa penciptaan hubungan

hukum yang baru maupun perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang

ada. Dengan demikian tindakan hukum pemerintah di maksud memiliki unsur-

unsur sebagai berikut:21

a. Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya

sebagai penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs

organ);

b. Tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan

(bestuursfunctie);

c. Tindakan yang dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum

(rechtsgevolgen) di bidang hukum administrasi;

d. Tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan umum;

e. Tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah;

f. Tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan hukum;

21 Sadjijono, Op.cit, h.81

20

Tindakan hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh

penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan hukum publik ini

dilakukan berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat hukum publik yang

hanya dapat lahir dari kewenangan yang bersifat hukum publik pula. Sedangkan

tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan

hukum keperdataan.

Tindakan Badan atau Pejabat dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian yakni:

a. Tindakan membuat Keputusan (beschikking)

Keputusan (beschikking) adalah merupakan salah satu bentuk tindakan

hukum publik yang dilakukan secara sepihak (bersegi satu). Menurut Van der Pot

dan Van Vollenhoven berpendapat bahwa keputusan adalah tindakan hukum yang

bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan, dilakukan oleh suatu badan

Pemerintah berdasarkan wewenang yang luar biasa.22

Sedangkan menurut Sjahran Basah bahwa beschikking adalah keputusan

tertulis dari administrasi Negara yang mempunyai akibat hukum.23

Unsur-unsur utama beschikking sebagai penetapan (keputusan) tertulis tersebut,

meliputi24 :

1) Penetapan tertulis;

2) Oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara;

3) Tindakan hukum Tata Usaha Negara;

4) Konkrit, Individual;

22 Sadjijono, Op.cit, h.86 23 Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,

Alumni Bandung, 2000, h185 24 Sadjijono, Op.cit, h.91

21

5) Final;

6) Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun

2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, merumuskan:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha

Negara berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit,

individual, dan tindakan yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau

badan hukum perdata.”

b. Tindakan membuat Peraturan (regeling)

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan

bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk

oleh Lembaga Negara atau Pejabat berwenang dan mengikat secara umum.

Peraturan (regeling) selalu bersifat umum dan abstrak (general and

abstract). Yang dimaksud bersifat general and abstract, yaitu keberlakuannya

ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah umum.25 Peraturan

(regeling) selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig).26

Perlu dijelaskan bahwa dengan keluarnya Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 “Keputusan” tidak termasuk pada hierarkhi

25 Jimly Asshiddiqi, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press,

Jakarta, h.2 26 Maria Farida Indrati, 2001, Ilmu Perundang-Undangan(Jenis,Fungsi dan Materi

Muatan), Kanisius, Jakarta, h.78

22

peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7. Istilah

keputusan diubah dengan sebutan ”Peraturan” misalnya Peraturan Menteri,

Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, Peraturan Bupati dan lain-lain.

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

2011 menyebutkan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan

sebagai berikut:

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

- Peraturan Pemerintah;

- Peraturan Presiden;

- Peraturan Daerah Provinsi; dan

- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

dalam pasal 7 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

Nomor 15 Tahun 2006 tentang jenis dan bentuk produk hukum daerah

menyebutkan jenis produk hukum daerah terdiri atas:

- Peraturan Daerah;

- Peraturan Kepala Daerah;

- Peraturan Bersama Kepala Daerah;

23

- Keputusan Kepala Daerah;

- Instruksi Kepala Daerah;

Dari penjelasan diatas dapat dinyatakan bahwa Keputusan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum

termasuk perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan

(beschikking) tetapi termasuk perbuatan tata usaha negara di bidang pembuatan

peraturan (Reglement Daad van De Administratie).

c. Tindakan Materiil (materiele daad)

Tindakan materiil adalah tindakan nyata yang tidak melahirkan akibat

hukum (Recht Gevolg) dari perbuatan pemerintah tersebut sedangkan tindakan

hukum yaitu ada maksud untuk melahirkan akibat hukum. Bentuk-bentuk konkrit

dari tindakan materiil dapat dicontohkan sebagai berikut:

1) Perbuatan nyata Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam fungsi

pelayanan. Dalam fungsi ini perbuatan nyata dilihat dari:

a) Fungsi pelayanan jasa misalnya pelayanan jasa pos dan telekomunikasi,

pelayanan listrik dan penyediaan air minum, pelayanan jasa angkutan

kereta api, pelayanan jasa angkutan laut (PELNI).

b) Fungsi pelayanan pemerintahan misalnya:

- Pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan.

- Pihak Kelurahan mewajibkan bagi setiap warga yang membuat KTP

untuk membuat pas photo (wajib photo).

24

2) Fungsi Pembangunan misalnya pembangunan jembatan dan gedung

pemerintah.

3) Dalam rangka penegakan hukum misalnya tindakan pengosongan dan

penyegelan.

2.2 Kewenangan

Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan

dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara

keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan

yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang atau legislatif

dari kekuasaan eksekutif atau administrative. Karenanya, merupakan kekuasaan

dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintah

atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya

mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan.27

Kewenangan dan wewenang memiliki pengertian yang berbeda adapun yang

membedakan pengertian dari wewenang dan kewenangan adalah cangkupannya .

Kewenangan memiliki pengertian yang luas yang mencangkup segala bidang

yang merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu bersumber dari

undang-undang sedangan wewenang merupakan bagian dari kewenangan yang

memiliki cangkupan lebih sempit yaitu hanya mengenai suatu bagian tertentu saja

dari kewenangan yang dapat diartikan bahwa wewenang diperoleh setelah

mendapatkan kewenangan.

27E Utrech, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,

Surabaya, h. 56

25

Wewenang (authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan

untuk meminta dipatuhi. Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah

wewenang. Istilah wewenang sebenarnya tidak dapat disejajarkan dan disamakan

dengan istilah bevoegheid dalam kepustakaan hukum Belanda .28

Menurut pandangan Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit

perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”. Perbedaan

tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah “bevoegheid” digunakan dalam

konsep hukum publik maupun hukum privat.29 Dalam konsep hukum kita istilah

kewenangan atau wewenang seharusnya digunaan dalam konsep hukum publik.

Kewenangan digunakan dalam hukum publik karena hukum publik ini

merupakan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat atau dapat

digambarkan antara atasan dan bawahan. Sehingga apabila dalam melakukan

tugasnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara penuh maka ia dapat

melimpahkan kewenangannya kepada bawahannya.

Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup

wewenang pemerintahan tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan

pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas,

dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan. Secara yurids, pengertian wewenang

adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk

menimbulkan akibat-akibat hukum.30

28Sadjijono,Op.cit, h.49 29 Philipus M Hadjhon, Op.Cit, h. 54 30 Lutfi Efendi,2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bayumedia, Malang, h.

18

26

Wewenang disini meliputi segala tindakan pemerintahan baik adapun

berupa dalam pembuatan keputusan pemerintah, wewenang dalam pelaksanaan

tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi yang utamanya ditetapkan oleh

Peraturan Perundang-undangan. Wewenang disini dapat diartikan adalah

kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang dapat menimbulkan akibat-

akibat hukum.

Menurut H.D. Stoud wewenang adalah :

Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van bestuurrechttelijke bevoeggdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik.31 Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam

melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan

keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara

atribusi, delegasi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan

yang asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus

ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain.

Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang

akan tetapi, yang diberi mandate bertindak atas nama pemberi mandate. Dalam

pemberian mandate, pejabat yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk

bertindak atas nama mandator (pemberi mandat)32

31 H.D.Stoud, 1983, Pengantar Studi Public Administration, Ghalia Indonesia, Jakarta,

h.65 32 Prajudi Atmosudardjo, 1988, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Cetakan

Ke-9, Jakarta, h.48

27

Kewenangan yang dimiliki organ pemerintahan dapat dikatakan bahwa

kewenangan organ pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata,

kewenanganyang diperolehnya adalah berdasarkan secara atributif, delegasi dan

mandat. Kewenangan atributif merupakan kewenangan asli yaitu kewenangan

tersebut diperoleh berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, kewenangan

delegasi yaitu pelimpahan kewenangan dari suatu organ pemerintahan yang satu

ke organ pemerintahan yang lain, pelimpahan kewenangan disini dapat

digambarkan secara horizontal. Kewenangan mandat yaitu pemberian

kewenangan antara atasan terhadap bawahan yang mana si penerima bertindak

atas nama pemberi mandat.

2.2.1 Jenis-Jenis Kewenangan

Setiap perbuatan pemerintahan harus bertumpu pada suatu kewenangan

yang sah. Tanpa disertai kewenangan yang sah, seorang pejabat ataupun lembaga

tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Oleh karena itu,

kewenangan yang sah merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun lembaga.

Berdasarkan sumbernya, “wewenang dibedakan menjadi yaitu wewenang

personal dan wewenang ofisial. Wewenang personal yaitu wewenang yang

bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau norma, dan kesanggupan

untuk memimpin. Sedangkan wewenang ofisial merupakan wewenang resmi

yang diterima dari wewenang yang berada di atasnya.33

Berdasarkan sumbernya kewenangan dapat dibagi dua yaitu wewenang

personal dan ofisial. Wewenang personal disini dapat diartikan bahwa wewenang

33 Philipus M Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan

Pemerintahan yang Bersih, Surabaya, h. 77

28

yang diperolehnya tersebut bersumber dari intelegensi, pengalaman dan nilai yang

dimiliki oleh personel itu sendiri dan berdasarkan norma yang berlaku.

Kewenangan ofisial dapat diartikan bahwa kewenangan yang diperolehnya

tersebut bersumber dari atasannya atau yang berada di atasnya.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi) pemerintahan dalam

melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan pengaturan atau mengeluarkan

keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara

atribusi, delegasi, maupun mandat.

Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas dasar konstitusi

(UUD). Pada kewenangan delegasi, harus ditegaskan suatu pelimpahan wewenang

kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan

apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat

bertindak atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang

diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama mandator

(pemberi mandat).

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan kewenangan yang

diberikan kepada suatu organ (institusi) pemerintahan atau lembaga Negara oleh

suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak

diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan

kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya dan

memberikan kepada organ yang berkompeten.34

34 Ibid

29

Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari kewenangan atribusi dari

suatu organ (institusi) pemerintahan kepada organ lainnya sehingga delegator

(organ yang telah memberi kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas

namanya, sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan kewenangan

tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan kewenangan kepada organ lain

(mandataris) untuk membuat keputusan atau mengambil suatu tindakan atas

namanya.

Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada

atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan, tetapi tidak demikian pada

delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas, kewenangan tidak dapat didelegasikan

secara besar-besaran, tetapi hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan

hukum menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut.

Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:35

1. Delegasi harus definitif, artinya delegasn tidak dapat lagi menggunakan

sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;

2. Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan, artinya delegasi

hanya dimungkinkan jika ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam

peraturan perundang-undangan;

3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki kepagawaian tidak

diperkenankan adanya delegasi;

4. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang

untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;

35 Philipus M. Hadjon, Op Cit, h. 5

30

5. Peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi

(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi),

sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan

demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber

kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat

diperoleh bagi pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi,

delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah adalah suatu

kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan

mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat dikeluarkan suatu keputusan

yuridis yang benar.36

2.3 Aset Daerah

Aset atau barang daerah merupakan potensi ekonomi yang dimiliki oleh

daerah. Potensi ekonomi bermakna adanya manfaat finansial dan ekonomi yang

bisa diperoleh pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan

fungsi pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat.

Dari definisi tersebut diatas maka aset daerah adalah sama dengan barang

daerah. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara, menentukan bahwa “Barang Milik Daerah adalah

semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari

perolehan lainnya yang sah”. Selanjutnya Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah

36 F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,, h. 219

31

Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah, menentukan bahwa “Barang milik daerah adalah semua barang

yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

atau berasal dari perolehan lainnya yang sah”.

Aset daerah, meliputi sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau

dimiliki oleh pemerintah daerah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari

mana manfaat ekonom dan/atau social dimasa depan diharapkan dapat diperoleh ,

baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang ,

termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi

masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah

dan budaya.37

Barang milik daerah disamping berasal dari pembelian atau perolehan atas

beban Anggaran Pendapatan Belanja Daerah juga berasal dari perolehan lainnya

yang sah. Barang milik Negara/Daerah yang berasal dari perolehan lainnya yang

sah, selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

diperjelas lingkupnya yang meliputi barang yang diperoleh dari

hibah/sumbangan/sejenisnya, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak,

diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pengertian yang sama mengenai barang milik daerah dalam ketentuan

Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang

37 Nunuy Nur Afiah, 2009, Implementasi Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah,

Kencana, Jakarta, h.16

32

Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, menentukan bahwa : “Barang

milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah atau perolehan lainnya yang sah.”

2.4 Perjanjian

Dalam undang-undang, perjanjian diatur di dalam Buku III KUH Perdata

yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu

peristiwa yang melahirkan hubungan hukum antara dua pihak yang disatu pihak

ada hak dan di lain pihak ada kewajiban (perikatan).

Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan perjanjian sebagai:

"Suatu perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih."

Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi

perjanjian yang terdapat didalam ketentuan tersebut tidak lengkap dan terlalu luas.

Tidak lengkap karena mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu luas

karena hanya mengenai hal-hal yang mengenai janji kawin yaitu perbuatan

didalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga tetapi

bersifat istimewa karena diatur dalam ketentuan sehingga Buku III KUHPerdata

secara langsung tidak berlaku dan mencakup perbuatan melawan hukum

sedangkan dalam perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan.

Untuk memahami istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat

beberapa pendapat para sarjana. Adapun pendapat para sarjana tersebut adalah :

33

1. R. Subekti memberikan pengertian perikatan sebagai suatu perhubungan

hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu

berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain

berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut, kemudian menurut Subekti

perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain

atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.38

2. Abdul Kadir Muhammad memberikan pengertian bahwa perikatan adalah

suatu hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang

lain karena perbuatan peristiwa atau keadaan. Lebih lanjut beliau menjelaskan

bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan; dalam

bidang hukum keluarga; dalam bidang hukum pribadi. Perikatan yang meliputi

beberapa bidang hukum ini disebut perikatan dalam arti luas.39

3. R. M. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa perjanjian adalah

hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk

menimbulkan akibat hukum.40

Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka bahwa di

dalam suatu perjanjian minimal harus terdapat dua pihak, dimana kedua belah

pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Pihak

yang berhak menuntut sesuatu disebut “kreditur” atau si berpiutang, sedangkan

pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan disebut “debitur” atau si berutang.

38 R. Subekti, 1985, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, h. 1. 39 Abdul Kadir Muhammad, 1982, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, h. 6. 40 RM. Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,

Yogyakarta, h. 97.

34

Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan dengan “prestasi”, yang

menurut undang-undang dapat berupa :

1. Menyerahkan suatu barang,

2. Melakukan suatu perbuatan,

3. Tidak melakukan suatu perbuatan.

Rumusan perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUH

Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung

kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan tersebut dapatlah diperinci : 41

1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.

Di sini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan”

merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak

dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri

dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-

tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas Nampak

adanya konsensus/ kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat

perjanjian.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus atau kesepakatan.

Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan :

a. melaksanakan tugas tanpa kuasa.

b. perbuatan melawan hukum.

41 Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

h.78.

35

Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/ perbuatan yang tidak

mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya

sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan

tersebut adalah hukum.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Untuk pengertian perjanjian di sini dapat diartikan juga pengertian perjanjian

yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal perkawinan

sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang menyangkut

hubungan lahir batin. Sedang yang dimaksudkan perjanjian dalam Pasal 1313

KUH Perdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Di mana hubungan

antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja

selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud perjanjian kebendaan saja bukan

perjanjian personal.

4. Tanpa menyebut tujuan.

Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan

perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas

maksudnya untuk apa.

Sedangkan menurut R. Setiawan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313

KUH Perdata selain tidak lengkap juga sangat luas. Perumusan tersebut dikatakan

tidak lengkap karena hanya menyangkut persetujuan “perbuatan” maka

didalamnya tercakup pula perwakilan sukarela (zaakwaarneming) dan perbuatan

melawan hukum (onrechtmatigedaad). Sehubungan dengan hal itu, maka beliau

36

mengusulkan untuk diadakan perbaikan mengenai definisi perjanjian tersebut

yaitu menjadi42 :

1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan subjek

hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja

dikehendaki oleh subjek hukum.

2. Menambahkan perkataan “atau lebih saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal

1313 KUH Perdata.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat diketahui bahwa dalam

suatu perjanjian itu terkandung adanya beberapa unsur, yaitu43:

1. Essentialia.

Unsur ini mutlak harus ada agar perjanjian sah (merupakan syarat sahnya

perjanjian).

2. Naturalia.

Yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara

diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah

merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian.

3. Accidentalia.

Yakni unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian.

Suatu perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian

dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat

selalu terdapat tiga tahapan, yaitu44 :

42 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A. Bardin, Bandung, 2000, h. 49. 43 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., h. 98. 44 Salim HS, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

hal. 16.

37

a) Pra-contractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang tercakup dalam negosiasi

dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;

b) Contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang saling

mengisi dan mengikat kedua belah pihak;

c) Post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut.

2.4.1 Subjek dan Objek Perjanjian

Subyek dalam perjanjian adalah pihak-pihak yang terdapat dalam

perjanjian. Dalam hal ini terdapat dua macam subyek, yakni seseorang manusia

atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban atau mendapat hak atas

pelaksanaan kewajiban itu. Subyek yang berupa seorang manusia haruslah

memenuhi syarat sah untuk melakukan tindakan hukum yaitu sudah dewasa dan

tidak berada dibawah pengampuan.

Subyek perjanjian dengan sendirinya sama dengan subyek perikatan yaitu

kreditur dan debitur yang merupakan subyek aktif dan subyek pasif. Adapun

kreditur maupun debitor tersebut dapat orang perseorangan maupun dalam bentuk

badan hukum.

KUH Perdata membedakan dalam tiga golongan untuk berlakunya perjanjian :

1. Perjanjian berlaku bagi pihak yang membuat perjanjian.

2. Perjanjian berlaku bagi ahli waris dan mereka yang mendapat hak.

3. Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga.

38

Sedangkan obyek dalam perjanjian adalah berupa prestasi, yang berujud

memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Perikatan untuk

memberi sesuatu ialah kewajiban seseorang untuk memberi atau menyerahkan

sesuatu, baik secara yuridis maupun penyerahan secara nyata. Perikatan untuk

berbuat sesuatu yaitu prestasi dapat berujud berbuat sesuatu atau melakukan

perbuatan tertentu yang positif. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah dijanjikan.

Dalam hal ini terdapat tiga macam obyek, yakni :

1. Barang-barang yang dapat diperdagangkan.

2. Harus diketahui jenisnya dan dapat ditentukan.

3. Barang-barang tersebut sudah ada atau akan ada dikemudian hari.