BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI AGENCY PENAGIH DAN … · 2017-04-01 · mengenai tata cara...
Transcript of BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI AGENCY PENAGIH DAN … · 2017-04-01 · mengenai tata cara...
21
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI AGENCY PENAGIH DAN
KARTU KREDIT
2.1. Agency Penagih
2.1.1. Pengertian Agency Penagih
Agency Penagih pada umumnya dikenal dengan sebutan “Debt Collector”
yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “debt” dan “collector”. “Debt” berarti
hutang dan “collector” berarti pengumpul, sehingga Debt Collector dapat
dikatakan sebagai pengumpul hutang atau penagih hutang. Namun istilah Debt
Collector dianggap mencerminkan kriteria penagihan yang mengutamakan
tindakan kekerasan dan dianggap tidak pantas digunakan pada bank-bank besar di
Indonesia. Pihak BNI sendiri menyebutnya dengan sebutan “Agency Penagihan”.
Agency Penagih adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara kreditur dengan
debitur dalam hal penagihan hutang kartu kredit. Penagihan tersebut hanya
dilakukan apabila kualitas tagihan kredit yang dimaksud telah termasuk dalam
kategori kolektibilitas diragukan, macet, dan bermasalah.18 Penggunaan jasa
Agency Penagih biasanya terkait dengan hutang piutang yang telah memasuki
kriteria kredit macet.
Pada dasarnya tidak ada peraturan perundang-undangan yang khusus
mengatur tentang Agency Penagih di Indonesia, namun dalam Peraturan Bank
Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 dan Surat Edaran Bank Indonesia
18. Masrudi Muchtar, 2013, Debt Collector Dalam Optik Kebijakan Hukum Pidana,
Aswaja Presindo, Yogyakarta, h. iii.
22
No.14/20/DPNP Perihal Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain mengatur
mengenai tata cara pelaksanaan alih daya, termasuk salah satunya kegiatan
penagihan hutang oleh Perusahaan Penyedia Jasa (PPJ) yaitu pihak ketiga yang
secara umum masyarakat lebih mengenal dengan sebutan Agency Penagih.
Prinsip kerja Agency Penagih adalah bekerja berdasarkan kuasa dari
kreditur dalam penagihan hutang. Pasal 1792 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan
memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya utnuk atas
namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Hal tersebut mengartikan bahwa
Agency Penagih sebagai pihak ketiga bekerja atas kuasa dari bank yang
bersangkutan dalam hal penagihan hutang. Sehingga pekerjaan Agency Penagih
dianggap sah selama dalam proses penagihannya dilakukan dengan tata cara yang
tidak melawan hukum.
2.1.2. Sejarah Munculnya Agency Penagih
Pada umumnya, penggunaan istilah Agency Penagih dalam dunia
perbankan bukanlah hal yang baru. Penggunaan jasa Agency Penagih bukan hanya
diterapkan di Indonesia, diluar negeri pun juga jasa ini dipakai untuk menagih
hutang-hutang debitur yang menumpuk.
Debitor yang mengalami permasalahan dalam pembayaran dibagi atas
beberapa tingkat permasalahan yang mungkin kriteria ini digunakan di beberapa
23
bank, yaitu tunggakan 1 sampai dengan 7 hari, 8 sampai dengan 30 hari, 31
sampai dengan 150 hari, dan diatas 150 hari.19
a. Untuk tunggakan 1 sampai dengan 7 hari, biasanya masih melalui Desk
Collector yaitu karyawan-karyawan internal perusahaan yang bertugas
mengingatkan keterlambatan pembayaran kredit.
b. Untuk tunggakan hari ke-8 hingga hari ke-30, penagihannya dilakukan
oleh internal atau field collector.
c. Untuk tunggakan hari ke-31 hingga hari ke-150, penanganan mulai
dilakukan oleh problem account officer pada bank yang bersangkutan.
Setiap bank penanganannya berbeda-beda, ada yang masih dapat
dilakukan sendiri dengan karyawan internal mereka, ada pula yang sudah
melimpahkan kuasanya kepada pihak ke-3 yaitu Agency Penagih.
Pelimpahan kuasa tersebut dianggap perlu bagi pihak bank, karena tidak
mungkin jumlah karyawan internal yang sangat terbatas harus terus menerus
menagih hutang debitur.
Selain itu, Agency Penagih ini muncul ketika suatu bank tidak ingin
memilih jalur hukum perdata hanya untuk menagih hutang debiturnya sehingga
pihak bank lebih memilih penagihan dengan melalui pihak ketiga. Hotman Paris
Hutapea dalam seminar yang berjudul “Problematika Penagihan Utang” di Jakarta
pada Kamis, 28 April 2011 silam mengatakan bahwa mahalnya biaya perkara di
19. Diakses dari url: http://rynaldo-batubara.blogspot.co.id/2011/11/masih-tentang-
debt-collector.html pada hari Minggu, 7 Februari 2016 pukul 17.30 WITA.
24
pengadilan disbanding total tunggakan nasabah, membuat bank lebih memilih
menggunakan jasa Agency Penagih.
2.1.3. Tugas Dan Wewenang Agency Penagih
Peran Agency Penagih dalam penagihan hutang kartu kredit memang
dianggap dapat menyelesaikan permasalahan hutang dengan cepat dan efisien.
Dan pada praktiknya, tidak sedikit bank yang menggunakan jasa ini dalam
penagihan hutangnya. Agency Penagih merupakan pihak ketiga yang diberikan
kuasa oleh sebuah bank dalam hal penagihan hutang debiturnya. Sehingga,
wewenang dari Agency Penagih hanyalah sebatas apa yang telah dilimpahkan dari
bank seperti menagih hutang, melacak keberadaan debitur, sampai dengan
tindakan penyitaan barang-barang debitur.
Sedangkan, tugas dari Agency Penagih itu sendiri adalah:20
1. Menangani penunggakan hutang kartu kredit nasabah bank yang
bersangkutan;
2. Bekerja secara efektif, cepat, tidak mengulur-ulur waktu dalam penagihan
hutang kartu kredit.
3. Menagih sesuai dengan batasan-batasan yang sudah ditetapkan.
2.1.4. Pengaturan Mengenai Agency Penagih Dalam Sistem Perbankan
Hingga saat ini, belum ada peraturan khusus yang mengatur secara rinci
mengenai Agency Penagih dalam sistem perbankan di Indonesia, namun Peraturan
Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
20. Diakses dari url: http://ahliperbankan.com/peran-debt-collector-dalam-penagihan-
kredit-macet/ pada hari Minggu, 7 Februari 2016 pukul 18.02 WITA.
25
Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) juncto Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor 14/20/DPNP Perihal Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum
yang Melakukan Peyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain,
setidaknya mengatur mengenai tata cara penagihan melalui pihak ketiga atau yang
biasa disebut Agency Penagih.
Dalam Pasal 17B Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/2012, disebutkan
bahwa dalam penagihan kartu kredit, bank penerbit wajib mematuhi pokok-pokok
etika penagihan hutang kartu kredit. Serta penerbit wajib menjamin bahwa
penagihan hutang kartu kredit tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam BAB IV angka 4 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor
14/20/DPNP, disebutkan beberapa kewajiban bank dalam menerapkan kebijakan
dan prosedur mengenai penagihan kredit:
a. Menginformasikan kepada debitur apabila penagihan atas kewajiban
debitur telah diserahkan kepada Pihak Penyedia Jasa (PPJ);
b. Memastikan bahwa penagihan kredit oleh PPJ dilakukan dengan cara-cara
yang tidak melanggar hukum;
c. Menyusun etika penagihan kredit yang harus dituangkan dalam perjanjian
Alih daya;
d. Memastikan bahwa tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang
memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
26
e. Menatausahakan identitas setiap tenaga penagih;
f. Memastikan bahwa dalam melakukan penagihan PPJ mematuhi pokok-
pokok etika penagihan kredit yang dimuat dalam perjanjian Alih Daya,
antara lain:
1) Penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan ancaman,
kekerasan, dan/atau tindakan yang mempermalukan debitur;
2) Penagihan dilarang dilakukan dengan menggunakan tekanan secara
fisik maupun verbal;
3) Penagihan dilarang dilakukan pada pihak selain debitur;
4) Penagihan menggunakan sarana komunikasi dilarang dilakukan secara
terus menerus yang bersifat mengganggu;
5) Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan
pukul 20.00 walayah waktu debitur;
6) Penagihan diluar waktu sebagaimana dimaksud pada angka 5) hanya
dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan
debitur;
7) Petugas penagih wajib menggunakan kartu identitas resmi yang
dikeluarkan oleh Bank, yang dilengkapi dengan foto diri yang
bersangkutan; dan
8) Penagihan hanya dapat dilakukan ditempat alamat penagihan atau
domisili debitur.
g. Bank wajib memastikan bahwa PPJ juga mematuhi etika penagihan yang
ditetapkan oleh asosiasi.
27
2.2. Kredit dan Kartu Kredit
2.2.1. Pengertian Kredit
Kredit berasal dari bahasa Italia yaitu Credere yang berarti kepercayaan.
Hal ini berarti kepercayaan dari kreditur kepada debiturnya bahwa debitur akan
mengembalikan pinjaman serta bunganya sesuai dengan waktu atau hal lain yang
diperjanjikan oleh kedua belah pihak. Kredit yang berarti “kepercayaan” dalam
perspektif hukum dapat berarti:21
1) Bahwa perjanjian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang terlebih
dahulu dibuatkan suatu perjanjian (hukum perjanjian) tidaklah berarti bank
tidak percaya dengan nasabahnya, tetapi perjanjian (kredit) tersebut
sengaja dibuat sebagai suatu alat bukti (hukum pembuktian) bagi para
pihak apabila terjadi perselisihan di kemudian hari.
2) Bahwa perjanjian kredit yang dibuat antara bank dengan nasabahnya
adalah sarana untuk menuangkan segala macam jenis kesepakatan dan
persyaratan kredit yang ada, termasuk cara-cara pembayaran bagi
nasabahya dalam melaksanakan prestasinya.
Menurut H. Malayu S.P. Hasibuan, kredit adalah semua jenis pinjaman
yang harus dibayar kembali bersama bunganya oleh peminjam sesuai dengan
perjanjiann yang telah disepakati.22 Kredit adalah kemampuan untuk
21. H.R. Daeng Naja, 2005, Hukum Kredit Dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 22.
22. H. Malayu S.P. Hasibuan, 2011, Dasar-Dasar Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 87.
28
melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu
janji, pembayaran akan dilaksanakan pada jangka waktu yang telah disepakati.23
Istilah kredit dalam bahasa Belanda yaitu “Vertrouwen” dan dalam bahasa
Inggris yaitu “Trust” yang sama-sama berarti kepercayaan. Oleh karena itu
prinsip utama dalam pemberian kredit dalam suatu bank adalah prinsip
kepercayaan dan prinsip kehati-hatian. Dalam dunia perbankan, setiap pemberian
kredit hendaknya menghindari pemberian kredit yang spekulatif dan berisiko
tinggi. Sehingga haruslah terlebih dahulu melakukan analisis dari berbagai aspek
sebelum pemberian kredit untuk menghindari resiko-resiko yang akan terjadi.
Secara yuridis, ketentuan Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU Perbankan) dirumuskan
bahwa:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangya
setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan.
Pengertian kredit dalam ketentuan Pasal 1 butir 5 Peraturan Bank
Indonesia No.7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
adalah:
23. Astiko, 1996, Manajemen Perkreditan, Andi Offset, Yogyakarta, h. 5.
29
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdaasarkan
persetujua atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu
tertentu dengan pemberian bunga termasuk:
a. Cerukan (overdraft) yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang
tidak dibayar lunas akhir-akhir hari;
b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak-piutang; dan
c. Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Dalam praktek sehari – hari pinjaman kredit dinyatakan dalam bentuk
perjanjian tertulis baik dibawah tangan maupun secara materiil. Dan sebagai
jaminan pengaman, pihak peminjam akan memenuhi kewajiban dan menyerahkan
jaminan baik bersifat kebendaan maupun bukan kebendaan. Kredit sangat
berperan penting bagi peningkatan kegiatan perdagangan dan perekonomian,
sehingga dampaknya sangat terasa di masyarakat.
Pemberian kredit bank merupakan suatu perjanjian antara bank dengan
dengan nasabah (debitur). Perjanjian tersebut lahir berdasarkan kesepakatan
pinjam-meminjam antara bank dengan nasabah yang dalam praktiknya perjanjian
ini dinamakan “perjanjian kredit”. Perjanjian kredit yang sebagaimana dimuat
dalam pengertian kredit pada Pasal 1 angka 11 UU Perbankan disebutkan bahwa
bentuk hubungan hukum antara bank dengan nasabah peminjam dana adalah
kesepakatan pinjam-meminjam. Kelahiran pemberian kredit bank itu berdasarkan
kepada persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam (uang) antara bank
ssebagai kreditor dan pihak lain nasabah peminjam dana sebagai debitur dalam
30
jangka waktu tertentu, yang telah disetujui atau disepakati bersama dan pihak
peminjam berkewajiban untuk melunasi hutangnya dengan memberikan sejumlah
bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.24
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa “Perjanjian adalan
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih”. Salim H.S dalam bukunya menjelaskan bahwa
perjanjian merupakan hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan
yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.25
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian
konsensuil antara debitur dengan kreditur yang melahirkan hubungan hutang
piutang dimana debitur berkewajiban membayar pinjaman yang telah diberikan
oleh kreditur berdasarkan ketentuan yang telah diperjanjikan dan disepakati oleh
kedua belah pihak. Dalam Buku III KUHPerdata, memang tidak diatur
sedemikian rupa perihal perjanjian kredit tersebut. Namun, berdasarkan asas
kebebasan berkontrak, para pihak dinyatakan bebas untuk menentukan isi dari
perjanjian kredit sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan sekepakatan kedua belah pihak, maka
perjanjian kredit itu lahir dan mengikat para pihak yang membuatnya.
24. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 313.
25. Salim H.S, 2014, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, h. 27.
31
Pada hakikatnya, bank memiliki prinsip-prinsip dalam pemberian kredit
terhadap nasabahnya yang dikenal dengan istilah prinsip 5c, yaitu:
1. Character
Prinsip ini melihat dari segi kepribadian nasabah. Prinsip ini menilai calon
nasabah apakah bisa dipercaya dalam menjalani kerjasama dengan bank.
Aspek-aspek yang dinilai yaitu kejujuran, kecerdasan, kesehatan,
kebiasaan-kebiasaan, dan tempramen.
2. Capacity
Merupakan penilaian berdasarkan bidang usaha dan kemampuan
manajerial dari calon debitur. Sehingga bank yakin akan memberikan
kredit kepada orang yang tepat dan meminimalisir terjadinya tindakan
wanprestasi dari calon debitur. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu
tidak layak dberikan kredit dalam skala besar. Demikian jika bisnisnya
menurun, maka kredit juga semestinya tidak diberikan. Kecuali jika
penurunan itu karena kekuangan biaya sehingga dapat diantisipasi bahwa
dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit, maka kinerja bisnis
tersebut dipastikan semakin membaik.26
3. Capital
Yakni terkait akan kondisi aset dan kekayaan yang dimiliki nasabah yang
memiliki usaha. Capital dinilai dari laporan tahunan perusahaan yang
dikelola oleh nasabah, sehingga dari penilaian tersebut, pihak bank dapat
26. Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 247.
32
menentukan layak atau tidaknya nasabah tersebut mendapat pinjaman, lalu
seberapa besar bantuan kredit yang akan diberikan.
4. Condition
Merupakan kondisi perekonomian yang mempengaruhi debitur pada saat
itu. Hal ini meliputi analisis terhadap variable perekonomian mikro,
menganalisis naik turunnya keadaan. Apabila keadaan ekonomi memburuk
seperti yang terjadi pada krisis ekonomi tahun 1997 atau krisis ekonomi
keuangan global tahun 2009, perbankan lebih berhati-hati dalam
memberikan kredit investasi maupun kredit konsumtif. Selain kondisi
perekonomian, bank juga mempertimbangkan keadaan politik dan
pemerintah secara umum karena hal tersebut berdampak pada kondisi
ekonomi.27
5. Collateral (Jaminan)
Prinsip ini perlu diperhatikan bagi para nasabah ketika mereka tidak dapat
memenuhi kewajibannya dalam mengembalikan pinjaman dari pihak bank.
Jika hal demikian terjadi, maka sesuai dengan ketentuan yang ada, pihak
bank bisa saja menyita aset yang telah dijanjikan sebelumnya sebagai
sebuah jaminan.
Dalam KUHPerdata, tidak terdapat ketentuan yang pasti mengenai bentuk
dari suatu perjanjian, artinya suatu perjanjian dapat bersifat tertulis maupun tidak
tertulis. Dalam perjanjian kredit juga tidak terdapat ketentuan bahwa perjanjian
kredit harus dalam bentuk tertentu. Namun, dalam praktik perbankan, perjanjian
27. Karmila, 2014, Kredit Bank, PT. Intan sejati Klaten, Klaten, h. 19.
33
kredit umumnya dibuat secara tertulis karena perjanjian kredit secara tertulis
dianggap aman bagi para pihak. Dengan berbentuk tertulis, perjanjian tersebut
bersifat mengikat bagi para pihak dan apabila ada salah satu pihak yang
wanprestasi, maka hal itu dapat dipertanggung jawabkan.
Dasar hukum perjanjian kredit dapat dijumpai dalam:28
1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/IN/10/66 tentang Pedoman
Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 juncto Surat
Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8
Oktober 1966, Surat Edaran Bank Negara Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb.
Tanggal 20 Oktober 1966 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor
10/EK/2/1967 tanggal 6 Februari 1967, yang menyatakan bahwa bank
dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa adanya
perjanjian kredit yang jelas antara bank dan nasabah atau Bank Sentral dan
bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam memberikan kredit
dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau akad kreditnya.
2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB tanggal 31 Maret 1995
tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan
Bank Bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah
disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian
kredit secara tertulis.
28. Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit, h. 320.
34
2.2.2. Pengertian Kartu Kredit
Kartu kredit merupakan alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai
yang digunakan untuk berbelanja. Kartu kredit merupakan salah satu fasilitas
perbankan yang memudahkan transaksi nasabah. Dengan kemudahan yang
diberikan dengan fasilitas kartu kredit tidak jarang banyak nasabah bank yang
berminat menggunakan fasilitas ini.
Menurut Kasmir, kartu kredit merupakan kartu plastic yang dikeluarkan
oleh bank atau lembaga pembiayaan lainya yang diberikan kepada nasabah untuk
dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran dan pengambilan uang tunai.29 Dari
pengertian yang diberikan oleh Kasmir, dapat disimpulkan bahwa kartu kredit
diterbitkan oleh bank atau lembaga pembiayaan lain yang digunakan sebagai alat
pembayaran di tempat-tempat tertentu yang mendukung fasilitas tersebut yang
tentunya hal ini memudahkan penggunanya. Menurut Dahlan Siamat, kartu kredit
atau credit card adalah jenis kartu yang digunakan sebagai alat pembayaran
transaksi jual beli barang atau jasa dimana pelunasan atau pembayaranya kembali
dapat dilakukan dengan sekaligus atau dengan cara mencicil sejumlah minimum
tertentu.30
Secara yuridis, pengertian kartu kredit dicantumkan dalam Pasal 1 angka 4
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 Tentang Penyelenggaraan
29. Kasmir, Op. cit, h. 170.
30. Dahlan Siamat, 1995, Manajemen Lembaga Keuangan, Intermedia, Jakarta, h. 257.
35
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK), yang
menyebutkan:
Kartu kredit adalah APMK yang dapat digunakan untuk melakukan
pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk
transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana
kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer
atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran
pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan sekaligus (charge card)
ataupun dengan pembayaran secara angsuran.
Dari beberapa pengertia diatas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya,
kartu kredit diciptakan untuk memudahkan nasabahnya dengan cara kerja yang
telah diatur oleh Bank Indonesia. Dibandingkan dengan fasilitas kredit lainnya
yang ditawarkan di dunia perbankan, kartu kredit merupakan jenis kredit
tergolong yang paling mudah. Syarat pembuatannya juga sederhana, yaitu
fotokopi KTP, surat keterangan penghasilan, foto, dan surat keterangan lain
apabila diperlukan.
Terdapat beberapa jenis kartu kredit yang dapat dilihat dari berbagai sisi
antara lain, berdasarkan fungsinya kartu kredit dibedakan menjadi:31
1. Charge Card, merupakan kartu kredit dimana pemegang kartu harus
melunasi semua tagihan yang terjadi atas transaksinya sekaligus pada saat
jatuh tempo.
31. Kasmir, 2013, Dasar-Dasar Perbankan Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h.199.
36
2. Kartu Kredit (Credit Card), merupakan kartu kredit dimana pemmegang
kartu dapat melunasi penagihan yang terjadi atas dirinya secara cicilan
(angsuran) pada saat jatuh tempo. Dalam hal ini, cicilan dapat disesuaikan
dengan kemampuan nasabah dan biasanya diatas minimal yang telah
ditetapkan.
3. Debit Card, merupakan kartu kredit yang pembayaran atas penagihan
nasabah melalui pendebitan rekening nasabah yang ada di bank pada saat
membuka kartu kredit. Dengan pendebitan tersebut, maka otomatis
rekeing nasabah akan berkurang sejumlah transaksi yang dilakukan
dengan kartu kreditnya.
4. Cash Card, merupakan kartu yang berfungsi sebagai alat penarikan tunai
pada ATM ataupun langsung pada teller atau kasir bank.
5. Check Guarante Card, merupakan kartu yang digunakan sebagai jaminan
dalam penarikan cek dan dapat pula digunakan untuk menarik uang tunai.
Ditinjau dari segi jangkauan wilayah penggunaannya, kartu kredit dibagi
menjadi 2 jenis yaitu:32
a. Kartu Kredit Lokal, merupakan kartu kredit yang hanya dilakukan dalam
suatu wilayah tertentu. Misalnya hanya berlaku disuatu Negara saja.
b. Kartu Kredit Internasional, merupakan kartu kredit yang dapat digunakan
di berbagai Negara, tergantung bank yang mengeluarkannya. Contoh: Visa
Card, Master Card, dll.
32. Ibid, h. 200.
37
2.2.3. Perkembangan Kartu Kredit di Indonesia
Perkembangan bisnis kartu kredit di Indonesia kini makin semarak. Hal ini
terlihat dari terus bertambahnya jenis kartu kredit yang diterbitkan, meningkatnya
jumlah nasabah, dan melonjaknya jumlah kartu kredit beredar maupun nilai
transaksinya. Pertumbuhan yang signifikan ini menunjukkan bahwa kartu kredit
kini makin populer sebagai alat pengganti uang cash, bahkan telah menjadi bagian
dari gaya hidup masyarakat modern di Indonesia. Selain dipicu oleh
perkembangan lifestyle masyarakat di kota-kota besar, pertumbuhan bisnis kartu
kredit ini juga ditunjang oleh beragamnya program menarik yang ditawarkan
perusahaan penerbit, mengikuti selera dan kebutuhan nasabah yang makin
bervariasi.
Di Indonesia sendiri, sistem pembayaran dengan kartu kredit mulai dikenal
pada awal tahun 1970-an melalui American Express Card. Pada saat itu American
Express Card belum memasuki pasar Indonesia, namun menyediakan fasilitas
kepada para nasabahnya yang memiliki kartu yang diterbitkan diluar Indonesia.
Waktu itu sektor pariwisata di Indonesia sedang berkembang dan kedatangan
turis-turis asing ke Indonesia membawa kartu kredit sebagai pembayarannya
merupakan awal permunculan fasilitas kartu kredit di Indonesia.33
Pada tahun 1974, Master Card membukan afiliasinya di Indonesia.
Disusul oleh BCA yang pada tahun 1980 mulai memperkenalkan BCA Card
kepada para nasabahnya. Pada tahun 1984 lahirlah License Agreement dari Visa
33. Infobank 102, 1988, Kartu Kredit Bukan Sekedar Status Simbol, Yayasan
Pinandita, Jakarta, h. 6.
38
International kepada Bank Duta sebagai bank yang pertama kali ditunjuk sebagai
penerbit Visa Card di Indonesia. Bank Duta merupakan pelopor pertama dalam
penyediaan fasilitas kartu kredit dengan penagihan dalam mata uang rupiah.
Kemudian disusul oleh Bank BII Visa Card yang terbit pada tahun 1988 dan
Citibank pada bulan Januari 1989 yang mengeluarkan Citivisa Card. Pesatnya
perkembangan kartu kredit di Indonesia, kemudian Menteri Keuangan
mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988 Tanggal
20 Desember 1988, yang berdasarkan keputusan tersebut ditetapkan bahwa usaha
penerbitan kartu kredit dapat dilakukan juga oleh lembaga pembiayaan.
Berdasarkan data yang diperoleh, hingga Oktober 2010 jumlah perusahaan
penerbit kartu kredit di Indonesia tercatat ada sebanyak 20 perusahaan; lembaga
perbankan masih mendominasi bisnis kartu kredit ini, yaitu sebanyak 19 buah
bank, yang terdiri dari 4 bank asing, 1 bank campuran, 11 bank swasta nasional, 3
bank BUMN, dan 1 perusahaan pembiayaan. Sejumlah bank terkemuka sekaligus
yang menguasai pangsa pasar bisnis kartu kredit di Indonesia selama ini, di
antaranya Citibank, HSBC, BCA, BNI, Bank Mandiri, dan GE Finance. Jika
dilihat perkembangannya dalam beberapa tahun terakhir, jumlah seluruh
perusahaan penerbit hingga Oktober 2010 tidak berbeda dengan tiga tahun lalu.
Pada tahun 2007, jumlah perusahaan penerbit kartu kredit di Indonesia juga
tercatat sebanyak 20 perusahaan.
Peningkatan jumlah kartu kredit tersebut di atas berbanding lurus dengan
kenaikan jumlah transaksi belanja dengan menggunakan kartu kredit. Total nilai
transaksi belanja pada tahun 2006 adalah sebesar Rp. 53,8 triliun sedangkan total
39
nilai belanja selama tahun 2008 adalah sebesar Rp 103 triliun. Itu berarti bahwa
dalam kurun waktu hanya tiga tahun terjadi kenaikan nilai transaksi belanja
sebesar 91 %. Sedangkan kenaikan nilai transaksi belanja antara tahun 2006 ke
tahun 2007 adalah sebesar 29 % dan kenaikan nilai transaksi belanja dari tahun
2007 ke tahun 2008 adalah sebesar 34 %.34
2.2.4. Manfaat Dan Kerugian Kartu Kredit
Kemunculan kartu kredit pertama kali langsung menjadi suatu fenomena
di negeri ini, hingga sekarang pun masih terdapat pro dan kontra mengenai kartu
kredit. Terkait adanya pro dan kontra dari kartu kredit, hal itu berarti munculnya
kartu kredit telah membawa dampak positif juga negatif. Ada beberapa pihak
yang merasa dirugikan akibat keputusan sepihak pihak bank penerbit, ada pula
beberapa pihak yang berpendapat bahwa kartu kredit justru menguntungkan
pihaknya.
Mengenai manfaat kartu kredit itu sendiri, terdapat manfaat financial
maupun non financial. Manfaat tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:35
Pihak Terkait Manfaat
Financial Non Financial
Issuer a. Pendapatan bunga
b. Annual Fee
a. Cross selling other
product (insurance,
34. Flory Santosa, 2009, Pedoman Praktis Menghindari Perangkap Utang Kartu
Kredit, Forum Sahabat, Jakarta, h. 2.
35. Ibid, h. 23.
40
c. Interchange fee
(transaction)
d. Other charges/ fee.
dll.)
b. Penggunaan jasa lain
oleh card holder.
c. Hubungan dengan
nasabah bank.
Card Holder a. Discount harga produk
yang dibeli
b. Utang dengan bunga
rendah atau tanpa
bunga
c. Mendapat bunga
tabungan.
a. Kenyamanan dan
keamanan
bertransaksi
b. Keluwesan cara
pembayaran
c. Keleluasaan
bertransaksi di
seluruh dunia
d. Menikmati barang
yang diinginkan
e. Tersedia dana
cadangan.
Acquirer a. Discount rate dari
merchant
b. Fee atas penempatan EDC
c. Cash advance fee.
a. Cross selling produk/
jasa layanan
perbankan kepada
merchant
b. Hubungan bisnis
dengan merchant.
41
Merchant a. Omset penjualan dan
keuntungan
b. Meningkatkan cashflow.
c. Bisa lebih kompetitif
d. Pelayanan yang
optimal kepada
pelanggan
e. Mengurangi resiko
memegang uang
tunai.
Principle a. Transaction fee
b. Royalty
c. License fee
a. Brand product
worldwide.
Dengan segala kemudahan yang didapat oleh nasabah dengan
menggunakan kartu kredit, tidak heran jika penggunaan kartu kredit makin
melonjak. Selain mudah, penggunaan kartu kredit juga praktis dan memberikan
rasa aman kepada nasabah sehingga para nasabah tidak perlu was-was membawa
uang cash dalam jumlah banyak.
Meski memiliki berbagai keuntungan, ternyata penggunaan kartu kredit
juga dapat merugikan penggunanya jika ia tidak bisa mengatur penggunaannya
dengan baik. Adapun kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
kartu kredit, antara lain:36
a) Kerugian bagi bank
36. Kasmir, 2013, Op.cit, h. 180.
42
Jika terjadi emacetan pembayaran oleh nasabah yang berbelanja atau
mengambil uang maka akan sulit untuk ditagih, mengingat persetujuan
penerbitan kartu kredit biasanya dilakukan tanpa jaminan benda-benda
berharga sebagaimana layaknya kredit. Bahkan untuk memperoleh kartu
kredit hanya dengan jaminan bukti penghasilan saja sudah cukup, sehingga
resiko tidak tertagih sangat besar.
b) Kerugian bagi nasabah
Biasanya nasabah agak boros dalam berbelanja, hal ini karena nasabah
tidak mengeluarkan uang tunai untuk berbelanja, sehingga kadang ada hal
yang tidak perlu dibeli. Kemudian kerugian nasabah juga disebabkan
adanya sebagian merchant yang membebankan biaya tambahan untuk
setiap kali transaksi.
Dengan adanya manfaat dan juga kerugian yang akan dialami oleh
pengguna kartu kredit, maka tentu saja penggun kartu kredit harus lebih pintar
mengatur transaksi penggunaannya. Gunakan seperlunya agar terhindar dari
hutang-hutang yang menumpuk.
2.2.5. Penagihan Hutang Kartu Kredit
Semua perjanjian kredit memiliki resiko yang tinggi, termasuk pula dalam
penggunaan kartu kredit. Penyebab munculnya permasalahan dalam kartu kredit
yaitu pemegang kartu kredit gagal memenuhi kewajibannya dalam membayar
angsuran pokok beserta bunga yang telah ditentukan. Macetnya pembayaran
angsuran ini termasuk dalam kriteria kredit bermasalah.
43
Penyebab terjadinya kredit macet dapat dilihat dari beberapa faktor,
diantaranya:37
a. Faktor internal perbankan yang meliputi kelemahan dalam analisis kredit,
kelemahan-kelemahan kredit, agunan, sumber daya alam, teknologi, dan
kecurangan petugas bank.
1. Kelemahan dalam analisis kredit.
1) Analisis kredit tidak berdasarkan data akurat.
2) Informasi kredit tidak lengkap.
3) Kredit terlalu sedikit.
4) Kredit terlalu banyak.
5) Jangka waktu kredit terlalu lama.
6) Jangka waktu kredit terlalu pendek.
2. Kelemahan dalam dokumen kredit.
1) Data mengenai kredit tidak didokumentasi dengan baik.
2) Pengawasan atau fisik dokumen tidak dilaksanakan dengan baik.
3) Kelemahan dalam supervise kredit.
1) Bank kurang pengawasan atau usaha nasabah secara continue dan
teratur.
2) Terbatasnya data dan informasi yang berkitan dengan
penyelamatan dan penyelesaian kredit.
3) Tindakan perbaikan tidak diterapkan secara dini dan tepat waktu.
4) Jumlah nasabah terllu banyak.
37. Mahmoedin, 2004, Kredit Bermasalah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 51.
44
5) Nasabah terpencar.
6) Kecerobohan petugas bank.
1) Bank terlalu kompromi.
2) Bank tidak mempunyai kebijakan perkreditan yang sehat.
3) Petugas bank terlalu menggampangkan masalah.
4) Persaingan antar bank.
5) Pengambilan keputusan yang tidak tepat waktu.
6) Terus memberikan pinjaman pada usaha yang siklusnya menurun.
7) Tidak diasuransikan.
7) Kelemahan kebijaksanaan kredit.
1) Prosedur kredit terlalu panjang
2) Kelemahan bidang agunan.
1) Jaminan tidak dipantau dan diawasi secara baik.
2) Nilai agunan tidak sesuai.
3) Agunan fiktif.
4) Agunan sudah dijual.
5) Pengikatan agunan lemah.
6) Kelemahan sumber daya manusia.
1) Terbatasnya tenaga yang ahli di bidang penyelamatan penyelesaian
kredit.
2) Pendidikan dan pengalaman pejabat kredit sangat terbatas.
3) Kurangnya tenaga ahli hukum untuk mendukung pelaksanaan
penyelesaian dan penyelamatan kredit.
45
4) Terbatasnya tenaga ahli utuk analisis kredit.
7) Kelemahan teknologi.
1) Terbatasnya sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pekerjaan
teknis.
2) Keterbatasan bank dalam hal teknis, seperti: manajemen secara
baik, pengawasan secara continue, administrasi yang rapi.
8) Kecurangan petugas bank.
1) Petugas bank terlibat kepentingan pribadi.
2) Disiplin pejabat kredit dalam menerapkan sistem dan prosedur
kredit rendah.
b. Faktor internal nasabah yang meliputi: kelemahan karakter nasabah,
kemampuan nasabah, musibah yang dialami nasabah, kecerobohan
nasabah, dan manajemen nasabah.
1. Kelemahan karakter nasabah.
1) Nasabah tidak mau tau atau memang tidak beritikad baik.
2) Nasabah kalah judi.
3) Nasabah menghilang.
2. Kelemahan kemampuan nasabah.
1) Tidak mampu mengembalikan kredit karena terganggunya
kelancaran usaha.
2) Kemampuan usaha nasabah yang kurang.
3) Teknik produksi yang sudah ketinggalan jaman.
4) Kemampuan pemasaran tidak memadai.
46
5) Pengetahuan terbatas.
6) Pengalaman terbatas.
7) Informasi terbatas.
c. Faktor eksternal seperti situasi ekonomi yang negatif, politik dalam negeri
yang merugikan, politik negara lain yang merugikan, situasi alam yang
merugikan, dan peraturan pemerintah yang merugikan.
1. Situasi ekonomi yang negatif.
1) Globalisasi ekonomi yang berdampak negatif.
2) Perubahan kurs mata uang.
2. Situasi politik dalam negeri yang merugikan.
1) Pergantian pejabat tertentu.
2) Hubungan diplomatik dengan negara lain.
3) Adanya gejolak sosial.
3. Politik negara lain yang merugikan.
1) Proteksi oleh negara lain.
2) Adanya pemogokan buruh diluar negeri.
3) Adanya perkembangan politik di negara lain.
4) Kebijakan dari industry luar negeri dengan menjatuhkan harga
barangnya sehingga memukul harga pokok dalam negeri.
4. Situasi alam yang merugikan.
1) Faktor alam yang berkibat negatif.
2) Habisnya sumber daya alam.
5. Peraturan pemerintah yang merugikan.
47
1) Membatasi jumlah supermarket atau mall di daerah tertentu.
2) Menutup usaha tertentu untuk melindungi pengusaha kecil.
d. Faktor kegagalan bisnis senantiasa muncul diluar kemampuan para pihak
seperti aspek hubungan, aspek yuridis, aspek manajemen, aspek
pemasaran, aspek teknis produksi, aspek keuangan, dan aspek sosial
ekonomi.
e. Faktor ketidakmampuann manajemen adalah pencatatan tidak memadai,
informasi biaya tidak memadai, modal jangka panjang tidak cukup, gagal
mengendalikan biaya, overheadcost yang berlebihan, kurangnya
pengawasan, gagal melakukan penjualan, investasi berlebihan, kurang
menguasai teknis, dan perselisihan antara pengurus.
Dalam pemberian kartu kredit oleh penerbit kartu kredit belum
sepenuhnya memperhatikan manajemen resiko pemberian kredit. Perlunya
perhatian terhadap aspek kehati-hatian dan aspek perlindungan konsumen dalam
penyelenggaraan kegiatan APMK, membuat bank akan selalu melakukan
penagihan atas transaksi yang dilakukan. Penagihan tersebut tentunya memiliki
standar penagihan yang telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
14/2/PBI/2012 serta Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/20/DPNP.
Prosedur pembayaran tagihan kartu kredit dirumuskan dalam perjanjian
penerbitan kartu kredit, sebagai berikut:38
38. Johannes Ibrahim, 2004, Kartu Kredit: Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan,
PT. Refika Aditama, Bandung, h. 68-69.
48
1) Pemberitahuan tagihan akan dikirim oleh Bank setiap sebulan sekali
kepada pemegang kartu. Pemegang kartu wajib untuk membayar tagihan
tersebut seluruhnya atau paling tidak sebesar minimum pembayaran pada
tanggal jatuh tempo. Pemberitahuan penagihan akan dilakukan setelah
tenggang waku tertentu seperti yang dituangkan dalam perjanjian. Bank
penerbit akan menagih kepada pemegang kartu sejumlah transaksi.
2) Bilamana terjadi kesalahan/keberatan terhadap tagihan dalam
pemberitahuan tagihan, maka keberatan harus diajukan secara tertulis
dalam waktu 15 (lima belas) hari sejak tanggal cetak lembar
pemberitahuan tagihan.
3) Segala kerugian yang timbul atas kesalahan/keberatan terhadap tagihan
yang pemberitahuannya diterima bank setelah tanggal jatuh tempo adalah
tidak sah dan menjadi tanggung jawab pemegang kartu.
4) Besar minimum pembayaran dihitung berdasarkan presentase dan jumlah
tagihan yang tercantum pada rekening tagihan, atau sekurang-kurangnya
Rp. 50.000,-. Besarnya presentase tersebut ditetapkan oleh bank.
5) Bila pemegang kartu tidak melakukan pembayaran seluruh tagihannya,
maka bank akan mengenakan bunga yang besarnya ditetapkan oleh bank
dari seluruh tranasaksi yang dilakukan dan atas transaksi berikutnya, yang
akan diperhitungkan dalam pemberitahuan tagihan bulan berikutnya.
6) Tagihan atas penggunaan kartu tambahan adalah tanggung jawab
sepenuhnya dari pemegang kartu utama dan akan ditagih bersama-sama
dalam satu tagihan. Dalam hal pembatalan kartu tambahan oleh kartu
49
utama, tagihan akan tetap menjadi beban kartu utama sebelum bentuk fisik
kartu tambahan diterima kembali oleh bank dalam keadaan terpotong
menjadi dua.
7) Bila setelah tanggal jatuh tempo pemegang kartu tidak membayar tagihan
atau membayar kurang dari minimum pembayaran, maka akan dikenakan
denda keterlambatan yang dihitung berdasarkan presentase dari jumlah
minimum pembayaran atau sekurang-kurangnya Rp. 25.000,-. Besarnya
presentase tersebut akan ditetapkan oleh Bank. Keterlambatan pembayaran
tagihan juga dapat menyebabkan penolakan transaksi, dan pemblokiran
kartu secara otomatis.
8) Pembayaran dengan cek/bilyet giro dinyatakan efektif setelah cek/cilyet
giro berhasil diuangkan oleh Bank. Penolakan cek/bilyet giro dengan
alasan apapun akan dikenakan biaya yang besarnya ditetapkan oleh bank.
9) Semua perhitungan bunga dapat berubah sesuai dengan kebijakan Bank
tanpa diperlukan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemegang kartu.
10) Untuk menjamin pelunasan pembayaran seluruh tagihan berkenaan dengan
penggunaan kartu, pemegang kartu berjanji akan mengikatkan diri bahwa
harta kekayaannya baik berupa benda bergerak maupun benda tidak
bergerak ataupun rekening Bank yang ada ataupun yang akan ada di
kemudian hari merupakan suatu jaminan pelunasan kewajiban pemegang
kartu kepada Bank dan oleh karenanya Bank diberi hak untuk melakukan
tindakan-tindakan sesuai pertimbangan atas benda tersebut.
50
11) Jika pemegang kartu tidak melakukan kewajiban pembayaran, maka
pemegang kartu dengan ini member hak dan kuasa kepada Bank untuk:
a. Mendebet rekening giro/tabungan/deposito atau jenis simpanan lainnya
yang dimiliki pemegang kartu di Bank.
b. Mencairkan jaminan yang ada pada Bank.
c. Meminta/melakukan penagihan pembayaran melalui jasa pihak ketiga.
d. Memanggil pemegang kartu melalui media massa.
e. Dengan cara-cara lain yang dianggap layak oleh Bank.
Bilamana pemegang kartu akan bepergian lebih dari satu bulan maka pemegang
kartu diwajibkan memberi instruksi yang jelas mengenai bagaimana tagihannya
akan diselesaikan. Di dalam hal pemegang kartu melalaikan kewajibannya maka
segala risiko yang timbul menjadi beban dan tanggungjawab pemegang kartu
sendiri, dan dengan ini pemegang kartu membebaskan Bank untuk melakukan
segala tindakan hukum yang dianggap baik sesuai dengan pertimbagan Bank
sendiri.